2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Atmosfer 2.1.1 Komposisi Atmosfer Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Udara adalah atmosfer yang berada di sekeliling bumi yang fungsinya sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup. Gas-gas yang berada di permukaan bumi ada yang memiliki konsentrasi yang sama (permanent gases) sedangkan sebagian lagi konsentrasinya berbeda menurut waktu dan tempatnya (variable gases). Perubahan konsentrasi gasgas ini terjadi karena penggunaannya oleh makhluk hidup atau karena perubahan kondisi alam. 2.1.2 Polusi Udara Polusi udara adalah kondisi atmosfer dengan kandungan substansi yang sudah melebihi batas normal, yang dapat menimbulkan pengaruh pada hewan, tumbuhan, bahan bangunan dan manusia (Seinfield, 1986). Substansi tersebut adalah unsur kimia alami atau antropogenik hasil aktivitas manusia atau senyawa yang terbentuk di udara, berupa gas, butir cairan atau partikel padat yang bersifat membahayakan maupun aman. Pada beberapa daerah perkotaan, kendaraan bermotor menghasilkan 85% dari seluruh pencemaran udara yang terjadi (Siregar, 2005). Kendaraan bermotor merupakan sumber pencemar bergerak yang menghasilkan CO, hidrokarbon yang tidak terbakar sempurna, NOx, SOx dan partikel. SOx, khususnya belerang dioksida (SO2) dan belerang trioksida (SO3) yang merupakan senyawa gas berbau tidak sedap, yang banyak dijumpai di kawasan industri yang menggunakan batu bara dan kokas sebagai bahan bakar dan sumber energi utamanya. 2.1.3
Pengaruh Kondisi Meteorologi terhadap Dispersi 2.1.3.1 Stabilitas Atmosfer Kondisi stabilitas atmosfer terbagi menjadi dua, yaitu stabilitas statis dan stabilitas dinamis (Stull dalam Turyanti, 2005). Stabilitas dinamis ditentukan oleh faktor buoyancy (daya apung udara akibat pemanasan dari radiasi matahari) dan wind shears (gesekan yang terjadi antara dua lapisan atmosfer dengan arah angin berbeda), sedangkan stabilitas statis hanya
mempertimbangkan faktor buoyancy. secara umum stabilitas statis terdiri dari tiga kondisi kestabilan, yaitu stabil, tidak stabil dan netral. Menurut Prawirowardoyo (1986), kondisi stabil adalah kondisi yang terjadi pada saat suhu paket udara lebih kecil daripada suhu udara lingkungan sehingga massa udaranya menjadi lebih besar dan menyebabkan paket tersebut tidak dapat bergerak vertikal ke atas namun akan kembali ke ketinggian semula. Hal ini menyebabkan paket tersebut cenderung stabil di tempatnya. Kondisi stabil biasanya terjadi pada malam hari. Kondisi tidak stabil terjadi saat suhu paket udara lebih tinggi daripada suhu udara lingkungannya sehingga massa dan tekanan udaranya menjadi rendah dan menyebabkan paket akan mengembang secara vertikal. Kondisi tidak stabil biasanya terjadi pada siang hari akibat pemanasan radiasi matahari yang tinggi. Kondisi netral terjadi jika suhu paket udara sama dengan suhu udara lingkungan, sehingga suhu keduanya akan sama pada ketinggian yang sama. kondisi ini biasa terjadi pada siang ataupun malam. Menurut Oke (1978) pergerakan vertikal polutan di boundary layer (lapisan perbatas), secara umum dikendalikan oleh stabilitas udara. Konveksi bebas dan ketebalan lapisan percampuran berperan penting dalam mendifusikan material ke dalam volume yang lebih besar dan membuat suatu batas atas terhadap dimensi vertikal dari volume tersebut. Jika dilihat dari sudut pandang konvektif, kondisi terbaik untuk terjadinya dispersi polutan adalah pada saat kondisi tidak stabil yang kuat dan lapisan percampuran yang tebal, sebaliknya kondisi terburuk untuk terjadinya dispersi polutan adalah pada saat terjadi inversi suhu dan lapisan perbatas stabil. Inversi terjadi saat udara yang hangat dikelilingi oleh udara yang dingin. 2.1.3.2 Kecepatan Angin dan Topografi Angin horizontal memainkan peranan penting dalam transport dan pengenceran polutan. Seiring dengan peningkatan kecepatan angin, volume pergerakan udara oleh suatu sumber dalam suatu periode waktu juga akan meningkat. Dispersi polutan juga dipengaruhi oleh variabilitas arah angin (Godisg dalam Liu dan Liptak, 2000). Jika arah angin relatif tetap dan secara terus menerus menuju pada area yang sama, konsentrasi polutan di daerah tersebut akan tinggi. Jika arah angin berubah secara konstan, polutan akan didispersikan ke daerah
2
yang lebih besar, dan konsentrasi di sekitar daerah tujuan akan menjadi lebih rendah. Perubahan besar dalam arah angin dapat terjadi dalam periode waktu yang singkat. Topografi dapat berdampak secara mikro dan skala meso pada daerah titik dan daerah sumber. Pegunungan menyebabkan aliran udara lokal yang disebabkan oleh peningkatan kekasapan permukaan sehingga menurunkan kecepatan angin. Sebagai tambahan, pegunungan dan perbukitan membentuk barrier terhadap pergerakan udara. 2.2 Hujan Asam 2.2.1 Definisi Hujan Asam Hujan asam merupakan istilah umum untuk menggambarkan turunnya asam dari atmosfer ke bumi. Sebenarnya turunnya asam dari atmosfer ke bumi bukan hanya dalam kondisi "basah" tetapi juga "kering". Sehingga dikenal pula dengan istilah deposisi (penurunan/pengendapan) basah dan deposisi kering. Masalah deposisi asam terjadi di lapisan atmosfer terendah, yaitu di troposfer. Deposisi basah mengacu pada hujan asam, kabut dan salju. Ketika hujan asam ini mengenai tanah, dapat berdampak buruk bagi tumbuhan dan hewan, tergantung dari konsentrasi asamnya, kandungan kimia tanah, buffering capacity (kemampuan air atau tanah untuk menahan perubahan pH), dan jenis tumbuhan/hewan yang terkena. Deposisi kering mengacu pada gas dan partikel yang mengandung asam. Sekitar 50% keasaman di atmosfer jatuh kembali ke bumi melalui deposisi kering. Kemudian angin membawa gas dan partikel asam tersebut mengenai bangunan, mobil, rumah dan pohon. Ketika hujan turun, partikel asam yang menempel di bangunan atau pohon tersebut akan terbilas, menghasilkan air permukaan (run off ) yang asam. 2.2.2 Proses Pembentukan Hujan Asam Emisi sulfur dan nitrogen yang berasal dari bahan bakar fosil merupakan penyebab utama timbulnya deposisi asam. Ketika kedua unsur polutan bercampur dengan uap air di udara, terbentuklah asam sulfur dan nitrat (H2SO4 dan HNO3). Seperti halnya asam hidroklorik (yang berasal dari gas HCl yang diproduksi oleh industri berat) dan asam karbonat, di dalam air H2SO4 dan HNO3 akan terurai menjadi ion H+ dan ion-ion Cl-, CO32-, SO42- dan NO3-. Penambahan ion H+ dan ion-ion negatif ini akan menurunkan nilai pH, yang dipakai
sebagai indikasi tingkat keasaman suatu sampel air hujan. Secara sederhana, reaksi pembentukan hujan asam adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Proses Pembentukan Deposisi Asam Sumber : Environmental Protection Agency, 2006 2.2.3
Efek Hujan Asam Hujan asam berdampak langsung pada lingkungan seperti perubahan pH tanah yang menyebabkan perubahan pola adsorption dan desorpstion sehingga terjadi perubahan nutrisi pada run off permukaan maupun dari infiltrsi air ke dalam tanah. Hujan asam dapat menurukan laju pertumbuhan tanaman, pertumbuhan tanaman pertanian dan pertumbuhan tanaman hutan. Hujan asam dapat mempercepat pelapukan dan erosi logam, bahan bangunan dan monumentmonumen. salah satu dampak yang paling penting adalah hujan asam dapat mengubah kualitas air permukaan dan meracuni spesies perairain. Sulfur Dioksida (SO2) Gas penyebab utama terjadinya hujan asam adalah gas SO2, yang umumnya diemisikan sebagai hasil pembakaran bahan bakar fosil (minyak dan batu bara). Sumber-sumber sulfur secara alami adalah evaporasi percikan air laut, erosi debu dari tanah kering yang mengandung sulfur, uap letusan gunung berapi, emisi H2S secara biogenik dan persenyawaan organik yang mengandung sulfur. SO2 terdapat di alam secara normal pada konsentrasi 0.3 – 1 ppm. Nilai Ambang Batas untuk SO2 adalah 0.01 2.3
3
ppm (BMG, 2003). Sumber Buangan Sulfat lainnya adalah : • Hasil pencucian mineral (GIPS:CaSO4.2H2O) • Oksidasi mineral sulfida (PIRIT: FeS2) • Industri deterjen • Limbah domestik Pembakaran 1000 kg bahan bakar minyak dapat menghasilkan 60 kg SO2 di atmosfer. Gas SO2 tidak dapat terbakar namun sangat mudah larut dalam air pada suhu ruang sedangkan SO3 tidak reaktif. SO2 larut dalam uap air untuk membentuk asam, dan berinteraksi dengan gas-gas dan partikel lain di udara untuk membentuk sulfat dan produk lain yang dapat membahayakan manusia dan lingkungan. Lebih dari 65% SO2 dilepaskan ke udara atau lebih dari 13 juta ton per tahun, yang berasal dari alat elektronik, khususnya yang menggunakan batu bara. Siklus Sulfur dapat dilihat pada lampiran 1. Gas SO2 yang dilepaskan dapat dioksidasi oleh OH untuk membentuk H2SO4, Gas ini menjadi higroskopik (kemampuan menyerap air) dan menjadi reaktif dan menyerap H2O dan uap NH3 secara cepat untuk membentuk aerosol NH4HSO4 dan (NH4)2SO4. Hal ini ditunjukkan pada lampiran 2. Sumber pelenyap senyawa sulfur adalah rainout dan washout. Rainout adalah proses di dalam awan melalui aerosol higroskopis dari senyawa sulfur yang bertindak sebagai inti kondensasi dan melalui mekanisme tangkapan dan penggabungan menjadi tetes hujan dan jatuh ke permukaan tanah. Washout adalah proses penangkapan aerosol oleh tetes air hujan yang jatuh, yang meliputi proses yang terjadi di bawah awan. 2.4 Tingkat Kelarutan Gas Kelarutan suatu gas dalam droplet air hujan merupakan salah satu kontrol yang paling penting dalam kimia air hujan. Kelarutan suatu gas dalam air hujan secara umum dijelaskan oleh suatu persamaan yang dikenal sebagai Hukum Henry, yang menyatakan bahwa pada saat kesetimbangan, tekanan parsial suatu gas dalam larutan sebanding dengan konsentrasi gas dalam larutan tersebut. Dalam mempelajari kimia atmosfer penting untuk mengasumsikan hubungan antara konsentrasi dalam fase gas dan fase cair berada dalam bentuk kesetimbangan.
A( g ) = A(aq )
Kondisi gas yang bereaksi dalam air sedikit rumit sehingga hukum Henry hanya menghitung disolusi yang sederhana bukan hidrolisis berikutnya. 2.4.1 Kelarutan Gas berdasarkan Suhu. Variasi kelarutan gas dengan suhu dapat terlihat dari gambar 8. Seiring dengan peningkatan suhu, kelarutan gas menurun secara perlahan seperti ditunjukkan oleh penurunan trend dalam grafik (Ophardt, 2003). Larutan lebih banyak berada pada suhu yang lebih rendah dan sangat sedikit yang berada pada suhu yang tinggi. Sifat kelarutan gas dengan suhu sangat mirip dengan sifat tekanan uap yang meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan energi kinetic. Energi kinetik yang lebih besar menyebabkan lebih banyak gerakan molekul yang memecah ikatan intermolekul dan keluar dari padatan.
Gambar 2. Kelarutan Gas Berdasarkan Suhu (Sumber : virtual chembook, 2003) 2.4.2 Kelarutan Gas berdasarkan Tekanan. Kelarutan suatu gas akan meningkat seiring dengan peningkatan tekanan. Peningkatan tekanan akan menyebabkan molekul-molekul gas dipaksa masuk ke dalam larutan (Ophardt, 2003). Saat gas bersentuhan dengan permukaan cairan, jumlah gas yang akan masuk ke dalam larutan adalah sebanding dengan tekanan parsial gas tersebut. Pernyataan ini dikenal dengan hukum Henry. Prinsip hukum ini adalah bahwa jika tekanan parsial gas dua kali lebih besar, rata-rata molekul yang akan menyentuh permukaan cairan pada suatu rentang waktu adalah dua kalinya, sehingga molekul yang akan masuk ke dalam larutan juga dua kalinya. Untuk percampuran gas, hukum henry membantu untuk memperkirakan jumlah tiap-tiap gas yang akan masuk ke
4
dalam larutan, tetapi setiap gas memiliki daya kelarutan yang berbeda-beda dan hal ini juga mempengaruhi lajunya. Sehingga konstanta kesetimbangan dalam hukum henry harus disertakan dalam perhitungan. 2.5 Kesetimbangan Penyerapan dan Hukum Henry Penyerapan suatu jenis gas dalam air dapat ditampilkan dalam bentuk :
Tabel 1.
A (g) + H2O ↔ A.H2O A (g) ↔ A (aq) Dimana A.H2O dan A (aq) merupakan dua cara penulisan yang berbeda dari gas A dalam keadaan terlarut. Kesetimbangan antara gas A dalam fase gas dengan gas A dalam keadaan terlarut dapat ditunjukkan dalam bentuk konstanta kesetimbangan penyerapan, KA,
KA
[A.H 2 O] [moleL−1atm −1 ] =
pA Satuan konvensional tersebut koefisien hukum Henry, HA
[A.H 2 O] = H A p A
[A. H 2O] = H A PA [A(g )] PA
RT
&& = H A RTH A
Dimana ĤA merupakan bentuk koefisien hukum Henry yang tidak berdimensi. Untuk mengubah HA menjadi ĤA gunakan R = 0.082 atm M-1 K-1. Tabel 1 memberikan koefisien hukum Henry dari beberapa gas atmosfer di udara pada suhu 298 K. Nilai yang diberikan dalam tabel tersebut hanya menggambarkan kelarutan gas secara fisik, yaitu hanya kesetimbangan A (g) + H2O ↔ A . H2O. Beberapa jenis gas dalam tabel, sekali terlarut akan berada dalam kesetimbangan asam-basa atau bereaksi dengan air. Suatu jenis gas yang memiliki koefisien hukum Henry yang besar ( > 103 ), secara esensial akan diserap sempurna oleh air.
Gas
H, M atm-1 (298 K)
O2
1.3 x10-3
NO
1.9 x10-3
C2H4
4.9 x10-3
O3d
9.4 x10-3
NO2b
1 x 10-2
N2O
2.5 x 10-2
CO2c
3.4 x 10-2
SO2c
1.24
HNO2c
49
NH3
merupakan
Dimana PA merupakan tekanan parsial gas A dalam fase gas dan [A.H2O] adalah konsentrasi dari gas A terlarut dalam larutan. Satuan umum koefisien hukum Henry HA adalah [mole l-1 atm-1], sehingga terlihat bahwa KA dan HA adalah identik. Satuan mole l-1 secara umum ditulis sebagai M. Jika kedua konsentrasi dalam bentuk gas maupun cair dari gas A ditunjukkan dalam sebuah basis molar maka persamaan dapat ditulis sebagai :
Koefisien Hukum Henry dari GasGas Atmosfer yang Terlarut dalam Air
b
62
HCl
2.5 x 103
HCHOf
6.3 x 103
H2O2
7.1 x 104e
HNO3c
2.1 x 105
a
diadaptasi dari Schwartz (1983) dan Martin (1984a) NO2 yang terlarut bereaksi dengan air Jenis gas ini berpartisipasi dalam kesetimbangan asambasa yang tidak terlihat dalam nilai H yang diberikan. d ozon sebenarnya terlarut dalam air (Roth dan Sullivan, 1981). Untuk tujuan ini hanya akan digunakan koefisien hukum Henry yang ditampilkan disini dan sebagai fungsi dari temperature. Koefisien hukum Henry dari Roth dan Sullivan adalah H = 3.84 x 107 [atm mole fraction-1], [OH-]0.035exp(-2428/T) didefinisikan oleh PA = HAxA e pengukuran koefisien hukum Henry terbaru adalah yang dilakukan oleh Yoshizumi et al (1984) yang mendapatkan nilai koefisien HH2O2 = 1.42 x 105 pada suhu 293 K. f HCHO eksis dalam larutan secara umum dalam bentuk gem-diol: HCHO + H2O ↔ H2C(OH)2. koefisien hukum Henry yang diberikan dalam table berlaku untuk HCHO dan H2C(OH)2. b c
2.6 Gambaran Umum Kota Bandung 2.6.1 Kondisi Geografis Kota Bandung. Kota Bandung merupakan daerah penyangga Ibukota Provinsi Jawa Barat. Letak wilayahnya yang strategis, menjadikan Kota Bandung sebagai pintu gerbang kabupaten lain yang terletak disekitar Ibukota Propinsi Jawa Barat. Secara geografis Kota Bandung terletak pada 1070 20’ 50” – 1070 42’ 12” BT dan 060 43’ 55” – 070 06’ 51” LS, dengan luasan sekitar 16.729,65 Ha. penggunaan lahan dari
5
total luas Kota Bandung, (berdasar luasan peta penggunaan lahan Kota Bandung oleh Bappeda Kota Bandung) yang terlihat hijau kira-kira 35% (4% tegalan, 25% sawah, 4,65% kebun, taman kota 0.63%). Kota Bandung terdiri dari 26 Kecamatan dengan batas-batas administratif sebagai berikut (gambar 3): • Sebelah utara : Kota Lembang dan Cisarua • Sebelah barat : Kota Padalarang dan
Cimahi • Sebelah selatan : Kota Dayeuhkolot dan Buah Batu • Sebelah timur : Kota Cileunyi Lokasi Kota Bandung cukup strategis, dilihat dari segi komunikasi, perekonomian maupun keamanan. Hal tersebut disebabkan : 1) Kota Bandung terletak pada pertemuan poros jalan raya : a. Barat - Timur yang memudahkan
Gambar 3. Batas Administrasi Kecamatan Kota Bandung Sumber : Bappenas, 2006.
Gambar 4. Peta Kemiringan Lahan Kota Bandung Sumber : Yogantara, Indotravelers.com.
6
hubungan dengan Ibukota Negara Utara - Selatan yang memudahkan lalu lintas ke daerah perkebunan (Subang dan Pangalengan). 2). Letak yang tidak terisolasi dan dengan komunikasi yang baik akan memudahkan aparat keamanan untuk bergerak kesetiap penjuru (Pemerintah Kota Bandung, 2007). Bentang alam kota bandung mempunyai kemiringan lahan ke arah selatan dan berbukit di bagian utara sehingga berbentuk menyerupai cekungan (Gambar 4). Kota Bandung bagian utara memiliki ketinggian sekitar 1225 m dpl dan memiliki kemiringan yang cukup curam (diatas 8%), bagian tengah kota Bandung memiliki ketinggian rata-rata 675 m dpl, sedangkan bagian selatan memiliki ketinggian sekitar 750 m dpl dengan kemiringan lahan yang relatif datar. b.
2.6.2 Kondisi Iklim Kota Bandung Iklim kota Bandung dicirikan dengan udara lembab yang panas, curah hujan yang tinggi dan kecepatan angin yang sedang. Suhu minimum rata-rata adalah 18°C dan suhu maksimum rata-rata mencapai 30°C. Dari aspek klimatologi, Kabupaten Bandung termasuk dalam tipe iklim B1 (Pemerintah Kota bandung, 2007). 2.6.3 Kondisi Geologi dan Fisiografi Jenis batuan yang terdapat di kota Bandung terdiri dari tufa pasir dan tufa berbatu apung. Jenis tanah di bagian utara dan selatan kota Bandung berbeda. Jenis tanah di bagian utara umumnya andosol yaitu tanah yang mengandung bahan organik lebih dari 1% dan kejenuhan basa (NH4OAc) lebih dari 50%, sedangkan di bagian selatan serta timur tersebar tanah alluvial kelabu bahan endapan liat yaitu tanah yang berasal dari endapan baru berlapis-lapis dengan bahan organik yang jumlahnya tidak teratur dengan kedalaman dan memiliki kandungan pasir kurang dari 60%, sedangkan di bagian tengah dan barat tersebar tanah latosol. Sungai-sungai yang melewati Kota Bandung umumnya bersumber di Kecamatan Lembang (Kabupaten Bandung). Sungai besar yang mengalir di tengah kota adalah Sungai Cikapundung, dan di bagian timur kota mengalir Sungai Cidurian. Keadaan drainase di Bandung bagian utara cukup baik, sedangkan di Bandung bagian selatan kurang baik. Penggunaan lahan yang dominan (tahun 2001) adalah perumahan (64,68%) dan
pertanian lahan kering (27.61%). Penggunaan lainnya adalah industri (3,81%), fasilitas sosial dan perdagangan (Pemerintah Kota Bandung, 2007). 2.6.4 Transportasi Sistem transportasi memegang peranan penting dalam pengendalian pencemaran udara perkotaan. Makin banyak volume kendaraan yang beroperasi di jalan, makin banyak jumlah emisi gas buang total. Volume pergerakan orang dan kendaraan yang tinggi antara Kota Bandung dan wilayah sekitarnya (Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi) telah memberikan kontribusi yang signifikan pada kepadatan lalu lintas di pusat-pusat Kota Bandung. Kepadatan kendaraan di Bandung cukup tinggi, seperti di jalan Merdeka jumlah kendaraan pribadi yang melintas perjam sekitar 1814, motor 1384, truk 57, angkutan umum sekitar 63. sementara di jalan Asia Afrika kendaraan yang melintas per jam sekitar 1313, motor 1002, truk 42 dan angkutan umum sekitar 32 (Utama dalam Turyanti, 2005) Kondisi emisi kendaraan bermotor sangat dipengaruhi oleh kualitas bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin. Antara tahun 2000 – 2003 jumlah kendaraan bermotor di Kota Bandung bertambah rata-rata 8% per tahun; dengan komposisi sepeda motor terbesar, yaitu sekitar 59% pada 2003. Tabel 2. Jumlah Kendaraan Bermotor (Umum dan Pribadi) Jumlah Kendaraan (Unit) Jenis No Kendaraan 2001 2002 2003 1 2 3 4 5 6 7
Sepeda Motor Mobil Penumpang Mobil Barang Bus Besar Bus Sedang Bukan Umum Kendaraan Khusus
283.936
324.366
344.132
164.035
175.333
181.115
43.455
45.648
46.758
1.263
1.276
1.276
70
70
70
1.974
2.105
2.151
263
261
260
Sumber: Bappenas, 2006. 2.6.5 Industri Jumlah industri di kota Bandung sangat banyak yang mencakup industri formal dan non- formal. Industri formal di Bandung mencakup industri logam, tekstil, kimia pupl dan kertas, elektronika serta agro dan hasil hutan. Tabel 3. Jumlah Industri Non-Formal Kota Bandung
7
No 1
Jenis Industri 2001 2002 2003 Kimia 500 895 974 Bahan 2 149 456 496 bangunan 3 Pangan 2278 1185 1289 4 Sandang 2203 1898 2067 Barang dari 5 834 481 523 kulit Barang dari 6 619 1100 1197 logam 7 Elektronik 100 497 541 8 Kraum 189 715 778 Sumber : Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bandung, 2006 2.6.6 Air Quality Monitoring System Jaringan pemantau kualitas udara ambien (Air Quality Monitoring System – AQMS) adalah jaringan pemantauan udara ambien otomatis yang diselenggarakan oleh KLH dan pemerintah 10 kota di Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Semarang, Surabaya, Bandung, Pontianak, Palangkaraya, Jambi, Pekanbaru, Terdapat beberapa stasiun pemantau tetap (fixed station), stasiun bergerak (mobile station) dan beberapa papan display di setiap kota tersebut. Stasiun pemantau mengukur secara kontinu parameter-parameter PM10, SO2, NOx, CO, dan O3, serta parameter meteorologi lokal yaitu arah dan kecepatan angin, temperatur, kelembaban udara, dan radiasi
diukur di stasiun pemantau dicatat dalam satuan microgram per meter kubik (μg/m3) kecuali CO yang dicatat dalam milligram per meter kubik (mg/m3). Data konsentrasi tersebut kemudian dikonversikan ke dalam Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) melalui perhitungan yang ditetapkan dalam Keputusan Kepala BAPEDAL No. KEP107/KABAPEDAL/11/1997. Konversi data pemantauan ke nilai indeks yang kualitatif dan tidak berdimensi tersebut dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat menterjemahkan hasil pemantauan kualitas udara ambien. Kategori ISPU terdiri atas 5 kategori, yaitu baik, sedang, tidak sehat dan berbahaya. Saat ini Kota Bandung mempunyai 5 stasiun pemantau udara ambien tetap, 1 stasiun bergerak, dan 5 papan display yang beroperasi sejak tahun 2001. Stasiun-stasiun tetap terletak di Dago Pakar (BAF1), perumahan Arya Graha (BAF2), Tirtalega (BAF3), perumahan Batununggal Indah (BAF4), dan Cisaranten Wetan (BAF5). Lima data display terpasang di Bundaran Cibiru, Taman Tegalega, Alun-alun, Jl. Setiabudi, dan Pintu Tol Pasteur.
Gambar 5. Rute Angkutan Kota Bandung Sumber : Bappenas, 2006. global. Konsentrasi setiap pencemar yang
8
Gambar 6. Sebaran Lokasi Industri Kota Bandung Sumber : Bappenas, 2006.
9