Judul Tulisan
:
Pengaruh Pengendalian komplik keorganisasian terhadap kohesifitas kelompok aparatur pemerintah daerah dalam pelaksanaan pelayanan masyarakat di kabupaten tasik malaya Hasil Penelitian yang dipublikasikan
Nama Jurnal
:
ASPIRASI Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Terakreditasi
:
ISSN 0852-6044 Terakreditasi SK DITJEN DIKTI No : 56/Dikti/Kep/2005
Metodologi Penelitian
:
Metode survey deskriptip analisis
Pengaruh Pengendalian Konflik Keorganisasian terhadap Kohesifitas Kelompok Aparatur Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Pelayanan Masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya H. Dody Hermana Dosen Pada Universitas Garut (e-mail :dody
[email protected] )
Abstract: The aim of the research is to know the effect of organizational conflict control (C) toward cohesion of local government apparatus groups (Y) in theimpelementation of public services (Z).The research the method used is analysis descriptive survey, and the measurement device used is likert scale by ordinal ranked measurement of five categories of answers. Validity and realibility test of measurement used in this research is corelative approach of person's and alpha model of cronbach , of product moment. Sample technic used is Cluster Random Samplingwhich can collect 80 responders. Data collecting technic is by questionnaires, interviews, and documentation studies, but data analysis technic uses Path Analysis, and ordinal scale data are transformed into interval scale data through Method of Successive Interval.The result of test shows that organizational conflict control can be indicated by indicator of 21 items simultaneously influences
positively toard cohesion of regional government apparaturs group is 16. %, but towards the implementation of public services is 60 %.By Participal test is known that organizational conflict control is indicated by indicator of 21 item effects positively towards cohesion of local government apparaturs group for 13 % but the effect of outside variable cohesion of local government apparaturs groups is indicated by indicator for 10 items effects positively towards the implementation of public services.This research indicates that the implementation of public services is effected by cohesion of local government apparaturs groups, which is supported by organizational conflict control. Key Word : conflict control, local government tand public services
Pendahuluan Persoalan konflik dalam organisasi dipandang sebagai hal yang sangat penting untuk diperhatikan dan menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindarkan termasuk di dalam organisasi pemerintah.Banyak hal yang menjadi faktor penyebab dan banyak akibat yang ditimbulkan dari konflik dalam organisasi.Karena itu, konflik dalam organisasi dipandang sebagai sebuah isu yang perlu dikaji lebih mendalam agar organisasi dapat memperoleh keuntungan dari adanya konflik keorganisasian dan bukan kerugian yang justru diperoleh. Dalam perspektif demikian terlepas dari bagaimana sebuah organisasi didesain dan dioperasionalkan, yang perlu dikaji dari konflik keorganisasian bukan menekan atau memecahkan semua konflik melainkan mengendalikannya untuk memperkecil aspek yang merugikan dan memperbesar aspek yang menguntungkan.Menurut Winardi (1994: 65) tugas para manajer dalam menghadapi konflik adalah mengendalikan sedemikian rupa sehingga dapat diminimalkan aspek-aspek yang merugikan dan aspek-aspek yang menguntungkan dapat dimaksimalkan. Perbedaan dalam pandangan, sikap, nilai atau kepercayaan dapat menimbulkan ketegangan.Konflik yang terjadi bukan hanya antara atasan dengan bawahan, tetapi juga diantara anggota organisasi.Kinerja organisasi tentu saja akan sangat ditentukan oleh konflik didalamnya, sehingga manajemen dalam organisasi memiliki kepentingan yang besar untuk memperhatikannya. Dalam kaitan itu, Ivancevich et.al (1996 : 411)
menyatakan bahwa konflik berkembang dengan berbagai atasan, beberapa diantaranya yang penting berhubungan dengan sumber daya yang terbatas, masalah komunikasi, perbedaan kepentingan dan sasaran, persepsi dan sikap yang berbeda serta kurangnya kejelasan tentang tanggung jawab.
Pengendalian konflik keorganisasian semakin penting untuk diperhatikan sehubungan dengan penyelenggaraan otonomi daerah yang semakin menempatkan aparatur pemerintah daerah dalam posisi sentral untuk terus ditingkatkan pendayagunaannya, terutama yang berkaitan dengan kualitas, efisiensi pelayanan dan pengayoman kepada masyarakat. Proses peningkatan kualitas aparatur pemerintah dalam penyelenggaraan otonomi daerah, akan diikuti perubahan-perubahan yang berwujud antara lain ; perubahan tanggung jawab, proses berpikir, sistem nilai, dan perubahan perilaku aparatur pemerintah daerah itu sendiri. Dengan adanya perubahan-perubahaii itu, maka bibit-bibit konflik akan bermunculan, karenanya setiap perubahan mengandung tinsur konflik. Untuk itu, dalam peningkatan kualitas aparatur pemerintah daerah memerlukan manajemen perubahan yang memperhatikan pengemhangan akan perubahan, bekeija menuju ke arah perubahan dan stabilitas perubahan. Sebagai abdi masyarakat dan abdi negara, aparatur pemerintah daerah telah melaksanakan berbagai fungsi pelayanan, namun pelayanan tersebut banyak yang belum sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Fenomena ketidakpuasan masyarakat terhadai3 pelayanan aparatur pemerintah sering diungkapkan media massa, tindakan unjuk rasa oleh masyarakat ke Kantor Pemerintah Daerah atau ke Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, juga dalam bentuk gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Sarwoto (1993 : 116) mengemukakan bahwa, kendatipun dalarn pendayagunaan aparatur pemerintah banyak kemajuan yang dicapai, namun masih terdapat keluhan-keluhan masyarakat yang secara jujur harus diakui oleh pemerintah sendiri. Sebagaimana Kumorotomo (1992 : 129), mengidentifikasikan tentang kurangnya perhatian aparatur pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat. Karenanya tuntutan pelayanan baik kualitas, kuantitas maupun kecepatan pelayanan terus mengalami dinamika perubahan sejalan dengan perubahan kebutuhan masyarakat.
Untuk memenuhi tuntutan tersebut, perilaku aparatur pemerintah daerah sebagai individu maupun kelompok akan semakin penting untuk diperhatikan. Aparatur pemerintah yang terlibat konflik cenderung tidak puas dalam hubungan antar pribadi kelompoknya, bahkan akan semakin sering mengundurkan diri dari keterlibatannya dalam sebagian besar kegiatan kelompok. Dalam hubungan itulah kohesifitas kelompok sangat diharapkan sebagai upaya mempercepat peningkatan kualitas pelayanan, sebab diyakini bahwa proses pelayanan publik oleh aparatur pemerintah memerlukan dukungan kineija kelompok yang kohesif, yang mampu menjaga keutuhan kelompok dalam visi dan misi bersama. Namun demikian kenyataannya sering menunjukkan keadaan lain dibandingkan dengan harapan, yaitu masih banyak aparatur pemerintah daerah yang cenderung bekerja secara individual dan kurang mampu menunjukkan semangat kooperatif dalam melaksanakan tugas-tugas ditengah perbedaan-perbedaan yang terdapat dalam organisasinya. Seperti halnya kabupaten lain, Kabupaten Tasikmalaya mempunyai tuntutan kualitas aparatur pemerintah untuk keberhasilan pelaksanaan peran dan tugas sebagai ujung tombak penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat, dalam implementasi otonomi daerah. Sehubungan dengan persoalan konflik keorganisasian, diperoleh informasi bahwa konflik terjadi pula di antara pegawai atau kelompok unit organisasi di lingkungan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya .Gambaran dari kasus konflik tersebut adalah sebagai berikut ; Pertama, munculnya kelompok-kelornpok informal tertentu di lingkungan aparatur yang bersaing mempengaruhi kebijakan pimpinan dalam menentukan penempatan/ pengalihtugasan aparatur (terutama eselon III, IV, dan V) pada posisi strategis. Hal ini berakibat ; 1) Adanya pihak yang merasa puas dan pihak yang merasa tidak puas atas kebijakan tersebut, 2) Kurang berfungsinya Dewan Pertimbangan Jabatan dalam penempatan aparatur pemerintah, 3) Pembinaan dan pengembangan aparatur kurang berorientasi pada sistem karier dan sistem prestasi kerja. Sehingga keadaan ini menimbulkan konflik, baik diantara aparatur maupun diantara kelompok/ unit kerja dalam organisasi pemerintahan. Kedua, adanya persaingan terhadap sumber daya yang terbatas terutama terhadap anggaran. Semakin penting anggaran yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak, maka kompetisi
untuk saling mengejar anggaran semakin kuat, dan tidak semua pihak akan mendapatkannya. Karenanya dalam situasi seperfl itu konflik mudah terjadi. Ketiga, terjadinya kekaburan bidang tugas akibat struktur organisasi dan tata kerja yang baru yang menjadi tanggung jawab masing-masing unit kerja/ organisasi.Hal ini semakin berkembang setelah adanya perubahan pola distribusi proyek yang secara operasional pelaksanaannya kurang berorientasi pada bidang tugas/ kewenangan masingmasing unit kerja/ organisasi.Sehingga suatu pihak berusaha melakukan pengendalian atas perilaku-perilaku yang disukainya atau bahkan menyalahkan bagiannya dalam aktivitas-aktivitas yang tidak disukainya, dan akhirnya terjadi konflik diantara pihak-pihak teitebut. Keempat, keberadaan konflik yang terjadi diantara aparatur atau kelompok organisasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tersebut dirasakan sangat mengganggu pelaksanaan kegiatan organisasi.Terganggunya komunikasi dan lerjasama dalam pelaksanaan tugas terutama .yang berorientasi pada pelayanan masyarakat, terlambatnya penyelesaian pekerjaan yang saling ketergantungan, sulitnya penyatupaduan tujuan dan pandangan dalam pelaksanaan tugas.Kondisi konflik ini oleh para pimpinan pemerintah belum dikendalikan secara optimal, sehingga belum berfungsi untuk memberikan konstribusi terhadap kohesifitas kelompok aparatur pemerintah dalam pelaksanaan pelayanan masyarakat. Dengan demikian, para pimpinan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dihadapkan pada persoalan-persoalan kondisi konflik keorganisasian, pengendalian konflik, peningkatan kohesifitas kelompok aparatur serta tuntutan pelayanan masyarakat yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat. Kajian Pustaka Administrasi biasanya dibatasi sebagai suatu seni untuk membereskan urusan-urusan.Tekanan diletakan pada proses-proses dan metode-metode guna manjamin tindakan yang efektif. Di sisi lainAdministrasi Negara temyata tidak rnemiliki arti tunggal.istilah itu melingkupi keseluruhan yang kompleks dari nilai-nilai, sikap-sikap dan tindakantindakan. Surie (1987:12) mengemukakan: dari segi isi atau materi, Administrasi Negara adalah melakukan kebijakan, yaitu rnenetapkan serta melaksanakan kebijalcan dari segi formal
atau bentuknya, Administrasi Negara adalah pengambilan keputusan yang mengikat, administrasi Negara melingkupi penentuan arah tindakan serta dijalaninya arah itu. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahaird bahwa Administrasi Negara (Public Administration) pada dewasa ini telah diberikan arti yang lebih dari sekedar pengertiannya yang tradisional. Pada konteks ini Nigro dan Nigro (dalam Islamy, 1998 : 9) secara tegas menetapkan bahwa "Public Administration has an important role in 'the formulation of public polihj and is thus part of the political process" (Administrasi Negara mempunyai suatu peranan yang sangat penting dalam merumuskan kebijakan negara dan oleh karenanya merupakan bagian dari proses politik). Dalam konteks perumusan kebijakan, maka peran administrasi publik sebagaimana dikemukakan Presthus (dalam K_ristiadi, 1994: 24) bahwa Administrasi publik menyangkut implementasi kebijakan publik yang telah ditetapkan oleh badan-badan perwakilan politik (public administration involves the implementation of public policy which has been deterniined by representative political bodies). Pernyataan Presthus diatas, mengindikasikan bahwa administrasi publik bukan sekedar melaksanakan kebijakan negara (public policy) melainkan juga terlibat dalam proses perumusan kebijakan negara dan penentuan tujuan serta cara-cara pencapaian tujuart-negara tersebut. Dalam konteks ini, maka administrasi publik tidak hanya berkaiatan dengan badan-badan eksekutif malainkan pula seluruh lembaga-lembaga negara dan hubungan antara lembaga tersebut satu sama lainnya. Dengan demikian perumusan kebijakan negara (public policy) yang semula merupakan fungsi politik telah menjadi fungsi administrasi publik. Lasswell dan Kaplan (1970: 71) memberikan definisi tentang kebijakan publik sebagai sesuatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek terarah (a projected program of goal, value and practise). Demikian.pula Anderson (1979: 3) mendefinisikan kebijakan publik sebagai tindakan yang mempunyai tujuan tertentu dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompik pelaku guna memecahkan suatu masalah tertentu (a purposive course of action followed by an actor on set at actors in dealing with a problem or matter of concern).
Lebih lanjut Anderson (dalam Miftah Toha, 1999: 3) menyebutkan bahwaterdapat implikasiimplikasi dari adanya pengertian kebijakan negara tersebut yaitu: 1.
Bahwa kebijakan publik itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan
tindakan Jang berorientasi kepada tujuan. 2.
Bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan atau pola-
pola tindakan penjabat-pejabat pemerintah. 3.
Bahwa kebijakan itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh
pemerintah, jadi bukan merupakan apa yang pemerintah bermaksud akan melakukan sesuatu atau menyatakan akan melakukan sesuatu. 4.
Bahwa kebijakan publik bersifat positif dalam arti merupakan beberapa
bentuk tindakanpemnerintah mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu.
Sebagai penutup uraian tentang kebijakan publik, dikutip pendapat Singadilaga (2001:1) yang menyatakan bahwa keputusan yang diambil dalam Administrasi Negara merupakan kebijakan publik.Keputusan tersebut adalah keputusan-keputusan yang mengandung nilai-nilai kepentingan masyarakat (public interest).Sebagai suatu keputusan, kebijakan publik mengandung nilai ("values") dan tidak sekedar sesuatu yang factual saja. Nilai tersebut ada kaitannya dengan kepentingan masyarakat dan negara (public interest, national interest). Dalam kehidupan berorganisasi, konflik merupakan suatu bagian alami yang tidak dapat dihindarkan.Pada
hakekatnya
konflik
sebagai segala macam interaksi
pertentangan diantara dua pihak atau lebih pihak. Wexley dan Yukl (1988 : 229) mendefinisikan konflik sebagai suatu perselisihan atau perjuangan diantara dua pihak yang ditandai dengan menunjukkan permusuhan dan atau mengganggu dengan sengaja penapaian tujuan pihak-pihak yang menjadi lawannya. Sejalan dengan itu, menurut Winardi (1994 : 1) konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi. lebih luas Stoner dan Wankel (1988: 50), menjelaskan konflik organisasi adalah suatu perbedaan pendapat
diantara dua atau lebih anggota atau kelompok dalam suatu organisasi yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja/ atau dari kenyataan bahwa mereka mampunyai status, tujuan, nilai, atau pandangan yang berbeda. Para anggota organisasi atau sub-unit yang berbeda pendapat berupaya untuk memenangkan. Stoner dan Wankel (1988 : 555) mengemukakan empat sumber konflik organisasi, yaitu : 1) kebutuhan untuk memperoleh sumber daya langka; 2) perbedaan dalam tujuan antar unit organisasi; 3) interdepedensi aktivitas kerja dalam organisasi, dan 4) perbedaan nilai atau pandangan antar unit organisasi. kemudian lebih terperinci Robbins (1994: 457) menjelaskan sumber konflik dalam organisasi meliputi : 1) saling ketergantungan pekerjaan; 2) diferensiasi horizontal yang tinggi; 3) formalisasi yang rendah; 4) ketergantungan pada sumber bersama yang langka; 5) perbedaan dalam kriteria evaluasi dan sistem imbalan; 6) keanekaragaman anggota; 7) ketaksesuaian status; 8) ketapuasan peran, dan 9) distorsi komunikasi. Robbins (1984:145) menggambarkan dengan jelas proses konflik yang terdiri dari empat tahapan, yaitu tahap
pertama oposisi atau ketidakcocokan potensial, tahap kedua
kognisi dan personalisasi, tahap ketiga perilaku dan tahap keempat hasil.
Gambar 1 Tahap Konflik Sumber : Robbins (1984 : 145) Kreativitas sesungguhnya merupakan potensi atau bakat-yang dimiliki oleh setiap individu.Kreativitas bukan sesuatu yang diterima dari luar individu melainkan sesuatu yang dapat dimunculkan dari dalam diri individu itu sendiri. Gilmor (1974 : 26) memandang kreativitas sebagai suatu potensi yang besar dan penting dalam aktivitas manusia. Castaldi (1969 : 89) mengemukakan, kreativitas adalah kemampuan memformulasi konsep-konsep baru setelah mengkombinasikan dua atau lebih ide yang muncul. Demikian halnya Winardi (1991 : 151) menyatakan, kreativitas meliputi pemecahan kemampuan mental seseorang dalam sikap ingin tahu di bidang tertentu, dimana hasilnya dapat berupa penciptaan atau penemuan hal yang baru. Selanjutnya Olson (1980 : 11) mengemukakan beberapa pengertian kreativitas sebagai berikut: 1) kreativitas sebagai abilihj to create; 2) kreativitas sebgai abilitas yang mengantar seseorang pada suatu ide baru; 3) lcreativitas dapat dipandang sebagai ability to break from rigits habits, the defeat of habits by originality; 4) kreativitas sebagai pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas diri seseorang dalam suatu bentuk terintegrasi dalam hubungannya dengan diri seseorang, alam dan orang lain. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan
individu menghasilkan sesuatu ide baru dan pemahaman baru yang berguna bagi individu tersebut Hilgard dalam Munandar (1977 : 40) mengemukakan, kreativitas adalah suatu bentuk pemikiran dimana individu berusaha untuk menemukan hubungan-hubungan baru guna mendapatkan jawaban, metode atau cara-cara baru dalam menanggapi suatu masalah. Kreativitas merupakan suatu proses yang memanifestasikan diri dalam kelancaran, fleksibelitas dan originalitas dalam pemikiran. Glover (1980 : 59) mencoba mengkaji kreativitas dengan membedakan sifat kreatif, gaya perilaku kreatif dan komponen-komponen perilaku kreatif. Sifat-sffat perilaku kreatif meliputi : 1) memiliki ketekunan; 2) dapat mengontrol sendiri (memiliki internal control); 3) mempunyai toleransi untuk ambiguitas; 4) mampu mengambil resiko; 5) mampu berfantasi; 6) memusatkan diri pada hal-hal kreatif; 7) mampu menyusun kembali dan mengelaborasi konsep; 8) sanggup melihat hubungan-hubungan yang kompleks, dan 10) memiliki keinovasian. Steiner dalam Winardi (1991 : 165) mengemukakan ciri-ciri kreativitas seseorang yaitu : 1) memiliki kelancaran konseptual; 2) mampu menghasilkan sejumlah ide dengan cepat; 3) menciptakan ide yang tidak biasa; 4) mempertimbangkan ide-ide atas dasar baik/ buruknya ide tersebut; 5) bersikapfleksibel; 6) menggunakan banyak waktu untuk melaksanakan analisis dan menerangkan; 7) tidak otoriter. Beberapa faktor intrinsik yang dapat merangsang munculnya kreativitas dalam diri seseorang,menurut Sanusi (1984 : 5 - 7), adalah : 1.
Faktor dorongan yang ada dalam diri seseorang. Daya cipta atau kreasi dal m diri
seseorang akandapat terwujudkan apabila seseorang benar-benar terdorong untuk mel ukannya. Dorongan dalam diri seseorang besar manfaatwa untuk memunculkan kreativitas. orongan ingin tahu, ingin meciptakan sesuatu mempunyai andil besar dalam memunculkan kreativitas seseorang. 2.
Faktor minat dan perhatian. Seseoyang yang menaruh minat serta perhatian besar
terhadap sesuatu persoalan akan memungkinkan untuk mengkreasikannya dalam suatu wujud sesuai dengan yang diminatinya. Bermirtat saja tanpa adanya perhatian tidaklah cukup. Oleh
karena itu perhatian terhadap sesuatu yang diminati itu akan melahrkan ketentuan untuk menciptakan sesuatu. 3.
Faktor sikap. Seorang yang bersikap terbuka akan lebih besar peluangnya untuk
memunculkan kreativitas dibandingkan dengan orang bersikap tertutup. Sikap sudah menerima pengaruh dari luar atau menghargai pendapat orang lain akan memudahkan untuk berkreasi dibandingkan dengan orang yang tertutup. 4.
Faktor kebebasan. Orang yang memiliki kebebasan berpikir dan bertindak akan
lebih kreatif dibandingkan dengan orang yang tidak memilikinya. Adanya kebebasan akan memunculkan imajinasi-imajirtasi serta inspirasi seluas-luasnya terhadap sesuatu yang dihadapinya. Keleluasaan akan memberi iklim baru dalam berfikir maupun bertirtdak. 5.
Faktor keberanian. Secara konseptual di dalam keberanian ada unsur-unsur seperti
potensi, daya, kehendak, kesediaan, dan kesiapan untuk bergerak dan memilih sesuatu dimulai berlatih, mencoba, bertindak dan membiasakan.
Adapun faktor-faktor ekstrinsik yang dapat membantu memunculkan kreativitas dalam diri seseorang, menurut Bachtiar (1980 : 14-15) adalah : 1.
Adanya kebutuhan sosail yang menghendaki suatti bentuk, struktur, pola serta sistem
baru, karena apa yang telah ada dianggap tidak lagi memadai atau tidak bisa memenuhi kebutuhan. 2.
Pembuahan silang antar sistem budaya. Suatu masyarakat yang mewujudkan lebih dari
satu sistem budaya, dapat mengakibatkan pembuahan silang yang menghasilkan terciotanya bentuk-bentuk budaya baru. Dalam sistem keorganisasian, faktor-faktor tersebut dapat ditambah lagi dengan mencoba mengidentfikasikannya sebagai berikut : 1.
Iklim organisasi
Biasanya iklim organisasi turut menentukan dapat tidaknya kreativitas itu bertambah subur. Iklim organisasi yang luwes akan lebih memudahkan atau memberi peluang bagi muncunya dan perubaharmya kreativitas.
2.
Gaya kepemimpinan
Gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh pemimpin organisasi. Pemimpin yant bergaya demokratik-partisipatif akan lebih besar peluangnya dalam menumbuhkan kreativitas dari pihak-pihak yang terlibat dalam proses kepemimpinan tersebut. 3.
Sistem nilai yang dianut oleh organisasi
Biasanya sistem nilai yang dianut oleh suatu organisasi akan mewarnai berbagai kegiatan dan tindakan dari semua pihak yang terlibat dalam suatu organisasi. 4.
Kondisi birokrasi dalam organisasi
Sebenarnya birokrasi pada dasarnya bermaksud untuk lebih terjaminnya tingkat efisiensi dan efektivitas organisasi.namun serirtg teijadi birokrasi muncul dalam kondisi yang berlebihan sehingga pada tingkatan tertentu mematikan kreativitas. 5.
Kondisi-kondisi sosial
Kondisi sosial dimana individu itu berada akan mempengaruhi pemunculan dan pengembangan kreativitas. Kondisi-kondisi sosial merupakan keadaan-keadaan interaksi diantara individu yang satu dengan yang lainnya dalam suatu organisasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang telah ditetapkan Interaksi yang demokratis merupakan iklim yang kondusif bagi tumbuh suburnya kepribadian kreatif. 6.
Tingkat respon terhadap perubahan
Respon terhadap perubahan sebenarnya merupakan suatu yang esensial bagi setiap organisasi.namun kenyataannya bahwa ada organisasi yang rigid dalam menghadapi perubahan apalagi meresponnya. Mufiz (1985: 118) menyatakan, elemen pokok administrasi negara adalah setiap organ pemerintah tanpa memandang tingkatannya harus melayani urusan masyarakat.Sejak bertahun-tahun studi public service telah banyak dilakukan, yang kemudian istilah birokrashmenjadi satu konsep dasar dalam pembahasannya. Dengan birokrasi dimaksudkan sebagai satu sistem otorita yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan serta dimaksudkan untuk mengorganisasikan secara teratur, suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh orang banyak. Morteins Mar dalam Alblow (1989 : 29) merumuskan birokrasi sebagai tipe organisasi yang dipengaruhi pemerintah modern
untuk pelaksanaan tugas-tugasnya yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh aparatur pemerintah. Lebih jauh Blau dan Page dalam Mufiz (1985 : 171) memformulasikan birokrasi sebagai sebuah tipe dari suatu organisasi yang dimsksudkan untuk mencapai tugas-tugas administratif yang besar, dengan cara mengkoordinasikan secara sistematik pekerjaan dari banyak orang. Dengan demikian birokrasi tidak hanya dikenal dalam organisasi pemerintah saja, tetapi juga pada semua organisasi-organisasi besar.Karena itu birokrasi akan ditemui pada setiap bentuk organisasi yang dihasilkan oleh proses rasionalisasi terutama organisasi pemerintah. Kemudian Walker dalam Hicks dan Gadler (1981 : 206) menggambarkan pandangan birokrasinya yang ideal, mencakup karakteristik-karakteristik esensial, dan mengenai organisasi yang rasional dan eisien. Menurut Welker dalam Robbins (1984 : 338) terdapat enam karakteristik birokrasi, yaitu: 1.
Adanya prinsip pembidangan tugas yang jelas, pada umumnya diatur berdasarkan
hukum atau peraturan administrasi. 2.
Adanya prinsip hirarki
3.
Manajemen didasarkan atas dokumen-dokumen tertulis atau diarsipkan
4.
Terdapat spesialisasi dan pengembangan pekerjaan melalui latihan keahlian
5.
Aktivitas spesialisasi menurut kepastian pekerjaan secara penuh
6.
Berlakunya aturan-aturan umum mengenai manajemen.
Karakteristik-karakteristik tersebut menggambarkan ideal tipe birokrasi yang lebih merupakan gambaran hipotesis daripada yang sebenarnya tentang bagaimana kebijakan organisasi itu distruktur.Birokrasi adalah organisasi berskala luas yang didalamnya terdapat karakteristik-karakteristik di atas.Pembagian tugas yang jelas bagi aparat birokrasi serta setiap tugas yang dilaksanakan menurut keahlian.Posisi diatur dalam bentuk hirarki, dengan wewenang disusun dan didelegasikan secara bertingkat mulai dari tingkat atas sampai ke tingkat organisasi paling bawah. Segala tindakan administrasi harus tertulis dan pejabat birokrasi harus mampu memisahkan tugas/ kegiatan kantor dengan kegiatan pribadi. Mengingat tugas-tugas di dalam organisasi dilaksanakan berdasarkan spesialisasi maka diperlukan pendidikan dan latihan bagi aparat birokrasi secara continue.
Ripley dan Franklin dalam Salusu (1996 : 440) mengungkapkan birokrasi yang berhasil memberikan pelayanan berkualitas kepada masyarakat adalah yang dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :1) melaksanakan pekerjaan dengan rajin dan bersemangat; 2) memperlakukan semua orang yang berurusan dengannya, dengan cara yang wajar dan sederajat; 3) mempromosikan anggota staf berdasarkan pada jasa, dan yang dapat membuktikan produktivitas kerja yang baik; 4) merekrut anggota-anggota staf dari tenagatenaga yang memiliki kualifikasi profesional; 5) memelihara data, informasi, dan berbagai hal yang mudah ditelusuri. Sebaliknya Ripley dan Franklin dalam Salusu (1996 : 441) mengungkapkan pula birokrasi yang belum mampu memberikan pelayanan yang baik dan berkualitas adalah yang dalam pekerjaannya : 1) melakukan pekerjaan yang kurang bersemangat, lambat, clan sering menyimpang; 2) memperlihatkan favoritisme, diskriminasi dalam melayani anggota masyarakat yang berurusan dengannya; 3) merekrut anggota staf yang memperlihatkan interes yang rendah terhadap standar profesionalisme yang diperlukan; 4) mernpromosikan seseorang atas dasar kriteria non-profesional; 5) menciptakan setumpuk kertas yang tak berujung pangkal, dan tak mampu menemukan berkas yang relevan pada saat yang diperhatikan. Pelayanan masyarakat menjadi semakin penting karena senantiasa berhubungan dengan halayak masyarakat atau orang banyak dalam masyarakat. Thoha (1991 : 41) menjelaskan, pelayanan masyarakat merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang/ sekelompok orang atau institusi tertentu memberikan bantuan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu, dan birokrasi pemerintah merupakan institusi terdepan yang berhubungan dengan pemberian pelayanan masyarakat. Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81/ 1993, pelayanan masyarakat disebut sebagai pelayanan umum, yaitu segala bentuk kegiatan pelayanan umum yan dilaksanakan oleh fnstansi pernerintah di pusat, di daerah, dan di lingkungan Badan Usaha Milik Negara/ Daerah dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk dalam gugus institusi birokrasi pemerintah, pelayanan
masyarakat merupakan pelaksanaan tugas-tu:asPemerintah yang secara langsung memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, aparatur pemerintah harus memberikan pelayanan kepada negara maupun kepada masyarakat.Memberi pelayanan kepada negara dapat berarti bekerja untuk kepentingan negara, sedangkan memberikan pelayanan kepada masyarakat adalah bekerja untuk kepentingan masyarakat. Lembaga Administrasi Negara (1994 : 70), merinci pelayanan masyarakat harus memenuhi tuntutan kualitas, kuantitas maupun kecepatan pelayanan yang terus mengalami dinamika perubahan. Dalam pelaksanaan pelayanan masyarakat tersebut, diperlukan dukungan instrumen yang sering merupakan prasyarat terlaksananya pelayanan, sebagaimana dikemukakan Kristiadi (1996 : 30 - 31) antara lain : 1) komunikasi melalui berbagai arah dan sektor; 2) informasi yang tersebar ke segala penjuru terutama masyarakat pemakai jasa pelayanan; 3) penyuluhan kepada masyarakat yang belum mampu, pelayanan yang bersifat membantu dan memperkuat kegiatan mereka.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survai deskriptif analitik, yaitu suatu metode penelitian dengan mengumpulkan data dengan mengambil beberapa elemen dan masing-masing elemen diselidiki secara mendalam.Penggunaan metode ini memerlukan operasionalisasi variabel-variabel yang difokuskan pada karakteristik atau indikator. Dalam penelitian ini terdapat tiga buah variabel penelitian sebagai berikut : variabel bebas, yaitu pengendalian konflik keorganisasian yang dinotasikan dengan X, variabel antara yaitu kohesifitas kelompok aparatur pemerintah daerah yang dinotasikan dengan Y dan variabel terikat yaitu pelaksanaan pelayanan masyarakat yang dinotasikan dengan Z.
•
Gambar 2 Paradigma Penelitian Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka alat ukur penelitian harus m.enggurtakan variabel yang akan dikaji dalam penelitian, instrumen penelitian disusun dalam bentuk kuisioner secara terstruktur, dengan tingkatan pengukuran ordinal. Kuisioner yang diberikan kepada responden memiliki beberapa item pertanyaan beserta alternatif jawaban yang berpedoman pada skala perbedaan semantik, sehingga responden hanya memilih salah satu jawaban yang tersedia sesuai dengan keadaan sebenarnya. Untuk pengujian alat ukur digunakan validitas dan realibilitas.Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat kesahihan alat ukur. Suatu alat ukur yang valid atau sahih rnempunyai validitas yang tinggi demikian pula sebaliknya alat ukur yang kurang valid akan memiliki nilai validitas yang rendah (Arikunto, 1993 : 136). Reliabilitas menunjukan pada suatu pengertian bahwa sesuatu alat ulcur cukup dapat dipercaya/ dapat diandalkan untuk digunakan sebagai alat pengumpulan data.Reliabilitas adalah ketetapan atau keajegan alat ukur dalam mengukur apa yang diukurnya, sehingga kapan alat ukur tersebut digunakan akan memberikan hasil ukur yang sama. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya sampel adalah sebanyak 80 orang yang pengambilannya dilakukan secara acak sederhana dengan cara undian.
Hasil Penelitian Dari hasil pengujian diketahui bahwa Pengendalian Konflik Keorganisasian memberikan pengaruh nyata terhadap Kohesifitas Kelompok Aparatur Pemerintah Daerah dan Pelaksanaan Pelayanan Masyarakat. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa 62.22% Kohesifitas Kelompok Aparatur Pemerintah Daerah (Y) dan Pelaksanaan Pelayanan Masyarakat (Z) dipengaruhi oleh variabel Pengendalian Konflik Keorganisasian (X), sedangkan 37.78% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti. Besarnya pengaruh ini, berhasilnya pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dan tingkat kohesifitas kelompok aparatur pemerintah tidak terlepas dari adanya pengendalian konflik keorganisasian yang terjadi dalam organisasi. Dalam konteks ini, Organisasi yang efektif biasanya dianggap sebagai sekelompok individu terkoordinasi yang bekerja untuk mencapai tujuan bersama. Dalam pandangan ini konflik meningkatkan keefektifan organisasi dengan merangsang perubahan, kreativitas, kohesifitas dan memperbaiki proses pengambilan keputusan. Hasil penelitian ini juga berimplikasi pada semakin kuatnya hubungan konseptual dari teori yang melandasi variabel penelitian.Sebagaimana diketahui bahwa teori memiliki asumsi, dimana keberlakuannya sangat bergantung pada situasi dan kondisi yang ada di mana teori diterapkan.Besarnya hubungan antar variabel dalam penelitian ini telah menjelaskan bahwa linbungan antara konsep pengendalian konflik keorganisasian dengan kohesifitas kelompok aparatur pemerintah dankualitas pelayanan pada masyarakat telah dibuktikan dengan hubungan pelaksanaan pengendalian konflik keorganisasian, kohesifitas kelompok aparatur pemerintah daerah, dan pelaksanaan pelayanan masyarakat yang terjadi di lingkungan Pemrintah Kabupaten Tasikmalayat. Dan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pengendalioan konflik keorganisasian yang dilakukan untuk mencapai tujuan akan berpengaruh terhadap kohesifitas kelompok aparatur pemerintah daerah dalam melaksanakan tujuan utamanya untuk melayani masyarakat sesuai dengan harapannya. Dengan demikian, kondisi empirik pengendalian konflik keorganisasian yang berpengaruh terhadap kohesifitas kelompok aparatur pemerintah daerah dalam mencapai pelaksanaan pelayanan masyarakat,
berimplikasi dalam menguatkan landasan teori yang dipergunakan sesuai dengan situasid a n k o n d i s i o b j e k p e n e l i t i a n . Dari hasil pengujian diketahui bahwa Pengendalian Konflik Keorganisasian memberikan pengaruh nyata terhadap Kohesifitas Kelompok Aparatur Pemerintah Daerah. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa 16% Kohesifitas Kelompok Aparatur Pemerintah Daerah (Y) dipengaruhi oleh variabel Pengendalian Konflik Keorganisasian (X), sedangkan 84% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti. Besarnya pengaruh ini, secara empirik menunjukkan bahwa Kohesifitas Kelompok Aparatur Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya tidak terlepas dari pengendalian konflik organisasi sebagai hasil dari Pengendalian Konflik Keorganisasian. Diketahui melalui observasi lapangan dan wawancara, bahwa pengendalian konflik yang dilakukan organisasi telah menghasilkan kesesuaian dan keselarasan bagi organisasi untuk menentukan arah yang jelas ke masa depan. Pengendalian konflik dalam sebuah organisasi, juga membantu organisasi dalam meningkatkan kapasitas profesionalisme sumber daya manusia, sebagai aset penting untung meningkatkan kinerja manusia, sekaligus membantu keterbatasan SDM untuk melaksanakan tugas-tugas yang dapat meningkatkan efektivitas dan produktivitas organisasi. Selain itu, pengendalian konflik yang terjadi pada sebuah organisasi juga membantu organisasi meningkatkan kapasitas kelancaran komunikasi yang diperlukan.Akhirnya pengendalian konflik organisasi juga telah membantu organisasi dalam menghasilkan kebijakan secara akurat dan efisien yang menunjang keberhasilan organisasi untuk mengendalikan seluruh aktivitasnya hingga sesuai dengan rencana aksi strategik yang telah ditetapkan. Temuan empirik itu semua telah menunjukkan bahwa pelaksanaan pengendalian konflik keorganisasian mempengaruhi seluruh dimensi kinerja dalam penelitian ini yaitu: orientasi masa depan, sumber daya manusia, perumusan rencana aksi strategis, orientasi hasil, dan pengendalian strategi sebagaimana diuraikan Siagian (dalam Iskandar, 2005a: 266). Secara teoretis, melalui penggunaan metode-metode dalam mengendalikan konflik keorganisaian tersebut, konflik menjadi fungsional dan memunculkan karakteristik internal organisasi; bergairah, kritis, kreatif, inovatif dan bahkan berdasarkan hasil studi Muzafer dan
Carolyn dalam Stoner (1992: 44) konflik fungsional dapat mempererat hubungan antar anggota kelompok.Karena fungsional adalah kohesifitas kelompok. Robbins (1996 : 307) mengemukakan bahwa : "kohesifitas adalah sebagai derajat sejauh mana anggota-anggota kelompok tertarik yang satu kepada yang lainnya dan termotivasikan untuk tetap tinggal di dalam kelompok tersebut". Pendapat di atas mengandung makna bahwa kelompok yang sangat kohesif lebih efektif daripada kelompok dengan kekohesifan yang lebih kecil, tetapi hubungan itu lebih rumit daripada sekedar memungkinkan yang menyatakan kekohesifan yang tinggi itu akan lebih baik. Sering diisyaratkan bahwa kelompok kerja yang efektif adalah kohesif. Secara intuitif, akannampak
bahwa
kelompok-kelompok
mana
yang
terdapat
banyak
sekali
ketidaksepakatan internal dan kurangnya semangat kooperatif relatif akan kurang efektif. Dalam menyelesaikan tugas-tugasnya individu umumnya lebih produktif dan bekerjasama dimana para anggota saling menyukai.
Hasil penelitian ini juga berimplikasi dalam memperkuat hubungan konseptual dari teori yang menjadi landasan penelitian, dimana keberhasilan implementasi kebijakan publik dapat menyebabkan sebuah organisasi publik mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan publik. Dalam konteks ini, pengendalian konflik keorganisasian, maka kelompok yang sangat kohesif lebih efektif daripada kelompok dengan kekohesifan yang lebih kecil, tetapi hubungan itu lebih rurnit daripada sekedar memungkinkan yang menyatakan kekohesifan yang tinggi itu akan lebih baik. Dari hasil pengujian diketahui bahwa Pengendalian Konflik Keorganisasian memberikan pengaruh nyata terhadap Pelaksanaan Pelayanan Masyarakat. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa 60% Pelaksanaan Pelayanan Masyarakat (Z) dipengaruhi oleh variabel Pengendalian Konflik Keorganisasian (X), sedangkalt 40 % dipengaruhi bleh variariel lain yang tidak diteliti. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa banyak faktor yang berpengaruh terhadap Pelaksanaan Pelayanan Masyarakat dimana salah satunya adalah Pengendalian Konflik Keorganisasian meskipun tidak lebih dominan jika dibandingkan faktor-faktor lainnya. Sesuai hasil observasi dan wawancara bahwa pengendalian konflik keorganisasian telah membantu organisasi dalam meningkatkan kualitas pelaksartaan pelayanan masyarakat.Keberadaan konflik yang terjadi diantara aparatur atau kelompok organisasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tersebut dirasakan sangat mengganggu pelaksanaan kegiatan organisasi.Terganggunya komunikasi dan kerjasama dalam pelaksanaan tugas terutama yang berorientasi pada pelayanan masyarakat, terlarnbatnya penyelesaian pekerjaan yang salirtg ketergantungan. Hasil penelitian ini juga berimplikasi dalam memperkuat hubungan konseptual dari teori yang menjadi landasan penelitian, dimana pelaksanaan kebijakan publik, apa pun jenis kebijakannya, dapat menunjang organisasi publik dalam memenuhi pencapaian nilai-nilai yang diharapakan oleh kebijakan yang sesuai dengan harapan atau preferensi publik. Dari hasil pengujian diketahui bahwa Kohesifitas Kelompok Aparatur Pemerintah Daerah memberikan pengaruh nyata terhadap Pelaksanaan Pelayanan Masyarakat. Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa 5 % Pelaksanaan Pelayanan Masyarakat (Z)
dipengaruhi oleh variabel Pengendalian Konflik Keorganisasian (X), sedangkan 95% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti. Hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa banyak faktor yang berpengaruh terhadap Pelaksanaan Pelayanan Masyarakat dimana salah satunya adalah Kohesifitas Kelompok Aparatur Pemerintah Daerah meskipun tidak lebih dominan jika dibandingkan faktor-faktor lainnya. Secara teoretis, Kohesifitas kelompok aparatur pemerintah yang diharapkan tersebut, sangat diperlukan terutama dalam melaksanakan pekerjaan yang semakin diturttut memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus bertambah. Di waktu yang akan datang dapat dipastikan tuntutan kebutuhan masyarakat yang semakin meningkat perlu diimbangi dengan kemampuan aparatur pemerintah sehingga benar-benar profesional di lingkungan pekerjaannya. Untuk itu turttutan masyarakat yang semakin meningkat baik jumlah, jenis mutu dan kecepatan pelayanannya, harus diimbangi oleh kohesifitas kelompok aparatur pemerintah itu sendiri.Dengan demikian agar konflik dapat memunculkan kohesifitas kelompok aparatur pemerintah yang berorientasi terhadap pelayanan masyarakat sesuai kebutuhan, diperlukan upaya mengendalikan konflik keorganisasian pemerintah, agar berada dalam kondisi yang moderat. Hasil penelitian ini juga berimplikasi dalam memperkuat hubungan konseptual dari teori yang menjadi landasan penelitian, dimana peningkatan kinerja organisasi publik akan menyebabkan tercapainya tujuan organisasi publik, di antaranya untuk memenuhi pencapaian nilai-nilai yang menjadi harapan atau preferensi publik.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, pengendalian konflik keorganisasian berada pada kriteria baik di mana hal ini diperlihatkan oleh rata-rata tanggapan responden yang positif.Tanggapan responden yang paling positif adalah mengenai dorongan terhadap perubahan dalam pencapaian tujuan organisasi melalui konflik yang terjadi pada unit kerja/ antar unit kerja. Kohesifitas kelompok aparatur pemerintah daerah berada pada kriteria baik di mana hal ini diperlihatkan oleh rata-rata tanggapan responden yang positif. Tanggapan responden yang paling positif adalah mengenai keberadaan posisi dalam memasuki kelompok lain selain kelompoknya. Sedangkan tanggapan responden yang paling negatif adalah mengenai keakraban dengan anggota lain sebagai anggota kelompok. Pelaksanaan Pelayanan masyarakat berada pada kriteria baik di mana hal ini diperlihatkan oleh rata-rata tanggapan responden yang positif. Tanggapan responden yang paling positif adalah mengenai orientasi kesederhanaan yang dilaksanakan oleh anggota dalam pelaksanaan pekerjaan pada unit kerja, sedangkan tanggapan responden yang paling negatif adalah mengenai para pegawai senantiasa berinisiatif dalam bekerja sehingga tidak terikat oleh kegiatan kerja yang rutin. Hasil pengujian hipotesis penelitian baik hipotesis utama maupun subhipotesis menunjukkan bahwa pengendalian konflik keorganisasian berpengaruh secara nyata dan positif terhadap kohesifitas kelompok aparatur pemerintah daerah dan pelaksanaan pelayanan masyarakat.Koefisien determinasi yang diperoleh dari hasil pengujian menunjukkan bahwa pengendalian konflik keorganisasian berpengaruh besar terhadap kohesifitas kelompok aparatur pemerintah daerah dan pelaksanaan Pelayanan masyarakat. Temuan permasalahan pada pengendalian konflik keorganisasian adalah munculnya kelompok-kelompok informal tertentu di lingkungan aparatur yang bersaing mempengaruhi kebijakan pimpinan dalam menentukan penempatan/ pengalihtugasan aparatur (terutama eselon III, IV, dan V) pada posisi strategis.Hal ini diperlihatkan oleh adanya pengendalian atas perilaku-perilaku yang disukainya atau bahkan menyalahkan bagiannya dalam aktivitas-
aktivitas yang tidak disukainya yang mengakibatkan terjadinya konflik diantara pihak-pihak tersebut. Temuan permasalahan berkaitan dengan kohesifitas kelompok aparatur pemerintah daerah adanya persaingan terhadap sumber daya yang terbatas terutama terhadap anggaran. Semakin penting anggaran yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak, maka kompetisi untuk saling mengejar anggaran semakin kuat, dan tidak semua pihak akan mendapatkannya. Temuan permasalahan berkaitan dengan pelaksanaan pelayanan masyarakat, dapat disimpulkan bahwa keberadaan konflik yang terjadi diantara aparatur atau kelompok organisasi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya tersebut dirasakan sangat mengganggu pelaksanaan kegiatan organisasi.Terganggunya komunikasi dan kerjasama dalam pelaksanaan tugas terutama yang berorientasi pada pelayanan masyarakat, terlambatnya penyelesaian pekerjaan yang saling ketergantungan.
Daftar Pustaka Castaldi, FD. 1969. Organization and Human Behaviori. Inc. Graw Hill Book Company, New York. Chandra. 1992. Konflik. Kanisus, Yogyakarta. Islamy , M.Irfan , 2000, Prinsip - Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara , Bumi Aksara , Jakarta Ivancevich, John, M. & Matteson, Michael, T. 1990.Organizational Behavior and Management.Bussiness Publication Mc, Boston. Ivancevich, Gibson dan Donnelly. 1996. Manajemen (terjemahan Zuhad Ichyaudin). Erlangga, Jakarta. Kristiadi.1992. Pengembangan Sumber Daya Manusia di Sektor Publik (Makalah Pengembangan SDM).Institut Teknologi Bandung, Bandung. ________1996.Manajemen Pelayanan Masyarakat. LembagaAdministrasi Negara RepublikIndonesia, Jakarta. Kumorotomo, Wahyudi. 1982. Etika Administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta. Lembaga Administrasi Negara. 1994. Menuju Format Baru Pelayanan Um um. Ilham Jaya, Bandung. Mufiz. 1985. Pengantar Adminitrasi Negara. Karunika, Jakarta. Nasir. 1985. Metode Penelitian. Jakarta. Robbins,
Stephen,
P.
1984.
Essentials
of
Organizational
Behavior.EnglewoodCliffs : Prentice-Hall. Inc. _________1996.Prilaku Organisasi : Konsep - Kontroversi - Aplikasi. (terjemahan HadyanaPujaatmaka). Prenhallindo, Jakarta. Robbins, Stephen. P. 1990.Organization Theory : Structure, Design and applications. Prentice Hall-inc, Englewood Cliffs. Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusa Strategik : Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non-Profit. Grasindo, Jakarta. Santoso, Priyo, Budi. 1993. Birokrasi Pemerintah Orde Baru : Perspektif Kultural dan Struktural. Rajawali, Jakarta.
Sarwono. 1993. Birokrasi dan Administrasi Pembangunan. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Sugiyono. 1992. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta, Bandung. Surie, H.G., 1987, Ilmu Administrasi Negara, Terjemahan Ipong Purnama Sidhi, Gramedia, Jakarta. Thoha, Miftah. 1983. Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta, Bandung. ________1987.Presfektif Prilaku Birokrasi. Rajawali, Jakarta. ________1991.Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi. Media Widya Mandala, Yogyakarta. _________1993.Prilaku Organisasi : Konsep Dasar dan Apliaksi. Rajawali, Jakarta. _________1997. Pembinaan Organisasi. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta. Wexley, Kennet & Garry A Yukl.1988. Prilaku Organisasi dan Psikologi Personalia (terjemahan Riswan). Citra Aditya Bhakti, Jakarta. _________1994.Manajemen Konflik : Konflik Perubahan dan Pengembangan (terjemahan Ichyaudin).Mandar Maju, Bandung.