2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tempe Kacang-kacangan dan biji-bijian seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji kecipir, koro, kelapa, dll merupakan bahan pangan sumber protein dan lemak nabati yang sangat penting peranannnya dalam kehidupan. Asam amino yang terkandung dalam proteinnya tidak selengkap protein hewani, namun penambahan lain seperti wijen, jagung atau menir adalah sangat baik untuk menjaga keseimbangan asam amino tersebut (Margono, dkk, 2000). Tempe merupakan makanan tradisional Indonesia yang sangat disukai oleh masyarakat. Selain rasanya yang enak tempe juga kaya akan gizi baik dari bahan bakunya ataupun hasil dari proses fermentasi (Nurhidayat, 2009). Menurut beberapa pengrajin tempe kualitas tempe lebih didasarkan pada bersih-tidaknya sepotong tempe dari kulit ari kedelai. Tempe tanpa kulit dianggap berkualitas lebih baik daripada tempe dengan kulit yang disebut oleh para pengrajin tempe sebagai “tempe super”. Secara visual tempe super dan tempe masih berkulit ari bisa di bedakan setelah dipotong melintang. Tempe tanpa kulit lebih bersih, kepadatan kedelainya cukup tinggi dan jamur tempenya terlihat sedikit. Sedangkan yang dengan kulit terlihat seperti ada “benda tak berguna” di antara kedelainya. (Ida, 1985). Tempe adalah makanan hasil fermentasi kacang-kacangan yang diinokulasi dengan jamur Rhizopus oligosporus sehingga membentuk padatan kompak berwarna putih. Warna putih disebabkan adanya miselia jamur yang tumbuh pada permukaan biji kedelai (Hestining, 1996). Pada substrat kedelai jamur selain berfungsi mengikat/menyatukan biji kedelai sehingga menjadi satu kesatuan produk yang kompak juga menghasilkan berbagai enzim yang dapat meningkatkan nilai cerna tempe saat di konsumsi (Nurhidayat, 2009). Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada proses pengolahan tempe agar diperoleh hasil yang baik adalah: 1. Kedelai harus dipilih yang baik (tidak busuk) dan tidak kotor. 2. Air harus jernih, tidak berbau dan tidak mengandung kuman penyakit 3. Cara pengerjaannya harus bersih 4. Bibit tempe (inokulum tempe) harus dipilih yang masih aktif (bila di remas membentuk butiran halus atau tidak menggumpal) (Margono, dkk, 2000).
4
Adapun tahapan pembuatan tempe adalah: 1. Hidrasi dan pengasaman biji kedelai dengan di rendam beberapa lama (untuk daerah tropis kira-kira semalam). 2. Sterilisasi terhadap sebagian biji kedelai. 3. Fermentasi oleh jamur tempe. (Majid, 2009). Proses fermentasi tempe dapat dibedakan atas tiga fase, yaitu: 1. Fase pertumbuhan cepat (0-30 jam fermentasi) terjadi kenaikan jumlah asam lemak bebas, penaikan suhu, pertumbuhan jamur cepat, terlihat dengan terbentuknya miselia pada permukaan biji yang semakin lama semakin lebat sehingga menunjukan masa lebih kompak. 2. Fase transisi (30-50 jam fermentasi) merupakan fase optimal fermentasi tempe dimana tempe siap di pasarkan. Pada fase ini terjadi penurunan suhu, jumlah asam lemak yang dibebaskan dan pertumbuhan jamur hampir tetap atau bertambah sedikit. 3. Fase pembusukan atau fermentasi lanjutan (50-90 jam fermentasi) terjadi penaikan jumlah bakteri dan jumlah asam lemak bebas, pertumbuhan jamur menurun, dan pada kadar air tertentu pertumbuhan jamur terhenti, terjadi perubahan rasa karena degredasi protein lanjut yang membentuk ammonia (Majid, 2009). Selama proses fermentasi tempe, terdapat tendensi adanya peningkatan derajat ketidakjenuhan terhadap lemak. Dengan demikian, asam lemak tidak jenuh majemuk (polyunsaturated fatty acids, PUFA) meningkat jumlahnya. Dalam proses itu asam palmitat dan asam linoleat sedikit mengalami penurunan, sedangkan kenaikan terjadi pada asam oleat dan linolenat (asam linolenat tidak terdapat pada kedelai). Asam lemak tidak jenuh mempunyai efek penurunan terhadap kolesterol serum, sehingga dapat menetrakan efek negatif sterol di dalam tubuh (Anonim, 2010).
5
2.2. Belut Klasifikasi ikan belut (Monopterus albus) menurut Saanin (1968) dalam Elly (1998) adalah: Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
SubFilum
: Vertebrata
Kelas
: Pisces
SubKelas
: Teleostesi
Ordo
: Synbranchoidea
Family
: Synbranchoidae
Genus
: Monopterus
Species
: Monopterus albus
Kandungan gizi belut ternyata cukup tinggi dan tidak banyak yang tahu bahwa belut sebenarnya adalah salah satu jenis ikan. Belut tidak memiliki sirip dan bentuk badannya tidak pipih seperti kebanyakan bentuk ikan. Jika dikelompokkan berdasarkan suku, belut adalah “bangsa” ikan dari suku synbranchidae. Belut hanya dapat ditemukan di daerah-daerah yang memiliki iklim tropis. Di Indonesia, menangkap belut di sawah sepertinya sudah menjadi tradisi bagi sebagian warga. Belut yang memiliki fungsi mata tidak begitu baik, akan lebih mudah ditangkap pada malam hari. Meskipun berbeda bentuk dan habitat dengan ikan, namun bila berbicara tentang kandungan gizi dan citarasa, belut tidak terlalu beda jauh dengan ikan pada umumnya (Anneahira, 2009). Dilihat dari komposisi gizinya, belut mempunyai nilai energi yang cukup tinggi, yaitu 303 kkal per 100 gram daging. Nilai protein pada belut (18,4 g/ 100 g daging) setara dengan protein daging sapi (18,8 g/ 100g. Seperti jenis ikan lainnya, nilai cerna protein pada belut juga sangat tinggi, sehingga sangat cocok untuk sumber protein bagi semua kelompok usia, dari bayi hingga usia lanjut. Protein belut juga kaya akan beberapa asam amino yang memiliki kualitas cukup baik, yaitu leusin, lisin, asam aspartat, dan asam glutamat. Leusin dan isoleusin merupakan asam amino esensial yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan anakanak dan menjaga keseimbangan nitrogen pada orang dewasa. Leusin juga berguna untuk perombakan dan pembentukan protein otot. Asam glutamat sangat 6
diperlukan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan asam aspartat untuk membantu kerja neurotransmitter. Belut kaya akan zat besi (20 mg/100 g), jauh lebih tinggi dibandingkan zat besi pada telur dan daging (2,8 mg/ 100g). Konsumsi 125 gram belut setiap hari telah memenuhi kebutuhan tubuh akan zat besi, yaitu 25 mg per hari. Zat besi berguna untuk membentuk hemoglobin darah yang berfungsi membawa oksigen ke. seluruh jaringan tubuh. Oksigen tersebut selanjutnya berfungsi untuk mengoksidasi karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi untuk aktivitas tubuh. Itulah yang menyebabkan gejala utama kekurangan zat besi adalah lemah, letih, dan tidak bertenaga. Zat besi juga berguna untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, sehingga tidak mudah terserang berbagai penyakit infeksi. Meskipun mempunyai nilai gizi yang tinggi, kandungan lemak pada belut cukup tinggi, yaitu mencapai 27 g per 100 g. Lebih tinggi dibandingkan lemak pada telur (11,5 g/100 g) dan daging sapi (14,0 g/100 g). Di antara kelompok ikan, belut digolongkan sebagai ikan berkadar lemak tinggi. Kandungan lemak pada belut hampir setara dengan lemak pada daging babi (28 g/100 g) (Fransisca, 2008). 2.3. Substitusi Bahan Pangan Pangan adalah bahan-bahan yang di makan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan energi bagi pemeliharaan, pertumbuhan, kerja, dan penggantian jaringan tubuh yang rusak. Pangan juga dapat diartikan sebagai bahan sumber gizi. Kehidupan manusia tidak mungkin tanpa adanya ketersediaan bahan sumber gizi. Jadi untuk mempertahankan kehidupan manusia, maka manusia harus makan secukupnya dan memenuhi gizi. Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling asasi atau kebutuhan pokok. Keanekaragaman pangan sumber protein, mineral, dan vitamin telah berhasil dilakukan dengan terkonsumsinya berbagai bahan pangan yang mengandung zat-zat tersebut. Keanekaragaman pangan merupakan jalan keluar yang saat ini dianggap paling rasional untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan pangan (Aguskrisno, 2011). Subtitusi bahan pangan bisa menjadi jalan keluar saat ini untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan pangan. Subtitusi biasanya dilakukan dengan mengubah bahan dasar menjadi tepung terlebih dahulu karena pada umumnya tepung lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit), 7
diperkaya zat gizi (difortifikasi), dan lebih cepat dimasak sesuai dengan tuntutan kehidupan modern yang serba praktis (Winarno, 2000). Melalui penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan, memungkinkan masyarakat dapat menetapkan pangan pilihan sendiri, membangkitkan ketahanan pangan keluarga masing-masing, yang berujung pada peningkatan ketahanan pangan nasional (Aguskrisno, 2011). Di lain sisi di dunia kesehatan bahwa mengkonsumsi bahan pangan yang variatif (tidak hanya satu bahan pangan) lebih menyehatkan dalam keseimbangan metabolisme tubuh (Taqyuddin, 2011). Oleh sebab itu penambahan rasa pada tempe memungkinkan untuk dilakukan (Nurhidayat, 2009).
8