MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA --------------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 138/PUU-XIII/2015
PERIHAL PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2014 TENTANG PERKEBUNAN [PASAL 12 AYAT (2), PASAL 13, PASAL 27 AYAT (3), PASAL 29, PASAL 30 AYAT (1), PASAL 42, PASAL 55, PASAL 57 AYAT (2), PASAL 58 AYAT (1), DAN AYAT (2), PASAL 107, DAN PASAL 114 AYAT (3)] TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
ACARA MENDENGARKAN KETERANGAN DPR, PIHAK TERKAIT (GAPKI), DAN AHLI PEMOHON (IV)
JAKARTA SENIN, 18 APRIL 2016
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA -------------RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 138/PUU-XIII/2015 PERIHAL Pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan [Pasal 12 ayat (2), Pasal 13, Pasal 27 ayat (3), Pasal 29, Pasal 30 ayat (1), Pasal 42, Pasal 55, Pasal 57 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 107, dan Pasal 114 ayat (3)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 PEMOHON 1. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) 2. Perkumpulan Sawit Watch 3. Aliansi Petani Indonesia (API), dkk. ACARA Mendengarkan Keterangan DPR, Pihak Terkait (Gapki), dan Ahli Pemohon Senin, 18 April 2016 Pukul 12.00 – 13.27 WIB Ruang Sidang Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jl. Medan Merdeka Barat No. 6, Jakarta Pusat SUSUNAN PERSIDANGAN 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
Anwar Usman Aswanto I Dewa Gede Palguna Maria Farida Indrati Patrialis Akbar Suhartoyo Wahiduddin Adams
Dewi Nurul Savitri
(Ketua) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) (Anggota) Panitera Pengganti
i
Pihak yang Hadir: A. Kuasa Hukum Pemohon: 1. 2. 3. 4. 5.
Ridwan Darmawan Priadi David Sitorus Andri Henry David Oliver
B. Prinsipal: 1. Henry Saragih 2. Gunawan C. Pemerintah: 1. 2. 3. 4. 5.
Mulyanto Yunan Hilmy Ismijati R. Nurbahar Hadi Dafenta Hotman Sitorus
D. Pihak Terkait: 1. 2. 3. 4.
Sadino Eddy Martono Rico Sitanggang Zainal Arifin
E. Ahli dari Pemohon: 1. I Nyoman Nurjaya
ii
SIDANG DIBUKA PUKUL 12.00 WIB 1.
KETUA: ANWAR USMAN Sidang Perkara Nomor 139/PUU-XIII/2015 dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum. KETUK PALU 3X Assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera, dan om swastiastu. Dipersilakan pada Para Pemohon untuk memperkenalkan diri siapa saja yang hadir.
2.
KUASA HUKUM PEMOHON: RIDWAN DARMAWAN Baik, terima kasih, assalamualaikum wr. wb. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua, om swastiastu, saya sendiri Ridwan Darmawan sebagai Pemohon. Di sebelah kanan saya adalah Priadi, S.H. Kemudian, Pak David Sitorus, S.H. Selanjutnya, Pak Sutrisno, S.H., Andri, S.H. dan Prinsipal yaitu Pak Henry Saragih. Kemudian, Pak Gunawan dan Pak (suara tidak terdengar jelas). Terima kasih, Yang Mulia.
3.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, baik. Dari DPR berhalangan. Dari Kuasa Presiden, silakan.
4.
PEMERINTAH: MULYANTO Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. dari Pihak Pemerintah kami, Pak Mulyanto. Sebelah kiri saya, Bapak Yunan Hilmy, Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM. Kemudian, Ibu Irmijati Rahmi Nurbahar, Sekretaris Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian. Kemudian, Bapak Hadi Dafenta dari Kementerian Pertanian. Kemudian sebelah kanan saya, Pak Hotman Sitorus dari Kemenkumham. Demikian, Yang Mulia. Terima kasih.
5.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. Dari Pihak Terkait, silakan.
6.
PIHAK TERKAIT: SADINO Terima kasih, Yang Mulia. Assalamualaikum wr. wb. Salam sejahtera untuk kita semuanya. Terima kasih, Yang Mulia, saya iii
memperkenalkan diri dari Pihak Terkait, saya sendiri, Dr. Sadino, S.H., M.H. Sebelah kiri saya dari GAPKI, Pak Eddy Martono mewakili. Terus samping kiri saya itu, Rico Sitanggang, S.H. dan samping kiri … paling kiri Saudara Zainal Arifin, S.H. terima kasih, Yang Mulia. 7.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, terima kasih. Acara persidangan hari ini sedianya adalah untuk mendengarkan keterangan DPR. DPR berhalangan, maka selanjutnya dipersilakan kepada Pihak Terkait ya, untuk menyampaikan keterangan, ya. Kemudian untuk Ahli ada satu, ya. Dipersilakan ke … kepada Ahli untuk ke depan, untuk diambil sumpahnya terlebih dahulu. Ya, Prof. DR. I Nyoman Nurjaya, S.H., M.H., ya, mohon berkenan, Yang Mulia Pak Palguna, untuk mengambil sumpah.
8.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Baik, Saudara Ahli Prof Nyoman, mohon ikuti lafal sumpah yang akan saya bacakan. “om atah parama wisesa, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Om shanti, shanti, shanti, om."
9.
AHLI BERAGAMA HINDU BERSUMPAH Om atah parama wisesa, saya bersumpah sebagai Ahli akan memberikan keterangan yang sebenarnya, sesuai dengan keahlian saya. Om shanti, shanti, shanti, om.
10.
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Terima kasih, silakan.
11.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih, Yang Mulia. Ya, Pihak Terkait silakan, di podium untuk menyampaikan keterangannya.
12.
PIHAK TERKAIT: SADINO Terima kasih, Yang Mulia. Saya akan menyampaikan keterangan Pihak Terkait dan mungkin apa yang disampaikan di dalam dokumen, Yang Mulia, ini hanya ringkasannya, terima kasih.
2
13.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, poin-poinnya saja, silakan.
14.
PIHAK TERKAIT: SADINO Keterangan Pihak Terkait Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dalam Perkara Nomor 138/PUU-XIII/2015 dalam permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan. Untuk dan atas nama klien kami gabungan pengusaha kelapa sawit dan seterusnya … dan seterusnya. Mohon izin, Yang Mulia, kami sampaikan pada poin-poinnya. Pendahuluan. Permohonan Perkara 138 dan seterusnya tentang uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 tentunya tidaklah arif dan bijaksana, apabila Pemohon dalam pendahuluan permohonan telah mendiskreditkan usaha perkebunan, khususnya terkait perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Para Pemohon cenderung tidak meng … mengemukakan hal-hal yang telah dikontribusikan oleh usaha perkebunan kelapa sawit yang sesungguhnya. Pihak Terkait selaku kumpulan para pengusaha kelapa sawit di Indonesia tidak berkeinginan untuk melakukan counter atas apa yang telah diuraikan oleh Para Pemohon, tetapi berkeinginan menyampaikan jawaban maupun fakta riil atas apa yang telah disampaikan dalam permohonan, terutama yang mencakup Pihak Terkait. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia mendapatkan posisi yang tidak seimbang dalam hal informasi oleh para Pemohon, padahal dalam kenyataannya perkebunan kelapa sawit telah mengalami perkembangan di 22 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia meskipun masih didominasi 5 provinsi terbesar, yaitu Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Barat. Perkembangan perkebunan kelapa sawit memunculkan pandangan yang negatif meskipun kadang tidak logis. Alasan yang dipergunakan dalam memberikan pandangan seperti apa yang telah disampaikan oleh beberapa pihak di dalam dan luar negeri tentang area perkebunan kelapa sawit yang merusak lingkungan dan tidak memberikan manfaat bagi semua pihak. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia mendapat tuduhan bahwa perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah konversi hutan primer, padahal … dan tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan. Dari hasil penelitian dan analisis yang dilakukan oleh penutupan lahan atau land cover, citra satelit menunjukkan bahwa tidak benar bahwa lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia sebagian besar berasal dari hutan primer. Sumber lahan untuk perkebunan kelapa sawit di 3
Indonesia sebagian besar bersumber dari lahan degradasi dan low carbon, seperti lahan terlantar, lahan pertanian, hutan rusak, dan hutan tanaman. Seperti disampaikan oleh Petrus Gunarso dan kawan-kawan dalam bukunya Analisis Penutupan Lahan dan Perubahannya Menjadi Kebun Kelapa Sawit di Indonesia Tahun 1990 Sampai 2010 merilis hasil analisis citra satelit atas area perkebunan kelapa sawit adalah berasal dari lahan terlantar (43, sekian%), lahan pertanian (14%), disturb forest (26%), tanaman industri (12%), dan hutan (3%). Perkebunan kelapa sawit meningkat cepat tahun 2000 dalam meningkatkan nilai tambah dibandingkan komoditas perkebunan lainnya. Peranan ekspor CPO dan turunannya dalam ekspor nonmigas semakin penting dan bahkan menjadi katup pengaman. Data dari Bank Indonesia menunjukkan pada tahun 2004 kontribusi ekspor CPO dan turunannya baru … dan seterusnya, sudah mencapai 26% dari ekspor nonmigas dan meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan tahun 2012 dan 2013, pangsa ekspor CPO dan turunannya sudah di atas 100% dan menjadi penyumbang utama produk nonmigas Indonesia nomor 2 setelah migas. Industri minyak sawit Indonesia telah membangkitkan ekonomi pedesaan, menumbuhkan pusat pertumbuhan pedesaan, menarik pertumbuhan sektor lain di sekitarnya, memacu pertumbuhan ekonomi sentra sawit. Selain itu, perkebunan kelapa sawit telah berperan dalam mengurangi kemiskinan, keterisolasian wilayah, menciptakan kesempatan kerja di kawasan pedesaan, dan menciptakan petani yang mandiri di beberapa sentra sawit. (suara tidak terdengar jelas) 2014, industri minyak sawit, industri yang berkelanjutan. Beberapa wilayah sentra sawit yang mengalami peningkatan CPO dapat menurunkan tingkat kemiskinan pada beberapa kabupaten di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah. Lebih dari 16.000.000 jiwa masyarakat bergantung secara langsung pada usaha perkebunan kelapa sawit. Jumlahnya membengkak hingga 30.000.000 jiwa jika dihitung dari lapangan kerja tidak langsung (Republika, 15 April 2016). Dan sebagai katup dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia, Waldorf mengungkapkan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia bagian penting dan signifikan dari mengurangi kemiskinan. Khusus dalam perkebunan kelapa sawit, pandangan negatif dituduhkan untuk persaingan dagang oleh Eropa dan Amerika untuk melindungi produsen minyak kedelainya dan produksi minyak nabati lainnya. Padahal kelapa sawit mampu bersaing dalam hal penggunaan lahan, produktivitas, dan ramah dari sisi lingkungan. Kontribusi perkebunan kelapa sawit pada tahun 2014 Indonesia memproduksi 33,5 juta ton minyak sawit yang menghasilkan US$18,9 miliar dari pendapatan ekspor. 4
Sumbangan ekspor dari sektor kelapa sawit pada tahun 2015 telah mencapai US$19 miliar dan angka ini jauh lebih tinggi dari devisa ekspor migas yang hanya sekitar US$12 miliar. Sawit telah menjadi komoditas ekspor paling berharga saat ini dan perkembangan industrinya selama 30 tahun terakhir cukup pesat. Sawit merupakan tanaman yang cukup produktif, mampu menghasilkan 7 kali lebih banyak dari (suara tidak terdengar jelas) dan 11 kali lebih dari kedelai per hektare. Selama dekade terakhir, permintaan global untuk minyak nabati telah meningkat lebih dari 5% per tahun. Kecenderungan ini diakibatkan oleh masalah kesehatan dengan produsen mencari pengganti minyak hewani. Dari data-data di atas, sangat jelas bahwa tanaman kelapa sawit sebagai sumber minyak nabati memiliki keunggulan yang tidak dapat dilawan oleh minyak nabati subtropis seperti minyak kedelai, (suara tidak terdengar jelas) minyak bunga matahari, dan sebagainya. Ini berarti komoditas sawit memiliki potensi dan daya saing tinggi untuk dapat dikembangkan sebagai komoditas unggulan. Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, memperhatikan alasan-alasan pengajuan permohonan uji materi beberapa pasal UndangUndang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, selanjutnya disebut Undang-Undang Perkebunan yang dimohonkan oleh Pemohon I sampai dengan Pemohon VI, maka Pihak Terkait menyampaikan keterangan dan pandangan yang relevan dengan hak konstitusional Pihak Terkait. Selanjutnya, kedudukan hukum atau legal standing Pihak Terkait. Bahwa Pihak Terkait adalah Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit atau Gapki yang merupakan perkumpulan berbadan hukum yang concern terhadap perkebunan kelapa sawit. Didirikan berdasarkan akta pendirian anggaran dasar tertanggal 27 Februari 1981 Nomor 59 dan terakhir telah mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM AHU/00551.6 dan seterusnya. Kedua. Bahwa Pihak Terkait telah melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam maksud dan tujuan berdirinya Gapki sebagaimana diatur dalam Pasal 8 akta … anggaran dasar dan … yang menyatakan: 1. Membina dan mengembangkan kemampuan kegiatan dan kepentingan pengusaha kelapa sawit Indonesia, serta memadukan secara seimbang dan keterkaitan antarpotensi pengusaha kelapa sawit. 2. Mendorong terciptanya iklim industri kelapa sawit yang kondusif. 3. Membantu meningkatkan kemampuan anggota untuk mencapai industri kelapa sawit yang berkelanjutan. 4. Memfasilitasi dan melakukan advokasi dalam penyelesaian masalah yang dihadapi oleh industri kelapa sawit. 5
5. Mengembangkan sinergi dengan pemerintah dan pemerintah daerah dalam penetapan kebijakan terkait dengan industri kelapa sawit. Bahwa pengusaha kelapa sawit Indonesia baik perorangan maupun badan hukum mempunyai hak konstitusional yang sama dengan warga negara lainnya sebagaimana dijamin dalam Undang-Undang Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Bahwa Gapki memiliki kepentingan hukum agar pasal-pasal yang diuji dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan khususnya terkait dengan Pasal 42, Pasal 55, Pasal 57 ayat (2), Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 107, dan Pasal 114 ayat (3) sebab memuatan dari ketentuan tersebut telah memberikan perlindungan hukum kepada anggota Pihak Terkait, khususnya mengenai kepastian dan perlindungan berinvestasi pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Bahwa mengingat Gapki memiliki kepentingan hukum dalam perkara tersebut dan untuk menghindari kerugian konstitusional bagi Pihak Terkait, maka berdasarkan Pasal 14 ayat (5) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dan Perkara Pengujian Undang-Undang, maka Gapki mempunyai kedudukan atau legal standing sebagai Pihak Terkait dalam perkara a quo. Keterangan Pihak Terkait atas uji materi pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. 1. Bahwa terhadap dalil Pemohon yang menganggap Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Perkebunan sepanjang frasa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Pasal 13 sepanjang frasa ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pihak Terkait memberikan keterangan bahwa berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Konsekuensi sebagai negara hukum, maka dalam menjalankan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat haruslah taat pada peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. 2. Bahwa di dalam Pasal 28I ayat (5) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 juga menyatakan untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka melaksanakan hak asasi manusia dijamin, diatur, dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. 3. Bahwa frasa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 12 ayat (2) undang-undang a quo dimaksudkan untuk jaminan kepastian hukum terhadap hak-
6
4.
5.
6.
hak masyarakat hukum adat itu sendiri dalam rangka melakukan musyawarah dan mufakat dengan pelaku usaha perkebunan. Dengan demikian, meskipun ketentuan Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Perkebunan tidak menjadi perhatian Pihak Terkait, akan tetapi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya Pasal 28I ayat (5) mengamanatkan pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundangundangan, maka menurut Pihak Terkait adanya frasa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 12 ayat (2) dan frasa ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam Pasal 13 Undang-Undang Perkebunan tidak terdapat pertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Oleh karena itu, dalil Para Pemohon permohonan pengujian Pasal 12 dan pasal … ayat (2) dan Pasal 13 Undang-Undang Perkebunan tidak beralasan menurut hukum. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Perkebunan sepanjang frasa perorangan, Pasal 29 frasa dapat, dan Pasal 30 ayat (1) sepanjang frasa varietas hasil pemuliaan, sepanjang tidak dimaknai dikecualikan untuk perorangan petani kecil, termasuk perorangan petani kecil dan dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri. Pihak Terkait memberikan keterangan bahwa Undang-Undang Perkebunan telah mengakomodir kepentingan orang per orang atau badan hukum untuk melakukan kegiatan pencarian, pengumpulan sumber daya genetik, serta melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul. Pemerintah dalam menyusun rencana pengembangan budi daya tanaman tetap mengikutsertakan peran serta masyarakat, dalam hal ini dimaksudkan untuk pengembangan budi daya tanaman dapat terarah dan sesuai dengan potensi wilayah dengan memperhatikan kepentingan nasional. Pemerintah tidak pernah melarang pekebun untuk menanam atau mengembangkan suatu komoditas tertentu yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan kepentingan nasional. Bahwa keberadaan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Perkebunan menggunakan frasa dapat, maka sifatnya adalah pilihan, dengan kata lain orang per orang atau badan hukum tidak memiliki kewajiban untuk melakukan kegiatan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik. Dengan demikian, keberatan Pasal 27 ayat (3) tidaklah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengingat izin dimaksudkan justru ditujukan dalam rangka sebagai kontrol negara. Semua pemangku kepentingan dalam melakukan kegiatan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik agar tercipta kelestarian, dan kegunaan sumber daya genetik tanaman sehingga terjamin dalam mendukung pembangunan perkebunan yang berkelanjutan. 7
7.
Sedangkan terkait dengan Pasal 29 Undang-Undang Perkebunan telah memberikan kesempatan kepada pemerintah pusat, pemerintah daerah, atau pelaku usaha perkebunan termasuk pekebun untuk dapat melakukan pemuliaan tanaman dalam menemukan varietas unggul. Mengacu pada ketentuan Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Undang-Undang Perkebunan membuktikan bahwa tidak benar Pasal 29 Undang-Undang Perkebunan mengakibatkan diskriminasi kepada perorangan petani kecil atau pekebun untuk melakukan pemuliaan tanaman karena perorangan petani kecil atau pekebun telah diakomodir dalam ketentuan tersebut. 8. Selanjutnya terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Perkebunan sepanjang frasa varietas hasil pemuliaan pertanian dengan Pasal 28C ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai dikecualikan untuk perorangan petani kecil dalam negeri. Pada dasarnya ketentuan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Perkebunan hanya mengatur peredaran varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri. Petani kecil dapat memproduksi benih dari varietas unggul tidak perlu dilakukan pelepasan atau peluncuran sepanjang untuk kepentingan sendiri atau kelompoknya sehingga anggapan Para Pemohon bahwa (suara tidak terdengar jelas) petani dan kreativitasnya dalam pemuliaan tanaman akan mati akibat kegiatan pengembangan, pencarian, dan pengumpulan sumber daya kinetik pertanian harus mendapat izin adalah tidak benar. Oleh karena itu, dalil Para Pemohon untuk Pengujian Pasal 27 ayat (3), Pasal 29, dan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Perkebunan tidak beralasan menurut hukum. 9. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap bahwa Pasal 42 Undang-Undang Perkebunan sepanjang frasa hak atas tanah/izin usaha perkebunan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai hak atas tanah dan izin perkebunan. Pihak Terkait memberikan keterangan bahwa untuk membuka perkebunan bukan hanya HGU yang diperlukan, tetapi sebelum itu ada beberapa izin perkebunan yang harus dipenuhi, di antaranya izin lokasi, izin lingkungan, izin usaha perkebunan, izin usaha perkebunan budidaya, dan izin usaha perkebunan untuk pengolahan hasil. Sedangkan HGU merupakan tahap akhir dari beberapa izin yang harus dipenuhi. 10. Bahwa dengan memperhatikan permohonan Para Pemohon dalam Pengujian Pasal 42 Undang-Undang Perkebunan, Pihak Terkait dalam hal ini sependapat dengan jawaban Pemerintah, melihat kondisi perkebunan di Indonesia yang saat ini sudah berjalan mempunyai rentang waktu yang sudah sangat panjang lebih dari 8
100 tahun yang lalu, kondisi yang diatur dalam Pasal 42 UndangUndang Perkebunan khususnya terkait dengan frasa hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan adalah dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha perkebunan yang telah merealisasikan investasinya. Kondisi hukum di Indonesia tidak harmonis antara undang-undang yang satu dengan undang-undang yang lain, misalnya antara undang-undang yang mengatur tentang pertanahan, kehutanan, perkebunan, pemerintah daerah, penataan ruang, dan beberapa undang-undang lainnya seringkali tidak dapat diimplementasikan secara bersamaan di beberapa wilayah di provinsi Indonesia. 11. Bahwa perusahaan perkebunan sesungguhnya dalam menjalankan usaha selalu berkeinginan untuk memperoleh hak atas tanah atas usahanya untuk usaha perkebunan dalam bentuk HGU secara cepat, namun karena konflik peruntukan dan fungsi lahan yang berbeda antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat mengakibatkan pengurusan HGU yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan terhambat dalam prosesnya, penyelesaiannya terkendala aturan sektoral sesama pemerintah pusat dan terkendala dengan ketentuan hukum yang telah memberikan izin usaha perkebunan di daerah. Kondisi demikian yang dialami oleh anggota Gapki dari sisi perizinan usaha perkebunan yang telah diberikan oleh bupati telah dapat dilaksanakan di lapangan untuk merealisasikan investasinya. Dengan izin tersebut, perusahaan diuji tingkat keseriusannya sebagai investor dalam merealisasikan investasinya dan jika tidak melakukan kegiatan di lapangan, maka izin tersebut akan dicabut. 12. Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak atas Tanah bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal dan Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pemberian Izin Lokasi bagi PMA dan PMDN. Izin lokasi diberikan kepada suatu perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, izin pembebasan, dan menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. Berdasar ketentuan tersebut, perusahaan yang memiliki izin lokasi dapat memulai pembebasan tanah dengan luas dan wilayah tertentu sesuai dengan peraturan peruntukan wilayahnya. Berdasarkan tata ruang wilayahnya dan dapat melakukan aktivitas usaha di tanah tersebut setelah dilakukan pembebasan tanah. 13. Bahwa dengan dilakukannya pembebasan tanah yang dilakukan secara terang dan tunai, serta telah memiliki izin usaha perkebunan, maka perusahaan memiliki hak untuk mengusahakan tanah tersebut tanpa harus menunggu diterbitkannya hak atas 9
tanah. Jika kegiatan usaha perkebunan harus menunggu hak atas tanah diterbitkan sebagaimana dimohonkan oleh Para Pemohon dalam Pasal 42 a quo, maka justru menimbulkan penelantaran dan kerusakan tanah, serta menghambat pembukaan lapangan kerja. Pada Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengamanatkan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.” Di samping itu, Pasal 15 Undang-undang Perkebunan … Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria (UUPA) menyatakan, “Memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.” 14. Bahwa ketentuan Pasal 42 Undang-Undang Perkebunan khususnya frasa hak atas tanah dan/atau izin usaha perkebunan, juga dimaksudkan dalam rangka menertibkan dan memberikan perlindungan kepada usaha perkebunan. Hak atas tanah memerlukan proses panjang karena adanya ketentuan perundangundangan yang tidak sinkron. Ketentuan Pasal 42 juga mengakomodir perusahaan perkebunan yang telah menjalankan usahanya hanya memiliki HGU tersebut. Belum memiliki izin usaha perkebunan sejalan dengan hal tersebut sesuai dengan ketentuan peralihan Pasal 114 ayat (1) Undang-Undang a quo. Perusahaan perkebunan yang belum memiliki usaha perkebunan diberikan jangka waktu 1 tahun untuk memiliki izin usaha perkebunan. Dalil Para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 15. Bahwa terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap bahwa Pasal 55 dan 107 Undang-Undang Perkebunan sepanjang … secara tidak sah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai konflik tanah perkebunan dan pemetaan tanah ulayat menurut hukum adat telah diselesaikan. Pihak Terkait memberikan keterangan bahwa dalil Para Pemohon yang menganggap Pasal 55 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 merupakan duplikasi dari Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 yang dibatalkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-VIII/2010 adalah tidak benar mengingat terdapat perbedaan rumusan unsur. Dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 dinyatakan, “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya.” Penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Di dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 hanya ditekan kepada setiap orang dilarang. Sedangkan 10
16.
17.
18.
19.
dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 terdapat penekanan setiap orang secara tidak sah dilarang. Frasa setiap orang secara tidak sah dilarang dalam Pasal 55 dan Pasal 107 Undang-Undang Perkebunan menurut Pihak Terkait mengandung arti bahwa sahnya seseorang harus memiliki izin atau memiliki hak. Sedangkan frasa setiap orang dilarang tidak terdapat penekanan unsur memiliki izin atau hak. Artinya setiap orang berpotensi untuk dipidana. Bahwa permohonan Para Pemohon yang menghendaki pemaknaan frasa secara tidak sah dalam Pasal 55 dan Pasal 107 UndangUndang Perkebunan justru bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu sendiri karena menimbulkan ketidakpastian hukum. Ketentuan secara tidak sah dalam pasal a quo adalah ditujukan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang memang mempunyai hak objek yang dikerjakan, digunakan, diduduki, dan/atau yang dikuasai, sampai dengan dia dapat memanen. Pasal 55 dan Pasal 107 tidak hanya memberikan perlindungan kepada perusahaan perkebunan, para pekebun, tetapi juga terhadap masyarakat adat karena di dalam ketentuan tersebut juga terdapat larangan setiap orang secara tidak sah, dilarang mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai tanah masyarakat atau tanah hak ulayat masyarakat hukum adat dengan maksud untuk usaha perkebunan. Bahwa dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 terdapat perumusan unsur yang melanggar hak asas lex certa. Sebagaimana terdapat dalam frasa tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Sedangkan unsur … dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014, unsurunsur dirumuskan secara jelas dan tegas, yakni setiap orang secara tidak sah dilarang mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan seterusnya. Bahwa menurut Pihak Terkait, ketentuan yang diatur di dalam Pasal 55 dan Pasal 107 Undang-Undang Perkebunan a quo merupakan konsekuensi logis dari suatu norma yang berisi tentang larangan terhadap setiap orang secara tidak sah untuk mengerjakan dan seterusnya. Pasal 55 merupakan bentuk teknis rumusan hukum yang memuat larangan atau perbuatan yang tidak boleh dilakukan, dan jika perbuatan yang dilakukan tersebut tetap … yang dilarang tersebut tetap dilakukan, maka mendapatkan sanksi yang diatur di dalam Pasal 107. Bahwa Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengakui dan memberikan wewenang konstitusional bagi pembentuk undangundang untuk mengatur dan membatasi kehidupan berbangsa dan bernegara semata-mata untuk mengedepankan kepentingan dan ketertiban umum dan menjaga hak fundamental orang lain 11
sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28J ayat (2) UndangUndang Dasar Tahun 1945 sehingga antara hak-hak konstitusional warga negara dan kewenangan konstitusional Pemerintah adalah satu kesatuan utuh yang tidak bisa ditafsirkan sendiri-sendiri sehingga hak-hak dasar manusia yang diatur dalam konstitusi dan hak-hak konstitusional bukan berarti tak terbatas. Ada tata cara pemenuhan hak asasi manusia berdasarkan hukum positif yang berlaku, hak fundamental orang lain dan tidak boleh mengganggu ketertiban dan keamanan negara. 20. Bahwa berdasarkan Pasal 55 dan Pasal 107 Undang-Undang Perkebunan adalah dalam rangka memberikan perlindungan kepada pelaku usaha perkebunan, masyarakat adat, dan pekebun itu sendiri. Ketentuan Pasal 55 dan Pasal 107 Undang-Undang Perkebunan bukan berarti untuk menakut-nakuti atau mengintimidasi, tetapi sebagai sarana untuk mencegah dan mengurangi kepada pihak-pihak tertentu agar tidak berbuat yang mengakibatkan terlanggarnya hak asasi orang lain. Dalil Para Pemohon tidak beralasan menurut hukum. 21. Bahwa berdasar … terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap Pasal 57 ayat (2) Undang-Undang Perkebunan sepanjang frasa pola kerja sama bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai adanya kesepakatan para pihak dalam kebersamaan dan seterusnya. Dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Perkebunan sepanjang frasa disepakati sesuai dengan dan seterusnya, Pihak Terkait memberikan keterangan bahwa pola kemitraan adalah suatu bentuk kerja sama pembangunan dan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar dengan inti yang membina perkebunan (…) 15.
KETUA: ANWAR USMAN Sebentar, sebentar.
16.
PIHAK TERKAIT: SADINO Ya.
17.
KETUA: ANWAR USMAN Ini yang dibaca itu ringkasannya, ya?
18.
PIHAK TERKAIT: SADINO Ringkasannya, Yang Mulia. 12
19.
KETUA: ANWAR USMAN Tapi, kok panjang sekali? Dan belum ada di sini, ya? Sama saja … hampir sama dengan aslinya itu.
20.
PIHAK TERKAIT: SADINO Ya.
21.
KETUA: ANWAR USMAN Poin-poinnya saja, ya.
22.
PIHAK TERKAIT: SADINO Oke, Yang Mulia. Ini tinggal dua lembar, Yang Mulia. Bahwa terhadap pola kerja sama diharapkan tersebut, ini sudah diatur di dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Permentan OT 104 Tahun 2013. Bahwa dalil permohonan Para Pemohon mengenai Pasal 57 ayat (2) dan Pasal 58 ayat (2) bukanlah masalah konstitusionalitas norma, melainkan merupakan implementasi norma mengenai pola kerja sama dan kesepakatan fasilitas pembangunan kebun masyarakat. Oleh karena itu, dalil permohonan Para Pemohon untuk pengujian pasal tersebut tidak beralasan menurut hukum. Dan di Pasal 58, tadi sudah diuraikan di dalam permentan dan seterusnya. Bahwa Pihak Terkait sependapat dengan keterangan Pemerintah yang menyatakan bahwa pembentukan Pasal 58 ayat (1) UndangUndang Perkebunan dimaksudkan untuk memperbaiki struktur usaha perkebunan menjadi lebih merata. Upaya ini dilakukan dengan (suara tidak terdengar jelas) aset (suara tidak terdengar jelas) peluang usaha kepada petani kecil dimana perusahaan besar memperbaiki perbatasan, petani kecil agar peluang usaha dan aset yang mereka terima dikelola dengan baik dan seterusnya. Bahwa Para Pemohon yang memaknai Pasal 58 ayat (1) UndangUndang Perkebunan sepanjang dan seterusnya tadi, jika hal ini diterapkan, maka justru bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.” Dan Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut 13
tidak boleh diambil oleh secara paksa dan sewenang-wenang oleh siapa pun.” Bahwa terlepas dari perdebatan di atas, aturan yang diatur di dalam Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Perkebunan bukan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dari pembentuk undang-undang yang tidak bisa dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, alasan permohonan Para Pemohon untuk pengujian Pasal 58 ayat (1) Undang-Undang Perkebunan tidak beralasan menurut hukum. Selanjutnya, untuk Pasal 114 ayat (3) Undang-Undang Perkebunan yang di situ tentu kalau itu dipenuhi, maka investasi perkebunan dijamin oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Di situ jelas bahwa di situ adalah asasnya perlindungan sehingga kalau ada pembatasan dan seterusnya tadi yang disampaikan oleh Para Pemohon, maka ter … hal tersebut tentu akan merugikan hak konstitusional bagi Para Pihak Terkait. Bahwa ketentuan Pasal 114 ayat (3) pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, perlindungan hukum bagi pelaku usaha penanaman asing untuk melakukan kegiatan menanam modal asingnya di Indonesia masih menggunakan ketentuan yang secara substansi mungkin berbeda dengan Undang-Undang Perkebunan yang baru ini. Kesimpulan. Bahwa berdasarkan dalil-dalil hukum yang telah dikemukakan Pihak Terkait di atas, Pihak Terkait berkesimpulan sebagai berikut. Ketentuan pasal … Undang-Undang Perkebunan yang menjadi objek permohonan uji materiil, tidak bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945 karena aturan yang dimohonkan uji materiil dalam rangka menjalankan amanat Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Aturan yang diuji hanyalah merupakan kebijakan hukum yang sifat terbuka dari pembentuk undang-undang. Apa yang didalilkan Para Pemohon bukan masalah konstitusionalitas norma melainkan merupakan implementasi norma. Dan yang dimohonkan uji materiil hanyalah ketentuan peralihan dalam peraturan perundang-undangan diperlukan untuk menjaga jangan sampai terdapat pihak-pihak yang dirugikan oleh adanya perubahan ketentuan dalam suatu peraturan perundangundangan. Permohonan. Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut di atas, Pihak Terkait memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian ketentuan pasal a quo Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Perkebunan terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dapat memberikan putusan sebagai berikut. Menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat di … tidak diterima atau menolak permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya.
14
Demikian keterangan Pihak Terkait. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan oleh Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, kami ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum wr. wb. 23.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Sebelum lanjut ke Ahli, perlu disampaikan bahwa persidangan ini dihadiri dan disaksikan oleh anak-anak kita dari Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta yang sedang praktik lapangan. Silakan Prof, langsung.
24.
AHLI DARI PEMOHON: I NYOMAN NURJAYA Terima kasih, Yang Mulia. Yang Mulia serta hadirin yang berbahagia. Assalamualaikum wr. wb. Om swastiastu, shalom, salam sejahtera bagi kita semua. Namo budaya rahayu. Pada kesempatan ini, saya menjadi Saksi Ahli Pemohon dalam uji … permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang Mulia, permohonan uji materiil ini tentu ada hubungannya dengan pembangunan nasional. Pembangunan nasional adalah satu aktivitas dan (suara tidak terdengar jelas) yang digunakan oleh Pemerintah untuk mewujudkan amanat, khususnya alinea … pembukaan alinea keempat dan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Melalui pembangunan nasional itulah kemudian tujuan pendirian negara untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya, mencerdaskan kehidupan bangsa dan seterusnya bisa dicapai. Selama ini kalau kita perhatikan, kita cermati bahwa hasil dari pembangunan nasional itu secara positif kita sudah dapat nikmati. Hasilhasil pembangunan di segala bidang kehidupan, kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya, dan bahkan aspek kehidupan religi pun dapat kita nikmati sekarang ini, tapi ada hasil-hasil pembangunan yang selama ini tidak pernah diperhitungkan sebagai hasil pembangunan. Yang pertama, hasil-hasil pembangunan yang selalu ditonjolkan itu adalah peningkatan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan export commodity dan itu demi pembangunan atas nama peningkatan, pendapatan, dan devisa negara. Dari sisi itu, kita dapat menikmati sekarang, tetapi hasil pembangunan peningkatan devisa dan pendapatan negara itu apakah sudah mengalir ke bawah menyejahterakan rakyat, atau dinikmati oleh orang-orang tertentu saja. Tetapi yang kemudian yang lebih penting adalah hasil pembangunan yang tidak pernah dihitung, itu adalah yang pertama, 15
saya sebutkan sebagai economical lost. Economical lost itu adalah sumber-sumber pendapatan eko … sumber-sumber kehidupan ekonomi masyarakat di daerah itu semakin terbatas dan bahkan punah, dan itu akibat dari apa yang saya sebut sebagai hasil pembangunan yang tidak pernah dihitung, ecological lost, ecology degradation, kerusakan dan pencemaran lingkungan, degradasi sumber daya alam. Yang ketiga adalah hasil pembangunan yang tidak pernah dihitung itu adalah kerusakan tatanan sosial dan budaya kehidupan masyarakat. Saya sebut sebagai social and cultural distraction. Saya menyampaikan 4 makalah untuk melengkapi apa yang saya ingin saya sampaikan pada kesempatan ini sebagai Ahli dari Pemohon. Nah, permohonan uji materiil ini tentu ada hubungannya dengan apa yang saya sampaikan sebelumnya. Dalam pembangunan hukum, dari sisi substansinya kalau orang mengatakan hukum itu semua baik, tapi kalau dari kajian akademik bahwa substansi hukum yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan itu belum tentu baik. Kalau sudah ada masalah di ranah legal product-nya, apalagi kemudian di ranah hukum empirisnya, di persoalan legal hukum normatifnya ada masalah, tetapi … apalagi kemudian di ranah implementasi dan aplikasinya. Nah, untuk kesaksian Ahli ini … maaf, kesempatan ini sebagai Ahli, saya ingin menjelaskan bahwa sebenarnya pada tahun 2010 … 2009, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan itu sudah pernah diajukan permohonan uji materiil dan kemudian ada putusan dari Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-VIII/2010. Nah, pascaputusan Mahkamah Konstitusi ini kemudian menjadilah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan yang pada kesempatan ini diminta uji materiil oleh teman-teman gabungan dari perkebunan … masyarakat yang peduli tentang perkebunan. Nah, fokus dari ingin … yang ingin saya sampaikan itu dari pasalpasal yang diminta permohonan uji materiil hanya berfokus pada pertama Pasal 22 ayat (2), kemudian Pasal 13, Pasal 55, dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 terhadap Pasal 18B ayat (2), Pasal 28B, I ayat (3), dan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ini yang saya fokuskan. Kalau pasal-pasal yang lain nanti dihadirkan ahli yang lain. Nah, Yang Mulia. Kalau kita membaca secara cermat Pasal 12, pasal ini juga sudah pernah diminta dimohonkan uji materiil dan sekarang dalam bahasa Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 ini lebih halus daripada pasal … Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2010. Kita perhatikan ayat (1) nya mengatakan bahwa Pasal 12 ini dalam hal tanah yang diperlukan untuk usaha perkebunan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat, pelaku usaha harus melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya.
16
Ayat (2) nya, musyawarah dengan masyarakat hukum adat adalah pemegang hak ulayat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal ini ada hubungannya dengan pasal … maaf … 13. Pasal 13 menyatakan bahwa masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Nah, saya ingin mengajak Ibu, Bapak sekalian khususnya Yang Mulia untuk mengkritisi pasal ini. Bahasa hukum yang digunakan adalah musyawarah dalam Pasal 12 ini. Musyawarah. Untuk apa? Dan ini adalah kewajiban hukum dari pelaku usaha perkebunan untuk melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat. Untuk apa? Persetujuan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya. Nah, musyawarah yang dimaksudkan ini adalah sebenarnya ada dalam ranah hukum perdata antara pelaku usaha perkebunan dengan masyarakat hukum adat mengenai penyerahan tanah dan imbalannya ini. Ini adalah perbuatan hukum perdata. Subjek hukumnya adalah pelaku usaha perkebunan dan masyarakat hukum adat. Jadi, subjek hukumnya itu adalah subjek hukum perdata. Untuk apa? Memperoleh kesepakatan sebenarnya, bukan persetujuan, mengenai apa peralihan hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat. Jadi, ranahnya ini adalah di ranah hukum perdata, tetapi kemudian di undang-undang disebutkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apa artinya? Di sana ada ini bahasanya adalah untuk mendapatkan persetujuan penyerahan tanah dan imbalannya. Ini bahasa-bahasa yang tercermin ada kekuasaan, ada kewenangankewenangan tertentu di dalamnya untuk menyelenggarakan musyawarah itu. Kalau ini ada di ranah hukum perdata itu adalah menjadi hak-hak … hak dari masing-masing pihak untuk mengatakan apakah kesepakatan bisa dibuat atau tidak. Nah, ini peralihan hak atas tanah ulayat sebenarnya yang dimaksudkan, bukan penyerahan hak atas tanah dan imbalannya. Nah, kita perhatikan sekarang peralihan … penyerahan tanah dan imbalannya itu apakah itu melalui … apakah itu disebut kompensasi atau ganti rugi? Kalau ini ada di ranah tanah negara, tetapi kalau dalam keperdataan, ranah hukum perdata, dia adalah yang paling mungkin dilakukan adalah sewa menyewa atau jual beli. Kalau ini sewa menyewa atau jual beli, itu peralihan hak atas tanah ulayat masyarakat hukum adat dan itu adalah kesepakatan yang dibuat oleh para pihak untuk kalau disebut penyerahan sebenarnya peralihan hak atas tanah ulayat mengenai berapa luasnya, mengenai berapa harganya yang disepakati. Nah, dan itu ada di ranah hukum perdata, tapi di dalam pasal ini disebutkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Itu yang menjadi masalah. 17
Yang saya harus ingatkan bahwa dalam masyarakat hukum adat itu ada yang disebut dengan rekognisi, recognition. Rekognisi itu artinya masyarakat hukum adat itu memberikan orang luar di luar warganya untuk masuk ke dalam wilayah masyarakat hukum adatnya, menggunakan/memanfaatkan tanahnya dengan yang disebut rekognisi ini. Ada yang diberikan oleh orang luar untuk memanfaatkan tanah ulayat itu diberikan kepada masyarakat hukum adat, tetapi intinya bahwa hak dari masyarakat hukum adat itu tidak beralih kepada orang yang memanfaatkan itu. Ini yang disebut dengan rekognisi. Itu berbeda kalau jual beli, sewa-menyewa … eh, maaf … kalau jual beli itu beralih haknya. Nah, di undang-undang disebutkan persetujuan untuk penyerahan tanah ulayat dan imbalannya. Nah, itu artinya apa? Pasti jual beli karena pada akhirnya pelaku usaha perkebunan itu setelah jual beli kalau itu bentuknya adalah badan hukum, korporasi, badan usaha yang berbadan hukum, maka secara tidak otomatis bahwa itu menjadi hak dari korporasi itu. Tetapi tanah itu walaupun dibeli dengan uang perusahaan, tanah itu akan harus diserahkan dulu kepada negara dan kemudian perusahaan itu memohon hak guna usaha karena badan hukum … badan usaha yang berbadan hukum itu tidak boleh mempunyai hak milik hak atas tanah. Yang bisa digunakan adalah oleh satu korporasi untuk melakukan usahanya itu hak pakai, hak guna bangunan, dan hak guna usaha. Nah, Pasal 12 ini berhubungan dengan Pasal 13. Masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini juga menjadi persoalan kalau dalam bahasa akademik bahwa pengakuan ada atau tidaknya masyarakat hukum adat itu kalau sesuai dengan peraturan perundangan pasti ini: ditetapkan dengan peraturan daerah, itu bahasa hukum. Berapa undang-undang menyebutkan secara eksplisit, UndangUndang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Kehutanan, undang ... Peraturan Menteri Agraria juga mengatakan harus ditetapkan dengan peraturan daerah dulu mengenai pengakuannya. Ada atau tidaknya masyarakat hukum adat itu kalau sudah ditetapkan dengan peraturan daerah. Itu bahasanya. Pasal 13 ini arahnya ke sana. Bagi masyarakat hukum adat dalam konteks berbangsa dan bernegara, diakui atau tidak, dia pasti tetap ada karena masyarakat hukum ada itu, kalau menggunakan prinsip ad prima facie, siapa yang lebih dulu ada? Negara ini atau masyarakat hukum adat? Karena masyarakat hukum adat itu kalau dari ... apa ... kriteria yang digunakan adalah kelompok masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu dengan batas-batas yang jelas menurut konsep mereka, konsep batas mereka secara turun-temurun dan bergenerasi karena
18
ikatan genealogis atau teritorial atau kombinasi dari genealogis dan teritorial. Yang kedua kriterianya, dia mempunyai sistem pemerintahan adatnya sendiri. Yang ketiga, dia juga mempunyai lembaga penyelesaian sengketa adatnya. Dia mempunyai norma-norma hukum adat dan ini ada yang tertulis, dan kebanyakan tidak tertulis. Dia mempunyai sistem religi sendiri, mempunyai harta benda materiil, harta benda fisik, dan juga harta benda magis. Kriteria masyarakat hukum adat itu seperti itu. Tapi di dalam beberapa undang-undang dan peraturan menteri itu, saya perhatikan banyak yang hilang itu. Sistem religi mereka enggak ada, khas sekali masyarakatnya. Nah, ini saya dasarkan pada pengalaman penelitian di berbagai daerah, termasuk juga di tiga negara ASEAN ketika saya mendapatkan fellowship untuk dari (suara tidak terdengar jelas) untuk melakukan penelitian seperti ... Yang Mulia, lanjut sekarang komentar yang lain yang ingin saya berikan bahwa Pasal 33 … eh maaf ... Pasal 13 ini hubungannya memang kalau diuji materiil terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945 khususnya Pasal 18B ayat (2), Pasal 28I ayat (3) dan seterusnya ini persoalannya, ini apakah genuine atau pseudo? Constitutional and legal recognition and respect. Ini maksudnya adalah apakah pengakuan dan penghormatan masyarakat hukum adat secara konstitusional dan secara hukum itu apakah hakiki, murni, utuh, atau basa-basi? Pseudo atau semu? Nah, dalam beberapa tulisan saya, saya mengkritisi Pasal 3 ... eh, maaf … Pasal 28 ... Pasal 18B ayat (2), itu pun sebenarnya bermasalah karena ada kata as long as (sepanjang), “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang….” Ini menunjukkan tidak hakiki, sepanjang masih hidup. Masyarakat hukum adat itu tidak ada yang punah sampai sekarang, tidak mungkin punah, dia terus bergenerasi. Sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Undang-undangnya sendiri sampai sekarang belum ada. Itu persoalan yang mendasar. Nah, lanjut kemudian ini kalau dihubungkan dengan asas hukum, prinsip hukumnya. Kalau kita berbicara masalah hukum adat dalam konteks berbangsa dan bernegara, kemudian di konstitusi ada pengakuan dan penghormatan, tapi menurut saya secara akademik itu masih semu. Pseudo recognition. Ad Prima facie principle. Prinsip ad prima facie ini persoalannya adalah pengakuan siapa yang ada lebih dulu. Tapi dalam konteks berbangsa dan bernegara, negara memang dengan konstitusinya juga mengatur keberadaan mereka, tetapi masyarakat hukum adat itu harus dipandang sebagai legal entity, sama 19
dengan subjek hukum maksudnya. Subjek hukum ada yang disebut dengan naturlich person, orang per orangan. Kemudian berkembang ada subjek hukum buatan hukum (recht person). Jadi, badan hukum, badan usaha yang berbadan hukum itu. Nah, masyarakat hukum adat ini adalah legal entity juga, sama. Nah, oleh karena itu, pengakuannya harus genuine. Nah, yang kedua harus diperhatikan adalah ada yang disebut dengan free and prior informed concern principle. 25.
KETUA: ANWAR USMAN Prof, mungkin bisa dipercepat sedikit. Silakan.
26.
AHLI DARI PEMOHON: I NYOMAN NURJAYA Singkat, ya, baik. Prinsip ini diundang ... di perundang-undangan kita belum ada yang meng ... ini adalah prinsip penting dalam pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Lingkungan hidup sumber daya alam itu ada dalam atau di daerah. Di daerah ada komunitas-komunitas masyarakat. Kalau sekarang Pemerintah ingin memasukkan program atau perencanaan pembangunan, nah, masyarakat hukum adat ini harus diberi informasi secara awal, lebih awal, prior informed. Dan juga masyarakat hukum adat karena dia legal entity, maka dia juga harus diberikan hak untuk mengatakan setuju atau tidak setuju secara bebas. Free and prior informed concern principle. Ini suatu prinsip penting dalam hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam yang berkembang sampai sekarang. Nah, lebih lanjut Pasal 17, ini menarik sekali pasal ini cuma penempatannya yang salah, ya. Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan izin usaha perkebunan atas tanah hak ulayat masyarakat hukum adat dan seterusnya. Kecuali. Dari ayat (2) nya kecuali. Nah, ada hubungannya kemudian dengan pasal yang memberikan sanksi pidana untuk pejabat yang berwenang ini. Ini kemajuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 yang saya lihat. Pasal 55, “Setiap orang secara tidak sah dilarang” dan seterusnya. Dan pasal ini diikuti dengan ancaman sanksi di Pasal 107. Nah, persoalannya sekarang, “Setiap orang secara tidak sah yang” dan seterusnya, kemudian ada ancaman sanksi pidana ini memang bisa disebut sebagai pasal yang mengkriminalisasi dan dalam … apa ... kenyataan di lapangan banyak terjadi dengan memanfaatkan pasal ini. Masyarakat hukum adat yang kemudian harus melakukan resistensi ya, mengekspresikan kekecewaan, ketidakberdayaan dengan melakukan tindakan seperti yang dimaksud Pasal 55 dan itu terjadi karena belum
20
ada musyawarah dengan pelaku usaha perkebunan. Nah, ini harus dibedakan, artinya ada perkecualian. Pasal 107 itu merupakan pasal yang mengarah pada kriminalisasi masyarakat hukum adat ketika dia mengekspresikan resistensi, perlawanan, penolakan, atau ketidakberdayaannya karena Pasal 12 itu musyawarah tidak dilakukan, tidak ada, dan kemudian diekspresikan resistensinya. Nah, ini menariknya ada teori resistensi dan James C. Scott, ya, dalam bukunya yang berjudul Weapons of The Weak. Senjatanya orang lemah itu apa, sih? Ketidakberdayaan dari kekuasaan pemilik modal misalnya. Senjata yang dimiliki oleh orang lemah itu, ya untuk melakukan perlawanan, resistensi, penolakan atas ketidakberdayaannya itu paling-paling hanya demonstrasi, teriak-teriak, di depan dia mengatakan ya, diam saja tidak mau menunjukkan sikap, atau tutup mulut, dan juga bisa (suara tidak terdengar jelas), gerakan-gerakan di bawah tanah. Itu banyak terjadi yang lalu pembakaran basecamp misalnya, traktor dirusak, dan itu adalah wujud dari atau ekspresi dari masyarakat hukum adat yang termarjinalisasi, tergusur karena hak-haknya dilanggar dan hukum dan kebijakan Pemerintah juga memberikan andil, termasuk yang diajukan permohonan di (suara tidak terdengar jelas) sekarang ini. Kalau kita kembali pada tujuan bernegara ini hanya kita merujuk pada pembukaan alinea keempat, untuk apa negara ini didirikan? Menyejahterakan rakyat, memakmurkan rakyat, dan Pasal 33 ayat (3) tegas mengatakan itu. Pasal 18B ayat (2) pengakuan dan penghormatan negara terhadap kesatuan masyarakat hukum adat dan hak tradisionalnya jelas. Kemudian, Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2). Nah, baik, Yang Mulia, serta hadirin yang berbahagia. Terima kasih untuk kesempatan ini, selebihnya apa yang saya sampaikan pada forum ini itu saya sertakan ada 4 papers yang saya tulis, termasuk juga di konstitusional review perdana, terbitan perdana dari Mahkamah Konstitusi. Terima kasih, om swastiatsu. 27.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, terima kasih. Dari Pemohon apakah ada hal-hal yang ingin didalami atau ditanyakan? Masih ada sisa waktu sekitar 10 menit.
28.
KUASA HUKUM PEMOHON: PRIADI Ya, terima kasih, Yang Mulia. Pertama kita mau menyatakan memang pada kesempatan sidang sebelumnya kita akan mengajukan dua ahli pada kesempatan sekarang, cuma karena satu ahli berhalangan kita akan memindahkan, mungkin kalau Majelis mengizinkan nanti di
21
persidangan berikutnya dengan beberapa ahli lainnya terkait berbagai hal dalam permohonan kami. Begitu, Yang Mulia. 29.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Jadi, tidak ada pertanyaan ya untuk ahli ini, ya? Enggak ada, ya? Baik.
30.
KUASA HUKUM PEMOHON: RIDWAN DARMAWAN Cukup, Majelis.
31.
KETUA: ANWAR USMAN Ya, jadi akan mengajukan ahli lagi? Beberapa ahli lagi?
32.
KUASA HUKUM PEMOHON: PRIADI Untuk persidangan berikutnya kita ada tiga ahli, mungkin kalau dibolehkan sesuai satu ahli yang sekarang ditambah dengan dua ahli rencananya kami untuk persidangan berikutnya.
33.
KETUA: ANWAR USMAN Ahlinya apa sama atau beda-beda? Di bidang apa saja?
34.
KUASA HUKUM PEMOHON: PRIADI Beda-beda, Yang Mulia.
35.
KETUA: ANWAR USMAN Apa saja?
36.
KUASA HUKUM PEMOHON: PRIADI Ada soal perbenihan, ada soal kemitraan, dan juga tentang masalah yang lainnya.
37.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, nanti silakan ajukan CV-nya masing-masing, ya.
22
38.
KUASA HUKUM PEMOHON: PRIADI Baik, Yang Mulia.
39.
KETUA: ANWAR USMAN Ini kenapa?
40.
KUASA HUKUM PEMOHON: HENRY DAVID OLIVER (...)
41.
Majelis, saya cuma mau minta penjelasan saja. Tadi dari pihak
KETUA: ANWAR USMAN Sebentar, ini mestinya ini jangan ... tadi bilang sudah cukup ini, bagaimana ini, kok (...)
42.
KUASA HUKUM PEMOHON: RIDWAN DARMAWAN Baik, untuk yang ke ahli cukup, Yang Mulia. Tapi mungkin rekan saya akan ke Pihak Terkait.
43.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, enggak bisa itu. Enggah usah.
44.
KUASA HUKUM PEMOHON: HENRY DAVID OLIVER Bukan, bukan ke Pihak Terkait, Majelis. Kami hanya ingin minta kejelasan karena yang kami terima di sini tentang keterangan Pihak Terkait dengan apa yang dibacakan Pihak Terkait itu sangat berbeda sekali, Majelis. Jadi, kami tidak tahu pegangannya yang mana ini untuk kami jawab. Seperti itu, Majelis, terima kasih.
45.
KETUA: ANWAR USMAN Baik, ya. Kami juga tadi sudah mempermasalahkan tadi, tadi yang dibaca sebaiknya diserahkan juga ke Majelis nanti untuk disampaikan juga ke Pemohon, ya. Baik, jadi sekali lagi untuk Pemohon silakan ajukan CV tiga ahli. Ya, baik. Silakan, Yang Mulia Pak Patrialis.
23
46.
HAKIM ANGGOTA: PATRIALIS AKBAR Pak Nyoman, ini penjelasannya sangat jelas. Sebetulnya kita ingin lama-lama sama Pak Nyoman, minimal empat jam karena pasalnya banyak sekali, tapi apa boleh buat, ya. Saya hanya ingin konfirmasi nanti mungkin bisa tertulis, ya kalau agak panjang, berkenaan dengan konsep rekognisi yang disampaikan tadi. Ini ada semacam dilematis barangkali ya, di satu sisi dimana kalau pendekatan-pendekatan dengan konsep rekognisi itu sudah dilakukan, akan tetapi tidak bisa karena persoalan yang berkaitan dengan sistem yang ada di masyarakat hukum adat itu sendiri. Tapi di sisi lain, justru tanah itu dibutuhkan untuk pembangunan yang juga tentu ujung-ujungnya adalah ingin memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, ya. Banyak sekali pembangunan-pembangunan yang terhambat karena memang masyarakat adatnya enggak bisa. Apakah ini bukan merupakan suatu hal yang dilematis? Jika demikian, itu bagaimana sebetulnya konsep yang lebih baik? Yang kedua, fakta di lapangan kita menemukan satu keadaan ya, dimana para pemilik modal yang disampaikan tadi, mereka juga sangat dekat dengan para penguasa bahkan juga tidak tertutup kemungkinan jadi tim sukses ya, waktu pemilihan kepala daerah dan sebagainyalah, macam-macam seperti itu. Kadangkala hanya dengan pendekatan dan surat selembar mereka justru bisa menguasai ribuan hektare tanah masyarakat sehingga secara formal izin itu adalah milik yang punya satu lembar kertas itu bahkan juga di beberapa tempat misalnya seorang pengusaha besar yang sudah luar biasa mereka dapat izin pengelolaan, katakanlah untuk pembangunan perumahan yang mereka miliki ratusan hektare gitu. Tapi di sisi lain, tanah masyarakatnya itu enggak pernah dia bebaskan, belum bisa dibebaskan. Nah, ketika pengusaha-pengusaha kecil ingin membangun di situ dan masyarakat menjual kepada pengusaha-pengusaha kecil, pengusaha-pengusaha kecil itu justru mendapat kesulitan untuk mendapatkan izin karena izin pengelolaan yang besar itu sudah dimiliki oleh sang kapitalis, raksasa besar. Kalaupun mau bayar kepada mereka dulu, ini kan, di mana-mana terjadi ini, ya. Nah, ini kaitan dengan ad prima facie principle meskipun tadi kaitannya itu adalah dengan komperasi mana yang lebih dulu adat dengan negara ini. Ya, tentu adatlah kan, tentu adat. Mungkin jawabannya agak panjang, Pak Nyoman karena ini yang dirasakan oleh banyak masyarakat … banyak masyarakat pada hari ini. Jadi, kalaupun dihitung kepemilikan tanah di negara ini sudah bisa dihitung, Pak. Saya pernah ngobrol dengan orang-orang yang tahu dengan pengusahapengusaha besar atau saya jalan-jalan ke daerah Banten situ, itu sepanjang jalan plang papannya itu sudah milik perusahaannya itu saja. 24
Dari Sabang sampai ke Sabang lagi gitu, coba bayangkan, bukan Sabang Merauke, jadi dia muter lagi, itu semua papan namanya. Bayangkan, masyarakat enggak bisa ngapa-ngapain. Nah, saya minta pendalaman dari Pak Nyoman, ya. Keterangan Pak Nyoman, tadi itu kalau bisa itu tertulis bagus sekali itu, Pak Nyoman, saya kira begitu, Pak. Dan Pihak Terkait ya, saya kira Pemohon yang disampaikan Pihak Terkait ada di sini, cuma dia lebih menyingkat saja karena terlalu panjang. Tapi yang disingkat saya baca ikuti ada semua, mungkin Pemohon enggak ikuti secara komprehensif, dipotong-potong, itu. Itu pun sudah kita tegur tadi supaya dipotong lagi itu. Terima kasih, Pak Ketua. 47.
KETUA: ANWAR USMAN Maria.
48.
Ya, silakan, Yang Mulia Pak Palguna dulu, baru Yang Mulia Ibu
HAKIM ANGGOTA: I DEWA GEDE PALGUNA Ya, saya juga sebenarnya … kami ingin berdiskusi banyak dengan Prof Nyoman selaku Ahli ini. Tapi karena nanti ada sidang lagi pada pukul 14.00 WIB ini, kami mohon jawaban tertulislah sama dengan Yang Mulia Pak Patrialis. Mungkin jarang yang tahu, sebenarnya beliau Ahli ini itu profesinya adalah penyanyi, cuma hobinya jadi guru besar, gitu. Ya, Prof Nyoman, saya mau sampaikan begini, acap kali dalam berbagai tulisan atau dalam berbagai diskusi, kalangan aktivis menyamakan begitu saja konsep antara indigenous people dengan masyarakat hukum adat. Padahal kita ada satu hal yang berbeda di situ, jelas sekali perbedaannya dan itu berkaitan dengan kolonialisasi. Kalau di … misalnya di Amerika kita what does it mean by the indigenous people itu adalah mereka yang sudah berada di situ, pra … pramasa kolonialisasi di sana. Padahal kalau di Indonesia, semua kita indigenous. Nah, ini itu tentu membawa konsep hukum dan pendekatan yang berbeda, kita … kita berbicara tentang masyarakat “asli”, dalam tanda petik itu. Dalam konteks bernegara juga berbeda, itu ada masa prakolonialisasi dan sebagainya. Nah, di Indonesia ketika kita bicara masyarakat adat di satu pihak, juga berbeda dengan kesatuan masyarakat hukum adat di pihak lain. Kita tahu ada sejarah dari konsep (suara tidak terdengar jelas) dalam Belanda yang kemudian melahirkan beberapa turunannya dalam … dalam masa-masa pra kemerdekaan … awal kemerdekaan. Nah, saya ingin mendapatkan gambaran yang mungkin agak menyeluruh, agak komprehensif maksud saya, di satu pihak itu konsepsi
25
pembedaan antara indigenous people dengan kesatuan masyarakat hukum adat dan masyarakat hukum adat di Indonesia sendiri. Di lain pihak, perbedaan antara kesatuan masyarakat hukum adat yang kita kenal paling tidak ada 2 jenisnya 2, ada yang teritorial genealogis dan masyarakat hukum adatnya sendiri yang berkembang sekarang yang ada. Yang dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu adalah kesatuan masyarakat hukum adat, tentu dia pasti akan mengacu pada yang apakah teritorial atau genealogis sepanjang masih hidup itu konteksnya saya kira ke situ. Nah, mengapa hal ini menjadi penting menurut saya untuk diberikan gambaran? Karena sebagian dari argumentasi Pemohon itu adalah jangan sampai ada kekaburan dari kedua konsepsi ini, kesatuan masyarakat hukum adat di satu pihak, masyarakat hukum adat di pihak lain, dan indigenous people di pihak lain, itu saya kira ada hal-hal yang membedakan ketiganya karena nanti bakal menyangkut hak-hak yang secara inheren melekat di dalam ketiga konsep yang masing-masing berbeda itu. Itu, Prof, yang mungkin mau saya dapatkan gambaran yang lebih komprehensif barangkali. Sekali lagi saya mohon maaf, sebenarnya kita mau berdiskusi soal ini, tapi ada sidang lagi nanti pukul 14.00 WIB sehingga kami terpaksa meminta penjelasan tertulis. Terima kasih, Bapak Ketua. 49.
KETUA: ANWAR USMAN Terakhir, Yang Mulia.
50.
HAKIM ANGGOTA: MARIA FARIDA INDRATI Ya, terima kasih, Pak Ketua. Saya juga menikmati sekali penjelasan Prof. Nurjaya tadi karena rupanya banyak yang harus saya lihat kembali. Tadi dikatakan bahwa masyarakat adat itu akan selalu ada, begitu. Nah, selama ini kita mengatakan bahwa suatu masyarakat adat itu ada kalau mereka masih ada masyarakat pendukungnya, ada pranata-pranatanya, ada harta benda adat, dan ada wilayah adat. Nah, untuk itu kalau itu kita hubungkan dengan pranata adat dan kemudian di dalam Undang-Undang MK sendiri itu sangat sulit kita kadang-kadang mengatakan bahwa ini adalah … Pemohon adalah masyarakat hukum adat. Di sini dikatakan Pasal 51 bahwa Pemohon itu salah satunya adalah kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Sampai sekarang
26
itu enggak ada undang-undang yang mengatakan, “Ini lho, masyarakat hukum adat,” atau Ini kesatuan masyarakat hukum adat.” Nah, dan kalau sekarang kita melihat seperti ini, dan dengan adanya kemajuna-kemajuan di mana wilayah-wilayah adat atau hartaharta adat itu kadang-kadang sudah di … apa … dialihkan kepemilikannya misalnya, tentunya dengan hal-hal yang bersifat hukum positif, ya. Kalau jual tanah adat yang kemudian diberikan sertifikat, maka kemudian hal itu apakah itu menjadi milik adat atau tidak. Itu pertentangan itu seperti itu dan kemudian kalau kita mengatakan kalau masyarakat hukum adat itu harus diatur di dalam undang-undang, diatur dalam … sekarang banyak yang diatur di dalam perda-perda mengatakan ini wilayah adat, begitu. Apakah ini kemudian masyarakat hukum adat itu masih ada? Nah, di sini ada pertentangan antara hukum yang tertulis dan hukum yang tidak tertulis dimana kita membandingkan antara perundang-undangan dan hukum adat itu sendiri. Tapi, Prof tadi mengatakan bahwa masyarakat hukum adat itu masih selalu ada. Nah, itu bagaimana jawabannya, Prof? Karena saya takut kalau semua orang akan mengatakan ini wilayah adat akan diatur dalam undang-undang, ini wilayah satu adatnya akan diatur juga dalam undang-undang, perlindungan masyarakat hukum adatnya … kemudian kalau demikian, apakah kita masih punya masyarakat hukum adat atau masyarakat adat itu sendiri? Ini kan, pertentangan antara dua terminologi itu menjadi sesuatu yang selama ini menjadi rancu. Terima kasih, Prof. 51.
KETUA: ANWAR USMAN Masih ada satu lagi, Prof. Silakan, Yang Mulia Pak Wahiduddin.
52.
HAKIM ANGGOTA: WAHIDUDDIN ADAMS Memang tadi masih pokok-pokok yang disampaikan oleh Prof, oleh sebab itu kalau nanti secara lebih terurai kami akan sangat apresiasi. Pertanyaan saya karena dari Pemohon ini ada 2 hal yang saya fokuskan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, ditetapkan sesuai peraturan perundang-undangan. Nah, ini saya menangkap seolah-olah ini tidak ada jaminan bahwa masyarakat hukum adat itu diakui. Tadi Prof juga mengatakan ini apa basa-basi, atau apa, begitu. Nah, frasa ketentuan peraturan perundangundangan itu kalau kita … kembali kita sebagai negara hukum dan yang kedua bahwa peraturan perundang-undangan itu mulai dari yang paling tinggi Undang-Undang Dasar Tahun 1945, TAP MPR, undang-undang, peraturan Pemerintah, peraturan Presiden, kan mencakup itu. Mengapa kita ragukan kalau frasa ini kita cantumkan? Apa karena selama ini kalau 27
menyebut ketentuan peraturan perundang-undangan tergambarlah kepada kita perilaku-perilaku atau implementasi-implementasi yang menyimpang. Ya, padahal ketentuan peraturan perundang-undangan itu artinya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dengan TAP MPR, kita juga menetapkan tentang itu, dengan undang-undang yang lain. Nah, ini seolah-olah kalau sesuai ketentuan peraturan perundangundangan, seolah-olah ini basa-basi dan yang tergambar pada kita adalah praktik atau implementasi yang ternyata sebetulnya suatu cara untuk ya, nanti menghindarkan atau bahkan menyimpang dari ketentuan peraturan perundang-undangan atau konstitusi kita. Nah, ini ada hal yang di dalam praktik memang banyak demikian kalau ketentuan peraturan perundang-undangan itu ke mana-mana, begitu. Nah, padahal kalau ketentuan peraturan perundang-undangan yang paling tinggi kan, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, hierarki peraturan perundang-undangan kita menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Mungkin ini bisa diberikan elaborasi oleh Prof untuk tidak sama antara ketentuan peraturan perundang-undangan yang diimplementasikan dengan yang dimaksud sebetulnya kalau itu harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan jenis khierarki yang mulai dari yang tertinggi Undang-Undang Dasar Tahun 1945 itu. Demikian, terima kasih. 53.
KETUA: ANWAR USMAN Baik. Dari Kuasa Presiden ada, ya? Cukup ya, terwakili? Baik. Prof, nanti bisa disampaikan secara tertulis karena cukup banyak, ya. Ya, nanti. Dari Pemohon tadi kan, tidak ada untuk Ahli, ya. Jadi, nanti dari meja Hakim tadi ada empat pertanyaan yang memang memerlukan elaborasi lebih jauh lagi oleh Prof. Baik, untuk itu ya, sidang ini ditunda, hari Selasa, tanggal 2 Mei 2016, pukul 11.00 WIB untuk mendengarkan keterangan DPR. Jadi, kita masih berharap dari DPR dan tiga orang ahli dari Pemohon. Nah, sebelum sidang ini … Pemerintah nanti mengajukan ahli, ya?
54.
PEMERINTAH: YUNAN HILMY Ya, akan mengajukan ahli.
55.
KETUA: ANWAR USMAN Oh, ya, baik. Ya, setelah ini … setelah Pemohon. Sebelum sidang ditutup, kami menyampaikan permohonan maaf karena sidang tadi agak tertunda karena satu dan lain hal. Dan terima kasih kepada Ahli Prof 28
telah berkenan memberikan keterangan sehingga membuat jernihnya permohonan ini. Sekali lagi, sidang ditunda hari Selasa, tanggal 2 Mei 2016, pukul 11.00 WIB. Sudah cukup, ya? Dengan demikian, sidang selesai dan ditutup. KETUK PALU 3X SIDANG DITUTUP PKL. 13.27 WIB Jakarta, 19 April 2016 Kepala Sub Bagian Risalah, t.t.d Rudy Heryanto NIP. 19730601 200604 1 004
Risalah persidangan ini adalah bentuk tertulis dari rekaman suara pada persidangan di Mahkamah Konstitusi, sehingga memungkinkan adanya kesalahan penulisan dari rekaman suara aslinya.
29