10
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 SPL, Klorofil-a, Angin dan Gelombang Narendra (1993) menggunakan data satelit NOAA-AVHRR kanal 4 dan kanal 5 masing-masing dengan panjang gelombang 10,3 - 11,3 µm dan 11,5 - 12,5 µm serta resolusi spasial 1,1 km untuk menentukan suhu permukaan laut (SPL). SPL yang dihasilkan selanjutnya menjadi data utama dalam menentukan zona potensi penangkapan ikan. Dalam perhitungan SPL dilakukan 3 (tiga) tahap proses yaitu : (1) koreksi radiometrik; (2) koreksi geometrik; (3) perhitungan SPL. Koreksi radiometrik terhadap data NOAA-AVHRR dimaksudkan untuk menghilangkan pengaruh atmosfir pada saat transmisi energi dari matahari ke permukaan laut dan emisi dari permukaan laut ke sensor pada satelit. Koreksi geometrik dilakukan untuk menghilangkan efek kelengkungan permukaan bumi dan rotasi bumi pada saat observasi oleh satelit. Untuk mendapatkan data yang lebih akurat dari segi geometrik juga digunakan beberapa titik kontrol peta sebagai acuan pada saat koreksi geometrik. Sedangkan perhitungan suhu permukaan laut menggunakan multi kanal yaitu kanal 4 dan kanal 5, dimaksudkan untuk mendapatkan hasil perhitungan yang akurat. Gastellu (1983) menyatakan bahwa, untuk keperluan pengguna ilmiah sangat berkepentingan dengan data yang didapat dari satelit khususnya yang berkaitan dengan determinasi dari SPL dan dinamika oseanografi (thermal front, upwelling, dan arus eddy). Keterbatasan aspek fisik dan teknologi menyebabkan kesulitan dalam mendapatkan hasil pengamatan SPL dari satelit. Permasalahan utama disebabkan oleh kandungan uap air di atmosfir yang menyebabkan kesalahan sampai 10o K. Keragaman emisivitas permukaan laut dan noise pada sensor satelit juga merupakan faktor penyebab terjadinya kesalahan dalam perhitungan SPL. Dengan menggunakan koreksi radiometrik dan proses pengolahan yang baik memungkinkan untuk mendapatkan SPL yang cukup teliti. Gordon (2005) menyimpulkan, berdasarkan penelitian menggunakan data MODIS Aqua dan data Sea WiFS diketahui bahwa SPL, klorofil-a, dan upwelling masing-masing sangat dipengaruhi oleh angin monsun. Dari hasil penelitian arus
11 lintas kepulauan Indonesia diketahui bahwa, termoklin di Samudera Hindia dengan suhu dingin dan salinitas rendah bergerak memotong arus lintas kepulauan Indonesia dekat 12o LS. Perairan laut Indonesia mengalami penurunan disebabkan oleh pergerakan arus lintas kepulauan Indonseia (ALKI) dan diganti oleh air laut dari termoklin Pasifik Utara melintasi lapisan bawah termoklin dan masuk pada lapisan lebih dalam, kemudian langsung diganti oleh air dari Pasifik Selatan. Air masuk yang menggantikan nampak sebagai campuran utama pada perairan laut Indonesia. Jika tidak ada arus lintas Indonesia dan air tidak menjadi dingin, dan zona perairan dengan salinitas rendah memotong Samudera Hindia tropis maka dapat dibuat satu asumsi bahwa air yang hangat akan terdapat di perairan tropis dengan salinitas tinggi dan Samudera Hindia bagian utara. Tangdom (2005) menyatakan bahwa, monsun Asia mempunyai pengaruh dominan pada variasi SPL. Pada bulan Agustus, ketika angin monsun tenggara bertiup dominan, area yang luas sebelah selatan lebih dingin 5oC, dengan suhu minimum pada daerah upwelling sebelah selatan Pulau Jawa dan di atas paparan Arafura. Air yang dingin digerakkan ke Laut Jawa bagian timur. Di Selat Makassar, ketika parameter koreolis berakhir dan hilang maka air permukaan mengalir ke arah utara searah dengan pergerakan angin. Dampak dari aliran air permukaan diperkecil oleh perluasan aliran air bagian permukaan dari Samudera Pasifik, dan sebagai hasilnya maka SPL di Selat Makassar selama musim bersangkutan lebih tinggi dari 29o C. Angin monsun sebaliknya menggerakkan massa air yang relatif dingin dan salinitas rendah dari Laut China Selatan ke lapisan permukaan Laut Jawa bagian selatan. SPL terendah dari perairan laut Indonesia terdapat di Laut Jawa bagian barat, yaitu ketika terjadi perluasan radiasi panas permukaan sehingga SPL lebih tinggi dari 29o C. Juga dinyatakan bahwa, mekanisme yang menyebabkan dan memelihara SPL pada kondisi yang tetap di lautan Indonesia terjadi sebagai akibat dari topografi yang komplek dan pertemuan antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Sebagai tambahan terhadap radiasi panas permukaan, percampuran pasang yang intensif dari permukaan laut dan termoklin yang digerakkan oleh angin di atas Samudera Pasifik dan Samudera Hindia memainkan peran dalam pergerakan dan pemeliharaan SPL. Konsekuensinya, dinamika regional lautan
12 dan SPL menjadi faktor penting dalam iklim regional, yang berdampak penting terhadap iklim global. Wilayah Indonesia, yang juga dikenal dengan “Maritime Continent” telah diidentifikasi sebagai area yang sangat penting bagi iklim, baik secara lokal maupun global. Penangkapan ikan dengan alat tangkap purse seine di perairan tropis Asia dicirikan pada penggunaan rumpon untuk mengumpulkan ikan pelagis kecil. Sejak tahun 1971, fishing ground diperluas ke bagian timur Laut Jawa dengan mengembangkan taktik dan strategi penangkapan yang selalu bergeser berkaitan dengan perubahan lingkungan. Analisis hasil tangkapan ikan layang dalam kaitannya dengan fishing ground di sekitar Bawean, Masalembo Matasiri, dan kepulauan Kangean menunjukkan bahwa, keberhasilan penangkapan ikan terjadi selama periode salinitas tinggi (340/00). Hasil tangkapan ikan tertinggi selama periode tersebut didaratkan dari fishing ground di kepulauan Masalembo. Fenomena ini berhubungan dengan kondisi lingkungan yang dapat diterangkan dengan jelas bahwa pergeseran massa air dari arah timur ke barat menyebabkan meningkatnya produktivitas ikan pelagis kecil di area tersebut. Hasil tangkapan rata-rata sekitar kepulauan Masalembo dengan jelas menunjukkan siklus musiman yang berkaitan erat dengan perubahan angin monsun. Hasil tangkapan (ton/hari penangkapan) cenderung tinggi pada bulan Agustus hingga November, pada kondisi perairan dengan salinitas tinggi dan suhu lebih rendah, sebaliknya menurun pada bulan Desember hingga Juli dengan suhu tinggi dan salintas rendah. Kondisi yang khusus terjadi pada bulan Januari – April dengan hasil tangkapan sekitar 1,5 sampai 2,5 ton/hari. Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang dipengaruhi oleh kondisi oseanografi Selat Makassar dan Laut Flores dengan kondisi yang bervariasi berkaitan dengan perubahan musiman. Hasil penelitian pada stasiun dekat pulau Matasiri dalam periode 1992 – 1994 menunjukkan bahwa SPL maksimum mencapai 30o C selama angin dari barat laut atau musim basah pada bulan Desember 1993, kemudian menurun hingga 26o C pada Februari 1994. Suhu minimum dengan nilai 28o C terjadi selama akhir musim angin tenggara atau musim kering pada bulan September 1993.
13 Perairan di bagian timur Laut Jawa merupakan daerah peralihan yang dipengaruhi oleh karakteristik perairan Selat Makassar dan perairan Laut Flores dengan kondisi yang bervariasi
berkaitan dengan perubahan musim. Hasil
penelitian dalam periode 1992 – 1994 menunjukkan bahwa, SPL maksimum mencapai 30o C selama angin dari arah barat laut atau musim barat pada bulan Desember 1993 pada stasiun dekat pulau Matasiri, kemudian menurun hingga 26oC pada Februari 1994. Suhu minimum pada 28oC terjadi selama akhir musim angin tenggara pada bulan September 1993. Salinitas permukaan laut mengikuti bentuk yang berlawanan dengan nilai maksimum 34,5 o/oo terjadi pada bulan September 1992 sampai Oktober 1993, kemudian turun menjadi 31 – 32 o/oo pada bulan Februari 1994. Salinitas teringgi (34 o/oo) ditemukan pada fishing ground utama dari Bawean, Masalembo dan kepulauan Matasiri. Pengukuran secara khusus di perairaan sekitar kepulauan Masalembo menunjukkan bahwa SPL cenderung tinggi (290 C) selama periode Mei, November dan Desember 1992, juga pada bulan Juni, November dan Desember 1993. Kondisi lingkungan Laut Jawa; sangat dipengaruhi oleh perubahan permukaan laut dan interaksi atmosfir pada saat arus permukaan timur – barat mengikuti arah angin mengakibatkan terjadinya percampuran mulai sepanjang permukaan ke perairan yang lebih dalam melalui pengadukan secara vertikal. Proses pengadukan terus berlangsung sampai perairan laut mencapai kondisi homogen dengan salinitas tinggi (340/00) yang terjadi selama musin angin tenggara pada bulan Juli – Oktober. Proses sebaliknya terjadi dari barat laut selama monsun barat laut pada bulan November sampai Februari dengan salinitas rendah (<32 0
/00) berkaitan dengan masuknya air tawar dari beberapa sungai besar selama
musim hujan. Salinitas terendah
pada permukaan laut terjadi pada bulan Mei
0
1992 (32 – 32,5 /00) dan tertinggi tejadi pada bulan Oktober 1993 (33 – 34,5 0/00). Sediadi (2004) menyatakan bahwa, pada waktu musim timur terjadi proses upwelling di perairan Laut Banda. Untuk mengetahui effek upwelling terhadap kelimpahan dan distribusi fitoplankton di perairan Laut Banda, dilakukan penelitian pada bulan Agustus 1997 yang mewakili musim timur dan bulan Oktober 1998 yang mewakili musim peralihan sebagai pembanding. Data kelimpahan dan distribusi fitoplankton dengan mengambil contoh fitoplankton
14 dari kedalaman 100 m ke permukaan menggunakan jaring plankton dengan bukaan mulut berdiamter 31 cm, panjang 120 cm dan ukuran mata jaring 80 µm. Hasil pengamatan pada musim timur (Agustus 1997) menunjukkan bahwa proses taikan air (upwelling) masih berlangsung. Hal ini terlihat dari nilai regresi antara suhu dan salinitas (r2 = 84,1 %), suhu dan nitrat (94,5%). Pada saat musim timur tercatat 33 jenis fitoplankton, komposisi jenis fitoplankton lebih bervariasi dibandingkan musim peralihan yang hanya 26 jenis fitoplankton. Berdasarkan hasil penelitian klorofil-a di Selat Bali dengan menggunakan data satelit SeaWiFS yang dilakukan oleh Gaol et al (2004) bahwa terjadi peningkatan kandungan klorofil-a secara musiman. Konsentrasi klorofil-a mengalami peningkatan pada bulan Mei dan mencapai kondisi tertinggi pada bulan September, dan berkorelasi erat dengan fluktuasi SPL. Distribusi suhu permukaan Selat Bali menunjukkan bahwa proses upwelling terjadi selama monsun tenggara. Rata-rata kelimpahan fitoplankton selama monsun tenggara adalah 35,5 x 103 cel/m3, sedangkan pada monsun timur laut adalah 35,5 x 103 cel/m3. Sementara proses upwelling di perairan Laut Jawa bagian selatan mencapai puncaknya pada saat monsun tenggara. Penelitian SPL dan klorofil-a menggunakan data SeaWiFS di perairan sekitar Nias yang dilakukan oleh Lumban Gaol et al (2007) menunjukkan bahwa, variasi SPL hasil estimasi dari sensor satelit NOAA-AVHRR dipengaruhi oleh perubahan musim dan iklim global. Pada musim timur SPL cenderung lebih rendah. Variasi SPL antara musim timur dan musim barat tidak terlalu tinggi dengan rata-rata 1,5o C, namun variasi SPL akibat pengaruh iklim global cukup tinggi, rata-rata 4 o C. Fluktuasi konsentrasi klorofil-a hasil deteksi menggunakan sensor satelit SeaWiFS menunjukkan bahwa konsentrasi klorofil-a juga dipengaruhi oleh perubahan musim dan iklim global. Sugimory (2006) menyatakan bahwa, lama kegiatan penangkapan ikan bervariasi mulai dari beberapa hari sampai orde satu musim, dengan liputan mulai dari cakupan beberapa 1 km sampai 100 km, dengan memperhatikan masa sirkulasi
musim
ikan.
Kegiatan
penangkapan
ikan
dilakukan
dengan
memperhatikan kondisi nutrien di perairan laut, masa bertelur, pengasuhan dan masa mencari makan. Deteksi ikan dengan teknologi satelit dilakukan dengan cara
15 tidak langsung karena keterbatasan skala peta yang diperoleh dari citra satelit dan ikan berada di bawah permukaan air laut, namun dilakukan dengan mendeteksi distribusi produktivitas primer (klorofil-a) dengan menggunakan sensor visible. Sulistya (2007) menyatakan bahwa, pemahaman tentang karakteristik dan keanekaragaman SPL Laut Jawa belum memadai. Metode analisis spektral, spasial dan temporal perlu digunakan untuk mempelajari karakteristik SPL dalam kaitannya dengan musim. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa, SPL tertinggi di Laut Jawa pada umumnya terjadi pada bulan April – Mei dan bulan November, sebaliknya SPL terendah umumnya terjadi pada bulan Februari dan Agustus. Kostianoy (2004), melakukan penelitian thermal fornt menggunakan SST rata-rata mingguan yang dihasilkan dari NOAA-AVHRR dengan resolusi 18 km. Untuk mendapatkan data
dengan resolusi spasial maksimum, analisis tidak
didasarkan pada data rata-rata bulanan, tetapi menggunakan rata-rata data mingguan pada pertengahan tiap bulan dalam 3 tahun. Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari 36 peta SPL (36 mingguan tiap pertengahan bulan). Untuk mendapatkan gambar dari thermal front utama di bagian selatan dari Samudera Hindia, peta SPL dikonversi menjadi peta gradien SPL. Gradien SPL dihitung untuk tiap piksel berdasarkan operator gradien dua dimensi yang menghitung perbedaan antara dua piksel yang berdekatan. Dengan menggunakan 36 peta gradien SPL mingguan untuk tiap pertengahan bulan, diperoleh indikasi secara umum tentang struktur, perluasan, keragaman, dan intensitas dari thermal front di bagian selatan Samudera Hindia. Pengukuran arah dan kecepatan angin pada umumnya dilakukan di daratan dengan sistem pengukuran yang bersifat statis. Secara teknis sangat sulit untuk melakukan pengukuran arah dan kecepatan angin di suatu wilayah perairan, karena pengukuran secara langsung di perairan laut hanya mungkin dilakukan dengan peralatan yang ada di kapal-kapal berukuran besar, dan tidak tetap di suatu tempat tergantung pada tujuan pelayaran itu sendiri. Dengan memperhatikan keadaan tersebut maka arah dan kecepatan angin di perairan laut hanya dapat diperoleh dari pemodelan berdasarkan hasil pengukuran angin di daratan. Triatmojo (1996) menyatakan bahwa hubungan antara angin di daratan dan di lautan dapat dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut :
16 Uw = R1 * Ul ............................................................................................1. dengan : R1 = Faktor regangan yang nilainya sangat tergantung pada bentuk lahan di wilayah pesisir serta jarak antara lokasi pengukuran dengan lokasi pengamatan di perairan laut; Uw = kecepatan angin di laut terdekat dengan lokasi pengukuran; Ul = kecepatan angin di daratan yang terdekat dengan lokasi perairan yang diamati. Angin di laut kemudian dikonversi menjadi tegangan angin dan dinyatakan dengan rumus sebagai berikut : UA = 0,71 * U 1,23 ...................................................................................2. dengan UA = faktor tegangan angin, dan U = kecepatan angin dengan satuan meter/detik. Pembentukan gelombang oleh angin, fetch dibatasi oleh bentuk gelombang yang mengelilingi laut. Di daerah pembentukannya, gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah yang sama dengan arah angin tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah angin. Angin sebagai pembangkit gelombang di perairan laut juga sangat dipengaruhi oleh bentuk daratan yang mengelilingi lautan yang pada umumnya dinyatakan dengan fetch. Hubungan antara arah angin dengan fetch dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut : ∑ Xi coc α Feff =
..............................................................................3. ∑ coc α
dengan : Feff = fetch rerata efektif; Xi = panjang segmen diukur dari titik observasi gelombang ke ujung akhir fetch; dan α deviasi pada kedua sisi arah angin dengan menggunakan pertambahan 6o sampai sudut 45o pada kedua sisi dari arah angin. Nontji (2002) menyatakan bahwa, air laut sebenarnya tidak pernah dalam keadaan tenang sempurna, akan selalu terjadi gelombang bahkan gelombang besar atau hanya sekedar riak kecil. untuk menjelaskan proses terjadinya gelombang di lautan pada umumnya digunakan model, baik model yang sederhana maupun yang kompleks. Gelombang mempunyai tiga unsur penting yaitu panjang, tinggi dan periode. Panjang gelombang adalah jarak mendatar antara dua puncak gelombang yang berurutan, tinggi gelombang adalah jarak menegak antara puncak dan lembah, sedangkan periode gelombang adalah waktu yang diperlukan oleh dua puncak gelombang yang berurutan untuk melalui suatu titik. Ukuran besar
17 kecilnya suatu gelombang pada umumnya ditentukan berdasarkan tinggi gelombang. Gelombang yang diamati di laut disebabkan oleh hembusan angin. Ada tiga fakor yang menentukan besarnya gelombang yang disebabkan oleh angin yakni kuatnya hembusan, lamanya hembusan, dan jarak tempuh angin (fetch).
2.2 Karakteristik Beberapa Jenis Ikan Pelagis Pengetahuan mengenai penyebaran dan bioekologi berbagai jenis ikan sangat penting artinya bagi usaha penangkapan. Data dan informasi tentang penyebaran dan bioekologi ikan pelagis sangat diperlukan dalam mengkaji ZPPI di suatu perairan. Berdasarkan habitatnya, ikan pelagis dibagi menjadi ikan jenis pelagis besar dan pelagis kecil. Menurut Komnas Kajiskanlaut (1998), diantara ikan-ikan utama dalam kelompok ikan pelagis besar adalah; tuna dan cakalang (madidihang, tuna mata besar, albakora tuna sirip biru, cakalang), marlin (ikan pedang, setuhuk biru, setuhuk hitam, setuhuk loreng, ikan layaran), tongkol dan tenggiri (tongkol dan tenggiri), dan cucut (cucut mako). Sedangkan jenis ikan pelagis kecil antara lain; karangaid (layang, selar, sunglir), klupeid (teri, japuh, tembang, lemuru, Siro) dan skombroid (kembung). Tuna dan cakalang adalah ikan perenang cepat dan hidup bergerombol (schooling) sewaktu mencari makan, kecepatan renang ikan dapat mencapai 50 km/jam. Kemampuan renang ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan penyebarannya dapat meliputi skala ruang (wilayah geografis) yang cukup luas, termasuk beberapa spesies yang dapat menyebar dan bermigrasi lintas samudera. Kedalaman renang tuna dan cakalang bervariasi tergantung jenisnya. Umumnya tuna dan cakalang dapat tertangkap di kedalaman 0 - 400 meter. Suhu perairan berkisar 17 - 31o C. Salinitas perairan yang disukai berkisar 32 – 35 ppt atau di perairan oseanik. Madidihang (thunnus albacares) tersebar hampir di seluruh perairan Indonesia. Panjang madidihang bisa mencapai lebih dari 2 meter. Jenis tuna ini menyebar di perairan dengan suhu antara 17 -31o C dengan suhu optimum yang berkisar antara 19o - 23o C (Nontji, 1987), suhu yang baik untuk kegiatan penangkapan berkisar antara 20o - 28o C (Wudianto, 1993 dalam Yusuf, 2000).
18 Ikan tongkol (Euthynnus spp) hidup pada suhu 20 – 22o C dengan salinitas dalam kisaran 32,21–34,40 o/oo, tersebar di perairan Kalimantan, Sumatera, pantai India, Filipina dan sebelah selatan Australia, sebelah barat Afrika Barat, Jepang, sebelah barat Hawai dan perairan pantai Pasific – Amerika. Ikan tongkol memiliki panjang tubuh mencapai 80 cm dan umumnya 30 – 50 cm. Jenis tongkol lainnya adalah axuis thazard, hidup di daerah pantai, lepas pantai perairan Indonesia dan berkelompok besar, panjangnya mencapai 50 cm, umumnya 25 – 40 cm. Tenggiri (scomberomorus lineolatus), habitatnya di seluruh perairan pantai sehingga daerah penangkapan ikan tenggiri di perairan pantai, pada salinitas o
34,21–34,60 /oo. Tenggiri tersebar di seluruh perairan Indonesia, Sumatera, Jaut
Jawa. Perairan Indo-Pasifik, Teluk Benggala, Laut Cina Selatan dan India. Semua jenis tongkol dan tenggiri bersifat karnivora (makan ikan–ikan kecil, cumi-cumi) dan predator serta merupakan ikan perenang cepat. Pada umumnya ketiga jenis ikan tersebut ditangkap saat gelombang dan angin sedang. Ikan
layang
(decapterus
spp.)
bersifat
stenohaline,
hidup
secara
berkelompok pada kedalaman 20 – 25 meter, menghendaki perairan yang jernih dan merupakan ikan karnivora (plankton, crustacea). Sebarannya di Indonesia terdapat di perairan Ambon, Ternate, Laut Jawa. Selar atau bentong (selar cromenopthalmus) hidup berkelompok di perairan pantai yang hangat sampai kedalaman 80 m. Ikan ini bersifat karnivora (makan ikan kecil, crustacea), panjang mencapai 30 cm, umumnya 20 cm. Tersebar di Sumatera, Nias, Jawa, Bali, Lombok, Sumbawa, Sulawesi, Ambon, Seram, Laut Merah, Natal, Zanzibar, Madagaskar, Muskat, India, Cina, Jepang, Formosa, Filipina, sampai perairan tropis Australia. Waktu siang dan malam, keadaan cuaca sedang, pada kedalaman 20 –25 m dan berjarak 1 – 3 mil. Linting (1994) menyatakan bahwa, informasi tentang musim ikan merupakan satu di antara unsur penunjang pengembangan usaha perikanan. Yang dimaksud dengan musim ikan adalah melimpahnya hasil tangkapan yang diperoleh dan didaratkan di suatu wilayah tanpa ada hubungan langsung dengan kelimpahan stok ikan yang ada di suatu perairan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa musim ikan dicirikan oleh tingginya hasil tangkapan dan bukan oleh tingginya indeks kelimpahan stok. Dari data yang diperoleh di TPI Bau-Bau
19 (Sulawesi Tenggara), dapat diketahui bahwa beberapa jenis ikan ekonomis yang menonjol memperlihatkan fluktuasi hasil tangkapan bulanan. Fluktuasi hasil tangkapan secara rinci menunjukkan pola yang sedikit berbeda satu sama lain. Produksi rata-rata ikan layang selama periode 1985 – 1992 berkisar antara 65,7 – 191, 8 ton. Musim ikan layang dicirikan oleh tingginya produksi bulanan yang melebihi 100 ton/bulan dan terjadi selepas puncak musim barat (Februari sampai dengan Mei) dan mulai puncak musim timur sampai dengan Oktober. Ikan layang yang didaratkan terdiri atas jenis layang biasa dan jenis layang berukuran besar dari jenis Decapterus himimulatus . Ikan selar atau megalaspis cordyla, hidup di perairan pantai sampai kedalaman 60 m dan berkelompok, dari perairan tropis yang suhunya hangat. Panjang tubuh ikan ini mencapai 40 cm dan umumnya 30 cm. Sebaran ikan ini di Laut Jawa, Sulawesi, Sumatera, Selat Karimata, Bali, Sumbawa dan Ambon, Madagaskar, Teluk Bengala, Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Formosa, Filipina, Samoa, dan Hawaii. Selar kuning (caranx leptolepis) banyak ditemukan hidup di perairan pantai sampai kedalaman 25 m dan hidup berkelompok. Ikan ini bersifat karnivora (makan ikan-ikan kecil, udang-udangan) dan pada umumnya berukuran 15 cm. Ikan ini tersebar di daerah Sumatera (Bangka, Belitung, Selat Karimata), Laut Jawa dan Selat Makasar. Ikan ini ditangkap pada kedalaman 20–25 m dan berjarak 25–30 km dari pantai dengan waktu penangkapan menjelang subuh. Kuweh (caranx sexfaciathus) hidup di perairan dangkal dan pantai, hidup berkelompok, dan termasuk ikan karnivora (ikan kecil, crustacea), panjangnya mencapai 40 cm umumnya 20 – 30 cm. Ikan ini dijumpai di perairan pantai seluruh Indonesia, Nias, sepanjang pantai Laut Cina Selatan, Filipina, Cina, Formosa sampai ke perairan tropis Australia. Kuweh jenis lain yaitu alectis indicus, hidup di perairan pantai yang dangkal sampai kedalaman 20 – 25 m, termasuk ikan karnivora (makan crustacea, ikan kecil) dan hidup berkelompok. Jenis ikan ini, panjangnya mencapai 75 cm dan umumnya 40 cm, terdapat di perairan Sumatera, Laut Jawa, Bangka, Kalimantan dan Sulawesi, Teluk Benggala, Teluk Siam, Pantai Cina Selatan sampai perairan tropis Australia. Ikan ini tertangkap pada kedalaman 20 m dan berjarak 2–4 mil dari pantai.
20 Kembung laki-laki atau banyar (rastelliger kanagurta), hidup di perairan pantai dan lepas pantai dengan suhu 22 – 24o C, kedalaman 8 – 15 meter yang perairannya berkadar garam tinggi dan hidup berkelompok. Bersifat karnivora, dengan panjang mencapai 35 cm dan umumnya 20 –25 cm. Ikan ini terdapat hampir di seluruh perairan Indonesia dengan konsentrasi terbesar di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Laut Jawa, Selat Malaka, Arafuru, Teluk Siam. Kembung perempuan (rastelliger neglectus), hidup di perairan neritik, mendekati pantai dan membentuk kelompok besar. Bersifat karnivora (plankton, diatom, copepoda), mengalami migrasi yang dipengaruhi oleh suhu, salinitas, makanan dan arus. Panjangnya mencapai 30 cm dan umumnya 15 – 20 cm. Ikan ini banyak terdapat di perairan Kalimantan, Sumatera Barat, Laut Jawa, Selat Malaka, Muna, Buton, dan Arafuru. Zainuddin (2007) menyatakan bahwa, ikan kembung di perairan Sulawesi Selatan mempunyai hubungan yang signifikan antara hasil tangkapan dengan faktor oseanografi yaitu SPL, salinitas dan kecepatan arus. Ini berarti bahwa dengan ketiga faktor oseanografi tersebut, pada tingkat akurasi tertentu hasil tangkapan ikan kembung dapat diprediksi dengan persamaan. Sedangkan uji signifikansi parameter menunjukkan bahwa SPL dan kecepatan arus memberi kontribusi yang lebih nyata dalam menjelaskan variasi hasil tangkapan. Hasil pengukuran SPL yang diperoleh selama penelitian di Kabupaten Bantaeng berkisar 29°C - 31°C. Kebanyakan upaya penangkapan gillnet dilakukan pada kisaran suhu 29 - 29,5° C, yang sesuai dengan penangkapan ikan kembung. Hal ini menunjukkan bahwa faktor SPL secara statistik berpengaruh nyata terhadap variasi jumlah hasil tangkapan. Hal ini berarti bahwa variabel SPL memegang peran penting dalam memprediksi hasil tangkapan ikan kembung. Ikan lemuru termasuk jenis ikan stenohaline, pada umumnya hidup pada kedalaman 70 – 200 meter di perairan dengan salinitas 30 o/oo. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Merta dan Badaruddin (1992) dalam Yusuf (2000), diketahui bahwa ikan lemuru di Selat Bali hanya terdapat di paparan saja (baik paparan Jawa maupun Bali) pada kedalaman kurang dari 200 m. Pada siang hari ikan ini membentuk kelompok yang padat pada kedalaman sekitar 70 m. Sebagian besar dari jenis-jenis ikan lemuru yang tertangkap di sebagian perairan Indonesia
21 dan sekitarnya adalah sardinella fimbriata, sardinella gibbosa, sardinella sirm. Khusus di Selat Bali, sardinella yang dominan adalah sardinella longiceps. Pet (1997) menyatakan bahwa, puncak hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Madura dan Selat Bali tercatat mulai awal musim hujan sekitar November dan Desember, sedangkan di Samudera Hindia terjadi pada musim kemarau mulai bulan Juli sampai Oktober. Kondisi menunjukkan bahwa aktivitas reproduksi ikan Sardinella di Selat Madura terjadi pada bulan November dan Desember, dan diperkirakan mengalami perkembangan sampai mencapai ukuran panjang sekitar 12 cm, 17 cm dan 19 cm masing-masing pada tahun pertama, kedua, dan ketiga. Lumban Gaol (2004) menyatakan bahwa lemuru merupakan pemakan plankton, namun hubungan antara fitoplankton dan lemuru di Selat Bali sampai saat ini belum diketahui secara pasti karena keterbatasan data plankton dari hasil pengukuran secara langsung. Namun demikian, citra satelit penginderaan jauh dapat memberikan informasi dan kontribusi tentang hubungan antara konsentrasi klorofil-a dan kelimpahan lemuru. Pasaribu et al (2004) menyatakan bahwa, eksploitasi sumberdaya ikan pelagis kecil di lepas pantai Laut Jawa telah dilakukan sejak tiga puluh tahun terakhir. Alat tangkap (jaring) yang dipergunakan terdiri dari beberapa macam, namun ikan yang didaratkan umumnya dilakukan dengan alat tangkap purse seine. Tangkapan ikan paling tinggi didominasi oleh ikan jenis scads (deapterus spp.), jack mackarel (rastrellin ger spp) dan sardines (sardinella spp.). Analisis upaya yang didasarkan pada data statistik perikanan Pekalongan (Jawa Tengah) yang merupakan pangkalan perikanan utama dengan alat tangkap purse seine dalam periode tahun 1976 sampai 2000 menunjukkan bahwa, jumlah hasil tangkapan cenderung meningkat sebanding dengan jumlah perahu/kapal motor. Secara hirarkis, ikan pelagis kecil di Laut Jawa dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu ikan pelagis yang tertangkap oleh purse seine besar di wilayah laut lepas, dan ikan pelagis yang tertangkap oleh mini purse seine di perairan dekat pantai.
Penyebaran ikan pelagis kecil juga ditemukan di sisi timur dari Selat
Makassar dan sekitar Laut Cina Selatan. Patir at al (1995) membagi ikan pelagis kecil menjadi tiga tipe populasi yaitu :
22 a. Oceanic, yang tertangkap ketika air laut dari Laut Banda masuk ke Laut Jawa selama musim monsun tenggara antara Agustus dampai November. b. Neritic, yang tertangkap sepanjang tahun. c. Coastal, yang tertangkap sepanjang tahun dalam jumlah yang sedikit. Habitat ikan pelagis juga banyak dipengaruhi oleh suhu perairan yang menjadi tempat hidupnya. Pengaruh suhu secara vertikal diantaranya terlihat pada saat suhu perairan tiba-tiba mengalami kenaikan cukup tajam akan meningkatkan metabolisme dalam tubuh ikan, sehingga kebutuhan oksigen pada ikan juga meningkat. Di sisi lain, kenaikan suhu justru akan menurunkan tingkat kelarutan oksigen. Kondisi ini biasa terjadi pada siang hari dan akan menyebabkan ikan lebih suka berada di lapisan lebih dalam dibandingkan di permukaan. Kepekaan beberapa jenis ikan pelagis terhadap suhu, kedalaman, salinitas, dan kecerahan air laut yang menjadi habitatnya. Penelitian hubungan antara SPL dan kandungan klorofil-a berdasarkan data Aqua Modis untuk pengkajian pendugaan hasil tangkapan ikan pelagis besar (tongkol Dan cakalang) di perairan Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada periode Juli 2002 – Desember 2006, rata-rata SPL tertinggi terjadi pada bulan April 2003 yakni sebesar 30,35o C. Dengan kondisi suhu tersebut hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 6,142 ton. Sedangkan rata-rata SPL terendah terjadi pada bulan Agustus 2006 yakni sebesar 25,64 o C, dengan hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 65,195 ton. Produksi hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002 sebesar 220 ton, dengan kondisi SPL adalah 26,65o C. Sedangkan berdasarkan kandungan klorofil-a, pada periode Juli 2002 – Desember 2006, rata-rata kandungan klorofil-a tertinggi terjadi pada bulan September 2006 yakni sebesar 1.0177 mg/m3. Dengan kondisi kandungan klorofil-a tersebut hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 145,5 ton, sedangkan rata-rata kandungan klorofil-a terendah terjadi pada bulan Januari 2003 yakni sebesar 0.1083 mg/m3 dengan hasil produksi ikan yang diperoleh adalah sebesar 17,321 ton. Produksi hasil tangkapan tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2002 sebesar 220 ton, dengan kandungan klorofil-a adalah 0.3201 mg/m3 .
23
2.3 Data Penginderaan Jauh untuk Penangkapan Ikan Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kelautan dikembangkan dengan alasan : (i) penggunaan sensor baru dengan meningkatkan resolusi spektral dan spasial yang dapat mengamati/mengukur parameter oseanografi dengan lebih teliti; (ii) kemudahan dalam mengakses data; (iii) kemampuan mengolah dan mendisseminasikan data melalui sistem pengolahan digital; (iv) meningkatnya kepedulian dari pengguna dalam memanfaatkan keunggulan dari teknologi penginderaan jauh (Maryani, 2003). Sumedi (2008), melakukan penelitian dengan membandingkan lokasi penangkapan ikan dengan SPL dan kandungan klorofil-a yang dihitung dengan menggunakan data MODIS. Dengan mengadopsi metode yang biasa dilakukan di LAPAN, prediksi zona potensi penangkapan ikan dilakukan dengan analisis overlay antara citra kantur SPL dengan citra kontur kandungan klorofil-a. Titiktitik perpotongan antara kontur SPL dan kontur klorofil-a, dipredikasi sebagai zona potensi penangkapan ikan pelagis. Hasil penelitian yang dilakukan menujukkan bahwa ikan-ikan pelagis kecil (tembang, kembung, layang dan cakalang) cenderung tertangkap di perairan dengan suhu dalam selang 260 – 290 C dan konsentrasi klorofil-a 0,5 – 2,5 mg/m3. Di sisi lain, pemahaman tentang interaksi antara lingkungan oseanografi dengan organisme laut masih sangat minim dan sangat sulit untuk meneliti atau mengamati melalui kegiatan eksperimen. Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh sangat penting untuk memecahkan masalah perikanan untuk mengetahui hubungan antara lingkungan oseanografi dengan penyebaran dan kelimpahan sumberdaya ikan (Santos, 2000). Berdasarkan hasil uji coba penggunaan data suhu permukaan laut yang diperoleh dari data NOAA-AVHRR dalam penentuan zona yang potensial untuk penangkapan ikan yang dilakukan oleh Narendra (1993), dibuat grafik antara jarak dari titik dengan daerah yang diduga sebagai lokasi berkumpulnya ikan dengan hasil tangkapan tersebut nampak bahwa pada posisi yang ditunjuk mendapatkan hasil yang paling tinggi. Pada uji coba dilakukan klasifikasi antara jarak setiap 5 km dalam bentuk lingkaran dari titik yang ditunjuk, sehingga pendugaan dibuat dalam bentuk lingkaran dengan jari-jari 5 km, dan dikembangkan dengan jari-jari 10 km, 15 km dan 20 km (Gambar 2). Hasil penelitian yang dilakukan di
24 Samudera Hindia menunjukkan bahwa, hasil tangkapan tertinggi berada tepat pada titik tengah lingkaran dengan tangkapan lebih dari 600 kg. Hasil tangkapan kedua berada dalam radius 5 km dengan tangkapan 250 kg – 300 kg. Uji coba penangkapan dalam radius 10 km menghasilkan 150 kg – 250 kg, dan dalam radius terluar yaitu 15 km menghasilkan tangkapan sekitar 25 kg. Hasil Tangkapan (Kg)
Jarak dari Titik Pusat Gambar 2 Korelasi antara jarak dari titik pusat zona potensi penangkapan ikan dengan hasil tangkapan ikan.
2.4 Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia Dengan memperhatikan sebaran daerah penangkapan ikan, karakteristik bioekologi dan oseanografi, wilayah perairan Indonesia dibagi kedalam 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) sebagaimana Gambar 3. Pembagian wilayah perairan Indonesia menjadi 11 WPP sebagai berikut : (1) Selat Malaka, WPP571; (2) Samudera Hindia A, WPP572; (3) Samudera Hindia B, WPP573; (4) Laut Cina Selatan, Laut Natuna dan Selat Karimata, WPP711; (5) Laut Jawa, WPP712; (6) Selat Makassar dan laut Flores, WPP713; (7) Laut Banda WPP714; (8) Laut Arafura dan Laut Aru, WPP715; (9) Laut Maluku, Laut Seram dan Teluk Tomini, WPP716; (10) Laut Sulawesi dan Laut Halmahera, WPP717; (11) Samudera Pasifik, WPP718. WPP Laut Jawa (WPP 712) berupakan bagian dari paparan
25 Sunda yang merupakan perairan teritorial dengan kedalaman maksimal 70 meter. Kegiatan penangkapan terutama terpusat di pantai utara Jawa, padatnya penduduk di Pulau Jawa serta dekatnya dengan tempat pemasaran menjadi penyebab tingginya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan ini.
Sumber : Departemen Kelautan dan Perikanan
Gambar 3 Pembagian wilayah perairan laut Indonesia menjadi 11 WPP. Keberhasilan motorisasi perikanan tradisionil yang didukung oleh peningkatan kemampuan tangkap dan daya jelajah perahu motor tempel di pesisir utara Pulau Jawa telah menyebabkan tidak jelasnya batas-batas daerah penangkapan antar konsentrasi desa-desa nelayan. Tumpang tindih daerah penangkapan tidak dapat dihindari mengingat beberapa alat tangkap yang dioperasikan dengan perahu motor tempel dan kapal (GT < 20) secara acak melakukan aktifitasnya tersebar di jalur I ( 0 sampai 3 mil laut), jalur II (3 sampai dengan 7 mil laut), dan jalur III ( 7 sampai dengan 12 mil laut). Perkembangan terkini menunjukkan bahwa perubahan dan peningkatan efisiensi teknik penangkapan yang dilakukan secara inovatif melalui modifikasi secara bertahap merupakan fenomena yang banyak ditemukan di perairan ini (Nurhakim, 2007). Selanjutnya dinyatakan bahwa Alat tangkap yang dioperasikan di perairan Laut Jawa dapat dibagi menjadi 5 kategori yaitu, (1) pukat tarik (arad dan cotok atau garuk); (2) pukat kantong (cantrang dan payang); (3) pukat cincin (purse seine);
26 (4) Jaring insang (jaring kejer, jaring rampus atau kletek, jaring insang tetap, dan trammel net; dan (5) perangkap (bubu). WPP Laut Jawa
bagian selatan, dari pulau Karimata ditarik garis ke
perbatasan Kabupaten Situbondo dengan Banyuwangi, provinsi Jawa Timur. Batas selanjutnya mengikuti garis pantai utara Jawa sampai Kabupaten Serang, Jawa Barat (Wirasantosa, 2007). Berdasarkan batas-batas dari WPP Laut Jawa maka perairan Selat Madura berada dalam WPP Laut Jawa di sisi selatan paling timur. Pembentukan WPP perlu diikuti dengan penetapan batas-batas, serta penetapan Propinsi/Kabupaten/Kota yang diperkirakan sebagai pusat pendaratan ikan hasil tangkap masing-masing wilayah pengelolaan.
2.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Dahuri (1996) menyatakan bahwa meningkatnya kegiatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut oleh berbagai pihak, mendorong adanya kompetisi di antara pelaku penangkapan dan industri perikanan tangkap. Kompetisi ini menyebabkan adanya konflik dan tumpang tindih perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintah daerah, masyarakat setempat dan swasta, disebabkan adanya perbedaan kepentingan masing-masing pihak yang merasa berhak atas suatu wilayah pesisir dan lautan. Konflik ini berakar dari masalah berikut: (1) Pihak yang berkepentingan cenderung menyusun rencana kerja secara
sendiri-sendiri, dan perencanaan
secara sektoral sering berbeda dengan kepentingan pemerintah daerah atau masyarakat setempat, terutama nelayan tradisional yang merupakan obyek dari perencanaan dan pengelolaan tersebut; (2) Belum ada pembagian wewenang dan kekuasaan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya laut; (3) Belum ada instansi tersendiri atau instansi koordinasi yang secara khusus menangani pengelolaan wilayah pesisir dan lautan; (4) Belum tersedianya data dan informasi mengenai sumberdaya wilayah lautan secara akurat; (5) Lemahnya kemampuan aparatur dan kelembagaan dalam mengelola sumberdaya lautan secara lestari; (6) Jumlah dan tingkat laju kegiatan pembangunan di kawasan pesisir dan lautan belum ditetapkan atas dasar
27 pertimbangan daya dukung lingkungan, dan kemungkinan timbulnya dampak negatif suatu sektor pembangunan terhadap sektor lainnya; (7) Pesatnya laju degradasi dan depresi sumberdaya laut, dimana 60% ekosistem telah punah; (8) Belum ada batas pengelolaan yang tegas dan jelas tentang kawasan (wilayah) pesisir yang menjadi kewenangan setiap propinsi dan juga batas antar negara. Kegiatan-kegiatan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang intinya merupakan komponen pengelolaan sumberdaya perikanan sebagai berikut : (1) Pengumpulan dan analisis data, meliputi seluruh variable atau komponen yang berkaitan dengan sumberdaya perikanan, meliputi data biologi, produksi dan penangkapan ikan, data sosial ekonomi nelayan dan aspek legal perikanan; (2) Penetapan cara-cara pemanfaatan sumberdaya perikanan, meliputi perizinan, waktu serta lokasi penangkapan ikan; (3) Penetapan alokasi penangkapan ikan (berapa banyak ikan yang boleh ditangkap) antar nelayan dalam satu kelompok, antara kelompok nelayan yang berbeda, antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang dari tempat lain, atau antara nelayan yang berbeda alat tangkap dan metode penangkapan ikan; (4) Perlindungan terhadap sumberdaya ikan yang memang telah mengalami tekanan ekologis akibat penangkapan ikan atau kejadian-kejadian alam, perlindungan terhadap habitat ikan, serta perlindungan yang diarahkan untuk menjaga kualitas perairan supaya tetap dalam kondisi baik; (5) Penegakan hukum dan perundang-undangan tentang pengelolaan sumberdaya perikanan,
sekaligus
merupakan
umpan
balik
yang
digunakan
untuk
meningkatkan kualitas hukum dan perundang-undangan; (6) Pengembangan dan perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan dalam jangka panjang yang ditempuh melalui evaluasi terhadap program kerja jangka pendek atau yang saat ini sedang diimplementasikan. Pengambilan keputusan pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi sumberdaya ikan itu sendiri maupun sumberdaya ikan beserta seluruh aspek yang berpengaruh atau dipengaruhi sumberdaya ikan tersebut. Vasconcellos (2003) menyatakan bahwa, ada tiga kriteria yang digunakan dalam pengelolaan ikan Sardine di Brazilia, yaitu tangkapan rata-rata, tangkapan yang bervariasi, dan kemungkinan pada stok pengalami penurunan drastis. Kriteria pengelolaan penangkapan ini dipilih karena memberikan gambaran tiga tujuan pengelolaan perikanan yaitu : (1) memaksimumkan hasil tangkapan,
28 peningkatan jumlah ikan hasil tangkapan sehingga mempunyai dampak lebih banyak ikan untuk industri, lebih banyak peluang keuntungan pada sektor perikanan tangkap, yang berarti membuka lebih banyak lapangan kerja; (2) memaksimumkan stabilitas penangkapan : paling sering, ketertarikan terbesar dari perencanaan pengelolaan adalah untuk menjamin stabilitas hasil tangkapan, karena itu memelihara pasokan ikan yang konstan untuk bahan baku industri; (3) meminimalkan peluang kerugian pada sektor perikanan, ini merupakan tujuan dasar untuk rencana pengelolaan perikanan, dengan mempertimbangkan ekologi, faktor ekonomi biaya berhubungan dengan kerugian pada sektor perikanan.
2.6 Kebutuhan Informasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Dahuri (1996) menyatakan, agar sumberdaya perikanan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan, pada dasarnya diperlukan informasi yang menyangkut sisi penawaran dan permintaan dari sumberdaya perikanan termaksud. Informasi utama untuk mengelola kegiatan pembangunan perikanan tangkap secara berkelanjutan antara lain meliputi : (1) Distribusi spasial jenis-jenis sumberdaya ikan; (2) Potensi lestari (MSY) setiap jenis sumberdaya ikan; (3) Persyaratan ekologis bagi kehidupan dan pertumbuhan setiap jenis sumberdaya ikan; (4) Transfer energi dan materi antar tingkat trofik dalam suatu ekosistem perairan dimana sumberdaya ikan yang dikelola hidup; (5) Dinamika populasi sumberdaya ikan; (6) Sejarah hidup dari sumberdaya ikan; (6) Kualitas perairan dimana sumberdaya ikan hidup; (8) Tingkat penangkapan terhadap sumberdaya ikan dalam bentuk upaya tangkap secara time series. Pengelolaan informasi untuk lingkungan perairan bagi kegiatan perikanan sangat diperlukan. Pengelolaan ini meliputi pengumpulan, pemprosesan, penelusuran, dan analisis data menjadi informasi yang bermanfaat bagi penggunanya pada waktu yang diinginkan. Dalam perspektif pembangunan perikanan, suatu lingkungan perairan beserta sumberdaya yang ada didalamnya secara garis besar dapat dimanfaatkan bagi tiga peruntukkan yaitu : (1) kegiatan penangkapan; (2) budidaya perairan; dan (3) kawasan perlindungan.
29 Data spasial atau sering juga disebut data keruangan adalah data yang terikat dengan posisi koordinat ruang di permukaan bumi. Data spasial dapat berupa peta dasar atau peta tematik, data/informasi yang diperoleh dari data penginderaan jauh satelit, atau data hasil pengamatan lapangan yang dikaitkan dengan posisi koordinat yang diukur dengan Global Positioning System (GPS) atau titik acuan berdasarkan posisi koordinat pada peta dasar. Data spasial berupa peta dasar atau peta tematik antara lain : (1) peta rupabumi; (2) peta laut (kedalaman); (3) peta lingkungan pesisir dan laut. Data spasial berupa parameter fisik dan lingkungan terkini yang diperoleh dari data penginderaan jauh antara lain terdiri dari : (1) data daerah potensi penangkapan ikan (fishing ground); (2) data lingkungan pesisir dan pantai seperti terumbu karang, mangrove, dan kualitas perairan; (3) daerah potensi budidaya laut. Berdasarkan catatan bahwa, hasil tangkapan ikan lemuru di Selat Bali pernah mengalami penurunan yang sangat drastis yaitu dari melebihi 6.500 ton pada tahun 1950 menjadi kurang 200 ton pada tahun 1956, tetapi kemudian naik lagi disebabkan oleh faktor-faktor atau peristiwa yang tidak diketahui. Penurunan stok ikan secara drastis dapat disebabkan oleh dua faktor yang saling berkaitan yaitu tekanan penangkapan berlebih dan pengaruh lingkungan oseanografi. Faktor kedua disebabkan oleh ketidakpastian dalam estimasi sumberdaya ikan lemuru (sandine) di Indonesia akibat kesenjangan informasi distribusi ikan lemuru secara geografis dari stok ikan dalam potensi lestari (Pet, 1997).
2.7 Pengembangan dan Penerapan Informasi Spasial ZPPI LAPAN Informasi spasial ZPPI telah dikembangkan di LAPAN beberapa tahun lalu sebagai tindak lanjut dari penelitian suhu permukaan laut menggunakan data NOAA-AVHRR yang telah dikembangkan sejak tahun 1984 (Hasyim, 1984). Setelah melalui penelitian panjang tentang pemanfaatan data NOAA-AVHRR untuk mendapat data suhu permukaan laut sesuai dengan karakteristik perairan laut Indonesia, selanjutnya dikembangkan informasi spasial ZPPI sejak tahun 1999. Pengembangan informasi spasial ZPPI dilatar belakangi oleh :
30 1) komitmen LAPAN dalam membantu menyediakan informasi spasial sumberdaya alam pesisir dan laut terkait dengan program pengembangan ekonomi masyarakat. 2) terbatasnya kemampuan nelayan dalam memahami kondisi oseanografi yang berkaitan dengan daerah fishing ground sehingga hasil tangkapannya menjadi tidak pasti. 3) terbatasnya data dan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan erat dengan daerah potensi penangkapan ikan; 4) penelitian LAPAN dalam memanfaatkan teknologi penginderaan jauh satelit guna memantau fisik perairan sudah dilakukan sejak tahun 1986. 5) diharapkan
adanya
informasi
zona
potensi
penangkapan
ikan
dari
penginderaan jauh satelit dapat dipergunakan untuk mendukung pengamatan dan pengelolaan perikanan tangkap. Urgensi dari pengembangan dan penerapan informasi ZPPI adalah : (1) pemberdayaan masyarakat nelayan melalui pelatihan dan penyediaan informasi ZPPI untuk meningkatkan hasil tangkapan ikan; (2) adanya informasi spasial ZPPI diharapkan dapat meningkatkan efisiensi biaya operasional dan efektivitas dengan memperbanyak masa operasi penangkapan; dan (3) mendukung usaha peningkatan produksi ikan daerah yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (Pusbangja, 2003). Pengembangan informasi spasial ZPPI dilanjutkan dengan kegiatan sosialisasi yang terdiri dari 3 tahap kegiatan yaitu : 1) Penyuluhan dan pelatihan: meningkatkan pengetahuan para nelayan tentang teknologi inderaja untuk kelautan dan perikanan, sistem navigasi laut, pembacaan peta laut dan penggunaan alat bantu penangkapan ikan. 2) Aplikasi (uji coba) informasi spasial ZPPI menunjukkan dan membuktikan kepada nelayan bahwa pada ZPPI terdapat gerombolan ikan. 3) Evaluasi dan implementasi dilakukan untuk mengetahui respon para nelayan, lembaga swadaya masyarakat, staf dinas terkait tentang aplikasi ZPPI dan rencana tindak lanjutnya. LAPAN telah melaksanakan kegiatan sosialisasi dan pelatihan penerapan informasi spasial ZPPI bagi nelayan di wilayah Pangandaran pada tanggal 9-15
31 Juli 2002. Kegiatan sosialisasi dan aplikasi diikuti oleh perwakilan nelayan dari Tasikmalaya, Cianjur, Sukabumi, dan beberapa perwakilan dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa barat, serta Lembaga Swadaya Masyarakat dari Bandung dan Tasikmalaya. Pelaksanaan aplikasi data ZPPI dilaksanakan pada tanggal 11 – 13 Juli 2002 di Pangandaran. Lapan melakukan uji coba hari pertama pada tanggal 11 Juli 2002 menggunakan data ZPPI tanggal 10 Juli 2002 di posisi titik ikan 108o 39’ 45.9” BT – 7o 47’ 16.7” LS dan kapal yang digunakan berukuran 10 GT dengan alat tangkap jaring ngambang. Hasil tangkapan yang diperoleh dalam operasi penangkapan ikan sebesar 4 kg dengan jenis ikan tongkol dan layur. Uji coba hari kedua tanggal 12 Juli 2002 dengan memakai data ZPPI 1 (satu) hari sebelumnya pada koordinat 108o 9’ 3.8” BT – 7o 55’ 33.7” LS dan bobot kapal yang dipakai berukuran sama hanya alat tangkapnya yang beda yaitu jaring gillnet. Pada posisi titik ikan tersebut mendapatkan hasil tangkapan sebesar 30 kg dengan jenis ikan tongkol dan tenggiri. Kegiatan uji coba hari ketiga tanggal 13 Juli 2002 dengan menggunakan data ZPPI tanggal yang sama pada posisi titik ikan 108o 44’ 33” BT – 7o 47’ 24.3” LS dengan hasil tangkapan ikan sebesar 40 kg dengan jenis ikan Tongkol dan Tenggiri. Data feedback bulan September didasarkan pada informasi ZPPI Seacorm – DKP dan informasi ZPPI dari LAPAN. Informasi data ZPPI dari Seacorm – DKP berdasarkan data Topex pada daerah penangkapan ikan sekitar perairan Gombong – Yogyakarta dengan posisi koordinat 108o 49’ 43.8” BT – 7o 57’ 36.2” LS mendapatkan jumlah hasil tangkapan ikan sebesar 945 kg. Sedangkan informasi spasial ZPPI dari LAPAN pada daerah penangkapan ikan sekitar perairan Sindangkerta dengan koordinat 107o 55’ 4.7” BT – 7o 50’ 12.4” LS memperoleh hasil tangkapan ikan sebanyak 1.325 kg (Gambar 4).
32
Gambar 4 Informasi spasial ZPPI tanggal 13 Juli 2002 yang digunakan pada uji coba penerapan ZPPI di perairan laut Pangandaran. Dari tingkat keberhasilan uji coba, data ZPPI tersebut cukup memberikan pemahaman dan memuaskan para nelayan setempat tentang akurasi data dalam menentukan posisi koordinat penangkapan ikan. Para nelayan menginginkan agar informasi spasial
dari LAPAN dikirim secara rutin setiap hari. Selain itu
informasi posisi titik-titik ikan diharapkan berada dibawah 10 mil dari TPI setempat karena rata-rata nelayan daerah selatan Jawa Barat merupakan nelayan pesisir yang menggunakan perahu motor dengan bobot antara 1 - 2 GT dan alat tangkap masih tradisional. Telah dilakukan juga kegiatan sosialisasi dan penerapan informasi spasial ZPPI bagi para nelayan, pemilik kapal, dan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pekalongan. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan sosialisasi tersebut, telah dilakukan uji coba penerapan informasi spasial ZPPI dengan menggunakan data tanggal 2 Agustus 2002 (Gambar 5). Uji coba dilakukan dengan cara menyampaikan informasi spasial ZPPI melalui komunikasi radio dengan memberikan informasi titik-titik koordinat ZPPI kepada pimpinan awak kapal yang berada di tengah laut dan nelayan yang akan berangkat melaut.
33 Berdasarkan kesepakatan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pekalongan yang berwenang memberikan dan mendistribusikan informasi harian ZPPI tersebut, uji coba informasi spasial ZPPI diberikan kepada 5 (lima) kapal. Hasil evaluasi uji coba menunjukan kapal yang menggunakan informasi ZPPI tersebut mendapatkan hasil tangkapan sebesar 45.600 Kg, jauh lebih besar dibandingkan yang tidak menggunakan informasi ZPPI. Di samping itu, bila pengiriman informasi ZPPI terlambat dan posisi koordinat titik ikan jauh dari posisi kapal mengakibatkan ikan yang berada di area tangkapan tersebut akan berpindah lokasi atau migrasi. Berdasarkan informasi spasial ZPPI maka zona yang potensial untuk penangkapan ikan adalah pada koordinat 113° - 114° BT dan 04 °50 - 05 °30 LS. Ketika kapal yang digunakan untuk uji coba penerapan informasi spasial ZPPI sampai pada posisi yang ditunjuk dalam informasi spasial ZPPI ternyata di lokasi tersebut sudah berkumpul 40 kapal asing sedang melakukan penangkapan dengan alat tangkat purse seine. Ikan yang tertangkap pada uji coba tersebut hanya jenis ikan layang kecil dan ikan banyar kecil.
Gambar 5 Contoh ZPPI di perairan Laut Jawa sebelah utara pulau Madura yang dipergunakan oleh nelayan Pekalongan.
34 Kegiatan uji coba penggunaan informasi spasial ZPPI lainnya, juga dilakukan dengan kapal KM Sinar Kencana di sebelah utara pulau Bawean dengan Feedback bahwa, penangkapan selama 4 (empat) hari yaitu tanggal 22-27 Agustus 2002 memperoleh hasil tangkapan total 45.600 kg (Gambar 6).
Gambar 6 Contoh penggunaan informasi spasial dengan 2 (dua) ZPPI di Laut Jawa sebelah utara Tuban dan Rembang oleh nelayan Pekalongan. Uji coba penerapan ZPPI dilakukan di perairan sebelah utara Rembang dan Tuban pada tanggal 22 Agustus 2002 menggunakan kapal motor Sinar Kencana berbobot 80 GT dan alat tangkap purse seine. Hasil tangkapan pada kegiatan uji coba pada koordinasi posisi 110o 50’BT dan 5o20’ LS ini adalah 2,25 ton, serta hasil tangkapan jenis ikan Layang dan Banyar sebanyak 3 ton pada koordinat posisi 112o 35’BT dan 6o15’ LS. Kegiatan sosialisasi dan aplikasi informasi spasial ZPPI di Makassar dilaksanakan pada tanggal 22 – 24 September 2002 di perairan Selat Makasar menggunakan kapal berukuran 6 GT dan alat tangkap jaring Purse Seine. Uji coba menggunakan informasi spasial ZPPI tanggal 22 September 2002 dengan posisi titik ikan 119o 7’ 54.8” BT – 5o 10’ 26.4” LS atau sekitar perairan Pulau Langkai sejauh sekitar 8 mil dari PPI Paotere. Dalam perjalanan menuju lokasi titik ikan
35 tersebut atau sekitar 4 mil dari PPI Paotere terjadi gelombang besar dan cuaca buruk sehingga uji coba informasi spasial ZPPI dihentikan. Pelaksanaan uji coba dilanjutkan pada tanggal 24 September 2002 dengan menggunakan data ZPPI sebelumnya di posisi titik ikan yang sama. Perahu motor berhenti pada jarak sekitar 3 mil dari data ZPPI yaitu posisi koordinat 119o 10’ 14” BT – 5o 7’ 55” LS karena menurut informasi nahkoda bahwa daerah tersebut merupakan daerah fishing ground. Namun jaring tidak dapat diturunkan karena arus kuat dan gelombang tinggi. Selama pelaksanaan uji coba data ZPPI dapat disimpulkan bahwa faktor cuaca dan kapal serta alat tangkap ikan yang kurang mendukung akan menghambat penangkapan ikan pada saat itu. Selain itu informasi ZPPI yang digunakan adalah data tanggal sebelumnya, sementara ikan sudah bermigrasi sejauh sekitar 3 mil dari titik ikan yang dituju.
2.8 Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan Buatan BRKP Badan Riset Kelautan dan Perikanan - Departemen Kelautan dan Perikanan (BRKP-DKP) juga mengembangkan informasi zona potensi penangkapan ikan yang disebut dengan Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) berdasarkan data NOAA-AVHRR dan data Topex Poseidon. Data NOAAAVHRR digunakan untuk mendapatkan parameter oseanografi tentang sebaran suhu permukaan laut, sedangkan data Topex Poseidon digunakan untuk mendapatkan parameter oseanografi tentang arus dan gelombang. Informasi spasial PPDPI yang diproduksi BRKP-DKP sudah diterapkan di Juwana (Pati), Pelabuhan Ratu, Cilacap dan tempat lainnya (Gambar 7). Peta prakiraan daerah penangkapan ikan yang dihasilkan oleh BRKP-DKP mencakup area dari barat ke timur sepanjang 26o atau sama dengan 26 x 110 km = 2.860 km, dan cakupan area utara selatan sepanjang 12o atau sama dengan 12 x 110 km = 1.320 km, sehingga luas area informasi sama dengan 2.860 km x 1.320 km = 3.775.200 km2. Wilayah peta prakiraan daerah penangkapan ikan BRKPDKP dibagi-bagi menjadi sel-sel dengan ukuran panjang sisi-sisinya 2o x 2o, sehingga luas per sel sama dengan 220 km x 220 km = 48.400 km2. Disamping informasi tentang lokasi potensi penangkapan ikan, peta juga dilengkapi dengan informasi arah gelombang, batas zota ekonomi eksklusif, dan data lainnya.
36
Gambar 7 Contoh Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang diproduksi dan didistribusikan oleh BRKP-DKP
2.9 Tingkat Adopsi Pemanfaatan Informasi Spasial ZPPI Hadiat (2005) menyatakan bahwa pengenalan teknologi informasi spasial ZPPI telah dilakukan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) melalui program pemanfaatan informasi spasial ZPPI sejak tahun 1999, kemudian diikuti oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan melalui Program Pengenalan Peta Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) di beberapa daerah yang mempunyai wilayah perairan laut. Dalam pengenalan program penggunaan informasi spasial ZPPI yang dilakukan oleh LAPAN tersebut, nelayan terlebih dahulu dibekali pengetahuan tentang cara menggunakan alat bantu posisi yaitu global pisitioning system (GPS) dan
melalui kegiatan pelatihan dan sosialisasi informasi spasial ZPPI.
Diperkenalkan juga cara menggunakan fish finder untuk mendeteksi kepastian keberadaan dan gerombolan ikan setelah nelayan sampai di lokasi yang ditunjukkan pada informasi spasial ZPPI.
37 Tingginya adopsi nelayan pada daerah-daerah yang telah dilakukan sosialisasi dan penerapan ZPPI di wilayah pantai utara Pulau Jawa antara lain didukung oleh : (1) Kondisi alat produksi dalam bentuk armada kapal yang relatif cukup besar, yaitu rata-rata di atas 30 GT untuk lokasi Indramayu dan Pekalongan, kecuali lokasi Situbondo dengan bobot rata-rata 10 GT; (2)Dengan besarnya bobot kapal memungkinkan jangkauan penangkapan ikan nelayan cukup jauh, sehingga kebutuhan alat bantu seperti informasi spasial ZPPI cukup besar khususnya untuk nelayan di Pekalongan dan Indramayu; dan (3) Jenis informasi spasial ZPPI yang digunakan memiliki tingkat kerincian yang tinggi, yaitu skala yang lebih besar sehingga lokasi yang ditunjukkan dalam koordinat informasi spasial ZPPI lebih rinci. Informasi spasial ZPPI tersebut pada umumnya berasal dari LAPAN dengan tingkat akurasi untuk suatu area perairan laut lebih kecil dan lebih rinci dibandingkan dengan Informasi Spasial Prakiraan Daerah Penangkapan Ikan yang berasal dari BRKP-DKP. Tingkat pemanfaatan informasi spasial ZPPI ditentukan oleh tinggi rendahnya adopsi teknologi informasi bersangkutan, yang ditentukan oleh keberhasilan penggunaan informasi tersebut dalam meningkatkan hasil tangkapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecenderungan tingkat adopsi yang tinggi oleh nelayan-nelayan di lokasi yang mendapatkan informasi spasial ZPPI dari LAPAN, terutama berkaitan dengan skala spasial dalam informasi spasial tersebut dibandingkan dengan yang menggunakan informasi spasial PPDPI dari BRKPDKP. Informasi spasial produksi LAPAN memiliki skala spasial lebih besar sehingga lebih rinci dibandingkan dengan yang diproduksi BRKP-DKP. Dengan skala spasial yang rinci, informasi spasial ZPPI LAPAN dapat menunjukkan lokasi potensi penangkapan ikan sesuai koordinat yang ditunjukkan pada luasan dengan radius 6 km, sedangkan informasi spasial BRKP-DKP jauh lebih luas. Informasi spasial ZPPI LAPAN dengan skala yang lebih besar, nelayan lebih mudah menentukan lokasi secara tepat sesuai titik koordinat yang ditentukan dan dapat dijangkau oleh nelayan kecil, sedangkan informasi spasial yang diproduksi oleh BRKP-DKP lebih dimungkinkan untuk nelayan besar.