Dampak UU no.10/2008 terhadap Partai Politik: Distribusi Kursi dan Paradok Alabama Yun Hariadi Dept. Dynamical System Bandung Fe Institute
[email protected]
Abstrak Penerapan metode pembagian yang baru dalam UU no.10/2008 untuk pelaksanaan pemilu legislatif 2009 akan berdampak pada perolehan jumlah kursi setiap partai politik. Paper ini melakukan formalisme terhadap metode pembagian dalam UU no.10/2008 dan menunjukkan perubahan perolehan kursi beserta hadirnya Paradok Alabama (PA). Pasal 21 UU no.10/2008 menunjukkan penambahan 10 kursi namun akan berdampak pada berpindahnya 60 kursi. Enampuluh kursi ini berasal dari partai politik yang kehilangan kursi yaitu Demokrat (8 kursi), PAN(4 kursi), dan partai dengan perolehan suara kurang dari parliamentary threshold (38 kursi). Enampuluh kursi ini akan berpindah kepada partai Golkar (35 kursi), PDIP (14 kursi), PKB dan PKS (5 kursi), dan PPP (1 kursi). Bias antara perolehan suara dengan kursi menunjukkan bahwa Golkar memperoleh bias positif terbesar sementara PKB memiliki bias negatif terbesar. Penerapan bilangan q (persentase terhadap BPP atau stationary divisor method) dan parliementary threshold (pt) akan memberi nilai optimal perolehan jumlah kursi setiap parpol secara berbeda sehingga mustahil untuk mendapatkan nilai optimal pada semua parpol (Arrowβs Theorem). Demikian pula kehadiran Paradok Alabama di hampir semua kondisi q dan pt makin menunjukkan bahwa tidak ada model pembagian yang menguntungkan bagi semua pihak. Kehadiran PA menunjukkan hadirnya sifat sensitif kondisi awal pada jumlah suara yang digambarkan pada lintasan garis di torus dan shift map. Meskipun memenuhi sifat sensitif pada kondisi awal namun perilaku ini tidak cukup memenuhi kriteria chaos (iterasi terbatas dan bukan sistem dinamik) sehingga sifat PA ini hanya mirip chaos atau quasi-chaos. Kata kunci: pemilu, legislative, UU no.10/2008, metode pembagian, stationary divisior method, parliamentary threshold, Arrowβs theorem, Paradok Alabama, torus, shift map, quasi-chaos.
1. Pendahuluan Pemilu merupakan wujud pelaksanaan demokrasi. Rakyat menyalurkan aspirasi politiknya dengan memilih partai politik (calon legislator) pada pemilu. Selanjutnya, melalui suatu sistem tertentu, perolehan jumlah suara (pada suatu parpol) akan dirubah menjadi perolehan sejumlah kursi di parlemen. Cara merubah/memetakan perolehan suara menjadi perolehan kursi disebut metode pembagian (appointment method). Masalah muncul karena metode pembagian yang berbeda akan mengakibatkan perolehan jumlah kursi yang berbeda pula (Saari 1999, McKean et al 2000, Tabarrok 2001). 1
Dalam demokrasi modern, ada sejumlah metode pembagian yang populer misalnya Borda Count dan Hamilton. Namun sampai saat ini, semua metode pembagian (secara umum pada semua sistem pemilu) selalu membawa paradok(Niemeyer, 2008). Arrow melalui teorinya, dikenal sebagai Arrowβs Theorem, menyatakan bahwa tidak ada sistem pemilu yang adil kecuali pada model diktator (Saari et al 2001,Saari 1994). Hal tersebut diperkuat oleh model aksiomatik Balinski&Young (Bradberry,1992). Metode pembagian pada dasarnya memetakan perolehan suara menjadi perolehan sejumlah kursi. Dalam proses pemetaan tersebut perolehan suara akan dibulatkan dari bilangan riil ke dalam bilangan bulat (jumlah perolehan kursi). Cara pembulatan bilangan (bagian terpenting dalam metode pembagian) bisa tak berhingga banyaknya sehingga membutuhkan kriteria yang menjamin bahwa metode pembagian ini bersifat adil. Kriteria paling dasar dalam metode pembagian ini misalnya: perolehan suara mayoritas seharusnya juga memperoleh jumlah kursi yang mayoritas dan demikian sebaliknya (Schwingenschlogl, 2007). Dengan kriteria ini pula ditunjukkan bahwa metode pembagian yang berbeda akan menghasilkan bias mayoritas-minoritas yang berbeda pula. Kriteria lain yang berkembang misalnya error function (Niemyer 2008), optimasi matrik (Gaffke& Pukelsheim, 2008). Selain menghasilkan bias antara perolehan suara dengan perolehan kursi masalah lain yang muncul dalam metode pembagian adalah hadirnya paradok. Paradok yang paling populer dalam metode pembagian adalah Paradok Alabama. Sesuai dengan namanya, paradok ini diketahui pada pembagian kursi di negara bagian Alabama. Disebut paradok karena penambahan jumlah jatah kursi di tingkat nasional malah mengakibatkan berkurangnya jatah kursi di negara bagian Alabama(Saari 1994, Bradberry 1992). Metode pembagian yang menjadi landasan pembagian kursi pada pemilu 2004 dan pemilu 2009 adalah berbeda. Perbedaan metode pembagian ini tentu saja akan berdampak pada perolehan jumlah kursi setiap parpol. Paper ini akan membahas dampak penerapan Undang-undang (UU) pemilu yang baru yaitu UU no.10/2008. Perbedaan dasar metode pembagian kedua UU tersebut yaitu: UU no.10/2008 menggunakan metode Webster (tahap II) dan metode Hamilton (tahap III) sedangkan UU no.12/2003 hanya menggunakan metode Hamilton (tahap II). Paper ini disusun dengan sistematika sebagai berikut: bagian pertama adalah pendahuluan yang berisi tinjauan pustaka dan latar belakang, bagian ke dua adalah formalisme model pada metode pembagian UU no.10/2008 (http://www.jppr.go.id) dan UU no.12/2003. Bagian ke tiga berisi analisis hasil simulasi penerapan UU no.10/2008 dengan data perolehan suara parpol pada pemilu 2004 (http://kpu.go.id), hasil simulasi mencakup: perubahan perolehan kursi, bias antara suara dan kursi, dan hadirnya paradok Alabama. Bagian ke empat berisi diskusi hadirnya paradok Alabama dalam teori chaos. Bagian terakhir berisi kesimpulan dan pengembangan lebih lanjut.
2. Model Misalkan S suatu sistem pemilu yang diikuti oleh P partai politik yang tersebar dalam d daerah pemilihan (dapil) yang memperebutkan Mj kursi untuk setiap dapil-j dengan total M kursi. Dari sejumlah P partai politik, terdapat p partai politik yang memiliki jumlah suara lebih besar dari 2.5% total suara 2
yang sah nasional, sehingga berdasarkan UU no.10/2008 pasal 202(1) hanya sejumlah p partai ini yang berhak mendapatkan pembagian kursi. Untuk daerah pemilihan j yang memiliki jatah kursi Mj partai-i memperoleh suara sebanyak vji maka bisa kita susun pembobotan suara setiap partai di dapil dengan cara membagi setiap perolehan suara vji dengan total suara sah p parpol di suatu dapil(BPP DPR pasal 203(2)) π€ =
π£ β― (π) β π£
Dari pembobotan ini (205(3)) bisa kita bentuk himpunan terurut π = π€ ββπ€ β₯β―β₯π€ ,
π€ = 1 β― (ππ)
Susunan unsur dalam himpunan Sj perlu kita urutkan dari yang terbesar hingga terkecil untuk menunjukkan tingkat prioritas. Bobot yang besar menunjukkan tingkat prioritas dalam pembagian kursi, sehingga jika jumlah kursi lebih sedikit dibanding dengan jumlah partai yang berhak, maka pembagian kursi akan dimulai pada partai dengan bobot terbesar. Dari setiap anggota himpunan Sj (merupakan bobot partai dalam bilangan riil) bisa kita peroleh pemetaan terhadap bilangan bulat yaitu himpunan Gj πΊ = π ββπ β₯β―β₯π ,
π β€ π β― (πππ)
Untuk mendapatkan nilai mji akan dihitung melalui dua tahap, dengan setiap tahap menghasilkan bilangan bulat sebagai jumlah dari kursi π = π + π β― (ππ£) Sehingga jumlah kursi yang diperoleh partai-i di dapil-j pada perhitungan tahap 1,205(3) π = ππ€
β― (π£)
Jika perhitungan tahap 1 ini masih menyisakan sejumlah kursi, πΏ = π β β π , maka akan dilakukan penghitungan tahap 2 dengan cara, mengurutkan bobot sisa suara yang lebih besar atau sama dengan 50% dari BPP, 205(4) π
1, π π€ β π π€ 0
β₯ 0.5 β© π β€ πΏ
β― (π£π)
Dan jika perhitungan tahap 2 ini masih menyisakan kursi, πΏ = π β β π , maka akan dilakukan perhitungan tahap 3 dengan cara mengumpulkan sisa suara dan sisa kursi ke tingkat propinsi, 205(5). Sisa suara setelah perhitungan 1 dan 2 adalah
3
0, π
π =1 β π£ β― (π£ππ) ,π = 0 π
ππ€ β ππ€
Misalkan sejumlah dapil-ji berada dalam propinsi-k, maka kita peroleh himpunan gabungan sisa suara terbobot dan terurut π = π€
ββπ€
>β―>π€ ,
π€
= 1 β― (π£πππ)
π = π :π = π β―π π€ πΊ = π
ββπ
=
β π β β π
β₯β―β₯π , π =
π
π
=π
β― (ππ₯)
πΏ
= βπ π€ β β― (π₯)
Jika pada tahap ke 3 ini masih menyisakan sejumlah kursi, π = π β β π π
1, π π€ β βπ π€ β, π β€ π β― (π₯π) 0
Total perolehan kursi pada tingkat propinsi ini adalah π
=π +π
Sehingga total perolehan kursi partai i adalah penjumlahan perolehan pada tingkat dapil dan propinsi. β³ =
π +
π
Secara umum berdasarkan persamaan (i) hingga (xi) bisa kita definisikan tentang metode pembagian pada UU no.10/2008 Definisi 1. Metode pembagian pada UU no.10/2008 merupakan pemetaan π΄ :π β πΊ π΄ :π β πΊ Dengan sifat
4
π΄ π€
=π
π΄ π€Μ = π
π€ , π = 0.5 π· π€Μ π·
,π = 0
π· β (0, β) π (π₯)
π¦ + 1, π§ > π π¦, π§β€π
π₯ = π¦ + π§, π₯ β₯ 0, π¦ β β, π§ β (0,1) β β Selanjutnya, jika kita bandingkan dengan UU no.12/2003 yang hanya terdiri pada satu tingkat pembagian (dapil) maka bisa kita peroleh definisi 2 tentang UU no.12/2003 Definisi 2. Metode pembagian pada UU no.12/2003 merupakan pemetaan π΄ :π β πΊ Dengan sifat π΄ π€
=π
π€ ,π = 0 π·
Fungsi rq merupakan metode pembagian dengan batas tetap q (q-stationary divisor methods). Nilai q berada dalam rentang [0,1], untuk q=0 merupakan metode pembagian dengan pembulatan ke atas (metode Adams/Hamilton/quota), untuk q=1 merupakan metode pembulatan ke bawah (metode Jefferson), dan q=0.5 merupakan pembulatan standar (metode Webster) (Schwingenschlogl,2007). UU no.10/2008 menerapkan dua metode pembagian yang berbeda yaitu pada tahap II (metode Webster) dan tahap III (metode Hamilton) sedangkan UU no.12/2003 hanya mengunakan metode Hamilton pada tahap II. Pada bagian terakhir paper ini akan mensimulasikan dampak penerapan nilai q pada seluruh rentang [0,1] terhadap perolehan kursi setiap parpol dan munculnya Alabama Paradok. Materi UU no.12/2003 UU no.10/2008 jumlah dapil 69 77 jumlah propinsi 32 33 jumlah kursi 550 560 rentang sebaran kursi (dapil) 3 s.d 12 3 s.d 10 metode: tahap pembagian kursi I&II I,II,&III dapil (I&II) wilayah pembagian dapil propinsi (III) q=0.5 (II) q-stationary div. method q=0 (II) q=0 (III) 5
parliamentaary threshold d
-
2.50%
Table 1. Perb bedaan materi UU U no.12/20033 dengan UU no o.10/2008
3. Analisis 3.1 Perubahan P K Kursi Dataa yang digun nakan dalam m paper ini adalah dataa perolehan suara tahun n 2004. Den ngan melihatt definisi 1, definisi 2 dan tabel 1 terlihat baahwa perubaahan metodee pembagian n tidak hanyya pada caraa opinsi), parliimentary threshold (pt),, pembaggian (q) tetapi juga padaa tingkat peembagian (dapil dan pro jumlah total t kursi (M M). Dengan adanya a perb bedaan meto ode pembagiian ini akan menghasilkaan perolehan n kursi yan ng berbeda, hal ini ditunjjukkan pada gambar 1a. UU##12/2003
UU#10/2008 163 1 128
123 109 57 50 52 45
PELOPOR
PPD
PSI
PANCASILA
00 00 00 20 GOLKAR
PDS
12 0 PDIP
PKS
PKB
PKPB
PNUI
PPDI
PKPI
13 0
20
PBR
52 48 10 10 00
DEMOKRAT
PNBK
PIB
PPP
PDK
50 00 10
00 MERDEKA
11 11 PBB
PBSD
PNI
10 00
57 49
PAN
59 58
Gambar 1aa, Perbedaan perolehan ku ursi setiap parttai pada metode pembagian yang y berbeda. Beberapa B partaai yang memilikki jumlah suaraa kurang daari 2.5% (parlem ment threshold d) langsungkehilangan seluruh h kursinya. Keh hilangan terbessar dialami PBR R dan PDS yangg kehilanggan seluruh kurrsinya. Partai Golkar G mendap patkan penamb bahan kursi paliing besar (35 kursi) disusul PD DIP (14 kursi), P dan PKS (5 kursi). PKB
pan UU no.1 10/2008 berrdampak seccara berbeda terhadap setiap partai politik, hal ini sesuai Penerap dengan Arrowβs Theeorem bahw wa tidak adaa sistem pem milu (metodee pembagian) yang adil. Perbedaan n p U UU ini makiin jelas jika kita bagi paarpol menjad di tiga kelom mpok yakni partai besarr akibat penerapan (kursi>100), partai menengah m (30
6
Pada parpol besar, p penerapan UU U yang baru u menambah h perolehan kursi melam mpaui penam mbahan total 10 kursi (dari 550 dii UU no.12/2 2003 menjad di 560 di UU no.10/2008). Tentu sajaa hal ini dipeeroleh selain n j kurssi yang dip perebutkan bertambah juga akibaat dari berkkurangnya parpol p yangg akibat jumlah memperroleh hak un ntuk mendaapatkan kurssi. Hal ini bissa kita lihat pada hilanggnya seluruh h kursi padaa partai-partai kecil yaang memperroleh total suara s sah kurang dari 2.5 5%. kehilangan terbesar dialami oleh h n PDS. Namun jika kita am mati lebih jauh, keuntun ngan yang dip peroleh oleh h partai Golkar jauh lebih h PBR dan besar dibanding den ngan yang diiperoleh oleh PDIP. Golkkar mendapaat tambahan n kursi seban nyak 35 kursi nya bertamb bah 14 kursi. Kenapa in ni terjadi? Gambar G 1b m menunjukkan n perbedaan n sedangkkan PDIP han sebaran penambahaan kursi anttara Golkar dan PDIP. Meskipun keduanya k sangat berunttung dengan n bahan kursi, namun PDIIP tidak seb beruntung Golkar. G Hamp pir 2/3 dari semua pro opinsi Golkarr penamb mendap patkan tamb bahan kursi dengan reentang antarra 1 sampaai 6 kursi. Sementara PDIP hanyaa mendap patkan tambaahan kursi pada 14 prop pinsi (kurang dari Β½ dari semua s propiinsi) itupun hanya h dalam m rentang 1 sampai 2 kursi. Bahkaan di propinssi Sulsel PDIP P malah kehilangan 1 kurrsi, hal yang tidak terjadi pada partai Golkar.
6 5 4 3
GOLLKAR
2
PDIP P
1 0 -1
1
3
5
7
9
11 13 15 5 17 19 21 1 23 25 27 7 29 31 33
Gambar 1b b, sebaran tambahan kurssi pada tingkatt propinsi antarra partai Golkar dan PDIP. Me eskipun keduan nya mendapatkkan tambahan bahan kursi yan ng diperoleh PD DIP terdapat kursi namun berbedaa dalam jumlah dan sebarannyya. Bahkan darri total penamb pengurangan 1 kursi di prop pinsi Sulsel (no..27).
Untuk partai p menen ngah dampaak penerapan UU no.10//2008 ini menguntungkan sekaliguss merugikan. Mengun ntungkan haanya untuk PKB,PKS, daan PPP. Kettiganya men ndapatkan ttambahan kursi, namun n penamb bahan kursi ini i tidak seb banyak parpo ol besar yang melampau ui 10 kursi (penambahan n kursi). PKSS dan PKB B mendapatkkan tambahan 5 kursi sed dangkan PPP P hanya mend dapatkan 1 kkursi. Demokkrat dan PAN N keduanyya mengalam mi kerugian dengan d kehillangan sejum mlah kursi yaaitu 8 kursi d dan 4 kursi. Pengurangan P n kursi paada parpol m menengah in ni secara hipotesis sebaagai akibat dari penerapan sistem baru q=0.5,, penggab bungan sisa suara s ke tinggkat propinsi, dan penam mbahan kursi nasional (Paaradok Alabaama).
7
Untuk parpol kecil, UU no.10/2008 berdampak sangat merugikan. Hanya pada PBB UU yang baru ini tidak berdampak sama sekali, perolehan kursi tidak berubah. Hampir semua parpol kecil (kecuali PBB) kehilangan seluruh kursinya sebagai akibat penerapan parliamentary threshold pt=2.5% sehingga partai dengan perolehan suara kurang dari 2.5% secara otomatis kehilangan hak untuk mendapatkan kursi. Selanjutnya kemana berpindahnya kursi dari parpol kecil ini? Karena pada parpol kecil tidak ada yang mendapatkan tambahan satu kursi pun berarti kursi dari parpol-parpol kecil ini berpindah ke parpol menengah dan parpol besar. 3.2 Komposisi kursi setiap tahapan
UU no.10/2008 tahap I
tahap II
tahap III
2 41 9 32
0
0
0 PELOPOR
0
PSI
PKPB
0
PPD
PAN
0
PANCASILA
0
GOLKAR
7
82
PDS
0
120
PDIP
0
4 18 5 30 35 15
PBR
0
PNUI
14
PPDI
0
37 PKPI
0
DEMOKRAT
0
PIB
PBB
19
PNBK
PBSD
0
PDK
5 5 1
PPP
0
MERDEKA
0 PNI
34
4
PKS
5 30
PKB
6
Gambar 1c, Penyumbang kursi berdasarkan tahap perhitungan. Kursi yang terbagi pada setiap tahap adalah tahap I (293), tahap II (227), dan tahap III (40). Di tahap I&II Golkar mengumpulkan kursi paling banyak. Hal ini menunjukkan pemberlakuan 50% BPP (Bilangan Pembagi Pemilh) di tahap ke dua sangat menguntungkan Golkar (41 kursi di tahap II), sedangkan pengumpulan suara ke tingkat propinsi menguntungkan PDIP (9 kursi di tahap III).
Jika kita amati lebih detail perolehan kursi pada gambar 1a dengan melihat komposisi perolehan kursi pada setiap tahapan akan kita peroleh faktor yang sangat menentukan perubahan perolehan kursi ini (gambar 1c). Pada tahap I lebih dari separoh total kursi akan terbagai (293 kursi) yang berarti hanya separoh total kursi yang setiap kursinya mewakili (secara penuh) sebanyak BPP pemilih di dapil. Sedangkan pada tahap II terdapat sekitar 40% kursi (227 kursi) akan terbagi, berarti setiap kursi pada tahap ini mewakili paling sedikit separoh dari BPP pemilih di dapil. Dan pada tahap III sebanyak 7% total kursi (41 kursi) akan dibagi pada tingkat propinsi.
8
Hanya pada tahap I saja perolehan kursi Golkar nyaris menyamai (terpaut 3 kursi) perolehan kursi pada seluruh tahap PDIP. Sedangkan perhitungan tahap II makin memperbesar jarak perolehan Golkar dengan partai lainnya. Secara umum Golkar memperoleh hampir 41% kursi (120 kursi dari 293 kursi) dari total kursi yang terbagi di tahap I, bandingkan dengan PDIP yang hanya memperoleh 29% kursi di tahap I. Di tahap I ini pula PKB melebihi perolehan kursi PPP, meskipun pada seluruh tahap PPP unggul 2 kursi. Selain Golkar, PDIP, dan PKB parpol-parpol lainnya memperoleh kursi di tahap I jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tahap II. Kondisi tersebut menunjukkan lebih banyak bobot kursi terpilih yang mewakili kurang dari BPP di setiap dapil dibandingkan dengan bobot kursi yang mewakili secara penuh BPP di setiap dapil. Pada tahap II perolehan kursi lebih menyebar dibandingkan dengan tahap I. Pada tahap II, Golkar memperoleh kursi terbanyak yaitu 41 kursi dari 227 kursi terbagi (18%) disusul PDIP (14%). Pada tahap ini pula PPP menyamakan perolehan kursinya dengan PKB sehingga keduanya pada tahap I dan II memperoleh 53 kursi. Pada tahap III perolehan kursi juga lebih merata. Pada tahap ini PDIP memperoleh kursi terbanyak yaitu 9 kursi dari 40 kursi terbagi (hampir 25%). Sedangkan Golkar memperoleh kursi paling sedikit yaitu hanya 2 kursi (5%). Sementara pada PBB perolehan kursi tahap III ini memberi porsi hampir separoh 5 kursi dari total perolehan kursi 11 kursi. Di tahap ini pula PPP mengungguli PKB sebanyak 2 kursi sehingga total perolehan kursi PPP lebih banyak 2 kursi di banding PKB. Namun demikian, kondisi ini jauh lebih bagus untuk PKB dibanding dengan UU no.12/2003 yang terpaut 6 kursi dengan PPP. Penambahan jumlah kursi selain dari ketentuan pasal 21 (10 kursi lebih banyak dibanding UU no.12/2003) juga berasal dari perolehan gabungan parpol kecil yang tidak lolos PT yakni sebanyak 38 kursi dan juga berasal dari partai menengah yang kehilangan kursi (sebagai akibat penerapan q=0.5, penggabungan sisa suara ke tingkat propinsi, Paradok Alabama) yakni sebanyak 12 kursi. Sehingga total kursi yang diperebutkan oleh parpol sebanyak 60 kursi. Hasil perebutan kursi (dari gambar 1c) menunjukkan bahwa partai Golkar mendapatkan 35 kursi (58%), PDIP 14 kursi (23%), PKB dan PKS 5 kursi (8%) dan PPP 1 kursi(1.6%).
9
Gambar 2 Sebaran perubahan kursi di tingkat propinsi pada setiap parpol berada dalam rentang -3 sampai +6. Penambahan kursi terbesar terjadi pada partai Golkar (no.20) di propinsi jabar (no.12) sebanyak 6 kursi, PDIP dan PKB bertambah 1 kursi. Di propinsi ini pula PPP mengalami kehilangan kursi terbesar yakni sebanyak 3 kursi, disusul PAN 2 kursi, Demokrat dan PDS 1 kursi. Sehingga total kursi yang berpindah di propinsi Jabar sebanyak 7 kursi sedangkan jatah kursi di propinsi Jabar bertambah 1 kursi menurut uu#10 maka total kursi yang berubah di jabar sebanyak 8 kursi.
3.3 Bias antara suara dan kursi Metode pembagian seperti dalam definisi 1 dan definisi 2 bertujuan untuk memetakan perolehan suara menjadi perolehan kursi. Dalam proses pemetaan tersebut terdapat proses pembobotan suara (bilangan riil) yang akan memetakan ke dalam bilangan bulat (jumlah perolehan kursi). Sejauh mana tingkat kesesuaian antara perolehan kursi dengan perolehan suara? Pembagian yang adil jika bias (ketidaksesuaian) antara perolehan suara dengan kursi adalah nol. Misalkan β³ perolehan total partai-i, sedangkan π£ perolehan suara partai-i di dapil-j. maka bias secara nasional sebagai perbedaan antara perolehan kursi β³ dengan proporsi bobot suara terhadap total kursi π€ π πΈ[β³ β π€ π] π€ =
β π£ ,π = β β π£
β³
10
Gambar 3, Secara nasional bias antara kursi dan suara hampir seimbang. Terdapat empat parpol yang memiliki bias negatif dan empat parpol yang memiliki bias positif. Golkar dan PKB berada dalam posisi yang berlawanan. Perolehan kursi Golkar melampaui bobot suara yang diperolehnya secara nasional. Hal tersebut berlawanan dengan PKB, perolehan kursi lebih kecil dibanding bobot suara yang diperolehnya. Perbedaan bias ini terjadi karena metode pembagian berada di tingkat dapil dan propinsi sehingga bias muncul sebagai akibat sebaran suara yang tidak merata.
3.4 Pengaruh q dan pt Nilai q (konstanta pembagi tetap ) dan pt (parliamentary threshold) berpengaruh terhadap parpol secara berbeda-beda. Untuk parpol kecil dengan perolehan suara lebih kecil dibanding pt berdampak pada hilangnya hak untuk mendapatkan kursi. Sementara untuk parpol dengan perolehan suara lebih besar dari pt namun kurang dari 10% maka penerapan nilai q sangat berpengaruh. Berdasarkan gambar 1c penggabungan sisa suara ke tingkat propinsi hanya memberi proporsi yang besar pada PBB (5 dari 11 kursi diperoleh berdasarkan penggabungan sisa suara ke propinsi) sehingga untuk parpol lainnya (jumlah suara lebih besar dari pt) penetapan nilai q menjadi sangat berpengaruh. Dalam proses pembagian kursi ini jika ada parpol yang kehilangan kursi tentu akan ada parpol yang lain yang mendapatkan tambahan kursi. Hal ini terjadi karena tidak ada kursi yang hilang namun berpindah ke parpol lain. Karena jumlah total kursi tidak berkurang bahkan bertambah maka secara umum untuk parpol yang memiliki perolehan suara lebih besar dari PT akan mengalami penambahan kursi (kecuali mengalami Paradok Alabama). Namun pada perhitungan terhadap parpol yang lolos pt ada dua partai yang mengalami kehilangan kursi yakni Demokrat dan PAN. Berkurangnya kursi Demokrat dan PAN disebabkan oleh penerapan nilai q=0.5, penambahan jumlah kursi (Paradok Alabama), dan bukan pada penggabungan suara ke tingkat propinsi. Pada penggabungan sisa suara ke tingkat propinsi kedua parpol ini mendapatkan tambahan 5 kursi (Demokrat) dan 4 kursi (PAN) jauh lebih besar dibandingkan dengan Golkar (2 kursi). Pada gambar 4 nilai optimal untuk partai besar (Golkar dan PDIP) berada pada pt yang mendekati 10%. Dengan menerapkan pt=10% maka parpol yang tersisa untuk mendapat hak kursi hanya tiga parpol yaitu Golkar, PDIP, dan PKB. Golkar dan PDIP mengalami penambahan jumlah kursi dengan naiknya pt mendekati 10% namun untuk perubahan nilai q tidak begitu berpengaruh. Sementara untuk Demokrat perubahan nilai q berpengaruh (gambar 4 kiri bawah) pada perubahan jumlah kursi. nilai optimal perolehan kursi partai Demokrat dengan penerapan UU no.10/2008 sebanyak 50 kursi, nilai ini jauh 11
lebih kecil dibanding penggunaan UU no.13/2003 sebanyak 57. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar sisa suara partai Demokrat pada pembagian tahap II kurang dari setengah nilai kursi.
Gambar 4 Nilai q dan pt berpengaruh secara berbeda terhadap parpol. PBR merupakan partai yang paling dirugikan dengan penerapan pt=2.5% yang berdampak pada hilangnya seluruh kursi yang dimilikinya. Sedangkan untuk Demokrat kehilangan 8 kursi disebabkan oleh penerapan nilai q dan Paradok Alabama. Untuk parpol dengan perolehan suara di atas 10% seperti Golkar dan PDIP penerapan nilai pt yang tinggi sangat menguntungkan. Kondisi optimal ke dua partai ini tercapai dengan menerapkan pt yang mendekati 10%, sedangkan nilai q tidak berdampak dalam pencapaian nilai optimum.
3.5 Paradok Alabama (PA) Metode pembagian pada prinsipnya akan melakukan pembulatan dari bobot suara menjadi bilangan bulat berdasarkan jatah kursi yang ada. Paradok terjadi ketika penambahan jatah kursi malah mengakibatkan berkurangnya kursi pada suatu parpol atau dapil. Paradok demikian dikenal sebagai Paradok Alabama atau Alabama Paradox [βMandatszuwachsparadox]. Pada bagian ini akan ditunjukkan kehadiran Alabama Paradox pada parpol dengan menggunakan metode pembagian UU no.10/2008. Misalkan bobot perolehan suara parpol dalam suatu dapil adalah
12
π β ππ(π) = π β β
π =1
Paradok Alabama untuk penambahan 1 kursi didefinisikan sebagai π β π΄π β ββ β π΄ (β + 1)π
< π΄ βπ
Saari menjamin bahwa hampir semua π β ππ(π), π β₯ 3 mengalami Paradok Alabama untuk suatu jatah kursi tertentu (Saari,1994). Pengujian terhadap UU no.10/2008 dengan cara membandingkan antara jatah kursi h dengan menambah jatah 1 kursi menjadi h+1 untuk setiap dapil menunjukkan hadirnya PA (gambar 5).
Gambar 5, Kehadiran Paradok Alabama pada UU no.10/2008. Angka pada kontur merupakan jumlah parpol yang mengalami PA di tingkat propinsi. Jumlah munculnya PA bervariasi dari 1 sampai 5. Jumlah tertinggi muncul pada sekitar q=0.5 dan pt=0.
Variabel pt dan q sangat berpengaruh memunculkan PA. Pada beberapa bagian, misalnya pada 0.02 < ππ‘ < 0.06 dan π < 0.3 PA tersebut tidak muncul. Namun ketidakmunculan ini bukan berarti metode pembagian ini lolos dari PA. Pada jatah kursi yang disediakan dengan ketentuan diatas (kursi dapil+1) PA tidak muncul namun pada jatah kursi yang lain PA pasti muncul (teorema 4.3.1 ,Saari 1994). Kehadiran PA menandai bahwa penambahan jumlah kursi tidak berbanding linier dengan perolehan kursi sebelumnya. Penambahan kursi bisa mengurangi perolehan kursi pada suatu parpol, pada PAN dan Demokrat, seperti penjelasan sebelumnya, terjadinya pengurangan jumlah kursi selain diakibatkan oleh penerapan q=0.5 juga sebagai akibat penambahan jumlah kursi (paradok). Penambahan kursi menjadi 13
sangat merugikan bagi parpol yang memperoleh kursi berdasarkan pembulatan bilangan. Dengan menambah kursi maka bisa mengakibatkan bilangan pecahan dari parpol menjadi lebih kecil sehingga tidak mendapatkan jatah kursi. PA pada UU no.10/2008 di tahap III terjadi pada perubahan dari 8 menjadi 9 kursi di propinsi Banten. Partai Golkar yang sebelumnya mendapat jatah 1 kursi menjadi kehilangan kursi ketika jumlah kursi bertambah 1 buah. Hilangnya 1 kursi partai Golkar dan bertambahnya jatah 1 kursi akhirnya berpindah ke PKB dan PDIP. Deskripsi terjadinya PA pada tabel 2 menunjukkan metode pembagian dengan melakukan pembulatan terhadap perkalian antara jatah kursi dengan bobot suara (kolom βminβ), dari pembulatan ini diperoleh sisa bobot masing-masing parpol (kolom βHamiltonβ). PA terjadi pada partai Golkar karena perolehan kursi Golkar merupakan pembulatan dari bilangan pecahan sekaligus pecahan tersebut merupakan bobot terbesar diantara partai lainnya (setelah dilakukan pembulatan). Ketika jumlah kursi bertambah maka bobot Golkar terhadap 9 kursi menjadi lebih besar dari semula namun besarnya bobot ini menjadi lebih kecil dari sisa bobot pecahan partai lainnya. Sehingga sisa dua kursi lainnya menjadi tambahan buat PKB dan PDIP. pt=10%,q=0.5, Prop=Banten kursi=8 partai suara bobot 8xbobot min Hamilton PKB 14551 0.177456 1.419651 1 1 PDIP 62241 0.759066 6.072526 6 6 Golkar 5205 0.063478 0.507823 0 1
kursi=9 9xbobot min Hamilton 1.597107 1 2 6.831592 6 7 0.571301 0 0
Table 2, Paradox muncul saat jumlah kursi bertambah satu, dari 8 menjadi 9. Golkar yang sebelumnya mendapat 1 kursi akan kehilangan kursinya jika jumlah kursi bertambah.
3.6 Diskusi: PA dalam teori chaos (quasi-chaos) Pembagian kursi dengan metode pembagian merupakan perkalian antara bobot suara (p) dengan jatah kursi (h), untuk jatah kursi secara umum h=t maka metode pembagian bisa ditulis sebagai π‘π, π‘ β [0, β) Misalkan satu unsur menghasilkan bilangan bulat (misalkan parpol m) yang menggambarkan perolehan kursi maka persamaan di atas bisa ditulis π‘π =
π (π , β― , π π
,π )
Hadirnya Paradok Alabama berkaitan dengan sisa hasil perkalian tersebut (hp) yang merupakan pembagian kursi pada tahap sebelumnya (tabel 2). Jadi untuk memahami hadirnya PA perlu melihat sisa bobot dari pembagian kursi sebelumnya. Misalkan hasil perkalian bobot suara dengan jumlah kursi menghasilkan bilangan 3.142 dan 0.142 maka kedua bilangan tersebut memiliki sisa bobot yang sama yaitu 0.142. Dan bilangan inilah yang akan menjadi dasar dalam pembagian pada tahap selanjutnya. 14
Saari secara teoritis membangun torus berdimensi-m untuk menggambarkan hadirnya PA dalam metode pembagian yang melibatkan m-peserta (parpol/dapil) (Saari,1994). Torus dipilih untuk menggambarkan sisa pembagian secara utuh. Dari sisa pembagian bobot suara yang digambarkan secara geometris dalam bidang x dan y maka dengan torus bobot sisa pembagian tersebut akan membentuk garis pararel yang mengelilingi permukaan torus. Semakin dekat garis pararel tersebut maka peluang untuk melintasi daerah PA semakin besar. Gambar 6(kiri) menggambarkan perbedaan lintasan garis pada torus antara jumlah pemilih 1000&2000 dengan 1001&2000. Berdasarkan persamaan ii bisa ditulis menjadi π=
(1000) dan π =
(1001). Hanya berselisih 1 pemilih saja perilaku p menjadi sangat
berbeda. Pada pemilih (1000&2000) sisa bobot suara akan berfluktuasi hanya pada dua titik yaitu 0 dan 0.5 sedangkan ketika pemilih bertambah 1 menjadi (1001&2000) sisa bobot suara berfluktuasi sangat banyak. Hal tersebut akan berdampak pada kerapatan garis yang melalui torus. Pada penambahan 1 orang pemilih sisa bobot suara berfluktuasi menjadi lebih banyak dan mendorong munculnya PA.
Gambar 6, Sensitif kondisi awal pada sisa bobot suara. Perubahan 1 pemilih berakibat pada fluktuasi garis pada torus (kiri) dan fluktuasi sisa suara pada shift map. Fluktuasi garis pada torus mengakibatkan kerapatan garis paralel pada torus sehingga berpeluang besar untuk menghadirkan PA. Warna merah untuk jumlah pemilih (1000&2000), warna biru untuk jumlah pemilih (1001&2000)
Jika Saari melakukan perumuman metode pembagian dengan melihat kerapatan garis paralel pada torus maka dengan cara lain bisa dilihat terjadinya PA melalui shift map. Shift map menjadi pilihan karena memiliki pemetaan yang sama dengan metode pembagian, yaitu sisa bobot perkalian akan digunakan sebagai dasar pembobotan selanjutnya. Terjadinya PA pada metode pembagian yaitu pada tahap perhitungan sisa bobot suara. Secara umum untuk suatu bobot suara pn akan menghasilkan sisa bobot suara pn+1 yang bisa ditulis sebagai ππ
π
= f(ππ )
Tentu saja untuk metode pembagian kursi pemetaan fungsi tersebut sangat terbatas pada iterasinya (tahap II&III pada UU no.10/2008 dan tahap II pada UU no.12/2003). Namun untuk melihat sejauh mana pengaruh perubahan jumlah pemilih (bobot suara awal) terhadap perolehan kursi maka perlu dilakukan
15
perhitungan terhadap seluruh kemungkinan sisa bobot suara. Pada shift map hal ini dilakukan dengan melihat perilaku semua sisa bobot suara terhadap jumlah kursi tertentu (t) yang bisa ditulis sebagai ππ
π
= tππ (mod 1)
Sisa bobot suara pn+1 merupakan hasil perkalian dengan t kursi sebelumnya. Untuk perubahan jumlah permilih dari 1000&2000 menjadi 1001&2000 yang berarti hanya bertambah 1 pemilih maka terjadi fluktuasi sisa bobot suara (gambar 6 kanan). Dengan jumlah suara 1000&2000 maka sisa bobot suara akan berakhir pada nilai 0 untuk setiap iterasi sedangkan penambahan 1 pemilih menjadi 1001&2000 akan berakibat pada hadirnya fluktuasi sisa bobot suara. Secara teoritis hadirnya chaos pada shift map diakibatkan pada pemilihan nilai awal yang irasional (Isham,1993). Pada kasus perubahan suara di atas, bobot suara awal berubah dari 1000β2000 menjadi 1001β2000 perubahan ini meskipun tidak sampai merubah menjadi bilangan irasional namun membuat pecahan bilangan menjadi lebih panjang, hal yang mendorong perilaku mirip chaos. Pada tabel 2, pembobotan berdasarkan perolehan suara masingmasing parpol akan menghasilkan bilangan rasional. Namun dengan menambah tahap pembagian kursi (dengan mengalikan jumlah kursi) akan membuat sifat rasional ini makin bergerser ke irasional. Semakin jauh dari rasional (semakin susah untuk ditulis dalam bentuk pembagian dua bilangan bulat) akan berakibat munculnya chaos pada shift map. Kedua pendekatan (gambar 6) terhadap perubahan jumlah pemilih menggambarkan sensitivitas pada kondisi awal. Perubahan sedikit pada jumlah pemilih berakibat sangat besar pada sisa bobot suara. Tingginya fluktuasi sisa bobot suara mengakibatkan tingginya kerapatan garis paralel pada torus yang pada akhirnya mengakibatkan tingginya peluang untuk mengalami PA. Hadirnya sifat sensitif kondisi awal pada metode pembagian memunculkan konsep quasi-chaos pada metode pembagian(Geller,2005). Meskipun sifat sensitive kondisi awal muncul dalam metode pembagian namun hal ini tidak menjadikan metode pembagian bersifat chaos karena terbatasnya iterasi pada metode pembagian yang tidak memenuhi definisi sistem dinamis. Pada beberapa kasus sifat quasi-chaos ini muncul pada single trasferable vote (STV) (Miller,2007, Geller,2005). 4. Kesimpulan dan Pengembangan Lanjut Perubahan metode pembagian dalam UU no.10/2008 berdampak pada distribusi kursi setiap parpol. Untuk parpol kecil (kecuali PBB) penerapan ini menghilangkan seluruh perolehan kursinya karena memiliki perolehan suara kurang dari pt=2.5% dari total suara yang sah. Khusus untuk PBB penerapan UU yang baru ini tidak membawa pengaruh apapun, perolehan kursinya tetap 11. Untuk partai menengah, penerapan UU yang baru ini berdampak menguntungkan sekaligus merugikan. Menguntungkan pada PKB,PKS yang masing-masing mendapat tambahan 5 kursi dan PPP 1 kursi. Merugikan pada Demokrat dan PAN yang masing-masing kehilangan 8 dan 4 kursi. kehilangan kursi pada partai menengah ini sebagai akibat penerapan bilangan q=0.5 sebagai batas bawah pembulatan untuk satu kursi di tahap II dan terjadinya Paradok Alabama. Sedangkan untuk parpol besar (kursi>100) penerapan UU yang baru ini sangat menguntungkan. Baik Golkar maupun PDIP mendapat tambahan kursi lebih besar dari 10 kursi (jumlah kursi tambahan pada UU yang baru ini). Meskipun sama-sama mendapat keuntungan dengan penambahan jumlah kursi namun penambahan yang didapat partai 16
Golkar (35 kursi) hampir dua kali lipat daripada yang diperoleh PDIP(14 kursi). Keuntungan yang besar pada Golkar ini disumbang di hampir 2/3 propinsi (20 dari 33 propinsi), sementara pada PDIP hanya disumbang kurang dari separoh propinsi (14 dari 33 propinsi). Bahkan penambahan kursi ini harus ditebus oleh PDIP dengan hilangnya satu kursi di propinsi Sulsel. Hampir sebagian besar kursi terbagi pada tingkat dapil (520 dari 560 kursi) yang merupakan pembagian tahap I&II dan sisa 40 kursi terbagi pada tingkat propinsi yang merupakan pembagian tahap III. Pembagian 40 kursi di tingkat propinsi merupakan penggabungan sisa suara dan kursi di tingkat dapil. Hal ini menunjukkan bahwa bilangan pembagi q=0.5 berperan sangat besar dalam melakukan distribusi kursi di tingkat dapil dibanding dengan pengumpulan sisa suara dan kursi di tingkat propinsi. Hampir seluruh perolehan kursi Golkar diperoleh dari tingkat dapil/tahap I&II (120&41) dan sebagian kecil diperoleh dari tingkat propinsi (2 dari 163). Hal ini menunjukkan bahwa penerapan bilangan q=0.5 sangat menguntungkan untuk Golkar sedangkan penggabungan sisa suara dan kursi ke tingkat propinsi tidak banyak berpengaruh pada Golkar. Dari 40 kursi yang akan terbagi di tingkat propinsi PDIP memperoleh jumlah terbesar hampir seperempat (9 dari 40) hal ini menunjukkan bahwa sisa suara PDIP di tingkat dapil (setelah perhitungan tahap I&II)cukup besar namun kurang dari 0.5 BPP dan tersebar dibanding partai lainnya. Sementara untuk PBB hampir separoh perolehan suaranya disumbang dari tingkat propinsi, hal ini menunjukkan bahwa penentuan bilangan q=0.5 merugikan namun tertolong oleh penghitungan tingkat propinsi. Demokrat dan PAN mengalami kerugian dengan kehilangan sejumlah 8 dan 4 kursi sebagai akibat penetapan bilangan q=0.5 dan penambahan kursi (Paradok Alabama). Perhitungan tahap I&II yang menggunakan bilangan q=0.5 pada semua parpol yang mendapat keuntungan (kecuali PPP dan PBB)dalam penerapan UU no.10/2008 pada tingkat dapil telah memiliki jumlah kursi yang sama atau lebih besar dibanding perolehan kursi pada uu no.13/2003. Sehingga perhitungan tahap III yang menggabungkan perolehan suara dari tingkat dapil ke tingkat propinsi merupakan bonus dan makin menguntungkan karena pasti menambah jumlah perolehan suara serta tanpa resiko mengurangi perolehan kursi sebelumnya. Meski hanya ada penambahan 10 kursi pada UU no.10/2008 namun perpindahan kursi mencapai 60 kursi dengan rincian 38 kursi dari parpol yang tidak lolos pt, 12 kursi dari hilangnya kursi Demokrat dan PAN, dan tentu saja dari penambahan 10 kursi (pasal 21). Dari perpindahan 60 kursi tersebut partai Golkar mendulang keuntungan paling besar dengan mendapatkan 35 kursi (58%), PDIP 14 kursi (23%), PKB dan PKS 5 kursi (8%) dan PPP 1 kursi(1.6%). Ditingkat propinsi perubahan suara paling besar terjadi pada Golkar(+6) dan PPP(-3). Penambahan tertinggi di tingkat propinsi dialami partai Golkar dengan 6 kursi di propinsi Jabar. Penambahan ini dibayar oleh PPP dengan kehilangan 3 kursi di propinsi tersebut. Bias suara dengan kursi terjadi pada parpol di tingkat nasional. Di tingkat ini Golkar mengalami bias positif yang berarti perolehan kursinya melampau bobot suaranya. Hal ini berlawanan dengan PKB yang mengalami bias negatif yang berarti perolehan kursinya lebih kecil dibanding dengan bobot suaranya. Hal ini terjadi karena suara PKB terkonsentrasi pada wilayah tertentu yakni propinsi Jatim yang tidak 17
diimbangi di daerah lainnya. Sifat serupa terjadi pada PBB yang memiliki bias negatif relatif besar. Sementara pada Golkar, besarnya perolehan kursi yang melebihi perolehan suara menunjukkan bahwa suara Golkar tersebar hampir secara merata pada tingkat dapil dengan bobot yang cukup gemuk (sisa bobot di tahap II melebihi q=0.5). Variabel pt dan q berpengaruh secara berbeda terhadap partai. Untuk partai kecil nilai pt jadi penghalang untuk mendapatkan hak perolehan kursi. Sementara nilai q berpengaruh pada semua partai. Nilai q membawa pengaruh positif (penambahan kursi) pada partai yang memiliki sisa bobot suara gemuk (bilangan pecahan lebih besar dari q=0.5) dan sangat merugikan pada partai dengan sisa bobot suara kecil. Penambahan 1 kursi di tiap dapil mengakibatkan Paradok Alabama di hampir separoh kondisi 0 β€ ππ‘ β€ 0.1 dan 0 β€ π β€ 1. Kehadiran PA menandai bahwa penambahan jumlah kursi tidak berbanding linier dengan perolehan kursi sebelumnya. Penambahan kursi menjadi sangat merugikan bagi parpol yang memperoleh kursi berdasarkan pembulatan sisa bilangan. Hadirnya PA menandai bahwa sistem pemilihan apapun tidak akan menghasilkan sesuatu yang adil. Hal ini telah dijamin oleh Arrowβs theorem dan teorema 4.3.1 Saari (Saari, 1994). Meskipun Arrowβs theorem menjamin kemustahilan sistem pembagian yang adil namun optimasi yang memperkecil perolehan jumlah suara dan jumlah kursi bisa terus dilakukan. Upaya ini mirip dengan menyelesaikan m-persamaan dengan n-variable yang tidak diketahui, π β₯ π (Saari, 1994).
Daftar Pustaka Bradberry, B.A, 1992. A Geometric View of Some Apportionment Paradoxes. Mathematics Magazine, Vol. 65, No. 1, (Feb.,1992), pp. 3-17. Geller, Chris.,2004. Single transferable vote with Borda elimination: proportional representation, moderation, quasi-chaos and stabilityq.2004 Elsevier.doi:10.1016/j.electstud.2004.06.004. Gaffke, N., Pukelsheim, F., Divisor methods for proportional representation systems: An optimization approach to vector and matrix apportionment problems. Mathematical Social Sciences (2008), doi:10.1016/j.mathsocsci.2008.01.004. Isham, Valerie.,1993. Statistical aspects of chaos: a review (Network and Chaos-Statistical and Probabilistic Aspects (Chapter 3). Chapman&Hall. McKean, M., Scheiner, E. Discussion Japanβs new electoral system: la plus cΒΈa change . . . Electoral Studies 19 (2000) 447β477. Elsevier Science Ltd. PII: S02 61 -3794(99)00026-8. Miller, Nicholas R. The butterfly effect under STV.2006 Elsevier. doi:10.1016/j.electstud.2006.10.016. Niemeyer, H.F., Niemeyer, A.C., Apportionment methods. Mathematical Social Sciences(2008), doi:10.1016/j.mathsocsci.2008.03.003. 18
Saari, D.G.(1994) Geometry of Voting. Springer-Verlag. Saari, D.G. Chaos, but in Voting and Apportionments? .Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, Vol. 96, No. 19, (Sep. 14, 1999), pp. 10568-10571. Saari, D.G., Sieberg, K.K.The Sum of the Parts Can Violate the Whole.The American Political Science Review, Vol. 95, No. 2, (Jun., 2001), pp. 415-433. Schwingenschlogl, Udo. Probabilities of majority and minority violation in proportional representation. 2007 Elsevier B.V. doi:10.1016/j.spl.2007.04.024. Tabarrok, A. President Perot or fundamentals of voting theory illustrated with the 1992 election. Public Choice 106: 275β297, 2001. Β© 2001 Kluwer Academic Publishers. Printed in the Netherlands. Seknas JPPR. UU No.10/2008. www.jppr.or.id Data perolehan suara. http://kpu.go.id
19