PENGAWASAN PARTAI POLITIK TERHADAP KADERNYA YANG DUDUK DI DPRD PROVINSI BALI (Studi Pengawasan Pada Partai PDIP, Golkar, Demokrat, ) 1 The supervision of political parties to their cadres at legislative assembly of Bali Province (Study of Supervision Political Parties of PDIP, Golkar, Demokrat) Oleh : Bandiyah2
1. Pendahuluan Indonesia di masa Orde Baru penyelenggaraan pemerintah didominasi oleh eksekutif dan memposisikan Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga yang hanya bekerja mengamini semua keputusan politik rezim. Eksekutif tidak hanya menjalankan fungsi kebijakan semata, namun sekaligus menjadi penentu akhir semua kebijakan. Kooptasi eksekutif yang sangat kuat tersebut merupakan cerminan dari sistem pemerintah yang executive heavy dan menyebabkan tidak bekerjanya system dispersion of power dan check and balances. Dalam sistem yang cenderung totalitarian tersebut dapat dipastikan akuntabilitas pemerintah buruk karena lemahnya fungsi kontrol. Ketika sistem pemerintahan bergeser kearah menguatnya lembaga legislatif, peluang bagi lahirnya pengelolaan kekuasaan yang lebih akuntabel juga terbuka bagi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadi lembaga yang kuat. Di tambah dengan karakter Dewan Perwakilan Rakyat yang plural, maka besar harapan untuk membangun sistem pemerintahan dengan check and balances dapat terwujud. Namun yang kita lihat pluralisme kepentingan telah menjadi karakter lembaga perwakilan yang menunjukkan adanya collective action untuk merampok negara yang dilakukan oleh sebagian anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak terkendalinya perilaku negatif anggota dewan tersebut dikarenakan lemahnya mekanisme akuntabilitas lembaga perwakilan di republik ini. Pelembagaan demokrasi perwakilan di Indonesia nampaknya baru sampai di level memberikan kekuasaan politik yang kuat kepada Dewan
1
Penelitian ini dibiayai Dari dana DIPA Universitas Udayana TA- 2012. Dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Kegiatan (Kontrak) Nomor:…./UN.14/LPPM/KONTRAK/2012, tanggal 16 Mei 2012 2
Penulis adalah Staf Pengajar di Prodi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana Bali
Perwakilan Rakyat, namun mekanisme kontrol atas kekuasaan politik yang kuat tersebut belum dibakukan. Anggota DPR sebagai wakil rakyat dan wakil partai belakangan ini banyak terkuak kasus-kasus yang sangat memprihatinkan. Fenomena seperti terbongkarnya kasus penyuapan, bagi-bagi uang, dan skandal seks telah menjadi kebiasaan di sebagian kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang terhormat. Setelah kasus penyuapan berkait dengan pengalihan fungsi hutan di beberapa kawasan di Sumatera, skandal seks, skandal undang-undang Bank Indonesia, kasus jalan-jalan, studi banding keluar negeri serta skandal BLBI, dan terakhir tertangkapnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menerima uang suap terkait dengan pembangunan wisma atlet di Jaka Baring Palembang. Dikuti dengan terkuaknya kasus Pencucian uang dan korupsi dana infrastruktur daerah (red : Kompas; edisi Mei-September 2012 ) dan masih banyak lainnya. Ketika pemerintahan Orde Baru penentuan kebijakan di tangan eksekutif menimbulkan banyak penyimpangan. Demikian setelah reformasi kebijakan cenderung diberikan kepada legislatif, menunjukkan hal yang sama terjadinya penyimpangan. Pengawasan terhadap anggota dewan melalui jajaran anggota dewan dengan di bentuknya Badan Kehormatan dan pengawasan dari partai politik yang mempunyai perwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat sepertinya belum efektif. Seperti pada kasus-kasus di Dewan Perwakilan Rakyat /Daerah bila ada anggota dewan yang tersangkut korupsi, partai yang menjadi kendaraan politiknya dengan mudah memecatnya atau langsung mengadakan PAW (Pergantian Antar Waktu). PAW juga berlaku bagi anggota dewan yang kritis dan mangkir, seperti tidak menyetujui hasil keputusan dan kesepakatan partai. Dalam hal ini, posisi Partai Politik haruslah dipertanyakan tanggungjawabnya atas pengawasan terhadap kadernya yang duduk sebagai anggota dewan. Apakah saat penentuan ’sesuatu hal’ yang akan dirumuskan di parlemen, anggota dewan terlebih dahulu membicarakan pada tingkat rapat di partai politiknya. Bila hal ini telah dilakukan pada masing-masing partai yang memiliki keterwakilan di dewan, maka seharusnya partai juga ikut bertanggungjawab dalam penentuan keputusan pada jajaran dewan. Sehingga, partai politik tidak dengan semenamena memecat kadernya yang duduk di dewan bila tersangkut permasalahan. Selama ini
partai politik hanya ingin mencari bersih saja, tapi tidak memberikan solusi dan perlindungan terhadap kadernya sebagai bentuk adanya tanggungjawab karena kelakuan dari kadernya yang menyimpang. Ini terjadi pada kasus anggota dewan di DPR RI maupun pada tingkat DPRD. Sebagai representasi keterwakilan partai, anggota dewan (DPR/DPRD) selayaknya diberikan perlindungan dan pengawasan secara akuntabel bila kadernya terlibat masalah, sehingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat/ Daerah merasakan adanya amanat rakyat dan tanggung jawab untuk dapat melaksanakan berbagai kepentingan partainya dengan baik dan jujur Di parlemen. Namun demikian, yang terjadi eksistensi Partai hanya menekankan perilaku ’politisi’ bagi kadernya yang duduk di dewan agar membangun citra positif partai di mata publik. Partai politik pun akhirnya lebih memilih menjaga citra partai dan lepas tanggung jawab dalam pengawasan terhadap kadernya. Peristiwa-peristiwa dan fenomena munculnya korupsi pada anggota dewan yang kian marak terjadi dapat dipengaruhi oleh beerapa hal salah satunya rekruitmen partai terhadap kadernya yang tidak akuntabel dan berkualitas dan juga dapat dilihat dari sistem pengawasan partainya yang sangat lemah. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana bentuk pengawasan partai politik yang dilakukan terhadap anggota DPRD Propinsi Bali (DPRD Bali sebagai studi kasus daerah) dan apakah partai-partai tersebut telah melakukan fungsi pengawasannya. Partai politik yang akan dijadikan kajian penelitian ini adalah partaipartai yang memiliki kursi terbanyak di DPRD Provinsi Bali sejak pemilu tahun 2004 sampai 2009. Partai tersebut meliputi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Demokrat (PD), dan Partai Golongan Karya (Golkar). Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan yang akan diteliti adalah : 1. Apakah partai politik dapat melakukan fungsi pengawasan kepada kadernya yang duduk di DPRD secara optimal? 2. Bagaimana bentuk pengawasan Partai Politik terhadap keterwakilan anggotanya di DPRD Propinsi Bali ? 3. Tinjauan Pustaka
Tinjauan pustaka sangat penting untuk mengarahkan kerangka berfikir dan analisa permasalahan pada tema penelitian melalui konsep dan teori-teori yang sudah ada. Penelitian ini mengambil referensi pada teori dan konsep pengawasan, Urgenitas partai politik, fungsi partai politik, ideologi dan tipologi partai politik.
3. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian 1. Mencari format ideal terhadap upaya Pengawasan terhadap anggota DPRD Propinsi Bali sehingga Partai dan anggota dewan bekerja lebih baik dan akuntabel. 2. Mengidentifikasikan, mengolah dan menganalisa data tentang upaya Partai Politik melakukan fungsi pengawasan terhadap kadernya yang duduk di DPRD Propinsi Bali. b. Manfaatnya 1. Bagi Partai Politik dapat mereformulasi kembali pentingnya pengawasan untuk mengembangkan organisasi dan menjaga citra positif partainya. 2. Masyarakat secara umum dan khususnya (masyarakat yang akan mencalonkan menjadi anggota dewan) dapat melihat, memilih dan mempertimbangkan dengan teliti, seksama ketika ingin mencalonkan diri menjadi anggota dewan, sebelum mengetahui secara lebih dalam tentang partainya dan pengawasan terhadap kadernya.
4. Metode Penelitian 1.
Jenis Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Menurut Singarimbun
(1989:34), penelitian deskriptif yakni penelitian yang dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial. Pendekatan yang digunakan adalah studi kasus (case study), yakni pendekatan penelitian yang penelaahannya diarahkan kepada suatu kasus secara intensif mendalam, dan mendetail serta komprehensif. Dalam penelitian ini kasus-kasus seperti keterlibatan korupsi atau penyalahgunaan wewenang anggota dewan baik dari partai PDIP, Golkar, Demokrat
akan dijadikan bahan diskusi dan case study lebih lanjut. Fokus penelitian adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk pengawasan terhadap anggota DPRD Propinsi Bali dan apakah partai politik yang memiliki wakil-wakil di DPRD dapat melakukan pengawasan kepada kader-kadernya yang duduk di DPRD Propinsi Bali. 2.
Sumber Data
a. Informan Dalam konteks penelitian kualitatif responden lebih dikenal dengan informan. Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan system purposive dengan memperhitungkan ketersediaan data. Teknik ini dipilih karena setiap informan tidak memiliki pengetahuan yang sama terhadap wacana “ fungsi pengawasan”. Oleh karena itu, subyek yang dipilih adalah informan yang dapat menguasai informasi sesuai dengan masalah penelitian. Penentuan jumlah informan dalam penelitian ini tidak harus representatif karena dalam penelitian kualitatif tidak dikenal adanya populasi, namun demikian, dengan system purposive bertujuan untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari pelbagai sumber . b. Tempat dan peristiwa Penelitian ini mengambil tempat di Propinsi Bali. Berbagai peristiwa yang berkaitan dengan masalah fokus penelitian, antara lain meliputi: pengawasan kepada anggota DPRD di Propinsi Bali selama ini dan pengawasan partai politik yang mempunyai keterwakilan di DPRD Propinsi Bali. Teknik Pengumpulan Data a.
Observasi Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan dan
pencatatan secara langsung di lokasi penelitian atas gejala-gejala yang ada kaitannya dengan objek yang akan diterliti. b.
Wawancara Pengumpulan data primer, yakni data dari nara sumber atau informan dilakukan
dengan teknik wawancara. Melalui teknik ini diharapkan dapat dikumpulkan data mengenai pengalaman, gagasan, pendapat atau pandangan informan menyangkut berbagai hal terkait dengan fokus penelitian. Informan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi para pelaku yang menduduki kursi Anggota Dewan baik dari partai
Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP), Golkar, Demokrat Di samping itu subyek penelitian juga mengambil informan yang menjadi pengurus struktural partai dan juga informan lainya seperti Wartawan yang menunjang data penelitian ini. Dengan demikian lewat wawancara mendalam dapat digali aspek explicit knowledge yang melekat pada informan. Guna menghindarkan terjadinya distorsi data dan wawancara dapat berjalan secara focus, maka dalam pelaksanaan dibantu dengan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara yang memuat pokok-pokok pikiran yang terkait dengan fokus penelitian. Hal ini sangat penting agar suasana wawancara terarah dan tetap berjalan. Dalam penelitian ini sumber yang akan diwawancarai yaitu :
No
Nama Lembaga
1.
Anggota DPRD Propinsi Bali; Fraksi PDIP, Golkar, Demokrat,
2.
Pengurus Partai politik : PDIP, Golkar, Demokrat
6.
Wartawan cetak dan elektronik
c.
Dokumentasi Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengutip dan meneliti
dokumen-dokumen, catatan-catatan, arsip dan kumpulan peraturan yang menunjang atau yang berhubungan dengan objek yang diteliti.
3.
Teknik Analisis Data Data yang dikumpulkan, baik melalui penelitian lapangan maupun melalui
penelitian kepustakaan, diolah dan dianalisa melalui pendekatan deskriptif kualitatif yaitu dengan menggambarkan dan menjelaskan fenomena-fenomena yang berkaitan dengan objek penelitian sesuai dengan apa adanya. Prosedur analisa data dilakukan melalui tahapan sebagai berikut : a. Reduksi data, dimana data yang terkumpul kemudian dicari tema dan polanya, ditonjolkan hal-hal yang penting kemudian disusun secara sistematis. b. Display data atau penyajian data, yaitu dengan membuat diskripsi tentang hasil penelitian sehingga dapat dilihat gambaran secara keseluruhan.
c. Mengambil kesimpulan dan verifikasi, yaitu menetapkan kesimpulan setelah semua data yang ada dianalisa.
5. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Studi ini dilakukan dengan mengambil data hasil wawancara dengan beberapa narasumber dan informan baik dari pengurus partai dan anggota dewan fraksi partai PDIP, Golkar dan Demokrat dan juga wartawan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di tahun 2009 adalah partai yang memiliki keterwakilan anggota DPRD terbesar di Provinsi Bali sebanyak 24 kursi. Kedua adalah Partai Golkar 12 kursi, serta Demokrat 10 kursi.3. Selama dua kali periode pemilihan umum di Provinsi Bali dari tahun 2004 dan 2009, ketiga partai ini (PDIP, Golkar dan Demokrat) selalu menjadi representasi ‘pilihan’ bagi para pemilih masyarakat Bali.
1. PROFIL PARTAI POLITIK 1.1.
Profil dan Sejarah PDI-Perjuangan Peristiwa yang sangat terkenal dari partai ini adalah 27 Juli 1996 ketika markas
besar PDI Perjuangan diserbu dan dijadikan killing field oleh ORBA dan agen-agennya yaitu pembunuhan dan penyembelihan lebih dari seratus kader partai dalam suatu operasi militer yang terorganisir sempurna, Sejarah panjang PDI-Perjuangan sebagai partai politik penuh warna dan dinamika. Sejarah tersebut dapat ditelisik dalam dua periode. Periode pertama, pada masa Orde Baru. Pada masa ini pernah terjadi pemfusian partai politik berdasarkan garis ideologinya. Kuatnya intervensi rejim yang sedang berkuasa dengan kesadaran akan tanggung jawab mewujudkan cita-cita luhur tersebut, guna memenuhi tuntutan perkembangan zaman yang ada, maka PNI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katholik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan MURBA, pada tanggal 9 Maret 1970 terpaksa membentuk kelompok demokrasi pembangunan, yang kemudian dikukuhkan dengan pernyataan bersama kelima Partai politik tersebut pada tanggal 28 3
KPUD provinsi Bali 2010
Oktober 1971. Dan akhirnya pada tanggal 10 Januari 1973 melakukan langkah strategis memfusikan diri menjadi satu wadah perjuangan politik rakyat berdasarkan Pancasila dengan nama Partai Demokrasi Indonesia (PDI) 4. Pada penutupan kongres kedua PDI di Jakarta pada tanggal 17 Januari 1981 kelima partai yang berfusi tersebut menegaskan bahwa perwujudan fusi telah paripurna, serta menyatakan pengakhiran eksistensi masingmasing. Periode kedua, terjadi pada masa awal reformasi. Diawali dengan tekanantekanan politik yang dialami Megawati Soekarno Putri sebagai ketua umum partai, ada upaya elit-elit partai politik ini untuk melakukan transformasi politik dengan usaha pergantian nama dari PDI ke PDI-Perjuangan. Upaya ini dilakukan, karena adanya klaim kepemimpinan yang sah kedalam struktur partai, sehingga menyebabkan dualisme kepemimpinan dalam kepengurusan partai tersebut. Transformasi ini didorong oleh tuntutan perkembangan situasi dan kondisi politik nasional yang terjadi, sehingga berdasarkan hasil keputusan kongres kelima Partai Demokrasi Indonesia di Denpasar Bali, maka pada tanggal 1 Februari 1999, PDI telah mengubah namanya menjadi PDI Perjuangan, dengan asas Pancasila dan bercirikan kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial5. Ditingkat lokal, PDI-Perjuangan telah memainkan peran politik yang sangat penting. Bahkan di provinsi ini PDIP selama tiga kali periode pemilu dari tahun 1999 hingga 2009 selalu meraih sukses besar dengan perolehan suaranya. Misalnya tahun 1999 partai ini meraih pemenangan pemilu dengan perolehan suara yang sangat mencengangkan 70 % dan mengalahkan partai-partai yang lain.
Tabel 1. Jumlah kursi PDI-P di DPRD Provinsi Bali Tahun
%
Kursi DPRD PDI-P
1999
70,9
39
4
Arbi Sanit (1981), Sistem Politik Indonesia; kestabilan, peta kekuatan politik dan pembangunan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada. 5
Piagam Perjuangan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Ketetapan kongres III PDI-Perjuangan Denpasar Bali, Tanggal 06 – 09 April 2010, No. 09/TAP/KONGRES III/PDI-P/2010
2004
51,34
30
2009
40,94
24
Sumber: KPUD Provinsi Bali Keberhasilan PDIP dalam perolehan suara pemilih, tidak terlepas dari sejarah geneologitas partainya dahulu, yang kemudian melahirkan geneologitas partai-partai baru (lihat bagan 1). Di samping itu, kesuksesan perolehan suara PDIP juga disebabkan karena pigur tokoh pendiri dan pemimpin partainya yakni Sukarno dan Megawati. Megawati yang lahir di Bali, Soekarno dan isterinya Fatmawati yang pernah tinggal lama di Bali yakni di istana Tampaksiring Bangli membuktikan sejarah bahwa kedua tokoh tersebut (Soekarno dan megawati) sudah sangat melekat di hati warga Bali. Sehingga tidak heran jika setiap ada pesta demokrasi baik pemilu ataupun pilkada kepala banteng selalu yang jadi pemenang. Oleh karena itu selama sepuluh tahun (1999-2009) PDIP menjadi tonggak utama kekuasaan politik di bumi para dewa ini Gambar 1. Geneologi Partai PDIP
1.2. Bentuk dan Mekanisme Pengawasan Partai PDIP terhadap Kadernya Bentuk pengawasan partai PDIP dituangkan lewat buku pedoman AD/RT partai, sebagai pedoman dalam berorganisasi. Sebab di dalam AD/ART ada struktur kepengurusan. Struktur kepengurusan ini mempunyai tugas masing-masing seperti DPD yang berfungsi untuk menjaring kompetensi kader-kader partai yang akan diusulkan dan ditetapkan menjadi calon-calon legislatif. Badan kehormatan (BK), bertugas menertibkan
dan mendisiplinkan anggota partai, sifatnya hanya memberikan pengarahan-pengarahan dalam setiap rapat pleno di DPD6. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam wawancara peneliti dengan kader yang lain7, disebutkan bahwa fungsi pengawasan bagi partai PDIP sangatlah penting sebab kader-kader yang duduk terutama di jabatan legislatif merupakan bentuk penugasan partai dan kader (anggota dewan) merupakan pelaksana tugas yang dipercayakan oleh partai tersebut. Oleh karena itu, pengawasan di PDIP dilakukan sejak kader itu akan diangkat menjadi caleg dan sesudah menjabat anggota legislatif. Implementasi pengawasan tersebut dalam bentuk misalnya ketika kader yang maju menjadi caleg akan dinilai dan diawasi SDM dan track record nya mulai dari etika, estetika, moral dan skill yang dimiliki, sehingga kriteria-kriteria ini lolos atau tidak untuk menjadi calon daftar tetap yang diusung oleh partai. Untuk menghindari kader agar tidak terjebak dan terobsesi korupsi, PDIP memberikan pembekalan dan pelatihan kaderisasi di tingkat madya dan juga pembekalan kaderisasi secara nasional yang diutus ke DPP (pusat) dan dilanjutkan di tingkat daerah. Bentuk lain pengawasan dari PDIP terhadap kadernya adalah dengan cara melakukan pengarahan dan instruksi berupa keputusan partai pusat (DPP). Sedangkan mekanisme pelaksanaan pengawasan PDIP dilakukan dengan mekanisme kontrol. Dengan cara itu menurutnya, pengawasan dapat dilakukan dengan baik secara bottom-up maupun top down. Mengenai mekanisme kontrol secara detail dijelaskan lebih lanjut melalui hasil wawancara berikut ini: Dengan mekanisme kontrol, pelanggaran pasti diketahui, kontrolnya ada di fraksi, tugas fraksi mengkoordiir, mengawasi sekaligus membina anggotanya. Selain itu juga ada rapat evaluasi rutin, setiap bulan. Fraksi lapor ke induk partai. Fraksi memberikan evaluasi. Oleh karena itu kontrol PDIP sangat terinstitusionalisasi dan hirarkis.8
6
Wawancara dengan I Wayan Sutena, Wakil Ketua Bidang Organisasi DPD PDIP Provinsi Bali, Denpasar 7 Juni 2012 7
wawancara dengan I Wayan Sumiati, Pengurus dan anggota DPRD PDI Perjuangan prov. Bali, Denpasar, 5 Juni 2012 8
Ibid
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pimpinan Megawati ini memberikan pengawasan sebagai langkah strategis khusus yang dipergunakan partai untuk mengontrol kader-kadernya, agar bekerja dan mengabdi untuk partai. Adapun bentuk pengawasan di PDIP memilih bentuk hirarkis dan berjenjang artinya setiap permasalahan di partai terlebihi dulu ditangani di tingkat struktur local, apabila tidak mampu maka di bawa ke DPP pusat. Karena demikian, PDIP tidak memiliki dewan pengawas yang ada hanyalah badan kehormatan di setiap pengurus internal partai baik di pusat maupun di daerah. Badan kehormatan ini bertugas menyampaikan informasi dan mengeksekusi kader-kader partai yang bermasalah, kemudian dilaporkan ke pengurus pusat partai sesuai dnegan jenjang asal muasal kader yang bersangkutan. Apabila terdapat kader yang terkena kasuistik, maka DPD (partai di daerah) hanya berperan mengevaluasi, mempertimbangkan kader tersebut, selanjutnya yang berhak mengeluarkan seseorang dari anggota dan kepengurusan partai hak sepenuhnya berada di pengurus partai pusat (DPP). Selanjutnya DPP juga akan mempertimbangkan kembali kader tersebut, prinsipnya adalah kader dapat keluar dari keanggotaan partai dikarenakan dua alasan mengundurkan diri atau dikeluarkan secara tidak hormat. Bila permasalahan kasus tersebut menimbulkan citra negatif partai maka secara langsung keanggotannya akan dilepas secara tidak hormat, dan tidak ada pembelaan sedikitpun dari partai.
1.4. Profil dan Perkembangan Partai Demokrat Latar belakang berdirinya Partai Demokrat tidak terlepas dari peristiwa kekalahan Susilo Bambang Yudhoyono dalam pemilihan wakil presiden pada sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR, 1 Juli 2001. Waktu itu mantan menteri koordinator Politik dan keamanan di era pemerintahan Abdurarhman Wahid (2000— 2001) itu merupakan salah satu dari lima calon wakil presiden yang akan bersaing untuk dipilih oleh anggota MPR guna mendampingi presiden megawati Soekarnoputeri. Susilo Bambang Yudoyono sendiri dicalonkan oleh salah satu fraksi di MPR yakni Fraksi Kesatuan Kebngsaan (FKKI) dan didukung oleh 90 anggota MPR dari utusan golngan dan dari fraksi lainnya secara perorangan. Sedangkan keempat calon lainna adalah Hamzah Haz yang dicalonkan oleh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Akbar Tanjung yang dicalonkan oleh fraksi Golkar, Agum Gumelar yang dicalonkan oleh
Fraksi Pesatuan Daulatul Ummah, serta Siswono Yudo Husodo yang dicalonkan oleh 88 anggota MPR secara perorangan. Pada pemilihan putaran pertama, SB Yudhoyono berhasil meraih 122 suara dari total 613 suara, sehingga menduduki urutan ketiga dan berhak mengikuti putaran kedua. Uruta pertama diraih oleh Hamzah Haz (238 suara) sedagkan urutan kedua diduduki oleh Akbar Tanjung (177 suara). Pada putaran kedua SB Yudoyono tetap berada di urutan ketiga sehingga gagal masuk pada pemilian putaran ketiga yang hanya memajukan Akbar tanjung dan Hamzah haz. Kekalahan Susilo Bambang Yudhoyono kemudian memotivasi beberapa anggota MPR untuk mendirikan sebuah partai politik sebagai kendaraan politik bagi Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, kurangnya perhatian partai-partai politik yang ada saat ini untuk memberikan pendidikan politik bagi masyarakat juga ikut melatarbelakangi berdirinya partai Demokrat9. Partai demokrat memang mempunyai kedekatan historis dengan sosok SBY. Selain ide pembentukan partai ini juga merupakan sumbangan dari SBY sendiri, tanggal kelahiran partai juga sengaja diambil dari tanggal dan bulan kelahiran SBY, meskipun demikian, hingga akhiir 2003 SB Yudoyono sendiri tidak duduk dalam jajaran kepengurusan partai, akan tetapi istrinya Kristiani Herawati menjabat sebagi wakil ketua umum partai. Setelah pendirian pengurus partai democrat segera melakukan ekspansi Kiprah Partai Demokrat ditingkat Provinsi Bali menunjukkan posisi yang sangat penting. Ini terbukti dengan pesatnya perolehan suara yang diperoleh melalui proses pemilu legislatif 2009 lalu (10 kursi). Bila dibandingkan pemilu 2004 Partai Demokrat belum sama sekali mendapatkan simpati masyarakat utamanya lapisan masyarakat yang berada dikalangan bawah dan hanya mendapatkan 3 kursi di DPRD Provinsi Bali. Perolehan suara Demokrat yang kian meningkat menunjukkan bahwa partai ini cukup menjanjikan dan dapat eksis di pulau Dewata. Ketika ditelusuri dengan beberapa data dan riset ternyata faktor ‘figur SBY’ memberikan pengaruh cukup penting dalam perolehan suara pemilu. Sama seperti partai besar lain seperti partai Golkar, PDI-P dan PPP mempunyai basis massa yang sama. 9
Daniel Dakidae, “Partai-partai Politik Indonesia, Ideologi dan Program 2004 dan 2009”, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2004.
Perekrutan kader–kader partai dari tokoh-tokoh masyarakat menunjukkan cukup besar antusiasme masyarakat dalam melihat peluang politik terbaru sebagai akibat munculnya partai baru. Modal dasar ini juga yang membawa partai Demokrat melibatkan diri dalam konstelasi politik lokal dan bersedia bergabung dengan beberapa koalisi partai politik pada pemilihan umum langsung kepala daerah di sejumlah kabupaten di Provinsi Bali. Tabel 2. Jumlah Kursi Partai Demokrat di DPRD Provinsi Bali Tahun
%
Kursi DPRD
1999
-
-
2004
5,53
3
2009
14,61
10
Sumber: KPUD Provinsi Bali
1.5. Bentuk dan Mekanisme Pengawasan Partai Demokrat Sama halnya dengan Partai Demokrasi Indonesia perjuangan (PDIP), dari hasil penggalian data informasi bahwa Partai Demokrat juga memiliki pengawasan terhadap kader-kadernya yang duduk di lembaga legislatif. Bentuk dan mekanisme pengawasan tersebut dijabarkan melalui buku pedoman berorganisasi yaitu AD/ART partai. Pengawasan Partai Demokrat sama dengan PDIP yakni dilakukan dengan cara pembinaan, pengarahan kepada kader dan pintu pengawasannya secara internal berada dibawah kendali fraksi Partai di di Parlemen dan ditindak lanjuti di pengurus partai (DPD) dan kemudian dilanjutkan ke DPP (pusat) . Adapun bentuk pengawasannya bersifat hirarkis. Ini dipilih karena partai Demokrat merupakan partai modern. Hal ini diamini oleh salah satu kadernya melalui hasil wawancara berikut ini: Pengawasan Secara hirarkis adalah; dewan kehormatan yaitu ketua DPP bertugas memberikan laporan ke majlis partai, majlis partai berkomunikasi ke ketua partai, dewan kehormatan berkomunikasi dengan ketua dan badan pengawas, badan pengawas hanya bisa ke badan kehormatan. Badan pengawas memberikan laporan ke dewan kehormatan, dewan kehormatan memberikan laporan ke ketua DPP. Setelah dewan kehormatan memberikan laporan, pada tahap ini terbuka untuk dilakukan rapat, untuk memberikan tindakan dan sangsi bagi kader yang melanggar aturan atau garis program partai. Demikian pula di tingkat DPD. Peran badan pengawas sangat vital, majlis partai daerah berkomunikasi dengan ketua
DPD. Badan pengawas daerah menyampaikan hasil pengawasan itu, ke dewan kehoormatan, badan kehormatan menggodok kemudian menyampaikan ke pengurus DPD, DPD lah yang akan memutuskan apakah ada pelanggaranpelanggaran yang dilakukan oleh anggota dewan10. Namun demikian, secara realitasnya bentuk pengawasan hirarkis ini belumlah berjalan secara optimal, disebabkan berlapisnya hirarki aturan partai yang lain (tumpang tindi aturan/ambivalensi makna), misalnya banyak anggota DPRD yang belum memahami secara penuh mengenai hirarki organisasi partai dalam mengembangkan tugasnya, selama ini yang bermain di lingkaran anggota dewan adalah urusan dan kepentingan pribadi bukan atas nama partai yang merepresentasikannya.
1.7. Profil dan Sejarah Perkembangan Partai Golkar
Tabel 3. Jumlah kursi Partai Golkar di DPRD Provinsi Bali Tahun
%
Kursi DPRD Partai Golkar
1999
9
5
2004
18,1
14
2009
16,76
12
Sumber: KPUD Provinsi Bali
Awal mula nama Partai Golkar adalah Sekber Golkar yang didirikan pada tanggal 20 Oktober 1958 yaitu pada masa akhir pemerintahan Soekarno, oleh angkatan darat (AD) partai ini dilahirkan kembali untuk menandingi pengaruh partai komunis Indonesia dalam
kehidupan
politik.
Sekber
Golkar
merupakan
wadah
dari
golongan
fungsional/golongan karya murni yang anggotanya tidak berada di bawah pengaruh politik tertentu. Anggota Sekber Golkar berasal dari Front Nasional yang bertujuan menegakkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam perkembangannya, Sekber Golkar berubah menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta pemilu.
10
Wawancara dengan Anak Agung Sudewa/ Ketua Divisi Pembinaan Kader dan Organisasi DPD Demokrat Bali. Wawancaran 28 Juni 2012
keikutsertaan dalam peserta pemilu menunjukkan Golongan Karya berperan kembali dalam arena sosial politik meskipun belum terorganisasikan secara teratur dan terarah. Pengorganisasian Golongan karya secara teratur dimulai sejak tahun 1960 meskipun mengalami tantangan politik yang cukup berat sebab orientasi paham politik ideologi golongan, serta penghayatan masyarakat akan hakikat karya dan kekaryaan belum berkembang. Menghadapi keadaan yang tidak menguntungkan itu Golongan Karya memadukan diri membentuk SEKRETARIAT BERSAMA GOLONGAN KARYA pada tanggal 20 Oktober 1964. Tanggal tersebut kemudian dkenal sebagai tanggal berdirinya organisasi Golongan Karya. Mulai saat itu Golongan Karya mempelopori pengarahan orientasi seluruh bangsa pada pembaharuan dan pembangunan. Sejak tahun 1965, setelah berhasil dalam ikut serta menumbangkan kekuasaan Orde Lama dan menumpas pemberontakan G30 S/PKI Golongan Karya berkembang menjadi satu kekuatan sosial politik dan memberikan sumbangannya dalam pembentukkan stabilitas dalam masyarakat. Pemilu 1971 (pemilu pertama dalam pemerintahan ORBA Presiden Soeharto) Golkar menjadi pemenang pemilu dan diterimanya sumbangan pemikiran Golongan Karya dalam Sidang Umum Majlis Permusyawaratan Rakyat bulan Maret 1973 terutama yang ditetapkan menjadi GBHN, sehingga dengan ini Golongan Karya telah mendapatkan kedudukan dan peranan nyata dan menentukkn masyarakat serta menjadi kekuatan inti dalam pembaharuan bangsa. Kemenangan Golongan Karya terulang hingga lima kali pemilu dari tahun 1977, 1982, 1987, 1992, 1997 pada era pemerinthan Soeharto. Setelah Soeharto lengser dan reformasi bergulir Golkar berubah menjadi Partai Golkar. Pada pemilu 1999 Partai Golkar turun menjadi peringkat kedua setelah PDI-P. Akibat ketidakpuasan para pemilih terhadap pemerintahan Megawati, di pemilu legislatif 2004, Golkar kembali terpilih menjadi peserta pemenang pemilu. Dan pada pemilu 2009 yang lalu Golkar mendapatkan posisi ketiga setelah Partai Demokrat dan PDIP.
1.8. Paradigma Baru Partai Golkar Golongan Karya di era kepemimpinan Soeharto, menjadi mesin mobilisasi politik dan pemilu untuk melegitimasi kekuasaan Soeharto. Sehingga selama lima periode pemilu Golkar menjadi partai penguasa ”the ruler’s party”. Semangat lahirnya reformasi
berdampak para perubahan paradigma baru pada tubuh Golkar dengan recall aspek partai pembaharuan. Aspek pembaharuan ditujukan melalui perubahan struktur atau kelembagaan dan aspek kesinambungan, tetapi tetap berideologi Pancasila dan doktrin karya kekaryaan. Pembaharuan ini dimaksudkan untuk meluruskan sejumlah kekeliruan lama dan diarahkan untuk mewujudkan partai Golkar yang mandiri, demokratis, kuat, solid, berakar dan responsif. Paradigma Pembaharuan ini sebenarnya didorong dari alasan-alasan
partai
Golkar sendiri yakni jati diri dan watak Golkar sebagai kekuatan pembaru, yakni sebagai partai yang melaksankan amanat penderitaan rakyat, untuk membangun masyarakat adil, makmur, aman tertib dan sentosa (Ikar Panca Bakti Golongan Karya). Paradigma baru Partai Golkar ini diwujudkan melalui pembaharuan internal, terutama terhadap struktur atau kelembagaan organisasi yang membatasi kemandirian Partai Golkar. Langkah-langkah pembaharuan tersebut diikuti diikuti dengan diwujudkannya prinsip kedaulatan di tangan anggota. Yaitu mekanisme pengambilan setiap keputusan organisasi dilakukan secara lebih terbuka, demokratis dari bottom-up
dan dengan
pemungutan suara secara langsung. Melalui mekanisme yang demokratis ini maka terbukalah kader-kader untuk memimpin partai karena memang dalam perspektif demokrasi kesempatan dan peluang perlu disediakan untuk semua, sehingga tidak terjadi pemusatan pandangan pada pesona pigur tunggal yang mengarah pada kultus individu. Implikasi dari partai pembaruan ini, bahwa Golkar menjadi benar-benar mandiri dan mampu mewujudkan tegaknya asas kedalatan di tangan anggota sebagai salah satu prinsip utama dari partai modern, demokratis dan emnegakar. Sehingga Partai Golkar bertumpu hanya pada kekuatannya sendiri, tidak mengandalkan kekuatan dari luar dirinya sendiri, dan selanjutnya dapat mengambil keputusan-keputusan organisasional secara independent tanpa campur tangan dari pihak luar atau golongan manapun. Melalui Paradigma baru ini doktrin Partai Golkar tetap sebagai kelajutan dari secretariat bersama (SEKBER) GOLONGAN KARYA yang berpegang teguh tetap pada doktrin karya kekaryaan , yaitu Karya Siaga Gatra aja, tetapi dipahami secara kreatif dan dinamis sesuai dengan dinamika perkembangan jaman.
Gambar 2 : Geneologi Partai Golkar
1.9. Bentuk dan Mekanisme Pengawasan Partai Golkar terhadap Kadernya Berbeda halnya dengan Partai PDIP dan Demokrat, pengawasan Partai Golkar sangat kuat dan nonhirarkis. Ini disebabkan Golkar sudah cukup lama berperan dan berpengalaman dalam hal pembinaan dan pengkaderan anggotanya sejak Orde Lama masa kepemimpinan Soekarno hingga Orde Baru masa kepemimpinan Soeharto. misalnya tidak ada pemimpin partai, legislative maupun eksekutif tanpa melalui proses pengkederan dan pembinaan dahulu. Pembinaan dan pengkaderan anggota di Partai Golkar dikenal dengan system jenjang karier mulai dari karier tingkat 1 di DPC, jenjang karier 2 di DPD dan seterusnya. Bila pengurus pusat (DPP) sudah menyakini akan kemampuan kader dalam memimpin, dan manajerial oranisasi yang cukup kuat, maka kader tersebut dapat diberikan peluang berkarier di luar (legislatif, atau eksekutif) dengan menduduki jabatan statregis. Positivisme pengkaderan dan pembinaan ini tentu berdampak pada keberhasilan pengawasannya. Dalam tubuh Golkar setiap kadernya yang menjadi anggota dewan harus memiliki kapabilitas dalam memimpin dan manajerial yang tangguh, dan yang terpenting setiap kader harus mengetahui hak, kewajiban larangan2 serta sangsi bagi kader yang melanggar aturan partai. ini akhirnya membuat kader cukup sadar dan tahu diri apabila di antara kadernya terkena kasus maka dengan sendirinya mereka akan mengundurkn diri, tidak harus menunggu surat pemecatan atau intruksi partai dahulu.
Nilai positif yang lain, bahwa kuatnya system Pembinaan dan pengkaderan di Golkar pula berimplikasi pada penerapan tugas dalam jabatan, artinya setiap kader Golkar tidak boleh merangkap jabatan baik di pengurus partai dan anggota legislatif maupun eksekutif. Kebijakan ini sudah lama diterapkan dan memiliki alasan kuat bahwa rangkap jabatan akan menghilangkan fungsi dan peran kader yang sesungguhnya. Disamping rangkap jabatan membuat kinerja kader tudak optimal. Inilah salah satu nilai yang membedakan Golkar dengan partai lain. Semua Bentuk dan mekanisme pengawasan partai tertuang pada buku pedoman AD/RT partai. Oleh karena itu setiap anggota, pegurus, dan kader-kader Golkar wajib memiliki buku pedoman tersebut. Dan mekanisme untuk mengetahui informasi partai yang update disediakan dalam rapat bulanan baik di tigkat DPC, DPD dan juga DPP. Bentuk ‘pengawasan Partai Golkar’11 terhadap kadernya dapat dilihat pada kewenangan fraksi partai di dewan. Sebab fraksi selain sebagai kepanjangan tangan dari partai yang tidak saja mengetahui tentang partai, juga fraksi lebih mengetahui tindakan dan kegiatan kadernya di lembaga legislatif. Kehadiran fraksi bagi Golkar adalah tempat yang penting untuk mengontrol dan mengevaluasi kinerja anggota partainya. Fraksi diberikan kebijakan-kebijakan khusus yang bersifat situasional yang tidak harus menunggu keputusan dari DPP. misalnya fraksi diberi kewenangan untuk membuat keputusan bila kadernya dianggap bersalah dengan penunjukan bukti-bukti yang valid. berdasarkan kinerja dan evalusi wilayahnya.
I.
KESIMPULAN a. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data dan analisis temuan, studi ini menarik kesimpulan sebagai berikut: Partai Politik dalam studi ini (PDIP, Golkar, dan Demokrat) semuanya mempunyai sistem pengawasan terhadap kader dan anggotanya yang duduk sebagai anggota DPRD. Namun ketiga partai ini memiliki kesamaan dan perbedaan di dalam implementasi pengawasannya.
11
Wawancara dengan Sri Wigunawati, Sekretaris DPD Golkar Provinsi Bali , tgl 25 Juni 2012
Persamaannya adalah pintu pengawasan partai berada di fraksi. Hal ini terkesan bahwa kader yang menjadi anggota dewan mengawasi dirinya sendiri, dan banyak ditemukan juga di beberapa partai termasuk partai-partai dalam kajian ini bahwa anggota dewan adalah pengurus partai sehingga memiliki peran ganda yakni di dewan, di partai dan pengawasan. Perbedaannya terdapat pada mekanisme pelaksanaan pengawasan, yakni pengawasan Partai PDIP bersifat hirarkis institusionalisme dan berjenjang, artinya permasalahan mengenai kader partai di bawah ke struktur lokal (DPD), bila tidak mampu ditangani diserahkan ke DPP pusat. Sedangkan Partai Demokrat bersifat hirarkis (hampir sama dnegan dengan PDIP) hanya saja Partai Demokrat memiliki badan pengawas sendiri, tetapi tidak independent, sebab fungsi badan pengawas ini tidak jelas karena semua permasalahan mengenai kader dilimpahkan ke Badan Kehormatan (BK). dan Pengawasan Partai Golkar bersifat non hirarkis dan fleksibel, meskipun DPP pusat mempunyai peran penting untuk mengcounter permasalahan yang tidak bisa ditangani oleh DPD. Sifat Non hirarkis dan fleksibel artinya anggota dewan dianggap memiliki manajerial organisasi yang kuat karena proses pengkaderan di partai yang solid, sehingga apabila terdapat kader yang terkena kasus maka kader harus tau diri dan mengambil sikap semestinya untuk keluar dari partai apabila terbukti bersalah, tanpa harus mengunggu intruksi DPP pusat atau di PAW dahulu. Dapat ditarik kesimpulan, meskipun di partai terdapat badan pengawas dan badan kehormatan, fungsionalisasi pengawasan di partai tersebut belum maksimal. Sebab partai-partai dalam studi ini masih setengah-setengah dalam menjalankan fungsi pengawasannya serta terdapat tumpang tindih/ rangkap jabatan antara fungsi pengurus partai, anggota dewan, dan siapa pelaksana pengawasan. Salah satunya disebabkan karena aturan yang kurang ketat dan partai tidak tegas memberlakukannya. Dan hampir ketiga partai besar tersebut membiarkan kadernya yang terkena kasus dijerat, diadili tanpa pendampingan hukum, meskipun ada pendampingan hukum kebanyakan tidak memuaskan kader sehingga kader karena mempunyai uang, maka lebih memilih sendiri pengacaranya dan akhirnya partai memecat dan mendepak kadernya begitu saja.
Sebab kualitas kader sebenarnya ditentukan oleh seberapa besar fungsi pengawasan partai tersebut berlakau, karena anggota dewan adalah perwujudan dari citra partainya.