BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bagi masyarakat Indonesia, tanah merupakan modal yang paling utama dalam kehidupan sehari-hari, yaitu untuk berkebun, berladang, maupun bertani. Berbagai jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat, dan ketentuan untuk memperoleh hak tersebut. 1 Muncul berbagai perbedaan, bahkan bentrokan kepentingan di antara berbagai pihak seperti pemerintah, pengusaha, dan masyarakat banyak. Pada gilirannya tanah berkembang menjadi titik yang rawan. Dalam berbagai kasus yang timbul, jika beberapa kepentingan berada dalam posisi yang berhadap-hadapan, maka biasanya kepentingan pihak yang lebih kuatlah yang menang (dalam hal ini pemerintah atau pengusaha besar), dan rakyat kecil selalu merasa dirugikan. Muncullah ke permukaan, banyak keluhan dan ketidakpuasan dari kelompok-kelompok masyarakat. Menyadari betapa pentingnya permasalahan tanah di Indonesia, maka pemerintah bersama Dewan Permusyawaratn Rakyat Gotong Royong (DPR GR), telah menetapkan Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yaitu UU No. 5 Tahun 1960 yang disahkan tanggal 24 September 1960, yang selanjutnya disingkat UUPA. 1
Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hlm. 1
1
2
UUPA harus memberikan tercapainya fungsi bumi, air, dan ruang angkasa yang sesuai dengan kepentingan rakyat dan negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala hal tentang agraria. Selain itu, UUPA harus mewujudkan penjelmaan dari azas kerohanian negara dan cita-cita bangsa yaitu Ketuhanaan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial. Tujuan dari UUPA adalah: 2 1. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur; 2. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; 3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Secara lebih khusus, keperluan yang termasuk kepentingan agama ini dalam UUPA disebut dalam pasal 49 ayat (3) yang menegaskan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sedangkan ayat (1) sebelumnya menyatakan : “hak milik badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan Boedi Harsono, Hukum Agraria (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya), Edisi Revisi, Djambatan, Jakarta, 2003, Lampiran 2, hlm. 575 2
3
sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial”. 3 Dan sebagai implementasi dari ketentuan diatas, kemudian dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yang ditetapkan tanggal 17 Mei 1977. Sebelumnya pasal 19 ayat (1) UUPA mengatur bahwa: “untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”. 4 Perwakafan tanah merupakan perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya, yang berupa tanah milik dan melembagakan untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan
umum
lainnya
sesuai
dengan
ajaran
Islam.
Dilihat
dari
keberadaannya, wakaf tanah berasal dari hukum Islam, yang diberlakukan sebagai hukum nasional. Negara Indonesia menganut asas Pancasila yang memberikan hak kepada rakyatnya untuk melaksanakan kaidah-kaidah yang sesuai dengan keyakinan agamanya. 5 Kedudukan wakaf bukan sebagi suatu benda akan tetapi sebagai suatu badan hukum yang secara fakta dan memang hal ini tidak bisa dihindarkan bahwa 3
Boedi Harsono, Hukum Agraria ... op.cit., hlm. 567 Ibid., hlm. 558 5 Imam Suhadi, Wakaf untuk Kesejahteraan Umat, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 2002, hlm. 1 4
4
ada satu benda misalnya berupa tanah yang tadinya diwakafkan. Secara hukum tidak bisa begitu saja berubah status menjadi subjek hukum karena dalam hukum (Barat) yang juga nantinya akan dilanjutkan dalam sistem hukum Indonesia tetap berdasarkan pada prinsip setiap benda harus ada pemiliknya. 6 Dalam konsiderannya pada bagian “Menimbang” huruf b PP No. 28 Tahun 1977 disebutkan: “bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan". 7 Wilayah Kabupaten Bantul mempunyai 1.884 tanah wakaf. 8 Sedangkan di Kecamatan Banguntapan mempunyai 223 tanah wakaf. Dari keseluruhan jumlah tersebut, masih ada tanah wakaf yang belum mempunyai sertifikat. Tanah wakaf yang belum mempunyai sertifikat di Kecamatan Banguntapan tidak mempunyai kepastian hukum, masih adanya keragu-raguan dan kesangsian akan hak tanah tersebut. Ada kelambatan dalam proses pendaftaran wakaf di Kecamaatn Banguntapan antara tahun 2006-2008. Wakif berjumlah 60, tercatat akta 41 buah, dan yang selesai sertifikat adalah 20 buah. Oleh karena itu, peneliti bermaksud ingin meneliti cara-cara pendaftaran perwakafan tanah milik di Kecamatan 6
Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara Kita (Edisi Revisi), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 95 7 Ibid., hlm. 90 8 Departemen Agama RI, Data Pengelolaan Wakaf, 2006, hlm. 83
5
Banguntapan. Dengan latar belakang masalah yang diuraikan diatas maka dikemukakan
judul
skripsi
“FAKTOR-FAKTOR
PENGHAMBAT
PENDAFTARAN TANAH WAKAF di KECAMATAN BANGUNTAPAN, BANTUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA”.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran wakaf di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta ? 2. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dalam proses pendaftaran wakaf di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk
mengetahui
pelaksanaan
pendaftaran
wakaf
di
Kecamatan
Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dalam proses pendaftaran wakaf di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
D. Tinjauan Pustaka Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 menjadi landasan terbentuknya pembaharuan dan terwujudnya unifikasi hukum agraria sebagai kaidah hukum tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur tentang agraria. Yang dimaksud
6
dengan agraria meliputi bumi, air, kekayaan alam yang terkandung didalamnya bahkan dalam batas-batas yang ditentukan meliputi juga ruang angkasa. Negara Indonesia sebagian besar penduduknya bergerak di bidang pertanian. Oleh karena itu, tanah merupakan sumber daya dan faktor produksi yang utama untuk memenuhi kebutuhan hidup dan dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kemakmuran rakyat yang menuju masyarakat adil dan makmur. Hal ini sudah sesuai dengan falsafah bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan UUD 1945, yang dalam pelaksanaannya telah ditegaskan dalam UUPA. Dalam hal ini, UUPA merupakan pelaksanaan dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menentukan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Sesuai dengan kewenangan negara tersebut, maka selaku badan penguasa dapat mengatur adanya bermacam-macam hak atas tanah seperti yang disebutkan dalam pasal 16 ayat (1) UUPA. Dengan diberikannya beberapa macam hak atas tanah baik kepada perseorangan atau badan hukum disamping adanya kewenangan untuk mengelola tanah tersebut sesuai hak yang dipegang sepanjang tidak bertentengan dengan pembatasan-pembatasan yang berlaku untuk itu, maka kepada pemegang hak tersebut dibebankan kewajiban untuk mendaftarkan hak atas tanahya untuk kepastian hukum. Oleh karena itu, perlu diadakan pendaftaran yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
7
Sedangkan macam-macam hak atas tanah yang wajib didaftarkan oleh pemegang haknya adalah hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan yang masing-masing diatur dalam pasal 23, 32, dan 38 UUPA. Pasal 23 ayat (1) UUPA yang mengatur tentang hak milik mengatakan bahwa: “hak milik, demikian pula setiap peralihannya, hapusnya, dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuanketentuan yang dimaksud dalam pasal 19”. Pasal 32 ayat (1) UUPA yang mengatur tentang hak guna usaha mengatakan bahwa: “hak guna-usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19”. Pasal 38 ayat (1) UUPA yang mengatur hak guna bangunan mengatakan bahwa: “hak guna-bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19”. Pasal-pasal tersebut ditujukan kepeda pemegang hak-hak atas tanah yang bersangkutan untuk harus mendaftarkan hak-hak atas tanahnya masing-masing dalam rangka memperoleh surat tanda bukti hak atas tanah (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat pemegang hak atas tanah.9
9
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 10
8
Dalam hubungan dengan adanya keharusan pendaftaran hak atas tanah ini dirasa perlu untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran berupa buku tanah dan sertifikat tanah. Sertifiakt hanya merupakan tanda bukti yang mutlak. Hal ini berarti keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar salama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA, yaitu: 10 1. Bahwa diterbitkannya sertifikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum; 2. Di zaman informasi ini maka Kantor Pertanahan sebagai kantor di garis depan haruslah memelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang tanah, abik untuk pemerintah sendiri sehingga dapat merncanakan pembangunan negara dan juga bagi masyarakat sendiri informasi itu penting untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan terkait tanah. Informasi tersebut bersifat terbuka untuk umum, artinya dapat diberikan informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang tanah / bangunan yang ada; 10
Adrian Sutedi, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 116
9
3. Untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal yang wajar. Dari uraian di atas, kegiatan pendaftaran itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Peraturan Pemerintah secara terus menerus dalam rangka menginventariskan data-data berkenaan dengan hak-hak atas tanah menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Sedangkan pendaftaran hak atas tanah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh si pemegang hak yang bersangkutan dan dilaksanakan secara terus-menerus setiap ada peralihan hak atas tanah tersebut dalam rangka menginventarisasikan data-data berkenaan dengan peralihan hak-hak atas tanah tersebut menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 guna mendapatkan sertifikat tanda bukti hak atas tanah-tanah yang kuat. 11 Pasal 49 ayat (3) UUPA, menerangkan bahwa “ perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Untuk menghilankan keragu-raguan dan kesangsian maka pasal ini memberi ketegasan, bahwa soalsoal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, dalam hukum agraria yang baru akan mendapat perhatian sebagaimana mestinya. 12 11 12
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah op. cit., hlm. 15 Boedi Harsono, Hukum Agraria ... op.cit., hlm. 594
10
Kata wakaf berasal dari kata waqaf, yang berarti menahan atau berhenti atau diam di tempat. Secara istilah, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya tanpa musnah seketika dan untuk penggunaan yang mubah (boleh). Di dalam Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf menjelaskan beberapa pengertian istilah yaitu: 13 Pasal 1 ayat (1) : “wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamaya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Pasal 1 ayat (2) : “wakif adalah pihak yang mewakafkan harta benda miliknya”. Pasal 1 ayat (3) : “ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Pasal 1 ayat (4) : “nazhir adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai dengan peruntukannya”. Pasal 1 ayat (5) : “harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif”.
13
Elsi Kartika Sari, Pengantar Hukum Zakat dan Wakaf, Lampiran, Grasindo, Jakarta, 2006,
hlm. 100
11
Pasal 1 ayat (6) : “Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, selanjutnya disingkat PPAIW adalah pejabat berwenang yang ditetapkan oleh mentri untuk membuat akta ikrar wakaf. Wakaf merupakan ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain yang memerlukan adanya tertib administrasi dan aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat agar hak dan kepentingan tersebut dapat dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu, pemerintah secara khusus perlu menetapkan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang wakaf. UUPA meletakkan dasar-dasar umum pengaturan tanah wakaf di Indonesia, seperti pasal 49 ayat (3) yang menyebutkan bahwa perwakafan tanah milik Indonesia diatur oleh Peraturan Pemerintah, yang telah dikeluarkan pada tanggal 17 Mei 1977 yang berwujud Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 (LN 1977 No. 38), tentang Perwakafan Hak Milik, dan pada tanggal 27 Oktober 2004 pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan baru yaitu Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2006 tanggal 15 Desember 2006 sebagai pedoman pelaksanaannya.
E. Metode Penelitian 1. Objek penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini yaitu faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dalam proses pendaftaran wakaf di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta .
12
2. Subjek Penelitian Subjek Penelitian dalam penelitian ini meliputi: a. Kepala Kantor Pertanahan Bantul b. Kepala Kantor Departemen Agama Bantul c. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Banguntapan 3. Sumber Data a. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung melalui kepustakaan. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Data primer, meliputi: 1) wawancara dilakukan terhadap subjek penelitian; 2) observasi dilakukan terhadap pihak yang terlibat maupun yang pihak yang tidak terlibat; b. Data sekunder dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu dengan menelusuri dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 5. Pendekatan yang digunakan menggunakan pendekatan yuridis-sosiologis yaitu data dan fakta yang diteliti, dikaji, dan dikembangkan berdasarkan pada hukum yang berlaku dalam masyarakat. 6. Analisis data yaitu dengan cara data-data yang diperoleh baik dari studi kepustakaan maupun penelitian lapangan akan dianalisa dengan metode
13
deskriptif kualitatif, yaitu dengan menguraikan data-data yang diperoleh dihubungkan dengan masalah yang diteliti, menganalisa dan menggambarkan kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam objek penelitian sehingga akan diperoleh kesimpulan dan pemecahan dari permasalahan tersebut.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Bab I Pendahuluan Meliputi: Latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, serta kerangaka penulisan. Bab II Tinjauan Umum Terbagi dalam dua sub pokok bahasan yaitu: Tinjauan Umum Pendaftaran Tanah: Pengertian Pendaftaran Tanah, Arti Penting Pendaftaran Tanah, Azas dan Tujuan Pendaftaran Tanah, Obyek Pendaftaran Tanah, dan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah. Tinjaaun Umum Wakaf: Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf, Rukun, Syarat, dan Macam Wakaf, pengaturan Perwakafan Tanah Milik, Tata Cara Pendaftaran Tanah Wakaf, Perubahan Status dan Penggunaan Tanah Wakaf. Bab III Penyajian dan Analisis Hasil Penelitian Terdiri dari tiga sub pokok pembahasan: Gamabaran Umum Lokasi Penelitian: Letak Geografis, Iklim, Wilayah Administrasi, Luas Wilayah dan Penggunaan Tanah, Jumlah Penduduk, dan Penggunaan Tanah Wakaf. Pelaksanaan pendaftaran tanah wakaf di Kecamatan Banguntapan, Bantul,
14
Daerah Istimewa Yogyakarta. Faktor-faktor penghambat dalam proses pendaftaran wakaf di Kecamatan Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Bab IV Penutup Berisi tentang Kesimpulan dan saran.