ANALISIS PENERAPAN FATWA DSN-MUI NO.43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANG TA’WIDH PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PT BANK SYARIAH BUKOPIN Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (S.E.Sy)
oleh: Muis Hidayat NIM: 105046101687
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M
ANALISIS PENERAPAN FATWA DSN-MUI NO.43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANG TA’WIDH PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PT BANK SYARIAH BUKOPIN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Syari’ah (S.E.Sy) Oleh :
Muis Hidayat NIM: 105046101687 Di bawah bimbingan: Pembimbing
Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA. NIP : 19601171985051001
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAT (EKONOMI ISLAM) FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/2010 M i
PENGESAHAN PANITIA SIDANG Skripsi yang berjudul “ANALISIS PENERAPAN FATWA DSN-MUI NO.43/DSN-MUI/VIII/2004 TENTANG TA’WIDH PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PT BANK SYARIAH BUKOPIN” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Juni 2010, Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Syari’ah pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam). Jakarta, 21 Juni 2010 Dekan,
Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. NIP. 19550505 198203 1 012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua
: Dr. Euis Amalia, MA. NIP. 19710701 199803 2 002
(…………………………)
Sekretaris
: H. Ah.Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H. NIP. 19740725 200112 1 001
(....………………………)
Pembimbing
: Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA. NIP. 19601107198505 1 001
(...……………………….)
Penguji I
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. NIP. 195703121985031 003
(…………………………)
Penguji II
: H. Ah.Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H. NIP. 19740725 200112 1 001
(...……………………….)
ii
ABSTRAKSI Muis Hidayat. Analisis Penerapan Fatwa DSN-MUI No. 43/DSNMUI/VIII/2004 Tentang Ta’widh pada Pembiayaan Murabahah di PT Bank Syariah Bukopin, Skripsi Konsentrasi Perbankan Syari’ah, Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam), Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tujuan penelitian ini untuk menjelaskan konsep ta’widh yang telah dikeluarkan oleh DSN MUI melalui fatwa DSNMUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 dan Mengetahui penerapan dan aplikasi ta’widh pada pembiayaan murabahah dan cara penyelesaiannya di PT Bank Syariah Bukopin. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif yang menghasilkan data deskriptif dan tertulis dengan memadukan antara penelitian lapangan (field research) yakni dengan wawancara secara langsung kepada pihak DSN-MUI dan PT Bank Syariah Bukopin yang memiliki kepentingan terhadap penulisan skripsi ini dan penelitian kepustakaan (library research) yakni dengan mengambil bahan-bahan pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah ta’widh. Hasil penelitian ini Ta’widh merupakan sebagai bentuk proses ganti rugi yang telah dikeluarkan oleh salah satu pihak yang merasa kerugian atas biaya yang telah dikeluarkan atas dasar kemaslahatan dan biaya – biaya ril yang dikeluarkan oleh bank syariah karena terjadinya proses perpanjangan dalam pembiayaan murabahah akibat dari penundaan pelunasan oleh nasabah debitur. Berbeda dengan ta’zir sebagai denda yang masuk dananya ke dalam pendapatan non halal atau dana kebajikan. Sedangkan ta’widh merupakan dana ril yang telah dikeluarkan pihak bank syariah, sehingga dana ganti rugi yang didapat masuk ke dalam pendapatan bank syariah dalam perhitungannya. Hal ini dilakukan agar menjaga kinerja dan kolektibilitas bank syariah. Kata kunci: Ta’widh, Ta’zir, kolektibilitas, ganti rugi
iii
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Juni 2010
Muis Hidayat
iv
KATA PENGANTAR Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Alhamdulillah, segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan kemudahan yang diberikan oleh-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad saw. Selama penyusunan skripsi ini penulis banyak menerima bimbingan dan saran dari berbagai pihak. Melalui kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan untaian terima kasih yang tak terhingga kepada: 1.
Ayah dan Ibu penulis yang telah membesarkan dan merawat sejak kecil hingga dewasa dan memberikan kesempatan agar dapat melanjutkan kuliah hingga lulus saat ini, jasa kalian tak akan pernah terbilang oleh kata-kata. Hadiah ini ku persembahkan kepada orang tua yang tercinta.
2.
Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H, M.A, M.M. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Ibu Dr. Euis Amalia, M,Ag. selaku Ketua Program Studi Perbankan Syariah dan Bapak H. Ah. Azharuddin Lathif, M.Ag, M.H. selaku Sekretaris Program v
Studi Perbankan Syariah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4.
Bapak Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu memberikan arahan, saran serta motivasi selama penulisan skripsi ini.
5.
Dosen dan Karyawan di Lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pengetahuan dan bantuannya kepada penulis.
6.
Bapak Kanny Hidayat dari DSN-MUI dan bapak Noor Cholis dari PT Bank Syariah Bukopin yang telah memberikan kesempatan waktunya kepada penulis untuk dapat diwawancarai, sehingga penulisan ini dapat selesai dengan baik.
7.
Kepada teman-teman Gontor 2003 Zagreenada De Nature, dan teman – teman kelas PSD 05 (Matroji, Rizki, Beni, Irul, olied, Muhajir, Irfan, dll) semoga sukses selalu.
8.
Kepada teman – teman kantor di PP MES (Iqbal, Farizal,Dedi, Yuni n’ Janu) yang telah memotivasi agar dapat buru-buru menyelesaikan skripsi ini.
9.
Kepada teman – teman LDK (Reza, Iqbal, Rudi, Anwar, Fathim, Bibah, Ari, Husnul, Rani, Rini,dll ) yang selalu menanyakan kapan nih akh? Tar kebalap dengan kami loh...syukron atas doa dan ”pecutan”semangatnya.
vi
10.
Kepada temen-temen lingkar Studi Ekonomi Syariah (Lisensi) (Jihad, wahyu, Asbah, dll) yang telah menyempatkan waktunya untuk dapat berdiskusi bersama.
11.
Dan kepada teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan disini, tanpa mengurangi kontribusi kalian terhadap penulis yang begitu besar. Semoga amal dan jasa baik yang telah diberikan kepada penulis dapat
diterima oleh Swt dengan pahala yang melimpah. Besar harapan penulis bahwa skripsi ini dapat menambah khazanah keilmuan dan bermanfaat bagi banyak pihak. Penulis sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam peulisan skripsi ini, sehingga penulis berharap peneliti-peneliti selanjutnya dapat melakukan perbaikan.
Penulis,
MUIS HIDAYAT
vii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING………………………………….
i
LEMBAR PENGESAHAN PANTIA UJIAN…………………………………
ii
ABSTRAK ………………………………………………………………………. iii LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………………. iv KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. v DAFTAR ISI …………………………………………………………………… viii BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang ……………………………………………………….. 1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah ……………………………….... 8
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ……………………………………….... 8
D.
Kajian Pustaka …………………………………………………………. 9
E.
Kerangka Teori dan Konsep …………………………………………… 12
F.
Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ……………………………... 16
G.
Sistematika Penulisan………………………………………………….. 18
BAB II
TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KONSEP MURABAHAH DAN TA’WIDH
A.
Pengertian Murabahah 1. Definisi Murabahah ……………………………………………….. 20 2. Rukun dan Syarat Murabahah ……………………………………. 19 3. Landasan Hukum Murabahah …………………………………….. 24 4. Jenis-jenis Murabahah ……………………………………………. 27 viii
5. Manfaat dan Resiko Murabahah …………………………………. 28 6. Penerapan Murabahah dalam Perbankan Syariah ………………… 29 B.
Pengertian Ta’widh 1. Definisi Ta’widh …………………………………………………… 30 2. Dasar Hukum Ta’widh ……………………………………………. 33 3. Ketentuan Umum dan Khusus Ta’widh ………………………………. 35 4. Pendapat Para Ulama Mengenai Ta’widh …………………………. 37
C. Perbedaan antara ta’widh dan denda (ta’zir) …………….…………....... 40 BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PT BANK SYARIAH BUKOPIN
A.
Sejarah Singkat Bank Syari’ah ……………………………………….. 41
B.
Falsafah, Visi dan Misi Perusahaan …………………………………... 42
C.
Struktur Organisasi …………………………………………………… 43
D.
Produk-Produk Bank Syari’ah ………………………………………. 44
BAB IV HASIL PENELITIAN A.
Konsep ta’widh pada fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/VIII/2004
…………….......................................................................................................48 B. BAB V
Penerapan ta’widh pada Pembiayaan Murabahah di Bank Syariah .......51 PENUTUP
A.
Kesimpulan …………………………………………………………….63
B.
Saran
…………………………………………………………………65
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 66 LAMPIRAN ix
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan
ekonomi
syariah
cukup
pesat
dan
besar,
banyak
bermunculan lembaga keuangan syariah yang baru menambah kemampuan ekonomi berbasis syariah menjadi pilihan utama atas permasalahan ekonomi yang dihadapi saat ini. Islam membawa suatu sistem ekonomi syariah yang diperuntukkan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan serta jauh dari tindakan-tindakan yang merugikan orang lain, baik itu untuk muslim sendiri atau pun non-muslim. Kesempurnaan ajaran Islam yang membawa rahmatan lil’alamin kepada seluruh makhluk di muka bumi ini. Khususnya perkembangan perbankan syariah saat ini cukup luar biasa, walaupun tidak mencapai target yang diinginkan. Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah merupakan penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu perbankan konvensional dengan piranti bunga dan perbankan syariah dengan piranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah 1 . Ini menunjukkan bahwa legalitas dan dukungan pemerintah terhadap
1
Ahmad Kamil dan M. Fuazan, “Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah”,( Jakarta: Kencana, 2007) cet. 1, h. I
1
2
perbankan syariah menjadi kekuatan tersendiri akan pertumbuhannya dari masa ke masa nantinya. Berdasar data publikasi BI per September 2009, industri perbankan syariah mencatat aset Rp 58 triliun, meningkat 29 persen dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 45,8 triliun. Pada akhir 2008, aset perbankan syariah tercatat sebesar Rp 49,5 triliun. Di sisi pembiayaan per September 2009 sebanyak Rp 44,5 triliun dan DPK Rp 45,3 triliun. Jumlah tersebut meningkat dari akhir 2008 dimana pembiayaan sebesar Rp 38,1 triliun dan DPK Rp 36,8 triliun. Sementara itu ekuivalen tingkat bagi hasil bank syariah untuk tabungan naik dari 3,02 persen di Agustus menjadi 3,06 persen pada September 2009 dan untuk deposito bagi hasil antara 6,78 persen dan 8,42 persen di kuartal III. Per September, pembiayaan dengan akad mudharabah memiliki tingkat bagi hasil 19,33 persen, musyarakah 11,04 persen dan murabahah 15,78 persen. 2 Seiring dengan perkembangan sejarah kehidupan manusia, tentu akan dibarengi juga dengan perubahan aktivitas manusia yang selalu berubah-ubah. Dalam sistem ekonomi memiliki tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan. Sistem Ekonomi Islam lebih komprehensif dan utuh didasarkan pada pandangan–pandangan yang
2
Syariah
http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/174/kat/17 , BI Rate Pacu Kinerja Bank
3
benar terhadap hakekat manusia. Sistem – sistem yang ada memiliki filosofi yang berbeda-beda tentang manusia sekalipun berasal dari yang sama yaitu materialisme 3 . Hal tersebut bisa terjadi karena perubahan struktur dan kondisi alam atau perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi. Perubahan aktivitas manusia tersebut tidak terlepas dari ancaman risiko. Segala macam risiko yang berasal dari musibah dan bencana alam merupakan qadha dan qadhar dari Allah SWT. Allah SWT berfirman dalam surat al Luqman (31) Ayat 34 :
... ⌧ ☺ ( 34:) ﻟﻘﻤﺎن
“… dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakan esok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah maha mengetahui lagi maha mengenal.” (QS. Luqman[31] : 34) Dari ayat di atas kita dapat mengambil hikmah bahwa dalam menghadapi kehidupan yang penuh dengan ketidak pastian, manusia tidak dapat mengelak dari kehendak Allah SWT, tetapi manusia wajib untuk berikhtiar untuk dapat mengatasinya. Dalam konsep ekonomi Islam, setiap transaksi ekonomi yang membutuhkan kerjasama (mudharabah,musyarakah, dll) menggunakan sistem bagi hasil, maka 3
1, h.22
A. Riawan Amin, “Menata Perbankan Syariah di Indonesia”,(Jakarta;UIN Press 2001) cet.
4
ketika terjadi resiko, maka akan ada proses berbagi risiko juga. Di bidang ritel, nasabah dan bank membagi risiko dari segala investasi sesuai dengan peraturan yang telah disetujui serta membagi keuntungan yang didapat. Melihat kedigdayaan keuangan syariah tersebut, kini Inggris mulai melirik sistem keuangan syariah ini. Di negara asal ekonom besar Adam Smith ini, industri syariah telah masuk ke banyak sektor kehidupan, termasuk kredit perumahan. Para nasabah yang kebanyakan nonMuslim merasa perlu mengambil kredit mortgage-nya melalui sistem syariah. Hal ini terjadi karena mereka tertarik dengan transparansi dan stabilitas bisnis perbankan syariah setelah kehancuran bank-bank konvensional akibat krisis properti, subprime mortgage 4 . Dalam bisnis pasti ada yang diuntungkan dan dirugikan, tapi dalam Islam sendiri dalam prinsipnya berbagi keuntungan dan kerugian baik antara pelaku bisnis (mudhorib) atau pemilik uang (shohibul mal), sehingga tidak ada yang dizalimi satu sama lain. Bank syariah sebagai lembaga intermediary yang seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan internal, mengalami perkembangan pesat yang akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis resiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya. Risiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian yang potensial, baik yang diperkirakan maupun yang tidak dapat diperkirakan yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank.
4
Republika Newsroom, “ Ketika Barat Jatuh Cinta pada Sistem Ekonomi Syariah”, artikel diakses pada 6 November 2009 dari http://www.republika.co.id/berita/31514
5
Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan 5 . Dalam Islam kerugian yang harus dipertanggung jawabkan adalah kerugian riil, hal ini bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan menundanunda pembayaran 6 . Menurut
Imam
asy-Syatibi,
sesungguhnya
syariah
itu
bertujuan
mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikan
pelbagai
sesuatu
yang
menyangkut
rezeki
manusia,
pemenuhan
penghidupan manusia dan perolehan apa-apa yang dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian yang mutlak. Beliau melanjutkan, kemaslahatan ini dapat terealisasi apabila lima unsur pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta 7 , ini dikenal dengan nama Maqosidhu as Syariah. Dengan melihat itu semua, maka diketahui bahwa dalam pemenuhan suatu kemaslahatan dalam kehidupan manusia haruslah dapat memenuhi kelima unsur pokok diatas sebagai landasan awal, apalagi dalam hal bermuamalah, khususnya dalam berekonomi. Hal ini bisa terkait dengan proses memenuhi kebutuhan hidup dalam berekonomi dengan cara proses transaksi atau jual beli dan akad – akad yang
5
Adiwarman A. karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:Rajawali press), cet.3, hal. 255 6 Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, h. 828 7 Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, (Jakarta;Pusataka Asatruss) h. 208-209. Lihat pula pada, Asy-Syatibi, al- Muwafaqat fi Ushul asySyariah, Kairo: mustofa Muhammad , t.th) jilid 2
6
telah diperjanjikan pun haruslah dipenuhi, agar tidak ada yang dirugikan oleh masingmasing pihak. Islam menggambarkan dalam al-Quran surat al-Maidah (5), ayat 1, :
(1 : …)ا ﻟﻤﺎﺋﺪة “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”. Dalam risiko yang dihadapi seperti halnya adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran. Hal ini tentunya sangat kontradiktif dengan syariah Islam yang sangat melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik lembaga keuangan syariah maupun nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pun pihak yang dirugikan hak-haknya. Salah satu bentuk perlindungan yang ada dalam Syariah Islam adalah adanya mekanisme ta’widh (pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya dilanggar 8 . Perlu dipahami bersama, ta’widh berbeda dengan ta’zir, walaupun proses yang terjadi adanya kesamaan dikarenakan kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran. Ta’zir (denda) dana yang dikumpulkan masuk kedalam dana sosial, biasanya sudah ada dalam perjanjian dan besarannya pun telah ditentukan dan bukan karena kasus force majeur, sedangkan ta’widh (ganti rugi) dananya masuk sebagai pendapatan bank dan besarannya pun ditentukan sesuai dengan kerugian rilnya serta bukan karena kehilangan kesempatan atau time value of money. Fatwa ta’widh ini telah keluar, walaupun sempat tertunda karena para ulama dan pembuat kebijakan di
8
Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, h.828
7
Bank Indonesia keberatan dengan klausul ta’widh. Nasabah yang mengulur-ulur pembayaran sudah bisa ditindak dengan adanya fatwa MUI no 17 tahun 2000 tentang sanksi (ta’zir). Berdasarkan fatwa tersebut, nasabah yang lalai bisa dikenakan denda atau ta’zir. Selain itu dananya juga tidak dimasukkan pendapatan bank melainkan sebagai dana sosial, tentu hal ini berbeda dengan ta’widh seperti yang telah dikatakan sebelumnya. Dan fatwa tentang ta’zir No.17/DSN-MUI/IX/2000
tentu berbeda
dengan Fatwa No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ta’widh. Hal ini dilakukan agar memberikan manfaat yang lebih luas dan pemahaman yang baik, agar tidak terjadi kesalahpahaman antara pihak bank syariah maupun nasabah. Bagi bank syariah membantu pengelolaan dan kinerja perusahaan, jika hal ini tidak dilakukan akan berdampak kepada penurunan kolektibilitas terhadap kinerja bank syariah sendiri, karena kewajiban yang belum dilunasi. Ini juga sebagai kompetitif terhadap bank konvensional yang menerapkan bunga dengan mengambil konsep kehilangan kesempatan time value of money. Ta’widh tentu berbeda yang diterapkan oleh bank syariah sebagai ganti rugi terhadap segala biaya-biaya ril yang telah dikeluarkan agar tidak kehilangan ongkos kerja dan diakui sebagai pendapatan bank syariah. Dengan konsep ta’widh ini memberikan pembelajaran kepada nasabah pembiayaan yang nakal dan membantu bank syariah agar mendorong nasabah untuk melunasi kewajibannya tepat waktu. Bagi nasabah pun akan berpikir ulang untuk melunasi secepatnya dan sesuai dengan perjanjian.
8
Dari latar belakang masalah di atas, penulis ingin mengetahui lebih jauh mengenai proses ta’widh sendiri dan aplikasinya dalam bank syariah, khusus dalam proses jual beli atau Murabahah. Oleh karena itu dalam skripsi ini penulis memilih judul
:
“ANALISIS
PENERAPAN
FATWA
DSN-MUI
NO.
43/DSN-
MUI/VIII/2004 TENTANG TA’WIDH PADA PEMBIAYAAN MURABAHAH DI PT BANK SYARIAH BUKOPIN”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Untuk mempermudah dalam penulisan, maka penulis memberikan batasan dalam pembahasan ini hanya berfokus pada ta’widh atau ganti rugi terhadap transaksi murabahah dalam perbankan syariah. Agar mempermudah dalam penyusunan, maka perlu kiranya dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana konsep ta’widh pada fatwa MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 ? 2. Bagaimana penerapan ta’widh yang digunakan dalam bank syariah dan proses penyelesaiannya pada murabahah?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Setiap penelitian sudah pasti mempunyai tujuan dan manfaat. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui konsep ta’widh pada fatwa MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004.
9
2. Mengetahui penerapan dan
aplikasi ta’widh dalam bank syariah dan cara
penyelesaiannya pada murabahah. Sedangkan manfaat penelitian ini terbagi empat, antara lain : 1. Bagi Peneliti : Dapat menambah wawasan dan pengetahuan akan proses ta’widh dalam bank syariah dan mengetahui pula akan perbandingan antara konsep dan aplikasi. 2. Bagi Pengusaha : Memberikan informasi penting mengenai proses ta’widh atau ganti rugi yang sesuai dengan syariah. 3. Bagi Masyarakat : Dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang proses ganti rugi pada bank syariah. 4. Dapat menjadi sumber referensi dan sarana pemikiran bagi kalangan para akademisi dalam menunjang penelitian lainnya.
D. Kajian Pustaka Dalam penelitian ini penulis mengacu pada skripsi terdahulu yang telah dilakukan yaitu : 1.
Peneliti
Yesi Iryanti, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, FSH, perbankan syariah
Judul
“Analisis
Penanganan
Pembiayaan
Murabahah
Bermasalah” (Studi Kasus Pada Bank DKI Syariah dan BPRS Wakalumi)
10
Metodelogi Penelitian
Deskriptif kualitatif
Hasil Penelitian
- faktor penyebab nasabah mengalami wanprestasi yaitu kebanyakan dari faktor eksternal karena jenis pembiayaan
yang
dilakukan
digunakan
untuk
menambah modal usaha. - Akibatnya nasabah tidak mampu mengembalikan pembiayaan tepat pada waktunya yang telah ditentukan, bank akan mengalami kerugian baik financial
maupun
tenaga
akibat
tidak
dikembalikannya dana bank tersebut. - Dalam proses penanganannya diawal memberikan surat teguran atau pemanggilan, eksekusi jaminan, jika belum berhasil dilakukan hapus buku. Dalam proses akhir ini jarang dilakukan karena hal tersebut dapat merugikan pihak bank
2
Peneliti
Yetty Nur Indah Sari, Perbankan Syariah, melakukan penelitian tahun 2008
Judul
“ Denda Murabahah Dalam Pandangan Sistem Ekonomi Islam” ( Studi Kasus Di Bank Syariah Mega Indonesia)
11
Metodelogi Penelitian
Deskriptif kualitatif
Hasil Penelitian
- Denda (ta’zir) diberikan akibat kelalaian nasabah, jika nasabah mampu dan tak mau membayar, biasanya ini sudah ada dalam perjanjian atau akad diawal, hal ini sebagai proses hukuman atas kelalaiannya. Penyelesaian denda murabahah dibayar pada akhir masa jangka waktu pembiayaan dan dana ini dimasukkan sebagai dana sosial atau kebajikan.
3
Peneliti
Enung Nurjannah, Perbankan Syariah, melakukan penelitian tahun 2008
Judul
“Upaya Penyelesaian Pembiayaan Bermasalah Pada Pembiayaan Multiguna BTN Syariah” ( Studi Kasus pada Bank BTN Syariah Kantor Cabang Syariah Tangerang )
Metodelogi Penelitian
Kualitatif deskriptif
Hasil Penelitian
- Dalam upaya menyelesaikan pembiayaan multiguna (murabahah), dilakukan dari reschedulling, melalui pembinaan collection,
melalui
pendekatan
pengurangan
pada
nasabah,
tungakkan
pokok
pembiayaan, eksekusi jaminan asset atau objek
12
pembiayaan dalam rangka pelunasan pembiayaan, menghapus buku atau membebaskan hutang
Dari keterangan diatas dijelaskan mengenai permasalahan akan pembiyaan bermasalah dan cara proses penyelesaian, khususnya dalam pembiyaan murabahah. Terdapat pula di dalam ta’zir atau denda yang disebabkan kelalaian dalam menunda pembayaran, padahal mempunyai kemampuan untuk membayar. Akan tetapi dana dari denda tersebut masuk ke dalam dana sosial atau kebajikan. Hal ini tentu saja berbeda dengan penulis sendiri, karena pembahasan ini akan dititik beratkan kepada proses ta’widh atau ganti rugi atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan bank. Dalam prosesnya tentu pembiayaan ini berhubungan dengan pembiayaan bermasalah atau wanprestasi yang terjadi. Dan dana yang dikumpulkan tersebut sebagai pendapatan bank syariah.
E. Kerangka Teori dan Konsep Kerangka Teori Murabahah
adalah
transaksi
kepercayaan,
sebab
pembeli
telah
mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal barang yang dibelinya. Oleh karena itu, ketika bank menawarkan skim pembiayaan murabahah, maka sebenarnya bank menawarkan kepercayaan dan good-will yang tinggi kepada nasabah, dan sebalknya nasabah juga memberikan kepercayaan yang penuh kepada pihak bank.
13
Konsep amanah dan saling mempercayai inilah yang membedakan murabahah dengan pinjaman berbasis bunga tetap 9 . Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan/margin yang disepakati 10 . Dalam jual beli ini, penjual harus memberi tahu harga pokok pembelian barang dan menentukan tingkat keuntungan tertentu sebagai tambahan dan menjelaskannya kepada pembeli. Murabahah menekankan adanya pembelian komoditas berdasarkan permintaan nasabah, bukan hanya pinjaman semata sebagaimana dalam sistem kredit di perbankan konvensional. Dalam praktek pembiayaan murabahah, nasabah datang mengajukan pembiayaan atas sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, pada tahap ini terjadi negosiasi dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua pihak. Kemudian bank memesan barang kepada supplier sesuai dengan kriteria yang diinginkan nasabah. Setelah barang tersebut resmi menjadi milik bank, baru kemudian terjadi kontrak jual beli antara nasabah dan pihak bank. Barang dan dokumen dikirimkan kepada nasabah, kemudian nasabah melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Perbankan syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang hadir utnuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Namun, adakalanya dalam menjalankan transaksi para pihak dihadapkan sejumlah resiko yang bisa menyebabkan terjadinya kerugian.
9
Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, h. 306 10 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muqtashid, Juz. II(Beirut: Dar al Fikr 1415 M/1995 H) h. 172
14
Risiko tersebut diantanya bisa disebabkan wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran. Dalam hal ini murabahah juga memiliki tingkat risiko yang sama dengan diatas 11 . Hal ini tentunya sangat berbeda dengan syariah yang sangat melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik bank syariah maupun nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pun pihak yang dirugikan hak-haknya. Salah satu bentuk perlindungan yang ada dalam Syariah adalah adanya mekanisme ta’widh (pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya dilanggar. Sedangkan yang dimaksud dengan ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan 12 . Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas, yaitu kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut, seperti biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan. 13 Besar ganti rugi (ta’widh) harus disesuaikan dengan kerugian riil (real loss), bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss). Hal ini karena obyek
11 12
karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, h. 254
Ahmad Kamil dan M. Fauzan,Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, h. 828 13 Adrian Sutedi, Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum,(Bogor:Ghalia Indonesia,2009),h.64
15
ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diizinkan syariat untuk dimanfaatkan) 14 . Kerangka konsep : Bank Syariah
Nasabah
Transaksi Murabahah
Proses pelunasan
Wanprestasi
Penyelesaian Masalah
Denda/Ta’widh
Analisa Kesesuaian dengan prinsip syariah terhadap proses penyelesaian
14
Ibid ., h. 832
16
F. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan Jenis Penelitian ini bersifat kualitatif dengan metode diskriptif , yaitu mendiskripsikan dan menganalisis temuan-temuan yang diperoleh, menggambarkan atau melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat hubungan antar fenomena yang diselidiki. - Pendekatan ? - Jenis data ? Tehnik penulisan yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penyusunan skripsi ini adalah: 1. Penelitian lapangan (field research), yaitu : a. Studi kasus dengan menginventarisir beberapa kasus yang berkaitan dengan topik penelitian. b. Wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara terstruktur dengan pihak yang terkait. 2. Penelitian perpustakaan (library research), yaitu dengan mengambil bahan-bahan pustaka dan dokumen yang relevan dengan masalah yang dibahas. Teknik penulisan berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007”, dengan beberapa pengecualian, sebagai berikut : 1. Dalam daftar kepustakaan, al-Qur’an al-Karim ditulis pada urutan pertama sebagai tanda penghormatan.
17
2. Kutipan ayat-ayat al-Qur’an tidak diberi footnote tetapi hanya diberi nama surat dan nomor ayat di akhir terjemahannnya, dan terjemahan dari ayat-ayat tersebut berpedoman pada “al-Qur’an dan Terjemahannya”, terbitan Departemen Agama Republik Indonesia. 3. Terjemahan dari ayat-ayat al-Qur’an berjarak satu spasi dengan di awali dan di akhiri dengan tanda kutip. F. Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 bab, dengan perincian sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN. Berisi tentang latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,Kajian pustaka, kerangka Teori dan konsep, metode penelitian dan teknik penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II
: TINJAUAN TEORITIS MENGENAI KONSEP TA’WIDH DAN MURABAHAH . Definisi Murabahah, Rukun dan Syarat Murabahah, Landasan Hukum Murabahah, Jenis-jenis Murabahah, Manfaat dan Resiko Murabahah, Penerapan Murabahah dalam Perbankan Syariah. Definisi Ta’widh, Dasar Hukum Ta’widh, Ketentuan Umum dan Khusus Ta’widh, Pendapat Para Ulama Tentang Ta’widh, Perbedaan antara ta’widh, ganti rugi dan denda (ta’zir)
BAB III
: TINJAUAN UMUM TENTANG BANK SYARIAH MANDIRI. Bab ini memaparkan tentang sejarah singkat Bank Syariah, falsafah, visi dan
18
misi Bank Syariah, struktur organisasi Bank Syariah dan produk-produk Bank Syariah. BAB IV
:
HASIL PENELITIAN . Berisi tentang konsep ta’widh pada fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/VIII/2004, Penerapan ta’widh pada pembiayaan murabahah di bank syariah.
BAB V
:
PENUTUP. Berisi kesimpulan dan saran.
19
BAB II Tinjauan Teoritis Mengenai Konsep Murabahah dan Ta’widh A. Pengertian Murabahah Salah satu skim fiqh yang paling popular digunakan perbankan syariah adalah skim jual-beli murabahah. Transaksi murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya, seseorang membeli barang kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu 15 . Murabahah merupakan jenis transaksi dengan dasar kepercayaan, sebab pembeli telah mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal yang dibelinya. Oleh karena itu, ketika bank syariah menawarkan skim pembiayaan murabahah, maka sebenarnya bank syariah menawarkan kepercayaan dan good will yang tinggi kepada nasabah dan sebaliknya nasabah juga memberikan kepercayaan yang penuh kepada pihak bank syariah. 1. Definisi Murabahah Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (ُ)اﻟ ِﺮﺑْﺢ yang berarti keuntungan, pemasukan atau laba 16 . Sedangkan dalam definisi para
15
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,(Jakarta: Rajawali Press), cet. 3, h. 113 16
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,( Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak), cet. I, h. 954
20
Dengan melihat adanya ketentuan diatas “ keuntungan yang disepakati”, maka murabahah adalah penjual memberi tahu kepada pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut, baik sebesar satu dinar maupun satu dirham 18 . Misalnya, si Fulan membeli unta 30 dinar, biaya-biaya yang dikeluarkan 5 dinar, maka ketika menawarkan untanya, ia mengatakan: “ Saya menjual unta ini 50 dinar dengan mengambil keuntungan 15 dinar.” 19 Dalam prakteknya pembiayaan murabahah, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang dengan kewajiban mengembalikan talangan tersebut seluruhnya ditambah margin keuntungan pada waktu jatuh tempo. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah. 20 2. Rukun dan Syarat Murabahah a.
17
Rukun :
Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-’Imraani, al-’Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah,
(Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah, 1427H),h. 257
106
18
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Beirut:Daar Al fikri), h. 172
19
Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan,h. 113
20
Wirdyaningsih, dkk, Bank dan Ausransi Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 20005), h.
21
1) Pihak yang berakad (aqidain) : a) Penjual b) Pembeli 2) Objek yang diadakan (ma’qud alaih) : a) Barang yang diperjualbelikan b) Harga 3) Akad (Shighot): a) Serah (ijab) b) Terima (qabul) b.
Syarat : 1) Syarat yang terkait dengan shighot Ulama fiqh
mengemukakan bahwa syarat ijaba qabul sebagai
berikut: a) Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal menurut jumhur ulama, dan berakal menurut ulama hanafiah. b) Qabul sesuai dengan ijabnya. c) Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis. 21 2) Syarat yang berakad Para ulama sepakat bahwa yang melakukan akad jual beli harus memenuhi syarat baligh dan berakal. Oleh sebab itu, jual beli yang dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal dan orang gila, 21
Harun Nasrun, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 116
22
hukumnya tidak sah. Adapun anak kecil yang sudah mumayyiz, menurut ulama Hanafiah, hukumnya sah jika yang dilakukan membawa keuntungan bagi anak kecil tersebut, dan tidak sah jika membawa kerugian. 22 3) Syarat objek yang diadakan Para ulama membedakan al-tsaman dengan al-si’ir. Menurut mereka al-tsaman adalah harga pasar yang berlaku di tengahtengah masyarakat secara aktual, sedangkan al-si’ir adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum dijual kepada konsumen. Adapun syarat dari al-tsaman adalah harga yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlah dan jenisnya. Sedangkan syarat barang yang diperjual
belikan, boleh
diserahkan pada saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.23 Syarat – syarat murabahah menurut Syafi’i Antonio adalah sebagai berikut : 1) Penjual memberitahu biaya modal kepada nasabah 2) Kontrak pertama harus sah. 3) Kontrak harus bebas dari riba.
22 23
Nasrun, Fiqh Muamalat, h.117 Nasrun, Fiqh Muamalat, h.118
23
4) Penjual harus menjelaskan setiap cacat yang terjadi sesudah pembelian dan harus membuka semua hal yang berhubungan dengan cacat. 5) Penjual harus membuka semua ukuran yang berlaku bagi harga pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang. 6) Jika syarat dalam 1, 4 atau 5 tidak dipenuhi, pembeli memiliki pilihan: a.melanjutkan pembelian seperti apa adanya. b.kembali kepada penjual dan menyatakan ketidaksetujuan. c.membatalkan kontrak 24 . 3.
Landasan Hukum Murabahah 25 (Istidlal) a.
Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
..ْض ِﻣﻨْ ُﻜﻢ ٍ ﻋﻦْ َﺗﺮَا َ ن ِﺗﺠَﺎ َر ًة َ ْﻻ َأنْ َﺗ ُﻜﻮ ﻞ ِإ ﱠ ِﻃ ِ ﻻ َﺗﺄْ ُآُﻠﻮْا َأﻣْﻮَاَﻟ ُﻜﻢْ َﺑﻴْ َﻨ ُﻜﻢْ ﺑِﺎﻟْﺒَﺎ َ ﻦ ﺁ َﻣ ُﻨﻮْا َ ْﻳَﺂ أَ ﱡﻳﻬَﺎ اﱠﻟ ِﺬﻳ (29: )ا ﻟﻨﺴﺎء “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…” Pada ayat di atas menjelaskan akan jual beli yang didasari suka rela dan tidak saling menzholimi satu sama lain. Khususnya pada murabahah dengan akad jual beli diharuskan adanya kejujuran dalam transaksi tersebut dan tidak ada yang 24
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2004), cet. 1, h. 102 25
2005),h.13
Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, (Jakarta: DSN,
24
dizholimi satu sama lain, misalnya manipulasi barang, gharar, atau penipuan lainnya. b.
Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:
(275 : ﺣ ﱠﺮ َم اﻟ ﱢﺮﺑَﺎ…)ا ﻟﺒﻘﺮة َ ﷲ اﻟْ َﺒﻴْ َﻊ َو ُ ﻞا ﺣﱠ َ … َوَأ "…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…." Disini jelas bahwa Allah telah menghalalkan jual beli yang salah satunya adalah murabahah dan yang terpenting tidak melakukan transaksi dengan riba. Karena hal ini akan merusak akad yang telah dilakukan dan dapat merugikan yang lainnya. c.
Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1: (1:ﺑِﺎﻟْ ُﻌ ُﻘﻮْ ِد… )ا ﻟﻤﺎﺋﺪة
ﻦ ﺁ َﻣ ُﻨﻮْا َأوْ ُﻓﻮْا َ ْﻳَﺎأَﻳﱡﻬَﺎ اﱠﻟ ِﺬﻳ
“Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” Setiap perjanjian atau akad yang telah disepakati bersama haruslah masingmasing pihak dapat memenuhi hak dan kewajibannya. Khususnya dalam transaksi murabahah harus dijelaskan masing-masing hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, jika ada hal yang dilanggar maka akan dapat merugikan yang lainnya dan ini termasuk ke dalam zhulm. d.
Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280:
(280 : )ا ﻟﺒﻘﺮة...ٍﺴﺮَة َ ْﻈ َﺮ ٌة ِإﻟَﻰ َﻣﻴ ِ ﻋﺴْ َﺮ ٍة َﻓ َﻨ ُ ْن ُذو َ َوِإنْ آَﺎ
25
“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…” Dalam setiap transaksi jual beli atau transaksi lainnya, kemungkinan besar ada hal yang tidak dapat diduga seperti terjadinya kepailitan atau bangkrut di salah satu pihak atau pun terjadinya force majure,. Apabila hal tersebut terjadi dan bukan karena kesengajaan, maka diberikan kelonggaran atau kemudahan adalah lebih baik, agar dapat menjalankan kewajibannya dalam melunasi akad yang telah disepakati. e.
Hadis Nabi saw.:
:ل َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ وَﺁِﻟ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﷲ ِ لا َ ْﺳﻮ ُ ن َر ﺨﺪْ ِريْ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ َأ ﱠ ُ ْﺳ ِﻌﻴْ ٍﺪ اﻟ َ ْﻋﻦْ َأ ِﺑﻲ َ ()رواﻩ اﻟﺒﻴﻬﻘﻲ واﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪ وﺻﺤﺤﻪ اﺑﻦ ﺣﺒﺎن،(ض ٍ ﻋﻦْ َﺗﺮَا َ )إِ ﱢﻧﻤَﺎ اﻟْ َﺒﻴْ ُﻊ Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban) 26 . Hadis di atas menjelaskan bahwa jual beli harus didasari atas suka sama suka. Intinya tidak adanya pemaksaan dalam setiap transaksi muamalah, khususnya pada murabahah yang didasari kejujuran dan diantara kedua belah pihak yang bertransaksi harus pula suka sama suka dengan suka rela tanpa paksaan. f.
Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
،ُ وَاﻟْ ُﻤﻘَﺎرَﺿَﺔ،ٍﺟﻞ َ َاﻟْ َﺒﻴْ ُﻊ ِإﻟَﻰ َأ: ﻦ اﻟْ َﺒ َﺮ َآ ُﺔ ث ِﻓﻴْ ِﻬ ﱠ ٌ ﻼ َ َﺛ: ل َ ﺳﱠﻠ َﻢ ﻗَﺎ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ وَﺁِﻟ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠﱠﻰ ا َ ﻲ ن اﻟ ﱠﻨ ِﺒ ﱠ َأ ﱠ 26
Muhammad Fuad Abdu al Baqi, Sunan al Hafizh Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid al Qazwiny Ibn Majah, (Lebanon: Darul Kutub al Libany, t.th) juz 2, hadist ke- 2185, h. 736-737
26
“Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.’” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib) 27 . g.
Kaidah fiqh:
. 28 ﻋﻠَﻰ ﺗَﺤْﺮِﻳْﻤِﻬَﺎ َ ﻞ ٌ ْﻻ َأنْ َﻳ ُﺪلﱠ َدِﻟﻴ ﺣ ُﺔ ِإ ﱠ َ ﻹﺑَﺎ ِ ْت ا ِ ﻼ َ ﻞ ﻓِﻰ اﻟْ ُﻤﻌَﺎ َﻣ ُ ْﻷﺻ َ َا “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” 4. Jenis-jenis Murabahah a) Murabahah Naqdan (tunai) Yakni jual beli secara kontan atau tunai. Sebagai contoh, penjual A dan B sepakat jual beli kambing yang diserahkan saat itu juga dengan harga Rp. 500 ribu dibayar dibayar tunai 29 . Dengan penjual mendapatkan keutungan Rp 100 ribu dari harga sebenarnya sebesar 400ribu. b) Murabahah muajjal (cicilan) Yakni pembiyaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang dengan kewajiban mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya ditambah margin keuntungan bank pada waktu jatuh
27
Abdu al Baqi, Sunan Ibn Majah, hadist ke-2289, h. 768
28
A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: kencana,2007), cet.ke-2, h. 10
29
Karim, Bank Islam Analisis fiqh dan Keuangan, h. 118
27
tempo. Bank memperoleh margin keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok dengan harga jual bank kepada nasabah. 30
5. Manfaat dan Resiko Murabahah Bai’ al-murabahah memberi banyak menfaat kepada bank syariah salah satunya adalah keuntungan yang muncul dari selisih harga beli dari penjual dengan harga jual kepada nasabah 31 . Sedangkan manfaat yang dapat dirasakan oleh nasabah adalah adanya kemudahan dalam mendapatkan barang yang diinginkan dengan sistem yang sederhana. Diantara kemungkinan resiko yang harus diantisipasi antara lain sebagai berikut : a. Default atau kelalaian: nasabah sengaja tidak membayar angsuran b. Fluktuasi harga komparatif. Ini terjadi bila harga suatu barang di pasar naik setelah bank membelikannya untuk nasabah. Bank tidak bisa mengubah harga jual beli tersebut. c. Penolakan nasabah; barang yang dikirim bisa saja ditolak oleh nasabah karena pelbagai sebab. Bisa jadi karena rusak dalam perjalanan sehingga nasabah tidak mau menerimanya. Karena itu, sebaiknya dilindungi dengan asuransi. Kemungkinan lain karena 30
Wirdyaningsih, karnaen Perwataatmadja, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,( Jakarta:Kencana, 2005), h. 106 31
Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 106
28
nasabah merasa spesifikasi barang tersebut berbeda dengan yang ia pesan. Bila bank telah menandatangani kontrak pembelian dengan penjualnya, barang tersebut akan menjadi milik bank. Dengan demikian, bank mempunyai risiko untuk menjualnya kepada pihak lain. d. Dijual; karena bai’ al-murabahah bersifat jual beli dengan utang, maka ketika kontrak ditandatangani, barang itu menjadi milik nasabah. Nasabah bebas melakukan apa pun terhadap asset miliknya tersebut, termasuk untuk menjualnya. Jika terjadi demikian, resiko akan default akan besar. 32 6. Penerapan Murabahah dalam Perbankan Syariah Secara umum, aplikasi perbankan dari bai’ al-murabahah dapat digambarkan dalam skema berikut ini :
Gambar I.
32
Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 106
29
Nasabah datang mengajukan pembiayaan atas sebuah komoditas dengan kriteria tertentu, pada tahap ini terjadi negosiasi dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh kedua pihak . Kemudian bank memesan barang kepada supplier sesuai dengan kriteria yang diinginkan nasabah. Setelah barang tersebut resmi menjadi milik bank, baru kemudian terjadi kontrak jual beli antara nasabah dan pihak bank. Barang dan dokumen dikirimkan kepada nasabah, kemudian nasabah melakukan pembayaran sesuai dengan kesepakatan 33 . B. Pengertian Ta’widh 1. Definisi Ta’widh (terminologis) Kata al-Ta’widh berasal dari kata ‘Iwadha ()ﻋﻮض, yang artinya ganti atau konpensasi. Sedangkan al-ta’widh sendiri secara bahasa berarti mengganti (rugi) atau membayar konpensasi 34 . Adapun menurut istilah adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan. 35 Adanya dhaman ( tanggung jawab) untuk menggantikan atas sesuatu yang merugikan dasarnya adalah kaidah hukum Islam, “Bahaya (beban berat) dihilangkan,” (adh-dhararu yuzal), artinya bahaya(beban berat) termasuk di dalamnya kerugian harus dihilangkan dengan menutup melalui pemberian ganti rugi. Kerugian disini adalah segala gangguan yang menimpa seseorang, baik menyangkut dirinya maupun menyangkut harta kekayaannya, yang 33
Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 108
34
Atabik dan Ahmad, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, h. 1332
35
Wahbab al-Zuhaili, Nazariyah al- Dhaman, ( Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998), h. 87
30
terwujud dalam bentuk terjadinya pengurangan kuantitas, kualitas ataupun manfaat. 36 Dalam kaitan dengan akad, kerugian yang terjadi lebih banyak menyangkut harta kekayaan yang memang menjadi objek dari suatu akad atau menyangkut
fisik
seseorang.
Sedangkan
yang
menyangkut
moril
kemungkinan sedikit sekali, yaitu kemungkinan terjadinya kerugian moril. Misalnya seseorang dokter dengan membukakan rahasia pasiennya yang diminta untuk disembunyikan sehingga menimbulkan rasa malu pada pasien tersebut. 37 Dalam kasus ini tentu saja yang berhubungan dengan harta kekayaan atau sesuatu yang telah dikeluarkan. 2. Dasar Hukum Ta’widh 38 (istidlal) a. QS. Al Maidah (5):1 (1:ﺑِﺎﻟْ ُﻌ ُﻘﻮْ ِد… )ا ﻟﻤﺎﺋﺪة
ﻦ ﺁ َﻣ ُﻨﻮْا َأوْ ُﻓﻮْا َ ْﻳَﺎَأ ﱡﻳ َﻬﺎ اﱠﻟ ِﺬﻳ
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu…”
b. QS. al-Baqarah (2);279-280 :
☺
☺ ⌧
36
Jadurrabb, al-Ta’wis al-Ittifaqi ‘an ‘Adam Tanfidz al-Iltizam au at-Ta’akhkhur fih: Dirasah Muqaranah Baina al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun al-Wadhi’I, (Iskandariah : Dar al-Fikr al-Jamai’I, 2006), h. 170 37
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi tentang Teori Akad dalam Fiqh Muamalah,( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), h. 335 38
ِAhmad Kamil dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,h.820
31
“…kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang
yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
c.
Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:
ﺿﺮَا َر ِ ﻻ َ ﺿ َﺮ َر َو َ ﻻ َ “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” d. Kaidah Fiqh : 39
َﻋﻠى َﺘﺤْ ِﺮﻳْﻤِﻪ َ ﺣ ُﺔ ِإ َﻻ َأنْ َﻳ ُﺪلﱠ َد ِﻟﻴْ ٌﻞ َ ت اْ ِﻹﺑَﺎ ِ ﻼ َ اَﻷَﺻْ ُﻞ ﻓِﻰ اﻟْ ُﻤﻌَﺎ َﻣ
“Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
اَﻟﻀﱠ َﺮ ُر ُﻳﺰَا ُل “Bahaya (beban berat) harus dihilangkan”
40
3. Ketentuan Umum dan Khusus Ta’widh Hal ini mengingatkan secara tradisional, setiap bentuk penambahan apa pun terhadap pokok pembiayaan merupakan bentuk-bentuk riba’. Namun, PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi 39 40
A. Djazuli, Kaidah – kaidah Fiqh, h. 10 A. Djazuli, Kaidah- kaudah Fiqh, h. 16
32
Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yaitu berkenaan dengan pengaturan ganti kerugian (ta’widh) dalam pembiayaan dimaksud memberi kemungkinan pengenaan ganti kerugian dalam hal dan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut 41 . a. Ketentuan umum 42 1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. 2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas. 3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya dibayarkan. 4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah). 5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah. 41
Adrian Sutedi, S.H., M.H., Perbankan Syariah Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2009),h. 64 42
825
Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,, h.
33
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan. b. Ketentuan khusus 1. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah sesesuai dengan nilai kerugian (real loss) yang berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-fursah al-dha’iah). 2. Klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam akad dan dipahami oleh nasabah. 43 3. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak. 3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad. 4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara 44 . 4. Pendapat Para Ulama Mengenai Ta’widh (dirubah) Dalam hal ini ada beberapa Ulama menyampaikan pernyatan mengenai ta’widh atau ganti rugi secara Islam, sebagai berikut : 43
Bank Indonesia (BI), PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,( Jakarta:BI, 2005),bab.3,pasal 19,h.22 44
Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,h. 826
34
a.
Pendapat Ibnu Qudamah dalam al Mughni, bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian dan karenanya harus dihindarkan; ia menyatakan: 45 “Jika orang berutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan (qadai) yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut,
karena
dengan
demikian,
kerugian
kreditur
dapat
dihindarkan.” b. Pendapat Wahbah al-Zuhaili :
45
Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al Mughni Libni Qudamah, (Riyadh:Maktabah Riyadh al Haditsah), h. 503
35
““Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan”
46
. Ketentuan umum yang berlaku pada
ganti rugi dapat berupa: (a) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding (b) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya denganbenda yang sama (sejenis) atau dengan uang” 47 . Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk memanfaat-kannya” 48 . c. Pendapat `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li : “Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan
46
Wahbab Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, (Damsyiq:Daar al fikr, 1998),h. 87 Wahbab Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, h.93 48 Wahbab Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, h.96 47
36
pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut. 49 ” d. Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh `Isham Anas al-Zaftawi : “ Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari’ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang dighasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, di samping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak.”
5. Perbedaan antara ta’widh, dan ta’zir Secara umum pengertian ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan 50 dengan ketentuan kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas dengan upaya untuk memperoleh pembayaran dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial
49
`Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah,( al Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996), h. 115. 50 Zuhaily, Nazariyah al- Dhaman, h. 87
37
loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-fursah aldha’iah) 51 . Ganti rugi dalam pandangan hukum perdata yakni menutup kerugian atas segala pengeluaran yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak dan terjadi kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur begitu pula dengan kerugian berupa kehilangan keuntungan (bunga) yang sudah dibanyangkan atau dihitung oleh kreditur. 52 Sedangkan ta’zir adalah sanksi terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dengan sengaja atau tidak ada kemauan dan itikad yang baik untuk membayar hutangnya. Denda dapat berupa uang yang ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akan ditandatangani, sedangkan hasil dari denda tersebut digunakan untuk dana sosial. 53
831
51
Kamil dan Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah,, h.
52
Subekti., Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2001),cet.18,h.47 Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional,h.65
53
38
BAB III Tinjauan Umum Tentang PT. Bank Syariah Bukopin
A. Sejarah Singkat Bank Syariah Bukopin Perjalanan PT Bank Syariah Bukopin dimulai dari sebuah bank umum, PT Bank Persyarikatan Indonesia (BPI), didirikan berdasarkan Akta No. 102 tertanggal 29 Juli 1990 dengan nama PT. Swansarindo Internasional yang dibuat dihadapan
Dr.
Wijdojo
Wilami,
SH.,
Notaris
di
Samarinda.
Dalam
perkembangannya diakuisisi oleh PT Bank Bukopin Tbk untuk dikembangkan menjadi sebuah Bank Syariah yang kini menjadi PT. Bank Syariah Bukopin. Dalam praktiknya, Bank Syariah Bukopin mulai beroperasi dengan melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah setelah memperoleh izin operasi Syariah dari Bank Indonesia pada tanggal 27 Oktober 2008 dan pada tanggal 11 Desember 2008 telah diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia. Komitmen penuh dari PT Bank Bukopin Tbk sebagai pemegang saham mayoritas diwujudkan dengan menambah setoran modal dalam rangka untuk menjadikan PT Bank Syariah Bukopin sebagai bank syariah dengan pelayanan terbaik. Pada semester kedua 2009, tepatnya, tanggal 10 Juli 2009 melalui Surat Persetujuan Bank Indonesia, PT Bank Bukopin Tbk telah mengalihkan Hak dan Kewajiban Usaha Syariah-nya kedalam PT Bank Syariah Bukopin. Dalam bisnisnya, PT. Bank Syariah Bukopin memposisikan sebagai bank yang fokus
39
pada pembiayaan, mikro, kecil, dan menegangah (UMKM) dengan segmentasi usaha pendidikan, kesehatan, konstruksi, dan perdagangan. Selain hal tersebut, PT. Bank Syariah Bukopin juga melakukan penghimpunan dana dari masyarakat (Individu-individu) dan perusahaan- perusahaan yang ada di Tanah Air. PT. Bank Syariah Bukopin telah memiliki Kantor Pusat, 7 Kantor Cabang (KC), 4 Kantor Cabang Pembantu (KCP), dan 29 kantor Layanan Syariah (KLS) yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air. Dengan dukungan infrastruktur dan sumber daya insani (SDI) yang professional dan dapat diandalkan, PT Bank Syariah Bukopin selalu siap melayani kebutuhan nasabah di mana pun berada. B. Visi, Misi dan Nilai-Nilai Perusahaan 1. Visi “Menjadi Bank Syariah Pilihan dengan Pelayanan Terbaik” 2. Misi •
Memberikan pelayanan terbaik pada nasabah
•
Membentuk sumber daya insani yang profesional dan amanah
•
Memfokuskan pengembangan usaha pada sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil & Menengah)
•
Meningkatkan nilai tambah kepada stakeholder
3. Nilai – Nilai Perusahaan •
Amanah
•
Integritas
40
•
Peduli
•
Kerjasama
•
Kualitas
C. Struktur Organisasi
•
Komisaris Utama
: Ir. Harry Harmono Busiri
•
Komisaris Independen
: Drs. Hajriyanto Y. Thohari, MA
•
Komisaris Independen
: Prof. DR Bambang Setiaji, M.Sc
41
•
Direktur Utama
: Riyanto
•
Direktur Pelayanan & Consumer
: Tantri Indrawati
•
Direktur Bisinis
: Eriandi
•
Direktur Manajemen Resiko & Kepatuhan : Djoni Edward
•
Ketua
: Prof. DR HM Din Syamsudin, MA
•
Anggota
: DR H. Anwar Abbas, MA., M.Ag.
•
Anggota
: H. Ikhwan Abidin, MA
D. Produk- Produk Bank Syariah Bukopin 1. Pendanaan a. Tabungan iB SiAga : Simpanan dalam mata uang rupiah yang penyetoran dan penarikannya dapat dilakukan sewaktu-waktu. b. Tabungan iB Rencana : Jenis tabungan berjangka dengan potensi bagi hasil yang kompetitif guna memenuhi kebutuhan di masa yang akan datang, sekaligus memberikan manfaat proteksi asuransi jiwa gratis. c. Tabungan iB SiAga Bisnis : menggunakan prinsip mudharabah mutlaqah, sehingga nasabah memperoleh kepastian Bagi Hasil. d. Tabungan iB Haji : Simpanan untuk perorangan dalam bentuk mata uang rupiah yang mempunyai rencana menunaikan ibadah Haji atau Umroh. e. Giro iB : Simpanan yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannyadapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan Cek atau sarana perintah pembayaran lainnya atau melalui pemindahbukuan lainnya.
42
f. Deposito iB : Jenis simpanan dalam mata uang rupiah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara deposan dengan pihak bank. g. TabunganKu iB : tabungan untuk perorangan dengan persyaratan mudah dan ringan yang diterbitkan secara bersama oleh bank-bank di Indonesia guna menumbuhkan budaya menabung serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 2. Pembiayaan a. Pembiayaan iB Jual-beli (Murabahah) : Jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati b. Pembiayaan iB Pemilikan Mobil : Fasilitas pembiayaan yang digunakan untuk pembelian Kendaraan roda empat sebagai kendaraan pribadi c. Pembiayaan iB Pemilikan Rumah : Pembiayaan untuk pemilikan rumah tinggal, ruko, rukan, apartemen atau rumah peristirahatan (vila) baik kondisi baru maupun lama dan prioritas pembiayaan untuk kepemilikan pertama dan ditempati sendiri d. Pembiayaan iB Bagi hasil (Musyarakah) : Kerjasama 2 pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dan atau karya/keahlian dengan kesepakatan keuntungan dan resiko menjadi tanggungan bersama sesuai kesepakatan e. Pembiayaan iB Bagi hasil (Mudharabah) : Kerjasama antara pemilik modal dan pengelola untuk suatu usaha tertentu dengan kesepakatan bagi hasil
43
f. Mudharabah
iB
Investasi
Terikat
(Mudharabah
Muqoyyadah)
:
Pembiayaan yang diinvestasikan nasabah/pemilik dana khusus untuk bisnis tertentu dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh nasabah g. Pembiayaan iB Kepada Koperasi Karyawan/Pegawai untuk Anggota (K3A Pola Syariah) : Pembiayaan yang diberikan oleh Bank Bukopin Syariah (Bank) kepada Koperasi Karyawan (kopkar), Koperasi Pegawai, Koperasi Pegawai Negeri (KPN) atau koperasi sejenis lainnya yang diteruskan kepada anggotanya untuk memenuhi berbagai kebutuhan h. Pembiayaan iB Kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPARelending Syariah) : Pembiayaan dengan prinsip syariah dalam bentuk investasi dan modal kerja kepada koperasi primer untuk diteruskan kepada anggotanya dengan sumber dana berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang dikelola oleh PT. Permodalan Nasional Madani (PNM) i. Pembiayaan iB Pinjaman (Qordh) : Fasilitas pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu j. Pembiayaan iB Perjalanan Haji (Talangan haji) : Fasilitas pinjaman yang diberikan kepada penabung SiAga Haji yang sudah mencapai nilai tabungan dalam jumlah tertentu dan memenuhi persyaratan lainnya untuk mendapatkan kepastian pemberangkatan ibadah haji
44
k. Pembiayaan iB Jaminan Tunai : Pemberian pembiayaan dengan jaminan cash collateral yang ada di Bank Syariah Bukopin dan diblokir sampai dengan pembiayaan lunas l. Pembiayaan iB Istishna Pararel : Pembiayaan yang digunakan untuk jual beli dimana bank (penjual) memesan barang kepada pihak lain (Produsen) untuk menyediakan barang sesuai dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang telah disepakati nasabah (pembeli) dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan 3. Jasa a. Kartu ATM SiAga Syariah : Fasilitas layanan kepada nasabah untuk melakukan transaksi perbankan dengan perangkat mesin ATM (Automated Teller Machine) yang dimiliki atau ditunjuk oleh Bank Bukopin b. Kartu SiAga Visa Electron Syariah : Jasa yang diberikan kepada nasabah untuk dapat melakukan transaksi belanja dan transaksi lainnya di merchant atau ATM yang berlogo VISA atau VISA Electron c. SMS Banking Syariah Bukopin : Fasilitas layanan kepada nasabah untuk melakukan transaksi perbankan dengan berbasis teknologi seluler d. Internet Banking Syariah Bukopin : Fasilitas layanan kepada nasabah untuk melakukan transaksi perbankan dengan menggunakan Internet
45
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Proses terbentuk fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ta’widh Lembaga keuangan syariah merupakan lembaga intermediasi keuangan yang hadir untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan suatu bentuk transaksi yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam. Namun, adakalanya dalam menjalankan trasaksi di lembaga keuangan syariah para pihak dihadapkan pada sejumlah resiko yang bisa menyebabkan terjadinya kerugian. Risiko tersebut di antaranya bisa disebabkan oleh adanya wanprestasi atau kelalaian nasabah dengan menunda-nunda pembayaran. Hal ini tentunya sangat kotradiktif dengan syariah Islam yang sangat melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik Lembaga Keungan Syariah maupun nasabah, sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan hak-haknya. Salah satu bentuk perlindungan yang ada dalam syariah Islam adalah mekanisme ta’widh (pemberian ganti rugi) kepada pihak yang hak-haknya dilanggar. Sedangkan dimaksud dengan ta’widh adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan. DSN-MUI memperbolehkan ta’widh berdasarkan beberapa ketentuan, salah satunya karena bank dalam melayani nasabah membutuhkan biaya tambahan apabila terjadi permasalahan dalam pembiayaan atau penundaan pembiayaan, maka dikeluarkan biaya riil untuk menutupi kekurangan tersebut dengan pengenaan
46
ta’widh. Karena denda (ta’zir) yang selama ini diterapkan kepada nasabah yang menunda – nunda pembayarannya tidak masuk ke dalam pendapatan bank melainkan masuk ke dalam dana kebajikan. Dalam hukum Islam, Alquran surat al Maidah ayat 1, “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” dan dalam hadis “ ﻻ ﺿﺮار وﻻ ﺿﺮارTidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain” kaidah fiqh “ ا ﻟﻀﺮار ﻳﺰالBahaya (beban berat) harus dihilangkan”, dengan demikian ini dapat meyakinkan kepada kita agar selalu bisa menjaga suatu perjanjian yang telah kita buat agar tidak saling membahayakan diri sendiri atau pun orang lain dan bahaya atau beban yang ditanggung harus dihilangkan. Dalam prosesnya ta’widh beda dengan riba karena bukan sebagai tambahan pinjaman. Oleh karena itu, fatwa Ini dikeluarkan untuk kemaslahatan atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak bank dalam rangka melindungi haknya. Misalnya untuk kebutuhan biaya transport, biaya telepon, makan, minum, dan lain-lainya yang dikeluarkan secara riil tanpa ada tambahan, sedangkan pihak peminjam atau debitur haruslah mengganti itu semuanya sesuai yang dikeluarkan berdasarkan laporan atau bukti-bukti yang ada 54 . Ketentuan khusus fatwa ini dikeluarkan bahwa ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya, jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan
54
Wawancara pribadi dengan bapak Kanny Hidayat, di kantor MUI, tanggal 4 Februari 2010
47
tata cara pembayarannya tergantung kesepakatann para pihak, bisarnya ganti rugi tidak boleh dicantumkan dalam akad, dan pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara. Fatwa DSN No. 43/DSN-MUI/IX/2004 tentang ta’widh yang telah dikeluarkan oleh DSN-MUI juga didasari diantaranya oleh : - Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran. Fatwa ini menyebutkan bahwa sanksi yang diterima berupa ta’zir (denda) dengan tujuan untuk mendisiplinkan nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya, tetapi dana yang diterima berupa denda dimasukkan ke dalam dana kebajikan (non halal) pada laporan keuangan bank syariah. - Fatwa DSN No. 18/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam Lembaga Keuangan Syariah. Ini merupakan pencadangan sejumlah dana oleh bank syariah berdasarkan kualitas dari pembiayaan yang telah diberikan dengan tujuan menciptakan stabilitas bisnis perbankan melalui pengelolaan aktiva produktif bank secara hati-hati (prudent).
48
B. Penerapan ta’widh pada Proses Pembiayaan Murabahah 1. Proses ta’widh yang berjalan di PT. Bank Syariah Bukopin
☺ ☺
☺ ☺ Artinya : “ ... maka,barangsiapa melakukan aniaya (kerugian) kepadamu, balaslah ia, seimbang dengan kerugian yang telah ia timpakan kepadamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Al Baqarah : 194) Dari penggalan ayat di atas menunjukkan bahwa seseorang harus mengganti atas kerugian yang telah dialami oleh orang lain atas dirinya dan besaran kerugian itu pun sesuai dengan kerugian yang riil. Dalam dunia perbankan proses ini dikenal dengan ta’widh yakni menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kerugian. Hal ini pula Bank Syariah Bukopin (BSB) menerapkan prinsip – prinsip syariah di atas. Dalam praktiknya BSB selain memberikan sanksi atau denda kepada nasabah yang melakukan penundaan, padahal debitur mampu membayarnya. Hal ini dilakukan
49
sebagai bentuk pendisiplinan nasabah agar mendapatkan efek jera. Selain itu BSB juga memberikan ta’widh atas penundaan dan perpanjangan masa pembayaran apabila belum dilunasi ketika jatuh tempo, hal ini sebagai bentuk mekanisme perbankan untuk mewaspadai kerugian pada pihak bank. Apabila perpanjangan pembayaran atas jatuh tempo terjadi, hal ini akan berdampak kepada penurunan kolektibilitas, sehingga pencadangan penghapusan aktiva produktif akan meningkat. Ini dapat mengurangi perhitungan keuntungan bagi lembaga keuangan syariah. Oleh karena itu bank syariah selain mengenakan sanksi atau ta’zir kepada nasabah, memberlakukan pula ta’widh atau ganti rugi atas kerugian secara riil yang dialami oleh bank syariah selama masa perpanjangan itu. Jika tidak, akan terjadi kezaliman terhadap salah satu pihak. Dalam proses pengenaan ta’zir atau denda dana yang diterima masuk ke dalam dana kebajikan bukan pendapatan bank syariah, adapun dengan ta’widh masuk ke dalam dana pendapatan bank syariah sesuai dengan kerugian yang telah dikeluarkan. Hal inilah yang membedakan antara ta’zir dengan ta’widh, ta’zir telah ditentukan besaran presentasenya sejak awal akad dibuat sedangkan ta’widh tidak ditentukan di awal karena disesuaikan dengan besaran nominal yang telah dikeluakan oleh pihak bank syariah.
50
Ketentuan ta’widh yang harus diperhatikan adalah ; a. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain. b. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah). c. Besarnya ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan bank adalah sesesuai dengan nilai kerugian (real loss) yang berkaitan dengan upaya bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potensial loss). d. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak. e. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah. Dalam proses ta’widh ini sudah dijelaskan pada fatwa DSN No.43/DSNMUI/VII/2004 tentang ta’widh dan menjadi sumber kekuatan hukum tertentu yang ditegaskan atau dikuatkan lagi pada Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005
51
tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. Dengan peraturan dan fatwa di atas menunjukkan bahwa bank khususnya Bank Syariah Bukopin diperbolehkan untuk menerapkan ta’widh terhadap nasabah yang lalai sehingga terjadi kerugian. Kerugian yang dimaksud adalah kerugian secara real akibat logis dari perpanjangan pembayaran yang telah jatuh tempo, seperti biaya administrasi, biaya perpanjangan, overhead, dan biaya monitoring (penagihan, survey, pengawasan). Adapun besaranya tidak bisa ditetapkan oleh nominal tertentu, karena berdasarkan kepada besaran dana yang dikeluarkan dalam proses ini. Dana ta’widh ini diberikan diakhir masa perpanjangan ditambah dengan sisa pembayaran yang belum dilunasi. 2. Proses Perhitungan ta’widh pada Bank Syariah Bukopin Besaran nominal dalam ta’widh tidak bisa ditentukan sejak awal akad perjanjian dilakukan, perhitungan berdasarkan nominal real yang telah dikeluarkan oleh bank syariah selama proses perpanjangan ini. Berbeda dengan denda yang dikeluarkan, sudah didasarkan pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh setiap bank. Dalam murabahah ketentuannya ada harga beli, margin, harga jual, jangka waktu. Bank Syariah Bukopin (BSB) memberikan pembiayaan murabahah berupa modal investasi sebesar 100 juta kepada nasabah dengan marginnya 10 juta sehingga yang harus dibayar oleh nasabah sebesar 110 juta dengan masa angsurannya 2 tahun. Dalam perjalanan masa pelunasan hingga tahun ke dua ternyata tidak mencapai target sesuai kesepakatan, dengan selisih kekurangan sebesar 30 juta. Setelah diproses oleh
52
pihak bank syariah ternyata debitur memiliki prospek atau ada upaya bisa melunasinya dan terjadi kesepakatan antara pihak BSB dengan nasabah debitur agar dapat rekstrukturisasi pembiayaan, lalu diperpanjang 6 bulan dengan
sisa
pembiayaan 30 juta dari total pembiayaan 110 juta. BSB menentukan perpanjangan 6 bulan ini tidak ditambah margin. Oleh karena itu dikenakanlah ta’widh atas biaya riil yang dikeluarkan oleh pihak bank syariah selama proses perpanjangan 6 bulan yang telah jatuh tempo dan bank syariah tidak boleh mengambil keuntungan atau menambahkan dari biaya riil yang telah dikeluarkan. Di dalam memperpanjang masa angsurannya ternyata BSB mengeluarkan dana berupa biaya over head, khususnya biaya perpanjangan , biaya monitoring, biaya penagihan, seluruh biaya ini dibebankan kepada nasabah. Dengan perincian: -
Biaya administrasi (Atk, listrik, pulsa, dll)
: Rp. 1.000.000, -
-
Biaya Monitoring (pengawasan, survey,Penagihan)
: Rp. 3.000.000, -
-
Biaya perpanjangan (administrasi)
: Rp.
TOTAL
500.000, -
: Rp. 4.500.000,-
Jadi debitur mengembalikan sisa masa pembayaran ditambah dengan biayabiaya diatas sebesar Rp. 34.500.000, - dimasa akhir perpanjangan. Dalam proses pengembalian ini, perhitungan ta’widh atau ganti rugi yang diterapkan BSB sudah sesuai dengan prosedur
peraturan bank yang berlaku, biasanya harus dengan
kesepakatan antara kedua belah pihak agar tidak terjadi manipulasi atau gharar. Proses ini dilakukan agar pihak bank tidak mengalami kerugian financial atas biaya
53
yang telah dikeluarkan dan dana ini akan masuk sebagai hak pendapatan bank syariah 55 . 3. Upaya Penyelesaian Proses Ganti Rugi Bahwa dalam melaksanakan setiap transaksi dalam lembaga keuangan syariah terkadang mengalami risiko kerugian akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang melanggar perjanjian. Dalam syariah Islam melindungi semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun LKS, sehingga tidak boleh satu pun pihak yang dirugikan hak-haknya. Kewajiban agar tidak saling merugikan satu sama lain ditekankan dalam Al Quran surat al Baqarah: 279-280 :
... ☺
☺ ⌧
☺
Artinya :
55
Wawancara pribadi dengan Bapak Noor Cholis, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Cabang, di kantor PT. Bank Syariah Bukopin, lt. 6, tanggal 20 April 2010
54
“ … Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Berdasarkan ayat di atas, bahwa salah satu pihak tidak boleh menganiaya lainnya dalam bertransaksi, apabila ini terjadi terhadap bank, maka harus mengambil tindakan-tindakan terntentu dalam menyelesaikan permasalahan dan harus tetap berpegang kepada prinsip syariah. Dalam proses penyelesaian pembiayaan bermasalah BSB melakukan berbagai cara : a. Resktrukturisasi pembiayaan adalah upaya yang dilakukan bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajiban. Proses ini dilaksanakan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dalam mengambil langkah-langkah agar kualitas pembiayaan setelah diresktruturisasi dalam keadaan lancar. Restrukturisasi pembiayaan hanya dapat dilakukan atas dasar permohonan secara tertulis dari nasabah yang memenuhi criteria : nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran dan/atau memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. Proses ini hanya dapat dilakukan untuk pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet yang didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik. Restrukturisasi pembiayaan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu akad pembiayaan awal dan untuk yang kedua dan ketiga dapat dilakukan paling
55
cepat 6 (enam) bulan setelah restrukturisasi sebelumnya. Restrukturisasi bisa melalui: 1. Pejadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya; 2. persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada bank; 3. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning, antara lain meliputi : a) Penambahan dana fasilitas pembiayaan bank; b) Konversi akad pembiayaan; c) Konversi pembiayaan menjadi surat berharga syariah berjangka waktu menengah; d) Konversi
pembiayaan
menjadi
penyertaan
modal
sementara pada perusahaan nasabah. Ini merupakan penyertaan modal BUS atau UUS, antara lain berupa pembelian saham dan/atau konversi pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan nasabah untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam
56
jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku 56 . b. Penjualan angunan dilakukan apabila usaha dalam penyehatan pembiayaan belum juga dapat memenuhi hutang yang harus dibayarkan, antara lain dengan cara: o Debitur : debitur menjual angunannya sendiri kepada pihak lain agar menutupi pembiayaan yang belum dibayar, sesuai jumlah dan jangka waktu yang disepakati; o Account Officer : pihak AO (bank) akan menjual barang angunan tersebut dengan nilai tertentu, apabila terjadi kelebihan dari harga jual tersebut dengan nilai hutangnya, maka dana tersebut dikembalikan kepada debitur; o Bank : Pihak bank akan membeli angunan atau mengambil alih angunan tersebut, prosesnya hampir sama dengan AO, dimana jika terdapat kelebihan harus dikembalikan kepada debitur. c. Cara lain dengan proses penagihan pembiayaan melalui pihak ketiga (collection agent) atau dengan eksekusi pembiayaan melalui perwasitan atau pengadilan Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan Pengadilan Agama sesuai dengan kesepakatan awal akad perjanjian. Eksekusi ini merupakan proses pengembalian atau pelunasan atau penjualan jaminan pembiayaan dengan melalui musyarwarah di depan arbitrase atau pengadilan
56
Peraturan Bank Indonesia, Nomor: 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, bab 1, ketentuan Umum Pasal 1-3
57
untuk mendapatkan keputusan yang akan didaftarkan ke pengadilan negeri untuk dieksekusi. 4. Pengalokasian Dana Ta’widh Dalam Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 108 tentang Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah bahwa dalam rangka restrukturisasi yang diberikan kepada debiutr yang tidak bisa melunasi utangnya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati. Penjadwalan kembali tagihan murabahah dilakukan dengan ketentuan 57 : -
tidak menambah jumlah utang yang tersisa;
-
pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil; dan
-
perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Biaya riil yang terkait dengan proses penjadwalan kembali tagihan
murabahah yang dibebankan kepada debitur diakui sebagai pendapatan58 . Biaya riil dalam proses penjadwalan kembali piutang murabahah adalah biaya langsung (direct cost) dari aktivitas kreditur dalam melakukan penjadwalan kembali tersebut 59 . Jika ada kerugian yang timbul atas restrukuturisasi piutang murabahah disajikan secara terpisah dalam laporan laba rugi. 60
57
Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 108 : Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah, Ikatan Akuntan Indonesia, hal. 108.3-4, paragaf 13 58 Ibid., h. 108.4, paragaf 14 59 Ibid., h. 108.4, paragaf 15 60 Ibid., h. 108.5, paragaf 20
58
Dalam mekanisme pengelolaan pada BSB, dana ta’widh atas proses perpanjangan masa angsuran atau masa restrukturisasi ini masuk ke dalam salah satu pendapatan administrasi pada pendapatan operasional lainnya. Hal ini sesuai dengan aturan akuntansi yang berlaku, penulisannya dalam laporan keuangan PT. Bank Syariah Bukopin :
59
Gambar 2.
60
Gambar 3
61
Jika kita melihat catatan laporan keuangan BSB (Gambar 2), menurut BSB pencatatan ta’widh dimasukkan ke salah satu pendapatan administrasi, lalu dalam laporan laba rugi (Gambar 3) terlihat bahwa pendapatan administrasi (pendapatan operasional) sebagai salah satu pendapatan (beban) operasonal lainnya. Menurut BSB, hal ini sesuai dengan perlakuan akuntansi syariah mengenai laporan keuangan yang didasari oleh prinsip syariah yang berlaku khususnya pada Fatwa DSN-MUI No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh, Peraturan Bank Indonesia nomor: 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan prinsip Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 9/19/PBI/2007 tentang Pelakasanaan Prisnip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/18/PBI/2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, dan ED PSAK 108: Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah.
62
BAB V Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan Sungguh penting dalam setiap bertransaksi ekonomi, kita dituntut agar lebih hatihati dan haruslah transparan dalam segala kegiatan. Transparan merupakan modal utama dalam melaksanakan kegiatan ekonomi , karena disitu seseorang dituntut agar lebih bertanggung jawab dalam kegiatan ekonomi. Ekonomi syariah juga demikian, khususnya pada saat akad karena akan menjadi pedoman apabila terjadi kesalahankesalahan dalam kegiatan ekonomi. Islam melarang terdapat tambahan dari pinjaman dengan bunga, begitu pula dengan halnya seseorang yang telah habis masa pinjamannya (pembiayaan) tidak boleh dikenakan tambahan karena keterlambatan, walaupun kena denda, tapi itu pun dananya masuk ke dalam dana kebajikan. Hal ini akan mempengaruhi kinerja dari bank tersebut. Oleh karena itu terdapat ta’widh atau ganti rugi atas kerugian yang telah dikeluarkan oleh bank selama proses perpanjangan. 1. Setiap tambahan dalam pinjaman akan menjadi bunga, tapi beda dengan ta’widh karena prosesnya bukan sebagai tambahan pinjaman. Ta’widh merupakan sebagai bentuk proses ganti rugi yang telah dikeluarkan oleh salah satu pihak yang merasa kerugian atas biaya yang telah dikeluarkan. Hal Ini didasarkan kemaslahatan, karena dalam Islam dianjurkan bisa saling tolongmenolong dan tidak menzholimi satu sama lain. Sehingga perlulah dibuat
63
suatu sistem yang mengatur agar proses ini tidak terjadi kesalahan dan dirugikan satu sama lain, maka dikeluarkanlah fatwa yang mengatur hal ini. Dalam prosesnya, tawidh haruslah biaya riil yang telah dikeluarkan oleh pihak bank dan ini haruslah diganti oleh pihak debitur sesuai dengan besaran yang telah dikeluarkan. 2. Dalam proses pemberian pembiayaan tentulah ada margin yang telah disepakati dalam perjanjian, akan tetapi apabila proses pengembalian tidak lancar bahkan macet, hal ini tentu saja dapat mempengaruhi kinerja bank, khususnya
yang
menyangkut
kolektibilitas.
Apalagi
dalam
proses
perpanjangan masa pinjaman, dimana bank tidak boleh mengambil keuntungan dari keterlambatan ini. Bank pun mengenakan denda atas keterlambatan, tetapi dananya tidak masuk sebagai pendapatan bank dan masuk ke dalam dana kebajikan. Dalam proses perpanjangan terdapat biayabiaya yang harus dikeluarkan oleh bank seperti biaya administrasi, overhead, akomodasi, dll dan ini bersifat riil bukan dari keuntungan yang hilang (oppurtinity lost), ini bisa diklaim oleh bank sebagai pendapatan bank yang tentu saja sesuai dengan besaran riil yang telah dikeluarkan. 3. Sesungguhnya proses ta’widh merupakan proses ganti rugi yang terjadi akibat kesalahan satu pihak yang dapat merugikan pihak lain. Dalam Islam, ganti rugi dimaksud adalah sesuatu yang riil bukan akibat dari keuntungan yang hilang seperti halnya bunga. Dalam praktiknya BSB menerapkan prinsip ta’widh tersebut terhadap biaya-biaya yang telah dikeluarkan, khususnya
64
dalam proses perpanjangan yang membutuhkan beberapa dana atau biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak bank dan selanjutnya harus diganti oleh pihak debitur atau nasabah peminjam pembiayaan. Semua ini sesuai dengan proses dan kaidah ketentuan yang berlaku baik dari fatwa DSN atau pun Peraturan Bank Indonesia. Sehingga sesuai dengan kaidah atau prinsip syariah.
B. Saran Bank syariah haruslah berhati-hati dalam memberikan pembiayaan terhadap nasabah, karena apabila terjadi kesalahan yang rugi juga pihak bank. Setelah proses ini telah sesuai dengan prosedur barulah membuat akad yang lebih jelas dan transparan agar masing – masing pihak tidak saling dirugikan atau terzholimi. Dalam proses ta’widh, bank harus mengedepankan prinsip kejujuran dan transparan agar tidak terjerumus ke dalam riba, karena sedikit saja dalam penambahan terhadap pinjaman yang tidak jelas dari mana asalnya dan bukan riil sudah termasuk ke dalam katagori riba.
65
DAFTAR PUSTAKA Abdul , Hakim, Mabaadiy Awwaliyah, Jakarta: Saadiyah Putra, 1927 Abdul , Mujies, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta : PT Pustaka Firdaus, 1994 Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah, al Mughni Libni Qudamah, (Riyadh:Maktabah Riyadh al Haditsah), Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah,( al Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996), Al-’Imraani, Abdullah bin Muhammad bin Abdullah, DR, al-’Uqud al-Maaliyah alMurakkabah, (Dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah, 1427H),h. 257 Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta;Pusataka Asatruss Anshori, Abdul Ghofur, Tanya Jawab Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2008 Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syariah Suatu Pengalaman Umum, Jakarta: Tazkia, 2000, cet. 1 Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah; Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2007 Atabik
Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer ArabIndonesia,(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, cet. I, h. 954
Daryanto, Bahasa Kamus Indonesia Lengkap, Surabaya: APOLLO, 1997 Jadurrabb, al-Ta’wis al-Ittifaqi ‘an ‘Adam Tanfidz al-Iltizam au at-Ta’akhkhur fih: Dirasah Muqaranah Baina al-Fiqh al-Islami wa al-Qanun al-Wadhi’I, (Iskandariah : Dar al-Fikr al-Jamai’I, 2006), Kamil, Ahmad dan M. Fauzan, Kitab Undang-Undang Hukum Perbankan dan Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana, 2007, cet.1 Karim, Adiwarman A., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: GIP, 2001, cet.1
66
--------------------------, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta:Rajawali press, cet.3 Muhammad, Bank Syariah Analisis kekuatan, Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman, Yogyakarta: Ekononisia, cet. 1 ---------------, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: LPP AMP YKPN, 2002 Nasrun, H. Haroen, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000, cet. 1 Riawan Amin, Menata Perbankan Syariah di Indonesia,UIn Press, UIN Syarif Hidaytullah Jakarta,2001 cet. 1 Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid (Beirut:Daar Al fikri) Siamat, Dahlan, Manajemen lembaga Keuangan, Jakarta: LPFEUI, 1999, edisi. 2 Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 2001, cet. 18 Widjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2003 Wiroso, Jual Beli Murabahah, Yogyakarta: UII Press, 2005 Zuhaily, Wahbah, al – Islamy Wa Adillatuhu, Beirut: Dar al Fikr, 2002 , Vol. 2 http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/174/kat/17 , BI Rate Pacu Kinerja Bank Syariah wawancara pribadi dengan Kanny Hidayat, DSN-MUI, 4 Februari 2010 wawancara pribadi dengan Noor Cholis, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis dan Cabang PT. Bank Syariah Bukopin, 20 April 2010 Exposure Draft Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan 108 : Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah, Ikatan Akuntan Indonesia. Peraturan Bank Indonesia nomor: 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
67
Peraturan Bank Indonesia nomor: 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Peraturan Bank Indonesia nomor: 10/18/2008 tentang Rektrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah.
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang MURABAHAH
ِﻢﺣِﻴﻤﻦِ ﺍﻟﺮﺣﻢِ ﺍﷲِ ﺍﻟﺮﺑِﺴ Dewan Syari’ah Nasional setelah Menimbang
: a. bahwa masyarakat banyak memerlukan bantuan penyaluran dana dari bank berdasarkan pada prinsip jual beli; b. bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, bank syari’ah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba; c. bahwa oleh karena itu, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang Murabahah untuk dijadikan pedoman oleh bank syari’ah.
Mengingat
: 1. Firman Allah QS. al-Nisa’ [4]: 29:
ﻥﹶﻜﹸـﻮﺎﻃِـﻞِ ﺇِﻻﱠ ﺃﹶﻥﹾ ﺗ ﺑِﺎﻟﹾﺒﻜﹸﻢﻨﻴ ﺑﺍﻟﹶﻜﹸﻢﻮﺍ ﺃﹶﻣﺄﹾﻛﹸﻠﹸﻮﺍ ﻻﹶﺗﻮﻨ ﺁﻣﻦﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻬﺂ ﺃﹶﻳﻳ ...ﻜﹸﻢﺍﺽٍ ﻣِﻨﺮ ﺗﻦﺓﹰ ﻋﺎﺭﺗِﺠ “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…”. 2. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 275:
…ﺎﺑ ﺍﻟﺮﻡﺮﺣ ﻭﻊﻴﻞﱠ ﺍﷲُ ﺍﻟﹾﺒﺃﹶﺣ… ﻭ "…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…." 3. Firman Allah QS. al-Ma’idah [5]: 1:
… ِﺩﻘﹸﻮﺍ ﺑِﺎﻟﹾﻌﻓﹸﻮﺍ ﺃﹶﻭﻮﻨ ﺁﻣﻦﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻬﺎﺃﹶﻳﻳ “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” 4. Firman Allah QS. al-Baqarah [2]: 280:
...ٍﺓﺮﺴﻴﺓﹲ ﺇِﻟﹶﻰ ﻣﻈِﺮﺓٍ ﻓﹶﻨﺮﺴﻋﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺫﹸﻭﻭ
04 Murabahah
2
“Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai ia berkelapangan…” 5. Hadis Nabi SAW.:
ـ ِﻪﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋﻝﹶ ﺍﷲِ ﺻﻮﺳ ﺭﺿﻲ ﺍﷲ ﻋﻨﻪ ﺃﹶﻥﱠ ﺭﺭِﻱﺪﺪٍ ﺍﻟﹾﺨﻌِﻴ ﺳ ﺃﹶﺑِﻲﻦﻋ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ﻭﺍﺑـﻦ ﻣﺎﺟـﻪ،ٍﺍﺽﺮ ﺗﻦ ﻋﻊﻴﺎ ﺍﻟﹾﺒﻤ ﺇِﻧ: ﻗﹶﺎﻝﹶﻠﱠﻢﺳﺁﻟِﻪِ ﻭﻭ (ﻭﺻﺤﺤﻪ ﺍﺑﻦ ﺣﺒﺎﻥ Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka." (HR. al-Baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban). 6. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah:
ﺇِﻟﹶﻰﻊﻴ ﺍﹶﻟﹾﺒ:ﻛﹶﺔﹸﺮ ﺍﻟﹾﺒﻬِﻦ ﺛﹶﻼﹶﺙﹲ ﻓِﻴ: ﻗﹶﺎﻝﹶﻠﱠﻢﺳﺁﻟِﻪِ ﻭﻪِ ﻭﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋ ﺻﺒِﻲﺃﹶ ﱠﻥ ﺍﻟﻨ ﻊِ )ﺭﻭﺍﻩ ﺍﺑﻦ ﻣﺎﺟﻪﻴﺖِ ﻻﹶ ﻟِﻠﹾﺒﻴﺮِ ﻟِﻠﹾﺒﻌِﻴ ﺑِﺎﻟﺸﺮﻠﹾﻂﹸ ﺍﻟﹾﺒﺧ ﻭ،ﺔﹸﺿﻘﹶﺎﺭﺍﻟﹾﻤ ﻭ،ٍﻞﺃﹶﺟ (ﻋﻦ ﺻﻬﻴﺐ “Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib). 7. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi:
ﺎﺍﻣﺮ ﱠﻞ ﺣ ﺃﹶﺣﻼﹶﻻﹰ ﺃﹶﻭ ﺣﻡﺮﺎ ﺣﻠﹾﺤ ﺇِﻻﱠ ﺻﻠِﻤِﲔﺴ ﺍﻟﹾﻤﻦﻴ ﺑﺎﺋِﺰ ﺟﻠﹾﺢﺍﹶﻟﺼ ﺎﺍﻣﺮﺣﻞﱠ ﺣ ﺃﹶﻼﹶﻻﹰ ﺃﹶﻭ ﺣﻡﺮﻃﹰﺎ ﺣﺮ ﺇِﻻﱠ ﺷﻭﻃِﻬِﻢﺮﻠﹶﻰ ﺷﻮﻥﹶ ﻋﻠِﻤﺴﺍﻟﹾﻤﻭ .()ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ﻋﻦ ﻋﻤﺮﻭ ﺑﻦ ﻋﻮﻑ “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR. Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf). 8. Hadis Nabi riwayat jama’ah:
… ﻇﹸﻠﹾﻢﻨِﻲﻄﹾﻞﹸ ﺍﻟﹾﻐﻣ “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…” 9. Hadis Nabi riwayat Nasa’i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:
.ﻪﺘﺑﻘﹸﻮﻋ ﻭﻪﺿﺤِﻞﱡ ﻋِﺮﺍﺟِﺪِ ﻳ ﺍﻟﹾﻮﻟﹶﻲ
Dewan Syariah Nasional MUI
04 Murabahah
3
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” 10. Hadis Nabi riwayat `Abd al-Raziq dari Zaid bin Aslam:
ﻠﱠﻪﻊِ ﻓﹶﺄﹶﺣﻴﺎﻥِ ﻓِﻰ ﺍﻟﹾﺒﺑﺮﻦِ ﺍﻟﹾﻌ ﻋﻠﱠﻢﺳﻪِ ﻭﻠﹶﻴﻠﱠﻰ ﺍﷲُ ﻋﻝﹸ ﺍﷲِ ﺻﻮﺳﺌِﻞﹶ ﺭﻪ ﺳ ﺃﹶﻧ “Rasulullah SAW. ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.” 11. Ijma' Mayoritas ulama tentang kebolehan jual beli dengan cara Murabahah (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz 2, hal. 161; lihat pula al-Kasani, Bada’i as-Sana’i, juz 5 Hal. 220-222). 12. Kaidah fiqh:
.ﺎﻤِﻬﺮِﻳﺤﻠﹶﻰ ﺗﻞﹲ ﻋﻟِﻴﻝﱠ ﺩﺪﺔﹸ ﺇِﻻﱠ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﺎﺣﻼﹶﺕِ ﺍﹾﻹِﺑﺎﻣﻌﻞﹸ ﻓِﻰ ﺍﻟﹾﻤﺍﹶﻷَﺻ “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.” Memperhatikan
:
Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Sabtu, tanggal 26 Dzulhijjah 1420 H./1 April 2000. MEMUTUSKAN
Menetapkan
: FATWA TENTANG MURABAHAH
Pertama
: Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah: 1. Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba. 2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam. 3. Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya. 4. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. 5. Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang. 6. Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan. 7. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati. 8. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
Dewan Syariah Nasional MUI
04 Murabahah
4
9. Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank. Kedua
: Ketentuan Murabahah kepada Nasabah: 1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada bank. 2. Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang. 3. Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)-nya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, karena secara hukum janji tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. 4. Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. 5. Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut. 6. Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah. 7. Jika uang muka memakai kontrak ‘urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga. b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.
Ketiga
: Jaminan dalam Murabahah: 1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya. 2. Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat
: Utang dalam Murabahah: 1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank. 2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
Dewan Syariah Nasional MUI
04 Murabahah
5
3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan. Kelima
: Penundaan Pembayaran dalam Murabahah: 1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya. 2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam
: Bangkrut dalam Murabahah: Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan. Ditetapkan di Tanggal
: Jakarta : 26 Dzulhijjah 1420 H. 1 April 2000 M
DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA Ketua,
Sekretaris,
Prof. KH. Ali Yafie
Drs. H.A. Nazri Adlani
Dewan Syariah Nasional MUI
No. 10/ 34 / DPbS
Jakarta, 22 Oktober 2008
SURAT EDARAN Kepada SEMUA BANK UMUM SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH DI INDONESIA
Perihal : Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah Sehubungan dengan telah diterbitkannya Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/18/PBI/2008 tanggal 25 September 2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4898), perlu diatur ketentuan pelaksanaan dalam suatu Surat Edaran Bank Indonesia dengan pokok ketentuan sebagai berikut:
I.
UMUM 1. Sejalan dengan meningkatnya kompleksitas usaha, Bank Umum Syariah yang selanjutnya disebut BUS dan Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disebut UUS perlu menjaga kelangsungan usahanya, antara lain dengan meningkatkan kemampuan dan efektivitas dalam mengelola risiko kredit dari aktivitas Pembiayaan (credit risk) serta meminimalkan potensi kerugian. 2. Sebagai salah satu upaya untuk meminimalkan potensi kerugian yang disebabkan oleh Pembiayaan bermasalah, BUS dan UUS dapat melakukan
Restrukturisasi
Pembiayaan
terhadap
nasabah
yang
mengalami penurunan kemampuan pembayaran dan masih memiliki
prospek …
2
prospek usaha yang baik serta mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. 3. Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya; b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS; dan/atau c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan
yang
tidak
terbatas
pada
rescheduling
atau
reconditioning, antara lain meliputi: 1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan BUS atau UUS; 2) konversi akad Pembiayaan; 3) konversi Pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah; 4) konversi Pembiayaan menjadi Penyertaan Modal Sementara pada perusahaan nasabah. 4. Dalam melaksanakan Restrukturisasi Pembiayaan, BUS dan UUS harus menerapkan prinsip kehati-hatian dan prinsip syariah serta prinsip akuntansi yang berlaku.
II.
KEBIJAKAN DAN PROSEDUR Kebijakan dan prosedur Restrukturisasi Pembiayaan mencakup paling kurang hal-hal sebagai berikut: 1. Penetapan satuan kerja khusus untuk menangani Restrukturisasi Pembiayaan.
2. Penetapan …
3
2. Penetapan limit wewenang memutus Pembiayaan yang direstrukturisasi. 3. Kriteria Pembiayaan yang dapat direstrukturisasi. 4. Sistem dan Standard Operating Procedure Restrukturisasi Pembiayaan, termasuk penetapan penyerahan Pembiayaan yang akan direstrukturisasi kepada satuan kerja khusus dan penyerahan kembali Pembiayaan yang telah
berhasil
direstrukturisasi
kepada
satuan
kerja
pengelola
Pembiayaan. 5. Sistem informasi manajemen Pembiayaan yang direstrukturisasi.
III. SATUAN KERJA KHUSUS 1. Pembentukan
satuan
kerja
khusus
Restrukturisasi
Pembiayaan
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing BUS dan UUS. 2. Pejabat atau pegawai yang melakukan Restrukturisasi Pembiayaan harus berbeda dengan pejabat atau pegawai yang terlibat dalam pemberian Pembiayaan. 3. Keputusan Restrukturisasi Pembiayaan harus dilakukan oleh pejabat yang kedudukannya lebih tinggi dari pejabat yang memutuskan pemberian Pembiayaan. 4. Dalam hal keputusan pemberian Pembiayaan dilakukan oleh pihak yang memiliki kewenangan tertinggi sesuai anggaran dasar perusahaan, maka keputusan Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan oleh pejabat yang kedudukannya setingkat dengan pejabat yang memutuskan pemberian Pembiayaan.
IV. PELAKSANAAN 1. Pembiayaan yang akan direstrukturisasi dianalisis berdasarkan: a. prospek usaha nasabah dan/atau kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas untuk nasabah Pembiayaan usaha produktif; atau b. kemampuan …
4
b. kemampuan membayar sesuai proyeksi arus kas untuk nasabah Pembiayaan non produktif. 2. Pembiayaan kepada pihak terkait yang akan direstrukturisasi dianalisis oleh konsultan keuangan independen yang memiliki izin usaha dan reputasi yang baik. 3. Analisis yang dilakukan BUS atau UUS dan konsultan keuangan independen terhadap Pembiayaan yang direstrukturisasi dan setiap tahapan
dalam
pelaksanaan
Restrukturisasi
Pembiayaan
didokumentasikan secara lengkap dan jelas. 4. Restrukturisasi
Pembiayaan
dituangkan
dalam
addendum
akad
Pembiayaan dan/atau melakukan akad Pembiayaan yang baru mengikuti karakteristik masing-masing bentuk Pembiayaan. 5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 1, angka 2, angka 3 dan angka 4 juga diterapkan dalam hal dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan yang kedua dan ketiga.
V.
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH 1. BUS dan UUS dapat mengenakan ganti rugi (ta’widh) kepada nasabah dalam rangka Restrukturisasi Pembiayaan. 2. Ganti rugi ditetapkan sebesar biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah dan bukan potensi kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i’ah). 3. Perubahan-perubahan yang disepakati antara BUS atau UUS dengan nasabah dalam Restrukturisasi Pembiayaan, termasuk penetapan ganti rugi harus dituangkan dalam addendum akad Pembiayaan. 4. Dalam hal Restrukturisasi Pembiayaan dilakukan melalui konversi akad maka harus dibuat akad Pembiayaan baru.
VI. TATACARA …
5
VI. TATACARA RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN Semua jenis Pembiayaan dapat dilakukan restrukturisasi sebagaimana dimaksud pada butir I angka 3 dengan memperhatikan karakteristik masingmasing bentuk Pembiayaan, sebagai berikut: 1. Piutang Murabahah dan Piutang Istishna’ Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah dan piutang istishna’ dapat dilakukan restrukturisasi dengan cara: a. Penjadwalan kembali (rescheduling). Restrukturisasi dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS. b. Persyaratan kembali (reconditioning). Restrukturisasi dilakukan dengan menetapkan kembali syarat-syarat Pembiayaan antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS. c. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi piutang murabahah atau piutang istishna’ sebesar sisa kewajiban nasabah menjadi ijarah muntahiyyah bittamlik atau mudharabah atau musyarakah. Konversi piutang dimaksud dilakukan sebagai berikut: 1) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk piutang
murabahah
atau
piutang
istishna’
dengan
memperhitungkan nilai wajar obyek murabahah atau istishna’. Dalam hal terdapat perbedaan antara jumlah kewajiban nasabah dengan nilai wajar obyek murabahah atau istishna’, maka diakui sebagai berikut:
a) apabila …
6
a) apabila nilai wajar lebih kecil daripada jumlah kewajiban nasabah, maka BUS atau UUS mengakui kerugian sebesar selisih tersebut; b) apabila nilai wajar lebih besar daripada jumlah kewajiban nasabah, maka selisih nilai tersebut diakui sebagai uang muka ijarah muntahiyyah bittamlik atau menambah porsi modal nasabah
untuk
musyarakah
atau
mengurangi
modal
mudharabah dari BUS atau UUS. 2) Obyek murabahah atau istishna’ sebelumnya menjadi dasar untuk pembuatan akad Pembiayaan baru. 3) BUS atau UUS melakukan akad Pembiayaan baru dengan mempertimbangkan kondisi nasabah antara lain golongan nasabah, jenis usaha, kemampuan membayar (cash flow) nasabah. Pembuatan akad Pembiayaan baru dalam rangka restrukturisasi mengikuti ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan prinsip syariah. 4) BUS atau UUS mencantumkan kronologis akad Pembiayaan sebelumnya dalam akad Pembiayaan baru. d. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah. Penempatan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut: 1) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau piutang istishna’. 2) BUS atau UUS membuat akad mudharabah atau musyarakah dengan nasabah atas Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah yang diterbitkan oleh nasabah atas dasar proyek yang dibiayai.
3) BUS …
7
3) BUS atau UUS memiliki Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah. e. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi menjadi Penyertaan Modal Sementara. Penyertaan Modal Sementara dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut: 1) Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakukan pada nasabah yang merupakan badan usaha berbentuk hukum Perseroan Terbatas. 2) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau piutang istishna’. 3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan nasabah atas usaha yang dilakukan. 4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah. Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi piutang murabahah atau piutang istishna’ sebagaimana dimaksud pada butir VI.1 huruf a sampai dengan huruf e merupakan jumlah pokok dan margin yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi. 2. Piutang Salam Pembiayaan dalam bentuk piutang salam dapat dilakukan proses restrukturisasi dengan cara: a. Penjadwalan kembali (rescheduling). Restrukturisasi yang dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo penyerahan barang salam tanpa mengubah spesifikasi dan kekurangan jumlah barang yang harus diserahkan nasabah kepada BUS atau UUS.
b. Persyaratan …
8
b. Persyaratan kembali (reconditioning). Restrukturisasi yang dilakukan dengan menetapkan kembali syarat– syarat Pembiayaan antara lain spesifikasi barang, jumlah, jangka waktu, jadwal penyerahan, pemberian potongan piutang dan/atau lainnya tanpa menambah nilai barang yang harus diserahkan nasabah kepada BUS atau UUS. c. Penataan kembali (restructuring) dengan penambahan dana. Restrukturisasi yang dilakukan dengan penambahan dana oleh BUS atau UUS kepada nasabah agar kegiatan usaha nasabah dapat kembali berjalan dengan baik. 3. Piutang Qardh Pembiayaan dalam bentuk piutang qardh dapat dilakukan proses restrukturisasi dengan cara: a. Penjadwalan kembali (rescheduling). Restrukturisasi yang dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS. b. Persyaratan kembali (reconditioning). Restrukturisasi yang dilakukan dengan menetapkan kembali syarat– syarat pembiayaan antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS. Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi pembiayaan qardh sebagaimana dalam butir VI.3 huruf a dan huruf b merupakan jumlah pokok yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi.
4. Mudharabah …
9
4. Mudharabah dan Musyarakah Pembiayaan dalam bentuk mudharabah dan musyarakah dapat dilakukan proses restrukturisasi dengan cara: a. Penjadwalan kembali (rescheduling). Restrukturisasi yang dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS. b. Persyaratan kembali (reconditioning). Restrukturisasi yang dilakukan dengan menetapkan kembali syarat– syarat pembiayaan antara lain nisbah bagi hasil, jumlah angsuran, jangka waktu, jadwal pembayaran, pemberian potongan pokok dan/atau lainnya tanpa menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS. c. Penataan kembali (restructuring) dengan penambahan dana. Restrukturisasi yang dilakukan dengan penambahan dana oleh BUS atau UUS kepada nasabah agar kegiatan usaha nasabah dapat kembali berjalan dengan baik. d. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah. Penempatan dalam bentuk Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut: 1) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah. 2) BUS atau UUS membuat akad mudharabah atau musyarakah dengan nasabah untuk Surat Berharga Berjangka Waktu Menengah yang diterbitkan oleh nasabah atas dasar proyek yang dibiayai. 3) BUS atau UUS memiliki Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah paling tinggi sebesar sisa kewajiban nasabah.
e. Penataan …
10
e. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi menjadi Penyertaan Modal Sementara. Penyertaan Modal Sementara dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut: 1) Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakukan pada nasabah yang merupakan badan usaha berbentuk hukum Perseroan Terbatas. 2) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah. 3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan nasabah atas usaha yang dilakukan. 4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara sebesar sisa kewajiban nasabah. Sisa kewajiban nasabah dalam restrukturisasi akad Pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah sebagaimana dimaksud dalam butir VI.4 huruf a, huruf b, huruf d dan huruf e merupakan jumlah pokok yang belum dibayar oleh nasabah pada saat dilakukan restrukturisasi. 5. Ijarah dan Ijarah Muntahiyyah Bittamlik Pembiayaan dalam bentuk ijarah dan ijarah muntahiyyah bittamlik dapat dilakukan restrukturisasi dengan cara: a. Penjadwalan kembali (rescheduling). Restrukturisasi dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo Pembiayaan, dan BUS atau UUS dapat menetapkan kembali besarnya ujrah yang harus dibayar nasabah dengan kondisi sebagai berikut: 1) Aktiva ijarah dimiliki oleh BUS atau UUS Jangka waktu perpanjangan paling lama sampai dengan umur ekonomis aktiva ijarah. 2) Aktiva …
11
2) Aktiva ijarah bukan milik BUS atau UUS Jangka waktu perpanjangan paling lama sampai dengan berakhirnya hak penggunaan aktiva ijarah. b. Persyaratan kembali (reconditioning). Restrukturisasi dilakukan dengan menetapkan kembali syarat-syarat Pembiayaan antara lain jumlah angsuran, jangka waktu, jadwal pembayaran, pemberian potongan ujrah dan/atau lainnya, dan BUS atau UUS dapat menetapkan kembali ujrah yang harus dibayar nasabah, dengan kondisi sebagai berikut: 1) Aktiva ijarah dimiliki oleh BUS atau UUS Dalam hal BUS atau UUS memberikan perpanjangan jangka waktu, maka jangka waktu perpanjangan paling lama sampai dengan umur ekonomis aktiva ijarah. 2) Aktiva ijarah bukan milik BUS atau UUS Dalam hal BUS atau UUS memberikan perpanjangan jangka waktu, maka jangka waktu perpanjangan paling lama sampai dengan berakhirnya hak penggunaan aktiva ijarah. c. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi akad ijarah atau akad ijarah muntahiyyah bittamlik menjadi mudharabah atau musyarakah. Konversi pembiayaan terhadap aktiva ijarah yang dimiliki oleh BUS atau UUS dilakukan sebagai berikut: 1) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk ijarah
atau
ijarah
muntahiyyah
bittamlik
dengan
memperhitungkan nilai wajar aktiva ijarah. Dalam hal terdapat perbedaan antara nilai wajar aktiva ijarah dengan nilai buku aktiva ijarah ditambah tunggakan angsuran ijarah, maka diakui sebagai berikut:
a) apabila …
12
a) apabila nilai wajar lebih kecil daripada nilai buku ditambah tunggakan angsuran ijarah, maka BUS atau UUS mengakui kerugian sebesar selisih tersebut; b) apabila nilai wajar lebih besar daripada nilai buku ditambah tunggakan angsuran ijarah, maka BUS atau UUS mengakui keuntungan yang ditangguhkan sebesar selisih tersebut dan diamortisasi selama masa akad mudharabah atau musyarakah. 2) BUS atau UUS membuat akad Pembiayaan baru dengan mempertimbangkan kondisi nasabah antara lain golongan nasabah, jenis usaha, kemampuan membayar (cash flow) nasabah. Pembuatan akad Pembiayaan baru dalam rangka restrukturisasi wajib mengikuti ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai pelaksanaan prinsip syariah. 3) BUS atau UUS mencatat pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah sebesar nilai wajar aktiva ijarah. 4) BUS atau UUS mencantumkan kronologis akad Pembiayaan sebelumnya dalam akad Pembiayaan baru. d. Penataan kembali (restructuring) dengan melakukan konversi menjadi Penyertaan Modal Sementara. Penyertaan Modal Sementara dalam rangka restrukturisasi dilakukan sebagai berikut: 1) Penyertaan Modal Sementara hanya dapat dilakukan pada nasabah yang merupakan badan usaha yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas. 2) BUS atau UUS menghentikan akad Pembiayaan dalam bentuk ijarah
atau
ijarah
muntahiyyah
bittamlik
dengan
memperhitungkan nilai wajar aktiva ijarah.
Dalam …
13
Dalam hal terdapat perbedaan antara nilai wajar aktiva ijarah dengan nilai buku aktiva ijarah ditambah tunggakan angsuran ijarah, maka diakui sebagai berikut: a) apabila nilai wajar lebih kecil daripada nilai buku ditambah tunggakan angsuran ijarah, maka BUS atau UUS mengakui kerugian sebesar selisih tersebut; b) apabila nilai wajar lebih besar daripada nilai buku ditambah tunggakan angsuran ijarah, maka BUS atau UUS mengakui keuntungan yang ditangguhkan sebesar selisih tersebut dan diamortisasi selama masa Penyertaan Modal Sementara. 3) BUS atau UUS membuat akad musyarakah dengan nasabah untuk Penyertaan Modal Sementara sesuai kesepakatan dengan nasabah atas usaha yang dilakukan. 4) BUS atau UUS melakukan Penyertaan Modal Sementara sebesar nilai wajar aktiva ijarah. 6. Ijarah Multijasa Pembiayaan multijasa dalam bentuk ijarah dapat dilakukan proses restrukturisasi dengan cara: a. Penjadwalan kembali (rescheduling). Restrukturisasi dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh tempo Pembiayaan tanpa mengubah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS. b. Persyaratan kembali (reconditioning). Restrukturisasi dilakukan dengan menetapkan kembali syarat-syarat Pembiayaan antara lain jumlah angsuran, jangka waktu, jadwal pembayaran, pemberian potongan piutang dan/atau lainnya tanpa menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada BUS atau UUS.
VII. PENUTUP …
14
VII. PENUTUP Ketentuan dalam Surat Edaran Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 22 Oktober 2008. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Surat Edaran Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Demikian agar Saudara maklum. BANK INDONESIA,
SITI CH. FADJRIJAH DEPUTI GUBERNUR
FATWA DEWAN SYARI’AH NASIONAL NO. 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang GANTI RUGI (TA’WIDH)
ِﻢﺣِﻴﻤﻦِ ﺍﻟﺮﺣﻢِ ﺍﷲِ ﺍﻟﺮﺑِﺴ Dewan Syari’ah Nasional setelah, Menimbang
:
a. bahwa lembaga keuangan syari’ah (LKS) beroperasi berdasarkan prinsip syari’ah untuk menghindarkan praktik riba atau praktik yang menjurus kepada riba, termasuk masalah denda finansial yang biasa dilakukan oleh lembaga keuangan konvensional; b. bahwa para pihak yang melakukan transaksi dalam LKS terkadang mengalami risiko kerugian akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang melanggar perjanjian; c. bahwa syari’ah Islam melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun LKS, sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan hak-haknya; d. bahwa kerugian yang benar-benar dialami secara riil oleh para pihak dalam transaksi wajib diganti oleh pihak yang menimbulkan kerugian tersebut; e. bahwa masyarakat, dalam hal ini para pihak yang bertransaksi dalam LKS meminta fatwa kepada DSN tentang ganti rugi akibat penunda-nundaan pembayaran dalam kondisi mampu; f. bahwa dalam upaya melindungi para pihak yang bertransaksi, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang ganti rugi (ta’widh) untuk dijadikan pedoman.
Mengingat
:
1. Firman Allah SWT.; antara lain: a. QS. al-Ma’idah [5]:1:
… ِﺩﻘﹸﻮﺍ ﺑِﺎﻟﹾﻌﻓﹸﻮﺍ ﺃﹶﻭﻮﻨ ﺁﻣﻦﺎ ﺍﻟﱠﺬِﻳﻬﺎﺃﹶﻳﻳ “Hai orang yang beriman! Penuhilah aqad-aqad itu…”. b. QS. al-Isra’ [17]: 34:
.ﻻﹰﺌﹸﻮﺴ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﻣﺪﻬ ﺇِﻥﱠ ﺍﻟﹾﻌ،ِﺪﻬﺍ ﺑِﺎﻟﹾﻌﻓﹸﻮﺃﹶﻭ…ﻭ “…Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabannya.” c. QS. al-Baqarah [2]: 194:
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 2
،ﻜﹸﻢﻠﹶﻴﻯ ﻋﺪﺘﺎ ﺍﻋ ِﻪ ﺑِﻤِﺜﹾﻞِ ﻣﻠﹶﻴﺍ ﻋﻭﺪﺘ ﻓﹶﺎﻋﻜﹸﻢﻠﹶﻴﻯ ﻋﺪﺘﻦِ ﺍﻋ… ﻓﹶﻤ .ﻦﻘِﻴﺘ ﺍﻟﹾﻤﻊ ﻣﺍ ﺃﹶﻥﱠ ﺍﻟﻠﱠﻪﻮﻠﹶﻤﺍﻋ ﻭ،ﻘﹸﻮﺍ ﺍﻟﻠﱠﻪﺍﺗﻭ “…maka, barang siapa melakukan aniaya (kerugian) kepadamu, balaslah ia, seimbang dengan kerugian yang telah ia timpakan kepadamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” d. QS. al-Baqarah [2]: 279-280:
ﺓﹲ ﺇِﻟﹶﻰﻈِﺮﺓٍ ﻓﹶﻨﺮﺴﺇِﻥﹾ ﻛﹶﺎﻥﹶ ﺫﹸﻭ ﻋﻮﻥﹶ؛ ﻭﻈﹾﻠﹶﻤﻻﹶ ﺗﻮﻥﹶ ﻭﻈﹾﻠِﻤ…ﻻﹶ ﺗ .ﻮﻥﹶﻠﹶﻤﻌ ﺗﻢﺘ ﺇِﻥﹾ ﻛﹸﻨ ﻟﹶﻜﹸﻢﺮﻴﺍ ﺧﻗﹸﻮﺪﺼﺃﹶﻥﹾ ﺗﺓٍ ﻭﺮﺴﻴﻣ ”... Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” 2. Hadis-hadis Nabi s.a.w.; antara lain: a. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf:
ﺎﺍﻣﺮﻞﱠ ﺣ ﺃﹶﺣﻼﹶﻻﹰ ﺃﹶﻭ ﺣﻡﺮﺎ ﺣﻠﹾﺤ ﺇِﻻﱠ ﺻﻠِﻤِﲔﺴ ﺍﻟﹾﻤﻦﻴ ﺑﺎﺋِﺰ ﺟﻠﹾﺢﺍﹶﻟﺼ .ﺎﺍﻣﺮﻞﱠ ﺣ ﺃﹶﺣﻼﹶﻻﹰ ﺃﹶﻭ ﺣﻡﺮﻃﹰﺎ ﺣﺮ ﺇِﻻﱠ ﺷﻭﻃِﻬِﻢﺮﻠﹶﻰ ﺷﻥﹶ ﻋﻮﻠِﻤﺴﺍﻟﹾﻤﻭ “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” b. Hadis Nabi riwayat jama’ah (Bukhari dari Abu Hurairah, Muslim dari Abu Hurairah, Tirmizi dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Nasa’i dari Abu Hurairah, Abu Daud dari Abu Hurairah, Ibn Majah dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Ahmad dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Malik dari Abu Hurairah, dan Darami dari Abu Hurairah):
… ﻇﹸﻠﹾﻢﻨِﻲﻄﹾﻞﹸ ﺍﻟﹾﻐﻣ “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…” c. Hadis Nabi riwayat Nasa’i dari Syuraid bin Suwaid, Abu Dawud dari Syuraid bin Suwaid, Ibu Majah dari Syuraid bin Suwaid, dan Ahmad dari Syuraid bin Suwaid:
.ﻪﺘﺑﻘﹸﻮﻋ ﻭﻪﺿﺤِﻞﱡ ﻋِﺮﺍﺟِﺪِ ﻳ ﺍﻟﹾﻮﻟﹶﻲ
Dewan Syariah Nasional MUI
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 3
“Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.” d. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:
.ﺍﺭﻻﹶﺿِﺮ ﻭﺭﺮﻻﹶﺿ “Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain.” 3. Kaidah Fiqh; antara lain:
.ﺎﻤِﻬﺮِﻳﺤﻠﹶﻰ ﺗﻞﹲ ﻋﻟِﻴﻝﱠ ﺩﺪﺔﹸ ﺇِﻻﱠ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﺎﺣﻼﹶﺕِ ﺍﹾﻹِﺑﺎﻣﻌﻞﹸ ﻓِﻰ ﺍﻟﹾﻤﺍﹶﻷَﺻ “Pada dasarnya, segala bentuk mu’amalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
.ﺍﻝﹸﺰ ﻳﺭﺮﺍﹶﻟﻀ “Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.” Memperhatikan :
1. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, juz IV, hlm 342, bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian (dharar) dan karenanya harus dihindarkan; ia menyatakan:
ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﻛﹶﺎ ﹶﻥ:ﺎﻧﻈﹶﺮ ﻧﻪﻌﻨ ﻣﻪﻤ ﻏﹶﺮِﻳﺍﺩ ﺃﹶﺭ ﺃﹶﻭﻔﹶﺮ ﺍﻟﺴﺍﺩ ﺇِﺫﹶﺍ ﺃﹶﺭﻦﻳﻪِ ﺍﻟﺪﻠﹶﻴ ﻋﻦﻣ ﺇِﻟﹶﻰﻩﻔﹶﺮﻥﹶ ﺳﻜﹸﻮﻔﹶﺮِ ﻣِﺜﹾﻞﹸ ﺃﹶﻥﹾ ﻳ ﺍﻟﺴﻣِﻪِ ﻣِﻦﻭﺤِﻞﱢ ﻗﹸﺪﻞﹶ ﻣﻦِ ﻗﹶﺒﻳﺤِﻞﱡ ﺍﻟﺪﻣ ﻓﹶﻠﹶﻪ،ِﺔ ﺫِﻱ ﺍﻟﹾﺤِﺠﻡِ ﺃﹶﻭﺮﺤﺤِﻞﱡ ﻓِﻲ ﺍﻟﹾﻤ ﻳﻪﻨﻳﺩﻔﹶﺮٍ ﻭ ﺳ ﺇِﻻﱠ ﻓِﻲﻡﻘﹸﻮ ﻻﹶﻳﺞﺍﻟﹾﺤ ﺤِﻠﱢﻪِ؛ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺃﹶﻗﹶﺎﻡ ﻣﺪﻘﱢﻪِ ﻋِﻨﺮِ ﺣﺄﹾﺧِﻴ ﺗﺍ ﻓِﻲﺭﺮﻪِ ﺿﻠﹶﻴ ﻷَﻥﱠ ﻋ،ِﻔﹶﺮ ﺍﻟﺴ ﻣِﻦﻪﻌﻨﻣ ﺭﺮ ﻷَﻥﱠ ﺍﻟﻀ،ﻔﹶﺮ ﺍﻟﺴ ﻓﹶﻠﹶﻪ،ﺤِﻞﱢ ﺍﻟﹾﻤﺪﻦِ ﻋِﻨﻳ ﺑِﺎﻟﺪﻔِﻲﺎ ﻳﻨﻫ ﺭﻓﹶﻊ ﺩﺎ ﺃﹶﻭﻨﻤِﻴﺿ .ﻝﹸ ﺑِﺬﹶﻟِﻚﺰﻭ ﻳ “Jika orang berutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan (qadai) yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan.”
Dewan Syariah Nasional MUI
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 4
2. Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang dhaman atau ta’widh; antara lain sebagai berikut: a. Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998:
Nazariyah
al-Dhaman,
(٨٧) ِﻄﹶﺄ ﺃﹶﻭِ ﺍﻟﹾﺨﻱﺪﻌﺍﻗِﻊِ ﺑِﺎﻟﺘﺭِ ﺍﻟﹾﻮﺮﺔﹸ ﺍﻟﻀﻄِﻴﻐ ﺗﻮ ﻫ:ﺾﻮِﻳﻌﺍﹶﻟﺘ ،ﺎﻨﻴﺭِ ﻋﺮﺍﻟﹶﺔﹸ ﺍﻟﻀ ﺇِﺯﻮ ﻫ:ِﺾﻮِﻳﻌﺎﻥِ ﺃﹶﻭِ ﺍﻟﺘﻤ ﻓِﻲ ﺍﻟﻀﺎﻡﻞﹸ ﺍﻟﹾﻌﺍﹶﻷَﺻ ﺎ ﻛﹶﺎﻥﹶﺎ ﻛﹶﻤﺤﺤِﻴ ﺻﻪﺗﺎﺩﺇِﻋﻠﹶﻒِ ﻭﺘ ﺍﻟﹾﻤﺮﺒ ﺟ ﺃﹶﻭ...ِﺎﺋِﻂﻼﹶﺡِ ﺍﻟﹾﺤﻛﹶﺈِﺻ ﺐﺟ ﻭ ﺫﹶﻟِﻚﺬﱠﺭﻌ ﻓﹶﺈِﻥﹾ ﺗ،ﺎﺤﺤِﻴﺭِ ﺻﻮﻜﹾﺴﺓِ ﺍﻟﹾﻤﺎﺩﻜﹶﺎﻥِ ﻛﹶﺈِﻋ ﺍﹾﻹِﻣﺪﻋِﻨ (٩٤) ﻘﹾﺪِﻱ ﺃﹶﻭِ ﺍﻟﻨ ﺍﻟﹾﻤِﺜﹾﻠِﻲﺾﻮِﻳﻌﺍﻟﺘ ِﺓِ )ﺃﹶﻱﻛﱠﺪﺆ ﺍﻟﹾﻤﺮﺓﹸ ﻏﹶﻴﻈِﺮﺘﻨﺓﹸ ﺍﻟﹾﻤﺎﺭﺴﺍﻟﹾﺨﺎﻟِﺢِ ﻭﺼ ﺍﻟﹾﻤﺎﻉﺎ ﺿِﻴﺃﹶﻣﻭ ﺎ ﻓِﻲﻬﻨ ﻋﺽﻮﻌﺔﹸ ﻓﹶﻼﹶ ﻳﻮِﻳﻨﻌﺔﹸ ﺃﹶﻭِ ﺍﻟﹾﻤﺑِﻴ ﺍﹾﻷَﺩﺍﺭﺮﻠﹶﺔﹸ( ﺃﹶﻭِ ﺍﹾﻷَﺿﻘﹾﺒﺘﺴﺍﻟﹾﻤ ﺩﻮﺟﻮﺎﻝﹸ ﺍﻟﹾﻤ ﺍﻟﹾﻤﻮﺾِ ﻫﻮِﻳﻌﻞﹶ ﺍﻟﺘﺤ ِﻷَﻥﱠ ﻣ،ﻜﹾﻢِ ﺍﻟﹾﻔِﻘﹾﻬِﻲﻞِ ﺍﻟﹾﺤﺃﹶﺻ ﻧﻈﺮﻳﺔ،( )ﻭﻫﺒﺔ ﺍﻟﺰﺣﻴﻠﻲ٩٦) ﺎﻋﺮ ﺷﻡﻘﹶﻮﺘﺍﻟﹾﻤﻼﹰ ﻭ ﻓِﻌﻘﱠﻖﺤﺍﻟﹾﻤ (١٩٩٨ ، ﺩﻣﺸﻖ، ﺩﺍﺭ ﺍﻟﻔﻜﺮ،ﺍﻟﻀﻤﺎﻥ “Ta’widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan” (h. 87). “Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa: (a) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding... (b) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan benda yang sama (sejenis) atau dengan uang” (h. 93). Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk memanfaat-kannya” (h. 96). b. Pendapat `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba’li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah, al-Qahirah: al-Ma’had al-‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996:
ِﺮﺄﺧِﻴﺍﺀِ ﺍﻟﺘﺮ ﺟﻼﹰ ﻣِﻦﺎﺻِﻞِ ﻓﹶﻌﺭِ ﺍﻟﹾﺤﺮﻠﹶﻰ ﺍﻟﻀ ﻋﻩﺍﺭﺪﻄﹾﻞِ ﻣﺎﻥﹸ ﺍﻟﹾﻤﻤﺿ (١١٥) ِﺍﺩﺪﻡِ ﺍﻟﺴﺪﺔﹰ ﻟِﻌﻌِﻴﺔﹰ ﻃﹶﺒِﻴﺠﺘِﻴ ﻧﺭﺮﻛﹶﺎﻥﹶ ﺍﻟﻀ ﻭ،ِﺍﺩﺪﻓِﻲ ﺍﻟﺴ Dewan Syariah Nasional MUI
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 5
“Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut.” c. Pendapat ulama yang membolehkan ta’widh sebagaimana dikutip oleh `Isham Anas al-Zaftawi, Hukm al-Gharamah alMaliyah fi al-Fiqh al-Islami, al-Qahirah: al-Ma’had al‘Alami li-al-Fikr al-Islami, 1997:
،ِﺾﻮِﻳﻌﺍﻟﹶ ﹶﺔ ﺇِﻻﱠ ﺑِﺎﻟﺘﻻﹶ ﺇِﺯ ﻭ،ِﺔﻌﺮﻳﺍﻋِﺪِ ﺍﻟﺸ ﻗﹶﻮﺐﺴﺍﻝﹸ ﺣﺰ ﻳﺭﺮﺍﹶﻟﻀ .ﺭﻭﺮﻀ ﺍﻟﹾﻤﺍﺋِﻦ ﺍﻟﺪﺪﻔِﻴﺎﻃِﻞِ ﻻﹶ ﺗﻤﻦِ ﺍﻟﹾﻤﺪِﻳﺔﹸ ﺍﻟﹾﻤﺎﻗﹶﺒﻣﻌ ﻭ ﻮﻫ ﻭ،ﻪﻜﹾﻤﺬﹶ ﺣﺄﺧ ﺃﹶﻥﹾ ﻳﻐِﻲﺒﻨﻳ ﻭ،ﺐﺼ ﺍﻟﹾﻐﺒِﻪﺸ ﻳﻖﺍﺀِ ﺍﻟﹾﺤ ﺃﹶﺩﺮﺄﹾﺧِﻴﺗ ،ِﺭﻮﻬﻤ ﺍﻟﹾﺠﺪﺐِ ﻋِﻨﺼﺓﹶ ﺍﻟﹾﻐﺪﺏِ ﻣﻮﺼﻐ ﺍﻟﹾﻤﺎﻓِﻊﻨ ﻣﻦﻤﻀ ﻳﺎﺻِﺐﺃﹶ ﱠﻥ ﺍﻟﹾﻐ (١٦-١٥) ﻠﹶﻚ ﻫﺏِ ﻟﹶﻮﻮﺼﻐﺔﹶ ﺍﻟﹾﻤﻤﺎﻧِﻪِ ﻗِﻴﻤﺐِ ﺿﻨﺇِﻟﹶﻰ ﺟ “Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari’ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan. Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, di samping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak.” 3. Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran. 4. Fatwa DSN No 18/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS 5. Rapat BPH DSN MUI – BI – Perbankan Syari’ah, 18 Juli 2004 di Lippo Karawaci-Tangerang. 6. Rapat Pleno DSN-MUI, hari Rabu, 24 Jumadil Akhir 1325 H/11 Agustus 2004. Dengan memohon taufiq dan ridho Allah SWT MEMUTUSKAN Menetapkan
:
FATWA TENTANG GANTI RUGI (TA’WIDH)
Pertama
:
Ketentuan Umum 1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Dewan Syariah Nasional MUI
43 Ganti Rugi (Ta’widh) 6
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas. 3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yg seharusnya dibayarkan. 4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i’ah). 5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah. 6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan. Kedua
:
Ketentuan Khusus 1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya. 2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak. 3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad. 4. Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
Ketiga
:
Penyelesaian Perselisihan Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat
:
Ketentuan Penutup Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : 24 Jumadil Akhir 1425 H 11 Agustus 2004 M
Ketua,
DEWAN SYARI’AH NASIONAL MAJELIS ULAMA INDONESIA Sekretaris,
K.H.M.A. Sahal Mahfudh Dewan Syariah Nasional MUI
Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin
Daftar pertanyaan kepada Bank Syariah mengenai proses ta’widh (ganti rugi ) terhadap Murabahah. Tempat
: PT. Bank Syariah Bukopin, Lt. 6 Jl. Salemba Raya, Jakarta Pusat
Tanggal
: 20 April 2010
Nara sumber
: Bapak Noor Cholis, kepala Divisi Pengembangan dan Suvervisi Bisnis Cabang
1. Produk apa saja yang ditawarkan oleh PT. Bank Bukopin Syariah? a. Produk Funding (pendanaan) : calon nasabah yang memiliki kelebihan dana ditawarkan produk : -
Tabungan iB SiAga, iB Rencana, iB SiAga Bisnis, iB Haji,
-
Giro iB
-
Deposito iB
b. Produk Financing ( Pembiayaan) -
Murabahah (Jual beli, Kepemilikan Mobil, Rumah )
-
Musyarakah (Bagi Hasil)
-
Mudharabah (Bagi Hasil)
-
Mudhorobah Muqoyyadah ( Investasi Terikat)
-
Qordh (Pinjaman dengan pengembalian yang pokok)
-
Isthisna Pararel
c. Produk Jasa -
Pengiriman uang (transfer)
-
RTGS (Transfer Via on line dengan nominal di atas 100 juta )
-
Payment PLN, PDAM, pulsa, dll
-
SDB ( Save Deposit Box )
2. Penilaian seperti apa yang dilakukan bank syariah dalam menilai kelayakan seseorang yang menerima pembiayaan khususnya pembiayaan murabahah? Penilaian secara garis besar haruslah prudent, dengan melihat dari 5C : konsep 5C, yaitu 1. Character (karakter), 2. Capacity (kemampuan mengembalikan utang),
3. Collateral (jaminan), 4. Capital (modal), dan 5. Condition (situasi dan kondisi). Bagi orang bank, nasabah yang memenuhi criteria 5C adalah orang yang sempurna untuk mendapatkan Pembiayaan. Bank melihat orang yang mempunyai karakter kuat, kemampuan mengembalikan uang, jaminan yang berharga, modal yang kuat, dan kondisi perekonomian yang aman bagaikan melihat sebuah mutiara. Orang seperti ini adalah nasabah potensial untuk diajak bekerja sama atau orang yang layak mendapatkan penyaluran kredit. Pendeknya orang yang mempunyai 5C yang baik adalah manusia yang ideal, menurut criteria orang bank. 3. Bagaimana dengan jaminan/angunan dalam proses ini? Secara prosesnya jaminan ini haruslah dari debitur sendiri atau kerabat keluarga agar terhindar dari permasalahan. Proses ini dilihat dengan dua cara yakni dari segi juridisnya (hukum legal) dan Apprasial (nilai). Juridis dilihat dari analisa objeknya rumah/tanah yang memiliki sertifikat tanah, kendaraan bermotor seperti mobil, motor yang memiliki BPKB, dan tanda bukti sah lainnya. Sedangkan dari segi appraisal (nilai) dengan melihat dari penilaian suatu barang /objek tersebut artinya penilaian secara quality, dari pihak bank sendiri terdapat bagian penilaian tersendiri (kredit investigator) dengan asumsi nilai yang masih di bawah 5 milyar. Kalau untuk nilai barang yang di atas 5 Milyar dengan menggunakan jasa Independent Apprasial, suatu lembaga independen yang menilai suatu barang tertentu dengan nilai yang cukup besar. 4. Apa yang dilakukan apabila terjadi pembiayaan macet, bagaimana penyelesaiannya? Pembayaran bermasalah terjadi maka langkah selanjutnya dengan cara ; a. Penyehatan kembali pembiayaan -
Restrukturisasi
-
Rescheduling
-
Penataan kembali
Dengan syarat gejala menurunnya usaha dan memiliki potensi usaha yang cukup menjanjikan. b. Penjualan angunan (jika langkah peyehatan di atas tidak bisa dilakukan)
-
Debitor ; debitor menjual angunannya sendiri agar menutupi pembiayaan yang belum dibayar
-
AO : pihak AO (bank) akan menjual barang angunan tersebut dengan nilai tertentu, apabila terjadi kelebihan dari harga jual tersebut dengan nilai hutangnya, maka dana tersebut harus dikembalikan kepada debitur.
-
Bank : Pihak bank akan membeli angunan tersebut (ayda : angunan yang diambil alih), intinya sama dengan AO, dimana jika terdapat kelebihan harus dikembalikan kepada debitur. (PBI mengenai resktrustur..?)
c. Cara lain dengan variasi- variasi yang lain seperti di take over dengan pihak lain atau dibayar dengan pihak lainnya, dan mencari sumber dari pihak lain. Misalkan ada permaslahan hukum sehingga harus menggunakan pengadilan. 5. Bagaimana dengan nasabah yang enggan memenuhi kewajiban padahal mereka mampu? Bagi nasabah yang enggan membayar padahal dia mampu di berikan funishment berupa denda (ta’zir) dengan nilai tertentu, biasanya dikenakan perbulan dan denda atau ta’zir ini merupakan kesepakatan dari awal perjanjian dengan tertulis di dalam akad perjanjian. Denda dimungkinkan presentasi dari tunggakan dan dana denda ini tidak dimasukkan sebagai sumber pendapatan bank Syariah, dana ini harus masuk dalam dana non halal atau qardhul hasan dengan ketentuan dari DSN-MUI yang berasumsi bahwa penambahan nilai atas pinjaman masuk ke dalam katagori riba, sehingga denda ini harus dipisahkan tersendiri. Ini berbeda dengan konvensional yang merupakan sebagai pendapatan bank karena dikenakan bunga atas tunggakan. 6. Apa yang membedakan antara bunga, ta’zir (denda) dan ta’widh (ganti rugi)? -
Bunga : penambahan suatu nilai suatu barang dengan jumlah yang sudah ditentukan, biasanya bunga ini harus tetap dibayar dengan jumlah yang tetap walaupun terdapat permasalahan dalam pinjaman tersebut.
-
Ta’zir ; denda ini di berikan kepada nasabah yang enggan untuk membayar angsuran pembiayaannya padahal mampu untuk membayarnya ini sebagai punishment. Dana ini masuk ke dalam dana qardhul hasan bukan sebagai sumber pendapatan bank.
-
Ta’widh ; ganti rugi yang harus dibayar atas kerugian riil atas kompensansi biaya yang telah dikeluarkan bank. Dana ini akan masuk sebagai sumber pendapatan bank.
7. Mengenai pengenaan ganti rugi (ta’widh), Apa saja yang dikenakan ganti rugi dan bagaimana dengan mekanismenya dalam pembiayaan murabahah? Dalam ketentuan murabahah bahwa mengambil margin atau kelebihan dari nilai yang telah disepakati termasuk dalam katagori riba. Oleh karena itu terdapat ganti rugi yang dikenakan kepada debitur yang belum melunasi angsuran telah jatuh tempo dengan memperpanjang angsurannya, dan selama masa perpanjangan angsuran tersebut terdapat biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh bank dengan nilai yang riil, seperti halnya biaya overhead,
proses montoring, penagihan, proses perpanjangan dan tidak adanya
penambahan (mark up) atas nilai tersebut. Hal inilah yang harus diganti oleh pihak debitur atas biaya – biaya riil yang telah dikeluarkan oleh bank. Dana dari ganti rugi ini masuk ke dalam salah satu sumber pendapatan bank. Sebagai contoh : Murabahah ketentuannya ada beli, margin, harga jual, jangka waktu, misalnya jangka waktuny 2 tahun margin nya 5 juta, kemudian belum bisa bayar, lalu kita perpanjang lagi menjadi 3 tahun dengan sisa pembiayaan 50 juta dari total pembiayaan 100 juta, di tahun ke 2 tidak mampu bayar, diperpanjangan 1 tahun. Ketentuan meurabahah perpanjangan 1 tahun ini tidak bioleh di tambahkan margin. Oleh karena itu dikenakan ta;’widh atas biaya riil yang dikeluarkan selama jangka waktu 1 tahun yang telah jauth tempo. Bank tidak boleh mengambil keuntungan dan hanya boleh riil costnya. Di dalam mengeluarkan 50 juta ada biaya over head cost, khususnya biaya perpanjangan , biaya monitoring, biaya penagihan, seluruh biaya ini dibebankan kepada nasabah. Misalnya riil cost sebesar 3 juta dari 50 juta sehingga harus diganti sesuai dengan besaran yang dikeluarkan oleh pihak bank. maka kita tidak boleh mengambil keuntungan, dimisalkan dilebihkan 1 juta menjadi 4 juta dan ini tidak boleh. 8. Apa yang dilakukan dengan proses perhitungan ganti rugi ini? Sesuai dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Bank Syariah tanpa adanya tambahan biaya atau mark up, misalkan untuk biaya monitoring sebesar 1 juta, yah harus 1 juta yang diganti. Intinya biaya ril yang dikeluarkan bank. Contoh lain : debitur telah jatuh tempo masa angsurannya selama 2 tahun dan diperpanjang masa angsurannya dimisalkan 1 tahun dengan sisa angsuran Rp. 50.000.000,-
dari Rp. 100.000.000, - (ini nominal
akumulatif selama 1 tahun) -
Biaya Overhead (Atk, listrik, pulsa, dll)
: Rp. 1.000.000, -
-
Biaya Monitoring (pengawasan, survey,Penagihan) : Rp. 3.000.000, -
-
Biaya perpanjangan (administrasi)
TOTAL
: Rp.
500.000, -
: Rp. 4.500.000,-
Jadi Perkiraan Debitur mengembalikan sisa masa pembayaran ditambah dengan biayabiaya diatas sebesar Rp. 54.000.000, - dimasa akhir perpanjangan. 9. Bagaimana dengan pengalokasiaan dana ta’widh atau ganti rugi dalam bank syariah? Dalam pengalokasiannya dana tersebut masuk sebagai sumber dana pendapatan operasional 10. Apa keuntungan pihak bank syariah dengan dikeluarkannya fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/ VIII/ 2004 tentang Ta’widh (ganti rugi) dan PBI No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Perhimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah, yaitu berkenaan dengan pengaturan ganti kerugian (ta’widh)? murabahah; perpanjangan tidak boleh ada margin, oleh karena itu apabila ini (perpanjanga)
dilakukan maka ini merupakan peluang yang baik bagi bank syariah
dengan dikeluarkannya ta’widh, dimana nasabah harus mengganti kerugian atas dana yang sebesar yang dikeluarkan oleh bank.
Pewancara
Muis Hidayat
Diwancarai
Daftar Pertanyaan untuk DSN MUI, Mengenai analisa dikeluarkannya Fatwa DSN-MUI No. 34/DSN-MUI/ VIII/ 2004 Tentang Ta’widh (ganti Rugi). Tgl
: 4 Februari 2010
Tempat
: Gedung MUI lt.3
Nara Sumber : Bapak Kanny Hidayat (DSN-MUI)
1. DSN-MUI telah mengeluarkan fatwa No. 34/DSN-MUI/ VIII/ 2004 Tentang Ta’widh ( Ganti Rugi), Apa yang melatar belakangi lahirnya fatwa tersebut ? Awal dari akibat suatu denda yakni memberikan seuatu dendan atau ta’zir kepada nasabah yang tidak mau membayar pinjaman dan ditentukan. Tuk besarannya bisa dikenakan lebih besar agar jera. Dan dananya bukan buat bank tapi sebagai dana kebajikan. Dibolehkan denda sebesar-besarnya karena dana tersebut tuk sodaqoh dan kemaslahatan. Untuk ta’widh sendiri dimisalkan ketika melayani nasabah membutuhkan biaya transport, biaya telpon, dan lain-lain yang dikeluarkan secara riil tanpa ada tambahan. 2. Bagaimana Proses terbentuknya fatwa tersebut ? Karena bank merasa untuk melayani nasabah membutuhkan biaya tambahan. Bank tidak hanya mengeluarkan denda saja karena denda tersebut masuk ke dalam dana kebajikan bukan pendapatan. Dan untuk biaya tambahan diluar pinjaman, karena dikeluarkan sesuai kebutuhan riil sebagai pendapatan bank, maka diperlukan suatu fatwa yang mengatur tentang itu. 3. Apakah hukum Islam mengatur tentang proses ta’widh? Setiap dari tambahan dalam pinjaman akan menjadi bunga, tapi beda dengan ta’widh karena prosesnya bukan sebagai tambahan pinjaman. Ini di dasarkan kemaslahatan, karena atas biaya riil yang telah dikeluarkan bank.
4. Bagaimana dengan perhitungan ta’widh sendiri? Perhitungannya sesuai dengan pengeluaran yang riil. 5. Ada sumber mengatakan bahwa fatwa ini sempat tertunda lantaran para ulama dan pembuatan kebijakan di BI keberatan dengan klausul ta’widh. Bagaimana solusinya? Dalam proses ini tidak ada hambatan dan semuanya lancar sampai fatwa ini keluar. 6. Menurut anda, apa yang harus dilakukan oleh Bank Syariah dalam proses ta’widh ini? Harus biaya riil yang diganti, jangan ada tambahannya karena bisa masuk ke dalam riba. 7. Agar lebih jelas, bisa dijelaskan apa yang membedakan antara ta’widh, ta’zir dan ganti rugi? Ta’widh merupakan ganti rugi secara Islam karena tuk kemaslahatan dengan mengganti yakni biaya- biaya yang dikeluarkan secara riil tanpa ada tambahannya, seperti transport, telepon,dll. Ta’zir merupakan denda yang diberikan kepada nasabah atas kelalaiannya atau menunda membayar, dan dana tersebut masuk ke dalam dana kebajikan bank, bukan untuk bank. Untuk ganti rugi dalam konvensional, meraka tidak memikirkan akan dampak yang terjadi, terserah mau dikenakan berapa, tanpa harus membedakan antara riil atau denda lainnya(ta’widh atau ta’zir). Penanya
Penjawab
Muis Hidayat
Kanny Hidayat
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,
GUBERNUR BANK INDONESIA,
Menimbang: a.
bahwa untuk menghindari risiko kerugian, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah berkewajiban menjaga kualitas pembiayaannya;
b.
bahwa salah satu upaya untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah pembiayaan, Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dapat melakukan restrukturisasi pembiayaan atas nasabah yang memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar;
c.
bahwa restrukturisasi pembiayaan harus memperhatikan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian;
d.
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu diatur kembali ketentuan mengenai Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah dalam Peraturan Bank Indonesia.
Mengingat: 1.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867);
2.
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
(Lembaran ...
-2(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Negara Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);
MEMUTUSKAN: Menetapkan: PERATURAN BANK INDONESIA TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam Peraturan Bank Indonesia ini yang dimaksud dengan: 1. Bank adalah Bank Syariah dan Unit Usaha syariah. 2. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 3. Bank Umum Syariah, yang selanjutnya disebut BUS adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
4. Bank ...
-34. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah, yang selanjutnya disebut BPRS adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. 6. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa: a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; b. transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah bit tamlik; c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istishna’; d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan atau bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
7. Restrukturisasi ...
-47. Restrukturisasi Pembiayaan adalah upaya yang dilakukan Bank dalam rangka membantu nasabah agar dapat menyelesaikan kewajibannya, antara lain melalui: a. Penjadwalan kembali (rescheduling), yaitu perubahan jadwal pembayaran kewajiban nasabah atau jangka waktunya; b. Persyaratan kembali (reconditioning), yaitu perubahan sebagian atau seluruh persyaratan Pembiayaan, antara lain perubahan jadwal pembayaran, jumlah angsuran, jangka waktu dan/atau pemberian potongan sepanjang tidak menambah sisa kewajiban nasabah yang harus dibayarkan kepada Bank; c. Penataan kembali (restructuring), yaitu perubahan persyaratan Pembiayaan tidak terbatas pada rescheduling atau reconditioning, antara lain meliputi: 1) penambahan dana fasilitas Pembiayaan Bank; 2) konversi akad Pembiayaan; 3) konversi
Pembiayaan
menjadi
surat
berharga
syariah
berjangka waktu menengah; 4) konversi Pembiayaan menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan nasabah. 8. Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah adalah surat bukti
investasi
berdasarkan
prinsip
syariah
yang
lazim
diperdagangkan di pasar uang dan/atau pasar modal berjangka waktu 3 (tiga) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan menggunakan akad mudharabah atau musyarakah . 9. Penyertaan Modal Sementara adalah penyertaan modal BUS atau UUS, antara lain berupa pembelian saham dan/atau konversi Pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan nasabah untuk
mengatasi ...
-5mengatasi kegagalan penyaluran dana dan/atau piutang dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pasal 2 (1) Bank dapat melaksanakan Restrukturisasi Pembiayaan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian. (2) Bank wajib menjaga dan mengambil langkah-langkah agar kualitas Pembiayaan setelah direstrukturisasi dalam keadaan Lancar.
BAB II RESTRUKTURISASI
Pasal 3 Bank dilarang melakukan Restrukturisasi Pembiayaan dengan tujuan untuk menghindari: a. penurunan penggolongan kualitas Pembiayaan; b. pembentukan penyisihan penghapusan aktiva (PPA) yang lebih besar; atau c. penghentian pengakuan pendapatan margin atau ujrah secara akrual.
Pasal 4 Restrukturisasi
Pembiayaan
hanya
dapat
dilakukan
atas
dasar
permohonan secara tertulis dari nasabah.
Pasal 5 ...
-6Pasal 5 (1) Restrukturisasi Pembiayaan hanya dapat dilakukan untuk nasabah yang memenuhi kriteria sebagai berikut: a. nasabah mengalami penurunan kemampuan pembayaran; dan b. nasabah memiliki prospek usaha yang baik dan mampu memenuhi kewajiban setelah restrukturisasi. (2) Restrukturisasi
Pembiayaan
hanya
dapat
dilakukan
untuk
Pembiayaan dengan kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet. (3) Restrukturisasi Pembiayaan wajib didukung dengan analisis dan bukti-bukti yang memadai serta terdokumentasi dengan baik.
Pasal 6 (1) Restrukturisasi Pembiayaan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu akad Pembiayaan awal. (2) Restrukturisasi Pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan paling cepat
6
(enam)
bulan
setelah
Restrukturisasi
Pembiayaan
sebelumnya.
Pasal 7 Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang memiliki beberapa fasilitas Pembiayaan dari Bank, dapat dilakukan terhadap masing-masing Pembiayaan.
BAB III ...
-7BAB III PERLAKUAN AKUNTANSI
Pasal 8 Dalam
pelaksanaan
Restrukturisasi
Pembiayaan,
Bank
wajib
menerapkan perlakuan akuntansi sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia yang berlaku.
BAB IV PRINSIP SYARIAH
Pasal 9 Restrukturisasi Pembiayaan dilaksanakan dengan memperhatikan fatwa Majelis Ulama Indonesia yang berlaku.
BAB V KEBIJAKAN DAN PROSEDUR
Pasal 10 (1) Bank wajib memiliki kebijakan dan Standard Operating Procedure tertulis mengenai Restrukturisasi Pembiayaan. (2) Kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disetujui oleh Komisaris. (3) Standard
Operating
Procedure
Restrukturisasi
Pembiayaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dikinikan dan disetujui oleh Direksi dan Dewan Pengawas Syariah.
(4) Pelaksanaan ...
-8(4) Pelaksanaan kebijakan Restrukturisasi Pembiayaan wajib diawasi secara aktif oleh Komisaris. (5) Kebijakan
dan
Standard
Operating
Procedure
Restrukturisasi
Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. BAB VI PENETAPAN KUALITAS PEMBIAYAAN
Pasal 11 (1) Kualitas Pembiayaan setelah dilakukan restrukturisasi ditetapkan sebagai berikut: a. paling tinggi Kurang Lancar untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Diragukan atau Macet; b. kualitas Pembiayaan tidak berubah untuk Pembiayaan yang sebelum dilakukan restrukturisasi tergolong Kurang Lancar. (2) Kualitas Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat: a. menjadi Lancar, apabila tidak terdapat tunggakan selama 3 (tiga) kali periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/fee/ujrah secara berturut-turut sesuai dengan perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan; atau b. menjadi sama dengan kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan atau menjadi lebih buruk, jika nasabah tidak memenuhi kriteria dan/atau syarat-syarat dalam perjanjian Restrukturisasi Pembiayaan dan/atau pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan tidak didukung dengan analisis dan dokumentasi yang memadai;
(3) Dalam ...
-9(3) Dalam hal periode pembayaran angsuran pokok dan/atau margin/bagi hasil/fee/ujrah kurang dari 1 (satu) bulan, peningkatan kualitas menjadi Lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan paling cepat dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan; (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga untuk Restrukturisasi Pembiayaan yang kedua dan ketiga.
Pasal 12 Pembiayaan yang direstrukturisasi lebih dari 3 (tiga) kali, digolongkan Macet sampai dengan Pembiayaan lunas. Pasal 13 Pembiayaan yang direstrukturisasi dengan pemberian tenggang waktu pembayaran (grace period) ditetapkan memiliki kualitas sebagai berikut: a. selama grace period, kualitas mengikuti kualitas Pembiayaan sebelum dilakukan restrukturisasi; dan b. setelah grace period berakhir, kualitas Pembiayaan mengikuti penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.
Pasal 14 (1) Untuk
BUS
dan
UUS,
kualitas
Pembiayaan
yang
telah
direstrukturisasi wajib dinilai berdasarkan prospek usaha, kinerja (performance) nasabah dan/atau kemampuan membayar, sesuai dengan penggolongan nasabah, setelah 1 (satu) tahun sejak penetapan kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1);
(2) Untuk ...
-10(2) Untuk BPRS, kualitas Pembiayaan yang telah direstrukturisasi wajib dinilai berdasarkan ketepatan dan/atau kemampuan membayar kewajiban nasabah.
BAB VII TATACARA RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 15 (1) Pembiayaan dalam bentuk piutang murabahah atau piutang istishna’ dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); b. persyaratan kembali (reconditioning); dan c. penataan kembali (restructuring). (2) Pembiayaan dalam bentuk piutang qardh dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); dan b. persyaratan kembali (reconditioning). (3) Pembiayaan dalam bentuk mudharabah atau musyarakah dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); b. persyaratan kembali (reconditioning); dan c. penataan kembali (restructuring). (4) Pembiayaan dalam bentuk ijarah atau ijarah muntahiyyah bittamlik dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); b. persyaratan kembali (reconditioning); dan c. penataan kembali (restructuring). (5) Pembiayaan ...
-11(5) Pembiayaan multijasa dalam bentuk ijarah dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); dan b. persyaratan kembali (reconditioning). (6) Pembiayaan dalam bentuk piutang salam dapat direstrukturisasi dengan cara: a. penjadualan kembali (rescheduling); b. persyaratan kembali (reconditioning); dan c. penataan kembali (restructuring). (7) Tata cara Restrukturisasi Pembiayaan akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia. Pasal 16 Restrukturisasi
Pembiayaan
dengan
cara
penataan
kembali
(restructuring) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dalam bentuk konversi Pembiayaan menjadi Surat Berharga Syariah Berjangka Waktu Menengah dan Penyertaan Modal Sementara tidak berlaku bagi BPRS.
Pasal 17 (1) Bank wajib melepaskan Penyertaan Modal Sementara apabila: a. telah sampai jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun; atau b. perusahaan nasabah tempat Penyertaan Modal Sementara telah memperoleh laba kumulatif. (2) Bank wajib menghapus buku Penyertaan Modal Sementara apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun.
BAB VIII ...
-12BAB VIII LAPORAN RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN
Pasal 18 Bank wajib melaporkan Restrukturisasi Pembiayaan kepada Bank Indonesia.
Pasal 19 Pelaporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 bagi BUS dan UUS mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Laporan Berkala Bank Umum.
Pasal 20 (1) Laporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, untuk BPRS wajib disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 14 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. (2) BPRS dinyatakan terlambat menyampaikan laporan apabila BPRS menyampaikan laporan melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan tanggal 21 pada bulan berikutnya setelah berakhirnya bulan laporan. (3) BPRS dinyatakan tidak menyampaikan laporan apabila BPRS belum menyampaikan laporan sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2). (4) Dalam hal tanggal berakhirnya penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) jatuh pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur maka laporan disampaikan pada hari kerja berikutnya.
(5) Pelaporan ...
-13(5) Pelaporan Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
BAB IX SANKSI
Pasal 21 Bank yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 ayat (1) sampai dengan ayat (4), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 18 dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) Undang– Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Pasal 22 (1) BPRS yang terlambat menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) per hari keterlambatan dan paling banyak seluruhnya sebesar Rp700.000,00 (tujuh ratus ribu rupiah). (2) BPRS yang tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dikenakan sanksi berupa denda uang sebesar paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 23 Pengenaan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan Pasal 12, tidak mengurangi pengenaan sanksi dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai Laporan Bulanan Bank Umum Syariah dan Laporan Bulanan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Pasal 24 ...
-14Pasal 24 Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) tidak mengurangi
kewajiban
Bank
untuk
menyampaikan
Laporan
Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18.
BAB X KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25 Restrukturisasi Pembiayaan yang telah dilakukan Bank sebelum berlakunya ketentuan ini tidak dihitung sebagai Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB XI KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26 Dengan dikeluarkan Peraturan Bank Indonesia ini maka: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit; b. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/15/PBI/2000 tanggal 12 Juni 2000 tentang Perubahan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit; c. Pasal 47 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum Yang
Melaksanakan ...
-15Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah; d. Pasal 46 dan Pasal 46A Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/9/PBI/2007 tanggal 18 Juni 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank
Umum
Yang
Melaksanakan
Kegiatan
Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah; e. Pasal 23 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tanggal 5 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 27 Ketentuan pelaksanaan tentang Restrukturisasi Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini akan diatur lebih lanjut dengan Surat Edaran Bank Indonesia.
Pasal 28 ...
-16Pasal 28 Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bank Indonesia ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta Tanggal 25 September 2008
GUBERNUR BANK INDONESIA,
BOEDIONO Diundangkan di Jakarta undangkan di Jakarta Padatanggal tanggall 25 Sep. September 2008 08 Pada MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA ANDI MATTALATTA
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 138......... DPbS
-17-
PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR 10/18/PBI/2008 TENTANG RESTRUKTURISASI PEMBIAYAAN BAGI BANK SYARIAH DAN UNIT USAHA SYARIAH
I. UMUM Dalam rangka memelihara kesinambungan usahanya, Bank harus mengelola risiko kredit dari aktivitas Pembiayaan (credit risk), sehingga dapat meminimalkan potensi kerugian yang akan terjadi. Penurunan kegiatan usaha dan/atau kemampuan pembayaran nasabah dapat
mempengaruhi kelancaran pemenuhan kewajiban
nasabah yang pada akhirnya akan meningkatkan risiko kredit bagi Bank. Untuk menurunkan risiko kredit dalam aktivitas Pembiayaan, Bank dapat melakukan langkah-langkah antisipatif untuk menjaga kelangsungan usaha nasabah pembiayaan.
Langkah-langkah
tersebut
antara
lain
dengan
melakukan
Restrukturisasi Pembiayaan terhadap nasabah yang masih memiliki prospek usaha dan/atau kemampuan membayar. Kebutuhan dan penggunaan dana nasabah pada prinsipnya berbeda-beda sehingga Bank menyediakan fasilitas Pembiayaan kepada nasabah dalam beragam akad yang sesuai dengan prinsip syariah. Masing-masing akad Pembiayaan memiliki karakteristik khusus yang harus dipertimbangkan Bank dalam pengelolaan Pembiayaan. Pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan pada Bank selain memperhatikan prinsip
syariah
juga
harus
memenuhi
prinsip
kehati-hatian.
Ketentuan
Restrukturisasi Pembiayaan yang berlaku saat ini belum sepenuhnya memenuhi
kebutuhan ...
-2kebutuhan Bank. Oleh karena itu, diperlukan suatu ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan Restrukturisasi Pembiayaan bagi Bank.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 9 Cukup Jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5 Ayat (1) Restrukturisasi Pembiayaan untuk nasabah Pembiayaan non produktif antara lain didasarkan pada ada tidaknya sumber pembayaran angsuran yang jelas dari nasabah setelah dilakukan restrukturisasi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “bukti-bukti yang memadai” antara lain adalah adanya laporan keuangan nasabah yang menunjukkan perbaikan
kinerja ...
-3kinerja perusahaan, adanya kontrak kerja yang diperoleh nasabah atau adanya sumber pembayaran lain yang jelas.
Pasal 6 Ayat (1) Pembatasan frekuensi restrukturisasi dimaksudkan agar Bank tidak melakukan restrukturisasi dalam rangka menghindari penurunan penggolongan kualitas Pembiayaan. Yang dimaksud dengan “jangka waktu akad Pembiayaan awal” adalah jangka waktu yang disepakati oleh Bank dan nasabah dalam akad Pembiayaan sebelum dilakukan restrukturisasi. Contoh : Bank dan nasabah pada tanggal 1 September 2008 melakukan akad Pembiayaan dengan jangka waktu selama 3 (tiga) tahun. Pada tanggal 1 September 2009, Bank melakukan Restrukturisasi Pembiayaan pertama dengan cara memperpanjang jangka waktu menjadi 5 (lima) tahun. Restrukturisasi Pembiayaan kedua dan ketiga dapat dilakukan paling lambat pada tanggal 1 September 2011. Ayat (2) Contoh : Berdasarkan contoh pada ayat (1), Restukturisasi Pembiayaan kedua paling cepat dilakukan pada tanggal 1 Maret 2010 dan apabila dilakukan Restrukturisasi Pembiayaan ketiga maka Restrukturisasi Pembiayaan paling cepat dilakukan pada tanggal 1 September 2010.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 8 ...
-4Pasal 8 Cukup Jelas.
Pasal 9 Yang dimaksud dengan “fatwa Majelis Ulama Indonesia” adalah fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia.
Pasal 10 Ayat (1) Kebijakan
dan
Standard
Operating
Procedure
Restrukturisasi
Pembiayaan merupakan bagian dari kebijakan manajemen risiko Bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Pokok-pokok yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain satuan kerja atau petugas khusus Restrukturisasi Pembiayaan, limit wewenang memutus Restrukturisasi Pembiayaan, dan sistem informasi manajemen Restrukturisasi Pembiayaan. Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 ...
-5Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Yang dimaksud dengan “grace period” adalah masa tenggang yang diberikan Bank kepada nasabah untuk tidak melakukan pembayaran angsuran pokok dan margin untuk akad Murabahah atau Istishna’ atau angsuran Ijarah untuk akad Ijarah dan Ijarah Muntahiyyah Bittamlik.
Pasal 14 Ayat (1) Yang
dimaksud
dengan
“penggolongan
nasabah”
adalah
pengelompokkan nasabah yang didasarkan pada: a. besar kecilnya jumlah penyediaan dana yang diberikan oleh Bank kepada nasabah, b. Usaha Kecil dan Menengah dengan mempertimbangkan Sistem Pengendalian Risiko, Kondisi Tingkat Kesehatan dan Rasio Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum Bank. Ayat (2) Kualitas Pembiayaan bagi BPRS dinilai berdasarkan ketepatan dan/atau kemampuan membayar kewajiban nasabah.
Pasal 15 Cukup Jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 ...
-6Pasal 17 Pelepasan Penyertaan Modal Sementara pada prinsipnya harus segera dilakukan walaupun belum mencapai 5 (lima) tahun.
Pasal 18 Cukup Jelas.
Pasal 19 Cukup Jelas.
Pasal 20 Ayat (1) Cukup Jelas. Ayat (2) Cukup Jelas. Ayat (3) Cukup Jelas. Ayat (4) Cukup Jelas. Ayat (5) Hal-hal yang diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia antara lain format laporan dan tata cara pelaporan.
Pasal 21 Cukup Jelas.
Pasal 22 ...
-7Pasal 22 Cukup Jelas.
Pasal 23 Cukup Jelas.
Pasal 24 Cukup Jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4898
PERATURAN BANK INDONESIA NOMOR: 7/46/PBI/2005 TENTANG AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH GUBERNUR BANK INDONESIA, Menimbang:
a. bahwa
perbankan
syariah
harus
senantiasa
menjaga
kepercayaan masyarakat baik dari aspek finansial maupun kesesuaian terhadap prinsip syariah yang menjadi dasar operasinya; b. bahwa setiap pelaku dalam industri perbankan syariah, termasuk pengelola bank/pemilik dana/pengguna dana, serta otoritas pengawas harus memiliki kesamaan cara pandang terhadap Akad-Akad produk penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
dan b dipandang perlu untuk menetapkan
ketentuan tentang Akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dalam Peraturan Bank Indonesia; Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31,
Tambahan …
-2-
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); 2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357); MEMUTUSKAN: Menetapkan:
PERATURAN
BANK
PENGHIMPUNAN BANK
YANG
INDONESIA
DAN
TENTANG
PENYALURAN
MELAKSANAKAN
DANA
KEGIATAN
AKAD BAGI USAHA
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Yang dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia ini dengan:
1. Bank …
-3-
1.
Bank adalah Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah.
2.
Prinsip Syariah adalah prinsip syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998;
3.
Akad adalah perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) antara Bank dengan pihak lain yang berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan prinsip Syariah;
4.
Wadi’ah adalah penitipan dana atau barang dari pemilik dana atau barang pada penyimpan dana atau barang dengan kewajiban pihak yang menerima titipan untuk mengembalikan dana atau barang titipan sewaktu-waktu.
5.
Mudharabah adalah penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, dengan pembagian menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing) antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
6.
Musyarakah adalah penanaman dana dari
pemilik dana/modal untuk
mencampurkan dana/modal mereka pada suatu usaha tertentu, dengan pembagian
keuntungan
berdasarkan
nisbah
yang
telah
disepakati
sebelumnya, sedangkan kerugian ditanggung semua pemilik dana/ modal berdasarkan bagian dana/ modal masing-masing.
7. Murabahah …
-4-
7.
Murabahah adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati.
8.
Salam adalah jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh.
9.
Istishna' adalah jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan.
10. Ijarah adalah transaksi sewa menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa; 11. Qardh adalah pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu. Pasal 2 (1) Dalam melaksanakan kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana Bank wajib membuat Akad sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia ini. (2) Dalam Akad sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib ditegaskan jenis transaksi syariah yang digunakan. (3) Transaksi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh mengandung unsur gharar, maysir, riba, zalim,
risywah,
barang
haram
dan maksiat.
BAB II …
-5-
BAB II PERSYARATAN AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA Bagian Pertama Penghimpunan Dana Pasal 3 Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk giro atau tabungan berdasarkan Wadi'ah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a.
Bank bertindak sebagai penerima dana titipan dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana titipan;
b.
dana titipan disetor penuh kepada Bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal;
c.
dana titipan dapat diambil setiap saat;
d.
tidak diperbolehkan menjanjikan pemberian imbalan atau bonus kepada nasabah;
e.
Bank menjamin pengembalian dana titipan nasabah. Pasal 4
Dalam
kegiatan
penghimpunan
dana dalam bentuk giro berdasarkan
Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a.
nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) dan Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib);
b.
Bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya melakukan Akad Mudharabah dengan pihak lain; c. modal …
-6-
c.
modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang, serta dinyatakan jumlah nominalnya;
d.
nasabah wajib memelihara saldo giro minimum yang ditetapkan oleh Bank dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening;
e.
pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam Akad pembukaan rekening.
f.
pemberian keuntungan untuk nasabah didasarkan pada saldo terendah setiap akhir bulan laporan.
g.
Bank menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya; dan
h.
Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan. Pasal 5
Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk tabungan atau deposito berdasarkan Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a.
Bank bertindak sebagai pengelola dana dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana;
b.
dana disetor penuh kepada Bank dan dinyatakan dalam jumlah nominal;
c.
pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana investasi dinyatakan dalam bentuk nisbah;
d.
pada Akad tabungan berdasarkan Mudharabah, nasabah wajib menginvestasikan minimum dana tertentu yang jumlahnya ditetapkan oleh Bank dan tidak dapat ditarik oleh nasabah kecuali dalam rangka penutupan rekening; e. nasabah …
-7-
e.
nasabah tidak diperbolehkan menarik dana di luar kesepakatan;
f.
Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan atau deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya;
g.
Bank tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan nasabah tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan; dan
h.
Bank
tidak menjamin dana nasabah, kecuali diatur berbeda dalam
perundang-undangan yang berlaku. Bagian Kedua Penyaluran Dana Paragraf 1 Penyaluran Dana Berdasarkan Mudharabah dan Musyarakah Pasal 6 Dalam kegiatan penyaluran dana dalam
bentuk pembiayaan berdasarkan
Mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a.
Bank bertindak sebagai shahibul maal yang menyediakan dana secara penuh, dan nasabah bertindak sebagai mudharib yang mengelola dana dalam kegiatan usaha;
b.
jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah;
c.
Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
d.
pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e.
dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai harus dinyatakan jumlahnya;
f.
dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan …
-8-
diserahkan harus dinilai berdasarkan harga perolehan atau harga pasar wajar; g.
pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
h.
Bank menanggung seluruh risiko kerugian usaha yang dibiayai kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha;
i.
nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
j.
nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
k.
pembagian keuntungan dilakukan dengan menggunakan metode bagi untung dan rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
l.
pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha dari mudharib sesuai dengan laporan hasil usaha dari usaha mudharib;
m.
dalam hal nasabah ikut menyertakan modal dalam kegiatan usaha yang dibiayai Bank, maka berlaku ketentuan; (i)
nasabah bertindak sebagai mitra usaha dan mudharib;
(ii) atas keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan usaha yang dibiayai tersebut, maka nasabah mengambil bagian keuntungan dari porsi modalnya, sisa keuntungan dibagi sesuai kesepakatan antara Bank dan nasabah; n.
pengembalian pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad untuk pembiayaan dengan jangka waktu sampai dengan satu tahun atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha nasabah; dan …
-9-
dan o.
Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan/atau kecurangan. Pasal 7
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Mudharabah muqayyadah (restricted investment) berlaku
persyaratan paling
kurang sebagai berikut: a.
Bank bertindak sebagai agen penyalur dana investor (channelling agent) kepada nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan usaha dengan persyaratan dan jenis kegiatan usaha yang ditentukan oleh investor;
b.
jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara investor, nasabah dan Bank;
c.
Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
d.
pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e.
dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai dengan harga perolehan atau harga pasar;
f.
Bank sebagai agen penyaluran dana dapat menerima fee (imbalan) yang perhitungannya diserahkan kepada kesepakatan para pihak;
g.
pembagian keuntungan dari pengelolaaan dana investasi dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati antara investor dan nasabah;
h.
Bank sebagai agen penyaluran dana milik investor tidak menanggung risiko kerugian usaha yang dibiayai; dan
i. investor …
- 10 -
i.
investor sebagai pemilik dana Mudharabah muqayyadah menanggung seluruh risiko kerugian kegiatan usaha kecuali jika nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian yang mengakibatkan kerugian usaha. Pasal 8
Dalam kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Musyarakah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a.
Bank dan nasabah masing-masing bertindak sebagai mitra usaha dengan bersama-sama menyediakan dana dan/atau barang untuk membiayai suatu kegiatan usaha tertentu;
b.
nasabah bertindak sebagai pengelola usaha dan Bank sebagai mitra usaha dapat ikut serta dalam pengelolaan usaha sesuai dengan tugas dan wewenang yang disepakati;
c.
Bank berdasarkan kesepakatan dengan nasabah dapat menunjuk nasabah untuk mengelola usaha;
d.
pembiayaan diberikan dalam bentuk tunai dan/atau barang;
e.
dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang diserahkan harus dinilai secara tunai berdasarkan kesepakatan;
f.
jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan antara Bank dan nasabah;
g.
biaya operasional dibebankan pada modal bersama sesuai kesepakatan;
h.
pembagian keuntungan dari pengelolaan dana dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
i.
Bank dan nasabah menanggung kerugian secara proporsional menurut porsi modal …
- 11 -
modal masing-masing, kecuali jika terjadi kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian dari salah satu pihak; j.
nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kecuali atas dasar kesepakatan para pihak dan tidak berlaku surut;
k.
nisbah bagi hasil dapat ditetapkan secara berjenjang (tiering) yang besarnya berbeda-beda berdasarkan kesepakatan pada awal Akad;
l.
pembagian keuntungan dapat dilakukan dengan metode bagi untung atau rugi (profit and loss sharing) atau metode bagi pendapatan (revenue sharing);
m.
pembagian keuntungan berdasarkan hasil usaha sesuai dengan laporan keuangan nasabah;
n.
pengembalian pokok pembiayaan dilakukan pada akhir periode Akad atau dilakukan secara angsuran berdasarkan aliran kas masuk (cash in flow) usaha; dan
o.
Bank dapat meminta jaminan atau agunan untuk mengantisipasi risiko apabila nasabah tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana dimuat dalam Akad karena kelalaian dan atau kecurangan. Paragraf 2 Penyaluran Dana Berdasarkan Murabahah, Salam dan Istishna’ Pasal 9
(1) Kegiatan
penyaluran
dana
dalam
bentuk
pembiayaan
berdasarkan
Murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a.
Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual beli barang.
b.
jangka waktu pembayaran harga barang oleh nasabah kepada Bank
ditentukan …
- 12 -
ditentukan berdasarkan kesepakatan Bank dan nasabah; c.
Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
d.
dalam hal Bank mewakilkan kepada nasabah (wakalah) untuk membeli barang, maka Akad Murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik Bank;
e.
Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan barang oleh nasabah;
f.
Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain barang yang dibiayai Bank;
g.
kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal Akad dan tidak berubah selama periode Akad;
h.
Angsuran pembiayaan selama periode Akad harus dilakukan secara proporsional.
(2) Dalam hal Bank meminta nasabah untuk membayar uang muka atau urbun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e maka berlaku ketentuan sebagai berikut : a.
dalam hal uang muka, jika nasabah menolak untuk membeli barang setelah membayar uang muka, maka biaya riil Bank harus dibayar dari uang muka tersebut dan bank harus mengembalikan kelebihan uang muka kepada nasabah. Namun jika nilai uang muka kurang dari nilai kerugian yang harus ditanggung oleh Bank, maka Bank dapat meminta lagi pembayaran sisa kerugiannya kepada nasabah;
b.
dalam hal urbun, jika nasabah batal membeli barang, maka urbun yang telah dibayarkan nasabah menjadi milik Bank
maksimal sebesar kerugian …
- 13 -
kerugian yang ditanggung oleh Bank akibat pembatalan tersebut, dan jika urbun tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya. Pasal 10 (1) Dalam pembiayaan Murabahah Bank dapat memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran hanya kepada nasabah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan/atau nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran. (2) Besar potongan Murabahah kepada nasabah tidak boleh diperjanjikan dalam Akad dan diserahkan kepada kebijakan Bank. Pasal 11 (1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Salam berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut: a.
Bank membeli barang dari nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
b.
pembayaran harga oleh Bank kepada nasabah harus dilakukan secara penuh pada saat Akad disepakati;
c.
pembayaran oleh Bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan kewajiban nasabah kepada Bank ;
d.
alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan kesepakatan;
e.
Bank sebagai pembeli tidak boleh menjual barang yang belum diterima;
f.
dalam rangka meyakinkan bahwa penjual dapat menyerahkan barang sesuai kesepakatan maka Bank dapat meminta jaminan pihak ketiga sesuai …
- 14 -
sesuai ketentuan yang berlaku; dan g.
Bank hanya dapat memperoleh keuntungan atau kerugian pada saat barang yang dibeli Bank telah dijual kepada pihak lain, kecuali terdapat perubahan harga pasar terhadap harga perolehan, sebelum barang dijual kepada pihak lain.
(2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka Bank memiliki pilihan untuk : a.
membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana hak Bank;
b.
menunggu penyerahan barang tersedia; atau
c.
meminta kepada nasabah untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang pesanan semula;
(3) dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang lebih tinggi maka nasabah tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali terdapat kesepakatan antara Bank dengan nasabah; (4) dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang lebih rendah dan Bank dengan sukarela menerimanya, maka tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount). Pasal 12 (1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Salam paralel berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a.
Bank sebagai pembeli dalam Akad Salam dapat membuat Akad Salam
paralel …
- 15 -
paralel dengan pihak lainnya dimana Bank bertindak sebagai penjual; b.
kewajiban dan hak dalam kedua Akad Salam tersebut harus terpisah;
c.
Pelaksanaan kewajiban salah satu Akad Salam tidak boleh tergantung pada Akad Salam lainnya;
d.
Bank yang bertindak sebagai penjual dalam Akad Salam paralel harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam Akad Salam tidak memenuhi Akad Salam;
e.
Bank menjual barang kepada nasabah pemesan dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
f.
pembayaran harga oleh nasabah kepada Bank dilakukan secara penuh pada saat Akad disepakati;
g.
dalam hal pembayaran harga oleh nasabah kepada Bank dilakukan secara angsuran maka wajib dilakukan dengan Akad Murabahah;
h.
pembayaran oleh nasabah kepada Bank tidak boleh dalam bentuk pembebasan kewajiban Bank kepada nasabah;
i.
alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan kesepakatan;
j.
nasabah sebagai pembeli tidak boleh menjual barang yang belum diterima;
k.
dalam rangka meyakinkan Bank dapat menyerahkan barang sesuai kesepakatan, maka nasabah dapat meminta jaminan pihak ketiga sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka nasabah memiliki pilihan untuk:
a. membatalkan …
- 16 -
a.
membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana hak nasabah;
b.
menunggu penyerahan barang tersedia; atau
c.
meminta kepada Bank untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang pesanan semula;
(3) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang lebih tinggi maka Bank tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali terdapat kesepakatan antara Bank dengan nasabah; (4) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang lebih rendah dan nasabah dengan sukarela menerimanya, maka tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount). Pasal 13 (1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Istishna' berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a.
Bank menjual barang kepada nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
b.
pembayaran oleh nasabah kepada Bank tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang nasabah kepada Bank;
c.
alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan kesepakatan;
d.
pembayaran oleh nasabah selaku pembeli kepada Bank dilakukan secara bertahap atau sesuai kesepakatan;
(2) Dalam hal seluruh atau sebagian barang tidak tersedia sesuai dengan waktu
penyerahan …
- 17 -
penyerahan, kualitas atau jumlahnya sebagaimana kesepakatan maka nasabah memiliki pilihan untuk: a.
membatalkan (mem-fasakh-kan) Akad dan meminta pengembalian dana kepada Bank;
b.
menunggu penyerahan barang tersedia; atau
c.
meminta kepada Bank untuk mengganti dengan barang lainnya yang sejenis atau tidak sejenis sepanjang nilai pasarnya sama dengan barang pesanan semula;
(3) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang lebih tinggi maka Bank tidak boleh meminta tambahan harga, kecuali terdapat kesepakatan antara nasabah dengan Bank; (4) Dalam hal Bank menyerahkan barang kepada nasabah dengan kualitas yang lebih rendah dan nasabah dengan sukarela menerimanya, maka nasabah tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount). Pasal 14 (1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Istishna' paralel berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a.
Bank sebagai penjual dalam Akad Istishna’ dapat membuat Akad Istishna' paralel dengan pihak lainnya dimana Bank bertindak sebagai pembeli;
b.
kewajiban dan hak dalam kedua Akad Istishna’ tersebut harus terpisah;
c.
pelaksanaan kewajiban salah satu Akad Istishna’ tidak boleh tergantung pada Akad Istishna’ paralel atau sebaliknya;
d.
dalam hal Bank yang bertindak sebagai pembeli dalam Akad Istishna'
paralel …
- 18 -
paralel harus memenuhi kewajibannya kepada pihak lainnya apabila nasabah dalam Akad Istishna’ tidak memenuhi Akad Istishna’; e.
Dalam hal pembayaran dilakukan secara angsuran, harus dilakukan secara proporsional.
(2) Ketentuan Istishna’ berlaku pula pada Istishna’ Paralel sebagai berikut : a.
Bank membeli barang dari nasabah dengan spesifikasi, kualitas, jumlah, jangka waktu, tempat, dan harga yang disepakati;
b.
pembayaran oleh Bank kepada
nasabah tidak boleh dalam bentuk
pembebasan hutang nasabah kepada Bank; c.
alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya sesuai dengan kesepakatan;
d.
pembayaran oleh Bank selaku pembeli kepada nasabah dilakukan secara bertahap atau sesuai kesepakatan;
e.
dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang lebih tinggi maka nasabah tidak boleh meminta tambahan harga;
f.
dalam hal nasabah menyerahkan barang kepada Bank dengan kualitas yang lebih rendah dan Bank dengan sukarela menerimanya, maka Bank tidak boleh menuntut pengurangan harga (discount). Paragraf 3 Penyaluran dana berdasarkan Akad Ijarah, Ijarah muntahiya bitamlik dan Qardh Pasal 15
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Ijarah untuk transaksi sewa menyewa berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a. Bank …
- 19 -
a.
Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang telah dimiliki Bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
b.
objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk pembayaran sewa dan jangka waktunya;
c.
Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang sewa sesuai kesepakatan;
d.
Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa yang sifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan;
e.
Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan disewa oleh nasabah;
f.
nasabah wajib membayar sewa secara tunai, menjaga keutuhan barang sewa, dan
menanggung
biaya
pemeliharaan
barang
sewa
sesuai
dengan
kesepakatan; g.
nasabah tidak bertanggungjawab atas kerusakan barang sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah ; Pasal 16
(1) Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk Pembiayaan berdasarkan Ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) berlaku
persyaratan paling kurang sebagai
berikut : a.
IMBT harus disepakati ketika Akad Ijarah ditandatangani dan kesepakatan tersebut wajib dituangkan dalam Akad Ijarah dimaksud; b. pelaksanaan …
- 20 -
b.
pelaksanaan IMBT hanya dapat dilakukan setelah Akad Ijarah dipenuhi;
c.
Bank wajib mengalihkan kepemilikan barang sewa kepada nasabah berdasarkan hibah, pada akhir periode perjanjian sewa;
d.
pengalihan kepemilikan barang sewa kepada penyewa dituangkan dalam Akad tersendiri setelah masa Ijarah selesai;
(2) Ketentuan Ijarah berlaku pula pada Akad IMBT sebagai berikut : a.
Bank dapat membiayai pengadaan objek sewa berupa barang yang telah dimiliki Bank atau barang yang diperoleh dengan menyewa dari pihak lain untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
b.
objek dan manfaat barang sewa harus dapat dinilai dan diidentifikasi secara spesifik dan dinyatakan dengan jelas termasuk pembayaran sewa dan jangka waktunya;
c.
Bank wajib menyediakan barang sewa, menjamin pemenuhan kualitas maupun kuantitas barang sewa serta ketepatan waktu penyediaan barang sewa sesuai kesepakatan;
d.
Bank wajib menanggung biaya pemeliharaan barang/aset sewa yang sifatnya materiil dan struktural sesuai kesepakatan;
e.
Bank dapat mewakilkan kepada nasabah untuk mencarikan barang yang akan disewa oleh nasabah;
f.
nasabah wajib membayar sewa secara tunai dan menjaga keutuhan barang sewa, dan menanggung biaya pemeliharaan barang sewa sesuai dengan kesepakatan;
g.
nasabah tidak bertanggung jawab atas kerusakan barang sewa yang terjadi bukan karena pelanggaran perjanjian atau kelalaian nasabah;
Pasal 17 …
- 21 -
Pasal 17 Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan Ijarah untuk transaksi multijasa berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a.
Bank dapat menggunakan Akad Ijarah untuk transaksi multijasa dalam jasa keuangan antara lain dalam bentuk pelayanan pendidikan, kesehatan, ketenaga kerjaan dan kepariwisataan;
b.
dalam pembiayaan kepada nasabah yang menggunakan Akad Ijarah untuk transaksi multijasa, Bank dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee;
c.
besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase. Pasal 18
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pinjaman dana berdasarkan Qardh berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut : a.
Bank dapat memberikan pinjaman Qardh untuk kepentingan nasabah berdasarkan kesepakatan;
b.
nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok pinjaman Qardh yang diterima pada waktu yang telah disepakati;
c.
Bank dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi sehubungan dengan pemberian pinjaman Qardh;
d.
nasabah dapat memberikan tambahan/sumbangan dengan sukarela kepada Bank selama tidak diperjanjikan dalam Akad;
e.
dalam hal nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati karena nasabah tidak mampu, maka Bank dapat memperpanjang jangka waktu pengembalian atau menghapus …
- 22 -
menghapus buku sebagian atau seluruh pinjaman nasabah atas beban kerugian Bank; f.
dalam hal nasabah digolongkan mampu dan tidak mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Bank dapat
menjatuhkan
sanksi
kewajiban
pembayaran
atas
kelambatan
pembayaran atau menjual agunan nasabah untuk menutup kewajiban pinjaman nasabah; g.
sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat sosial dapat berasal dari modal, keuntungan yang disisihkan dan dari dana infak;
h.
sumber dana pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat talangan dana komersial jangka pendek (short term financing) diperbolehkan dari Dana Pihak Ketiga
yang bersifat investasi sepanjang tidak merugikan
kepentingan nasabah pemilik dana; Bagian Ketiga Ketentuan Ganti Rugi (Ta’widh) Pasal 19 Ketentuan Ganti Rugi (Ta'widh) dalam Pembiayaan: a.
Bank dapat mengenakan ganti rugi (ta`widh) hanya atas kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas kepada nasabah yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan Akad dan mengakibatkan kerugian pada Bank;
b.
Besar ganti rugi yang dapat diakui sebagai pendapatan Bank adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang berkaitan dengan upaya Bank untuk memperoleh pembayaran dari nasabah dan bukan kerugian yang
diperkirakan …
- 23 -
diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss/al-furshah al-dha-i’ah); c.
ganti rugi hanya boleh dikenakan pada Akad Ijarah dan Akad yang menimbulkan
utang
piutang
(dain),
seperti
Salam,
Istishna’
serta
Murabahah, yang pembayarannya dilakukan tidak secara tunai; d.
ganti rugi dalam Akad Mudharabah dan Musyarakah, hanya boleh dikenakan Bank sebagai shahibul maal apabila bagian keuntungan Bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah sebagai mudharib;
e.
klausul pengenaan ganti rugi harus ditetapkan secara jelas dalam Akad dan dipahami oleh nasabah; dan
f.
Besarnya ganti rugi atas kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Bank dengan nasabah. BAB III PENYELESAIAN SENGKETA BANK DAN NASABAH Pasal 20
(1) Dalam hal salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana diperjanjikan dalam Akad atau jika terjadi perselisihan di antara Bank dan Nasabah maka upaya penyelesaian dilakukan melalui musyawarah; (2) Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencapai kesepakatan, maka penyelesaian lebih lanjut dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa atau badan arbitrase Syariah;
BAB IV …
- 24 -
BAB IV SANKSI Pasal 21 (1) Bank yang tidak melaksanakan ketentuan dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 19 Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 berupa: a.
teguran tertulis;
b.
penurunan tingkat kesehatan; dan atau
c.
penggantian pengurus.
(2) Unit Usaha Syariah (UUS) yang tidak melaksanakan pengawasan terkait dengan pelaksanaan ketentuan dalam Pasal
2 sampai dengan Pasal 19
Peraturan Bank Indonesia ini dikenakan sanksi administratif berupa: a.
teguran tertulis; dan atau
b.
pencabutan izin usaha UUS. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 22
Akad-Akad Bank yang telah jatuh tempo dan akan diperpanjang wajib disesuaikan dengan Peraturan Bank Indonesia ini.
BAB VI …
- 25 -
BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 23 Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal : 14 November 2005 GUBERNUR BANK INDONESIA,
BURHANUDDIN ABDULLAH
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2005 NOMOR 124 DPbS
PENJELASAN ATAS PERATURAN BANK NDONESIA NOMOR: 7/46/PBI/2005 TENTANG AKAD PENGHIMPUNAN DAN PENYALURAN DANA BAGI BANK YANG MELAKSANAKAN KEGIATAN USAHA BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH UMUM Sejalan dengan perkembangan pesat
industri perbankan syariah
dimungkinkan pula adanya berbagai penafsiran dalam penyusunan Akad produk dan jasa bank syariah yang dapat menimbulkan iklim usaha yang kurang kondusif bagi bank syariah dan ketidak pastian bagi para pihak terkait dan stakeholders lainnya. Dengan demikian diperlukan pengaturan Akad penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah. Dengan adanya ketentuan tentang Akad penghimpunan dan penyaluran dana bank syariah akan memberikan manfaat kepada semua pihak yang berkepentingan yang pada gilirannya akan mewujudkan pengelolaan bank syariah yang sehat. Selain itu, kejelasan Akad akan membantu operasional bank sehingga menjadi lebih efisien dan meningkatkan kepastian hukum para pihak termasuk bagi pengawas dan auditor bank syariah. Ketentuan persyaratan minimum Akad ini disusun berpedoman kepada fatwa yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional dengan memberikan penjelasan …
-2-
penjelasan lebih rinci aspek teknis perbankan guna menyediakan landasan hukum yang cukup memadai bagi para pihak yang berkepentingan. Ketentuan persyaratan minimum Akad ini mengikuti proses yang berkesinambungan (evolving process) dengan memperhatikan perubahan dan perkembangan kondisi regulasi dan sistem perundangan yang berlaku Prinsip-prinsip umum yang diatur dalam ketentuan persyaratan minimum Akad ini meliputi antara lain prinsip transparansi produk dan jasa dalam upaya mewujudkan bank syariah yang penuh integritas dan amanah, asas keberlakuan secara universal sehingga bank syariah dapat dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan pengutamaan penyelesaian sengketa antara bank dan nasabah secara musyawarah, memenuhi rasa keadilan dan efisiensi biaya dalam penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa atau arbitrase syariah. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Angka 1 sampai dengan angka 11 Cukup jelas. Pasal 2 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan jenis transaksi syariah yang maksud adalah Wadi’ah, Mudharabah, Musyarakah, Murabahah, Salam, Istishna’, Ijarah dan Qardh. Ayat (3) …
-3-
Ayat (3) Yang dimaksud dengan: "Gharar" adalah transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan. "Maysir" adalah transaksi yang mengandung unsur perjudian, untunguntungan atau spekulatif yang tinggi. "Riba" adalah transaksi dengan pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan ajaran Islam. "Zalim" adalah tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan pihak lain. "Risywah" adalah tindakan suap dalam bentuk uang, fasilitas, atau bentuk lainnya yang melanggar hukum sebagai upaya mendapatkan fasilitas atau kemudahan dalam suatu transaksi. "Barang haram dan maksiat" adalah barang atau fasilitas yang dilarang dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam. Pasal 3 Cukup jelas Pasal 4 Huruf a sampai dengan huruf f Cukup jelas. Huruf g Yang dimaksud dengan "biaya operasional" adalah biaya yang berkaitan langsung dengan fasilitas pengelolaan rekening nasabah misalnya biaya
kartu …
-4-
kartu ATM, cetak buku/cek/bilyet giro, cetak laporan traksaksi dan saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening. Huruf h Cukup jelas Pasal 5 Cukup jelas Pasal 6 Huruf a Yang dimaksud dengan Mudharabah dalam pengaturan pasal ini adalah Mudharabah mutlaqah. Huruf b sampai dengan huruf e Cukup jelas. Huruf f Harga pasar digunakan untuk barang yang telah dimiliki oleh Bank atau bukan pengadaan baru. Nasabah mengembalikan dana Bank sebesar nilai nominal yang ditetapkan berdasarkan nilai perolehan atau nilai pasar pada saat Akad. Huruf g sampai dengan huruf k Cukup jelas Huruf l Bank dapat melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah. Laporan hasil usaha disepakati kedua belah
pihak
berdasarkan
bukti
pendukung
yang
dapat
dipertanggungjawabkan.
Huruf m …
-5-
Huruf m sampai dengan huruf o Cukup jelas Pasal 7 Cukup jelas Pasal 8 Huruf a sampai dengan huruf l Cukup jelas Huruf m Bank dapat melakukan review, meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha yang dibuat oleh nasabah. Laporan hasil usaha disepakati kedua belah
pihak
berdasarkan
bukti
pendukung
yang
dapat
dipertanggungjawabkan. Huruf n dan huruf o Cukup jelas Pasal 9 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “barang” adalah barang yang diketahui jelas kuantitas, kualitas dan spesifikasinya. Huruf b dan huruf c Cukup jelas
Huruf d …
-6-
Huruf d Wakalah harus dibuatkan Akad secara terpisah dari Akad Murabahah. Yang dimaksud dengan secara prinsip barang milik Bank dalam wakalah pada Akad Murabahah adalah adanya aliran dana yang ditujukan kepada pemasok barang atau dibuktikan dengan kuitansi pembelian. Huruf e sampai dengan huruf g Cukup jelas Huruf h Angsuran secara proposional adalah angsuran yang ditetapkan Bank secara proposional antara harga pokok dan marjin, serta jangka waktu angsuran. Contoh : Harga pokok mesin Rp10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) Marjin Rp2.000.000,- (dua juta rupiah) Jangka waktu angsuran = 12 (dua belas) bulan Angsuran nasabah Rp12.000.000,-/12 = Rp1.000.000,- (satu juta rupiah) Ayat (2) Cukup jelas Pasal 10 Ayat (1) Yang dimaksud dengan nasabah yang mengalami penurunan kemampuan membayar adalah nasabah yang kegiatan usahanya terkena dampak bencana alam atau krisis perekonomian yang ditetapkan …
-7-
ditetapkan secara resmi oleh pemerintah sebagai krisis nasional. Pemotongan kewajiban pembayaran ditetapkan berdasarkan kebijakan Bank. Ayat (2) Cukup jelas Pasal 11 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud ‘barang’ adalah hasil pertanian dan atau hasil tambang. Huruf b Yang dimaksud dengan pembayaran secara penuh pada saat Akad adalah pembayaran segera setelah Akad disepakati atau paling lambat 7 (tujuh) hari setelah Akad disepakati. Huruf c sampai dengan huruf e Cukup Jelas Huruf f Jaminan pihak ketiga antara lain dalam bentuk garansi berdasarkan prinsip syariah. Huruf g Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Ayat (3) …
-8-
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 12 Ayat (1) Pembiayaan berdasarkan Salam paralel muncul pada saat Bank membeli barang untuk dijual kembali kepada pihak lain. Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 13 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud ‘barang’ adalah proyek infrastruktur dan atau hasil industri manufaktur. Huruf b sampai dengan huruf d Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas
Ayat 3 …
-9-
Ayat (3) Cukup jelas Ayat (4) Cukup jelas Pasal 14 Ayat (1) Pembiayaan Istishna’ paralel muncul pada saat Bank memesan barang untuk dijual kembali kepada pihak lain. Ayat (2) Huruf a Nasabah adalah termasuk nasabah produsen, pemasok atau penyedia. Huruf b sampai dengan huruf f Cukup jelas Pasal 15 Huruf a Yang dimaksud ‘barang’ adalah barang bergerak atau tidak bergerak yang dapat diambil manfaat sewa. Huruf b dan huruf c Cukup jelas Huruf d Uraian biaya pemeliharaan yang bersifat material dan struktural sesuai kesepakatan dituangkan dalam Akad
Huruf e …
- 10 -
Huruf e Akad mewakilkan kepada nasabah di buatkan secara terpisah dari Akad Ijarah Huruf f dan huruf g Cukup jelas Pasal 16 Ayat (1) Yang dimaksud dengan IMBT adalah Ijarah dengan janji (wa’ad) yang mengikat pihak yang menyewakan untuk mengalihkan kepemilikan kepada penyewa. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Huruf a sampai dengan huruf d Cukup jelas Huruf e Kondisi “nasabah tidak mampu” adalah ketidak mampuan nasabah terhadap hal-hal di luar kemampuan nasabah karena musibah bencana alam atau krisis perekonomian nasional yang ditetapkan sebagai krisis oleh pemerintah. Huruf f dan huruf g Cukup jelas Huruf h …
- 11 -
Huruf h Dalam rangka kehati-hatian pemberian pinjaman Qardh untuk kegiatan usaha yang bersifat talangan dana komersial, Bank dapat meminta agunan kepada nasabah. Pasal 19 Huruf a Cukup jelas Huruf b Kerugian riil adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan oleh Bank dalam rangka penagihan hak Bank yang seharusnya dibayarkan oleh nasabah. Huruf c sampai dengan huruf f Cukup jelas Pasal 20 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Badan arbitrase syariah yang digunakan adalah badan arbitrase syariah yang berdomisili paling dekat dengan kantor Bank yang bersangkutan atau yang ditunjuk sesuai kesepakatan Bank dan nasabah. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) …
- 12 -
Ayat (2) Cukup jelas Pasal 22 Cukup jelas Pasal 23 Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4563