3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kondisi Umum Laut Timor
Daerah pengamatan pada penelitian ini adalah perairan Laut Timor yang
berbatasan dengan Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur dan bagian utara
perairan Australia. Pada perairan Laut Timor terdapat pulau-pulau kecil antara
lain Pulau Laminaria, Buffalo, Jahal, Elang, Bayu-Undan, Sunrise, Troubadour
dan Sunset (La’o Hamutuk, 2002). Perjanjian yang telah dibuat antara pemerintah
Indonesia dan Australia pada tahun 1972 menyepakati wilayah perairan Laut
Timor masuk ke dalam perairan Indonesia dengan jarak 370,4 km dari Nusa
Tenggara Timur dan masuk ke dalam perairan Australia dengan jarak 250 km dari
Barat Laut Australia (La’o Hamutuk, 2002). Perairan Laut Timor dan sekitarnya
dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Lokasi Laut Timor
4
2.2
Pergerakan Angin di Lautan
Angin merupakan gerakan udara secara mendatar yang disebabkan oleh
perbedaan tekanan udara antara dua tempat sehingga terjadi pergerakan angin dari
daerah tekanan udara tinggi ke daerah tekanan udara rendah. Angin merupakan
faktor utama dalam pembentukan arus atau gelombang di suatu perairan sehingga
arah dan kecepatan angin akan mempengaruhi penyebaran suatu lapisan kimia di
suatu perairan. Gesekan yang terjadi antar molekul udara dengan molekul air di
lapisan permukaan laut akan menyebabkan terbentuknya arus permukaan.
Menurut Widyastuti et.al., (2010) arus laut permukaan terjadi di lapisan
permukaan perairan dengan kedalaman kurang dari 200 meter yang disebabkan
oleh kecepatan angin yang berhembus di atas permukaan. Pergerakan arah arus
permukaan akan mengalami penyimpangan secara horizontal yang dipengaruhi
oleh gaya Coriolis. Gaya Coriolis terjadi akibat rotasi bumi dan bentuk bumi yang
bulat. Gerakan angin akan mempengaruhi pembelokan arah angin dengan sudut
sebesar 450 dengan kecepatan 2 % dari kecepatan angin yang bergerak di atas
permukaan. Penyimpangan arah arus di belahan bumi utara akan dibelokkan ke
arah kanan sedangkan di belahan bumi selatan arus permukaan akan dibelokkan
ke arah kiri (Nur, 2010).
Pergerakan arus permukaan perairan Indonesia sangat dipengaruhi oleh
angin musim atau angin muson. Hal ini akan berdampak kepada sirkulasi massa
air yang berada di perairan khususnya Laut Timor. Monsun merupakan suatu pola
sirkulasi angin yang berhembus secara periodik (minimal 3 bulan), terutama di
Samudera Hindia dan sebelah selatan Asia, dari arah Timur ke Barat dan pada
periode yang lain polanya akan berlawanan (Kurniawan et al., 2011).
5
Angin muson yang berhembus di Indonesia dibagi menjadi tiga macam
yaitu Angin Muson Barat, Angin Muson Peralihan dan Angin Muson Timur.
Angin Muson Barat terjadi pada bulan Desember hingga Februari yaitu pada saat
Australia dan Laut Koral menerima sinar dan bahang yang lebih besar
dibandingkan Asia Tenggara dan Laut Cina Selatan. Hal ini menyebabkan tekanan
udara paras bumi di kawasan Australia menjadi lebih rendah dibandingkan Asia
Tenggara (Ilahude dan Nontji, 1999). Pada bulan Juni hingga Agustus terjadi hal
yang sebaliknya sehingga dikenal sebagai Muson Timur atau Tenggara. Musim
Pancaroba (peralihan) terjadi secara dua periodik yaitu Musim Peralihan 1 (bulan
Maret-Mei) dan Musim Peralihan 2 (September-November).
2.3
Karakteristik Minyak
Minyak mentah atau crude oil adalah cairan coklat kehijauan sampai hitam
yang terutama terdiri dari karbon dan hidrogen. Putra (2011) menjelaskan teori
yang paling umum digunakan untuk menjelaskan asal-usul minyak bumi adalah
“organic source materials”. Teori ini menyatakan bahwa minyak bumi
merupakan produk perubahan secara alami dari zat-zat organik yang berasal dari
sisa-sisa tumbuhan dan hewan yang mengendap selama ribuan sampai jutaan
tahun. Minyak bumi mempunyai komposisi yang berbeda di tempat yang berbeda
akibat dari pengaruh tekanan, temperatur, kehadiran senyawa logam dan mineral
serta letak geologis selama proses perubahan tersebut. Minyak bumi merupakan
suatu zat yang mengandung campuran senyawa hidrokarbon sebanyak 50-98%
berat, sisanya terdiri atas zat-zat organik serta senyawa anorganik. Komposisi
kimia minyak bumi dapat dilihat pada Tabel 1.
6
Tabel 1. Komposisi Kimia Minyak Bumi
Komposisi Persentase Karbon (C) 84-87% Hidrogen (H) 11-14% Sulfur (S) 0-3% Nitrogen (N) 0-1% Oksigen (O) 0-2% (Sumber : Putra ZA, 2011)
2.4
Tumpahan Minyak dan Dampak Pencemaran Laut
Peraturan Pemerintah No.19/1999 mengartikan pencemaran laut sebagai
masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen
lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi
dengan baku mutu dan/atau fungsinya (Pramudianto dan Bambang, 1999).
Menurut Badan Internasional Group of Expert on Scientific Aspects of Marine
Pollution (GESAMP) bahwa sekitar 6,44 juta ton per tahun, kandungan
hidrokarbon minyak memasuki perairan laut secara global (Hartanto, 2008).
Sumber pencemar laut tersebut sebesar 4,63 juta ton/tahun berasal dari
transportasi laut, 0,18 juta ton/tahun berasal dari instalasi pengeboran lepas pantai
dan 1,38 juta ton/tahun berasal dari kegiatan industri dan pemukiman (Hartanto,
2008).
Sumadhiharga (1995) membagi dampak kerusakan yang disebabkan oleh
pencemaran minyak di laut menjadi dua tipe jangka waktu yaitu dampak jangka
pendek dan dampak jangka panjang. Dampak jangka pendek dari pencemaran
minyak antara lain kerusakan membran sel biota laut akibat penetrasi molekul-
molekul hidrokarbon minyak sehingga keluarnya cairan sel dari biota laut,
7
munculnya aroma dan bau minyak pada berbagai jenis udang dan ikan sehingga
menyebabkan turunnya mutu dari biota tersebut, kematian pada ikan yang
disebabkan oleh minimnya oksigen pada lingkungan tersebut, keracunan karbon
dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya (Misran, 2002). Dampak
jangka panjang dari pencemaran minyak akan sangat terasa bagi biota laut yang
masih muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota-biota laut pada saat
sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersamaan dengan kotoran sedang
sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat
akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisme ke organisme lain melalui rantai
makanan. Dampak kerusakan secara langsung dari tumpahan minyak terjadi di
lingkungan laut terutama pada tempat rekreasi, pemukiman nelayan serta wilayah
tambak di pesisir pantai.
2.5
Sumber Tumpahan Minyak di Laut
Tumpahan minyak di laut berasal dari sumber yang beragam, tidak hanya
berasal dari kecelakaan kapal tanker namun juga kerusakan peralatan atau
platform minyak. Input polutan minyak terbesar berasal dari pengoperasian kapal
tanker. Hal ini dikarenakan produksi minyak bumi di dunia diperkirakan sebanyak
tiga miliar ton per tahunnya dan setengahnya dikirimkan melalui transportasi laut
dengan memanfaatkan kapal tanker (Hartanto, 2008). Selama muatan minyak
ditransportasikan oleh kapal tanker dari satu wilayah menuju wilayah lainnya,
terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui oleh industri perminyakan antara lain
(1) bongkar muat minyak mentah dengan proses deballasting dan (2) kegiatan
perbaikan dan perawatan kapal dan (3) proses scrapping (pemotongan badan
8
kapal untuk menjadi besi tua). Proses deballasting merupakan sebuah sistem
kestabilan kapal menggunakan bongkar-muat air di dalam tangki slop (wadah
minyak mentah). Pengisian air laut ke dalam tangki kapal dilakukan pada saat
kapal berlabuh yang diikuti dengan kegiatan bongkar muat minyak mentah di
dalam tangki dan penyaluran air ballast yang kotor ke tangki penampungan
limbah di terminal atau menuju laut. Air ballast adalah air laut yang dimasukkan
ke dalam tangki sebuah kapal tanker yang kosong, pada saat tangki kosong ini
berfungsi sebagai wadah minyak mentah. Tangki muatan yang telah kosong
kemudian akan dibersihkan dengan water jet, pada proses ini ditujukan agar
menjaga tangki tersebut terisikan dengan air ballast yang baru untuk memenuhi
kebutuhan pelayaran selanjutnya. Pada tahap bongkar muat minyak dibutuhkan
ketelitian dan kehati-hatian yang tinggi karena kemungkinan munculnya
kebocoran pipa, pipa pecah atau kesalahan yang berasal dari lalainya manusia
dapat terjadi. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan ini akan mengandung air dan
minyak yang menjadi komponen pencemar laut di daerah bongkar muat kapal
tanker. Semakin besar ukuran suatu tanker maka dapat diperkirakan bahwa input
polutan minyak ke laut selama proses ini akan semakin besar.
Sumber lapisan minyak lainnya yang berasal dari tansportasi laut yaitu
kegiatan perbaikan dan perawatan kapal. Semua kapal yang berlayar
membutuhkan waktu pengecekan tangki dan bagian lambung kapal untuk
kemudian dilakukan tahapan perbaikan dan perawatan kapal secara periodik.
Semua sisa bahan bakar yang berada di dalam tangki harus dikosongkan pada saat
perbaikan untuk mencegah terjadinya kebakaran ataupun ledakan yang dapat
menyebabkan kerugian secara materil. Namun sisa minyak yang dibuang ini
9
sebagian besar kapal tanker langsung membuangnya di laut sehingga
menyebabkan munculnya lapisan minyak di suatu perairan.
Proses scrapping (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) juga
dapat menjadi salah satu sumber input polutan ke lautan. Proses ini banyak
dilakukan industri perkapalan di India dan Asia Tenggara termasuk di Indonesia
(Hartanto, 2008). Proses scrapping dapat meningkatkan kandungan metal dan
minyak yang terbuang ke laut. Kejadian kecelakaan kapal tanker baik berupa
kebocoran lambung, kapal kandas, ledakan, kebakaran dan tabrakan merupakan
kasus yang dapat menyebabkan input polutan yang cukup besar.
2.6
Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan yang diapit oleh dua benua yaitu
Asia dan Australia sehingga menjadikan perairan Indonesia berpotensi sebagai
jalur perdagangan dan transportasi antar negara sehingga negara Indonesia
termasuk ke dalam kategori negara yang rentan terhadap polutan laut berupa
hidrokarbon. Selain itu negara Indonesia termasuk ke dalam negara penghasil
berbagai barang tambang baik yang berupa batu bara, gas maupun minyak bumi
sehingga beberapa perairan dan pelabuhan di Indonesia dijadikan sebagai terminal
bongkar muat barang tambang. Faktor semakin banyaknya bangunan pengeboran
lepas pantai akan menambah resiko tercemarnya perairan di Indonesia. Tabel 2
menunjukkan beberapa kasus tumpahan minyak yang telah terjadi di perairan
Indonesia dalam kurun waktu tahun 1975 – 2011.
10
Tabel 2. Beberapa Kasus Tumpahan Minyak di Perairan Indonesia Kasus 1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12 13 14
15
16 17
18 19 20
21
Waktu Kejadian 1975 Januari 1975 Desember 1979 Februari 1979 Maret 1848 Jan-93 1996 Oktober 1997 1998 1999-2000 Okt-00 2001 2003-2005 Jul-03 Jul-04 2004 Okt-04 2004 Agust-05 21 Agustus-3 November 2009 2011
Lokasi
Keterangan
Selat Malaka Selat Malaka Pelabuhan Buleleng Bali Pelabuhan Lhokseumawe Selat Malaka
Tumpahan minyak tanker Showa Maru, 1 juta barel Tabrakan kapal Isugawa Maru dengan Silver Palace Kecelakaan kapal tanker Choya Maru menumpahkan 300 ton bensin Bocornya kapal tanker Golden Win yang mengangkut 150 Kiloliter minyak tanah Tabrakan kapal tanker Ocean Blessing dan MT Nagasaki Spirit yang menumpahkan 13000 ton minyak Selat Malaka Kandasnya Kapal Tanker Maersk Navigator Natuna Tenggelamnya KM Batamas II yang memuat MFO Selat Singapura Kapal Orapin Global bertabrakan dengan kapal tanker Evoikos Tanjung Priok Kandasnya kapal Pertamina Supply No 27 yang memuat solar Cilacap Robeknya kapal tanker MT King Fisher dengan menumpahkan minyak sekitar 4000 barel Batam Kandasnya MTNatuna Sea dengan menumpahkan 4000 ton minyak mentah Tegal-Cirebon Tenggelamnya tanker Stedfast yang mengangkut 1200 ton limbah minyak Tergenangnya tumpahan minyak di perairan Kepulauan Seribu Kepulauan Seribu Palembang Tabrakan antara tongkang PLTU-1/PLN yang mengangkut 363 Kiloliter IDF dengan kapal kargo AN Giang, mencemari sungai Musi Kepulauan Kapal Tanker Vista Marine tenggelam akibat cuaca Riau buruk dan menumpahkan limbah minyak dalam tangki slop sebanyak 200 ton Cilacap Tumpahan minyak oleh MT Lucky Lady yang memuat Syria Crude Oil sebanyak 625044 barrel. Pantai Tumpahan minyak mentah dari Pertamina UP VI Indramayu Balongan. Tumpahan ini merusak terumbu karang tempat pengasuhan ikan-ikan milik masyarakat sekitar Balikpapan Tumpahan minyak dari perusahaan Total E dan P Indonesia Teluk Ambon Meledaknya kapal ikan MV Fu Yuan Fu F66 yang menyebabkan tumpahan minyak ke perairan Celah Timor Ledakan dari sumber kilang minyak Montara 3 selama 74 hari sebesar ± 2000 barel (320m ) setiap harinya Kepulauan Tergenangnya tumpahan minyak di perairan Seribu Kepulauan Seribu khususnya sekitar Pulau Panggang
Sumber :Hartanto, 2008 kasus 1-19; Australian Government, 2010 kasus 20
11
2.7
Teknologi Penginderaan Jauh (Inderaja)
Penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mendapatkan informasi
mengenai suatu obyek, wilayah, atau fenomena dengan menganalisa data yang
diperoleh dengan peralatan tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek,
wilayah ataupun fenomena yang sedang diamati (Ristiana,2011). Sistem
penginderaan jauh (inderaja) memiliki tiga komponen utama dalam
pengoperasiannya antara lain sumber energi, sensor sebagai alat pendeteksi target
dan obyek pengamatan.
Sumber utama energi dalam penginderaan jauh pasif adalah Radiasi
gelombang Elektromagnetik (REM), terutama yang berasal dari matahari. Pada
sistem penginderaan jauh aktif sumber energi berasal dari komponen satelit itu
sendiri. Berikut Gambar 2 menampilkan spektrum gelombang elektromagnetik .
Gambar 2. Spektrum REM yang digunakan dalam Penginderaan Jauh (Sumber : CCRS, 2005)
Gambar 2 di atas menggambarkan selang energi gelombang elektromagnetik
yang dikenal sebagai sinar X, sinar tampak, inframerah dan gelombang mikro.
12
Pada penginderaan jauh hanya tiga jenis REM yang dimanfaatkan yaitu sinar
tampak (visible ray), sinar inframerah dan gelombang mikro.
Teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk monitoring tumpahan
minyak di perairan laut karena dapat mendeteksi keberadaan tumpahan minyak
secara dini. Kemampuan ini didukung oleh kelebihan sistem penginderaan jauh
untuk mengamati obyek dengan cakupan area yang luas dan waktu yang lebih
cepat. Pemetaan obyek muka bumi dengan memanfaatkan satelit sistem RADAR
dan bersensor Synthetic Aperture Radar (SAR) telah banyak digunakan untuk
memetakan keberadaan tumpahan minyak di laut. Beberapa satelit radar yang
sering digunakan untuk pengamatan tumpahan minyak diantaranya JERS-1,
ENVISAT, Terra SAR-X, ERS, dan ALOS.
Kelebihan Radar imaging dibandingkan penginderaan jauh optik antara
lain (1) RADAR merupakan contoh dari sistem penginderaan jauh aktif sehingga
dapat bekerja pada pagi atau malam hari, (2) Gelombang elektromagnetik pada
kisaran radar dapat menembus karakteristik atmosfer berupa awan, hujan yang
ringan, embun dan asap yang dapat memberikan sedikit pengaruh terhadap
kemampuan pemindaian sistem RADAR sehingga sistem ini dapat digunakan
pada berbagai macam cuaca. Kelebihan lainnya yaitu kemampuan sinyal RADAR
untuk menembus penutupan tanah dan tumbuhan sehingga dapat memberikan
informasi mengenai keadaan lapisan permukaan (Mansourpour et al, 2009).
2.7.1 Identifikasi Tumpahan Minyak dengan Inderaja
Tampilan citra pada sistem Synthetic Aperture Radar (SAR) merupakan
representasi dari perekaman data berupa amplitudo dan fase dari nilai hambur
balik sinyal yang dipengaruhi oleh tingkat kekasaran permukaan obyek. Intensitas
13
nilai hambur balik dari suatu materi yang terekam oleh sensor tergantung dari tipe
polarisasi suatu sinyal radar. Penggunaan polarisasi ganda pada SAR berfungsi
untuk membedakan lapisan dari sifat kimia yang berbeda, dan perbedaan tersebut
hanya dapat dilakukan pada kecepatan angin yang rendah atau ideal serta sudut
pengamatan sensor satelit yang kecil (Brekke dan Solberg, 2005).
Menurut Hu et al., (2003) nilai optimal kecepatan angin yang efektif untuk
pendeteksian lapisan minyak pada citra berkisar antara 1,5-6 m/s. Namun menurut
Sitanggang pada tahun 2004, nilai kecepatan angin yang perlu diperhatikan pada
saat kejadian dikategorikan menjadi tiga macam yaitu dari 0-3 m/s, 3-6 m/s dan
10-12 m/s. Pada kecepatan angin yang rendah (0-3 m/s), permukaan laut akan
tampak gelap pada citra karena tidak adanya atau minimnya pergerakan arus di
permukaan sehingga pendeteksian obyek tumpahan minyak pada saat seperti ini
tidak mungkin untuk dilakukan. Pada kecepatan angin 3-6 m/s kekasaran
permukaan atau gelombang terbentuk oleh angin yang bertiup di atas permukaan
sehingga tampak perbedaan nilai hambur balik antara obyek perairan dengan
lapisan minyak pada saat lapisan minyak akan tampak seperti potongan gelap
dengan latar belakang yang terang. Kecepatan angin ini dianggap sangat ideal
dalam pendeteksian tumpahan minyak. Akan tetapi apabila kecepatan angin
mencapai 10-12 m/s pada saat fenomena tumpahan minyak terjadi maka
kemampuan satelit radar dalam mendeteksi tumpahan minyak menjadi tidak
mungkin karena terganggu oleh gelombang permukaan laut dan pencampuran
induksi angin yang menyebabkan ditribusi lapisan minyak yang lebih luas pada
lapisan permukaan laut.
14
2.8
Karakteristik Satelit ALOS dan Sensor PALSAR
Satelit Advance Land Observing Satellite (ALOS ) merupakan salah satu
contoh satelit yang memanfaatkan gelombang mikro dalam pendeteksian obyek di
muka bumi. Satelit ini merupakan satelit yang diluncurkan oleh Japan Aerospace
Exploration Agency (JAXA) pada Januari 2006. Satelit ini merupakan satelit
generasi lanjutan dari satelit JERS-1 dan ADEOS yang dilengkapi dengan
teknologi yang lebih maju. Nama lain dari satelit ini adalah DAICHI yang berasal
dari bahasa Jepang. ALOS mengorbit bumi pada ketinggian 691,65 km, sudut
inklinasi 98,16° dan resolusi temporal selama 46 hari
ALOS dilengkapi dengan tiga jenis sensor penginderaan jauh yaitu (1)
Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM), (2)
Advanced Visible and Near-Infrared Radiometer type-2 (AVNIR-2) dan (3)
Phased Array Type L-Band Synthetic Aperture Radar (PALSAR)
(Rosenqvist,et.al. 2004) (Gambar 3).
Gambar 3. Visualisasi Sensor dan Peralatan Satelit ALOS (Sumber: Rosenqvist et.al., 2004)
Gambar 3 di atas merupakan visualisasi sensor dan peralatan satelit ALOS
yang telah dirangkai oleh JAXA. Citra satelit ALOS dapat diaplikasikan dalam
15
berbagai macam bidang yang sesuai dengan sensor yang digunakan. Data sensor
PRISM akan efektif untuk berbagai aplikasi seperti kreasi peta dan pemetaan
ketinggian. Data dari sensor AVNIR-2 untuk pemetaan wilayah pesisir,
perencanaan kota, pertanian, kehutanan, pengelolaan garis pantai, pengontrolan
disposal ilegal, perencanaan posisi antena, pemantauan banjir skala kecil, serta
pemantauan jalur lalu lintas laut. Sensor PALSAR merupakan sebuah sensor
gelombang mikro yang efektif dalam mengamati suatu wilayah pada siang dan
malam hari tanpa dipengaruhi awan (Rosenqvist et.al., 2004; Sitanggang G,
2002).
2.8.1 Synthetic Aperture Radar Pada Satelit ALOS PALSAR
Synthetic Aperture Radar (SAR) adalah sebuah sistem radar dalam
mengindera obyek dengan pola menyamping. SAR merupakan teknik yang handal
dan praktis untuk memperoleh resolusi spasial yang tinggi dan dapat diletakkan
pada wahana satelit. SAR mensintesiskan antena yang panjang dengan
memanfaatkan pergerakan wahana. Ilustrasi pola pemindaian pada ALOS
PALSAR dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Ilustrasi Geometri Pemindaian dengan ALOS PALSAR (Sumber: JAXA, 1997)
16
Gambar 4 di atas menampilkan metode observasi yang dilakukan oleh
satelit dalam proses pemindaian disertai dengan titik di bawah satelit yang
menjadi titik pusat jalur pergerakan satelit atau yang dikenal sebagai titik nadir.
2.8.2 Polarisasi Sinyal Pada Satelit ALOS PALSAR
Polarisasi merupakan perambatan dari gelombang mikro aktif yang
dipancarkan dan ditangkap oleh sensor radar. Gambar 5 merupakan ilustrasi pola
polarisasi yang terdapat dalam pengiriman dan penerimaan sinyal pada sensor
radar dengan bidang horizontal dan vertikal.
Gambar 5. Ilustrasi Mode Polarisasi Sinyal Radar (Sumber: CCRS, 2005) Keterangan : Garis hitam : Horizontal ; Garis merah : Vertikal
Gambar 5 menunjukkan pola pemusatan perambatan sinyal dibedakan
menjadi dua macam bidang perambatan yaitu melalui bidang datar (horizontal )
dan melalui bidang tegak lurus (vertical ). Satu sinyal radar dapat ditransmisikan
pada bidang datar (H= Horizontal ) ataupun tegak lurus (V = Vertikal ) dan dapat
disaring dengan satu bidang datar yang sama atau berbeda dalam penerimaan
sinyal gelombang elektromagnetik oleh sensor. Sensor PALSAR memiliki empat
jenis polarisasi yaitu (1) HH pada saat pemancaran dan penerimaan gelombang
dilakukan secara horisontal, (2) HV pada saat pemancaran gelombang secara
horisontal dan penerimaan gelombang dilakukan secara vertikal, (3) VH pada saat
pemancaran gelombang secara vertikal dan penerimaan gelombang secara
17
horisontal dan (4) VV pada saat pemancaran dan penerimaan gelombang
dilakukan secara vertikal (CCRS, 2005).
Sitanggang (2002) membagi mode operasi utama dari PALSAR menjadi
tiga macam yaitu mode fine, ScanSAR dan mode Polarimetrik. (1) Mode Fine
merupakan mode resolusi tinggi dengan resolusi spasial 10 m dan mode operasi
yang umum untuk observasi interferometrik dengan lebar liputan satuan citra 70
km dalam polarisasi tunggal (HH ; mode Fine Beam Single-FBS polarisation).
Mode fine dilengkapi pula dengan polarisasi rangkap dua HH+HV (mode Fine
Beam Dual-FBD polarisation). (2) Mode Scan SAR adalah mode yang
memungkinkan untuk memperoleh citra dengan lebar liputan satuan citra sampai
82-350 km dengan polarisasi tunggal HH dan resolusi spasial 100 m di dalam arah
azimuth dan range. Scan SAR mempunyai pancaran sinyal yang dapat diatur pada
elevasi (ketinggian) dan didesain untuk memperoleh cakupan atau sapuan yang
lebih lebar dibandingkan dengan SAR konvensional. (3) Mode Polarimetrik (Fine
Beam Polarimetri) adalah mode yang dioperasikan pada basis eksperimental
dengan polarisasi HH+VV+HV+VH. Tabel 3 menunjukkan karakteristik teknis
sensor dan data citra PALSAR.
Tabel 3. Karakteristik Teknis Sensor ALOS PALSAR Fine Beam Fine Beam Single pol Dualpol Polarimetrik Scan SAR (FBS) (FBD) HH or HH+HV+VH+VV HH or VV HH+HV or VV+VH VV 8 ~ 60 8 ~ 60 18 ~ 43 8 ~ 30 7 ~ 44m 14 ~ 88m 100m 24 ~ 89m 20 ~ 65km 40 ~ 70km 40 ~ 70km 250 ~ 350km 240Mbps 240Mbps 120Mbps, 240Mbps 240Mbps 1270MHz (L-band) Sumber : (Sitanggang, 2002, JAXA, 2006b) Mode Operasi Polarisasi Sudut dating Resolusi Spasial Lebar Liputan Satuan Citra Kecepatan Data Frekuensi Pusat
18
2.9
Penyaringan Sinyal Gelombang Radar
Sinyal gelombang radar dapat dipengaruhi oleh pembentukan dan
perusakan citra berupa tampilan piksel berwarna terang dan gelap yang dikenal
sebagai speckle noise. Speckle noise dalam data radar diasumsikan memiliki
model yang tidak benar secara ganda dan harus dikurangi sebelum data
dimanfaatkan karena gangguan ini dapat menggabungkan dan mengurangi
kualitas tampilan. Speckle noise ini dapat dihilangkan dengan menggunakan tahap
penyaringan secara spasial. Penyaringan spasial di kelompokkan menjadi dua
macam yaitu tipe penyaringan non adaptif dan adaptif. Parameter yang
dipertimbangkan dalam non adaptif spatial filter berupa nilai sinyal seluruh
tampilan dan meninggalkan sifat awal dari nilai hambur balik daerah tersebut atau
sensor alami. Contoh tipe penyaringan ini yaitu penggunaan Fast Fourier
Transform (FFT). Tipe penyaringan adaptif mengakomodasi perubahan dari sifat-
sifat lokal dari nilai hambur balik dan sensor alami. Pada tipe penyaringan ini,
speckle noise dipertimbangkan sebagai suatu yang tidak mengalami perubahan
namun perubahannya terdapat pada nilai rata–rata nilai hambur balik yang
dipengaruhi oleh tipe target yang diamati. Penyaringan adaptif dapat mengurangi
speckle noise dengan mempertajam perbedaan tepi obyek.
Pada aplikasi deteksi tumpahan minyak, tipe penyaringan yang digunakan
harus dapat menekan speckle noise namun tetap dapat mempertahankan tampilan
berupa tumpahan minyak yang tipis dan kecil (Brekke dan Solberg, 2005).
Metode penyaringan citra radar secara adaptif menurut beberapa peneliti memiliki
jumlah yang berbeda. Namun De Leeuw et al (2009) membagi metode
penyaringan citra menjadi delapan macam yaitu (1) Lee, (2) Enhanced Lee, (3)
19
Frost, (4) Enhanced Frost, (5) Gamma, (6) Kuan, (7) Local Sigma dan (8) Bit
Errors. Pada penelitian ini metode penyaringan adaptif yang digunakan yaitu
metode filter frost dan filter gamma. Selain itu pada penelitian ini juga dilakukan
tahap penyaringan kedua yang dikenal sebagai analisis tekstur.
2.9.1 Filter Frost
Filter frost merupakan sebuah filter simetrik eksponensial secara sirkular,
pada saat perhitungannya didasarkan pada jarak piksel yang diamati terhadap titik
pusat, faktor jarak dan variasi lokal mempengaruhi nilai dari piksel yang baru.
Filter piksel ini diaplikasikan pada citra yang berpolarisasi secara HH ataupun
HV. Ukuran jendela pengamatan filter yang diujikan pada citra ini dibagi menjadi
tiga macam yaitu 3x3, 5x5 dan 7x7. Penggunaan ukuran jendela pengamatan yang
berbeda bertujuan mempelajari efek dari ukuran jendela pengamatan terhadap
proses penghalusan dari karakteristik dan sisi-sisi obyek yang teramati (De leeuw
et al., 2009).
2.9.2 Filter Gamma
Filter gamma memiliki fungsi sebagai penyaring dengan sistem operasi
mengganti nilai piksel yang berhubungan dengan nilai jumlah bobot pada ukuran
pengamatan 3x3, 5x5 dan 7x7. Nilai bobot ini akan semakin bertambah seiring
bertambahnya jarak antara piksel yang berhubungan. Faktor nilai bobot ini juga
bertambah nilainya dibandingkan dengan nilai piksel pada titik pusat secara
bervariasi (Mansourpour et al., 2009). Filter ini mengasumsikan adanya gangguan
secara berganda dan gangguan secara tidak tetap. Logika gamma berfungsi untuk
memaksimalisasi nilai fungsi probabilitas yang masih mengacu tampilan gambar
asli. Logika ini merupakan gabungan antara properti geometri dan statistika dari
20
lokal area serta di kontrol oleh koefisien varian dan rasio geometri yang
beroperasi pada deteksi garis (Mansourpour et al., 2009).
2.9.3 Analisis Tekstur
Tekstur adalah konsep intuitif yang mendeskripsikan tentang sifat
kehalusan, kekasaran, dan keteraturan obyek dalam suatu wilayah. Tekstur
didefinisikan sebagai distribusi spasial dari derajat keabuan di dalam sekumpulan
piksel yang berdekatan, dalam ilmu pengolahan citra digital (Ganis et al., 2008).
Analisis tekstur pada citra dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu
secara (1) struktural, (2) statistika dan (3) gabungan antara struktural dengan
statistika (Tan, 2001). Metode struktural menggunakan fitur geometrik dari tekstur
sebagai identitas obyek, penggunaan metode hanya dapat digunakan untuk obyek
yang memiliki tekstur yang teratur (Anindityo A, 2010). Metode statistik
merupakan metode yang umum digunakan oleh peneliti untuk permukaan atau
tekstur yang tidak teratur dengan menggunakan Grey Level Co-occurence Matrix
(GLCM).
GLCM adalah tabulasi dari seberapa sering kombinasi yang berbeda dari
nilai kecerahan piksel (tingkat warna abu-abu) yang terjadi pada sebuah citra
(Purnomo et al., 2009). Matrix ini memiliki elemen-elemen yang berasal dari
penjumlahan beberapa pasang piksel yang memiliki tingkat kecerahan tertentu
yang terpisah dengan jarak d dan dengan sudut inklinasi θ. GLCM didasarkan
pada probabilitas munculnya tingkat keabuan (grey level) i dan j dari dua piksel
yang terpisah pada jarak d dan sudut θ. Jika jarak d mendekati ukuran tekstur
maka grey level pasangan piksel tersebut akan berbeda, maka nilai dalam matriks
GLCM akan mengalami penyebaran (Anindityo A, 2010). Purnomo A dan
21
Puspitodjati S. pada tahun 2009 memaparkan lima ciri tekstur pada analisis tekstur
antara lain:
(1) Contrast yaitu ukuran penyebaran (momen inersia) elemen-elemen matriks
citra
(2) Energy ( Angular Second Moment = ASM) yaitu fitur untuk mengukur
konsentrasi pasangan intensitas pada matriks co-occurrence
(3) Entropy menunjukkan ukuran keteracakan dari distribusi intensitas
(4) Homogeneity bertujuan untuk mengukur kehomogenan variasi dalam citra
(5) Correlation digunakan untuk mengukur tingkat ketergantungan linier
derajat keabuan dari piksel yang saling berdekatan
Menurut Nezry et al., (1994) terdapat satu macam metode GLCM lainnya
yang dikenal sebagai Mean GLCM untuk menampilkan nilai tengah (mean)
transisi pada visualisasi tekstur yang menjelaskan nilai level keabuan pada citra.
Tujuan analisis tekstur dalam tahap pengolahan data citra untuk mengurangi jarak
selang antara satu obyek dengan obyek lainnya sehingga dapat meminimalisir
kesalahan dalam menampilkan hasil klasifikasi obyek.
2.10
Klasifkasi Citra
Secara umum, algoritma klasifikasi dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
supervised (terbimbing) dan unsupervised (tak terbimbing). Penggunaan jenis
klasifikasi citra tergantung pada ketersediaan data awal citra. Proses
pengklasifikasian terbimbing (supervised) dilakukan dengan prosedur pengenalan
pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang
diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang
mewakili setiap kelompok. Pemilihan training area didasari oleh pengetahuan
22
peneliti dengan keadaan geografis dan pengetahuan mengenai tampilan obyek
sebenarnya yang tampak pada citra, pada saat ini peneliti melakukan bimbingan
dalam mengkategorikan kelas-kelas informasi (CCRS, 2005).
Klasifikasi unsupervised digunakan ketika informasi data set yang dimiliki
sedikit. Pada klasifikasi tidak terbimbing, pengklasifikasian dimulai dengan
pengelompokkan seluruh piksel dalam beberapa kelas yang didasarkan pada nilai
spektral yang dimiliki tiap obyek. Pada umumnya analis melakukan spesifikasi
jumlah kelas yang akan dibuat dari data yang diamati, pengamatan parameter
yang berhubungan dengan jarak antara kelas dan variasi atau selang nilai dari tiap
kelas (CCRS, 2005). Klasifikasi unsupersived akan mengkategorikan semua
piksel menjadi kelas-kelas dengan menampakan spektral atau karakteristik
spektral yang sama namun belum diketahui identitasnya, karena klasifikasi ini
didasari oleh metode pengelompokan secara natural atau clustering berdasarkan
sifat spektral dari setiap piksel. Parameter yang menentukan pemisahan dan
pengelompokkan piksel-piksel menjadi kelas spektral yaitu standar deviasi
maksimum, jumlah piksel minimum dalam sebuah kelas spektral dinyatakan
dalam persen (%), nilai pemisahan pusat kelas yang dipecah dan jarak minimum
antara rata-rata kelas spektral (Riani, 2009). Apabila kelas spektral telah terbentuk
kemudian dilakukan proses asosiasi antara obyek dan kelas spektral terbentuk
untuk mengidentifikasi kelas spektral menjadi kategori obyek tertentu dengan
menggunakan referensi penunjang.