PERBANDINGAN EFEKTIVITAS TERAPI KOMBINASI SALEP 2-4 DAN SABUN SULFUR 10% DENGAN SALEP 2-4 TUNGGAL SEBAGAI PENGOBATAN SKABIES DI PONDOK PESANTREN BAIT QUR’ANI CIPUTAT, TANGERANG SELATAN Laporan penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
Oleh : Firda Fakhrena NIM : 1112103000006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji Syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat-Nya kepada kita. Shalawat serta salam tak lupa kami junjungkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyyah ke zaman yang terang benderang ini. Alhamdulillah berkat rahmatnya, saya dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Perbandingan Efektivitas Terapi Kombinasi Salep 2-4 dan Sabun Sulfur 10% dengan Salep 2-4 Tunggal Sebagai Pengobatan Skabies di Pondok Pesantren Bait Qur’ani Ciputat, Tangerang Selatan.” Penyusunan laporan penelitian ini dapat terselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat:
1. Dr. H. Arif Sumantri, SKM., M.Kes. selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Keseharatan UIN Jakarta, 2. dr. Witri Ardini, M.Gizi, SpGK selaku Ketua Program Studi Pendidikan Dokter beserta segenap dosen prodi ini yang selalu membimbing dan memberikan ilmu kepada saya selama menjalani masa pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. dr. Nouval Shahab, SpU, PhD, FICS, FACS selaku Penanggung Jawab Modul Riset Program Studi Pendidikan Dokter 2012. 4. dr. Meizi Fachrizal Achmad, M.Biomed selaku pembimbing pertama yang selalu memberikan masukan dan arahannya dalam menyusun penelitian ini, memberikan semangat
dan
motivasi
di
setiap
bimbingannya
sehingga
saya
dapat
menyelesaikan penelitian ini. 5. dr. Rahmatina, Sp.KK selaku pembimbing kedua saya yang selalu memberikan masukan dan arahannya dalam menyusun penelitian ini. Senantiasa bersedia menerima kedatangan kami untuk berkunjung ke rumahnya hingga larut malam dan membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian kami.
iv
6. Kedua orang tua saya tercinta, Drs. H. Muhyiddin, MM.MBA dan Hj. Yayah Nurlianah, S.Pd, M.Pd, yang selalu mendukung dan mendoakan saya demi kelancaran penelitian ini. 7. dr. Faris El Haq dan dr. Arini Retno Palupi, kedua kakak saya yang turut berkontribusi dalam penelitian saya sebagai dokter yang memeriksa seluruh santri di Pondok Pesantren Bait Qur’ani dan sebagai orang yang merekomendasikan pesantren ini sebagai sarana penelitian. 8. Ibu Nurul, Ibu Azizah dan Ibu Aisyah yang telah membantu kelancaran pengobatan sebagai ketua koordinasi pengawas pemakaian obat skabies untuk santri di Pondok Pesantren Bait Qur’ani. 9. Teman seperjuangan penelitian, Hana Qonita, Atina Nabila dan Irwana Arif yang telah menyemangati, membantu, dan berjuang bersama di dalam penelitian ini. Teman- teman PSPD 2012 untuk waktu yang telah dilalui bersama selama masa pendidikan saya di FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 10. Semua pihak yang telah memberi dukungan dan doa kepada saya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu
Saya menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Kritik dan saran yang membangun sangat membantu demi terwujudnya laporan penelitian yang lebih baik dan bermanfaat untuk masyarakat. Akhir kata, semoga segala bantuan yang diberikan dalam penelitian ini akan mendapat balasan, barokah dan ridho dari Allah SWT. Aamiin.
Wassalamualaikum Wr. Wb
Ciputat, 15 September 2015
Penulis
v
ABSTRAK Firda Fakhrena. Program Studi Pendidikan Dokter. Perbandingan Efektivitas Terapi Kombinasi Salep 2-4 dan Sabun Sulfur 10% dengan Salep 2-4 Tunggal Sebagai Pengobatan Skabies di Pondok Pesantren Bait Qur’ani Ciputat, Tangerang Selatan. Berbagai macam pengobatan direkomendasikan untuk penyakit skabies, salah satunya adalah salep 2-4 dan sabun sulfur 10%. Tujuan Penelitian : Mengetahui perbandingan efektivitas sembuh secara klinis penggunaan kombinasi Salep 2-4 dan sabun sulfur 10% dengan Salep 2-4 tunggal terhadap penyakit skabies. Metode Penelitian : Penelitian ini adalah uji klinis yang dilakukan selama 3 minggu dan di follow up tiap minggunya. Populasi penelitian adalah santri dari Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling. Hasil penelitian ini dianalisis menggunakan uji Fisher’s Exact Test. Hasil Penelitian : Terdapat perbedaan jumlah yang sembuh secara klinis dari kelompok penelitian yang menggunakan salep 2-4 dan sabun sulfur 10% dengan salep 2-4 dan sabun non-sulfur, non-antiseptik namun perbedaan jumlah tersebut tidak bermakna secara statistik yaitu pada minggu pertama (p=0,177), minggu kedua (p=0,528) dan minggu ketiga (p=0,677) Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10% dibandingkan dengan salep 2-4 tunggal dalam pengobatan skabies. Kata Kunci : Skabies, Salep 2-4, Sabun Sulfur 10%, Kesembuhan Klinis. ABSTRACT Firda Fakhrena. Medical Education Program. Effectiveness Comparation of Combination Therapy of Ointment 2-4 and 10% Sulfur Soap Compared to Ointment 2-4 only For Scabies Treatment in Bait Qur'ani Ciputat Boarding School. Various treatments are recommended for scabies disease, one of which is ointment 2-4 and 10% sulfur soap. Objective: To determine the effectiveness comparison of clinical cure by applying the combination of Ointment 2-4 and 10% sulfur soap compared to ointment 2-4 only against scabies disease. Methods: This study is a clinical trial study done for 3 weeks and was followed up in every week . The study population are students of Bait Qur'ani Boarding School, Ciputat. Sampling was taken by consecutive sampling. The results of this study were analyzed using Fisher's Exact Test. Results: There were differences in numbers who were cured clinically from the research group using the ointment 2-4 and 10% sulfur soap compared to ointment 2-4 and non-sulfur soap, non-antiseptic. The different amount is not significant statistically in first week (p=0,177), second week (p=0,528) and third week (p = 0.677). Conclusions: There were no significant differences between the combination of ointment 2-4 and 10% sulfur soap compared to ointment 2-4 only in the treatment of scabies. Keywords: Scabies, Ointment 2-4, 10% Sulfur Soap, Clinical Cure.
vii
DAFTAR ISI LEMBAR JUDUL.................................................................................................................i LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA............................................................. ii LEMBAR PERSETUJUAN...............................................................................................iii LEMBAR PENGESAHAN................................................................................................ iv KATA PENGANTAR........................................................................................................... v ABSTRAK.......................................................................................................................... vii DAFTAR ISI...................................................................................................................1 viii DAFTAR TABEL............................................................................................................. 1 xi DAFTAR GAMBAR....................................................................................................... 2 xii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................. 2 xiii BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3 1 1.1 Latar Belakang...........................................................................................................3 1 1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................ 3 1.3 Hipotesis....................................................................................................................... 3 1.4 Tujuan Penelitian.......................................................................................................... 4 1.5 Manfaat Penelitian.....................................................................................................5 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................... 5 6 2.1 Landasan Teori..............................................................................................................6 2.1.1 Sinonim.......................................................................................................... 7 6 2.1.2 Definisi Skabies..............................................................................................8 6 2.1.3 Cara Penularan atau Transmisi....................................................................... 9 6 2.1.4 Biologi Tungau Skabies................................................................................10 6 2.1.5 Gejala Klinis.................................................................................................12 8 2.1.6 Manifestasi Klinis.........................................................................................13 9 2.1.6.1 Manifestasi Klasik............................................................................13 9 2.1.6.2 Atypical Skabies............................................................................. 13 11 2.1.6.3 Skabies Norwegia ( Skabies berkrusta)..........................................15 12 2.1.7 Komplikasi...................................................................................................18 13
viii
2.1.7.1 Infeksi Sekunder.............................................................................................. 18 13 2.1.8 Pembantu Diagnosis.................................................................................... 19 13 2.1.9 Diagnosis Banding.......................................................................................21 14 2.1.10 Pengobatan Skabies................................................................................... 21 14 2.1.10.1 Obat Skabies yang Direkomendasikan.........................................22 14 2.1.11 Pengobatan Topikal dalam Dermatologi....................................................23 18 2.1.11.1 Prinsip Pengobatan Topikal..........................................................24 18 2.1.12 Penilaian Setelah Pengobatan....................................................................23 24 2.1.13 Perhatian Khusus untuk Lingkungan.........................................................23 28 2.1.13.1 Selimut dan Seprai....................................................................... 23 28 2.1.13.2 Pakaian dan Barang Pribadi......................................................... 23 28 2.1.13.3 Perabotan dan Lingkungan Hidup................................................23 29 2.1.14 Edukasi Skabies.........................................................................................23 29 2.1.15 Identifikasi Wabah..................................................................................... 23 30 2.1.15.1 Protokol untuk Investigasi Kasus Skabies ................................. 23 31 2.1.16 Evaluasi Tindakan Pengendalian Skabies..................................................23 32 2.1.16.1 Kegagalan dalam Pengendalian Skabies...................................... 23 32 2.1.17 Langkah-langkah untuk Mencegah Skabies.............................................. 23 33 2.1.17.1 Penilaian Kulit..............................................................................23 33 2.1.18 Populasi Anak............................................................................................ 23 35 2.1.18.1 Tanggung Jawab Fasilitas.............................................................23 35 2.1.18.2 Pengendalian Penularan............................................................... 23 36 2.1.18.3 Edukasi untuk Pengaturan Populasi Anak....................................23 36 2.2 Kerangka Teori............................................................................................... 23 37 2.3 Kerangka Konsep........................................................................................... 23 38 2.4 Definisi Operasional....................................................................................... 23 39 BAB III METODOLOGI PENELITIAN................................................................... 23 41 3.1 Jenis Penelitian dan Desain Penelitian........................................................... 23 41 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian......................................................................... 23 41 3.3 Populasi dan Sampel.......................................................................................23 41 3.3.1 Jumlah Sampel.................................................................................. 23 41 3.3.2 Cara Pengambilan Sampel................................................................ 23 42 3.3.3 Kriteria Sampel................................................................................. 23 42
ix
3.3.3.1 Kriteria Inklusi........................................................................ 23 42 3.3.3.2 Kriteria Eksklusi......................................................................23 43 3.3.3.3 Kriteria Drop Out (DO)...........................................................23 43 3.3.3.4 Variabel....................................................................................23 43 3.3.3.5 Alat dan Bahan........................................................................ 23 43 3.4 Cara Kerja Penelitian......................................................................................23 44 3.4.1 Alur Penelitian...................................................................................23 45 3.5 Manajemen Data.............................................................................................23 46 3.5.1 Pengumpulan Data............................................................................ 23 46 3.5.2 Pengolahan Data................................................................................23 46 3.5.3 Analisa Data...................................................................................... 23 46 3.5.4 Rencana Penyajian Data....................................................................23 46 3.5.5 Etika Penelitian................................................................................. 23 46
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN............................................. 23 47 4.1 Prevalensi Skabies.......................................................................................... 23 47 4.2 Karakteristik Penderita................................................................................... 23 48 4.3 Hasil Pengobatan............................................................................................ 23 50 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 23 56 5.1 Kesimpulan.....................................................................................................23 56 5.2 Saran............................................................................................................... 23 56 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................23 59 LAMPIRAN...................................................................................................................23 63
x
DAFTAR TABEL
4.1 Prevalensi Penderita Skabies pada Pondok Pesantren Bait Qur’ani............................47 4.2 Distribusi Penderita Skabies menurut Jenis Kelamin..................................................48 4.3 Distribusi Penderita Skabies Berdasarkan Usia...........................................................49 4.4 Diagram Distribusi Penderita Skabies Berdasarkan Usia............................................49 4.5 Uji Perbedaan Kesembuhan pada Dua Kelompok Penelitian......................................51 4.6 Diagram Perbedaan Kesembuhan pada Dua Kelompok Penelitian.............................52
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Siklus Hidup.......................................................................................................3 Gambar 2. A. Papul Eritema dan Gatal pada Axilla Orang Dewasa....................................5 B. Papul Eritema dan Gatal pada Anak..............................................................5 Gambar 3. Distribusi Penyakit SkabiesBerdasarkan Lokasi di Tubuh................................6 Gambar 4. Bagan Vehikulum.............................................................................................19 Gambar 5. Pilihan Terapi untuk Pengobatan Skabies........................................................25 Gambar 6. Pengobatan Skabies yang Disarankan Untuk Populasi Khusus.......................26 Gambar 7. Bagan Alur Skabies..........................................................................................27 Gambar 8. Protokol Investigasi Skabies............................................................................31
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Komisi Etik.......................................................................................... 59 Lampiran 2. Lembar Persetujuan Responden Penelitian…............................................ 60 Lampiran 3. Alat dan Bahan Penelitian ............................................................................ 40 Lampiran 4. Proses Penelitian .......................................................................................... 64 Lampiran 5. Daftar Pengawasan Pemakaian Obat.............................................................66 Lampiran 6. Analisis Statistik............................................................................................ 68 Lampiran 7. Riwayat Penulis.............................................................................................71
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia berada di dalam daerah tropik basah atau daerah hangat dan lembab, hal ini ditandai dengan kelembaban udara yang tinggi (>90%), curah hujan tinggi, suhu rata-rata diatas 18oC (sekitar 23oC dan dapat mencapai 38oC pada musim kemarau). Perbedaan yang signifikan antara musim hampir tidak ada.1 Keadaan iklim tropik ini sangat mendukung pertumbuhan parasit dan infeksi lain di Indonesia.1 Sampai sekarang, penyakit parasit di Indonesia masih menempati posisi yang tinggi. Arthropoda merupakan salah satu parasit yang sering menimbulkan masalah kesehatan di Indonesia baik berupa sengatan racun atau gigitannya, maupun sebagai vektor penyakit baik penyakit yang ditimbulkan bakteri, virus, jamur, maupun cacing dan protozoa. Selain sebagai vektor penyakit, beberapa arthropoda lainnya dapat menimbulkan masalah kesehatan oleh karena infestasinya ke tubuh manusia, salah satunya adalah penyakit skabies yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei var. hominis. Penyakit scabies sekarang sudah tak dapat dianggap lagi sebagai penyakit yang diderita oleh golongan tingkat sosial ekonomi yang rendah saja, namun sudah menjadi penyakit kosmopolit yang menyerang semua tingkat sosial.2 Dibeberapa negara berkembang, prevalensinya berkisar antara 6-27% dari populasi umum dan puncaknya pada usia sekolah dan remaja. Prevalensi skabies telah meningkat di beberapa daerah di Indonesia, khususnya di tempat dengan sanitasi yang buruk dan hidup berkelompok seperti di asrama, rumah tahanan, barak tentara, pesantren, maupun panti asuhan dan panti jompo.3,4 Data pola 10 penyakit tersering di kota Medan tahun 2010 menunjukkan bahwa skabies menduduki urutan kelima setelah penyakit infeksi akut lain pada saluran napas atas, hipertensi, penyakit pada sistem musculoskeletal dan penyakit lain pada saluran napas atas.3 Pada bulan Januari 2012, dilaporkan bahwa terdapat 26 dari 137 orang penghuni rumah tahanan kelas II B Pacitan, Jawa Timur yang terjangkit penyakit skabies.4 Pada survei pendahuluan yang dilakukan, warga binaan yang tinggal di dalam setiap ruangan tahanan kelebihan kapasitas. Kapasitas ideal seluruh rumah tahanan adalah 73.000 orang, namun
1
2
jumlah warga binaan pemasyarakatan sebanyak 111.357 orang dan dengan begitu terdapat kelebihan penghuni sebesar 65,6%.5 Kelebihan kapasitas tersebut dapat mengganggu ketersediaan sanitasi lingkungan seperti air bersih dan luas ruangan tahanan yang tersedia sehingga penghuni tahanan memiliki keterbatasan untuk menjaga kebersihan diri dan memudahkan penularan skabies dalam lingkungan tersebut.5 Di bagian Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM pada tahun 1988, dijumpai 734 kasus skabies yang merupakan 5,77 % dari seluruh kasus baru. Prevalensi skabies pada 12 pondok pesantren di Kabupaten Lamongan pada tahun 2003 adalah 48,8 % dan pada tahun 2008, di Pondok Pesantren An-Najach Magelang adalah 43%.6 Penelitian tahun 2014 di Pondok Pesantren daerah Jakarta Timur adalah sebesar 51,6%, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis kelamin dan tingkat pendidikan.6 Santri maupun para penderita skabies di kelompok lingkungan lain yang menderita penyakit skabies akan terganggu kualitas hidupnya karena keluhan gatal yang cukup hebat dan infeksi sekunder yang dialaminya.7,8 Maka dari itu, pengobatan scabies harus dilakukan sedini mungkin bahkan sebelum timbulnya gejala. Hal ini karena, infestasi Sarcoptes scabiei dapat terjadi beberapa minggu sebelum manifestasi klinis timbul.8 Berbagai macam pengobatan direkomendasikan untuk scabies seperti permethrin, ivermectin, lindane, benzyl benzoat, crotamiton, sulfur dan decamethrin.8,9 Obat tersebut adalah obat topikal dalam bentuk cream dan salep. Namun untuk pemilihan obat penggunaannya perlu dipertimbangkan berbagai macam faktor, yaitu efektivitas, toksisitas, efek samping, harga, kepraktisan, dan kenyamanan pemakaian.10 Obat skabies yang masih digunakan di puskesmas adalah salep 2-4 yang mengandung Asam Salisilat 2% dan sulfur 4%. Salep 2-4 masih efektif untuk membunuh tungau dan larva, namun tidak efektif untuk membunuh stadium telur.7 Dalam penelitiannya, Moh Amer dkk (1981) memakai salep sulfur 5% didapatkan angka kesembuhan sebesar 81,8%.6,8 Irma Binarso, pada penelitiannya membandingkan salep 2-4 dan gameksan 1% didapatkan hasil kesembuhan salep 2-4 sebesar 69,05%.6 Dalam penelitiannya, Eka (2004) membandingkan efektivitas permetrin dengan salep 2-4 yang hasilnya adalah terdapat perbedaan jumlah penderita yang sembuh secara klinis antara pemberian permetrin 5% dengan salep 2-4, namun uji statistik antara kelompok pengobtatan tidak terdapat perbedaan yang bermakna.9
3
Pengobatan skabies dengan krim permethrin 5% lebih praktis namun harga lebih mahal. Sedangkan pengobatan skabies dengan salep 2-4 lebih murah tetapi compliance penderita menurun.9 Alebiosu dkk pada tahun 2003 meneliti efektivitas salep yang mengandung sulfur dan sabun untuk penyakit kulit yang sering terjadi seperti infeksi jamur, infestasi skabies, infeksi bakteri, acne vulgaris dan ketombe. Dari hasil penelitian tersebut, penggunakan salep yang mengandung sulfur dengan sabun memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik dibandingkan dengan pengobatan dengan salep sulfur saja untuk penyakit kulit diatas.10,11 Dari data tersebut, peneliti tertarik untuk mencari informasi dan melakukan penelitian mengenai perbedaan kecepatan sembuh penggunaan kombinasi Salep 2-4 dengan sabun sulfur dibandingkan dengan Salep 2-4 tunggal di Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat tahun 2015.
1.2 Rumusan Masalah Apakah terapi kombinasi Salep 2-4 dengan sabun sulfur 10% lebih efektif mengobati penyakit skabies dibandingkan dengan Salep 2-4 tunggal di Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat?
1.3 Hipotesis
Kombinasi Salep 2-4 dengan sabun sulfur 10% lebih efektif mengobati penyakit skabies dibandingkan dengan Salep 2-4 tunggal di Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat
4
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui perbedaan efektivitas sembuh secara klinis penggunaan kombinasi Salep 2-4 dengan sabun sulfur 10% dibandingkan dengan Salep 2-4 tunggal terhadap penyakit skabies pada santriwan - santriwati di Pondok Pesantren Bait Qur’ani sehingga dapat digunakan sebagai pengobatan yang direkomendasikan untuk mengobati penyakit skabies dan dapat mempercepat angka kesembuhannya.
1.4.2 Tujuan Khusus
a.
Untuk mengetahui prevalensi penyakit skabies
b.
Untuk mengetahui penyebaran penyakit skabies berdasarkan usia
c.
Untuk mengetahui penyebaran penyakit skabies berdasarkan jenis kelamin
d.
Untuk mengetahui efektivitas penggunaan kombinasi Salep 2-4 dan sabun sulfur 10% dibandingkan dengan salep 2-4 tunggal terhadap penyakit skabies pada santriwan dan santriwati di Pondok Pesantren Bait Qur’ani
1.5 Manfaat Penelitian 1. Bagi subjek penelitian a.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efektivitas penggunaan kombinasi Salep 2-4 dengan sabun sulfur 10% dibandingkan dengan Salep 2-4 tunggal kepada santriwan dan santriwati Pondok Pesantren Bait Qur’ani
2. Bagi Pondok Pesantren a.
Dapat memberikan masukan kepada Pemimpin Pondok Pesantren terhadap pengelolaan penyakit skabies.
5
3. Peneliti a.
Menambah pengetahuan peneliti mengenai penyakit skabies
b.
Menambah pengetahuan peneliti tentang efektivitas kombinasi Salep 2-4 dengan sabun sulfur 10% dibandingkan dengan Salep 2-4 tunggal
c.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal bagi penelitian selanjutnya mengenai pengobatan skabies
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA KONSEP
2.1
Tinjauan Pustaka
2.1.1 Sinonim The itch, gudik, budukan, gatal agogo.7
2.1.2 Definisi Skabies Scabies adalah infestasi dan sensitisasi ke dalam kulit yang disebabkan oleh tungau manusia, Sarcoptes scabiei var. Hominis.7
2.1.3 Cara Penularan atau Transmisi
Penularannya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah dibuahi atau kadang oleh bentuk larva.7 Selain Sarcoptes scabiei var. Hominis, dikenal pula Sarcoptes scabiei var. Animalis yang kadang-kadang dapat menularkan manusia yang banyak memelihara binatang peliharaan seperti anjing.7
1.
Kontak langsung Yaitu kontak kulit dengan kulit. Contoh : berjabat tangan, tidur bersama, dan hubungan seksual.7
2.
Kontak tak langsung Yaitu kontak melalui benda. Contoh : handuk, sprei, pakaian, bantal, dan lain-lain.7
2.1.4 Biologi Tungau Skabies
Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Ackarima, super famili Sarcoptes.7 Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei, pada hewan seperti kambing dan babi disebut Sarcoptes scabiei var. Animalis.7 Morfologi tungau ini adalah berbentuk oval, punggung cembung, perut datar, ukuran
6
7 betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350 mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yaitu 200-240 mikron x 150-200 mikron.7 Tungau dewasa memiliki 4 pasang kaki.1 2 Pasang kaki paling depan berfungsi untuk melekat, 2 pasang kaki belakang berakhir dengan rambut pada betina, pada jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan pasangan kaki keempat terdapat alat perekat.7 Infestasi dimulai ketika satu atau beberapa tungau betina yang telah dibuahi berpindah dari kulit manusia yang sudah terinfestasi oleh tungau tersebut, ke kulit orang lain yang belum terinfestasi.7,12 Setelah berpindah dari kulit orang yang telah terinfestasi, atau, lebih jarang dari tungau ke kulit orang yang belum terinfestasi, tungau betina dewasa berjalan di permukaan kulit, 1 inchi per menit mencari tempat untuk bersembunyi.7,12 Setelah menemukan lokasi yang cocok, tungau betina akan menggali lubang atau terowongan dalam stratum korneum dan membentuk terowongan sempit dengan kecepatan 2-3 mm sehari dimana tungau tersebut menyimpan 2 - 4 telur per hari sampai 40 atau 50 butir telur selama 4 - 6 minggu rentang hidupnya.7,12
Telur akan
menetas biasanya dalam waktu 3-5 hari dan berkembang menjadi larva yang memiliki 3 pasang kaki.7,12 Larva dapat tinggal diterowongan atau bisa juga di luar.7,12 Setelah itu, larva berubah menjadi nimfa setelah 2-3 hari kemudian.7,12 Nimfa mempunyai 2 bentuk yaitu jantan dan betina, sudah memiliki 4 pasang kaki.7,12 Nimfa akhirnya berkembang hingga menjadi tungau dewasa, dan seluruh siklus hidupnya mulai dari telur hingga dewasa memerlukan waktu 8-12 hari.7 Tungau dewasa migrasi ke permukaan kulit dan kawin disana. Tungau jantan mati dengan cepat, kadang masih dapat hidup beberapa hari di terowongan dan tungau betina penetrasi di kulit, mengulangi siklus.7,12 Tungau ini butuh manusia untuk melengkapi siklusnya dan tidak dapat bertahan di suhu ruangan lebih dari 3-4 hari.12
8
Gambar 1 : Siklus hidup Sarcoptes scabiei12
2.1.5 Gejala Klinis
Diagnosis dapat dibuat dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal, sebagai berikut : a.
Pruritus nokturia7 Aktivitas tungau skabies meningkat karena tungau ini suka dengan suhu yang lebih lembab dan panas pada malam hari.7
b.
Penyakit skabies menyerang manusia yang hidup berkelompok.7 Contoh : dalam sebuah keluarga, seluruh anggota keluarga terkena skabies, dalam sebuah daerah dengan pada penduduk, sebagian tetangga yang berdekatan akan terserang penyakit ini.7 Seluruh anggota keluarga terkena namun tidak menimbulkan gejala disebut juga hiposensitisasi.1 Penderita yang mengalami hal ini bersifat sebagai pembawa atau carrier.7
c.
Terdapat terowongan atau kunikulus pada tempat predileksi seperti sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah.7 Pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.7 Tempat predileksi tersebut merupakan tempat dengan stratum korneum yang tipis.7 Terowongan pada tempat predileksi berwarna putih atau keabuan, rata-rata 1 cm,
9 bentuk lurus atau berkelok, pada ujung terowongan dapat ditemukan papul atau vesikel.7 Jika sudah terjadi infeksi sekunder, ruam kulitnya menjadi polimorf (ekskoriasi, pustul, dll).7 d.
Ditemukan tungau.7 Dapat menemukan satu bahkan lebih stadium tungau ini. Hal ini merupakan yang paling diagnostik.7
2.1.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis skabies pada orang yang belum pernah terpapar sebelumnya oleh tungau ini biasanya 4-6 minggu, atau paling cepat satu minggu dan paling lama satu tahun.12 Pada orang yang sudah tersensitisasi atau sudah pernah terpapar pada skabies sebelumnya, manifestasi klinis akan muncul dalam waktu 1-4 hari setelah terpapar kembali.12 Infestasi skabies dapat bermanifestasi dalam 3 bentuk, yaitu manifestasi klasik, atypical dan skabies norwegia (skabies berkrusta).12
2.1.6.1 Manifestasi klasik
Manifestasi klinis ini adalah yang paling umum terjadi pada orang dengan penyakit skabies.12 Gejala primer dari skabies adalah gatal terus menerus yang semakin memberat pada malam hari atau setelah mandi dengan air hangat.12 Gatal tersebut bukan merupakan penyebab langsung dari tungau skabies tetapi sebagai hasil dari reaksi alergi sistemik pada tungau, telur, sekret (air liur) dan ekskret (feses).12
10
Gambar 2. A. Papul eritema dan gatal pada axilla orang dewasa, B. Papul eritema dan gatal pada punggung anak.12 Gejala lainnya adalah eritema (ruam merah), papul, pustul dan nodul.12 Intensitas gatal tidak berhubungan dengan jumlah tungau yang berinfestasi di host.12 papulovesikular 2-3 mm, bulat, dan simetris dapat kita lihat pada tubuh penderita.12 Biasanya terdapat 3-15 mm terowongan iregular berbentuk halus, dan berwarna, yang sulit untuk dilihat.12
Area tubuh yang biasa terkena adalah kulit dengan lapisan yang tipis dan area lipatan seperti : fleksor pergelangan tangan (bagian volar), sela jari tangan, mammae, areola, umbilicus, sepanjang diameter umbilicus, abdomen, intergluteal (celah pantat), pantat, paha, penis, scrotum, siku, kaki, ankle, lipatan ketiak.12
Area yang dapat terkena pada pekerja kesehatan yang terpapar termasuk bahu depan, dada,paha, dan abdomen.12
11
Gambar 3. Distribusi penyakit skabies berdasarkan lokasi di tubuh.12
Pasien ini biasanya mempunyai hanya 10-15 tungau betina dewasa yang hidup di tubuh manusia pada waktu tertentu. Biasanya, hanya 1 atau 2 tungau, seringnya tidak ada, yang dapat dilihat dari kerokan kulit.12 Kulit kepala dan wajah jarang mengenai orang dewasa, tetapi bisa terjadi pada anak-anak dengan skabies.12
2.1.6.2 Atypical skabies
Atypical skabies jarang terjadi. Manifestasi klasik seperti yang dijelaskan pada point 2.1.6.1 skabies seringkali turut serta pada tanda dan gejala atypical.12 Pasien dengan manifestasi klinis atypical adalah penderita dengan umur yang sangat muda, usia lanjut, lemah, dan orang dengan imunocompromised.12 Gejalanya berupa hiperpigmentasi luas, eritema, berskuama, dan pyoderma12
Gatal tidak muncul.12 Pada anak dapat mengalami eczema dan terdapat vesikel di kepala, belakang telinga,
12 leher, palmar, dan telapak kaki.12
Pada usia lanjut dapat mengalami gejala di kulit kepala dimana rambutnya menipis.12 Pada orang dengan usia lanjut, dimana kekebalan tubuhnya sudah menurun, dapat mengalami penurunan respon inflamasi atau sensitisasi terhadap infestasi tungau ini.12 Sistem imunnya tidak mengenal keberadaan tungau skabies sehingga tidak muncul reaksi imun terhadap tungau tersebut.12
2.1.6.3 Skabies Norwegia (Skabies berkrusta)
Skabies berkrusta adalah meluasnya infestasi dengan jutaan tungau dalam tubuh. Skabies berkrusta jarang terjadi.12 Ditandai dengan dermatosis berkrusta pada tangan dan kaki, kuku distrofik, skuama generalisata.12 Tungau dalam jumlah besar (berjuta-juta), kulit mengalami penebalan karena ledakan populasi tungau Sarcoptes scabiei yang berada dalam tubuh.12 Pengobatan topical kurang efektif karena sudah tidak dapat berpenetrasi ke dalam kulit.12 Usia lanjut, retardasi mental, kelemahan fisik, psikosis dan orang dengan immune-compromised adalah yang paling sering terjangkit penyakit ini.12 Eritema, hiperkeratosis, alopecia, hiperpigmentasi, pyoderma, dan eosinofilia (peningkatan sel darah putih yang biasa terjadi akibat respon alergi terhadap suatu infeksi parasit) mungkin akan muncul.12 Manifestasi klinis dapat mulai terjadi di bawah dan di sekeliling bantalan kuku.12 Ruam luas atau ruam lokal muncul.12 Lingkungan sekitar pasien merupakan lingkungan dengan kontaminasi yang tinggi oleh tungau. Bentuk ini sangat menular.12 Kondisi ini dapat menjadi penyebab oleh besarnya prevalensi skabies dalam perawatan jangka panjang.12
13 2.1.7 Komplikasi
2.1.7.1 Infeksi Sekunder
Kelainan kulit tidak hanya disebabkan oleh tungau skabies tapi juga akibat garukan. Gatal hebat yang disebabkan oleh sekreta dan ekskreta tungau memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah infestasi.7 Kelainan kulit yang terjadi menyerupai dermatitis dengan ditemukannya papul, vesikel, urtika, dan lain-lain.7 Kulit yang sudah digaruk mengalami erosi, ekskoriasi, krusta, dan akan terinfeksi oleh mikroorganisme lain.7 Bakteri yang biasa menginfeksi adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus epidermidis.7,12
2.1.8 Pembantu Diagnosis
Cara menemukan tungau : a.
Mula-mula cari terowongan, kemudian papul dan vesikel di ujung terowongan dicongkel dengan jarum dan diletakkan disebuah kaca objek lalu ditutup dengan kaca penutup dan dilihat dibawah mikroskop cahaya.7
b.
Menyikat dengan sikat dan ditampung diatas selembar kertas putih dan dilihat dengan kaca pembesar.7
c.
Dengan membuat biopsi irisan. Yaitu dengan mengiris tipis lesi yang dijepit dengan dua jari. Diiris dengan menggunakan pisau dan diperiksa dibawah mikroskop cahaya.7
d.
Biopsi eksisional dan diperiksa dengan pewarnaan HE.7 Kerokan kulit harus diperoleh dari minimal 1 penderita yang bergejala.7 Spesimen
tambahan dapat diperoleh dari petugas kesehatan, sukarelawan, dan/atau pengunjung.12
14 2.1.9 Diagnosis Banding
Penyakit skabies merupakan the great immitator karena banyak sekali penyakit kulit yang menyerupai dengan keluhan gatal.7 Berikut ini mempunyai tanda dan gejala yang mirip dengan skabies, yaitu prurigo, pediculosis corporis, acute urtikaria, dermatitis.7,12
2.1.10 Pengobatan Skabies
Pengobatan skabies harus dilakukan menyeluruh kepada semua anggota keluarga termasuk penderita yang hiposensitisasi.7
Syarat obat yang ideal : a.
Harus efektif terhadap semua stadium tungau.7
b.
Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksik.7
c.
Tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mengotori pakaian.7
d.
Mudah diperoleh dan harganya murah.7
Pengobatan yang cepat diperlukan untuk penderita yang sudah terdiagnosis skabies. Untuk yang telah terdiagnosis skabies dan yang telah kontak lama dengan penderita harus diberikan pengobatan.12 Kontak yang dimaksud antara lain petugas kesehatan, pengunjung, teman kamar dan teman yang sering berkontak dengan penderita.2 Jika kontak hanya minimal, seperti penjual makanan, penjual koran, penjual bunga, dan lain-lain, tidak diperlukan pengobatan.12
2.1.10.1 Obat skabies yang direkomendasikan antara lain :
1.
Krim Permethrin (5%)
Permethrin merupakan pengobatan yang paling direkomendasikan untuk penyakit skabies.12,13,14 Permethrin merupakan sintetik piretroid yang dapat melumpuhkan sampai
15 mematikan tungau skabies.12,13,14
Insektisida golongan piretroid sintetik merupakan
bahan sintetik kimia dari racun yang terdapat dalam tanaman piretrum.12,13,14 Piretroid sintetik mempunyai spektrum yang luas mulai dari ulat, kupu, kumbang, tungau, belalang, sampai udang.12,13,14 Piretroid sintetik sangat disukai karena mempunyai efek knokdown (jatuhnya hama setelah terkena pestisida) yang sangat cepat.12,13,14 Selain mempunyai beberapa kelebihan, piretroid sintetik juga mempunyai kelamahan.2,3 Racun pada piretroid sintetik hanya bersifat kontak sehingga jika dalam aplikasi pestisida tidak mengenai hama, dipastikan hama tersebut tidak mati.12,13,14 Pasien harus diberitahu gatal-gatal, rasa panas dapat terjadi setelah permethrin diaplikasikan ke kulit.12,13,14 Tetapi, gejala yang muncul tersebut bukan pertanda dari pengobatan yang gagal.12 Efektivitas permethrin >90% jika pemakaiannya sudah benar.12 Berikut ini langkah-langkah yang harus diikuti dalam pemakaian permethrin: a.
Semua penderita yang terdiagnosis skabies dan orang yang kontak dengannya harus diberikan pengobatan secara serentak dalam waktu 24 jam.12
b.
Mandikan dan keringkan penderita. Cuci rambut dan potong/bersihkan kuku di tangan dan kuku di kaki. Pastikan kuku tangan dan kaki.12
c.
Petugas kesehatan harus menggunakan sarung tangan dan baju tahan air sekali pakai selama memandikan dan membantu mengoleskan permethrin.12 Lengan pakaian harus berada dibawah sarung tangan.12
d.
Oleskan krim di seluruh permukaan tubuh dari leher sampai telapak kaki.12 Perlu perhatian khusus pada lipatan kulit, jempol tangan dan jempol kaki.12 Oleskan krim dibawah kuku jari tangan dan jari kaki dengan menggunakan sikat halus seperti sikat gigi, jika diperlukan.12
e.
Lepaskan sarung tangan dan baju anti air sekali pakai yang digunakan setelah pengolesan obat selesai.12
Masukan ke dalam kantung plastik dan dibuang
seperti biasa.12 f.
Cuci tangan, pergelangan tangan, dan lengan bawah dengan menggunakan sabun dan air mengalir.12
g.
Biarkan krim meresap pada penderita skabies selama 8-14 jam.12
h.
Oleskan kembali krim jika penderita mencuci tangan, mandi, dan segala kegiatan
16 yang dapat menghapus krim sebelum waktu yang telah ditentukan.12 i.
Hapus krim pada tubuh penderita dengan mandi setelah waktu pemakaian selesai.12
j.
Periksa pasien tiap minggu selama 3-4 minggu untuk memantau kesembuhan.2 Ulangi pengobatan satu minggu kemudian jika gejala belum mereda.12,19
Catatan : kemerahan akan timbul beberapa minggu setelah pengobatan tetapi gejala harus hilang.12
2. Ivermectin (Stromectol)
Ivermectin merupakan agen anti parasitik yang diindikasikan untuk infeksi yang disebabkan oleh parasit.12 Ivermectin belum mendapatkan persetujuan dari United State Food and Drug Administration untuk penggunaannya dalam penyakit skabies.12 Tetapi, berdasarkan penelitian baru-baru ini menyatakan ivermectin efektif 90-95% oral dengan dosis tunggal (200ug/kg) atau 0,2 mg/kg 2-3 dosis setiap 1-2 minggu.12,19 Penggunaan dosis ivermectin harus sesuai dengan anjuran dokter.2 Ivermectin dikonsumsi secara oral, satu jam sebelum makan pagi.12 Efektivitas ivermectin meningkat sampai 95% dengan dosis dua kali untuk skabies jenis atypical.12 Gatal dan ruam kemerahan dapat memburuk di hari pertama pemakaian ivermectin.2 Reaksi lokal atau bahkan sistemik dapat terjadi sebagai efek samping dari ivermectin.2 Penggunaan ivermectin direkomendasikan hanya bila tubuh penderita tidak dapat dioleskan oleh krim atau salep (contoh : pasien dengan ventilator, pasien yang mengalami kontraktur berat, dan/atau luka terbuka, dan/atau terdapat lesi jaringan lunak.12 Dosis tunggal ivermectin dapat diberikan bersama dengan agen keratolitik untuk pengobatan krusta skabies.12 Dosis tambahan dengan rentang waktu 2 minggu dapat diberikan untuk pasien dengan immunocompromised dan menderita krusta skabies.12
3. 10% Crotamiton (Eurax) Lotion Crotamiton efektif dalam mengobati penyakit skabies sebesar 50-70%.12 Oleskan di seluruh tubuh dan pemakaian diulangi setelah 24 jam atau bisa juga dioleskan
17 5 kali per hari.12 Lotion dapat dihapuskan setelah 48 jam pemakaian.12 Efek samping crotamiton adalah iritasi kulit, gatal, dan rasa panas.2 Keamanan dan efektivitas pada anak-anak belum terbukti.12 Crotamiton sebaiknya tidak digunakan pada kulit yang sedang mengalami inflamasi akut dan luka terbuka.12 Belum terbukti keamanannya untuk wanita hamil.12
4. Lindane 1% (Kwell) Lindane dioleskan pada kulit dan dibiarkan selama 8 jam.21 Dapat diulang setelah satu minggu.22 Tidak boleh digunakan pada bayi, anak dan wanita hamil.21 Lindane sudah tidak direkomendasikan untuk pengobatan skabies karena banyak terjadi resistensi, neurotoksik, dan berujung pada kematian.12,22
5. Salep Sulfur 4-20%
Digunakan tidak boleh kurang dari 3 hari karena tidak efektif pada stadium telur. Salep dihapus setelah 8 jam.23 Salep sulfur dapat digunakan sebagai pengobatan skabies jika pengobatan lain tidak dapat digunakan.2 Efek samping yang dapat terjadi adalah kulit kering dan iritasi.23 Penderita yang memiliki hipersensitivitas pada sulfonamid sebaiknya tidak boleh menggunakan salep ini.24
6. Benzyl Benzoate
Benzyl benzoate 20-25% adalah krim topikal yang diaplikasikan selama 24 jam 3 hari berturut-turut.25 Setelah pengobatan selama 24 jam, krim harus dihapus dengan sabun dan air.25 Untuk infestasi yang berat, krim tersebut dapat di ulang pengaplikasiannya 24 jam setelah pemakaian pertama.25 Pemakaian ulang harus dilakukan dalam 5 hari pertama.25 Efek samping yang ditimbulkan berupa gatal dan rasa panas.25
18 2.1.11 PENGOBATAN TOPIKAL DALAM DERMATOLOGI
Ada dua pedoman pengobatan topikal :
1. A. Basah dan basah
Jika dermatosis (kelainan kulit) basah (eksudatif) diobati dengan kompres terbuka.16 Tetapi, prinsip ini tidak mutlak, kompres terbuka juga digunakan pada dermatosis dengan peradangan yang hebat, misalnya erisipelas.16
B. Kering dengan kering Dermatosis kering diobati dengan vehikulum yang kering, misalnya salep.16
2.
Makin akut suatu dermatosis, makin lemah bahan aktif yang dipakai
Pada dermatosis akut jangan diberi terapi dengan bahan aktif yang kuat yakni dengan konsentrasi yang tinggi karena akan menghebat.16
Misalnya pada
tinea korporis yang akut jangan diobati dengan asam benzoik 12% melainkan 6%.16
2.1.11.1 Prinsip Pengobatan Topikal
Prinsip pengobatan topikal dibagi menjadi 2 bagian : 1. Vehikulum16 2. Bahan aktif.16
1. Vehikulum
Vehikulum adalah wahana, yang dimaksudkan ialah pembawa bahan aktif suatu obat.16 Vehikulum terdiri atas tiga, yakni cairan, bedak dan salep.16 Diantaranya terdapat campuran ketiganya ialah bedak kocok, krim, pasta berlemak, dan pasta
19 pendingin.16
Cairan
Bedak kocok
Krim
Pasta pendingin
bedak
pasta berlemak
Salep 16
Gambar 4. Bagan Vehikulum.
a.
Cairan Jika bahan pelarutnya akua disebut solusio.16 Kalau bahan pelarutnya alkohol,
eter, atau kloroform dinamakan tingtur.16 Solusio dapat dipakai untuk mandi, rendam, atau kompres.16 Yang tersering dilakukan ialah kompres.16 Contoh mandi ialah dengan membubuhi sedikit bubuk permanganas kalikus ke dalam satu ember air sampai warnanya keunguan untuk pasien varisela.16 Cara mengompres ada 2 macam : 1. Kompres terbuka.16 2. Kompres tertutup 16
b. Krim Krim ialah campuran lemak dan cairan, biasanya akua, agar dapat bercampur diperlukan emulgator, yang dapat mengikat baik air maupun lemak.16 Ada 2 macam krim, yaitu W/O (cold cream) dan krim O/W (vanishing cream).16
20 Bahan Bahan krim tersebut sebagian telah dijelaskan pada bab “salep” ialah cera alba, oleum olivarum, dan oleum sesami.6 Yang belum dijelaskan ialah cetaceum dan cera lanett N.16
Cetaceum Cetaceum atau spermatici merupakan lemak murni padat diperoleh dari lemak ikan paus, berupa kristal putih terutama terdiri atas cetylester dan asam palmitat, titik cairnya 43-47°C.16 Bila dicampur dengan lemak dan minyak memberikan konsistensi yang baik dan halus berwarna putih.16
Cera lanette N Juga merupakan lemak murni padat, terdiri atas cetyl alcohol yang ditambahkan ester asam sulfat dari fatty alcohol.16
Khasiat Krim mempunyai efek mendinginkan efek mendinginkan dan sebagai emolien.16 Efek pendingin vanishing cream besar daripada cold cream, sebaliknya daya emolien cold cream lebih besar daripada vanishing cream.16 Kedua krim tersebut dapat dpakai sebagai bahan dasar untuk berbagai bahan aktif, tetapi ada obat-obat yang dapat memisahkan emulsi sehingga tidak dapat dicampur dengan krim, misalnya resorsin dan fenol.16
Indikasi Krim dipakai pada kelainan yang agak eksudatif atau kering, tetapi superfisial yang biasanya terdapat pada dermatosis akut atau subakut.16 daya
Dibandingkan salep,
21 penetrasinya kurang sehingga tidak dipakai pada kelainan kulit yang kronik dan tebal seperti pada pemakaian salep.16 Meskipun demikian krim mempunyai kelebihan dibandingkan salep karena nyaman, dapat dipakai didaerah lipatan dan kulit yang berambut.16 Contoh penggunaan krim ialah pada dermatitis akut yang telah tidak eksudatif lagi setelah dikompres terbuka.16 Dalam apotek, biasanyang apotek tidak bersedia membuat krim karena tidak tersedia alat emulgator dan pembuatannya lebih sulit dibandingkan dengan salep.16 Jika hendak membuat resep krim, dan membubuhi bahan aktif dapat dipakai krim yang sudah jadi misalnya biocream.16
c.
Salep Salep ialah bahan lemak atau mirip lemak yang pada suhu kamar mempunyai
konsistensi seperti mentega.16 Bahan dasar terdiri atas lemak mineral dan lemak murni. Bahan yang tersering dipakai ialah vaselin (petrolatum).16
Bahan a.
Lemak mineral Contoh ialah vaselinum album, vaselinum flavum dan paraffinum liquidum. Yang terakhir ini tidak akan diuraikan karena jarang dipakai disebabkan oleh konsistensinya yang terlalu lunak.16
i.
Vaselinum album Diperoleh
dari
minyak
bumi.
Titik
cair
sekitar
10-50°C.16
Dapat
mengikat kira-kira 30% air, tidak berbau, transparan, tidak pernah menjadi tengik, konsistensi lunak.16 Dipakai untuk dasar salep, juga dalam krim, pasta, dan pasta pendingin.16
ii. Vaselinum flavum Berwarna kuning, pemakaiannya sama dengan vaselinum album.16
22 b.
Lemak Murni
i.
Adeps lanae Adeps lanae adalah lemak bulu domba murni, keras, dan lekat sehingga sukar
dioleskan pada kulit, mudah mengikat air.16 Adeps lanae hydrosue atau disebut juga lanolin ialah adeps lanae dengan akua 25-27%.16 Banyak digunakan sebagai salep, dipakai dengan konsentrasi 10% dalam vaselin sebagai emolien.16
ii. Cera alba Lilin lebah
berwarna
putih, konsistensinya padat
pada
suhu
kamar.16
Dipakai untuk membuat konsistensi obat menjadi lebih keras.16 Juga dipakai sebagai emulgator.16
iii. Cera flava Lilin lebah berwarna kuning, pemakaiannya sama dengan cera alba.16
c.
Minyak
Terdapat berbagai macam minyak, diantaranya : Oleum olivarum (minyak zaitun) Oleum sesami (minyak wijen) Oleum arachidis (minyak kacang) Oleum cocos (minyak kelapa) Oleum ricini (minyak jarak).16
Salap dengan bahan dasar minyak, konsistensinya lebih lunak (terlalu cair) daripada dengan vaselin.16
Indikasi Indikasi penggunaan salep untuk dermatosis yang kering dan tebal (proses kronik), termasuk likenifikasi dan hiperkeratosis karena salep mempunyai daya penetrasi yang
23 Baik.16 Contohnya : hiperkeratosis palmaris et plantaris, dermatosis atipik bentuk dewasa, dan neurodermatitis sirkumskripta.16 Demikian pula pada dermatosis yang berkrusta.6 Juga pada ulkus yang telah bersih, kalau masih kotor dikompres terbuka.16
Kontraindikasi Kontraindikasinya ialah pada radang akut, terutama dermatosis eksudatif karena salep tidak dapat melekat.16 Juga tidak nyaman bila dipakai pada daerah berambut karena menyebabkan perlekatan.16 Demikian pula bila dipakai pada daerah lipatan.16 Pada kelainan kulit yang akut dan kering lebih baik digunakan krim daripada salap karena jika diberi salap sering kulitnya meradang lagi (intoleransi).16
2. Bahan Aktif
Memilih obat topikal selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif yang dimasukkan ke dalam vehikulum yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai untuk pengobatan topikal.16 Khasiat bahan aktif topikal dipengaruhi oleh keadaan fisikokimia permukaan kulit, disamping komposisi formulasi zat yang dipakai.16 Penetrasi bahan aktif melalui kulit dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk konsentrasi obat, kelarutannya dalam vehikulum, besar partikel, viskositas, dan efek vehikulum terhadap kulit.16
Bahan aktif dalam salep 2-4 : A. Asam salisilat
Berupa kristal putih, mudah larut dalam alkohol (1:4), sukar larut dalam akua (1:650), agak larut dalam oleum ricini (1:10).16 Khasiatnya desinfektan, anti pruritik , antimikotik, dan antiinflamasi.16 Digunakan dalam solusio, bedak, bedak kocok, dan salep.16,17 Jika dipakai dalam bedak kocok harus dibubuhi alkohol karena daya larut dalam air rendah.16 Bila dikombinasikan dengan sulfur, efeknya sinergik.16 Pada konsentrasi 2% bersifat keratoplastik, dalam salep digunakan
24 untuk merangsang epitel pada ulkus yang telah bersih.16,17 Pada konsentrasi 3-20% bersifat keratolitik
digunakan
pada
dermatosis
yang
hiperkeratotik.16,17
Pada
konsentrasi tinggi 30-60% bersifat destruktif digunakan sebagai pengobatan kalus dan veruka.16,17 Solusio 1% dipakai sebagai kompres, berwarna jernih sehingga tidak mengotori pakaian dan seprai seperti larutan permanganas kalikus dan rivanol.16 Contoh pemakaian pada dermatitis yang eksudatif.16,19 Jika asam salisilat bercampur dengan oydum zincicum menjadi tak aktif karena terbentuk salycilicum zincicum.16 Asam salisilat 3-5% juga bersifat mempertinggi absorbsi perkutan bahan-bahan aktif, misalnya dicampur dengan preparat ter untuk pengobatan psoriasis.16 Pemakaian pada daerah yang luas hendaknya berhati-hati karena akan diabsorbsi dan bersifat toksik.16 Gejalanya sama dengan intoksikasi salisilat yakni : tinitus dengan gangguan mental, kematian pernah di laporkan.16
B. Sulfur Bersifat antiseboroik, anti akne, anti skabies, anti bakteri positif-Gram, dan anti jamur.16 Yang digunakan ialah sulfur yang terhalus, yaitu sulfur presipitatum (belerang endap) berupa bubuk kuning kehijauan.16 Biasanya dipakai dalam konsentrasi 420%.7,16 Dapat digunakan dalam pasta, krim, salap, dan bedak kocok.16 Contoh dalam salep ialah salep 2-4 yang mengandung asam salisilat 2% dan sulfur presipitatum 4%.14,16 Sedangkan contoh dalam bedak kocok ialah losio Kummerfeldi dipakai untuk akne.6 Farmakokinetik obat topikal menggambarkan perubahan konsentrasi obat setelah aplikasinya pada permukaan kulit, perjalanannya menembus sawar kulit dan jaringan dibawahnya, dan distribusinya ke dalam sirkulasi sistemik.15
2.1.12 Penilaian setelah pengobatan Symptom dapat bertahan walaupun pengobatan telah selesai sebagai reaksi hipersensitivitas terhadap tungau yang mati.12 Anti histamin dan steroid topikal krim (aplikasikan setelah skabisid telah dihapus) mungkin dapat digunakan untuk mengurangi symptoms.12 Symptoms akan membaik setelah 7 sampai 14 hari.12,18 Symptom yang terus bertahan lewat waktu tersebut merupakan pertanda pengobatan yang gagal.12,18
25 Berikut merupakan beberapa penyebab terjadinya kegagalan pengobatan skabies : a.
Pemakaian krim yang tidak rutin.12
b.
Gagal mengidentifikasi dan mengobati semua kasus skabies (termasuk penderita, pekerja kesehatan, keluarga, pengunjung, kerabat).12
c.
Paparan terus menerus pada penderita skabies lain.12
d.
Kebersihan lingkungan yang kurang terjaga.12
e.
Kurangnya pengawasan terhadap kasus skabies setelah dilakukan pengobatan.12
f.
Respon terhadap skabisid minimal karena penderita memiliki imunitas yang rendah.12
g.
Penggunaan steroid topikal saat pengobatan.12
h.
Resisten terhadap skabisid.12
Pilihan Terapi untuk Pengobatan Skabies
26
Gambar 5. Pilihan terapi untuk pengobatan skabies12
Pengobatan Skabies yang disarankan untuk populasi khusus
Penggunaan Lindane tidak direkomendasikan karena telah terjadi resistensi dan efek samping neurotoksik.12 Gambar 6. Pengobatan skabies yang disarankan untuk populasi khusus12
27 Bagan Alur Skabies
Pasien dengan gatal dan lesi
Diagnosis banding
Tidak
DIAGNOSIS Apakah gejala klinis dan hasil laboratorium menyokong skabies ? Ya
EVALUASI Apakah pasien menunjukkan gejala skabies berkrusta?
Tidak Terapi untuk pasien dan semua kontak risiko tinggi Edukasi pasien Farmakoterapi Lini pertama (skabisid topikal) Permetrin Lini kedua (skabisid topikal) Benzil benzoat Crotamiton Lindane Sulfur Terapi simtomatik: Antihistamin oral Kortikosteroid topikal Infeksi bakterial sekunder: Terapi dengan antibiotik yang sesuai
Gambar 5. Bagan Alur Skabies
Ya
Edukasi pasien Farmakoterapi Ivermetrin (oral) Ditambah Skabisid (topikal) Terapi hiperkeratosis: Obat keratolitik (misalnya: asam salisilat) Terapi simptomatik Antihistamin oral Kortikosteroid topikal Infeksi bakterial sekunder: Terapi dengan antibiotik yang sesuai
Follow up Pemeriksaan ulang pasien, 1-2 minggu setelah terapi awal Evaluasi Apakah terjadi perbaikan terhadap rasa gatal & lesi kulit atau lewat mikroskopis ?
Tidak
Ya
Ulang terapi
Tidak memerlukan terapi lanjut
28 2.1.13 Perhatian khusus untuk Lingkungan Kebersihan lingkungan adalah kunci untuk kontrol penyakit skabies.12 Tungau skabies dapat bertahan hidup di luar tubuh hostnya hanya 2-5 hari.12,18 Oleh sebab itu, desinfeksi lingkungan sekitar pada kasus skabies membantu mencegah reinfestasi dan transmisi.12 Ketika sedang membersihkan lingkungan penderita, harus selalu diberitahukan untuk memanaskan atau merendam pakaian dan sarung tangan yang digunakan dengan air panas.12
2.1.13.1 Selimut dan Seprai
a.
Semua seprai, termasuk sarung bantal, selimut harus diganti dan dicuci selama atau secepatnya selama pengobatan skabies dilakukan.12,18
b.
Semua handuk dan pakaian harus dicuci dengan air panas.12,18
c.
Ulangi hal diatas setelah pengobatan skabies telah selesai dilakukan.12,18
2.1.13.2 Pakaian dan Barang Pribadi
a.
Semua pakaian dan barang pribadi penderita harus segera dicuci. Jika penderita tinggal di sebuah asrama dan memulangkan pakaiannya ke rumah, disarankan untuk memisahkan pakaian yang dicuci dengan anggota keluarga yang lain dan sebaiknya menggunakan sarung tangan saat mencuci (disposable gloves). Suhu air untuk mencuci sebaiknya 120°F atau 50°C (pengaturan sepanas mungkin) selama 10 menit.12
b. Pakaian dan barang pribadi
yang disimpan dalam lemari atau laci dan belum
tersentuh oleh barang lain yang sudah terkontaminasi penderita tidak perlu dicuci atau di desinfeksi.12 c.
Semua barang seperti sepatu, mantel, boneka yang terpapar oleh penderita sebaiknya disimpan dalam kantung plastik dan diikat. Keringkan atau jemur barang-barang selama 20 menit atau ikat barang tersebut pada kantung plastik selama 1 minggu (7 hari) pada suhu ruangan atau lebih panas. Cara alternatif selain itu adalah simpan
29 barang pada sebuah kantung dan bekukan pada -20°C selama 12 jam.12 d. Simpan semua kosmetik dalam kantung plastik dalam 2 minggu pada suhu ruangan atau lebih panas sebelum digunakan lagi.12
2.1.13.3 Perabotan dan Lingkungan Hidup
Gunakan pembersih perabotan dan produk desinfeksi sesuai dengan arahan pabrik. a. Semua peralatan yang dapat dicuci sebaiknya dibersihkan sebelum di desinfeksi.12,18 b. Kasur, sarung bantal, tirai, seluruh peralatan kasur, lantai keramik yang terpapar oleh penderita skabies harus dibersihkan setelah skabisida dihapus.12,18 c. Vakum lantai karpet dan perabotan jika berada di dalam ruangan penderita atau ruangan terdekat yang dikunjungi oleh pasien. Selama pengobatan skabies, beberapa perabotan yang digunakan pasien, sebaiknya dilapisi.12,18 d.
Perabotan sebaiknya di vakum dan dilapisi dengan plastik selama 7 hari.12,18
2.1.14 Edukasi Skabies
Semua rencana kontrol penyakit skabies memerlukan pengetahuan dan pelatihan kepada semua staff kesehatan (seperti suster, dokter, dan mahasiswa di bidang kesehatan). Informasi umum juga harus diberikan untuk warga sekitar, keluarga, pengunjung, dan lain-lain. Pengetahuan yang adekuat dan akurat tentang pengobatan dan kontrol skabies akan memperbaiki pemahaman, mengurangi kecemasan, dan meningkatkan penanggulangan wabah.12,18 Selama skabies mewabah, informasi sebaiknya diberikan kepada semua individu termasuk
staff,
pasien,
keluarga
dan
pengunjung.
Mempersiapkan
informasi
sebanyak mungkin sebelum wabah terjadi, akan menghemat waktu berharga jika wabah terjadi dan dapat dikontrol dengan baik. Pertanyaan yang sering diajukan : 1. Apa itu skabies? 2.
Bagaimana penularan skabies?
3. Apakah cakupan terjadinya wabah? 4.
Kapan wabah terjadi?
30 5. Metode apa yang digunakan untuk kontrol wabah? 6. Pengobatan apa yang digunakan untuk mengobati wabah? 7.
Siapa yang bisa dihubungi untuk menggali informasi mengenai wabah ini?
8.
Kepada siapa seharusnya kasus skabies dilaporkan?
2.1.15 Identifikasi Wabah
Definisi wabah adalah terjadinya peningkatan yang tidak biasa suatu penyakit dalam populasi dalam waktu dan lokasi tertentu. Angka yang diharapkan untuk kasus skabies yang adalah 0.12 Tujuan identifikasi wabah skabies adalah pertama untuk menentukan dan konfirmasi agen
yang
menjadi
penyebab
wabah
tersebut;
menerapkan
langkah-langkah
pengendalian; identifikasi pengukuran untuk mencegah wabah di masa yang akan datang.12
31
2.1.15.1. Protokol untuk Investigasi Kasus Skabies Apakah pasien memiliki symptom penyakit skabies? Tidak
YA
Laporkan wabah (1 atau lebih kasus) ke Departemen Kesehatan
Tentukan tindakan yang tepat untuk diagnosis banding
Gunakan pelindung diri untuk semua yang pasien dicurigai
Tidak
Pertimbangkan atypical skabies
Kumpulkan 4-6 kerokan kulit atau potongan kuku per kasus untuk pemeriksaan lab
Secepatnya obati kasus dan yang kontak dalam hari yang sama
Apakah tingkat keparahan gejala menurun selama 2 minggu sejak awal pengobatan
Tidak Pertimbangkan kegagalan pengobatan, re-infestasi atau diagnosis alternatif
Tentukan tindakan yang tepat untuk diagnosis banding
Setelah pengobatan selesai, hentikan isolasi dan lakukan tindakan pencegahan
YA
Monitor kasus tambahan untuk memutus rantai penularan
Ulangi pengobatan dan perhatikan kebersihan lingkungan
Gambar 6. Protokol Investigasi Skabies.12
Ganti dan cuci seprai sebelum dan sesudah pengobatan Simpan barang-barang penderita di dalam kantung plastik dan letakkan dalam pemanas selama 20 menit ATAU simpan dalam kantung plastik dan biarkan selama 7 hari Telusuri kontak dan cari kasus yang baru
YA
Apakah kulit kerokan positif skabies? Tidak
Pertimbangkan diagnosis banding
Obati dengan skabisida jika diagnosis lainnya dapat disingkirkan dan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal
32
2.1.16 Evaluasi Tindakan Pengendalian Skabies
Penderita, pekerja kesehatan, dan pengasuh yang terinfestasi skabies, harus diperiksa ulang tiap minggu untuk menilai apakah pengobatan berhasil atau tidak. Pengobatan tambahan perlu dipertimbangkan jika gejala tidak membaik.12,18 Gatal dan ruam membaik 7-14 hari setelah pengobatan. Pengobatan gagal atau reinfestasi perlu dipikirkan jika tanda dan gejala skabies bertahan atau memburuk setelah periode waktu tersebut.12,18
2.1.16.1 Kegagalan dalam Pengendalian Skabies
Berikut ini alasan-alasan yang mungkin berpengaruh pada kegagalan pada kontrol skabies. 1. Pengobatan yang tidak adekuat, termasuk gagal mengaplikasikan ulang obat setelah terhapus selama periode pengobatan, gagal mematuhi petunjuk pemakaian obat, menggunakan steroid topikal selama periode pengobatan, gagal mengaplikasikan obat ke seluruh tubuh.12 2. Paparan
terus
menerus
pada
orang
yang
terinfestasi
akibat
kegagalan
mengidentifikasi kasus.12 3. Paparan terus menerus pada barang-barang yang kontak seperti selimut, pakaian, dan lain-lain.12 4.
Resistensi obat.12
5. Reinfestasi pada petugas kesehatan, dan pengunjung, akibat paparan keluarga penderita, dan teman kamar yang terinfestasi.12 6.
Penderita dengan immunocompromised.12
7.
Gagal mengidentifikasi dan melaporkan penderita yang memiliki gejala skabies.12
8.
Gagal mengidentifikasi dan mengawasi yang kontak dekat dengan penderita.12
Setiap tindakan pengendalian skabies yang belum dipatuhi, segera diperbaiki. Jika salah satu kegagalan diatas telah teridentifikasi, pemakaian ulang obat mungkin diperlukan.12
33
2.1.17 Langkah-langkah untuk Mencegah Skabies
Kebijakan pencegahan skabies, prosedur dan protokol harus dikembangkan dan dimanfaatkan oleh lembaga pelayanan kesehatan untuk mengatasi dan mencegah infestasi skabies.12 Rencana pencegahan skabies harus mencakup pendekatan sebagai berikut :
2.1.17.1 Penilaian Kulit
Saat masuk Pemeriksaan menyeluruh dari kulit kepala-kulit kaki apakah terdapat tanda dan gejala skabies terutama yang melibatkan sela-sela jari, tangan, pergelangan tangan, sikut, harus dilakukan dalam 24 jam untuk semua pasien.12
Berkala Pemeriksaan kulit yang menyeluruh, seperti yang dijelaskan diatas, harus dipenuhi dan didokumentasikan tiap minggu. Semua tanda dan gejala harus dilaporkan segera kepada petugas kesehatan. Pencegahan umum harus dilakukan oleh setiap pasien dengan gejala yang dicurigai sampai diketahui penyebab gejala tersebut. Pencegahan umum tersebut adalah menggunakan perlengkapan proteksi pribadi untuk semua kontak dengan kulit pasien, cairan tubuh, dan/atau pakaian.12
Pencegahan Umum (Universal) Perlengkapan proteksi pribadi seperti sarung tangan harus digunakan oleh setiap orang yang berkontak langsung dengan kulit pasien yang menunjukan efloresensi skabies. Cara mencuci tangan yang baik harus dilakukan sebelum dan sesudah menggunakan sarung tangan dan diantara kontak dengan semua pasien. Penggunaan hand sanitizer diperbolehkan jika tangan tidak terlihat kotor. Buanglah sarung tangan setiap habis digunakan.12
34
Perawatan Pasien Rutin Mandi harus dilakukan secara rutin. Pakaian harus diganti setiap habis mandi. Melakukan penilaian kulit pada saat mandi dianjurkan. Kuku jari tangan dan kuku jari kaki harus selalu pendek dan bersih.12
Pertimbangan Kebersihan Kegiatan membersihkan lingkungan secara rutin dan terjadwal harus dikembangkan, diterapkan dan dipelihara. Mengganti seprai harus dilakukan setidaknya setiap minggu dan lebih sering jika diperlukan. Barang pribadi pasien harus dicuci dan didesinfeksi.12
Edukasi Staff Semua karyawan harus secara berkala menerima informasi tentang skabies. Minimal, dalam pelatihan atau seminar edukasi tersebut menyampaikan informasi mengenai biologi, periode inkubasi, transmisi, tanda dan gejala, pengobatan, pencegahan, dan bagaimana mendokumentasikan dan melaporkan kasus skabies.12 Mengikuti satu kasus atau wabah skabies, menyediakan karyawan dengan “review setelah tindakan” dan rencana aksi (kegiatan peningkatan kerja) intuk menurunkan resiko kejadian berulang.12
Pertimbangan Tambahan Petugas kesehatan harus diberitahukan untuk melaporkan paparan skabies di rumah atau komunitas segera. Ketika dicurigai skabies, harus dilakukan pencarian langsung untuk kasus tambahan. Pergantian shift karyawan harus diminimalisir untuk menurunkan resiko penularan penyakit.12 Para karyawan sebaiknyaa menggunakan seragam yang baru setiap pergantian shift. Para karyawan harusmandi dan mengganti pakaian secepatnya setelah bekerja. Menggunakan aksesoris sebaiknya diminimalisir saat bekerja. Dianjurkan untuk menjaga kuku tetap pendek dan bersih untuk mencegah penularan penyakit.12
35
2.1.18 Populasi Anak
Tempat penitipan anak, sekolah, dan tempat aktivitas anak lainnya sering memiliki kesulitan dalam kontrol skabies. Anak-anak lebih sering melakukan kontak satu sama lain, yang dapat meningkatkan kesempatan penularan selama di tempat tersebut. Kepanikan masal dapat mudah terjadi jika terdapat kasus seperti ini. Informasi berikut ini dimaksudkan untuk membantu dalam kontrol skabies di populasi anak-anak.12
2.1.18.1 Tanggung Jawab Fasilitas
a.
Setiap anak yang memiliki tanda dan gejala skabies harus segera diperiksa ke dokter untuk evaluasi dan diagnosis. Skabies harus bisa di curigai ketika anak memiliki ruam yang menyebabkan gatal hebat, terutama saat malam.12
b.
Anak-anak yang dicurigai memiliki penyakit skabies yang terletak di area tubuh yang tidak ditutupi oleh pakaian harus di hindari dari kontak dengan yang lain sampai selesai dievaluasi oleh dokter. Anak-anak yang dicurigai memiliki penyakit skabies yang terletak di area tubuh yang ditutupi oleh pakaian, dapat dipulangkan ke rumah. Anak-anak yang menetap di sekolah, harus di isolasi dari kegiatan, contohnya kegiatan ekstrakulikular untuk mencegah penularan langsung kulit dengan kulit.12
c.
Anak yang sudah terdiagnosis dengan skabies harus diisolasi dari sekolah dan kegiatan ekstrakurikular sampai pengobatan telah selesai dilakukan. Jika topikal krim skabies telah digunakan (yang digunakan semalaman), anak-anak dapat kembali ke sekolah hari berikutnya setelah pengobatan selesai.12
d.
Laporkan tiap wabah ( satu atau lebih anak yang memiliki gejala) kepada pelayanan kesehatan setempat.12
e.
Anggota staff yang ditunjuk harus mencatat daftar yang kontak pada kasus skabies. Daftar tersebut harus termasuk anak di tingkat berapa, umur, gejala, kapan orangtua atau pengasuh menyadari munculnya gejala tersebut, apakah sudah dibawa berobat ke dokter.12
f.
Fasilitas atau sekolah harus memberikan edukasi kepada orangtua pasien atau pengasuhnya yang memiliki anak di kelas yang sama atau sering kontak langsung
36
dengan penderita skabies bahwa gejala skabies akan muncul, paling lambat 6 minggu setelah paparan. Pada saat memberikan informasi, tidak perlu disertakan nama anak yang terinfestasi oleh skabies tersebut.12 g.
Pertemuan umum dengan orang tua atau pengasuh untuk membahas masalah apa yang sedang dihadapi dan langkah-langkah yang akan diambil untuk mencegah penyebaran di masa yang akan datang dapat membantu mencegah kepanikan masal di kalangan orangtua.12
2.1.18.2 Pengendalian Penularan
a.
Berkoordinasi dengan pelayanan kesehatan setempat untuk mengidentifikasi dan menerapkan langkah-langkah yang tepat untuk mencegah penularan skabies.12
b. Kasus skabies harus mendapatkan pengobatan dengan skabisida dan harus diikuti sampai gejala hilang dan tidak ada lesi baru yang muncul. Jika pengobatan skabies berhasil, intensitas gatal dan ruam akan membaik selama periode 7-14 hari.12,18 c.
Jika tanda dan gejala bertahan, lebih intensif, atau terdapat lesi baru dalam 7-14 hari, kegagalan pengobatan atau diagnosis banding harus dipertimbangkan. Bawa anak-anak ke dokter untuk di evaluasi ulang.12,18
d. Gagal untuk benar-benar mengobati kontak erat dengan kasus dan anggota keluarga dapat menyebabkan terjadinya reinfestasi. Kegiatan surveilans untuk kasus skabies harus dilakukan jika telah terjadi reinfestasi.12,18
2.1.18.3 Edukasi untuk Pengaturan Populasi Anak
a.
Edukasi untuk guru, petugas kesehatan, dan staff tentang penyakit ini termasuk gejala, pengobatan, dan metode pencegahan dapat menurunkan resiko penularan dengan mendeteksi dini kasus.12,18
b. Pelatihan kepada guru, petugas kesehatan dan staff harus dilakukan secara rutin sebagai agenda tahunan dalam pemberian informasi penyakit ini.12,18 c.
Orang tua sudah harus diinformasikan mengenai penyakit ini di awal tahun
37
ajaran baru saat anak pertama kali masuk, beberapa fakta mengenai tanda dan gejala penyakit skabies, orang yang harus dilaporkan dalam yayasan tersebut jika menemukan kasus ini, dan evaluasi yang tepat oleh dokter.12,18
2.2 Kerangka Teori Anamnesis :
Pemeriksaan Fisik :
1.
Pasien mengeluh gatal terutama malam hari
Lokasi lesi : sela-sela jari tangan, pergelangan tangan
2.
Terdapat
bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan,
keluhan
serupa
pada
kerabat
areola mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia
atau keluarga 3. Tinggal bersama dengan kerabat atau keluarga
eksterna (pria), dan perut bagian bawah Jenis lesi : papul, vesikel, terdapat kunikulus, pustul
yang mengalami keluhan serupa
Diagnosis skabies memenuhi 2 dari 4 tanda kardinal : 1. Gatal malam hari Skabies
2. Hidup berkelompok 3. Terdapat
kunikulus
pada
tempat predileksi 4. Ditemukannya tungau
Pengobatan topikal A. Faktor yang mempengaruhi absorbsi obat topikal : 1. Jenis vehikulum 2. Faktor fisiokimiawi 3. Penetration enhancer 4. Oklusi dan lokasi aplikasi obat topikal B. Compliance penderita C. Reinfestasi D. Kebersihan pribadi dan lingkungan
1.
Peremthrin 5% 2. Lindan 1% 3. Sulfur 4-20% 4. Krotamiton 5. Emulsi benzilbenat (20-25%) 6. Gameksan 1%
Pengobatan sistemik
1. Anti-histamin sedative 2. Infeksi sekunder : ditambahkan antibiotik 3. Ivermektin
Ulangi pengobatan 1 minggu kemudian jika diperlukan. Kontrol tiap minggu Tidak muncul lesi baru dalam 2 minggu, vesikel dan papul hilang 80%
1. 2. 3. 4. 5.
Usia Pendidikan Kebersihan lingkungan Perilaku sehat Kontak penderita
38
2.3 Kerangka Konsep Pemeriksaan Fisik
Anamnesis
Diagnosis presumtif 1. Lesi kulit pada daerah predileksi 2. Pruritus nokturia 3. Riwayat serupa dengan kontak erat
skabies
Terapi topikal serentak
Salep 2-4 dengan sabun sulfur 10%
Salep 2-4 tunggal
Sembuh
Tidak sembuh
Gejala hilang setelah 2 minggu Tidak timbul lesi baru dalam 2 minggu, papul dan vesikel hilang 80%
Gejala bertahan atau memburuk setelah 2 minggu Timbul lesi baru dalam 2 minggu, papul dan vesikel hilang <80%
39
2.4 Definisi Operasional No.
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat
Hasil Ukur
Ukur 1.
Salep 2-4
Salep
Ukur
2-4
Aplikasikan salep 2-
Catatan
merupakan salep
4 selama 3 malam
harian
2. Tidak
yang
berturut-turut,
pemakai
Kriteria :
mengandung zat
selama
an salep
1. Ya :
aktif
8 jam, seluruh tubuh
2-4
Salep
asam
Nominal
1. Ya
2-4
telah
salisiliat 2% dan
mulai
leher.
diaplikasikan
sulfur 4% yang
Setelah wudhu dan
sesuai arahan
efektif
mandi,
2. Tidak :
untuk
mengobati
dari
salep
2-4
diaplikasikan ulang
Salep
penyakit skabies
Skala
2-4
atau
tidak kurang
lengkap diaplikasikannya
2.
Sabun sulfur 10%
Sabun
sulfur
Aplikasikan
sabun
10%
sulfur
terapi
topikal
mandi pagi dan sore
pemakai
Kriteria :
dalam
sediaan
selama
an sabun
1. Ya :
sabun
yang
sulfur
Sabun sulfur 10%
minggu
selama 5 menit
harian
1. Ya
10% merupakan
3
tiap
Catatan
2. Tidak
mengandung
diaplikasikan
10% sulfur
sesuai arahan 2. Tidak : Sabun sulfur 10% tidak atau kurang lengkap diaplikasikannya
Nominal
3 .
Kesembuhan
Kesembuhan
skabies
skabies
ditandai
dengan
gejala
berkurang setelah 2 minggu, tidak muncul lesi baru dalam 2 minggu, papul dan vesikel hilang 80%
Anamnesis dan pemeriksaan fisik setelah di
minggu pertama,
dan ketiga
1. Sembuh
kontrol
2. Sembuh
minggu 1,
pengobatan
minggu
Catatan
kedua minggu
minggu 2 dan minggu 3
Nominal
Tidak
Kriteria : 1. Sembuh
:
gejala
skabies
berkurang setelah 2
minggu, tidak
ada
lesi
baru
dalam 2 minggu, papul dan vesikel hilang 80% 2.Tidak
Sembuh
: Gejala skabies bertahan
atau
memburuk setelah 2 minggu, muncul lesi baru dalam 2 minggu, papul dan vesikel <80%
hilang
41
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian Desain penelitian pada penelitian ini adalah uji klinis untuk mengetahui perbandingan efektivitas terapi kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10% dibandingkan dengan terapi salep 2-4 tunggal terhadap angka kesembuhan skabies.
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 3 minggu pada bulan Februari dan Maret dimulai dari tanggal 28 Februari - 20 Maret 2015 di Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat.
3.3 Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah santri dari Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat. Sampel yang diambil sebanyak jumlah perhitungan sampel.
3.3.1
Jumlah Sampel Rumus besar sampel yang digunakan adalah berdasarkan jenis pertanyaan pada penelitian ini yaitu analitis kategorik tidak berpasangan dengan kontrol negatif dan kontrol positif masing-masing satu orang. N1 = N2 = (Zα√2PQ + Zβ√P1Q1 + P2Q2)2 (P1-P2)2 1,64 √2 x 0,79 x 0,21 + 0,84 √0,89 x 0,11 + 0,69 x 0,31 (0,89 - 0,69)2 N1 = N2 = 25,64 orang = 26 orang untuk masing-masing kelompok
41
42
Keterangan:
N = jumlah sampel setiap kelompok perlakuan Zα = derivat baku alfa = 95% = 1,64 Zβ = derivat baku beta = 20% = 20% = 0,84 P2= proporsi kesembuhan salep standard menurut pustaka = 0,69 Q2= 1 – P2 = 1 – 0,69 = 0,31 P1 – P2 = selisih proporsi minimal = 0,2 P1= proporsi kesembuhan obat yang diuji = P2 + 0,2 = 0,6 + 0,2 = 0,89 Q1= 1 – P1 = 1 – 0,8 9= 0,11 P = P1+P2 = 0,89 + 0,69 = 0,79 2
2
Q = 1 – P = 1 – 0,79 = 0,21
3.3.2
Cara Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling sehingga semua subjek yang memenuhi syarat penelitian akan direkrut.
3.3.3
Kriteria Sampel
3.3.3.1 Kriteria Inklusi
1. Seluruh santri Pondok Pesantren Bait Qur’ani Ciputat dan bersedia mengikuti peneilitian. 2. Santri yang tinggal serta menginap di Pondok Pesantren Bait Qur’ani Ciputat. 3. Santri yang memenuhi kriteria diagnosis skabies. 4. Santri yang tidak dalam pengobatan skabies dalam 1 bulan terakhir
43
3.3.3.2 Kriteria Ekslusi
1. Santri dengan komplikasi infeksi sekunder 2. Santri yang menunjukkan gejala-gejala klinis penyakit kulit lain. 3. Santri yang sudah mendapatkan pengobatan skabies atau dalam masa pengobatan. 4. Santri yang mempunyai riwayat hipersensitivitas terhadap komponen obat yang diuji.
3.3.3.3 Kriteria Drop Out (DO)
1. Santri yang tidak mengikuti pengobatan sesuai yang diarahkan sebagai sampel penelitian. 2. Santri yang tidak selesai menjalankan pengobatan skabies 3. Santri yang mengundurkan diri dari sampel penelitian. 4. Santri yang berobat ke tempat pengobatan lain.
3.3.3.4 Variabel Variabel Bebas Salep 2-4 dan sabun sulfur 10 % ;
Salep 2-4 tunggal
Variabel terikat Kesembuhan skabies
3.3.3.5 Alat dan Bahan Bahan
1. Salep 2 - 4 2. Sabun sulfur
44
3. Sabun non - sulfur dan non - antiseptik Alat
1. Kaca pembesar 2. Senter 3. Catatan pemakaian harian obat 4. Sarung tangan
3.4 Cara Kerja Penelitian
Penelitian ini dimulai dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis skabies berdasarkan gejala klinis.
Semua subjek yang memenuhi kriteria direkrut sampai besar sampel minimal terpenuhi (consecutive samping).
Sampel yang memenuhi kriteria inklusi dibagi menjadi 2 kelompok dengan menggunakan simpel randomization.
Satu kelompok sampel diberikan pengobatan kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10%.. Sabun sulfur yang digunakan pada penelitian ini adalah sabun JF sulfur®
Kelompok yang ke -2 diberikan pengobatan dengan menggunakan salep 2-4 dan sabun non - sulfur dan non - antiseptik. Pada penelitian ini sabun non-sulfur dan non-antiseptik yang digunakan adalah sabun Giv®
Pengobatan salep 2-4 dilakukan selama 3 hari berturut-turut tiap malam, mulai pukul 20.00 WIB hingga pukul 0 4.00 WIB. Salep diaplikasikan ulang jika terhapus dan dipantau dengan catatan harian pemakaian obat tiap santri
Pengobatan dengan sabun JF sulfur® dan sabun Giv® dilakukan dua kali sehari selama 3 minggu. Setiap kali mandi, sabun didiamkan selama 5 menit.
Selanjutnya dilakukan observasi dan penilaian kesembuhan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik ulang di minggu 1, minggu 2, dan minggu 3 sejak hari pertama pemakaian obat kemudian dilakukan pengolahan data.
45
3.4.1 Alur Penelitian Semua santri di Pondok Pesantren Bait Qur’ani yang menginap Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk diagnosis skabies
Santri terdiagnosis skabies
Santri yang masuk dalam kriteria inklusi Dilakukan pembagian 2 kelompok dengan menggunakan simple randomized Kelompok 1 : mendapatkan pengobatan dengan salep 24 dan sabun sulfur 10%
Kelompok 2 : mendapatkan pengobatan dengan salep 2-4 dan sabun non sulfur, non antiseptik
Pengobatan dilakukan selama 3 hari berturut-turut tiap malam. Mulai pukul 20.00-04.00 WIB untuk salep 2-4. Dan untuk sabun sulfur dan sabun nonantiseptik&non-sulfur dipakai tiap mandi pagi dan sore selama 3 minggu, didiamkan selama 5 menit. Observasi dan penilaian kesembuhan hari ke - 7
Observasi dan penilaian kesembuhan hari ke - 14 Observasi dan penilaian kesembuhan hari ke - 28
Pengolahan data
46
3.5 Manajemen Data 3.5.1 Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis skabies.
3.5.2 Pengolahan Data Pengolahan data menggunakan SPSS 21.
3.5.3 Analisa Data Analisa perbedaan efektivitas obat dilakukan dengan uji Chi-Square Test. Namun karena syarat uji Chi-Square Test yaitu nilai Expected <5 dan maksimal 20% dari jumlah sel tidak terpenuhi, maka digunakan uji alternatif yaitu dengan uji Fisher’s Exact Test.
3.5.4 Rencana Penyajian Data Data hasil penelitian secara deskriptif dan analitik dalam bentuk tabel dan gambar.
3.5.5 Etika Penelitian
a.
Mendapat persetujuan untuk melakukan penelitian dari Kaprodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Mendapat persetujuan untuk melakukan penelitian dari pihak Pondok Pesantren Baitul Qur’an Ciputat. c.
Semua subjek penelitian akan diberikan penjelasan secara lisan dan tertulis mengenai tujuan dan cara penelitian.
d. Penelitian ini akan dijalankan setalah mendapatkan persetujuan secara sukarela (informed consent) dari sampel. e. Subjek yang akan diteliti berhak menolak untuk tidak mengikuti penelitian.
47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Prevalensi Skabies di Pondok Pesantren Pondok pesantren yang menjadi tempat dilakukannya pemeriksaan skabies adalah Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat. Jumlah santri yang diperiksa sebanyak 110 orang dengan jumlah laki-laki sebanyak 59 orang dan perempuan sebanyak 51 orang. Berikut dibawah ini data prevalensi skabies di Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat. Tabel 4.1 Prevalensi Penderita Skabies pada Pondok Pesantren Bait Qur’ani No . 1.
Diagnosis Skabies
Dengan Infeksi Sekunder Tanpa Infeksi Sekunder
2.
Bukan Skabies TOTAL
Jumlah Santri 9 orang
Presentase (%) 8,2% 40,9%
36 orang
65 orang 110 orang
32,7%
59,1% 100%
Prevalensi skabies pada Pondok Pesantren Bait Qur’ani adalah sebesar 45 orang (40,9%). Jumlah santri yang diduga tidak menderita skabies sebesar 65 orang (59,1 %). Prevalensi skabies tanpa infeksi sekunder adalah sebesar 36 orang (32,7%) dan prevalensi skabies dengan infeksi sekunder adalah sebesar 9 orang (8,2%). Prevalensi skabies di Pondok Pesantren Bait Qur’ani lebih rendah dibandingkan dengan Prevalensi skabies di Pondok Pesantren Darul Mujahadah Kabupaten Tegal sebesar 61,8% (Yasin, 2009). Prevalensi skabies di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta sebesar 74,7% (Rohmawati 2010) dan pada penelitian pada tahun 2014 di Pondok Pesantren daerah Jakarta Timur adalah sebesar 51,6% (Ratnasari dan Saleha Sungkar, 2014).
47
48
Hal ini kemungkinan disebabkan oleh : a.
Prevalensi skabies di daerah dengan lokasi padat penduduk, hidup berkelompok, dan dengan higienitas yang rendah lebih besar hasilnya, seperti pada penelitian Isa Ma’rufi pada tahun 2005, santri di Ponpes Lamongan yang tinggal di pemondokan dengan kepadatan hunian tinggi (<8m2 untuk 2 orang) sebanyak 245 orang mempunyai prevalensi penyakit skabies sebesar 71,40%, sedangkan santri yang tinggal di kepadatan hunian rendah (>8m2 untuk 2 orang) sebanyak 93 orang mempunyai prevalensi penyakit skabies sebesar 45,20%.
b.
Pada Pondok Pesantren Bait Qur’ani ini, lingkungan padat hunian dan berkelompok, mengganggu ketersediaan sanitasi lingkungan dan luas ruangan yang tersedia sehingga penghuni pondok pesantren memiliki keterbatasan untuk menjaga kebersihan diri dan memudahkan penularan skabies dalam lingkungan tersebut. Menurut Peraturan Kementrian Kesehatan No.829 tahun 1999 kepadatan hunian ruang tidur minimal 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam satu ruangan kecuali anak usia <5 tahun.4 Sementara pada Pondok Pesantren Bait Qur’ani, ruang tidur yang digunakan berukuran 6x5 m2 berisi 5 orang.
c.
Variasi prevalensi skabies di berbagai tempat juga dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan
B. Karakteristik Penderita Berikut adalah distribusi penderita skabies menurut jenis kelamin di Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat. Tabel 4.2 Distribusi Penderita Skabies Menurut Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Jumlah
%
Laki-laki
29
64,4%
Perempuan
16
35,6%
Total
45
100%
49
Pada tabel 4.2 diatas, dari 45 orang penderita skabies dapat dilihat bahwa jumlah penderita skabies pada laki-laki (64,4%) lebih banyak dari jumlah perempuan yang menderita skabies (35,6%). Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang membuktikan bahwa prevalensi skabies pada laki-laki lebih besar dibandingkan dengan perempuan seperti pada penelitian Eka (2004) dengan jumlah penderita skabies pada laki-laki sebesar 84,4%, sedangkan pada perempuan hanya 15,6%. Pada penelitian oleh Heru pada tahun 2014 didapatkan penderita skabies pada laki-laki sebesar 53,3% dan perempuan sebesar 46,7%. Pada hasil pengumpulan data tahun 2001 oleh KSDAI, dari 9 rumah sakit di 7 kota besar di Indonesia didapatkan jumlah laki-laki yang menderita skabies sebanyak 566, dan perempuan sebanyak 326.22 Hal ini diduga disebabkan terutama oleh higiene perorangan pada laki-laki yang lebih rendah dibandingkan perempuan. Higiene perorangan meliputi frekuensi mencuci pakaian dan handuk, kebiasaan berganti pakaian dan handuk dengan teman, frekuensi mandi, dan kebersihan alas tidur.5 Pada asrama laki-laki Pondok Pesantren Bait Qur’ani, alas tidur yang digunakan adalah kasur lipat, jarak yang memisahkan satu kasur dengan yang lain berdekatan, kebiasaan menumpuk pakaian kotor di sembarang tempat, dan memakai ruang kelas untuk dijadikan ruang tidurnya dengan jumlah hunian yang padat, sehingga kesempatan untuk menjaga kebersihan diri terganggu. Dibandingkan dengan asrama putri Pondok Pesantren Bait Qur’ani, walaupun mereka juga menggunakan kasur lipat dengan jarak yang berdekatan, namun mereka memiliki ruang khusus untuk tidur. Sehingga resiko penularan skabies di ruang tidur hanya terbatas pada satu ruangan.
50
Berikut adalah distribusi penderita skabies berdasarkan usia di Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat.
Tabel 4.3 Distribusi Penderita Skabies Berdasarkan Usia Usia
Jumlah
%
5-11 tahun
14
31,1%
12-16 tahun
29
64,5%
>16 tahun
2
4,4%
Jumlah
45
100%
Gambar 4.4 Diagram Distribusi Penderita Skabies Berdasarkan Usia
Rentang usia yang diambil adalah berdasarkan kategori usia menurut Depkes RI tahun 2009, yakni usia anak-anak (5-11 tahun), remaja awal (12-16 tahun) dan remaja akhir (17-25 tahun). Pada tabel 3 didapatkan bahwa jumlah penderita skabies berumur 12-16 tahun lebih banyak (64,5%) dibandingkan dengan jumlah penderita skabies berumur 5-11 tahun (131,1%), dan > 15 tahun (4,4%). Hal ini sesuai dengan distribusi penderita skabies dari 9 rumah sakit di 7 kota besar oleh KSDAI tahun 2001 didapatkan kelompok umur 5-14 tahun paling besar insidennya yaitu 487 dari 892 penderita skabies. Pada penelitian Ria, 2007 juga didapatkan kelompok umur paling tinggi jumlah penderita skabiesnya adalah
51
umur 5-14 tahun sebanyak 75,5%. Penelitian-penelitian tersebut mendukung bahwa skabies sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, dimana anak-anak dan dewasa muda memiliki faktor resiko yang tinggi untuk saling menularkan karena perilaku sehat diantara mereka masih rendah. Santri pada Pondok Pesantren Bait Qur’ani adalah santri di tingkat MI dan MTS, dimana usia mereka semua masih tergolong dalam usia anak dan dewasa muda sehingga perilaku sehat meliputi pengetahuan, sikap dan tindakan terhadap penyakit masih rendah. Salah satu contohnya adalah sering mengabaikan bertukar pakaian dan handuk dengan teman. Selain itu, usia anak-anak juga cenderung dapat menularkan skabies dengan cepat karena sangat dekatnya interaksi diantara mereka. C. Hasil Pengobatan Banyaknya subjek yang diperlukan dalam penelitian ini adalah ≥ 52 orang untuk masing-masing kelompok penelitian. Pada penelitian ini, jumlah sampel yang diperoleh tidak memenuhi persyaratan jumlah sampel dalam rumus penelitian karena jumlah santri yang menderita skabies di Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat hanya sebanyak 36 orang tanpa infeksi sekunder. Seluruh subjek penelitian dibagi dua kelompok dengan metode alokasi random yaitu dibagi dua kelompok sama besar (18 orang untuk masing-masing kelompok). Namun pada hari ke-2 pengobatan didapatkan satu santri pulang untuk berobat ke tempat lain sehingga santri tersebut dimasukan ke dalam kriteria drop out. Santri tersebut adalah santri yang mendapatkan pengobatan dengan salep 2-4 dan sabun non-sulfur, non-antiseptik. Jumlah santri yang menjadi subjek penelitian kini berjumlah 35 orang. Santri dari kelompok penelitian salep 2-4 dengan sabun sulfur 10% yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang dan santri perempuan sebesar 7 orang. Santri dari kelompok penelitian salep 2-4 tunggal yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 8 orang dan santri perempuan sebesar 9 orang.
52
Setelah dilakukan pengobatan selama 3 hari, seluruh santri dilakukan follow up tiap minggunya dan dinyatakan sembuh menurut Panduan Praktis Klinis RSCM tahun 2012 jika :
1. Tidak timbul lesi baru dalam 2 minggu 2. Papul dan vesikel menghilang 80%
Pengobatan skabies dikatakan gagal jika gejala gatal malam hari menetap bahkan memburuk setelah 2 minggu. Penilaian kesembuhan klinis selain dari tinjauan pustaka, dilihat dari kontrol positif dan kontrol negatif masing-masing satu orang dengan menggunakan cream permethrin 5%. Setelah satu minggu dilakukan pengobatan, dilakukan pengobatan ulang kepada santri yang masih belum menunjukkan kesembuhan klinis. Santri yang dilakukan pengobatan ulang pada minggu pertama adalah sebanyak 7 orang. Berikut adalah hasil uji perbedaan kesembuhan pada dua kelompok penelitian di Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat.
53
Tabel 4.5 Uji Perbedaan Kesembuhan pada Dua Kelompok Penelitian
Follow up Kelompok Perlakuan
Follow up Minggu Pertama
Follow up Minggu ke-2
Follow up Minggu ke-3
Sembuh
Tidak Sembuh
Jumlah
%
Jumlah
%
Salep 2-4 dan Sabun Sulfur
16
(88,9%)
2
(11,1%)
Salep 2-4
12
(70,6%)
5
(29,4%)
Salep 2-4 dan Sabun Sulfur
15
(83,3%)
3
(16,7%)
Salep 2-4
15
(88,2%)
2
(11,8%)
Salep 2-4 dan Sabun Sulfur
16
(88,9%)
2
(11,1%)
Salep 2-4
15
(88,2%)
2
(11,8%)
Nilai p
0,177
0,528
0,677
Penelitian yang dilakukan selama 3 minggu pada 35 santri dengan penyakit skabies tanpa infeksi sekunder ini didapatkan hasil kesembuhan klinis pada kelompok perlakuan kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10% pada follow up minggu pertama sebanyak 16 santri (88,9%), follow up di minggu ke-2 sebanyak 15 santri (83,3%), dan follow up ke3 sebanyak 16 santri (88,9%). Sedangkan pada kelompok perlakuan salep 2-4 tunggal, angka kesembuhan klinis pada follow up minggu pertama sebanyak 12 santri (70,6%), follow up minggu ke-2 sebanyak 15 santri (88,2%), dan follow up minggu ke-3 sebanyak 15 santri (88,2%). Follow up di minggu pertama pada kelompok perlakuan salep
2-4 dengan
sabun sulfur 10%, didapatkan santri yang tidak sembuh sebanyak 2 santri (11,1%),
54
follow up minggu ke-2 sebanyak 3 santri (16,7%), dan follow up minggu ke-3 sebanyak 2 santri (11,1%). Sedangkan pada kelompok perlakuan salep 2-4 tunggal, santri yang tidak sembuh pada follow up minggu pertama sebanyak 5 santri (29,4%), follow up minggu ke-2 sebanyak 2 santri (11,8%), dan follow up minggu ke-3 sebanyak 2 santri (11,8%). Gambar 4.6 Diagram Perbedaan Kesembuhan pada Dua Kelompok Penelitian
Penggunaan salep 2-4 dengan sabun sulfur 10% di follow up pertama, kedua dan ketiga menunjukan angka cukup tinggi. Hal ini disebabkan konsentrasi sulfur dalam salep 2-4 adalah 4% dan sabun sulfur yang diberikan mengandung sulfur 10%, sehingga jika dibandingkan dengan penggunaan salep 2-4 dengan sabun non-sulfur dan non-antiseptik, kombinasi salep 2-4 dengan sabun sulfur lebih efektif membunuh larva dan tungau dewasa karena konsentrasinya yang meningkat sehingga absorbsinya akan lebih baik. Dibuktikan dengan terdapatnya perbedaan jumlah sembuh yang lebih banyak pada sampel yang memakai kombinasi salep 2-4 dengan sabun sulfur. Jumlah angka kesembuhan salep 2-4 dengan sabun sulfur 10% mengalami penurunan di follow up minggu kedua dan meningkat kembali di follow up minggu ke-3. Hal ini kemungkinan disebabkan karena terjadinya reinfestasi skabies. Penderita yang mempunyai sensitisasi terhadapat tungau skabies dapat muncul gejala klinis kembali 2-3 hari kemudian. Presentase kesembuhan salep 2-4 dengan sabun sulfur 10% adalah
55
sebesar 88,9%. Penggunaan salep 2-4 dengan sabun non-sulfur dan non-antiseptik di follow up minggu pertama jumlahnya hanya sebanyak 12 orang (70,6%). Hal ini terjadi karena salep 2-4 hanya membunuh larva dan tungau saja tanpa membunuh telur. Telur baru akan menetas setelah 3-4 hari sehingga di follow up ke-2 dan ke-3 baru terjadi peningkatan jumlah sembuh dengan salep 2-4 tunggal. Selain itu, jika dibandingkan dengan terapi kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10% memiliki konsentrasi sulfur yang lebih tinggi sehingga pada pemakaian salep 2-4 tunggal jumlah santri yang sembuh secara klinis lebih sedikit dibandingkan dengan terapi kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10%. Jumlah santri yang sembuh pada terapi kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10% pada minggu pertama yaitu 88,9% dibandingkan dengan salep 2-4 tunggal hanya sebesar 70,6%. Dari hasil uji Fisher’s Exact Test antara kelompok perlakuan kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10% dibandingkan dengan salep 2-4 tunggal didapatkan pada follow up minggu pertama (p =0,177), follow up minggu kedua (p=0,528), dan follow up minggu
ketiga (p=0,677) yang artinya tidak terdapat perbedaan bermakna proporsi
kesembuhan antar kelompok. Kemungkinan penyebab hal ini adalah : 1.
Salep 2-4 dan sabun sulfur 10% memiliki kemampuan yang sama dalam absorbsinya di kulit, namun karena pemakaian sabun memang terbatas digunakan saat mandi saja dan hanya selama 3 minggu, efektivitasnya pada terapi kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10% dibandingkan dengan salep 2-4 tunggal tidak terdapat perbedaan jumlah santri yang sembuh secara signifikan antar dua kelompok
2.
Penggunaan sabun hanya 3 minggu, sementara efektivitas sabun dalam mengobati penyakit kulit sebaiknya diaplikasikan selama 6 minggu.
3.
Sampel yang diperoleh pada penelitian ini, tidak memenuhi syarat jumlah sampel penelitian sehingga hasil uji statistik yang diperoleh tidak menunjukkan perbedaan bermakna proporsi kesembuhan antar kelompok.
Pada tabel 4.5, walaupun jumlah santri yang sembuh pada terapi kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur lebih banyak dibandingkan dengan terapi salep 2-4 tunggal, namun perbedaan jumlah santri yang sembuh diantara dua kelompok hanya berbeda 4 orang di minggu pertama, jumlah yang sama di minggu kedua, dan 1 orang di minggu ke tiga sehingga pada saat dilakukan penilaian saat observasi didapatkan hasil pengobatan dengan
56
menggunakan kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10% lebih efektif dalam mengobati penyakit skabies dibandingkan dengan salep 2-4 tunggal, namun ketika di uji secara statistik, perbedaan jumlah yang sembuh tersebut tidak menunjukkan hasil yang bermakna walaupun secara klinis menunjukkan hasil perbedaan kesembuhan klinis yang lebih banyak pada santri yang menggunakan terapi kombinasi salep 2-4 dengan sabun sulfur 10% dibandingkan dengan salep 2-4 tunggal. Dapat dilihat presentase kesembuhan klinis salep 2-4 dengan sabun sulfur 10% adalah sebesar 88,9% dan salep 2-4 tunggal sebesar 70,6%.
Beberapa faktor yang menyebabkan pada penelitian ini didapatkan jumlah sampel penelitian yang tidak memenuhi syarat rumus sampel penelitian :
1.
Jumlah santri yang menderita penyakit skabies pada waktu tersebut hanya berjumlah 36 orang tanpa infeksi sekunder
2.
Sampel penelitian tidak diperoleh dari beberapa pondok pesantren namun hanya berasal dari satu pondok pesantren yakni Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat, hal inilah yang menyebabkan jumlah sampel yang diperoleh terbatas.
57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Prevalensi skabies di Pondok Pesantren Bait Qur’ani, Ciputat sebesar 45 orang (40,9%) dari total 110 santri.
Jumlah laki-laki yang menderita skabies lebih banyak dibandingkan perempuan yaitu sebesar 29 orang (64,4%).
Kategori usia terbanyak yang menderita skabies adalah usia 12-16 tahun yaitu sebanyak 29 orang (64,9%).
Pada penelitian ini, secara statistik tidak menunjukan hasil yang bermakna antara kelompok penelitian yang menggunakan kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10% dengan salep 2-4 tunggal namun secara klinis menunjukan hasil perbedaan kesembuhan klinis yang lebih banyak pada santri yang menggunakan terapi kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10% dibandingkan dengan salep 2-4 tunggal.
5.2 Saran 1.
Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan dengan jumlah penderita skabies yang memenuhi syarat jumlah sampel dalam rumus sampel penelitian
2.
Sebaiknya perlu dilakukan penelitian mengenai efek samping dari terapi kombinasi salep 2-4 dan sabun sulfur 10%
3.
Sebaiknya sabun sulfur 10% dipakai selama 6 minggu agar efektif sebagai terapi tambahan sekaligus sebagai pencegahan skabies
57
58
4.
Sebaiknya penderita skabies di pondok pesantren Bait Qur’ani dipisahkan kamar tidurnya dari santri yang sehat sehingga dapat mengurangi resiko penularan skabies
5.
Sebaiknya pondok pesantren Bait Qur’ani memiliki kegiatan kebersihan secara berkala agar dapat memutus rantai skabies, Orang tua sebaiknya sudah harus diinformasikan mengenai penyakit ini di awal tahun ajaran baru saat anak pertama kali masuk, dan edukasi kepada guru, para santri, dan petugas kesehatan di Pondok Pesantren mengenai penyakit skabies sebaiknya menjadi agenda tahunan yang dapat dilakukan oleh Pondok Pesantren Bait Qur’ani.
59
DAFTAR PUSTAKA
1.
Lakitan. Klasifikasi Iklim Indonesia. PT. Dunia Pustaka Jaya: Jakarta; 2002
2.
Gandahusada S, Herry D.I, Wita Pribadi. Parasitologi Kedokteran Edisi Ke-3. Jakarta: Balai Penebit FKUI; 1998
3.
Saleha Sungkar. Skabies. Jakarta : Yayasan Penerbitan IDI; 2008
4.
Burns DA. Diseases Caused by Arthropods and Other Noxious Animals. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. USA: Blackwell publishing; 2004
5.
Subchan P. Hubungan Antara Lama Mukim di Pondok Pesantren dengan Perilaku Mencegah Skabies. Media Dermato-Venerologis Indonesia. Vol. 28 No.2; 2001
6.
Irma B. Skabies di panti asuhan se Kota madya Smarang hasil perbandingan salep sulfur 2-4 dan gameksam 1% Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro Bagian Kulit Kelamin, 1991.
7.
Handoko RP. Skabies. Dalam: Adhi Djuanda, A. Kosasih, Benny E. Wiryadi, Natahusada, Emmy S, Evita H, et al. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: FK UI; 2010. p. 122-125
8.
Ma’rufi, Isa, dkk. 2005. Faktor Sanitasi Lingkungan yang berperan Terhadap Pravalensi Penyakit Skabies, Studi pada Santri Pondok Pesantren Kabupaten Lamongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 2, No. 1. Juli 2005, Halaman 11-18
9.
Eka Naraya Chandra. Uji Banding Efektivitas Krim Permethrin 5% dan Salep 2-4 Pada Pengobatan Skabies [Skripsi]. Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Bagian Kulit dan Kelamin; 2004
60
10. Sharquie, dkk. Treatment of Scabies using 8% and 10% topical sulfur ointment in regimens
of application. Diakses pada tanggal
01 september
2015 dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22395587
11. Diaz M, Cazorla D, Acosta M. Efficacy, Safety and Acceptabilitiy of precipitated sulphur petrolatum for topical treatment of scabies at the city of coro, Falcon State, Venezuela.
Diakses
pada
tanggal
01
September
2015
dari
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15776866
12. Jennifer M, Governor J. Journal Scabies Prevention and Control Manual. Michigan: Michigan Department of Community Health; 2005
13. Anonymous. Permethrin Facts (Reregistration Eligibility Decision (RED) Fact Sheet); U.S. Environmental Protection Agency, Office of Prevention, Pesticide and Toxic Substances, Office of Pesticide Programs, U.S. Government Printing Office: Wahington DC; 2006
14. Schaefer H, Redelmeier TE, Nohynek GJ, Lademann J. Pharmacokinetics and Topical applications of drugs. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw Hill; 2012. p. 2097-102
15. PERDOKSKI. Panduan Pelayanan Medis Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI/RSCM; 2011
16. Adhi
D. Pengobatan Topikal dalam Bidang Dermatologi. Jakarta: Yayasan
Pendidikan Kedokteran Indonesia; 2010 17. Wyatt EL, Sutter SH, Drake LA. Dermatological Pharmacology. Dalam: Goodman and Gillman’s the pharmacological basis of therapeutics. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill. 2010. p. 1795
61
18. Dr. Gordon R Scott, Oliver Chosidow. European Guideline for the Management of Scabies. France: Dermatology Departement; 2015 19. Anjas Asmara, Sjaiful Fahmi Daili, Tantien Noegrohowati, Ida Zubaedah. Jurnal Vehikulum Dalam Dermatoterapi Topikal. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FKUI; 2012
20. Teichmann A, Jacobi U, Ossadnik M, Richter H, Koch S, Sterry W, et al. Differential stripping: Determination of the amount of topically applied substances penetrated into hair follicles. J. Invest Dermatol; 2005
21. Bergstorm KG, Strobber BE. Principles of topical therapy. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, penyunting. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York: McGraw Hill; 2008.p. 2091
22. Sudigdo Sastroasmoro, Sofyan Ismael. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto; 2007
23. M.Sopiyudin Dahlan. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi ke-2. Jakarta: Salemba Medika; 2009
24. M. Sopiyudin Dahlan. Statistik untuk Kedokteran Kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: Salemba Medika; 2009
25. Bratawidjaja. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007 26. Akmal, Suci Chairiya, et al. Hubungan Personal Hygiene dengan Kejadian Skabies di Pondok Pendidikan Islam Darul Ulum, Palarik Air Pacah, Kecamatan Koto Tengah Padang tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas; 2013
27. Al Audhah, Nelly, et al. Faktor Resiko Skabies pada Siswa Pondok Pesantren (Kajian
62
di Pondok Darul Hijrah Kelurahan Cindai Alus Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan). Jurnal Buski; 2012
28. Mushallina Lathifa. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Suspect Skabies pada Santriwati Pondok Pesantren Modern Sumatra Barat Tahun 2014 [Skripsi]. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; 2014
63
Lampiran 1. Surat Komisi Etik
64
Lampiran 2. Lembar Persetujuan Responden Penelitian
65
66
;
67
Lampiran 3. Alat dan Bahan Penelitian
68
Gambar 1. Salep 2-4
Gambar 2. Sabun Sulfur 10%
Gambar 4. Loop dan senter
Lampiran 4. Proses Penelitian
Gambar 3. Permethrin cream 5%
69
Gambar 5. Diagnosis skabies pasien A
Gambar 7. Follow up Minggu Pertama pasien A
Gambar 6. Diagnosis skabies pasien B
Gambar 8. Follow up Minggu Pertama pasien B
70
Gambar 9. Follow up Minggu kedua Pasien A
Gambar 10. Follow up Minggu kedua Pasien B
Gambar 11. Follow up Minggu ketiga Pasien A
Gambar 12. Follow up Minggu ketiga Pasien B
71
Gambar 13. Tumpukan handuk dan pakaian kotor
Gambar 14. Ruang tidur putri
72
Lampiran 5. Daftar Pengawasan Pemakaian Obat
73
74
Lampiran 6. Analisis Statistik
Kontrol Minggu Pertama Kelompok Perlakuan * Follow Up 1 Crosstabulation Follow Up 1 sembuh
Total
tidak sembuh
salep 2-4 dan sabun
Count % within Kelompok
sulfur
16
2
18
88,9%
11,1%
100,0
Perlakuan
Kelompok Perlakuan
%
Count salep 2-4 saja
% within Kelompok
12
5
17
70,6%
29,4%
100,0
Perlakuan
%
Count Total
% within Kelompok
28
7
35
80,0%
20,0%
100,0
Perlakuan
%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
,176
,865
1
,352
1,873
1
,171
1,830 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
,228 1,778
1
,182
Association N of Valid Cases
35
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3,40. b. Computed only for a 2x2 table
,177
75
Kontrol Minggu Kedua
Kelompok Perlakuan * Follow Up 2 Crosstabulation Follow Up 2 sembuh
Total
tidak sembuh
15
3
18
83,3%
16,7%
100,0%
15
2
17
88,2%
11,8%
100,0%
30
5
35
85,7%
14,3%
100,0%
Count salep
2-4
dan %
sabun sulfur
within
Kelompok Perlakuan
Kelompok Perlakuan
Count %
salep 2-4 saja
within
Kelompok Perlakuan Count %
Total
within
Kelompok Perlakuan
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
,679
,000
1
1,000
,173
1
,678
,172 b
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
1,000 ,167
1
,683
Association N of Valid Cases
35
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,43. b. Computed only for a 2x2 table
,528
76
Kontrol Minggu Ketiga Kelompok Perlakuan * Follow Up 3 Crosstabulation Follow Up 3 sembuh
Total
tidak sembuh
salep 2-4 dan sabun sulfur
Count %
within
Kelompok
Perlakuan
Perlakuan
Count salep 2-4 saja
%
Kelompok
within
Kelompok
16
2
18
88,9%
11,1%
100,0%
15
2
17
88,2%
11,8%
100,0%
31
4
35
88,6%
11,4%
100,0%
Perlakuan Count Total
%
within
Kelompok
Perlakuan
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
,952
,000
1
1,000
,004
1
,952
,004
1
,952
,004 b
df
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear
1,000
Association N of Valid Cases
35
a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,94. b. Computed only for a 2x2 table
,677
77
Lampiran 7.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
PERSONALDATA
Nama
: Firda Fakhrena
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
: Bekasi, 12 Juli 1994
Status
: Belum Menikah
Agama
: Islam
Alamat
: JL. KH. Masmansyur No. 11 RT 07 RW 03, Bekasi Timur
No. Telepon/ HP
: 0877-8072-9384
Email
:
[email protected]
RIWAYATPENDIDIKAN 1998 - 2000
: TK Aisyiah 82, Bekasi Timur
2000 - 2006
: SD Negeri Bekasi Jaya 1
2006 - 2009
: SMP Negeri 1 Bekasi
2009 - 2012
: SMA Negeri 1 Bekasi
2012 - sekarang
:Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta