2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistematika dan Distribusi Bulubabi
Bulubabi (sea urchin) termasuk ke dalam filum Ekinodermata, kelas Echinoidea yang terbagi atas tiga subkelas, Perischoechinoidea, Cidaroidea dan Euchinoidea (Lampiran 1) (Lawrence 2007) dan saat ini sekitar 1000 spesies bulubabi telah diidentifikasi (Yokota 2002). Bulubabi dapat ditemui pada semua laut dan lautan, dengan batas kedalaman antara 0 m sampai dengan 8000 m. Bulubabi dapat hidup bebas sebagai epifauna baik menyendiri ataupun hidup berkelompok, hidup meliang ataupun membenamkan diri dalam lumpur dan pasir dan dikenal sebagai penghuni laut sejati dengan batasan toleransi salinitas antara 30-34 ppt (Aziz 1987).
2.2 Morfologi Bulubabi
Secara morfologi, bulubabi terbagi dalam dua kelompok yakni bulubabi regularia dan iregularia. Bentuk tubuh bulubabi regularia adalah simetri pentaradial hampir berbentuk bola sedangkan bulubabi iregularia memperlihatkan bentuk simetri bilateral yang bervariasi (Aziz 1987). Bulubabi memiliki kaki tabung yang berasal dari membran peristomial dan pedicularia yang responsif terhadap keberadaan makanan dan predator. Spina atau duri-durinya yang panjang menutupi seluruh tubuh dan bisa digerakkan. Duri bulubabi terbentuk dari kristal CaCO3 dan terdiri dari dua macam yaitu duri utama yang panjang dan duri sekunder yang pendek. Pada sisi aboral terdapat anus, lubang genital, dan madreporit sebagai tempat keluar-masuk air, sedangkan pada sisi oral terdapat mulut (Gambar 1).
2.3 Makanan dan Cara Makan Bulubabi
Umumnya sebagian besar bulubabi memakan berbagai jenis tanaman laut baik dari kelompok thalophyta ataupun dari kelompok spermatophyta. Namun demikian, bulubabi yang hidup di perairan jeluk tempat alga tidak dijumpai lagi, sangat tergantung dari sisa organisme yang terdapat disekitarnya. Jenis-jenis bulubabi yang hidup menyendiri ataupun mengelompok (agregasi), hidup bebas mencari makan secara aktif, berpindah dari satu rumpun alga ke rumpun alga lainnya dan menyapu bersih biota apa saja yang ada disekitarnya. Aktivitas makan ini terutama dilakukan di malam hari (Aziz 1987).
6
Gambar 1 Anatomi umum bulubabi regularia, Strongylocentrotus droebachiensis (James dan Siikavuopio 2012)
2.4 Sistem Pencernaan Bulubabi
Secara umum sistem pencernaan pada semua kelompok bulubabi dibangun oleh unit yang sama, yaitu terdiri dari mulut, faring, esofagus, lambung, usus, rektum dan anus. Lambung merupakan bagian saluran pencernaan yang terpanjang. Saluran pencernaan pada kelompok regularia relatif lebih panjang bila dibandingkan, dengan saluran pencernaan kelompok irregularia. Selain itu, pada kelompok regularia terdapat semacam rahang yang dilengkapi dengan semacam gigi pemotong ‘lentera aristoteles’. Mulut biasanya terdapat pada bagian tengah dari sisi oral, dari mulut berjalan saluran pencernaan ke arah anus yang biasanya terletak pada sistem apical di sisi aboral. Saluran pencernaan berputar satu lingkaran penuh searah dengan arah jarum jam dan kemudian kembali berputar satu lingkaran penuh berlawanan arah dengan jarum jam (Durham 1966, diacu dalam Aziz 1987).
2.5 Gametogenesis dan Reproduksi Bulubabi
Gametogenesis, penyimpanan nutrien intra-gonadal dan penggunaannya merupakan preoses yang saling berhubungan dalam reproduksi bulubabi. Dinamika interaksi antara populasi sel germinal dan somatik menyusun epithelium germinal dari gonad bulubabi. Uniknya, perkembangan ukuran gonad bulubabi tidak hanya karena meningkatnya fase gametogenesis, yakni bertambahnya ukuran dan jumlah dari sel germinal saat ini, tetapi juga karena sel somatik dalam epithelium germinal berupa nutritive phagocytes (NP) yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan nutrien secara ekstensif sebagai cadangan sebelum proses gametogenesis dimulai (Walker et al. 2007).
7 2.5.1 Struktur Gonad Bulubabi Gonad bulubabi menempel pada lapisan "perivisceral epithelium lempeng interambulakral" mengisi lebih dari separuh rongga badan pada sisi apikal. Gonad bulubabi terdiri atas lima lobi yang tersusun secara radial. Tiap lobus gonad mempunyai sebuah saluran (gonoduct) bermuara ke arah luar pada lempeng genital. Penampang melintang gonoduct berbentuk bulat, berdiameter 800-1000 μm. Organ gonad memiliki 13-15 pasangan percabangan "racemose" pada sisi-sisi gonoduct, yang disebut "acini", masing-masing berbentuk Y (Darsono 1986).
2.5.2 Fase Gametogenesis Bulubabi Perkembangan siklus reproduktif bulubabi dibagi dalam empat fase (Gambar 2) (Walker et al. 2007). Saat ini, klasifikasi tersebut luas digunakan untuk menggambarkan fase reproduktif bulubabi dari berbagai jenis varietas.
Gambar 2 Tahap siklus gametogenesis (1) ‘inter-gametogenesis dan NP phagocytosis’, (2) ‘pre-gametogenesis dan NP renewal’, (3) ‘gametogenesis dan NP utilization’, (4) ‘end of gametogenesis, NP exhaustion dan spawning’ dari T. gratilla. (A) Betina dan (B) jantan. Akronim: rm – remnant reproductive cells; rc – reproductive cells; np – nutritive phagocyte. Perbesaran x10 (James dan Siikavuopio [2012])
2.6 Bulubabi Termakankan
Dari sekian banyak bulubabi yang telah teridentifikasi hanya sekitar 16 jenis bulubabi dipanen untuk dimakan gonadnya (roe) di seluruh dunia, diantaranya terdistribusi pada sejumlah ordo echinoid regularia (Lawrence 2007). Ada tiga kemungkinan kenapa tidak semua jenis bulubabi dapat dikonsumsi. Kemungkinan pertama adalah kemudahan akses, semua spesies yang dapat dimakan ditemukan
8 pada perairan dangkal. Alasan kedua adalah palatabilitas, Tetrapygus niger tidak dikonsumsi meskipun melimpah di pantai Chile karena rasa gonadnya tidak enak. Gonad Hemicentrotus pulcherrimus yang belum matang terkenal di Jepang tetapi ovari yang matang tidak dikonsumsi karena pahit. Alasan ketiga adalah budaya, tingkat konsumsi bulubabi di negara Mediterania bervariasi, tinggi di Perancis tetapi terbatas di Afrika Utara dan pantai Aegean (Lawrence 2007).
2.6.1 Genus Tripneustes Genus Tripneustes termasuk ke dalam ordo echinoid regularia merupakan jenis bulubabi termakankan. Tripneustes L Agassiz 1841 secara tradisional diyakini terdiri atas tiga spesies yakni Tripneustes gratilla Linnaeus 1758, T. ventricosus Lamarck 1816 dan T. depressus A Agassiz 1863 (Lawrence dan Agatsuma 2007). Tiga spesies tersebut secara morfologi sangat mirip dan diyakini mungkin merupakan satu spesies (Zigler dan Lessios 2003).
2.6.2 Distribusi Geografis Tripneustes gratilla Tripneustes merupakan genus sirkumtropis yang meluas sampai ke subtropik. T. gratilla dilaporkan ditemukan di seluruh Samudera Hindia sampai Pasifik Barat, Afrika Timur (Laut Merah ke Natal), Laut Kepulauan Selatan (dari Norfolk dan Kepulauan Karmadec ke Marquesas dan Hawaii) dan dari Australia (Port Jackson di pantai Timur dan Sharks Bay di Barat), ke selatan Jepang (Kepulauan Bonin) (Lawrence dan Agatsuma 2007).
2.6.3 Biologi Tripneustes gratilla T. gratilla sangat umum ditemukan di perairan dangkal meskipun T. gratilla dapat ditemukan pada kedalaman 75 m. T. gratilla terdapat pada semua habitat mencakup padang lamun dan alga, pasir dengan kerikil, batuan dan rataan terumbu karang. Di habitatnya T. gratilla dapat hidup pada kisaran suhu 20-30oC, di Kepulauan Bonin T. gratilla ditemukan hidup pada suhu 23,6-26,8oC, di Mauritius pada suhu 21,6-27,2oC dan di Madagaskar pada suhu 26-32oC (Lawrence dan Agatsuma 2007). Tinjauan yang dilakukan Lawrence dan Agatsuma (2007) menyebutkan bahwa T. gratilla biasanya ditemukan dalam kelompok yang terdiri atas tiga sampai empat individu, saling bersentuhan bahkan tumpang tindih. Walaupun penelitian lain melaporkan T. gratilla biasanya terisolasi dan jarang saling bersentuhan satu dengan yang lainya bahkan dalam kondisi kepadatan tinggi. T. gratilla ditemukan diberbagai jenis habitat, sehingga tidak mengejutkan apabila jenis pakannya bervariasi. Juvenil T. gratilla makan sesil diatom dan individu yang lebih besar makan makroalga. Di Madagaskar T. gratilla makan lamun T. hempricii, sementara di Hawaii T. gratilla makan alga koralin, filamen dan detritus (Lawrence dan Agatsuma 2007).
9 2.6.4 Potensi Akuakultur Tripneustes gratilla T. gratilla merupakan jenis bulubabi ekonomis penting di Indonesia. Biota ini tersebar di Kawasan Tengah dan Timur Indonesia seperti Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku terutama di ekosistem lamun (Aziz 1993). T. gratilla memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat (Shimabukuro 1991, diacu dalam Lawrence dan Agatsuma 2007), kualitas gonadnya memenuhi selera pasar, berwarna kuning cerah sampai oranye dengan tekstur halus sampai kasar (berbutir) dan berbau khas produk laut (Chasanah dan Andamari, 1997). Induk matang gonad T. gratilla tersedia di alam cukup lama, sehingga keperluan induk siap memijah bagi usaha pembenihan tidak menjadi masalah (Tuwo dan Pelu, 1997). Selain itu, T. gratilla dapat dipelihara pada kepadatan tinggi (Lawrence dan Agatsuma 2007).
2.7 Makroalga
Makroalga adalah tumbuhan tingkat rendah, tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati yang kemudian disebut dengan thalus. Berdasarkan pigmentasinya makroalga terbagi dalam tiga kelas utama, yaitu alga coklat (Phaeophyceae), alga merah (Rhodophyceae) dan alga hijau (Chlorophyceae). Tinjauan mengenai makroalga dalam tulisan ini terbatas pada deskripsi taksonomi dari tiga jenis makroalga yang mewakili ketiga kelas , yaitu alga coklat Sargassum polycystum, alga merah Gracilaria lichenoides dan alga hijau Ulva reticulata.
2.7.1 Sargassum polycystum C. A. Agardh Sargassum C. A. Agardh (Sargassaceae, Fuucales) merupakan genus alga coklat yang sedikitnya terdiri atas 400 jenis. Tersebar luas pada perairan hangat dan dingin, terutama di wilayah barat Indo-Pasifik dan Australia (Tseng et al. 1985, diacu dalam Noiraksar dan Ajisaka 2008). Ciri morfologi Sargassum polycystum C. A. Agardh dideskripsikan sebagai berikut. Pelekap mencakram, diameter mencapai 13 mm. Batang menggalah, berbintil, diameter mencapai 3 mm dan panjang 4 mm. Bantalan terdiri atas lima stolon dan 7-9 spiral yang menyusun cabang utama. Stolon menggalah sedikit memadat atau memendek pada bagian proksimal, panjang mencapai 12 cm dan lebar 2 mm. Cabang utama biasanya berbintil dan berduri (Gambar 3H) dan bertransformasi menjadi stolon dan pelekap sekunder (Gambar 3I), panjang mencapai 200 cm dan diameter 2 mm. Daun berbentuk bulat panjang, melanset sampai memita, panjang mencapai 45 mm dan lebar 13 mm. Bagian pangkal daun asimetris sampai membaji dan membulat sampai meruncing pada bagian ujungnya. Pinggiran daun bergerigi kasar dan tulang tengah semakin berkurang atau samar ke arah pangkal. Kriptostomata kecil dan tersebar berjajar di atas kedua sisi dari tulang tengah. Cabang sekunder tersusun memutar, menggalah, penuh sesak dengan duri, panjang mencapai 60 cm dan jarak antar cabang 16 cm. Daun memita-melanset sampai menyudip, panjang mencapai 30 mm dan lebar 7 mm. Bagian pangkal daun
10 asimetris sampai membaji dan membulat sampai meruncing pada bagian ujungnya. Pinggiran daun bergerigi kasar dan tulang tengah semakin berkurang atau samar ke arah pangkal. Kriptostomata kecil dan tersebar berjajar di atas kedua sisi dari tulang tengah (Gambar 3B). Vesikula membulat sampai bulat telur, panjang 8 mm, lebar 6 mm dan ketebalan 5 mm. Pangkal seluruhnya di atas kedua sisi vesikula, tangkai tanaman diesis. Reseptakel jantan panjang, menggalah, panjang sampai 15 mm dan lebar 1 mm, dengan permukaan berbintil dan cabang terbagi atas dua atau lebih (Gambar 3D, E). Reseptakel betina sedikit memadat, panjang mencapai 4 mm dan lebar 1 mm, dengan permukan berbintil, cabang terbagi atas dua atau lebih (Gambar 3F, G). Jantan dan betina tersusun dalam tandan, halozigokarpik dan vesikulata, menggalah, biasanya lebih pendek dibandingkan dengan vesikula (Gambar 3C) (Noiraksar dan Ajisaka 2008).
Gambar 3 Sargassum polycystum C. A. Agardh. (A) Perawakan, (B) daun, (C) vesikula, (D) reseptakel jantan (panah), (E) irisan melintang reseptakel jantan memperlihatkan konseptakel jantan (panah), (F) reseptakel betina (panah), (G) irisan melintang reseptakel betina memperlihatkan konseptakel betina (panah), (H) duri di atas cabang utama, (I) pelekap sekunder (panah) (Noiraksar dan Ajisaka 2008)
11 2.7.2 Gracilaria lichenoides atau Gracilaria edulis (S.G. Gmelin) P. C. Silva Gracilaria ditemukan pada perairan yang jernih di zona intertidal dan tidak terekspose udara selama air laut surut. Gracilaria tumbuh di atas bebatuan atau permukaan lumpur pada area pasir berlumpur (FAO/NACA 1996). Ciri morfologi G. lichenoides dideskripsikan sebagai berikut, yaitu tanaman tegak dan tumbuh mencapai 8-25 cm atau lebih, berwarna hijau tua sampai kekuningan, percabangan dikotomus atau trikotomus, sendi utama 1-1,5 mm, diameter cabang 0,5-1,0 mm dengan sudut percabangan yang lebar. Jarak antar cabang rendah, cabang berbentuk tabung dengan ketebalan 1 mm dan menjadi lebih tipis 0,5 mm pada bagian ruas pangkal. Irisan melintang pelepah terdiri atas dinding tipis sel medula yang membulat, dengan diameter 100-200 µm dan 1-2 baris sel kortikal kecil yang beralih tiba-tiba dari medula ke korteks. Sistokarp membulat, diameter 0,5-1 mm dengan ujung rostrum menyempit pada pangkal (Gambar 4) (FAO/NACA 1996).
Gambar 4 Gracilaria lichenoides atau Gracilaria edulis (S.G. Gmelin) P. C. Silva. (A) Thalus, (B) perawakan luar dari sistokarp, (C) irisan melintang dari sendi utama (FAO/NACA 1996)
2.7.3 Ulva reticulata Forsskål 1775 Ulva dapat ditemukan pada pertengahan zona litoral, tumbuh pada bebatuan atau sebagai epifit. Tanaman tumbuh terpisah atau kadang-kadang berasosiasi dengan alga lainnya. Warna hijau terang sampai gelap, seperti jaring atau mata jala,
12 lebar 10-20 cm dengan sejumlah lakunae (Gambar 5A). Rongga berbentuk oval, sirkular, lonjong atau persegi panjang (Gambar 5B), memisahkan lamina ke dalam lasinia dengan titik-titik mikroskopis yang terlihat jelas di tepi thalus dan lubang; dua sel memanjang ditengah-tengah thalus (Jha et al. 2009).
Gambar 5 Ulva retikulata Forsskål 1775. (A) Perawakan, (B) rongga berbentuk oval, sirkular, lonjong atau persegi panjang (Jha et al. 2009)
2.8 Stimulan Pakan
Pengaruh rangsangan kimia pada perilaku makan sudah diketahui dengan baik. Namun demikian, klasifikasi bahan kimia yang mempengaruhi perilaku makan agak membingungkan meskipun istilah perihalnya telah dikemukakan: attractan, repellant, arrestant, incitant, suppressant, stimulant dan deterrent (Tabel 1) (Lindsteadt 1971). Tiga istilah pertama digunakan bagi substansi yang terditeksi pada konsentrasi yang sangat rendah dan terkait dengan tanggap orientasi positif atau negatif. Istilah tersisa berlaku untuk taggapan positif atau negatif yang berkaitan dengan inisiasi atau kelanjutan kontak makan, dan bersentuhan langsung dengan makanan biasanya dibutuhkan untuk tanggap tersebut (Higuera 2001). Sedikit bahasan di atas memberikan gambaran bahwa attractan dan stimulant merupakan perilaku yang diakibatkan substansi kimia yang dapat dibedakan satu sama lainnya. Lebih lanjut, suatu substansi dapat disebut sebagai stimulan pakan apabila memiliki sifat fisikokimia sebagai berikut: nonvolatil, bobot molekulnya rendah, mengandung nitrogen, amfoterik,larut dalam air, stabil dengan perlakuan panas dan memiliki distribusi biologi yang luas (Higuera 2001). Sebagaimana telah dikemukanan sebelumnya, tanggapan hewan terhadap komposisi kimia dari makanan menunjukkan perilaku konsumsi yang rumit dan memiliki beberapa tahapan (Lindsteadt 1971). Tahap-tahap ini tidak selalu secara eksplisit diakui dalam studi mengenai pemberian makan terhadap bulubabi. Klinger dan Lawrence (1984) menyakini perbedaan konsumsi makanan oleh L. variegatus
13 terutama ditentukan oleh derajat ketekunan dalam makan bukan pemilihan makanan. Ketekunan bulubabi saat kontak dengan makanan menunjukkan stimulasi makan. Hirarki preferensi yang digambarkan Steinberg dan van Altena (1992), menunjukkan bulubabi lebih memilih jenis makroalga tertentu ketika diberikan pilihan pakan alami. Faktanya, sebagai sumber makanan makroalga sangat bervariasi dalam morfologi, kualitas nutrisi, metabolit sekunder dan derajat pengapuran yang berpengaruh terhadap preferensi pemangsanya (Vadas 1977; Sakata et al. 1989; Duffy dan Hay 1990; Wright et al. 2005). Pengamatan di lapangan dan pengujian di laboratorium menunjukkan metabolit sekunder dapat bertindak sebagai stimulan atau deteren yang kuat bagi bulubabi (Sakata et al. 1989; Steinberg dan van Altena 1992; Deal et al. 2003). Beberapa studi menunjukkan golongan monosakarida, polisakarida, asam amino, lipid, terpenoid dan fenol dapat bertindak sebagai stimulan bagi bulubabi (Klinger dan Lawrence 1984; Sakata et al. 1989; Steinberg dan van Altena 1992), tetapi di sisi lain dapat pula bertindak sebagai deteren (Steinberg dan van Altena 1992; Cronin dan Hay 1996; Deal et al. 2003). Tabel 1 Macam tanggapan perilaku terhadap bahan kimia dalam pakana
a
Kategori
Tanggapan perilaku
Attractant
Bergerak ke arah makanan
Repellant
Bergerak menjauhi makanan
Arrestant
Berhenti bergerak ke arah makanan
Incitant
Permulaan makan
Suppressant
Tidak ada permulaan makan
Stimulant
Proses penelanan makanan
Deterrent
Tidak ada proses penelanan makanan
Sumber: Lindsteadt (1971)