Dapur redaksi, itulah nama baru yang masih tentatif (karena masih membuka diri untuk di amandemen) untuk kolom ini. Perubahan ini diputuskan pada rapat “dewan redaksi” Berita Kontras (Jum’at pagi, 29 Juni 2001). Rapat Redaksi kali ini menjadi “agak istimewa” karena berangkat dari keprihatinan & kegelisahan serta harapan Munarman (yang akrab kami panggil bang Maman), Koordinator KontraS atas mandegnya penerbitan bulanan buletin KontraS. Ketelatan ini sudah dapat diduga, karena memang tidak ada staf yang khusus bekerja menggarap buletin ini. selama ini kawan-kawan dari berbagai divisi yang ada selalu keroyokan untuk menghadirkan Berita KontraS di tangan anda. Persoalan yang kemudian muncul ketika kawan-kawan terkonsentrasi pada kesibukan kerja divisi dan kesulitan meluangkan waktu untuk membantu penyelesaian buletin. Dua hari sebelumnya, saya yang selama ini menjadi Distributor (Edwin) dipanggil oleh Koordinator dan Dewan Redaksi, “Win, Dino udah tidak bisa aktif lagi jadi Redaktur Pelaksana. Karena kau di Divisi Opini Publik, kau ditunjuk jadi penggantinya. Bisa…?” Dengan rasa terkejut dan gugup yang saya tutupi (karena darurat dan tidak banyak waktu untuk menimbang-nimbang) saya jawab dengan nada datar “Bisa…” Rapat Jum’at pagi, adalah rapat darurat yang tidak dihadiri seluruh Dewan Redaksi. Lagi-lagi karena kesibukan Usman, dan Gian yang seharusnya hadir dalam Sidang Redaksi absen. Jadilah rapat darurat antara saya (Edwin), bang Maman, Mouvty, dan Islah. Rapat ini intinya kembali membicarakan format dan materi buletin untuk edisi yang terlewat. Nah, nama dapur yang di sebut diatas lahir dari pembicaraan disini. Berangkat dari ketidakakraban bang Maman dan Redaktur Pelaksana (baru) dengan kata Selasar (mirip nama hari) dalam edisi sebelumnya yang berarti teras, dicarilah nama baru. Sempat bolak-balik Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia, tapi kemudian dipilihlah untuk sementara nama Dapur. Usul lain “Kompor aja…”, kata Islah berikut argumentasinya, aku pun sempat mengusulkan nama Tungku, ujung-ujungnya karena semua masih berkaitan dengan peralatan dapur maka dapur ditetapkan sebagai nama penggantinya. Dipilih Dapur karena dapur merupakan kata yang akrab di telinga masyarakat kita, sehingga kami berharap buletin ini akan menjadi milik masyarakat. Pembicaraan selanjutnya menyangkut format Berita Utama, Berita Daerah, dan Rempah-Rempah. Dua kolom terakhir menjadi diskursus untuk ditentukan perbedaannya. Akhirnya diputuskan bahwa Berita Daerah terfokus pada problem HAM di daerah yang tidak atau belum ter-cover secara nasional, sedangkan Rempah-rempah menjadi catatan kelanjutan pelanggaran HAM yang masih saja terjadi atau pernah di muat dalam Berita Utama dan berita terkait soal penegakan HAM dan Demokrasi. Kolom Amandemen diganti dengan nama yang sudah konvensional, Artikel, untuk memberikan ruang opini yang lebih ‘bebas’ dibandingkan hanya sekedar membicarakan persoalan perundangan-undangan. Kolom Suara Korban, diusahakan menjadi kolom yang memang benar-benar milik korban. “Kita kan banyak terima pengaduan tuh…” ujar Koordinator, “kita harus masukkan, biar masyarakat tahu, dan semoga aja tergerak untuk membantu”. Kami berharap kita dapat membantu, mendukung (baik materiil maupun moril) pada korban, misalnya dengan sehelai surat atau dering telpon kepada instansi-instansi negara yang berkewajiban memberikan rasa aman, keadilan, serta kesejahteraan bagi rakyat. Seandainya, dua ratus pembaca Kontras mengirimkan surat kepada Kapolda (tadinya mau disebut Kapolri, tapi nggak sreg sebab lagi sensitif) tentang penyiksaan yang dilakukan aparaturnya terhadap masyarakat sipil, bisa saja ini menjadi pressure terhadap sang Kapolda untuk menindak bawahannya. Semoga perubahan yang terjadi dalam Berita Kontras ini dalam jangka pendek dapat membayar hutang ketelatan kehadiran buletin kami di meja diskusi pembaca, dan dapat menjadi media yang efektif dalam menyuarakan penegakan Hak Asasi Manusia. Amiin…!(Edwin)
2
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
KONTRAS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) di bentuk untuk menangani persoalan penculikan beberapa aktivis yang diduga berhubungan dengan kegiatan politik yang mereka lakukan, Selanjutnya KONTRAS banyak menerima pengaduan dari orangorang yang kehilangan keluarga, bukan karena persoalan politik tetapi karena persoalan lain, dan juga mereka yang hilang setelah kerusuhan 13-24 Mei 1998, KONTRAS di prakarsai oleh beberapa LSM dan satu organisasi mahasiswa, dian taranya : KIPP, PIP HAM, CPSM, LPHAM, AJI, ELSAM, YLBHI dan PMII Dewan Pengurus: Ketua : Munir, SH. Anggota : Dadang Trisasongko, Robertus Robet, Ezky Suyanto Badan Pekerja: Kordinator : Munarman, SH. Tim Badan Pekerja: Abusaid Pellu, Ahmad Hambali, Ali Subur, Cahyadi Satriya, Daniel Hutagalung, Gian Moko, Hardini, Haris Azhar, Haryono, Indra.P, Indria Fernida A, Ikravany Hilman, Lukman Amin, Mouvty M. Al-Akhlaq, M.Basori, Nining Nurhaya, Ori Rahman, Ola Siahaan, Sri Suparyati, T. Marlas Panggabean, Usman Hamid, Udi Husodo, Umar Atamimi, Victor da Costa. Pieter Ell (Papua), Agus Wandi (Aceh), Oslan Purba (Medan). Badan Pekerja dibantu oleh relawan-relawan muda yang tersebar di seluruh Indonesia.
Salam dari Mendut 03
Puji syukur kami haturkan. 20 Maret 2001, pada tanggal yang sama, tiga tahun lalu, KontraS di Deklarasikan. Di tengah tanggungjawab dan tuntutan yang semakin bertambah, hanya ucapan syukurlah yang mampu kami haturkan pada-Nya. Ucapan syukur bahwa kami senantiasa diberi kekuatan bersama-sama dengan elemen masyarakat sipil yang ada untuk terus memperjuangkan penegakan HAM di Indonesia. anah airmata... tanah tumpah darah kami... airmata darah... tanah air kami...”. Sebait kalimat dari puisi Sutardji Calzoum Bachri yang biasa di musikalisasikan oleh Sanggar Matahari, terasa memberi petunjuk negeri seperti apa yang kita pijak sampai hari ini. Bagaimana bisa seorang manusia berprofesi tentara atau polisi menangkap, menyiksa, membunuh orang bagai memburu seekor musang. Bagaimana bisa seseorang atas nama suku, agama, kecemburuan sosial, membunuh, memperkosa, menjarah dan saling memusnahkan. Tapi itulah kenyataan yang masih kita temukan di negeri ini entah untuk berapa lama.
“
Sebagai laporan utama edisi ini kami turunkan hasil investigasi Tragedi Kemanusian di Sampit, Kalimantan Tengah. Sebuah tragedi yang terjadi akibat gumpalan kekecewaan yang terus membesar dan akhirnya meledak (kekecewaan atas tidak jelasnya penegakan hukum, timpangnya keberpihakan sistem ekonomi dan masih banyak lagi), menunjukkan betapa rasisnya sebuah bangsa ditengah “ketidakbecusan negara” dalam memberikan perlindungan. Untuk itu kami turunkan pula gugatan Warga Negara atas ketidakbecusan negara, disamping catatan lain tentang meningkatnya jumlah korban setelah dilakukannya operasi militer di Aceh, Ishlah Tanjung Priok dan RUU Kepolisian. Kami sajikan pula rekaman hasil diskusi terbuka tentang Evaluasi Kinerja Komnas HAM, yang diselenggarakan KontraS, di ruang Adam Malik YLBHI. Pada diskusi tersebut tampil sebagai pembicara Amin Aryoso ( ketua komisi II DPR), Samsudin (Komnas HAM), Amirudin (ELSAM), Munarman (KontraS). Selamat membaca, merenung (mengkonsep), dan terus berjuang menghentikan segala bentuk kekerasan yang mengancam diri kita, keluarga, dan semua - sebagai sesama manusia. Karena tidak lah bertambah nilai kita sebagai manusia hanya karena jabatan, harta, dan kesenangan lainnya. Akan tetapi berkuranglah nilai kita sebagai manusia apabila kita tidak peduli dengan nasib manusia lainnya yang hidup dalam penderitaan dan penindasan! Salam Demokrasi dan Rebut Hak Anda!! Redaksi
Berita KontraS
Diterbitkan oleh: KontraS ( Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) Penanggung Jawab : Munarman. Pemimpin Umum: Ikravany Hilman, Sidang Redaksi: Usman Hamid, Gian Moko, Mouvty. M. Al-Akhlaq Redaktur Pelaksana: Edwin Partogi Staf Redaksi: Ali Subur, Cahyadi Satriya, Haris Azhar, Indria Fernida. A, M. Islah, Nining Nurhaya, Ori Rahman, Sri Suparyati, Sekretaris Redaksi: M Harits, Tata Letak: M. Islah, Foto/Desain Grafis:Udi H, Bendahara: Hardini, Distributor: Lukman Amin Alamat Redaksi Jalan Mendut 03 Menteng Jakarta Pusat, Telp: (021) 3145940-3153865, Fax:3153881, e-mail:
[email protected]
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
3
Berita Utama
KONFLIK SAMPIT : Kegagalan Penyelenggara Pemerintahan Peran aparat keamanan terlihat tidak maksimal dan serius dalam upayaupaya mengantisipasi maupun menuntaskan kasus-kasus pertikaian antar kelompok masyarakat yang telah terjadi di Sampit dan sekitarnya Pada 18 Februari 2001 Kota Sampit menjadi arena konflik sosial terbesar di Kalimantan Tengah. Kultur pluralisme yang terbentuk bertahun-tahun dalam waktu singkat menjadi tidak bermakna. Hubungan yang harmonis antar kelompok masyarakat menjadi hancur, disertai hancurnya struktur sosial masyarakat. Kondisi ini diperparah dengan buruknya penanganan konflik yang berimplikasi pada terus berjatuhannya korban jiwa dan harta benda masyarakat di Sampit, terutama akibat panjangnya masa konflik dan meluasnya wilayah kerusuhan. Tim investigasi Kontras mencatat beberapa hal penting berkaitan dengan konflik 18 Februari 2001 yang kemudian berlangsung selama beberapa hari dan bergerak meluas hingga ke daerah di sekitar wilayah Sampit. PEMATANGAN SENTIMEN Rentannya masyarakat di Sampit terhadap konflik kekerasan, berawal dari kegagalan aparat keamanan dalam menangani kriminalitas yang terjadi selama ini. Terutama dalam kasus-kasus yang kerapkali melibatkan beberapa etnis berbeda. Sebelum meletusnya pecah konflik Sampit pada 18 Februari 2001, Kontras mencatat beberapa kasus kriminal yang memicu kerusuhan dan mengakibatkan jatuhnya korban, yaitu kerusuhan Tumbang Samba (17 September 1999), kerusuhan Kumai, (5 Juli 2000) dan kerusuhan Kereng Pangi (17 Desember 2000). Setelah Kerusuhan Kereng Pangi, hampir di seluruh wilayah Kalimantan Tengah beredar isu-isu dan selebaran berkaitan dengan kerusuhan yang akan 4
kekesalantanpa jawaban , sehingga masyarakat cenderung menyelesaikan kasus-kasus tersebut dengan ‘cara’nya sendiri dan dengan melibatkan kelompoknya masing-masing. Satu hal dicatat Kontras, pasca kerusuhan Kereng Pangi, Yayasan Pendidikan Islam bernama Al-Miftah yang berpusat di Pamekasan Madura dok. Hantantiring dan memiliki cabang di Kereng Pangi --yang juga menjadi sasaran amuk massa-- telah melaporkan kejadian tersebut dan memohon penanganan segera serta antisipasi kepada pemerintah Pusat dan Daerah, namun tidak mendapat respon positif, sampai dengan terjadinya konflik 18 Februari 2001.
terjadi di Sampit. Selebaran dan isu dalam bentuk provokasi dan ancaman terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu menunjukkan adanya upaya pengkondisian masyarakat ke arah konflik. Pada awal November 2000, beredar selebaran gelap di Palangkaraya yang berisi ancaman pengusiran terhadap kelompok masyarakat
tertentu. Pasca peristiwa Kereng Pangi, beredar isu perluasan konflik hingga ke Palangkaraya, isu akan ada penyerangan oleh kelompok masyarakat tertentu, isu penyerangan terhadap kelompok masyarakat tertentu di Tangkiling malam, isu akan terjadi kerusuhan di Sampit, dan isu adanya ratusan bom yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tertentu di Sampit dan sekitarnya. Isu-isu yang berkemban g dan meresahkan ini sempat direspon oleh Pemda lewat media massa dalam bentuk anjuran untuk tidak mempercayai selebaran dan isuisu yang menghasut masyarakat. Namun tidak ada upaya antisipasi konkret atas beredarnya isu yang berkembang luas. Ketidakpuasan terhadap penanganan kasus-kasus tersebut terakumulasi dalam
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
KONFLIK FISIK TERBUKA Beberapa temuan Kontras pada saat berlangsung konflik membuktikan adanya pengorgan isiran kekerasan seperti, Mobilisasi massa untuk melakukan penyerangan, perusakan dan pembakaran rumah-rumah, disertai dengan pemilikan senjata-senjata tradisional di kota Sampit dan sekitarnya. Pada hari pertama dan kedua, mobilisasi terjadi terhadap massa yang tinggal di dalam kota. Mereka praktis menguasai hampir seluruh kota. Hari-hari berikutnya, terjadi pergerakan massa yang sistematis dan cepat menuju kota Sampit melalui Kasongan, Cempaga dan Kotabesi. Massa yang menguasai kota terus bergerak ke Kuala Kuayan, Samuda dan Parenggean. Massa berdatangan ke kota Sampit dengan menggunakan truk, melakukan konvoi di pusat kota atau berkumpul di pos-pos penjagaan sepanjang jalan menuju kota. Saat kedatangan massa dari luar kota inilah arus
Berita Utama pengungsian menuju Palangkaraya dan daerah sekitarnya atau keluar dari Sampit melalui Kuala Pembuang menuju Jawa meningkat. Rangkaian penyerangan ini berlangsung dalam waktu sepuluh hari, tanpa adanya tindakan apa pun dari aparat. Di kota Sampit terdapat pusat komando yang memanfaatkan bangunanbangunan besar (Hotel) untuk mengatur dan mengkoordinir arus pergerakan massa dalam melakukan aksi-aksinya. Pusat Komando tersebut menjadi tempat pertemuan tokoh-tokoh kelompok masyarakat tersebut dan menjadi pusat logistik. Pusat komando ini kemudian diserang oleh aparat kepolisian, dan beberapa orang yang berada di dalamnya ditahan dan tidak jelas tindak lanjut aparat dari penahanan ini. Dalam waktu singkat massa juga telah menggunakan simbol dan tanda-tanda khusus yang seragam sebagai tanda kelompok atau tanda daerah kekuasaan kelompok, berupa kain dengan warna tertentu atau rumah-rumah yang dipasang simbol khusus. Massa dengan tanda-tanda khusus ini bebas berkeliaran. Aparat keamanan menemukan bahan peledak saat konflik berlangsung di rumahrumah kosong yang ditinggalkan penghuninya . MASUKNYA KONFLIK TERBUKA APARATUS NEGARA Setelah kerusuhan berlangsung sekitar + 10 hari, situasi mulai mereda. Namun dalam situasi ini, Kontras mencatat ada beberapa hal yang justru kontra produktif dengan situasi colling down yang terbentuk, yaitu adanya konflik terbuka aparatus negara. Tanggal 27 Februari 2001, terjadi kontak senjata antara pasukan Brimob dan TNI AD di pelabuhan Sampit yang menjadi lokasi pemberangkatan pengungsi. Hal ini menimbulkan keresahan baru di masyarakat, khususnya para pengungsi. Insiden ini juga menyebabkan korban tewas dan luka-luka. kondisi Ini diperburuk dengan pernyataan Danrem 102/Panju Panjung tentang hilangnya 6 pucuk senjata otomatis dan 80 stel pakaian loreng saat terjadi bentrokan antara Brimob dan TNI di pelabuhan Sampit, disertai isu dan selebaran bahwa pakaian loreng tersebut hilang bersama kaburnya sekitar 200-an or-
Kontras/IP Pengungsi Sampit : hidup harus terus dijalani
ang pengungsi beserta 7 buah mobil. Dalam selebaran itu tertulis lengkap No. Pol. kendaraan yang hilang diiringi dengan himbauan kepada masyarakat untuk melapor. INTERNALISASI KONFLIK APARATUS KEDALAMSENTIMENBARUKONFLIK Seiring meredanya konflik muncul internalisasi konflik aparatus ke dalam sentimen baru konflik, yaitu antara aparatus negara dan masyarakat. Hal itu terlihat dari beredarnya selebaran yang mengatasnamakan masyarakat Kotawaringain Timur dan Palangkaraya yang berisi catatan kebencian terhadap aparat kepolisian dari Brimob Kelapa Dua, Jakarta. Pada 8 dan 9 Maret 2001, terjadi penyerangan aparat keamanan terhadap massa yang melakukan unjuk rasa di kota Palan gkaraya bersamaan dengan kunjungan Presiden Abdurrahman Wahid. Tindakan penembakan aparat keamanan terhadap masyarakat menyebabkan 4 orang meninggal dunia dan 6 orang luka-luka. kejadian ini semakin menumbuhkan sentimen terhadap adalam bentuk provokasi yang disertai dengan ancaman terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentuparat. POLITIK SENTIMEN PENGUNGSI Dampak konflik lainnya adalah masalah pengungsi. Mereka yang
ketakutan dan kehilangan rasa aman harus meninggalkan rumah dan tinggal ditempat yang tak layak. sebagian pengungsi tingga1 di Polres serta rumah jabatan bupati Sampit. Persediaan logistik yang tidak memadai menimbulkan dampak trauma psikologis tersendiri bagi korban. Sementara itu banyak aparat TNI dan kepolisian justru melakukan bisnis ilegal, Memaksa pengungsi menjua1 kendaraan miliknya dengan harga murah, atau menekan pengungsi untuk memilih antara pemberangkatan orang atau barang adalah contoh tindakan tersebut. Terjadinya pemihakan atas keberangkatan pengungsi yang mampu membayar lebih banyak juga menjadi problem tersendiri. Politik sentimen pengungsi ini muncul ditengah perdebatan-perdebatan tingkat lokal dan nasiona1 dalam upaya mengatasi masalah pengungsi. Upaya-upaya relokasi dan rehabilitasi harta serta tempat tingga1 menjadi ajang adu kekuatan dan kekuasaan bagi kelompok masyarakat yang bertikai sehingga menimbulkan beban bagi konflik dan korban sendiri. Berdasarkan uraian tersebut, maka kerusuhan Sampit membuktikan bahwa negara telah gagal menjalankan fungsinya untuk menjamin hak hidup dan hak atas rasa aman rakyat. Peran aparat keamanan terlihat tidak maksimal dan serius dalam upaya-upaya mengantisipasi maupun menuntaskan kasus-kasus pertikaian antar kelompok masyarakat yang telah terjadi di Sampit dan sekitarnya.(BK/MMA/Ndrie)
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
5
Berita Utama
WARGA NEGARA MENGGUGAT Sebagai salah satu tindak lanjut dari investigasi yang dilakukan Kontras di Sampit, maka Kontras bersama beberapa LSM yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Kasus Sampit yaitu YLBHI, PBHI, ELSAM dan APHI mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Sampit bulan Februari 2001. Gugatan perbuatan melawan hukum atas peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Sampit bulan Februari 2001 ditujukan terhadap penyelenggara pemerintahan RI yang terdiri dari Presiden RI, Kepolisian RI, Kepolisian Daerah Kalimantan Tengah, Kepolisian Resort Kotawaringin Timur, Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah, dan Bupati/Kepala Daerah Tingkat II Kotawaringin Timur. Gugatan tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 28 Mei 2001. Gugatan diajukan sebagai salah satu bentuk advokasi litigasi yang dilakukan Kontras melihat fakta-fakta yang menunjukkan kegagalan para p en yelen gg ar a pemerintahan dalam menjamin dan menciptakan rasa aman di masyarakat serta adanya pembiaran terjadinya konflik di masyarakat. Hak Gugat Organisasi Gugatan seperti ini sudah pernah dilakukan, misalnya dalam bidang lingkungan. Pernah diajukan pula gugatan dalam kasus penyalahgunaan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah barubaru ini. Dalam bidang HAM, advokasi seperti ini pernah diajukan oleh beberapa LSM yaitu pada kasus kerusuhan Mei tahun 1998. 6
Hak gugat Organisasi/legal standing (gugatan NGO/LSM) adalah gugatan dimana penggugat tidak tampil di pengadilan sebagai penderita (aggrieved party), dan juga bukan sebagai kuasa para penderita. Akan tetapi sebagai organisasi mewakili kepentingan publik yaitu kepentingan mengupayakan penegakan,
perlindungan dan pembelaan HAM. Pengakuan standing selama ini sudah diakui keberadaannya seperti dalam pasal 37 ayat (1) UU no. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dan pasal 46 UU no. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Perlu diketahui bahwa pengakuan standing diakui hanya terbatas sebagai “tiket masuk” ke dalam arena pertarungan, yang efektifitasnya juga ditentukan oleh jaminan kebebasan/ kemandirian pengadilan, pro-aktifisme hakim dan prinsip pembuktian dan
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
pertanggungjawaban yang lebih memberikan keadilan bagi masyarakat. Kedudukan dan kepentingan hukum penggugat Para penggugat adalah LSM yang tumbuh dan berkembang secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri, bergerak serta intens dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan p en e g a k a n , perlindungan dan pembelaan HAM, mengikutsertakan anggota masyarakat d a l a m m e m p er j ua n gk a n penghargaan dan penghormatan nilain ilai HAM. Hal tersebut tercantum dalam pasal 44 UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM yang menyatakan bahwa setiap orang baik sendir i-sendir i Kontras/IP maupun bersamasama berhak untuk mengajukan pendapat, permohonan, pengaduan dan atau usulan kepada pemerintah dalam rangka pelaksanaan pemerintahan yang bersih, efektif, baik dengan lisan maupun tulisan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pasal 7 pada UU yang sama dan penjelasannya lebih lanjut menyatakan bahwa setiap orang berhak menggunakan upaya hukum n asional maupun internasional seperti misalnya pengadilan. Mekanisme “legal standing” inilah yang merupakan perwujudan dari pasal 44
Berita Utama tersebut di atas dan diatur lebih lanjut pada pasal 100 UU no. 39 tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, Lembaga swadaya masyarakat atau lembaga kemasyarakatan lainnya berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM. Fakta-fakta Sebelum terjadinya kerusuhan di Sampit tanggal 18 Februari 2001, telah terjadi kerusuhan Kereng Pangi pada Desember 2000. Kerusuhan itu menyebabkan terjadinya arus pengungsian yang besar dan kerugian harta benda, sehingga pada sekitar bulan Januari 2001 sebuah yang mempunyai cabang di Kereng Pangi, Yayasan Al-Miftah telah mengingatkan kepada para penyelenggara pemerintah RI tersebut di atas untuk segera mengambil langkah-lan gkah yang signifikan untuk mencegah terjadinya konflik yang lebih besar lagi. Kerusuhan yang lebih besar terjadi lagi pada tanggal 18 Februari 2001 yang menewaskan 391 orang meninggal dunia dan pengungsi yang berjumlah + 55.323 orang. Pecahnya kerusuhan disertai perusakan, pembakaran, penganiayaan dan pembunuhan antar penduduk satu sama lain dalam jumlah besar (massal). Arus pengungsian yang awalnya dilakukan untuk menghindari wilayah pertikaian, selanjutnya dilegalkan Pemda setempat dengan mengevakuasi terhadap warga
pendatang dari Sampit. Ini dinyatakan Wahyudi, Bupati Kotim kepada JPNN. Para penyelenggara pemerintahan tidak melakukan tindakan preventif mencegah meluasnya kerusuhan. Sebelum dan saat terjadinya kerusuhan, tidak ada upaya-upaya untuk mencegah dan atau memberikan keamanan, melakukan tindakan dan perlindungan hukum. Sifat perbuatan melawan hukum Penyelenggara pemerintahan tersebut telah melanggar beberapa peraturan perundang-undangan baik nasional maupun internasional, seperti Universal Declaration of Human Rights, Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No.5, Tahun 1998 tentang pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia, TAP MPR no. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran kepolisian RI, UU no. 28 tahun 1997 tentang kepolisian negara RI, UU no. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana, pasal 1365 dan 1366 KUH Perdata Atas akibat hukum yang ditimbulkan, maka para tergugat harus mengajukan permohonan maaf secara terbuka kepada rakyat Indonesia, memberikan biaya pemulihan kesehatan, santunan korban yang meninggal dunia serta biaya pemulangan pengungsi. (BK/SPRYT)
berbagai konflik terjadi, begitu banyak korban berjatuhan tak ada yang merasa bertanggungjawab dan mereka, anak-anak itu.... hanya bisa memandang dengan tatapan kosong tidak mengerti dengan apa yang terjadi tidak tahu harus berbuat apa tidak tahu mau jadi apa mereka nanti
Rakyat menggugat sejarah membuktikan bahwa negara yang akhirnya melayani rakyatnya dengan baik, adalah negara yang awalnya sering mendapat gugatan dari rakyatnya.....................
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
7
Bi ca ra
KERUSUHAN DAN KONFLIK Potret Indonesia.... Munarman, S.H. Koordinator KontraS
Hingga saat ini konflikkonflik internal yang terjadi di Indonesia belum satu pun yang berhasil dikelola secara positif oleh pemerintah.
8
S
ejak empat tahun terakhir, kita banyak melihat berbagai peristiwa kerusuhan dan konflik di negara ini. Mulai dari kerusuhan kecil yang bersifat sporadik seperti Ketapang, Pontianak, Banjarmasin, Banyuwangi, Jember, Situbondo, kasus 27 Juli 96, hingga memuncak pada kerusuhan Mei 1998. Tragedi Mei 98 ini merupakan puncak dari kerusuhan-kerusuhan sebelumnya, yang banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda, serta menyebabkan terpuruknya citra Indonesia di dunia Internasional. Dalam dimensi lain berbagai bentuk kekerasan juga terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia setelah Mei 98 tersebut. Sejak kerusuhan Mei 98 tersebut karakter konflik di Indonesia bergeser dari konflik yang bersifat vertikal-struktural menjadi konflik yang bersifat horizontal-struktural. Konflikkonflik horizontal-struktural tersebut merebak di berbagai wilayah Indonesia, mulai dari Aceh, Sampit, Pangkalan Bun, Ambon, Maluku Utara, Poso hingga Papua. Kalau kita perhatikan dengan cermat, perubahan karakter konflik tersebut ternyata mengikuti situasi dan kondisi politik pada tingkat elit. Apa yang terjadi Ketapang, Pontianak, Banjarmasin, Banyuwangi, Situbondo dan Jember dan berpuncak pada peristiwa 13 –15 Mei 98 adalah konflik-konflik yang terjadi bertepatan dengan momentum Pemilu 97 hingga menjelang pergantian Soeharto sebagai Presiden. Perkembangan libido politik pada level arus bawah yang begitu kuat melakukan penolakan terhadap rezim Orde Baru pada masa itu, telah dibelokkan dan di rekayasa menjadi isu-isu yang bersifat horizontal. Kasus 27 Juli 96, penyerbuan kantor PDI di Jl. Diponegoro adalah bukti paling nyata dari pembelokkan isu tersebut. Rezim militeristik Orde Baru dengan lihainya telah membelokkan berbagai isu ketimpangan struktural yang disebabkan dan melekat pada rezim menjadi isu yang bersifat horizontal, seperti etnis, agama dan suku. Sekolah politik yang diberikan rezim Orde Baru kepada rakyat adalah adu domba dan pertikaian antara sesama kelompok masyarakat. Rezim Orde baru-lah (yang hingga saat ini masih tersisa di tubuh pemerintahan dan parlemen maupun lembaga yudikatif) yang paling
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
bertanggung jawab atas konflik horizontal yang banyak terjadi sekarang ini. Dari segi bahasa Orde Baru menggunakan istilah kerusuhan untuk konflikkonflik yang terjadi semasa Rezim berkuasa. Ada dua hal yang harus mendapat perhatian dari kita semua, bahwa antara kerusuhan dan konflik terdapat perbedaan yang tajam. Kerusuhan bukan berarti konflik atau penyebab konflik, tetapi konflik dapat merupakan salah satu faktor penyebab kerusuhan dan konflik tidak berarti harus selalu diikuti dengan kerusuhan. Dalam konteks Indonesia kerusuhan telah digunakan oleh para elit politik sebagai salah satu cara untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka, hal inilah yang harus kita sadari sebagai satu bentuk dari kesadaran kita, agar tidak mudah termakan oleh jargon dan sentimen politik yang dilakukan oleh elit politik terutama sisasisa Orde Baru yang masih bercokol di kekuasaan. Dalam kenyataannya sekarang ini, isu-isu yang bersifat vertikal-struktural telah berhasil dimanipulasi dan dieksploitasi oleh elit pemimpin yang opotunistik (sisa-sisa Orde Baru di pemerintahan, institusi milter, parlemen dan yudikatif) menjadi konflik horizontal dalam eskalasi yang tinggi. Kalau kita perhatikan dengan cermat maka ciriciri pokok dari kerusuhan adalah bersifat spontan dan sporadis, temporer atau tidak memakan waktu lama dan tidak mempunyai tujuan serta tidak terpimpin baik secara ideologis, politis ataupun manejerial. Sedangkan konflik mempunyai karakter yang lebih dalam. Sekarang marilah kita lihat akar-akar dari konflik yang tengah terjadi saat ini. Dalam sejarahnya jenis-jenis konflik yang pernah ada didunia adalah; pertama; konflik antar negara dalam bentuk perang antar negara, seperti yang pernah kita saksikan perang besar yang terjadi adalah mulai dari perang dunia I dan perang dunia II hingga ke perang teluk. Konflik antar negara yang mengambil bentuk lain adalah perang ideologi seperti yang kita kenal dengan perang dingin, yang terjadi antara tahun 1920-an hingga ke awal 1990-an. Kedua; konflik dalam negara, yang mengambil bentuk perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis, dan peperangan domestik
Bi ca ra
Berkeadilan
ka r
Lin g
r- a
Akto
ta l tur uk
kto
r:
e
Kedua faktor (struktural dan pembakar) lainnya, seperti yang pernah kita saksikan di n Fa kto r Pe m b a ka ka ra tersebut apabila bertemu satu sama lainnya semenanjung Balkan, daratan Afrika, Fiji. g r Lin akan menyebabkan konflik menjadi Konflik jenis inilah yang sekarang ini n perang fisik terbuka seperti yang tengah merebak di Indonesia. a n i mp i dialami oleh banyak wilayah di tanah Hingga saat ini konflik-konflik P ro ble m Fa lit P r air dan muncul dalam berbagai internal yang terjadi di Indonesia o kto kt Fa rS bentuk baik yang kita kenal tersebut belum satu pun yang n tr a IV dengan konflik horizontal (karena berhasil dikelola secara positif Stabilitas negara aktor-aktor negara oleh pemerintah sekarang ini. Stabilitas sosial sosial berhasil membelokkan Pada masa pemerintahan yang tinggi rendah dan memanipulasi lalu di bawah potensi konflik), rezim otoriter Negatif P ositif III misalnya Ambon, Soeharto potensi II Konflik horizontal Sampit, Pontianak maupun masyarakat untuk mengelola menjadi manifest, Potensi konflik mulai ada berlarut-larut, konflik vertikal (karena dan meyelesaikan konflik telah rumit, (isu-isu vertikalkegagalan aktor-aktor negara dimatikan dan ditutup ruang sulit dikelola struktural) membelokkan dan memanipulasi politiknya. konflik) seperti misalnya Aceh dan Aparatus negara melalui Papua. mesin birokrasi sipil dan militer di Apabila kita gambarkan dalam bawah rezim yan g lalu, selalu bentuk lingkaran keseluruhan faktormelakukan intervensi negatif terhadap faktor tersebut apabila digabungkan, maka setiap konflik yang ada pada masyarakat, akan terlihat model untuk melakukan analisis sehingga sekarang ini masyarakat tidak terlatih terhadap konflik. Lingkaran luar dari gambar yang untuk mengelola konflik. Konflik dianggap sebagai berisikan faktor-faktor pembakar (baik secara barang haram yang harus dilenyapkan. Padahal kalau kita sadari konflik adalah keniscayaan, yang akan tetap Tidak berkeadilan keseluruhan maupun salah satu) dapat bertemu pada seluruh kwadran (I,II,III,dan IV) dari lingkaran dalam yang ada sepanjang peradaban manusia. Bahwa konflik sampai berisi faktor-faktor struktural dari konflik. Pertemuan darai berbagai berdarah-darah dan mengorbankan nyawa dan harta benda, hal itulah faktor inilah yang akan mempengaruhi tingkat kedalaman konflik. yang harus dicegah. Pada kondisi riel tentu problemnya akan jauh lebih rumit dan kompleks, akan tetapi paling tidak kita dapat mengabstraksi faktorKarakteristik Konflik Yang Mengakar faktor yang ada dalam konflik.. Kembali pada konflik, mengambil model yang dikemukakan oleh David Bloomfield dan Ben Reilly, ada dua eleman kuat yang menjadi dasar dari konflik, adalah; Skema Analisis Lingkaran Konflik Identitas ; mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas Dari gambaran skema kwadaran diatas kita dapat melihat bahwa komunal yang didasarkan atas ras, agama, kultur, bahasa dan implikasi dari faktor distribusi sumber-sumber daya politik dan seterusnya. ekonomi apabila di silangkan dengan pengelompokan berdasarkan Distribusi ; cara untuk membagi sumber daya ekonomi, sosial identitas maka akan melahirkan kondisi-kondisi tertentu dalam dan politik dalam sebuah masyarakat. Hal ini biasanya berhubungan masyarakat. Dalam kwadran I, akan tercapai ketahanan sosial atau erat dengan mekanisme formal demokrasi yang dibangun dalam suatu stabilitas sosial yang sesungguhnya apabila sumber-sumber daya negara. Artinya negara menjadi pemeran utama dari elemen ini. politik dan ekonomi didistribusikan secara berkeadilan dan Dari kedua elemen tersebutlah biasanya konflik yang mengakar pengelompokan berdasarkan identitas dikelola secara positif. Dalam terjadi. Ketika distribusi yang dianggap tidak adil bertepatan dengan kwadran II, ketika sumber daya politik dan ekonomi distribusinya perbedaan identitas (dimana satu kelompok kekurangan sumber daya tidak berkeadilan akan tetapi pengelompokan berdasarkan identitas dibanding kelompok lain), maka kita telah menemukan potensi konflik. bersifat positif maka konflik tersebut akan bersifat vertikal-struktural Dua elemen dasar dari konflik ini disebut dengan problem atau faktordan konflik tersebut berkecenderungan melahirkan maknismefaktor struktural dari konflik. mekanisme demokrasi yang baru. Sedangkan model lain dari analisis konflik adalah yang Pada kwadran III, kita akan melihat karakter konflik yang demikian berhubungan dengan, (1) masalah kepentingan: yaitu kebutuhan dalam dan mengakar karena telah melibatkan unsur-unsur emosional dan cara untuk memenuhi kebutuhan dan yang menyangkut dengan individual. Mereka yang bertikai langsung menusuk kedalam inti persoalan mental dan psikologi, (2)Perbedaan nilai-nilai yang sesuatu yang memberi orang kesadaran akan dirinya sendiri, diperjuangkan, (3)Perdedaan data dan informasi, komunikasi, mendefenisikan ikatan seseorang dengan komunitasnya dan perbedaan interpretasi, stereotype, (4) Aktor-aktor yang bermain mendefenisikan sumber kepuasan bagi kebutuhan akan identitas. dalam konflik :yang terdiri dari elit pemimpin, pemimpin formal Konflik yang berkarakter seperti pada kwadran III tersebut, jauh maupun informal baik lokal maupun nasional, dan massa. Ke-empat lebih rumit, bertahan sangat awet dan sulit dikelola. Konflik seperti kondisi ini dikategorikan sebagai faktor-faktor yang membakar ini melibatkan klaim hak-hak kelompok, baik yang berdasarkan etnis, konflik, atau disebut dengan faktor pembakar. suku, bangsa maupun agama. ................................... ke halaman 19
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
9
Kabar Daerah
MILITER KEMBALI KE ACEH memperpanjang kontrak dosa ?
Operasi Militer : hanya menambah jumlah janda dan anak yatim
Panglima Kostrad Letjen Ryamizard Ryacudu menyatakan bahwa persoalan GAM di Aceh akan diselesaikan secara militer, dengan alasan bahwa Kepolisian tidak akan sanggup menghadapi gerombolan tersebut. 10
P
erpanjangan Jeda Kemanusiaan telah terlewatkan, meninggalkan catatan kekerasan, kontak senjata dan segala bentuk pelanggaran HAM yang terus berlangsung hingga akhir-akhir ini. Fakta-fakta kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia telah kehilangan keseriusannya, bahkan sepertinya akan kembali memberlakukan segala bentuk kekerasan sebagai solusi persoalan ketidak adilan di Aceh. Dalam bulan Januari 2000 hingga Februari 2001 lalu misalnya, Kontras mencatat dari 1023 kasus kekerasan dan pelanggaran HAMyang menelan korban 1531 jiwa, 764 kasus melibatkan aparat Kepolisian sebagai pelaku, 30 kasus melibatkan Aparat TNI, dan 90 kasus melibatkan aparat TNI dan Polri sebagai pelaku bersama. Besarnya angka pelanggaran HAM ini cukup menjelaskan ben tuk solusi pemerintah Indonesia yang tidak efektif bahkan cenderung menambah catatan
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
kekerasan di Aceh. Pernyataan Panglima Kostrad Letjen Ryamizard Ryacudu bahwa persoalan GAM di Aceh akan diselesaikan secara militer, dengan alasan bahwa Kepolisian tidak akan sanggup menghadapi gerombolan tersebut, membuktikan bahwa Aparat keamanan tidak berkeinginan menyelesaikan konflik Aceh dengan jalan damai melalui dialog. Berdasarkan hal-hal di atas Kontras menilai bahwa: Pertama, ada upaya dan gagasan untuk menyeret persoalan Aceh menjadi persoalan sparatisme sematamata. Persoalan substansial yang selama ini menghambat proses penyelesaian atas persoalan kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh tidak lagi diperhatikan. Pemulihan keamanan tentu saja menjadi penting dalam pe nanganan masalah Aceh, akan tetapi kepentingan untuk melindungi masyarakat merupakan kewajiban yang seharusnya diutamakan dan tidak bisa dihindari. Penanganan masalah Aceh pada masa Operasi Militer (status DOM) harus menjadi pertimbangan dalam mengambil kebijakan lebih dalam soal Aceh. Kedua, gagasan penyelesaian militer sebagai solusi persoalan Aceh kembali memposisikan masyarakat Aceh sebagai pelaku pemberontakan (makar). Kenyataan bahwa masyarakat Aceh merupakan korban dari segala bentuk kekerasan ekonomi politik negara menjadi tidak diakui. Lagi-lagi negara berusaha menutupi kejahatan-kejahatannya pada masa lalu dengan membuat kejahatan baru. Ketiga, gagasan tersebut jelas merupakan langkah mundur pemerintah Indonesia, terutama setelah adanya kesepakatan Jeda dan upaya-upaya perundingan antara pihak
Kabar Daerah pemerintah Indonesia dengan elemen-elemen sipil Aceh (Moratorium). Jeda Kemanusiaan yang merupakan solusi alternatif yang moderat, nampaknya tidak akan menemui tindak lanjut yang positif. Oleh karena itu Kontras menyatakan : 3. 1.
2.
Menolak secara tegas penyelesaian secara militer terhadap persoalan di Aceh, mengingat pengalaman masa lalu (penerapan Daerah Operasi Militer di Aceh) yang telah men elan biaya kemanusiaan yan g cukup besar. Penyelesaian secara militer tidak menjamin penyelesaian sepanjang mekanisme penyelesaian yang dibangun pemerintah belum menyentuh substansi persoalan. Meminta kepada militer untuk tidak memaksakan upaya-upaya penyelesaian secara militer dengan alasan ketidakmampuan fungsi-fungsi polisionil dalam menangani persoalan keamanan di
4.
Aceh. Pemerintah dalam pointer penting (entry point) hal ini harus tetap untuk dituntaskan. Karena Gagasan konsisten menempuh usaha penyelesaian persoalan penyelesaian pendekatan-pendekatan selama ini hanya terpaku pada yang lebih manusiawi militer sebagai usaha negara mempertahankan berdasarkan prisnsipwilayah (integrasi teritorial) solusi prinsip HAM. tanpa memperhatikan nilai Mengh ar apkan kemanusiaan masyarakat persoalan pemerintah untuk mulai Aceh kembali (integrasi sosial) yang telah terbuka membahas dan dirampas, tanpa penuntasan menyelesaikan persoalan- memposisikan secara hukum yang memenuhi persoalan substansial di keadilan rakyat. Bila pola ini masyarakat Aceh. Ketidakterbukaan terus dijalankan pemerintah, pemerin tah untuk Aceh sebagai maka dapat dikatakan bahwa menuntaskan pembahasan negara telah melindungi para pelaku persoalan-persoalan Aceh pemberontakan pelaku pelanggaran HAM sebenarnya merupakan dengan mengecilkan fungsi (makar). faktor utama ketidakjelasan penghormata, pemenuhan dan (disorientasi) sikap dan jaminan perlindungan terhadap tanggungjawab Negara hak-hak dan kebebasan dasar dalam menangani persoalan Aceh. rakyatnya (Aceh). (BK/MMA) Mengharapkan penyelesaian persoalan kekerasan dan pelanggaran HAM masa DOM dan pasca DOM tetap menjadi
Penyiksaan
PASAL 1 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sehinga menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh imformasi atau suatu pengakuan dari padanya atau orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh dia atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila kesakitan atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh atau atas hasutan dari, atau dengan persetujuan atau dibiarkan oleh seorang pejabat pemerintah atau orang lain yang bertindak dengan kapasitas resmi. haltersebut tidak termasuk kesakitan atau penderitaan yang timbul hanya dari, atau melekat pada atau berkaitan dengan sanksi-sanksi hukum. berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
11
jeritan dari Sampit “Sudah turuntemurun kami disini, tidak sekalipun saya pulang ke Madura karena saya sudah tidak punya keluarga lagi disana, harta benda yang kami kumpulkan sedikit demi sedikit bertahun-tahun habis terbakar oleh kebencian yang tidak saya mengerti”
Jauh di sebuah pelosok kota Sampit yang berjarak 130 kilometer, saya dengan keluarga tinggal dan mencari nafkah sebagai petani. Tanah yang saya miliki merupakan tanah transmigrasi yang subur. Lokasi tersebut berdekatan dengan perkampungan masyarakat asli suku Kalimatan, di lokasi transmigrasi itu selain suku kami juga ada banyak suku lain yang ditempatkan sebagai transmigrasi. Semejak kecil dan sampai saya berkeluarga, kami hidup penuh persaudaraan dan keakraban yang terjalin dengan baik, baik sesama suku pendatang maupun dengan suku asli orang Kalimatan. Hal sederhana saja saya ceritakan, ada tetangga keluarga penduduk asli suku Kalimatan yang suaminya bekerja di sebuah instansi pemerintah dan istrinya bidan pukesmas, sewaktu mereka pergi bekerja anaknya dititipkan kekeluarga kami. Meski beda suku dan agama kita saling membantu, mereka sering mengirimi kami makanan dan sebaliknya sayapun melakukan hal yang sama. Setelah pecah kerusuhan di Kereng Pangi dan Sampit, tersiar isu kami akan diserang dan diusir oleh suku asli. Namun kami sedikit merasa aman dengan anjuran tokoh masyarakat asli Kalimatan (Demang) di kampung saya dan saudara-saudara suku lainnya yang mengatakan akan memberi pengamanan dan bila tidak memungkinkan kami diminta untuk mengungsi sementara ke hutan. Dia (demang) berpesan, kalo terjadi kerusuhan, mengungsi saja sementara ke hutan, cari tempat yang aman, selamatkan dulu keluarga kalian. Karena yang melakukan kerusuhan itu orang-orang di luar kampung kami dari berbagai tempat, termasuk mereka yang ada di pedalaman dengan jumlah ratusan dan dia tidak dapat lagi mengendalikan mereka. Dua hari setelah terjadi kerusuhan di kota Sampit, desa di sebelah kampung kami di serang, Telah terjadi pembakaran dan suara hiruk pikuk yang menakutkan. Kami langsung meninggalkan rumah dengan istri dan anak- anak, tidak satu pun yang sempat saya bawa kecuali pakaian yang melekat di badan. Di antara rombongan itu juga ada suku asli dan suku lainnya, mereka juga takut. Setelah melewati perjalanan sekitar 6 kilometer di kaki bukit, di kampung kami telah terjadi pembakaran. Dari kejauhan terlihat rumah kami habis terbakar, ada perasaan begitu sedih dan yang bisa kami lakukan hanyalah mengurut dada, rumah yang saya bangun dari hasil keringat bertahun-tahun habis terbakar dalam waktu sekejap. Terbayang dimanakah kami akan tinggal dan membesarkan anak-anak nanti. Selama 12 hari di hutan kami hanya makan apa adanya, ada pisang makan pisang,.................. .......................................................................................................dari Badri(35) salah seorang pengungsi
Sekitar tengah malam jam 01.00 Wib, saya mendengar suara teriakan dari dalam komplek pemukiman masyarakat Madura di jalan Perumnas Jaya Wijaya II, menurut perkiraan saya telah terjadi penyerangan ke komplek tersebut. keesokan harinya saya mendapatkan berita bahwa penyerangan itu telah mengakibatkan terbunuhnya 5 orang suku Madura. Menurut saya, kebencian terhadap masyarakat pendatang adalah akumulasi kebencian yang terjadi selama ini, banyaknya kasuskasus kekerasan seperti curamor, perkelahian yang berakhir di ujung pisau, penjambretan dan persaingan dalam memperebutkan bidang ekonomi yang tidak sehat. Kejadian di Sampit ini merupakan lanjutan kejadian di Kereng Pangi karena masyarakat tidak puas dengan penyelesaian kasus itu. Terhadap aparat kepolisian ini pun kepercayaan masyarakat Dayak sudah tidak ada, banyaknya kasus-kasus yang tidak ditangani secara baik. Upaya perdamaian yang dilaksanakan sebulan yang lalu dalam merespon kejadian di Kereng Pangi yang diikrarkan di kota Sampit itupun tidak kekal, buktinya kejadian barusan di Sampit ini. Dengan kejadian pada saat itu, saya yang masih berada di Sampit bersama keluarga merasa ketakutan, saat itu saya hanya dapat berdoá karena sudah tidak berdaya lagi. ...........................................................dari Titan, warga Sampit.
12
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
ARTIkel RUU KEPOLISIAN : Memfungsikan Polisi sebagai Polisi Setelah berpisah dari TNI pada 01 Juli 2000, banyak harapan terhadap lembaga kepolisian untuk mewujudkan polisi yang memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, pengayom dan pelayan bagi masyarakat. Akankah harapan ini terwujud dengan hadirnya UU Kepolisian? Sebagaimana diamanatkan oleh TAP MPR No VI/MPR/2000 dan TAP No VII/ MPR/2000, secara garis besar dapat dikatakan bahwa dalam rangka profesionali sasi soal keamanan dan pertahanan maka diadakan pemisahan antara TNI dengan Polri, berikut dengan peran masing-masing. Kehadiran dua TAP MPR ini cukup melegakan karena selama ini landasan yuridis yang digunakan hanyalah statement Panglima TNI dan Keppres yang mengarah kepada soal-soal pemisahan tersebut. Di sisi lain para petinggi MPR masih bersikap ambigu dengan membiarkan TNI/Polri “berlalu lalang” sebagai anggota MPR sampai tahun 2009. TNI dan Polri yang duduk dalam satu Fraksi (fraksi TNI/Polri) menggambarkan bahwa pemisah an di atas sekedar memenuhi tuntutan suara rakyat, tanpa landasan kesadaran ideal. Sesuai dengan ketentuan TAP III/MPR/2000 tentang hirarki peraturan per-Undang-Undangan untuk memberi landasan yang semakin jelas dalam tertib negara hukum, maka ketentuanketentuan dalam TAP MPR tersebut harus diperjelas lagi dengan suatu UU. Saat ini, ada dua RUU yang diajukan, yaitu RUU tentang Pertahanan Negara dan RUU tentang Kepolisian. RUU Pertahanan Negara lebih terfokus pada pengaturan mengenai mempertahankan negara dan kedudukan TNI. Sedangkan RUU kepolisian -yang akan banyak dibahas dalam tulisan
initerfokus pada pengaturan penyelenggaraan keamanan dan ketertiban negara, dan kedudukan Polisi. Di dalam RUU Kepolisian, kesadaran polisi akan cita-cita masyarakat madani yang adil, makmur dan beradab, masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 secara tegas dicantumkan di awal hal menimbang, ditambah kesadaran mengenai pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pengayom dan pelayan bagi masyarakat. RUU juga memasukkan perubahan paradigma ketatanegaraan yang menuntut adanya pemisahan TNI dengan Polri. Hal di atas menjadi landasan filosofis bagi pihak kepolisian untuk melakukan perubahan kerja, status dan stigma. Tentunya perlu disesuaikan dengan aksi-aksi di lapangan agar tidak kembali mengulang aksi-aksi yang selama ini dilakukan oleh kepolisian terutama dengan tingginya tingkat kekerasan yang dilakukan, setelah berpisah dari TNI, 1 Juli 2000. Beberapa isi/pasal yang patut diperhatikan adalah isi pasal yang berkaitan dengan proses demokratisasi, civilisasi dan profesionalisasidan pertanggungjawaban berdasarkan peran dan wewenang Kepolisian, seperti:
Beberapa isi/pasal yang patut diperhatikan adalah yang berkaitan dengan proses demokratisasi, civilisasi dan profesionalisasi
1. Keamanan dan ketertiban masyarakat
yang harus ditegakkan kembali sebagai syarat proses pembangunan nasional. Hal ini tentu dibenarkan dan harus didukung, dalam hal menjaga keamanan dan ketertiban terhadap peristiwa-peristiwa pelanggaran dan kejahatan yang bernuansa kriminal, baik yang bersifat tradisional konvensional, maupun teknologi canggih seperti white colour crime. Masalah keamanan dan ketertiban masih perlu di sosialisaikan agar tidak terjadi penafsiran secara sepihak dari eksekutor (R) UU ini terhadap pola dan aksi yang dilakukan oleh masyarakat, terutama jika eksekutor tersebut telah menjadi bagian dari kepentingan kelompok atau golongan. 2. Keamanan dan ketertiban juga menjadi syarat untuk mencapai tujuan nasional yang ditandai -salah satunya- dengan tegaknya hukum. Dalam hal ini perlu kiranya dilihat proses reformasi hukum yang masih berjalan dan langkah-langkah kecil untuk segera mengisi kekosongan dan kekurangan substansi hukum di masa transisi ini. Apalagi banyak “pekerjaan” dan “kondisi” akibat dari kejahatan-kejahatan di masa lalu. Maka kepolisian dituntut untuk segera mengambil tindakan sesuai dengan fungsinya dalam negara hukum. Jadi Polisi selain memikirkan pola penegakkan hukum (integrated criminal justice system) juga perlu banyak memberi masukkan dan melakukan diskusi dengan pihak pembuat UU. walaupun pada prinsipnya, polisi juga perlu tetap akomodatif terhadap usulan masyarakat, sebab untuk merekalah polisi ada. 3. Peraturan yang dikeluarkan oleh kepolisian RI dinyatakan sebagai peraturan yang mengikat seluruh warga masyarakat setelah susunan organisasi dan tata kerja kepolisian RI diatur berdasarkan Keppres. Hal ini tidak dapat dibenarkan, karena pada prinsipnya semua hal-hal dan bentuk peraturan --perundang-undangan-- yang menyangkut dan akan diberlakukan pada masyarakat harus melalui saluran dewan Perwakilan Rakyat sebagai bentuk demokratisasi dan anti otoritarianisme yang
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
13
ARTIkel menjalankan segala sesuatunya secara Bisa-bisa malah justru akan membentuk sepihak karena merasa paling tahu dan pal- konflik baru antar anggota masyarakat (antara yang swakarsa dengan yang bukan) karena ing benar. 4. Adanya pemisahan kedudukan antara di satu pihak merasa punya wewenang dan kepentingan bangsa dan negara, dengan alat sementara pihak lain tidak. kepentingan masyarakat. Secara kontekstual pemisahan dilakukan guna 6. Pencantuman HAM dalam RUU belum tercapainya tujuan nasional (keamanan, ditindaklanjuti dengan perubahan prilaku di ketertiban, tegaknya hukum dan terbinanya lapangan, pola pendidikan, penghormatan ketentraman). Artinya mungkin saja nanti dan pemahaman. Penghormatan terhadap kepentingan masyarakat dilihat sebagai HAM sendiri tidak atau belum diatur lebih ancaman terhadap kepentingan bangsa dan lanjut manakala polisi melakukan serangkaian negara, tetapi kepentingan bangsa dan pelanggaran HAM. Polisi melalui RUU ini negara tidak dilihat sebagai ancaman sengaja memisahkan antara (penegakkan) terhadap kepentingan masyarakat. hukum dengan masalah HAM. Penyudutan terhadap masyarakat masih berlanjut dengan pencantuman ‘penyakit 7. Peran dan fungsi Kepolisian disesuaikan masyarakat’ yang tidak jelas arti definisinya. menurut kepentingan dalam daerah hukumnya masing-masing. Dalam Ketatanegaraan, secara Hal ini terlihat positif manakala teoritik syarat mutlak suatu sebagai tindakannegara adalah adanya Penghormatan diartikan tindakan persuasif terhadap masyarakat. Di negara yang daerah-daerah dengan karakter demokratis, masyarakat menjadi terhadap tertentu. pemegang kekuasaan yang HAM Namun jika melihat hakiki, menjadi cikal bakal dan realitas, dimana sistem hirarki tujuan distribusi keadilan oleh sendiri tidak kekuasaan masih kuat dalam penguasa, termasuk kepolisian. organisasi kepolisian -dimana Hal di atas menunjukkan bahwa atau belum perintah pimpinan aparat kepolisian kita masih berpikiran kedaulatan negara diatur lebih mengalahkan peraturan perundang-undangan- maka bukan kedaulatan rakyat.(lihat lanjut serangkaian tindakan yang pasal 1:7) dilakukan di daerah masih manakala mungkin atas perintah pusat 5. Dalam mengembankan yang notebene kuran g tugasnya polisi dibantu oleh polisi mengetahui situasi lapangan di beberapa elemen, salah satunya daerah, atau hanya sebatas di adalah bentuk-bentuk melakukan atas kertas hasil laporan pengamanan swakarsa. Dalam serangkaian bawahan. RUU ini tidak dijelaskan apa dan siapa pengamanan swakarsa pelanggaran 8. RUU ini meperlihatkan tersebut. Jika dilihat dari masih kerasnya kemauan pengalaman selama ini, yang HAM. polisi untuk turut serta secara dimaksud swakarsa tersebut aktif dalam rangkaian adalah pengamanan yang dilakukan oleh masyarakat. Di sini jelas intervensi dan hegemoni aspirasi, wacana, Kepolisian melepaskan tanggungjawab ideologi yang yang merupakan hasil pengamanannya untuk daerah-daerah kebebasan azasi seseorang. Seperti tertentu untuk diserahkan kepada pihak melakukan pengawasan terhadap ideologi masyarakat sendiri. Sementara anggota dan aliran kepercayaan. masyarakat yang di beri wewenang tersebut Jadi ada beberapa substansi yang --biasanya-- akan menjadi lebih “polisi” dari polisi. Karena mereka mendapatkan krusial yang tidak aspiratif terhadap atmosfer wewenang dan alat untuk “merasa lebih” dari demokratisasi-transisi di Indonesia, anggota masyarakat lainnya, yang bukan diantaranya adalah : a). Masih luasnya wewenang dan klaim atas anggota swakarsa. 14
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
tugas dan tindakan pembenaran polisi dibalik alasan-alasan menjaga ketertiban dan keamanan, dalam rangka penegakkan hukum, terbinanya ketentraman, kepentingan administrasi dan pencapaian tujuan nasional. Wewenang tersebut terlukis dalam : • wewenang membentuk pengamanan swakarsa • membuat dan mengeluarkan peraturan yang mengikat warga masyarakat • pelebaran-pelebaran wewenang yang ada di peraturan per-UU-an lain • membina ketentraman masyarakat dalam wilayah negara • membimbing masyarakat • membina ketaatan diri warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan per-UU-an • turut serta dalam pembinaan hukum nasional dan pembinaan kesadaran hukum masyarakat • mengawasi aliran kepercayaan yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan • mengeluarkan surat izin dan atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat Celah untuk menyalahgunakan wewenang ini terbuka lebar, karena tidak disertai dengan keterbukaan dan akses kontrol masyarakat terhadap pola perilaku polisi yang mungkin dilakukan dan atau dilegalisasi oleh RUU ini. Padahal kepolisian RI segala beban pembiayaannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. b) Masih kaburnya definisi-definisi atau prosedur atas serangkaian tema, nama dan bentuk-bentuk kegiatan yang ada dalam RUU ini. Seperti definisi Tujuan nasional, definisi Ketentraman dan ketertiban, definisi dan prosedur Bentuk penegakkan hukum, definisiBentukben tuk gangguan, prosedur Pemberhentian kapolri dalam (definisi) keadaan mendesak, definisi Tertib hukum, definisi Penyakit masyarakat, definisi dan prosedur Pemeriksaan khusus, definisi dan prosedur Melakukan penilaian sendiri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk kepentingan umum.
ARTIkel c). RUU mencoba untuk menjadi suatu konstitusi atau UUD karena dari RUU ini terlihat masih mengaburkan beberapa masalah yang substantif dan perlu dijelaskan akan tetapi dialih dan dikaburkan kepada UU, PP, Keppres atau keputusan kapolri, seperti pengemban fungsi polisi, susduk kepolisian RI, susunan organisasi dan tata kerja kepolisian RI, tanggung jawab hirarki, tata cara pengusulan dan pengangkatan kapolri, tugas dan wewenang kepolisian, ketentuan mengenai anggota kepolisian, ketentuan mengenai pengambilan sumpah, ketentuan mengenai ikatan dinas, ketentuan mengenai susunan, sebutan, dan keselarasan jabatan atau pangkat, ketantuan mengenai gaji dan hak-hak, ketentuan mengani peraturan disiplin, tunduk terhadap peradilan umum, diberhentikan dan usia pensiun, pembinaan kemampuan profesi, kode etik profesi, susunan organisasi dan tata kerja komisi kode etik profesi, bentuk ukuran, pengeluaran, pemakaian, dan penggunaan tanda pengenal, komisi kepolisian nasional, pengangkatan dan pemberhentian anggota komisi kepolisian nasional, bantuan kepolisian
kepada TNI dalam keadan darurat dan kepada PBB dalam pemelih araan keamanan dunia, hubungan kerjasama kepolisian dengan kepolisian negara lain/ lembaga lain yang berada di dalam maupun luar negeri dalam bentuk pencegahan kejahatan, dll. Dengan RUU ini ternyata kepolisian bukan saja masih akan tetapi mencoba untuk mengembangkan sayap-sayap kekuasaan dengan serangkaian perilaku yang bisa di justifikasi lewat RUU ini. Oleh karena itu maka kami menghimbau untuk menolak RUU kepolisian ini secara substansif. Beberapa alternative yang dapat diberikan disini : a. RUU kepolisian kelak harus menjadi alat screening terhadap anggota-anggota kepolisian, didalam menunjang profesionalitas dan ke-aspiratif-an terhadap masyarakat b. Ruu ini harus mencantumkan secara jelas wewenang, hak dan kewajiban Kepolisian dan anggotanya baik dalam susunan organisasi, maupun kerja-kerjanya (pengaman, penyelidikan, penyidikan) c. Mencantumkan secara jelas (juga mengatur formalitas/prosedur) kedudukan kepolisian di dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia d. Harus menjamin (hukum dan keamanan) keterbukaan yang sedang hidup di dalam masyarakat e. Tidak melakukan klaim-klaim secara se pihak (mis; penegak hukum, penjaga ke amanan) tanpa mengindahkan pendapat masyarakat sebagai control. f. Harus mengagendakan faham demiliter isasi, pendidikan keamanan sosial, pen didikan budaya. (bk/HA)
PASAL 2 : 2 Tidak ada keadaan pengecualian apapun, apakah keadaan perang atau ancaman perang, ketidak-stabilan politik dalam negeri atau keadaan darurat lainnya, yang dapat digunakan sebagai pembenaran untuk penyiksaan. (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia)*
*catatan : Konvensi ini telah diratifikasi oleh Negara Indonesia.
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
15
Komnas HAM; Posisi, Dilema Pemajuan dan penegakan HAM di Indonesia (Diskusi terbuka Posisi Komnas HAM negara versus Rakyat)
Di tengah sorotan dan kritikan keras kepada KOMNAS HAM atas kerja-kerjanya sebagai lembaga penyelidik kasuskasus pelanggaran HAM, KONTRAS mengadakan diskusi terbuka bertema “Posisi Komnas HAM : Negara Versus Rakyat”, pada 28 Maret 2001 di Ruang Adam Malik, YLBHI. Diskusi ini bertujuan untuk memperbincangkan format ideal KOMNAS HAM, sehingga memiliki perangkat hukum dan personal yang memadai untuk menghasilkan sebuah keputusan yang berpihak pada keadilan. Diskusi ini menghadirkan pembicara Amin Aryoso (Ketua Komisi II DPR RI), Syamsudin (Komnas HAM), Munarman (Kontras) dan Amiruddin (Elsam). Amin Aryoso menyoroti peran DPR untuk mendorong fungsi KOMNAS HAM. Ketua Komisi II DPR ini menyatakan, di tubuh DPR masih ada persoalan-persoalan “pemerintahan lama”. Dalam membentuk peraturan HAM dan berbagai upaya penyelesaian persoalan pelanggaran HAM, sering terjadi kompromi antar berbagai perwakilan partai politik dengan kepentingannya masing-masing. Amin mengharapkan masyarakat berpartisipasi menyampaikan permasalahan nya pada DPR dan Komnas HAM. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan dan sosialisasi HAM kepada seluruh masyarakat, seperti yang sudah dilakukan Komnas HAM dengan menerbitkan pendidikan populer dan panduan pelatihan HAM. Sementara itu Amiruddin (Elsam) membahas kapasitas KOMNAS HAM dalam penegakan dan perlindungan HAM. Amir menilai, terbentuknya Komnas HAM melalui Kepres No. 50 tahun 1993 bukan merupakan anugerah Presiden Soeharto yang diberikan begitu saja. bukan saja merupakan prestasi para komisionernya, melainkan hasil dari perjuangan para korban dan orang-orang yang menginginkan kehadiran demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia. 16
KOMNAS HAM lahir sebagai benteng perlindungan HAM di Indonesia. Ketika kemudian ditegaskan kembali tugas dan fungsinya dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka kedudukan dan legitimasi Komnas HAM semakin kuat sebagai lembaga penyelidik pelanggaran HAM di Indonesia. Elementer yang mendasar dari Komnas HAM adalah perlindungan hak-hak korban melalui kapasitas dan kemampuan yang memadai (baik anggota maupun staf) serta dukungan dana yang cukup. Permintaan untuk meningkatkan kapasitas Komnas HAM harus dipahami sebagai dukungan politik terhadap lembaga ini, yang berasal dari masyarakat dan lembaga-lembaga negara sebagai lembaga perjuangan HAM. Yang penting juga menurut Amiruddin adalah dukungan TNI/Polrim, sehingga lembaga ini memiliki kewenangan dan kewibawaan dalam menjalankan tugas-tugasnya secara konstitusional berdasarkan UU. Mengenai dukungan dana, putra Maluku Utara ini berpendapat bahwa dana Komnas adalah dana yang berasal dari anggaran negara karena lembaga ini untuk rakyat. Negara harus membiayainya lewat pajak yang dibayarkan
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
rakyat kepada negara selama ini. sebagai bagian dari jaminan sosial warga negara. Sejalan dengan pembenahan lembaga, secara resmi Komnas HAMharus bersifat lebih nasional. Berdasarkan sifat institusionalnya, ada persoalan pada perangkat keras dari kelembagaan ini. Kedudukan sekretariat Komnas HAM akan berada di bawah Sekretariat Negara sehingga anggota Komnas HAM adalah pegawai negeri. Persoalan lainnya dalam kelengkapan kelembagaan, yaitu kemampuan dan jumlah staf Komnas. Dengan jumlah staf 50 orang tentu sangat tidak memadai untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi diantara 200 juta jumlah penduduk Indonesia. Pekerjaan Komnas HAM yang terkesan tidak jelas dan sering tak tertangani, menunjukkan ketidakmampuan dalam membangun kredibilitas. Komnas HAM tidak bisa mengemukakan suatu pemikiran atau strategi yang lebih baik untuk menyelesaikan persoalan-persoalan HAM. Amiruddin juga menyoroti keanggotaan Komnas HAM dari segi jumlah dan komitmen anggota terhadap lembaga dan korban. Jarangnya waktu komunikasi dan pertemuan dengan seluruh an ggota menyebabkan terbengkalainya penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM yang masuk. Selain itu perspektif HAM dan latar belakang anggota mempengaruhi setiap keputusan yan g diambil. Menurutnya, Imparsialitas keanggotaan harus diperhitungkan agar tidak terjadi masuknya kepentingan-kepentingan pribadi maupun partai politik dalam setiap pengambilan keputusan. Jika hal ini terus dibiarkan maka Komnas HAM akan menjadi sebuah perkumpulan orang-orang dan tidak menjadi sebuah institusi yang memiliki wibawa untuk menjalankan hal-hal yang humanitarian. Berkenaan dengan pembaharuan keanggotaan sesuai UU No. 39 tahun 1999, dimana penetapan anggota Komnas HAM dipilih oleh DPR dengan usul dari Komnas HAM dan diresmikan oleh Presiden, maka DPR memiliki peranan yang penting. DPR harus memiliki visi yang jelas dalam masalah HAM dan tidak menjadikannya sebagai politik dagang sapi semata. Komnas HAM dapat menjadi ajang perebutan partai politik dalam menempatkan personilnya, sehingga tujuan utamanya untuk mendedikasikan pada korban dikesampingkan dengan menggunakan persoalan-persoalan HAM untuk bargaining politik. Untuk itu Amiruddin mengarapkan
adanya dorongan dari berbagai lapisan dari Komnas Perempuan, 1 orang dari Komnas masyarakat agar Komnas HAM menjadi Perlindungan Anak, 1 orang dari Komisi Omlembaga yang memiliki kapasitas dan wibawa budsman dan 2 orang dari media massa. untuk menjalankan tugasnya guna memper Kemudian ditambah lagi persyaratan kuat peranan civil society dimana kebijakan mengenai keseimbangan gender. Hal inilah atau rekomendasi yang dibuatnya tidak yang harus disosialisasikan kepada mendapat halangan dari pihak-pihak lain. masyarakat. Syamsudin juga menyatakan, konsep Untuk itu DPR memiliki tanggung jawab secara politik untuk membangun KOMNAS HAM HAM adalah konsep universal. Berkenaan menjadi institusi resmi negara yang dengan kasus-kasus pelanggaran HAM yang menjalankan kewajiban konstitusional yang ditangani Komnas HAM, pihak Komnas HAM sudah berusaha semaksimal mungkin dibuat oleh DPR. dengan memberikan Menanggapi Amin Aryoso r ekom en d a si-r ekom en da si dan Amiruddin, Anggota Komnas HAM Syamsudin Ketika terjadi seperti yang diamanatkan Kepres No. 50 tahun 1993 maupun menyatakan bahwa Komnas suatu penyelidikan yang diamanatkan HAM merupakan lembaga oleh UU No. 39 tahun 1999. mandiri yang memiliki tujuan pelanggaran HAM mengakui belum untuk mengembangkan kondisi HAM dimana Komnas dapat memuaskan semua pihak. yang kondusif untuk pelaksanaan HAM dan sistem politiknya Hal ini dikarenakan Komnas HAM harus mandiri dan objektif meningkatkan serta melindungi tidak sehingga kedua belah pihak penegakan HAM. Sedangkan demokratis, harus tidak diuntungkan, baik fungsi dari Komnas HAM TNI/Polri maupun masyarakat. adalah melaksanakan pengkaji Komnas HAM Dari berbagai kasus yang an, penelitian, penyuluhan, harus berani ditangani mulai dari Kasus Timor pemantauan dan mediasi Hak mengkoreksi Timur, Tanjung Priok, Aceh, Asasi Manusia. Menurut Purnawirawan negara, dalam Ambon, Papua hingga Kaliman tan dilakukan Angkatan Darat ini, keanggotaan hal ini penanganan yang berbeda-beda. Komnas HAM, memiliki dua Misalnya kasus Timor Timur dan syarat yang harus dipenuhi. pemerintah Priok dengan membuat Berdasarkan UU No. 39 tahun maupun struktur Tanjung Komisi Penyelidik Pelanggaran 1999, anggota Komnas HAM harus memenuhi syarat kualitatif politik yang lain. HAM, Aceh melalui jalan kompromi dan Kalimantan Barat dimana anggota Komnas HAM dengan membuat konsep haruslah tokoh masyarakat yang profesional dan mempunyai integrasi dan perdamaiannya. Hal itu yang akhirnya dedikasi yang tinggi. Ia juga harus menghayati membuat Komnas HAM cukup banyak negara hukum dan menghormati HAM. mendapat serangan keras baik berupa hujatan Sedangkan syarat kuantitatif yang ditentukan sampai pada perusakan gedung tempat oleh Komnas HAM adalah bahwa anggota dimana mereka bekerja, lalu digugat dalam Komnas HAM harus WNI yang memiliki hal hasil temuan kerja Komnas HAM yang pengalaman memajukan dan melindungi tidak dapat melahirkan keadilan dalam sebuah kelompok yang dilanggar HAM-nya. Ia juga proses keadilan yan dicari oleh masyarakat harus memiliki pengalaman sebagai hakim, yang pada periode lalu mendapat perlakuan jaksa, polisi, pengacara atau profesional di kesewenang-wenangan dari negara. Syamsudin men ilai, ada beberapa bidang hukum. Selain itu ia harus berpengalaman sebagai anggota eksekutif peraturan perundang-undangan mengenai atau legisislatif atau merupakan tokoh agama, HAM yang harus diperbaiki, yakni masyarakat maupun LSM. Dalam proses pemberlakuan asas retroaktif (berlaku surut) pengajuan usulan kepada DPR, Komnas bagi penyelesaian pelanggaran HAM di masa HAM akan membuat suatu panitia seleksi lalu. Dalam pasal 28 I Amandemen Kedua UUD yang terdiri dari 13 anggota. Panitia itu terdiri 1945 azas retroaktif tidak berlaku. Namun dari 3 orang dari Komnas HAM, 2 orang dari dalam UU No. 39 tahun 1999 maupun UU No. perguruan tinggi, 2 orang dari kalangan LSM, 26 tahun 2000 diberlakukan azas tersebut, 1 orang dari Komisi Hukum Nasional, 1 orang karena hal ini dikhawatirkan akan menimbulkan
berbagai penafsiran dalam pemberlakuannya sehingga akan menghambat proses penegakan hukum dan HAM di Indonesia. Banyak hal yang harus terus direspon Komnas HAM dalam upaya penegakan HAM. Pertama, menempatkan azas demokrasi dalam memberlakukan azas retroaktif sehingga upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dapat dilakukan. Kedua, Komnas HAM harus membuat usulan kepada DPR yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM untuk menggugat jika rekomendasinya tidak diperhatikan. Ketiga mengenai makna dan pengertian dari pelanggaran HAM berat dalam UU No. 26 tahun 2000, yakni genosida dan kejahatan kemanusiaan. Yang tidak sesuai dengan Statuta Roma. Hal ini karena berdasarkan Statuta Roma 2, jenis pelanggaran HAM berat lainnya adalah kejahatan perang dan agresi yang dalam konteks Indonesia kita jumpai pada kasus Aceh. Sementara itu, Koordinator KontraS Munarman, SH menyatakan, berdasarkan informasi yang didapatnya, KOMNAS HAM sejak bulan Maret akan melakukan perubahanperubahan komposisi keanggotaan guna memenuhi persyaratan berdasarkan UU No.39 tahun 1999 yang mengamanatkan bahwa anggota Komnas HAM dipilih oleh DPR. Komnas HAM sudah mulai melakukan seleksi kriteria calon-calon anggota yang akan diajukan ke DPR bulan September 2001. Anggota Komnas HAM hasil pemilihan dan penetapan, mendapat pengesahan dari presiden dan akan bertugas selama lima tahun. Munarman juga menilai, kritik bertubitubi terhadap Komnas HAM saat ini dikarenakan ketidakjelasan posisi Komnas HAM dalam satu struktur atau sistem yang ada di Indonesia sekarang. Ketika terjadi suatu pelanggaran HAM dimana sistem politiknya tidak demokratis, Komnas HAM harus berani mengkoreksi negara, dalam hal ini pemerintah maupun struktur politik yang lain. Kalangan LSM menempatkan atau memposisikan Komnas HAM sebagai institusi atau lembaga yang mewakili korban dalam berhadapan dengan negara, dalam berhadapan dengan pemerintah. Namun posisi ini seringkali tidak dijalankan oleh Komnas HAM sehingga ia banyak mendapatkan kritikan tajam. Melihat posisi Komnas HAM ke depan, Munarman menekankan secara institusional dalam UU No.39 tahun 1999, posisi Komnas bersambung ke hal. 19
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
17
ISHLAH
I
stilah Ishlah kembali mencuat akhirakhir ini. namun yang men jadi pertanyaan adalah Mengapa istilah Ishlah yang dipakai untuk menggambarkan kesepakatan antara pihak korban dan pelaku pada kasus Priok dan Lampung, padahal kata perdamaian atau Rekonsiliasi yang saat ini tengah digagas, juga menggambarkan hal yang sama. Ada beberapa alasan, Pertama: Dalam konteks hukum Indonesia saat ini belum ditemukan celah untuk menyelesaikan masalah ini diluar proses peradilan. Apalagi kejahatan yang mereka perbuat dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusian “crimes againts humanity”. Kewajiban menegakan keadilan bukan saja menjadi tanggung jawab negara bersangkutan tapi juga semua manusia di muka bumi. Dan sebenarnya bila pelaku pelanggaran HAM tersebut mau bersabar maka proses perdamaian/ rekonsiliasi tetap bisa dilakukan melalui komisi kebenaran dan keadilan yang saat ini sedang digarap. Tentunya dengan konsekuensi menerima syarat-syarat bagi terjadinya rekonsiliasi dimaksud. Kedua : Berbeda dengan hukum pidana modern, hak tuntutan pidana yang dimiliki masyarakat telah dilimpahkan pada negara, sementara dalam hukum pidana Islam hak mengajukan tuntutan pidana dalam kasus jarimah qishash dan diyat (pembunuhan sengaja, semi sengaja, karena kehilapan, penganiayaan sengaja, tidak sengaja, penghilangan anggota tubuh dan penyiksaan) tidak terletak pada intitusi negara. Melainkan hak dari korban atau wali korban, oleh karena itu jika korban/wali korban memberi maaf al-afwa maka batallah qishash. Dan pelaku dikenakan diyat (harta benda yang wajib dibayarkan oleh sebab tindak kejahatan dan dibayarkan kepada korban atau wali korban). Ketiga : Korban pelanggaran HAM Priok dan Lampung adalah orang-orang Islam. Sehingga penggunaan “cara islami” untuk “menyetop” proses hukum yang akan berlangsung (dalam kasus lampung) 18
dan sedang berlangsung (dalam kasus Priok). Hal ini dianggap bisa diterima oleh pihak korban yang identik dengan kepatuhan terhadap hukum Islam. Walaupun pada era 80-an mereka dianggap fanatik, ekstrim dan harus dimusnahkan karena menolak hegemoni idiologi negara dalam kehidupan sosial dan politik mereka, sehingga terjadi kedua peristiwa tersebut. Terlepas dari alasan-alsan diatas, benarkah
Dalam hukum Islam tidak ada impunity terhadap siapapun yang melakukan kejahatan, menterikah, kepala negarakah atau bahkan terhadap Rasulullah sekalipun “hukum harus ditegakan” proses hukum dapat terhenti dengan adanya Ishlah ? apakah cocok ishlah di gunakan dalam penyelesaian kedua kasus tersebut dan apa sebenarnya Ishlah itu ? Perintah untuk meng-ishlah (mendamaikan) turun berkenaan dengan adanya dua orang dari kaum anshor yang berselisih, salah satu pihak memaksakan kehendaknya karena ia banyak pengikutnya, sementara pihak yang lain mengajak agar menemui Nabi untuk menyelesaikan perkara
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
tersebut. pihak pertama tetap menolak serta memukul dengan tangan dan sandalnya, namun belum sampai menggunakan pedangnya. Maka turunlah perintah ini. Ahmad al-Maraghi dalam tafsirnya mengartikan kalimat Faashlihu (maka damaikanlah) dengan kalimat takaffu (hentikanlah) dari perbuatan aniaya. Sayid Qutb dalam tafsir fijilalil qur’an mengatakan bahwa perintah tersebut dibebankan kepada kaum muslimin (diluar kelompok yang bertikai tentunya). Hal ini dimaksudkan agar kelompok tersebut menyeru untuk menyelesaikan pertikaian dengan jalan damai, kembali pada hukum Kitabullah sehingga tercapai keridhoan kedua belah pihak dengan adil. Qurtuby dalam tafsir jami’ al bayan mengutip perkataan Zaid bin Harits yang mengatakan bahwa kewajiban melakukan Ishlah dibebankan kepada pemimpin kaum muslimin. Mempertemukan kedua belah pihak dan memutuskan perkara dengan kebenaran, seperti yang telah ditetapkan dalam Kitabullah. Melalui jalan Qishas, diyah dan pemaafan. Jadi proses Ishlah adalah menghentikan pertikaian, mencegah salah satu atau kedua pihak saling berbuat kedzaliman dan setelah itu perkaranya diputuskan sesuai yang tertera dalam hukum kitabullah (diadakan peradilan untuk kasuskasus tersebut). Bila permasalahannya adalah pembunuhan maka pembunuhnya haruslah di qishash (diperlakukan seperti ia memperlakukan orang yang terbunuh). Atau bila permasalahannya karena salah satu pihak mengambil harta pihak lain maka ia harus mengembalikan sebanyak yang ia ambil. Atau dengan pemaafan dan pembayaran diyat. Dalam hukum Islam tidak ada impunity terhadap siapapun yan g melakukan kejahatan, menterikah, kepala negarakah atau bahkan terhadap Rasulullah sekalipun hukum harus ditegakan. Sejarah mencatat bahwa rasulullah pernah memerintahkan
qishas terhadap dirinya, yakni ketika ada seorang laki-laki yang tiba-tiba terjatuh kepada rasulullah sehingga ia tertusuk oleh pelepah kurma yang berada dalam genggaman rasulullah sehingga laki-laki tersebut menjerit. Atau khalifah Umar bin
Khatab yang akan mengqishas setiap penguasa (pejabat pemerintah yang berada dibawahnya) yang terbukti menyiksa rakyat. Lalu bagaimana dengan pelaku pelanggaran HAM pada kasus Priok dan
lampung yang menghindari penegakan hukum dan berlindung dalam kata ishlah setelah melakukan kejahatan berat (membunuh, menyiksa, menghilangkan agouta badan) dan menutupi fakta sekian lama ?. (BK/isl)
Posisi Komnas HAM.......... sambungan dari halaman 13 HAM ke depan justru bukan diposisikan untuk mewakili kepetingan-kepentingan korban dan kepentingan masyarakat yang berhadapan dengan pemerintah. Tetapi justru dikongsi dengan politik kontrol keuangan, karena Sekjen Komnas HAM itu harus pegawai negeri. Dengan demikian, maka Komnas HAM akan dijadikan sebagai unit-unit administrasi dalam biro-biro. Hal
ini tentu akan menyulitkan Komnas HAM mengalokasikan anggaran-anggran operasional dalam melakukan perlindungan terhadap HAM. Selain itu, hal ini akan berdampak menyulitkan kerja-kerja Komnas HAM baik secara kelembagaan maupun personal. Oleh karena itu,kritikan terhadap Komnas adalah hal yang wajar dan sah, sebagai bagian dari upayauntuk
terus mendorong Komnas, agar mampu memposisikan diri sebagai wakil dari korban yang mampu mengkoreksi diri termasuk instrumen-instrumen dan kebijakankebijakan yang dikeluarkan oleh negara yang dianggap atau berpotensi melanggar HAM. (BK/Ndrie)
Kerusuhan dan Konflik......... sambungan dari hal 9 Sedangkan pada kwadran IV, konflik akan bersifat laten dan dibawah permukaan, akan tetapi tetap menghawatirkan karena sewaktu-waktu dapat meledak menjadi konflik terbuka. Kondisi ini juga akan sangat tergantung dari sejauh mana para pemimpin memanipulasi kondisi yang ada. Kondisi yang ada di Indonesia kiranya telah berada pada kwadran III, sehingga problem-problem seperti yang terjadi di Aceh, Kalimantan (sampit dan
pontianak), Ambon dan Maluku utara serta poso sepertinya sulit untuk diselesaikan. Belum lagi aktor-aktor yang bermain dalam konflik tersebut melibatkan para elit pemimpin di Republik ini, yang memang secara sengaja me-maintenence dan memanipulasi material yang tersedia untuk kepentingan kekuasaaan. Dan bahkan faktor elit pemimpin –baik lokal maupun nasional yang bersekutu dengan aparat militer- yang menjadi aktor yang bermain
dalam setiap konflik adalah menjadi problem tersendiri. Kesadaran rakyat untuk tidak gampang dipermainkan oleh elit pemimpin inilah yang dapat menjadi faktor untuk mengeliminasi konflik-konflik yang tengah terjadi di Indonesia. Sudah saatnya untuk menyatakan dan bersikap Hentikan pertikaian.(mnm).
berita KontraS No.13/Th ke-2/III/2001
19