MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA ---------------------
RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 121/PUU-VII/2009 PERKARA NOMOR 153/PUU-VII/2009
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2009 PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG ENERGI
ACARA PENGUCAPAN PUTUSAN
JAKARTA RABU, 9 MARET 2011
PERKARA NOMOR 121/PUU- VII/2009 PERKARA NOMOR 153/PUU- VII/2009
PERIHAL -
Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
PEMOHON -
Nunik Elizabeth Merukh, dkk (Perkara 121/PUU-VII/2009) Safrial (Perkara Nomor 153/PUU-VII/2009)
TERMOHON -
Pemerintah dan DPR RI
ACARA -
Pengucapan Putusan
Rabu, 9 Maret 2011, Pukul 16.05-17.29 WIB Ruang Sidang Pleno Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat
SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Moh. Mahfud MD Achmad Sodiki M. Akil Mochtar Maria Farida Indrati Ahmad Fadlil Sumadi Harjono Muhammad Alim
Cholidin Nasir Sunardi
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota)
Panitera Pengganti Panitera Pengganti
1
Pihak yang Hadir: Pemohon: -
Nunik Elizabeth Merukh Yusuf Merukh Gustaaf Y.N. Merukh
Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 121/PUU-VII/2009: -
Erni Rasyid Zaenad Musyarrafah
Kuasa Hukum Pemohon Perkara Nomor 153/PUU-VII/2009: -
M. Ferdiansaid Darul Paseng
Termohon Perkara Nomor 153/PUU-VIII/2009:
121/PUU-VII/2009
dan
Nomor
Pemerintah: -
Radita Aji (Kementerian Hukum dan Hak Azazi Manusia)
DPR : -
Agus Trimorowulan (Biro Hukum dan Hukum dan Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang Sekretariat Jenderal DPR RI)
2
SIDANG DIBUKA PKL 16:05 WIB 1. KETUA: MOH. MAHFUD MD Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi untuk Pengucapan Putusan Perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 121/PUU-VII/2009 dan Nomor 153/PUU-VII/2009, dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Pemohon Nomor 121? Kenalkan diri dulu. 2. KUASA HUKUM PEMOHON NO.121: ERNI RASYID Yang terhormat, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang kami muliakan dan kami hormati dan kepada yang terhormat perwakilan menteri Pertambangan Energi dan Pemerintah yang kami hormati dan hadirin yang kami hormati. Perkenankanlah kami memperkenalkan diri, kami adalah Erni Rasyid, S.H. dan teman kami adalah Zaenab Musyarrafah, S.H. yang mewakili para Pemohon. Terima kasih Pak. 3. KETUA: MOH. MAHFUD MD Ya, 153? 4. KUASA HUKUM PEMOHON NO.153: M. FERDIANSAID Terima kasih, Yang Mulia. Selamat sore kami dari Pemohon 153, pada hari ini hadir saya sendiri Ferdiansaid, S.H. dan rekan saya Darul Paseng, S.H. terima kasih Yang Mulia. 5. KETUA: MOH. MAHFUD MD Ya. Pemerintah? 6. PEMERINTAH: RADITA AJI
3
Terima kasih, Yang Mulia. Perkenalkan nama saya Radita Aji dari Kementrian Hukum dan Hak Azazi Manusia, terima kasih Yang Mulia. 7. KETUA: MOH. MAHFUD MD DPR? 8. DPR: AGUS TRIMOROWULAN Makasih, Majelis Hakim yang kami muliakan. Nama saya Agus Trimorowulan, dari Biro Hukum dan Pemantauan Pelaksanaan UndangUndang Sekretariat Jenderal DPR RI. Terima kasih. 9. KETUA: MOH. MAHFUD MD dulu.
Baik pengucapan putusan akan dimulai dari Perkara Nomor 153
PUTUSAN Nomor 153/PUU-VII/2009
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1]
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2]
Nama
: DR. Ir. Safrial, MS;
Tempat, Tanggal lahir
: Merlung, 22 November 1958;
Agama
: Islam;
Pekerjaan
: Bupati Tanjung Jabung Barat;
4
Kewarganegaraan
: Indonesia;
Alamat
: Jalan Jenderal Sudirman Nomor 182 Kuala Tungkal, Jambi;
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 188/1566/HK, bertanggal 14 Desember 2009 dan Surat Kuasa Khusus Nomor 050/489/HK, bertanggal 19 Maret 2010 memberi kuasa kepada Chudry Sitompul, S.H., MH., Ade Yuliawan, S.H., Muhammad Fardian Said, S.H., Kahar Nawir, S.H., Darul Paseng, S.H., dan masing-masing sebagai Advokat dan Pengacara pada Kantor Hukum MSS & Co. Law Firm berkedudukan di Menara MNC lantai 20 Jalan Kebon Sirih Nomor 17 – 19 Jakarta Pusat 10340, baik sendirisendiri maupun bersama-sama untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------------Pemohon;
[1.3]
Membaca permohonan dari Pemohon; Mendengar keterangan dari Pemohon; Mendengar keterangan ahli dari Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan dari Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar dan membaca keterangan dari Pemerintah; Memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon; Membaca kesimpulan Pemohon dan Pemerintah;
10. HAKIM ANGGOTA: HAMDAN ZOELVA PERTIMBANGAN HUKUM [3.1]
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian materiil Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3)
5
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746, selanjutnya disebut UU 30/2007) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2]
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon;
Kewenangan Mahkamah [3.3]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang disebutkan lagi dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945;
[3.4]
Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian Undang-Undang in casu UU 30/2007 terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
6
[3.5]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UndangUndang yang dimohonkan pengujian, yaitu: a.
perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama);
b.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
[3.6]
c.
badan hukum publik atau privat; atau
d.
lembaga negara;
Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/ 2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a.
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b.
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh pemohon dianggap
dirugikan
oleh
berlakunya
Undang-Undang
yang
dimohonkan pengujian; c.
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.
adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
7
e.
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7]
Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut: •
Pemohon dalam permohonan a quo mengkualifikasikan dirinya sebagai Pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, dalam hal ini diwakili oleh Bupati Tanjung Jabung Barat yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 yang menyatakan: -
Pasal 20 ayat (3), ”Daerah penghasil sumber energi mendapat
prioritas
untuk
memperoleh
energi
dari
sumber
energi
setempat”; -
Pasal 23 ayat (3), ”Pengusahaan jasa energi hanya dapat
dilakukan oleh badan usaha dan perseorangan”; •
menurut Pemohon kata “daerah” dalam Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007
mengandung
ketidakjelasan
mengenai
apa
yang
dimaksud daerah, apakah daerah kabupaten/kota ataukah daerah provinsi. Demikian pula frasa “badan usaha” dalam Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007, juga mengandung ketidakpastian hukum karena ”badan usaha” dalam pasal a quo dapat berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah ataupun badan usaha lainnya. Oleh karena itu, menurut Pemohon rumusan dalam pasal a quo berpotensi menutup peluang pemerintah kabupaten/kota dalam mengusahakan bidang jasa energi yang seharusnya dapat dinikmati dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan serta kemakmuran masyarakat daerah di tempat sumber energi tersebut 8
berada; [3.8]
Menimbang bahwa terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah menyampaikan keterangan tertulis yang pada pokoknya menyatakan, Pemohon tidak jelas dan tidak tegas menguraikan kedudukan hukumnya, apakah sebagai perorangan warga negara Indonesia, sebagai badan hukum publik
ataukah
sebagai
lembaga
negara.
Apabila
Pemohon
mengkualifikasikan dirinya sebagai badan hukum publik seharusnya Pemohon dalam mengajukan permohonan a quo mendapat kuasa khusus dari DPRD Kabupaten Tanjung Jabung Barat, karena unsur pemerintahan daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD. Demikian juga
apabila Pemohon mengkualifikasikan dirinya sebagai lembaga
negara, maka hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tidak diatur secara ekplisit dalam UUD 1945. Oleh kerena itu, menurut DPR dan Pemerintah, Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK dan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi; [3.9]
Menimbang bahwa sebelum Mahkamah menilai apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 32/2004) sebagai berikut: •
Pasal 1 angka 2, “Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan
urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”; •
Pasal 1 angka 3, “Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara 9
pemerintahan daerah”; •
Pasal 3 ayat (1), “Pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) adalah:
•
a.
... dst;
•
b.
Pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah
daerah
kabupaten/kota
dan
DPRD
kabupaten/kota”. •
Pasal 25, ”Kepala daerah mempunyai tugas dan wewenang: a. f.
... dst; mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g. •
... dst”;
Pasal 27 ayat (1), “Dalam melaksanakan tugas
dan
wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26, kepala daerah dan wakil kepala daerah mempunyai kewajiban: a.
... dst;
b.
meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c.
... dst;
g.
memajukan dan mengembangkan daya saing daerah;
h.
. . . dst”;
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur pemerintahan daerah kabupaten/kota adalah bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota. Apabila Pasal 25 huruf f dihubungkan dengan Pasal 27 ayat (1) huruf b dan huruf g UU 32/2004, bahwa secara filosofis pemberian kewenangan kepada kepala daerah untuk mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan disebabkan karena kepala daerah adalah kepala pemerintahan di daerah yang mempunyai tugas dan tanggung jawab antara lain meningkatkan kesejahteraan rakyat, memajukan dan mengembangkan daya saing daerah. Tugas dan tanggung jawab Pemohon sebagai Bupati Kabupaten Tanjung Jabung Barat 10
secara jelas dinyatakan oleh Pemohon dalam persidangan tanggal 22 Maret 2010 yang pada pokoknya menerangkan bahwa permohonan pengujian UndangUndang a quo dilatarbelakangi oleh adanya keinginan Pemohon memanfaatkan gas buang yang selama ini hanya dibakar, akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dalam bidang listrik karena Kabupaten Tanjung Jabung Barat selama ini sangat kekurangan listrik; Terhadap keterangan Pemerintah dan DPR mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Mahkamah tidak sependapat dengan pandangan Pemerintah dan DPR yang menyatakan apabila Pemohon mengkualifikasi diri sebagai badan hukum publik seharusnya Pemohon mendapat kuasa khusus dari DPRD Kabupaten Tanjung Jabung Barat dalam mengajukan permohonan a quo, karena unsur pemerintahan daerah terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD. Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa benar unsur pemerintahan kabupaten/kota terdiri dari bupati dan DPRD kabupaten/kota, namun apabila bupati/walikota mewakili kepentingan daerahnya dalam pengadilan tidak harus bupati/walikota
tersebut
mendapat
surat
kuasa
khusus
dari
DPRD
kabupaten/kota, karena perbuatan hukum bupati/walikota demikian sematamata untuk kepentingan dan kemakmuran rakyatnya sebagaimana tugas dan tanggung jawab kepala daerah yang diatur dalam Pasal 27 UU 32/2004. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Surat DPRD Kabupaten Tanjung Jabung Barat Nomor 188/115/DPRD tanggal 19 Maret 2010, perihal dukungan permohonan uji materiil UU 30/2007, sudah cukup untuk mewakili kepentingan Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang a quo; [3.10]
Menimbang bahwa berdasarkan dalil Pemohon dan keterangan Pemohon dikaitkan dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK dan yurisprudensi Mahkamah sebagaimana diuraikan dalam paragraf [3.6], Mahkamah berpendapat, Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian pasal dalam UndangUndang a quo;
[3.11]
Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, 11
mengadili, dan memutus permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), Mahkamah selanjutnya akan mempertimbangkan pokok permohonan; 11. HAKIM ANGGOTA: HARJONO Pokok Permohonan [3.12]
Menimbang bahwa Pemohon dalam Pokok Permohonan a quo mengajukan pengujian materiil Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 dengan alasan-alasan sebagai berikut: •
Menurut Pemohon kata "daerah” dalam pasal a quo mengandung ketidakjelasan dan tidak secara tegas menentukan apakah daerah kabupaten/ kota ataukah daerah provinsi. Ketidakjelasan pasal a
quo disebabkan karena Pasal 11 ayat (2) UU 32/2004 memberikan landasan
yuridis
yang
bersifat
umum
yang
menyatakan,
“Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintah daerah yang saling terkait. Tergantung dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Provinsi Jambi sebagai daerah atasan merasa Iebih berwenang mendapatkan prioritas energi dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat di mana sumber energi tersebut berada; •
Selain itu, menurut Pemohon rumusan pasal a quo sangat lentur, subjektif, dan sangat tergantung pada interpretasi dari daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Provinsi sebagai daerah atasan Pemohon meminta jatah atau prioritas yang Iebih besar atas sumber energi yang ada dalam wilayah kabupaten/kota di mana sumber energi tersebut berada. Ketidakpastian hukum tersebut
12
menyebabkan Pemohon tidak dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya kemakmuran
untuk rakyat
memprioritaskan
meningkatkan
Kabupaten
pemenuhan
kesejahteraan
Tanjung kebutuhan
Jabung
dan
Barat
masyarakat
dan dan
peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penghasil energi secara maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c Undang-Undang a quo. Menurut Pemohon, bahwa apabila rumusan dalam pasal a quo tidak dipertegas, maka pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat tidak dapat menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah maupun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah padahal kewenangan tersebut harus didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota yang bersangkutan; •
Pasal 23 ayat (3) yang menyatakan, “Pengusahaan jasa energi hanya dapat dilakukan oleh badan usaha dan perseorangan”. Menurut Pemohon pasal a quo mengandung rumusan yang mengambang, karena frasa “badan usaha” dalam pasal a quo dapat
diinterpretasikan
BUMN,
BUMD
provinsi
atau
BUMD
kabupaten/kota ataupun badan usaha dalam bentuk lainnya, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menutup peluang pemerintah kabupaten/kota mengusahakan jasa energi untuk kepentingan dan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat, termasuk Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Menurut Pemohon frasa "badan usaha" dalam pasal a quo harus dimaknai "BUMD kabupaten/kota"; •
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan kata “daerah” dalam Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang kata “daerah” tersebut dimaknai daerah kabupaten/kota atau tidak 13
mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila kata “daerah”, tidak dimaknai sebagai daerah kabupaten/kota. Adapun untuk Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 frasa “badan usaha” bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “badan usaha” tidak dimaknai “badan usaha milik daerah”; [3.13]
Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalil permohonannya, Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-12, serta mengajukan dua orang ahli bernama Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H., dan Prof. Marthen Arie, S.H., M.H., yang memberikan keterangan di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 22 Maret 2010 dan tanggal 20 April 2010 yang keterangan selengkapnya telah dimuat pada bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut:
Prof. Dr. Ir. H. Abrar Saleng, S.H., M.M. •
Landasan konstitusional dan pengaturan pengelolaan sumber daya alam seperti energi, mineral, logam, dan air adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 1945. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut mengandung dua kaidah, yaitu dikuasai oleh negara dan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Kedua kaidah tersebut mengandung makna bahwa tidak ada penguasaan negara
tanpa
bermuara
pada
sebesar-besar
kemakmuran
rakyat.
Penguasaan negara dapat dimaknai menjadi tiga, yaitu: 1).
Negara berhak atau mempunyai wewenang untuk mengatur (regelen);
2).
Negara diberi kewenangan untuk mengurus (besturen);
3).
Negara
diberi
kewenangan
untuk
mengawasi
(controle
atau
toezichthouden); •
Pengelolaan sumber daya alam misalnya, energi, atau migas merupakan wewenang pemerintah pusat, sedangkan pengelolaan sumber daya alam lainnya, misalnya kehutanan, air, batubara, dan mineral diserahkan kepada
14
daerah sesuai dengan pembagian kewenangan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; •
Untuk mengetahui siapa yang berwenang melakukan pengelolaan sumber daya alam, hal tersebut dapat diketahui letak di mana sumber alam tersebut berada. Apabila sumber daya alam itu berada di kabupaten, maka bupati/walikota yang berwenang mengelolanya, apabila sumber daya alam itu
berada
di
lintas
kabupaten,
maka
gubernur
yang
berwenang
mengelolanya, dan apabila sumber daya alam tersebut berada di lintas provinsi, maka pemerintah pusat atau menteri terkait yang berwenang untuk mengelolannya; •
Apabila Undang-Undang Energi dirancang dengan baik maka akan menjadi payung hukum (umbrella act) dari seluruh Undang-Undang Sumber Daya Energi, tetapi permasalahannya adalah Undang-Undang Energi lahir belakangan. Oleh karena itu, menurut ahli, Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 perlu diadakan perbaikan karena bertentangan dengan kepentingan daerah penghasil energi;
•
Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dibutuhkan pendekatan manajamen
ruang
yang
ditangani
secara holistic integrated dengan
memperhatikan empat aspek pokok, yaitu aspek pertumbuhan (growth), aspek pemerataan (equity), aspek lingkungan (environment), dan aspek konservasi (conservation). Setiap kegiatan pertambangan akan menghasilkan dampak yang bermanfaat (externalitas positive) dan dampak yang merugikan
(externalitas negative) bagi umat manusia pada umumnya dan masyarakat lokal khususnya. Menurut asasnya bahwa masyarakat yang berada di dekat sumber daya alam dijamin sejahtera lebih dahulu dibanding dengan masyarakat yang jauh dari energi tersebut, sebab masyarakat setempat itu yang memelihara dan menjaga, sebaliknya apabila terjadi bencana, maka masyarakat setempat itu yang pertama yang menerima penderitaan; Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H.
15
•
Pengelolaan dan pengusahaan sumber energi ditentukan oleh empat aspek,
pertama, pengelolaan dan pengusahaan energi harus mempunyai landasan hukum yang kuat (UUD 1945 dan Undang-Undang Sektoral); kedua, pengelolaan dan pengusahaan energi merupakan bagian integral dari implementasi hak asasi manusia; dan ketiga, pengelolaan dan penguasaan energi dimaksudkan untuk memberdayakan potensi masyarakat di daerah; •
Pengelolaan dan pengusahaan energi oleh kabupaten/kota telah sesuai dengan hakikat otonomi daerah, yaitu memberikan keleluasaan dan diskresi yang seluas-luasnya kepada pemerintah daerah kabupaten/kota;
•
Untuk dapat mengetahui dan memahami siapa yang dimaksud dengan daerah sebagaimana Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007, dilakukan tiga pendekatan, yaitu: - kata “daerah” tidak dimaknai hanya semata-mata dari arti tekstualnya, tetapi harus dilihat dari konteks daerah tersebut. Pengelolaan atau pengusahaan
energi
bukan
menyangkut
urusan/kewenangan
sebagaimana diatur dalam UU 32/2004, tetapi menyangkut pembidangan sesuai Undang-Undang Sektoral; - kata “daerah” harus dimaknai tempat di mana penghasil sumber energi itu berada, dalam hal ini kabupaten/kota karena berhubungan langsung dengan masyarakat daerah; - pengelolaan dan penanganan sumber energi diberikan kepada pemerintah daerah di mana sumber energi itu berada; Alasan pemaknaan daerah dengan pendekatan tiga aspek tersebut, karena kabupaten/kota bukan bagian dari provinsi, melainkan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia; •
Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 yang menyatakan, “Daerah penghasil sumber
energi mendapat prioritas untuk memperoleh energi dari sumber energi setempat”. Jika dikaitkan dengan kontruksi hukumnya, maka prioritas itu merupakan bentuk khusus dari daerah. Apabila bentuk khusus itu dimaknai
16
daerah, maka kabupaten/kota mendapat prioritas utama memperoleh sumber energi; •
Untuk menentukan siapa yang mendapatkan prioritas dari sumber energi harus didasarkan pada tiga aspek, yaitu: - Aspek eksternalitas, yaitu mempertimbangkan dampak positif yang ditimbulkan dari pengelolaan atau pengusahaan sumber energi, karena pada dasarnya merupakan prinsip pemberian otonomi; - Aspek akuntabilitas, yaitu tingkat pemerintah yang paling dekat atau merasakan langsung dampak yang ditimbulkan akibat dari pengelolaan sumber energi itu; - Aspek efisiensi, yaitu sebagai pengukur untuk memastikan hasil guna dan daya guna dari pengeloaan sumber energi itu;
•
Menurut ahli tidak dapat dibedakan antara pengusahaan energi dan prioritas memperoleh energi. Pengelolaan sumber energi dilakukan oleh kabupaten/ kota, sedangkan pengusahaan jasa energi dapat dilakukan oleh BUMD
Kabupaten/BUMD
Provinsi
ataupun
swasta,
sehingga
terkait
mengenai pengusahaan energi tidak ada persoalan; [3.14]
Menimbang bahwa DPR pada persidangan tanggal 22 Maret 2010 menyampaikan keterangan lisan dan tertulis yang selengkapnya telah dimuat
pada
bagian
Duduk
Perkara,
yang
pada
pokoknya
menerangkan sebagai berikut: •
Substansi
persoalan
hukum
permohonan
Pemohon
adalah
Pemohon tidak dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di daerah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, karena daerah provinsi sebagai daerah atasan berpotensi meminta jatah atau prioritas yang lebih atas sumber energi yang ada dalam wilayah kabupaten atau kota di mana sumber energi tersebut berada. Permasalahan hukum
Pemohon
tersebut,
bukan
merupakan
persoalan
konstitusionalitas suatu norma, melainkan persoalan penerapan 17
norma Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 di daerah penghasil energi terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah; •
Terkait
mengenai
kewenangan
pemerintah
provinsi
dan
pemerintah kabupaten di bidang energi, sudah ditegaskan dalam Pasal 26 ayat (4) UU 30/2007 yang menyatakan, “Kewenangan
pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”.
Oleh
karena
pengelolaan
sumber energi merupakan pelaksanaan otonomi daerah, maka harus
mengacu
dan
mendasarkan
pada
Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UndangUndang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi, dan UndangUndang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan; •
Memahami
Undang-Undang
Energi
hendaknya
tidak
parsial,
melainkan harus juga mencermati keseluruhan pasal dan ayat dalam Undang-Undang a quo. Rumusan Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 telah dipertegas oleh Pasal 21 ayat (1) huruf c yang menyatakan,
"
Pemanfaatan energi dilakukan berdasarkan asas
sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 dengan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penghasil sumber energi"; •
Subjek hukum Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang a quo adalah pengusaha atau badan usaha, sedangkan Pemohon adalah sebagai Bupati Kabupaten Tanjung Jabung Barat, sehingga tidak ada relevansinya antara potensi kerugian Pemohon dengan Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang a quo yang dimohonkan pengujian;
18
•
Berdasarkan pandangan hukum di atas, menurut DPR, ketentuan Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
[3.15]
Menimbang bahwa Pemerintah pada persidangan tanggal 22 Maret 2010 telah menyampaikan keterangan lisan dan tertulis yang selengkapnya telah dimuat pada bagian Duduk Perkara, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: •
Dasar filosofis pembentukan UU 30/2007 adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, "Bumi dan air dan kekayaan alam
yang
terkandung
di
dalamnya
dikuasai
oleh
negara
dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Sumber daya energi sebagai kekayaan alam memiliki peranan penting bagi peningkatan kegiatan ekonomi dan ketahanan nasional penyediaan, pemanfaatan,
dan
pengusahaan
energi
dilaksanakan
secara
berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu guna memberikan nilai tambah bagi perekonomian bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memenuhi kebutuhan nasional; •
Pemohon telah keliru menafsirkan kata "daerah" yang diatur dalam Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007, karena kata ”daerah” dalam UndangUndang a quo merupakan definisi Pasal 1 angka 3 UU 32/2004 yang menyebutkan, ”Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau
walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah".
Selain itu kata "daerah" dalam UU 30/2007 juga
dapat ditafsirkan dengan mengacu pada Pasal 18 UUD 1945, Pasal 1 angka 6 UU 32/2004 juncto UU 12/2008 serta Pasal 19 dan Pasal 20 UU 33/2004. Menurut Pasal 19 dan Pasal 20 UU 33/2004, kata ”daerah” selalu diikuti dengan provinsi dan kabupaten/kota secara bersamaan. Ketentuan tersebut telah sejalan dengan sistem ketatanegaraan Indonesia yang meletakkan otonomi daerah pada 19
tingkat provinsi dan kabupaten/kota, sehingga makna daerah otonom/daerah selalu meliputi provinsi dan kabupaten/kota; •
Pengertian
frasa
"badan
usaha"
harus
disesuaikan
dengan
ketentuan Pasal 1 angka 12 UU 30/2007 yang menyatakan, "Badan
usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia". Dalam konteks ini, UU 30/2007 memberikan batasan hanya pada bentuk badan usaha yang
berbadan
hukum
tanpa
melihat
dari
mana
sumber
permodalannya, sehingga ”badan usaha” dalam Undang-Undang a
quo meliputi PT BUMN, PT BUMD, dan PT Swasta [sic!]. Ketentuan mengenai badan usaha tersebut dalam Penjelasan Pasal 23 ayat (2) UU 30/2007 menyatakan, "Badan usaha meliputi badan usaha
milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha swasta"; 12. HAKIM ANGGOTA: ACHMAD SODIKI Pendapat Mahkamah [3.16]
Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama permohonan Pemohon, bukti surat/tulisan dari Pemohon, keterangan ahli dari Pemohon,
keterangan
Pemerintah,
tertulis
kesimpulan
Dewan
tertulis
Perwakilan
Pemohon
dan
Rakyat
dan
Pemerintah,
Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.17]
Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007
yang
menyatakan,
“Daerah penghasil sumber energi
mendapat prioritas untuk memperoleh energi dari sumber energi setempat”, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,
“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang
20
sama di hadapan hukum”. Menurut Pemohon kata "daerah” dalam pasal a quo mengandung ketidakjelasan dan tidak secara tegas menentukan
apakah
daerah
yang
dimaksud
adalah
daerah
kabupaten/kota ataukah daerah provinsi. Ketidakjelasan pasal a quo disebabkan karena Pasal 11 ayat (2) UU 32/2004 memberikan landasan
yuridis
yang
bersifat
umum
yang
menyatakan,
“Penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota atau antar pemerintah daerah yang saling terkait, tergantung, dan sinergis sebagai satu sistem pemerintahan”. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka Provinsi Jambi sebagai daerah atasan merasa Iebih berwenang mendapatkan prioritas energi dari Kabupaten Tanjung Jabung Barat di mana sumber energi tersebut berada; Selain itu, menurut Pemohon, rumusan pasal a quo sangat lentur, subjektif, dan sangat tergantung pada interpretasi dari daerah provinsi maupun kabupaten/kota sehingga daerah provinsi sebagai daerah atasan Pemohon, berpotensi meminta jatah atau prioritas yang Iebih besar atas sumber energi yang ada dalam wilayah kabupaten/kota di mana sumber energi tersebut berada. Ketidakpastian hukum tersebut menyebabkan
Pemohon
tidak
dapat
melaksanakan
tugas
dan
wewenangnya untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penghasil energi secara maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c Undang-Undang a quo. Menurut Pemohon bahwa apabila rumusan dalam pasal Pemerintah
Kabupaten
Tanjung
a quo tidak dipertegas, maka Jabung
Barat
tidak
dapat
21
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah maupun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah di daerah padahal kewenangan tersebut harus didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah; Sebelum memberikan pendapat mengenai apakah Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Mahkamah terlebih dahulu akan menilai apakah yang dimaksud dengan “daerah”. Pasal 1 angka 29 UU 30/2007 menyatakan, “Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat
daerah
sebagai
unsur
penyelenggara
pemerintahan
daerah”. Definisi pemerintahan daerah tersebut sejalan dengan Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang”. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebagai pelaksanaan dari Pasal 18 UUD 1945, dalam Pasal 1 angka 6, telah memberikan definisi mengenai “daerah” yang menyatakan, “Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang
pemerintahan
berwenang dan
mengatur
kepentingan
dan
masyarakat
mengurus setempat
urusan menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ”daerah” dalam Pasal 20 ayat (3) UU 30/2007 adalah daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota. Kata “daerah” dalam pasal a quo merupakan ketentuan yang bersifat umum yang menunjuk kepada pengertian kedua daerah tersebut, karena 22
apabila kata ”daerah” tersebut menunjuk kepada salah satu daerah, yaitu provinsi ataupun kabupaten/kota maka Undang-Undang a quo akan menyebutkan dengan jelas mengenai maksud daerah tersebut (vide Pasal 26 UU 30/2007). Dengan demikian, rumusan pasal a quo sudah jelas, sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana didalilkan oleh Pemohon. Oleh karena itu, dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum; [3.18]
Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 yang menyatakan, “Pengusahaan jasa energi hanya dapat
dilakukan oleh badan usaha dan perseorangan”, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, karena kata “badan usaha” dalam pasal
a quo mengandung rumusan yang mengambang, sehingga kata “badan usaha” dapat diinterpretasikan BUMN, BUMD provinsi atau BUMD kabupaten/kota ataupun badan usaha dalam bentuk lainnya. Ketidakjelasan demikian telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan berpotensi
menutup
peluang
pemerintah
kabupaten/kota
mengusahakan jasa energi untuk kepentingan dan kesejahteraan serta kemakmuran rakyat Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Oleh karena itu, menurut Pemohon, kata "badan usaha" dalam pasal a quo harus dimaknai "BUMD kabupaten/kota". Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa pengertian badan usaha telah dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 1 angka 12 UU 30/2007 yang menyatakan, “Badan usaha adalah perusahaan berbentuk badan
hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus, dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Menurut Mahkamah bahwa “badan usaha” yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 adalah sama dengan “badan usaha” yang tercantum dalam Pasal 23 ayat (2) UU 30/2007. Selain itu, Penjelasan Pasal 23 ayat (2) UU 30/2007 telah dengan tegas 23
menyebutkan macam-macam badan usaha, yaitu meliputi BUMN, BUMD, koperasi, dan badan usaha swasta. Mahkamah sependapat dengan Pemerintah bahwa perbedaan prinsip Pasal 23 ayat (2) dan ayat (3) UU a quo adalah terletak bentuk pengusahaannya, yaitu Pasal 23 ayat (2) mengenai “pengusahaan energi”, sedangkan Pasal 23 ayat (3) mengenai “pengusahaan jasa energi”. Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa “badan usaha” dalam Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 tidak dapat dimaknai hanya terbatas pada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Dengan demikian, dalil Pemohon yang memohon agar badan usaha diartikan secara sempit hanya BUMD saja adalah tidak beralasan hukum; [3.19]
Menimbang bahwa berdasarkan penilaian dan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat bahwa kata “daerah” dalam Pasal 20 ayat (3) dan frasa “badan usaha” dalam Pasal 23 ayat (3) UU 30/2007 tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
13. KETUA: MOH. MAHFUD MD KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum tersebut di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa: [4.1]
Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon;
[4.2]
Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3]
Permohonan Pemohon tidak beralasan hukum. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
24
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316). 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya; KETUK PALU 1X Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva masingmasing sebagai Anggota, pada hari Senin tanggal tujuh bulan Maret tahun dua ribu sebelas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal sembilan bulan Maret tahun dua ribu sebelas, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD, selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Harjono, M. Akil Mochtar, Muhammad Alim, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masingmasing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Sunardi sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, dan Pemerintah atau yang mewakili. Demikian Putusan Nomor 153, selanjutnya akan dibacakan Putusan Nomor 121.
25
PUTUSAN Nomor 121/PUU-VII/2009 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1]
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2]
I. Dr. Nunik Elizabeth Merukh, swasta, dalam hal ini bertindak selaku Pemegang Saham PT. Pukuafu Indah, PT. Lebong Tandai, PT. Merukh Ama Coal, PT. Merukh Flores Coal, berkedudukan di Jakarta, Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 058/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 25 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------- Pemohon IA; II.
Dr. Yusuf Merukh, swasta, dalam hal ini bertindak selaku Pemegang Saham pada PT. Bintang Purna Manggala, PT. Lebong Tandai, PT. Pukuafu Indah, PT. Merukh Flores Coal, PT. Merukh Ama Coal, berkedudukan di Jakarta, Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
059/SK/ZJ/2009,
bertanggal 25 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------- Pemohon IB; III.
Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, swasta, dalam hal ini bertindak selaku Pemegang Saham pada PT. Merukh Ama Coal, PT. Merukh Flores Coal, yang kesemuanya berkedudukan di Jakarta, Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, 26
Jakarta
Selatan,
berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
060/SK/ZJ./VIII/2009, bertanggal 25 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------- Pemohon IC; IV. Rocky Sulistyo Merukh, swasta, dalam hal ini bertindak selaku Pemegang Saham PT. Kartimin Indah Utama, berkedudukan di Jakarta, Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H.R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 061/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 25 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------- Pemohon ID; V.
Richard Johanes Merukh, Swasta, dalam hal ini bertindak selaku Pemegang Saham PT. Kreung Taungah, PT. Kreung Gasui, berkedudukan di Jakarta, Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H.R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 072/SK/ZJ/VIII/2009 tertanggal 25 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------- Pemohon IE; Para Pemohon tersebut di atas secara bersama-sama disebut sebagai ------------------------------------------------ para Pemohon I;
VI. PT. Pukuafu Indah, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor Y.A.5/507/16 tertanggal 27 November 1978 dan perubahan terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT. Pukuafu Indah Nomor 80 tanggal 18 Januari 2008 yang dibuat oleh Notaris Titiek
Irawati
Sugianto
yang
telah
disetujui
perubahannya
berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor AHU-11456.AH.01.02.Tahun 2008 tanggal 10 Maret 2008, dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Komisaris yang mendapatkan kuasa dari Direksi, dengan demikian
27
sah mewakili Direksi, dari dan karenanya bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas PT. Pukuafu Indah, berkedudukan di Jakarta, Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 064/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 28 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIA; VII. PT. Bintang Purna Manggala, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor C2-5666 HT.01.01-TH’83 tertanggal 15 Agustus 1983. dan perubahan terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT. Bintang Purna Manggala Nomor 8 tanggal 04 Juli 2003 dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, SH dan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI Nomor C-25173 HT.01.04.TH.2003 tanggal 22 Oktober 2003, dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Bintang Purna Manggala yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 062/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 28 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIB; VIII. PT. Lebong Tandai, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor Y.A.5/379/10 tertanggal 26 Agustus 1980 dan perubahan terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Para Pemegang Saham PT. Lebong Tandai Nomor 6
tanggal 16 Februari 2008
dibuat di hadapan Notaris Misdalina, S.H. dan telah disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-44313.AH.01.02.Tahun 2008 tanggal 24 Juli 2008, dalam hal 28
ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, swasta, dalam hal ini bertindak selaku Komisaris yang mendapatkan kuasa dari Direksi, dengan demikian sah mewakili Direksi, dari dan karenanya bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas PT. Lebong Tandai, berkedudukan di Jakarta, Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 063/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 28 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIC; IX. PT. Merukh Ama Coal, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor W7-03910 HT.01.01-TH.2006 tertanggal 19
Desember
2006
dan
perubahan
terakhir
dengan
Akta
Pernyataan Keputusan Rapat Para Pemegang Saham PT. Merukh Ama Coal Nomor 10 tanggal 13 September 2008 dibuat di hadapan Notaris Misdalina, SH, dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Merukh Ama Coal yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 065/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 28 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IID; X. PT. Merukh Flores Coal, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor C-03145 HT.01.01.TH.2006 tertanggal 6 Februari 2006 dan perubahan terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Para Pemegang Saham PT. Merukh Flores Coal Nomor 14 tanggal 13 September 2008 dibuat di hadapan Notaris 29
Misdalina, SH, dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Merukh Flores Coal yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 068/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 28 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIE; XI. PT. Katimin Indah Utama, yang telah didirikan berdasarkan Akta Pendirian PT. Katimin Indah Utama Nomor 61 tanggal 27 Oktober 2004 dan Akta Perubahan Anggaran Dasar PT. Katimin Indah Utama Nomor 22 tanggal 18 Januari 2006 keduanya dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, SH, dalam hal ini diwakili oleh Rocky Sulistyo Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Katimin Indah Utama, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 068/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 28 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIF; PT. Bintuni Steenkool Prima, yang telah didirikan berdasarkan Akta Pendirian PT. Bintuni Steenkool Prima Nomor 33 tanggal 11 November 2004 dan Akta Perubahan Anggaran Dasar PT. Bintuni Steenkool Prima Nomor 23 tanggal 18 Januari 2006 keduanya dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, SH, hingga saat ini
masih
dalam
proses
perubahan
anggaran
dasar
untuk
disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang UU Perseroan Terbatas berdasarkan surat keterangan dari Notaris Irawati Yalesperdani, SH Nomor 17/IX/2009/KN tertanggal 30
2 September 2009. dalam hal ini diwakili oleh Ir. Junus Hermanus Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Bintuni Steenkool Prima, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 070/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 25 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIG; XII. PT. Sidua Horna
Jaya, yang telah didirikan berdasarkan Akta
Pendirian PT. Sidua Horna Jaya Nomor 30 tanggal 11 November 2004 dan Akta Perubahan Anggaran dasar PT. Sidua Horna Jaya Nomor 21 tanggal 18 Januari 2006 keduanya dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, SH, hingga saat ini masih dalam proses perubahan anggaran dasar untuk disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang UU Perseroan Terbatas
berdasarkan surat keterangan dari Notaris
Irawati
Yalesperdani, SH Nomor 14/IX/2009/KN tertanggal 2 September 2009. Dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N.Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama
PT.Sidua Horna Jaya, yang
beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 069/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 25 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIH; XIII. PT. Teminabuan Fumai Perkasa, yang telah didirikan berdasarkan Akta pendirian PT. Teminabuan Fumai Perkasa Nomor 46 tanggal 7 Desember 2004 dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, SH., hingga saat ini masih dalam proses perubahan anggaran dasar untuk disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 31
tentang UU Perseroan Terbatas berdasarkan surat keterangan dari Notaris
Irawati
Yalesperdani,
S.H.
Nomor
16/IX/2009/KN
tertanggal 2 September 2009. Dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N.Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT.Teminabuan
Fumai Perkasa, yang beralamat di Ariobimo
Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 067/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 25 Agustus 2009; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------- Pemohon III; XIV. PT. Krueng Taungah, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor Y.A.5/162/5. tertanggal 30 Juni 1981 mengenai pengesahan atas Akta Pendirian Nomor 23 tanggal 7 November 1980 dibuat di hadapan Notaris Vana Sasana, SH sebagai pengganti notaris dari Gunung Tua Alamsyah Harahap, SH., dalam hal ini diwakili oleh Richard
Johanes
Merukh,
selaku
Direktur
dan
karena
itu
berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama
PT. Kreung Taungah, yang beralamat di Ariobimo
Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 094/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------------- Pemohon IIJ; XV.PT. Krueng Gasui, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor YA5/259/8. tertanggal 28 September 1981 mengenai pengesahan atas Akta Pendirian Nomor 24 tanggal 7 November 1980 dibuat di hadapan Notaris Vana Sasana, SH sebagai pengganti notaris Gunung Tua Alamsyah Harahap, SH., dalam hal 32
ini diwakili oleh Richard Johanes Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama
PT. Kreung Taungah, yang beralamat di
Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 093/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIK; XVI. PT. Salawati Naibu Prima, yang telah didirikan berdasarkan Akta Pendirian PT. Salawati Naibu Prima Nomor 57 tanggal 27 Oktober 2004 dan Akta Perubahan Anggaran Dasar PT. Salawati Naibu Prima Nomor 24 tanggal 18 Januari 2006
keduanya dibuat di
hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, SH, dan hingga saat ini masih dalam proses perubahan anggaran dasar untuk disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berdasarkan surat keterangan dari Notaris
Irawati
Yalesperdani, S.H. Nomor 15/IX/2009/KN tertanggal 2 September 2009. Dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Salawati Naibu Prima, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 099/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIL; XVII.PT. Elang Merukh Doromasa, yang telah didirikan berdasarkan Akta Pendirian PT. Elang Merukh Doromasa Nomor 129 tanggal 21 Desember 2004 dan Akta Perubahan Anggaran Dasar PT. Elang Merukh Doromasa Nomor 26 tanggal 11 Juni 2006 keduanya dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, SH., dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh , selaku Direktur dan karena 33
itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama
PT. Elang Merukh Doromasa, yang beralamat di
Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 084/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIM; XVIII. PT. Batubara Kaway XVI, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Perundangundangan Republik Indonesia Nomor C-08777 HT.01.01.TH.2003 tertanggal 23 April 2003 mengenai pengesahan Akta Pendirian Nomor 24 tanggal 23 Desember 2004 dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, SH dan perubahan terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Para Pemegang Saham PT. Batubara Kaway XVI Nomor 15 tanggal 13 September 2008
dibuat di
hadapan Notaris Masdalina, SH, Mkn., dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Batubara Kaway XVI, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan,
berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
079/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIN; XIX. PT. Flobamora Raya Minerals, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor
Y.A.5/347/9
tertanggal
21
Agustus
1997
mengenai pengesahan Akta Pendirian Nomor 40 tanggal 16 Maret 1997 dibuat di hadapan Notaris Drs. Gde Ngurah Rai, S.H. dan perubahan terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Para Pemegang Saham PT. Flobamora Raya Minerals Nomor 1 tanggal 5 34
Mei 2008 dibuat di hadapan Notaris Masdalina, S.H., Mkn., dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Komisaris yang mendapatkan kuasa dari Direksi dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Flobamora Raya Minerals, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta
Selatan,
berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
081/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIO; XX. PT. Bintuni Raya Perkasa, yang telah didirikan berdasarkan Akta Pendirian Nomor 23 tanggal 11 November 2004 dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, S.H., dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Bintuni Raya Perkasa, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta
Selatan,
berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
077/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIP; XXI. PT. Bintuni Yaru Utama, yang telah didirikan berdasarkan Akta Pendirian Nomor 31, tanggal 11 November 2004 dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, S.H., dalam hal ini diwakili oleh Ir.
Gustaaf
Y.N.
Merukh,
selaku
Direktur
dan
karena
itu
berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama
PT. Bintuni Yaru Utama, yang beralamat di Ariobimo
Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 080/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009;
35
Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIQ; XXII. PT.
Muturi Horna Barat, yang telah didirikan berdasarkan Akta
Pendirian Nomor 24 tanggal 11 November 2004 dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, S.H., dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Bintuni Yaru Utama, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan,
berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
083/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIR; XXIII. PT.
Sumba Prima Iron, yang telah didirikan berdasarkan Akta
Pendirian PT. Bintuni Jaya Perkasa Nomor 148 tanggal 31 Desember 2004 dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, SH., dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama
PT.
Sumba Prima Iron, yang
beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 087/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIS; XXIV. PT. Merukh Bellu Copper, yang telah didirikan berdasarkan Akta Pendirian PT. Merukh Bellu Copper Nomor 23 tanggal 10 Juni 2004 dibuat di hadapan Notaris Titiek Irawati Sugianto, SH, dan hingga saat ini masih dalam proses pengesahan pada Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia berdasarkan surat keterangan dari Notaris Titiek Irawati Sugianto, SH Nomor 667/Not-T/VI/2001 tertanggal 29 Juni 2001. Dalam hal ini diwakili
36
oleh Teguh Sutrisno, selaku Komisaris yang mendapatkan kuasa dari Direksi dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Merukh Bellu Copper, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 086/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIT; XXV. PT. Lasolo Indah Raya Mining, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor Y.A.5/420/19 tertanggal 22 Oktober 1977 mengenai pengesahan Akta Pendirian Nomor 20 tanggal 10 Juni 1977 dibuat di hadapan Notaris Doktorandus Gde Ngurah Rai, SH dan perubahan terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT. Lasolo Indah Raya Mining Nomor 2 tanggal 3 Desember 2001 dibuat di hadapan Notaris Martina Warmansjah, S.H., dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Direktur Utama dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama
PT. Lasolo Indah Raya Mining, yang
beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 085/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIU; XXVI. PT. Tanjung Serapung, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
Y.A.5/231/22
tertanggal
26
Maret
1981
mengenai
pengesahan Akta Pendirian Nomor 71 tanggal 29 September 1980 dibuat di hadapan Notaris Gunung Tua Alamsyah Harahap, SH dan perubahan terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT.
37
Tanjung Serapung Nomor 14 tanggal 9 April 1998 dibuat di hadapan Notaris Martina Warmansjah, SH., dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Komisaris yang mendapatkan kuasa dari Direksi dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama
PT. Tanjung
Serapung, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
078/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIV; XXVII. PT. Mabuli Raya, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor Y.A.5/407/11 tertanggal 10 September 1977 mengenai pengesahan Akta Pendirian Nomor 26 tanggal 12 Mei 1977 dan perubahannya Akta Nomor 27 tanggal 19 Agustus 1977 keduanya dibuat di hadapan Notaris Doktorandus Gde Ngurah Rai, S.H. dan perubahan terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT. Mabuli Raya Nomor 3 tanggal 3 Desember 2001 dibuat di hadapan Notaris Martina Warmansjah, SH., dalam hal ini diwakili oleh Ir.
Gustaaf
Y.N.
Merukh,
selaku
Direktur
dan
karena
itu
berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama
PT. Mabuli Raya, yang beralamat di Ariobimo
Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 090/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------- Pemohon IIW; XXVIII. PT. Usu Indah Mining, yang telah disahkan sebagai Badan Hukum berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia 38
Nomor Y.A.5/542/11 tertanggal 15 Juli 1977 mengenai pengesahan Akta Pendirian Nomor 28 tanggal 12 Mei 1977 dibuat di hadapan Notaris Doktorandus Gde Ngurah Rai, SH dan perubahan terakhir dengan Akta Pernyataan Keputusan Rapat PT. Usu Indah Mining Nomor 1 tanggal 3 Desember 2001 dibuat di hadapan Notaris Martina Warmansjah, S.H., dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama
PT. Usu
Indah Mining, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
092/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIX; XXIX. PT. Merukh Seram Gold, dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Merukh Seram Gold, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
091/SK/ZJ/X/2009
bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIY; XXX. PT. Batubara Nagan Raya, dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Batubara Nagan Raya, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
088/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal 12 Oktober 2009;
39
Selanjutnya disebut sebagai --------------------------- Pemohon IIZ; XXXI. PT. Manggarai Merukh Coal, dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama
PT.
Manggarai Merukh Coal, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan,
berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
082/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------- Pemohon IIZ (1); XXXII. PT. Ende Merukh Coal, dalam hal ini diwakili oleh Ir. Gustaaf Y.N. Merukh, selaku Direktur dan karena itu berdasarkan anggaran dasar perseroan sah bertindak untuk dan atas nama PT. Ende Merukh Coal, yang beralamat di Ariobimo Sentral Lantai 3 Jalan H. R. Rasuna Said Kav X-2 Nomor 5, Kuningan, Jakarta Selatan, berdasarkan
Surat
Kuasa
Khusus
Nomor
089/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal 12 Oktober 2009; Selanjutnya disebut sebagai ---------------------- Pemohon IIZ (2); Para Pemohon tersebut di atas secara bersama-sama disebut sebagai --------------------------------------------------para Pemohon II; Para Pemohon I dan Para Pemohon II berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 058/SK/ZJ/VIII/2009, bertanggal 25 Agustus 2009, Nomor 059/SK/ZJ/2009, bertanggal 25 Agustus 2009, Nomor 060/SK/ZJ./VIII/2009,
bertanggal
25
Agustus
2009,
Nomor
061/SK/ZJ/VIII/2009,
bertanggal
25
Agustus
2009,
Nomor
072/SK/ZJ/VIII/2009,
bertanggal
25
Agustus
2009,
Nomor
064/SK/ZJ/VIII/2009,
bertanggal
28
Agustus
2009,
Nomor
062/SK/ZJ/VIII/2009,
bertanggal
28
Agustus
2009,
Nomor
063/SK/ZJ/VIII/2009,
bertanggal
28
Agustus
2009,
Nomor
40
065/SK/ZJ/VIII/2009,
bertanggal
28
Agustus
2009,
Nomor
068/SK/ZJ/VIII/2009,
bertanggal
28
Agustus
2009,
Nomor
068/SK/ZJ/VIII/2009,
bertanggal
28
Agustus
2009,
Nomor
070/SK/ZJ/VIII/2009,
bertanggal
25
Agustus
2009,
Nomor
069/SK/ZJ/VIII/2009,
bertanggal
25
Agustus
2009,
Nomor
067/SK/ZJ/VIII/2009
bertanggal
25
Agustus
2009,
Nomor
094/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
093/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
099/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
2009,
Nomor
084/SK/ZJ/X
/2009,
bertanggal
12
Oktober
079/SK/ZJ/X./2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
081/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
077/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
080/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
083/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
087/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
086/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
085/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
078/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
090/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
092/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
091/SK/ZJ/X/2009
tertanggal
Oktober
2009,
Nomor
088/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
082/SK/ZJ/X/2009,
bertanggal
12
Oktober
2009,
Nomor
12
089/SK/ZJ/X/2009, bertanggal 12 Oktober 2009, memberikan kuasa kepada 1) Januardi S. Haribowo, S.H., 2) R.A. Made Damayanti Zoelva, S.H., 3) Abdullah, S.H., 4) Erni Rasyid, S.H. dan 5) Wisye Hendrarwati, S.H., kesemuanya Advokat pada Kantor Hukum Zoelva dan Januardi beralamat di Jalan Kertanagara Nomor 68, Kebayoran Baru Jakarta Selatan, baik secara sendiri-sendiri 41
maupun bersama-sama, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai --------------------------para Pemohon; [1.3]
Membaca permohonan dari para Pemohon; Mendengar keterangan dari para Pemohon; Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah; Membaca keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat; Memeriksa bukti-bukti dari para Pemohon; Mendengar keterangan ahli dan saksi dari para Pemohon; Membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon dan Pemerintah;
13. HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Pertimbangan Hukum [3.1]
Menimbang bahwa permasalahan hukum utama permohonan para Pemohon adalah konstitusionalitas Pasal 172 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959, selanjutnya disebut UU Minerba) sepanjang frasa “...kepada Menteri paling lambat 1 (satu)
tahun...” dan frasa “...dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan...” terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
42
[3.2]
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan Pokok Permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo dan kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon;
Kewenangan Mahkamah [3.3]
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945;
[3.4]
Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Pasal 172 UU Minerba sepanjang frasa, “...kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun...” dan frasa, “...dan sudah mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin
penyelidikan pendahuluan...” terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a
quo; Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon [3.5]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian
43
Undang-Undang
terhadap
UUD
1945
adalah
mereka
yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu UndangUndang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian UndangUndang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a.
kedudukan Pemohon sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b.
adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
[3.6]
Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20
September
berpendirian
2007,
bahwa
serta
kerugian
putusan-putusan hak
dan/atau
selanjutnya kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a.
adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
44
b.
hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan
oleh
berlakunya
Undang-Undang
yang
dimohonkan pengujian; c
kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.
adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e.
adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7]
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 UU MK dan syarat kerugian seperti termuat dalam paragraf [3.5] dan paragraf [3.6], dihubungkan dengan dalil kerugian para Pemohon, Mahkamah berpendapat, prima facie para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian UndangUndang a quo;
[3.8]
Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, serta memutus permohonan a quo, dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;
14. HAKIM ANGGOTA: AHMAD FADLIL SUMADI Pokok Permohonan [3.9]
Menimbang bahwa pada pokoknya permohonan para Pemohon adalah mengenai konstitusionalitas Pasal 172 UU Minerba sepanjang frasa
“kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun” serta frasa “dan sudah
45
mendapatkan surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan”, bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan alasan-alasan hukum pada pokoknya sebagai berikut: •
Bahwa frasa a quo benar-benar telah menabrak prinsip rule of law, yaitu tujuan hukum berupa prinsip keadilan, prinsip kepastian, dan ketertiban hukum serta prinsip kemanfaatan dari hukum;
•
Bahwa adanya frasa a quo menyebabkan segala upaya dan hasil yang telah dicapai para Pemohon, dengan itikad baik, sebagai warga negara yang baik, mengikuti aturan-aturan hukum, dan peraturan perundang-undangan dengan baik telah mengajukan permohonan KK dan PKP2B sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku terabaikan, tercampakkan, serta tidak dihormati, dan dianggap tidak ada;
•
Bahwa adanya frasa a quo tidak memberikan jaminan perlindungan kepastian hukum yang adil terhadap para Pemohon yang telah memperoleh hak atau potensial memperoleh hak yang sah untuk mendapatkan wilayah pertambangan yang telah dimohonkan berdasarkan peraturan yang lama (sekecil apapun hak itu);
•
Bahwa adanya frasa a quo telah menimbulkan rusaknya iklim investasi, yaitu kekhawatiran para pelaku bisnis khususnya bidang pertambangan
mineral
dan
batubara
dengan
terus
terjadi
perubahan kebijakan dan Undang-Undang yang berlaku yang menimbulkan ketidakpastian dan kerugian bagi masyarakat in casu para Pemohon. Hal ini akan berdampak langsung atau tidak langsung terhadap usaha para Pemohon dan bisnis pertambangan pada umumnya serta merugikan iklim usaha dan investasi yang bermanfaat bagi ekonomi rakyat juga ekonomi bangsa dan negara;
46
[3.10]
Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya, para Pemohon telah mengajukan bukti surat/tulisan (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-57B), serta mengajukan seorang saksi bernama Achmad Sanusi, S.H., dan seorang ahli bernama Prof. Dr. Philipus M. Hadjon, S.H., yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 22 Februari 2010, keterangan selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara di atas, yang pada pokoknya sebagai berikut:
Saksi Achmad Sanusi, S.H. •
Bahwa sesuai keterangan saksi, prosedur permohonan Kontrak Karya (KK) dan PKP2B adalah sesuai dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004, yaitu: 1. Pemohon
mengajukan
permohonan
pencadangan
wilayah
pertambangan kepada menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai Keputusan
Menteri
ESDM
Nomor
1603K/40/Men/2003
tentang
Pedoman Pencadangan Wilayah Pertambangan tanggal 24 Desember 2003; 2. Setelah Pemohon mendapatkan persetujuan pencadangan wilayah sebagaimana
dimaksud
pada
butir
1,
Pemohon
mengajukan
permohonan KK/PKP2B kepada dirjen, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing; 3. Pemohon sebagaimana dimaksud pada butir 1 harus menyetor uang jaminan kesungguhan sesuai ketentuan yang berlaku serta memenuhi persyaratan sebagaimana tercantum dalam lampiran 2 Keputusan Menteri ESDM Nomor 1604; 4. Permohonan KK/PKP2B harus diajukan paling lambat 5 hari sejak tanggal diberikannya persetujuan pencadangan wilayah pertambangan oleh menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangan masing-masing; 47
5. Permohonan
yang
telah
memenuhi
persyaratan
sebagaimana
tercantum dalam Lampiran 2 huruf a Keputusan Menteri SDM diberikan tanda
terima
oleh
dirjen
untuk
wilayah
yang
berada
pada
kewenangan pemerintah, provinsi/kabupaten/kota atau unit kerja yang ditunjuk untuk wilayah yang berada pada kewenangan pemerintah provinsi/bupati/kota; 6. Dirjen atau gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan masingmasing sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (2) dalam jangka waktu 14 hari kerja memberikan persetujuan prinsip pada permohonan yang telah memenuhi ketentuan sebagai dimaksud dalam angka 5; 7. Hal-hal yang menyangkut naskah KK/PKP2B, tata cara perundingan penandatanganan naskah KK/PKP2B tanggung jawab pembinaan dan pelaksanaan proses permohonan KK/PKP2B dapat dilihat pada Kepmen ESDM Nomor 1614 Tahun 2004, bertanggal 18 Oktober 2004; •
Bahwa berdasarkan pengetahuan dan pengalaman saksi, waktu yang diperlukan menurut ketentuan adalah paling lama empat belas hari, namun tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu empat belas hari karena untuk mendapatkan suatu cadangan wilayah cukup sulit, apalagi di Indonesia banyak daerah-daerah terpencil di mana cadangan mineral dan batubara itu berada;
•
Bahwa saksi belum pernah terjun langsung untuk ikut serta dalam pencadangan wilayah, namun saksi mengetahui bahwa untuk pemrosesan pencadangan wilayah cukup rumit, tidak sedikit waktu dan tidak sedikit juga tenaga yang harus dilibatkan, serta memerlukan biaya yang tidak sedikit;
•
Bahwa
pada
saat
saksi
menjabat
sebagai
Kepala
Bagian
Perundang-undangan, yang saat itu dalam masa transisi perubahan otonomi daerah, sehingga boleh dikatakan hampir sama sekali tidak pernah saksi menjumpai hal demikian; Ahli Prof. Dr. Philipus. M. Hadjon, S.H. 48
•
Bahwa dari segi teknis perundang-undangan, Pasal 172 UU Minerba berada di dalam ketentuan peralihan, sehingga dalam membuat ketentuan peralihan perlu memperhatikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 agar tidak berlaku surut. Di dalam Bab I butir C4 Nomor 107 Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengenai ketentuan berlaku surut dikatakan, “Penentuan daya laku surut sebaiknya tidak diadakan bagi peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan, yang memberi beban konkrit kepada masyarakat”;
•
Bahwa isu sentralnya ialah konstitusionalitas Pasal 172 UU Minerba, sehingga pertanyaan hukumnya adalah, apakah ketentuan Pasal 172 UU Minerba tidak bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945? Dalam analisa ini, ahli melihat dari dua sudut pendekatan, pertama, landasan konstitusional dan kedua, landasan teoritis, berkaitan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan; Landasan Konstitusional Bahwa titik tolak landasan konstitusionalnya adalah pertama, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.” Kedua, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”, khusus terkait dengan permohonan para Pemohon adalah berkaitan dengan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut; Landasan Teoritis
49
Bahwa untuk menelaah Pasal 172 UU Minerba, ahli menggunakan teori yang dikemukakan oleh Lon L. Fuller, dengan pertimbangan, karena Lon L. Fuller adalah salah satu teoritisi hukum dalam kelompok naturalis yang fokusnya adalah hukum yang baik dan hukum yang tidak baik, yang ukurannya adalah etik dan moral. Oleh karena dasar negara Indonesia adalah Pancasila, maka pandangan Lon L. Fuller menurut ahli, cocok untuk menelaah hukum yang baik dan hukum yang tidak baik; Lon L. Fuller memaparkan delapan model kegagalan di dalam pembentukan hukum (eight ways to fail to make a law). Di antara kedelapan kegagalan itu, dalam konteks Pasal 172 UU Minerba, ahli melihat ada dua bentuk kegagalan yang relevan. Pertama, improper use of retroactive lawmaking, penggunaan yang tidak tepat bahkan penyalahgunaan pembentukan hukum yang berlaku surut. Kedua, making rules which impose requirements with which
compliance is impossible. Dengan dua landasan tersebut maka ahli menyimpulkan bahwa Pasal 172 UU Minerba merupakan kegagalan dalam pembentukan hukum dan pasal a quo juga inkonstitusional. Dengan demikian, baik berdasarkan landasan konstitusional, yaitu Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 serta berdasarkan landasan teori dari Lon L. Fuller, Pasal 172 UU Minerba telah gagal dari segi making rules which
imposed requirement with which compliance is impossible dan dari segi improper use of retroactive lawmaking; [3.11]
Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Patrialis Akbar, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Darwin Zahedy Saleh, memberi keterangan yang selengkapnya telah dimuat pada bagian Duduk Perkara di atas, pada pokoknya sebagai berikut: •
Bahwa filosofi dari ketentuan Pasal 172 UU Minerba adalah agar tidak terjadi kekosongan hukum dan menjamin adanya suatu kepastian hukum dalam pengusahaan pertambangan mineral dan
50
batubara, selain itu tujuan dari ketentuan Pasal 172 Undang-Undang
a quo adalah guna menghormati pelaku usaha agar tidak dirugikan dalam pengajuan proses perizinan; •
Bahwa ketentuan Pasal 172 UU Minerba adalah sudah tepat, karena materi muatan dalam pasal tersebut berlaku secara umum di seluruh wilayah negara Republik Indonesia, walaupun dalam ketentuan tersebut tidak diatur mengenai perizinan KP, SIPR, SIPD, namun demikian pada hakikatnya hal tersebut sudah termasuk di dalamnya. Pelaksanaan teknis bentuk perizinan seperti KP, SIPR, SIPD adalah bersifat publik walaupun tidak tercantum dalam Undang-Undang a quo, dan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan UU Minerba;
•
Bahwa Pasal 172 UU Minerba tidak merugikan pelaku usaha, justru menguntungkan bagi pelaku usaha karena memberikan kepastian hukum, kepastian berusaha di bidang pertambangan mineral dan batubara, mendapatkan rasa keadilan, dan perlakuan yang sama terhadap setiap orang atau badan hukum privat untuk memperoleh perizinan KK/PKP2B yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang baru dalam hal ini UU Minerba. Menurut Pemerintah, UU Minerba justru lebih menguntungkan, lebih-lebih bagi para Pemohon, karena tanpa harus melalui lelang;
•
Bahwa dengan diberlakukannya era otonomi daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom yang menyatakan bahwa kewenangan provinsi di bidang pertambangan dan energi, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (5) angka 3 adalah a) Penyediaan dukungan pengembangan dan pemanfaatan 51
sumber daya mineral dan energi serta air bawah tanah; b) Pemberian
izin
kabupaten/kota
usaha yang
inti
meliputi
pertambangan eksplorasi
dan
umum
lintas
eksploitasi;
c)
Pengelolaan sumberdaya mineral dan energi non migas, kecuali bahan radioaktif pada wilayah laut dari 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan pada Pasal 1 menyatakan, “(1) Setiap usaha pertambangan bahan galian yang termasuk dalam golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital, baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa Pertambangan; (2) Kuasa Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diberikan
oleh:
a)
Bupati/Walikota
apabila
wilayah
kuasa
pertambangannya terletak dalam wilayah Kabupaten/Kota dan/atau di wilayah laut sampai 4 (empat) mil laut; b) Gubernur apabila wilayah kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah Kabupaten/Kota maupun antara Kabupaten/Kota dengan Provinsi dan/atau di wilayah laut yang terletak antara 4 (empat) mil sampai dengan 12 (dua belas) mil laut; c) Menteri apabila wilayah kuasa pertambangannya terletak dalam beberapa wilayah Provinsi dan tidak dilakukan kerja sama antar Provinsi, dan/atau di wilayah laut yang terletak di Iuar 12 (dua belas) mil laut”; •
Bahwa berdasarkan uraian di atas, pemerintah berpendapat bahwa yang menjadi permasalahan adalah para Pemohon enggan untuk memenuhi prosedur guna memenuhi persyaratan untuk memperoleh perizinan usaha pertambangan mineral dan batubara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan perkataan lain permohonan para Pemohon tidak terkait dengan masalah 52
konstitusionalitas keberlakuan norma yang dimohonkan untuk diuji; [3.12]
Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan Perwakilan Rakyat memberi keterangan tertulis yang selengkapnya telah dimuat pada bagian Duduk Perkara di atas yang pada pokoknya sebagai berikut: •
Bahwa ketentuan Pasal 172 UU Minerba merupakan ketentuan peralihan yang mengalihkan suatu kondisi yang sudah ada kepada kondisi baru. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut UU 10/2004), Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat peraturan perundang-undangan yang baru mulai berlaku, agar peraturan perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum, dengan kata lain untuk memberikan kepastian hukum pada masa peralihan dari UndangUndang yang lama menuju berlakunya Undang-Undang yang baru.
•
Bahwa Pasal 172 UU Minerba memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaku usaha pertambangan mineral dan batu bara agar tidak dirugikan dalam pengajuan proses perizinan yang dilakukan sebelum berlakunya
UU
Minerba.
Dari
sisi
pilihan
kebijakan
untuk
memberikan kepastian terhadap proses pengajuan perizinan perlu ditentukan
adanya
batas
waktu
yang
tentu
saja
harus
mempertimbangkan berbagai aspek teknis yang tidak menimbulkan kerugian bagi permohonan perizinan. Satu tahun sebelum UU Minerba diundangkan merupakan pilihan kebijakan yang tepat, sebab segala kelengkapan untuk permohonan telah dapat terpenuhi. Dengan demikian, pasal a quo tidak merugikan pelaku usaha, tetapi sebaliknya memberikan kepastian hukum, kepastian berusaha, menciptakan rasa keadilan, dan perlakuan yang sama terhadap
53
setiap orang atau badan hukum privat untuk memperoleh perizinan KK/PKP2B sesuai dengan ketentuan UU Minerba. •
Bahwa Pasal 172 UU Minerba justru sangat menguntungkan pelaku usaha pertambangan, karena dengan adanya ketentuan peralihan ini proses permohonan perizinan yang diajukan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap dapat diproses tanpa melalui lelang. Dengan ketentuan pasal a quo, perizinan yang diajukan kurang dari satu tahun, sebagai pilihan kebijakan lebih tepat untuk menerapkan ketentuan baru.
•
Bahwa dengan demikian substansi Pasal 172 UU Minerba sudah sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, pasal a quo jelas memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha pertambangan mineral dan batu bara pada masa peralihan sebelum berlakunya UU Minerba. Kepastian hukum merupakan cermin dari negara hukum yang mengandung tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum, persamaan di depan hukum, dan prinsip legalitas.
•
Bahwa
substansi ketentuan Pasal 172 UU Minerba sangat tidak
relevan
jika
dikaitkan
dengan
Pasal
22A
UUD
1945
yang
substansinya mengatur “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”. Substansi Pasal 22A UUD 1945 bukan merupakan pengaturan mengenai hak konstitusional para Pemohon, melainkan perintah konstitusi kepada pembentuk Undang-Undang untuk mengatur lebih lanjut tentang tata cara pembentukan Undang-Undang, dan hal tersebut sudah dilaksanakan dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan.
Dengan
demikian
Pasal
172
UU
Minerba
tidak
bertentangan dengan 22A UUD 1945.
54
[3.13]
Menimbang bahwa para Pemohon dan Pemerintah telah menyerahkan kesimpulan tertulis yang pada pokoknya masing-masing tetap dengan pendiriannya;
15. HAKIM ANGGOTA: MUHAMMAD ALIM Pendapat Mahkamah [3.14]
Menimbang bahwa setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama permohonan para Pemohon, bukti surat/tulisan para Pemohon (Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-57B), keterangan saksi dan ahli dari para Pemohon, keterangan Pemerintah, dan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat, kesimpulan tertulis dari para Pemohon dan Pemerintah, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
[3.14.1]
Bahwa UUD 1945 di dalam Pasal 22A telah mendelegasikan kewenangan
kepada
menentukan
tata
pembentuk cara
Undang-Undang
pembentukan
untuk
Undang-Undang.
Selengkapnya Pasal 22A UUD 1945 menyatakan, ”Ketentuan lebih
lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”. Sebagai pelaksanaan Pasal 22A UUD 1945,
Undang-Undang
Pembentukan
Peraturan
Nomor
10
Tahun
2004
Perundang-undangan.
tentang
Selanjutnya
pengaturan tentang teknik penyusunan peraturan perundangundangan, khususnya mengenai ketentuan peralihan diatur dalam Pasal 44 ayat (2) serta Lampiran Pedoman nomor 100 yang menyebutkan, “Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap
Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum”;
55
[3.14.2]
Bahwa sebelum berlakunya UU Minerba, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan menentukan, kewenangan penerbitan izin bahan galian strategis dan vital dikeluarkan oleh menteri (pemerintah pusat), demikian juga untuk penerbitan kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (KK/PKP2B). Seiring dengan perkembangan situasi dan kondisi setelah adanya otonomi daerah, pemerintah
pusat
kemudian
mendelegasikan
kewenangan
menerbitkan izin kepada bupati/walikota, gubernur, atau menteri sesuai dengan kewenangannya (vide Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan UndangUndang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan). Oleh karena itu, dengan berlakunya UndangUndang yang baru dalam hal ini UU Minerba maka agar tidak terjadi permasalahan hukum diperlukan ketentuan peralihan; [3.14.3]
Bahwa Pasal 172 UU Minerba merupakan pasal aturan peralihan, karena isinya mengatur masa peralihan antara Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 dengan UU Minerba, isi selengkapnya dari Pasal 172 UU Minerba adalah “Permohonan kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya Undang-Undang ini dan sudah mendapat surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan Undang-Undang ini”, sehingga menurut Mahkamah Pasal 172 UU a quo telah sesuai dengan UU 10/2004; [3.15]
Menimbang bahwa yang menjadi permasalahan adalah apakah ketentuan Pasal 172 UU Minerba bertentangan dengan Pasal 1 ayat
56
(3), Pasal 22A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan oleh para Pemohon. Terhadap hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: [3.15.1]
Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, “Negara Indonesia
adalah negara hukum”, dari ketentuan pasal UUD 1945 a quo, dihubungkan dengan ketentuan Pasal 172 UU Minerba, menurut Mahkamah,
adanya
pergantian
Undang-Undang
tidak
boleh
menimbulkan ketidakpastian hukum atau menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) juncto Pasal 22A UUD 1945, pembentuk Undang-Undang dalam UU Minerba membuat ketentuan peralihan sebagai penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku (vide Pasal 44 ayat (2) juncto Lampiran Pedoman nomor 100 UU 10/2004). Dalam kasus a quo, jika tidak ada ketentuan peralihan justru merugikan para Pemohon, karena terhadap para Pemohon diberlakukan lelang, padahal para Pemohon telah mengajukan permohonan KK/PKP2B sebelum UU Minerba dibentuk. Lagi pula, permohonan KK/PKP2B yang diajukan oleh para Pemohon telah direspons oleh pemerintah dengan mengeluarkan surat dari Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batubara (vide lampiran keterangan tertulis dari pemerintah). Dengan demikian dalil para Pemohon yang menyatakan Pasal 172 UU Minerba bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, tidak beralasan hukum; [3.15.2]
Bahwa ketentuan Pasal 22A UUD 1945, merupakan norma umum yang memberikan kewenangan kepada pembentuk UndangUndang untuk membentuk Undang-Undang tentang tata cara pembentukan
Undang-Undang,
oleh
karena
itu
menurut
57
Mahkamah, Pasal 22A UUD 1945 adalah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) untuk membuat peraturan atau UndangUndang mengenai tata cara pembentukan suatu perundangundangan. Sebagai pelaksanaan dari Pasal 22A tersebut, UU 10/2004 mengatur mengenai ketentuan peralihan yang ditentukan dalam
Lampiran
Pedoman
nomor
100
yang
menyebutkan,
“Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan
Perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan
baru
mulai
berlaku,
agar
Peraturan
Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum”. Dalam ketentuan peralihan dapat dirumuskan beberapa cara tentang penyelesaian terhadap kondisi-kondisi yang terjadi pada saat berlakunya Undang-Undang baru. Agar tidak terjadi suatu ketidakpastian hukum dan juga kekosongan peralihan
hukum dapat
(rechtsvacuum)
dirumuskan
maka
pengaturan
dalam yang
ketentuan bersifat
penyimpangan sementara, penundaan sementara bagi tindakan hukum, atau hubungan hukum tertentu yang terjadi akibat adanya pengaturan yang baru. Dengan demikian, ketentuan Pasal 172 UU Minerba menurut Mahkamah; telah sesuai dengan UU 10/2004 yang merupakan penjabaran dari Pasal 22A UUD 1945. Hal tersebut juga selaras dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 019/PUU-I/2003, bertanggal 18 Oktober 2004, yang menyatakan, “Ketentuan Peralihan memuat
“penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum” (vide Lampiran C.4.100. UUP3). Selain itu, ketentuan peralihan lazimnya memuat asas hukum mengenai hak-hak yang telah diperoleh sebelumnya 58
(acquired rights atau verkregenrechten) tetap diakui. Di samping itu, ketentuan peralihan (transitional provision) diperlukan untuk menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid) bagi kesinambungan hak, serta mencegah kekosongan hukum (rechtsvacuum); [3.15.3]
Bahwa Pasal 172 UU Minerba merupakan pasal aturan peralihan, yang
isinya
mengatur
penyesuaian
berlakunya
peraturan
perundang-undangan yang sudah ada pada saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan yang baru, yaitu antara UndangUndang Nomor 11 Tahun 1967 dengan UU Minerba yang isi selengkapnya
dari
berikut,“Permohonan
Pasal
172
kontrak
UU
Minerba
adalah
karya
dan
perjanjian
sebagai
karya
pengusahaan pertambangan batubara yang telah diajukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun sebelum berlakunya UndangUndang ini dan sudah mendapat surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan tetap dihormati dan dapat diproses perizinannya tanpa melalui lelang berdasarkan UndangUndang ini”. Di dalam ketentuan peralihan tersebut, Pasal 172 UU a quo mengatur bahwa permohonan KK dan PKP2B yang telah diajukan kepada menteri dengan dua syarat (i) telah diajukan 1 (satu) tahun sebelum Undang-Undang a quo, (ii) sudah mendapat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan. Kedua syarat tersebut menjadi objek permohonan pengujian konstitusionalitas yang diajukan oleh para Pemohon, sehingga para Pemohon mohon agar frasa, “... kepada Menteri paling lambat 1
(satu) tahun ...” dan frasa, “... dan sudah mendapat surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan...” dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Mahkamah berpendapat, pertama, ketentuan yang terkait dengan syarat-syarat untuk memperoleh
59
jaminan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang menjadi kewenangan dari pembentuk Undang-Undang; kedua, apabila dilihat dari segi materi syarat-syarat tersebut telah cukup memberikan perlindungan terhadap permohonan KK dan PKP2B yang telah menempuh proses sampai pada tahap yang wajar untuk diberikan imbalan tanpa lelang. Adapun mengenai kewajaran tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa berdasarkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 1614 Tahun 2004, proses permohonan tersebut meliputi sepuluh tahap sebagai berikut: 1. Pemohon mengajukan pencadangan wilayah pertambangan kepada pejabat yang berwenang (menteri atau gubernur atau bupati/walikota); 2. Jika
memperoleh
permohonan
persetujuan,
KK/PKP2B
kepada
Pemohon pejabat
mengajukan
yang
berwenang
(menteri atau gubernur atau bupati/walikota); 3. Memenuhi persyaratan dan mendapatkan tanda terima dari Dirjen Geologi dan SDM atau provinsi/kabupaten/kota atau unit kerja provinsi atau kabupaten); 4. Diberikan persetujuan prinsip; 5. Mengajukan Surat Izin Penyelidikan Pendahuluan; 6. Membentuk Perseroan Terbatas berbadan hukum Indonesia; 7. Perundingan
naskah
Kontrak
Karya/PKP2B
dengan
Tim
Perunding Pemerintah; 8. Tercapai
kesepakatan,
Naskah
Kontrak
Karya/PKP2B
ditandatangani para pihak; 9. Naskah
dimintakan
rekomendasi
dari
BKPM
dan
telah
dikonsultasikan dengan DPR; 10. Diajukan
untuk
persetujuan
Presiden
(vide
permohonan
Pemohon halaman 42). 60
Terkait dengan sepuluh tahapan dalam proses sebagaimana tersebut di atas, ketentuan mengenai syarat-syarat bagi permohonan KK dan PKP2B yang memperoleh perlindungan keadilan dan kepastian hukum serta kemanfaatan dalam ketentuan peralihan tersebut, menurut Mahkamah sudah tepat, karena yang memperoleh perlindungan adalah Pemohon yang permohonannya telah sampai pada setengah dari sepuluh
tahapan
dalam
proses
pengajukan
KK
dan
PKP2B
sebagaimana diuraikan dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1614 Tahun 2004 tersebut di atas. Pengaturan demikian dimaksudkan sebagai bentuk penghormatan negara terhadap hal-hal yang telah dilakukan dalam pengajuan permohonan untuk memperoleh KK dan PKP2B; [3.16]
Menimbang bahwa oleh karena fungsi ketentuan peralihan suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dipertimbangkan Mahkamah dalam paragraf [3.15.2] di atas, maka perumusan ketentuan
peralihan
dimaksudkan
agar
dapat
menyelesaikan
permasalahan hukum yang akan timbul. Dalam teknik perumusannya ketentuan peralihan dapat menetapkan ketentuan sebagai berikut: a. penerapan peraturan perundang-undangan yang baru terhadap keadaan
yang
terdapat
pada
waktu
peraturan
perundang-
undangan yang baru itu mulai berlaku; b. pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang baru secara berangsur-angsur; c. penyimpangan untuk sementara waktu dari peraturan perundangundangan yang baru; atau d. pengaturan khusus bagi keadaan atau hubungan yang sudah ada pada saat mulai berlakunya peraturan perundang-undangan yang baru;
61
Menimbang bahwa berdasarkan kebiasaan perumusan dalam ketentuan peralihan tersebut, menurut Mahkamah pencantuman kedua syarat yang ditetapkan dalam Pasal 172 Undang-Undang a
quo adalah suatu yang sudah ada pada saat mulai berlakunya Undang-Undang a quo. Pencantuman kedua syarat dalam pasal tersebut merupakan suatu pilihan agar permohonan KK/PKP2B yang sudah diajukan sesuai syarat tersebut tetap mendapat prioritas dan kepastian hukum. Demikian pula, untuk pengajuan permohonan yang sudah diajukan, akan tetapi belum memenuhi kedua syarat sebagaimana ditentukan, jika dalam pelaksanaannya hal itu menimbulkan permasalahan maka sesuai dengan hukum yang
berlaku
mereka
yang
dirugikan
dapat
mengajukan
permasalahan tersebut kepada lembaga yang berwenang
sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; [3.17]
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan hukum dalam paragraf [3.14]
sampai
dengan
paragraf
[3.16]
di
atas,
Mahkamah
berpendapat, para Pemohon tidak dapat membuktikan adanya kerugian hak konstitusional yang ditentukan dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 22A, dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dengan berlakunya Pasal 172 UU Minerba sepanjang frasa “... kepada Menteri paling lambat 1
(satu) tahun ...” dan frasa “... dan sudah mendapat surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan pendahuluan...”, sehingga permohonan para Pemohon tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum; KONKLUSI Berdasarkan pertimbangan atas fakta dan hukum di atas, Mahkamah berkesimpulan:
62
[4.1]
Mahkamah
berwenang
memeriksa,
mengadili,
dan
memutus
permohonan a quo; [4.2]
Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3]
Pokok permohonan tidak terbukti dan tidak beralasan menurut hukum; Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mengingat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316);
AMAR PUTUSAN Mengadili, •
Menyatakan
menolak
permohonan
para
Pemohon
untuk
seluruhnya. KETUK PALU 1X Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Harjono, M. Arsyad Sanusi, dan M. Akil Mochtar masing-masing sebagai Anggota, pada hari Selasa tanggal satu bulan Februari tahun dua ribu sebelas dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal sembilan bulan Maret tahun dua ribu sebelas oleh tujuh Hakim Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD., selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, Harjono, dan M. Akil Mochtar masingmasing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir 63
sebagai Panitera Pengganti, dan dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, dan Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili. 6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION) Terhadap putusan Mahkamah tentang Pengujian Pasal 172 UU Minerba, terdapat seorang Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, sebagai berikut: 16. HAKIM ANGGOTA: M. Akil Mochtar Dissenting Opinion terhadap Pasal 172 UU Minerba sepanjang frasa ” ... kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun...” dan frasa ”... dan sudah
mendapat
surat
persetujuan
prinsip
atau
surat
ijin
penyelidikan...”, sebagai berikut: Bahwa Pasal 22A UUD 1945 menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undangundang”. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai penjabaran dari Pasal 22A UUD 1945, mengatur tentang penyusunan peraturan perundang-undangan, khusus ketentuan peralihan diatur dalam Pasal 44 dan Lampiran nomor 100 menyebutkan, “Ketentuan peralihan memuat penyesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada pada saat Peraturan Perundang-undangan baru mulai berlaku, agar Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan hukum”; Pasal 172 UU Minerba yang merupakan ketentuan peralihan, khususnya sepanjang frasa ”... kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun...” dan frasa ”... dan sudah mendapat surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan...”, ternyata aturan peralihan yang termuat
64
di dalam Pasal 172 Undang-Undang a quo telah tidak memenuhi ketentuan Pasal 44 dan Lampiran nomor 100 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yang mewajibkan memuat penyesuaian terhadap Undang-Undang yang lama pada saat Undang-Undang yang baru mulai berlaku, agar dapat berjalan lancar dan tidak menimbulkan permasalahan
hukum,
kenyataannya
di
samping
tidak
mengakomodasi penyesuaian terhadap Undang-Undang yang lama, ketentuan a quo juga telah menimbulkan diskriminasi yang berakibat terlanggarnya hak-hak konstitusional para Pemohon, karena hanya mengakomodasi
sebagian
dari
ketentuan
yang
lama
dengan
didasarkan pada dua syarat, yaitu (i) memberikan pembatasan terhadap permohonan yang lama dengan tenggang waktu paling lambat 1 (satu) tahun dan (ii) mendapat surat persetujuan prinsip atau surat izin penyelidikan, akibatnya bagi permohonan yang memenuhi salah satu syarat atau tidak memenuhi dua syarat yang ditentukan oleh Pasal 172 UU Minerba
a quo, dipastikan tidak memperoleh
kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945; Sebagai ketentuan peralihan, Pasal 172 Undang-Undang a quo telah tidak menjamin kepastian hukum bagi kesinambungan hak para Pemohon
yang
telah
mengajukan
permohonan,
tetapi
hanya
memenuhi salah satu syarat atau tidak memenuhi dua syarat adalah satu ketentuan yang bersifat diskriminatif karena tidak terpenuhinya syarat yang ditentukan, bukan diakibatkan oleh kesalahan para Pemohon melainkan karena terjadinya perubahan Undang-Undang yang
di
dalam
mengandung
aturan
sifat
peralihannya,
diskriminatif,
yakni
sehinga
Pasal
172
merugikan
yang
hak-hak
konstitusional para Pemohon yang dijamin dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; Bahwa Pasal 172 UU Minerba a quo sepanjang frasa ,”...paling lambat 1 (satu) tahun...”, telah bersifat retroaktif. Padahal seyogianya 65
pemberlakuan suatu ketentuan hukum positif untuk mewujudkan prinsip negara yang berdasarkan hukum, harus memuat asas tidak berlaku surut (non-retroaktif), sesuai dengan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, oleh karenanya semua aturan hukum hanya berlaku ke depan (prospektif). Dengan demikian, menurut saya, ketentuan Pasal 172 Undang-Undang a quo harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
17. KETUA: MOH. MAHFUD MD Dengan demikian sidang dinyatakan selesai dan ditutup.
KETUK PALU 3X
SIDANG DITUTUP PUKUL 17:29 WIB
Jakarta, 9 Maret 2011 Kepala Sub Bagian Pelayanan Risalah, t.t.d. Mula Pospos NIP. 19610310 199203 1001 Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
66