PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN EMAS PT. FREEPORT INDONESIA
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh NEVO AMABA NIM: 1111048000021
KONSENTRASI HUKUM BISNIS PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/ 2015 M
i
ii
iii
iv
ABSTRAK
Nevo Amaba, NIM 1111048000021, “PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN EMAS PT FREEPORT INDONESIA”, Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 1436 H/ 2015 M. ix + 73 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia dan upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena tidak mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012. Latar belakang skripsi ini adalah masih banyaknya perusahaan asing pemegang kontrak karya yang tidak mau melakukan renegosiasi kontrak yang salah satu poin tersebut adalah penyesuaian royalti. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen yang terkait dengan penelitian. Metode yang digunakan penulis adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam pembagian royalti antara PT. Freeport Indonesia dengan Pemerintah Indonesia dapat dikatakan tidak terdapat asas proporsionalitas dari awal pembuatan kontrak hingga penerapan isi kontrak. Belum ada sanksi terkait PT. Freeport Indonesia belum menyesuaikan royalti emas dari 1% menjadi 3,75%. Tetapi pada akhirnya PT. Freeport sudah menandatangani nota kesepahaman renegosiasi yang terdiri dari 6 poin yang salah satunya mengenai penyesuaian royalti.
Kata kunci
: Asas Proporsionalitas, Royalti, Undang-Undang Mineral dan Batu Bara
Dosen Pembimbing
: Dr. H. Nahrowi, S.H. M.H. Hotnidah Nasution, M.A.
Daftar Pustaka
: Tahun 1967 s.d Tahun 2015
iv
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahhim .... Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat, dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN EMAS PT. FREEPORT INDONESIA”. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan serta arahan dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang ta terhingga kepada: 1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH. selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin,. SH,. M. Hum selaku sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Dr. H. Nahrowi SH., MH. dan Hotnidah Nasution MA. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia menjadi pembimbing dalam penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, perhatian, dan ketelitian memberikan arahan dan masukan kepada penulis serta meluangkan waktunya demi memberikan bimbingan kepada penulis hingga skripsi ini selesai 4. Kepada Ibu Subur, Pak Priyo, Pak Made, Pak Hersonyo, Pak Syarifudin, ibu Nena dan staf-staf di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara yang telah bersedia mengarahkan penulis dan menyempatkan melakukan wawancara dengan penulis. v
vi
5. Segenap staf Perpustakaan Utama dan segenap staf Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas guna melakukan studi kepustakaan. 6. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang sudah diberikan dapat bermanfaat bagi penulis dan semoga Allah SWT senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini sebagai amal di akhirat kelak. 7. Kedua orang tua tercinta yaitu bapak Sutardi dan Ibu Rutinah, terima kasih atas segala kasih sayang serta selalu memberikan motivasi, nasihat, semangat serta kasih sayangnya kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 8. Kepada Awwaliyah Nasyiah yang telah memberikan semangat, nasihat, dan motivasi serta kasih sayangnya. 9. Kepada Syarif Chidayatulloh sahabat penulis sedari smp, yang telah menjadi teman untuk bertukar pikiran dalam penulisan skripsi. 10. Sahabat-sahabat penulis di grup ‘KUE LAPIS’ yaitu Idham, Ilyas, Ihsan, Ririn, Musyrifah, Suci terima kasih atas semangat perjuangan selama kuliah dan penulisan skripsi. 11. Sahabat-sahabat grup ‘BR’ yaitu Dadan, Alif, Andrio, Rudi, Syawal, Rifki, Febyo, Barra, Ian teman-teman seperjuangan dalam skripsi. 12. Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, baik konsentrasi Hukum Bisnis dan Kelembagaan Negara.
Wassalamualaikum Wr. Wb vi
vii
Jakarta, 10 Juli 2015
Nevo Amaba
vii
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... ii LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii ABSTRAK ...................................................................................................... iv KATA PENGANTAR .................................................................................... v DAFTAR ISI................................................................................................... viii BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F.
Latar Belakang Masalah................................................................ 1 Batasan dan Rumusan Masalah..................................................... 6 Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 7 Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................................ 9 Metodologi Penelitian ................................................................. .. 10 Sistematika Penulisan ................................................................... 15
BAB II Kerangka Teoritis A. Perjanjian di Indonesia 1. Pengertian Perjanjian ........................................................ 2. Syarat Sahnya Perjanjian .................................................. 3. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian ................................ 4. Bentuk-Bentuk Perjanjian ................................................. 5. Pembatalan Perjanjian ....................................................... 6. Penggantian Kerugian ....................................................... B. Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak 1. Pengertian Asas Proporsionalitas ...................................... 2. Kriteria Asas Proporsionalitas .......................................... 3. Makna Asas Proporsionalitas ............................................ 4. Fungsi Asas Proporsionalitas ............................................
18 21 24 25 26 29 30 31 33 34
BAB III Ketentuan Royalti Mineral dan Teori Dalam Hukum Pertambangan A. Ketentuan Royalti Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara ................................................................................ 36 B. Ketentuan Royalti Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ........................... 39 C. Kontrak Karya ............................................................................... 40 D. Production Sharing Contract ........................................................ 46 E. Royalti Dalam Kontrak Karya Pertambangan .............................. 47 BAB IV Analisis Yuridis Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Pembagian Royalti Pertambangan Emas PT. Freeport Indonesia viii
ix
A. Penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia ....................................................................................... 50 B. Upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena belum mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 ................................................. 64 BAB V Penutup A. Kesimpulan ................................................................................... 70 B. Saran.............................................................................................. 70 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 73 LAMPIRAN
ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Di masa ekonomi global saat ini, keterbukaan ekonomi suatu negara adalah keharusan. Keterbukaan ekonomi negara terhadap arus investasi asing ke suatu negara bukan hanya merupakan kebutuhan suatu negara untuk ikut berpartisipasi dalam ekonomi global, tapi juga menjadi keharusan suatu negara dalam rangka memenuhi kelangkaan sumbersumber ekonomi di negaranya agar dapat segera terpenuhi dengan adanya peran dari sumber daya asing. Investasi di suatu negara akan dapat berlangsung dengan baik dan bermanfaat bagi negara dan rakyatnya, manakala negara mampu menetapkan kebijakan investasi sesuai dengan amanah konstitusinya.1 Secara konsep investasi merupakan kegiatan mengalokasikan atau menanamkan sumber daya saat ini (sekarang, present) dengan harapan mendapatkan manfaat atau keuntungan di kemudian hari (future). Investasi adalah padanan kata dari penanaman modal yang merupakan terjemahan dari istilah investment.2 Investasi diartikan sebagai kegiatan pemanfaatan dana yang dimiliki dengan menanamkannya ke usaha atau proyek yang produktif baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan harapan selain mendapatkan
1 Tim Kompendium, Kompendium Bidang Hukum Investasi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011), h. 1. 2 John M. Echols & Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 330.
1
2
pengembalian modal di kemudian hari, tentunya pemilik modal juga akan mendapatkan sejumlah keuntungan dari penanaman modal dimaksud. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal memberikan pengertian Penanaman Modal sebagai berikut : “Segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia.”3 Dengan demikian pengertian penanaman modal, khususnya dalam hal penanaman modal asing, di Indonesia hanya mencakup penanaman modal yang dilaksanakan secara langsung (direct investment) dan bukan penanaman secara tidak langsung (portofolio investment) dimana pemilik modal hanya memiliki sejumlah saham dalam suatu perusahaan tanpa ikut serta atau mempunyai kekuasaan langsung dalam pengelolaan manajemen perusahaan tersebut.4 Menarik investasi asing tentunya harus dibarengi dengan pra kondisi iklim investasi yang pro terhadap investor sehingga merasa nyaman dan
yakin
bahwa investasi
yang mereka tanam akan
menguntungkan. Iklim investasi yang baik akan memberikan kepastian dan insentif kepada dunia usaha untuk melakukan investasi yang produktif, menciptakan lapangan kerja dan memperluas usaha. Negara Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah namun oleh para pembuat kebijakan di bidang investasi dipandang bahwa pelaku usaha 3
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h. 43. 4
3
nasional belum memiliki kapasitas yang cukup dalam mengelola kekayaan alam yang masih berbentuk potensi dan terpendam di bumi Indonesia secara maksimal, oleh karenanya pemerintah memberikan kesempatan kepada perusahaan-perusahaan asing untuk ikut serta mengelola dan berinvestasi di Indonesia. Bagi Indonesia kegiatan investasi langsung, baik yang berbentuk investasi asing (foreign direct investment) maupun investasi langsung dalam negeri (penanaman modal dalam negeri) mempunyai kontribusi secara langsung bagi pembangunan. Investasi langsung terutama investasi asing akan semakin mendorong pertumbuhan ekonomi, alih teknologi, dan pengetahuan, serta menciptakan lapangan kerja baru untuk mengurangi angka pengangguran serta mampu meningkatkan daya beli masyarakat.5 Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alamnya salah satunya di bidang pertambangan. Pertambangan merupakan salah satu wujud dari kekayaan alam yang dikuasai orang banyak dan menyangkut dengan hajat hidup orang banyak, hal tersebut erat kaitannya dengan ketentuan dari pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, adapun ketentuan dari Pasal 33 tersebut, adalah : 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
5
Tim Kompendium, Kompendium Bidang Hukum Investasi, h. 3.
4
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
efisiensi
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.6 Amanat dari ketentuan Pasal 33 tersebut adalah merupakan landasan pembangunan pertambangan dan energi untuk memanfaatkan potensi kekayaan sumber daya alam mineral dan energi yang dimiliki secara
optimal
dalam
mendukung
pembangunan
nasional
yang
berkelanjutan. Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing berisi ketetapan mengenai penanaman modal asing di bidang pertambangan yang harus didasarkan pada sistem kontrak karya (contract of work).7 Dengan kontrak karya ini, posisi investor atau pengusaha tambang hanyalah sebagai kontraktor yang bekerja untuk pemerintah, sedangkan pemerintah dalam perjanjian kontrak berkedudukan sebagai 6 Tim Wahyu Media, Pedoman Resmi UUD 1945 & Perubahannya, (Jakarta: Wahyu Media, 2014), h. 33. 7 Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
5
principal dan pemilik tambang. Karenanya dalam pola kontrak karya pertambangan, pengusaha tambang (kontraktor) tidak dapat menjadikan cadangan bahan galian dalam wilayah kontraknya sebagai agunan untuk meminjam modal pada bank atau lembaga keuangan lainnya. Ada pun hak kepemilikan atas bahan galian yang telah ditambang baru beralih dari pemerintah kepada kontraktor, setelah kontraktor memenuhi segala kewajiban dan membayar royalti atas bahan galian yang bersangkutan di tempat penjualan (point of sale).8 Berdasarkan pasal tersebut secara konsep Indonesia berkedudukan sebagai pemilik tambang dan investor berkedudukan sebagai kontraktor, tetapi seringkali Indonesia mendapatkan royalti yang kecil. Contohnya dalam kasus pembagian royalti antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia, untuk emas royalti yang diberikan hanya 1% dari hasil produksi, sedangkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk emas tarif royaltinya 3,75%. Memang pada awal pembuatan kontrak, royalti yang diberikan 1% untuk emas tetapi dasar hukum untuk menaikkan royalti tersebut yaitu pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yaitu: a) Kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batu bara yang telah ada sebelum berlakunya undang8
Soetaryo Sigit, Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Yayasan Minergi Informasi Indonesia, 2004), Cet. 1, h. 90.
6
undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak atau perjanjian. b) Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan batu bara sebagaimana dimaksud pada huruf (a) disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. c) Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf (b) adalah upaya peningkatan penerimaan negara.9 Berdasarkan pasal 169 poin (b), seharusnya ketentuan royalti yang baru
mulai
berlaku
selambat-lambatnya
satu
tahun
semenjak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut. Berkaitan dengan hal-hal yang telah diuraikan di atas, lalu bagaimana upaya pemerintah mengoptimalkan royalti yang didapat, sehingga muncul judul “PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN EMAS PT. FREEPORT INDONESIA”.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
9
Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
7
Untuk menghindari semakin luas dan melebarnya masalah, maka peneliti membuat batasan ruang lingkup dalam penelitian ini hanya pada penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas pada PT. Freeport Indonesia. 2. Rumusan Masalah Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, untuk emas tarif royaltinya 3,75%, akan tetapi PT. Freeport Indonesia hanya memberikan 1% kepada pemerintah Indonesia, karena itu pertanyaan penelitiannya adalah: a. Bagaimana penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia? b. Bagaimana upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena belum mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian adalah mendalami tentang permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam perumusan
8
masalah. Secara khusus tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : a.
Untuk mengetahui penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia.
b.
Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena belum mematuhi UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam hukum bisnis di bidang Investasi, Perjanjian dan Pertambangan, utamanya mengenai segala aspek yang menyangkut pembagian royalti antara pemerintah Indonesia dengan penanam modal asing. Selain itu adanya tulisan ini dapat menambah
perbendaharaan
koleksi
karya
ilmiah
dengan
memberikan kontribusi juga bagi perkembangan hukum bisnis di Indonesia. b. Manfaat Praktis
9
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi kerangka acuan dan landasan bagi penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan bahan informasi dan masukan baik bagi pemerintah maupun semua pihak yang terkait dalam rangka penyiapan dan penyempurnaan perangkat hukum di bidang investasi, perjanjian dan pertambangan.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini, penulis akan menyertakan beberapa hasil penelitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang akan dibahas, sebagai berikut: Skripsi yang disusun oleh Jesi Karina dari Universitas Indonesia pada tahun 2012 dengan judul Hubungan Asas Pacta Sunt Servanda Dengan Kewajiban Negosiasi Ulang Royalti Pada Kontrak Pertambangan (Studi Kasus: Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia). Penelitian tersebut menjelaskan tentang kewajiban negosiasi ulang kontrak karya PT. Freeport Indonesia dihadapkan dengan asas pacta sunt servanda. Skripsi yang disusun oleh Amelia Djamaoedin dari Universitas Indonesia pada tahun 1991 dengan judul Sistem Penanaman Modal Asing Di Bidang Pertambangan Emas (Studi Kasus Pada PT Eastara Melawi Mineral). Penelitian tersebut menjelaskan tentang sistem penanaman modal asing di bidang pertambangan emas di Indonesia.
10
Buku dari Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, yang berjudul ‘Kompendium Bidang Hukum Investasi’ diterbitkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jakarta, tahun 2011. Pada buku tersebut hanya menjelaskan tentang penanaman modal atau investasi secara umum, dari pengertian, ruang lingkup, batasannya, serta permasalahan dalam kegiatan investasi beserta regulasinya namun tidak menjelaskan seperti apa pembagian royalti dari kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan investor asing. Sebagai pembanding sekaligus pembeda, pada skripsi ini penulis menguraikan perihal bagaimana upaya pemerintah dalam mengoptimalkan pendapatan negara dalam royalti di bidang pertambangan, karena antara undang-undang dengan praktiknya tidak sesuai. Sehingga terdapat perbedaan pembahasan dan masalah yang diangkat penulis dengan penelitian-penelitian yang sudah ada.
E. Metode Penelitian Dalam penulisan skripsi ini dibutuhkan data yang akurat, yang dititikberatkan pada data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer dari penelitian lapangan yang mendukung data sekunder, sehingga permasalahan pokok yang diteliti dapat ditemukan. Agar data yang dimaksud dapat diperoleh dan dibahas, peneliti menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
11
1. Jenis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian maka metode pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan yang bersifat yuridis normatif. Penelitian hukum yuridis normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.10 Sehubungan dengan metode penelitian yang digunakan tersebut penulis melakukan dengan cara meneliti peraturan-peraturan, perundang-undangan, teori-teori hukum dan pendapat-pendapat para sarjana hukum terkemuka yang merupakan data sekunder, kemudian dikaitkan dengan keadaan yang sebenarnya. Pendekatan bersifat yuridis yang mempergunakan data sekunder adalah untuk menganalisa penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti pertambangan emas PT. Freeport Indonesia. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif akan digunakan pendekatan yaitu: a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach) Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan investasi dan pertambangan, diantaranya: UndangUndang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UndangUndang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan 10
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 13-14.
12
dan Tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2. Spesifikasi Penulisan Spesifikasi atau jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu menggambarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktik pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas.11 Data yang diperoleh dari penelitian diupayakan memberikan gambaran atau mengungkapkan berbagai faktor yang berhubungan erat dengan gejala-gejala yang diteliti, kemudian dianalisa mengenai penerapan atau pelaksanaan peraturan perundang-undangan untuk mendapatkan data atau informasi mengenai pelaksanaanya serta hambatan-hambatan yang dihadapi. 3. Sumber Data Dalam mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan difokuskan pada pokok-pokok permasalahan yang ada, sehingga dalam penelitian ini tidak terjadi penyimpangan dan kekaburan dalam pembahasan. Data yag digunakan hanyalah data sekunder, data sekunder merupakan data yang dikumpulkan dalam penelitian kepustakaan.
11
Rony Hanitijo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), h. 35.
13
Penelitian kepustakaan adalah teknik untuk mencari bahan-bahan atau data-data yang bersifat sekunder yaitu data-data yang erat hubungannya dengan bahan primer dan dapat dipakai untuk menganalisa permasalahan. Pada penelitian kepustakaan, sarana yang dipergunakan adalah bahan-bahan pustaka yang terdiri dari tiga macam bahan hukum, yaitu sebagai berikut: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang sifatnya mengikat12, yaitu 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing; 2. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan; 3. Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing; 4. Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara; 5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; 6. Peraturan-peraturan
lainnya
yang
berkaitan
dengan
objek
penelitian.
12
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 52.
14
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu 1. Berbagai hasil penelitian mengenai penanaman modal asing; 2. Berbagai
buku
yang
membahas
investasi,
perjanjian
dan
pertambangan; 3. Berbagai artikel dan makalah di dalam jurnal dan majalah. c. Bahan hukum tersier, bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdiri dari: 1. Kamus Hukum; 2. Kamus Bahasa Indonesia; 3. Kamus Bahasa Inggris; 4. Ensiklopedi; 5. Dan dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan objek penelitian untuk diterapkan dalam penelitian ini. 4. Teknik Pengolahan dan Analisa Data Penelitian ini menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif yang diperoleh dari data yang bersumber dari studi kepustakaan maupun dari penelitian lapangan. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dianalisa secara intepretatif menggunakan teori maupun hukum positif
15
yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada. 5. Metode Penulisan Dalam penyusunan penelitian ini, penulis menggunakan metode penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 2012
F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dimaksudkan untuk mempermudah penjabaran dan pemahaman tentang permasalahan yang dikaji serta untuk memberikan gambaran garis besar mengenai tiap-tiap bab sebagai berikut: BAB I Pendahuluan Pada bab ini menguraikan tentang Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Metodologi Penelitian, Sistematika Penulisan yang berkenaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. BAB II Kerangka Teoritis Pada bab ini menguraikan tentang pengertian perjanjian, syarat sahnya perjanjian, asas-asas dalam hukum perjanjian, bentukbentuk perjanjian, pembatalan perjanjian, penggantian kerugian, serta menjelaskan tentang asas proporsionalitas dalam kontrak
16
komersial seperti pengertian asas proporsionalitas, kriteria asas proporsionalitas, makna dan fungsi asas proporsionalitas, kontrak karya PT. Freeport Indonesia. BAB III Ketentuan
Royalti Mineral dan Teori Dalam Hukum
Pertambangan Pada bab ini menguraikan tentang pembagian royalti dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara, pembagian royalti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, serta teori dalam hukum pertambangan, kontrak karya, production sharing contract, royalti dalam kontrak karya pertambangan. BAB IV “Analisis Yuridis Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Pembagian Royalti Pertambangan Emas PT. Freeport Indonesia”. Pada bab ini memaparkan hasil penelitian dan pembahasannya yaitu Penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia, Upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena belum mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012. BAB V Penutup
17
Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran dari penulis.
18
BAB II KERANGKA TEORITIS
C. Perjanjian di Indonesia 1.
Pengertian dan Makna Perjanjian Atau Kontrak Hukum kontrak merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu
contract of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah overeenscomstrecht. Dalam praktik istilah kontrak atau perjanjian terkadang masih dipahami secara berbeda. Banyak pelaku bisnis mencampuradukkan kedua istilah tersebut seolah merupakan pengertian yang berbeda. Burgerlijk Wetboek menggunakan istilah overeenkomst dan contract untuk pengertian yang sama.13 Menurut Subekti istilah “perjanjian atau persetujuan” dengan “kontrak” memiliki pengertian lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.14 Menurut Peter Mahmud Marzuki penggunaan istilah kontrak atau perjanjian dengan melakukan perbandingan terhadap pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistem Anglo-American.15 Sistematika Buku
III
tentang
Verbintenissenrecht
(Hukum
Perikatan) mengatur mengenai overeenkomst yang kalau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan 13
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010), h. 13. 14 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermusa, 1996), Cet. XVI, h. 1. 15 Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Yuridika, 2003), h. 195.
18
19
terjemahan dari bahasa Inggris contract. Di dalam konsep kontinental, penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah Harta Kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada Anglo-American, perjanjian yang bahasa Belanda-nya overeenkomst dalam bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract, karena mencakup hal-hal yang berkaitan dengan bisnis atau bukan bisnis. Untuk agreement yang berkaitan dengan bisnis disebut contract, sedangkan untuk yang tidak terkait dengan bisnis disebut agreement.16 Pasal 1313 BW memberikan rumusan tentang “kontrak atau perjanjian” adalah “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.17 Terhadap penggunaan istilah kontrak dan perjanjian, penulis sependapat dengan beberapa sarjana hukum yang memberikan pengertian sama antara kontrak dengan perjanjian. Dari berbagai definisi di atas, dapat dikemukakan unsur-unsur yang tercantum dalam hukum kontrak atau perjanjian yaitu: a. Adanya Kaidah Hukum Kaidah dalam hukum kontrak dapat dibagi menjadi dua macam yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum kontrak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan 16
Ibid., h. 195-196. R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), Cet. 34, h. 338. 17
20
perundang-undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum kontrak tidak tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan hidup dalam masyarakat. Contohnya jual beli lepas, jual beli tahunan, dan lain-lain. Konsep hukum ini berasal dari hukum adat b. Subjek Hukum Subjek hukum diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek hukum dalam hukum kontrak adalah kreditur dan debitur. c. Adanya Prestasi Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban debitur. Prestasi terdiri dari: 1. Memberikan sesuatu. 2. Berbuat sesuatu. 3. Tidak berbuat sesuatu. d. Kata Sepakat Di dalam pasal 1320 KUH Perdata ditentukan empat syarat sahnya
perjanjian.
Salah
satunya
kata
sepakat
(konsensus).
Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak. e. Akibat Hukum Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan
21
kewajiban. Hak adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.18 2. Syarat Sah Perjanjian Syarat sah perjanjian diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata yaitu:19 a.
Kesepakatan Kedua Belah Pihak Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Yang dimaksud dengan kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Yang sesuai itu pernyataanya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat atau diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan: 1. Bahasa yang sempurna dan tertulis. 2. Bahasa yang sempurna secara lisan. 3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya. 4. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya. 5. Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.20
18
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Cet. 4, h. 4-5. 19 Prof. R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 339.
22
Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan secara tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna dikala timbul sengketa di kemudian hari. b.
Kecakapan Untuk Melakukan Perbuatan Hukum Cakap hukum adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai
wewenang
untuk
melakukan
perbuatan
hukum,
sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap untuk melakukan kontrak jika orang tersebut belum berumur 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros.21 c.
Adanya Objek Perjanjian Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak
20
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h. 33. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta: RajaGrafindo, 2007), Cet. 1, h. 29. 21
23
kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan yang positif dan negatif. Prestasi terdiri dari: 1. Memberikan sesuatu. 2. Berbuat sesuatu. 3. Tidak berbuat sesuatu (pasal 1234 KUH Perdata).22 d.
Adanya Kausa Yang Halal Dalam pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian kausa yang halal. Di dalam pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.23 Syarat yang pertama dan kedua syarat subjektif, karena
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian. Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada Pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian batal demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.24
22
Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h. 34. R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 342. 24 Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h. 35. 23
24
3. Asas-Asas Dalam Hukum Perjanjian a. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: ”Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya”.25 Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian. 2. Mengadakan perjanjian. 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya. 4. Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. b. Asas Konsensualisme Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.26 c. Asas Pacta Sunt Servanda 25 26
R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 342. Ibid., h. 339.
25
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas ini merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.27 d. Asas Itikad Baik Asas itikad baik dapat disimpulkan dari pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu kreditur
dan
debitur
harus
melaksanakan
substansi
kontrak
berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. e. Asas Kepribadian Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1315 dan pasal 1340 KUH Perdata.28 4. Bentuk-Bentuk Perjanjian 27 28
Ibid., h. 342. Salim H.S, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h. 9.
26
Istilah perjanjian bernama atau kontrak bernama merupakan terjemahan dari istilah “nominaat contract” (Inggris) “benoemde” (Belanda) penggolongan ini didasarkan pada nama perjanjian yang tercantum di dalam pasal 1319 KUH Perdata, disebutkan dua macam perjanjian menurut namanya, yaitu perjanjian bernama (nominaat) dan perjanjian tidak bernama (innominaat).29 a. Perjanjian Bernama (nominaat) Perjanjian bernama adalah perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata. Yang termasuk dalam perjanjiaan bernama jual beli, tukarmenukar, sewa-menyewa, persekutuan perdata, hibah, penitipan barang,
pinjam
pakai,
pinjam
meminjam,
pemberian
kuasa,
penanggungan utang, perdamaian, dan lain-lain. b. Perjanjian Tidak Bernama (innominaat) Perjanjian
yang timbul,
tumbuh,
dan
berkembang dalam
masyarakat. Jenis perjanjian ini belum dikenal dalam KUH Perdata. Yang termasuk dalam perjanjiaan tidak bernama adalah leasing, beli sewa, franchise, kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, keagenan, production sharing, dan lain-lain.30 5. Pembatalan Perjanjian Pembatalan perjanjian adalah pembatalan sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dituntut kreditur terhadap debitur yang telah melakukan wanprestasi. Selain dapat mengajukan tuntutan pembatalan, 29 30
49-50.
R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 339. Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, (Jakarta: RajaGrafindo, 2006), Cet. 1, h.
27
kreditur dapat pula mengajukan tuntutan yang lain yaitu pembatalan perjanjian dan ganti kerugian, ganti kerugian saja, pemenuhan perikatan dan ganti kerugian. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk pembatalan perjanjian, yaitu: a. Perjanjian harus bersifat timbal balik; b. Harus ada wanprestasi; c. Harus dengan putusan hakim.31 Dasar hukum pembatalan perjanjian adalah pasal 1266 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut: 1.
Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjianperjanjian yang bertimbal balik, manakalasalah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
2.
Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim.
3.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam perjanjian.
4.
Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam perjanjian, hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu untuk masih juga
31
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2010), Cet. 1, h. 230.
28
memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana, namun itu tidak boleh lebih dari satu bulan.32 Perjanjian yang bersifat timbal balik adalah perjanjian dimana kedua belah pihak sama-sama mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi, misalnya jual-beli, tukar menukar, sewa-menyewa. Jika dalam perjanjian yang bersifat timbal balik ini salah satu pihak tidak memenuhi prestasi atau kewajibannya maka disebut wanprestasi, pihak lainnya dapat menuntut pembatalan. Namun, sebelum kreditur menuntut pembatalan, debitur harus diberikan teguran atau pernyataan lalai (ingebrekestelling). Pembatalan tidak terjadi dengan sendirinya dengan adanya wanprestasi tersebut, melainkan harus dimintakan kepada hakim dan yang akan membatalkan adalah putusan hakim tersebut. Jadi putusan hakim bersifat konstitutif yaitu membatalkan perjanjian antara penggugat dan tergugat, bukan bersifat deklaratif yang menyatakan batal perjanjian antara penggugat dengan tergugat.33 Dengan demikian, wanprestasi hanyalah alasan hakim untuk memberikan
putusan
yang
membatalkan
perjanjian,
dan
hakim
memberikan tenggang waktu satu bulan kepada debitur untuk memenuhi prestasinya. Jadi tuntutan kreditur untuk membatalkan perjanjiannya dengan debitur tidak selamanya dikabulkan oleh hakim, tetapi hakim memeriksa dan mempertimbangkan lebih dulu besar kecilnya wanprestasi tersebut. Apabila wanprestasi hanya mengenai hal kecil maka hakim akan 32 33
R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 328. Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, h.231.
29
menolak membatalkan perjanjian dan apabila wanprestasi cukup besar merugikan kreditur tentu saja hakim akan membatalkan perjajian tersebut. Apabila hakim telah menjatuhkan putusan membatalkan perjanjian, maka hubungan hukum antara para pihak yang semula mengadakan perjanjian menjadi batal, sehingga tidak perlu lagi memenuhi prestasinya. Apabila salah satu pihak sudah melakukan prestasi namun dilain pihak belum melakukan maka wajib dikembalikan, dan apabila tidak mampu maka dihargai dengan materi.34 6. Penggantian Kerugian Ketentuan tentang ganti rugi dalam KUH Perdata diatur pada pasal 1243-1252 KUH Perdata. Dari pasal-pasal itu dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud ganti rugi adalah sanksi yang dapat dibebankan kepada debitur yang tidak memenuhi prestasi dalam suatu perjanjian untuk memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyatanyaa telah dikeluarkan oleh kreditur. Rugi adalah segala kerugian karena musnahnya atau rusaknya barang-barang milik kreditur akibat kelalaian debitur. Sedangkan bunga adalah segala keuntungan yang diharapkan atau sudah diperhitungkan. Kerugian-kerugian yang dapat dituntut: Walaupun debitur yang wanprestasi dapat dituntut oleh kreditur untuk membayar ganti kerugian, tetapi kerugian yang dituntut oleh
34
Ibid., h.232.
30
kreditur jumlahnya tidak dapat dituntut sekehendak hati kreditur, maka dari itu harus memiliki batasan yang diatur dalam undang-undang. Batasan pertama untuk wanprestasi disebutkan dalam pasal 1248 KUH Perdata yaitu: bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga sekadar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan.35 Batasan kedua termuat dalam pasal 1247 KUH Perdata yang menentukan: si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi, dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan oleh suatu tipu daya yang dilakukan olehnya.36
D. Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak 1. Pengertian Asas Proporsionalitas Pengertian asas proporsionalitas dapat dirunut dari asal kata “proporsi”
(proportion-Inggris;
proportie-Belanda)
yang
berarti
perbandingan, perimbangan, sedangkan “proporsional” (proportionalInggris; proportioneel-Belanda) berarti sesuai dengan proporsi, sebanding, seimbang, berimbang.37 Menurut P.S Atijah, asas proporsionalitas dalam
35
R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h. 325. Ibid. 37 Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), Cet. IV, h. 1106. 36
31
kaitannya dengan peran kontrak sebagai landasan pertukaran yang adil di dunia bisnis, menurutnya pertemuan para pihak dalam mekanisme pasar sesuai sesuai dengan apa yang diinginkan (proportion in what they want) merupakan bentuk pertukaran yang adil (fair echange). Mekanisme ini merupakan dasar fundamental yang melandasi konsep “freedom of choice in exchange-freedom of contract”.38 Maka asas proporsionalitas bermakna sebagai asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual. Asas proporsionalitas dalam kontrak diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya. Proporsionalitas pembagian hak dan kewajiban ini yang diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual, baik pada fase prakontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Asas proporsionalitas tidak mempermasalahkan keseimbangan atau kesamaan hasil, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban di antara para pihak.39 2. Kriteria Asas Proporsionalitas a.
Kontrak yang bersubstansi asas proporsionalitas adalah kontrak yang
memberikan
pengakuan
terhadap
hak,
peluang
dan
38 Seperti dikutip oleh Agus Yudha Hernoko dari P.S Atijah, An Introduction to The Law of Contract, 4th Ed, Oxford University Press Inc, New York, 1995, h. 5. Lihat Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial), (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010), h. 13. 39 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional Dalam Kontrak Komersial, h. 31-32.
32
kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti “kesamaan hasil” melainkan pada posisi para pihak yang mengandaikan “kesetaraan kedudukan dan hak (equitability)” (prinsip kesamaan hak atau kesetaraan hak) b.
Berlandaskan pada kesamaan atau kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan)
c.
Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus mendapatkan dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini maka prinsip distribusi-proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pertukaran yang fair.
d.
Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian, berat ringan kadar kesalahan maupun hal-hal lain terkait, harus diukur berdasarkan asas proporsionalitas untuk memperoleh hasil penyelesaian yang elegan dan win-win solution.40
40
Ibid., h.84-86.
33
3. Makna Asas Proporsionalitas Ruang lingkup dan daya kerja asas proporsionalitas lebih dominan pada kontrak komersial dengan asumsi dasar bahwa karakteristik kontrak komersial menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan, sehingga tujuan para kontraktan yang berorientasi pada keuntungan bisnis akan terwujud apabila terdapat pertukaran hak dan kewajiban yang fair (proporsional). Asas proporsionalitas tidak dilihat konteks keseimbangan-matematis (equilibrium), tetapi pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair. Menurut Peter Mahmud Marzuki menyebut asas proporsionalitas dengan istilah “equitability contract” dengan unsur justice serta fairness. Makna “equitability” menunjukkan suatu hubungan yang setara (kesetaraan), tidak berat sebelah dan adil (fair), artinya hubungan kontraktual tersebut pada dasarnya berlangsung secara proporsional dan wajar.41 Pada dasarnya asas proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin “keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Perwujudan keadilan berkontrak ditentukan melalui dua pendekatan. Pertama, pendekatan prosedural, pendekatan ini menitikberatkan pada persoalan kebebasan kehendak dalam suatu kontrak. Pendekatan kedua, yaitu pendekatan substantif yang menekankan kandungan atau substansi
41
Peter Mahmud Marzuki, Batas-batas Kebebasan Berkontrak, h. 205.
34
serta pelaksanaan kontrak. Mengambil moralitas pertimbangan tersebut, maka asas proporsionalitas bermakna sebagai “asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual”. Asas proporsionalitas sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak, menjaga kelangsungan hubungan agar berlangsung kondusif dan fair.42 4. Fungsi Asas Proporsionalitas Dalam hubungannya dengan kegiatan bisnis, kontrak berfungsi untuk mengamankan transaksi. Hal ini karena dalam kontrak terkandung suatu pemikiran atau tujuan akan adanya keuntungan komersial yang diperoleh para pihak. Terkait dengan kontrak komersial yang diperoleh para pihak. Terkait dengan kontrak komersial yang berorientasi keuntungan para pihak, fungsi asas proporsionalitas menunjukkan pada karakter kegunaan yang operasional dan implementatif dengan tujuan mewujudkan apa yang dibutuhkan para pihak. Dengan demikian, fungsi asas
proporsionalitas,
baik
dalam
proses
pembentukan
maupun
pelaksanaan kontrak komersial adalah: a.
Dalam tahap pra-kontrak, asas proporsionalitas membuka peluang negosiasi bagi para pihak untuk melakukan pertukaran hak dan kewajiban secara fair. Oleh karena itu, tidak proporsional dan harus ditolak proses negosiasi dengan itikad buruk.
42
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional Dalam Kontrak Komersial, h.88.
35
b.
Dalam
pembentukan
kontrak
asas
proporsionalitas
menjamin
kesetaraan hak serta kebebasan dalam menentukan atau mengatur proporsi hak dan kewajiban para pihak berlangsung secara fair. c.
Dalam pelaksanaan kontrak, asas proporsional menjamin terwujudnya distribusi pertukaran hak dan kewajiban menurut proporsi yang disepakati atau dibebankan pada para pihak.
d.
Dalam hal terjadi kegagalan dalam pelaksanaan kontrak, maka harus dinilai secara proporsional apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental sehingga mengganggu pelaksanaan sebagian besar kontrak atau sekadar hal-hal sederhana atau kesalahan kecil. Oleh karena itu, pengujian melalui asas proporsionalitas sangat menentukan dalil kegagalan pelaksanaan kontrak, agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan oleh salah satu pihak dalam memanfaatkan klausul kegagalan pelaksanaan kontrak, semata-mata demi keuntungan salah satu pihak dengan merugikan pihak lain.
e.
Bahkan dalam hal terjadi sengketa kontrak, asas proporsionalitas menekankan bahwa proporsi beban pembuktian kepada para pihak harus dibagi menurut pertimbangan yang fair.43
43
Ibid., h. 101-102.
36
37
BAB III KETENTUAN ROYALTI MINERAL DAN TEORI DALAM HUKUM PERTAMBANGAN
A. Ketentuan Royalti Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.44 Guna memenuhi ketentuan pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa sejak diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi pembanguan nasional. Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang materi muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan 44
Tim Wahyu Media, Pedoman Resmi UUD 1945 & Perubahannya, (Jakarta: Wahyu Media, 2014), h. 33.
37
38
perkembangan situasi sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan harus menyesuaikan diri dengan perubahan
lingkungan
strategis,
baik
bersifat
nasional
maupun
internasional. Tantangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas kekayaan intelektual serta tuntutan peningkatan peran swasta dan masyarakat.45 Maka dibuatlah UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara royalti atau iuran produksi diatur dalam beberapa pasal yaitu: 1. Pasal 39 ayat (2) yaitu berisikan tentang kewajiban memuat ketentuan IUP Operasi Produksi salah satunya wajib memuat penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi. 2. Pasal 45 yaitu mineral atau batu bara yang tergali sebagaimana dimaksud pasal 43 dikenai iuran produksi. 3. Pasal 70 yaitu berisikan tentang kewajiban pemegang IPR yang salah satunya membayar iuran tetap dan iuran produksi. 4. Pasal 79 yaitu berisikan tentang kewajiban memuat ketentuan IUPK Operasi Produksi salah satunya wajib memuat iuran tetap
45
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
39
dan iuran produksi serta bagian pendapatan negara/ daerah, yang terdiri atas bagi hasil dari keuntungan bersih sejak berproduksi. 5. Pasal 82 yaitu mineral atau batu bara yang tergali sebagaimana dimaksud pasal 81 dikenai iuran produksi. 6. Pasal 92 yaitu pemegang IUP dan IUPK berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang tela diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi dan iuran produksi kecuali mineral ikutan radioaktif. 7. Pasal 105 ayat 3 yaitu mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai iuran produksi. 8. Pasal 128 ayat 4 yaitu penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a. Iuran tetap; b. Iuran eksplorasi; c. Iuran produksi; dan d. Kompensasi data informasi. 9. Pasal 130 ayat (1) yaitu pemegang IUP atau IUPK tidak dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (4) huruf c dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (5) atas tanah/ batuan yang ikut tergali pada saat penambangan. Pasal 130 ayat (2) yaitu pemegang IUP atau IUPK tdikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (4) huruf c
40
atas pemanfaatan tanah/ batuan yang ikut tergali pada saat penambangan. 10. Pasal 132 ayat (1) yaitu besaran tarif iuran produksi ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi, dan harga komoditas tambang. pasal 132 ayat (2) yaitu besaran tarif iuran produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
B. Ketentuan Royalti Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dalam rangka mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak serta guna menunjang pembangunan nasional, Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebagai salah satu sumber penerimaan negara perlu dikelola dan dimanfaatkan untuk peningkatan pelayanan pada masyarakat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah memiliki tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Namun dengan adanya perubahan struktur organisasi dan penyesuaian atas jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada
41
Kementerian Negara Energi dan Sumber Daya Mineral, perlu mengatur kembali jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Negara Energi dan Sumber Daya Mineral.46 Telah dijelaskan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di bagian penjelasan bahwa royalti untuk emas 3,75%.47
C. Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport McMoran merupakan perusahaan modal asing pertama yang melakukan usaha pertambangan di Indonesia dengan menggunakan kontrak karya. Kontrak karya PT. Freeport Indonesia dilakukan pada 7 April 1967 dan disebut kontrak karya generasi 1, karena kontrak karya ini merupakan pelopor penanaman modal asing dalam bidang pengusahaan pertambangan. Dilihat dari sejarah munculnya pola kontrak karya di Indonesia, banyak pihak berpendapat bahwa kedudukan para pihak di dalam kontrak karya tidak seimbang, dengan posisi pemerintah Indonesia
46 Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Mineral. 47 Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2012 tentang Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Mineral.
Jenis Daya Jenis Daya
42
yang lebih lemah dalam merundingkan kerangka investasi asing di industri pertambangan.48 Pada awal negosiasi dengan PT. Freeport Indonesia, pemerintah Indonesia telah menawarkan skema bagi hasil seperti yang diterapkan dalam pertambangan minyak dan gas, dan meyakinkan pemerintah Indonesia bahwa model kontrak bagi hasil tidak sesuai untuk diterapkan pada pertambangan tembaga. Oleh karena pemerintah Indonesia tidak memiliki argumentasi lain, maka pemerintah Indonesia justru menawarkan kepada PT. Freeport Indonesia untuk menyiapkan kerangka kontrak. PT. Freeport Indonesia kemudian menunjuk Bob Duke selaku ahli hukum PT. Freeport Indonesia untuk menyusun dokumen kontrak, yang selanjutnya disebut kontrak karya.49 Kontrak karya ini sangat menguntungkan PT. Freeport Indonesia karena sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh perusahaan selama proses negosiasi artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan PT. Freeport Indonesia. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proporsional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Padahal posisi tawar Indonesia sangat tinggi seharusnya kontrak karya tersebut disusun lebih banyak untuk kepentingan negara bukan kepentingan PT. Freeport Indonesia. 48 Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), Cet. 1, h. 5. 49 Seperti dikutip oleh Nanik Trihastuti dari Arianto Sangaji, Buruk Inco Rakyat digusur, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), h.76. Lihat Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), Cet. 1, h. 4.
43
Masa berlaku kontrak karya PT. Freeport Indonesia 30 tahun terhitung mulai masa produksi komersial perusahaan tersebut yaitu pada tanggal 1 juli 1973, sehingga berakhir pada tanggal 1 juli 2003, namun sebelum tahun 2003, Freeport McMoran Inc. Selaku pemegang saham PT. Freeport Indonesia pada tahun 1989
menyampaikan permohonan
perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia kepada Menteri Pertambangan dan Energi, permohonan ini sesuai dengan ketentuan dalam kontrak karya PT. Freeport Indonesia generasi 1 bahwa setelah jangka waktu kontrak berjalan setengahnya yaitu 15 tahun, perusahaan dapat mengajukan permohonan perpanjangan karena PT. Freeport Indonesia menemukan cadangan yang lebih kaya. Sehingga kontrak karya akan berakhir pada 1 juli 2021 dan dapat diperpanjang lagi 2 x 10 tahun, sehingga akan berakhir 2041.50 Menurut pasal 10 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan, istilah yang digunakan dalam ketentuan tersebut adalah Perjanjian Karya, tetapi dalam praktik, istilah yang digunakan adalah Kontrak Karya sebagai terjemahan dari “Contract of Work”. Menurut pasal 1 huruf a Keputusan Direktur Jenderal Pertambangan Umum Nomor 150.K/20.01/DDJP/1998 tentang Tatacara, Persyaratan dan pemrosesan permohonan Kontrak Karya, Kontrak Karya memiliki pengertian sebagai “kontrak antara Pemerintah Republik Indonesia dengan perusahaan berbadan hukum Indonesia untuk “Sejarah PT. Freeport Indonesia”, artikel diakses pada 20 mei 2015 dari http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya. 50
44
melaksanakan usaha pertambangan bahan galian, tidak termasuk minyak bumi, gas alam, panas bumi, radio aktif dan batu bara”.51 Dasar
hukum
digunakannya
pola
Kontrak
Karya
dalam
pengusahaan sektor pertambangan terdapat dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang menyatakan bahwa “Penanaman Modal Asing di bidang pertambangan didasarkan pada suatu kerja sama dengan pemerintah atas dasar Kontrak Karya atau bentuk lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku”52, serta pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang menyatakan bahwa: 1. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh instansi pemerintah atau Perusahaan Negara yang bersangkutan selaku pemegang Kuasa Pertambangan. 2. Dalam mengadakan Perjanjian Karya dengan kontraktor seperti yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, instansi pemerintah atau perusahaan negara harus berpegang pada pedoman-pedoman, petunjuk-petunjuk dan syarat-syarat yang diberikan oleh menteri
51
Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, h. 33. 52 Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
45
3. Perjanjian Karya tersebut dalam ayat (2) pasal ini berlaku sesudah disahkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat apabila menyangkut eksploitasi golongan a sepanjang bahan galian yang ditentukan dalam pasal 13 undangundang ini dan/ atau yang perjanjian karyanya berbentuk penanaman modal asing.53 Kontrak karya diperuntukkan bagi perusahaan yang berstatus sebagai penanam modal asing. Ruang lingkup kewenangan kontrak karya yaitu dapat mengusahakan seluruh jenis bahan galian kecuali minyak dan gas bumi dan batu bara yang diatur dalam aturan tersendiri. Adapun mekanisme atau prosedurnya adalah sebagai berikut:54 1. Perusahaan mengajukan permintaan pencadangan wilayah kepada Unit Pelayanan Informasi Pencadangan Wilayah Pertambangan (UPIPWP). 2. Perusahaan pemohon memperoleh peta dan formulir permohonan kontrak karya dari UPIPWP. 3. Perusahaan pemohon menyetor uang jaminan ke bank yang ditunjuk, bukti setoran dijadikan lampiran dengan dokumen dan persyaratan lain. 4. Perusahaan mengajukan surat permohonan kepada Direktur Jenderal Pertambangan Umum (DJPU), berikut lampiran atau
53
Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, h. 32-33. 54 Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2013), Cet. 1, h. 67.
46
dokumen yang harus dipenuhi kepada Direktorat Pembinaan Pengusahaan (DPB) melalui sekretariat Direktorat Jenderal Pertambangan Umum. 5. Direktorat Jenderal Pertambangan Umum menyampaikan hasil pemrosesan
DPB
kepada
perusahaan
pemohon,
apakah
pengajuannya diterima atau ditolak. 6. Direktorat Jenderal Pertambangan Umum
membentuk dan
menugaskan tim perunding, yang bertugas melakukan perundingan dengan perusahaan pemohon kontrak karya. 7. Direktur DPB bersama perusahaan pemohon, menyampaikan hasil perundingan kepada DJPU. 8. DJPU menyampaikan draf kontrak karya kepada menteri untuk dilakukan pemrosesan lebih lanjut. 9. Menteri menyampaikan draf kontrak karyakepada DPR RI untuk dikonsultasikan dengan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk mendapat rekomendasi. 10. DPR menyampaikan tanggapan kepada menteri atas draf kontrak karya yang disampaikan sebelumnya. 11. BKPM menyampaikan rekomendasi atas draf kontrak karya yang disampaikan menteri kepada presiden. 12. Presiden memberikan persetujuan, yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada menteri, untuk dan atas nama pemerintah menandatangani kontrak karya.
47
13. Menteri melaksanakan penandatanganan kontrak karya dengan perusahaan pemohon. Setelah dilakukan penandatanganan kontrak karya, kemudian perusahaan memulai kegiatan di lapangan pada area yang telah ditetapkan dalam kontrak karya, dengan luas dan titik-titik koordinatnya ditentukan secara jelas dan rinci yang merupakan wilayah hukum kontrak karya yang dimaksud. Secara teknis, perusahaan pemegang kontrak karya melakukan kegiatan di lapangan sebagai berikut: 1. Melaksanakan penyelidikan umum, dengan jangka waktu pelaksanaan satu tahun ditambah kesempatan perpanjangan selama satu tahun. 2. Melaksanakan kegiatan eksplorasi, dengan jangka waktu pelaksanaan tiga tahun, dengan diberikan kesempatan dua tahun masa perpanjangan waktu. 3. Tahapan studi kelayakan (feasibility study) selama satu tahun, dengan masa perpanjangan selama satu tahun. 4. Tahapan konstruksi atau pekerjaan persiapan selama tiga tahun. 5. Masa eksploitasi selama tiga puluh tahun, ditambah masa perpanjangan selama 2 x 10 tahun.55
D. Production Sharing Contract
55
Ibid., h. 68-69.
48
Production Sharing Contract adalah salah satu pola kerja sama modal pertambangan di Indonesia dimana perusahaan negara di negeri tuan rumah menguasai kepemilikan, tetapi memberikan tanggung jawab penuh kepada perusahaan asing untuk mengelola operasi dan menyediakan atau menghasilkan kebutuhan dana untuk eksplorasi dan pengembangan. Perusahaan asing memperoleh bagian dari produksi untuk membayar biaya yang dikeluarkannya dan persentase tertentu dari hasil bersih. 56 Pola kontrak kerja sama seperti ini biasanya terdapat pada pertambangan minyak dan gas. Perbedaan kontrak karya dengan production sharing contract adalah pada sistem manajemen operasinya, di dalam kontrak karya, manajemen operasi sepenuhnya berada di tangan kontraktor, sehingga kontraktor memiliki hak serta kewenangan mutlak untuk mengatur dan mendahulukan kepentingan perusahaannya dengan mengambil langkahlangkah yang secara pasti akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi perusahaan.57 Sedangkan dalam production sharing contract manajemen operasi ada pada pemerintah.
E. Royalti Dalam Kontrak Karya Pertambangan Royalti atau iuran produksi/ iuran eksploitasi adalah jumlah yang diserahkan kepada pemerintah untuk mineral yang diproduksi perusahaan pertambangan. Perusahaan harus membayar iuran eksploitasi atau 56
Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, h. 85. 57 Ibid., h. 5.
49
produksi untuk kadar mineral hasil produksi dari wilayah pertambangan sepanjang setiap mineral dan produksi itu merupakan mineral yang nilainya sesuai dengan kebiasaan umum dibayar atau dibayarkan kepada perusahaan oleh pembeli.58 Royalti berhubungan erat dengan kegiatan produksi yang terjadi dalam pertambangan, diberikan kepada pemilik atau penguasa mineral atas pemberian ijin untuk mengeksploitasi mineral yang ada di suatu wilayah. Royalti dikenakan karena pemilik sebenarnya sudah memberikan ijin dan kewenangannya kepada penerima ijin untuk mengambil manfaat dari adanya kekayaan mineral di tempat tersebut. Dalam kegiatan produksinya, penerima ijin atau kontraktor bekerja atas risikonya sendiri dan juga dengan modalnya sendiri, akan tetapi bekerja di “lahan” bukan miliknya, karena itu kontraktor berkewajiban memberikan royalti kepada pemilik “lahan” yaitu pemerintah bersangkutan. Kontraktor hanya mempunyai hak untuk menambang saja (mining right).59 Dalam sistem royalti, sebenarnya telah terjadi perpindahan kepemilikan kepada penerima ijin. Hal tersebut bisa dilihat dari kewenangan penerima ijin untuk menggali dan menjual hasil tambang itu atas nama dirinya. Tetapi dalam tambang kontraktor tidak menjadi pemilik penuh dari hasil tambang itu karena harus membayar royalti atas berapa banyaknya hasil tambang yang digalinya. Besaran royalti itu ditentukan dari besarnya produksi, bukan dari besarnya penjualan produksinya. Logikanya adalah negara tetap mempunyai hak untuk menjual atau tidak 58
Pemerintah Republik Indonesia dan PT. Freeport Indonesia Company, Kontrak Karya, (Jakarta: 1991 ), pasal 11 butir ke-2. 59 Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Cet. 1, h. 342.
50
atau memanfaatkan langsung atau tidak barang tambang itu yang mungkin berbeda dengan kepentingan kontraktor. Hanya saja kontraktor dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk memasarkan atau memanfaatkan barang mineral tersebut atau kemampuan itu ditundanya dan diserahkan kepada kontraktor atau bahwa telah terjadi perpindahan kewenangan atau penguasaan atau kepemilikan atas barang tambang itu sehingga kontraktorlah yang paling berhak memanfaatkan barang tambang tersebut. Tetapi walaupun begitu, atas kemauan negara untuk menunda atau memberikan kewenangannya kepada kontraktor, ia berhak mendapatkan kompensasi berupa penerimaan royalti.60
60
Ibid., h. 342.
51
BAB IV ANALISIS YURIDIS PENERAPAN ASAS PROPORSIONALITAS DALAM PEMBAGIAN ROYALTI PERTAMBANGAN EMAS PT.FREEPORT INDONESIA
A. Penerapan asas proporsionalitas dalam pembagian royalti emas oleh PT. Freeport Indonesia PT. Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport McMoran, merupakan perusahaan modal asing pertama yang melakukan usaha pertambangan di Indonesia dengan menggunakan kontrak karya. Kontrak karya PT. Freeport Indonesia dilakukan pada 7 April 1967 dan disebut kontrak karya generasi 1, karena kontrak karya ini merupakan pelopor penanaman modal asing dalam bidang pengusahaan pertambangan. Masa berlaku kontrak karya PT. Freeport Indonesia 30 tahun terhitung mulai masa produksi komersial perusahaan tersebut yaitu pada tanggal 1 juli 1973, sehingga berakhir pada tanggal 1 juli 2003, namun sebelum tahun 2003, Freeport McMoran Inc. Selaku pemegang saham PT. Freeport Indonesia pada tahun 1989
menyampaikan
permohonan perpanjangan kontrak karya PT. Freeport Indonesia kepada Menteri Pertambangan dan Energi, permohonan ini sesuai dengan ketentuan dalam kontrak karya PT. Freeport Indonesia generasi 1 bahwa setelah jangka waktu kontrak berjalan setengahnya yaitu 15 tahun, perusahaan dapat mengajukan permohonan perpanjangan karena PT.
51
52
Freeport Indonesia menemukan cadangan yang lebih kaya. Sehingga kontrak karya akan berakhir pada 1 juli 2021 dan dapat diperpanjang lagi 2 x 10 tahun, sehingga akan berakhir 2041.61 Dari awal kontrak karya memang royalti untuk emas disepakati 1% tetapi dasar hukum untuk menyesuaikan royalti tersebut yaitu pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara yaitu: d) Kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batu bara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak atau perjanjian. e) Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan batu bara sebagaimana dimaksud pada huruf (a) disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. f) Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf (b) adalah upaya peningkatan penerimaan negara.62 Berdasarkan pasal 169 poin (b), seharusnya ketentuan royalti yang baru yaitu 3,75% mulai berlaku selambat-lambatnya satu tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tersebut. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945 menegaskan bahwa, bumi, air dan
“Sejarah PT. Freeport Indonesia”, artikel diakses pada 20 mei 2015 dari http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya. 62 Pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. 61
53
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tetapi rumusan pasal tersebut berbanding terbalik dengan realita yang ada, meskipun Indonesia adalah negara yang kaya akan berbagai sumber daya alam, namun pada kenyataannya tidak membawa kesejahteraan bagi rakyatnya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya, kekayaan alam yang ada menjadi petaka bagi bangsa Indonesia. Berjuta-juta ton bahan galian tambang setiap tahunnya dieksploitasi dan dijual ke berbagai negara tujuan, tetapi secara nyata hanya sebagian kecil hasilnya yang dapat dirasakan rakyat Indonesia. Pada praktiknya ternyata pemerintah tidak mempunyai daya paksa terhadap pelaku kegiatan usaha pertambangan yang nakal, bahkan cenderung selalu mengalah pada kepentingan investor. Kecenderungan tersebut, dapat kita lihat dari fakta berikut: 1. Lemahnya posisi pemerintah dalam melakukan negosiasi pengelolaan dan pengusahaan bahan galian, hal tersebut berimplikasi pada kecilnya bagian yang dapat diterima negara atas hasil bahan galian yang dieksploitasi. 2. Munculnya beberapa paket kebijakan yang memanjakan investor pertambangan, seperti insentif atau keringanan pajak, bebas bea masuk barang dan peralatan produksi dan lain-lain. 3. Kebebasan investor untuk melakukan penjualan produk bahan galian yang dihasilkan dalam bentuk biih (batu), bukan produk yang telah mengalami pengolahan dan pemurnian.
54
4. Tidak adanya kebijakan yang berpihak untuk kepentingan nasional secara nyata, contohnya kebijakan yang melarang ekspor bahan galian dalam bentuk bijih.63 Pada awal negosiasi antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport, Pemerintah Indonesia mengusulkan bahwa kontrak kerja sama yang akan dipakai adalah model kontrak bagi hasil atau production sharing contract seperti yang diterapkan pada pertambangan minyak dan gas, tetapi PT. Freeport mengusulkan model kontrak karya karena kontrak bagi hasil tidak sesuai untuk diterapkan pada pertambangan tembaga. Oleh karena Pemerintah Indonesia tidak memiliki argumentasi lain serta pada saat itu pemerintah Indonesia sangat sulit mendapatkan penanam modal asing karena syarat untuk menarik modal asing adalah: 1. Syarat keuntungan ekonomi. 2. Syarat kepastian hukum. 3. Syarat stabilitas politik.64 Karena pada saat itu stabilitas politik Indonesia sedang kacau akibat G 30S PKI dan pada saat itu PT. Freeport satu-satunya penanam modal asing yang mau berinvestasi di Indonesia, maka dari itu PT. Freeport diberikan kemudahan dan keistimewaan. Akhirnya Pemerintah Indonesia menawarkan kepada PT. Freeport untuk menyiapkan kerangka kontrak. Kemudian PT. Freeport menunjuk Bob Duke selaku ahli hukum 63
Nandang Sudrajat, Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2013), Cet. 1, h. 9. 64 Tim Kompendium, Kompendium Bidang Hukum Investasi, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011), h. 2.
55
PT. Freeport untuk menyusun dokumen kontrak yang selanjutnya disebut Kontrak Karya.65 Dilihat dari sejarah munculnya pola kontrak karya di Indonesia, penulis berpendapat bahwa kedudukan para pihak di dalam kontrak karya tidak seimbang dan tidak proporsional, karena didalam kontrak karya dalam konteks pengelolaan dan pengusahaan bahan galian posisi negara dengan lembaga usaha swasta ditempatkan sejajar, hal ini merupakan bentuk melemahkan atas kedaulatan negara dalam hal hak menguasai negara atas bahan galian. Karena bagaimanapun juga, kedudukan negara yang merdeka dan berdaulat secara politik dan hukum merupakan representasi dari seluruh rakyat satu negara, tidak dapat disejajarkan dengan lembaga usaha yang merepresentasikan segelintir orang. Di dalam kontrak karya, manajemen sepenuhnya berada di tangan kontraktor, sehingga kontraktor memiliki hak dan wewenang mutlak untuk mengatur dan mendahulukan kepentingan perusahaannya dengan mengambil langkah-langkah strategis, yang secara pasti akan memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi perusahaan. Dengan demikian tidak adanya kontrol pemerintah atas perusahaan merupakan bentuk penyimpangan dari nilai filosofis pasal 33 ayat (2) yaitu melanggar hakikat hak menguasai negara karena kontrol manajemen perusahaan kontraktor berada pada perusahaan dan bukan pada negara. Berbeda dengan sistem production
65
Seperti dikutip oleh Nanik Trihastuti dari Arianto Sangaji, Buruk Inco Rakyat digusur, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), h.76. Lihat Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), Cet. 1, h. 4.
56
sharing contract walaupun perusahaan kontraktor yang menjalankan operasional di lapangan, tetapi sistem manajemen perusahaan dipegang oleh negara, dengan demikian negara dapat mengambil langkah-langkah strategis demi kepentingan negara. Selain itu posisi Pemerintah Indonesia lebih lemah dalam merundingkan kerangka kontrak, menurut penulis seharusnya secara konsep Indonesia memiliki posisi tawar yang lebih tinggi karena semua persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara, sebagaimana kita ketahui, harus bermuara untuk sebesarbesarnya demi kemakmuran rakyat. Prinsip untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat adalah landasan pokok yang wajib dilaksanakan oleh aparatur negara dalam hal ini pemerintah. Karena merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia pasal 33 ayat (3). Dengan demikian pemerintah tidak mengamalkan amanat tersebut sehingga kontrak karya ini sangat menguntungkan PT. Freeport Indonesia karena sebagian besar materi kontrak tersebut merupakan usulan yang diajukan oleh perusahaan selama proses negosiasi artinya lebih banyak disusun untuk kepentingan PT. Freeport Indonesia. Dalam operasi pertambangan, pemerintah Indonesia tidak mendapatkan manfaat yang proporsional dengan potensi ekonomi yang sangat besar di wilayah pertambangan tersebut. Sehingga dalam proses awal pembuatan kontrak karya antara pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia dapat dikatakan tidak proporsional karena tidak adanya keseimbangan posisi
57
tawar dan lebih merugikan Indonesia, karena kontrak yang baik adalah kontrak yang mampu mengakomodir kepentingan para pihak, maka dari itu pertukaran hak dan kewajiban harus seimbang dan proporsional. Karena
asas
proporsionalitas
dalam
kontrak
komersial
menempatkan posisi para pihak pada kesetaraan, sehingga tujuan para kontraktan yang berorientasi pada keuntungan bisnis akan terwujud apabila terdapat pertukaran hak dan kewajiban yang fair atau proporsionaal. Asas proporsional dilihat dari proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara fair. Karena asas proporsionalitas bermakna sebagai asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual. Asas proporsionalitas mengandaikan pembagian hak dan kewajiban diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual baik pada fase prakontraktual, pembentukan kontrak maupun pelaksanaan kontrak. Asas proporsional sangat berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak yaitu menjaga kelangsungan hubungan agar berlangsung kondusif dan fair. Karena kriteria atau syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan proporsional, yaitu sebagai berikut: e. Kontrak yang bersubstansi asas proporsionalitas adalah kontrak yang memberikan pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan yang sama kepada para kontraktan untuk menentukan pertukaran yang adil bagi mereka. Kesamaan bukan dalam arti “kesamaan hasil” melainkan
58
pada posisi para pihak yang mengandaikan “kesetaraan kedudukan dan hak (equitability)” (prinsip kesamaan hak atau kesetaraan hak). f. Berlandaskan pada kesamaan atau kesetaraan hak tersebut, maka kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang dilandasi oleh kebebasan para kontraktan untuk menentukan substansi apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi mereka (prinsip kebebasan). g. Kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban secara proporsional bagi para pihak. Perlu digarisbawahi bahwa keadilan tidak selalu berarti semua orang harus mendapatkan dalam jumlah yang sama, dalam konteks ini dimungkinkan adanya hasil akhir yang berbeda. Dalam hal ini maka prinsip distribusi-proporsional terhadap hak dan kewajiban para pihak harus mengacu pertukaran yang fair. h. Dalam hal terjadinya sengketa kontrak, maka beban pembuktian, berat ringan kadar kesalahan maupun hal-hal lain terkait, harus diukur berdasarkan
asas
proporsionalitas
untuk
memperoleh
hasil
penyelesaian yang elegan dan win-win solution.66 Dengan demikian, kontrak karya antara pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia harus dibangun berdasarkan pemahaman keadilan yang dilandasi atas pengakuan hak para kontraktan tersebut. Pembagian hak dan kewajiban harus adil yang termanifestasi dalam pemberian 66
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsional Dalam Kontrak Komersial, h.88.
59
peluang dan kesempatan yang sama dalam pertukaran kepentingan yaitu hak dan kewajiban para pihak. Namun demikian pengakuan hak, kebebasan dan kesamaan dalam pertukaran hak dan kewajiban tersebut harus dalam bingkai aturan main yang mempertimbangkan prinsip distribusi yang proporsional.67 Pemerintah Indonesia juga tidak memperoleh keuntungan yang berarti dari hasil penambangan yang dilakukan karena pada saat kontrak karya di tandatangani, nilai mineral (mineral value) masih merupakan sesuatu
yang
belum
pasti,
sedangkan
jangka
waktu
antara
penandatanganan kontrak sampai ditemukannya cadangan mineral dapat mencapai 12 tahun lamanya. Berkaitan dengan hal ini, banyak terjadi masalah dimana tuntutan kewajiban terhadap PT. Freeport yang ringan terlanjur diberikan, namun kemudian ternyata cadangan mineral yang ditemukan sangat besar. Keadaan yang demikian tentu saja sangat merugikan pihak Indonesia, karena ternyata dalam kontrak karya tidak terdapat klausul yang mengatur adanya kemungkinan ditemukannya mineral yang besar dan kaya.68 Kontrak karya pertambangan yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia pada kontrak karya generasi I tahun 1967 yang kemudian diperpanjang dengan kontrak karya generasi V tahun 1991,
67
Ibid., h. 89. Seperti dikutip oleh Nanik Trihastuti dari Rachman Wiriosudarmo, Kebijaksanaan Mineral Dalam Menghadapi Era Pasar Bebas, Temu Profesi Tahunan PERHAPI, Bandung, 1995, h.76. Lihat Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya Pola Kerja Sama Pengusahaan Pertambangan Indonesia, (Malang: Setara Press, 2013), Cet. 1, h. 6. 68
60
pemerintah Indonesia hanya mendapatkan royalti 1,5%-3,5% dari hasil penjualan tembaga dan 1% dari hasil penjualan emas dan perak. Besaran royalti ini jauh lebih rendah dari royalti rata-rata di negara lain yang besarnya mencapai 6% untuk tembaga dan 5% untuk emas dan perak. Seharusnya royalti yang diperoleh pemerintah Indonesia dapat mencapai di atas rata-rata royalti tersebut karena potensi dan nilai kandungan mineral dipertambangan PT. Freeport sangat bagus. Maka dari itu permintaan hasil tambang PT. Freeport semakin meningkat.69 Berdasarkan kenyataan bahwa royalti yang diterima pemerintah Indonesia dari penambangan di Indonesia tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan penambangan yang ada khususnya PT. Freeport, maka pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Pertambangan dan Energi di Bidang Pertambangan Umum, yang isinya menaikkan royalti atas semua jenis mineral dan logam yang dihasilkan oleh kegiatan penambangan di Indonesia secara tidak pandang bulu. Tarif royalti untuk emas dinaikkan yakni dari 1% menjadi 3,75%. Dengan mempertimbangkan perkembangan nasional maupun internasional, bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
69
Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya, Pola Kerja Sama Pengusahaan Pertabangan Indonesia, h. 7.
61
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman dan sudah tidak mampu lagi mengakomodir segala persoalan dalam dunia pertambangan nasional sehingga dibutuhkan perubahan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara yang dapat mengelola potensi mineral dan batu bara yang lebih baik lagi maka diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.70 Dengan dikeluarkannya peraturan pertambangan yang baru secara otomatis terjadi pembaruan hukum yang materinya lebih baik dari undang-undang sebelumnya. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara pasal 169 menyatakan bahwa: a. Kontrak karya dan perjanjian pengusahaan pertambangan batu bara yang telah ada sebelum berlakunya undang-undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak atau perjanjian. b. Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan batu bara sebagaimana dimaksud pada huruf (a) disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara. c. Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf (b) adalah upaya peningkatan penerimaan negara.
70
Konsideran menimbang huruf (c) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.
62
Merujuk pada ketentuan pasal 169 huruf b, maka semua pasalpasal
dalam
kontrak
karya
dan
perjanjian
karya
pengusahaan
pertambangan batu bara harus disesuaikan dengan ketentuan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Ketentuan tersebut salah satunya mengenai penyesuaian royalti sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2000 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Pertambangan dan Energi di Bidang Pertambangan Umum, dengan demikian PT. Freeport Indonesia seharusnya sudah menyesuaikan tarif royalti emas yang tadinya 1% menjadi 3,75% sejak diundangkannya pada 12 januari 2009 dan paling lambat disesuaikan pada tanggal 12 januari 2010. Tetapi PT. Freeport Indonesia tidak mau melakukan penyesuaian tersebut dengan alasan bahwa pemerintah Indonesia harus menghargai kontrak karya yang dibuat hingga kontrak selesai sesuai dengan asas pacta sunt servanda, yaitu perjanjian yang sudah dibuat mengikat para pihaknya. Sebagai alternatif penyelesaian permasalahan tersebut pemerintah mengeluarkan kebijakan renegosiasi tetapi pada saat dikeluarkan kebijakan tersebut PT. Freeport Indonesia masih tidak mau melakukan penyesuaian royalti dan masih berargumentasi bahwa pemerintah Indonesia harus tetap konsisten melaksanakan kontrak karya sesuai asas pacta sunt servanda. Dengan demikian apabila dikaitkan dengan asas proporsionalitas, jelas
perbuatan
PT.
Freeport
Indonesia
tidak
menerapkan
asas
63
proporsionalitas, karena kontrak yang bersubstansi asas proporsional adalah kontrak yang mampu menjamin pelaksanaan hak dan kewajiban secara proporsional bagi para pihak serta berorientasi pada konteks hubungan dan kepentingan para pihak yaitu menjaga kelangsungan hubungan agar berlangsung kondusif dan fair, pertukaran hak dan kewajiban harus adil atau proporsional, serta dalam pelaksanaanya dengan itikad baik harus melaksanakan distribusi proporsional yaitu bagaimana dalam pelaksanaan kontrak selalu dengan itikad baik dengan menghormati hak para pihak dan jangan sampai ada pihak yang rugi. Karena asas proporsionalitas bermakna sebagai asas yang melandasi atau mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual. Apabila salah satu pihak yaitu pihak pemerintah Indonesia menaikkan tarif royalti emas yang tadinya 1% menjadi 3,75% karena menurut pemerintah Indonesia tarif emas 3,75% itu proporsi yang adil seharusnya dengan itikad baik PT. Freeport Indonesia mengakui hak pemerintah Indonesia tersebut. Karena dalam kontrak penyesuaian kontrak atau renegosiasi kontrak merupakan hal yang wajar dalam konteks situasi, terutama pada kontrak yang masa berlakunya panjang (long term contract). Sehingga para pihak yang menandatangani kontrak perlu untuk mengevaluasi hal-hal yang telah disepakati. Dalam konteks hukum pertambangan renegosiasi kontrak merupakan bentuk dari
64
pelaksanaan amanat pasal 169 huruf (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.71 Asas pacta sunt servanda di dalam hukum positif Indonesia dapat ditemukan dalam Pasal 1338 KUH Perdata yaitu: Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undangundang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.72 Tetapi coba kita lihat kembali pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa: Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.73 Menurut penulis bahwa dalam sebuah perjanjian, para pihak memiliki kewajiban untuk menghormati kontrak yang telah ada, dilaksanakan serta dengan itikad baik, namun di samping itu KUH Perdata juga mengatur bahwa suatu kontrak perjanjian dapat ditarik kembali jika ada alasan-alasan yang cukup menurut undang-undang, serta perjanjian tersebut harus berdasarkan kepatutan, kebiasaan dan atau undang-undang.
71
Ahmad Redi, Hukum Pertambangan, (Jakarta: Gramata Publishing, 2014), h. 80. R. Subekti & R Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2004), Cet. 34, h. 342. 73 Ibid. 72
65
Lagi pula pasal 1338 merupakan lex generalis dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merupakan lex specialis. Sebagaimana kita ketahui salah satu asas perundangan yaitu lex specialis derogat lex generalis yaitu undang-undang yang isi dan peraturannya bersifat khusus mengesampingkan atau menyingkirkan undang-undang yang isi dan peraturannya bersifat umum.74 Seharusnya PT. Freeport Indonesia dengan itikad baik dan berbesar hati melaksanakan segala ketentuan yang berlaku di Indonesia, karena secara konsep PT. Freeport Indonesia merupakan perusahaan berbadan hukum Indonesia, jadi sudah seharusnya tunduk pada peraturan yang berlaku di Indonesia dan seharusnya tidak menzalimi bangsa Indonesia dengan mengeruk kekayaan bangsa Indonesia tetapi hanya memberikan royalti yang kecil, sebagaimana terkandung dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 279:
َ َ ُ ََ َ ُ َ َ اا ا٢٧٩ونا لاتظال ُم ا ظلِمونااو ا لات ا ا..... “kamu tidak menganiaya dan tidak “pula” dianiaya” Selain itu juga tidak memberikan mudharat kepada bangsa Indonesia sesuai dengan kaidah fiqh “la dharara wa la dhiror” yang artinya jangan kalian menzalimi dan tidak boleh dizalimi, secara garis 74
Syafrudin Makmur, Hukum Acara Perdata Sekelumit Teori dan Praktek. (Ciputat: t.p., 2013), h.78.
66
besar kaidah fiqh ini melarang segala sesuatu perbuatan yang mendatangkan mudharat atau bahaya tanpa alasan yang benar serta tidak boleh membalas kemudharatan yang serupa juga, apalagi dengan yang lebih besar dari kemudharatan yang menimpanya.
B. Upaya pemerintah dalam menjatuhkan sanksi kepada PT. Freeport Indonesia karena belum mematuhi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Ketentuan yang menyatakan kenaikan royalti pada awalnya yaitu diberlakukannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1998 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Departemen Pertambangan dan Energi di Bidang Pertambangan Umum, yang isinya menaikkan royalti atas semua jenis mineral dan logam yang dihasilkan oleh kegiatan penambangan di Indonesia secara tidak pandang bulu. Tarif royalti untuk emas dinaikkan yakni dari 1% menjadi 3,75%.75 Lalu direvisi menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003 dan sekarang Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012. Seharusnya sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2000 tersebut kewajiban PT. Freeport untuk membayar royalti emas 3,75% sudah berlaku tetapi pada kenyataannya sampai saat ini belum disesuaikan dan masih membayar royalti emas 1%. 75
Nanik Trihastuti, Hukum Kontrak Karya, Pola Kerja Sama Pengusahaan Pertabangan Indonesia, h. 8.
67
Dalam wawancara dengan staf Sub Dit Bimbingan Usaha Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, PT. Freeport tidak menaikkan royalti emas 3,75% ketika diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2000 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 karena PT. Freeport berpendapat bahwa kontrak yang disepakati antara PT. Freeport dengan pemerintah Indonesia mengikat para pihak atau bisa disebut lex specialis dan ketika ditandatanganinya
kontrak
masih
mengacu
pada
Undang-Undang
pertambangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan
Pokok
Pertambangan.
Ketika
diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dinyatakan tidak berlaku lagi pemerintah memiliki dasar argumentasi, barulah dilakukan renegosiasi yaitu meninjau kembali serta merevisi enam poin renegosiasi yaitu: wilayah kerja, perpanjangan kontrak, penyesuaian royalti, divestasi, smelting, dan penggunaan barang dan jasa dalam negeri.76 Pada akhirnya PT. Freeport sudah menandatangani nota kesepahaman renegosiasi pada juli 2014 yang terdiri dari enam poin yang salah satunya mengenai penyesuaian royalti. Karena proses renegosiasi itu sangat kompleks maka hingga saat ini masih dilakukan negosiasi dan belum ada sanksi terkait
76
Wawancara pribadi dengan Syarifudin. Jakarta, 17 juni 2015.
68
pelanggaran PT. Freeport Indonesia karena belum menyesuaikan royalti terkait Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Meskipun perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia menggunakan pola kontrak karya, dimana dalam sistem kontrak karya sistem manajemen perusahaan dipegang perusahaan kontraktor. Pemerintah melakukan pengawasan terhadap operasi dan keuangan perusahaan. Dalam wawancara dengan staf Sub Dit Penerimaan Negara, Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara, pemerintah setidaknya melakukan audit keuangan perusahaan 2 tahun sekali untuk mengetahui apa yang sudah dibayarkan apakah lebih bayar, kurang bayar ataupun sesuai yang sudah dibayarkan, antara lain berapa hasil produksi, pajak, royalti, dan
lain sebagainya. Audit tersebut dilakukan oleh Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).77 Jadi walaupun manajemen perusahaan ditangan perusahaan kontraktor, pemerintah juga mampu mengaudit keuangan perusahaan tersebut. Menurut penulis apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah tepat karena apa yang dilakukan pemerintah adalah upaya mengoptimalkan penerimaan
77
Wawancara pribadi dengan Priyo Adi Kumoro. Jakarta, 23 juni 2015.
69
negara yaitu royalti dari hasil tambang karena merupakan amanat dari pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Tetapi alangkah lebih baik lagi jika pemerintah lebih tegas kepada semua perusahaan pemegang kontrak karya khususnya dalam hal ini PT. Freeport Indonesia karena belum menyesuaikan kontrak karya yang salah satu poin renegosiasi tentang penyesuaian royalti karena berdampak kepada penerimaan negara yang tidak optimal dalam kata lain merugikan pemerintah Indonesia karena mereka belum membayar apa yang seharusnya dibayarkan, walaupun tidak melanggar karena dalam pasal 169 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara tidak disebutkan dengan jelas pengecualian batasan waktu tentang penerimaan negara tetapi seharusnya PT. Freeport Indonesia segera menyesuaikan kontrak karya tersebut. Lagi pula apabila PT. Freeport dengan itikad baik menerapkan asas proporsionalitas, jelas hal ini tidak akan terjadi karena merugikan pihak pemerintah Indonesia, karena dalam asas proporsionalitas menekankan pada pengakuan terhadap hak, peluang dan kesempatan kepada para pihak sehingga pertukaran berjalan dengan adil, fair dan tidak ada pihak yang dirugikan. Lagi pula renegosiasi merupakan hal yang wajar dilakukan dalam dunia bisnis dalam hal konteks situasi, terutama pada kontrak yang masa berlakunya panjang
70
seperti kontrak karya pemerintah Indonesia dengan PT. Freeport Indonesia dan memang seharusnya PT. Freeport Indonesia patuh dan tunduk pada semua peraturan yang berlaku di Indonesia karena PT. Freeport Indonesia merupakan badan hukum Indonesia.
71
72
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan diantaranya sebagai berikut: 1.
Dalam pembagian royalti antara PT. Freeport Indonesia dengan Pemerintah
Indonesia
dapat
dikatakan
tidak
terdapat
asas
proporsionalitas dari awal pembuatan kontrak hingga penerapan isi kontrak. 2.
Dalam hal penyesuaian ketentuan mengenai royalti yang merupakan amanat dari pasal 169 (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, royalti emas belum disesuaikan dari 1% menjadi 3,75% oleh PT. Freeport Indonesia. Tetapi pada akhirnya PT. Freeport sudah menandatangani nota kesepahaman renegosiasi pada juli 2014 yang terdiri dari 6 poin yang salah satunya mengenai penyesuaian royalti. Karena proses renegosiasi itu sangat kompleks maka hingga saat ini masih dilakukan negosiasi dan belum ada sanksi terkait hal ini.
B. Saran Pada akhir penulisan ini, penulis mengemukakan beberapa saran diantaranya sebagai berikut:
72
73
1.
Pemerintah harus memberikan kepastian hukum kepada investor, dan merevisi undang-undang agar tidak adanya tumpang tindih. Serta menjamin adanya konsisten antara peraturan dan perundangan.
2.
Dalam membuat kontrak dengan investor asing pemerintah selalu menerapkan asas-asas hukum yang ada sehingga berdampak pada tujuan dan kepentingan negara dalam hal ini pendapatan negara yang optimal serta selalu berpihak kepada kepentingan negara dan tidak terlalu memanjakan pada kepentingan investor.
3.
Pemerintah harus lebih tegas dalam memberikan sanksi kepada pemegang kontrak karya yang tidak mau melakukan renegosiasi. Agar tidak ada lagi pemegang kontrak karya yang tidak patuh pada peraturan di Indonesia. Dan tidak membedakan antara investor asing yang satu dengan lainnya.
4.
Harus dibuat peraturan mengenai penagihan royalti yang seharusnya sudah berlaku tetapi belum dilaksankan oleh perusahaan pemegang kontrak karya agar pendapatan negara menjadi optimal.
5.
Bagi perusahaan tambang pemegang kontrak karya harus patuh terhadap peraturan yang berlaku di Indonesia.
74
DAFTAR PUSTAKA
Al Quran BUKU: AK, Syahmin. Hukum Kontrak Internasional. Jakarta: RajaGrafindo, 2006. Echols, John M dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Hanitijo, Rony. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998). Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2010. H.S, Salim. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Ilmar, Aminuddin. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007. Makmur, Syafrudin. Hukum Acara Perdata Sekelumit Teori dan Praktek. Ciputat: t.p., 2013. Marzuki, Peter Mahmud. Batas-batas Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Yuridika, 2003. Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta: RajaGrafindo, 2007. Pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia, Kontrak Karya. Jakarta: 1991. Sigit, Soetaryo. Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan Indonesia. Jakarta: Penerbit Yayasan Minergi Informasi Indonesia, 2004. Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermusa, 1996. Subekti, R dan Tjitrosudibjo, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Pradnya Paramita, 2004). Sudrajat, Nandang. Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia. Jakarta: Pustaka Yustisia, 2013.
75
Sutedi, Adrian. Hukum Pertambangan. Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers, 2001. Soekanto, Soerjono & Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). Jakarta: Rajawali Pers, 2001. Syahrani, Riduan. Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Alumni, 2010. Tim Kompendium. Kompendium Bidang Hukum Investasi. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Ham RI, 2011. Tim Redaksi Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Tim Wahyu Media, Pedoman Resmi UUD 1945 & Perubahannya. Jakarta: Wahyu Media, 2014. Trihastuti, Nanik. Hukum Kontrak Karya Pola Kerjasama Pengusahaan Pertambangan Indonesia. Malang: Setara Press, 2013. UNDANG-UNDANG: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara. WAWANCARA: Wawancara pribadi dengan Syarifudin. Jakarta, 17 juni 2015. Wawancara pribadi dengan Priyo Adi Kumoro. Jakarta, 23 juni 2015. INTERNET: “Sejarah PT. Freeport Indonesia”, artikel diakses pada 20 mei 2015 dari http://ptfi.co.id/id/media/facts-about-feeport-indonesia/facts-about-kontrak-karya.