WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Siska Novrianti NIM.1110045100002
KONSENTRASI PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H/2014 M
WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAII AGAMA (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VV2008) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV) Oleh:
Siska Novrianti
NrM.
1110045100002
Di Bawah Bimbingan: Pembimbing
Drs. M. Arskal Salim GP. MA. Ph.D
NIP. 19700901 199603
1003
KONSENTRASI PIDANA ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA t43s Ht20t4 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
SkTipsibeljudul..WACANAPE,MBERLAKUANHUKUMPIDANAISLAM pERADILAN AGAMA (Anarisis putusan DALAM K'MpETENSI ABSOLUT diujikan dalry.sldanq Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VV2008)" telah
Islam Negeri (UIN).Syarif Munaqasyah pakuttas syari'ah dan Hukum universitas diterima sebagai salah telah ini Hidayatullah Jakarla p,idu zz Juni 2014. Skripsi pada Program Studi Jinayah satu syarat m"mperoleh gelar Sarjana SyariahlS.Sy) Siyasah, Konsentrasi Pidana Islam'
hkarta,28 Jwi20t4 Mengesahkan,
o.f.aq fEku,lt|#iaf 'ah dan Hukum
")l l\'l lvlllsllllllll.
lYl,{
q680812 199903 l0
PANITIA UJIAN 1. Ketua
:
Dr. Asmalvi. M.As NIP. 1972 10101997031008
2. Sekretaris
:
Afwan Faizin. M.A NIP. 197210262003121001
3. Pernbimbing
Drs. M. Arskal Salim GP.l NrP. 19700901 r99603 1003
:
4. Penguji I
:
Dr. Rumadi. M.Ae NIP. 196903041997031012
5. Penguji II
:
Afwan Faizin. M.A NIP. 1972 10262003121001
l4
ABSTRAK
Siska Novrianti, NIM 1110045100002, “WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008) ”, Konsentrasi Pidana Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M, x halaman + 78 halaman+ halaman lampiran. Pemberlakuan hukum pidana Islam masih terus diwacanakan di tengah-tengah masyarakat Plural Indonesia. Salah satunya adalah permohonan judicial review UU Peradilan agama kepada Mahkamah Konstitusi terkait kompetensi absolut Peradilan Agama. Skripsi ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana putusan MK tersebut dan untuk mengetahui pemberlakuan sejumlah aspek hukum pidana Islam yang ada di Indonesia serta bagaimana peluang pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia melalui analisis putusan MK No. 19/PUU-VI/2008. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif analitis dengan teknik pengumpulan data library research yang mengkaji berbagai dokumen terkait dengan topik penelitian. Serta menggunakan kerangka teori analisis Din Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia dan juga menggunakan pendekatan-pendekatan politik hukum. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sejumlah aspek pemberlakuan hukum pidana Islam pernah diberlakukan dalam sejarah bangsa Indonesia dari masa kerajaan hingga pasca kemerdekaan. Dan bahwa Indonesia sebagai negara dengan paradigma relasi agama-negara Simbiotiknya membuka peluang pemberlakuan hukum pidana Islam untuk masuk ke dalam sistem hukum nasional dalam hal ini lembaga Peradilan Agama sebagai Institusi penegak hukumnya. Yang mana hal ini tentu sangat bergantung kepada proses-proses politik di Indonesia.
Kata Kunci
: Hukum Pidana Islam, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008, Undang-undang
Pembimbing
: Drs. M. Arskal Salim GP, MA. Ph.D
Daftar Pustaka
: Tahun 1987 s.d Tahun 2013
LEMBAR PBRNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa
1.
:
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1
di Universitas Islam
Negeri (LIIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
ini
telah
saya
di Universitas Islam
Negeri (LIIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. a -'t -
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari hasil karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (LIIN) Syarif Hidayafullah Jakarta.
Siska Novrianti
بسم ا اهلل ا الر حمن ا لر حيم KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Dialah sumber dari segala kekuatan yang memampukan penulis dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008)”. Shalawat serta salam juga penulis curahkan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan pengikutnya yang telah membawa umat manusia menuju zaman yang terang benderang. Selama proses penulisan skripsi ini, penulis banyak sekali mendapat bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat: 1. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. 2. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. JM Muslimin, MA. 3. Ketua Program Studi Jinayah Siyasah, Bapak Dr. Asmawi, M.Ag. Serta Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah, Bapak Afwan Faizin, M.A. 4. Dosen Pembimbing Skripsi, Bapak Drs. M. Arskal Salim GP, MA, Ph.D, yang telah membimbing, mendukung dan mengajarkan penulis dalam
vi
membuat sebuah karya tulis ilmiah yang baik, serta respon beliau yang ramah dan mau mendengar segala pendapat maupun keluhan terkait skripsi penulis. 5. Pimpinan Perpustakaan yang telah memberikan kontribusi langsung kepada penulis dalam penyelesaian karya tulis. 6. Kepada Dosen Penasehat Akademik, Bapak Dr. Rumadi yang telah memberi masukan judul skripsi dan kepada Bapak Dr. Khamami Zada yang juga telah membantu memberikan referensi skripsi penulis, serta para dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 7. Tidak lupa penulis ucapkan rasa terimakasih yang begitu teristimewa kepada ayahanda Ramadhan Tanjung dan ibunda Rosnani yang telah mencurahkan hampir seluruh hidup mereka dalam mendidik penulis menjadi manusia yang InsyaAllah akan dapat menjadi aset kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat kelak. Serta kedua kakak penulis, Arni Rosmadhani dan Putri Nandasari yang juga telah memberikan dukungan moril dan materil dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga tentu tidak lupa kepada seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan doa dan dukungannya. 8. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada seluruh teman-teman, sahabat-sahabat terbaik yang berada dalam Unit Kegiatan Mahasiswa Foreign Language Association (FLAT), KKN DEFOS 2013, tidak lupa kepada Moot Court Community (MCC) Fakultas Syariah dan Hukum, serta
vii
tentunya kepada All Crew NAPI (aNAk-anak Pidana Islam 2010) yang terus memotivasi penulis menjadi salah satu mahasiswi “terbanyak nanya” pada saat mata kuliah berlangsung. Terlebih kepada para sahabat-sahabat yang tidak bisa diucapkan satu persatu yang selalu membantu penulis dalam menuntut ilmu di kampus ini. Semoga kita semua dapat meraih masa depan yang gemilang kelak. Juga penulis ucapkan terimakasih atas doa dan dukungannya dari adik-adik kelas di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang mengenal penulis. 9. Ucapan terimakasih penulis yang terakhir, tentunya kepada pihak-pihak yang mengenal penulis dan tidak bisa penulis uraikan satu persatu. Wassalamu’alaikum Wr, Wb
Jakarta, 15 Mei 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
vi
DAFTAR ISI
ix
BAB I
PENDAHULUAN
1
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
4
C. Tujuan dan Manfaat penelitian
6
D. Tinjauan Pustaka
8
E. Metode Penelitian
12
F. Sistematika Pembahasan
14
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA
16
A. Istilah Hukum Pidana di Indonesia
16
B. Istilah Hukum Pidana Islam
21
BAB II
BAB III
ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA
28
A. Pada Masa Kerajaan Aceh
28
B. Pada Masa Kolonial Belanda
35
C. Pada Masa Pasca Kemerdekaan
39
ix
BAB IV
ANALISIS
PUTUSAN
19/PUU-VI/2008
MAHKAMAH
TERKAIT
WACANA
KONSTITUSI
NO.
PEMBERLAKUAN
HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT
BAB V
PERADILAN AGAMA
45
A. Profil Singkat Mahkamah Konstitusi
45
B. Duduk Perkara
48
C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi
51
D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi
53
E. Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia
61
PENUTUP A. Kesimpulan
69
B. Rekomendasi
70
DAFTAR PUSTAKA SALINAN PUTUSAN LAMPIRAN
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).1 Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan Negara Hukum Pancasila. Salah satu pokok dalam Negara Hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap Freedom of Religion atau kebebasaan beragama.2 Ini sejalan dengan apa yang telah diamanatkan oleh UUD NRI 1945 bahwa negara telah menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk dan menjalankan ibadah agamanya masingmasing.3 Lebih dari itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara Muslim terbesar di dunia. Namun uniknya Indonesia bukanlah sebuah negara Islam4. Meskipun demikian, masyarakat Muslim Indonesia sudah memiliki dasar yang kuat untuk memberlakukan ketentuan hukum perdata Islam di tengah masyarakatnya. Kedudukan hukum Islam dalam bidang keperdataan telah terjalin secara luas dalam hukum positif. Baik hal itu sebagai unsur yang mempengaruhi atau sebagai modifikasi norma agama yang dirumuskan dalam peraturan perundang-
1
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, (Jakarta:Prenada Media, 2003), h. 91. Ibid, h. 93. 3 Lihat Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. 4 A. Ubaedillah, Dkk, Pendidikan Kewargaaan (Civic Education), edisi ke-III, (Jakarta:ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 97. 2
1
2
undangan ataupun yang tercakup dalam lingkup substansial dari Undangundang Peradilan Agama.5 Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan yang berwenang menegakkan hukum dan keadilan yang ruang lingkup dan batas kompetensinya telah ditentukan oleh Undang-Undang.6 Maka dari itu Peradilan Agama sering dikenal sebagai lembaga pencari keadilan bagi yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.7 Dari catatan sejarah yang terpencar-pencar, dapat disimpulkan bahwa keberadaan Peradilan Agama di Indonesia telah dimulai sejak berdirinya berbagai kerajaan Islam.8 Awal eksistensi Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia mulai terlihat setelah disahkan dan diundangkannya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian menyusul UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.9
5
A.Malik Fajar,”Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif”, dalam M. Arskal Salim GP dan Jaenal Aripin, ed., Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2001), h. 15. 6 Lihat Pasal 25 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 7 Lihat Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo.UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama 8 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan prospeknya, (Jakarta:Gema Insani Press, 1996), h. 133. 9 Cik Hasan Bisri, Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cet.I, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1997), h. 43.
3
Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama itu merupakan peristiwa penting bukan hanya bagi pembangunan perangkat hukum nasional, melainkan juga bagi umat Islam di Indonesia. Sebabnya adalah, dengan mengesahkan undang-undang itu, semakin mantaplah kedudukan peradilan agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita.10 Hal ini juga merupakan langkah awal pemberlakuan hukum Islam di Indonesia melalui hukum positif. Namun sampai pada masa Orde Baru,
kewenangan yang dimiliki
Peradilan Agama baru menyangkut sebagian kecil dari persoalan kehidupan umat Islam, yakni dalam bidang hukum keluarga; nikah, cerai/talak, waris, wasiat dan wakaf. Hingga memasuki Era Reformasi, Peradilan Agama mendapat kewenangan baru yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang; zakat, infaq, sedekah serta Ekonomi Syariah.11 Namun tidak menyangkut bidang hukum pidana Islam (Jinayah). Mengingat keterbatasan wewenang tersebut, rupanya ada pemikiran dan inisiatif dari warga negara Indonesia yang mencoba melakukan perluasan wewenang Peradilan Agama dalam bidang hukum pidana Islam (Jinayah). Meskipun hukum pidana Islam masih dapat diakui secara konstitusional sebagai hukum, namun hukum pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini adalah yang terkandung dalam KUHP. Sebagai contoh, dalam hukum pidana Islam ada ketentuan hukuman rajam bagi pelaku zina yang sudah
10
K.H Abdurrahman Wahid, dkk, Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran dan Praktek, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya, 1991), h. 77. 11 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2008) h. 13.
4
menikah. Apabila hukuman rajam itu dilakukan tanpa adanya payung hukum berupa perundang-undangan yang mengaturnya dan tanpa institusi penegak hukum yang sah, maka jika dilihat dari dari tinjauan politik hukum, eksekusi rajam tersebut dapat dianggap melanggar hukum positif. Oleh karna itu berbagai macam cara dilakukan oleh sebagian masyarakat untuk mewujudkan hukum pidana Islam di Indonesia. Salah satu inisiatif untuk menjadikan hukum pidana Islam ke dalam hukum positif adalah dengan mengajukan permohonan Judicial Review terhadap pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama kepada Mahkamah Konstitusi. Untuk itu, dengan latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang terkait bagaimana wacana pemberlakuan hukum pidana Islam yang berkembang di Indonesia melalui analisis putusan Mahkamah Konstitusi secara mendalam terkait undang-undang Peradilan Agama. Hal ini akan penulis ungkap ke dalam sebuah penelitian skripsi yang berjudul “Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008)”
B. Batasan dan Perumusan Masalah Agar dalam pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis pada tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis perjelas tentang pokok-pokok bahasan dengan memberikan pembatasan dan perumusan masalah.
5
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam penelitian ini penulis melakukan pembatasan yang meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Hukum Pidana Islam yang penulis maksud ialah hukum pidana Islam yang juga merupakan terjemahan dari kata fiqh jinayah yang berarti segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Al-Qur’an dan Hadits.12 Tindakan kriminal yang dimaksud adalah tindakan-tindakan kejahatan yang mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits.13 Hukum pidana Islam mengenal ada tiga macam ketentuan pidana atau jarimah, istilah yang sekaligus juga menyebut nama hukumannya yaitu hudud, qishahsh diyat dan ta’zir.14 2. Putusan Mahkamah Konstitusi yang penulis maksud ialah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 terkait permohonan Judicial Review pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
12
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta:Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992), h. 86. 13 Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), h. 1. 14 Jarimah Hudud ialah jarimah yang diancamkan hukuman had, yaitu hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah. Jarimah hudud ada tujuh yaitu: zina, qadzaf,minum khamr, mencuri, perampokan, murtad dan pemberontakan. Jarimah Qishas Diyat adalah jarimah yang diancamkan hukuman qishas atau hukuman diyat, yaitu hukuman yang telah ditentukan batasnya. Jarimah qishas diyat ada lima yaitu: pembunuhan sengaja, pembunuhan semi sengaja, pembunuhan karena alpa, penganiayaan sengaja dan penganiayaan tidak sengaja. Sedangkan jarimah ta’zir ialah jarimah yang diancamkan hukuman ta’zir, yaitu hukuman yang diserahkan kepada penguasa. Kategori jarimah ta’zir adalah jarimah selain jarimah hudud dan qishas diyat. Lihat A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 7.
6
3. Institusi Penegak Hukum yang penulis maksud ialah Lembaga Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Peradilan Agama.15 Dalam hal ini tidak termasuk Mahkamah Syari’ah yang merupakan peradilan khusus dalam Undang-undang peradilan agama. Dari pembatasan masalah di atas, rumusan masalah yang dapat diuraikan dalam skripsi ini menjadi 3 (tiga) sub masalah yaitu : 1. Apa saja aspek-aspek hukum pidana Islam yang sudah pernah diberlakukan di Indonesia pada masa Kerajaan Aceh, masa Kolonial Belanda dan masa pasca Kemerdekaan ? 2. Bagaimana isi putusan MK No. 19/PUU-VI/2008 dan mengapa putusan tersebut tidak dapat memperluas kompetensi Absolut Peradilan Agama sebagaimana diharapkan pemohon judicial review ? 3. Mungkinkah suatu waktu nanti hukum pidana Islam dilaksanakan oleh Peradilan Agama di masa depan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan merumuskan dan menjelaskan bagaimana wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam kompetensi absolut Peradilan Agama. Secara spesifik penelitian ini bertujuan : 15
Agama
Lihat pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
7
a. Menjelaskan apa saja aspek-aspek hukum Pidana Islam di Indonesia yang pernah diberlakukan pada masa kerajaan Aceh, masa kolonial Belanda hingga masa pasca kemerdekaan; b. Memberi gambaran isi dan menjelaskan mengapa putusan MK No. 19/PUUVI/2008 menolak wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam komptensi absolut Peradilan Agama; c. Menjelaskan prospek pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam di Indonesia dari segi konstitusi khususnya pasca putusan judicial review yang sudah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi. 2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini dapat dikemukakan sebagai berikut : a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada civitas akademik terkait wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam kompetensi Absolut Peradilan Agama di indonesia. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pembaca bahwasanya sejumlah aspek hukum pidana Islam suatu waktu di masa lalu pernah berlaku dan diterapkan dalam sejarah bangsa Indonesia. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi terkait prospek pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam dalam kompetensi absolut Peradilan Agama di Indonesia.
8
D. Tinjauan Pustaka Sejumlah penelitian terkait wacana pemberlakuan hukum pidana Islam dalam kompetensi absolut Peradilan Agama telah dilakukan, baik yang secara spesifik mengkaji isu tersebut maupun yang menyinggungnya secara umum. Berikut ini paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian yang berkaitan dengan judul ini. 1. Karya Simon Butt, yang mengusung judul Islam, the State and the Constitutional Court In Indonesia. Karya ini dimuat dalam Pacific Rim Law and Policy Journal Association, Volume 19 No. 2 Tahun 2010. Hal yang menarik dalam artikel ini yaitu Simon Butt juga membahas terkait kasus Judicial Review Undang-undang Peradilan Agama pada tahun 2008. Dalam kajiannya, Simon mengemukakan bahwa sedikitnya dukungan akan partai-partai Islam di Indonesia menandakan bahwa kebanyakan masyarakat Indonesia belum mengingkan pemberlakuan hukum Islam secara utuh oleh negara. Meskipun ada sebagian masyarakat Indonesia yang mengharapkan hukum Islam untuk sepenuhnya dapat diakomodir ke dalam kompetensi absolut Peradilan Agama termasuk di dalamnya hukum pidana Islam. Melihat realitas seperti itu, Simon berpendapat bahwasanya sebagian masyarakat Islam yang mengharapkan pemberlakuan hukum Islam secara utuh oleh negara harus tekendala dengan kurangnya dukungan akan partaiparta Islam dalam pemilihan umum. Yang mana partai-partai Islam tidak akan mampu mereresentasikan apa yang menjadi aspirasi umat Islam tersebut.
9
2. Karya M. Arskal Salim, GP, Ph.D, yang mengusung judul Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi Historis, Kontribusi Fungsional dan Prospek Masa Depan. Tulisan ini merupakan sub judul dari buku Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Temuan pokok dalam sub bab ini adalah membahas mengenai prospek hukum pidana Islam di Indonesia. Menurut Arskal Salim, peluang bagi masuknya aspek-aspek hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum nasional bergantung pada bagaimana politik hukum pidana Islam di Indonesia. Arskal Salim menambahkan, harus ada kesadaran hukum pidana Islam di kalangan umat Muslim Indonesia jika memang hukum pidana Islam benar-benar ingin diterapkan. 3. Karya Dr. Khamami Zada, yang mengusung judul Sentuhan Adat dalam pemberlakuan Syariat Islam di Aceh dan dimuat dalam Jurnal Karsa Vol. 20 No. 2 Desember 2012. Artikel ini membahas mengenai akar pemberlakuan hukum Jinayah (Hudud dan Kisas) di Aceh pada masa Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam artikel ini nampak bahwa hukum pidana Islam yang berlaku di Aceh tidaklah sepenuhnya sesuai dengan ketentuan syariah. 4. Karya Ayang Utriza NWAY, yang mengusung judul Adakah Penerapan Syari’at Islam di Aceh?. Tulisan ini dipublikasikan dalam Jurnal Tashwirul Afkar No. 24 Tahun 2008. Tidak jauh berbeda dengan Khamami Zada di atas, temuan pokok dalam artikel ini mencoba menguraikan bahwa hukum pidana yang dipraktikkan di Aceh tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan syariah melainkan terkontaminasi dengan unsur-unsur lainnya.
10
5. Karya Nurrohman, yang mengusung judul Artikulasi Hukum Pidana Islam dalam Ruang Publik: Tinjauan Politik Hukum Islam atas Kasus Rajam di Ambon, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008, dan Qanun Jinayat di Aceh. Publikasi ini muncul dalam Jurnal Studi Islam, Volume 18 No.2 Tahun 2012. Dalam artikel ini disinggung mengenai kasus judicial review Undang-undang Peradilan Agama yang juga merupakan wujud artikulasi
hukum
pidana
Islam
dalam
ruang
publik.
Nurrohman
mengemukakan bahwa artikulasi hukum pidana Islam haruslah sejalan dengan sistem hukum di Indonesia yang bersumber pada Pancasila. 6. Karya Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja SH, MH, yang mengusung judul Posisi Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-undangan dan Konteks Politik Hukum Indonesia. Tulisan ini juga merupakan sub judul dari buku Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Temuan pokok dalam sub bab ini adalah bahwa Indonesia bukanlah negara Agama yang mengacu pada satu agama tertentu dan juga bukan negara sekuler yang memisahkan agama dari negara. Meskipun hukum pidana Islam tidak sesuai dengan konteks kenegaraan Indonesia, artikel ini mengajukan pendapat bahwa teori zawajir seyogyanya dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pembaruan hukum pidana di Indonesia. Teori tersebut mengatakan bahwa bila dengan hukuman minimal tujuan penghukuman dapat dicapai, maka hukuman maksimal yang disebut dalam nash tidak perlu diterapkan. 7. Karya Dr. Abdul Ghani Abdullah, SH, yang mengusung judul Eksistensi Hukum Pidana Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional. Tulisan ini
11
pun merupakan sub judul dari buku Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek dan Tantangan. Menurut Abdul Ghani, hukum pidana Islam tidak dapat berdiri sendiri karena berkaitan dengan kepentingan yang pluralistik sehingga tidak mungkin langkah anarkis menjadi alternatif. Oleh karena itu kebijakan politik yang arif, jujur dan adil menjadi instrumen politik dalam mengakomodasi cita dan kebutuhan hukum masyarakat Islam. 8. Karya Jaenal Aripin, yang mengusung judul Reformasi Kewenangan: Optimalisasi Peran dan Fungsi Peradilan Agama yang merupakan sub judul dari buku Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Temuan pokok penelitian ini menjelaskan bahwa kewenangan yang selama ini diemban oleh Peradilan Agama, baik lama maupun baru ternyata dimiliki bukan hasil dari by design dari pihak berwenang. Melainkan disebabkan karena faktor kultural masyarakat ketimbang perencanaan dan design dari pihak struktural. Temuan lain menjelaskan bahwa kewenangan Peradilan Agama dalam hukum pidana Islam masih belum memungkinkan untuk diterapkan di seluruh Peradilan Agama di Indonesia. 9. Karya M. Abdul Kholiq, Program Magister Universitas Diponegoro Semarang, tahun 2001, Tesis : Kontribusi Hukum Pidana Islam dalam Pembaruan Hukum Pidana Di indonesia. Temuan pokok penelitian ini membahas mengenai sejauh mana hukum pidana Islam dapat masuk ke dalam sistem hukum di Indonesia. Temuan lain dari penelitian ini juga
12
membahas mengenai deskripsi tentang istilah hukum pidana Islam, sumber dan tujuan hukum pidana Islam.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode penelitian hukum di kalangan para ahli hukum, dikelompokan ke dalam dua model, pertama yaitu penelitian kualitatif, kedua yaitu penelitian kuantitatif.16 Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif analitis untuk mengungkapkan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang menjadi objek penelitian.17 Penelitian ini juga mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan serta normanorma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan studi kasus terhadap permohonan judicial review yang disampaikan kepada Mahkamah Konstitusi oleh Suryani. Pendekatan studi kasus ini akan mendeskripsikan, menguraikan dan menganalisis pemikiran dan argumen hukum para hakim MK yang dikemukakan dalam proses persidangan sebagaimana tertuang dalam putusan akhir MK No. 19/PUU-VI/2008. 2. Teknik Pengumpulan Data Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan/studi 16 17
dokumenter.
Studi
kepustakaan
merupakan
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 98. Ibid, h. 25.
upaya
13
pengidentifikasian secara sistematis dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema, objek dan masalah dalam suatu penelitian.18 Studi kepustakaan juga merupakan metode yang digunakan dalam penelitian hukum normatif.19 Dalam penelitian hukum normatif, lazimnya dikenal data sekunder.20 Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan data sekunder tersebut nantinya meliputi : 1) Bahan Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat seperti Norma dasar Pancasila, NRI UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUUVI/2008, peraturan perundang-undangan dan lain sebagainya. 2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer serta dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer tersebut. Misalnya hasil-hasil penelitian terdahulu, pendapat para hukum, hasil-hasil pertemuan ilmiah (seminar, simposium, diskusi), buku-buku yang relevan dan lain-lain. 3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelas terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, indeks dan lain sebagainya. 3. Teknik Analisis Data Data yang telah berhasil dikumpulkan melalui studi kepustakaan ini selanjutnya akan dianalisis secara kualitatif. Karena data yang berhasil dikumpulkan bersifat monografis atau berwujud kasus-kasus sehingga tidak 18
Fahmi Muhammad Ahmad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat:Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17. 19 Bambang Waluyo,Penelitian Hukum dalam Praktik,(Jakarta:Sinar Grafika, 2008), h. 50. 20 Soerjono Soekanto,Dkk, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.
14
dapat disusun ke dalam suatu struktur klasifikasi21 tetapi studi kasus dalam penelitian kualitatif bisa disusun dalam tema-tema. Dalam analisa putusan ini, penulis menggunakan kerangka teori yang diajukan oleh Din Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia. Dalam penelitian ini juga ditekankan pada pendekatan teori politik hukum yang diajukan oleh Mahfud MD untuk mencoba menguraikan mengapa hakim MK menolak permohonan tersebut. Yang mana ini tentu tidak lepas dari paradigma politik hukum yang menyatakan bahwasanya hukum sangat dipengaruhi oleh politik.
F. Sistematika Pembahasan BAB I
Merupakan Bab Pendahuluan, di dalam bab ini diuraikan pokokpokok pikiran yang melatarbelakangi penelitian ini, yang diorganisir menjadi 6 (enam) sub bab, yaitu (1) latar belakang masalah, (2) pembatasan dan perumusan masalah, (3) tujuan dan manfaat penelitian, (4) tinjauan pustaka, (5) metode penelitian, dan (6) sistematika Pembahasan.
BAB II
Bertajuk Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana, yang diorganisir menjadi 2 (Dua) sub bab, yaitu (1) Istilah hukum pidana di Indonesia, (2) Istilah hukum pidana Islam.
BAB III
Bertajuk Aspek-aspek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia, yang diorganisir menjadi 3 (Tiga) sub bab, yaitu (1)
21
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2004), h. 168.
15
Hukum pidana Islam pada masa kerajaan Aceh, (2) Hukum pidana Islam pada masa kolonial Belanda , (3) Hukum pidana Islam pasca kemerdekaan. BAB IV
Bertajuk Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 Terkait Wacana Pemberlakuan Hukum Pidana Islam dalam Kompetensi Absolut Peradilan Agama, yang diorganisir menjadi 5 (Lima) sub bab, yaitu (1) Profil Singkat Mahkamah Konstitusi, (2) Duduk Perkara, (3) Amar putusan Mahkamah Konstitusi, (4) Analisis Putusan, (5) Prospek pemberlakuan hukum Pidana Islam di Indonesia.
BAB V
Merupakan Penutup, dalam bab ini disajikan pokok-pokok temuan penelitian yang dihasilkan yang memuat kesimpulan dan rekomendasi.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PIDANA
Meskipun hukum pidana yang berlaku di Indonesia sampai saat ini ialah hukum pidana yang bersumber dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) peninggalan Belanda, namun hukum pidana Islam masih terus diwacanakan oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sebelum membahas inti dari pokok permasalahan penelitian ini, penulis terlebih dahulu ingin menguraikan istilah hukum pidana yang berlaku di Indonesia dan hukum pidana Islam. Hal tersebut mencakup sumber dan tujuan dari masing-masingnya. Karena jika ditelaah lebih dalam, terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. Bab ini akan memberikan pemahaman untuk bab selanjutnya bahwasanya aspek-aspek hukum pidana Islam telah terserap ke dalam sistem hukum nasional yang ada di Indonesia. A. Istilah Hukum Pidana di Indonesia 1. Definisi Hukum Pidana Seorang ahli hukum, Muljatno memberikan pengertian terhadap definisi hukum pidana. Menurutnya, hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk: a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.
16
17
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.1 Rupanya pengertian yang diajukan Moeljatno ini sangat luas maknanya, sehingga CST Kansil mencoba mempersempit definisi hukum pidana itu menjadi seperangkat hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan terhadap kepentingan umum, yang dimana perbuatan tersebut diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.2 2. Sumber Hukum Pidana Tidak diketahui dengan jelas apa sumber hukum pidana yang paling awal di Indonesia. Pada mulanya, masyarakat Indonesia kebanyakan hidup menurut hukum adatnya masing-masing yang berbeda-beda antara satu masyarakat hukum adat dengan masyarakat adat lainnya. Menurut Andi Zainal Abidin, sebelum datangnya penjajahan Belanda, hukum pidana yang berlaku adalah hukum pidana adat (sebagian besar tidak tertulis) yang beraneka ragam yang berlaku di masing-masing kerajaan di Nusantara.3 Kedatangan bangsa Belanda yang pertama kali mendarat di Banten tahun 1596, secara berangsur-angsur mulai membawa perubahan. Bangsa 1
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta:PT Asdi Mahasatya, 2002), h. 1. CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1979), h. 242. 3 Andi Zainal Abidin, Asas-asas Hukum Pidana, Bagian pertama, (Bandung: Aumni, 1987), h. 77-78. 2
18
Belanda yang mulanya datang sebagai pedagang dan kemudian digantikan oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak 1 Januari 1800, menguasai banyak wilayah dan membuat peraturan-peraturan tertulis. Salah satu diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht). Dengan demikian KUHP yang digunakan di Indonesia sekarang ini pada dasarnya ialah kodifikasi peninggalan masa pemerintahan Hindia Belanda. Kodifikasi tersebut pertama kali diundangkan dalam Staatsblad yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918.4 Hukum pidana terbagi menjadi hukum pidana material dan hukum pidana formal. Pada garis besarnya bahwa hukum pidana material memuat dasar-dasar serta peraturan-peraturan umum mengenai perbuatan manusia yang dengan tegas disebut dalam undang-undang sebagai perbuatan yang dapat dihukum, sekaligus menentukan jumlah hukuman yang dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal atau bisa disebut juga dengan hukum acara pidana adalah kumpulan hukum yang mengatur tentang bagaimana cara mempertahankan hukum pidana materil oleh penguasa negara jika terdapat peraturan yang dilanggar.5 Hukum pidana yang berlaku di Indonesia dewasa ini ialah:6 a. KUHP warisan belanda sebagaimana ditetapkan pada Undang-undang No. 1 tahun 1946 jo Undang-undang No. 73 tahun 1958, beserta perubahanperubahannya.
4
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 42. 5 B. Bastian Tafal, Pokok-pokok Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 65. 6 S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, (Jakarta: AlumniAhaem-Petehaem, 1996), h. 50.
19
b. KUHPM sebagaimana ditentukan pada Undang-undang No.39 Tahun 1947. c. Perundang-undangan hukum pidana lainnya antara lain tindak pidana korupsi (UU No. 20 tahun 2001), tindak pidana narkoba (UU No. 35 tahun 2009, tindak pidana pencucian uang (UU No. 8 tahun 2010 ) dan lain sebagainya. d. HIR dan beberapa pasal tertentu dari Strafvordering, Undang-undang No. 1 Drt tahun 1951, yang sejak tanggal 31 Desember 1981 telah diganti dengan KUHAP (Undang-undang No. 8 tahun 1981), Undang-undang pokok kepolisian, Undang-undang pokok kejaksaan, Undang-undang hukum acara pidana militer, Undang-undang pokok kekuasaan kehakiman dan lain sebagainya. 3. Tujuan Hukum Pidana Mengenai tujuan hukum pidana, dewasa ini diketahui bahwa tujuan hukum pidana pada umumnya adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan dan melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat dan negara. Salah satu cara atau alat untuk mencapai tujuan hukum pidana adalah dengan memidana seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu :7 a. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri. b. Untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan kejahatan-kejahatan. c. Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan 7
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 11.
20
kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Dengan kata lain, tujuan atau alasan dari pemidanaan dapat digolongkan ke dalam tiga golongan pokok yaitu golongan teori pembalasan, golongan teori tujuan dan golongan teori gabungan.8 a. Teori Pembalasan Teori pembalasan membenarkan pemidanaan karena seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Terhadap pelaku tindak pidana mutlak harus diadakan pembalasan yang berupa pidana. Dan tidak mempersoalkan akibat dari pemidanaan bagi terpidana. Ini merupakan wujud pembalasan dari apa yang telah dilakukan oleh si terpidana. b. Teori Tujuan Teori-teori yang termasuk golongan teori tujuan membenarkan pemidanaan atau tergantung kepada tujuan pemidanaan, yaitu untuk perlindungan masyarakat atau pencegahan terjadinya kejahatan. c. Teori Gabungan Teori ini merupakan perpaduan antara teori pembalasan dan teori tujuan. Artinya, alasan pemidanaan bukan hanya semata-mata untuk membalas si pelaku tindak kejahatan, namun di sisi lain pemidanaan tersebut juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dan mencegah perbuatan pidana lainnya.
8
h. 157.
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2008),
21
B. Istilah Hukum Pidana Islam 1. Definisi Hukum Pidana Islam Dalam pembahasan hukum pidana Islam, ada juga yang menyebutnya dengan istilah Fiqh Jinayah yang terdiri dari dua kata, yaitu fiqh dan jinayah.9 Secara Etimologis, fiqh berasal dari kata
ُيَفْقَه-َ فَقِهyang berarti paham atau
memahami ucapan secara baik. Sedangkan secara terminologis, fiqh didefinisikan oleh Wahbah al Zuhaili, Abdul karim Zaidan dan Umar Sulaiman dengan mengutip definisi al-Syafi‟i dan al-Amidi, yaitu ilmu tentang hukumhukum syariat yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang terperinci. Adapun istilah jinayah, secara etimologis berasal dari kata ًو جِنَا ية-جَنْيًا-يَجْنِى- جَنَىyang berarti َ( أَ ذْ َنبberbuat dosa). Sedangkan secara terminologis, jinayah didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan terhadap jiwa atau terhadap selain jiwa.10 Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian fiqh jinayah adalah ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya yang diambil dari dalildalil yang terperinci. Para fuqaha menyatakan bahwa lafal
jinayah sama
artinya dengan jarimah.11 Dan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa objek pembahasan fiqh jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau tindak pidana dan uqubah atau hukumannya.12
9
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta:Amzah, 2013), h. 1. M. Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, cet. 1, (Jakarta: Amzah, 2011),
10
h. 66. 11
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), h. 13. 12 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. Ix.
22
Pengertian jarimah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi adalah sebagai berikut. ٍت شَرْعِيَةٌ زَ جَرَ ا انهّهُ تَعَا لَ عَنْهَا بِحَّدٍ َا وْ تَعْسِ يْر ٌ ظىْ رَا ُح ْ َاَ نْجَرَ ا ئِىُ ي Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir.13 Dalam Istilah lain jarimah disebut juga dengan jinayah. Menurut Abdul Qadir Audah pengertian jinayah adalah sebagai berikut. َسىَا ٌء وَ قَعَ ا نْفِعْمُ عَهَى نَفْسٍ َأوْ يَا لٍ أوغَيْرِذَنِك َ ،فَا نْجِنَا يَةُ ِا سْىٌ نِفِعْمٍ يَحَرَ ٍو شَرْ عًا Jinayah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau yang lainnya.14 Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang ditinjau dari segi hukumannya. Jarimah ditinjau dari segi hukumannya terbagi kepada tiga bagian yaitu; jarimah Hudud, jarimah Qishas dan Diyat serta jarimah Ta’zir.15 a. Jarimah Hudud Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had. Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak Allah. Oleh karena hukuman itu merupakan hak Allah, maka hukuman tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Jarimah hudud ini terdiri dari tujuh macam, yaitu: Jarimah Zina; Jarimah Qadzaf; 13
Ibid Ibid 15 Ibid, h. x. 14
23
Jarimah Syurb al-Khamr; Jarimah Pencurian; Jarimah Hirabah; Jarimah Riddah; dan Jarimah Pemberontakan.16 b. Jarimah Qishas dan Diyat Jarimah qishas dan diyat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat. Baik qishas maupun diyat kedua-duanya adalah hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟ dan merupakan hak manusia. Oleh karena hukuman itu merupakan hak manusia, maka hukuman tersebut bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau keluarganya. Jarimah Qishas dan Diyat ini terdiri dari lima macam, yaitu: Pembunuhan sengaja; Pembunuhan
menyerupai
sengaja;
Pembunuhan
karena
kesalahan;
Penganiayaan sengaja; dan Penganiayaan tidak sengaja.17 c. Jarimah Ta‟zir Jarimah ta’zir adalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta‟zir. Pengertian ta‟zir menurut bahasa adalah ta‟dib, artinya memberi pelajaran. Ta‟zir juga diartikan dengan Ar-Raddu wal Man‟u, yang artinya menolak atau mencegah. Sedangkan pengertian ta‟zir menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan Al-Mawardi yaitu ta‟zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara‟. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hukuman ta‟zir adalah hukuman yang ditetapkan oleh syara‟ dan wewenang untuk menetapkannya diserahkan kepada ulil amri. Sedangkan yang termasuk kategori jarimah
16
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), h. 19. 17 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, h. x.
24
ta‟zir adalah jarimah yang tidak tergolong ke dalam jarimah hudud dan qisash diyat serta jarimah hudud dan qishas diyat yang terdapat syubhat.18 2. Sumber Hukum Pidana Islam Mengenai sumber hukum pidana Islam itu sendiri pada dasarnya kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab fiqih dan ushul fiqih yang ditulis ulama klasik. Kata-kata “sumber hukum Pidana Islam” merupakan terjemahan dari lafaz-lafaz ( يصا د ر ا أل حكا وMashaadir al-ahkam). Untuk menjelaskan arti sumber hukum Islam, mereka menggunakan istilah dalil-dalil syari‟ah ا أل د نة ا نشر عية/ al-Adillah al-Syariyyah ( penggunaan kata يصا د ر ا أل حكا و (Mashaadir al-ahkam) oleh ulama sekarang ini tentu dimaksudkan adalah seperti dengan istilah ا أل د نة ا نشر عية/ al-Adillah al-Syariyyah.
19
Jumhur ulama sepakat mengatakan bahwa sumber-sumber hukum Islam pada umumnya ada empat, yaitu Al-Qur‟an, Al Hadits, Ijma dan Qiyas. Urutan-urutan penyebutan menunjukkan urutan-urutan dan kepentingannya. Yakni apabila tidak terdapat dalam hukum sesuatu peristiwa dalam Al-Qur‟an baru dicari dalam Sunnah, kalau tidak terdapat dalam Sunnah dicari dalam Ijma, dan kalau tidak terdapat dalam Ijma, baru dicari dalam Qiyas.20 Masih ada sumber-sumber hukum yang lain, tetapi masih banyak diperselisihkan tentang mengikat atau tidaknya. Sumber-sumber tersebut ialah Istishan, istishab, Maslahah Mursalah, „Urf, madzhab sahabat dan syari‟at sebelum Islam (syar‟u man qablana). Bagi hukum-hukum pidana Islam formil 18
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, h. 143. Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Cet. I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 81. 20 Mardani, Kejahatan pencurian dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: CV INDHILL CO, tt), h. 27. 19
25
(Ijraat Jinaiyyah/acara pidana) maka semua yang disebutkan diatas bisa dipakai. Akan tetapi untuk hukum-hukum pidana Islam materiil, yaitu yang berisi ketentuan macam-macam jarimah dan hukumannya, hanya ada empat sumber. Tiga diantaranya sudah disepakati, yaitu Qur‟an, Sunnah dan Ijma‟, sedang satu sumber lainnya yaitu Qiyas masih diperselisihkan.21 3. Tujuan Hukum Pidana Islam Tujuan pokok adanya penghukuman dalam syari‟at Islam adalah untuk: a. Pencegahan (al radd wa al jazr) b. Perbaikan (al „ishlah) c. Pendidikan (al ta‟dib)22 Sedangkan menurut Abdul Qadir Audah, bahwa tujuan penghukuman dalam syari‟at Islam adalah untuk memperbaiki kondisi manusia, menjaga mereka dari kerusakan, mengeluarkan mereka dari kebodohan, menunjukan mereka dari kesesatan, menghindarkan mereka dari berbuat maksiat dan mengarahkan mereka agar menjadi manusia yang ta‟at. Syariat Islam sama pendiriannya dengan hukum positif dalam menetapkan jarimah atau tindak pidana dan hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Baik hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif keduanya sama-sama bertujuan memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya, yaitu :23
21
A.Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967), h.25. Ibid, h. 255. 23 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas, H. 15-16. 22
26
1) Hukum Islam termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, sangat memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur. Oleh karenanya setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela dan diancam dengan hukuman. Sebaliknya, hukum positif tidaklah demikan. Menurut hukum pidana positif ada beberapa perbuatan yang meskipun bertentangan dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap sebagai suatu tindak pidana. Kecuali apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat. 2) Hukum pidana positif adalah produk manusia, sedangkan hukum pidana Islam bersumber dari Allah (wahyu). Dengan demikian dalam hukum pidana Islam terdapat beberapa macam tindak pidana yang hukumannya telah ditetapkan dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah, yaitu jarimah hudud dan qishas. Disamping itu ada pula tindak pidana yang hukumannya diserahkan kepada penguasa (ulil „amri) yaitu jarimah ta‟zir. Perbandingan lain dari keduanya ialah; Pertama, dari sisi pelaku kejahatan. Hukum pidana Islam memberikan ketentuan yang jelas dan syarat yang begitu ketat sehingga tidak akan memungkinkan permainan peradilan.
24
Kedua, dari sisi korban atau keluarga korban. Pada kasus pembunuhan dan penganiayaan disengaja, korban bisa memilih antara qisas, meminta diyat atau memaafkan. Sebagai contoh, seandainya seorang wanita yang memiliki banyak anak kehilangan suaminya karena dibunuh, maka wanita itu bisa meminta diyat 24
Asadulloh Al Faruk, Hukum Pidana, h. 99-100
27
dengan asumsi diyat itu dapat menghidupi dirinya dan anak-anaknya setelah kematian suaminya. Dalam hal ini kepentingan korban (keluarga korban) untuk diperlakukan adil sangat diperhatikan. Sedangkan hukum pidana positif hanya fokus dalam menangani pelaku dan tidak ada upaya untuk meringankan penderitaan korban atau keluarga korban. 25 Ketiga, dari sisi penegak hukum. Hukum pidana Islam telah memiliki landasan yang kuat dan tidak dapat diubah oleh siapapun yaitu Al-Qur‟an dan As-sunnah. Dengan demikian tidak ada upaya untuk mengubah aturan, menyimpanginya dan mengesampingkannya. Jika ada seorang penegak hukum yang berpaling dari ketentuan hukum pidana Islam maka akan dapat diketahui dengan mudah. Dengan kata lain, aturan yang jelas dan tegas menutup ruang bagi penegak hukum untuk berbuat sewenang-wenang26 Dari perbedaan di atas tergambarlah dengan jelas sifat kedua hukum tersebut. Hukum positif merupakan produk manusia yang tentu saja tidak lengkap dan tidak sempurna. Karena penciptanya juga serba tidak sempurna dan
terbatas
kemampuannya.
Itulah
sebabnya
undang-undang
selalu
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebaliknya, hukum Islam adalah ciptaan Allah yang sempurna dan tidak dapat diubah-ubah atau diganti.
25 26
Ibid Ibid
BAB III ASPEK-ASPEK PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DI INDONESIA
Pada bab ini penulis akan menguraikan aspek-aspek hukum pidana Islam yang pernah berlaku di Indonesia. Penulis membaginya kepada tiga periode besar yaitu; pada masa kerajaan, kolonial Belanda dan pasca kemerdekaan. Meskipun terdapat sejumlah kerajaan yang memberlakukan hukum pidana Islam di Indonesia, pada bab ini penulis akan fokus hanya kepada kerajaan Aceh. Hal ini dimaksudkan agar pembaca dapat mengetahui bahwasanya hukum pidana Islam pernah dipraktekkan di kerajaan Nusantara walaupun hingga perkembangannya saat ini, Indonesia masih menggunakan hukum Pidana peninggalan Belanda. Meskipun demikian, wacana hukum pidana Islam masih terus bergulir yang nantinya akan penulis uraikan pada bab selanjutnya. A. Pada Masa Kerajaan Aceh Jika dilihat dari sejarah Kerajaan Aceh Darussalam (1514-1903), Sultan Ali Mughayat Syah (1516-1530 M) tercatat dalam sejarah sebagai pembangun Kerajaan Aceh Darussalam. Sedangkan Sultan Alauddin Riayat Syah II Abdul Qahhar (1537-1571 M) sebagai pembina organisasi kerajaan dengan menyusun undang-undang dasar negara yang diberi nama Qanun Al-Asyi. Qanun ini kemudian disempurnakan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) . Dalam perjalanan sejarahnya, Qanun Al-Asyi ini disebut juga sebagai Adat Meukuta Alam atau Qanun Meukuta Alam. Dalam Qanun Meukuta Alam ditetapkan
28
29
bahwa dasar Kerajaan Aceh Darussalam adalah kerajaan yang sumber hukumnya berdasarkan pada Al-Qur‟an, Hadits, Ijma‟ Ulama dan Qiyas 1 Berikut yang dapat penulis paparkan terkait aspek pemberlakuan hukum pidana Islam di Kerajaan Aceh. 1. Perzinaan Pelaksanaan hukuman perzinaan pertama kali yang diketahui di kesultanan Aceh terjadi pada masa Sultan pertama, Ali Mughayat Syah (15161530 M).2 Hal ini berdasarkan kesaksian dua orang pelancong Prancis, Jean dan Raoul yang mengatakan bahwa terdapat dua macam hukuman perzinaan, yaitu; pertama, hukuman mati bagi lelaki. Kedua, hukuman menjadi budak bagi perempuan.3 Selanjutnya pada masa Sultan ke-3, Alaudin Riayat Syah al-Qahhar (1537-1571 M), hukuman zina di Aceh dapat diketahui dengan jelas, yaitu dihukum dengan hukuman rajam. Hal ini berdasarkan kesaksian seorang pelancong India, Rawdla al-Thahirin yang menceritakan bahwa dua orang dijumpai telah berzina pada tahun 1550 dengan status masing-masing telah menikah. Kedua orang tersebut dihadapkan ke Sultan yang kemudian menghukum mereka dengan hukuman mati. Kedua orang itu dibawa ke alunalun lalu dirajam hingga mati.4
1
A. Hasjmy, Iskandar Muda Meukuta Alam, (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), h. 70-72. Namun kejadian ini bukan di Aceh, akan tetapi di tiku, dekat Padang yang pada saat itu belum termasuk bagian dari wilayah Kesultanan Aceh kecuali setelah tahun 1560 M. 3 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? Tinjauan Sejarah Hukum di Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M”, Tashwirul Afkar, Edisi No. 24 Tahun 2008, h. 124. 4 Ibid, h. 125. 2
30
Perkembangan selanjutnya terjadi pada masa Sultan ke-10, Alaudin Riayat Syah al-Mukammil (1588-1604 M). Berdasarkan kesaksian Francois Martin de Vitre, seorang pelancong Prancis yang mengatakan bahwa hukuman zina di Aceh pada masa itu ada dua; Pertama, lelaki atau perempuan yang berzina dibunuh oleh gajah dengan cara diinjak-injak atau badannya ditarik hingga hancur berkeping-keping. Kedua, bagi lelaki yang berzina dipotong kemaluannya dan bagi wanita dipotong hidungnya dan dicongkel kedua matanya.5 Pada masa Sultan ke-12 yaitu Iskandar Muda (1607-1636 M) juga pernah memberlakukan hukuman mati terhadap anak laki-lakinya sendiri atas tuduhan mengganggu rumah tangga orang lain, bahkan berzina. Dia adalah Meurah Pupok yang dijatuhi hukuman hudud atas kesalahan berzina dengan istri salah seorang pengawal istana. Pelbagai cara dilakukan agar Sultan Iskandar Muda meringankan hukuman kepada Meurah Pupok karena ia adalah anak seorang Sultan. Namun Iskandar Muda menolak demi memastikan pemberlakuan Syari‟at Islam pada siapapun.6 Namun menurut versi lain, William M. Marsden menyebutkan bahwa pada masa Iskandar Muda tidak diberlakukan hukum pidana Islam dalam kasus zina. Ada tiga macam hukuman zina, Pertama, seorang lelaki yang berzina akan diletakkan di tengah lingkaran yang dikelilingi oleh orang tua suami dari perempuan yang dizinai dan teman-temannya. Si pelaku biasanya mati oleh senjata orang-orang yang mengelilinginya. Setelah meninggal, orang tua lelaki 5
Ibid, h. 126. Al Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan, (Banda Aceh: Dinas Syari‟at Islam, 2006), h. 114. 6
31
pezina menguburkannya seperti menguburkan seekor banteng. Kedua, si pezina di hukum denda. Dia harus membayar sejumlah uang kepada keluarga korban, tetapi hukuman ini sangat jarang. Ketiga, jika istri ketahuan berzina, maka suaminya akan membunuh sendiri si lelaki yang menzinai istrinya, atau ia diam menutup rapat aib tersebut.7 2. Pencurian Untuk kasus pencurian pada masa Sultan al-Qahhar (1537-1571 M) menurut sumber India Rawdl ath-Thahirin, adalah potong tangan. Menurut sumber tersebut hukuman potong tangan tidak hanya untuk kasus pencurian tetapi juga berlaku bagi semua bentuk kejahatan. Namun sumber ini tidak menjelaskan mengenai batasan dalam penghukuman potong tangan tersebut.8 Untuk bentuk hukuman pencurian nampak semakin jelas pada masa Sultan Al-Mukammil (1588-1604 M). Francois Martin de Vitre menjelaskan bahwa hukuman bagi pencuri kecil dipotong tangannya. Jika dia mengulangi lagi perbuatannya, maka dipotong kaki dan tangannya yang lain. Berbeda dengan kesaksian Francois yang menyatakan bahwa hukuman potong kaki dan tangan ini untuk kasus pencurian, menurut Van Waarwyk seorang pemimpin kapal dari Belanda yang pernah singgah di Aceh mengatakan bahwa hukuman tersebut berlaku bagi semua bentuk kejahatan.9 Pada masa Sultan Iskandar Muda Muda (1607-1636 M), hukuman potong tangan bagi pencuri dilegalkan di dalam Undang-Undang Aceh. Pasal 33 UU Aceh menyebutkan bahwa Kepala Kampung harus menghukum pencuri 7
Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 127. Ibid 9 Ibid 8
32
dengan mengembalikan barang curiannya atau menggantinya. Jika pencuri itu kabur dari wilayah kesultanan Aceh, maka ia tidak dapat kembali ke tempat tinggalnya (pasal 34), dan jika ia kembali maka akan ditangkap dan dipotong tangannya (pasal 35).10 3. Minuman Keras Sultan Alaudin Perak (1579-1586 M), tercatat sebagai Sultan yang pertama kali melarang minuman yang memabukkan di kesultanan Aceh. Namun tidak ada sumber yang menginformasikan mengenai hukuman apa yang diterapkan dalam meminum khamr ini. Peraturan yang diterapkan Sultan Alaudin Perak itu hilang seiring dengan wafatnya.11 Larangan minuman yang memabukkan dan berjudi berlaku lagi pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) dan pada masa Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641-1675 M). Menurut kesaksian P.Soury seorang utusan Belanda pada tahun 1642 bahwa hukuman bagi peminum khamr adalah dipotong tangannya. Sedangkan sumber Eropa yang lain, Jacob Compostel mengatakan bahwa hukuman yang diberlakukan bagi peminum khamr adalah dengan cara menelan timah panas.12 4. Pembunuhan Untuk kasus pembunuhan, Sultan Al-Qahhar (1537-1571 M) pernah melaksanakan kisas yang kemudian ditukar dengan diyat seratus ekor kerbau atas Raja Lingga ke-16 yang terbukti membunuh saudara tiri Beuner Maria.13
10
Ibid, h. 129. Ibid, h. 135. 12 Ibid, h. 136. 13 Al Yasa‟ Abubakar, Syari’at Islam di Provinsi.., h. 114. 11
33
Sedangkan pada masa Sultan Al-Mukammil (1588-1604 M), dari sumber yang sama yaitu Francois Martin de Vitre menjelaskan bahwa ada tiga jenis hukuman pembunuhan yaitu; Pertama, pembunuh dihukum mati dengan cara yang sama ketika ia membunuh; Kedua, pembunuh dihukum mati dengan cara diinjak-injak gajah setelah terlebih dahulu dilempar ke udara dengan belalai gajah; Ketiga, pembunuh dilempar ke tengah harimau yang sangat ganas dan tentu menjadi santapan mereka.14 Selanjutnya sanksi pembunuhan diatur dengan baik pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang diatur dalam Undang-Undang Meukuta Alam pada pasal 25, 26, 27, 32 dan 38. Inti dari pasal-pasal ini telah sesuai dan mengikuti apa yang digariskan oleh hukum Islam terkait pembunuhan.15 Selanjutnya pada masa Sultanah Tajul Alam Safiyatuddin (1641-1675 M) benar-benar menerapkan hukuman yang diatur pada Undang-Undang Meukuta Alam tersebut.16 5. Murtad Fatwa mati pertama kali atas kasus murtad terjadi di kesultanan Aceh pada paruh pertama abad ke-17 atau tahun 1636 M. Fatwa ini dikeluarkan oleh Nuruddin Ar-Raniry, Syeikh al-Islam Kesultanan Aceh pada masa Iskandar Thani (1636-1641 M). Fatwa Ar-Raniry berkaitan dengan ajaran tasawuf wujudiyyah Ibn‟Arabi oleh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani yang 14
Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? ..”, h. 137. Pasal 25 berisi sangsi bagi pelaku pembunuhan sengaja yaitu dengan diyat dan apabila keluarga korban mau memaafkan dan mau menerima tebusan uang darah tersebut. Pasal 26 berisi jumlah diyat yang harus dibayar oleh si pelaku yaitu 100 ekor unta. Sementara diyat budak sesuai dengan tingkatan budak tersebut (pasal 32). Pasal 27 berisi ketentuan apabila si pembunuh sudah membayar diyat, maka si pelaku tidak dibunuh. Sebaliknya apabila keluarga korban tidak mau menerima diyat maka dia harus dikisas. Lihat Ibn Rusyid, Bidayat al-Mujtahid, vol.II, h.307, Sabiq, Fiqh Sunnah, vol II h. 466. 16 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh? ..” h. 138. 15
34
dianggap sebagai orang zindiq dan kafir. Akibat fatwa ini, banyak kaum muslim yang dibantai yaitu mereka yang teguh dengan keyakinan sufistiknya. Karena cap sesat, zindiq dan mulhid sama dengan murtad.17 Dalam Islam Murtad harus dihukum mati.18 6. Perampokan Kasus perampokan ini tercatat pada masa Sultanah Nurul Alam Nakiyatuddin (1675-1678 M). Berdasarkan kesaksian Laksamana Inggris Thomas Bowrey, bahwa setelah kematian Sultanah Safiyatuddin terjadi pemberontakan kepada ratu baru yang terpilih, Nakiyatuddin. Akhirnya, Syekh al-Islam yang juga menjabat kepala hakim, menghukum mati semua pemberontak, kecuali seorang ulama yang yang dihukum potong kaki dan tangan serta harta bendanya dirampas menjadi milik umum.19 Dari pemaparan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa hukum pidana yang diberlakukan di Aceh mencakup aspek fundamental (kaidah larangan) dari hukum pidana Islam yaitu pembunuhan, pencurian, perzinaan, minum khamr, murtad dan perampokan. Namun jika dilihat dari aspek instrumental (jenis ancaman hukuman), dalam batas tertentu sering kali tidak seluruhnya sama seperti ketentuan syari‟ah. Ini memperlihatkan bahwasanya dalam pemberlakuan hukum pidana Islam di Aceh, terjadi dinamika sosial yakni masuknya unsur adat ke dalam pemberlakuan syariah.20
17
Ibid, h. 140. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005), h. 127. 19 Ayang Utriza NWAY, “Adakah Penerapan Syari‟at Islam di Aceh?..”, h. 142. 20 Khamami Zada, “Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syari‟at Islam di Aceh (15141903 M)”, Karsa Vol. 20, No. 2, Desember 2012, h. 197. 18
35
Menurut Arskal Salim, bahwa pemberlakuan hukum pidana lslam di Nusantara menunjukan betapa pelaksanaan hukum pidana Islam tidak pernah berlaku secara seragam dan konsisten.21 Karena keberlakuannya sangat ditentukan oleh kebijakan penguasa pada masanya. Ia menambahkan, pemberlakuan hukum pidana Islam di sejumlah kerajaan Nusantara22 adalah sebuah proses interaksi yang aktif antara hukum lslam dan tradisi lokal setempat yang kemudian menjelma menjadi sebuah akulturasi.23
B. Pada Masa Kolonial Belanda Dengan
adanya
kerajaan-kerajaan
Islam
menggantikan
kerajaan
Hindu/Budha berarti untuk pertama kalinya hukum Islam telah ada di Indonesia sebagai hukum yang diterima dan diakui. Karena para penguasa ketika itu memposisikan hukum Islam sebagai hukum negara. 24 Belanda sejak zaman VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) 1602-1798 M tetap membiarkan lembaga asli yang ada dalam masyarakat sebagaimana sebelumnya. Langkah ini diambil sebagai upaya menghindari perlawanan dari masyarakat Muslim dan VOC juga tetap mengakui apa yang berlaku sejak
21
Arskal Salim, “Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara”, Hukum Respublica, Vol. 5, No. 1, Tahun 2005, h. 67-68. 22 Selain Aceh, beberapa kerajaan lain seperti Banten dan Mataram juga pernah memberlakukan aspek hukum pidana Islam. Bisa di lihat dalam Arskal Salim, Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara , h. 67, Azyumardi Azra, Implementasi Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam: Perspektif Sosio-Historis, dalam Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh: Problem, Solusi dan Implementasi (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2003), h. Xxviii, Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 39. 23 Arskal Salim, “Perkembangan Awal Hukum...”, h. 72. 24 Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia, (Ciputat:Ciputat Press, 2005), h. 48.
36
berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara seperti hukum keluarga Islam, perkawinan, waris dan wakaf.25 Keadaan hukum Islam pada zaman VOC lebih maju daripada sebelumnya, karena telah terhimpun dalam beberapa kitab hukum. Pemerintah Belanda sendiri pada waktu itu, hampir pertengahan abad ke-18 , berusaha menyusun buku-buku hukum Islam sebagai pegangan hakim-hakim pengadilan negeri (landraad) dan pejabat pemerintahan. Dalam Statuta Jakarta 1642 bahkan hukum keluarga diakui dan diterapkan dengan peraturan Resolutie der Indiesche Regeering pada 25 Mei 1760, yang merupakan aturan hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam yang dikenal dengan Compendium Freijer.26 Selain itu juga diadakannya Pepakem Cirebon sebagai pegangan bagi hakim-hakim peradilan adat yang isinya antara lain memuat sistim hukuman seperti pemukulan, cap bakar, dirantai dan lain sebagainya. Selain itu juga terdapat kitab hukum Mugharaer yang berlaku untuk pengadilan negeri Semarang yang berisi perkara-perkara perdata dan pidana yang sebagian besar bermuatan hukum pidana Islam.27 Posisi syariat Islam tampak strategis ketika Belanda masih menggunakan teori Reception in Complexu. Digagas oleh Loedewyk Willem Christian Van Den Berg, teori ini menyatakan pemberlakuan hukum Islam secara penuh terhadap orang Islam karena mereka telah memeluk agama Islam. Dengan kata 25
Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 47. 26 Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam dalam sistem Ketatanegaraan indonesia”, dalam Amrullah Ahmad SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:Gema Insani press, 1996), h. 131. 27 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia, (Malang:Bayumedia Publishing, 2005), h. 34.
37
lain, hukum mengikuti agama yang dianut penduduk. Jika orang memeluk agama Islam maka hukum Islamlah yang berlaku.28
Meskipun demikian,
hukum pidana Islam belum menjadi hukum yang berlaku bagi pribumi Muslim. Belanda hanya baru mengakui hukum perdata Islam (Pernikahan, perceraian, waris dan wakaf). Politik hukum Belanda masih meminggirkan hukum jinayah sebagai bagian dari totalitas pemberlakuan syari‟at Islam. Seiring adanya perubahan orientasi politik, Belanda mulai melakukan penyempitan ruang gerak serta Belanda
memberikan
perkembangan hukum Islam. Di sisi lain,
keleluasaan
kepada
adat
kebiasaan
dan
membenturkannya dengan hukum Islam. Pemerintah Belanda berusaha meminggirkan peranan hukum Islam dari kehidupan masyarakat dan mendukung adat setiap kali terjadi pertentangan tersebut.29 Inilah yang disebut sebagai periode penerimaan hukum Islam oleh adat yang disebut Theorie Receptie yang dikemukakan oleh Van Volennhoven dan Snouck Hurgronje 30. Teori ini menegaskan bahwa hukum Islam baru dapat belaku bila dikehendaki atau diterima oleh hukum adat. Pendapat ini diberi dasar hukumnya dalam Undang-Undang
dasar
Hindia
Belanda
yang
menjadi
pengganti
Regeerningsreglement (R.R), yang disebut Wet de Staatsinricting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatregeling (IS). Berdasarkan IS yang
28
Ibid, h. 37-38. Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam:Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer, (Jakarta:Prenada Media Group, 2010), h. 252. 30 Imam Syaukani, Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2006), h. 75. 29
38
diundangkan dalam Staatsblad 1929:212, hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda.31 Selanjutnya pada pertengahan tahun 1937 pemerintah Hindia Belanda mengumumkan gagasan pemindahan wewenang tentang waris dari pengadilan Agama. Dengan Staatsblad 1937 No. 116 wewenang pengadilan Agama itu dicabut dengan alasan hukum waris Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Perkara waris ini kemudian dilimpahkan wewenangnya kepada landraad atau Pengadilan Negeri. Tampak adanya upaya pemerintah Belanda untuk mempersempit ruang lingkup berlakunya hukum Islam. Bahkan untuk hukum
waris
berusaha
“dihabisi”
dengan
menyerahkan
wewenang
pemeriksaannya kepada landraad. 32 Sebagaimana yang diungkap oleh Aqib Suminto, sikap ini diambil Belanda karena khawatir terhadap gerakan Pan Islamisme yang bisa berujung pada kesadaran tentang gerakan kemerdekaan di Indonesia.33 Itu sebabnya, bukan hanya hukum keluarga yang dibatasi pemberlakuannya, tetapi juga hukum pidana Islam yang dipinggirkan pemberlakuannya. Pada masa kolonial tidak ada dilaporkan satu pun praktik pelaksanaan hukum pidana Islam di wilayah-wilayah jajahannya. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara telah menjadi kekuatan utama dalam menjalankan ajaran syariat termasuk di dalamnya bidang pidana Islam. Namun, sejak masuknya politik hukum Belanda di Indonesia, Belanda melakukan penyempitan ruang gerak dan
31
Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam .”, h. 132. A. Qodri Azizy, Elektisme Hukum Nasional:Kompetensi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), h. 155. 33 Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta:LP3S, 1985), h. 64-99. 32
39
perkembangan hukum Islam dalam arti bahwa keberadaannya tidak menguntungkan bagi kepentingan politik kolonial Belanda.34
C. Pada Masa Pasca Kemerdekaan Dalam catatan sejarah bangsa ini, perjuangan sebagian umat Islam untuk memasukkan syariat sebelum dan setelah Indonesia merdeka mengalami dinamika yang fluktuatif. Di Indonesia, periode penting dalam perjuangan pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam hukum negara dilalui dalam empat periode, yaitu periode menjelang kemerdekaan dalam sidang BPUPKI, periode awal kemerdekaan dalam Majelis Konstituante 1957-1959, periode awal pemerintahan Orde Baru dalam Sidang MPR 1966-1968 dan periode pasca Orde Baru dalam Sidang MPR 2000-2002.35 Pada setiap periode tersebut, seluruh usaha untuk memasukkan syariat (yang
pada
perkembangan
selanjutnya
dikenal
dengan
perjuangan
memasukkan Piagam Jakarta termasuk di dalamnya pemberlakuan hukum pidana Islam) di Indonesia ternyata gagal. Perdebatan terakhir terjadi setelah Indonesia mengalami reformasi politik dan hukum pasca rezim Orde Baru, terutama dalam Sidang MPR 2000, 2001 dan 2002. Pada saat itu beberapa partai Islam seperti PPP, PBB dan PK mengajukan proposal pencantuman kembali tujuh kata Piagam Jakarta dalam amandemen UUD 1945.36 Sama seperti masa sebelumnya, terdapat polarisasi kelompok Islam 34
yang
Ibid Arskal Salim, Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia, (Honolulu: University of Hawai Press, 2008), h. 85. 36 M. Zainal Anwar, “Formalisasi Syari‟at Islam di Indonesia:Pendekatan Pluralisme Politik dalam Kebijakan Publik”, Millah Vol. X, No. 2, Februari 2011, h. 198. 35
40
memperjuangkan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 maupun rumusan yang inklusif yaitu “Kewajiban menjalankan Agama bagi pemelukpemeluknya”.37 Dan kelompok nasionalis38 yang tetap konsisten menolak Piagam Jakarta. Akhirnya, disepakati rumusan alternatif pertama dalam Sidang Pleno MPR Agustus 2002, yaitu “Negara Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.39 Meskipun Piagam Jakarta sebagai pintu masuk dalam pemberlakuan hukum pidana Islam tidak berhasil diperjuangkan, tetapi Pancasila dan pasal 29 UUD NRI 1945 mengakomodir hukum Islam dijamin dalam negara Indonesia. Justru Pancasila sebagai norma hukum tertinggi yang berarti Indonesia tidak menghilangkan peran agama dalam kehidupan bernegara.40 Sedangkan hingga saat ini, yang menjadi produk hukum pidana nasional adalah KUHP
yang tidak mengakomodir syari‟at Islam. Meskipun diatur
pembunuhan, pencurian, perampokan, persetubuhan dan minuman keras dalam KUHP, tetapi hukuman yang dikenakan berbeda dengan syari‟at Islam. Posisi hukum pidana Islam pasca kemerdekaan jelas sekali tidak pernah diberlakukan di Indonesia. Meskipun secara nasional, hukum Pidana Islam tidak diberlakukan di Indonesia, namun hukum pidana Islam diberlakukan di Aceh. Tonggak pelaksanaan hukum pidana Islam di Aceh adalah disahkannya UU
37
Partai-partai yang berjuang memasukan 7 kata Piagam Jakarta ke dalam pasal 29 yaitu: PPP,PBB,PNU (Partai Nahdlatul Ulama),PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia). sedangkan partai dengan rumusan inklusifnya yaitu: PAN,PKB dan PK (sekarang PKS) 38 Partai Nasionalis seperti PDIP,GOLKAR,PDKB (Partai Demokrasi Kasih Kebangsaan) 39 Arskal Salim, Challenging The Secular State.., h. 107. 40 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta:Kanisius, ttp), h. 39.
41
No. 44 Tahun 1999 yang pada intinya UU ini memberikan keistimewaan untuk melaksanakan syari‟at Islam di Aceh.41 Tidak cukup dengan Keistimewaan Aceh, negara juga memberikan otonomi khusus yang diatur dalam UU No. 18 Tahun 200142 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk menyelenggarakan pemerintahannya. Dengan UU itu pula masyarakat Aceh diberi kesempatan dalam menjalankan syari‟at Islam dalam bentuk peraturan perundang-undangan.43 Dalam UU No.18 Tahun 2001 disebutkan bahwa Mahkamah Syar‟iyyah akan melaksanakan syari‟at Islam yang dituangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Untuk itu telah disahkan pertama-tama sebuah Qanun yaitu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari‟at Islam.44 Berikutnya lahir sejumlah peraturan perundang-undangan di Aceh dalam bidang pidana Islam, diantaranya: 1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syi’ar Islam Jenis dari ketiga bidang ini telah diatur ke dalam UU No. 11 tahun 2002 secara lebih rinci.45 Sedangkan ketentuan pidana yang diatur terhadap pelanggaran UU ini yaitu berupa hukuman Ta‟zir.46 41
Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam, (Banda Aceh:Dinas Syari‟at Islam Povinsi NAD, 2005) ,h. 60. 42 Sebagaimana disahkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebagai pengganti UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang OTSUSNAD 43 Warkum Sumitro, Perkembangan Hukum Islam.., h. 225 44 Al Yasa Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at.. , h. 61. 45 Pasal 4-13 Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. 46 BAB VIII Ketentuan Pidana Pasal 20-23 Qanun no. 11 Tahun 2002.
42
2. Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya Qanun ini menetapkan ketentuan fiqih mengenai minuman khamar yang
haram
hukumnya.
Hukum
haram
ini
berkaitan
dengan
pengkonsumsian, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusiannya.47 Sanksi bagi pelaku yang mengkonsumsi khamar dan sejenisnya akan dijatuhi hukuman hudud berupa cambuk sebanyak 40 kali.48 Sedang bagi orang yang memproduksi dan mengedarkannya, baik dengan cara menyimpan, menjual dan sebagainya dijatuhi hukuman ta‟zir.49 3. Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan Sejenisnya Dalam qanun ini dijelaskan, yang dimaksud dengan maisir (perjudian) adalah kegiatan dan/atau perbuatan yang bersifat taruhan antara dua pihak atau lebih di mana pihak yang menang mendapatkan bayaran. 50 Mengenai hukuman atas para pelanggar, Setiap orang yang melakukan judi diancam dengan „uqubat cambuk paling banyak 12 kali dan paling sedikit 6 kali51. Sedangkan setiap orang yang berkegiatan atau usaha yang secara sengaja dibuat agar dapat digunakan orang lain untuk melakukan judi, serta pemberian fasilitas dan perlindungan untuk perbuatan judi, baik oleh orang pribadi ataupun badan hukum termasuk pemerintah
diancam dengan
hukuman Ta‟zir.52
47
Pasal 5 dan 6 Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya Pasal 26 ayat (1) Qanun No. 12 Tahun 2003 49 Pasal 26 ayat (2) Qanun No. 12 Tahun 2003 50 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan sejenisnya. 51 Pasal 23 ayat (1) Qanun No. 13 Tahun 2003 52 Pasal 23 ayat (2) Qanun No. 13 Tahun 2003 48
43
4. Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Perbuatan Mesum) Dalam qanun ini, yang dimaksud dengan khalwat adalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukallaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan.53 Sedangkan mengenai hukumannya, yaitu bagi mereka yang melanggar hukuman ini akan dikenakan sanksi ta‟zir.54 5. Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat Dalam penyaluran zakat, Baitul Mal diberi kewenangan untuk menentukan besaran dana yang akan diserahkan kepada masing-masing senif. Tetapi penentuan besaran ini harus berpedoman pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Dewan Syari‟ah. Sedangkan hukuman atas orangorang yang melanggar qanun ini yaitu berupa sanksi ta‟zir.55 6. Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal Seperti yang telah disinggung dalam qanun sebelumnya, badan Baitul Mal mempunyai kewenangan yang salah satunya adalah mengumpulkan, menyalurkan dan mendayagunakan zakat.56 Dalam pengelolaan zakat ada beberapa perbuatan yang dianggap sebagai jarimah ta‟zir dan karena itu hukumannya berupa sanksi ta‟zir.57 Dalam perjalanannya, pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia mengalami pasang surut. Keberadaanya lebih kental diwarnai nuansa politis dalam artian sangat dipengaruhi oleh intervensi dari golongan yang memiliki 53
Ketentuan Umum Pasal 1 angka 20 Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat. Pasal 22 ayat (1) (2) (3) Qanun No. 14 Tahun 2003 55 Pasal 38, 39, 40, 41, 42, 43 ) Qanun No. 7 Tahun 2004 56 Pasal 8 ayat (1) (2) Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal 57 Pasal 50,51,52,53,54 Qanun No. 10 Tahun 2007 54
44
kekuasaan dan kekuatan, baik secara politik maupun ekonomi. Bisa dikatakan bahwa pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam pada masa kerajaan adalah benar adanya karena didukung oleh kehendak politik penguasa/raja. Namun pada masa-masa awal kedatangan Belanda dengan politik hukumnya, secara bertahap dan sistematis, Belanda berusaha mengurangi peran dan wewenang dari institusi Peradilan Agama. Bukan hanya hukum keluarga yang dibatasi, tetapi juga hukum pidana Islam yang dipinggirkan pemberlakuannya. Setelah Indonesia merdeka, perjuangan sebagian umat Islam untuk menjadikan negara agama yang termasuk di dalamnya pemberlakuan hukum pidana Islam, juga mengalami dinamika politik yang fluktuatif. Hingga pada akhirnya, meskipun hukum pidana Islam tidak bisa diberlakukan secara nasional, namun daerah
Aceh mendapat keistimewaan untuk menjalankan
syariat Islam termasuk di dalamnya hukum pidana Islam. Adalah suatu kenyataan bahwa penerapan Syari‟at Islam secara Formal di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan bagian dari proses politik dalam rangka menciptakan perdamaian di Aceh.58
58
Masykuri Abdillah, Formalisasi Syari’at Islam Di Indonesia:Sebuah pergulatan yang tak pernah tuntas, (Jakarta:Renaisan, 2005), h. 210,
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 19/PUU-VI/2008 TERKAIT WACANA PEMBERLAKUAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KOMPETENSI ABSOLUT PERADILAN AGAMA
Jika pada bab-bab sebelumnya penulis telah menguraikan apa yang dimaksud dengan istilah hukum pidana Islam serta sejarah pemberlakuan aspek hukum pidana Islam di Indonesia, pada bab ini penulis akan menguraikan putusan Mahkamah Konstitusi terkait wacana hukum pidana Islam ke dalam kompetensi absolut Peradilan Agama. Yang mana dalam hal ini penulis akan menganalisa lebih lanjut amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 serta bagaimana prospek pemberlakuan hukum pidana Islam di Indonesia di masa mendatang. A. Profil Singkat Mahkamah Konstitusi 1. Sejarah dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi Sebagaimana yang telah penulis uraikan pada bab pendahuluan di atas bahwa Indonesia adalah negara hukum, dalam artian yang menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya, baik berdasarkan hukum tertulis maupun yang tidak tertulis.1 Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan di atas, maka salah satu substansi penting dari amandemen UUD NRI 1945 sebanyak 4 (empat) kali adalah harus dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebaga lembaga negara yang berfungsi 1
Arief Budiman, Teori Negara;Negara, Kekuasaan dan Idiologi, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), h. 1.
45
46
menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan cita-cita demokrasi. Hal ini masih merupakan mata rantai reformasi 1998 yang menghendaki perlunya reformasi konstitusi yang dapat menjamin secara konsisten penegakan hak-hak asasi manusia dan demokrasi melalui sistem pemerintahan konstitusional. Oleh karena itu, pada tanggal 13 Agustus 2003 diterbitkanlah UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Seperti dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie bahwa keberadaan MK bagi suatu negara umumnya
merupakan
negara-negara
yang
pernah
mengalami
krisis
konstitusional dan baru keluar dari sistem pemerintahan otoriter.2 Yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji UU terhadap UUD NRI 1945, memutus sengketa antar lembaga negara yang kewenangannya diatur di dalam UUD NRI 1945, memutus sengketa hasil pemilu dan memutus pembubaran parpol. Sedangkan kewajiban Mahkamah Konstitusi adalah memutus pendapat atau dakwaan (impeachment) DPR bahwa presiden/wakil presiden telah melanggar hal-hal tertentu di dalam UUD NRI 1945 atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.3 Sejak keluarnya UU No. 12 tahun 2008 yang merupakan perubahan atas UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan MK ditambah satu lagi yakni memeriksa dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sebelumnya menjadi kompetensi Mahkamah Agung. Pengalihan 2
H. Achmad Sukarti, “Kedudukan dan Wewenang MK Ditinjau dari Konsep Demokrasi Konstitusional Studi Perbandingan di Tiga Negara (Indonesia, Jerman dan Thailand)”, Equality Vol. 11 No. 1, Februari 2006, h. 42. 3 Lihat pasal 10 ayat (1)-ayat (3) UU No. 24 tahun 2003 jo. UU No. 8 tahun 2011 tantang Mahkamah Konstitusi.
47
wewenang ini merupakan konsekuensi dari ketentuan UU No. 22 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pemilu yang menempatkan pilkada ke dalam rezim pemilihan umum.4 2. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan keuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan secara bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya.5 Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi diantaranya diajukan masing-masing 3 (tiga) orang oleh Mahkamah Agung, 3 (tiga) orang oleh DPR, 3 (tiga) orang oleh Presiden, dan untuk selanjutnya ditetapkan oleh Keputusan Presiden.6 Adapun susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Sebelum ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi terpilih, rapat pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim konstitusi yang tertua usianya.7 Untuk kelancaran pelaksanaan tugas dan
4
Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:Rajawali Pers, 2009), h. 273. 5 Lihat UUD NRI 1945 pasal 24 ayat (1) dan ayat (2). 6 Terkait hakim yang menangani kasus judicial review oleh Suryani ini yaitu Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap anggota, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Harjono, Maruarar Siahaan, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H. Abdul Mukthie Fadjar. 7 Lihat pasal 4 UU No. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
48
wewenangnya, Mahkamah Konstitusi dibantu oleh Sekretariat Jenderal dan kepaniteraan. Ketentuan mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas dan wewenang Sekretariat Jenderal dan Kepanitiaan Mahkamah Konstitusi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Sedangkan anggaran Mahkamah Konstitusi dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).8
B. Duduk Perkara Sebelum penulis menganalisa amar putusan dari Mahkamah Konstitusi, terlebih dahulu akan diuraikan duduk perkara yang melatarbelakangi lahirnya putusan ini. Putusan ini bermula ketika pada tanggal 24 Juni 2008 seorang buruh bernama Suryani yang berasal dari Serang, Banten, mengajukan judicial review atas Undang-Undang Peradilan Agama kepada Mahkamah Konstitusi terkait dengan kompetensi Peradilan Agama di Indonesia. Suryani mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang berbunyi “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di Bidang; (a). Perkawinan, (b). Waris, (c). Wasiat, (d). Hibah, (e). Wakaf, (f). Zakat, (g). Infak, (h). Shadaqah, (i). Ekonomi Syari‟ah.” beserta Penjelasan pasal tersebut terhadap Pasal 28e ayat
8
Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia;Upaya Membangun Kesadaran dan pemahaman Kepada Publik akan Hak-hak Konstitusionalnya yang Dapat Diperjuangkan dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi, (Bandung:PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 13.
49
(1), Pasal 28i ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945, dengan alasan sebagai berikut:9 1. Bahwa hak dan/atau kewenangan konsitusional yang dimiliki oleh Pemohon dalam permohonan ini adalah hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut ajaran agama Pemohon, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam UUD NRI 1945 yaitu pasal 28e ayat (1) juncto pasal 28i ayat (1) dan ayat (2) juncto pasal 29 ayat (1) dan ayat (2).10 2. Bahwa pemohon berpendapat pemberlakuan Pasal 49 ayat (1) UndangUndang No. 7 Tahun 1989 yang kemudian diubah oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal yang sama beserta penjelasannya, adalah bertentangan dan atau tidak sesuai dengan amanat konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28e ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Karena hak dan/atau kewenangan konsitusional pemohon untuk “bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama” agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama Pemohon yaitu agama Islam, telah “dibatasi” oleh negara melalui UndangUndang tentang Peradilan Agama tersebut.
9
Putusan MK No. 19/PUU-VI/2008, h. 6-10. Pasal 28e ayat (1) “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,” juncto Pasal 28i ayat (1) “Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Ayat (2) “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. juncto Pasal 29 ayat (1) “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” 10
50
3. Bahwa inti di dalam ajaran Agama Islam adalah iman dan taqwa, yang berarti patuh menjalankan segala perintah Tuhan Yang Maha Esa dan menjauhkan segala laranganNya tanpa terkecuali. Selain diperintahkan menjalankan hukum agama (syariat) Islam secara perdata untuk perkara hukum rumah tangga (perkawinan), waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan perdagangan (ekonomi), sebagaimana yang telah ditegakkan Peradilan Agama Indonesia, Al-Qur‟an juga memerintahkan umat Islam untuk menjalankan hukum agama (syariat) di bidang pidana. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam QS. Al-Maidah (5):38, yaitu:
Artinya: “laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” Dengan tiga alasan itu, menurut pemohon, Undang-Undang tentang Peradilan Agama khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya, telah merugikan seluruh umat Islam (termasuk juga Pemohon). UU tersebut dianggap membatasi umat Islam dalam hal menegakkan hukum agama (syariat) Islam secara menyeluruh (kaffah), seperti yang telah diperintahkan AlQur‟an dan Al-Hadits sebagai sumber utama ajaran agama Islam. Juga dianggap berpotensi merugikan umat Islam, karena apabila umat Islam sebagai komunitas sosial menjalankan perintah Allah SWT sebagaimana telah difirmankan dalam Al-Qur‟an (Surat al-Maidah ayat 38) tersebut di atas, maka
51
pasti akan dianggap menegakkan „hukum di atas hukum.‟ Sesuai aturan hukum yang masih berlaku di Indonesia sampai saat ini, hal tersebut akan dianggap sebagai „pelanggaran hukum.‟ Jadi, jelaslah bahwa menurut pemohon, ketentuan pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama di atas, sangat nyata telah merugikan dan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon dan seluruh umat Islam di Indonesia.
C. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Sebelum diuraikan apa yang menjadi isi putusan MK terkait hal ini, terlebih dahulu akan diuraikan beberapa bukti-bukti tertulis yang menguatkan alasan si pemohon. Diantaranya:11 1. Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama Suryani. 2. Fotokopi UUD NRI 1945 yang sudah diamandemen (dalam satu naskah). 3. Fotokopi tentang UU No. 7 tahun 1989 dan UU No. 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 4. Fotokopi artikel “Membumikan Syariat Islam di Pesantren”, dimuat Radar Banten, 8 Juli 2006. 5. Fotokopi buku Penerapan Syari‟at Islam:Bercermin pada Sistem Aplikasi Syariah Zaman Nabi, h. 26-29, oleh Drs. Husnul Khatimah, penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
11
Putusan MK No. 19/PUU-VI/2008, h. 15.
52
6. Fotokopi Juz „Amma dan Terjemahannya, h. 18. Surat Al-Kafirun ayat 4-6. Diterbitkan oleh CV Wicaksana, Semarang. Fotokopi Al-Qur‟an surat AlMaidah dan surat Al-Hajj. 7. Fotokopi UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. 8. Surat Keterangan dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Serang, terkait penjelasan inti dari ajaran agama Islam yaitu Iman dan Takwa yang berarti patuh menjalankan segala perintah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan segala laranganNya tanpa terkecuali. Yang mana hal ini sejalan dengan amanat UUD NRI 1945 dan Pancasila. 9. Fotokopi Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, pada poin Maksud dan Tujuan serta fotokopi Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan yang pada intinya ketetapan ini menjelaskan bahwasanya beriman dan bertakwa juga merupakan amanat konstitusional yang diperintahkan UUD NRI 1945 dan Pancasila kepada seluruh bangsa Indonesia.
Berdasarkan alasan dan seluruh bukti-bukti yang diajukan oleh pihak pemohon
di
atas,
Hakim
Mahkamah
Konstitusi
memiliki
beberapa
pertimbangan terkait hal ini, antara lain: 1. UU
Peradilan
Agama
dibuat
pembentuk
undang-undang berdasar
kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24
53
ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD NRI 1945.12 2. Bahwa antara posita dan petitum Pemohon menunjukkan ketidaksesuaian. Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama, sedangkan di dalam positanya meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup kompetensinya diperluas mencakup hukum pidana Islam (jinayah). 3. bahwa dalil Pemohon tersebut tidak sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan antara agama dan negara. Karena Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat.Dan bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam UUD NRI 1945, sehingga dalil Pemohon tersebut tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Maka, dari semua alasan dan bukti-bukti yang diajukan pemohon, dan atas dasar pertimbangan-pertimbangan Hakim Mahkamah tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwasanya permohonan tersebut Ditolak.
12
Pasal 24 ayat (2) berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; Pasal 24A ayat (5) berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”.
54
D. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi 1. UU Peradilan Agama Telah Sesuai dengan Amanat UUD NRI 1945 Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, salah satu yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah menguji Konstitusionalitas UU.13 Terkait permohonan ini, pemohon mendalilkan bahwa pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama telah bertentangan dengan Pasal 28e ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI 1945. Perlu diketahui bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD NRI 1945.14 Dari kedua pasal ini nampak bahwa UU Peradilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing sesuai dengan latar belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila. Oleh sebab itu, pengaturan pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Namun, penulis ingin memberi catatan bahwasanya Mahkamah Konstitusi seolah hanya menilai UU Peradilan Agama telah sesuai sebagaimana yang diamanatkan konstitusi. Mahkamah Konstitusi seharusnya juga perlu memperhatikan bahwa seyogyanya substansi yang diatur dalam UU
13
Lihat pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945, pasal 10 ayat (1) UU No.8 tahun 2011 tentang MK, pasal 29 ayat (1)a UU No.48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 14 Pasal 24 ayat (2) berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”; Pasal 24A ayat (5) berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”.
55
Peradilan Agama menafikan hal-hal lain yang
terkait dengan hak
konstitusional warga Negara yang telah dijamin di dalam UUD NRI 1945. Tentu dalam konteks permasalahan ini, siapapun bisa menafsirkan bentuk kebebasan beragama yang juga dapat ditafsirkan sebagai hak warga negara Muslim untuk melaksanakan semua aspek kehidupan beragama termasuk bidang pidana Islam (menurut pemohon), yang mana hal ini tidak diakomodir dalam UU Peradilan Agama. Sehingga, dalam hemat penulis, Mahkamah Konstitusi seharusnya perlu menelaah hak konstitusional sebagaimana alasan dan bukti-bukti yang diajukan pemohon sebagai batu uji untuk menilai materi yang tercantum dalam UU Peradilan Agama menyangkut kewenangannya. Terlebih lagi pada pasal 2 UU Peradilan Agama No. 3 tahun 2006 menyatakan kata “perdata tertentu” telah diubah menjadi kata “perkara tertentu” yang berarti menurut penulis, hukum pidana Islam bisa berpeluang untuk masuk ke dalam wewenang Lembaga Peradilan Agama. 2. Mahkamah Konstitusi bertindak sebagai Negative Legislator, Bukan Positive Legislator Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama karena telah bertentangan dengan UUD NRI 1945, Sedangkan di dalam positanya, pemohon meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup kompetensi Peradilan Agama diperluas mencakup hukum Islam yang lain termasuk hukum pidana Islam (jinayah). Terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi tidak berwenang sebagai positive legislator dalam arti menambah rumusan undang-undang yang
56
dibuat oleh lembaga legislatif. Sehingga, permohonan Suryani agar Peradilan Agama ditambah wewenangnya untuk mengadili kasus yang terkait pidana (jinayah) tidak bisa dikabulkan.15 Perlu diingat bahwa Mahkamah Konstitusi hanya berwenang sebagai negative legislator yaitu
menghapus ayat atau pasal-pasal dalam undang-
undang yang dinilai tidak sejalan dengan pasal atau ayat yang tertuang konstitusi. Dari penjelasan di atas terlihat bahwa antara posita dan petitum pemohon terdapat ketidaksesuaian. Dari uraian di atas, menurut penulis, Mahkamah Konstitusi seolah menyarankan agar usulan si pemohon diajukan kepada lembaga legislatif yang berwenang untuk menambah rumusan UndangUndang. 3. Paradigma Relasi Agama-Negara di Indonesia adalah Paradigma Simbiotik Berdasarkan kerangka teori analisis yang sudah dipaparkan di bab pendahuluan, bagian sub bab ini akan mencoba menguraikan bagaimana putusan Mahkamah Konstitusi jika dilihat dari teori yang diajukan oleh Din Syamsuddin terkait relasi agama-negara di Indonesia. Menurut Din Syamsuddin, terdapat paling tidak tiga paradigma tentang relasi agama dan negara.16 Paradigma pertama mengajukan konsep bersatunya agama dan negara atau yang biasa disebut dengan paradigma Integralistik. Paradigma ini dianut oleh kelompok Syi‟ah dan kelompok fundamentalis Jamaat Islami di Pakistan. Menurut paradigma ini, negara merupakan lembaga politik dan 15
Putusan MK No. 19/PUU-VI/2008, h. 23 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Ciputat:PT Logos Wacana Ilmu, 2002), h. 58. 16
57
keagamaan sekaligus. Artinya, pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar “kedaulatan Ilahi”, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di “tangan” Tuhan. Dalam sejarah politik Islam di Indonesia, wacana agama-negara yang bercorak integralistik di atas pernah dominan, khususnya pada masa pemerintahan Orde Lama. Yakni dalam konsep yang tertuang dalam dasar negara Pancasila, 22 Juni 1945, yang dikenal dengan tujuh kata.17 Melalui kompromi yang alot, akhirnya rumusan koersif itu dihilangkan sebagaimana tertera pada pancasila yang sekarang meskipun wacana ini kemudian diperdebatkan kembali selama perdebatan dalam konstituante tentang dasar negara seperti yang telah penulis uraikan di bab sebelumnya. Kedua, paradigma yang memandang relasi agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yaitu hubungan timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara memelukan agama, karena dengan agama negara dapat melangkah dengan bimbingan etika dan moral. Paradigma semacam ini antara lain dikemukakan oleh Al-Mawardi dan Al-Ghazali. Konsepsi “Nasionalisme Islam” Soekarno mungkin bisa dijadikan salah satu contoh di Indonesia. Soekarno menghendaki pemisahan agama Islam dan negara dengan alasan bahwa penyatuan itu bertentangan dengan prinsip demokrasi. Melalui jalan politik, umat Islam dapat berjuang di parlemen dan jika menguasai kursi di parlemen, dapat menentukan kebijakan dan hukum-
17
Yakni “Dengan Kewajiban Menjalankan Syari‟at Islam bagi Pemeluknya”
58
hukum negara. Jika proses konstitusional ini dapat dilalui umat Islam, persatuan agama dan negara adalah absah.18 Selain itu, Pradoyo melihat bahwa “kemenangan politik Islam secara konstitusional” inilah yang dimaksud dengan pertautan agama dan negara dalam pengertian yang sebenarnya.19 Konsepsi Soekarno di atas agaknya lebih terbuka karena tetap ada peluang “keterpaduan Islam” dengan negara Pancasila melalui proses-proses alami dalam politik. Ketiga, yaitu paradigma yang menolak kedua paradigma di atas atau yang biasa disebut dengan paradigma sekularistik. Paradigma ini mengajukan pemisahan agama dan negara dalam artian menolak determinasi Islam akan bentuk tertentu daripada negara. Paradigma seperti ini dimotori oleh pemikiran politik Ali Abdur Raziq dari Mesir.20 Dalam bahasa Walter Bonang Sidjabat, ditolaknya hubungan agama dan negara didasarkan atas fakta bahwa pandangan dunia Islam berbeda dengan pandangan dunia Pancasila dan Konsep Ketuhanan pada Pancasila berwatak netral sedangkan pada Islam sangat ekslusif.21 Meskipun dari ketiga paradigma di atas tampaknya masing-masing memperoleh penganut, namun dalam realitas politik Islam di Indonesia, penganut dari paradigma integralistik dan simbiotik di atas lebih menonjol performanya sehingga diidentifikasi sebagai gerakan Islam Struktural dan gerakan Islam Kultural ketimbang paradigma sekularistik. Bahkan penganut
18
Muhammad Hari Zamharir, Agama dan Negara:Analsis Kritis Pemikiran Politik Nurcholis Madjid, (Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2004), h. 92 19 Pradoyo, Sekulerisasi dalam Polemik, (Jakarta:Grafitipers, 1993), h. 182 20 Din Syamsuddin, Etika Agama dalam.., h. 63 21 Nurcholis Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, (Jakarta:Wakaf Paramadina, 1992), h. 91.
59
paradima sekularistik ini dipandang bukan sebagai sebagai konstituen politik Islam.22 Masih menurut Din Syamsuddin, terdapat tiga aliran pemikiran politik Islam di Indonesia, yaitu aliran formalistik dan fundamentalistik yang merupakan penganut paradigma integralistik. Dan aliran substantivistik yang merupakan penganut paradigma simbiotik.23 Walaupun demikian, pada masa berkuasanya Orde Baru, wacana agamanegara dengan corak integralistik melalui parpol-parpol Islam “dibonsai” dengan konsep depolitisasi agama dengan melalui penerapan asas tunggal.24 Sebagai penggantinya, aliran substantivistik dengan paradigma simbiotiknya menjadi dominan. Pada saat kekuasaan Orde Baru runtuh, dengan segera bermunculan banyak partai politik beridentitas Islam. Fenomena ini disinyalir oleh MAS Hikam (1988) sebagai indikasi munculnya semangat untuk mengembangkan
kembali
paradigma
integralistik.
Meskipun
dalam
manifestasinya tentu terdapat perbedaan visi dan misi dari satu parpol Islam dengan yang lainnya.25 Di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008, penulis menilai bahwa terungkap satu hal yang fundamental tentang tafsir resmi UUD NRI 1945 yaitu relasi agama dan negara dalam kerangka Negara Kesatuan
22
M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara di Indonesia”, dalam Abdul Mun‟im D.Z, ed., Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta:PT KOMPAS Media Nusantara, 2000), h. 9 23 Aliran formalistik lebih menekankan ekspresi simbolik-legalistik, dan aliran fundamentalistik lebih mementingkan revivalisme kebudayaan Islam klasik. Sedangkan aliran substantivistik menawarkan pemahaman keagamaan terhadap substansi ajaran ketimbang bentuk legal-formal ajaran. 24 M. Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama-negara..”, h. 10. 25 Ibid, h. 11.
60
Republik Indonesia. Di dalam salah satu pertimbangan para hakim Konstitusi26 adalah kalimat “Indonesia bukanlah negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.” Dan “Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras.” Dari kalimat ini penulis menyimpulkan bahwa relasi agama dan negara di Indonesia bukanlah mengacu pada paradigma integralistik ataupun sekularistik, melainkan paradigma simbiotik. Dalam artian peluang “keterpaduan agama” dengan negara Pancasila hanya dapat terjadi melalui proses-proses politik. Melalui jalan politik, umat Islam dapat menentukan kebijakan dan hukum-hukum negara. Paradigma simbiotik relasi agama-negara inilah yang harus dipahami oleh Suryani selaku pemohon. Sebagai contoh, salah satu upaya pemberlakukan hukum pidana Islam ke dalam hukum nasional yakni draf RUU KUHP27 yang sudah bertahun-tahun dibahas oleh para ahli dan praktisi hukum namun hingga sekarang belum mencapai kata sepakat. Ini menunjukan bahwa materi hukum pidana Islam dalam RUU KUHP sedemikian
26
Ke-9 hakim Mahkamah Konstitusi yang memutuskan perkara ini adalah Jimly Asshidiqie, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Harjono, Maruarar Siahaan, H.A.S Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H. Abdul Mukhties Fadjar. 27 Dalam rancangan tersebut dimasukan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik Agama, kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang melanggar ketentuan agama dsb.
61
rupa tidak bisa menjadi secara otomatis dapat diberlakukan karena paradigma relasi agama-negara di Indonesia adalah paradigma simbiotik. Sehingga, dalam usaha untuk memasukan unsur Islam dalam kebijakan-kebijakan hukum negara termasuk pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam salah satu kewenangan Peradilan Agama, haruslah melalui proses-proses politik. Atas landasan paradigma simbiotik ini juga, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama ini tidak akan mengurangi hak dan kebebasan pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI 1945.28 Dari pendapat Mahkamah Konstitusi ini, penulis berpandangan bahwasanya ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI 1945 tersebut bertentangan dengan sekularisme. Karena UUD NRI 1945 menetapkan negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan Ketuhanan adalah sendi pokok dari agama. Dalam hal itu, secara konstitusional, beragama dan beriman dijamin oleh negara.29 Sehingga dalil pemohon yang menyatakan bahwa UU Peradilan Agama dapat merugikan hak konstitusionalnya sebagai warga negara dalam beragama sebagaimana yang dijamin dalam UUD NRI 1945 tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut oleh Mahkamah Konstitusi.
28
Lihat Pasal 28E, Pasal 25 ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), Pasal 29 ayat (2) UUD
NRI 1945. 29
Ahmad Sukardja, “Posisi Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundang-undangan dan Konteks Politik Hukum Indonesia”, dalam Arskal Salim dan Jaenal Aripin, ed., Hukum Pidana Islam di Indonesia:Peluang, Prospek dan Tantangan, (Jakarta:Penerbit Pustaka Firdaus, 2001), h. 214.
62
E. Prospek Pemberlakuan Hukum Pidana Islam di Indonesia Sebagaimana yang diketahui bahwa masyarakat Muslim di Indonesia sudah memiliki dasar yang kuat untuk memberlakukan hukum perdata Islam. Hal ini termaktub dalam UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Meskipun dalam proses pembentukannya mengalami reaksi yang beragam dari berbagai kalangan diantaranya ada yang berpendapat bahwa RUU PA dinilai tidak senafas dengan Pancasila dan bahkan disinyalir sebagai upaya terselubung menghidupkan kembali Piagam Jakarta, Presiden Soeharto sebagai figur yang paling bertanggung jawab mengenai RUU PA ini memberikan garansi bahwa UU ini merupakan Pelaksana Pancasila dan UUD NRI 1945 serta tidak ada hubungannya dengan Piagam Jakarta.30 Sampai masa Orde Baru, kewenangan Peradilan Agama baru menyangkut sebagian kecil dari persoalan kehidupan umat Islam, yakni dalam bidang hukum keluarga;nikah, cerai/talak, waris, wasiat dan wakaf.31 Sedangkan persoalan keperdataan Islam lainnya secara lebih luas termasuk bidang ekonomi, belum menjadi kewenangan Peradilan Agama, apalagi menyangkut hukum pidana Islam. Ada beberapa faktor penting yang menyebabkan tidak terakomodirnya hukum pidana Islam pada masa pemerintahan Orde Baru, yaitu; pertama, faktor politik hukum yang tidak memberikan kesempatan masuknya nilai-nilai hukum Islam dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Sistem politik ini terkait dengan arah kebijakan partai politik di parlemen yang phobia terhadap hukum pidana Islam yang dianggap tidak manusiawi. Selain 30
Zuffran Sabri, Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila:Dialog tentang RUU PA, (Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu, 2001), h. ix. 31 Lihat Pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
63
itu negara tidak berani mengakomodir hukum pidana Islam karena terkait dengan penolakan kelompok non muslim dan sebagian umat Islam yang tidak pro terhadap hukum Islam. Dimensi hukum pidana Islam merupakan hal yang sangat sensitif terutama kaitannya dengan isu-isu menuju Negara Islam dan Piagam Jakarta serta formalisasi hukum Islam. Di samping itu, pemerintah lebih memilih untuk tidak mengakomodir hukum pidana Islam karena terkait dengan stabilitas politik penguasa.32 Kedua, faktor kesalahpahaman dalam memahami hukum pidana Islam disebabkan ketakutan yang berlebihan terutama bagi masyarakat non muslim dan juga umat Islam sendiri. Selama ini pemahaman masyarakat terhadap hukum pidana Islam banyak menitikbertakan kepada aspek jawabir (penebus) dalam artian mereka banyak terpaku pada apa yang dikatakan nash, sehingga begitu menyebut pidana Islam terkesan kejam dan tidak berkeprimanusiaan bila dilihat dari sisi pelaku. Ketiga, faktor rendahnya kesadaran hukum masyarakat terhadap perlunya membentuk hukum pidana Indonesia yang benar-benar bersumber dari hukum yang hidup dari tengah-tengah masyarakat serta yang sejalan dengan Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat secara politik dan hukum. Dalam artian maka diperlukan pembaruan hukum pidana Indonesia dengan menjadikan hukum pidana Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional. 33 Jadi menurut penulis, nilai-nilai hukum Islam di bidang hukum pidana masih belum berhasil
32
Abdul Halim, Politik Hukum Islam di Indonesia:Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintah Orde Baru dan Era Reformasi, (Jakarta:Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2008), h. 321. 33 Ibid, h. 322.
64
mewarnai UU Peradilan Agama dan masih kuatnya pengaruh sistem hukum pidana Belanda di Indonesia. Memasuki Era Reformasi, Peradilan Agama mendapatkan kewenangan baru yakni mengadili sengketa yang terkait dengan bidang;zakat, infaq, sedekah serta ekonomi syariah namun tidak untuk hukum pidana Islam. Hal ini juga tidak lepas dari ke tiga faktor yang telah disebutkan di atas. Namun, lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 atas perubahan dari UU No. 7 Tahun 1989 telah membawa Peradilan Agama ke paradigma baru sekaligus menjadi landasan yang kuat atas terbentuknya lembaga Peradilan Agama (Mahkamah Syari‟ah) di Aceh yang kewenangannya juga mencakup hukum pidana Islam (Jinayah).34 Jaenal Aripin menguraikan bahwa salah satu yang menjadi kelemahan Peradilan Agama adalah masih belum memungkinkannya hukum pidana Islam untuk diterapkan di seluruh Peradilan Agama di Indonesia.35 Meskipun begitu, penulis berpendapat, peluang atau prospek pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam wewenang lembaga Peradilan Agama di Indonesia bukanlah hal yang mustahil. Lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 atas perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa Peradilan Agama ke paradigma baru. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 3 tahun 2006 menyatakan “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
34
Lihat Pasal 3A beserta penjelasan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan pasal 49 UU No. 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam. 35 Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2008), h. 512.
65
perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.”. Menurut penulis, Istilah “perkara tertentu” dalam pengertian di atas membuka peluang
bagi hukum pidana Islam untuk masuk ke dalam salah satu
kewenangan Peradilan Agama. Terkait hal ini, pasal 29 UUD NRI 1945 ayat (1) yang menegaskan: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan ayat (2) “Negara menjamin kemerdekaan tiap tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, Menurut penulis
hakekatnya
mengandung
kebijakan-kebijakan
prinsipil
yang
memposisikan negara sebagai pihak yang berkewajiban memfasilitasi dan menjamin dapat dijalankannya ajaran agama (termasuk hukum hukumnya) bagi para umat pemeluknya sebagai manifestasi rasa keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, hukum pidana Islam sebagai bagian integral dari ajaran agama Islam yang diakui keberadaannya oleh umat Islam Indonesia, adalah sangat logis dan konstitusional apabila ia diberi jaminan berbentuk kebijakan hukum negara yang tidak saja mengakui keberadaannya namun juga memfasilitasi terlaksanakannya hukum pidana Islam tersebut. Namun, yang perlu diingat bahwa, jika Indonesia adalah negara yang menganut paradigma simbiotik sebagaimana yang telah penulis jelaskan di atas, tentu prospek pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam kompetensi absolut Peradilan Agama adalah sangat bergantung pada elit-elit partai Islam yang menguasai kursi parlemen di DPR, karena elit-elit politik Islam lah yang sangat berperan besar dalam menentukan hukum-hukum negara yang
66
berasaskan Islam. Inilah yang penulis maksud dengan pendekatan politik hukum sebagaimana yang telah penulis uraikan dalam kerangka analisis pada bab pendahuluan. Karena hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya, dalam artian politik sering kali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai hal-hal yang bersifat das sollen (keinginan/seharusnya), melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan pasal-pasalnya maupun dalam implementasinya.36 Jika kewenangan sebelumnya yang diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 , pengadilan agama hanya berwenang mengadili perkara-perkara perdata Tertentu,37 pada masa Reformasi terdapat perubahan signifikan yaitu perluasan kewenangan di bidang zakat, infak dan ekonomi syariah. Perluasan kewenangan ini tentu hasil dari proses-proses politik sehingga dikatakan sebagai “hukum adalah produk politik” sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar,38 di samping
dikarenakan berkembangnya
kebutuhan hukum masyarakat khususnya masyarakat muslim. Namun, Ada juga pihak yang menyatakan bahwa politik Islam (baik Partai yang berasaskan Islam maupun yang mendeklarasikan diri sebagai partai
36
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi Cet. 4, (Jakarta:Rajawali Pers, 2011), h. 10. 37 Bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah. 38 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, h. 4.
67
Islam) belum tentu akan memberi keuntungan yang seluas-luasnya kepada umat Islam, dikarenakan kategori umat Islam tidaklah monolitik dan singular. Akar historis dan kulturnya, aspirasi dan kepentingannya tidak begitu saja bisa dirumuskan oleh satu pihak sebagai yang mewakili umat Islam. 39 Terkait hal ini, agaknya penulis memiliki pendapat lain, bahwa seperti yang diketahui pada saat kekuasaan Orde Baru runtuh, muncul partai-partai politik beridentitaskan Islam meskipun dalam manifestasinya tentu terdapat perbedaan visi dan misi yang bervariasi dari satu parpol dengan parpol lainnya, namun MAS Hikam memastikan adanya benang merah yang mempertemukan mereka, yaitu adanya kehendak agar Islam yang klaimnya adalah sebuah ajaran sistem yang serba mencakup, menjadi alternatif dan dominan dalam wacana praksis politik.40 Karena jika tidak ada hal demikian, lantas apa yang membedakan partai Islam dengan partai Nasionalis? Maka dari itu, menurut penulis, peluang dapat terlaksananya hukum pidana Islam ke dalam salah satu wewenang Peradilan Agama adalah bergantung pada bagaimana politik hukum pidana Islam dari elit-elit partai politik Islam akan sejauh mana mereka dapat merepresentasikan apa yang menjadi aspirasi umat Islam. Termasuk salah satunya pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam kompetensi absolut Peradilan Agama. Sebenarnya, kasus judicial review UU Peradilan agama ini juga dikaji oleh seorang sarjana hukum asal Australia, Simon Butt. Simon berpendapat bahwa kurangnya keinginan mayoritas masyarakat Indonesia untuk memilih partai-partai Islam sebagai wakil rakyat yang berada di kursi parlemen. Hal ini 39
Muh. Hanif Dhakiri, “Partai Islam dan Islam Berpartai”, dalam Abdul Mun‟im D.Z, ed., Islam di Tengah Arus Transisi, (Jakarta:PT KOMPAS Media Nusantara, 2000), h. 136. 40 Arskal Salim, “Islam dan Relasi Agama..”, h. 10.
68
terlihat
dalam pemilihan umum tahun 1999 dan 2004, partai-partai Islam
hanya menerima masing-masing 14% dan 17% suara. Sedangkan pada hasil Pemilu 2009 suara untuk partai-partai Islam menurun secara signifikan.41 Disamping itu, kurangnya kesadaran dan kemauan umat muslim akan pemberlakuan hukum Islam terlebih lagi hukum pidana Islam juga terlihat dari hasil survei yang dilakukan LSI versi Denny JA di 33 provinsi pada 28 Juli - 3 Agustus 2006 dengan responden sebanyak 700 orang tentang "Respon Publik atas Perda Bernuansa Syariat Islam”. Berdasarkan survei itu lebih dari 80 % masyarakat setuju diterapkannya peraturan daerah anti kemaksiatan, berupa larangan peredaran minuman keras, larangan perjudian dan anti pelacuran. Denny JA menambahkan mayoritas masyarakat setuju adanya penegakan terhadap moral dan kesusilaan, tetapi disisi lain ada yang menganggap cukup diwakilkan dengan KUHP, tidak perlu lagi dibuatkan dalam peraturan daerah yang bernuansa syariat Islam.42 Masih dalam survey yang sama, mayoritas masyarakat yang beragama Islam (61.7 %) lebih memilih hukum nasional yang menjamin keberagaman dibandingkan hukum Islam. Mayoritas masyarakat yang beragama Kristen (78.5 %) maupun agama lainnya (90.9
%) juga
mendukung penerapan hukum nasional. Survei LSI itu juga menunjukkan mayoritas masyarakat tidak setuju atas penerapan hukum pidana Islam, seperti 77.3 % masyarakat tidak setuju atas hukuman bagi yang tidak mengenakan busana Muslim, 77.3 % masyarakat tidak setuju hukuman potong tangan untuk
41
Simon Butt, “Islam the State and the Constitutional Court in Indonesia”, Pacific Rim Law and Policy , Vol. 19 No. 2, h. 300. 42 http://www.eramuslim.com/berita/nasional/survei-lsi-80-persen-masyarakat-setujupenerapan-perda-anti-maksiat.htm, diakses pada 3 Juli 2014, pukul 11:22.
69
pencuri, 56.4 % masyarakat tidak setuju atas hukuman cambuk untuk pemabuk, 63.3 % masyarakat tidak setuju hukuman rajam untuk orang berzina dan 71.2 % masyarakat tidak setuju hukuman mati untuk murtad.43 Dari hasil survey tersebut, penulis berpendapat bahwa pemahaman masyarakat terhadap hukum pidana Islam banyak menitikbertakan kepada aspek jawabir (penebus) dalam artian mereka banyak terpaku pada apa yang dikatakan nash, sehingga begitu menyebut sanksi berdasarkan hukum pidana Islam terkesan kejam dan tidak berkeprimanusiaan bila dilihat dari sisi pelaku. Padahal Islam sangat memperhatikan perlindungan untuk tiap individu. Allah tidaklah membuat perundang-undangan atau syariat dengan main-main dan tidak pula menciptakannya dengan sembarangan. Namun Allah mensyariatkan perundang-undangan Islam untuk kemaslahatan dunia dan akhirat.44 Kemaslahatan inti/pokok yang disepakati dalam semua syariat termasuk hukum pidana Islam tercakup dalam lima hal, seperti yang disebut oleh para ulama dengan nama al-kulliyyat al-khams (lima hal/inti pokok) yang mereka anggap sebagai dasar-dasar dan tujuan umum syariat yang harus dijaga sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Ghazali dan Imam Asy-Syathibi, yaitu: 1. Menjaga Agama (Hifdz Ad-Din); Illat (alasan) diwajibkannya berperang dan berjihad, jika ditujukan untuk para musuh atau tujuan senada. 2. Menjaga Jiwa (Hifdz An-Nafs); Illat (alasan) diwajibkannya hukum qishas, diantaranya dengan menjaga kemuliaan dan kebebasannya.
43
http://www.antaranews.com/berita/40685/lsi--mayoritas-penduduk-tetap-idealkanpancasila , diakses pada 3 Juli 2014, pukul 11:45. 44 Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, (Jakarta:AMZAH, 2009), h. xiv.
70
3. Menjaga Akal (Hifdz Al-„Aql); Illat (alasan) diharamkannya semua benda yang memabukkan atau narkotika dan sejenisnya. 4. Menjaga Harta (Hifdz Al-Mal); Illat (alasan) pemotongan tangan untuk para pencuri, illat diharamkannya riba dan suap menyuap, atau memakan harta orang lain dengan cara batil lainnya. 5. Menjaga Keturunan (Hifdz An-Nasl); Illat (alasan) diharamkannya zina dan qadzaf (menuduh orang lain berzina).45 Dalam rangka pembaruan hukum Islam di Indonesia, khususnya di bidang hukum pidana, penerapan hukum pidana Islam bisa saja dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori zawajir. Menurut teori ini, hukuman yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tidak harus persis seperti tersebut di dalam nash. Dalam artian, pelaku boleh dihukum dengan hukuman apa saja, asal dengan hukuman itu tujuan penghukuman dapat dicapai, yaitu membuat jera si pelaku dan menimbulkan rasa takut melakukan tindak pidana bagi yang lain. Prof. Masykuri Abdillah menyebut hal ini sejalan dengan kaidah fikih ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (Sesuatu yang tidak dapat dicapai sepenuhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya). Melalui pendekatan teori ini, akan menimbulkan pemahaman hukum yang kontekstual dan hukum Islam akan dinamis serta antisipatif terhadap perkembangan zaman.46 Dari semua uraian di atas, apabila politik hukum Islam (hukum pidana Islam) dari elit-elit partai Islam bisa mendominasi parlemen, bukan hal yang mustahil kebijakan-kebijakan negara di bidang hukum Islam yang lainnya, 45 46
Ibid, h. xv. Ahmad Sukardja, “Posisi Hukum Pidana Islam..”, h. 222-223.
71
termasuk hukum pidana Islam dapat menjadi salah satu kewenangan Peradilan Agama. Karena ketentuan yang ada pada pasal 2 UU Peradilan Agama No. 3 tahun 2006 telah membawa Peradilan Agama ke paradigma baru, yang dapat ditafsirkan bahwa tidak hanya perkara perdata Islam yang menjadi kewenangannya, tetapi juga perkara pidana Islam. Yang jadi pertanyaannya sekarang adalah, seperti apakah konfigurasi politik Islam di Indonesia masa mendatang? Mampukah partai-partai Islam berpacu dengan partai-partai nasionalis lainnya yang selama ini mendominasi? Karena dalam praktiknya, hukum kerap kali menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang yang memandang bahwa hukum sama dengan kekuasaan. Sehingga dalam pandangan penulis, sejatinya hukum sangat dipengaruhi oleh politik. Betapapun Indonesia sebagai Negara Pancasila yang plural, dalam realitanya sekarang adalah kebijakankebijakan hukum negara berada pada elit-elit politik yang berada di parlemen. Sehingga bukan hal yang mustahil, suatu waktu nanti aspek-aspek hukum pidana Islam dapat diterapkan di Indonesia. Selain dari bagaimana politik hukum Islam dari elit partai Islam, ini tentu juga harus didorong oleh kesadaran dan keinginan masyarakat Indonesia akan pentingnya pemberlakuan aspekaspek hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum Nasional.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah menguraikan keseluruhan bab pada skripsi ini dan menganalisa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari hal tersebut. Diantaranya: 1. Sejumlah aspek hukum pidana Islam sebenarnya pernah dipraktekkan di sejumlah kerajaan Nusantara di Indonesia. Meskipun pada masa berkuasanya politik Hindia Belanda tidak didapati praktek pemberlakuan hukum pidana Islam, pada masa pasca Kemerdekaan hukum pidana Islam dipraktekkan di wilayah Aceh. 2. Dari analisis putusan ini nampak bahwa, MK tidak dapat memenuhi apa yang menjadi kehendak si pemohon karena UU Peradilan Agama tidaklah bertentangan dengan UUD NRI 1945, selain itu MK bertindak sebagai negative legislator, bukan positif legislator yang bisa menambah rumusan hukum pidana Islam ke dalam UU Peradilan Agama. Terkait hal ini penulis juga menyimpulkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Peradilan Agama sebenarnya adalah sebuah putusan politik terhadap kasus/fenomena hukum. Selain itu, nampak jelas bahwa relasi agama-negara di Indonesia adalah paradigma simbiotik yang berarti keterpaduan agama dan negara hanya bisa dilakukan melaui proses-proses politik. 3. Kata “perkara tertentu” sebagaimana terdapat pada pasal 2 atas perubahan UU Peradilan Agama, di kemudian hari sangat membuka peluang terhadap
72
73
pemberlakuan hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum nasional di Indonesia melalui lembaga Peradilan Agama sebagai institusi penegak hukumnya. Dan tentu hal ini sangat bergantung pada bagaimana politik hukum Islam dari elit-elit partai Islam Indonesia di masa mendatang. Dan juga harus didorong oleh kesadaran dan keinginan masyarakat Indonesia akan pentingnya pemberlakuan aspek-aspek hukum pidana Islam ke dalam sistem hukum nasional.elit-elit partai Islam
B. Rekomendasi 1. Terhadap putusan ini, Mahkamah Konstitusi seharusnya juga perlu memperhatikan bahwa seyogyanya substansi yang diatur dalam UU Peradilan Agama menafikan hal-hal lain yang
terkait dengan hak
konstitusional warga Negara yang telah dijamin di dalam UUD NRI 1945. Yaitu UU Peradilan Agama yang tidak memasukan hukum Pidana Islam ke dalam salah satu yang menjadi kewenangannya. 2. Harus adanya kesadaran umat Muslim yang tinggi untuk menerapkan hukum Islam (termasuk hukum Pidana Islam) di dalam kehidupannya. Karena sejauh mana kebijakan-kebijaka hukum negara yang berasaskan hukum Islam sangat tergantung pada kesadaran umat Muslim di samping tentu hal ini juga sangat bergantung pada elit-elit politik partai Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku Abdillah, Masykuri. Formalisasi Syari’at Islam Di Indonesia:Sebuah pergulatan yang tak pernah tuntas. Jakarta: Renaisan, 2005. Abidin, Andi Zainal. Asas-asas Hukum Pidana, Bagian pertama. Bandung: Aumni, 1987. Abubakar, Al Yasa’. Syari’at Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam: Paradigma, Kebijakan dan Kegiatan. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam, 2006. ----------Bunga Rampai Pelaksanaan Syari’at Islam. Banda Aceh: Dinas Syari’at Islam Povinsi NAD, 2005. Ahmad, Fahmi Muhammad dan Aripin, Jaenal. Metode Penelitian Hukum. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010. Ali, Zainuddin. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. ---------- Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009. Al Faruk, Asadulloh. Hukum Pidana dalam Sistem Hukum Islam. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009. Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004. Anwar, M. Zainal. “Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia:Pendekatan Pluralisme Politik dalam Kebijakan Publik”. Millah Vol. X, No. 2, Februari 2011, h. 198. Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Aripin, Jaenal. Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2008. Azhary, Muhammad Tahir. Negara Hukum. Jakarta: Prenada Media, 2003. Azizy, A. Qodri. Elektisme Hukum Nasional:Kompetensi antara Hukum Islam dan Hukum Umum. Yogyakarta: Gama Media, 2002.
74
Bisri, Cik Hasan. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cet.I. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung, 1997. Budiman, Arief. Teori Negara;Negara, Kekuasaan dan Idiologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996. Butt, Simon. “Islam the State and the Constitutional Court in Indonesia”. Pacific Rim Law and Policy , Vol. 19 No. 2, h. 300. Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2008. Dhakiri, Muh. Hanif. “Partai Islam dan Islam Berpartai”, dalam Abdul Mun’im D.Z, ed. Islam di Tengah Arus Transisi. Jakarta: PT KOMPAS Media Nusantara, 2000. Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam, Cet. I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Fajar, A. Malik, ”Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif”, dalam M. Arskal Salim GP dan Jaenal Aripin, ed. Pidana Islam di Indonesia : Peluang, Prospek dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Halim, Abdul. Politik Hukum Islam di Indonesia. Ciputat: Ciputat Press, 2005. ---------- Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. ---------- Politik Hukum Islam di Indonesia:Kajian Posisi Hukum Islam dalam Politik Hukum Pemerintah Orde Baru dan Era Reformasi. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat DEPAG RI, 2008. Hanafi, A. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1967. Hasjmy, A. Iskandar Muda Meukuta Alam. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Indrati,
Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan: Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, ttp.
Dasar-dasar
dan
Irfan, M. Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah. Jakarta:Amzah, 2013. Irfan, M. Nurul. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, cet. 1. Jakarta: Amzah, 2011.
75
Iqbal, Muhammad dan Nasution, Amin Husein. Pemikiran Politik Islam:Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta:Prenada Media Group, 2010. Jauhar, Ahmad Al-Mursi Husain. Maqashid Syariah. Jakarta:AMZAH, 2009. Kansil, CST. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1979. Lamintang, P.A.F dan Lamintang, Theo. Hukum Penitensier Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. MD, Moh. Mahfud. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. ---------- Politik Hukum di Indonesia, Edisi Revisi Cet. 4. Jakarta: Rajawali Pers, 2011. Madjid, Nurcholis. Islam, Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Wakaf Paramadina, 1992. Maramis, Frans. Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012. Mardani. Kejahatan pencurian dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: CV INDHILL CO, ttp. Moeljatno. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2002. Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah. Jakarta: Sinar Grafika, 2004. ---------- Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 2005. NWAY, Ayang Utriza. “Adakah Penerapan Syari’at Islam di Aceh? Tinjauan Sejarah Hukum di Kesultanan Aceh Tahun 1516-1688 M”. Tashwirul Afkar. Edisi No. 24 Tahun 2008. h. 124. Pradoyo. Sekulerisasi dalam Polemik. Jakarta: Grafitipers, 1993. Rosyada, Dede. Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, 1992. Sabri, Zuffran. Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila:Dialog tentang RUU PA. Jakarta:PT Logos Wacana Ilmu, 2001.
76
Salim, Arskal. “Perkembangan Awal Hukum Islam di Nusantara”. Hukum Respublica, Vol. 5, No. 1, Tahun 2005, h. 67-68. ---------- Challenging The Secular State: The Islamization of Law in Modern Indonesia. Honolulu: University of Hawai Press, 2008. ----------“Islam dan Relasi Agama-negara di Indonesia”, dalam Abdul Mun’im D.Z, ed. Islam di Tengah Arus Transisi. Jakarta:PT KOMPAS Media Nusantara, 2000. Sianturi, S.R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya. Jakarta: AlumniAhaem-Petehaem, 1996. Soekanto, Soerjono, Dkk. Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2003. Sukardja, Ahmad “Posisi Hukum Pidana Islam dalam Peraturan Perundangundangan dan Konteks Politik Hukum Indonesia”, dalam Arskal Salim dan Jaenal Aripin, ed. Hukum Pidana Islam di Indonesia:Peluang, Prospek dan Tantangan. Jakarta: Penerbit Pustaka Firdaus, 2001. Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta:LP3S, 1985. Sumitro, Warkum. Perkembangan Hukum Islam di Tengah Kehidupan Sosial Politik di Indonesia. Malang:Bayumedia Publishing, 2005. Sunny, Ismail. “Kedudukan Hukum Islam dalam sistem Ketatanegaraan indonesia”. dalam Ahmad, Amrullah SF, dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Gema Insani press, 1996. Sutiyoso, Bambang. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006. Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 2002. Syaukani, Imam. Rekonstruksi Epistimologi Hukum Islam Indonesia. Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2006. Tafal, B. Bastian. Pokok-pokok Tata Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992. Ubaedillah, A, dkk. Pendidikan Kewargaaan (Civic Education), edisi ke-III. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008.
77
Wahid, K.H Abdurrahman, dkk. Hukum Islam Di Indonesia Pemikiran dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1991. Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktik. Jakarta:Sinar Grafika, 2008. Zada, Khamami. “Sentuhan Adat dalam Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh (1514-1903)”. Karsa, Vol. 20, No. 2, Desember 2012, h. 197. Zamharir, Muhammad Hari. Agama dan Negara:Analsis Kritis Pemikiran Politik Nurcholis Madjid. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.
Undang-Undang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 19/PUU-VI/2008 UUD NRI 1945 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi UU No. 7 Tahun 1989 jo.UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Bidang Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam Qanun No. 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian) dan sejenisnya Qanun No. 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum) Qanun No. 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat Qanun No. 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal
Internet http://www.antaranews.com/berita/40685/lsi--mayoritas-penduduk-tetap-idealkanpancasila http://www.eramuslim.com/berita/nasional/survei-lsi-80-persen-masyarakatsetuju-penerapan-perda-anti-maksiat.htm
78
PUTUSAN NOMOR 19/PUU-VI/2008 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1]
Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada
tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2]
Suryani, agama Islam; pekerjaan buruh; kewarganegaraan Indonesia;
alamat Kp. Tubui Nomor 35 RT. 13/05 Desa/Kecamatan Waringinkurung, Kabupaten Serang, Provinsi Banten; Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon; [1.3]
Telah membaca permohonan dari Pemohon; Telah mendengar keterangan dari Pemohon; Telah memeriksa bukti-bukti dari Pemohon. 2. DUDUK PERKARA
[2.1]
Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonan bertanggal 24 Juni 2008 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) tanggal 26 Juni 2008, dan di daftar pada tanggal 30 Juni 2008 dengan registrasi Nomor 19/PUU-VI/2008, yang telah diperbaiki dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 Juli 2008, yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
2 I. PENDAHULUAN Bahwa Pemohon dengan ini mengajukan permohonan pengujian materiil Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611) beserta Penjelasan pasal tersebut terhadap Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan alasan sebagai berikut. II. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) juncto Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UndangUndang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. III. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON 1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, "Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a) perorangan warga negara Indonesia b) kesatuan Masyarakat Hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c) badan hukum publik atau privat; d) lembaga negara.
3 2. Bahwa penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatakan, "Yang dimaksud dengan 'hak konstitusional' adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945". 3. Bahwa hak dan/atau kewenangan konsitusional yang dimiliki oleh Pemohon selaku perorangan warga negara Indonesia dalam permohonan ini adalah hak untuk bebas memeluk agama dan beribadat menurut ajaran agama Pemohon, sebagaimana yang telah dinyatakan dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya," juncto Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun". Ayat (2) berbunyi, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu" juncto Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Ayat (2) berbunyi, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu". 4. Bahwa Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia berpendapat bahwa pemberlakuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611) pada pasal yang sama beserta penjelasannya, adalah bertentangan dan atau tidak sesuai dengan amanat konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena hak dan/atau kewenangan konsitusional Pemohon untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut
4 ajaran agama Pemohon yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara melalui Undang-Undang tentang Peradilan Agama tersebut. 5. Bahwa di dalam ajaran Agama Islam, selain diperintahkan menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara perdata untuk perkara hukum rumah tangga (perkawinan), waris, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan perdagangan (ekonomi), sebagaimana yang telah ditegakkan Peradilan Agama Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611) khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya; Al-Qur’an juga memerintahkan umat Islam untuk menjalankan hukum agama (syari’at) pidana untuk perkara pelanggaran pidana. Seperti yang difirmankan Allah SWT dalam Al-Qur’an, yang salah satu contohnya terdapat pada Surat Al-Maidah ayat 38, yang artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana". Maka, jelaslah bahwa sesuai ketentuan yang ada pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) yang kemudian diubah oleh UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611) khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya,
Pemohon
menemukan
adanya
aturan
yang
telah
merugikan seluruh umat Islam (termasuk juga Pemohon). Karena telah dibatasi dalam hal menegakkan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh (kaffah), seperti yang telah di perintahkan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai sumber utama ajaran agama Islam.
5 Dan/atau berpotensi merugikan umat Islam, karena apabila umat Islam sebagai komunitas sosial menjalankan perintah Allah SWT sebagaimana telah di firmankan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 38 tersebut di atas, maka PASTI akan dianggap menegakkan hukum diatas hukum. Sesuai aturan hukum yang masih berlaku di Indonesia sampai saat ini, hal tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran hukum. Jadi, jelaslah bahwa ketentuan UU Peradilan Agama di atas, sangat nyata telah merugikan dan atau berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon dan seluruh umat Islam di Indonesia [Pasal 28E ayat (1) juncto Pasal 28I ayat (1) dan (2) juncto Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945) untuk bebas menjalankan agamanya dan beribadat menurut ajaran agamanya itu. Dalam arti: a. menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh (kaffah) sebagai bentuk ibadah, b. menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh (kaffah) sebagai syarat mutlak untuk mencapai tingkatan takwa atau tingkatan iman yang sempurna; dan c. hukum agama (syari’at) Islam sebagai bagian yang tak bisa terpisahkan dari Agama Islam. Karena dalam ajaran agama Islam, hukum agama (syari’at) Islam mempunyai kedudukan lebih utama dan spesial daripada ibadah. Bahkan setiap perbuatan umat Islam tidak akan bernilai ibadah jika tidak sesuai dengan hukum agama (syari’at) Islam. 6.
Apabila negara membatasi, menghambat, dan atau melarang umat Islam untuk dapat hidup dalam naungan/payung hukum agama (syari'at) Islam secara kaffah itu sama saja dengan bahwa: 1)
Negara telah membatasi, menghambat, dan atau melarang umat Islam untuk dapat beragama dengan bebas agar menjadi umat Islam yang beriman dan mencapai tingkatan takwa. Maka jelaslah hal ini bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945; dan
2)
Negara telah melakukan diskriminasi kepada umat Islam, karena telah mengintervensi umat Islam dalam menjalankan ajaran agamanya untuk
6 dapat
bertakwa
kepada
Allah
SWT.
Padahal
negara
tidak
mengintervensi umat agama lainnya (non Islam) untuk dapat bertakwa kepada Tuhan mereka. Maka jelaslah pula hal ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945; 4.
Bahwa Pemohon selaku warga negara Indonesia yang beragama Islam, mempunyai kualifikasi untuk mengajukan Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya terhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi, karena merasa hak/kewenangan konstitusional Pemohon [Pasal 28E ayat (1) juncto Pasal 28I ayat (1) dan (2) juncto Pasal 29 ayat (1) dan (2)] sangat nyata telah dirugikan dan atau potensial dirugikan akibat masih diberlakukannya materi undang-undang dimaksud khususnya Pasal 49 ayat (1) beserta penjelasannya sesuai ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, sehingga Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam Permohonan ini.
IV. ALASAN-ALASAN HUKUM PEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN HAK UJI MATERIIL 1.
Bahwa Inti ajaran dari setiap agama adalah iman dan takwa, begitu pula dengan inti dari ajaran agama Islam adalah iman dan takwa. (sebagaimana dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Serang. Surat Keterangan terlampir). a) Bahwa Iman adalah keyakinan yang menghujam dalam hati, kemudian diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan pelaksanaan (amal ibadah). Maksudnya membenarkan apa yang diberitakan Allah SWT melalui rasul-Nya dan MEMATUHI apa saja yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa saja yang dilarang-Nya sesuai ajaran Al-Qur'an dan Al-Hadits.
7 [sebagaimana dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Serang. Surat Keterangan terlampir]; dan b) Bahwa Takwa berarti melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi semua larangan-Nya. Jadi muttaqin (orang yang bertaqwa) adalah orang-orang yang selalu mengerjakan seluruh perintah Allah SWT dan selalu menjauhi seluruh larangan-Nya, TANPA TERKECUALI. [sebagaimana dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Serang. Surat Keterangan terlampir]. Jadi, Inti ajaran dari agama Islam adalah PATUH menjalankan segala perintah Tuhan Yang Maha Esa dan meninggalkan segala larangan-Nya TANPA TERKECUALI. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pancasila. Keduanya (iman dan takwa) merupakan satu kesatuan yang tak boleh dipisahkan, agar umat Islam selamat dan bahagia baik di dunia maupun di alam akhirat kelak. Karena iman tidak akan mencapai kesempurnaan jika tidak disertai dengan takwa. 2.
Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 29 ayat (1) yaitu: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. yang memiliki makna bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara beragama, yang tentunya harus dilandasi oleh Iman dan Takwa (Imtak) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka beriman dan bertakwa juga merupakan amanat konstitusional yang diperintahkan UUD 1945 dan Pancasila kepada seluruh bangsa Indonesia. Sebagaimana diperkuat oleh: -
Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, pada poin Maksud dan Tujuan, yang menyatakan bahwa: ”Etika kehidupan berbangsa dirumuskan dengan tujuan menjadi acuan dasar untuk meningkatkan kualitas manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia serta berkepribadian Indonesia dalam kehidupan berbangsa.”; dan
-
Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan, yang menyatakan bahwa:
8 ”Untuk mengukur tingkat keberhasilan perwujudan Visi Indonesia 2020 dipergunakan indikator-indikator utama sebagai berikut: 1. Religius a.
Terwujudnya masyarakat yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia sehingga ajaran agama, khususnya yang bersifat universal dan nilai-nilai luhur budaya, terutama kejujuran, dihayati dan diamalkan dalam perilaku keseharian;
b.
Terwujudnya toleransi antar dan antara umat beragama;
c. Terwujudnya penghormatan terhadap martabat kemanusiaan;” Maka apabila negara membatasi dan atau melarang umat Islam untuk menerapkan dan menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh (kaffah), itu sama saja artinya bahwa umat Islam di Negara Indonesia ini dilarang untuk dapat beriman sempurna dan atau mencapai tingkatan takwa kepada Tuhan kami (Allah SWT). Padahal hal itu bertentangan dengan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yang telah dijelaskan di atas. 3. Bahwa harus diingat, yang dimaksud ibadah dalam ajaran agama, memiliki cakupan yang luas. Bahwa menjalankan apa-apa saja yang diperintahkan dan
meninggalkan
apa-apa
saja
yang
dilarang
oleh
Allah
SWT
sebagaimana yang telah diatur oleh Hukum Agama Islam (syari’at Islam) sudah pasti bernilai ibadah. [sebagaimana dibenarkan oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Serang. Surat Keterangan terlampir]. Yaitu Ibadah dalam arti penghambaan dan penyerahan diri umat muslim kepada Allah SWT sebagai manifestasi pengakuan atas ke-Maha EsaanNya dan manifestasi kesyukuran kepada-Nya. (sebagaimana dikutip dari buku: PENERAPAN SYARI’AH ISLAM: bercermin pada Sistem Aplikasi Syari’ah Zaman Nabi yang ditulis oleh Dra. Husnul Khatimah, M.Ag., diterbitkan Pustaka Pelajar). Bahwa berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, ”Negara menjamin
9 kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Maka, karena menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh (kaffah) adalah sebagai salah satu bentuk ibadah dalam Agama Islam, maka sudah menjadi keharusan bahwa Negara Republik Indonesia juga berkewajiban untuk melindungi kemerdekaan umat Islam di Indonesia serta memberikan penjaminan, perlindungan dan dukungan fasilitas bagi umat Islam untuk dapat menerapkan dan atau menjalankan syari’at Islam-nya itu secara menyeluruh/kaffah karena syari’at Islam merupakan salah satu bentuk ibadah bagi umat Islam di negara Republik Indonesia ini. 4. Bahwa apabila negara membatasi dan atau melarang umat Islam untuk menerapkan dan menjalankan hukum agama (syari’at) Islam-nya secara menyeluruh (kaffah), itu sama saja dengan membatasi dan atau melarang umat Islam untuk dapat beribadah dan patuh pada ajaran agamanya. Hal tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1) UndangUndang Dasar 1945 yang menentukan bahwa: ”Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. 5. Bahwa inti ajaran Agama Islam adalah beriman dan bertakwa kepada Allah SWT, dan agar menjadi umat yang Beriman dan Bertakwa, umat Islam harus menjalankan hukum agama (syari’at) Islam secara menyeluruh, (sebagaimana telah dijelaskan di atas). Maka jelaslah bahwa benar bisa dibilang Agama Islam itu adalah hukum agama (syari’at) Islam itu sendiri. Jadi, apabila negara membatasi umat Islam untuk menegakkan hukum agama (syari’at) Islam-nya secara menyeluruh dan total, hal tersebut sama juga artinya bahwa negara telah membatasi umat Islam dalam memeluk agamanya. Tentu hal ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa: ”Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. 6. Padahal umat pemeluk agama lain (non muslim) dalam kehidupan beragamanya untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan mereka tidak diintervensi oleh negara, sedangkan Pemohon dan seluruh umat Islam di
10 Indonesia untuk menjalankan perintah Tuhan kami (yaitu menegakkan syari’at Islam secara menyeluruh) agar dapat mencapai tingkatan takwa, dengan nyata telah dibatasi oleh negara. Maka jelaslah hal ini merupakan sebuah bentuk diskriminasi negara kepada umat Islam yang hidup di Indonesia. Dan tentu saja hal ini bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UndangUndang Dasar 1945, yang menentukan bahwa: ”Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. 7. Bahwa umat Islam saat ini tahu betul bahwa negara Indonesia ini bukan negara Islam, melainkan hanya negara yang menjamin tiap-tiap penduduk agar dapat beribadat sesuai agamanya masing-masing saja. Sesuai anjuran Al-Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 4-6 yang telah dijelaskan di atas, maka Negara seharusnya menegakkan hukum agama (syari’at) Islam, tentunya hanya untuk umat Islam saja, dan dipersilahkan juga kepada Negara untuk menegakkan syari'at agama yang lainnya juga (jika dimungkinkan), dengan ketentuan hanya untuk pemeluknya saja. 8. Bahwa dalam kenyataannya sampai saat ini, Negara Republik Indonesia memang telah mengakomodir kebutuhan umat beragama khususnya bagi umat Islam yang ada di Negara Republik Indonesia ini, yaitu dengan telah menegakkannya hukum agama (syari’at) Islam pada lembaga Peradilan Agama. Dengan dibuat dan disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400), yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611). Akan tetapi Negara hanya menegakkan hukum agama (syari’at) Islam dalam cakupan perkara tertentu saja yaitu dalam bentuk Hukum Perkara Perdata tertentu saja, seperti yang telah terkutip dalam:
11 Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49) yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006) pada pasal yang sama, yang berbunyi: ”Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a) Perkawinan b) Waris c) Hibah d) Wakaf e) Zakat f) Infaq g) Shadaqah; dan h) Ekonomi syari’ah; Yang kemudian diperkuat dengan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400 (Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49) yang kemudian diubah oleh Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611 (Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama) yang menyatakan bahwa: “Peradilan Agama merupakan salah satu badan peradilan pelaku kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam dibidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syari’ah”; SARAN/USULAN Bahwa setelah Pemohon mempelajari UU tentang Peradilan Agama dengan seksama, selain menemukan kejanggalan-kejanggalan pada Pasal 49 ayat (1),
12 Pemohon juga sebenarnya menemukan kejanggalan-kejanggalan pada Pasal 1 ayat (1), dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, karena isinya bertentangan dengan UUD 1945. Namun dikarenakan Pemohon merasa tidak dirugikan dengan berlakunya kedua pasal tersebut, maka kedua pasal tersebut tidak diikutsertakan dalam permohonan uji materiil ini. Akan tetapi, dikarenakan apabila kedua pasal tersebut juga ikut diubah dan atau diperbaiki oleh negara, maka akan semakin menguatkan permohonan uji materiil yang diajukan Pemohon ini. Maka dengan ini Pemohon hanya mencantumkannya sebagai sebuah saran/usulan untuk negara, dan seraya berharap kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk berkenan ikut menyetujui dan/atau mendukung saran/usulan Pemohon ini, yang uraiannya sebagai berikut : 1.
Bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara beragama, yaitu negara yang menganut beberapa agama, diantaranya: Agama Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Maka untuk menghindari adanya peng-eksklusif-an salah satu agama tertentu, maka syari’at agama yang lainnya juga harus ditegakkan (bilamana diperlukan), pada Lembaga Peradilan Agama Indonesia. Tentunya syari’at Agama tersebut haruslah ditujukan hanya bagi pemeluknya saja. Contohnya: Syari’at Islam ditegakkan hanya untuk umat muslim saja. Begitupun dengan syari’at agama yang lainnya juga ditegakkan hanya untuk umat pemeluk agamanya masing-masing saja.
2.
Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara beragama yang menganut beberapa agama, yaitu Agama Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu. Maka untuk menghindari adanya peng-ekslusif-an agama tertentu, dengan ini Pemohon menyampaikan saran/usulan sebagai berikut: 1) Bahwa semestinya lembaga Peradilan Agama juga ditujukan untuk menegakkan seluruh Ajaran Agama, Aturan Agama, Norma Agama,
13 Ketetapan Agama, Ketentuan Agama dan atau Hukum Agama (syari’at) yang ada di Negara Republik Indonesia ini, dan tentu saja ditegakkan hanya untuk para pemeluk agamanya masing-masing saja. Atau setidaknya minimal negara memberikan jaminan dan atau payung hukum yang intinya adalah bahwa negara tidak menutup celah (tidak melarang) kemungkinan bagi umat beragama selain umat Islam (bilamana diperlukan) untuk menegakkan Ajaran Agama, Aturan Agama, Norma Agama, Ketetapan Agama, Ketentuan Agama dan atau Hukum Agama (syari’at)-nya di Peradilan Agama Indonesia. Karena Peradilan Agama sebagai lembaga publik dan/atau fasilitas yang dibangun oleh negara, maka tidak boleh dikhususkan atau di-eksklusifkan hanya bagi golongan, suku, atau agama tertentu saja. 2) Bahwa untuk menghindari adanya kesan meng-eksklusif-kan umat Islam. Maka mengenai teknis pelaksanaan dalam penegakan hukum agama
(syari’at)
Islam
(bilamana
Permohonan
Uji
Materiil
ini
dikabulkan), sebaiknya negara tidaklah perlu sampai harus membentuk satuan polisi khusus seperti Polisi Syari’ah. Akan tetapi, hanya perlu membentuk sebuah ”Komisi Penegakan Agama” seperti halnya KOMNAS HAM, KPI, KPAI ataupun KPK yang diberi kewenangan untuk menindak atau menjerat umat Islam yang bertindak atau melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam dan/atau juga oknum umat beragama yang lain yang melakukan perbuatan yang tidak sesuai ajaran agamanya (itu pun dimungkinkan kalau apabila negara berkenan merealisasikan saran/usulan Pemohon pada poin yang pertama di atas). Dan, 3.
Bahwa apabila ada salah satu agama tertentu merasa tidak membutuhkan, atau ajaran agamanya tidak menuntut umatnya untuk menerapkan Ajaran Agama, Aturan Agama, Norma Agama, Ketetapan Agama, Ketentuan Agama dan/atau Hukum Agama (syari’at) pada Lembaga Peradilan Agama Indonesia. Maka, sudah bukan menjadi urusan negara lagi.
14 VI. PETITUM Bahwa, berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, Pemohon dengan ini memohon agar sudi kiranya Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berdasarkan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) juncto Pasal 45 juncto Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berkenan memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan Pemohon yang amarnya berbunyi sebagai berikut: 1) Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2) Menyetujui saran/usulan Pemohon; 3) Menyatakan isi Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal yang sama beserta penjelasannya adalah bertentangan atau tidak sesuai dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 4) Menyatakan isi Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada pasal yang sama beserta penjelasannya adalah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Atau, apabila Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya. Di samping itu Pemohon telah mengajukan perbaikan permohonan dan menyampaikan dalam persidangan pemeriksaan perbaikan permohonan pada tanggal 31 Juli 2008 yang pada pokoknya sebagaimana tercantum dalam kesimpulan Pemohon sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon ingin menyatakan bahwa: secara umum, Pemohon tidak berniat untuk merubah ataupun mengganti Permohonan Uji Materiil sebagaimana telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per tanggal 26 Juni 2008, sehingga tetap menjadikan permohonan tersebut sebagai acuan utama Pemohon untuk meneruskan permohonannya.
15 2. Bahwa Pemohon ingin menyatakan bahwa: akan memperbaiki, merubah, dan mengganti Petitum Pemohon yang telah tercantum pada Permohonan Uji Materiil sebagaimana telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per tanggal 26 Juni 2008, dan menyatakan Petitum tersebut (sebelum perbaikan) tidak berlaku lagi. 3. Bahwa dengan segala keterbatasannya, Pemohon menyatakan masih optimis, yakin dan percaya diri dengan kemampuan dan kualifikasi Pemohon, sebagaimana telah dipersyaratkan UU tentang Mahkamah Konstitusi
dan
Peraturan
Mahkamah
Konstitusi.
Dan
menyatakan
kualifikasinya cukup dalam bidang Ilmu Agama maupun Hukum, jika hanya untuk sekedar mengajukan Permohonan Uji Materiil sebagaimana telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per tanggal 26 Juni 2008. Meskipun tidak lebih. 4. Bahwa Pemohon ingin menyatakan: tidak punya niat sedikitpun untuk mengundurkan diri ataupun mencabut kembali Permohonan Uji Materiil sebagaimana telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi per tanggal 26 Juni 2008. dan (Insya Allah) akan siap sedia menghadiri setiap sidang yang dijadwalkan Mahkamah Konstitusi. [2.2]
Menimbang
bahwa
untuk
menguatkan
dalil-dalil
permohonannya
Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis yang diberi meterai cukup dan diberi tanda P - 1 sampai dengan P-13 sebagai berikut: Bukti P-1 :
Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama Suryani;
Bukti P-2 :
Fotokopi Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah diamandemen (dalam satu naskah);
Bukti P-3 :
Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
Bukti P-4 :
Fotokopi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
Bukti P-5 :
Fotokopi Surat Keterangan dari Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Serang;
Bukti P-6 :
Fotokopi Artikel “Membumikan Syari’at Islam di Pesantren”, dimuat Radar Banten, 8 Juli 2006;
16 Bukti P-7 :
Fotokopi buku Penerapan Syari’ah Islam: Bercermin pada Sistem Aplikasi Syari’ah Zaman Nabi, hal. 26-29. Buku ditulis Drs. Husnul Khatimah, dan diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta;
Bukti P-8 :
Fotokopi Juz ‘Amma dan Terjemahannya, hal. 18. Surat Al-Kafirun ayat 4-6. Diterbitkan oleh CV. Wicaksana, Semarang;
Bukti P-9 :
Fotokopi Al Qur’an, Surat Al-Maaidah;
Bukti P-10 :
Fotokopi Al-Qur’an, Surat Al-Hajj;
Bukti P-11 :
Fotokopi Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa;
Bukti P-12 :
Fotokopi Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan;
Bukti P-13 :
Fotokopi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[2.3]
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian putusan ini, segala
sesuatu yang terjadi di persidangan ditunjuk dalam Berita Acara Persidangan, dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini; 3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1]
Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan a quo adalah
untuk menguji Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama beserta Penjelasan pasal tersebut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400) yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006, Nomor 22 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611, selanjutnya disebut UU Peradilan Agama) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2]
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan lebih jauh substansi
atau pokok permohonan a quo, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
17 1. Apakah Mahkamah berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; 2. Apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk diterima sebagai Pemohon di hadapan Mahkamah dalam permohonan a quo; Terhadap kedua hal tersebut Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3]
Menimbang bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan, antara
lain, bahwa Mahkamah berwenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UU MK). [3.4]
Menimbang bahwa objek permohonan yang diajukan oleh Pemohon
adalah permohonan pengujian undang-undang, Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama beserta Penjelasan atas pasal tersebut terhadap UUD 1945, maka berdasarkan
pertimbangan
menyatakan
berwenang
sebagaimana untuk
diuraikan
memeriksa,
di
mengadili,
atas, dan
Mahkamah memutus
permohonan a quo. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon [3.5]
Menimbang bahwa dalam permohonan pengujian undang-undang
terhadap UUD 1945, agar seseorang atau suatu pihak dapat diterima kedudukan hukumnya selaku Pemohon di hadapan Mahkamah, Pasal 51 ayat (1) UU MK menentukan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang, yaitu:
18 a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. [3.6]
Menimbang bahwa dengan demikian agar seseorang atau suatu pihak
dapat diterima sebagai Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, menurut ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, maka orang atau pihak dimaksud haruslah: a. menjelaskan kualifikasinya, yaitu apakah sebagai perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum, atau lembaga negara; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, dalam kualifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, sebagai akibat diberlakukannya undang-undang yang dimohonkan pengujian; [3.7]
Menimbang bahwa, sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31
Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007 dan putusan-putusan selanjutnya, telah menjadi pendirian Mahkamah bahwa untuk dapat dikatakan ada kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional harus dipenuhi syarat-syarat: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
19 e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.8]
Menimbang bahwa yang dimohonkan oleh Pemohon adalah pengujian
atas norma undang-undang yang bersifat umum, bukan berupa hak yang bersifat privat
(subjektief-recht),
meskipun
yang
mengajukan
permohonan
adalah
perorangan. Dengan demikian, dalam setiap pengujian undang-undang, yang dimaksud dengan kerugian konstitusional yang tidak akan atau tidak lagi terjadi sebagaimana dimaksud dengan huruf e di atas, harus diartikan bahwa: a. seandainya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian itu tidak ada maka Pemohon tidak akan pernah mengalami kerugian hak konstitusional; b. seandainya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian ditiadakan maka kemungkinan kerugian bagi pihak-pihak lain tidak akan terjadi. [3.9]
Menimbang bahwa berdasarkan uraian Pemohon di atas, maka dalam
menilai apakah Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) menurut Pasal 51 ayat (1) UU MK, Mahkamah harus mempertimbangkan dua hal, yaitu: a. Apakah Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia dapat dikualifikasi
sebagai
Pemohon
perorangan
warga
negara
Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. Apakah Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama; [3.10]
Menimbang bahwa berdasarkan uraian terhadap ketentuan Pasal 51
ayat (1) UU MK dan syarat-syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana tersebut di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sesuai dengan uraian Pemohon dalam permohonannya beserta bukti-bukti yang diajukan; [3.11]
Menimbang bahwa Pemohon telah mendalilkan yang pada pokoknya,
telah dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama
20 yang berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah” karena Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia berpendapat bahwa pemberlakuan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama beserta Penjelasannya, adalah bertentangan dengan amanat konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945: •
Pasal 28E ayat (1) yang berbunyi, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali";
•
Pasal 28I ayat (1) yang berbunyi, " Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun." Ayat (2) yang berbunyi, "Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu ";
•
Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi, "Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". Ayat (2) berbunyi, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu".
Dikatakan bertentangan dengan konstitusi karena hak dan/atau kewenangan konsitusional Pemohon untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama Pemohon yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara melalui UU Peradilan Agama tersebut. [3.12]
Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 31 Juli 2008 Mahkamah
telah memberikan kesempatan kepada Pemohon untuk mengajukan ahli dan/atau saksi namun Pemohon menyampaikan tidak mempergunakan kesempatan untuk mengajukan ahli dan/atau saksi dalam perkara ini.
21 [3.13]
Menimbang bahwa setelah memeriksa dengan saksama uraian
permohonan serta dalil-dalil yang dikemukakan Pemohon, bukti-bukti yang diajukan, berkait dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Mahkamah berpendapat: 1. bahwa Pemohon telah memenuhi syarat subjek sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK yakni sebagai perorangan warga negara; 2. bahwa secara prima facie Pemohon telah memenuhi syarat kerugian konstitusional sebagaimana Putusan Mahkamah Nomor 006/PUU-IlI/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya, yakni: a. bahwa Pemohon mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945; b. bahwa Pemohon menganggap sebagai warga negara yang beragama Islam yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama karena merasa dibatasi kebebasannya untuk melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh dan lengkap (kaffah); c. bahwa kerugian konstitusional dimaksud meskipun tidak secara spesifik dan aktual tetapi setidak-tidaknya secara potensial akan terjadi; d. bahwa kerugian konstitusional dimaksud memang disebabkan oleh berlakunya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama beserta Penjelasan pasal tersebut; e. bahwa
jika
permohonan
Pemohon
dikabulkan,
potensi
kerugian
konstitusional seperti yang didalilkan oleh Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi. [3.14]
Menimbang,
selanjutnya,
sepanjang
mengenai
kerugian
hak
konstitusional Pemohon dan inkonstitusionalitas Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama, Mahkamah akan mempertimbangkan dan memberi penilaian bersamasama
dengan
pertimbangan
mengenai
pokok
permohonan
berdasarkan
keterangan Pemohon dan bukti-bukti Pemohon yang diajukan di persidangan.
22 Pokok Permohonan [3.15]
Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan yang pada pokoknya telah
merasa dirugikan akibat diberlakukannya Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama dan Penjelasan pasal tersebut. Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama berbunyi, ”Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah” karena hak konsitusional Pemohon untuk "bebas beragama dan beribadat menurut ajaran agama" agar dapat menjadi umat beragama yang beriman sempurna dan mencapai tingkatan takwa menurut ajaran agama Pemohon, yaitu agama Islam, telah "dibatasi" oleh negara melalui UU Peradilan Agama tersebut. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa UU Peradilan Agama dibuat pembentuk undang-undang berdasar kewenangan konstitusional yang sah sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945. •
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;
•
Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 berbunyi, “Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan di bawahnya diatur dengan undang-undang”. Ketentuan pasal-pasal tersebut jelas menentukan bahwa kekuasaan
kehakiman di bawah Mahkamah Agung terdiri atas empat lingkungan peradilan yang mempunyai kompetensi absolutnya masing-masing [Pasal 24 ayat (2) UUD 1945] sesuai dengan latar belakang sejarah dan dasar falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila. Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara termasuk kompetensi absolut untuk masing-masing lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, oleh Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 diberikan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dengan undangundang.
23 [3.16]
Menimbang bahwa antara posita dan petitum Pemohon menunjukkan
ketidaksesuaian. Pemohon dalam petitumnya meminta pencabutan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tentang kompetensi absolut Peradilan Agama, sedangkan di dalam positanya meminta penambahan wewenang agar cakupan dan lingkup kompetensinya diperluas mencakup hukum Islam yang lain termasuk hukum pidana (jinayah). Terhadap permohonan yang demikian, Mahkamah berpendapat bahwa Mahkamah tidak berwenang menambah kompetensi absolut Peradilan Agama sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama, karena Mahkamah berdasarkan ketentuan Pasal 24C UUD 1945 dan Pasal 10 UU MK berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang dan menyatakan tidak mengikat secara hukum apabila telah terbukti undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, baik dalam pengujian materil maupun formil. Mahkamah hanya dapat bertindak sebagai negative legislator dan sama sekali tidak berwenang untuk menambah isi peraturan atau menjadi positive legislator. [3.17]
Menimbang selain itu, Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat
(1) UU Peradilan Agama bertentangan dengan UUD 1945 sehingga menurut Pemohon merugikan hak konstitusionalnya sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi khususnya Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24A ayat (5) UUD 1945 sebagaimana dikutip di atas jelas menunjukkan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu dari empat lingkungan peradilan yang berwenang menegakkan hukum dan keadilan, yang ruang lingkup dan batas kompetensinya ditentukan oleh undang-undang. Oleh sebab itu, pengaturan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945; [3.18]
Menimbang, Pemohon mendalilkan pula bahwa hukum Islam dengan
semua cabangnya termasuk hukum pidana (jinayah) harus diberlakukan di Indonesia karena Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan Pemohon juga mendalilkan bahwa setiap penganut agama yang sah di Indonesia dapat meminta kepada negara untuk memberlakukan hukum agamanya masing-masing. Terkait dengan hal tersebut, Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama bertentangan dengan
24 Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, "Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun". Ayat (2) berbunyi, "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang diskriminatif itu". Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak sesuai dengan paham kenegaraan Indonesia mengenai hubungan antara negara dan agama. Indonesia bukan negara agama yang hanya didasarkan pada satu agama tertentu, namun Indonesia juga bukan negara sekuler yang sama sekali tidak memperhatikan agama dan menyerahkan urusan agama sepenuhnya kepada individu dan masyarakat. Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama
untuk
melaksanakan
ajaran
agamanya
masing-masing.
Dalam
hubungannya dengan dasar falsafah Pancasila, hukum nasional harus menjamin keutuhan ideologi dan integrasi wilayah negara, serta membangun toleransi beragama yang berkeadilan dan berkeadaban. Dengan demikian, hukum nasional dapat menjadi faktor integrasi yang merupakan alat perekat dan pemersatu bangsa. Pelayanan negara kepada warga negara tidak didasarkan pada ukuran besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) pemeluk agama, suku ataupun ras. Jika masalah pemberlakuan hukum Islam ini dikaitkan dengan sumber hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam memang menjadi sumber hukum nasional, tetapi hukum Islam bukanlah satu-satunya sumber hukum nasional, sebab selain hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat, serta sumber tradisi hukum lain pun menjadi sumber hukum nasional. Oleh sebab itu, hukum Islam dapat menjadi salah satu sumber materiil sebagai bahan peraturan perundang-undangan formal. Hukum Islam sebagai sumber hukum dapat digunakan bersama-sama dengan sumber hukum lainnya, sehingga menjadi bahan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum nasional. [3.19]
Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 49 ayat (1)
UU Peradilan Agama bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama sama sekali tidak mengurangi hak dan kebebasan Pemohon untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E
25 ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tersebut tidak relevan untuk dipertimbangkan lebih lanjut. 4. KONKLUSI Menimbang bahwa berdasarkan keseluruhan pertimbangan fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1]
bahwa Pasal 49 ayat (1) UU Peradilan Agama tidak bertentangan dengan Pasal 28E ayat (1), Pasal 28I ayat (1) dan (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD 1945;
[4.2]
bahwa oleh karena dalil-dalil yang dikemukakan oleh Pemohon tidak beralasan, maka permohonan Pemohon harus dinyatakan ditolak.
5. AMAR PUTUSAN Dengan mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316), maka berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mengadili, Menyatakan permohonan Pemohon ditolak.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim, oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Jumat tanggal delapan bulan Agustus tahun dua ribu delapan, yang diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari ini Selasa dua belas bulan Agustus tahun dua ribu delapan, oleh sembilan Hakim Konstitusi yaitu, Jimly Asshiddiqie sebagai Ketua merangkap Anggota, Moh. Mahfud MD, HM. Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, H. Harjono, Maruarar Siahaan, H.A.S. Natabaya, I Dewa Gede Palguna, dan H. Abdul Mukthie Fadjar, masing-masing sebagai Anggota dengan didampingi oleh Fadzlun Budi SN
26 sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon dan Pemerintah atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd. Jimly Asshiddiqie ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
ttd.
Moh. Mahfud MD
HM. Arsyad Sanusi
ttd.
ttd.
Muhammad Alim
H. Harjono
ttd.
ttd.
H. Abdul Mukthie Fadjar
H.A.S. Natabaya
ttd.
ttd.
I Dewa Gede Palguna
Maruarar Siahaan
PANITERA PENGGANTI,
ttd. Fadzlun Budi SN
Lampiran Tabel 1 Materi Hukum Pidana Islam yang telah dilegalisasi oleh wilayah Nanggroe Aceh Darussalam No
Tindak Pidana
Sanksi
Peraturan Pelaksana
Bidang Aqidah Setiap orang yang
Sanksi Ta’zir berupa
menyebarkan paham atau
hukuman penjara
aliran sesat dan orang yang
maksimal 2 tahun atau
sengaja keluar dari aqidah dan
Cambuk maksimal 12
atau menghina atau
kali.1
melecehkan agama Islam. Bidang Ibadah
Sanksi Ta’zir berupa Qanun No 11 Th 2002
Setiap orang tanpa uzur syar’i hukuman penjara
1.
tidak menunaikan solat jum’at.
tentang Pelaksanaan
maksimal 6 bulan atau Syari’at Islam Bidang cambuk maksimal 3 Aqidah, Ibadah dan kali.2
Setiap Perusahan
Sanksi Ta’zir berupa
pengangkutan umum yang
hukuman pencabutan
tidak memberi kesempatan
izin usaha.3
dan fasilitas kepada pengguna jasa untuk melaksanakan solat fardhu.
1
Pasal 20 ayat (1) (2) Qanun No 11 Tahun 2002 Pasal 21 ayat (1) Qanun No 11 Tahun 2002 3 Pasal 21 ayat (2) Qanun No 11 Tahun 2002 2
Syi’ar Islam
Setiap orang yang
Sanksi Ta’zir berupa
menyediakan fasilitas/ peluang
hukuman penjara
kepada orang muslim yang
maksimal 1 tahun
tidak ada uzur syar’i untuk
atau denda maksimal
tidak berpuasa pada bulan
3 juta rupiah atau
Ramadhan.
cambuk maksimal 6 kali atau pencabutan izin usaha.4
Qanun No 11 Th 2002
Setiap orang yang makan atau Sanksi Ta’zir berupa tentang Pelaksanaan minum di tempat umum pada hukuman penjara siang hari di bulan Ramadhan.
Syari’at Islam Bidang
maksimal 4 bulan atau Aqidah, Ibadah dan hukuman cambuk
Syi’ar Islam
maksimal 2 kali.5 Bidang Syi’ar
Sanksi Ta’zir setelah
Setiap orang yang tidak
melalui proses
berbusana Islami yaitu pakaian
peringatan dan
yang menutup aurat yang tidak
pembinaan oleh
tembus pandang, dan tidak
Wilayatul Hisbah.6
memperlihatkan bentuk tubuh.
2.
Khamar
Sanksi Hudud berupa
Setiap orang yang
hukuman 40 kali
mengkonsumsi khamar.
cambuk.7
Setiap orang/badan
Sanksi Ta’zir berupa
hukum/badan usaha yang
kurungan maksimal 1
Qanun No 12 Tahun
membantu dalam dan atau
tahun,paling singkat 3
2003 tentang Minuman
memproduksi, menyediakan,
bulan,dan atau denda
Khamar dan Sejenisnya
44
Pasal 22 ayat (1) Qanun No 11 Tahun 2002 Pasal 22 ayat (2) Qanun No 11 Tahun 2002 6 Pasal 23 Qanun No 11 Tahun 2002 7 Pasal 26 ayat (1) Qanun No 12 Tahun 2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya 5
menjual,memasukkan,mengeda maksimal 75 juta, rkan,menyimpan, menimbun,
minimal 25 juta.8
memperdangkan dan mempromosikan minuman khamar dan sejenisnya. Maisir (Perjudian)
Sanksi Ta’zir berupa
Setiap orang yang melakukan
hukuman cambuk
perbuatan masir.
maksimal 12 kali dan minimal 6 kali.9
3.
Setiap orang/badan hukum
Sanksi Ta’zir berupa Qanun No 13 Tahun
/badan usaha yang
denda maksimal 35 2003 tentangMaisir
menyelenggarakan dan atau
juta minimal 15 juta.10
(Perjudian) dan Sejenisnya
memberikan fasilitas kepada orang lain untuk melakukan perbuatan maisir/menjadi pelindung terhadap perbuatan maisir. Khalwat (Perbuatan Mesum)
Sanksi Ta’zir berupa
Setiap orang yang melakukan
hukuman cambuk
(khalwat). Sedang Khalwat/
Maksimal 9 kali,
mesum adalah perbuatan yang
paling sedikit 3 kali
dilakukan oleh dua orang yang
atau denda maksimal
berlawanan jenis atau lebih,
10 juta minimal
Qanun No 14 Tahun
tanpa ikatan nikah atau bukan
2,5 juta.11
2003 tentang Khalwat
muhrim pada tempat tertentu
(Perbuatan Mesum)
yang sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di
4.
bidang seksual atau yang berpeluang pada tejadinya
8
Pasal 26 ayat (2) Qanun No 12 Tahun 2003 Pasal 23 ayat (1) Qanun No 13 Tahun 2003 tentang Maisir(Perjudian)dan Sejenisnya 10 Pasal 23 ayat (2) Qanun No 13 Tahun 2003 11 Pasal 22 ayat (1) Qanun No 14 Tahun 2003 tentang Khalwa (Perbuatan Mesum) 9
perbuatan perzinaan. Setiap orang atau kelompok
Sanksi Ta’zir berupa
masyarakat, atau aparatur
hukuman kurungan
pemerintahan dan badan usaha
Maksimal 6 bulan,
yang memberikan fasilitas
Paling singkat 2 bulan
kemudahan dan/atau
dan atau denda
melindungi orang melakukan
Maksimal 15 juta
khalwat /mesum.
minimal 15 juta.12
Pengelolaan Zakat Setiap orang yang tidak
Sanksi Ta’zir berupa
membayar zakat /membayar
Denda maksimal 2
tapi tidak menurut yang
kali nilai zakat yang
sebenarnya.
wajib dibayarkan.13 Sanksi Ta’zir berupa
5.
Setiap orang yang membuat
hukuman cambuk
surat palsu/memalsukan surat
Maksimal 3 kali
Badan Baitul Mal.
Minimal 1 kali.14
Setiap orang/badan yang
Sanksi Ta’zir berupa
melakukan,
hukuman cambuk
Atau membantu penggelapan
Maksimal 3 kali
zakat.
Minimal 1 kali, dan Denda maksimal 2 kali minimal 1 kali dari nilai zakat yang di gelapkan.15
Setiap petugas Baitul Mal yang
Sanksi Ta’zir berupa
melakukan penyelewengan
hukuman cambuk
zakat.
Maksimal 4 kali Minimal 2 kali.16
12
Pasal 22 ayat (2) Qanun No 14 Tahun 2003 Pasal 37 Qanun No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat 14 Pasal 38 Qanun No 7 Tahun 2004 15 Pasal 39 Qanun No 7 Tahun 2004 13
Qanun No 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat
Lembaga Baitul Mal
Sanksi Ta’zir berupa
Setiap orang yang memalsukan
Denda maksimal 3
surat Baitul Mal yang dapat
Juta minimal 1 juta
mengakibatkan gugurnya
atau hukuman
kewajiban membayar zakat.
Kurungan maksimal 3 bulan minimal 1 Bulan.17
setiap orang/badan yang
Sanksi Ta’zir berupa
melakukan atau membantu
hukuman cambuk
penggelapan zakat.
Maksimal 3 kali Minimal 1 kali, dan Denda maksimal 2
Qanun No 10 Tahun
kali minimal 1 kali 2007 6.
dari nilai zakat yang Mal di gelapkan.18 Setiap petugas Baitul Mal yang
Sanksi Ta’zir
melakukan penyelewengan
berupadenda minimal
zakat.
1 juta maksimal 3 juta atau hukuman kurungan minimal 2 bulan atau maksimal 6 bulan dan membayar kembali kepada Baitul Mal senilai zakat atau harta agama yang diselewengkan.19
16
Pasal 40 Qanun No 7 Tahun 2004 Pasal 51 Qanun No 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal 18 Pasal 52 Qanun No 10 Tahun 2007 19 Pasal 53 Qanun No 10 Tahun 2007 17
tentang
Baitul