4
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sereal Sereal sarapan adalah makanan yang terbuat dari olahan biji-bijian yang sering, namun tidak selalu, dimakan pada pagi hari. Sereal sering dimakan dingin, biasanya dicampur dengan susu (susu sapi, susu kedelai, susu beras atau susu almond), air atau yoghurt dan buah. Beberapa sereal seperti oatmeal dapat disajikan panas seperti bubur (Albertson et al. 2008). Makanan untuk sarapan sebaiknya merupakan makanan yang lengkap, yakni mengandung semua unsur gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan gizi yang seimbang terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Selain
itu
sarapan
juga
dapat
mencegah
penurunan
daya
ingat
(Wesnes et al. 2003). Sereal sarapan umumnya memiliki kandungan vitamin B yaitu thiamin, riboflavin, niasin, vitamin B6, asam pantotenat, dan asam folat. Selain itu juga mengandung kalsium, zat besi, serat dan asam amino lainnya, misalnya lisin, terdapat pada kacang-kacangan dan susu (Johnson 1991). Menurut Tribelhorn (1991), sereal sarapan yang ada di pasaran saat ini dikategorikan menjadi lima jenis yaitu: 1) Sereal tradisional yang memerlukan pemasakan, adalah sereal yang dijual di pasaran dalam bentuk bahan mentah yang telah diproses. Biasanya dalam bentuk sereal yang dikonsumsi panas. 2) Sereal panas instan tradisional, yaitu sereal yang dijual dalam bentuk bijibijian atau serbuk yang telah dimasak dan hanya memerlukan air mendidih dalam penyajiannya. 3) Sereal siap santap, yaitu produk yang telah diolah dan direkayasa menurut jenis atau bentuk diantaranya flaked, puffed, dan shredded. 4) Ready-to-eat cereals mixes, yaitu produk sereal yang telah diolah bersama biji-bijian, kacang-kacangan dan buah kering. 5) Bermacam produk sereal sarapan yang tidak dapat dikategorikan dalam keempat jenis produk tersebut karena proses khusus dan atau kegunaan akhirnya. Contoh dari jenis ini adalah cereal nuggets dan makanan bayi.
5
Sereal untuk makanan pagi yang umum di pasaran dapat berupa flakes, butiran maupun produk yang mengembang dan biasanya terbuat dari satu jenis sereal atau campuran sereal yang dibalut dengan bumbu seperti minyak, garam, dan atau gula. Sereal mengalami proses utama yaitu pembentukan flake, butiran atau pengembangan, pemanggangan dan pelapisan dengan senyawa penambah aroma (Vail et.al 1978). Bahan yang digunakan dalam pembuatan flake dapat dilihat pada Tabel 1 Tabel 1 Bahan yang digunakan dalam pembuatan flake No 1 2 3 4 5 6
Bahan Tepung ubi jalar Tepung kedelai Tapioka Gula (dari total tepung) Garam (dari total tepung) Air (dari total tepung)
Komposisi (%) 55 25 20 10 0.5 30
Sumber : Koswara (2003)
Flakes merupakan salah satu bentuk dari produk pangan yang menggunakan bahan pangan serealia seperti beras, gandum atau jagung dan umbi-umbian seperti kentang. Flakes digolongkan ke dalam jenis makanan sereal siap santap yang telah diolah dan direkayasa menurut jenis dan bentuknya. Berbagai macam jenis makanan sarapan antara lain adalah corn flakes, oat flakes, rolled flakes, dan makanan sarapan lain berbentuk puffed yang dibuat dengan bantuan alat ekstruder (Tressler dan Sultan 1975). Pembuatan flakes agak berbeda dengan pembuatan sereal sarapan lain yang berbentuk puffed. Flakes dibuat dengan cara pengepresan sekaligus pengeringan. Produk ini dibuat dengan menggunakan flaking roll hingga terbentuk lapisan tipis atau serpihan dengan kadar air 3% dan total padatan sebesar 97%. Sereal berbentuk puffed atau menggelembung bisa dibuat menggunakan beras, gandum atau jagung. Puffed dibuat dengan teknik udara bertekanan tinggi. Setelah diproses dalam ekstruder dengan suhu dan tekananan tinggi bahan akan ditembakkan keluar alat ekstruder. Perbedaan tekanan dalam ekstruder dan lingkungan membuat bahan menyerap udara sehingga bahan akan mengembang (puffed) (Guy 2001).
6
Standar corn flake dapat dilihat pada Tabel 2 Tabel 2 Standar mutu corn flake (g/100gr) Flake
Komposisi
a 4,27 4,33 0,67 1,48 89,26
Air Protein Lemak Abu Karbohidrat (by difference)
b 3,53 6,25 0,75 1,90 87,56
Sumber : a USDA (2010) b Padovani, et al. (2007)
Kemunduran mutu dari sereal sarapan disebabkan oleh lemak yang terkandung di dalamnya. Lemak yang terkandung dalam sereal tidak banyak tetapi lemak merupakan penyebab utama hilangnya nutrisi dan berkurangnya nilai oganoleptik.
Oksidasi
pada
lemak
akan
menyebabkan
pembantukan
hidroperoksida. Hidroperoksida bertanggung jawab atas bau tengik yang terbentuk. Hal ini lah yang menyebabkan berkurangnya nilai organoleptik (Paradiso et al. 2008). 2.2 Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Lele (Clarias sp.) Lele memiliki bentuk memanjang agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mulut besar warna kelabu sampai hitam. Di sekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan dalam, masing-masing terdapat kumis. Hanya kumis bagian mandibula yang dapat digerakan untuk meraba makanannya. Kulit ikan lele berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada punggung dan bagian samping. Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri yang keras dan runcing yang disebut patil (Suyanto 2007). Ikan lele merupakan komoditas yang dapat dipelihara dengan padat tebar tinggi dalam lahan terbatas (hemat lahan) di kawasan marginal dan hemat air (Mahyudin 2008). Adapun sistematika dan klasifikasi ikan lele menurut Saanin (1984) adalah sebagai berikut: Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Subkelas
: Telestoi
7
Ordo
: Ostariophysi
Subordo
: Siluroidea
Famili
: Clariidae
Genus
: Clarias
Spesies
: Clarias sp.
Gambar 1 Ikan lele (Dokumentasi pribadi). Ikan lele termasuk jenis ikan karnivora dan menyukai makanan yang busuk maka digolongkan juga sebagai scavenger. Ikan lele bersifat nocturnal karena aktif mencari mangsa pada malam hari atau lebih menyukai tempat gelap. Pada siang hari ikan lele lebih suka diam dalam lubang-lubang atau tempat-tempat yang terlindungi (Suyanto 2007). Ikan lele banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut abrorescent, sehingga mampu hidup dalam air yang kandungan oksigennya rendah. 2.3 Komposisi Kimia Ikan Lele Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa ikan lele termasuk ke dalam bahan pangan berprotein sedang-lemak rendah. Ikan digolongkan sebagai ikan dengan lemak rendah dan protein sedang apabila memiliki kadar lemak <5% dan protein 15-20% (Stansby 1963). Komposisi kimia ikan lele dumbo disajikan pada Tabel 3
8
Tabel 3 Komposisi kimia ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) Jumlah (%) Komponen a Air Abu Lemak Protein Karbohidrat (by different)
79,73 1,47 0,95 17,71 0,14
b 76,71 1,23 1,15 19,68 1,23
Sumber : a Nurilmala et al. (2009) b Osibona et al. (2006)
2.4 Tepung Ikan Tepung ikan merupakan komoditas olahan hasil perikanan yang diperoleh dari suatu proses reduksi komoditas bahan mentah menjadi suatu produk yang sebagian besar terdiri dari komponen ikan. Tinggi rendahnya kandungan protein pada tepung ikan dipengaruhi oleh cara pengolahan dan bahan mentah yang digunakan. Proses pengolahan tepung ikan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pengolahan sistem basah yang digunakan untuk memproduksi tepung ikan dari bahan mentah ikan yang berlemak tinggi (>5%) dan pengolahan sistem kering yang sering digunakan untuk memproduki tepung ikan dari bahan mentah ikan yang berlemak rendah (<5%) (Irianto 2002). Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air dari daging ikan. Kadar air dalam daging ikan sangat berpengaruh terhadap proses pembusukan. Tahapan pengolahan tepung ikan terdiri atas pencincangan, pemasakan, pengepresan, pengeringan, dan penggilingan. Tepung ikan yang baru selesai diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan. Warna tepung ikan akan berubah menjadi cokelat kekuningan setelah mengalami penyimpanan. Akan tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya. Baunya seperti ikan yang lama-kelamaan menjadi tengik (Moeljanto 1982). Komposisi kimia tepung ikan tidak jauh berbeda dengan yang terdapat dalam ikan sebagai bahan bakunya, yaitu air, protein, mineral, lemak, dan vitamin serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Namun setelah mengalami pengolahan, komposisi kimia dalam tepung ikan menjadi berubah, terutama akibat terjadinya pengurangan kadar minyak, kadar air, dan kerusakan senyawa kimia tertentu
9
akibat proses pemanasan. Komposisi kima tepung ikan juga ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya. 2.5 Ubi Jalar (Ipomea batatas L) Ubi jalar merupakan tanaman pangan yang menduduki peringkat kesembilan di dunia sebagai tanaman pangan penting. Pemanfaatannya terutama sebagai bahan pangan sumber kalori (Sarwono 2007). Selain sebagai sumber karbohidrat, ubi jalar juga mengandung vitamin A, C, dan mineral (Burlingame et al 2009). Ubi jalar yang daging umbinya berwarna ungu banyak mengadung anthocyanin yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, karena berfungsi sebagai antioksidan yang dapat mencegah penyakit kanker. Ubi jalar yang daging umbinya berwarna kuning banyak mengandung beta-karoten yang merupakan sumber vitamin A (Sarwono 2007). Keunggulan ubi jalar sebagai tanaman pangan antara lain sesuai dengan kondisi agroklimat sebagian besar wilayah Indonesia, mempunyai produktivitas yang tinggi sehingga menguntungkan untuk diusahakan. Ubi jalar mengandung zat gizi yang berpengaruh positif pada kesehatan (prebiotik, serat, dan antioksidan), serta potensi penggunaanya cukup luas dan cocok untuk program diversifikasi pangan (Sentra IPTEK 2007). Komposisi gizi ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 4 Tabel 4 Komposisi gizi ubi jalar (100gr) Komposisi Kalori (kal)
Ubi Jalar 113
Protein (g)
2,3
Serat (g)
0,3
Kalsium (mg)
46
Besi (mg)
1
Vitamin A (SI)
7,1
Vitamin B (mg)
0,13
Vitamin C (mg)
2
Air (g) Sumber : Sarwono (2007)
70
10
Produktivitas ubi jalar di Indonesia cukup tinggi sehingga banyak dimanfaatkan menjadi berbagai produk pangan. Produk pangan olahan ubi jalar diantaranya gaplek ubi jalar, tepung ubi jalar, keripik ubi jalar, kue ubi jalar, serta manisan kering. Kini selain produk olahan tersebut, melalui riset Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok, ubi jalar dapat diolah menjadi sereal yang berkualitas yaitu Sweet Potato Flakes. 2.6 Kedelai (Glicine max) Tepung kedelai merupakan bahan baku kedua terbanyak dalam pembuatan Flakes. Jika dibuat dengan cara yang kurang baik, tepung kedelai diduga masih mengandung senyawa antigizi dan senyawa off-flavor. Senyawa tersebut berasal dari bahan baku kedelai itu sendiri. Senyawa-senyawa antigizi itu antara lain antitripsin, hemaglutinin, asam fitat, dan oligosakarida penyebab flatuensi (timbulnya gas dalam perut sehingga menyebabkan kembung). Senyawa penyebab off-flavor pada kedelai misalnya glukosida, saponin, estrogen, dan senyawasenyawa penyebab alergi (Koswara 2003). Komposisi gizi kedelai dapat dilihat pada Tabel 5 Tabel 5 Komposisi gizi kedelai (g/100gr) Komposisi Kadar air Protein Lemak Serat Karbohidrat Abu
Kedelai 9,82 40,4 18,56 16,5 9,94 4,81
Sumber : Redondo-Cuenca et.al (2006)
Tepung kedelai yang dibuat dari kedelai mentah memiliki sifat yang khas yakni mempunyai bau langu. Langu tersebut merupakan bau dan rasa yang khas dari kedelai dan kacang-kacangan mentah lainnya dan umumnya kurang disukai konsumen. Rasa dan bau langu itu ditimbulkan oleh kerja enzim lipoksigenase yang terdapat dalam biji kedelai. Enzim itu bereaksi dengan lemak pada waktu proses penggilingan kedelai, terutama jika digunakan air dingin. Hasil reaksinya paling sedikit berupa delapan senyawa volatil terutama etil-fenil-keton (Koswara 2003). Kedelai mengandung minyak dan protein yang dibutuhkan oleh
11
tubuh, selain itu kedelai juga mengandung daidzein dan genistein yang berguna bagi kesehatan sebagi antiasstrosklirosis (Couto et al. 2011) 2.7 Tepung Tapioka Tapioka adalah pati yang berasal dari ekstraksi umbi ketela pohon (Manihot utilissma) yang telah dicuci dan dikeringkan. Tapioka hampir seluruhnya berupa pati yang merupakan senyawa yang tidak mempunyai rasa dan bau, sehingga modifikasi cita rasa pada tepung tapioka mudah dilakukan. Tapioka adalah pati yang diperoleh dari ubi kayu segar setelah melalui cara pengolahan tertentu yaitu dibersihkan kemudian dikeringkan (SNI-01-3451-1992). Tapioka dapat diolah menjadi sirup glukosa dan dekstrin yang diperlukan untuk berbagai industri, antara lain industri kembang gula, pengalengan buahbuahan, pengolahan es krim, minuman dan industri peragian. Tapioka juga banyak digunakan sebagai bahan pengental, pewarna putih, bahan pengisi, dan bahan pengikat dalam industri makanan (Sentra IPTEK 2007). Komposisi kimia tapioka dapat dilihat pada Tabel 6 Tabel 6 Komposisi kimia tapioka (g/100gr) Komposisi Kalori (kal)
Tepung Tapioka 146
Air (g)
62,5
Karbohidrat (g)
34
Protein (g)
1,2
Lemak (g)
0,3
Sumber : Radiyati dan Agusto (2000)
Tepung tapioka akan memiliki perlakuan berbeda untuk setiap jenis produk karena sifat yang dimiliki tepung tersebut. Rasio amilosa dan amilopektin dari tapioka yaitu 17% amilosan dan 83% amilopektin, bentuk granula semi bulat dengan salah satu bagian ujungnya mengerucut, ukuran 5-35µm, suhu gelatinisasi berkisar antara 52-64oC, kristalisasi 38%, kekuatan pembengkakan sebesar 42µm, kelarutan 31% (Hoover 2001). 2.8 Flaking Roll Flaking roll merupakan alat yang biasa digunakan dalam industri cereal. Flaking roll terdiri dari dua buah gulungan besi yang berfungsi untuk memipihkan
12
pellet menjadi flakes. Dua buah gulungan besi yang ada dapat diatur jaraknya sehingga dapat menghasilkan ukuran flakes yang sesuai dengan
kebutuhan.
Proses pembuatan flake dilakukan dengan cara memasukkan pellet ke dalam roll yang berputar dalam kecepatan sedang tanpa menggunakan panas. Saat jatuh dari roll, pelet-pelet tersebut berubah menjadi bentuk flake. Flakes tersebut kemudian ditampung dalam loyang. Flakes yang telah ditampung dalam loyang kemudian dipanggang dengan oven selama 15 menit (Sentra IPTEK 2007). 2.9 Proses Pembuatan Flake Bahan yang digunakan dalam formula fish flake berupa tepung ikan lele, tepung ubi, tepung kedelai, tepung tapioka, gula, garam dan air. Pada proses pencampuran gula, garam dan air dicampur terlebih dahulu hingga tercampur sempurna baru kemudian dituangkan sedikit demi sedikit hingga tepung dan air bercampur secara merata. Penambahan tepung ikan lele dalam pembuatan fish flake bertujuan untuk meningkatkan kadar protein dalam flake. Kecukupan energi dan protein menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004) adalah 2000 kkal dan 57 gram protein. Protein terdiri dari asam-asam amino esensial, selain itu protein juga menyuplai energi dalam keadaan energi terbatas dari karbohidrat dan lemak. Protein berfungsi sebagai katalisator, pembawa, penggerak, pengatur ekspresi genetik, penguat struktur, penguat imunitas, dan untuk pertumbuhan. Pada umumnya pangan hewani mempunyai mutu protein yang lebih baik dibandingkan dengan pangan nabati. Di Indonesia kontribusi energi dari protein hewani terhadap total energi relatif rendah yaitu 4% (Hardiansyah dkk. 2001), yang menurut FAO RAPA (1985) sebaiknya sekitar 15% dari total energi. Bahan utama lain yang digunakan adalah tepung ubi. Penggunaan tepung ubi dalam pembuatan fish flake bertujuan sebagai sumber karbohidrat. Menurut Muchtadi (1989) tepung ubi jalar memilik kandungan karbohidrat yang tinggi, mempunyai potensi yang besar mengandung serat makanan dan seyawa oligosakarida. Refinosa, saktiosa dan verbakosa adalah oligosakarida yang terdiri dari unit-unit glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Ketiga jenis oligosakarida tersebut banyak terdapat dalam ubi.
13
Tepung kedelai merupakan bahan utama selanjutnya yang digunakan. Penggunaan tepung kedelai bertujuan untuk memenuhi kebutuhan protein nabati. Matthews (1989) menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang cukup potensial untuk dikembangkan karena kandungan protein dan lemaknya tinggi, yaitu 49% dan 21%. Bahan lainnya yaitu tepung tapioka. Tepung tapioka berfungsi sebagai pengikat dalam formulasi pembuatan fish flake. Radley (1976) menyebutkan bahwa penggunaan tepung tapioka dalam industri makanan dimungkinkan karena daya penahan air yang tinggi serta pengaruhnya yang kecil terhadap cita rasa. Bahan pendukung yang digunakan adalah gula, garam dan air. Gula digunakan untuk memberi cita rasa manis dan tekstur. Jumlah gula yang ditambahkan tidak terlalu banyak karena tepung ubi sendiri memiliki karakteristik rasa manis. Garam berfungsi untuk memperkuat rasa gurih karena digunakan bersama-sama dengan gula. Selain itu garam juga berfungsi sebagai bahan pengeras. Air yang digunakan tidak terlalu banyak karena adonan akan menjadi basah dan lengket, sedangkan bila kurang maka adonan menjadi keras, rapuh, dan sulit untuk dibentuk menjadi flake. Pembuatan fish flake dilakukan dengan mencampurkan tepung ubi, tepung kacang kedelai dan tepung tapioka. Selanjutnya dilakukan pencampuran gula, garam dan air. Setelah itu kedua campuran di mixing sehingga adonan tercampur secara merata. Adonan yang telah tercampur kemudian digiling sehingga menjadi pelet. Pelet-pelet tersebut kemudian dipotong-potong menjadi ukuran yang lebih kecil + 1 cm. Pelet yang sudah dipotong kemudian dipipihkan dengan menggunakan flaking roll kemudian ditampung dalam loyang. Pelet-pelet yang sudah dipipihkan disebut flake. Flake disusun dalam loyang satu persatu sehingga tidak ada yang menempel satu sama lain, Selanjutnya flakes dipanggang menggunakan oven dengan suhu 150 0C selama 15 menit. Proses pemanasan flake dilakukan dengan menggunakan oven jenis tray/rak. Proses pengeringan merupakan tahap akhir dalam proses pembuatan flake. Proses pengeringan di dalam oven menggunakan udara
panas
(proses
pemanggangan).
Proses
pemanggangan
bertujuan
menurunkan kadar air sehingga diperoleh kadar air produk akhir sekitar 1-3%.
14
Kadar air flake lebih dari 3% akan menurunkan kerenyahan produk, sementara kadar air kurang dari 1% menyebabkan produk menjadi rapuh dan mudah hancur. Kedua kondisi ini akan memperpendek umur simpan produk (Burrington 2001). 2.11 Kemasan Pengemasan adalah suatu sistem terpadu untuk menyiapkan, menyimpan, dan mengawetkan produk untuk dikirim kepada konsumen melalui sistem distribusi yang aman dan murah (Jaswin 2008). Pengemasan merupakan salah satu proses dalam industri yang memegang peranan penting dalam upaya mencegah terjadinya penurunan mutu produk, karena perlindungan produk dapat dilakukan dengan mengemas produk yang bersangkutan. Pengemasan dilakukan terhadap produk pangan maupun bukan pangan. Pengemasan harus dilakukan dengan benar karena pengemasan yang salah dapat mengakibatkan produk tidak memenuhi syarat mutu seperti yang diharapkan (Restuccia, et al 2010). Berdasarkan letak atau kedudukan bahan yang dikemas, di dalam sistem
kemasan keseluruhan dapat dibedakan atas kemasan primer, kemasan sekunder, dan kemasan tersier. Kemasan primer langsung mewadahi atau membungkus bahan/produk yang dikemas. Kemasan sekunder berfungsi melindungi kelompok kemasan
primer.
Kemasan
tersier
umumnya
untuk
pelindung
selama
pengangkutan, yang dikenal sebagai kemasan distribusi (Herawati 2008). Kemasan untuk breakfast cereal pada umumnya terdiri dari kemasan primer, yang bersentuhan langsung dengan makanan dan berfungsi sebagai wadah dan pelindung untuk makanan tersebut. Kemasan sekunder berfungsi sebagai sarana promosi dan informasi serta wadah untuk hadiah beserta kemasan primernya. Bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi breakfast cereal adalah jagung, gandum, ekstrak malt, beras, gula buah, dan garam. Bahan-bahan tersebut merupakan bahan-bahan yang bersifat higroskopis (mudah menyerap uap air) sehingga untuk kemasan primer harus digunakan bahan yang mempunyai permeabilitas uap air yang rendah. Cereal mengandung lemak tumbuh-tumbuhan sehingga sebaiknya kemasan primer juga harus mempunyai permeabilitas oksigen yang rendah. Kemasan sekunder biasanya merupakan kotak karton berbahan dupleks dengan ketebalan 160 gsm (gram per square meter) - 230 gsm, tergantung dari besarnya kotak tersebut. Besarnya kotak ditentukan oleh berat isi sereal. Oleh
15
karena itu pada umumnya ukuran kotak cukup besar sehingga tidak ada masalah dalam teknis proses cetaknya. Untuk kemasan dengan ukuran cukup besar seperti ini, para desainer grafis kemasan sangat leluasa untuk menentukan tata letak komponen-komponen desainnya (Sampurno 2008).