No. 40/XV/Desember/2015
RUANG DISKUSI
Mata Lensa Antusiasme (?)
Jajak Pendapat
Audiens yang cukup ramai pada perhelatan diskusi mingguan MAP Corner-MKP Club paa Selasa, 24 November 2015. Diskusi tersebut mengusung tema cukup ‘seksi’ bagi pembelajar sospol, yakni Kampus di Indonesia Pasca Tragedi 1965.
Tak Ada yang Boleh Terlewat Forum diskusi bisa tercipta di mana saja. Offline , online, offline sambil online, semua bisa!
Foto: Agung Prastistha Surya Teks: Odilia Enggar R.
egalanya Mungkin Saat Malam
Pemimpin Umum Andriyan Yuniantoko Pemimpin Umum EvaRavanza Dewi Sekretaris Sekretaris UmumRani Intan R. Pemimpin Redaksi Odilia Enggar R. Staff Umum Annisa Nur Indah S. Pemimpin Redaksi Redaksi Fahmi Rijalul F., Annisa Nur Indah, Elizabeth Widya Manggiasih Odilia Enggar StaffNindianita, Redaksi Fahmi Rijalul F., Tilotama, Mega Nur Anggraeni, Rani Dwi Yesandia O. Utomo,Odilia Desra Enggar Israyana,Kepala Umaruddin Putri Webmaster Litbang Agga Arista Barasani Staff Litbang Wicaksono, Nur Ulfa, Triyanto Isa Elfianto,Clara, AlfianIntan Khoirul Anas, Fajar Hamid, Pemimpin Prabowo,Mohammad Isrotul QomariaJefri Webmaster Odilia Perusahaan Maria Rena Fotografer Agung Enggar Kepala Irene Tantri Staff Pratistha SuryaLitbang Ilustrator Ahmad Zulfi Layout Odilia Enggar
Di malam yang terang lagi muram. Litbang Agga Arista B., Isa Elfianto, Intan kankah kesetiaan dinilai dari sepi. Awak Magang Adi Setiawan, Azinuddin Ravanza, Andriyan Yuniantoko, Agung Hidayat Ikram Hakim, Dzikrullah Umam, Fadhil Dan kelap-kelip lampu taman kota. Naufal, Hamzah Ibnu Dedi, Isna Amalia Pemimpin Perusahaan Clara Artistik Maria Menerka apa hidup pantas untuk ditunggui. Hawimah, Mochamad Ridha, Muhammad ita bergumul lewat rasa, cinta, dan nalar yang beradu. Ramdayanu Muzakki, Hanum, Rena, Zulfi Layouter dan Nabila Fotografer Agung Nisa Nur Irina, Sri Rejeki, Tessa Wulandari, Yesi api kita lupa induk segala hasrat yang mengurung logika. Prastistha Surya Awak Magang Elizabeth, Mekarsari
Manggiasih, Mega, Novi, Rani, Ivan, Alfian, Fajar, intaku, sepadat apa pun udara malam. Sekretariat Redaksi Ilmu Sosial etap tidak akan mampu menepis mimpi-mimpi buruk. Jefri, Roby, Kiki, Dyah, Fakultas Zulfi dan Ilmu Politik UGM. Jalan Sosio Yustisia okok yang kau habiskan, hanya pengantar deru-deru impian. 1, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281 ang merangkak lewat nadi, denyut jantung setiap pasang mata. Surel
[email protected] Sekretariat Redaksi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu ang menyaksikan tingkah kita menghadapi malam,Website lppmsintesa.fisipol.ac.id Politik UGM, Jalan Socio Yusticia 1, Bulaksumur, Twitter @lppmsintesa Line @syd4262l Yogyakarta 55281 EmailOA lppmsintesa @gmail.com enuh liku seperti anak kecil nan manja.
Website lppmsintesa.fisipol.ugm.ac.id Twitter @lppmsintesa
Yogyakarta, tanpa tahun
Indikator DESEMBER 2015
3
Suguhan Akhir Tahun (2) Setelah dikira ‘vakum’, Sintesa kembali menampakkan dirinya lewat terbitan pamungkas akhir tahun. Yah, mudah-mudahan majalah ini sampai ke tangan anda agar benar-benar menyaksikan eksistensi kami. Dinamika terjadi di luar dan di dalam struktur lembaga pers ini. Berkumpul, berdiskusi, bertarung pikiran kami rasakan sebagai sesuatu yang mulai langka. Bisa jadi karena itulah kamu lamban bergerak dan kurang responsif terhadap isu-isu yang bergulir di dalam maupun luar kampus. Salah satu kegelisahan yang kami rasakan mengenai kurangnya iklim diskusi coba kami teliti di kampus FISIPOL ini. Dan bukan kebetulan bila banyak yang mengamini kegelisahan kami. Banyak yang bilang kalau keengganan untuk berkumpul, saling bertukar pikiran, disebabkan karena makin tersebarnya ruang-ruang alternatif yang tak mengharuskan untuk berada di tempat yang sama. Dunia online! Apalagi. Tapi kami tak mau mengutuk-ngutuk teknologi karena telah menyumbang kegelisahan semakin banyak. Justru jenisjenis teknologi pembantu komunikasi harus kami manfaatkan biar bisa lebih responsif dan fleksibel menggarap serta menyebarkan karya. Dan di akhir tahun ini pula, di tengah kegamangan produktivitas, kami membuat kanal-kanal informasi baru. Website kami dipermak agar lebih menawan dan nyaman diakses, akun media sosial yang ramah-gawai pun kami buat (akhirnya!). Kami sadar, ke depan selain harus rajin menggodok isu, kami juga harus ekstra gerilya menyebarkan karya lewat kanal-kanal mutakhir yang mampu menjangkau pembaca semua. Semoga kelak Sintesa tak melulu dipertanyakan eksistensinya. Karena kita akan lebih sering menyapa di ruang-ruang maya. Sampai jumpa! Redaksi
4
Indikator DESEMBER 2015
Ruang Intelektual yang Mulai Ditinggalkan Oleh: Rani Dwi Putri & Elizabeth Widya Nindianita
Poster promosi acara-acara diskusi dan seminar. Tak lagi efektif? Foto: Agung/sin
C
ivitas akademika, lebih khususnya bidang sosial-humaniora tidak bisa melepaskan diri dari proses diskusi. Hal ini disebabkan oleh ilmu sosial yang bersifat fleksibel dan cenderung berubah-ubah sesuai konteks peradabannya. Kegiatan pembelajaran di kampus sospol selalu melibatkan proses diskusi, khususnya diskusi verbal dalam kemasan formal. Di Fisipol sendiri, ruang-ruang diskusi formal bisa dengan mudah ditemukan, tak hanya di ruang kelas dalam kegiatan perkuliahan namun juga diadakan oleh lembaga-lembaga riset di fakultas. Bagi lembaga-lembaga riset tersebut, mengadakan kegiatan diskusi formal atau seminar, adalah suatu bentuk tanggungjawab untuk mempublikasikan hasil riset mereka. Maka kegiatan-kegiatan diskusi publik bisa dijadikan
tolok ukur produktivitas lembaga-lembaga riset di Fisipol. Ada 10 lembaga riset di Fisipol. Jumlah yang cukup banyak untuk lingkup satu fakultas. Tak heran intensitas kegiatan diskusi atau seminar pun relatif tinggi. Mulai dari diskusi mingguan, bulanan, hingga diskusi tahunan. Tentunya dengan berbagai tema yang berbeda pula karena masing-masing lembaga memiliki fokus kajian yang beragam. Contohnya adalah Sociology Research Center (SOREC) yaitu lembaga riset yang berada di bawah payung jurusan Sosiologi. Lembaga yang aktif melakukan riset dengan tema-tema lingkungan, pembangunan, dan kependudukan ini memiliki agenda diskusi rutin tiap bulannya. Bentuk yang hampir sama juga ditunjukkan oleh Institute Of International Studies (IIS) yaitu lembaga riset yang berada di bawah payung Jurusan Ilmu Hubungan Internasional.
Indikator DESEMBER 2015
5
Senada dengan SOREC, IIS juga giat melakukan diskusi tiap bulannya yang mereka namai dengan IIS Discussion Series. Lain halnya dengan Youth Studies Centre (YouSure). Lembaga ini tidak berada di payung jurusan namun langsung di bawah fakultas dan lebih memfokuskan pada isu kepemudaan. Bentuk lain juga ditunjukkan oleh Magister Administrasi Publik (MAP) bekerja sama dengan Jurusan MKP yang mempunyai kegiatan diskusi cukup populer dengan nama MAP CornerMKP-Club. MAP Corner mengadakan beragam diskusi dengan isu sosial kontemporer. Jadi bisa dibilang lembaga-lembaga tersebut, selain mempunyai kewajiban dalam penelitian juga berfungsi sebagai penyelenggara kegiatan diskusi formal. Cara menyukseskan kegiatan diskusi paling utama adalah menjaring sebanyak mungkin audiens, setiap akan mengadakan kegiatan diskusi niscaya ada strategi-strategi promosi dari lembaga bersangkutan. Secara kasat mata hal tersebut terlihat dari maraknya pemasangan poster-poster di papan pengumuman maupun juga promosi melalui dunia maya. Kedua adalah menentukan topik diskusi yang menarik. Menurut pengakuan dari pihak-pihak penyelenggara, penentuan topik diskusi didasari dari isu-isu yang sedang hangat di masyarakat.
diskusi-diskusi sebelumnya kita minta alamat emailnya lalu kita mailing list, nah kalo kita mau mengadakan diskusi kita akan email mereka. Sejauh ini pesertanya beragam ada dari HI UGM, UNS, UMY, UII dan ada jurusan selain HI,” ujar Muti, karyawan IIS. Lain halnya dengan YouSure. Melihat perkembangan jaman di mana ruang tak jadi batasan, YouSure mengemas diskusi dua mingguannya secara on air dan off air. Hal ini menurut Puji, salah satu karyawan YouSure, adalah bentuk strategi menarik massa.“Yang on air bekerja sama dengan RRI,”ujar Puji. Namun strategi-strategi tersebut tak selalu berhasil memancing animo peserta diskusi. Hal ini dibenarkan oleh beberapa lembaga riset yang mengadakan kegiatan diskusi atau seminar. Salah satunya, pihak Yousure sendiri mengakui bahwa animo mahasiswa semakin menurun. Meskipun berbagai strategi telah dilakukan seperti pemberian suvenir dan makan siang. “Kalau masalah audiens emang itu kendala kita, sih. Seminar sudah dibuat gratis, untuk seminar kit udah diberi, dapat makan siang itu juga tidak menarik audiens,” ujar pihak Puji. Selain trategi halus tersebut, strategi dengan unsur paksaan juga tidak jarang dilakukan oleh beberapa lembaga yaitu melalui mobilisasi kelas.
Beragam Strategi
Sebagian besar narasumber mengamini adanya penurunan minat mengikuti diskusi yang diadakan oleh lembaga-lembagai di kampus. Pergeseran peradaban mungkin menjawab persoalan menurunnya minat diskusi di Fisipol. Mulai dari bergesernya ruang-ruang diskusi yang tidak lagi hanya di kampus dan kecanggihan teknologi yang mampu melahap semua informasi. Dana Hasibuan, asisten dosen Sosiologi yang juga bekerja di SOREC mengungkapkan bahwa pergeseran tempat diskusi mungkin juga menjadi penyebab lemasnya diskusi di kampus. Situasi sekarang berbeda dengan pada era Orde Baru di mana diskusi tidak boleh di sembarang tempat. Penjelasan lain disampaikan oleh Puji bahwa pergeseran teknologi ikut mempengaruhi loyonya diskusi. “Mungkin sekarang semua diatasi dengan di genggaman. Ketika semua bisa dipadatkan di genggaman kenapa harus ikut (diskusi),” pungkasnya. ()
Salah satu lembaga yang cukup berhasil dalam memancing animo peserta diskusi adalah MAP Corner-MKP Club. Hal ini dikarenakan mereka konsisten dalam mengadakan diskusi tiap minggunya yaitu setiap hari Selasa di kampus Fisipol Unit II Sekip. Selain itu lembaga ini juga mampu membawa isu-isu yang seksi seperti konflik agraria, masalah ketenagakerjaan, kontroversi politik elit, dsb. Oleh karenanya, kegiatan diskusi yang dilakukan selalu menarik banyak audiens bahkan sampai luar UGM. ”Diskusi MAP Corner ini didesain untuk mengurangi gap antara masyarakat grassroot dengan kaum akademisi,” papar Muhtar Habibi, pengelola diskusi MAP-Corner. Selain MAP-Corner, diskusi yang diadakan IIS juga memiliki peminat. Animo peserta diskusi IIS fluktuatif, dari sekitar 20 sampai 100 orang. Maka untuk menarik minat peserta diskusi, IIS punya cara tersendiri “Peserta dari
6
Indikator DESEMBER 2015
Perubahan Minat
Sandhyakala Tradisi Diskusi Mahasiswa Masa Kini Oleh: Manggiasih & Mega Nur
S
etiap sejarah melahirkan generasi, dan setiap generasi merekayasa sejarahnya sendiri. Begitulah ungkap Arie Sudjito ketika ditanya mengenai komparasi animo diskusi mahasiswa sebelum dan selama reformasi. Meski pertanyaan tersebut memancing jawaban subjektif, Vicky Djalong yang juga dosen Sosiologi UGM pada kesempatan berbeda menuturkan pernyataan serupa. Menurutnya, melakukan komparasi dulu dan kini tidaklah kompatibel, sebab setiap generasi berbeda memaknai diskusi. Perlu diluruskan sebelumnya, bahwa kedua narasumber tersebut berkedudukan sebagai agensi yang pernah hidup selama dua orde yaitu orde baru dan reformasi. Terdapat pergeseran nyata di kehidupan kampus era orde baru dengan reformasi seperti sekarang ini. Sejatinya, era reformasi menjanjikan dimensi ruang dan waktu yang kondusif untuk menghidupkan iklim tradisi kritis melalui diskusi. Menurut Arie Sudjito, apabila tolak ukur animo diskusi mahasiswa dilihat dari seberapa sering mereka melakukan diskusi melalui cara-cara konvensional, tentu grafiknya cenderung menurun bila dibandingkan dengan jamannya dahulu. Sebab, diskusi kini dapat dilakukan di manapun dan kapanpun, melalui media sosial sebagai contoh. Bicara mengenai diskusi konvensional atau diskusi formal, fakta di lapangan yang
dihimpun oleh Litbang Sintesa menunjukkan bahwa penurunan melakukan diskusi formal disebabkan beberapa faktor seperti padatnya jadwal kuliah, menumpuknya tugas kuliah serta padatnya jadwal pertemuan organisasi yang diikuti. Kemudian, realitas yang terbentuk ialah mulai berkembangnya diskusi nonformal. Realitas ini diamini oleh Nurhayati Nufus, Sosiologi 2013 merangkap sebagai Kepala Divisi Kajian Strategis Keluarga Mahasiswa Sosiologi. Ia mengatakan kalau sebenarnya mahasiswa tidak menunjukkan ketidaktertarikannya terhadap diskusi. Hanya saja, mereka cenderung menyukai diskusi dengan konsep santai. Bahkan dalam makan siang pun, diskusi mampu hadir ditengahtengahnya tanpa mengurangi napsu makan tuannya. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian ialah tema apa yang didiskusikan. Apakah hanya kehidupan sehari-hari, atau merespon isu yang berkembang. Idealnya, diskusi merujuk pada bertukar pikiran untuk membahas masalah secara ilmiah. Di Fisipol UGM sendiri, topik yang paling digandrungi untuk didiskusikan ialah sosial dan kebudayaan. Sedangkan untuk mengangkat isu politik, mahasiswa cenderung menghindarinya. Menurut Nurhayati, mahasiswa cenderung apatis
Indikator DESEMBER 2015
7
Ruang Diskusi mahasiswa kini banyak bergeser ke dunia maya melalui gawaigawai di genggaman. Foto: Agung/sin
terhadap isu-isu bertemakan politik karena masih menganggap bahwa politik itu adalah sesuatu yang buruk. Menurut Vicky Djalong, hal ini merupakan implikasi dari isu-isu mata kuliah terlalu banyak dan tidak koheren yang menyebabkan mahasiswa kesulitan untuk menyelami dunia politik. “Kalau dahulu menghadapi negara otoriter, sedang kini godaan kapitalisme, pragmatisme serta hedonisme yang lebih mengganggu. Musuh mahasiswa kini mungkin dunia pendidikan yang sangat pragmatis dan industrial yang menuntut mahasiswa untuk cepat lulus,” papar Arie Sudjito menjelaskan mengenai grafik penurunan diskusi formal mahasiswa masa kini. Terlepas dari diskusi formal yang diinisiasi oleh HMJ, di FISIPOL sendiri terdapat beberapa kelompok diskusi non-formal di luar HMJ seperti Sapere Aude yang digagas oleh Robby Mardiansyah, mahasiswa Sosiologi 2011. Kelompok diskusi ini menjadi menarik karena membahas seputar pemikiran tokoh-tokoh barat atau dapat dikatakan menjelajahi dunia filsafat. Ketika ditanya megapa menggagas kelompok diskusi non-formal, ia berpendapat bahwa ketika kelompok diskusi diinstitusionalisasikan, dengan sendirinya kelompok tersebut akan mati. Selain Sapere Aude, ada kelompok diskusi lain bentukan mahasiswa jurusan Hubungan Internasional bernama BiraHI. Tadzkia, salah satu penggagas
8
Indikator DESEMBER 2015
BiraHI mengatakan kelompok ini berdiri sejak Oktober 2015 dan fokus membahas topik-topik hubungan internasional. Dengan demikian, tradisi kritis diskusi di kalangan mahasiswa masa kini memang mengalami pergeseran bila dibandingkan dengan era orde baru dimana kebebasan berkumpul dan berdiskusi mengalami tekanan. Karena kebebasan berserikat dan berkumpul kini tidak dibatasi oleh pemerintah. “Tantangan bagi diskusi mahasiswa saat ini adalah seberapa jauh semangat diskusi ini tidak menjadi bagian dari manifestasi neoliberalisme. Sebab neolib sangat suka sekali melihat kita diskusi kecil-kecil, bukan yang koheren,” papar Vicky Djalong. Lebih lanjut Vicky menyatakan bahwa kita perlu memiliki isu bersama dan tidak terjebak dalam hegemoni kapitalisme. Hal tersebut menimbulkan berbagai pilihan untuk mahasiswa, apakah hendak mendirikan kelompok diskusi radikal dan progresif, ataukah hanya menjadi sekelompok mahasiswa yang sibuk leyeh-leyeh dieksploitasi oleh hegemoni neolib yang terasa menyenangkan.()
Isu Sosial di Pentas Retorika Oleh: Odilia Enggar Ranum
M
endiskusikan isu-isu terhangat menjadi suplemen pembelajaran kaum akademis, lebih-lebih untuk para pembelajar ilmu-ilmu sosial. Tingkat intelektualitas pembelajar ilmu sosial sering diukur dari pemahamannya akan beragam perspektif untuk mencerna peristiwa yang terjadi dalam interaksi antarmanusia. Tak cukup tahu ilmu dari literatur, juga harus bisa memahami kenyataan di lapangan, begitu idealnya. Banjir debit informasi karena perkembangan teknologi komunikasi dipadukan kebebasan berpendapat membawa perubahan signifikan pada pembelajaran ilmu sosial. Dunia akademis dan kaum intelektual terkena imbasnya. Apalagi jalan tol informasi kini ada di genggaman hampir setiap civitas akademik seolah-olah meneror, di luar sana banyak isu, di luar sana banyak peristiwa menarik yang mesti dipelajari, di luar sana banyak orang dengan pemikiran dan keprihatinan masing-masing. Efek samping bagi mahasiswa ilmu sosial adalah semakin banyaknya alternatif ‘contoh di lapangan’ untuk dikaji ke bidang ilmu yang dipelajarinya. Sekedar memanfaatkan kegiatan perkuliahan di kelas maupun bertukar pikiran melalui tatap muka dengan teman sejawat menjadi dirasa sangat kurang ideal. Ratusan isu dan peristiwa datang silih berganti di berbagai media seakan
memanggil-manggil setiap insan intelektual untuk menanggapinya. Dunia maya pun menjadi ramai dengan ruang-ruang diskusi informal dan tak terkonsep. Dunia maya pula yang mampu mengusik dan memprotes keterbatasan manusia terhadap ruang dan waktu. Lalu mau tak mau, sering individu memilih sikap pragmatis ini: mencari informasi dan mendalami isu untuk sekedar menambah pengetahuan kognitif. Dengan sadar memilih peran sebagai spektator pasif. Dunia nyata, khususnya di ranah akademis sosial politik tak kurang semarak dengan tawaran acara diskusi formal di luar perkuliahan. Tak terkecuali kampus kita tercinta. Melalui hasil observasi di lingkungan kampus Fisipol, secara kasat mata gairah ini nampak dari iklan-iklan kegiatan diskusi dengan berbagai kemasan yang merayu mata. Baik dalam poster-poster fisik maupun digital layaknya promosi sebuah event. Lembaga-lembaga studi maupun unitunit kegiatan mahasiswa di bawah naungan kampus Fisipol menjadikan forum diskusi publik sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban di samping kajian ilmu terhadap masyarakat. Dalam acara yang diorganisasi rapi tersebut, tema-tema kekinian, inklusivitas sasaran audiens, serta bintang tamu populer dari luar lingkungan kampus diusung untuk menjadi daya tarik event-event diskusi. Tentunya dengan harapan mengumpulkan audiens sebanyak-banyaknya. Berbagai lembaga berlomba mengusung
Indikator DESEMBER 2015
9
isu-isu sosial kontemporer untuk disajikan dalam gelaran retoris di bangunan menara gading, mencipta panggung intelektualitas. Pada isu-isu tertentu yang mengandung konflik kepentingan kadang terasa ironis, bahwa hal-hal penting menyangkut manusia, misal konflik antara rakyat kecil dan penindas sering hanya selesai sebagai bahan diskusi saja. Meski ada pula kegiatan diskusi yang menghasilkan aksi nyata, misalnya konsolidasi yang terbentuk usai diadakannya diskusi mengenai konflik agraria. Namun persentasenya masih kecil dibanding forumforum yang kandas pada tataran retorika semata. Bagaimanapun bentuk pelaksanaan dan terlepas dari output yang diharapkan, lembagalembaga kampus punya tujuan sederhana mengadakan diskusi formal. Khususnya diskusi tentang isu sosial kekinian dibuat untuk membuka mata para penghuni menara gading agar punya pandangan komprehensif tentang kehidupan masyarakat. Dari memahami tentang percaturan politik elit hingga menumbuhkan rasa ikut bertanggungjawab terhadap realita-realita tak menyenangkan yang menimpa golongan masyarakat tertentu. Gambaran terhadap realita dari sumber-sumber terpercaya (sering acara diskusi mengundang narasumber para praktisi di lapangan maupun pakar bidang kajian tertentu) bisa digunakan untuk penyeimbang opini yang telah telanjur terbentuk oleh media-media arus utama. Model diskusi yang mempertemukan ide-ide dalam lisan ini, bila ditelaah dengan
10
Indikator DESEMBER 2015
model tritunggal dialektika Hegel memang ideal. Tesis, antitesis, sintesis bisa dicocokkan dengan relasi antara paparan dari pemantik diskusi, tanggapan dari peserta diskusi, dan jalan tengah yang ditawarkan moderator. Dipandang secara utuh, dinamika diskusi akan memberi kesan kita mengetahui sesuatu secara keseluruhan dan mendekati totalitas kebenaran. Dialog-dialog yang membentuk konsensus akan membawa manusia (baca: audiens) ke tingkatan spiritual (baca: pengetahuan) yang lebih tinggi. Namun peningkatan hierarki kebenaran usai satu tahap dialektika tak pernah membawa manusia dalam totalitas kebenaran. Pun demikian bisa diterapkan untuk kritik terhadap eventevent diskusi. Diskusidiskusi tentang isu sosial Ilustrasi: Zulfi tak bisa dipungkiri hanya mereduksi realita ke dalam wacana. Terhempas dalam tataran teoretis dan tak sampai ke ranah praktis. Memang itulah ciri khas menara gading yang sering termanifestasi dalam dunia akademis. Padahal keseimbangan antara teori dan praktek pada kegiatan pembelajaran ilmu sosial digadang-gadang sebagai cara untuk membentuk tatanan masyarakat yang lebih baik. Apa yang dianggap ideal dalam teori, hendaknya dapat diimplementasikan dalam masyarakat. Namun utopia dalam masing-masing kepala bisa berbeda-beda. Kalau belum siap atau belum mampu menjadikannya nyata, masing-masing isi kepala selalu dapat dijelmakan lewat kata-kata di ruang-ruang diskusi.()
FISIPOL UGM Punya Kuliah Online
F
isipol UGM akhirnya memanfaatkan media digital untuk menyebarkan sebagian ilmu dalam bentuk kuliah online secara gratis ke masyarakat luas. Pada 25 September 2015 lalu, website FISIPOL UGM Open Online Courses (FOCUS) diluncurkan oleh Mensesneg Pratikno pada sebuah acara di Ruang Seminar Timur Kampus FISIPOL UGM. FOCUS merupakan situs Massive Open Online Courses (MOOCs), situs yang tujuannya menyebarkan kuliah-kuliah online secara masif dan terbuka. Dengan dukungan dari sebuah bank swasta, FOCUS dirampungkan menggunakan platform dari open source OpenEdx. Menurut rilis resmi Fisipol, FOCUS menyediakan kuliah/course dengan tema ilmu sosial dan ilmu politik. Website ini dirancang untuk mengatasi keterbatasan akses pada pendidikan tinggi oleh masyarakat. Kuliah yang dapat diakses di FOCUS mewakili bidangbidang ilmu enam jurusan di fakultas ini. Pengakses, di manapun berada akan dapat ‘mengikuti kuliah’ yang diinginkan dengan menonton video rekaman ceramah dosen
FISIPOL UGM mengenai topik-topik tertentu. Telah ada 12 course yang bisa diakses dengan tema-tema kuliah yang dianggap cukup populer, yakni: Ekonomi Kerakyatan, Manajemen Bencana dan Perubahan Iklim, Pengantar Ilmu Politik, Tata Kelola Perkotaan, Politik Perdagangan Internasional, Hukum Media, Masyarakat Jejaring, Perilaku Organisasi, Analisa Politik Indonesia, Hak Asasi Manusia dan Kewarganegaraan, Korupsi Politik Sebagai Isu Global, dan Tata Kelola CSR Semua kuliah tersebut dapat diakses dengan mengunjungi laman focus.fisipol.ugm.ac.id. Semoga langkah positif untuk berbagi ilmu secara gratis ke masyarakat ini bisa berkelanjutan dan semakin banyak kelas-kelas yang diberikan melalui FOCUS. Sehingga siapapun tertarik sedikit belajar mengenai sosial dan politik Indonesia dari para akademisi FISIPOL UGM, kini tak harus datang ke kampus. (eng)
Follow Official Account LINE LPPM Sintesa
@syd4262l
Indikator DESEMBER 2015
11
Jajak Pendapat
Saya Sibuk Berorganisasi, Kak! Oleh: Tim Litbang Sintesa
J
ika kita berjalan-jalan melihat majalah dinding (mading) di setiap sudut Kampus Fisipol, maka kita akan menemukan berbagai macam poster undangan diskusi formal di luar perkuliahan. Mulai dari diskusi yang diadakan oleh pihak fakultas hingga organisasi-organisasi mahasiswa. Isu-isu yang diangkat dalam diskusi pun cukup beragam, mulai dari isu sosial hingga isu lain yang tak kalah penting. Bahkan, tak jarang diskusi formal mengundang tokoh-tokoh berskala nasional maupun internasional. Dalam kultur Mahasiswa Fisipol, diskusi dianggap sebagai wahana untuk mengartikulasikan kegelisahan dan pemikiran mahasiswa. Atau, diskusi dijadikan ajang untuk mengasah sensitivitas dan awareness mahasiswa. Namun, acap kali kegiatan diskusi formal sepi akan peminat. Mahasiswa yang hadir dalam diskusi hanya itu-itu saja. Apakah ini mengindikasikan Mahasiswa Fisipol telah kehilangan sisi sensitifnya? Atau memang mahasiswa Fisipol telah menemukan kegiatan lain untuk mengekspresikan awareness-nya? Atau ada faktor tertentu yang menyebabkan mahasiswa enggan melangkahkan kaki ke diskusi formal? Kami mengadakan jajak pendapat kepada 72 Mahasiswa Fisipol dari semua jurusan tentang diskusi formal. Jajak pendapat kami lakukan dengan cara menyebar angket berisi lima pertanyaan pilihan berganda. Jajak pendapat ini bertujuan untuk mengetahui tingkat partisipasi Mahasiswa Fisipol dalam kegiatan diskusi formal. Berikut adalah hasil interpretasi jajak pendapat yang telah kami lakukan.
Darimana Anda mendapatkan informasi mengenai diskusi-diskusi formal di Fisipol? 78% Mahasiswa Fisipol mendapatkan informasi mengenai diskusi formal melalui
12
Indikator DESEMBER 2015
media sosial (Whatsapp, Line, Facebook). 19% melalui media cetak (poster, leaflet, banner) dan sisanya melalui teman. Jika melihat persentase tersebut dapat kita simpulkan bahwa telah terjadi pergeseran model penyebaran informasi. Seiring dengan pesatnya modernisasi, cara-cara konvensional mulai ditinggalkan dan beralih ke cara-cara modern (digital). Hal ini dapat dimengerti karena cara-cara digital terbukti
Tak Sempat lah Datang Diskusi Penulis: Agga Arista Barasani
Dalam pertanyaan ini, kami mengklasifikasikan jawaban menjadi tiga poin, tidak pernah, jarang (1-4 kali), sering (5-7 kali). Hasilnya, 74% Mahasiswa Fisipol mengatakan jarang mendapatkan informasi mengenai diskusi formal di Fisipol, 18% sering, dan sisanya tidak pernah. Jawaban ini mengindikasikan setidaknya 2 hal utama. Indikasi pertama, diskusi formal jarang diadakan di Fisipol. Diskusi-diskusi formal yang diadakan lebih sering bersifat insidental. Artinya, diskusi formal diadakan untuk memperingati momen-momen tertentu saja, tidak dilakukan secara rutin. Indikasi kedua, penyebaran informasi diskusi tidak efektif. Meskipun saat ini media sosial menjadi formulasi lain yang lebih masif dan cepat, namun belum tentu efektif dalam memberikan informasi. Banyaknya informasi yang tersebar melalui media sosial membuat ‘persaingan’ antar informasi. Informasi yang hadir diawal cepat sekali tertindih oleh informasi yang hadir belakangan.
Menurut Anda, apa tema yang menarik untuk dijadikan diskusi formal di Fisipol?
mampu mendiseminasikan informasi secara masif dalam waktu yang sangat cepat. Sementara, cara konvensional (seperti menempel poster) membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan belum tentu efektif.
Berapa kali Anda mendapatkan informasi mengenai diskusi formal di Fisipol dalam satu minggu?
Kami memberikan empat opsi yang kami rasa representatif untuk klaster Sosio-humaniora, yaitu: politik, ekonomi, sosial-budaya, dan hukum-hankam (pertahanan dan keamanan). 56% Mahasiswa Fisipol memilih tema sosial-budaya sebagai tema yang menarik untuk dijadikan tema diskusi formal. Urutan kedua ditempati oleh tema politik sebesar 30%. Jawaban ini sudah dapat kami prediksi sebelumnya mengingat responden kami adalah Mahasiswa Fisipol. Yang menarik, tema ekonomi menempati posisi terakhir dengan hanya memiliki persentase sebesar 3%.
Apa hambatan yang Anda alami ketika ingin mengikuti sebuah diskusi formal di Fisipol? Pada pertanyaan ini, opsi yang diberikan hampir seimbang hasilnya. Paling tinggi adalah jawaban tugas kuliah menumpuk dengan persentase sebesar 32%. Disusul dengan
Indikator DESEMBER 2015
13
jawaban jadwal diskusi tabrakan dengan agenda organisasi sebesar 28%. Berikutnya adalah jawaban jadwal kuliah padat dengan persentase 22% dan sisanya adalah jawaban lupa jadwal diskusi formal.
Berapa kali Anda mengikuti diskusi formal di Fisipol dalam satu bulan Pertanyaan terakhir ini memiliki hasil yang cukup mencengangkan. 51% Mahasiswa Fisipol belum pernah mengikuti diskusi formal di Fisipol. Sementara, mahasiswa yang partisipasinya dalam diskusi formal berada di intensitas sering hanya sebesar 4%. Dari kelima pertanyaan yang telah kami ajukan, kami menyimpulkan bahwa tingkat partisipasi Mahasiswa Fisipol dalam diskusi
formal tergolong rendah. Rendahnya partisipasi ini terlihat dari persentase jawaban yang telah diberikan pada angket yang kami sebar. Faktor yang memengaruhi rendahnya partisipasi ini dapat kami bagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Rendahnya minat dan motivasi mahasiswa dalam kegiatan diskusi menjadi faktor internal yang memengaruhi partisipasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya fakta bahwa lebih dari 50% Mahasiswa Fisipol mengatakan belum pernah mengikuti diskusi formal. Sementara, faktor eksternal meliputi: jarangnya kegiatan diskusi formal diadakan di Fisipol, ketidak-efektifan penyebaran informasi diskusi formal, jadwal diskusi formal yang bersamaan dengan jadwal kegiatan lain.()
Partisan: Cerita tentang Tribalisme Gregori dan Kosmopolitanisme Alexander Oleh: Andriyan Yuniantoko
Partisan | 2015 | Durasi: 98 menit | Sutradara: Ariel Kleiman | Negara: Australia | Pemeran: Vincent Cassel, Jeremy Chabriel, Florence Mezzara
P
artisan adalah film yang penuh tanda tanya. Diawali dengan adegan Gregori (Vincent Cassell) yang masuk ke rumah sakit. Ia menemui seorang perempuan bernama Susanna (Florence Mezzara) yang baru saja melahirkan bayi. Bayi itu kemudian dinamai Alexander. Oleh Gregori keduanya dibawa ke suatu tempat antah berantah. Di tempat inilah mereka hidup. Cerita dimulai lagi sebelas tahun kemudian. Alexander (Jeremy Chabriel) tepat berusia sebelas tahun. Tempat itu semakin semarak dengan banyak perempuan dan anak-anak. Tak terjelaskan bagaimana para wanita dan anak-anak tersebut berakhir di tempat itu dengan Gregori sebagai pria dewasa pemimpin mereka. Orang-orang di film ini membentuk sebuah komunitas.
14
Indikator DESEMBER 2015
Sebuah entitas yang asketis. Komunitas yang merupakan sarana katarsis untuk menyucikan diri dari modernitas dan konstruksi masyarakat pada umumnya. Di komunitas ini mereka berkegiatan. Mereka melakukan kegiatan layaknya hidup pada zaman purba yang subsisten. Mereka menanam tumbuhan untuk dikonsumsi, meramu dan mengumpulkan makanan, menjalankan pendidikan dengan caranya sendiri untuk anakanak, bermain di dalam komunitas itu, dan berpesta sebagai laku berkebudayaan. Khusus untuk pendidikan anak-anak, tenaga pengajar berasal dari komunitas. Anak-anak tak hanya diajari menghitung, membaca, dan menulis. Tetapi mereka juga diajarkan mengupas dan memperbaiki peralatan elektronik dan permesinan.
Alexander cokelat. Ada suatu nilai baru yang didapat Alexander dari kejadian itu. Alexander memiliki weltanschauung baru bahwa dunia luar tak seburuk yang dikatakan Gregori. Maka muncullah kosmopolitanisme dalam diri Alexander. Suatu pandangan yang membuatnya berkonflik dengan the founding father of the community yakni Gregori.
anaknya menjadi seorang pembunuh. Anak paling tua, Alexander, adalah pionir di antara lainnya yang begitu diandalkan oleh Gregori. Alexander beberapa kali menjalankan misi untuk menyerang seseorang. Pertama Alexander diminta oleh Gregori membunuh seorang yang tinggal di apartemen. Rencana itu gagal sebab yang bersangkutan tiada di sana, kamarnya terkunci. Maka di lain hari ia diminta oleh Gregori tuk menuju sebuah bengkel. Di sanalah ada orang mati oleh tangan Alexander. Cerita tentang assasinasi berlanjut. Target selanjutnya adalah sebuah toko. Bertepatan dengan tugas itu, Susanna sedang mengolah daging cincang. Daging cincang menjelma jadi bakso, mengalir ke ceruk-ceruk perut mereka yang lapar. Daging cincang itu sempat jatuh ke lantai. Alexander melihat ibunya menangis. Ia lantas mengambil uang pergi ke toko yang memang menjadi sasaran pembunuhan. Alexander membeli daging. Ia membayar sesuai harga kepada pemilik sekaligus penjaganya. Si pemilik kemudian berkata, “Ini untukmu yang sudah baik kepada ibumu,” sambil memberi
Seiring bertambahnya pengalaman, pertentangan pandangan Alexander-Gregori semakin melebar, hingga pada akhirnya Alexander ingin meninggalkan komunitas tersebut. Pertarungan ideologi barangkali tiada bagi yang mempercayainya. Sebab yang ada hanya pertarungan kepentingan yang diselimuti ideologi. Tapi bagaimana jika seorang bocah sebelas tahun ingin membunuh Ayahnya sendiri sebab berbeda cara pandang? Apakah bocah umur sebelas tahun sudah mafhum dengan langkah politis cum sedikit pragmatis sebab sudah men-tuhankan uang? Secara keseluruhan film bercerita tentang tribalisme Gregori dan aksi perlawanan Alexander yang telah mencicip ‘proses globalisasi’. Penonton diajak berpikir bahwa tak semua yang dikatakan pendiri komunitas sekaligus pemimpin itu pasti benar. Doktrinasi tribalisme ditolak oleh Alexander yang memilih jalan menjadi kosmopolitan. Film ini begitu sulit ditelaah, cukup sublim untuk pemaknaan, dan berjalan lambat. Namun barangkali kawan tertarik menonton film ini. Sebab di Festival Sundance 2015, film ini memenangkan kategori sinematografi terelok dan masuk nominasi kategori Grand Jury Prize.()
Indikator DESEMBER 2015
Jajak Pendapat
Di samping cerita indah dan menyenangkan karena mereka ada di dalam komunitas tanpa menyebut-nyebut Negara, ada cerita unik yang merupakan konflik dari jalan cerita film. Gregori mengajari anak-anaknya cara memegang pistol dan menggunakannya untuk menodong sekaligus menembak seseorang di luar komunitasnya. Sederhananya Gregori mengajari anak-
15
Opini
Mempertanyakan Watak Eksklusivis Oleh: Fahmi Rijalul F.
S
ebelum dimulai, mari kita bermain perumpamaan... Jika anda adalah mahasiswa yang kaya prestasi, selalu mengikuti rangkaian lomba, ber-IPK tinggi. Selalu ikut event dan seminar sana-sini, dan sudah punya target untuk lulus secepatnya. Pasti anda pernah berpikir seperti ini; Kenapa sih mahasiswa itu pada suka demo? Memang ada manfaatnya? Memang dengan demo akan membawa perubahan? Yang ada malah bikin macet, lalu perekonomian terganggu. Mahasiswa seperti itu pasti IPK-nya cetek dan lulusnya lama. Jika anda adalah aktivis mahasiswa yang gemar melakukan aksi serta advokasi. Senantiasa membaptiskan diri guna membela rakyat kecil. Anda mungkin akan berpikir seperti ini; Mengapa mahasiswa zaman ini terlalu apatis terhadap politik? Lupakah mereka bahwa klas pemuda mahasiswa adalah klas yang mampu membawa perubahan masif? Lupakah mereka bahwa mahasiswa adalah soko guru pembebasan, agent of change, ironstock? Apakah mereka sudah terlalu lena dalam hegemoni sistem dan budaya-budaya hedonis? Lain lagi jika anda adalah mahasiswa mendamba-dambakan budaya intelektualitas yang tinggi. Gemar pada kajian-kajian filsafat mulai yang klasik hingga posmo, tak absen
16
Indikator DESEMBER 2015
menghadiri dan mengadakan diskusi. Bahkan untuk sekedar ke kantin pun, selalu ada buku di tangan kiri. Anda akan berpikir begini; Ada apa dengan intelektualitas mahasiswa yang banal? Jika diajak berdiskusi serius, bawaannya tidak suka. Jika ada yang buat kelompok diskusi kecil, dianggap sok intelektual. Jika membawa buku ke mana-mana, dianggap pencitraan. Jika diajak berdebat, perkataannya selalu kosong tanpa dasar teori dan argumen yang jelas. Tentu saja sulit membuat perumpamaan jika anda adalah golongan mahasiswa kuliahpulang. Namun, perumpamaan di atas adalah abstraksi, bagaimana mahasiswa secara tidak sadar terkotak-kotak menjadi golongan tertentu. Diferensiasi ini tentu tak terlepas dari watak dan minat, namun benarkah hanya sampai di sana? Sebelum beranjak lebih jauh, alangkah baiknya jika kita memahami bahwa kita, manusia, memiliki kecenderungan untuk mengeksklusifkan sesuatu. Terma ‘mengeksklusifkan sesuatu’ yang saya maksud adalah kecenderungan manusia untuk mengistimewakan suatu bidang, hal, atau ihwal yang mereka sukai, tekuni, pelajari, atau ahli di dalamnya. Hipotesa tersebut mungkin susah anda mengerti tanpa permisalan. Pun hipotesa tersebut saya kemukakan berdasarkan pengamatan pribadi. Dan mungkin, sudah ada beberapa ahli psikologi ataupun filsafat yang telah mengemukakan teori sejenis, namun saya
terlalu bodoh untuk mengetahuinya. Contoh pertama adalah golongan yang saya sebut sebagai ‘fundamentalis kopi’. Mereka mengeksklusifkan kopi dan melahirkan propaganda-propaganda berupa; kopi tidak boleh disajikan dengan gula, atau kopi harus diseduh dengan sekian derajat celcius dalam kurun waktu sekian menit. Mereka menjadikan kopi sebagai sesuatu yang istimewa dan tidak boleh dinikmati dengan sembarang cara. Contoh kedua ada kalangan ‘fundamentalis linting’. Mereka beranggapan bahwa lintingan dan rokok adalah dua hal yang berbeda. Mengistimewakan linting dari sekedar rokok biasa, dan senantiasa berkelakar bahwa linting adalah warisan budaya. Salah satu figur sosok ini bisa anda temukan di depan sekretariat Keluarga Mahasiswa Sosiologi, Fisipol, di waktu senggang kuliah. Anda akan banyak belajar filosofi linting darinya. Di dunia jurnalistik, mereka yang berdisiplin ilmu jurnalisme akan menentang konsep citizen journalism. Sipil yang belum pernah belajar atau awam terhadap jurnalisme, seharusnya tidak bisa menciptakan produk-produk jurnalistik. Di ranah seni, ada seniman yang beranggapan bahwa seni tidak bisa diciptakan oleh ‘orangorang biasa’. Menjadi seniman dulu baru bisa menciptakan seni, bukan sebaliknya. Semuanya sama, berusaha mengeksklusifkan sesuatu. Sifat manusia untuk mengeksklusifkan sesuatu ini sejenak terlihat alamiah, layaknya rasa lapar. Terlihat tidak berbahaya selama tidak masuk ke dalam tahap yang menyebalkan. Namun kepalang namun, watak eksklusif mahasiswa bukannya tanpa bahaya. Apalagi jika tidak ada kesadaran bahwasanya watak ini mungkin saja sengaja diciptakan sistem. Secara historis, kita dapat menemukan berbagai fenomena dimana watak eksklusif bisa sangat berbahaya di tataran ruang publik yang lebih besar. Eksklusivisme,dalam konsep lain, juga merupakan satu dari tiga tipologi beragama.
Fenomena eksklusivisme dalam agama, dicontohkan dengan apa yang dilakukan gereja Katholik di zaman dulu. Zaman di mana Galileo dikucilkan karena beranggapan bumi itu bundar, atau zaman di mana Karl Marx mengeluarkan postulat agama adalah candu bagi masyarakat. Jika ingin contoh yang lebih kekinian tentang eksklusivisme sebagai tipologi beragama, kita dapat melihat Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Watak eksklusif dari mahasiswa ini, menjadikan mahasiswa terpisah-pisah dalam sebuah ruang publik bernama kampus. Padahal, kampus sebagai ruang publik seharusnya menjadi ruang demokratis dan wahana diskursus. Kampus harusnya dapat menjadi sarana, dimana mahasiswa menyatakan opini-opini, kepentingankepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik yang ideal menurut Habermas ini, tak seharusnya tersekat oleh perasaan bahwa kelompoknya lebih baik dari kelompok lain. Merasa eksklusif. Mengapa mahasiswa hari ini tidak gemar lagi berdiskusi? Mengapa mahasiswa apolitis dan tidak mau aksi? Mungkin karena mereka yang gemar berdiskusi dan gemar aksi, terlihat terlalu eksklusif di mata mahasiswa lainnya. Terlihat eksklusif artinya kurang populis. Banyak belajarlah dari Pimpinan Dewan Mahasiswa Fisipol Bidang Kesekretariatan...()
Indikator DESEMBER 2015
17
Pantai Bugel, Sepotong ‘Tanah Besi’ di Pesisir Kulon Progo
Foto: Ega H.
D
ari sekian jumlah pantai di selatan Yogyakarta, pesisir satu ini bukan surga tersembunyi yang minta diamini lewat postingan sosmed. Namanya Pantai Bugel. Meski terpencil dan tidak populer, cukup mudah mencari lokasi pantai ini. Dari Jogja lewatlah Jalan Bantul, kemudian lanjut ke rute arah Srandakan. Sesampai di wilayah Kulonprogo akan dijumpai percabangan ke arah Pantai Trisik hingga Pantai Glagah, ikutilah rute tersebut. Jalan alternatif Yogya-Purworejo ini dinamakan Jalan Daendels. Perjalanan anda akan ditemani suasana agraris Kabupaten Kulonprogo. Sawah luas, kebun kelapa, saluran irigasi yang lebar berkelok seperti sungai kecil, dan pemandangan deretan Pegunungan Menoreh di sisi barat-utara. Memasuki wilayah Kecamatan Wates, akan dijumpai penunjuk arah berwarna hijau menuju Pantai Bugel. Jangan harap menemukan gerbang penanda selamat datang atau semacamnya. Tempat pemungutan retribusi pun belum ada. Melewati perkampungan yang juga lengang, bila cukup jeli anda malah ‘disambut’ dengan coretan-coretan protes dari para petani yang menolak kehadiran perusahaan penambang pasir besi. Semakin mendekati pantai, yang ada hanya jalan aspal sempit bergelombang diapit tanah lapang bersemak-semak tinggi.
18
Indikator DESEMBER 2015
Namun setelah itu anda akan menemukan kehidupan agraris masyarakat pesisir. Tanamantanaman sayur, cabai, juga semangka tampak terawat dan tumbuh baik. Sore itu tampak seorang bapak petani menyirami petak kebunnya dengan selang air. Di suatu sudut jalan, pengepul semangka sedang menimbang hasil bumi pesisir itu. Lahan pesisir Kulon Progo, tempat yang terhimpit sengketa karena rencana eksploitasi pasir besi oleh sebuah perusahaan. Anda mungkin pernah mendengar beritanya beberapa waktu yang lalu. Menurut cerita dari salah satu kawan, konon kualitas pasir besi di pesisir Kulon Progo ini nomor satu se-Asia Tenggara. Harta karun bagi perusahaan tambang yang lantas mendirikan pabrik di situ dan secara bertahap berencana mengeruk pasir hitam dari timur Pantai Glagah hingga mendekati sungai Progo. Jika ditilik dari adanya poster besar dan coretancoretan propaganda penolakan tambang, daerah Bugel ini bisa dibilang ‘zona panas’. Namun setelah tahun berlalu, pengunjung mungkin tak merasakan aroma sengketa ini. Dan untungnya eksploitasi biji besi belum lagi dimulai sehingga keindahan alam masih tersaji lengkap dengan pernik-pernik kehidupan sederhana yang mewarnainya. Berkunjung ke pantai ini di sore hari suasana sungguh tenang. Tak ada aktivitas manusia yang menyolok karena pengunjung pun hanya
segelintir. Melihat ombak ganas sambil berjalan-jalan di pasir menjadi satu-satunya kegiatan. Pada telapak kaki telanjang akan terasa kehalusan pasir nan hitam legam dengan serpihan biji-biji besi berkilauan. Di tepi hamparan pantai yang curam, deretan pohon cemara udang menjadi peneduh. Tanaman ini selain berfungsi sebagai wind barrier untuk melindungi lahan pesisir, dahan-dahannya turut dimanfaatkan para nelayan untuk menggantung pukat atau jaring penangkap ikan. Malah keteduhannya juga turut menaungi sederet perahu-perahu cadik dari fiber bercat biru muda yang sedang diistirahatkan pemiliknya.
Dengan ketenangan wilayah pesisir, perpaduan budaya agraris dan maritim sekaligus, Pantai Bugel masih patut menjadi destinasi alternatif Kulon Progo. Meski terkesan ala kadarnya, destinasi wisata ini telah cukup digarap dengan adanya fasilitas tempat parkir, toilet, mushola, dan tempat makan olahan laut. Tak ada pungutan retribusi. Jadi pengunjung cukup merogoh kocek sekedar untuk berkontribusi pada masyarakat sekitar yang menyediakan jasa parkir. (Odilia Enggar R.)
Selamat Atas Kelulusan Brita Putri Utami
Pemimpin Redaksi 2012
Awanis Akalili
Sekretaris Umum 2013
Septiyana Nur
Staff Redaksi 2013
Inas Sita Artistik 2013 Triyanto Prabowo
Pemimpin Redaksi 2013
Indikator DESEMBER 2015
19
Cerpen
Kejaran Oleh: Fahmi Rijalul F.
Dulu aku pernah bertanya Sejauh apa bintang? Ibu menjawab Sejauh kebaikan dan pamrih Namanya Arif. Bukan teman dekat, jujur saja, hanya teman sekelas waktu sekolah dasar. Namun ada satu momen yang menjadikan sosok Arif melekat. Tapi sebelum itu, mari kita sedikit bernostalgia tentang masa kecilku. Sewaktu kecil, aku adalah anak yang baik. Demi Tuhan aku adalah anak yang baik. Paradigma tentang menjadi anak baik sudah dihujam Ibu di hatiku dalam-dalam. Ibu pernah bercerita, aku dilahirkan dengan keadaan kakak budak yang komeh, bagus dan tidak berserak-serak. Kata Nenek, itu adalah tandatanda bahwa aku akan menjadi anak yang baik nan sholeh di masa depan. Maka aku tumbuh menjadi sesosok anak yang diidam-idamkan Ibu-Ibu tetangga. Baik, penurut, pintar, dan rajin adanya. Sudah sholat dan puasa sejak taman kanak-kanak, bahkan hafal puluhan ayat pendek sejak kelas tiga. Tak jarang mereka berkata kepada anakanak mereka untuk mencontohku, dan aku menjadi semacam role-model akan generasi muda yang kelak berguna bagi nusa dan bangsa. Hal ini berlanjut ke sekolah dasar. Menjadi siswa kesayangan guru bukan hal yang susah dilakukan. Apalagi aku selalu juara kelas, tidak pernah berkelahi, dan selalu
20
Indikator DESEMBER 2015
bersikap baik kepada semua teman. Aku berhasil melakukan yang dipatrikan Ibu dalam hatiku. Kata ibu, jika aku menjadi orang yang baik, maka hidupku pun akan baik-baik saja. Ibuku tidak pernah salah—yang namanya Ibu selalu benar—namun sayang kebenaran itu pun relatif. Kebenaran selalu menghasilkan kesalahankesalahan kecil lainnya. Maka Ibuku benar di banyak sisi, namun salah di sisi-sisi lainnya. Seseorang yang pertama kali membuatku berpikir seperti itu adalah Arif. Suatu hari saat istirahat sekolah dasar, aku dan beberapa teman bermain di lapangan. Pekanbaru berdebu seperti kemarau biasanya. Muka-muka dan hati-hati kami sumringah seperti biasanya. Baju celana sekolah kami luntur, pudar, sedikit sobek sana-sini seperti biasanya pula. Hari itu kami memutuskan untuk bermain kejaran. Oh, kalian yang membaca tulisan ini mungkin tak pernah main kejaran. Kejaran adalah permainan sederhana dimana satu orang akan mengejar segerombolan lainnya. Apabila berhasil menyentuh salah satu temannya, yang tersentuh harus gantian menjadi pihak yang mengejar. Begitu seterusnya. Karena permainan ini baru dimulai, maka yang menjadi pengejar ditentukan dengan sistematika banyak-banyak-sedikit, sejenis hompimpa—kalau kalian, manusia-manusia digital, yang membaca tulisan ini tidak mengenal hompimpa, lebih baik kalian mati saja. Saat itulah Arif kalah. Ia pun menjadi pengejar. Permainan dimulai. Maka, satu... dua... tiga... dan Arif langsung mengejarku. Benar-benar mengejarku. Setengah mati mengejarku.
Sepuluh menit, dua puluh menit, kami meliuk-liuk di lapangan namun dia masih belum menyerah mengejarku. Ditengah langkah kaki kami yang sudah berontak karena napas sesak, aku sempat berpikir, kenapa si Arif brengsek ini terus mengejarku? Kami meliuk-liuk di lapangan dan melewati beberapa teman-teman yang lain, tapi mengapa matanya hanya mengarah kepadaku. Apa dosaku padanya? Lalu kutemukan jawabannya sederhana; karena aku anak yang baik. Dia bisa saja mengejar yang lain, tapi mereka anak nakal. Arif takut, anak-anak nakal itu akan mendendam padanya. Sedangkan aku, anak yang paling baik disini, tidak akan menyimpan dendam padanya. Aku terus berlari, karena nyatanya aku lebih atletis darinya. Namun persetan, dia terus mengejarku. Sepuluh menit, dua puluh menit, dia terus terus terus mengejarku. Aku berlari sampai mau menangis rasanya. Hingga akhirnya aku menyerah, setelah menyadari bahwa sampai ke jahanam sekalipun, Arif akan tetap mengejarku. Saat berhasil menangkapku, Arif, yang karena kecadelannya tak bisa menyebut namanya sendiri itu, meminta maaf melalui raut mukanya. Seakan-akan ia berkata seperti ini; ‘Maaf Boy, tak punya pilihan lain aku. Kau tak dendam kan? Kau masih mau meminjamkan aku PR kan? Masih bersedia kasih contekan buat ujian kan?’ Di siang hari yang sumuk itu, Arif memberikanku penyesalan karena menjadi anak baik untuk pertama kalinya. *** Pada akhirnya, aku benar-benar tidak bisa mendendam kepada Arif saat itu. Beberapa tahun berselang, kami sesekali bertemu saat reuni. Dan kejadian di lapangan sekolah di siang hari yang sumuk itu, tidak pernah kami bahas lagi sama sekali. Mungkin dia lupa, padahal seumur hidup aku akan ingat. Arif menjelma manifesto, menjadi semacam pengingat akan orang-orang yang kerap memanfaatkan kebaikan orang lain. Atau menjadi manifesto akan orang-orang yang tidak tahu rasa terima kasih padahal sudah diperlakukan dengan baik. Setiap bertemu dengan orang yang seperti itu, aku jadi ingat Arif, dan tangisanku saat dikejar mati olehnya.
Kau bisa saja menjadi pemimpin. Namun, akan ada mereka yang tidak suka engkau memimpin, persetan dengan niat baikmu, hingga birokrat busuk pun lekat dengan panggilanmu. Kau bisa saja menjadi seorang aktivis kampus. Namun, akan ada mereka yang gagal paham niat baik perjuanganmu, memberikan beragam tuduhan, stigma negatif, dan memelintirkan embel-embelmu menjadi mafia kampus Kau bisa saja menjadi kritikus, berniat baik memberikan perhatian melalui kritik. Namun, akan ada mereka yang berusaha menjaga nama baiknya, agar terlihat tanpa cela, dengan menjadikanmu layaknya seorang penghujat. Kau bisa saja menjadi seorang akademisi, gemar berdiskusi dan selalu menenteng buku, berniat baik untuk berbagi ilmu. Namun, akan ada orang-orang bodoh tidak menerima kebaikan, berusaha menjadikanmu seorang pembual nan gemar memamerkan intelektualitas, agar kebodohan mereka tidak semakin terlihat jelas. Orang-orang seperti mereka akan selalu ada, yang memuntahkan semua kebaikanmu sebagai seorang manusia. Suatu hari aku bertemu Arif lagi saat reuni. Dia sedang menjual kembang api di malam tahun baru. Tentu saja aku sama sekali tidak membencinya hanya karena permainan kejarkejaran. Namun tetap saja, Arif telah lama menjadi anti-tesis petuah-petuah Ibuku untuk menjadi anak yang baik. Aku lebih mengenal jahatnya dunia karenanya. Lalu kami bersama menikmati pergantian tahun dalam deru kota. Ah, kebaikan seseorang bagi orang lain terkadang tak seperti bulan atau pun bintang. Hanya seperti kembang api; dipercikkan, bisa besar atau kecil, lalu hilang begitu saja dalam malam.() ***
Indikator DESEMBER 2015
21
22
Indikator DESEMBER 2015