20 Mitos Tentang Pasar – Bagian 3 Oleh: Tom G. Palmer*
Ketika kita berpikir tentang manfaat dan batasan solusi dari persoalan koordinasi sosial melalui mekanisme pasar, maka sudah seharusnya kita membersihkan beberapa mitos umum. Mitos dalam hal ini adalah pernyataan-pernyataan yang langsung diterima sebagai sebuah kebenaran, tanpa adanya adu argumen atau pembuktian. Biasanya mitos semacam ini datang dari radio, teman, politisi – mereka yang suaranya mengudara. Pendapat mereka kerap diulan layaknya sebuah kebijaksanaan yang dalam. Bahayanya adalah, karena sudah terlanjur tersebar luas maka persoalan tersebut tidak sempat diuji dan diperdebatkan. Untuk itulah tujuan tulisan saya disini. Sebagian besar, tidak semuanya, mitos semacam ini disebarkan oleh mereka yang membenci pasar bebas. Beberapanya disebarluaskan oleh orang-orang dalam lingkaran yang lebih kecil yang bahkan mungkin terlalu antusias terhadap pasar bebas. Kedua puluh mitos tersebut bisa dikelompokkan ke dalam empat kategori:
Kritik Etis
Kritik Ekonomi
Campuran dari Kritik Ekonomi dan Etis; dan
Pembelaan yang Terlalu Berlebihan
11. Terlalu Mengandalkan Pasar Sama Bodohnya seperti Terlalu Mengandalkan
Sosialisme: Yang Terbaik adalah Ekonomi Campuran (Mixed Economy) Sebagian besar orang memahami bahwa tidak bijak meletakkan semua telur dalam satu keranjang. Investor yang bijaksana memvariasikan portofolio mereka, dan merupakan hal yang beralasan pula bila kita memiliki “portofolio kebijakan” yang beragam, yang berarti mencampurkan antara sosialisme dan pasar.
Investor bijak yang tidak mempunyai informasi mendalam tentu saja memvariasikan portofolionya guna menghindari resiko. Jika saham yang satu turun, maka mungkin saham lainnya naik, oleh karenanya mengganti kerugian dengan keuntungan. Dalam jangka panjang, portofolio beragam yang tepat akan tumbuh. Tetapi kebijakan tidak seperti itu. Beberapa kebijakan telah ditunjukkan waktu demi waktu gagal, dan sebaliknya beberapa yang lainnya telah ditunjukkan berhasil. Tidak masuk akal untuk mempunyai sebuah kebijakan seperti “portofolio investasi yang beragam” dibuat kepada saham yang sudah tahu akan gagal dan saham yang sudah diketahui akan berhasil; alasan bagi diversifikasi adalah ketika kita tidak memiliki pengetahuan apapun perusahaan mana yang mungkin untung, atau yang tidak menguntungkan. Studi dari data ekonomi selama satu dekade terakhir, yang diambil oleh Fraser Institute Kanada dan jaringan penelitian lain setiap tahunnya telah menunjukkan secara konsisten bahwa semakin besar mengandalkan kekuatan pasar akan membawa kepada pendapatan per kapita lebih tinggi; pertumbuhan ekonomi lebih cepat; pengangguran lebih rendah; harapan hidup lebih panjang; kematian bayi lebih rendah; turunnya tingkat pekerja anak; akses lebih besar kepada air bersih, kesehatan, dan fasilitas lain dalam kehidupan moderen, termasuk lingkungan yang lebih bersih; pemerintahan yang lebih baik, termasuk rendahnya tingkat korupsi dan akuntabilitas yang semakin demokratis. Pasar bebas menghasilkan hasil yang baik. Ditambah lagi, tidak ada yang namanya “keseimbangan yang baik” di tengah jalan. Intervensi negara ke pasar adalah ciri menuju distorsi dan bahkan krisis, dimana digunakan intervensi negara akan menjadi dalih bagi intervensi yang lebih besar lagi, yang kemudian menggiring kebijakan ke satu arah atau yang lainnya. Contohnya, sebuah “portofolio kebijakan” yang termasuk kebijakan moneter yang tidak berhati-hati, yang meningkatkan suplai uang lebih cepat dari pada ekonomi yang bertumbuh, sehingga akan menyebabkan naiknya harga. Sejarah telah mengajarkan berulang kali bahwa politisi cenderung merespon, bukan dengan menyalahkan kebijakan mereka yang tidak berhatihati, tetapi menyalahkan “ekonomi yang kepanasan” atau “spekulan yang tidak patriotis” yang kemudian menetapkan kontrol terhadap harga. Ketika harga tidak diizinkan dikoreksi oleh hukum penawaran dan permintaan, (dalam kasus ini, naiknya suplai jumlah uang, akan cenderung menyebabkan jatuhnya nilai uang, seperti tergambar dalam kasus komoditas), maka hasilnya terjadi kelangkaan barang dan jasa, karena lebih banyak orang yang mencari dan memberi suplai barang dan jasa yang terbatas di bawah harga
pasar dibandingkan keinginan para produsen menjual di harga tersebut. Ditambah lagi, tidak adanya pasar bebas akan membuat orang-orang beralih kepada pasar gelap, menyuap pejabat-pejabat, dan semakin melenceng dari aturan hukum. Hasil dari pencampuran kelangkaan dan korupsi biasanya mendorong kecenderungan yang lebih besar kepada tuntutan kekuasaan otoritarian. Dampak dari penciptaan “portofolio kebijakan” yang termasuk semacam kebijakan yang terbukti buruk tersebut, akan merusak ekonomi, menciptakan korupsi, bahkan merusak bangunan demokrasi konstitusional.
Kritik Campuran Ekonomi-Etis 12. Pasar Membawa Lebih Banyak Ketimpangan daripada Proses Non-Pasar
Dari definisinya, pasar menghadiahi kemampuan untuk memuaskan preferensi konsumen, sedangkan kemampuan manusia berbeda-beda, maka pendapatan pun akan menjadi berbeda-beda. Ditambah lagi, sesusai definisinya, sosialisme adalah sebuah pernyataan kesetaraan, sehingga seluruh langkah menuju sosialisme adalah sebuah langkah menuju kesetaraan. Jika kita ingin memahami hubungan antara kebijakan dan hasilnya, kita harus menjaga dalam pikiran kita bahwa kepemilikan adalah sebuah konsep hukum; sedangkan kekayaan adalah sebuah konsep ekonomi. Dua konsep tersebut kadang dibingungkan, tetapi haruslah tetap dipisahkan. Proses pasar biasanya mendistribusikan kekayaan dalam skala yang besar. Kebalikannya, redistribusi kepemilikan tanpa suka rela (ketika diambil oleh warga biasa, biasanya diketahui sebagai “pencurian”) dilarang di bawah aturan yang mengatur pasar bebas, yang dimana membutuhkan kepemilikan yang diatur secara jelas dan aman secara hukum. Pasar bisa mendistribusikan kekayaan, bahkan ketika kepemilikan masih di bawah tangan yang sama. Setiap saat nilai suatu aset (dalam suatu keadaan pemilik mempunyai hak kepemilikan) berubah, aset kekayaan si pemilik pun berubah. Sebuah aset yang bernilai 600 euro kemarin mungkin hari ini hanya bernilai 400 euro. Itulah sebuah redistribusi 200 euro dari kekayaan melalui pasar, walaupun tidak ada redistribusi kepemilikan. Maka pasar biasanya mendistribusikan kekayaan dan dalam prosesnya memberi si pemilik insentif aset agar memaksimalkan nilai miliknya atau memindahtangankan asetnya bagi siapa saja yang berminat. Itu adalah redistribusi biasa,
berdasarkan insentif untuk memaksimalkan nilai total, memperlihatkan pemindahan kekayaan dalam skala yang tak terbayangkan bagi sebagian besar politisi. Sebaliknya, ketika pasar melakukan proses redistribusi kekayaan, proses politik mendistribusikan kepemilikan melalui pengambilalihan dari seseorang dan memberikannya kepada orang lain; dalam prosesnya, dengan membuat kepemilikan semakin tidak aman, redistribusi semacam itu cenderung membuat kepemilikan semakin bernilai secara umum, sehingga menghancurkan kekayaan. Redistribusi yang semakin tidak bisa diprediksi, semakin besar kehilangan kekayaan yang diakibatkan oleh ancaman redistribusi kekayaan. Kesetaraan adalah sebuah ciri yang bisa dilihat dari jumlah dimensi yang berbeda, tetapi secara umum tidak terjadi di semua dimensi. Contohnya, orang-orang bisa saja setara di hadapan hukum, tetapi bila kasusnya adalah hal tersebut, maka bukanlah bila mereka benar-benar mempunyai pengaruh politik yang setara, bagi beberapa yang sering berlatih untuk memanfaatkan haknya dalam kebebasan berpendapat akan lebih fasih dan aktif daripada yang lain, bahkan lebih berpengaruh. Sama halnya dengan hak yang setara untuk menawarkan barang dan jasa dalam pasar bebas mungkin tidak akan menuntun pada pendapatan yang benar-benar setara. Bagi mereka yang mungkin bekerja lebih keras dan lebih lama (karena mereka lebih memilih pendapatan dibanding waktu luang) dibandingkan orang lain, atau memiliki keterampilan spesial dimana orang akan membayar ekstra). Di sisi lain, usaha untuk meraih kesetaraan pengaruh atau kesetaraan pendapatan melalui paksaan (koersi) akan memerlukan beberapa percobaan otoritarian dan kekuasaan politik dibanding sebelumnya, yang dimana kesetaraan hasil (outcomes) memerlukannya. Dalam tujuan membawa pola tertentu dalam hasil, seseorang atau beberapa kelompok harus mempunyai “Mata Tuhan” untuk menilai mana hasil yang perlu didistribusikan, untuk mengetahui mana yang kurang dan berlebih sehingga bisa dipindahkan kesini dan kesana. Untuk menciptakan hasil yang setara, maka kekuasaan akan terkonsentrasi di tangan-tangan yang dipercayakan, seperti dulu yang kesetaraan dipraktekkan secara resmi oleh Uni Soviet, dengan kekuasaan politik dan hukum yang justru tidak setara berusaha menerapkan kesetaraan pendapatan atau akses terhadap sumber daya. Logika dan pengalaman menunjukkan bahwa usaha yang sadar untuk menerapkan pendapatan yang setara atau “adil”, atau beberapa pola lain yang berbeda dengan tatanan spontan yang ditawarkan pasar, secara umum berakhir dirusak oleh dirinya sendiri (self-defeating), karena alasan yang sederhana dimana mereka yang memegang kekuasaan untuk mendistribusikan kepemilikan menggunakannya untuk
menguntungkan kelompoknya sendiri, sehingga mengubah ketimpangan kekuasaan politik menjadi bentuk lain dari ketimpangan, seperti ketimpangan kemuliaan, kekayaan, dan lain-lain. Hal itu tepatnya dialami secara resmi oleh negara-negara komunis dan sekarang sedang dijalani oleh negara seperti Venezuela, yang kekuasaan total diakumulasikan dalam satu tangan manusia bernama Hugo Chavez, yang meminta kekuasaan yang tidak setara, untuk menciptakan kesetaraan kekayaan di antara warganya. Menurut data tahun 2006 dalam Economic Freedom of the World Report, negara yang menganut pasar bebas sangat tidak berkorelasi dengan ketimpangan pendapatan (dari negara yang paling minim kebebasannya sampai yang paling bebas di dunia, dibagi ke dalam beberapa kuartil, persentase pendapatan diterima oleh 10% yang terburuk bervariasi dari rata-rata 2,2% sampai rata-rata 2,4%), tetapi berkorelasi sangat kuat terhadap level pendapatan 10% negara yang terburuk (dari yang paling minim kebebasan ekonominya sampai yang paling bebas di dunia, dibagi menjadi beberapa kuartal, ratarata level pendapatan yang diterima dari yang 10% termiskin adalah $826, $1.186, $2.322, dan $6519). Semakin besar mengandalkan pasar terlihat lebih sedikit dampaknya terhadap distribusi pendapatan, tetapi secara substansial meningkatkan pendapatan orang miskin, dan nampaknya banyak orang miskin yang tentunya menganggap itu hal yang baik. 13. Pasar Tidak Bisa Memenuhi Kebutuhan Manusia, seperti Kesehatan, Perumahan,
Pendidikan, dan Makanan Barang harus didistribusikan sesuai prinsip-prinsip yang layak bagi alamnya. Pasar mendistribusikan barang menurut kemampuan untuk membayar, tetapi kesehatan, perumahan, pendidikan, makanan, dan kebutuhan dasar manusia lainnya, pada dasarnya adalah kebutuhan, harus didistribusikan menurut kebutuhan, bukan kemampuan membayar. Jika pasar melakukan tugas yang lebih baik dalam mempertemukan kebutuhan manusia dibandingkan prinsip-prinsip yang lain, jika sebagian besar manusia menikmati standar kehidupan yang lebih tinggi di bawah sistem pasar dibandingkan di bawah sistem sosialisme, maka sangat terlihat bahwa mekanisme alokasi di bawah sistem pasar melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam mempertemukan kriteria kebutuhan. Seperti dijelaskan di atas, pendapatan masyarakat miskin cenderung naik dengan cepat dengan tingkat pasar yang bebas, maka berarti bahwa orang miskin memiliki lebih banyak
sumber daya yang memuaskan kebutuhannya (secara alamiah, tidak semua kebutuhan secara langsung berhubungan kepada pendapatan; pertemanan dan kasih sayang tentu saja tidak. Tetapi tidak ada alasan untuk berpikir bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut lebih merata bila didistribusikan dengan mekanisme koersif, atau bahkan bisa didistribusikan dengan mekanisme koersif). Ditambah lagi, ketika pernyataan tentang “kebutuhan” cenderung merupakan klaim yang elastis, seperti halnya pernyataan tentang “kemampuan”, kemauan untuk membayar lebih mudah untuk diukur. Ketika orang-orang menawar barang dan jasa dengan uangnya sendiri, mereka memberitahukan kita seberapa besar nilai barang dan jasa tersebut dibanding barang dan jasa lainnya. Makanan, tentunya kebutuhan yang lebih dasar dibandingkan pendidikan atau jaminan kesehatan, disediakan cukup efektif melalui pasar. Faktanya, di negara dimana kepemilikan swasta dihapuskan dan alokasi negara menggantikan alokasi pasar, hasilnya terjadi kelaparan bahkan kanibalisme. Pasar mempertemukan kebutuhan manusia dengan sebagian besar barang, termasuk yang memenuhi kebutuhan dasar manusia, dibandingkan mekanisme yang lain lakukan. Kepuasan atas kebutuhan membutuhkan penggunaan sumber daya kelangkaan, yang berarti bahwa pilihan harus dibuat dengan alokasi mereka. Dimana pasar tidak diperbolehkan beroperasi, sistem dan kriteria lain untuk pendistribusian sumber daya yang langka digunakan, seperti alokasi birokrasi, tindakan politis, keanggotaan partai penguasa, hubungan terhadap presiden atau penguasa utama kekuasaan, penyuapan dan bentuk lain dari korupsi. Sulit menerima bahwa kriteria semacam tadi lebih baik dari pada proses pasar, atau mereka memperoleh semakin banyak kesetaraan; pengalaman jelas menjelaskan sebaliknya. 14. Pasar Bersandar pada Prinsip ‘Yang Kuat Yang Bertahan’ (Survival of the Fittest)
Layaknya hukum rimba, gigi dan cakar merah, hukum pasar berarti yang kuatlah yang bertahan. Mereka yang tidak bisa berproduksi dalam standar pasar akan jatuh ke tepi jalan dan terinjak-injak di bawah kaki. Seruan dari prinsip evolusi seperti “yang kuat yang bertahan” dalam studi sistem kehidupan dan studi interaksi sosial manusia seringkali membingungkan kecuali dalam hal mengidentifikasi setiap kasus yang bertahan. Dalam kasus biologi, ini adalah sifat individu seekor binatang dan kemampuannya untuk mereproduksi dirinya. Kelinci yang
dimakan oleh seekor kucing karena terlalu lambat melarikan diri tidak akan mempunyai keturunan lagi. Kelinci yang paling cepatlah yang bisa bereproduksi. Ketika prinsip ini diaplikasikan kepada evolusi sosial, unit bertahan hidupnya cukup berbeda; ini bukanlah kehidupan individu manusia, tetapi bentuk interaksi sosial, seperti adat, institusi, atau sebuah perusahaan, yang “diseleksi” melalui perjuangan evolusi. Ketika perusahaan bisnis keluar dari area bisnis, maka perusahaan akan “mati”, atau kira-kira, bentuk tertentu dari kerja sama sosial lah yang “mati”, namun bukan berarti manusia yang membuat perusahaan tersebut – investor, pemilik, manajer, karyawan, dan seterusnya – juga mati. Bentuk yang kurang efisien sebuah kerja sama digantikan oleh bentuk yang lebih efisien. Kompetisi pasar ditentukan tidak seperti kompetisi dalam alam rimba. Di alam rimba, berkompetisi untuk memakan satu sama lain atau menggantikan satu sama lain. Dalam pasar, pengusaha dan perusahaan saling berkompetisi satu sama lain untuk kerja sama yang tepat dengan konsumen dan dengan pengusaha dan perusahaan yang lain. Kompetisi pasar bukanlah persaingan kesempatan untuk hidup; tetapi persaingan kesempatan untuk bekerja sama. 15. Pasar Merendahkan Nilai Kebudayaan dan Kesenian
Seni dan budaya adalah respon kepada elemen yang lebih tinggi dari jiwa manusia, dan oleh karenanya tidak bisa diperjualbelikan layaknya tomat atau kancing baju. Menyerahkan seni kepada pasar seperti menyerahkan agama kepada pasar, sebuah pengkhianatan akan martabat yang melekat pada kesenian, seperti layaknya agama. Ditambah lagi, ketika seni dan budaya dibuka seluas-luasnya kepada kompetisi pasar internasional, hasilnya adalah perendahahan nilainya, seperti ketika bentuk tradisional ditinggalkan demi meraih keagungan dollar atau euro. Sebagian besar seni diproduksi untuk pasar. Tentu saja, sejarah seni sebagian besar adalah sejarah inovasi melalui pasar dengan merespon teknologi baru, filosofi baru, selera baru, dan bentuk baru spiritualitas. Seni, budaya, dan pasar telah berhubungan secara intim selama berabad-abad. Musisi memberlakukan biaya agar orang menghadiri konsernya, sama seperti penjual sayur-sayuran menjajakan tomat atau penjahit mengganti kancing di baju. Faktanya, formasi pasar yang lebih luas bagi musik, film dan bentuk lain dari seni dibentuk oleh alat rekam, kaset, CD, DVD, dan sekarang iTunes dan file mp3 membuat lebih banyak orang bisa mengakses seni yang beragam, dan bagi seniman bisa menciptakan lebih banyak pengalaman seni, menciptakan bentuk campuran seni, dan
mendapatkan pendapatan yang lebih banyak. Tidak mengherankan, apabila sebagian besar dari seni diproduksi di tahun tertentu, tidak akan bertahan dalam ujian waktu; hal ini lah yang menciptakan perspektif keliru tentang salah satu bagian yang mencemooh seni kontemporer sebagai “barang rongsokan”, dari perbandingan hasil kerja yang hebat di masa lampau; apa yang mereka bandingkan adalah hasil kerja terbaik ditanamkan dari ratusan tahun dengan produksi massal dari hasil kerja yang diproduksi baru-baru ini. Sudahkah mereka memasukkan semua hasil kerja yang gagal melalui ujian masa, yang kemudian tidak diingat, mungkin perbandingannya akan terlihat cukup berbeda. Apa yang harus dipertimbangkan bagi kemampuan bertahan dari yang terbaik utamanya proses kompetitif pasar bagi seni. Membandingkan keseluruhan produksi artistik kontemporer dengan karya terbaik dari abad-abad lampau bukan hanya satu-satunya kesalahan yang orang buat ketika mengevaluasi peran pasar dalam kesenian. Kesalahan yang paling umum yang bisa dilihat ketika masyarakat kaya mengunjungi masyarakat miskin adalah kebingungan tentang hubungan kemiskinan dari masyarakat miskin dengan budaya mereka. Ketika seorang kaya mengunjungi orang di negara yang relatif miskin namun ekonominya sedang bertumbuh, menggunakan telepon seluler dan menjentikkan jari mereka ke laptop, orangorang kaya ini mengeluh tentang kunjungannya yang tidak seotentik terakhir kali. Seperti yang kita tahu orang-orang menjadi lebih kaya melalui interaksi pasar yang diawali dengan peningkatan liberalisasi dan globalisasi, seperti contohnya penggunaan telepon seluler, yang kemudian aktivis anti-globalisasi dari negara kaya mengeluh bahwa orang miskin tersebut “dirampok” kebudayaannya. Mengapa menyamakan kebudayaan dengan kemiskinan? Orang-orang Jepang keluar dari kemiskinan menuju kemakmuran, namun sulit mengatakan bahwa kemudian orang Jepang berkurang ke-Jepang-annya. Faktanya, dengan kemakmurannya sekarang, Jepang menyebarkan kesadaran kebudayaan Jepang ke seluruh dunia. Di India, ketika pendapatan masyarakatnya naik, industri pakaian merespon dengan mengubah bentuk pakaian tradisional mereka, seperti sari, kemudian mengadaptasikan, memperbaharui, dan mengaplikasikan kepada mereka kriteria estetis dari sebuah kecantikan dan bentuknya. Orang-orang dari negara kecil seperti Islandia telah mengatur dan menjaga budaya sastra tinggi, teater, dan industri film karena pendapatan per kapita cukup tinggi, sehingga memperbolehkan mereka mendedikasikan kekayaannya untuk mengabadikan dan mengembangkan kebudayaan mereka.
Akhirnya, walaupun kepercayaan agama bukanlah untuk dijual, masyarakat bebas menyerahkan agama kepada prinsip yang sama – hak yang setara dan kebebasan memilih – selayaknya landasan pasar bebas. Gereja, masjid, sinagog, dan kuil berkompetisi satu sama lain demi penganut dan dukungan. Tidak mengherankan, ketika negara-negara Eropa yang menyediakan dukungan resmi negara kepada gereja mengakibatkan rendahnya partisipasi gereja, dimana sebaliknya negara yang tanpa dukungan resmi kepada gereja cenderung mempunyai tingkat partisipasi gereja yang tinggi. Alasannya tidak sulit dipahami: gereja yang harus berkompetisi untuk mendapatkan anggota dan dukungan harus menyediakan layanan – sakramen, spiritual, dan komunal – bagi anggotanya, dan perhatian lebih besar bagi keanggotaan akan menciptakan lebih banyak keberagamaan dan partisipasi. Tentu saja, itulah mengapa para pejabat pemerintahan melobi agar gereja negara Swedia untuk dihapuskan pada tahun 2000; sebuah bagian birokrasi negara yang tak responsif, sehingga gereja kehilangan hubungan dengan anggota dan anggota potensialnya, sehingga berdampak pada “kematian” gereja tersebut. Tidak ada kontradiksi antara pasar dengan kebudayaan. Pertukaran pasar tidak sama dengan pengalaman artistik atau penyuburan kebudayaan, tetapi pasar adalah kendaraan yang bisa membantu mendorong kesenian dan kebudayaan. Tom G. Palmer adalah Vice President for International Programs dari ATLAS Network, sebuah lembaga jaringan think-tank yang mempromosikan gagasan liberalisme klasik di seluruh dunia. Menulis beberapa buku diantaranya Realizing Freedom: Libertarian History, Theory, and Practice (2009), Morality of Capitalism (2011), After Welfare State (2012), Why Libertarianism (2013), dan Peace, Love, and Liberty (2014). Bisa dihubungi melalui email
[email protected] dan akun twitter @tomgpalmer.