2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Studi Awal Berkaitan dengan Listrik Indonesia Penduduk Indonesia setiap tahun terus bertambah, dan dari hasil sensus penduduk tahun-tahun sebelumnya dapat digunakan untuk memperkirakan lonjakan penduduk di tahun-tahun mendatang. BPS mencatat penduduk Indonesia pada tahun 2005 adalah 219.204700 orang dengan laju pertumbuhan penduduk sekitar 1.3 % pertahun. Pada tahun 2010 penduduk Indinesia berjumah 230.632.700 orang dengan laju pertumbuhan pada tahun 2010 adalah 1.22 %. Tahun 2015 total penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah 247.572.400 orang dengan laju pertumbuhan pada tahun berjalan sekitar 1.12 %. Tahun
2020
penduduk Indonesia diperkirakan berjumlah 261.005.000 orang dengan laju pertumbuhan 0.99 %. Pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia mencapai 273.219.000 orang dengan laju pertumbuhan 0.84 %. Dalam 20 tahun penduduk Indonesia bertambah rata-rata 1.094 % setiap tahunnya (BPS 2010). Rasio Jumlah penduduk Indonesia terhadap jumlah rumah tangga dari olahan data laporan Biro Pusat Statistik (BPS) diperoleh angka rata-rata 1 : 3.95; tahun 2010 terdapat 59.122.523 rumah tangga, tahun 2015 diperkirakan 62.691.742 rumah tangga, tahun 2020 diperkirakan terdapat 66.093.224 rumah tangga dan pada tahun 2025 terdapat 69.186.176 rumah tangga. Jumlah rumah tangga ini merupakan target yang akan dijadikan sasaran pelayanan listrik oleh PLN. Indonesia masih memiliki sekitar 6000 wilayah (ADB 2006), dengan populasi sekitar 90 juta orang yang belum menikmati tenaga listrik. Ketidaktersedian listrik ini memberi kontribusi pada kesulitan akses informasi, rendahnya pendapatan dan kesulitan membangun usaha. International Labour Organization (ILO) memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66.3% (BPS 1999). Tingginya angka kemiskinan tersebut mengindikasikan bahwa konsep pembangunan di berbagai sektor belum mampu membentuk sosial eknomi masyarakat yang tangguh. Data Biro Pusat Statistik (BPS 2008) dan data Perusahaan Listrik Negara (PLN 2008) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dapat diolah menjadi Tabel 2 yang mengindikasikan masih terdapat sekitar 63 juta orang Indonesia yang belum menikmati listrik pada tahun
2009 dan 50 Juta di tahun 2010. Data mengindikasikan, bahwa saat ini keterbelakangan akan sumber-sumber informasi dan penggunaan teknologi pada rakyat Indonesia masih tinggi. Masih banyak rakyat Indonesia yang tidak dapat menikmati listrik dengan baik, terutama masyarakat yang bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman. Tabel 1 Jumlah penduduk dan rumah tangga (RT) yang sudah dan belum menikmati listrik Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Jml Penduduk (jiwa) 213550500 216381600 219204700 222051300 224904900 227779100 230632700 233477400 236331300 239174300
Total Pelangga n PLN (RT) 54076516 54793424 55508306 56229139 56951744 57679566 58402171 59122523 59845204 60565126
Jml RT Terlayani 32151000 33366000 34559000 35751000 37334000 39497477 42454289 46495348 52018240 59566346
Jml RT Tak Terlayani
Jml jiwa/klg
21925516 21427424 20949306 20478139 19617744 18182089 15947882 12627175 7826964 998779
3.949043241 3.949043241 3.949043241 3.949043241 3.949043241 3.949043241 3.949043241 3.949043241 3.949043241 3.949043241
Tidak Menikmati Listrik (jiwa) 86584810.76 84617823.22 82729714.64 80869055.1 77471319.65 71801854.49 62978875.17 49865259.61 30909019.09 3944222.178
Sumber : Olahan Data BPS dan RUPTL PLN, 2008
Grafik persentase penduduk Indonesia yang terlayani dan yang tidak terlayani dapat diperkirakan seperti pada Gambar 3 dengan asumsi bahwa PLN dapat membangun sesuai dengan perencanaan tanpa menghadapi berbagai kendala baik kendala keuangan untuk pengadaan dan perawatan, tidak ada kelangkaan bahan bakar dan melakukan inovasi-inovasi baru dalam mengembangkan teknologi untuk mengganti teknologi dan peralatan yang usang; serta tidak ada kendala lain yang sukar diperkirakan seperti bencana alam dan perubahan kebijakan sosial politik di masyarakat. Dari Gambar 3 tersebut, bila sesuai dengan perencanaan dapat diperkirakan bahwa pada tahun 2013, hampir seluruh rakyat dapat menikmati listrik. Tabel 2 menunjukkan bahwa pada tahun 2010 diperkirakan masih terdapat sekitar 50 juta rakyat Indonesia masih belum menikmati listrik dan tahun 2012 masih terdapat sekitar 40 juta rakyat yang tidak menikmati listrik yang memiliki kaitan dengan besarnya keterbelakangan dan kemiskinan.rakyat Indonesia.
Rumah Tangga Terlayani dan Tidak Terlayani (%)
100
% Terlayani % Tidak Terlayani
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 2003 2004
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 Tahun
Gambar 1 Persentase rumah tangga (RT) yang terlayani dan tidak terlayani aliran listrik (Sumber: Olehan data BPS 2010)
Peningkatan jumlah penduduk Indonesia yang tinggi akan menimbulkan banyaknya penduduk yang tidak dapat menikmati listrik perlu diantisipasi secepat mungkin, apabila tidak dapat diantisipasi maka tahun-tahun mendatang menyebabkan terjadinya pertambahan jumlah penduduk miskin dan penurunan tingkat pendidikan masyarakat yang menghambat kemajuan pembangunan Indonesia. Antisipasi petumbuhan penduduk yang tidak dapat menikmati listrik dapat dilakukan dengan pemenuhan tenaga listrik untuk mengimbangi tingginya laju permintaan energi listrik masyarakat. PLN RUPTL 2010 melaporkan bahwa permintaan tenaga listrik meningkat lebih cepat tiga kali lipat pada tahun 2025 (100 GW) dibandingkan tahun 2000 (29 GW) dan diperkirakan kebutuhan energi nasional terus tumbuh rata-rata 6,5 % pertahun. Pemenuhan kebutuhan energi tersebut, saat ini masih mengandalkan produk hasil olahan minyak yang
tetap
berasal dari gas bumi (40
persen), batubara (30 persen) diikuti tenaga air, panas bumi, tenaga terbarukan lainnya dan tenaga nuklir. Pangsa nuklir dalam sistem pembangkitan listrik tahun 2025 nanti diperkirakan sekitar 5 persen. (OECD/IAEA, 2005). Pada tahun 2025 kebutuhan listrik Pulau Jawa sekitar 925 PJ, Pulau Sumatra sekitar 400 PJ, Pulau Kalimantan dan Pulau-Pulau lain membutuhkan sekitar 300 PJ (Petajoules 1015 Joules). PLN dalam perencanaan RUPTL 2006-2015 tidak mencapai sasaran
sesuai dengan rencana semula. Di pulau-pulau luar Jawa kondisi krisis yang dialami saat ini masih terus berlanjut Target rasio elektrifikasi sekitar 70% dan rasio wilayah berlistrik sekitar 90% dengan 44 juta pelanggan tidak tercapai, karena sejumlah kendala terutama kendala bahan bakar (PLN 2006). Pengolahan data menunjukkan bahwa Indonesia memiliki
electrification ratio (rasio
kelistrikan) berkisar separuh rumah tangga yang memperoleh aliran listrik, jauh lebih rendah dari Vietnam yang sudah 79 persen, Filipina 80 persen, Thailand 84 persen, dan China 99 persen. Di antara 12 negara satu kawasan, Indonesia berada di peringkat 11 (PLN 2006). Data laporan yang ada menunjukkan bahwa PLTN belum dapat melakukan pengelolaan ketersediaan listrik secara maksimal. Pengelolaan ketersediaan listrik dari mulai pembangkitan, transmisi dan distribusi PLN hanya tumbuh 1,43 % pertahunnya belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia, sehingga hanya sebesar 13.6 % penduduk Indonesia yang terlayani kebutuhan listriknya (IAEA 2003). Pada tahun 2025 diperkirakan jumlah konsumen yang tidak dapat menikmati listrik mencapai 210 juta dari 240 juta total konsumen, seperti disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 menunjukkan bahwa pada tahun 2025 diperkirakan sebesar 86.4 % penduduk Indonesia tidak dapat menikmati tenaga
listrik yang mengidikasikan akan
terjadinya peningkatan kemiskinan informasi dan peningkatan
masyarakat
miskin, dan keterbatasan akses di berbagai bidang. Tabel 2 Perkiraan penduduk yang tidak dapat menikmati tenaga listrik Keterangan Kapasitas PLN (MW)* Konsumen terlayani (Juta) Total Penduduk (Juta) Penduduk yang tidak dapat menikmati listrik (Juta)
2001
2025
21.058.83 29 214
29.509.32 40 250
185
210
*) Perkiraan jika laju peningkatan kapasitas PT PLN sebesar 1.43 % per tahun. Sumber: IAEA Energy and Economic Database, 2003
2.2 Perbandingan PLTN dan Pembangkit Listrik Lain Berbagai jenis pembangkit listrik telah dikembangkan di dunia antara lain: pembangkit listrik menggunakan bahan bakar batubara, nuklir, gas, panas bumi, biogas, matahari, angin dan lainnya. Klasifikasi berdasarkan penggerak utamanya, maka pembangkit listrik akan terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu: turbin uap (PLTU), turbin gas (PLTG), turbin air (PLTA), reciprocating engine.
Pembangkit listrik yang dikembangkan Indonesia (PLN) meliputi Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG), Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU), Pembangkit
Tenaga Panas (PLTP), Pembangkit Listrik
Tenaga Uap batu bara (PLTU), dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Komposisi energi primer yang dikembangkan PLN dapat dilihat dalam Gambar 4 berikut. 60 2020 2025
Persentase (%) dan Tahun
50
40
2015 2010
2005 2010 2015 2020 2025
2005
2005 30 2015 2010 20
2005 2020 2025 2010 2025 2015 2020
10
2020 2025
2010 2015 2020 2025
2005 2010 2015
2005
2020 2025 2005 2010 2015
0 PLTU (Batubara)
PLTG (Gas)
PLTD (BBM)
PLTP (Panas Bumi)
PLTA (Hydro)
PLTN (Uranium)
Jenis Pembangkit
Gambar 2 Strategi komposisi energi primer untuk pembangkit listrik (Olahan data PLN 2008) Pembangkit yang banyak digunakan saat ini adalah turbin uap (PLTU), uap yang dihasilkan berasal dari pembakaran batubara, gas alam, atau menggunakan bahan bakar minyak. Pembangkitan dapat dilakukan juga menggunakan bahan bakar nuklir (PLTN) untuk pemanasan uap. Uap yang dihasilkan dipergunakan untuk menggerakkan generator yang selanjutnya menghasilkan listrik. Pembangkit
listrik
selain
PLTN
seperti
PLTU
batubara
dalam
pengoprasiaannya menghasilkan gas SOx, NOx, COx, dan logam berat seperti Pb, Hg, Ar, Ni, Se di atas kadar normal pada wilayah sekitar pembangkit. Gas SOx sendiri menjadi pemicu gangguan paru–paru dan penyakit pernafasan. Sedangkan gas NOx menjadi penyebab hujan asam, apabila bereaksi dengan gas SOx yang berakibat buruk bagi peternakan dan pertanian. Gas COx akan menyebabkan efek rumah kaca yang berperan dalam pemanasan global.
Membandingkan efektivitas perolehan energi, PLTN energy availability factoc (EAF) berada pada kisaran angka 80 %, sedangkan pada pemangkit listrik lainnya, yang menggunakan BBM, besar proses konversi dari kandungan energi awal yang bisa menghasilkan energi listrik berada pada kisaran 30 %. Sehingga PLTN dapat dikatakan penghasil energi yang paling effisien dari seluruh pembangkit yang ada dibanding dengan pembangkit listrik lainnya. Dan jika membandingkan kesetaraan jumlah energi bahan bakar Uranium-235 pada PLTN dengan bahan bakar batu bara pada PLTU, secara teori dapat dihitung sebagai berikut. Besarnya energi yang tersimpan dalam inti atom dirumuskan dengan kesetaraan massa dan energi oleh Albert Einstein: E = mc2, massa bahan = m, kecepatan cahaya 3 x 10 8 m/det2 = c. Energi nuklir berasal dari perubahan sebagian massa inti dan keluar dalam bentuk panas. Energi panas yang dilepaskan oleh reaksi nuklir dapat dicontohkan dengan perhitungan sederhana dengan memisalkan 1 gram (0.001 kg) bahan bakar U-235. Jumlah atom U-235 tersebut = (1/235) x 6.02 x 10 23 = 25.6 x10 23 atom U-235. Pada setiap proses fisi bahan bakar U-235 disertai dengan pelepasan energi sebesar 200 MeV, maka 1 gram U235 yang melakukan reaksi fisi sempurna dapat melepaskan energi sebesar: E = 25.6 x 10
20
atom x 200 MeV/atom = 51.2 x 1022 MeV. Jika energi tersebut
dinyatakan dengan satuan Joule, dimana 1 MeV = 1.6 x 10 -13 J, maka energi yang dilepaskan menjadi: E = 51.2 x 10 22 MeV x 1.6 x 10 -13 J/ MeV = 81.92 x 10 9 J. Dengan asumsi hanya 30 % energi panas dapat diubah menjadi energi listrik yang dapat diperoleh dari 1 gram U-235, maka energi listrik yang diperolehnya = 30% x 81.92 x 10 9 J = 24.58 x 10 9 J. Karena 1 J = 1 W.s (E = P.t), jika dipergunakan untuk menyalakan barang elektronik dengan daya 100 W, maka 1 g U-235 dapat memenuhi kebutuhan listrik barang elektronik tersebut sebesar T = E /P = 24.58 x J / 100 W = 24.58 x 107 detik = 7.78 tahun secara terus menerus. Perhitungan memberi gambaran bahwa energi yang tersimpan dalam 1 kg bahan bakar U-235 adalah sebesar 17 milyar kkalori yang setara dengan dengan energi yang dihasilkan
dari pembakaran 2.4 juta kg = 2400 ton batubara.
Perbedaan energi yang luar biasa besar ini dapat digunakan untuk keperluan yang menghasilkan energi, oleh karenanya energi bahan bakar U-235 merupakan sumber bahan bakar yang lebih efektif dibanding sumber-sumber energi lain.
Salah satu alasan ini menjadi dasar bahwa energi nuklir terus dikembangkan oleh berbagai negara maju. Selain itu, pengrusakan lingkungan akibat pengambilan 1 kg bahan bakar uranium-235 di alam jauh lebih kecil daripada pengrusakan lingkungan akibat pengambilan 2.400 ton batubara di alamn (ABARE 2003). Energi nuklir yang dihasilkan dari bahan uranium pada reaktor PHWR (Candu) dibandingkan dengan energi yang terdapat pada minyak mentah memiliki perbandingan 1: 615.385, artinya 1 kilogram uranium alam dalam PHWR Candu setara dengan 615.385 kilogram minyak mentah. Perbandingan efektivitas tenaga yang dihasilkan dari sumber-sumber tenaga dapat dilihat dalam Gambar 5 yang merupakan perbandingan konversi tenaga untuk tiap kg sumber tenaga beserta jumlah karbon dioksida yang dihasilkan.
Gambar 3
Perbandingan Energi terhadap Minyak Mentah
cok lat cok lat ( Vic . Av erag Batu e) bara cok lat ( Loy Yan g) Kay u ba kar (ker ing) Ura nium ium Ala Ala m md dala alam mLW LW R Rw ith U &P u Ura recy nium cle Ala md alam CA ND Ura U nium Ura Ala nium md alam dika yak FB R an s /d 3 .5% dala mL WR ara
Batu b
ous)
85714
ara
min
615385
Batu b
ous)
sub ian (Ca nad
Hita m ara
Hita m
Batu b
ara
-bitu
min bitu ian
( SA
(Ca nad
Hita m Batu b
Batu b
ara
(NS Hita m ara
&W A)
Old )
am
10989 14286 W&
Gas Al
LPG
0
Batu b
Min ya
kM enta h
1,0E+06 1,0E+05 1,0E+04 1,0E+03 1,0E+02 1,0E+01 1 1,0E+00 1,0E-01 1,0E-02 1,0E-03 1,0E-04 1,0E-05 1,0E-06 1,0E-07
Grafik perbandingan nilai energi yang dihasilkan bahan bakar (Olahan data ABARE Research Report, 2003).
Penggunaan bahan bakar uranium relatif lebih ramah lingkungan jika ditinjau dari jumalah gas buang karbon yang dihasilkan dimana gas guang karbon merupakan peyebab pemanasan global dan efek rumah kaca hasil kajian para ahli lingkungan. Uranium dalam reaksin fisi-nya tidak menghasilkan gas CO2 yang berdasarkan berbagai kajian gas ini salah satu penyebab suhu bumi meningkat. Bila dihitung perbandingan gas karbon yang dihasilkan bahan bakar nuklir dan bahan bakar lainnya dapat disajikan dengan Gambar 6.
90 % Carbon
80 70 60 50 Karbon (%) 40 30 20 10 0
% Carbon
Minyak Mentah
LPG
Gas Alam
89
81
76
Batubara Batubara Hitam (NSW & Hitam Old) (Canadian sub67
25
Kayu bakar (kering)
Uranium Alam dalam LWR
42
0
Jenis Bahan bakar
Gambar 4
Perbandingan % C yang dihasilkan antara U-235 dan bahan bakar lain. ( Sumber: olahan data ABARE research report, 2009)
Gambar 6 menunjukkan jumlah karbon yang dihasilkan dari uranium dalam Liquid Water Reaktor (LWR) bernilai nol dan nilai ini jauh lebih rendah dibanding minyak mentah yang
melepaskan karbon mencapai 89%, LPG
mencapai 81%, gas Alam 76% dan batubara melepaskan karbon mencapai kisaran 25% sampai dengan 67%. Oleh karena itu, bahan bakar selain nuklirlah penyebab akumulasinya karbon di lapisan atmosfir yang mengakibatkan efek rumah kaca dan terjadinya pemanasan global di permukaan bumi. Dari keefektifan penggunaan bahan bakar dan rendahnya pelepasan unsur karbon penyebab pemanasan global, maka pilihan penggunaan energi nuklir untuk PLTN dapat dijadikan dasar sebagai keunggulan dalam menghasilkan energi untuk penyediaan sumber tenaga listrik alternatif.
2.3 Keberadaan Reaktor Nuklir Indonesia melalui BATAN telah melakukan riset dan pengembangan program tenaga nuklir dan merencanakan pembangunan reaktor nuklir sebagai bagian dari suatu sistem tenaga nasional jangka panjang. Saat ini Indonesia telah memiliki tiga reaktor nuklir untuk kepentingan penelitian antara lain: Reaktor Triga Mark II (2000 kW) yang dioprasikan sejak tahun 1965 di
Bandung;
Reaktor Kartini (100 kW) yang beroprasi sejak 1979 di Yogyakarta dan Reaktor Serbaguna (30 MW) di Serpong. Reaktor yang telah dibangun di Indonesia
dimaksudkan untuk kepentingan penelitian, dan untuk kepentingan penyedia tenaga listrik direncanakan reaktor nuklir akan dibangun di Ujung Lemah Abang (ULA) Muria, Kabupaten Jepara di Jawa Tengah. Sembilan ratus (900) reaktor nuklir telah beroprasi di dunia saat ini, di dalamnya termasuk sekitar 280 reaktor-reaktor kecil yang digunakan untuk riset produksi isotop untuk obat dan industri di 56 negara. Lebih dari 200 reaktor kecil pemberi tenaga sekitar dalam 150 kapal, umumnya kapal laut dan dari data statistik PLTN dunia tahun 2002 dan 2009 tercatat 439 reaktor PLTN yang beroperasi di 31 negara seluruh dunia dengan kapasitas total sekitar 360.064 GWe, 35 reaktor PLTN dengan kapasitas 28.087 MWe sedang dalam tahap pembangunan serta 25 reaktor PLTN dengan kapasitas 29.385 MWe, dan 4 reaktor PLTN baru akan dibangun berada di beberapa negara Asia dan Eropa Timur. Dari 439 reaktor PLTN yang beroprasi di dunia, telah memenuhi 17 % listrik dunia. Negara-negara industri di dunia, 25% listriknya berasal dari reaktor nuklir, di Amerika serikat terdapat 104 reaktor PLTN yang sudah memenuhi 20 % keperluan listrik negara tersebut. Jepang dan Perancis terus membangun PLTN setiap beberapa tahun sekali untuk memenuhi kebutuhan listriknya. PLTN mulai dibangun sejak tahun 1951 di negara-negara yang saat ini menjadi maju seperti USA, Perancis, Jepang, Rusia, Jerman, Inggris dan Canada. Menyusul dikembangkan Korea Selatan dan Cina, sekarang diikuti India dan Mexico. Data pada tahun 2000 sepuluh negara terbesar pemilik reaktor nuklir di dunia dimiliki Amerika Serikat memiliki 103 reaktor, Perancis memiliki 59 reaktor, Jepang memiliki 53 reaktor, Inggris memiliki 35 reaktor, Rusia memiliki 29 reaktor, Jerman memiliki 19 reaktor, Korea Selatan memiliki 16 reaktor, Kanada memiliki 14 reaktor, Ukraina memiliki 13 reaktor dan India serta Swedia memiliki 11 reaktor. Sepuluh negara pengguna listrik PLTN terbesar antara lain: Perancis 75%, Lithuania 73%, Belgia 58%, Bulgaria 47%, Republik Slowakia 47%, Swedia 47%, Ukraina 44%. Gambar 7 menunjukan jumlah unit reaktor yang beropasi di dunia, gambar menunjukkan bahwa negara
Amerika Serikat adalah negara pemilik reaktor
nuklir terbanyak di dunia dengan 104 unit disusul negara Perancis yang memiliki 59 unit, sedangkan di Asia megara pemilik reaktor terbanyak adalah Jepang yang
memiliki 53 unit, Korea Selatan yang memiliki 20 unit dan China yang memiliki 11 unit. 104 19
INGGRIS
15 5
SWISS
10 8
SEPANYOL
2 1 4
SLOVENIA
31
FEDERASI RUSIA
2 2 1 2 1
Nama negara
PAKISTAN MEXICO
20
KOREA SELATAN
53 17
INDIA
4 17
JERMAN
59 4 6
FINLANDIA
11
CINA
18 2 2
BULGARIA
7
BELGIA
1 2
ARGENTINA 0
20
40
60
80
100
120
Jumlah PLTN yang beroprasi (IAEA 2009)
Gambar 5 Jumlah reaktor nuklir PLTN yang beroprasi di dunia (Olahan data IAEA, 2002 & 2009). Tahun 2009-2010 terdapat negara-negara di Asia
yang sedang
menyelesaikan proyek pembangunan PLTN antara lain: Cina dengan jumlah terbanyak 16 unit dan India 6 unit, Korea menambah 6 unit, Pakistan dan Iran membangun masing-masing 1 unit. Gambar 8 menunjukkan jumlah PLTN yang sedang dibangun dengan total jumlah 53 unit diberbagai negara.
1
AMERIKA SERIKAT
UKRAINA
2
SLOVAKIA
2 9
RUSIA
1
PAKISTAN
6
Nama negara
KOREA
2
JEPANG
1
IRAN
6
INDIA
1
PERANCIS
1
FINLANDIA
CINA
16 2
BULGARIA
1
ARGENTINA
0
2
4
6
8
10
12
14
16
Jumah reaktor yang dibangun (IAEA,2009)
Gambar 6 Jumlah reaktor yang sedang di bangun (IAEA 2009).
Keberhasilan negara-negara di Asia dalam memenuhi kebutuhan negaranya dengan PLTN seperti Jepang meskipun tercatat sebagai negara yang paling rawan gempa, begitu juga negara Cina yang memiliki populasi penduduk terbesar di dunia ternyata tidak menjadi hambatan dalam membangun PLTN dalam rangka memenuhi kebutuhan energi penduduknya. Oleh karena itu, Indonesia dengan melihat keberhasilan Negara lain perlu mempertimbangkan opsi PLTN dalam mengatasi krisis listrik dengan mempersiapkan segala sumber daya dan penguasaan teknologi secepat mungkin.
2.4 Cara Kerja PLTN Cara kerja PLTN pada dasarnya sama dengan pembangkit listrik konvensional yaitu : air diuapkan di dalam suatu ketel melalui pembakaran. Uap yang dihasilkan dialirkan ke turbin yang akan bergerak apabila ada tekanan uap. Perputaran
turbin
digunakan
untuk
menggerakkan
generator,
sehingga
menghasilkan tenaga listrik. Perbedaan PLTN dengan pembangkit konvensional
adalah pada bahan bakar yang digunakan untuk menghasilkan panas, pembangkit konvensional menggunakan bahan bakar fosil seperti : batu bara, minyak dan gas, sedangkan pada PLTN menggunakan bahan bakar uranium. Pembangkit listrik konvensional menggunakan bahan bakar fosil ini yang berdampak akan mengeluarkan karbon dioksida (CO2), sulfur dioksida (S02) dan nitrogen oksida (NOx), serta debu yang mengandung logam berat. Sisa pembakaran tersebut akan teremisikan ke udara dan berpotensi mencemari lingkungan hidup, yang biasanya menimbulkan hujan asam dan peningkatan suhu global. Pada PLTN panas yang akan digunakan untuk menghasilkan uap barasal dari reaksi pembelahan inti uranium dalam reaktor PLTN, sebagai pemindah panas biasa digunakan air yang disalurkan secara terus menerus selama PLTN beroperasi. Proses pembangkit yang menggunakan bahan bakar uranium ini tidak melepaskan partikel seperti C02, S02, atau NOx, juga tidak mengeluarkan asap atau debu yang mengandung logam berat yang dilepas ke lingkungan. Limbah radioaktif yang dihasilkan dari pengoperasian PLTN adalah berupa elemen bakar bekas dalam bentuk padat yang disimpan secara lestari. Cara kerja PLTN dapat diilustrasikan dengan Gambar 9. Reaksi fisi penghasil panas
Air panas penghasil uap
Uap memutar turbin
Turbin memutar generator
Tenaga listrik
Gambar 7 Skema perolehan tenaga listrik dalam PLTN. 2.5. Dasar Pembangkitan Panas pada PLTN Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) memperoleh pembangkit listrik untuk memutarkan turbinnya berasal dari hasil reaksi fisi nuklir dalam reaktor. Reaksi fisi menghasilkan tenaga yang cukup besar yang merupakan tenaga panas hasil reaksi fisi. Reaksi fisi memerlukan pengaturan jumlah tumbukan neutron dengan inti atom uranium agar panas yang dihasilkan dapat dikendalikan. Panas yang dihasilkan tersebut dipergunakan untuk menghasilkan uap yang dapat menggerakkan turbin penghasil tenaga listrik. Panas yang dihasilkan dari reaktor nuklir berasal dari hasil fisi radionuklida
uranium-235
yang
ditumbuk
neutron.
Uranium-235
yang
bertumbukan dengan neutron terbelah menjadi dua kelompok besar yaitu
kelompok Sr-90 dan Xe-143 beserta unsur kombinasi lainnya.
Pembelahan
tersebut melepaskan 2 atau 3 netron dengan melepaskan tenaga panas sebesar 200 MeV. Setiap reaksi fisi selalu menghasilkan neutron baru, tetapi karena energi netron yang dihasilkan cukup tinggi sekitar 2 MeV untuk menghasilkan reaksi fisi berikutnya, maka neutron tersebut memerlukan perlambatan agar mencapai tenaga thermal 0.025 eV. Perlambatan neutron dimaksudkan agar reaksi fisi berlanjut dan untuk maksud tersebut memerlukan moderator. Moderator yang sering digunakan dalam reaktor nuklir antara lain: air, air berat, berylium dan grafit, agar reaksi fisi berlangsung terkendali maka diperlukan batang-batang kendali yang berfungsi menyerap neutron yang dihasilkan.
Gambar 8 Ilustrasi proses fisi uranium-235 (Samsung 1986) Gambar 10 menunjukan mekanisme reaksi fisi yang berasal dari inti atom bahan bakar (nuklida) yang menyerap neutron menyebabkan nuklida tereksitasi dengan memancarkan energi sebagai energi gamma. Pada unsur berat uranium235 menyerap neutron mengakibatkan pembelahan menjadi 2 bagian besar yang hampir sama. Uranium-235 yang menyerap
neutron membentuk nuklida
Uranium-236 dalam keadaan tereksitasi dengan kelebihan tenaga yang dipancarkan sebagai sinar gamma. Tenaga ini dapat mengubah bentuk uranium236 menjadi terbelah dua, dikarenakan gaya tolak elektrostatik melebihi gaya tarik inti menghasilkan produk-produk fisi yang terlempar dengan kecepatan tinggi
dengan tenaga kinetik sebesar 166 MeV, dan yang terbesar dari seluruh tenaga akan mencapai sekitar 200 MeV yang berasal dari: neutron 5 MeV, sinar gamma serentak 7 MeV, sinar gamma dari hasil-hasil fisi 7 MeV, partikel betta 5 MeV dan neuton 10 MeV (Korsunsky M., 1980), dimana 1 MeV berequivalen dengan 1,6 x 10 -13 joule. Reaksi pembelahan inti uranium dapat dijelaskan dengan persamaan berikut, dimana netron yang digerakkan ke arah 92U235 akan membelah menjadi 2 fraksi
besar mengeluarkan 2 atau 3 netron dengan pancaran radiasi gamma,
turunan pembelahan fraksi-fraksi akan memancarkan radiasi alpha dan betta selain gamma. 0n
1
+ 92U235 (92U236)*
Z1F1
A1
+
Z2F2
A2
+ ...
ZnFn
An
+ (2-3) 0n1 + E
Keterangan: 1 0n
235 92U (92U236)* A1 Z1F1 A2 Z2F2 An ZnFn
E
: Neutron termal : Inti uranium : Inti uranium tereksitasi : Fraksi unsur radioaktif 1 : Fraksi unsur radioaktif 2 : Fraksi unsur radioaktif n : Tenaga yang dilepaskan (MeV)
Reaksi netron dan 92U235 berkaitan dengan dua langkah terpisah. Pertama, netron menumbuk
235 92U
dan keduanya membentuk inti baru. Kedua, inti baru
tersebut terpecah membentuk 2 fraksi atau lebih dengan melepaskan tenaga. Inti baru yang terbentuk merupakan unsur transisi dimana nomor atom dan nomor masanya
merupakan
penggabungan
keduanya
membentuk
uranium-236
tereksitasi dengan waktu paruh yang sangat pendek dalam orde sekitar 10-16 detik. Informasi waktu paruh yang pendek ini dikumpulkan dari reaksi-rekasi nuklir. Keberadaan keadaan tereksitasi dideteksi melalui puncak dari kurva penampang hamburan terhadap tenaga dari suatu reaksi nuklir. Puncak dari kurva dinamakan resonansi pada keadaan tereksitasi. Para peneliti reaksi nuklir telah menggunakan isotop kadmium-113 sebagai pendekatan, unsur tersebut ditembaki neutron membentuk keadaan eksitasi kadmium-114 dan sinar gamma, diperoleh puncak efek resonansi 0,176 eV dengan lebar г = 0,115 eV. Umur rata-rata unsur dalam keadaan tereksitasi dihitung dari persamaan τ = ħ/ г, dimana ħ adalah
tetapan Planck dan г adalah lebar puncak resonansi. Persamaan tersebut diperoleh dari prinsip ketidak beraturan ∆E ∆t ≥ħ/2. Terpecahnya unsur transisi
(92U236)* membentuk fraksi-fraksi dapat
dianalisis dengan pertolongan model antara lain model tetesan-cairan. Asumsinya adalah bahwa apabila tetesan-cairan cukup tereksitasi, tetesan akan berosilasi dengan berbagai cara berubah bentuk menjadi bola lonjong, bola bulat, dan bola lonjong kembali, dan seterusnya. Model ini memandang terdapatnya tegangan permukaan, sehingga unsur transisi tersebut bervibrasi seperti tetesan-cairan. Inti dipengaruhi gaya pembelah dari gaya elektrostatik tolak-menolak proton. Inti bervibrasi sampai kehilangan tenaga eksitasinya melalui peluruhan gamma. Derajat distorsi makin membesar, tegangan permukaan tidak cukup menahan mengembalikan kepada kelompok protonnya. Akhirnya unsur transisi terbelah menjadi 2 fraksi besar dengan melepaskan tenaga (Beiser 1986). Energi per fisi yang dilepaskan tergantung dari partikel isotop yang dihasilkan, pada bahan bakar
235 92U
yang umumnya digunakan dengan neutron
termal pembangkit tenaga listrik akan menghasilkann tenaga sekitar 3.2 x 10 -11 joule. Diperlukan sekitar 3.1 x 10
10
fisi per detik untuk menghasilkan 1 watt
energi panas. Pada sistem pembangkit tenaga listrik komersial memerlukan 1 kg bahan bakar nuklir agar menghasilkan tenaga 240.000 kilowatt jam, tenaga sebesar ini equivalen dengan tenaga listrik yang dihasilkan oleh 80.000 kg batubara (Dorf RC 2005). Tenaga yang dihasilkan dari PLTN 1000 MWe dapat membangitkan listrik sebesar 7000 GWH/tahun dan diperlukan 20 ton per tahun bahan bakar uranium konsentrasi 3.5% 92U235 dari hasil asil pengayaan atau setara dengan masukan 153 ton pertahun uranium alami atau setara dengan 180 ton pertahun U3O8. Oleh karena itu, penggunaan bahan bakar tenaga nuklir secara kuantitas jauh lebih efisien dibandingkan dengan penggunaan bahan bakar lainnya seperti batu bara, minyak bumi, bahan bakar hayati atau lainnya.
2.6. Reaktor Nuklir Reaktor nuklir adalah alat yang digunakan sebagai tempat
terjadinya
reaksi berantai (fisi) melalui pengendalian. Reaktor nuklir merupakan sumber tenaga yang sangat efisien, hasil fisi 1 gram nuklida per hari dapat melepaskan
tenaga dengan laju sekitar 1 Megawatt (106 W). Tenaga yang dilepaskan dalam sebuah reaktor nuklir dalam bentuk kalor yang dapat diambil dengan mengalirkan zat cair atau gas sebagai pendingin melalui bagian dalam reaktor. Persoalan penting dalam perancangan reaktor adalah hilangnya neutron yang melewati permukaan reaktor yang terserap tanpa mengindikasikan adanya fisi. Setiap fisi
235 92U
rata-rata mengeluarkan 2.5 neutron, 1 neutron diantaranya
dapat digunakan untuk melakukan fisi berikutnya, sehingga 1.5 neutron setiap fisi perlu dihilangkan agar reaksi berantai dapat berjalan sendiri. Persoalan ini dapat diatasi dengan memperbesar ukuran reaktor agar luas permukaan per volume menjadi lebih kecil dan bahan yang dilindungi oleh material yang dapat menghamburkan neutron agar neutron hasil fisi dapat mengalami pemantulan. Persoalan kedua yang lebih sukar dalam melakukan reaksi fisi dalam reaktor nuklir adalah penggunaan uranium alami yang hanya mengandung 0.7% isotop 92U235 yang terfisikan, sedangkan bila isotop 92U235 cukup melimpah dapat menangkap neutron cepat tetapi biasanya isotop tersebut tidak melakukan reaksi fisi. Persoalan ini diatasi dengan memperlambat neutron cepat untuk mencegah neutron terserap oleh
238 92U
yang tidak produktif menghasilkan reaksi fisi, maka
dengan perlambatan neutron cepat akan mempertinggi peluang
isotop
235 92U
mengalami reaksi fisi dalam reaktor. Dalam perlambat neutron cepat dalam reaktor bahan bakar uranium perlu diselingi oleh matriks moderator yang terbuat dari bahan yang mampu menyerap neutron cepat. Moderator yang biasanya digunakan adalah air ringan, air berat, grafit dan karbon murni. Peristiwa yang terjadi dalam sebuah reaktor dimulai ketika material yang akan ter-fisi-kan (bahan bakar uranium) diletakkan bersama-sama dengan moderator, ditumbukan sebuah neutron yang berasal dari fisi spontan yang menyebabkan terjadinya pembelahan inti dengan melepaskan 2 atau 3 neutron. Neutron tersebut mengalami perlambatan dari tenaga beberapa MeV menjadi tenaga termal melalui tumbukan dengan inti moderator. Reaksi berlangsung secara berantai. Agar dapat mengontrol reaksi berantai yang terjadi diperlukan batang kendali yang terbuat dari kadmium dan boron yang mudah menyerap neutron lambat. Ketika batang kendali dimasukkan lebih dalam, maka reaksi berantai yang terjadi dapat diredam.
Reaktor komersial dewasa ini menggunakan air ringan sebagai moderator dan juga sebagai pendingin, alasannya adalah karena air memiliki 2 atom hidrogen yang massa intinya hampir sama dengan neutron. Bahan bakar uranium yang digunakan merupakan hasil pengayaan uranium alami yang kadar
235 92U
mencapai 3%. Baja tahan tekanan 45 inchi Baja linier 0,25 inchi Pelindung 36 inchi Baja reaktor 8 inchi Tempat bahan bakar nuklir
Gambar 9 Sketsa reaktor nuklir (Rashad 2000). Reaktor nuklir memiliki pertahanan berlapis yang terbuat dari bahan baja seperti ditampilkan dalam Gambar 11. Bahan bakar uranium ditempatkan dalam kelongsong yang terbuat dari baja sebagai tempat reaksi fisi terjadi. Agar reaksi tidak mengalami kebocoran, kelongsong berada dalam rendaman air dalam ruang terbuat dari baja setebal 8 inchi. Ruang tersebut dilindungi pelindung yang terbuat dari lapisan baja setebal 0,25 inchi yang berada dalam pengungkung (containment) dengan bagian dalam terbuat dari baja setebal 45 inchi. Lapisan berlapis ini dimaksudkan agar dapat memperkecil peluang kebocoran yang dapat terdistribusi ke luar reaktor. PLTN yang beroperasi di dunia sebagian besar berjenis Reaktor Air Ringan (Light Air Reaktor, LWR) dan Reaktor Air Tekan (Pressurized Air Reactor, PWR). PLTN Jenis PWR merupakan jenis reaktor yang menggunakan air (H2O) sebagai pendingin sekaligus sebagai moderator. Panas yang dihasilkan oleh reaksi fisi pada bahan bakar uranium dioksida (UO2) dalam bejana reaktor (reaktor vessel) dipakai untuk memanaskan air pendingin primer bertekanan tinggi dengan alat pengendali tekanan (pressurizer) untuk mempertahankan tekanannya. Air pendingin primer selanjutnya dialirkan ke sistem pembangkit uap
(steam generator) untuk memproses pertukaran panas dari sistem pendingin primer ke sistem pendingin sekunder, pertukaran panas ini menyebabkan air sistem pendingin sekunder mendidih dan menghasilkan uap panas yang selanjutnya dipakai untuk memutar turbin dan generator yang dapat menghasilkan tenaga listrik seperti disajikan dalam Gambar 12.
Gambar 10 Skematik diagram PLTN jenis PWR. (http: //hyperphysics.phy-astr.gsu.edu/.../reaktor.html www.animatedsoftware.com http://reaktor.engr.wisc.edu/tour/tourpics/reaktor2.gif)
Bahan bakar PWR dan LWR berbentuk UO2 yang tertutup dalam tabung panjang sempit dalam reaktor yang terbuat dari swasa-zirkonium yang dirakit bersama batang kendali yang dapat digerakkan yang diletakkan dalam tabung baja tahan tekanan. Tabung baja tahan tekanan tersebut biasanya memiliki tinggi 10 meter berdiameter dalam selebar 3 meter dan tebal dinding 20 cm. Pada PWR air yang mengalir melewati teras dipertahankan bertekanan tinggi sekitar 150 atm untuk mencegah pendidihan. Air yang masuk
dalam tabung bertekanan
0
temperaturnya sekitar 280 C dan ketika keluar temperaturnya sekitar 3200C melalui penukar kalor yang menghasilkan uap penggerak turbin seperti pada gambar 12. Reaktor Jenis PWR memiliki inti reaktor penghasil panas yang dilindungi dan ditutup oleh baja yang sangat tebal yang diberi air dengan pengatur tekanan dan bertindak sebagai moderator dan pendingin reaktor inti. Panas dari air yang bertekanan diedarkan ke generator penukar panas sebagai penghasil uap air untuk menggerakkan turbin. Uap air untuk menggerakkan turbin yang dihasilkan ini
terjadi dalam wadah dengan struktur baja atau beton yang kuat, sehingga uap air yang dihasilkan ini dapat digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit tenaga listrik dengan prinsipnya identik dengan pembangkit listrik tenaga listrik lainnya seperti listrik tenaga minyak bumi, sehingga reaktor nuklir memiliki fungsi seperti ketel uap yang menghasilkan uap penggerak turbin. Reaktor BWR (Boiling Water Reaktor) memiliki tekanan sekitar 68 atm lebih rendah dari PWR, di dalam tabung yang berisi inti atom memungkinkan terbentuknya uap air hasil transfer panas reaksi fisi dan uap air yang dihasilkan dikirim langsung ke turbin tanpa melewati generator uap. Keuntungan BWR dibandingkan dengan PWR adalah dalam hal kesederhanaannya, tetapi memiliki kelemahan peluang pencemaran lebih besar, karena dinding penghalang berkurang satu dibanding dengan PWR (Beisher 1981). Skematik BWR disajikan dalam Gambar 13.
Gambar 11 Skematik diagram PLTN Jenis BWR (http: //hyperphysics.phy-astr.gsu.edu/.../reaktor.html; www.animatedsoftware.com http://www.solcomhouse.com/images/boiling.gif
http://www.nrc.gov/reaktors/generic-bwr.pdf) Reaktor memiliki disain yang berbeda-beda tergantung rancangan negara yang membangun reaktor tersebut, dan dari waktu ke waktu terus mengalami penyempurnaan sesuai dengan perkembangan teknologi lain guna meningkatkan presisi dan akurasi yang menunjang keselamatan oprasional. Jenis-jenis rekator yang beroprasi di dunia ditampilkan dalam Tabel 4 berikut.
Tabel 3 Jenis reaktor nuklir PLTN yang beroprasi di dunia. Jenis Reaktor
Negara
Jumlah
GWe
Pressurised Air Reactor (PWR)
AS, Prancis, Jepang, Rusia
260
243
Boiling Air Reaktor (BWR)
AS, Jepang, Swedia.
92
83
Pressurised Heavy Air Reactor “CANDU” (PHWR)
Kanada
34
Gas-cooled Reaktor (Magnox & AGR)
Inggris
Light Air Graphite Reactor (RBMK) Fast Neutron Reaktor (FBR) Lainnya
Bahan bakar UO2 diperkaya
Pendingin
Moderator
air
air
UO2 diperkaya
air
air
18
UO2 alam
Air berar
air berat
32
12
CO2
graphite
Rusia
13
14
air
graphite
Jepang, Prancis, Rusia. Rusia, Jepang.
4
1.3
U (metal), UO2 diperkaya UO2 diperkaya PuO2 dan UO2
Natrium cair
Tidak ada
5
0.2
440
371
TOTAL
Sumber: Nuclear Engineering International handbook, 2002.
Perkembangan teknologi
PLTN dewasa ini memasuki era generasi
keempat. Teknologi generasi pertama muncul dan dibangun pada tahun 19501960 melalui eksperimen disain. Teknologi PLTN terus disempurnakan memasuki fase ke dua, yaitu pembangunan reaktor-reaktor besar pada era tahun 1970-1980. Generasi ketiga ditandai dengan kelengkapan pengamanan pada reaktor yang dikembangkan antara tahun 1980-1990. Dewasa ini teknologi PLTN mencapai fase ke empat yang ditandai dengan berpadunya kebutuhan domestik dan internasional yang memperhatikan pengembangan pengamanan, pengembangan sisi ekonomis, pengembangan ketahanan dan upaya-upaya memperkecil limbah nuklir yang mengotori lingkungan. Dalam perkembangan dewasa ini, jenis-jenis reaktor terus berkembang sampai saat ini sudah mencapai jenis reaktor generasi keempat seperti VHTR (Very High-Temperatur Reactor), MSR (Molten Salt Reaktor), SFR (Sodium Cooled Fast Reactor), SCWR (supercritical Water Cooled Reactor), GFR (Gas Cooled Fast reacor), dan LFR (Lead Cooled Fast Reactor) (IAEA, 2008).
2.7 Dosis Radiasi Nuklir 2.7.1 Paparan dan Dosis Radiasi Nuklir Paparan radiasi nuklir akan bergantung pada sifat fisika sumber, penggunaan sumber tersebut, serta bahan pelindung yang digunakan. Dosis radiasi sumber radioaktif telah dibakukan sebagai cara untuk pengamanan lingkungan dari berbagai risiko, baik untuk para pekerja ataupun masyarakat. Dalam kasus kecelakaan batasan baku merupakan bagian penting yang memberi patokan berkenaan dengan efek kesehatan yang menyebabkan penyakit akut radiasi, erythema, amputasi anggota badan ataupun kematian (IAEA 2003). Paparan radiasi terdiri dari paparan radiasi eksternal dan paparan radiasi internal. Paparan radiasi eksternal adalah paparan radiasi yang sumber radiasinya berada di luar tubuh. Faktor utama untuk melindungi seseorang dari paparan radiasi eksternal adalah dengan 3 faktor yaitu waktu paparan, jarak dari sumber dan perisai yang digunakan (ICRP 2007). Paparan radiasi internal adalah paparan radiasi dimana radionuklida berada dalam tubuh penerima. Sumber radiasi dapat berada di dalam tubuh karena adanya radionuklida yang masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan (inhalasi), pencernaan (injesi) dan melalui kulit (luka terbuka, pori-pori kulit). Radionuklida dalam tubuh tersebut meradiasi jaringan selama jangka waktu tertentu sesuai dengan waktu-paruh dan retensi biologis tubuh. Radionuklida akan memberikan peningkatan dosis pada jaringan tubuh penerima selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun setelah pemasukan. Dosis paparan internal radionuklida dapat diperkirakan melalui pengukuran langsung dengan pemantauan eksternal seluruh tubuh atau organ dan jaringan tertentu, atau pengukuran tidak langsung pada air seni atau tinja. Besarnya dosis yang diterima seseorang berbanding lurus dengan lama waktu orang tersebut berada di medan radiasi atau dosis radiasi = laju dosis x waktu paparan. Hal ini berarti apabila semakin sedikit waktu untuk terlibat di dalam lokasi yang mengandung paparan radiasi maka dosis paparan eksternal yang diterima menjadi rendah. Bertambahnya jarak dari sumber paparan menyebabkan laju paparan radiasi berkurang, maka dosis total yang diterima akan berkurang sesuai dengan bertambahnya jarak. Untuk sumber radiasi pemancar gama berdimensi kecil, dosis radiasi berbanding terbalik dengan kuadrat jarak.
Adanya bahan perisai antara sumber radiasi dengan penerima paparan dapat berfungsi untuk mengurangi dosis yang diterima. Ketebalan perisai yang dibutuhkan akan bergantung pada jenis radiasi, aktivitas sumber dan laju dosis sumber. Pengurangan laju dosis dengan adanya perisai akan berbanding secara eksponensial dengan ketebalan bahan perisai. Untuk radiasi gamma, perisai yang baik dipergunakan bahan padat seperti timbal dan baja.
2.7.2 Satuan Dosis Besaran dosimetrik khusus telah dikembangkan untuk penilaian dosis dari paparan radiasi. Besaran proteksi didasarkan pada pengukuran deposit energi pada organ dan jaringan tubuh manusia. Untuk melihat hubungan dosis radiasi dengan risiko radiasi perlu memperhitungkan variasi efektivitas biologi radiasi dengan kualitas yang berbeda dan variasi sensitivitas organ dan jaringan terhadap radiasi pengion. Radiasi eksternal berkaitan dengan radiasi gamma relatif ke semua organ badan yang berasal dari cemaran radionuklida, dosis eksternal dari radiasi gamma diekspresikan dalam dosis efektif, sedangkan internal dosis diekspresikan dalam dosis serap (IAEA 1986). Banyak unit-unit satuan yang dipergunakan di dalam pengukuran radioktif dapat dipandang dari sumber ataupun dipandang dari penerima dengan pengaruh jenis sumber maupun karakteristik penerima. Satuan millisievert umumnya digunakan untuk mengukur dosis efektif di dalam prosedur kesehatan seperti dalam X-ray, obat nuklir, emisi positron, emisi tomografi dan perhitungan tomografi. Radioaktivitas background tergantung dari banyak tempat, tetapi biasanya dihitung sekitar 2.4 mSv/year (CIPM 2002).
2.7.2.1 Dosis Serap (D) Dosis serap adalah jumlah energi yang diserap per satuan massa material sebagai hasil dari interaksi radiasi pengion dengan materi. Satuan dosis serap dalam satuan SI adalah Gray (Gy) yang sama dengan energi deposisi sebesar 1 joule per kilogram (J/kg) dalam materi, yang dalam hal ini adalah organ/jaringan, atau 1 Gy = 1 J/kg= 1 m2s-2. Satuan lama dari dosis serap adalah erg/gram dengan nama khusus rad. Satu rad setara dengan 100 erg/gram, dengan demikian
1Gy = 100 rad. Besaran dosis serap ini dapat digunakan untuk semua jenis radiasi pengion. (BATAN 2009) Gray mengukur energi radiasi yang terdeposit dalam materi.
Sievert
mengukur energi radiasi yang terdeposit tergantung pada jenis jaringan yang menyerap. Roentgen didefinisikan sebagai paparan radiasi setara dengan radiasi yang menghasilkan muatan electron dan 1 cm3 di udara 0 °C atmosfir standar menjadi sekitar 0.258 mC/kg (menggunakan densitas udara 1.293 kg/m3), menggunakan energi ionisasi udara 36.161 J/C, dan dihasilkan 1 Gy ≈ 115 R. 2.7.2.2 Dosis Ekivalen (H) dalam Satuan Sievert Dosis ekuivalen radiasi di dalam satuan Sievert (Sv) dari nama ilmuan Swedia Rolf Maximilian Sievert yang banyaknya mengevaluasi efek biologi radiasi pengion dan karakteristik dosis serapan. Besaran Sievert ini memiliki efek merusak ekivalen dengan dosis sinar gamma.
Dosis ekivalen (H) adalah hasil
perkalian dosis serap (D) dengan faktor berat WR. . Hubungan antara dosis serap dan dosis ekivalen Satuan Gy
ataupun satuan sievert (Sv) didefinisikan sebagai besaran
turunan SI sebagai 1 unit energi (Joule) per unit massa (kilogram). 1 Gy = 1 Sv = 1 J / kg. Faktor berat sebagai faktor kualitas yang ditentukan oleh jenis radiasinya.
Dimana:
HT adalah dosis serap ekivalen oleh jaringan T DT,R adalah dosis serap jaringan T oleh radiasi jenis R dosis yang terserap jaringan T oleh radiasi jenis R. WR adalah faktor berat .
Faktor bobot WR tidak mempunyai satuan, maka satuan dosis ekivalen sama dengan satuan dosis serap yaitu J/kg. Namun demikian untuk membedakan keduanya maka dosis ekivalen diberi satuan sievert (Sv). Satuan lama untuk dosis ekivalen adalah rem (satuan digunakan di AS) dan hubungan antara keduanya adalah 1 Sv = 100 rem. Hubungan lebih lanjut misalnya 1 rem = 0.01 Sv = 10 mSv; 1 mrem = 0.01 mSv = 10 μSv; 1 mSv = 100 mrem = 0.1 rem; dan 1 μSv = 0.1 mrem. WR didefinisikan seperti Tabel 5 berikut.
Tabel 4 Nilai faktor berat (WR) dari sumber energi No
Jenis radiasi dan energi
WR
1
Elektron, positron, muon, atau foton (gamma, X-ray)
1
2
Neutron <10 keV
5
3
Neutron 10–100 keV
10
4
Neutron 100 keV – 2 MeV
20
5
Neutron 2 MeV – 20 MeV
10
6
Neutron >20 MeV
5
7
Proton dan energi >2 MeV
2
8
Partikel alpha, fragmen fisi, non-relativitas, inti berat
20
Sumber: ICRP 103 (2007) Dosis serap 1 Gy netron 1 MeV ekivalen dengan 20 Sv.
2.7.2.3 Dosis Efektif Radiasi (E) dalam Satuan Sievert Hubungan antara kemungkinan terjadinya akibat stokastik dengan dosis ekivalen bergantung pada kepekaan organ atau jaringan yang terkena paparan radiasi. Oleh karena itu, untuk menunjukan akibat stokastik total yang berasal dari berbagai dosis pada berbagai organ yang berbeda dianggap perlu untuk mendefinisikan besaran lain yang diturunkan dari dosis ekivalen yaitu dengan memberikan bobot pada dosis ekivalen di setiap organ. Faktor bobot nyang digunakan untuk dosis serap dalam setiap organ yang disebut faktor bobot jaringan, WT. Dosis efektif radiasi (E) yang terserap oleh orang yang terkena radiasi di seluruh jaringan, maka faktor beratnya mencapai nilai 1
Dimana: HT adalah dosis serap ekivalen oleh jaringan T DT,R adalah dosis serap jaringan T oleh radiasi jenis R WT faktor bobot jaringan
Tabel 6 adalah nilai faktor bobot (WT) untuk masing-masing jaringan tubuh serta nilai faktor bobot (WT) untuk kelompok jaringan tubuh merupakan bobot kepekaan jaringan terhadap paparan radiasi.
yang
Tabel 5 Nilai faktor bobot jaringan (WT) berdasarkan ICRP No 103 (2007). No
Jenis jaringan
1 2 3
Permukaan tulang, otak, kelenjar ludah, kulit Kandung kemih, oesofagus, hati, tiroid Sumsum tulang merah, usus besar, paru, lambung, dada, adrenal, daerah extratorasik (ET), kandung kemih empedu (gall bladder), jantung, noda getah bening, otot, oral mucosa, pankreas, prostat, usus halus, limpa, thymus, uterus/cervix Gonad Total
4
WT (masingmasing) 0.01 0.05 0.12
WT (kelompok) 0.02 0.30 0.48
0.20
0.20 1.00
2.7.2.4 Dosis Ekivalen Terikat dalam Satuan Sievert Dosis
ekivalen
terikat
adalah
besaran
yang
digunakan
untuk
memperkirakan dosis yang diterima seseorang dari radiasi yang dipancarkan oleh radionuklida yang ada dalam tubuh (paparan radiasi internal). Jika unsur radioaktif masuk ke dalam tubuh dan terdeposit di dalam tubuh maka jaringan tubuh akan menerima dosis tertentu. Besarnya dosis ini merupakan fungsi dari berbagai faktor antara lain jenis radionuklida, waktu paruh dan metabolisme radionuklida di dalam tubuh. Untuk penentuan batas masukan tahunan, ICRP menerapkan perhitungan dosis melalui dosis ekivalen total pada organ yang menerima paparan selama 50 tahun setelah radionuklida masuk ke dalam tubuh. Dosis terikat yang dihitung melalui cara ini disebut sebagai dosis ekivalen terikat, HT(50).
2.7.2.5 Dosis Efektif Terikat dalam Satuan Sievert Dosis efektif terikat adalah jumlah dosis ekivalen terikat dalam setiap organ atau jaringan dikalikan dengan jaringannya
yang
menghasilkan
dosis
faktor bobot efektif
terikat.
ICRP
(2003)
merekomendasikan bahwa dosis terikat ditetapkan pada tahun di mana pemasukan terjadi. Untuk pekerja, dosis terikat biasanya dievaluasi selama lebih dari 50 tahun setelah pemasukan. Jangka waktu terikat 50 tahun adalah suatu nilai yang dipertimbangkan oleh ICRP sebagai harapan usia pekerja dihitung sejak ia masuk kerja di usia muda. Dosis efektif terikat dari pemasukan radionuklida juga
digunakan dalam penentuan dosis perkiraan untuk anggota masyarakat. Dalam kasus ini, jangka waktu terikat 50 tahun dianjurkan untuk orang dewasa. Untuk bayi dan anak-anak, dosis dievaluasi hingga usia 70 tahun.
2.7.2.6 Dosis Efektif Kolektif dalam Satuan Sievert Dosis efektif kolektif (S) diperlukan untuk menyatakan efek radiasi pada suatu kelompok orang, terutama terhadap paparan pekerjaan untuk maksud optimisasi proteksi radiasi. Besaran ini memperhitungkan paparan semua individu dalam suatu kelompok selama kurun waktu operasional tertentu di daerah radiasi. Dosis efektif kolektif S dihitung sebagai penjumlahan semua dosis efektif individu pada kurun waktu tertentu atau selama operasi. Nama khusus yang digunakan untuk besaran dosis efektif kolektif adalah ‘orang-sievert’ Perkiraan dosis efektif paparan masyarakat berdasarkan dosis efektif tahunan adalah jumlah dosis efektif yang diperoleh dalam satu tahun dari paparan eksternal dan dosis efektif terikat dari radionuklida yang masuk ke tubuh dalam tahun tersebut. Dosis ini ditentukan oleh pengukuran efluen dan lingkungan, perilaku data, dan pemodelan. Komponen akibat pelepasan efluen radioaktif dapat diperkirakan dengan pemantauan efluen untuk instalasi yang sudah ada, atau perkiraan efluen dari instalasi atau sumber selama periode waktu tertentu. Informasi tentang konsentrasi radionuklida dalam efluen dan lingkungan digunakan bersama-sama dengan pemodelan radioekologi (analisis jalur transportasi lingkungan, melalui udara, air, tanah, sedimen, tanaman, dan hewan kepada manusia) untuk mengkaji dosis dari paparan radiasi eksternal dan pemasukan radionuklida. Rujukan informasi ini terdapat dalam Annex B ICRP (2007). Situasi paparan yang direncanakan atau pada kondisi operasi normal pembatasan sumber yang dihubungkan dengan dosis individu disebut pembatas dosis (dose constraint), sedangkan untuk paparan potensial disebut pembatas risiko (risk constraint). Untuk situasi paparan kedaruratan dan existing pembatasan kaitan dengan sumber-nya disebut tingkat acuan (reference level). Konsep pembatas dosis dan tingkat acuan digunakan dalam proses optimisasi
proteksi untuk membantu pencapaian bahwa semua paparan dijaga serendah mungkin yang dapat dicapai dengan memperhatikan faktor sosial dan ekonomi.
2.7.2.7 Dosis Paparan Satuan dosis lainnya selain dosis serap yang bergantung pada jenis jaringan yang menyerap seperti yang dijelaskan di atas, terdapat satuan lain yang menyatakan ukuran jumlah paparan sumber radionuklida untuk setiap satuan waktu yang dikenal dengan satuan bequerel ataupun satuan curie, persamaan keduanya dapat dijelaskan berikut ini. Satuan Becquerel (Bq) adalah satuan SI dari nama Henri Becquerel. Satu Becquerel (Bq) sama dengan satu disintegrasi per detik, atau 60 dpm atau sama dengan 2.70×10−11 Ci. Satu curie (Ci) sebanding dengan 3.7 x 10
10
Bq atau dps, sama dengan 2.22 x 1012 dpm. 1 μCi = 3.7×10 4
disintegration per detik = 2.22×106 disintegration per menit. 1 Ci = 3.7×1010 pancaran per detik = 3.7×1010 Bq = 37 GBq sehingga 100 mCi = 3.7 GBq. Sebaliknya 1 Bq = 2.70×10−11 Ci (Supian 1997). Satuan Curie (Ci) adalah satuan lama yang merupakan satuan unit radioaktivits non-SI yang ekivalen dengan 1 gram radium-226. Berikut ini faktor konversi yang dapat dipergunakan dalam satuan dosis paparan yaitu: 1 Ci = 3.7×1010 Bq = 37 GBq maka 1 μCi = 37 000 Bq 1 Bq = 2.70×10−11 Ci = 2.70×10−5 μCi = 1 s−1 1 GBq = 0.0270 Ci Satuan counts per menit (cpm) juga digunakan dalam mengukur radioaktif. Cpm adalah jumlah atom dari bahan radioaktif yang dideteksi dalam satu menit. Disintegration per menit (dpm) digunakan juga dalam mengukur radioaktif yang merupakan jumlah atom yang memberikan pancaran radioaktif dalam satu menit. Contoh perhitungan radioaktivitas Bila massa m (dalam gram) dari isotop yang memiliki massa ma dan waktu paruh t1/2, maka jumlah radioaktivitasnya dapat dihitung. Radioaktivitas (dalam Bq) dapat dirumuskan sebagai berikut.
dengan NA=6.022×1023 adalah konstanta Avogadro. Jika 1 kilogram kalium yang mengandung 0.012% K-40 (0.12 gram, isotop lainnya stabil) memiliki waktu
paruh t1/2 1.248×109 tahun = 39.38388×1015 detik, dan memiliki massa atom 39.96399848, radioaktivitasnya sebesar 31.825 kBq. Contoh Batas Dosis Kriteria untuk relokasi suatu luasan setelah kejadian Chernobyl adalah 350 mSv/life time. Di banyak Negara maksimum yang diijinkan bagi pekerja di fasilitas nuklir adalah 20 mSv per tahun yang dirata-ratakan selama 5 tahun, dengan maksimum 50 mSv dalam tiap tahun. (ICRP 2007). Dosis batas paparan bagi masyarakat untuk pertambangan uranium atau fasilaitas nuklir adalah 1 mSv/yr di atas background (CPM 2009).
2.8 Fisika Kima Radionuklida Hasil Fisi Kecelakaan nuklir menyebabkan tersebarnya radionuklida inventory yang ada di dalam reaktor ke lingkungan. Radionuklida dalam inventory ini merupakan penentu kuat sumber radiasi yang akan mencemari lingkungan sekitar. Radionuklida inventory hasil Fisi Reaktor PWR 1000 MWe dapat diperkirakan setelah 30 menit reaktor padam (shutdown) dimana teras reaktor dalam keadaan seimbang dan reaktor telah beroprasi 1 siklus (18 bulan). Di antara radionuklida yang akan terdistribusi ke lingkungan terdapat radionuklida penting yang akan terdistribusi yang memiliki dampak besar terhadap kesehatan lingkungan yaitu radionuklida cesium-137 dan iodium-131 yang memiliki sifat fisika kimia dijelaskan berikut ini. Cesium-137 Sifat fisika kimia cesium-137 memiliki proton 55 dan netron 82 serta memiliki masa isotop 136,907. Pancaran radiasinya berupa radiasi beta, gamma dengan pancaran energi sebesar 1,176 MeV. Isotof induknya adalah Xe-137 (β−) dan produk hasil pancarannya adalah barium-137m. Cesium-137 adalah radionuklida yang terbentuk sebagai fisi produk dari hasil fisi nuklir. Memiliki waktu paruh 30,17 tahun dengan memancarkan sinar emisi beta membentuk isomer metastabil barium-137 dan barium-137m. Barium-137m mencapai jumlah 95%
dari cesium-137, sedangkan 5% membentuk unsur stabil barium-137.
Barium-137m memiliki waktu paruh 2.55 menit dan dalam peluruhannya memancarkan sinar gamma. Satu gram cesium memiliki aktivitas 3.215 terabequerel (Tolgyessy 1993). Energi foton Ba-137m adalah sebesar 662 KeV
yang umumnya digunakan untuk keperluan iradiasi pangan dan dalam kedokteran digunakan untuk radioterapi kanker. Cesium-137 belum secara luas digunakan dalam radioterapi karena sifat kimia yang cukup reaktif sehingga sulit penanganannya. Selain itu cesium-137 sangat mudah larut dalam air dan ini karakteristik cesium yang menyulitkan di dalam langkah pengamanannya di lingkungan (NIST 2011). Keunikan cesium-137 adalah bukan hasil peluruhan radioaktif uranium secara langsung tetapi berasal dari unsur non-radioaktif berupa gas mulia xenon yang sudah terdapat di alam sejak bermilyar-milyar tahun yang lalu. Cesium-137 sedikit sekali digunakan, dalam jumlah kecil digunakan untuk mengkalibrasi peralatan radiodeteksi sebagai penghasil emisi sinar gamma, dan sedikit dipakai untuk menangani kasus-kasus kanker. Cesium-137 dapat menyebar ke lingkungan dari hasil pengujian cesium dalam uji coba nuklir Nevada di Amerika Serika tahun 1952 dan 1953 ketika antisipasi perang nuklir. Dalam uji coba tersebut menghasilkan informasi bahwa cesium akan menyebar ke lingkungan dalam bentuk cesium-134 dalam jumlah kecil dan bagian terbesarnya dalam bentuk isotop cesium-137 dengan spectrum gamma 660 KeV dan 30 KeV Barium. Informasi serupa dihasilkan dari kejadian kecelakaan nuklir Chernobyl 1986. Oleh karena itu, cesium-137 dalam kecelakaan nuklir akan terdistribusi ke udara dan akan menyebar lingkungan bersamaan dengan suatu ledakan nuklir dari fakta kejadian kecelakaam dan dari hasil berbagai penelitian nuklir. Kasus kecelakaan Chernobyl yang merupakan kecelakaan reaktor nuklir (PLTN) terbesar menghasilkan cemaran radionuklida cesium-137, iodium-131 dan stronsium-90 yang mengganggu kesehatan lingkungan. Cesium-137 memiliki efek kesehatan seperti kanker dan tumor. Karakteristik cesium mudah bereaksi dengan air menghasilkan senyawa cesium hidroksida yang mudah larut. Karakteristik efek dalam tubuh seperti halnya kalium dan rubidium, cesium akan tersebar merata di seluruh organ badan dengan konsentrasi terbesar dalam otot dan konsentrasi terkecil terdapat dalam tulang. Waktu paruh biologi cesium kurang lebih 70 hari. Eksperimen terhadap anjing diketahui bahwa dosis tunggal cesium
sebesar 3800 μCi/kg atau sekitar 44 μg/kg cesium-137 merupakan efek yang mematikan dalam 3 minggu (Redman 1972). Iodium-131 Radionuklida iodium-131 merupakan unsur penting di dalam kaitannya dengan kecelakaan nuklir. Iodium-131 memiliki proton 53 dan netron 78 dengan masa isotof 130.906, memiliki waktu paruh 8.020 hari. Sebagai hasil produk fisi dari peluruhan Te-131 (β-) yang menghasilkan Xe-131 (β-). Radionuklida ini termasuk radionuklida berbahaya yang berkontribusi pada efek kesehatan sejak bom atom Hirochima, kecelakaan nuklir Chernobyl maupun kecelakaan Fukushima. Hal ini disebabkan karena iodium-131 merupakan produk hasil fisi thorium dari bahan bakar reaktor uranium dan plutonium dengan jumlah mencapai 3% yang dihasilkan dari total produk fisi reaktor nuklir. Iodium-131
memancarkan sinar beta, dan bila masuk ke dalam tubuh
dapat menyebabkan mutasi dan kematian sel, tetapi dosis tinggi relatif kurang berbahaya dari pada dosis rendah. Radiasi radionuklida iodium-131 dapat mematikan sel thyroid dan menyebabkan kanker. Contoh kasus, anak-anak yang menerima I-131 ada kelainan pada jaringan thyroidnya dan dideteksi meningkatkan kanker thyroid. Iodium-131 dengan waktu paruh 8,02 hari untuk mencapai kestabilan yang membentuk Xenon-131 melalui 2 tahapan, tahap pertama memancarkan sinar betta selanjutnya memancarkan sinar gamma. + 606 KeV + 364 KeV Emisi paling utama dari iodium-131 adalah dengan energi yang dipancarkan paling besar (606 KeV) dengan kelimpahannya mencapai 89% dengan memancarkan sinar beta dengan penetrasi pada jaringan 0.6 sampai 2 mm, sedangkan emisi yang kedua dapat memancarkan sinar gamma dengan kelimpahan 81% dengan energi 364 KeV.(IAEA 2011, Skugor 2006). Effect paparan iodium-131 bila masuk ke dalam tubuh akan terkonsentrat pada jaringan thyroid menyebabkan gangguan fungsi jaringan tersebut. Pada fakta kecelakaan nuklir yang telah terjadi dihasilkan distribusi radionuklida ke lingkungan yang
mengotori makanan yang dikonsumsi menyebabkan I-131 terakumulasi pada jaringan thyroid yang berakibat terjadinya kanker thyroid. Risiko masuknya Iodium-131 dalam tubuh dapat dikurangi dengan mengambil makanan bersuplemen Iodium yang akan meningkatkan jumlah total iodium dalam tubuh dan karenanya dapat mengurangi masuknya I-131 dalam tubuh dan meningkatkan ketahanan jaringan. Metoda pencegahan umum untuk terhindar dari paparan I-131 melalui melalui penjenuhan thyroid secara teratur dengan Iodium-127 non-radioaktif sebagai garam ber-iodium, sehingga thyroid akan menyerap sangat sedikit radioaktif iodium-131 setelah penjenuhan thyroid dengan iodium-127. Dosis untuk orang dewasa adalah 130 mg kalium iodida per hari atau 65 mg dua kali dalam sehari. (Simon 2006). 2.9 Kecelakaan PLTN Kecelakaan PLTN Fukushima-Daiichi diantaranya disebabkan karena kelemahan reaktor BWR yang memiliki pendingin darurat yang hanya bergantung pada sistem elektrik dalam menyalakan pendingin pada reaktor tersebut. Rancangan sistim pendinginan ternyata gagal mengantisipasi gempa bumi dan tsunami. Ketika sumber energi utama dan generator cadangan tidak berfungsi, air pendingin tak bisa mencapai bahan bakar nuklir. Panas yang berlebihan ini kemudian mengakibatkan ledakan-ledakan, api, dan pelepasan radiasi yang signifikan ke lingkungan. Berbeda dengan reaktor Chernobyl yang merupakan reaktor berjenis RBMK, dan menurut pemahaman terminology Rusia ini adalah jenis reaktor dangan out-put berdaya tinggi, type multichannel. Ini merupakan suatu reaktor air bertekanan menggunakan air ringan sebagai pendingin dan grafit sebagai moderator. (IAEA 1992; Purvis 1995; Cherkasov 1996; Kiselev 1994 ). Penyebab yang mendorong ke arah kecelakaan reaktor terbesar yang terjadi di reaktor unit 4 Chernobyl tahun 1986 diakibatkan oleh upaya melakukan uji coba pada penelitian sistem elektrik, yang menyebabkan setasiun rusak (IAEA 1986). Hasil pengujian saat itu mengakibatkan bervariasinya temperatur dan laju alir air masuk ke dalam inti dan pada saat itu kondisinya tidak stabil sebelum kecelakaan, dan oprator melakukan tindakan kesalahan dengan mematikan sistem keselamatan keadaan darurat dari reaktor (Gerasko 1997). Perubahan temperatur terjadi cukup cepat
dan ini memperlemah bahan bakar zirconium di dalam inti ke pipa baja yang membawa pintu masuk air pendingin. Hal ini
mengakibatkan peningkatan
tegangan reaktor yang cepat menyebabkan bahan bakar terpragmentasi dan melakukan perpindahan panas dengan cepat dari fragmen bahan bakar kepada pendingin, akhirnya menghasilkan gelombang udara yang bergerak cepat di dalam air pendingin. Sebagai akibatnya, air pendingin berubah menjadi uap air bertekanan dalam sistem utama selanjutnya dilepaskan ke luar. Ledakan uap air tersebut terjadi diduga disebabkan inti reaktor telah terangkat selama waktu ledakan ketika semua air meninggalkan inti reaktor. Ini mengakibatkan peningkatan kereaktifan cepat yang mendorong penguapan di bagian pusat bahan bakar yang diakhiri oleh suatu ledakan dan penyebaran uap bahan bakar yang merusakan bagian inti dan merusakan bangunan. Bahan bakar, komponen inti, dan struktural materi terlempar ke atap bangunan reaktor. Pecahan inti bekas ledakan mengenai material lain yang mudah terbakar yang ada di sekitarnya berakibat pada pelepasan bahan radioaktif ke lingkungan. Kira-kira 20 jam setelah ledakan, api mulai membesar sehingga material di reaktor menjadi cukup panas untuk membakar gas yang terbebas dari inti seperti hidrogen dari reaksi zirconium-air dan karbon monoksida dari reaksi grafit panas dengan uap air. Api mencapai sedikitnya 50 m di atas puncak reaktor yang rusak (Purvis 2005). Bekas Ledakan baru dapat ditutup dengan waktu lebih dari 10 hari menggunakan material
kira-kira 5000 ton, meliputi sekitar 40 ton campuran
borium, 2400 ton tanah liat, 600 ton dolomite (campuran sodium fosfat dan cairan polymer), dan 1800 ton pasir (Sich 1994). Pada hari ke-8 setelah kecelakaan, lantai di daerah sub-reaktor mengandung corium dengan cepat terdistribusi di atas area permukaan yang tersebar secara horizontal. Corium menghasilkan uap air
ketika kontak dengan air sehingga membentuk aerosol dan telah
meningkatkan pelepasan radionuklida. Pengalaman kecelakaan dari PLTN Fukushima (Jepang), PLTN Chernobyl (Uni Sovyet) dan Three Mile Island (Amerika Serikat) perlu dikaji lebih dalam yang dapat memberi pelajaran bagi PLTN Muria agar terhindar dari kejadian serupa yang membawa korban. Kecelakaan Chernobyl adalah rujukan yang baik dalam upaya menghindari kecelakaan parah dalam mengelola PLTN. Kecelakaan
tersebut telah mencemari luasan daratan Eropa 200.000 km2 dengan radionuklida Ce-137. Daerah yang terkontaminasi oleh kecelakaan tersebut berupa lingkungan darat seperti jalan, bangunan, halaman yang ditansformasikan oleh udara dan hujan; lingkungan perairan seperti sungai, danau dan laut; serta lingkungan udara yang terkontaminasi karena dorongan angin. Distribusi radioaktif di lingkungan udara, tanah, air tersebut telah banyak merugikan manusia, hewan dan makhluk hidup lain yang menimbulkan berbagai penyakit. Upaya untuk menghindari kecelakaan di PLTN Muria yang akan dibangun, maka perlu seperangkat system antisipasi dan perkiraan serta langkahlangkah sistematis untuk memperkecil kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi untuk menghindari kecelakaan besar yang mencemari lingkungan. Pengoprasian PLTN perlu pengelolaan yang baik dengan kesalahan mendekati nol agar tidak mempunyai dampak negatif bagi lingkungan, baik lingkungan air, tanah dan udara. Semua tahapan PLTN dari tahap perencanaan, selama proses dan pasca proses memerlukan kontrol yang ketat dengan jaminan kualitas tinggi, sehingga PLTN memerlukan sistim-sistim deteksi dini dalam setiap langkah kegiatan untuk menghindari kecelakaan yang menyebabkan kontaminasi radioaktif yang membahayakan lingkungan biotik dan abiotik. Aspek-aspek keselamatan perlu dijaga agar kecelakaan tidak terjadi antara lain: 1) Keselamatan terpasang yang dirancang berdasarkan sifat-sifat alamiah air dan uranium. Bila suhu dalam teras reaktor naik, jumlah neutron yang tidak tertangkap maupun yang tidak mengalami proses perlambatan akan bertambah, sehingga reaksi pembelahan berkurang. Akibatnya panas yang dihasilkan juga berkurang. Sifat ini akan menjamin bahwa teras reaktor tidak akan rusak walaupun sistem kendali gagal beroperasi; 2) Penghalang ganda yang merupakan sistem pengamanan yang ketat dan berlapis-lapis, sehingga kemungkinan terjadi kecelakaan maupun akibat yang ditimbulkan sangat kecil agar radioaktif yang dihasilkan selama reaksi pembelahan inti uranium sebagian besar (>90%) akan tetap tersimpan di dalam matriks bahan bakar.
Selama operasi maupun jika
terjadi kecelakaan, selongsong bahan bakar akan berperan sebagai penghalang kedua untuk mencegah terlepasnya zat radioaktif tersebut keluar kelongsong. Kalau zat radioaktif masih dapat keluar dari dalam kelongsong, masih ada
penghalang ketiga yaitu sistem pendingin. Lepas dari sistem pendingin, masih ada penghalang keempat berupa bejana tekan terbuat dari baja dengan tebal lebih dari 20 cm. Penghalang kelima adalah perisai beton dengan tebal 1,5 – 2m. Bila saja zat radioaktif itu masih ada yg lolos dari perisai beton, masih ada penghalang keenam, yaitu sistim pengukung yang terdiri dari pelat baja setebal lebih dari 7cm dan beton setebal 1.5 – 2m yang kedap udara; 3) Pertahanan Berlapis yang meliputi lapisan keselamatan pertama dirancang, dibangun dan dioperasikan sesuai dengan ketentuan yang sangat ketat,
dengan mutu yang tinggi dan
teknologi mutakhir; Lapisan keselamatan kedua, dilengkapi dengan sistem pengamanan/ keselamatan yang digunakan untuk mencegah dan mengatasi akibatakibat dari kecelakaan yang mungkin terjadi selama umur PLTN; Keselamatan ketiga, PLTN dilengkapi dengan sistim pengamanan tambahan, yang dapat diandalkan untuk dapat mengatasi kecelakaan hipotesis, atau kecelakaan terparah yang diperkirakan dapat terjadi (BATAN, 2009). Kasus utama yang harus dihindari dari kegiatan PLTN adalah rusaknya reaktor atau terjadinya kebocoran pada reaktor yang menyebabkan terjadinya pelepasan radioaktif ke luar reaktor baik disebabkan karena faktor kerusakan material pelindung ataupun sebab-sebab lain seperti kesalahan fatal oprasional dan kecelakaan yang diakibatkan adanya gempa bumi hebat dan lain-lain di luar batas perkiraan. Kejadian kecelakaan tenaga nuklir yang disebabkan kerusakan material pelindung berasal dari tidak berfungsinya sistem pendingin, kebocoran, dan ledakan pada sistem pendukung. Risiko kecelakaan PLTN yang terjadi dapat menimbulkan kerugian antara lain berupa kematian dan cedera. Kecelakan diklasifikaskan dalam dokumen WASH-1250 terdapat sembilan kelas kecelakaan yang dapat terjadi, antara lain: Kelas 1 : insiden trivial Kelas 2 : pelepasan sejumlah kecil zat radioaktif keluar pengungkung Kelas 3 : kegagalan sistem limbah radioaktif Kelas 4 : pelepasan zat radioaktif kedalam sistem primer Kelas 5 : pelepasan zat radioaktif kedalam sistem sekunder Kelas 6 : kecelakaan penggantian bahan bakar didalam pengungkung Kelas 7 : kecelakaan pada bahan bakar bekas diluar pengungkung Kelas 8 : peristiwa-peristiwa inisiasi kecelakaan yang telah diperhitungkan di dalam dasar perancangan Kelas 9 : deret kegagalan hipotesis
Klasifikasi ini direvisi ke dalam bentuk skala peristiwa nuklir Internasional [INES-International Nuclear Event Scale] yang dibagi menjadi tujuh tingkat skala kecelakaan nuklir, sebagai berikut: Skala 0 : untuk tingkat kejadian penyimpangan dibawah skala Skala 1 : untuk tingkat kejadian anomali Skala 2 : untuk tingkat kejadian insidentil Skala 3 : untuk tingkat kejadian insiden serius Skala 4 : untuk tingkat kecelakaan tanpa adanya risiko yang berarti diluar tapak PLTN ( off site risk) . Skala 5 : untuk tingkat kecelakaan risiko diluar tapak PLTN . Skala 6 : untuk tingkat kecelakaan serius (serious accident) Skala 7 : untuk tingkat kecelakaan besar (severe accident) Tingkat kecelakaan nuklir INES telah menetapkan standar untuk berbagai pengguna PLTN dan instalasi pendukungnya yang memberi acuan skala standar dalam mengantisipasi kecelakaan pada setiap kategori kecelakaan PLTN, karena keberadaan PLTN akan memberikan suatu risiko kecelakaan meskipun daya yang dihasilkannya sekecil apapun. Risiko kecelakaan tersebut akibat perlakuan dan pengendalian terhadap bahan bakar U-235 dan hasil belahnya. Risiko radiasi nuklir tidak hanya berasal dari kecelakaan PLTN dapat juga berasal dari sistem penambangan, transportasi, pengolahan dan pemanfaatannya untuk pembangkit tenaga listrik. Setiap tahapan kegiatan sebelum dan selama proses pembangkitan PLTN dapat menimbulkan kejadian kecelakaan yang selalu menimbulkan konsekuensi kerugian baik berupa kematian, cedera atau kehilangan harta benda. Tingkat konsekuensi kerugian dari suatu kejadian yang merupakan kecelakaan disebut risiko kejadian. Besarnya risiko kejadian dapat dihitung untuk setiap periode waktu tertentu dan besarnya risiko kejadian berbanding lurus terhadap frekuensi kejadian jumlah kejadian per satuan waktu dan tingkat parahnya kejadian (tingkat konsekuensi kerugian) persatuan waktu (Karliana 2000). Besarnya risiko kejadian rata-rata untuk setiap orang/penduduk di suatu tempat disebut risiko rata-rata penduduk yang besarnya sama dengan nilai risiko di suatu tempat dibagi oleh jumlah penduduk ditempat tersebut. Kejadian kecelakaan PLTN umumnya terjadi karena tidak berfungsinya sistem pendingin primer di teras reaktor mengakibatkan terjadinya ledakan, kebocoran, kerusakan sistem pendukung dan kebakaran transformer. Kejadian kecelakaan tersebut tidak selalu di teras reaktor, tetapi dapat juga terjadi diluar
teras. Jika dibandingkan jumlah kecelakaan pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangikit listrik selain tenaga nuklir secara statistik ditampilkan seperti Tabel 7. Dan Kecelakaan Reaktor terparah yang pernah terjadi di dunia ditampilkan seperti Tabel 8. Tabel 6
Perbandingan statistik kecelakaan pada produksi tenaga utama
Bahan bakar Batu bara Gas Alam Hidro Nuklir
Korban fatal 1970-1992 6 400 1 200 4 000 31
Korban Pekerja Pekerja dan publik Publik Pekerja
Normal kematian per tahun 342 85 883 8
Sumber: Ball & Robert, Reseach Report #20, University of East Angia 1994 IAEA, Susteanable Development and Nuclear Power, 1997 Severe Accident in the Energy Sector Paul Scherrer Institut, 2001
Tabel 7
Kecelakaan reaktor terparah yang pernah terjadi di dunia
Reaktor
Tahun
Kematian Segera
Efek Lingkungan
Tindak lanjut
NRX, Kanada (40 MWt, percobaan)
1952
0
0
Diperbaiki Inti Reaktor, ditutup tahun 1992
1957
0
1961
3 oprator
1966
0
0
1969
0
Sangat kecil ke lingkungan
1975
0
0
1979
0
Sebaran ke lingkungan sekitar 2 x 10 14 Bq Kr85
Dibersihkan, dimonitor
1980
0
Radiasi kecil lepas (8 x 10 10 Bq)
Diperbaiki, diawasi 1992
1986
31 Staf dan pemadam Kebakaran
Radiasi mencapai Eropa timur dan Scandinavia (11 x 10 18 Bq)
Ditutup total
1989
0
0
1999 2011
2 pekerja 2 pekerja
Windsclae-1, Inggris, Plutonium Militer SL-1, USA (Militer, 3 MWt, percobaan) Fermi-1, USA (66 MWe) Lucens, Swiss, (7,5 MWe, Percobaan) Browns Ferry, USA (Komersial 880MWe) Three-Mile Island-2, USA (Komersial 880MWe) Saint Laurent-A2, Prancis (450 MWe, Komersial) Chernobyl-4, Ukraina, 950 MWe) Vandellos-1, (Spanyol, 480 Mwe) Tokai Mura Jepang *Fukhusima-Daiichi
Kontaminasi daerah sekitar 1,5 x 1015 Bq Sangat kecil ke lingkungan
Kecil ke lingkungan Sebaran ke lingkungan Sumber: Ball & Robert, Reseach Report #20, University of East Angia 1994 IAEA, Susteanable Development and Nuclear Power, 1997 Severe Accident in the Energy Sector Paul Scherrer Institut; 2001 * Informasi tambahan.
Dihancurkan Komisi pengawas Diperbaiki, dibuka thn-1972 Komisi pengawas Diperbaiki
Komisi Pengawas Diperbaiki
Tabel 7 dan Tabel 8 menunjukkan bahwa PLTN memiliki risiko terjadinya kecelakaan yang menyebabkan kematian, tetapi jika dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan industri pembangkit listrik lainnya jumlah korban manusia secara kuantitas relatif lebih kecil dari jumlah korban manusia dari kecelakaan industri lainnya. 2.9.1 Kecelakaan Nuklir akibat Gempa Pembangunan PLTN mengenai
perlu didahului dengan melakukan penelitian
identifikasi data geologi yang berperan untuk memperhitungkan
peluang dan menjaga kemungkinan terjadinya gempa di lokasi PLTN. BATAN telah melakukan beberapa tahapan proses pemilihan lokasi tapak dari tahap seleksi, tahap penentuan lokasi serta tahap evaluasi. Untuk sampai pada proses pembangunan PLTN diperlukan waktu yang panjang yang meliputi penentuan tapak, perencanaan
konstruksi, melakukan pengawasan dan oprasioanal serta
pemantauan yang terus menerus. Parameter geologi dan identifikasi karakteristik lokasi PLTN telah diteliti sebagai parameter untuk menentukan pondasi bangunan yang memiliki kekuatan terhadap kemungkinan gempa yang akan terjadi. Penelitian Hadi Suntoko (2000) mengenai parameter sifat mekanika batuan di lokasi tapak yang meliputi parameter teknik compressive strength (daya dukung tanah) di Ujung Lemah Abang berkisar antara 30-60 kgf/cm2 terutama pada pelapisan batu pasir tengah (MSS) yang cocok untuk pondasi serta memiliki kecepatan gelombang geser terendah sebesar 800 m/detik pada pelapisan tufa atas, dan kecepatan permukaan air tanah sebesar 244 m/detik melebihi persyaratan minimal ketahanan terhadap gempa gelombang geser. Kesimpulan tersebut diperoleh dari data fisik yang diperoleh dari data bor dan survei permukaan. Identifikasi diawali dengan mempertimbangkan bahwa Semenanjung Muria dan sekitarnya adalah lokasi yang bertumpu di atas lempeng-lempeng sehingga bila lempeng itu bergerak kemungkinan akan terjadi gempa. Getaran gempa dapat berasal dari akibat gerak lempeng/tektonik atau adanya aktifitas volkanik. Gerak tektonik dapat berupa patahan mendatar, patahan turun maupun patahan naik. Hasil pemantauan data gempa di lokasi tapak Ujung Lemah Abang dan sekitarnya ditinjau dari aspek
getaran yang diakibatkan oleh tektonik/patahan maupun getaran tidak ada kaitannya dengan kegiatan volkanik Gunung Muria. Di daerah Ujung Lemah Abang
terdapat sesar tetapi memiliki jarak yang cukup jauh dengan jarak
terdekatnya adalah 25 km sampai 60 km. Sesar-sesar tersebut mempunyai arah rata-rata timur laut-barat daya, sedangkan tepat di daerah Ujung Lemah Abang tidak ada indikasi sesar baik di permukaan maupun di bawah permukaan. Data peta pusat gempa yang ada menunjukkan bahwa di bawah pantai utara Jawa tidak ada konsentrasi gempa dangkal, yang ada hanya gempa menengah dan dalam yang kurang berbahaya. Hasil perhitungan dengan metoda sesar aktif diperoleh angka percepatan maksimum gempa 0.11 g. Daerah Muria bagian utara tidak akan terganggu oleh erupsi gunung api karena daerah tersebut berada di luar volkanik aktif dan berada dalam kerangka struktur geologi yang berbeda. Berdasarkan peta agihan gunung api di Pulau Jawa, ada beberapa gunungapi aktif di Jawa Tengah yaitu Sundoro, Sumbing, Ungaran, Merbabu, Merapi, Lawu dan Wilis yang jaraknya dari daerah Muria bagian Utara antara 108-180 km, maka dapat diduga bahwa bila ada erupsi dari gunungapi-gunung api tersebut maka ancaman paling besar berupa jatuhan abu (Sucipta 1995). Gejala alam selain gempa juga perlu diperhitungkan kondisi-kondisi lain seperti pengaruh kelerengan, morfologi, erosi, banjir dan gerakan massa batuan yang dapat mengancam PLTN. Kondisi air permukaan di Ujung Lemah Abang adalah berupa sungai-sungai tadah hujan yang umumnya mengalir ke utara bermuara di laut jawa. Sungai-sungai tersebut membentuk pola subparalel di bagian barat dan tengah. Serta pola radial di bagian timur. Dengan kepadatan pengaliran halus hingga kasar. Air tanah bebas terpadat pada kedalaman sangat dangkal hingga dalam dan produktivitas akifernya bervariasi dari rendah hingga tinggi. Ditinjau dari kondisi tersebut, satuan dataran kaki gunung api bergelombang berbatuan breksi-tuf memiliki nilai kesesuaian yang paling tinggi. Berdasarkan informasi tersebut maka daerah Ujung Lemah Abang telah dikaji oleh BATAN dan dinyatakan aman dari kemungkinan bencana gempa untuk pembangunan PLTN.
2.9.2 Kecelakaan akibat Kesalahan Manusia Kecelakan dapat terjadi dimulai dari tahap awal siklus bahan bakar nuklir dari mulai penambangan dan pengolahan bijih uranium menjadi bahan bakar PLTN dan kerusakan reaktor serta disebabkan kelalaian pengelolaan tahap akhir siklus nuklir berupa limbah nuklir, daur ulang, perdagangan limbah padat dan kelalaian pengawasan reaktor-reaktor. Kecelakaan dalam semua rangkaian pekerjaan akan berdampak pada lingkungan dengan skala yang berbeda-beda, diantaranya ada yang tidak berdampak pada lingkungan atau berdampak kecil sampai pada dampak lingkungan yang bersifat luas. Untuk menghindari kecelakaan fatal dari setiap langkah-langkah kegiatan, perlu terus menerus melakukan upaya peningkatan sumber daya manusia spesifikasi keahlian nuklir melalui pendidikan dan pelatihan agar kecerobahan sebagai human error dari pelaksanaan oprasional PLTN tidak akan terjadi.
2.10 Distribusi Radionuklida dan Dampak lingkungan Dampak cemaran radiasi
akibat kecelakaan nuklir disebabkan oleh
tersebarnya radionuklida dalam inventory reaktor ke lingkungan di udara, tanah dan air, yang dapat mengganggu kesehatan ataupun kematian serta menyebar ke lingkungan biotik yaitu makhluk hidup yang ada di dalamnya. Apabila cemaran radioaktif
memaparkan radiasinya pada makhluk hidup melebisi batas
kemampuan sistem metabolisme dalam mentolerir radiasi, maka dapat berakibat pada perubahan kesehatan. Efek radiasi pengion pada makhluk hidup menyebabkan proses fisika dan kimia yang diikuti dengan proses biologik dalam tubuh. Radiasi nuklir memiliki efek kerusakan pada tingkat sel dan jaringan yang meliputi kerusakan pada DNA dan kromosom yang berpotensi menyebabkan terjadi mutasi pada sel somatik dan genetik dan prosees transformasi sel. Kerusakan dapat pula terjadi pada strukstur sel lain, yang mengakibatkan kematian sel atau kerusakan sub letal pada sel, kerusakan seperti ini umumnya tidak berakhir dengan terbentuknya kanker atau penyakit herediter, tetapi radiasi dapat menyebabkan terjadinya perubahan struktur pada kromosom, juga bersifat karsinogenik yaitu proses pembentukan kanker (Alatas 2003).
2.10.1 Distribusi Radionuklida di Lingkungan Udara Kerusakan dalam reaktor nuklir PLTN menyebabkan terjadinya bahan radioaktif hasil fisi akan terlepas ke lingkungan udara akan menyebar terbawa angin, hal ini dipengaruhi beberapa faktor seperti iklim dan cuaca. Pergerakan udara akan menyebarkan radiasi yang bercampur dengan udara. Penyebaran aktivitas radioaktif paling besar kemungkinan akan melewati cerobong yang memiliki ketinggian cukup untuk dapat disebarkan oleh angin yang memiliki kecepatan dalam kategori atmosfir di lokasi PLTN. Angin yang mempengaruhi cemaran memiliki kecepatan dengan sejumlah vektor arah dan laju. Vektor angin dapat terjadi dalam tiga dimensi, tetapi pada umumnya vektor yang dipakai untuk perkiraan awal dalam meramalkan distribusi yang disebabkan oleh angin yang diperhitungkan hanya arah horisontal. Arah angin memiliki pengaruh pada arah pergerakan cemaran yang dilepaskan. Cemaran yang kontinyu akan diencerkan setelah ke luar dari titik lepasan seperti di puncak cerobong. Dalam lapisan trofosfir, temperatur udara ambien biasanya turun dengan naiknya ketinggian. Suatu campuran udara yang memiliki temperatur lebih besar daripada temperatur ambien cenderung akan naik mencapai suatu tingkatan yang mempunyai temperatur dan kepadatan sama dengan atmosfir lingkungannya. Untuk keperluan perhitungan, proses pendinginan akibat kenaikan ketinggian campuran udara dianggap berlangsung adiabatik sehingga tidak ada pertukaran panas dengan udara lingkungan. Dalam menghitung sebaran cemaran di udara diperlukan data stabilitas udara yang merupakan mudah tidaknya campuran cemaran melakukan gerakan arah vertikal. Selain itu kelas kestabilan dinyatakan sebagai variabel penentu besaran dispersi σy dan σz (Susilo 1995). Teori Pelepasan Bahan Radioaktif di Udara Distribusi radionuklida digambarkan dengan model penyebaran asap gaussian yang disebarkan dari ketinggian cerobong dengan tinggi efektif H, oleh angin yang berkecepatan µ disebarkan radionuklida ke arah sumbu x dan secara vertikal – horisontal ke arah sumbu z dan sumbu y. Luas penyebaran radionuklida tergantung pada cuaca dan stabilitas atmosfer di lokasi terjadinya distribusi.
Analisis distribusi cemaran karena faktor angin memerlukan asumsi kecelakaan reaktor yang menyebabkan lepasnya radionuklida inventory reaktor telah ke luar melewati cerobong. Fraksi pelepasan dapat dihitung dengan persamaan gaussian dengan asumsi bahwa stabilitas atmosfir konstan, pelepasannya secara kontinyu (Umbara 2001). Di lingkungan atmosfir udara, awan radiasi akan mengalami deposisi karena cuaca atau karena curah hujan yang tinggi. Perhitungan intensitas pengendapan radionuklida akibat curah hujan dapat dihitung dengan persamaan F Vinther dan HD Brenk (Kartodiwirio 1995).
2.10.2 Distribusi Radionuklida di Lingkungan Tanah Bahan radioaktif hasil fisi akan terlepas ke lingkungan di udara akan menyebar dan terbawa angin akibat kecelakaan PLTN. Untuk memperkirakan densitas radioaktif di udara dapat ditentukan dengan persamaan penyebaran asap gaussian pada saat z sama dengan nol (Purwanto 1994). Selanjutnya radioaktif akan
masuk ke wilayah tanah akibat deposisi basah dan kering. Pada fakta
kecelakaan PLTN Chernobyl lingkungan tanah telah tercemar dengan cakupan cukup luas melalui analisis terhadap indikator cesium-137 yang mencapai jumlah lebih dari 37 kBqm-2 (1 Ci/ km2). Cesium-137 dipilih sebagai radionuklida acuan dalam mengukur cemaran tanah dilihat dari waktu paruhnya dan pada kemudahan pengukurannya (Izrael 1998). Kontaminasi radionuklida yang memasuki wilayah tanah dipengaruhi pula oleh perubahan kecepatan angin, dan dalam 10 hari pasca kecelakaan PLTN Chernobyl angin di lokasi terus berubah sehingga banyak luasan tanah telah terkontaminasi akibat deposisi radionuklida dari udara. Dari hasil penelitian, capaian kontaminasi radionuklida di tanah dari kecelakaan Chernobyl mencapai jarak 300 km, sebab lainnya adalah dalam 10 hari setelah kejadian curah hujan dengan pola yang tidak homogen sehingga pencemaran tanah tidak seimbang untuk semua arah terhadap pusat kecelakaan (Borzilov 1993). Tanah yang banyak terkontaminasi Cs-137, terdapat di Belarus Rusia dan Ukraina. Penyebaran Sr-90 yang ditandai adanya Zr-95 dan Ce-144 relatif terlokalisasi. Sedang deposisi I131 diperkirakan terdapat di Belarus dan Rusia bagian barat. Jumlah Cs-137 yang terdeposisi di tanah (> 37 kBqm2) dan perkiraan sebelumnya mencapai 29 PBq
(BNP 1995, Pitkevic 1994). Hal penting bentuk fisika-kimia dari radionuklida yang terdeposit di tanah adalah: (a) terdistribusinya partikel bahan bakar (b) partikel hasil kondensasi, dan (c) partikel jenis campuran termasuk hasil adsorpsi ( IAEA 2000). Distribusi cemaran radionuklida dalam zona kurang dari 100 km (< 100 km) disebut juga zona dekat, dan daerah dengan radius lebih dari 100 km (100 km sampai 2000 km) disebut zona jauh. Deposisi di daerah zone dekat mencerminkan komposisi radionuklida dari bahan bakar. Partikel yang relatif besar seperti partikel bahan bakar dan unsur-unsur lainya seperti Zr, Mo, Ce dan Np akan terdeposisi pada zone dekat serta radionuklida antara seperti Ru, Ba, Sr dan unsurunsur bahan bakar (Pu, U) juga berada dalam zone dekat. Unsur-unsur Yang mudah menguap (I, Te dan C) berada dalam partikel hasil kondensasi dan berada dalam zona jauh. Luasan tanah yang tercemar Cs-137 berada di spanjang zona, baik zona dekat maupun zona jauh. Cemaran unsur ini dengan jumlah 37kBq/m2 (1Ci/km2) menempati luasan yang besar dan pada jarak sekitar 30 km Cs-137 terdeposisi di tanah dengan densitas 1500 kBq m2 (40 Ci/km2) di zona dekat sumber kecelakaan. Di radius kurang dari 200 km, terdapat areal wilayah yang dicemari unsur ini mencapai sekitar 5 MBq/m2 . Area sebaran Sr-90 melebihi 100 kBq/m2 hampir seluruhnya di dalam zona 30-km dan densitas melebihi 37 kBq/m2 terdapat di hampir semua zone dekat kurang dari 100 km (Hoshi 1998).
2.10.3 Distibusi Radionuklida dari Kecelakaan Chernobyl. Paparan Radiasi pada kecelakaan Chernobyl, pada mulanya mengandung I-131 yang berumur pendek disusul oleh Cs-137 dan Cs-134 . Radionuklida ini telah mencemari makanan dan minuman di daerah Belarus yang dilaporkan United Nations (1988) dalam Effects and Risks of Ionizing Radiation. Dilaporkan pula bahwa di negara-negara eropa telah tejadi peningkatan dosis gondok pada bayi yang tercemar radionuklida khususnya negara-negara yang dekat dengan reaktor yang mengalami kecelakaan dengan peningkatan dosis gondok efektif pada bayi rata-rata naik kurang lebih 1 mSv. Setelah tahun pertama kejadian
dilaporkan bahwa di Belarus terjadi pengingkatan dosis gondok rata-rata 25 mGy, dan di Polandia menjadi kira-kira 8 mGy (Krajewski 1991). Perkiraan berdasarkan evaluasi terbaru terhadap radionuklida dilepaskan pada kecelakaan Chernobyl menginformasikan bahwa radionuklida inventory yang keluar dari reaktor untuk Cs-137 sebesar 290 PBq dan 10 hari kemudian menjadi sekitar 260 PBq, sementara untuk I-131 pada hari pertama kejadian diperkirakan mencapai 1300 PBq dan pada sepuluh hari kemudian menjadi 3200 PBq (Buzulukov 1992; Borovoy 1992; Dreicer 1996). Perkiraan lainnya pelepasan Cs-137 adalah sebesar 85 PBq yang merupakan 30% dari inventory serta pelepasan I-131 sebesar 1760 PBq yang merupakan 85% inventory (Begichev 1990). Diberitakan pula Inventory I-131 dalam reaktor mencapai 1200 PBq (IAEA 1986) dan telepas keluar sebanyak 25% (UNSC 1988). Sementara IAEA (1986) melaporkan radionuklia inventory yang ke luar sebesar 3200 PBq dan penyebarannya mencapai 50%. Penelitian lainnya berkaitan dengan partikel-partikel yang keluar, dilaporkan bahwa 80%-90% merupakan partikel besar lebih dengan jari-jari lebih dari 10 µm yang bersifat non-volatile seperti Zr-95, Nb-95, La-140. Ce-141, Ce144 dan radionuklida transuranium yang terikat dengan matriks bahan baker uranium (Kutkov 1995). Ukuran geometri Partikel bahan bakar yang dikumpulkan di Hongarian, Finlandia dan Bulgaria berada pada range 0,5-10 µm, dengan ratarata 5 µm, densitasnya 9 gcm-3 (Lehtinen 1988). Diamati Bahwa jatuhan radio aktif Chernobyl terdiri dari partikel panas dan merupakan bahan radioaktif yang terdistribusi homogen
(Devell 1991; Kuriny 1993). Partikel panas ini dapat
digolongkan ke dalam dua kategori: (a) fragmen bahan bakar dengan campuran hasil belah-inti terikat dalam matriks uranium oksida, mirip dengan komposisi inti bahan bakar, tetapi ada juga yang hanya mengandung Cesium, Iod dan Rutherium; (b) partikel mengandung unsur dominan (ruthenium atau barium) yang mengandung sedikit unsur-unsur lain atau partikel monoelemental yang mungkin berasal dari produksi bahan bakar selama operasi reaktor dan melakukan pemecahan bahan bakar. Aktivitas tiap partikel panas adalah 0.11 kBq untuk fragmen bahan bakar dan 0.510 kBq untuk partikel ruthenium (Devell 1991).
Diameter efektif nya adalah sekitar 10 µ m untuk aktivitas I-131, dan 0.407 µ m untuk Cs-137. Kecelakaan besar Chernobyl telah melepaskan radionuklida inventory reaktor secara terus menerus selama waktu lebih dari 10 hari sehingga melepaskan berbagai radionuklida ke luar reaktor. Radionuklida penting yang terlepas yang menjadi sumber utama pencemar lingkungan adalah I-131 dan Cs-137 yang banyak mencemari populasi di lingkungan. Zona yang dicapai oleh partikel bahan bakar selama 5 bulan setelah kejadian berdasarkan hasil pengamatan mencapai radius 30 km. (Garger 1988). Luasan yang dicemari radionuklida berdasarkan laporan IAEA (2006) pada zona
dekat kejadian untuk radionuklida I-137
memiliki distribusi radionuklida dengan densitas rata-rata melebihi 37 kBq m2 (1 Ci km2) yang ditemukan di sebagian besar wilayah Belarus, Rusia dan dalam wilayah Ukraina.
2.10.4 Dampak Radionuklida pada Lingkungan Perubahan perilaku lingkungan yang terkena radionuklida tergantung pada pertimbangan sifat kimia fisika bahan kimia radionuklida terdeposit, tergantung pada kondisi hujan atau kering ketika radionuklida jatuh dan tergantung pada sifat lingkungan yang terkena dampak cemaran radionuklida tersebut. Dampak radiologi untuk manusia yang paling penting dan perlu diwaspadai adalah dampak cemaran radionuklida ataupun
melalui
I-131, Cs-137 dan Sr-90
jalur
paparan
yang
baik dari deposisi langsung
menuju
tubuh
manusia. Untuk
radionuklida yang berumur pendek seperti I-131, jalur utama perpindahan paparan kepada manusia adalah radionuklida yang terdeposit pada
sayur-mayur yang
dikonsumsi dalam beberapa hari terjadinya cemaran, atau pada rumput rumput yang dikonsumsi ternak sapi atau kambing, yang akan menimbulkan pencemaran susu. Dampak cemaran selain bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, radionuklida akan terdeposit di atas permukaan air dan di atas permukaan darat yang akan mencemari tumbuh-tumbuhan dan tanah. Jumlah yang terdeposisi pada tumbuh-tumbuhan tertahan
berdasarkan waktu paruhnya sampai sekitar dua
minggu sebelum deposit tersebut dapat mencapai permukaan tanah.
Perpindahan jangka panjang dari deposit I-131 di tanah ke produk yang biasa dikonsumsi perlu dipertimbangkan beberapa minggu kemudian setelah terjadinya deposit radionuklida di tanah, oleh karena I-131 memiliki sifat fisik kimia dengan waktu paruh pendek sekitar 8 hari. Radionuklida yang terdeposit dalam tanah akan turun berpindah tempat dan sebagian akan terserap pori-pori tanah serta akan diserap oleh akar tanaman yang akhirnya akan terjadi migrasi naik ke dalam batang tumbuh-tumbuhan tersebut. Laju dan arah
migrasi
radionuklida ke dalam tanah ditentukan pula oleh sifat alamiah tanah yang terkena deposit, mencakup pori-pori tanah, jenis tanah, struktur dan permukaan relief tanah, kondisi-kondisi hidrologi dan pola-pola cuaca ketika terjadinya deposit radionuklida. Migrasi vertikal Cs-137 dan Sr-90 di tanah pada berbagai
rumput,
serapannya agak lambat dan fraksi radionuklida masih berada pada lapisan atas (0,10 cm). Rata-rata, radionuklida yang terdeposit di tanah ditemukan pada kedalaman 0,5 cm lapisan tanah yang mencapai 90% untuk Cs-137 dan Sr-90. Dalam kasus tanah yang berbeda, radionuklida dapat terjadi migrasi yang lebih cepat dan hanya 40%-70% yang berada di lapisan permukaan tanah (IAEA 2000). Pengujian waktu paruh efektif pada lapisan akar padang rumput (0.10 cm) dalam mineral tanah diperkirakan radionuklida memiliki waktu paruh efektif pada kisaran
10 sampai 25 tahun untuk radionuklida Cs-137, sedangkan untuk
radionuklida Sr-90 memiliki waktu paruh efektif dalam mineral tanah 1.23 kali lebih cepat dibandingkan dengan Cs-137, sehingga waktu paruh efektif untuk Sr90 diperkirakan antara 7 sampai 12 tahun (Alexakhin 1991; Ageyets 1991). Setelah 8 tahun kecelakaan koefisien transfer Cs-137 di dalam tanah rata-rata menurun 1.5 sampai 7 kali (IAEA 2000). Karakteristik secara umum untuk Cs137 di permukaan tanah pada zona jauh dari titik kecelakaan setelah 4 tahun terjadi pelarutan oleh air di permukaan tanah dan telah terjadi penurunan konsentrasi radionuklida yang mencapai 70% (Hilton 1992). Radionuklida Cs-137 dan Sr-90 memiliki kapasitas terserap oleh tanah dan akar tanaman tidak terus menurun dengan waktu setelah kecelakaan (Balonov 1996b). Selama 4 sampai 5 tahun setelah kecelakaan tidak ada perubahan signifikan koefisien migrasi dari tanah ke rumput terhadap konsentrasi Sr-90. Hal
ini dapat disebabkan dengan dua proses yang terjadi: (a) konversi Sr-90 dari bentuk sulit larut menjadi bentuk yang dapat larut, sehingga ada kelambatan berasimilasi dengan akar tumbuhan dan (b) migrasi vertikal Sr-90 ke lapisan tanah yang lebih dalam, sehingga tidak terjadi asimilasi dengan tumbuh-tumbuhan (Shutov 1993). Deposisi bahan radioaktif juga terjadi di atas permukaan air terutama di permukaan laut atau samudra menghasilkan dosis yang sangat tendah karena bahan radioaktif dengan cepat dapat terlarut dalam volume air yang besar, tetapi di permukaan air sungai atau
danau relatif kecil pelarutan relatif kecil.
Radionuklida Sr-90 dan Cs-137 yang terlarut di air dalam jumlah kecil dideteksi pada zona 30 km (Amano 1999), tetapi radionuklida Cs-137 banyak terkonsentrasi pada tulang ikan (Konoplev 1998). Hasil penelitian Konoplev (1998) pada masyarakat wilayah dekat lokasi kecelakaan nuklir yang tercemar Cs137 di seluruh tubuhnya diperoleh aktivitas sebesar 7.4± 1.2 kBq pada 38 orang dewasa yang tidak mengkonsumsi ikan danau, dan terdapat perbedaan ± 8 kBq pada 30 orang yang sering mengkonsumsi ikan danau di selutuh tubuhnya setelah 10 tahun kecelakaan nuklir. Hasil penelitian lain dari
kecelakaan nuklir di Chernobyl
dengan
memonitor pekerja dan penduduk di sekitar kejadian yang telah menerima paparan radiasi tinggi antara lain: diidentifikasikan adanya penyakit leukemia di antara para pekerja fasiltas nuklir dan adanya kanker gondok pada anak-anak pada masyarakat di sekitar lokasi kecelakaan. Gangguan kesehatan lainnya yang terus dalam kajian adalah adanya somatik non-cancer (seperti kelainan gondok dan efek imunologi), efek reproduktif dan efek psikologis, hasil penelitian IAEA (1996) dan Ilyin (1994) menjelaskan hal yang serupa. Hasil penelitian lainnya dari dosis iradiasi internal yang diketahui dari penelitian terhadap 23 orang yang meninggal terkena penyakit radiasi akut diperoleh data dosis radiasi di bagian paru-paru berkisar 0.00026 - 0.04 Gy dan pada kelenjar gondok berkisar 0.021 4.1 Gy. Penelitian terhadap 375 penyelamat dalam keadaan darurat ketika kecelakaan, dosis radiasi rata-rata sebesar 36 mGy yang berada pada sumsum tulang, 280 mGy berada di permukaan tulang (Kutkov 1995).
Hasil penelitian terhadap penduduk yang diungsikan mulai pada zona 30 km di sekitar reaktor untuk melihat dampak radionuklida I-131 terhadap 17,000 pengungsi dari wilayah zona tersebut diketahui iradiasi internal I-131 lebih berperan dari pada iradiasi eksternalnya. Radiasi internal I-131 perananannya berkisar 60%-80% dibanding dengan radionuklida lain yang berumur pendek (Ba140, La-140, Te-132 dan I-132) maupun radionuklida berumur panjang (Cs-137). Sementara Cs-137 peranannya pada iradiasi internal hanya pada kisaran 3% sampai 5 % (Savkin 1995). Sepanjang tahun pertama setelah kecelakaan, dosis dari iradiasi eksternal di area dekat reaktor mulai muncul Cs-137
sebagai
cemaran yang perlu diperhatikan, dan pada tahun berikutnya dosis yang diterima oleh populasi dengan paparan eksternal adalah adanya Cs-134 dan Cs-137 yang terkontaminasi dalam bahan makanan yang berasal dari daerah tercemar oleh Cs134 dan Cs-137. Bila makanan dikonsumsi maka akan terjadi paparan internal jangka panjang (Balonov 1996a).
2.11 Kondisi Wilayah Studi dan Penelitian yang Berkaitan. Lokasi recana pembangunan PLTN
terletak di Ujung Lemah Abang,
wilayah Balong, Semenajung Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Letak geografisnya berada pada koordinat 6o25’40’’ lintang selatan serta 110o47’20’’ bujur timur. Wilayah studi berada pada radius 35 km dari titik pusat pembangunan PLTN dengan bagian utara merupakan lautan dan bagian selatan adalah daratan yang termasuk wilayah kabupaten Jepara, sebagian wilayah kabupaten Pati, Demak, dan Kudus Jawa Tengah. Rencana pembangunan dan pengoperasian PLTN di Indonesia sudah dibuat sejak tahun 1956. Gagasan diperbaharui tahun 1972 bersamaan dengan dibentuknya Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2PLTN) oleh BATAN dan Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (Departemen PUTL). Tahun 1975 terdapat keputusan bahwa PLTN akan dikembangkan di Indonesia dengan menyeleksi 14 tempat di Pulau Jawa yang memungkinkan untuk digunakan sebagai lokasi PLTN. Salah satunya yang memenuhi syarat yang dikaji dari berebagai aspek adalah Ujung Lemah Abang (ULA) Semenanjung Muria, Jepara. Studi kelayakan dilakukan pada tahun 1978 dengan bantuan Pemerinatah Itali.
Tahun 1985
dilakukan reevaluasi dan
pembaharuan studi yang sudah dilakukan dengan bantuan International Atomic Energy Agency (IAEA), pemerintah Amerika Serikat melalui perusahaan Bechtel International, perusahaan Perancis melalui perusahaan SOFRATOME, dan pemerintah Itali melalui perusahaan CESEN. Tahun 1989, Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) memutuskan untuk melakukan studi kelayakan yang komprehensif termasuk investigasi secara mendalam tentang calon tapak PLTN di Semenanjung Muria Jawa-Tengah dengan arahan dari Panitia Teknis Energi (PTE), Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, dan instansi terkait. (BATAN 2009). Kajian berkaitan dengan sifat fisika tanah daram rangka menemukan kesesuaian karakter tanah dalam penyimpanan limbah radioaktif teliti oleh Purnomo (2001) dan oleh Sucipta (1995), karakteristik tanah Ujung Lemah Abang di dalam melakukan penyerapan terhadap radionuklida radium (Setiawan 1998) dan penelitian Martin (1996) berkaitan dengan profil serapan cesium. Karakteristik Jenis lapisan tanah di wilayah studi dengan pengukuran kecepatan gelombang geser dan gelombang Tekan dgn metoda Cros-Hole test pada calon tapak PLTN Lemah Abang, Jepara telah dilakukan oleh Suntoko (1996) untuk melihat kestabilan tanah pada saat mengalami gempa besar. Karakterisstik tanah terhadap dispersi Sr-90 dilakukan penelitian oleh Purnomo (1998). Kajian jalur pontensial perpindahan radionuklida di calon lokasi PLTN Semenanjung Muria telah diteliti oleh Agus Gindo (1998) serta kajian mengenai dampak radiologi dan pemanfaatan ruang sekitar PLTN dalam penyiapan tanggap darurat telah diteliti oleh Pane (2006) serta menjelaskan kondisi wilayah studi saat ini pada radius kurang lebih 0-2 km tidak terdapat daerah pemukiman penduduk, umumnya wilayah tersebut ditanami kebun karet, kelapa, coklat, tanah ladang dan sawah. Wilayah pada radius ini sepenuhnya akan menjadi kawasan dalam kendali PLTN. Pada radius 2-5 km sudah terdapat lahan pemukiman, serta lahan perkebunan penduduk serta pada radius 5-10 km sudah banyak pemukiman dengan rata-rata 5 orang per hektar.
2.12 Pemodelan Spasial Pemodelan secara spasial pada awal perkembangannya diperlukan untuk mencari data nilai tertentu berdasarkan perubahan ruang, saat ini penggunaannya cukup luas untuk berbagai permasalahan dan kepentingan. Saat ini model spasial dipergunakan dalam mengatasi masalah ilmu alam seperti menentukan faktorfaktor terjadinya erosi; dan penelitian lain yang berkaitan dengan perubahan posisi dalam suatu lokasi. Pendekatan untuk menyelesaikan permasalahan penelitian yang berkenaan dengan ruang dapat dilakukan dengan model lokal atau model global. Terdapat Perbedaan pendekatan lokal dan global. Pendekatan global menggunakan asumsi bahwa variasi data adalah sama di mana-mana. Pendekatan ini mungkin pada model kasus penelitian yang tidak memerlukan ketelitian variasi data pada lokasi yang diteliti. Metoda global menggunakan semua data yang yang tersedia, dengan asumsi peramalan (trand) konstan, menggunaan setiap titik yang diketahui tersebut untuk mengamati trand gambaran umum pada permukaan. Perubahan trand global yang mewakili bermacam-macam variabel dan tujuannya berfokus pada pengamatan kecenderungan tertentu dan tidak berfokus pada variasi data lokal. Pendekatan dengan metoda lokal menggunakan subset berbagai data yang terdefinisikan
lebih
rinci.
Pada
pendekatan
ini
terdapat
data
yang
ditanspormasikan atau diubah sehingga menitik beratkan pada data lokal. Metoda lokal intrapolasi menggunakan deretan sampel-sampel titik yang diketahui untuk menaksir nilai-nilai yang tak diketahui secara lokal dengan variasi jangka pendek (Fotheringharn 1997). Konsep dasar semua analisis spasial adalah berkaitan dengan unsur-unsur matematika matrik aljabar dan statistik (Atkinson 2001). Teknis yang dilakukan dalam model lokal maupun global dengan melakukan intrapolasi atau ekstrapolasi, intrapolasi memiliki tujuan untuk memperkirakan nilai titik di antara titik-titik yang ada dalam luasan, sedang ekstrapolasi untuk memperkirakan nilai di luar titik-titik nilai yang ada dalam luasan. Interpolation spasial adalah untuk meramalkan nilai-nilai pada poin-poin area yang tak dikenal dan untuk melihat unsur-unsur kesuluruhan variabel pada permukaan diperlukan fungsi matematik. Unsur-unsur yang dijadikan dasar intrapolasi adalah: titik kontrol ditambah
metoda intrapolasi dengan beberapa asumsi: a) data adalah kontinyu, b) hipotesis permukaan, c) terdapat hubungan spatial dengan melakukan autocorrelation ruang dengan melakukan penilaian bahwa titik-titik yang berada dalam lokasi secara bersama-sama diyakini memiliki kemiripan
dengan titik-titik lain
berikutnya.
2.12.1 Pertimbangan Model Spasial Pertimbangan model spasial prinsip dasarnya mengikuti persamaan berikut = yi S ( xi : β ) + v= 1,...., n. i,i
Dimana
yi
adalah
pengamatan
pada
lokasi
xi = ( xi1 , xi 2 ); S ( xi ; β ) adalah proses spasial dengan parameter ß ; dan {vi} adalah proses noise. Secara kolektif, kita memberi tanda semua observasi oleh y = (y1,…..,yn), lokasi x = (x1,..,xn), dan kesalahan error oleh v= (v1,….,vn). Realisasi proses yang terjadi digambarkan seperti seperti Gambar 14 dimana data spasial yang dihasilkan merupakan proses spasial yang disertai noise.
Gambar 12 Skema yang mewakili proses data (Stoffer 1986) Observasi dilakukan untuk berbagai tempat pada tempat dengan error gausian pada nilai variansi σ2 =0.5, dimana lokasi adalah variasi tempat dan noise adalah model gausian. Proses spasial S(x; ß) digambarkan sebagai regresi linier campuran yang terdapat di tempat tersebut. Masing-masing tempat memiki ratarata= fungsi S ( xi ; β )
J
π j ( xi ) f j' ( xi ) β j , i 1,...., n, Dimana fj = (fj1,…., fjB)’ ∑= j =1
adalah seperangkat fungsi dasar yang diketahui, ßj = (ßj1….. ßjB)’ adalah vektor yang parameternya belum diketahui, dan πj adalah fungsi berat dengan sarat
πj(x)≥0 dan
∑
j
π j ( x) = 1∀x ∈ D . Definisi π j =( π j (x1),….., π j (x))’, dan diag ( r
) sebagai matrix dengan r1,…..,rn pada diagonal dan garis nol. Model dapat ditulis secara global sebagai regresi linier sederhana y = Xß + v, dimana X = diag( π 1 ) X1 …. Diag ( π j ) Xj dan ß=( ß’1,…. ß’j) untuk j = 1,…,J (Pfeifer P dan Deutsh 1980). Gambar 15 berikutnya menunjukkan contoh campuran berat secara lokal dengan J=2 komponen. Panel (a) memberikan hasil permukaan dari campuran bobot, (b) menunjukkan fungsi berat gaussian dan (c) menunjukkan permukaan −1/2
regresi lokal: π j ( x ) α
∑
diagram ini memiliki
∑ ≠∑ 1
j
2
{
}
exp −1/ 2 ( x − µ j ) ∑ j ( x − µ j ) , j = 1, 2 . Untuk −1
yang diiindikasikan oleh perbedaan kontur yang
terukur yang ada di panel (b) dalam daerah terpisah dari domain. Regresi permukaan di panel (c) adalah linier dalam koordinat, dengan B=3 dan fungsi f j ( xi ) =
f j (1, xi1 , xi 2 ) ' untuk j=1,2. Jenis campuran lain dapat juga
digunakan. Sebagai contoh, indicator fungsi berat, π j (x) = 1[xЄAj] dengan Aj ⊆ D yang akan menghasilkan partisi ‘rumit’,
menghasilkan hasil permukaannya
diskontinyu (Gilardi 2002) a) Proses spasial
S(xi; ß )
b)Berat inti
c)Komponen Permukaan
2
∑ ..... j ( x ) j =1
i
x
F’j (xi) ßj
Gambar 13 Kontruksi dari permukaan campuran bobot secara lokal. (Pfeifer P & Deutsh 1980)
Keterangan: (a) menunjukan hasil permukaan dari campuran ukuran J=2; (b) menunjukkan 10% kontur densitas tertinggi untuk variasi berat gaussian, diantara lingkaran mewakili campuran bobot apada masigmasing titik pada grid spasial; (c) menunjukkan 2 komponen permukaan regresi.
Model Spasial dan Geostatistik Geostatistik hanya sebuah nama yang terkait dengan metoda yang digunakan untuk menganalisis dan memperkirakan nilai dari variabel yang didistribusikan dalam ruang atau waktu. Geostatistik adalah salah satu pendekatan yang dapat dipergunakan untuk pengolahan data yang terdistribusi spasial. Cakupan metoda geostatistik cukup luas untuk pemetaaan data spasial atau dalam mempresiksikan, peramalan fungsi densitas probabilitas lokal, simulasi kondisi stokastik. (Goovaerts 1997, Deutsch 1997).
Nilai-nilai tersebut diasumsikan
berkorelasi satu sama lain, dan metode yang digunakan untuk mengkorelasikan nilai-nilai tersebut adalah dengan variogram modeling. Setelah variogram modeling, perkiraan nilai di lokasi yang tidak memiliki data dibuat dengan menggunakan kriging atau dapat disimulasikan dengan simulasi kondisional. Geostatistik melibatkan analisis dan perkiraan data yang terdistribusi dalam ruang atau waktu, seperti kadar logam di suatu daerah, nilai porositas dan permeabilitas di lapangan tertentu, konsentrasi polutan di wilayah perkotaan, dan sebagainya. Awalan geo- biasanya berhubungan dengan geologi. Pada awalnya, geostatistik lebih banyak digunakan dalam bidang pertambangan (Gilardi 2000). Saat ini terjadi perkembangan yang signifikan dalam penyesuaian metoda (tergantung pada mutu dan kualitas informasi dan tujuan penggunaannya terhadap data yang ada.). Data lingkungan dan data polusi pada umumnya terdistribusi dalam suatu luasan dan bergantung terhadap waktu. Saat ini banyak jaringan yang
mengumpulkan data lokal untuk agar dapat dipergunakan untuk skala
geografis global. Geostatistics secara umum
adalah model pendekatan yang tergantung
pada hasil analisa observasi dan melakaukan pemodelan korelasi berdasarkan struktur ruang. Metoda ini menggunakan suatu algoritma yang dapat meramalkan peta yang belum diketahui (klasifikasi, regresi, estimasi fungsi densitas) antara input dan output dari data yang digunakan dan pengetahuan berkaitan dengan data tersebut. Suport Vektor Mashine (SVC) digunakan sebagai prosedur yang dipergunakan secara luas yang menggunakan teory statistika yang dikembangkan oleh Vapnik (1995). Secara singkat, langkah-langkah dalam studi geostatistik
meliputi: (a) analisis data; (b) perhitungan dan pemodelan variogram dan (c) membuat perkiraan (kriging atau simulasi) Peralatan dasar dalam geostatistik adalah variogram yang digunakan untuk mengkuantifikasi korelasi spasial antar pengamatan. Menggunakan model matematika yang sudah di-fit-kan pada variogram eksperimen. Model
dapat
digunakan untuk mengestimasi nilai pada titik-titik yang tidak diambil sampelnya. Prosedur untuk memperkirakan itu disebut sebagai kriging, setelah Danie Krige dan Herbert Sichel mengembangkannya pada tambang emas Witwatersrand. Definisi dasar geostatistik, termasuk fungsi acak dan variabel sebagai fungsi regional, landasan hipotesa-hipotesa, variogram dan kovariansi spasial, pemodelan variabel-variabel sebagai fungsi regional. Oleh karena informasi yang tersedia terpisah-pisah (fragmented), maka diperlukan pemodelan untuk memperoleh konklusi suatu titik yang tidak diambil sampelnya.
2.12.3 Kriging Teori
intrapolasi
dan
extapolasi
kriging
dikembangkan
oleh
matematikawan Francis Georges Matheron dan Daniel Gerhardus Krige, yang memperkirakan tingkat emas rata-rata emas dari bobot jarak di komplek Witwatersrand Afrika selatan. Teori perkiraan yang dikembangkan berdasarkan jarak rata-rata tertimbang, teorinya ini disebut teori kriging. Kriging adalah teknik geostatistik untuk interpolasi nilai dari medan acak (random field)
di lokasi
terdekat yang nilainya tidak teramati oleh pengamatan. Metoda pendekatan ini dapat memberi ramalan nilai-nilai yang tak dikenal dari suatu fungsi acak, bidang acak, atau proses acak. Ramalan ini adalah estimator terbaik dengan nilai biasnya kecil, dan raamalan ini adalah kombinasi liniar bobot dari nilai pengamatan. Praktek kriging dalam bidang geologi didasarkan pada asumsi lanjutan mineralisasi antara nilai terukur.
Dengan asumsi pengetahuan sebelumnya
menyimpulkan merangkum bagaimana mineral terjadi ikatan sebagai fungsi ruang. Kemudian, diberi seperangkat
nilai terukur, interpolasi kriging yang
meramalkan konsentrasi mineral pada titik-titik yang tidak diketahui. Kriging berasumsi bahwa semakin dekat data input semakin positif korelasinya terhadap perkiraan error. Secara matematika, asumsi ini dimodelkan
dengan proses stasioner kovarian order ke-dua. Harapan dari pengamatan adalah konstan dan tidak tergantung pada lokasi (nilai input), dan kovarians dari pengamatan hanya pada ‘jarak’ antara input yang bersesuaian. kovarians akan berkurang terhadap jarak pengamatan (Wim 2002). Kriteria
perkiraan
adalah
mean squared prediction error yang minimal. Hasilnya adalah suatu metamodel perkiraan
titik terdekat akan lebih berat tertimbang dalam predictor. Ketika
meramalkan keluaran untuk lokasi yang sudah diobservasi, kemudian ramalan memiliki nilai yang sama dengan pengamatan. Asumsi dari proses kovarien stasioner berorder kedua menghasilkan variogram merupakan fungsi jarak (h) antara dua lokasi. Oleh karena itu, bagian terjauh dari 2 input akan lebih kecil ketergantungannya dan memiliki efek sangat kecil.
Model Formal Kriging Proses random Z dijelaskan oleh {Z(s):s D} dimana D adalah subset tetap dari Rd dan Z(s) adalah fungsi random lokasi s, asumsinya merupakan proses random terhadap konstanta μ dan bentuk error δ(s); Z(s) = μ + δ(s) dimana s Є D. Asumsi prediktor adalah bahwa predictor titik so ditandai oleh p(Z(so)) adalah fungsi linier tertimbang dari semua data output yang teramati (Cressie NAC 1993). p( Z ( so )) = ∑in=1 λi Z ( si ) dengan ∑in=1 λi = 1 . Untuk memilih berat λ1, criteria error perkiraan mean squarer yang minimal σ z2 yang didefinisikan sebagai = σ e2 E[{Z ( so ) − p ( Z ( so ))}2 ] . Untuk menyederhanakan 2 persamaan , dilakukan
1 sehingga perkiraan error dapat ditulis asumsi multifier lagrangian ∑ in=1 λi = sebagai E[ Z ( s0 ) − ∑in 1 = λi ⋅ Z ( si )]2 − 2m[∑in 1 λi − 1] . Untuk memperkecil kesalahan = maka
digunakan
variogram
yang
didefinisikana
sebagai
2γ= (h) var[ Z ( s + h) − Z ( s )] . Persamaan tersebut lebih lanjut akan mengetahui bobot optimal yang diberikan oleh perkiraan error mean squared yang minimal dengan
persamaan
σ e2 = ∑in=1 λiγ ( s0 − si ) + m ,
(
(h)
1 estimatornya adalah 2γ ( h ) = ∑ Z ( si ) − Z ( s f Ν ( h ) Ν( h)
yang
))
2
tidak
diketahui,
Kriging interpolation Kriging dihasilkan oleh persamaan turunan dari algoritma estimasi linear kuarat. Tujuan kriging adalah untuk memperkirakan nilai tidak diketahui bernilai nyata, f, pada suatu titik, x x1 ,..., xn
.
*,
karena banyaknya nilai-nilai fungsi dari titik,
Estimator
kriging
disebut
linier
karena
nilai
perkiraan f ( x* ) merupakan kombinasi linier yang dapat ditulis sebagai: n f ( x* ) = ∑ λi f ( xi ) . i =1
bobot λi adalah solusi dari sistem persamaan linier yang diperoleh dengan mengasumsikan bahwa f adalah jalur sample dari proses acak fungsi F (x), dan kesalahan perkiraan n
ε= ( x ) F ( x ) − ∑ λi ( x ) F ( xi ) i =1
harus diminimalkan sampai batas tertentu. Sebagai contoh, yang disebut asumsi simple kriging adalah mean dan varians sudah diketahui kemudian kriging adalah salah satu yang meminimumkan varians dari kesalahan perkiraan.
Gambar 14 Intrapolasi data satu dimensi dengan kriging pada interval kepercayaan 95%. Gambar 16 merupakan contoh intrapolasi data satu dimensi dimana titik menunjukkan lokasi data dan interpolasi kriging berupa garis posisi tengah kurva. Sedang interval kepercayaan berupa garis di tepi luar kurva.
Metode kriging Metoda Kriging menggunakan estimasi semi-varianse dengan persamaan berikut. γ (h) = untuk jarak h,
1 ∑in=(1h ) [ F ( xi ) − F ( xi + h) 2 ; γ (h) adalah estimasi semi-varianse 2n( h) n(h)
adalah jumlah pasangan titik yang terukur dalam kelas jarak h,
F(x) nilai yang terukur dalam dalam jarak x. (Isaaks 1989). Persamaan ini relatif mudah dihitung jika titik pengukuran ditingkatkan dalam grid teratur dan medan isotropy. Perhitungan ril yang menggunakan berat untuk menginterpolasi
nilai fungsi yang tidak tahu dari Z(xo) ditingkatkan
kemampuannya dengan penyelesaian system (n+1) persamaan linier dalam bentuk berikut Λ 0 =Κ −1C0 dimana = Λ 0÷ λ1,0= ...λn ,0 µ , C0÷ c0,1...c0,n1
,
dan dinamakan
matrix Krige. Vektor Co berbeda untuk masing-masing titik baru yang terintrapolasi. c11 c12 c21 c22 . . K= . . . . cn1 cn 2 1 1
c13 c23 . . . cn 3 1
. .
. .
. .
.
.
.
c1n c2 n . . . cnn 1
1 1 . . . 1 011
Koefisien cij harus dihitung dari teori interpolasi semi-variogram. Teori semivariogram meningkatkan maksimum nilai jarak h (95%), dinamakan range penomena. Koefisien di antara titik-titik pada range atau lebih jauh menjadi nol selanjutnya dihitung menggunakan formula= ci , j γ ( H ) − γ (h) , dimana h adalah jarak antara titik xi dan xj. Jika hipotesis stasionernya tidak ada atau penjelasan penomenanya terbatas (contoh ketebalan batubara), perubahan posisi sistematis harus terpisah dari randomnya. Ini memerlukan banyak data. Sekarang, nilai titik terintrapolasi akan terdiri dari dua komponen: bagian yang sistematis, yang dihitung dari kesamaan permukaan (sering disebut tren), dan bagian acak yang dihitung oleh kriging, metoda kompleks ini disebut universal kriging.
2.12.4 Radial Basis Function (RBF) Radial Basis Fungsi (RBF) disusun secara hierarki ke dalam lapisanIapisan (layer), yaitu lapisan input, lapisan output, dan satu lapisan antara kedua lapisan tersebut yang disebut lapisan hidden. Penggunaan FBR juga dibedakan berdasarkan tiga karakteristik, yaitu pola koneksi yang digunakan atau arsitektur, metode penentuan bobot koneksi atau algoritma pembelajaran yang digunakan, dan berdasarkan fungsi yang mentransformasikan input menjadi output atau disebut fungsi aktivasi atau fungsi transfer. Selain itu, FBR dapat diterapkan untuk jumlah data kecil atau yang relatif besar (Rud 2001). RBF terdiri dari tiga lapisan, yang samasekali berbeda. Lapisan (layer) masukan terbentuk dari titik sumber (unit sensor). Lapisan yang kedua adalah lapisan hidden yang terdiri dari dimensi yang cukup besar, yang memberikan maksud berbeda dari lapisan hidden pada multilayer perceptron. Lapisan keluaran memberikan tanggapan dari jaringan terhadap bentuk aktivasi lapisan masukan. Transformasi dari lapisan masukan ke lapisan hidden adalah nonlinier, sedangkan transformasi dari lapisan hidden ke lapisan keluaran adalah linier. (Gilardi 2002). Banyak radial basis fungsi yang biasa digunakan untuk perkiraan fungsi. Proses pendekatan juga dapat diartikan sebagai jenis jaringan syaraf tiruan sederhana. Konsep Radial Basis Fungsi Radial basis function (RBF) adalah fungsi bernilai real yang nilainya hanya bergantung pada jarak dari titik asal , sehingga φ ( x ) = φ ( x ) ; atau alternatif bergantung pada jarak pusat (c), sehingga φ ( x= , c ) φ ( x − c ) . Setiap fungsi yang memenuhi persamaan φ ( x ) = φ ( x
)
adalah fungsi radial. Oprasi
ini biasanya jarak Euclidean , meskipun fungsi jarak lain juga dapat dimungkinkan. (Lukaszyk 2004). Dalam Geostatistical Analis, RBF (Radial basis function) dibentuk pada setiap data lokasi. RBF adalah fungsi yang berubah dengan perubahan jarak lokasi. . Nilai dari tiap lokasi fungsi basis radial yang diramalkan memberi dengan
nilai-nilai Φ1, Φ2 dan Φ3, yang tergantung pada jarak dari masing-masing letak data. Prediktor mengambil rata-rata tertimbang w1Φ1 + w2Φ2 + w3Φ3 + … RBF
digunakan dalam menghitung permukaan halus dengan
banyak data.
Teknik ini kurang sesuai ketika terdapat perubahan besar nilai-nilai permukaan dalam jarak horisontal yang kecil atau data tidak pasti cenderungnya. Jaringan basis-function, digambarkan seperti topologi dari feed-forward pada umumnya dengan menggunakan metode pembelajaran back-propagation, akan tetapi operasi dari masing-masing metode ini memiliki perbedaan secara mendasar. Jika terdapat N pasang data input-output, {xi , yi }lN=1 , secara umum model RBF dapat ditulis dengan persamaan berikut. K
y(x) = f(x) + e (x) = Ý (x) + e (x) =
∑ ω ϕ ( x) + e( x), K ≤ M j =1
j
j
dengan x adalah peubah input berdimensi-p, x' =(X1,X2, …., Xp), ωj adalah bobot dari parameter yang akan ditentukan nilainya (identik dengan pendugaan koefisien regresi pada model statistika konvensional), K adalah optimum banyaknya bobot yang diperoleh dalam pembelajaran model sehingga simpangan dengan data pembelajaran yang lain lebih kecil dari ξ, 0 < ξ <1, ϕ (0) adalah fungsi basis radial, suatu fungsi nonlinear yang merupakan fungsi transfer atau fungsi aktivasi dalam model RBF, dalam hal ini ϕ j ( o ) merupakan fungsi dari
x − c j . Fungsi
dari jarak Euclid antara vektor input x dengan pusat-pusat dari fungsi basis yang dinotasikan dengan Cj, Cj merupakan vektor rata-rata (sentroid) dari j amatan pertama dari vektor input dalam pembelajaran model, M menyatakan banyaknya data yang disediakan dalam pembelajaran model, M
1) Thin-plate spline, 2) Spline with tension, 3)
Completely regularized spline, 4) Multiquadric function dan 5) Inverse multiquadric function. Metoda RBF berbeda dengan interpolator polynomial global dan local, yang interpolatornya tidak melewati poin-poin yang terukur. Perbandingan RBF dengan metoda IDW, dimana IDW tidak pernah akan meramalkan nilai-nilai di atas nilai pengukuran maksimum atau di bawah nilai terukur minimal, sementara RBF dapat meramalkan nilai-nilai di atas maksimum terukur dan di bawah nilai terukur minimumnya dan RBF biasanya digunakan untuk membangun perkiraan fungsi dalam bentuk = y ( x)
n
∑ω φ ( x − x ) i =1
i
i
dimana fungsi y pada (x)
direpresentasikan sebagai jumlah dari fungsi basis radial N, masing-masing terkait dengan pusat yang berbeda xi, dan memiliki koefisien bobot wi yang sesuai. Bobot wi dapat diestimasi dengan menggunakan metode matriks kuadrat terkecil linier, sehingga fungsi mendekati linear terhadap bobot.
Arsitektur Jaringan Radial basis fungsi (RBF) biasanya memiliki tiga lapisan: lapisan input, lapisan tersembunyi dengan fungsi aktivasi RBF non-linear dan lapisan keluaran linear. Otput, ϕ : n → , Persamaannya adalah:= ϕ ( x)
n
∑a ρ ( x −c ) . i =1
Dimana N adalah jumlah neuron pada lapisan tersembunyi,
i
i
adalah vektor pusat
neuron i, dan ai adalah bobot dari neuron output linier. Dalam bentuk dasar semua masukan yang terhubung ke setiap neuron tersembunyi. Proses umumnya biasanya diambil menjadi jarak Euclidean dan RBF diambil dari Gauss. 2 ρ ( x − ci ) = exp − β x − ci . Fungsi dasar gaussian bersifat lokal dalam arti
bahwa
0 mengubah limρ ( x − c ) = x →∞
i
parameter agar satu neuron hanya
memiliki efek kecil untuk nilai masukan yang jauh dari pusat neuron itu.
Gambar 15 Arsitektur jaringan fungsi basis radial (Gilardi 2002) Gambar 17 adalah arsitektur jaringan RBF
dimana prosesnya dapat
dijelaskan sebagai berikut: apabila sebuah vektor input x digunakan sebagai masukan untuk semua fungsi basis radial, masing-masing dengan parameter berbeda, maka output jaringan adalah kombinasi linier dari output fungsi RBF. Topologi dari jaringan radial basis function (RBF) ditunjukan dalam gambar17 di atas. Masukan x1, x2 … xm, terdiri dari sebuah matrik masukan x, yang diberlakukan pada semua syaraf (neuron) dalam lapisan hidden. Masing-masing neuron dari lapisan hidden menghitung fungsi. matrik sama dengan matrik pembelajaran masukan. Seharusnya ada satu neuron lapisan hidden untuk masingmasing matrik pembelajaran, pembobot masing-masing neuron dari lapisan hidden ditentukan nilai dari matrik pembelajaran masukan. Jaringan RBF adalah pendekatan universal pada subset kompak n . Ini berarti bahwa jaringan RBF dengan hidden neuron dapat mendekati setiap fungsi kontinyu dengan presisi bebas. Bobot aI, ci dan β ditentukan dengan cara yang sesuai dengan mengoptimalkan antara ϕ dan data.
Penggunaan RBF Penggunaan RBF untuk merekonstruksi fungsi dengan menggunakan kombinasi liniar satu set basis fungsi yang cocok
terhadap contoh dan ini
tergantung pada jenis fungsi basis yang digunakan, biasanya digunakan interpolasi polynomial, splines dengan tegangan. RBF digunakan untuk menghitung permukaan halus dari titik data dengan jumlah data yang banyak. Fungsi menghasilkan gambaran yang baik untuk berbagai permukaan seperti elevasi. RBF tidak akan sesuai bila di permukaan terdapat banyak perubahan nilai
terhadap jarak horizontal atau data sample
memiliki banyak kesalahan atau
banyak ketidakpastian.
2.12.5 Inverse Distance Weighting (IDW) Metode Inverse Distance Weighted (IDW) merupakan metode deterministik yang sederhana dengan mempertimbangkan titik disekitarnya.
Asumsi dari
metode ini adalah nilai interpolasi akan lebih mirip pada data sampel yang dekat daripada yang lebih jauh. Bobot (weight) akan berubah secara linear sesuai dengan jaraknya dengan data sampel. Bobot ini tidak akan dipengaruhi oleh letak dari data sampel. Kerugian dari metode IDW adalah nilai hasil interpolasi terbatas pada nilai yang ada pada data sampel. Pengaruh dari data sampel terhadap hasil interpolasi disebut sebagai isotropic sehingga metode ini menggunakan rata-rata dari data sampel menghasilkan nilai tidak bisa lebih kecil dari minimum atau lebih besar dari data sampel. Jadi, puncak bukit atau lembah terdalam tidak dapat ditampilkan dari hasil interpolasi model ini Untuk mendapatkan hasil yang baik, sampel data yang digunakan harus rapat yang berhubungan dengan variasi local. Jika sampelnya agak jarang dan tidak merata, hasilnya kemungkinan besar tidak sesuai dengan yang diinginkan. Pendekatan teori IDW yang digunakan secara luas dalam ruang adalah skema yang mempertimbangan geografis. Matriks jarak digunakan dalam menghasilkan pembobotan geografis pada setiap oprasi. wi1 0 W ( xi ) = . . 0
0 wi 2 . . 0
. .
. .
. .
. .
. .
. .
0 . . . win
Dimana xi adalah lokasi x yang ke-i. Secara luas digunakan contoh dari nilai jarak digunakan terhadap algoritma
interpolasi
inverse distance weighting
(IDW). Dalam kasus tersebut, tujuan pengukuran z( xi ), i = 1, 2,..., n, dibuat lokasi-lokasi bertitik untuk membuat suatu perkiraan nilai pada contoh pada satu lokasi, x0 yang tidak diobservasi. Nilai diberikan pada sampel sebagai fungsi
jarak sampel dari lokasi yang diperkirakan, umumnya akan diamati perubahan jarak terhadap nilai jarak kebalikan kuadrat (inverse squared distance). (Lloyd 2007) ∧
n
∑ z ( xi ).di−02
z ( x0 ) = i=1
n
∑ di−02 i =1
di mana d adalah jarak lokasi x0 dan lokasi xi
yang terpisah. Perubahan nilai
yang mempengaruhi pengamatan secara eksponensial pada jarak awal terhadap jarak yang diperkirakan.
(a)
(b)
Gambar 16 Nilai kebalikan jarak terhadap jarak (a), jarak d, dan nilai kebalikan jarak kwadrat (b) (Lloyd 2007). Gambar 18 (a) adalah grafik Nilai kebalikan jarak kuadrat terhadap nilai IDW dan Gambar 18 (b) merupakan contoh bobot kebalikan jarak kuadrat, λ, untuk memperkirakan suatu lokasi x0