2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Hukum Penerimaan Negara Bukan Pajak dari Sumberdaya Alam Menurut Undang-Undang No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak dijelaskan bahwa pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah dalam pelayanan, pengaturan, dan perlindungan masyarakat, pengelolaan kekayaan negara, serta pemanfaatan sumber daya alam dalam rangka pencapaian tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945, dapat mewujudkan suatu bentuk penerimaan negara yang disebut sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak. Selanjutnya dalam UU No. 20 tahun 1997 disebutkan bahwa Penerimaan Nagara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan. Selanjutnya dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (pengganti UU No. 9/1985), disebutkan bahwa setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumberdaya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan
perikanan
Republik
Indonesia
dikenakan
pungutan
perikanan.
Selanjutnya disebutkan bahwa setiap orang asing yang mendapat izin penangkapan ikan di ZEEI dikenakan pungutan perikanan. Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2006 tentang Tarif PNBP yang Berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan diterangkan bahwa Pungutan Perikanan adalah pungutan Negara atas Hak Pengusahaan dan/atau pemanfaatan sumberdaya ikan yang harus dibayar kepada pemerintah oleh perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha perikanan atau oleh perusahaan perikanan asing yang melakukan
usaha penangkapan ikan. Sedangkan Pungutan Pengusahaan
Perikanan (PPP) adalah pungutan Negara yang dikenakan kepada pemegang Izin Usaha Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan usaha perikanan dalam wilayah perikanan Republik Indonesia. Adapun Pungutan Hasil Perikanan (PHP)
10
adalah pungutan Negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang dimiliki. Sedangkan Pungutan Perikanan Asing (PPA) adalah pungutan Negara yang dikenakan kepada perusahaan perikanan asing yang melakukan usaha penangkapan ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang dimiliki. Selanjutnya dalam PP 19 tahun 2006 tersebut, dijelaskan bahwa Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) dikenakan pada saat Wajib Bayar memperoleh Izin Usaha Perikanan (IUP) baru atau perubahan, Alokasi Penangkapan Ikan Penanaman Modal (APIPM) baru atau perubahan, atau Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) baru atau perpanjangan. Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dikenakan pada saat Wajib Bayar
memperoleh
dan/atau
memperpanjang
Surat
Penangkapan
Ikan
(SPI).
Pungutan Perikanan Asing (PPA) dikenakan pada saat Wajib Bayar
memperoleh atau memperpanjang Surat Penangkapan Ikan (SPI).
2.2 Perhitungan nilai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Jumlah nilai PNBP sangat ditentukan oleh jumlah, skala usaha perikanan, jenis alat penangkapan yang digunakan, dimensi dan produktivitas unit penangkapan ikan serta satuan nilai tarif pungutan yang bervariasi berdasarkan jenis pungutan. Dalam PP 19 tahun 2006 lebih lanjut diterangkan bahwa besarnya Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) ditetapkan berdasarkan rumus tarif per Gross Tonnage (GT) dikalikan ukuran GT kapal menurut jenis kapal perikanan yang dipergunakan. Untuk Pungutan Hasil Perikanan (PHP) perusahaan skala besar dirumuskan adalah 2,5% dikalikan dengan produktivitas kapal penangkap dan dikalikan dengan harga patokan ikan. Sedangkan untuk perusahaan skala kecil adalah 1,0% dikalikan dengan produktivitas kapal penangkap dan dikalikan dengan harga patokan ikan. Menteri Kelautan dan Perikanan menetapkan secara periodik produktivitas kapal penangkap ikan menurut alat penangkap ikan yang dipergunakan berdasarkan hasil evaluasi pemanfaatan sumber daya ikan menurut wilayah pengelolaan perikanan. Menteri Perdagangan menetapkan secara berkala harga patokan iIkan berdasarkan harga jual
11
rata-rata tertimbang hasil ikan yang berlaku di pasar domestik dan/atau internasional. Besarnya Pungutan Perikanan Asing (PPA) ditetapkan berdasarkan rumusan tarif per Gross Tonnage (GT) dikalikan ukuran GT kapal menurut jenis kapal perikanan yang dipergunakan. Sedangkan besarnya Pungutan Perikanan Asing (PPA) bagi kapal dalam satu kesatuan armada penangkapan ikan, ditetapkan berdasarkan rumusan tarif per Gross Tonnage (GT) dikalikan total GT kapal penangkap ikan dan kapal pendukung yang dipergunakan. Selanjutnya Pungutan Perikanan
dikenakan terhadap
(a) perusahaan
perikanan Indonesia yang menggunakan kapal penangkap ikan dengan bobot lebih besar dari 30 (tiga puluh) Gross Tonnage (GT) dan beroperasi di luar 12 (dua belas) mil laut dan (b) perusahaan perikanan yang menggunakan tenaga kerja asing yang menggunakan kapal penangkap ikan dan mendapatkan izin untuk beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 50/MEN/2008 tahun 2008 tentang produktivitas kapal penangkap ikan disebutkan bahwa produktivitas kapal merupakan tingkat kemampuan kapal penangkap ikan untuk memperoleh hasil tangkapan ikan per tahun. Selanjutnya produktivitas kapal penangkap ikan ditetapkan dengan mempertimbangkan (a) ukuran tonase kapal, (b) jenis bahan kapal, (c) kekuatan mesin kapal, (d) jenis alat penangkap ikan yang digunakan, (e) jumlah trip operasi penangkapan per tahun, (f) kemampuan tangkap rata-rata per trip dan (g) wilayah penangkapan ikan. Secara rinci rumusan produktivitas kapal penangkap ikan per Gross Tonnage (GT) per tahun ditetapkan berdasarkan perhitungan jumlah hasil tangkapan ikan per kapal dalam satu tahun dibagi besarnya GT kapal yang bersangkutan. Selanjutnya dalam penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2002 tentang Tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Departemen Kelautan dan Perikanan disebutkan pada Pasal 8 Ayat (1) bahwa batas wilayah 12 (dua belas) mil laut yang dimaksud dalam ketentuan ini diukur dari garis pantai ke arah laut lepas
12
dan/atau ke arah perairan kepulauan. Pungutan perikanan bagi kapal berukuran 30 (tiga puluh) GT ke bawah, dan/atau menggunakan mesin berkekuatan 90 (sembilan puluh) Daya Kuda (KD) ke bawah dan beroperasi di wilayah laut kewenangan Provinsi atau kabupaten/kota, diatur oleh Pemerintah Daerah Setempat. Berikut adalah rangkuman rumus perhitungan besar pungutan terhadap usaha penangkapan ikan. Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)
=
Jumlah GT x Tarif per GT
Pungutan Hasil Perikanan (PHP) -
Perusahaan Skala Kecil
=
1% x Produktivitas x Harga Patokan
=
2,5% x Produktivitas x Harga Patokan
Ikan -
Perusahaan Skala Besar Ikan
2.3 Kewenangan Pengelolaan Laut Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah khususnya Pasal 18 ayat (1) disebutkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Selanjutnya ayat (2) disebutkan daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundanganundangan. Adapun pada ayat (4) disebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumberdaya ikan di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk Provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan Provinsi untuk kabupaten/kota. Peraturan Pemerintah Nomor
54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan
khususnya Pasal 13 ayat (1) menyebutkan bahwa Gubernur atau pejabat yang ditunjuk memberikan SIUP, SIPI, dan SIKPI kepada perusahaan perikanan Indonesia yang melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan yang berdomisili di
13
wilayah adminstrasinya. Lebih jauh dikatakan bahwa perizinan tersebut diberikan pada penggunaan kapal perikanan tidak bermotor, kapal perikanan bermotor luar, dan kapal perikanan bermotor dalam (in-board) yang berukuran di atas 10 GT dan tidak lebih 30 GT dan/atau yang mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 90 Daya Kuda (DK), dan berpangkalan di wilayah administrasinya serta tidak menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing.
Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa
Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk diberikan kewenangan yang sama untuk peralatan/kapal sejenis namun berukuran tidak lebih dari
10 GT dan/atau yang
mesinnya berkekuatan tidak lebih dari 30 Daya Kuda (DK),.
2.4 Pengertian kapal dan kapal perikanan Menurut
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap disebutkan pada Pasal 1 ayat 10 bahwa Kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. Selanjutnya Pasal 1 ayat 11 disebutkan bahwa kapal penangkapan ikan adalah kapal yang secara khusus dipergunakan
untuk
menangkap
ikan,
termasuk
menampung,
menyimpan,
mendinginkan, dan/atau mengawetkan. Dan ayat 12 disebutkan bahwa Kapal pengangkut ikan adalah kapal yang secara khusus dipergunakan untuk mengangkut ikan, termasuk memuat, menampung, menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan. Berdasarkan
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.12/MEN/2009 tanggal 19 Mei 2009 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap
a. Pasal 46 ayat (1) Untuk memperoleh SIPI dan/atau SIKPI kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan wajib terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan fisik
14
kapal, alat penangkapan ikan, dan dokumen kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang dilakukan oleh tim yang dibentuk oleh Menteri dan beranggotakan para ahli di bidangnya yang berasal dari lembaga terkait. b. Pasal 46 ayat (3) Pemeriksaan fisik kapal, alat penangkap ikan, dan dokumen kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pemeriksaan alat penangkapan ikan dan alat bantu penangkapan ikan yang menjadi satu kesatuan dengan kapal yang digunakan c. Pasal 47: Menteri dapat mendelegasikan kewenangan untuk melaksanakan pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan dokumen kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan kepada pejabat pada instansi yang bertanggungjawab di bidang perikanan di daerah atau kepada pejabat pada unit pelaksana teknis (UPT) pusat di daerah untuk kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan ukuran tertentu dan yang menggunakan alat penangkapan ikan jenis tertentu Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap pasal 19 ayat (1) Menteri memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal untuk menerbitkan dan/atau memperpanjang SIUP, SIPI dan/atau SIKPI kepada orang atau badan hukum Indonesia yang menggunakan kapal dengan ukuran di atas 30 (tiga puluh) GT. Sangat jelas bahwa besar PNBP sangat ditentukan oleh ukuran kapal yang diperoleh dari hasil pengukuran langsung. Saat ini, informasi tentang ukuran kapal tersebut dapat diperoleh dari surat ukur kapal dan Gross Akte yang diterbitkan oleh otoritas kemaritiman dalam hal ini Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang merupakan salah satu persyaratan dalam proses perijinan, pembuatan kapal, dan atau pembelian kapal dari luar negeri. Untuk lebih meyakinkan data dan informasi dari dokumen kapal tersebut, mengingat ukuran GT kapal sangat berpengaruh terhadap nilai PNBP dan sebagai upaya pelestarian sumberdaya ikan perlu dilakukan pengukuran kembali secara langsung di lapangan terhadap fisik kapal. Pengukuran langsung ini dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh Tim Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Berikut adalah tinjauan singkat tentang pengertian kapal dan
15
kapal perikanan yang dijelaskan dalam peraturan perundangan-undangan yang dibuat oleh Menteri Perhubungan dan Menteri Kelautan dan Perikanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.6 Tahun
2005
tentang Pengukuran Kapal disebutkan bahwa kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. Selanjutnya Tonase kapal adalah volume kapal yang dinyatakan dalam tonase kotor/gross tonnage (GT) dan tonase bersih/net tonnage (NT). Pada peraturan yang sama disebutkan bahwa Daftar ukur adalah daftar yang memuat perhitungan tonase kapal. Adapun Surat ukur adalah surat kapal yang memuat ukuran dan tonase kapal berdasarkan hasil pengukuran. Sedangkan Kode pengukuran adalah rangkaian huruf yang disusun dan ditetapkan bagi masing-masing pelabuhan yang diberi wewenang untuk menerbitkan Surat Ukur. Panjang kapal adalah panjang yang diukur pada 96% dari panjang garis air dengan sarat 85% dari ukuran Dalam Terbesar yang terendah diukur dari sebelah atas lunas, atau panjang garis air tersebut diukur dari tinggi haluan sampai ke sumbu poros kemudi, apabila panjang ini lebih besar. Tengah kapal adalah titik tengah dari panjang kapal diukur dari sisi depan tinggi haluan. Lebar kapal adalah lebar terbesar (maksimum) dari kapal, diukur pada bagian tengah kapal hingga ke sisi luar gading-gading (Moulded Line) bagi kapal-kapal yang kulitnya terbuat dari logam atau hingga ke permukaan terluar badan kapal bagi kapal-kapal yang kulitnya terbuat dari bahan-bahan selain logam. Dalam terbesar adalah jarak tegak lurus yang diukur dari sisi atas lunas ke sisi bawah geladak atas pada bagian samping. Pengukuran tersebut dirinci (1) pada kapal-kapal kayu dan kapal-kapal komposit, jarak tersebut diukur dari sisi bawah alur lunas. Bila bagian bawah dari seksi tengah kapal berbentuk cekung, atau bila dipasang jalur-jalur pengapit lunas tebal, maka jarak tersebut diukur dari titik dimana moulded line garis daratan dasar yang tembus ke dalam memotong sisi lunas; (2) pada kapal-kapal yang tajuknya berbentuk cembung, ukuran Dalam Terbesar diukur hingga ke titik perpotongan antara garis-garis dari geladak dengan sisi plat kulit, dan
16
garis-garis ini membentang sehingga seolah-olah tajuk tersebut berbentuk sudut; dan (3) bila geladak teratas meninggi dan bagian yang meninggi itu membentang melalui titik dimana ukuran dalam terbesar itu harus ditentukan, maka ukuran Dalam Terbesar di ukur hingga ke garis penghubung yang sejajar dengan bagian yang meninggi. Selanjutnya dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan No. KM 6 tahun 2005 disebutkan bahwa
setiap kapal yang digunakan untuk berlayar
harus diukur untuk menentukan ukuran panjang, lebar, dalam, dan tonase kapal sesuai dengan metode pengukuran yang berlaku. Pengukuran sebagaimana tersebut di atas dilaksanakan oleh Ahli Ukur Kapal yang telah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan pengukuran kapal dan menjalani praktek pengukuran selama 1 (satu) tahun. Ilustrasi cara pengukuran setiap dimensi di atas disajikan dalam Gambar 4 dan 5 berikut.
Gambar 4. Pengukuran Panjang dan Dalam Kapal
17
Gambar 5. Pengukuran Lebar Kapal Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor 5299/DPT-2/PL.340.D2/XII/09 tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan dan/atau kapal pengangkut ikan, disebutkan bahwa pemeriksaan fisik kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan dan/atau kapal pengangkut ikan adalah pemeriksaan terhadap dimensi kapal, merek dan nomor mesin kapal, jumlah dan volume palka, serta jenis dan ukuran alat penangkapan ikan. Selanjutnya disebutkan ruang lingkup pemeriksaan adalah (1) kapal penangkap ikan, alat penangkapan ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia, dan (2) kapal pengangkut ikan berbendera asing yang disewa. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM.6/2005 tentang Pengukuran Kapal disebutkan terdapat dua jenis pengukuran yaitu (1) pengukuran dalam negeri, untuk kapal panjang < 24 m dan (2) pengukuran international, untuk kapal dengan panjang > 24 m dan panjang < 24 m atas permintaan pemilik. Metode pengukuran dalam negeri untuk Gross Tonnage (GT) dengan menggunakan rumus :
18
Metode Pengukuran Dalam Negeri : Tonase Kotor (Gross Tonnage/GT), dihitung menggunakan rumus : 1. GT = 0,25 x V Dimana V = Σ Volume = Volume ruangan di bawah geladak (V1) Ditambah Volume ruangan di atas geladak atas (V2) yang tertutup sempurna berukuran ≤ 1 m3. V = V1 + V2 2. Vol ruangan dibawah geladak atas, dihitung mengunakan rumus : V1 = p x l x d x f Dimana f = 0,85 untuk kapal dengan bentuk dasar rata (tongkang) 0,70 untuk kapal dengan bentuk dasar agak miring dari tengah kesisi kapal (KM) 0,50 untuk kapal layar atau kapal layar motor. Volume ruangan tertutup di atas geladak utama V2 = l x b x d Dimana l = panjang ruangan b = lebar rata-rata d = tinggi rata-rata 3. NT (Net Tonnage), dihitung menggunakan : NT = 30% x GT Berikut adalah cara menghitung volume ruangan di bawah dan di atas seluruh kapal (V1 dan V2)
V2 V2
V2
V2 V1
Volume ruangan di bawah geladak atas, dihitung dengan menggunakan rumus : 0,50 untuk KLM/PLM
V 1 = p x l x d x f *)
f =
0,70 Untuk KM 0,85 untuk Tongkol.
19
Metode Pengukuran Internasional TMS. 1969 (untuk Kapal dengan L ≥ 24 m) GT = K1 x V --- > V = Σ Vol semua ruangan-ruangan tertutup, ttd Ruang dibawah Gel ukur (under deck), maupun Ruang-ruang Bangunan Atas Gel (Deck Houses). K1 = 0,2 + 0,02 log 10 V
(4𝑑)2 (𝑁1 + 𝑁2 ) 𝑁𝑇 = 𝐾2 . 𝑉𝑐 + 𝐾3 3𝐷 10
CATATAN : Vc = Σ volume ruang-ruang muatan K2 = 0,2 + 0,02 log 10 Vc (atau dihitung menurut tabel sebagaimana dimaksud dalam aturan 19) K3 = 1,25 x GT + 10.000 10.000 D = Ukuran Dalam Terbesar dibagian tengah kapal, yang dinyatakan dalam meter. D = Sarat kapal terbesar dibagian tengah kapal, yang dinyatakan dalam meter. N1 = Σ penumpang di dalam kamar yang berisi tidak lebih dari 8 tempat tidur. N2 = Σ penumpang-penumpang lainnya N1+N2 = Σ penumpang yang dibolehkan bagi kapal, sebagimana tercantum dalam sertifikat penumpang : Jika N1 + N2 kurang dari 13, maka N1 dan N2 dihitung sama dengan 0 (nol). Dengan ketentuan : a. Dalam hak nilai faktor
(4𝑑)2 3𝐷
lebih besar dari 1 (satu), dipergunakan nilai
Dipergunakan nilai faktor sama dengan 1; b. Dalam hak nilai faktor K2.Vc. Faktor sama dengan 0,25 GT;
(4𝑑)2 3𝐷
kurang dari 0,25 GT, dipergunakan nilai
c. NT tidak boleh kurang dari 30% GT.
20
2.5 Pengertian Sistem
Menurut Vincent (1996) pada dasarnya sistem dapat didefinisikan sebagai sekumpulan elemen – elemen yang saling berhubungan melalui berbagai bentuk interaksi dan bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang berguna. Berdasarkan pengertian umum dari sistem, maka kita dapat merumuskan ciri – ciri
atau
karateristik sistem, sebagai berikut (1) terdiri dari elemen – elemen yang membentuk satu kesatuan sistem, (2) adanya tujuan dan kesalingtergantungan, (3) adanya interaksi antar elemen, (4) mengandung mekanisme, kadang – kadang disebut juga sebagai transformasi dan (5) adanya lingkungan yang mengakibatkan dinamika sistem. Berdasarkan karateristik
sistem yang dikemukakan, maka kita boleh
menyatakan bahwa keberadaan suatu sistem harus dilandasi prinsip – prinsi adanya elemen – elemen, adanya kesatuan, adanya hubungan fungsional, adanya tujuan yang berguna, serta memiliki lingkungan. Menurut Haluan (2001), pendekatan sistem adalah suatu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan melakukan identifikasi terhadap sejumlah kebutuhan – kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap ekfektif. Karateristik pendekatan sistem adalah 1) komplek karena interaksi antar elemen cukup rumit, 2) dinamis, ada perubahan faktor menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan dan 3) probalistik, diperlukan fungsi peluang dan inferensi kesimpulan maupun rekomendasi. Sistem didefinisikan sebagai seperangkat elemen atau sekumpulan entity yang saling berkaitan, yang dirancang dan diorganisir untuk mencapai satu atau beberapa tujuan (Manetsch dan Park, 1976 dalam Haluan 2001). Sistem dapat merupakan suatu proses yang sangat rumit yang ditandai oleh sejumlah lintasan sebab akibat, menurut Eriyatno (1998) dalam Haluan (2001), sistem adalah totalitas himpunan hubungan yang mempunyai struktur dalam nilai posisional serta matra dimesional terutama dimensi ruang dan waktu. Pada dasarnya ada dua sifat dari sistem , yaitu berkaitan dengan aspek prilaku dan aspek struktur, sehingga permasalahan yang berkaitan
21
dengan sistem akan menyangkut pada prilaku sistem dan struktur sistem. Berkaitan dengan susunan dari rangkaian diantara elemen – elemen sistem. Jika klasifikasi masalah sistem secara garis besarnya ada tiga, yaitu (1) untuk sistem yang belum ada, strukturnya dirancang untuk merealisasikan rancangan yang memiliki perilaku sesuai dengan yang diharapkan (persoalan sintesis sistem), (2) untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan atau hanya sebagai suatu rancangan) dan strukturnya diketahui, maka perilaku ditentukan pada basis dari struktur yang diketahui itu (persoalan analisis sistem) dan (3) untuk sistem yang sudah ada (dalam kenyataan) tetapi tidak mengenalnya serta strukturnya tidak dapat ditentukan secara langsung, maka permasalahannya adalah mengetahui perilaku dari sistem itu serta strukturnya (persoalan black box/ kotak hitam), (Gaspersz, 1992 dalam Haluan 2001). Menurut Eriyatno (1998) dalam Haluan (2001), dalam transformasi input menjadi output, perlu dibedakan antara elemen (entity) dari suatu sistem dengan sub sistem dari sistem itu sendiri. Sub sistem dikelompokkan dari bagian sistem yang masih berhubungan satu dengan lainnya pada tingkat resolusi yang tertinggi, sedangkan elemen dari sistem adalah pemisahan bagian sistem pada tingkat resolusi yang rendah. Masing – masing sub sistem saling interaksi untuk mencapai tujuan sistem.interaksi antara sub sistem (disebut juga interface block) terjadi karena output dari suatu sistem dapat menjadi input dari sistem lain. Jika interface antar sub sistem terganggu maka proses transformasi pada sistem secara keseluruhan akan terganggu juga sehingga akan menghasilkan bias pada tujuan yang hendak dicapai. Proses transformasi yang dilakukan oleh suatu elemen dalam sistem berupa fungsi matematik, operasi logis, dan proses operasi yang dalam ilmu sistem dikenal dengan konsep kotak gelap (black box). Kotak gelap adalah sebuah sistem dari rincian tidak berhingga mencangkup struktur – struktur terkecil paling mikro. Dengan demikian karakter kotak gelap adalah behavioristic ( tinjauan sikap). Kotak gelap digunakan untuk mengobservasikan apa yang terjadi, bukan mengetahui tentang bagaimana trasformasi terjadi. Untuk mengetahui transformasi yang terjadi dalam kotak gelap dapat dilakukan dengan melalui tiga cara yaitu (1) spesifikasi; (2) analog;
22
kesepadanan dan modifikasi; dan (3) observasi dan percobaan ( Eriyatno. 1998 dalam Haluan 2001). Eriyatno (1998) dalam Haluan (2001) menyimpulkan ada tiga pola fikir dasar yang selalu menjadi pegangan pokok pada ahli sistem dalam merancang bangun solusi permasalahan, yaitu (1) sibernik (cycbernetic) artinya berorientasi pada tujuan (2) holistik (holistic), yaitu cara pandang yang utuh terhadap keutuhan sistem dan (3) efektif (effectiveness), yaitu prinsip yang lebih mementingkan hasil guna yang operasional serta dapat dilaksanakan dari pada pendalaman teoritis untuk mencapai efisiensi keputusan. Pendekatan sistem dalam pengambilan keputusan sering dikenal dengan istilah Sistem Penunjang Keputusan atau Decision Support System (DSS). DSS dimaksudkan untuk memaparkan secara mendetail elemen – elemen sistem sehingga dapat menunjang manajer dalam proses pengambilan keputusannya (Eriyatno. 1998 dalam Haluan 2001). Karakteriristik pokok yang melandasi DSS adalah (1) interaksi langsung antara komputer dengan pengambil keputusan; (2) dukungan menyeluruh (holistic) dari keputusan bertahap ganda; (3) suatu sintesa dari konsep yang diambil dari berbagai bidang, antara lain ilmu komputer, psikologi, interlegensia buatan (Artificial Inteligence-AI), ilmu sistem, dan ilmu manajemen; (4) mempunyai kemampuan adaptif terhadap perubahan kondisi dan kemampuan berevolusi menuju sistem yang lebih bermanfaat. Upaya pengelolaan terdapat sumberdaya perikanan haruslah dilakukan secara terpadu dan berkelanjutan. Sistem perikanan mencakup tiga sub sistem utama yaitu (1) sumberdaya ikan dan lingkungannya, (2) sumberdaya manusia beserta kegiatannya, dan (3) manajemen perikanan. Sumberdaya ikan dan lingkungannya meliputi tiga komponen utama yaitu ikan, ekosistem dan lingkungan biofisik. Sumberdaya manusia terdiri dari empat komponen utama yaitu nelayan dengan kegiatan memproduksi ikan, kegiatan pasca panen, distribusi, pemasaran dan konsumen, rumahtangga nelayan dan masyarakat perikanan, serta kondisi sosial, ekonomi dan budaya. Subsistem manajemen perikanan meliputi tiga komponen utama yaitu perencanaan dan kebijakan perikanan, pengelolaan perikanan, 23
pengembangan dan penelitian. Sistem perikanan bersifat dinamis, komponen – komponennya mengalami perubahan sepanjang waktu (Charles, 2001). Perhatian penting dalam hal keberlanjutan (sustainability) perikanan, tidak terbatas hanya pada penentuan jumlah tangkapan dan ketersediaan stok ikan, melainkan mencakup keseluruhan aspek perikanan. Keseluruhan aspek perikanan tersebut mulai dari ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, sampai kepada ekologi terkait dengan keberlanjutan penangkapan dan perlindungan terdapat sumberdaya. Keberlanjutan secara sosial ekonomi, terkait dengan manfaat makro pelaku pemanfaatan sumberdaya. Keberlanjutan masyarakat menekankan pada perlindungan atau pengembangan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat yang ada. Keberlanjutan kelembagaan yang tepat dan kemampuan kelembagaan dalam jangka panjang (Charles, 2001). 2.6. Manfaat Pungutan Perikanan untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, khususnya pasal 8 disebutkan bahwa sebagian dana dari suatu jenis PNBP dapat digunakan untuk kegiatan tertentu yang berkaitan dengan jenis PNBP tersebut oleh instansi yang bersangkutan. Kegiatan tertentu tersebut adalah (a) penelitian dan pengembangan teknologi, (b) pelayanan kesehatan, (c) pendidikan dan pelatihan, (d) penegakan hukum, (e) pelayanan yang melibatkan kemampuan intelektual tertentu, dan (f) pelestarian sumberdaya alam. Selanjutnya dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 lebih lanjut dijelaskan bahwa dana dari pengalokasian tersebut hanya dapat digunakan oleh instansi atau unit yang menghasilkan PNBP yang bersangkutan. Secara lebih rinci manfaat pungutan perikanan untuk pengelolaan perikanan tangkap
diatur
lebih
lanjut
dalam
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.
74/KMK.02/2008 tentang Persetujuan Penggunaan Sebagian dana PNBP yang berasal dari Pungutan Perikanan Bagian Pemerintah Pusat pada Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan disebutkan bahwa (1) menyetujui penggunaan sebagian dana PNBP yang berasal dari pungutan perikanan 24
sebesar 58,20% dari bagian pemerintah pusat, (2) penggunaan dana tersebut digunakan untuk membiayai kegiatan (a) pengembangan dan pembaharuan sistem perijinan, (b) peralatan sarana dan alat bantu penangkapan ikan, (c) observasi di kapal penangkapan ikan/observer on board, (d) peralatan operasional pelabuhan perikanan, (e) peralatan pengembangan teknologi penangkapan, (f) kajian pengembangan dan optimalisasi sumberdaya ikan, dan (g) pendidikan dan pelatihan penangkapan ikan.
25