Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah Bank Syariah di Jambi Masnidar Fakultas Syariah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi
Abstract: Although only one of alternative products, not the core product in the Islamic banking, murabaha is the most popular product used. Murabahah developments due to provide a definite advantage to the bank, having a vast market in accordance with the high level of community needs for shortterm financing products and micro-scale, as well as having a relatively easy procedure. In the other hands, the development of murabaha tends to be a concern where the trade mark of Islamic banking is supposed to share the results and share the risk with the social principles of illicit profit marginalized, changed into a profit-oriented institutions. Murabaha financing costs and margins seem more expensive than conventional bank loan rates. So there arose a controversy on murabaha financing. Keywords: Murabahah, cost-plus financing, bank syariah.
I. Pendahuluan Setelah sekian lama tunduk dan tertekan di bawah model perekonomian Barat, yang bertumpu pada bank konvensional, muncullah gerakan untuk mengembangkan kembali sistem perbankan Islam, yang bergandengan dengan gerakan kemerdekaan negara-negara Islam pada awal abad ke-20. Gerakan tersebut tidak hanya didorong untuk meraih kemerdekaan ekonomi, tapi lebih dari itu yakni untuk meraih kemerdekaan ideologi, terkait dengan masalah bunga bank Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
349
Masnidar
(interest) pada sistem konvensional, yang dalam syariat Islam dikategorikan sebagai praktek riba yang terlarang. Maka semenjak kemerdekaan negara-negara Islam, muncullah gagasan-gagasan untuk mendirikan Bank Islam (Islamic Bank) atau yang disebut juga sebagai Bank Syariah atau bank bebas dari bunga (Interest-Free Bank).1 Bank Islam pertama yang diakui sebagai representasi resmi sistem perbankan Islam adalah Islamic Development Bank (IDB) yang didirikan oleh Organization of Islamic Countries (OIC) atau Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1974. Bank inilah yang menjadi model bank-bank Islam hingga saat ini.2 Sejak saat itu, bank Islam berkembang pesat, tidak hanya di negara-negara Islam, tapi juga di negara-negara yang minoritas penduduk muslimnya, yakni Eropa dan Amerika. Ekspansi sistem perbankan Islam bahkan telah masuk ke dalam sistem perbankan konvensional, dengan dibukanya unit layanan syari’ah (Islamic banking and financing window). Dalam perjalanannya, produk unggulan bank Islam yang menyita perhatian dunia “mudlarabah dan musyarakah yang berdasarkan prinsip profit and loss sharing (PLS)”, menghadapi kendala besar berkenaan dengan fakta bahwa kontrak berskema PLS yang mampu memberikan prospek keuntungan besar adalah kontrak untuk proyek-proyek dengan item-ganda (multi-contract) dan berjangka panjang. Sementara konsep mudlarabah dan musyarakah di perbankan hanya memungkinkan kontrak untuk satu proyek usaha per-item (a single project) dalam waktu yang terbatas (time-limited contract) dan berjangka pendek (short-term). Konsep yang seperti ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian nominal keuntungan/kerugian yang harus ditanggung bersama (antara bank dan nasabah); kepastian waktu bagi untung/rugi; dan kepastian ketersediaan dana pada bank, untuk melayani penarikan dana sewaktu-waktu oleh nasabah Abdelkader Chachi, “Origin and Development of Commercial and Islamic Banking Operations”, dalam JKAU: Islamic Economics., vol. 18 (2), 2005, hal. 16. 2 Muhammad Ariff, “Islamic Banking”, dalam Asian-Pacific Economic Literature, Vol 2, No.2 (September 1988), hal. 32. 1
350
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah
(current account and ordinary savings depositors).3 Konsekuensinya, sumber pendapatan bank-bank Islam menjadi sangat terbatas, karena hanya bertumpu pada kontrak-kontrak PLS berskala kecil. Memang, kecilnya harapan untuk dapat memobilisasi dana dari kontrak PLS yang terbatas tersebut mendorong perbankan Islam mengembangkan sumber pendapatan alternatif melalui produk layanan berbasis imbalan jasa (fee-income services). Maka, dikembangkanlah berbagai model layanan, seperti murabahah, ijarah, kafalah, wakalah, amanah, salam, istitsna’, dan jua’alah. 4 Pengembangan produk-produk alternatif dengan berbagai inovasinya itu menjadi fenomena mutakhir perbankan Islam, sehingga menciptakan transformasi dari model perbankan yang berorientasi sosial (social-oriented banking) dengan prinsip keuntungan tipis (illicit profit) menjadi model yang cenderung komersial (commercial banking). Transformasi ini dicirikan oleh dominasi produk perbankan yang menjadikan bank lebih sebagai agen mediasi kontrak-kontrak keuangan antar dua pihak di luar bank, terutama melalui skema pembiayaan utang (debt financing). Mudlarabah dan musyarakah sebagai produk utama menjadi tergeser ke dalam posisi yang terpinggirkan. Asutay menunjukkan fakta bahwa aktivitas mudlarabah dan musyarakah pada periode 19941996, masing-masing hanya sebesar 7% dari total aktivitas keuangan yang dilakukan bank-bank Islam. Sementara murabahah mencapai 70% dari total aktivitas keuangan yang ada.5 Di Indonesia sendiri, portopolio pembiayaan BNI Syariah tahun 2007 menunjukkan posisi pembiayaan murabahah mencapai 81,5% dari total pembiayaannya. Abdul Gafoor, Mudarabah-based Investment and Finance, (London: Institute of Islamic Banking & Insurance, 2001), hal. 119. 4 Shahida Bt Shahimi, et. al., “A Panel Data Analysis of Fee Income Activities in Islamic Banks”, dalam Journal of King Abdul Aziz University, vol. 19 (2), 2006, hal. 24. 5 Mehmet Asutay, Conceptualisation of The Second Best Solution in Overcoming The Social Failure of Islamic Finance: Examining The Overpowering of Homoislamicus By Homoeconomicus, IIUM Journal of Economics and Management, Vol. 15, No. 2, 2007, hal. 5. 3
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
351
Masnidar
Pihak BNI Syariah menyatakan bahwa tingginya pertumbuhan murabahah dikarenakan produk ini memiliki skema transaksi yang relatif lebih mudah dimengerti dan diaplikasikan dalam skema pembiayaan syariah, karena cenderung serupa dengan kredit konvensional. Di sisi lain, produk murabahah didominasi oleh pembiayaan konsumtif yang tumbuh lebih tinggi dibandingkan pembiayaan produktif.6 Menurut Amir Mu’allim, karena perkembangan yang demikian, maka bank-bank Islam lebih tepat disebut sebagai “bank murabahah”.7 Hal tersebut mengkhawatirkan sejumlah teoritisi ekonomi Islam, karena jika produk utama bank Islam terpinggirkan, maka cirinya pun akan terancam hilang. Lebih jauh, perkembangan tersebut juga dapat menggagalkan misi bank Islam untuk pemberdayaan sosial yang bertumpu pada model pendanaan produktif, yaitu mudlarabah dan musyarakah. Kritik terhadap murabahah tidak hanya karena dominasi prakteknya pada bank-bank Islam, tapi juga karena murabahah menganut sistem mark-up berdasarkan marjin keuntungan (profit margin) yang ditetapkan pihak bank. Ary A. Perdana menyebut sistem tersebut mengandung syubhat karena dapat berfungsi sebagai “bunga siluman”.8 Oleh karena itu, Achyar Eldine menilai bahwa bank-bank Islam yang ada saat ini masih semi-konvensional, karena adanya praktek-praktek pembiayaan yang lebih menyerupai sistem konvensional daripada sistem perbankan Islam, khususnya berkenaan dengan adanya biaya tambahan (cost-plus), di luar prinsip bagi hasil (profit share) yang dibenarkan dalam Islam. Biaya tambahan atau cost-plus terbukti dari adanya biaya operasional (operational expenses) yang dimasukkan dalam penetapan harga yang telah dimark-up atau dalam unsur marjin keuntungan (profit margin).9 Dalam Bank Negara Indoensia, Annual Report 2007, hal. 152. Amir Mu’allim, Praktek Pembiayaan Bank Syariah dan Problematikanya, hal. 8, dalam http://www.msi.uii.net/, diakses 7 Agusutus 2004. 8 Ary A. Perdana, Ekonomi Islam dan Soal Bunga Bank, dalam http:// islamlib.com/, diakses 24 Maret 2008. 9 Achyar Eldine, Bank Syariah Masih Semi Konvensional, dalam http:/ /www.albarokah.or.id/, diakses 29 Januari 2008. 6 7
352
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah
peristilahan ekonomi sendiri, mark-up dan profit margin yang terdapat dalam transaksi murabahah disebut sebagai cost-plus financing. 10 Meskipun demikian, sebagaimana dikemukakan oleh Perdana, murabahah dapat dibenarkan dengan tiga alasan. Pertama, praktek ini pada dasarnya adalah jual-beli. Nilai mark-up adalah laba usaha, bukan bunga. Dalam Islam, laba tidaklah haram. Kedua, transaksi tidak haram selama nilai mark-up ditentukan atas kesepakatan bersama. Ketiga, adanya mark-up yang dibayarkan bisa dibenarkan karena itu mencerminkan risiko yang harus ditanggung oleh bank selama periode sudah dibelinya barang dan kepemilikan belum berpindah ke tangan konsumen.11 Kritik dan pembelaan terhadap murabahah tersebut menunjukkan bahwa penerapan murabahah dalam perbankan Islam masih bersifat polemis. Hal ini menuntut suatu kajian dan bahasan tentang murabahah sebagai sebuah konsep cost-plus financing dalam perekonomian Islam, karena masyarakat pengguna jasa perbankan Islam (termasuk masyarakat Jambi) memiliki kesan bahwa bank-bank Islam secara konsisten menerapkan prinsip bagi hasil (bagi untung dan rugi/PLS). Pada kenyataannya, produk bank-bank Islam justru didominasi oleh konsep murabahah yang tak lain adalah model pembiyaan mark-up atau cost-plus financing.
II. Murabahah Murabahah dalam fiqh mu’amalah termasuk dalam kategori bai’ alamanah (jual beli berlandaskan kepercayaan), di mana pembeli mempercayai sepenuhnya perkataan penjual tentang harga barang/ aset pertama tanpa menuntut adanya pembuktian dan sumpah. Bai’ al-amanah sendiri terbagi tiga macam, yaitu murabahah, tauliyah dan wadhi’ah. Ketiga jenis jual beli ini dibedakan dari segi harga pokok 10 Warren Edwardes, “Islamic Banking Key Financial Instruments: Understanding and Innovating in the World of Derivatives”, dalam Princeton Economics Journal, 1st Quarter 1999. 11 Ary A. Perdana, Ekonomi Islam dan Soal Bunga Bank, dalam http:// islamlib.com/, diakses 24 Maret 2008.
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
353
Masnidar
dan harga jualnya. Murabahah adalah jual beli yang harga jualnya mengandung harga tambahan (cost plus) dari harga pokok. Tauliyah yang disebut juga muswamah adalah jual beli yang harga jualnya sesuai dengan standar harga pasaran, tidak mengandung penambahan dan tidak pula pengurangan. Sedangkan wadhi’ah adalah jual beli yang harganya dikurangi (discount) dari harga pasaran.12 Murabahah secara bahasa adalah bentuk mutual dari kata ribh yang berarti saling menguntungkan. Jadi murabahah secara bahasa dapat diartikan sebagai jual beli saling menguntungkan, yakni pembeli dan penjual sama-sama diuntungkan dari terjadinya transaksi tersebut. Sedangkan secara istilah, menurut Al-Muslih, adalah menjual dengan modal asli bersama tambahan keuntungan yang jelas.13 Jumhur ulama membolehkan adanya harga tambahan sebagai kompensasi atas pembayaran yang ditangguhkan. Menurut Ibn alQayyim, hal itu bukan riba, karena merupakan urf (adat) perdagangan yang dapat dibenarkan. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh al-Sarakhi, Marginani, Ibn Qudamah dan Nawawi.14 Menurut Imam Malik, murabahah sudah merupakan Amal Ahli Madinah, di mana seorang saudagar menyediakan barang yang dibutuhkan oleh seorang pemesan, lalu menjualnya dengan harga pokok ditambah keuntungan yang hendak diperoleh. Termasuk dalam harga pokok adalah biaya/ongkos untuk penyediaan barang. Dalam jual beli tersebut, saudagar (penjual) harus memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang diperolehnya kepada pembeli; dan pembeli memiliki hak khiyar setelah melihat barang yang disediakan.15 Wahbah Zuhaili, Fiqih Muamalah Perbankan Syariah, (Jakarta: Bank Muamalat Indonesia, 1995), hal. 8. 13 Abdullah Al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: GIP, 2004), hal. 198. 14 Abdullah Saeed, Capitalising on the Current Status of the Interpretation of Fundamental Shariah Principles Applicable to Islamic Invesment Funds, Kuala Lumpur: Islamic Funds Conference, 1997. 15 Imam Malik, Al-Muwattha’, dalam Syirkat al-Baramij al-Islamiyyah al-Dawliyyah, Mawsu’at al-Hadits al-Syarif (Gisco: 1991-1997). 12
354
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan murabahah merupakan produk yang paling populer digunakan oleh perbankan syariah. Pada umumnya ia digunakan di bidang pembiayaan aset, porperti, usaha mikro, komoditas ekspor/ impor. Pembiayaan murabahah ini dipandang sangat penting mengingat produk pembiayaan inilah yang berhubungan langsung dengan masalah penyaluran dana kepada nasabah yang memiliki prospek untuk memajukan sektor riil.16 Pada dasarnya, murabahah merupakan produk alternatif bank syariah dan bukan merupakan produk inti. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, produk inti bank syariah adalah mudlarabah dan musyarakah yang menggunakan prinsip PLS dan menurut Netzer berprinsip illicit profit (keuntungan tipis). Namun untuk menjamin pendapatan bank untuk menutupi operasionalnya, maka diadakanlah berbagai produk alternatif, termasuk murabahah.17 Pada kenyataannya, murabahah berkembang menjadi produk primadona bank-bank syariah, karena memberikan keuntungan pasti (fixed margin) kepada bank, dan memiliki pangsa yang luas sesuai dengan tingginya tingkat keperluan masyarakat terhadap produk pembiayaan berjangka pendek dan berskala mikro tersebut.18 Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi sudah menjadi gejala global di level dunia.19 Sebagai gambaran distribusi penggunaan produk pada bank-bank syariah di dunia, berikut laporan resmi dari International Islamic Financial Market: 20
Amir Mu’allim, Praktek Pembiayaan Bank Syariah dan Problematikanya, dalam http://www.msi.uii.net/, diakses 7 Agustus 2008. 17 Netzer, Mirriam Sophia, Riba in Islamic Jurisprudence: The Role of ‘Interest’ in Discourse on Law and State, The Fletcher School, 2004. 18 Wikipedia Foundation, Inc., Murabaha, dalam http:// en.wikipedia.org/wiki/murabaha/, diakses 20 Mei 2008. 19 Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, Murabahah Dominasi Multifinance Syariah, dalam Bisnis Indonesia, 29 April 2008. 20 Ijlal A. Alvi, Key Challenge and Role of Islam Financial Institutions, IIMF: September 2007, hal. 11. 16
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
355
Masnidar
Pembiayaan murabahah pada bank syariah umumnya dilakukan dengan cara cicilan, dengan menggunakan prinsip bai’ bi tsaman ajil. Hal ini terjadi jika nasabah menghendaki barang tertentu, namun ia tidak memiliki dana untuk membeli barang tersebut secara tunai. Maka nasabah mendatangi bank agar bank dapat memfasilitasi pengadaan barang yang dikehendaki. Setelah terjadi kesepakatan tentang spesifikasi barang, harga dan masa pembayarannya, maka bank melakukan pembelian barang secara tunai dari pihak ketiga atas nama bank. Selanjutnya barang yang sudah menjadi milik penuh bank tersebut dijualbelikan secara murabahah kepada nasabah sesuai dengan kesepakatan. Proses ini digambarkan sebagai berikut: 21 1. Pemesanan barang
Pembeli (pihak pertama
3. Akad murabahah dan serah terima barang 4. Pembayaran/pelunasan
Penjual (pihak kedua)
2. Pengadaan barang Pemasok barang (pihak ketiga)
Abd al-Rahman al-Hamid, Bai’ al-Murabahah li al-Amir bi al-Syira’ min Qibal al-Bank, (Jeddah: Maktabah al-Malik Fahd, 1992), hal. 12. 21
356
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah
Namun demikian, bank syariah juga menerapkan pembiayaan murabahah yang digabungkan dengan sistem wakalah. Hal ini dilakukan jika pihak bank ingin mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari supplier (pihak ketiga), maka bank dan nasabah harus melakukan kesepakatan wakalah (agency contract), dimana pihak bank memberikan kewenangan kepada nasabah untuk mewakili bank dalam pengadaan barang dari pihak ketiga. Skema yang digunakan adalah sebagai berikut: 22 1. Permohonan dan akad 2. Wakalah pembelian barang
Nasabah (pihak pertama
5. Serah terima dokumen 6. Pembayaran/pelunasan
Bank (pihak kedua)
3. Beli barang an. Bank
4. Serah terima Barang dan uang muka
Supplier (pihak ketiga)
Kombinasi murabahah dengan wakalah, yang dikenal dengan istilah murabahah li al-amir bi al-syira’ bi al-wakalah merupakan skema pembiayaan yang lazim digunakan pada bank-bank syariah saat ini. Para ahli ekonomi Islam kontemporer sepakat membolehkan penerapan murabahah pada bank syariah dengan beberapa argumen: a. Tidak ada nash syar’i yang secara spesifik dan tegas melarang hal tersebut. b. Nilai uang yang bersifat tunai lebih tinggi daripada uang senilai yang ditangguhkan. c. Pertambahan tersebut tidak berlawanan dengan waktu yang dibolehkan untuk pembayaran, dan karenanya tidak termasuk riba yang diharamkan. Penjelasan Fatwa DSN-MUI No: 04/DSN-MUI/IV/2000, http:// www.halalguide.com/, diakses 16 April 2008. 22
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
357
Masnidar
d. Pertambahan merupakan ongkos pada waktu penjualan, bukan setelah penjualan terjadi. e. Pertambahan disebabkan oleh norma-norma pasar, seperti dampak inflasi dan deflasi. f. Penjual terlibat dalam produksi dan diakui sebagai aktivitas komersial.23 Berdasarkan keterangan tersebut maka murabahah diterapkan dalam perbankan syariah sebagai sistem pembiayaan jangka pendek kepada nasabah untuk membeli barang-barang. Elemen dasarnya ada dua: (1) harga pembelian dan ongkos yang bertalian dengan pembelian; dan (2) kesepakatan mark-up. Sedangkan ciri-cirinya: a. Pembeli mengetahui semua ongkos yang berhubungan dengan pembelian, harga dasar/asli barang, dan margin keuntungan yang ditetapkan dalam bentuk persentase dari total harga plus ongkos. b. Subjek pembelian adalah barang atau komoditi. c. Subjek penjualan adalah milik penjual dan dapat diserahterimakan kepada pembeli. d. Pembayarannya ditangguhkan.24
III.Cost Plus Financing Cost plus secara literal berarti biaya/harga tambah. Maka cost plus financing dapat diartikan sebagai pembiayaan yang menggunakan sistem penambahan biaya/harga. Hal itu dilakukan melalui kontrakkontrak berbasis cost plus, yaitu biaya tambahan atau penambahan biaya (cost plus) sebagai akibat dari biaya-biaya yang dikeluarkan dalam suatu kontrak. Kontrak berbasis cost-plus yang dikenal dengan istilah cost-plus contract berbeda dengan kontrak biasa yang lazim menggunakan sistem fixed-price contract. Bayaran dalam kontrak biasa tidak mempertimbangkan apakah biaya kontrak kurang/lebih dari Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer”, dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002), hal. 180-181. 24 Fuad Zein, “Aplikasi Ushul Fiqh..., hal. 179. 23
358
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah
biaya yang dikeluarkan. Sementara cost-plus contract menjamin bahwa segala biaya pekerjaan kontrak akan diganti sepenuhnya, sehingga tidak akan mengalami kerugian. William Sjostrom menjelaskan bahwa sistem cost-plus contract dipopulerkan oleh Pemerintah Amerika Serikat terutama untuk pembiayaan proyek-proyek pertahanan (defense industries). Karena digunakan untuk keperluan pembiayaan, maka ia dikenal juga dengan sebutan cost-plus financing. Cost-plus itu sendiri diadakan untuk mengantisipasi kemungkinan pembengkakan biaya di tengah pengerjaan proyek. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin tertutupinya seluruh biaya yang telah dikeluarkan (cost recovery). Sistem ini memungkinkan diadakannya peninjauan harga secara berkelanjutan di tengah pengerjaan proyek, tanpa merugikan salah satu pihak.25 Cost-plus terbagi menjadi empat macam, yang masing-masing diterapkan dalam alokasi dan peruntukannya masing-masing, yaitu: 1. Cost-Plus Fixed-Fee, yaitu bayaran tambahan yang telah disepakati ketika penandatangan kontrak. 2. Cost-Plus Incentive-Fee, bayaran tambahan yang diberikan kepada kontraktor yang diberikan sebagai imbalan khusus jika kontraktor berhasil menekan harga proyek secara efisien. Besarnya insentif diberikan secara proporsional sesuai dengan tingkat efisiensi biaya pengeluaran oleh kontraktor. 3. Cost-Plus Award-Fee, yaitu bayaran tambahan yang diberikan kepada kontraktor sebagai penghargaan atas kinerja dan mutu pekerjaannya. 4. Cost-Plus Percentage of Cost, yaitu bayaran tambahan yang diberikan jika biaya pengerjaan proyek meningkat. Jenis cost-plus ini dilarang oleh pemerintah Amerika Serikat karena jumlah biaya suatu proyek menjadi tidak terbatas dan tidak terkontrol.26 Tipe pembiayaan cost-plus tersebut digunakan untuk memberiWilliam Sjostrom, “Cost-Plus Financing”, dalam http://www.ucc.ie/ diakses 3 Oktober 2004. 26 Wikipedia, “Cost-Plus Contract”, dalam http://en.wikipedia.org/, diakses 22 September 2009. 25
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
359
Masnidar
kan kepastian keuntungan bagi kontraktor, karena keuntungan diperhitungkan secara terpisah dari seluruh biaya yang dikeluarkan untuk suatu pekerjaan. Dengan kata lain, keuntungan diperhitungkan setelah biaya yang telah dikeluarkan telah ditutupi (cost recovery). Hal ini berbeda dengan jenis kontrak pada umumnya, di mana keuntungan diperoleh dari sisa pengeluaran, di mana hal tersebut tidak dapat menjamin terjadinya cost recovery, karena bisa saja biaya proyek melampaui biaya yang tersedia untuk proyek tersebut. Di dunia perbankan, sistem cost-plus financing digunakan untuk pembiayaan pengadaan barang (purchase finance) dengan menggunakan sistem cost-plus mark-up sales. Sistem ini dilakukan bank dengan membiayai pengadaan barang dari pemasok barang (supplier) dan menjualnya kepada nasabah dengan mengambil selisih keuntungan (profit margin) sesuai dengan kesepakatan. Selisih keuntungan atau marjin diperoleh dengan cara mark-up harga barang, yaitu berdasarkan harga pokok beserta seluruh biaya untuk pengadaan barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati.27 Dengan demikian, tipe cost-plus yang digunakan di dunia perbankan adalah cost-plus fixed-fee, yang dengan itu bank memperoleh keuntungan yang tetap (fixed margin). Penerapan cost-plus terkait erat dengan masalah penentuan harga (pricing). Dalam hal ini dikenal adanya metode penentuan harga cost-plus yang disebut sebagai cost-plus pricing, yang merupakan penjumlahan dari biaya pengadaan barang (cost of commodity) yang dinyatakan sebagai harga pokok ditambah keuntungan (profit margin) yang dinyatakan dalam suatu standar mark-up. Oleh karena itu, cost-plus pricing disebut juga mark-up pricing.28 Secara sederhana diformulasikan dalam rumus:29 p = cc + m
Iqbal M Khan, Small Enterprises and Modes of Islamic Finance Instruements, (Lahore: Sure Institute, 2008), hal. 25. 28 Marketing Dictionary, “Cost-Plus Pricing”, dalam http:// www.answer.com/. 29 Wikipedia, “Cost-Plus Pricing”, dalam http://en.wikipedia.org/, diakses 22 September 2009. 27
360
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah
Dimana: p : price (harga jual) cc : cost of commodity (biaya pengadaan barang atau harga pokok) m : margin atau mark-up (marjin keuntungan) Unsur biaya pengadaan barang atau harga pokok mencakup biaya variabel (variable cost) ditambah biaya operasional tetap (fixed cost). Untuk mengetahui biaya operasional tetap dalam suatu kegiatan pembiayaan dilakukan dengan menghitung total biaya operasional tetap dalam jangka waktu tertentu dibagi total kegiatan pembiayaan dalam jangka waktu tersebut. Maka untuk mengetahui harga pokok suatu produk digunakan rumus sebagai berikut:30 cc = vc + fc/ts Dimana: cc : Commodity cost (harga pokok barang) vc : Varible cost (biaya variabel) fc : Fixed cost (Biaya tetap) ts : Total sale (jumlah seluruh penjualan) Unsur-unsur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Biaya variabel (vc) adalah total biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan barang (cost of purchasing the commodity) yang mencakup harga pokok barang (cost of commodity) ditambah biayabiaya lain seperti biaya ekspedisi dan pajak. Lazimnya biaya variabel ini dinyatakan sebagai harga pasar, dan bukan harga modal dari pabrik. 2. Biaya operasional tetap (fc) mencakup anggaran gaji pegawai, sewa dan/atau perawatan gedung, biaya ATK dan administrasi kantor, pemasaran (marketing) dan promosi, biaya listrik dan sebagainya. Biaya tetap ini dihitung dalam skala waktu tertentu, lazimnya satu tahun, yang dinyatakan dalam bentuk anggaran belanja perusahaan dalam tahun berjalan.
Wikipedia, “Cost-Plus Pricing”, dalam http://en.wikipedia.org/, diakses 22 September 2009. 30
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
361
Masnidar
3.
Jumlah seluruh penjualan (ts) adalah total pembiayaan yang ditargetkan dalam tahun berjalan.31 Menurut Usman Syeikh, marjin keuntungan harus memperhitungkan tingkat suku bunga (interest rate), persaingan usaha dan harapan keuntungan. Hal-hal ini harus dipertimbangkan agar dapat meningkatkan pemasaran sambil menjaga ketahanan usaha dari resiko kerugian.32 Bank syariah menetapkan marjin keuntungan terhadap produk-produk pembiayaan yang berbasis Natural Certainty Contracts, yakni akad jual-beli (buyu’) yang yang memberikan kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah maupun waktu, seperti pembiayaan murabahah, ijarah, ijarah muntahia bit tamlik, salam, dan istishna’. Secara teknis, marjin keuntungan pada bank syariah dinyatakan dalam bentuk persentase. Besarnya marjin keuntungan ditetapkan dalam rapat ALCO (Asset and Liability Commite) Bank Syariah, dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut: 1. Direct Competitor’s Market Rate (DCMR), yaitu tingkat marjin keuntungan rata-rata perbankan syariah, atau tingkat marjin keuntungan rata-rata beberapa bank syariah yang ditetapkan dalam rapat ALCO sebagai kelompok kompetitor langsung, atau tingkat marjin keuntungan bank syariah tertentu yang ditetapkan dalam rapat ALCO sebagai kompetitor langsung terdekat. 2. Inderect Competitor’s Market Rate (ICMR), yaitu tingkat suku bunga rata-rata perbankan konvensional, atau tingkat rata-rata suku bunga beberapa bank konvensional yang dalam rapat ALCO ditetapkan sebagai kelompok kompetitor tidak langsung, atau tingkat rata-rata suku bunga bank konvensional tertentu yang dalam rapat ALCO ditetapkan sebagai competitor tidak langsung yang terdekat. 3. Expected Competitive Return for Investors (ECRI), yaitu target bagi hasil kompetitif yang diharapkan dapat diberikan kepada Wikipedia, “Marginal Cost”, dalam http://en.wiki.org/, diakses 22 September 2009. 32 Usman Syeikh, “Cost Plus Pricing Strategies”, Wordpress Theme, 14 Agustus 2009. 31
362
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah
nasabah dana pihak ketiga (nasabah tabungan, giro dan deposito). 4. Acquiring Cost, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh bank yang langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga (cost of fund). Dalam hal ini bank syariah mempertimbangkan agar marjin murabahah dapat digunakan untuk meningkatkan nisbah bagi hasil dalam mudlarabah, yang dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan neraca keuangan bank syariah dalam hal penyaluran dana (financing) dan penghimpunan dana (funding). 5. Overhead Cost (OHC), yaitu biaya yang dikeluarkan oleh bank yang tidak langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga.33 Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut ALCO mengeluarkan suatu standar marjin dalam skala maksimal dan minimal untuk menjadi rujukan bank-bank syariah. Selanjutnya setiap bank syariah menentukan marjinnya masing-masing sesuai dengan yang dikehendaki, dengan mempertimbangkan plafond pembiayaan sesuai dengan jumlah pembiayaan yang ditargetkan dan melakukan penetapan harga jual, yaitu penjumlahan harga pokok (cost of commodity) dan marjin keuntungan sebagaimana telah diuraikan di atas. Perbedaan dalam penetapan marjin itu terjadi karena menurut Karnaen Perwataatmadja, tidak ada ketentuan formal yang mengikat bank syariah dalam menentukan marjin, sehingga setiap bank syariah mengaturnya secara sendiri-sendiri. Lebih jauh dijelaskan bahwa kebanyakan bank syariah mengacu pada tingkat bunga simpanan bank konvensional yang berlaku dan ditambahkan dengan margin keuntungan yang dikehendaki. Hal ini tidak hanya berlaku di Indonesia, Islamic Development Bank (IDB) pun menjadikan standar bunga yang dikeluarkan oleh badan tingkat bunga dunia, LIBOR (London Inter Bank Offering Rate) sebagai benchmark (patokan) penetapan tingkat marjin syariah dan ditambah dengan 2% hingga 3%.34 Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: Karisma Putra Utama, 2004), hal. 254-255. 33
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
363
Masnidar
Kebolehan adanya harga tambah atau harga lebih tersebut terdapat dapat hadits Rasulullah SAW sebagai berikut: Dari Abu Labid dari ‘Urwah al-Bariqi berkata bahwa Rasullullah SAW memberiku uang satu dinar untuk dibelikan seekor domba, maka aku belikan (dengan harga satu dinar) dua ekor domba, lalu kujual seekor di antaranya dengan harga satu dinar.. Lalu aku serahkan seekor domba dan uang satu dinar kepada Rasulullah SAW. ‘Urwahpun menjelaskan apa yang dialaminya kepada Rasulullah. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Semoga Allah memberkatimu dalam tindakanmu yang baik. Setelah itu ‘Urwah pergi ke negeri Kufah dan memperoleh keuntungan yang besar. (HR. Muslim).35
Selain itu terdapat pula riwayat yang menceritakan sebagai berikut: Dari Abu Bakr al-Hanafi dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah SAW menjual perabot dan pelana kuda kepada yang memberi harga lebih. (HR. Al-Bukhari)36
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa penetapan harga lebih telah menjadi praktek jual beli pada masa Rasulullah SAW, yang dalam konteks masa sekarang diterapkan menurut prinsip cost-plus financing yang mengacu pada konsep jual beli murabahah. Mengenai hal ini, Warren Edwardes menyatakan: Unsur cost-plus dalam murabahah sangat nyata, yang menurut saya bank syariah memang sudah semestinya menerapkan cost-plus dalam murabahah untuk mendapatkan keuntungan dari kegiatan pengadaan barang yang mengandung resiko komersial, di mana keuntungan tersebut dibebankan kepada nasabah yang membutuhkan barang tersebut. Namun cost-plus pada bank syariah itu berbeda secara substansial dari praktek rentenir (moneylender) karena bank syariah tidak mengambil keuntungan dari prinsip time-value money, melainkan berdasarkan kesepakatan bersama sebagai Karnaen A. Perwataatmadja, Upaya Memurnikan Pelayanan Mudharabah dan Murabahah Bank Syariah di Indonesia, (Jakarta: Bank Indoensia, 2002). 35 Imam Muslim, Shahih Muslim, dalam Syirkat al-Baramij alIslamiyyah al-Dawliyyah, Mawsu’at al-Hadits al-Syarif, (Gisco: 1991-1997). 36 Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, dalam Syirkat al-Baramij alIslamiyyah al-Dawliyyah, Mawsu’at al-Hadits al-Syarif, (Gisco: 1991-1997). 34
364
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah imbalan bank dalam mengadakan barang yang dibutuhkan nasabah. 37
Kuatnya unsur cost-plus dalam pembiayaan murabahah semakin terlihat nyata dari terjemahan konsep murabahah dalam bahasa Inggris. International Islamic Financial Market (IIMF) dan Sure Institute menerjemahkan murabahah sebagai “cost-plus sale”.38 International Monetary Fund (IMF) menyebutnya sebagai “cost-plus financing”.39 Ambank Group (ABG) menyebutnya sebagai “cost-plus”.40 Office of International Affairs (OIA) menyebutnya sebagai “cost-plus credit sale”.41 Dua orang peneliti Emerald Insight, Beng Soon Chong dan Ming-Hua Liu menyatakan bahwa pembiayaan murabahah didasarkan pada prinsip cost-plus atau mark-up, di mana bank diberi wewenang untuk membeli komoditas bagi nasabah dan menjualnya kembali kepada nasabah dengan menetapkan harga yang mencakup harga pokok barang ditambah keuntungan (profit margin).42 Berdasarkan keterangan tersebut diketahui bahwa unsur costplus dalam murabahah tak lain adalah mark-up harga yang dilakukan dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan. Mark-up dalam ilmu ekonomi adalah penetapan harga komoditas lebih tinggi dari harga pasaran, baik ditetapkan dalam bentuk persentase maupun dalam bentuk nominal. Hal itu dilakukan jika seorang nasabah memerlukan suatu komoditas dan menggunakan fasilitas bank untuk mengadakan komoditas tersebut. Maka bank berhak mengambil keuntungan dari nasabah dengan menetapkan harga yang lebih tinggi dari harga pasar (market price). Penetapan selisih harga secara Warren Edwardes, “Islamic Banking and Finance”, dalam International Finance & Treasury, Vol. 27, No. 30, July 23, 2001, hal. 11. 38 Ijlal A. Alvi, Re-Engineering of Structural & Issuance Procedures of Sukuk, (IIMF: Maret 2006), hal. 11. 39 Juan Sole, Introducing Islamic Banks into Conventional Banking Systems, IMF Work Paper, Juli 2007, hal. 10. 40 Berhad, Islamic Banking Concepts, dalam http://www.ambank.com. 41 Mahmoud Amin El-Gamal, Overview Of Islamic Finance, Office Of International Affairs Occasional Paper No. 4, June 2006, hal. 4. 42 Chong, Beng Soon, “Islamic Banking: Interest-Free or InterestBased”, hal. 6, http://www.emeraldinsight.com/, diakses 2007. 37
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
365
Masnidar
lebih tinggi itu disebut mark-up.43 Cost-plus financing adalah model pembiayaan konvensional yang menerapkan sistem mark-up atas harga pokok, untuk memperoleh imbalan keuntungan secara pasti (fixed profit margin). Hal ini selaras dengan konsep jual beli murabahah dalam ekonomi Islam yang membenarkan pihak penjual (bank) untuk mendapatkan keuntungan atas fasilitas pembiayaan yang diberikannya kepada pembeli (nasabah). Dalam hal ini, cost-plus financing diterapkan dalam pembiayaan murabahah untuk mengadopsi standar metode penghitungan cost-plus pricing yang baku dalam perekonomian global. Para ekonom Islam memandang bahwa murabahah dalam mekanisme cost-plus financing sudah semestinya diterapkan oleh bank-bank syariah untuk mendapatkan keuntungan dan untuk menutupi biaya operasionalnya, yang sulit diharapkan dari kontrakkotrak yang tidak memiliki mekanisme keuntungan pasti (uncertainty return contract) seperti pada akad mudharabah dan musyarakah yang berbasis profit and loss sharing. Oleh karena itu, sudah selayaknya bank-bank syariah mengembangkan pembiayaan cost-plus tersebut “sepanjang tetap mengacu pada prinsip-prinsip dasar bai’ murabahah, dan tidak terjebak ke dalam praktek bunga bank (insterest), dan juga tidak tergiring untuk menggunakan prinsip time-value money”.
IV. Praktek Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah pada Bank-bank Syariah di Jambi Pada tahun 2009 di Jambi telah ada 4 (empat) buah bank syariah yang masuk dalam kategori Bank Umum Syariah (BUS), yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) Cabang Jambi, Bank Syariah Mandiri (BSM) Cabang Jambi, Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) Cabang Jambi, dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah Cabang Jambi.44 David L. Scott, Wall Street Words: An A to Z Guide to Investment Terms for Today’s Investor, Houghton Mifflin Company, 2003. 44 BMI Cabang Jambi diresmikan tanggal 7 Oktober 2003 oleh Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin dan disaksikan oleh Direktur BMI saat itu, yaitu Suhaji. BSM Cabang Jambi diresmikan oleh Gubernur Jambi 43
366
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah
Secara umum, praktek cost-plus financing dalam pembiayaan murabahah yang dilakukan bank-bank syariah di Jambi, yakni harga jualnya mengandung dua komponen biaya, yaitu biaya proses dan biaya marjin. Biaya proses meliputi biaya administrasi, biaya asuransi jiwa dan barang jaminan, biaya notaris, dan biaya materai. BMI menambahkan komponen biaya taksasi atau biaya survei. Sedangkan komponen yang tercakup dalam biaya marjin berbeda-beda dalam setiap bank. BMI menetapkan empat unsur marjin, yaitu (1) cost of fund bagi hasil DPK; (2) SDM meliputi gaji dan kesejahteraan pegawai; (3) stock holders atau pemegang saham BMI; dan (4) biaya overhead. BSM memasukkan ke dalam unsur marjin: (1) dana masyarakat, yaitu untuk bagi hasil nasabah DPK; (2) SDM, yaitu gaji pegawai dan biaya kesejahteraan lainnya, (3) Overhead cost, yaitu biaya operasional kantor, dan (4) Owner, yaitu keuntungan untuk pemilik/pemegang saham. BSMI menetapkan komponen marjin sebagai berikut: (1) Overhead (biaya operasional rutin dan gaji pegawai); (2) Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP); (3) Proyeksi keuntungan bersih yang mau diambil; (4) Bagi hasil untuk dana pihak ketiga. BRI Syariah menetapkan komponen marjin meliputi: (1) biaya overhead, (2) operasional BRI, (3) Biaya tenaga kerja, dan (4) Keuntungan. Komponen-komponen biaya tersebut telah memenuhi tiga unsur cost-plus financing, yaitu: 1. Variable cost yang merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan untuk pengadaan barang (commodity purchasing cost); 2. Fixed cost yang merupakan seluruh biaya operasional yang dikeluarkan untuk operasional bank; dan 3. Margin yaitu keuntungan yang diperoleh dari selisih harga yang Zulkifli Nurdin tanggal 2 Februari 2003, dan mencatatkan diri sebagai bank syariah pertama di Provinsi Jambi, mendahului BMI. BSMI Cabang Jambi dibuka tanggal 7 Agustus 2008. BRI Syariah Cabang Jambi berdiri pada tahun 2006 atas prakarsa Tim Pengembangan Bank Syariah BRI, dan dengan terjadinya spin-off BRI Syariah dari UUS menjadi BUS, maka BRI Syariah Cabang Jambi juga secara otomatis berstatus sebagai BUS terhitung sejak 1 Juli 2009, (data diolah). Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
367
Masnidar
ditetapkan setelah seluruh biaya pengeluaran diperhitungkan pengembaliannya (cost recovery). Secara ringkas, komponen tersebut digambarkan pada tabel berikut: 45 Menurut No Kategori Cost‐
BMI
BSM
BSMI
Plus Financing 1 Variable Cost Harga pengadaan Harga pengadaan Harga pengadaan barang + Biaya
barang + Biaya
Proses
Proses
Proses
Cost of fund bagi
Nisbah bagi hasil Nisbah bagi hasil
hasil DPK
DPK
(Harga Pokok) barang + Biaya 2 Fixed Cost
BRI Syariah Harga pengadaan barang + Biaya Proses Operasional bank
DPK
(Opersional
SDM meliputi gaji Gaji pegawai dan Pencadangan
Biaya tenaga
tetap)
dan kesejahteraan biaya
kerja
pegawai
3 Margin (cost‐ plus margin)
kesejahteraan
Penghapusan Aktiva Produktif
Biaya overhead , al: Overhead cost ,
Overhead (biaya
PPAP
yaitu biaya
operasional rutin
operasional
dan gaji pegawai)
Keuntungan
Proyeksi
Stock holders atau
pemegang saham untuk pemegang saham (owner)
Biaya overhead
Keuntungan
keuntungan bersih bersih yang mau diambil
Maka dapat dikatakan bahwa komponen cost-plus financing sangat melekat dengan praktek pembiayaan murabahah pada bankbank syariah di Jambi, di mana variable cost ditetapkan melalui harga pengadaan barang ditambah biaya proses, sementara fixed cost ditetapkan dari cost of fund DPK, biaya tenaga kerja dan biaya keseluruhan (overhead cost), dan margin ditetapkan berdasarkan standar yang ditetapkan oleh ALCO Syariah dan pemegang saham. Dalam hal ini, marjin murabahah sebagaimana ditetapkan dengan mempertimbangkan: 1. Cost of Fund yang diterapkan sebagai biaya untuk Expected Competitive Return for Investors (ECRI) yaitu target bagi hasil kompetitif yang diharapkan dapat diberikan kepada nasabah
45
368
BMI, BSM, BSMI, BRI Syariah Cabang Jambi, (data diolah). Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah
dana pihak ketiga (nasabah tabungan, giro dan deposito). 2. Acquiring Cost adalah seluruh biaya yang dikeluarkan oleh bank yang terkait langsung dengan pembiayaan murabahah, yang meliputi biaya-biaya proses, seperti biaya administrasi, biaya premi asuransi jiwa, biaya asuransi kerugian untuk barang jaminan, biaya notaris, biaya survei dan penilaian jaminan, dan biaya materai. 3. Overhead Cost, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh bank yang tidak langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga. Dalam hal ini diterapkan sebagai biaya operasional bank, termasuk gaji karyawan dan biaya kesejahteraannya; 4. Keuntungan Bersih yang dikehendaki oleh pemegang saham berdasarkan standar marjin yang ditetapkan ALCO Syariah berdasarkan tingkat marjin rata-rata bank syariah (Direct Competitor’s Market Rate) dan tingkat suku bunga rata-rata bank konvensional (Inderect Competitor’s Market Rate). Adanya standar marjin yang ditetapkan oleh ALCO Syariah berdasarkan tingkat suku bunga (interest rate) mempertegas kuatnya unsur cost-plus financing dalam pembiayaan murabahah. Meskipun pada prinsipnya murabahah tidak menggunakan bunga, namun hal tersebut tetap dipertimbangkan untuk menjaga daya saing bank syariah terhadap bank konvensional. Dalam hal ini, marjin ditetapkan dalam rapat ALCO dalam suatu skala (range) minimal dan maksimal untuk selanjutnya diputuskan oleh masing-masing bank dengan mempertimbangkan tingkat keuntungan yang diharapkan oleh pemilik saham. Itulah sebabnya, meskipun bank syariah menolak bunga, namun dalam aplikasinya besaran marjin dikonversi dalam bentuk persentase yang lazim digunakan dalam sistem bunga. Persentase marjin murabahah itu pun tidak berbeda jauh dengan tingkat suku bunga pada bank konvensional, bahkan cenderung lebih besar dari persentase bunga di pasar konvensional, karena memang ditetapkan menurut tingkat suku bunga di pasaran. Dalam hal pengangsuran, bank-bank syariah di Jambi menggunakan metode angsuran flat, yaitu marjin dihitung sebagai persenInnovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
369
Masnidar
tase/tahun terhadap harga pokok pembiayaan secara tetap dari satu periode ke periode selanjutnya, lalu dikalikan dengan jangka waktu pembiayaan dalam skala tahunan. Melalui metode tersebut, ditetapkan dua jenis biaya yang diangsur, yaitu angsuran terhadap harga pokok dan angsuran terhadap marjin. Semakin panjang jangka waktu yang digunakan, maka semakin besar pula total angsuran yang harus dilunasi oleh nasabah. Temuan di lapangan yang menunjukkan bahwa biaya overhead dimasukkan ke dalam komponen marjin, juga nisbah bagi hasil DPK secara terang-terangan dijadikan komponen marjin yang dibebankan kepada nasabah murabahah. Artinya, cost-plus financing sangat urgen diterapkan untuk menjamin pendapatan tambahan (plus-income) bank untuk meningkatkan nisbah bagi hasil DPK yang merupakan sumber dana bank. BMI dan BSMI bahkan memasukkan Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) sebagai komponen marjin murabahah. Hal ini dapat diartikan bahwa murabahah merupakan salah satu sumber dana untuk menutupi atau menghapus kemungkinan kerugian akibat aktiva produktif pada produk-produk pendanaan (DPK). Cost-plus financing semakin urgen diterapkan melalui pembiayaan murabahah, karena dengan sistem itulah, marjin keuntungan dapat ditetapkan secara berimbang dengan tingkat bunga (interest rate) bank-bank konvesional. Dengan itulah, bank-bank syariah dapat meningkatkan daya saingnya dengan tidak menetapkan marjin yang terlalu tinggi untuk nasabah pembiayaan, namun juga dapat memberikan nisbah bagi hasil yang menarik bagi nasabah DPK.
IV. Kesimpulan Awalnya murabahah dipraktekkan umat Islam secara sederhana, yaitu Pihak I memesan kepada Pihak II untuk dibelikan barang dan menjelaskan spesifikasi barang yang dikehendakinya di suatu tempat. Pihak II pun mengadakan barang tersebut dengan membelinya dari Pihak III. Lalu Pihak II menjualnya kepada Pihak I dengan menyebutkan harga pokok barang tersebut ditambah dengan keuntungan yang mencakup di dalamnya segala komponen biaya yang terkait lang370
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah
sung dengan kegiatan pengadaan barang tersebut. Keuntungan tersebut dapat ditetapkan dengan menyebutkan angka tertentu dan dapat pula ditetapkan dalam hitungan ‘usyur (bilangan desimal) yang ekuivalen dengan % (persentase). Sedangkan pembayarannya dapat dilakukan secara tunai dan dapat pula secara angsuran. Dengan perkembangan industri perbankan, maka mekanisme murabahah dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan perbankan. Dalam kondisi itulah, cost-plus financing diterapkan dengan mengadopsi komponen-komponen biayanya dan metode penghitungannya (cost-plus pricing). Sedangkan menyangkut substansi akadnya tetap menggunakan prinsip murabahah. Dengan dasar itu maka bank dapat memasukkan unsur cost of fund, yaitu biaya yang harus disediakan untuk nisbah bagi hasil nasabah DPK. Bank juga dapat memasukkan unsur overhead cost, yaitu segala biaya operasional yang dikeluarkan oleh bank, baik berkaitan dengan keperluan pembiayaan murabahah maupun tidak berkaitan. Bank bahkan dapat menetapkan marjin murabahah yang mencakup keperluan untuk menutupi biaya gaji pegawai. Semua unsur itu dihitung di luar keuntungan riil yang diperoleh bank (pemegang saham). Sistem yang demikian itu merupakan hasil adopsi dari sistem cost-plus financing, yang sekaligus menunjukkan betapa pentingnya penerapan sistem tersebut ke dalam pembiayaan murabahah, sehingga murabahah menjadi produk unggulan di semua bank syariah di seluruh dunia. Berkenaan dengan komponen biaya yang diterapkan dalam pembiayaan murabahah pada bank-bank syariah di Jambi, maka secara garis besar hal ini selaras dengan konsep bai’ murabahah yang menetapkan harga jual sebagai harga pokok ditambah marjin. Namun bila ditelusuri unsur-unsur yang dimasukkan dalam komponen marjin, maka timbul pertanyaan tentang keabsahan komponen tersebut dalam sistem ekonomi Islam. Komponen marjin yang patut dipertanyakan adalah cost of fund yang diperuntukkan sebagai penambahan modal untuk meningkatkan nisbah bagi hasil untuk nasabah DPK. Dengan demikian bank syariah mengambil untung dari nasabah pembiayaan untuk disalurkan sebagai nisbah bagi hasil kepada nasabah lain yang tidak Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
371
Masnidar
ada kaitannya secara langsung dengan akad murabahah. Dalam konsep bai’ murabahah, komponen marjin hanya boleh dihitung menurut biaya-biaya yang terkait langsung dengan pengadaan barang, seperti harga beli barang, biaya ekspredisi barang, dan biaya pemeliharaan barang. Unsur Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang dimasukkan oleh sebagai komponen marjin juga patut dipertanyakan, karena membebankan nasabah pembiayaan untuk antisipasi kemungkinan kerugian akibat resiko-resiko perbankan yang tidak terkait langsung dengan pembiayaan yang digunakan nasabah bersangkutan. Mengenai total angsuran yang semakin besar seiring dengan semakin lamanya masa pelunasan, maka hal tersebut tidak dapat dipandang sebagai bagian dari penerapan prinsip time value of money yang menjadi prinsip dasar bunga, karena bank syariah telah memilah dua jenis angsuran, yaitu angsuran harga pokok dan angsuran marjin. Total angsuran untuk harga pokok bersifat tetap, baik jangka waktunya pendek atau pun panjang. Adapun total marjin yang semakin besar dengan semakin panjangnya masa pelunasan, maka hal tersebut dapat dipahami sebab marjin ditetapkan secara tahunan. Hal itu dikarenakan pihak bank harus menutupi seluruh biaya yang dikeluarkannya setiap tahun, yang dibebankan kepada setiap nasabah pembiayaan secara proporsional sesuai dengan porsi produk pembiayaan yang digunakannya, ditambah dengan keuntungan bank karena pelayanan yang diberikannya selama masa tertentu sesuai dengan jangka waktu pelunasan. Namun demikian, untuk menghindari kesan bahwa pembiayaan murabahah menerapkan sistem bunga-bayangan (pseudo-interest), akibat masuknya unsur tingkat suku bunga (interest rate) sebagai salah satu bahan pertimbangan ALCO dalam menetapkan marjin murabahah, maka bank syariah (DPS) perlu merumuskan suatu formula tersendiri dalam menetapkan standar marjin. Dengan demikian bank syariah dapat berdiri sendiri sebagai suatu sistem perbankan yang secara murni bebas dari bunga.
372
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
Cost-Plus Financing dalam Pembiayaan Murabahah
BIBLIOGRAFI Alvi, Ijlal A., “Key Challenge and Role of Islam Financial Institutions,” IIMF: September 2007. Ariff, Muhammad, “Islamic Banking”, Asian-Pacific Economic Literature, Vol 2, No.2 (September 1988). Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia, “Murabahah Dominasi Multifinance Syariah,” Bisnis Indonesia, 29 April 2008. Asutay, Mehmet, “Conceptualisation of The Second Best Solution in Overcoming The Social Failure of Islamic Finance: Examining The Overpowering of Homoislamicus By Homoeconomicus,” IIUM Journal of Economics and Management, Vol. 15, No. 2, 2007. Berhad, Islamic Banking Concepts, http://www.ambank.com/. Chachi, Abdelkader, “Origin and Development of Commercial and Islamic Banking Operations”, JKAU: Islamic Economics, vol. 18 (2), 2005. Chong, Beng Soon dan Ming-Hua Liu, “Islamic Banking: InterestFree or Interest-Based”, http://www.emeraldinsight.com, 2007. DSN-MUI, Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), http://www.halalguide.com/. Eldine, Achyar, “Bank Syariah Masih Semi Konvensional.” http:// www.albarokah.or.id/. Al-Hamidi, ‘Abd al-Rahman, Bai’ al-Murabahah li al-Amir bi al-Syira’ min Qibal al-Bank, Jeddah: Maktabah al-Malik Fahd, 1992. Imam Bukhari, Shahih al-Bukhari, Syirkat al-Baramij al-Islamiyyah al-Dawliyyah, Mawsu’at al-Hadits al-Syarif, Gisco, 1991-1997. Imam Malik, Al-Muwattha’, Syirkat al-Baramij al-Islamiyyah alDawliyyah, Mawsu’at al-Hadits al-Syarif, Gisco, 1991-1997. Imam Muslim, Shahih Muslim, Syirkat al-Baramij al-Islamiyyah alDawliyyah, Mawsu’at al-Hadits al-Syarif, Gisco, 1991-1997. Karim, Adiwarman, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Jakarta: Karisma Putra Utama, 2004. Khan, Iqbal M, Small Enterprises and Modes of Islamic Finance Instruements, Lahore: Sure Institute, 2008. Mahmoud Amin El-Gamal, “Overview of Islamic Finance,” Office of International Affairs Occasional Paper No. 4, June 2006. Mu’allim, Amir, “Praktek Pembiayaan Bank Syariah dan Problematikanya,” http://www.msi.uii.net/. Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009
373
Masnidar
Al-Muslih, Abdullah, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: GIP, 2004. Netzer, Mirriam Sophia, “Riba in Islamic Jurisprudence: The Role of ‘Interest’ in Discourse on Law and State,” The Fletcher School, 2004 Perdana, Ary A., Ekonomi Islam dan Soal Bunga Bank, http:// islamlib.com/. Perwataatmadja, Karnaen A., Upaya Memurnikan Pelayanan Mudharabah dan Murabahah Bank Syariah di Indonesia, Jakarta: Bank Indoensia, 2002. Saeed, Abdullah, Capitalising on the Current Status of the Interpretation of Fundamental Shariah Principles Applicable to Islamic Invesment Funds, Kuala Lumpur: Islamic Funds Conference, 1997. Scott, David L., Wall Street Words: An A to Z Guide to Investment Terms for Today’s Investor, Houghton Mifflin Company, 2003. Shahimi, Shahida Bt, et. al., “A Panel Data Analysis of Fee Income Activities in Islamic Banks”, Journal of King Abdul Aziz University, vol. 19 (2), 2006. Sole, Juan, “Introducing Islamic Banks into Conventional Banking Systems”, IMF Work Paper, Juli 2007. Syeikh, Usman, “Cost Plus Pricing Strategies”, Wordpress Theme (14 Agustus 2009). Wikipedia Foundation, “Murabaha”, http://en.wikipedia.org/. Wikipedia, “Cost-Plus Contract”, http://en.wikipedia.org/. Wikipedia, “Cost-Plus Pricing”, http://en.wiki.org/. Wikipedia, “Marginal Cost”, http://en.wiki.org/. William Sjostrom, “Cost-Plus Financing”, http://www.ucc.ie/. Zein, Fuad, “Aplikasi Ushul Fiqh dalam Mengkaji Keuangan Kontemporer”, Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruzz Press, 2002. Zuhaili, Wahbah, Fiqih Muamalah Perbankan Syariah, Jakarta: Bank Muamalat Indonesia, 1995.
374
Innovatio, Vol. VIII, No. 2, Juli-Desember 2009