12
2
TINJAUAN PUSTAKA
Secara umum, indikator kinerja kunci harus menggambarkan keadaan sistem dan hasilnya berhubungan dengan sasaran dan tujuan masyarakat, perikanan berkelanjutan, ekosistem pendukung dan membangun keuntungan bersih bagi nelayan dan masyarakat untuk indikator kinerja kunci perikanan Indonesia. Namun sampai saat ini belum ada dokumen dari DKP tentang IKK perikanan di Indonesia maupun dari hasil penelitian yang telah dipublikasikan. Dari segi ekonomi, tuna adalah spesies yang ekonomis penting karena mempunyai harga jual yang tinggi; karenanya produk perikanan tuna berkembang dengan pesat di Indonesia selang tahun 1999 hingga 2007. Untuk itu diperlukan suatu indikator kinerja kunci (IKK) perikanan tuna agar dapat menjadi acuan dalam pembangunan perikanan tuna berkelanjutan. 2.1
Indikator Kinerja Kunci (IKK) Kinerja (performance) adalah gambaran mengenai tingkat pencapaian
pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning suatu organisasi (Mahsun 2006). Pengukuran kinerja (performance measurement) adalah suatu metode atau alat yang digunakan untuk mencatat dan menilai pencapaian pelaksanaan kinerja berdasarkan tujuan, sasaran, dan strategi sehingga dapat diketahui kemajuan organisasi serta meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas. Elemen pokok suatu pengukuran kinerja antara lain: 1) tujuan, sasaran dan strategi organisasi, 2) indikator dan ukuran kinerja, 3) tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi dan evaluasi kinerja. KPI (singkatan bahasa Inggris: key performance indicators), atau indikator kinerja kunci (IKK) dalam bahasa Indonesia, adalah metrik finansial ataupun nonfinansial yang digunakan untuk membantu suatu organisasi menentukan dan mengukur kemajuan terhadap sasaran organisasi. IKK digunakan dalam intelijen bisnis untuk menilai keadaan terkini suatu bisnis dan menentukan suatu tindakan terhadap keadaan tersebut. IKK sering digunakan untuk menilai aktivitas-aktivitas yang sulit diukur seperti keuntungan pengembangan kepemimpinan, perjanjian,
13
layanan, dan kepuasan. IKK umumnya dikaitkan dengan strategi organisasi yang contohnya diterapkan oleh teknik-teknik seperti kartu skor berimbang (BSC, balanced scorecard) (Reh 2007). Balance scorecard (BSC) didefinisikan sebagai satu alat manajemen kinerja (performance management tool) yang dapat membantu organisasi untuk menerjemahkan visi dan strategi ke dalam aksi dengan memanfaatkan sekumpulan indikator finansial dan non finansial yang kesemuanya terjalin dalam suatu hubungan sebab akibat (Luis dan Biromo, 2008). Dari definisi ini jelas bahwa BSC sangat berperan sebagai penerjemah atau pengubah (converter) visi dan strategi organisasi menjadi aksi. Dengan demikian bila satu organisasi telah menganalisis misinya, mengidentifikasi semua stakeholder-nya, dan menentukan sasarannya, maka dibutuhkan cara untuk mengukur kemajuan terhadap sasaran tersebut melalui indikator kinerja kunci. Indikator kinerja kunci adalah ukuran yang dapat dikuantifikasi, dan disepakati bersama sebelumnya serta menggambarkan faktor keberhasilan kritis satu organisasi. Bisnis mempunyai satu indikator kinerja kunci yaitu dengan persentase pendapatan yang berasal dari pembayaran. Perikanan tangkap memfokuskan indikator kinerja kunci pada laju tangkap sumberdaya yang menjadi tujuan penangkapan. Apapun indikator kinerja kunci yang dipilih, haruslah menggambarkan sasaran organisasi atau usaha dan harus menjadi kunci keberhasilan, serta harus dapat diukur. Indikator kinerja kunci biasanya merupakan pertimbangan jangka panjang. Analisis yang dilakukan terhadap dua kasus manajemen kesehatan dan keselamatan dalam satu perusahaan nasional produsen makanan di Amerika Serikat, memperlihatkan bahwa sepuluh indikator kinerja mempunyai hubungan positip yang signifikan (r = 0.985) dengan keseluruhan kinerja perusahaan (Colin 1997). Rendell (2006) menyatakan bahwa indikator kinerja kunci harus dapat menggambarkan sasaran organisasi. Satu organisasi atau usaha selalu mempunyai satu sasaran yaitu : ―menjadikan perusahan paling menguntungkan dalam industri yang ada‖ akan mempunyai IKK yang mengukur profit dan ukuran fiskal yang berhubungan. Profit sebelum pajak dan
Shareholder Equity akan terdapat di
14
dalamnya.
Akan tetapi persen keuntungan yang berkontribusi terhadap
community causes (komunitas) mungkin bukanlah satu indikator kinerja kunci. Dengan kata lain, bila perikanan tangkap tidak berhubungan dengan mendapatkan keuntungan, maka indikator kinerja kunci akan berbeda dengan IKK seperti laju tangkap dan keberhasilan dalam menyerap tenaga kerja.
Meskipun berbeda
secara akurat akan menggambarkan misi dan sasaran perikanan tangkap. Tien-Hsiang et al. (2007), telah mengembangkan suatu Augmented Collaborative Planning, Forecasting and Replenishment (A-CPFR) model yang menggunakan dasar indikator kinerja kunci dalam usaha ritel bahan logistik yang aplikasinya dapat memperkecil tingkat inventori dan mempersingkat waktu respons terhadap fluktuasi permintaan pasar. Reh (2007) menyatakan bahwa indikator kinerja kunci (IKK) harus dapat dikuantifikasi. Selanjutnya disebutkan bahwa bila Indikator Kinerja Kunci akan dijadikan nilai, maka harus ada cara untuk mendefinisikan dan mengukurnya secara akurat. Penting juga untuk mendefinisikan IKK dengan definisi yang tetap dari tahun ke tahun, IKK perlu untuk menetapkan targetnya masing-masing. Sebagai contoh untuk sasaran tenaga kerja, maka IKK harus memasukkan "turnover rate". Setelah ditetapkan, maka diperlukan persetujuan dan batasan kinerja dan selanjutnya target harus ditetapkan seperti "mengurangi turnover sebesar 5% per tahun". Dengan demikian setiap orang akan memahami dan mampu untuk melakukan hal tersebut. Gonzalez (2006), menyatakan bahwa Metrik dan IKK adalah balok bangunan dengan banyak visualisasi dashboard, karena ini adalah alat yang paling efektif dalam memperingatkan pengguna kemana mereka menghubungkan tujuannya. Informasi berikut membentuk balok bangunan dasar untuk rancangan informasi dashboard dan bangunannya sendiri, sehingga penting untuk dipahami benar tiap definisi dan konsep yang dibahas sebelum bergerak ke definisi berikutnya. Perbedaan antara metrik dengan indikator kinerja kunci disebutkan oleh Bauer (2006) sebagai berikut: (1)
Metrics: ketika digunakan term metrik, maka acuannya adalah ukuran numerik yang langsung menyajikan seperangkat data bisnis
15
yang terhubung dengan satu atau lebih dimensi.
Sebagai misal,
"penjualan kotor mingguan". Dalam kasus ini ukuran akan dinyatakan dalam rupiah (penjualan kotor) dan dimensi akan dinyatakan dalam waktu (minggu). Untuk ukuran tertentu, mungkin diinginkan untuk melihat nilai dengan perbedaan hirarki dimensi. Sebagai misal, melihat penjualan kotor menurut hari, minggu, atau bulan akan menunjukkan ukuran rupiah (penjualan kotor) menurut perbedan hirarki (hari, minggu, dan bulan) dengan dimensi waktu. Pembuatan asosiasi ukuran dengan tingkat hirarki spesifik menurut acuan dimensi terhadap keseluruhan bagian metrik. Ukuran yang lebih dari satu dimensi seperti penjualan kotor menurut daerah dan waktu disebut dengan analisis multidimensional. Paling banyak dashboard hanyalah leverage analisis multidimensional dengan cara terbatas dan statis melalui beberapa alat ―slice-and-dice‖ yang lebih dinamis. Ini penting untuk dicatat, karena jika dalam keperluan proses pengumpulan tidak tercakup signifikansi yang dibutuhkan untuk bentuk analisis ini, maka dapat ditambahkan dashboard dengan beberapa bentuk alat analisis multidimensional. (2)
Indikator kinerja kunci (IKK) : adalah metrik sederhana yang terikat pada target. Kebanyakan IKK menunjukkan berapa besar metrik berada di atas atau di bawah target yang telah ditentukan. IKK biasanya ditunjukan melalui rasio antara hasil yang diperoleh dengan target dan dirancang untuk dengan sesaat pengguna bisnis dapat mengetahui rencananya sedang on atau off.
Nelson (2006) menyatakan bahwa dalam IKK terdapat Scorecard, Dashboard, dan Laporan. Selanjutnya disebutkan perbedaan ketiganya sebagai berikut: (1) Scorecard: Awal pada bagian tertinggi, tingkat strategis bisnis dalam pembuatan spektrum keputusan. Scoreboard terutama digunakan untuk membantu menyelaraskan keputusan operasional dengan strategi bisnis. Sasaran scorecard adalah untuk menjaga fokus bisnis
16
pada rencana strategis umum IKK lain dengan
mengukur
kemampuan organisasi dalam melaksanakan tujuan strategis. (2)
Dashboard: dashboard berada satu tingkat di bawah proses pembuatan keputusan bisnis dari satu scoreboard, jadi kurang fokus pada tujuan strategis dan lebih terikat pada sasaran operasional khusus. Sasaran operasional secara langsung berkontribusi pada satu atau lebih tujuan strategis di tingkat yang lebih tinggi. Dengan sebuah dashboard, pelaksanaan sasaran operasional itu sendiri menjadi fokus, bukan menjadi strategi tingkat lebih tinggi. Tujuan dashboard adalah untuk memberikan informasi bisnis yang dapat dikerjakan dalam satu format baik intuitif maupun insightful. Data utama operasional adalah leverage IKK.
(3)
Laporan: Laporan dapat sangat sederhana dan statis, seperti daftar transaksi penjualan selama periode waktu tertentu hingga ke bentuk laporan yang sangat rumit dengan pengelompokan saran, ringkasan bergulir dan jaringan yang dinamis.
Laporan terbaik digunakan
ketika pemakai butuh untuk melihat data mentah dan formatnya mudah dibaca. Ketika dikombinasikan dengan scoreboard dan dashboard, maka laporan dapat menawarkan beragam cara untuk diikuti pengguna dalam menganalisis data secara spesifik menurut metrik dan indikator kinerja kunci. Pengaturan IKK berdasarkan visi/misi/strategi/tujuan organisasi adalah kunci untuk merealisasikan dampak bottom-line. Pemaparannya adalah untuk mengembangkan IKK dengan memberikan pandangan bisnis secara holistik dan berimbang. Menghadapi ratusan calon ukuran, bagaimana harus memilih satu yang paling bermakna. Pendekatannya adalah dengan memikirkan elemen IKK bukan sebagai ukuran tunggal, tetapi sebagai ukuran keseimbangan yang dapat merangkum beberapa dimensi alternatif. Dimensi ini terdiri dari pandangan bisnis (pelanggan, finansial, proses dan perkembangan), ukuran keluarga (cost, produktivitas, kualitas) dan ukuran kategori (langsung, tambahan, gabungan). Dengan menggabungkan berbagai dimensi ini, maka dapatlah dibentuk kerangka
17
kerja untuk membangun IKK yang dengan ringkas dapat merangkum penggerak bisnis paling kritis (Bauer 2006). 2.1.1
Tujuan IKK IKK berkaitan dengan tujuan yang paling penting atau yang paling
diperhatikan Hal-hal penting dalam pendefinisian IKK (Rendell 2006) adalah sebagai berikut: (1)
Tujuan
organisasional:
Penting
untuk
menetapkan
IKK
berdasarkan sasaran bisnis dalam industri. Contoh untuk hal ini, perusahaan
yang
sasarannya
adalah
"menjadi
paling
menguntungkan" akan mempunyai IKK berbeda dengan perusahaan yang sasarannya adalah "untuk meningkatkan konsumen sebesar lima puluh persen". Perusahaan pertama akan mempunyai IKK yang berhubungan dengan finansial, keuntungan dan kerugian, sedang perusahaan kedua akan fokus pada kepuasan konsumen dan respons waktu. (2)
Tujuan pengukuran: Penting untuk menganalisis IKK setiap waktu, menurut perubahan peningkatan yang dicapai - selanjutnya secara periodik kinerja dievaluasi ulang untuk memverifikasi kemajuan. Untuk hal ini, maka IKK harus dapat diukur. Sasaran "increase customer retention" kurang bermanfaat, karena terdapat sasaran yang tidak dapat dikuantifikasi, tetapi seperti yang disebut sebelumnya
"to increase customer retention fifty percent"
mempunyai kuantitas yang dapat ditelusuri. (3)
Keberlangsungan sasaran: IKK adalah peninjauan jangka panjang yang dirancang untuk membantu penetapan strategi jangka panjang. Karena kepentingannya dalam penetapan sasaran yang akan dicapai, maka ini harus ditingkatkan hingga tercapai keberhasilan secara menyeluruh. Secara sederhana, karena sesuatu yang dapat diukur bukan berarti bahwa ini cukup signifikan untuk dijadikan indikator kinerja kunci. Perusahaan atau industri harus dapat mendefinisikan IKK-nya dan ukurannya tetap dari tahun ke tahun. Bukan berarti
18
bahwa IKK tidak dapat diubah, tetapi unit yang digunakan haruslah sama untuk mengukur sasaran tersebut. (4)
Konsensus manajerial : Penting untuk semua pengelola yang ada dalam perusahaan mempunyai lembaran yang sama, karena individu dari fungsi yang berbeda dalam perusahaan akan membantu dalam penyusunan IKK. Jika IKK benar-benar telah menggambarkan sasaran organisasi maka semua tingkatan dalam perusahaan akan berusaha untuk mencapai program, bila setiap orang yang terlibat di dalamnya mengetahui apa itu IKK.
Dalam indikator kinerja kunci diperlukan alat manajemen yang menjaga keseimbangan antara indikator finansial dan non finansial; indikator kinerja masa lampau, masa kini dan masa depan; indikator internal dan eksternal; dan indikator yang bersifat leading (cause/drivers) dan
lagging (effect/outcome) (Luis and
Biromo 2008).
2.1.2 Dimensi IKK Dimensi IKK diuraikan oleh Bauer (2006) secara skematis disajikan pada Gambar 4 berikut:
Gambar 4 Skema dimensi IKK (diadopsi dari Bauer 2006) Pada Gambar 4, terdapat 3 IKK, yaitu dimensi perspektif, dimensi kategori dan dimensi fokus. Dimensi perspektif terdiri dari financial (net income, ROI, ROA, cash flow), customer (customer retention, profitability, satisfaction and loyalty), internal business processes (project management, total quality
19
management, Six Sigma) dan learning and growth (staff morale, training, knowledge sharing); dimensi family terdiri dari produktivitas (rasio penjualan terhadap asset, revenue rupiah dari pembeli baru, alur penjualan), kualitas (komplain pembeli, percent returns, DPMO - defects per million opportunities), profitability (kontribusi profit melalui segmen/pembeli, margin spreads), timeliness (persen tepat waktu, percent keterlambatan), process efficiency (persen hasil, process uptime, pemanfaatan kapasitas), siklus waktu (waktu pemrosesan, waktu untuk melayani pelanggan), pemanfaatan sumberdaya (penjualan per total assets, penjualan per channel, wind rate), cost savings (cost per unit, inventory turns, cost of goods), growth (market share, customer acquisition/retention, account penetration), innovation (new patents, new product rollouts, R&D spend), dan technology (IT capital spending, CRM technologies implemented, Web-enabled access). Dimensi IKK kategori
terdiri dari hitungan langsung,
persen, rasio sederhana, indeks, rata-rata komposit dan statistik; dan dimensi fokus terdiri dari time horizon - jangka pendek vs. jangka panjang, planning strategi vs. taktik, indicator - pemimpin vs. pengikut, type - kualitatif vs. kuantitatif, view - internal vs. external, level - proses vs. hasil, purpose perencanaan vs. pengawasan. 2.1.3 Langkah-Langkah Pemilihan IKK Langkah-langkah dalam proses pemilihan IKK disebutkan oleh McNeeney and Meridium (2004) adalah sebagai berikut : (1)
Langkah
1.
Mempertimbangkan
kebutuhan
stakeholder.
Langkah ini menguji kebutuhan dan ekspektasi berbagai kelompok stakeholder,
satu
aktivitas
penting
untuk
setiap
program
pengembangan pembangunan berkelanjutan. Ini memberikan satu titik awal untuk mengidentifikasi pentingnya isu pembangunan berkelanjutan (sering disebut aspek) dan sasaran secara keseluruhan. Pada tingkatan ini berguna untuk membangun satu baseline assessment kinerja terbaru untuk setiap sasaran yang berkaitan dengan
pembangunan
sebelumnya.
berkelanjutan
yang
telah
ditetapkan
20
(2)
Langkah 2. Identifikasi aspek-aspek penting. Langkah ini tertuju pada pertanyaan ―Apakah aspek perusahaan kami paling penting dalam menetapkan komitmen keberlanjutan?‖ Ini memunculkan pengidentifikasian isu atau aspek yang berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan dan pemilihan tersebut adalah paling signifikan dipandang dari ekspektasi stakeholder, memunculkan isu, trend industri, dan sasaran strategis perusahaan.
(3)
Langkah 3.
Menetapkan sasaran perusahaan dan IKK.
Langkah ini memberikan pemilihan aspek dengan prioritas tertinggi dari hasil yang diidentifikasi pada langkah 2, dan menetapkan sasaran luas dan IKK untuk peningkatan kinerja. Penetapan sasaran adalah bagian penting unit perusahaan dan bisnis dalam proses perencanaan trategis. (4)
Langkah 4. Pilih indikator kinerja dan metrics.
Langkah ini
mengambil sasaran dan IKK perusahaan dari langkah 3 dan menentukan
bagaimana
diimplementasikan
sepanjang
operasi
perusahaan. Pemilihan mencakup indikator kinerja dan ukuran operasional. (5)
Langkah
5.
Menetapkan
target
dan
alur
kinerja.
Ini
sesungguhnya dimulai sambil jalan proses pengembangan secara kontinu. Pemimpin secara periodik menetapkan target tertentu dan dapat
diukur
sebagai
batu
loncatan
untuk
pengembangan
pembangunan berkelanjutan. Selanjutnya kinerjanya dimonitor apakah masih sesuai dengan target, dan memperbaharui target atau indikator kinerja sesuai dengan kebutuhan. Secara periodik perusahaan harus menguji ulang sasaran dan IKK menghadapi perubahan kondisi eksternal.
21
2.1.4 Metode Penilaian Pella (2008) menyebutkan bahwa penilaian keberhasilan melalui penggunaan alat ukur pencapaian strategi yang baik diperlukan unsur-unsur berikut: (1)
Dapat menjadi sarana perusahaan mengkomunikasikan strategi (ability of the organization to communicate their strategy for measures)
(2)
Terkait secara langsung dengan strategi yang dipilih perusahaan (the selected measure adequately focuses on the strategic issue)
(3)
Indikator tersebut bersifat kuantifitatif, memiliki formula tertentu dalam penghitungannya (quantifiable, can be evaluated objectively)
(4)
Indikator tersebut dapat dihitung (the measures are quantifiable, reliabled and repeatable)
(5)
Frekuensi pemutakhirannya bermanfaat (the frequency of updates are meaningfull)
(6)
Penetapan target untuk perbaikan dapat dilakukan (meaningful targets for improvement are established)
(7)
Kemungkinan
pembandingan
dengan
perusahaan
lain
dapat
dilakukan (external benchmarking is feasible and/or desirable) (8)
Pengukurannya masih valid (validity of measures – not old unvalid measures)
(9)
Data dan sumber daya tersedia (availability of data and resources)
(10) Biaya pengukurannya tidak melebihi manfaatnya (cost of measures not more than benefit of measures) Penilaian kinerja dikembangkan dengan dua kunci prinsip, yaitu stabilitas dan transparansi. Beberapa contoh penilaian dikemukakan oleh Gonzales (2006) adalah sebagai berikut:
22
(1) Penilaian berdasarkan kategori kinerja Tabel 1 1
2
3
Penilaian menurut kategori kinerja
3 bintang
Tingkat kinerja paling tinggi
2 bintang
Kinerja secara umum baik, tetapi belum tercapai dengan standard konsistensi tinggi Terdapat beberapa penyebab yang harus ditinjau sehubungan dengan kunci target atau kinerja yang kurang pada keseimbangan scorecard
1 bintang
4 Nol bintang
Tingkat kinerja terendah dilihat dari kunci target
(2) Sistem penilaian scoring Scoring digunakan pada tiap elemen penilaian, meliputi : 1) Sasaran kunci Tiap sasaran kunci discore menurut tingkat capaian, yaitu Target tercapai : 0 poin Belum tercapai : 2 poin Tidak tercapai sama sekali : 6 poin 2) Focus area Penilaian ini diatur menurut peringkat, yaitu
Kinerja tertinggi (di atas 50%): dua poin Kinerja menengah (20 hingga 50%): satu poin Kinerja terendah (di bawah 20%): nol poin
(3) Penilaian dengan metode persentil Penilaian ini secara sederhana dipisahkan ke dalam 5 pita (band) untuk tiap kelompok nilai, sehingga diperoleh hasil seperti: Tabel 2 Penilaian kinerja dengan metode persentil Kinerja berada pada: Dibawah 10% 10 hingga kurang dari 30% 30 hingga kurang dari 70% 70 hingga kurang dari 90% 90 hingga 100%
Pita 1 2 3 4 5
Dinyatakan sebagai: Sangat di bawah rata-rata Di bawah rata-rata Rata-rata Diatas rata-rata Secara signifikan di atas rata-rata
23
(4) Penilaian berdasarkan indikator traffic light & ya / tidak 1)
Indikator ‗traffic light‘:
Tabel 3 Penilaian kinerja menurut indikator traffic light No. Kinerja berada pada: 1 Merah 2 Kuning 3 Hijau 2)
Band: 1 3 5
Dinyatakan sebagai: Nyata di bawah rata-rata Rata-rata Nyata di atas ratarata
Indikator Ya / Tidak
Tabel 4 Penilaian kinerja berdasarkan indikator ya/tidak No Kinerja berada pada: 1 Tidak 2 Ya
Band: 1 5
Dinyatakan sebagai: Nyata di bawah rata-rata Nyata di atas rata-rata
2.1.5 Contoh Pengukuran Indikator Kinerja Kunci Contoh pengukuran IKK yang digunakan dalam industri pengolahan makanan di Norwegia, seperti yang dikemukakan oleh Røstad and Schjølberg (2000), disajikan dalam Gambar 5 berikut.
Gambar 5 Indikator kinerja kunci yang digunakan dalam perawatan alat (persentase didasarkan pada ukuran sampel n = 131 jawaban Yes atau no untuk tiap individu indikator) (diadopsi dari Røstad and Schjølberg 2000) Perusahaan juga melakukan penilaian IKK berdasarkan karakteristik situasi yang sedang berlaku dengan kebutuhan pengembangan di masa mendatang, disajikan pada Gambar 6.
24
Gambar 6 Karakteristik keberadaan situasi perusahaan dalam penggunaan perawatan yang berhubungan dengan IKK dan kebutuhan untuk pengembangan wilayahnya (persentase didasarkan pada ukuran sampel n = 118).(diadopsi dari Røstad and Schjølberg 2000). Contoh lain penilaian adalah apa yang dilakukan oleh McNeeney (2004) tentang fasilitas petrokimia dengan hampir 50000 aset memberlakukan program perawatan preventif (PM) dan perawatan prediktif. Tujuan utama perusahaan adalah untuk mencapai return on net asset (RONA) minimum sebesar 12% tetapi perusahaan baru mencapai 8% selama beberapa tahun sebelumnya. Kegagalan dapat dicegah dan item produksi yang hilang masih dapat diterima. Perusahaan berinisiatif untuk fokus pada reliabilitas untuk membantu tercapainya RONA yang diinginkan. Program PM ditentukan melalui fungsi lokasi dan jadwal dalam sistem pengelolaan perawatannya. Perawatan prediktif seperti pengumpulan data getaran, inspeksi alat saklar infrared, pengukuran ketebalan ultrasonic, dan sampling serta analisis minyak adalah kinerja rutin. Fasilitas yang dikembangkan berhubungan dengan keahlian dan penetapan program kerja baru.
Hasilnya,
mesin yang tersedia meningkat kinerjanya dari rendah menjadi kinerja antara menengah hingga tertinggi. Akan tetapi kegagalan kritis masih terjadi secara acak dan tak terduga. Target produksi masih terpengaruh, dan target RONA masih belum tercapai. Meskipun ada ahli dan terfokus pada implementasi program perawatan preventif dan prediktif, namun kegagalan tak terduga masih mempengaruhi reliabilitas dan berdampak pada target produksi. Permasalahan umum dengan program perawatan mungkin belum terancang dengan benar dan secara rata-rata berada antara 40 dan 60% tugas PM secara tipikal jaminan terhadap tujuan sangat kecil. Ini menggambarkan isu signifikan untuk peningkatan kinerja perawatan tidak semata-mata dibangun atas dasar tidak efisien dalam program perawatan itu sendiri. Manajer produksi mempunyai tanggung jawab
25
utama dalam upaya untuk mencapai RONA 12%. Untuk mencapai tujuan ini, maka harus dibangun kerja sama antar departemen. Untuk itu semua departemen dijelaskan tujuan dan membuat setiap orang akuntabel satu dengan yang lain. Selama berbulan-bulan dan setelah dilakukan banyak diskusi dan banyak presentase oleh kepala departemen, maka IKK mulai meningkat pada tiap-tiap scorecard pimpinan departemen. Sistem Sadar Makna Kriteria Aktivitas (SSMKA) adalah alat tangguh dalam lingkungan kerja multi aspek yang berfokus pada penonjolan keunggulan dan penguasaan pengertian kristeria. Indikator kinerja kuncinya adalah sadar akan kekhususan informasi teknologi dan pedagogi konteks serta model mental pengguna (Laffey et al. 2009). Siswa dan mahasiswa yang memanfaatkan system pembelajaran jarak jauh menggunakan media komunikasi telah disurvei sejumlah tigaratus tujuhpuluh tujuh orang dan dianalisis niat berbagi informasinya terhadap sesama peserta system pembelajaran. Hasilnya menyatakan bahwa indikator kinerja kunci hubungan antar sesama murid tidak begitu terbuka. Hubungan antara guru dengan para murid lebih terbuka sehingga dapat membentuk kesadaran para murid dalam indikator perasaan, rasa keinginan tahu, teknik berpikir, dan rasa sosial sebagai insan. Ini akan meningkatkan interaksi antara murid dengan gurunya dalam proses pembelajaran jarak jauh (Heo 2009).
2.2
Pembangunan Berkelanjutan Sesuai pengertian pembangunan berkelanjutan (sustainable development),
keberlanjutan perikanan dapat diartikan sebagai serangkaian aktivitas perikanan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Dikaitkan dengan pemahaman Holling (2001), untuk tujuan memupuk kemampuan adaptif dan menciptakan kesempatan, maka keberlanjutan dapat pula diartikan sebagai kapasitas untuk menimbulkan, menguji dan memelihara kemampuan adaptif meskipun terbatas pada kapasitas sumberdaya ikan dan pemanfaatannya, aktivitas tersebut telah sejak lama mendasari teori dan praktek perikanan, sebagaimana ditunjukkan dalam konsep maximum sustainable yield (MSY). Aktivitas berkelanjutan ini
26
pulalah yang mengemuka dalam arahan pengelolaan perikanan (artikel 7) sesuai code of conduct for responsible fisheries (CCRF) (FAO 1995). Pembangunan dibangun berdasarkan tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Titik dari ketiga pilar ini membentuk pembangunan yang berkelanjutan, seperti yang dikemukakan oleh Dreo (2007) yang dijelaskan melalui skema pada Gambar 7.
Gambar 7 Skema pembangunan berkelanjutan (Dréo 2007) Skema pembangunan berkelanjutan pada titik temu tiga pilar tersebut, Deklarasi Universal Keberagaman Budaya oleh UNESCO pada tahun 2001 lebih jauh menggali konsep pembangunan berkelanjutan dengan menyebutkan bahwa "...keragaman budaya penting bagi manusia sebagaimana pentingnya keragaman hayati bagi alam". Dengan demikian pembangunan tidak hanya dipahami sebagai pembangunan ekonomi, namun juga sebagai alat untuk mencapai kepuasan intelektual, emosional, moral, dan spiritual. Dalam pandangan ini, keragaman budaya merupakan kebijakan keempat dari lingkup kebijakan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan hijau pada umumnya dibedakan dari pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan hijau lebih mengutamakan keberlanjutan
27
lingkungan di atas pertimbangan ekonomi dan budaya. Pendukung Pembangunan Berkelanjutan berargumen bahwa konsep ini menyediakan konteks bagi keberlanjutan menyeluruh dimana pemikiran mutakhir dari Pembangunan Hijau sulit diwujudkan. Sebagai contoh, pembangunan pabrik dengan tekhnologi pengolahan limbah mutakhir yang membutuhkan biaya perawatan tinggi sulit untuk dapat berkelanjutan di wilayah dengan sumberdaya keuangan yang terbatas. Selanjutnya Charles (2001) menyatakan keberlanjutan selain terdiri dari aspek ekologi dan sosial ekonomi juga ada aspek masyarakat dan kelembagaan dengan rincian sebagai berikut: 1) Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi konsern utama. 2) Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung makna bahwa pembangunan perikanan harus memperhatikan keberlanjutan dari kesejahteraan pelaku perikanan baik pada tingkat individu .
Dengan kata lain mempertahankan atau
mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan konsern dalam kerangka keberlanjutan. 3) Community sustainability, mengandung makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan. 4) Institutional sustainability (keberlanjutan kelembagaan). Dalam kerangka ini keberlanjutan kelembagaan yang menyangkut memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas. Keberlanjutan perikanan, pada dasarnya mencakup keseluruhan elemen sistem perikanan. Dalam hal ini, perspektifnya berubah dari fokus fisik ikan (yang ditangkap) ke fokus kesehatan ekosistem dan sistem insani. Kesteven (1973) menyatakan bahwa sistem perikanan sesungguhnya dibangun oleh elemen-elemen biotik, teknik, sosial dan ekonomi. Prinsip inilah yang dikemukakan oleh Charles (2001) di atas. Sejak awal FAO sudah mengadopsi definisi tentang pembangunan
28
berkelanjutan dalam lima elemen utama, yaitu sumberdaya alam, lingkungan, kebutuhan manusia (ekonomi dan sosial), teknologi dan institusi (FAO 2001). Sumberdaya alam dan lingkungan adalah elemen untuk dilindungi, sedangkan elemen lainnya dipenuhi, diawasi dan berlangsung sesuai proses pengelolaan. Secara singkat, keberlanjutan ekologi berkenaan dengan jaminan kelestarian sumberdaya ikan yang dieksploitasi. Institusi yang dapat mewujudkannya adalah kepemilikan pribadi atau komunitas skala kecil (Hilborn et al, 1995). Menurut Gibb and Bromley (1989) bahwa hak kepemilikan terhadap sumberdaya alam umumnya terdiri dari: (1) State property dimana klaim pemilikan berada di tangan pemerintah. (2) Private property dimana klaim pemilikan berada pada individu atau kelompok usaha (3) Common property atau communal property dimana individu atau kelompok memiliki klaim atas sumberdaya yang dikelola bersama. Suatu sumberdaya alam bisa saja tidak memiliki klaim yang sah sehingga tidak bisa dikatakan memiliki hak pemilikan. Sumberdaya seperti ini disebut sebagai open acces (Grima dan Berkes
1989). Keterkaitan antara hak
kepemilikan dan akses disajikan pada Gambar 8. Komunal Hak kepemilikan
Terbuka
Negara
Individu
Akses
Terbatas
Gambar 8 Hubungan hak kepemilikan dan akses 2.3
Komoditas Tuna Tuna adalah ikan epipelagis yang hidup di lapisan permukaan hingga
pertengahan dengan kedalaman mencapai lebih dari 500 m tergantung pada ukuran dan spesies. Tersebar di seluruh perairan dunia, kecuali di daerah kutub. Berenang dengan jarak yang jauh membentang dari utara hingga selatan dan juga
29
membentuk pola migrasi transoceanic. Tuna harus berenang paling lambat 1 kali panjang tubuh per detik untuk melewatkan oksigen yang cukup pada insangnya. Tuna berenang dalam kawanan kecil berkisar dari enam hingga 40 ekor semuanya berukuran sama, tetapi sering terdiri dari beberapa spesies. Tuna yang berukuran 225 kg biasanya berenang sendirian (soliter). Jenis makanan tuna terdiri dari teri, layang, selar, hake, cod, bluefish, whiting, dan juga cumi-cumi serta crustacea, seperti udang (Fishbase 2000). Di kawasan perikanan Indonesia terdapat 16 jenis ikan tuna yang diatur pengelolaanya oleh IOTC, yaitu: Yellow Fin Tuna, Skipjack, Bigeye Tuna, Albacore Tuna, Southern Bluefine Tuna, Long tail Tuna, Kawakawa, Frigate Tuna, Bullet Tuna, Narrow Barred Spanish Mackerel, Indo Pacific King Mackerel, Indo Pacific Blue Marlin, Black Marlin, Strip Marlin, Indo Pacific Sailfish, dan Swordfish. Produksi tuna Indonesia selang tahun 1999 hingga 2007 yang terdiri dari sailfish, black marlin, blue marlin, swordfish, skipjack tuna, albacore, yellowfin tuna, dan bigeye tuna seperti yang dikemukakan oleh DKP and JICA (2009), disajikan pada Gambar 9. 600000 500000
Produksi (ton)
400000
300000 200000 100000 0
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Gambar 9 Produksi tuna Indonesia selang tahun 1999 hingga 2007 (Sumber: DKP and JICA 2009)
2007
30
Panjang maksimum yellowfin dan bigeye tuna adalah 190 cm sedang albacore umumnya tidak lebih dari 120 cm. Umur matang gonad berkisar antara 3 hingga 5 tahun, tergantung spesies tuna. Seekor betina yang memijah dapat melepaskan telur sebanyak 100000 telur per kg berat tuna. Hal ini berarti bahwa tuna betina dengan berat 100 kg akan melepaskan telur sebanyak 10 juta telur di musim pemijahan. Setelah 30 jam, telur akan menetas, tetapi hanya sedikit yang dapat bertahan hidup hingga ukuran dewasa. Tuna bertumbuh cepat dan masa hidupnya panjang, misalnya tuna mata besar dan albacore diestimasi dapat hidup selama 9 tahun lebih, sedangkan bluefin dapat mencapai umur 30 tahun (Fishbase 2000). Tuna dipasarkan dalam bentuk segar, asap, beku dan kaleng. Berdasarkan kajian potensi sumberdaya ikan tuna tahun 1998, bahwa wilayah pengelolaan 716 (Samudera Pasifik dan Laut Sulawesi) mempunyai potensi ikan madidihang (yellowfin tuna) sebesar 29.408 ton per tahun dan untuk wilayah pengelolaan 715 (Teluk Tomini dan Laut Maluku) sebesar 13.795 ton per tahun, ikan tuna mata besar (bigeye tuna) masing-masing sebesar 15.529 ton per tahun dan 6.032 ton per tahun, ikan albakora masing-masing sebesar 528 ton per tahun dan 34 ton per tahun dan ikan cakalang masing-masing sebesar 121.201 ton per tahun dan 55.403 ton per tahun, ikan tongkol masing-masing sebesar 37.615 ton per tahun dan 14.963 ton per tahun. Menurut PRPT (2001), bahwa tingkat pemanfaatan tuna di wilayah pengelolaan Laut Seram hingga Teluk Tomini sebesar 35,17% dari potensi sebesar 106,51 x 103 ton/tahun, sedangkan untuk wilayah Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik sebesar 87,54% dari potensi sebesar 175,26 x 103 ton/tahun.
31 Tabel 5 Produksi dan potensi jenis tuna di WPP 715 (440,1 km2) dan WPP 716 ( 821,7 km2) Jenis Tuna Madidihang (T. albacares) Mata besar (T. obesus) Albakora (T. alalunga) Cakalang (K. pelamis) Tongkol (E. affinis) Tenggiri (Scomberomorus sp.)
WPP 715 716 715 716 715 716 715 716 715 716 715 716
Densitas 62,69 71,58 27,41 37,80 0,16 1,28 252 295 68 91 57 57
Potensi 13.795 29.408 6.032 15.529 34 528 55.453 121.201 14.963 37.615 12.543 23.418
Produksi 6.119 11.799 2.676 62,31 15 212 18.952 30.538 9.374 7.672 944 2.398
Tingkat pengusahaan 44,4 40,1 44,4 40,1 43,6 40,2 34,2 25,2 82,6 20,3 7,5 10,2
Sumber: Uktolseja (1998) Potensi ikan cakalang di Indonesia adalah 374.046 ton, diantaranya 260.993 ton (69,8%) terdapat di wilayah perairan pengelolaan Samudera Pasifik dan 113.054 (30,2%) terdapat di Samudera Hindia. Potensi terbesar terdapat di Laut Sulawesi hingga Utara Irian Jaya sebesar 121.201 ton.
Jika dirinci menurut
wilayah pengelolaannya, maka indeks kemelimpahan tertinggi di perairan Samudera Pasifik terdapat di Laut Sulawesi hingga Utara irian Jaya sebesar 295 kg/km2 dan terendah di Laut Flores hingga Selat Makassar sebesar 94 kg/km 2 (Uktolseja et al. 1998) (Tabel 5). Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) adalah ikan yang mempunyai distribusi yang sangat luas di perairan Pasifik bagian barat, yaitu mencakup wilayah 450 LU hingga 450 LS (Matsumoto et al. 1984). Luas sebarannya ini menunjukkan bahwa ikan
cakalang termasuk spesies yang highly migratory
(FAO 1994) yang berarti bahwa aktivitas penangkapan di satu wilayah akan mempengaruhi aktivitas penangkapan di wilayah yang lain dipandang dari segi tangkapan. Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sangat menyukai permukaan laut dengan suhu antara 15 – 300C. Pengelompokan ikan cakalang cenderung berasosiasi dengan zone konvergen, batas antara massa air dingin dan panas (daerah kutub), upwelling dan diskontinuitas lain hidrografi. Ikan cakalang terdapat di permukaan hingga kedalaman 260 m selama siang hari, tetapi tetap
32
berada di permukaan pada malam hari (migrasi diurnal). Ikan cakalang sering terdapat dipermukaan dalam bentuk kawanan di sekitar benda-benda terapung. Ikan ini bercampur dengan kawanan yellowfin dan bigeye tuna berukuran lebih kecil (< 100 cm) (Coan Jr. et al. 2000). Selanjutnya disebutkan bahwa ikan cakalang dapat mencapai ukuran panjang 108 cm atau dengan berat 35 kg. Ikan ini berwarna biru keunguan di bagian punggung dan berwarna keperakan pada sisinya dengan 4 – 6 strip memanjang berwarna gelap. Mempunyai satu keel yang kuat pada tiap sisi caudal fin base antara dua keel yang lebih kecil. Ikan cakalang memasuki perikanan permukaan pada ukuran 25 cm (0,2 kg) dan umumnya mencapai panjang lebih dari 80 cm (12 kg). Beberapa perikanan longline menangkap cakalang berukuran besar. Pertumbuhan ikan cakalang cepat dan ukuran panjang 31 cm mempunyai berat 0,5 kg berumur 1 tahun, ukuran panjang 51 cm dengan berat 2,7 kg berumur 2 tahun, ukuran panjang 64 cm dengan berat 5,8 kg berumur 3 tahun dan ukuran 72 cm dengan berat 8,7 kg berumur 4 tahun. Umur maksimum cakalang berada di sekitar 7 tahun. Laju mortalitas alami sesaat tertinggi mungkin pada semua tuna dan tergantung pada estimasi laju emigrasi. Di perairan Atlantik tropis, ikan cakalang mendominasi hasil tangkapan dengan pukat cincin mencapai 71%, dimana ukuran yang tertangkap bervariasi antara 0,80 hingga 8,22 kg dengan rata-rata 2,05 kg (Menard et al. 2000). Selanjutnya disebutkan bahwa di kawasan tersebut penggunaan pukat cincin untuk menangkap ikan tuna dimulai sejak tahun 1960-an dan berkembang pada tahun 1975 – 1990. Sejak tahun 1991, dilaporkan bahwa telah terjadi penurunan rata-rata berat tubuh ikan hasil tangkapan yang diduga akibat overfishing atau perubahan pertumbuhan. Khusus untuk produksi cakalang (skipjack tuna) dan madidihang (yellowfin tuna) selang tahun 1999 hingga 2007, disajikan pada Gambar 10.
33
350000
Produksi (ton)
300000 250000 200000 150000 100000 50000 0
1999
2000
2001
2002
Skipjack tuna
2003
2004
2005
2006
2007
Yellowfin tuna
Gambar 10 Produksi cakalang dan madidihang di Indonesia selang tahun 1999 hingga 2007 (Sumber: DKP and JICA 2009) Sulawesi Utara merupakan pusat pengembangan industri perikanan dimana sejak tahun 2001, pemerintah telah melaksanakan apa yang disebut Gerakan Pengembangan Komoditas Unggulan Berbasis Agribisnis (Gerbang Kuba) meliputi industri ikan tuna, cakalang dan layang. Hasil penangkapan ikan di laut merupakan produksi tertinggi di sektor perikanan. Produksi perikanan tangkap (tuna, cakalang, tongkol) pada 2006 sebanyak 137.000 ton. Produksi ini meningkat menjadi 141.000 ton pada 2007. Produksi tuna di Sulawesi Utara selang tahun 2004 hingga 2009 menunjukkan peningkatan yang cukup baik, seperti disajikan pada Gambar 11 berikut:
34
140000
Produuksi tuna (ton)
138000 136000 134000 132000 130000 128000 126000 124000 2004
2005
2006
2007
2008
Gambar 11 Produksi Tuna di Sulawesi Utara tahun 2004 hingga 2008 (sumber: DPK 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009) Perkembangan ekspor komoditas perikanan Sulawesi Utara didukung oleh perkembangan unit-unit pengelolaan hasil perikanan. Sampai 2004, terdapat 40 unit perusahaan pengelolaan hasil perikanan dengan 22 cold storage yang dimiliki. Setiap cold storage berkapasitas 10.630 ton. Kini terdapat 60 eksportir komoditas hasil perikanan dengan negara tujuan ekspor antara lain Jepang, Korea, AS, Cina, Spanyol, Australia, Jerman, Inggris, Hongkong, Denmark, Afrika Selatan, Irlandia, Belanda, Swiss, Slovenia, Belgia, Finlandia, Italia, Polandia, Prancis, Yunani, Malta, Cyprus, Kanada, Thailand, Taiwan, Singapura, Afrika dan Filipina. Tuna di Sulawesi Utara ditangkap dengan menggunakan alat tangkap pancing tuna (handline tuna dan long line) dan purse seine. Handline tuna terdiri dari vertical handline dan pancing layang-layang. Hasil tangkapan tuna sejak 2004 hingga 2008 yang diproses menjadi produk ekspor disajikan dalam Gambar 12.
35
3000
Tangkapan (ton)
2500 2000 1500 1000 500 0 2004 Gambar 12
2005
2006
2007
2008
Tangkapan tuna tahun 2004 hingga 2008 (Sumber: PT. Bitung Mina Utama 2009)
Awal industri tuna di Indonesia, yaitu dengan berdirinya 4 BUMN perikanan dengan mengoperasikan 18 kapal. Sampai tahun 2005 jumlah armada tuna menjadi 1600 longliners dengan tipe ukuran: < 30 30 - 50 50-100 > 100
GT GT GT GT
138 230 523 758
kapal kapal kapal kapal
Pada akhir tahun 2005. Akibat kenaikan harga BBM yang begitu drastis dari Rp. 2.100,- menjadi Rp. 6.100,- per liter atau hampir meningkat 300% menyebabkan kapal-kapal tidak bisa melaut karena akan merugi karena biaya BBM merupakan komponen terbesar dari biaya operasional. Untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut, maka banyak kapal-kapal tuna longline yang merubah pola operasinya, yaitu dengan lebih lama di fishing ground (menambah hari operasi), ada pula yang merubah fungsinya atau alat tangkapnya menjadi purse seine, squid jigger dan carrier. Tantangan usaha perikanan tuna di Indonesia saat ini antara lain; 1) Penurunan stok sumberdaya ikan tuna, 2) Peningkatan biaya operasional, 3) Pemberantasan IUU fishing, 4) Regulasi pemerintah, 5) Pemodalan, 6) Trade barriers dan 7) Perikanan tuna farming.
36
Namun pada tanggal 30 Maret 2009 dilaksanakan pertemuan tahunan ke 13 Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) di Bali. Indonesia resmi menjadi negara full member IOTC ke-27 pada tanggal 20 Juni 2007. Masuknya Indonesia menjadi full member IOTC merupakan implementasi dari UU No.31 Tahun 2004 Pasal 10 (2) yang mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk ikut serta secara aktif dalam keanggotaan badan/lembaga/organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama pengelolaan perikanan. IOTC merupakan salah satu Regional Fisheries Management Organization (RFMO), yaitu organisasi pengelolaan perikanan regional di bawah FAO, yang diberi mandat untuk melakukan pengelolaan sumberdaya ikan tuna di wilayah Samudra Indonesia. Selain itu Indonesia masuk sebagai contracting party dalam Western Central Pacific Fisheries Council (WCPFC) untuk wilayah Pasifik Barat dan Tengah. Saat ini IOTC memiliki anggota sebanyak 27 negara full member dan 3 negara cooperating non-contracting parties, di mana setiap anggota berkewajiban untuk menerapkan keputusan-keputusan IOTC dalam berbagai resolusi dengan sistem hukum nasional. Dalam pertemuan ini, Indonesia telah melaksanakan beberapa kegiatan antara lain: (1) program revitalisasi perikanan tuna, (2) penyampaian informasi kepada sekretariat IOTC tentang Authorized Vessel dan Active Vessel atau kapal yang aktif dan resmi melakukan penangkapan tuna, (3) penyusunan Peraturan Menteri No PER.03/MEN/2009 tentang Penangkapan Ikan dan/atau Pengangkutan Ikan di Laut Lepas, (4) persiapan penerapan Log Book perikanan, (5) program outer fishing port atau pelabuhan perikanan terluar; dan (6) bersama Australia menyusun Regional Plan of Action (RPOA) to Promote Responsible Fishing Practices (including Combating IUU Fishing) in the Region, yakni rencana aksi dua negara untuk mewujudkan pengelolaan perikanan yang bertanggungjawab termasuk pemberantasan illegal fishing. Sebagai full member IOTC, Indonesia mempunyai peluang dalam memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high seas) dengan kewajiban melakukan kontrol yang efektif terhadap kapal perikanan Indonesia yang melakukan kegiatan di laut lepas. Dengan
37
masuknya Indonesia di organisasi internasional diharapkan dapat membantu mengurangi tantangan sub sektor perikanan tangkap khususnya Tuna. Khusus untuk Sulawesi Utara, Gafa et al. (1993) mengungkapkan bahwa sejak akhir tahun 1990 dilakukan kerjasama antara pengusaha swasta nasional dari Filipina (General Santos) untuk mengeksploitasi bersama Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di bagian Utara Sulawesi. Alat tangkap yang digunakan adalah pukat cincin dengan memasang 150 payaos (rumpon). Penggunaan pukat cincin dengan alat bantu rumpon tentunya berpeluang besar tertangkapnya ikan-ikan berukuran kecil. Setelah satu tahun pemasangan payaos ini telah ada tuntutan dari nelayan huhate Sulawesi Utara bahwa hasil tangkapan mereka menurun cukup banyak. Sampai tahun 1990, daerah penangkapan cakalang oleh nelayan di Sulawesi Utara masih di bawah 30 mil dari garis pantai. Tetapi mulai tahun1991 daerah penangkapan menjadi lebih jauh ke tengah laut, yaitu sekitar rumpon yang dipasang di wilayah ZEEI, milik perusahaan nasional yang bekerja sama dengan perusahaan asing. Selanjutnya dinyatakan bahwa penurunan hasil tangkapan cakalang per unit huhate pada tahun 1992 di Sulawesi Utara dipengaruhi oleh faktor-faktor: (1)
Meningkatnya upaya penangkapan oleh perikanan huhate;
(2)
Tekanan penangkapan dengan pukat cincin;
(3)
Faktor alam, yaitu naiknya suhu perairan laut mencapai 300C akibat musim kemarau panjang.
2.4
Perikanan Tuna Terpadu Perikanan yang didefinisikan oleh FRMA (2009) adalah sebagai satu atau
lebih stock atau bagian stock ikan yang dapat diperlakukan sebagai satu unit untuk tujuan konservasi atau pengelolaan, dan juga merupakan satu kelas aktivitas penangkapan dihubungkan dengan stock atau bagian dari stock ikan tersebut. Selanjutnya dinyatakan bahwa prinsip-prinsip yang diadopsi sebagai dasar untuk pengelolaan perikanan terpadu oleh FAO adalah sebagai berikut:
38
(1)
Sumberdaya ikan adalah sumberdaya milik bersama yang dikelola pemerintah untuk keuntungan generasi sekarang dan di masa akan datang.
(2)
Keberlanjutan adalah hal yang terpenting dan keperluan ekologis harus ditinjau dalam penentuan tingkat pemanfaatan yang sesuai.
(3)
Keputusan harus dibuat berdasarkan informasi terbaik yang tersedia dan bilamana informasi yang ada tidak jelas, tidak reliabel, tidak mencukupi atau bahkan tidak ada, maka pendekatan pencegahan (precautionary approach) harus diadopsi untuk mengelola resiko terhadap stok ikan, komunitas kelautan dan lingkungan. Tidak adanya
informasi
atau
informasi
yang
kurang
jelas
akan
mengakibatkan kegagalan dalam pembuatan keputusan. (4)
Tingkat pemanfaatan yang berbentuk mortalitas total harus ditentukan untuk setiap kegiatan perikanan dan alokasi pemanfaatan oleh tiap kelompok harus dibuat dengan jelas.
(5)
Alokasi bagi tiap kelompok pengguna harus melaporkan mortalitas total sumberdaya ikan yang diakibatkan oleh kegiatan tiap kelompok, termasuk bycatch dan mortalitas ikan yang dilepaskan.
(6)
Tangkapan total lintas kelompok pengguna harus tidak melampaui tingkat tangkapan yang ditetapkan. Jika ini terjadi, maka langkah yang konsisten dengan dampak tiap pengguna harus diambil untuk mengurangi pengambilan pada tingkat yang tidak berkompromi dengan keberlangsungan di masa depan.
(7)
Struktur dan proses pengelolaan yang sesuai harus diperkenalkan ke tiap kelompok pengguna seturut dengan penetapan alokasinya. Ini harus dilakukan terlebih dahulu dengan pihak yang terlibat jika kelompok yang melakukan penangkapan berada di atas alokasi yang ditetapkan.
(8)
Keputusan alokasi bertujuan untuk mencapai keuntungan optimal bagi
masyarakat
yang
memanfaatkan
stock
ikan
dengan
memperhatikan faktor ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan. Secara
realistik,
akan
butuh
waktu
untuk
mencapai
dan
39
mengimplementasikan tujuan ini seturut dengan bertambahnya waktu. (9)
Alokasi bagi kelompok pengguna umumnya dibuat berdasarkan proporsi yang memperhitungakan variasi alam terhadap populasi ikan. Prinsip umum ini merupakan kelengkapan alternatif dalam perikanan dimana akses prioritas untuk kelompok pengguna tertentu telah ditentukan. Hal ini masih terbuka dalam kebijakan pemerintah untuk menentukan prioritas penggunaan sumberdaya ikan yang mempunyai kejelasan dalam pelaksanaannya.
(10) Kelengkapan pengelolaan harus memberikan kesempatan bagi pengguna untuk mengakses alokasinya. Harus ada batasan kapasitas dalam memindahkan alokasi yang tak dimanfaatkan melalui satu sektor untik sektor tersebut digunakan di masa akan datang yang hasilnya tidak mempengaruhi keberlanjutan sumberdaya. Prinsip yang lebih spesifik diberikan untuk bimbingan di masa datang sekitar keputusan alokasi yang dapat ditetapkan bagi individu yang bergerak dalam penangkapan. Prinsip
pengelolaan
dalam
bidang
perikanan
terpadu
harus
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Cochrane 2002): (1)
Pertimbangan biologi Pertimbangan biologi adalah dengan meninjau pertumbuhan, baik
ukuran maupun masa individu dan juga populasi atau komunitas melalui reproduksi (dalam perikanan dikenal dengan istilah recruitment). Dalam satu populasi yang seimbang, proses pertumbuhan aditif dan reproduksi, rata-rata sama dngan proses mortalitas total yang hilang. Dalam satu populasi yang tidak dieksploitasi, mortalitas hanya berasal dari mortalitas alami yang prosesnya terdiri dari pemangsaan, penyakit, dan kematian drastis akibat perubahan lingkungan. Pada populasi yang di tangkap, mortalitas total terdiri dari kematian alami ditambah dengan kematian akibat penangkapan, dan tugas utama management perikanan adalah untuk meyakinkan bahwa mortalitas akibat penangkapan tidak melebihi jumlah dimana populasi dapat dipertahankan dan juga dari mortalitas alami, tanpa
40
membahayakan atau merusak keberlanjutan dan produktivitas populasi. Ini tidak hanya diperlukan populasi total yang dipertahankan di atas batas kelimpahan
atau
biomassa,
tetapi
juga
susunan
umur
populasi
dipertahankan pada keadaan yang mampu untuk bertahan pada tingkat reproduksi (recruitment) cukup dengan menggantikan yang hilang akibat mortalitas. Lebih lanjut, penangkapan dengan periode yang panjang pada stok yang diseleksi, misalnya individu besar atau individu memijah pada waktu atau lokalitas tertentu dengan musim atau kisaran pemijahan lebih luas, dapat mengurangi frekuensi karakteristik genetik yang memberikan peningkatan sifat atau perilaku. Ini mempengaruhi penurunan keragaman genetik stok. Dengan berkurangnya keragaman genetik, potensi produksi populasi dapat terpengaruh dan dapat juga menjadi kurang tahan terhadap keragaman atau perubahan lingkungan. Managemen perikanan perlu mewaspadai bahaya ini dan menghindari tekanan selektif tersebut untuk periode yang panjang. Manager perikanan harus juga memperhatikan struktur sumberdaya stok. Populasi ikan sering terdiri dari sejumlah stok, yang tiap stok secara genetik sangat terisolir dari yang lain melalui perbedaan perilaku dan distribusi. Perbedaan stok juga menggambarkan keragaman genetik dan bila stok tertentu ditangkap pada tingkat yang luas hingga ke tingkat yang sangat rendah, maka keragaman genetis dapat hilang. Stok tidak akan siap untuk menggantikannya dengan stok yang lain, karena isolasi genetis, dengan demikian produksi yang ada akan juga hilang, sehingga mengakibatkan terjadinya kerugian permanen atau jangka panjang. Managemen perikanan dengan demikian harus mencoba untuk mencari tiap stok secara terpisah atau untuk pemanfaatan berkelanjutan tiap stok dan bukan hanya populasi secara keseluruhan. (2)
Pertimbangan ekologi dan lingkungan Kelimpahan dan dinamika populasi menempati satu batasan penting
dalam perikanan, tetapi karena populasi air tidak hidup terpiah. Mereka berada dalam komponen dengan ekosistem yang sering kompleks. Terdiri dari komponen biologi yang memakan, dimakan atau bersaing dengan stok
41
atau populasi tertentu. Meskipun populasi tersebut tidak secara langsung masuk dalam jaring makanan tetapi dapat saling berpengaruh satu dengan lainnya secara tidak langsung melalui interaksi langsungnya dengan predator, mangsa atau pesaing lain. Komponen fisik ekosistem, air itu sendiri, substrat, aliran masuk air tawar atau makanan dan proses non biologis lain dapat juga menjadi sangat penting.
Perbedaan substrat
menjadi esensial untuk produksi organisme makanan, untuk perlindungan, atau sebagai daerah memijah atau pembesaran. Lingkungan ikan sangat jarang statis (terutama lingkungan akuatik) dan kondisinya dapat berubah-ubah setiap saat, dari perubahan jam (seperti pasang surut) hingga ke perubahan musiman (misalnya suhu air dan arus) bahkan perubahan puluhan tahunan (seperti keberadaan peristiwa El Niňo dan peningkatan rezim). Perubahan ini sering mempengaruhi
dinamika
populasi
ikan,
seperti
keragaman
laju
pertumbuhan, recruitment, laju mortalitas alami atau kombinasi dari ini. Keragaman tersebut dapat juga mempengaruhi ketersediaan sumberdaya ikan bagi alat tangkap, tidak hanya mempengaruhi keberhasilan industri penangkapan,
tetapi
juga
cara
dimana
ahli
perikanan
harus
menginterpretasi informasi tangkapan dan laju tangkap dari perikanan. Perubahan komponen biologi, kimia dan geologi atau fisika dari ekosistem dapat berdampak pada populasi dan komunitas sumberdaya. Beberapa perubahan ini dapat berada di luar kontrol manusia, seperti proses upwelling yang memperkaya ekosistem pantai atau skala anomali suhu yang besar, tetapi ini perlu dipertimbangkan dalam management sumberdaya. Selain itu perusakan habitat pantai untuk pembangunan, atau dampak langsung penangkapan terhadap substrat atau spesies lain yang mempengaruhi sumberdaya, adalah akibat dari ulah manusia. Dalam hal ini, managemen perikanan harus memperhitungkan dampaknya terhadap sumberdaya dan berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait mengambil langkah untuk meminimumkan dampaknya terhadap ekosistem perikanan.
42
(3)
Pertimbangan teknologi Pengelola perikanan mempunyai kemampuan yang sangat sedikit
tentang pengaruh langsung populasi dinamika atau komunitas yang mendukung perikanan. Dalam beberapa hal (terutama di perairan darat) terdapat banyak kesempatan dan keinginan untuk mengambil stok dan penambahan habitat dan dibeberapa perairan panyai, perusakan habitat mempunyai pengaruh pada produksi ikan. Hal ini menjadi isue yang penting bagi pengelola perikanan untuk melakukan restorasi atau stabilisasi. Akan tetapi dalam pelaksanaan, hanyalah ditetakankan pada pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan melalui pengaturan jumlah tangkapan, kapan dan dimana ditangkap serta ukuran yang tertangkap. Ini dapat dilakukan melalui pengaturan langsung tangkapan yang diperoleh, dengan mengatur jumlah effort yang diijinkan dalam penangkapan, melalui penutupan musim dan daerah penangkapan tertentu dan melalui pengaturan bentuk alat tangkap dan metode panangkapan yang digunakan. Akan tetapi terdapat batasan pada bagaimana sebenarnya pengelola dapat menetapkannya dalam aturan. Kontrol terhadap tangkapan sering sulit untuk dimonitor dan juga diimplementasikan. Sulit untuk mengestimasi effort penangkapan dengan tepat, dan secara normal peningkatan teknologi dan pengembangan ketrampilan menghasilkan meningkatnya efisiensi operasi penangkapan, dan selanjutnya akan meningkatkan efektivitas upaya, meskipun langkah-langkah aktif telah diambil untuk melawan pengembangan dan konsekuensinya. Alat tangkap sangat jarang yang yang selektif dan bycatch ikan non target atau ukuran ikan target yang tidak diinginkan sering menjadi permasalahan. Ketakpastian dalam pengelolaan perikanan tidak hanya pada tingkat pendugaan status dan dinamika sumberdaya,
dan
ketakpastian
dalam
konsekuensi
nyata
pengimplementasian ukuran perikanan juga menjadi masalah yang signifikan bagi pengelola. Permasalahan
mendasar
pada
kebanyakan
perikanan
adalah
keberadaan effort (upaya) yang terlalu banyak. Adanya effort yang berlebihan sering mengakibatkan meningkatnya tekanan bagi pengelola
43
perikanan untuk melampaui mortalitas penangkapan pada sumberdaya. Tekanan sosial dan politik memberikan pengembangan dan kesempatan untuk menguras sering sulit untuk ditahan dan akibatnya terjadi overexploitasi. (4)
Pertimbangan sosial dan budaya Populasi manusia dan masyarakat sama dinamisnya dengan populasi
biologi lain, dan perubahan sosial terjadi secara terus-menerus serta terhadap perbedaan skala, dipengaruhi oleh perubahan cuaca, pekerjaan, kepentingan politis, supply dan demand untuk produk perikanan dan faktor-faktor lain. Perubahan tersebut dapat mempengaruhi keseuaian dan effektifitas strategi pengelolaan, dan dengan demikian perlu untuk dipertimbangkan dan diakomodasi. Akan tetapi, sekali lagi dibandingkan faktor biologi dan teknologi, maka sulit untuk mengidentifikasi dan menghitung faktor sosial dan budaya dalam mempengaruihi pengelolaan perikanan, memunculkan tambahan ketakpastian bagi pengelola. Hambatan utama faktor sosial dalam pengelolaan perikanan adalah bahwa manusia dan perilakunya tidak mudah untuk diubah dan keluarga dan masyarakat nelayan tidak ingin untuk mengganti pekerjaan lain, atau meninggalkan tempat tinggalnya ketika terdapat tambahan kapasitas dalam perikanan, meskipun kualitas hidupnya menurun akibat dari berkurangnya sumberdaya ikan.
Permasalahan lebih memburuk ketika tidak ada
kesempatan di luar bidang perikanan yang dapat memberikan pendapatan sebagai
penghidupannya.
Keputusan
politis
untuk
mengurangi
kemampuan tangkap adalah satu opsi yang tidak menarik, karena biaya jangka pendek yang mengesampingkan ketergantungan masyarakat dari perikanan akan menjadi lebih nampak dan juga tidak populer dari pada pendekatan yang ―melepaskan tangan‖ yang membiarkan sumberdaya dan perikanan bergulir sesuai dengan besaran dan kualitas yang melampaui mortalitas penangkapan yang berkelanjutan.
Meskipun demikian
konsekuensi ekologi, ekonomi dan sosial selanjutnya menjadi pilihan yang jauh lebih serius untuk jangka waktu yang panjang.
44
Keseimbangan relatif pertimbangan sosial dan ekonomi dalam perikanan akan tergantung pada prioritas yang diberikan pemerintah terhadap tujuan sosial dan tujuan ekonomi. Tujuan sosial dan ekonomi dapat menjadi konflik, misalnya dengan memaksimumkan efisiensi ekonomi dan memaksimumkan tenaga kerja dapat secara simultan dilakukan pada perikanan tertentu, dan dengan melakukan ini akan menghasilkan konflik. Contoh umum konflik tersebut adalah antara armada komersial yang bertujuan utama ekonomis dan armada tradisional yang tujuan utama adalah sosial, keduanya mempunyai satu dampak pada stok yang sama dan mungkin juga saling mencampuri operasi penangkapan satu dengan yang lainnya. Hal ini penting untuk otoritas managemen untuk mengidentifikasi potensi konflik tersebut dan untuk menyelesaikannya, mengidentifikasi dan membuat spesifikasi tujuan yang mempunyai kompromi untuk mendapat dukungan yang akan dicapai. (5)
Pertimbangan ekonomi Dalam satu perikanan yang efisiensi ekonomi berkelanjutan telah
dispesifikasikan sebagai keuntungan tunggal untuk diekstraksi secara secara optimal, sehingga kekuatan pasar dapat diantisipasi untuk mendapatkan tujuan efisiensi ekonomi yang diinginkan. Akan tetapi dalam kenyataannya, kondisi optimum tersebut jarang terjadi, jika ada, ketakpastian dan eksternalitas menjadi seleksi alam kekuatan pasar. Ketakpastian termasuk keragaman sumberdaya yang tak dapat diprediksi dan sumber lain yang kurang informasi, sedangkan eksternalitas terdiri dari dampak perikanan lain pada sumberdaya target (yaitu diambil sebagai bycatch), subsidi, aturan tataniaga, regulasi fiskal dan keragaman pasar dan permintaan. Semua ini mengungkap kerumitan dan menambah ketakpastian dalam perikanan (bila tanpa managemen sempurna) dan akan terbentuk ekonomi sub-optimal. Penting bagi otoritas management untuk mempertimbangkan konteks ekonomi perikanan secara luas termasuk relevansinya dengan faktor makroekonomi. Bersama dengan kajian sosial,
45
ini memerlukan konsultasi dengan legitimasi pengguna yang akan sangat dipengaruhi oleh isu dan sensitif. Satu hal yang ekstrim, meskipun masih umum di dunia perikanan khususnya di negara-negara berkembang adalah permasalahan perikanan open acces, yang mana setiap orang diijinkan untuk masuk dalam perikanan. Pada keadaan ini, orang akan terus-menerus masuk perikanan hungga keuntungan dari penangkapan menjadi rendah dan tidak menarik lagi untuk prospek di masa datang. Seberapa rendahnya, tergantung dari besarnya ketersediaan opsi lain dan di kebanyakan negara khususnya negara berkembang alternatif tersebut sangat jarang.
2.5
Focus Group Discussion (FGD) Teknik focus group discussion (FGD) diperkenalkan di Inggris pada tahun
1995 terutama pada kelompok peneliti di bidang kesehatan dan pengobatan. Keunggulannya adalah tidak ada diskriminasi terhadap subjek yang menjadi focus, baik yang dapat atau tidak dapat membaca/menulis. Dapat menggali informasi dari orang yang malu terhadap wawancara, dapat mengumpulkan data dan informasi secara kualitatif yang akhirnya dapat dikuantitatif berdasarkan trend atau kecenderungan (Kitzinger 1995). Kelompok fokus adalah kelompok yang membahas hal-hal yang spesifik, terstruktur, mempunyai kerangka waktu dan prosedur. Metode ini pertama dikembangkan untuk digunakan dalam riset pasar dalam menentukan sikap dan keinginan masyarakat mengenai satu produk tertentu, yang akhirnya dikenal oleh masyarakat ilmuwan sebagai alat yang bermanfaat untuk menggali informasi dari beragam tujuan. Informasi yang dihasilkan bermanfaat untuk merancang dan memantau keberhasilan maupun kegagalannya. Pertanyaan difokuskan pada topik yang relevan, mengeliminasi isu yang tidak relevan dan memilih term dan bahasa yang sesuai. Prinsip-prinsip dalam FGD menurut Irwanto (2006) adalah: (1)
FGD adalah kelompok diskusi bukan wawancara atau obrolan. Ciri khas metode FGD yang tidak dimiliki oleh metode riset kualitatif lainnya (wawancara mendalam atau observasi) adalah interaksi.
46
(2)
FGD adalah group bukan individu. Prinsip ini masih terkait dengan prinsip sebelumnya. Agar terjadi dinamika kelompok, moderator harus memandang para peserta FGD sebagai suatu group, bukan orang per orang. Selalu melemparkan topik ke ―tengah‖ bukan diarahkan ke peserta FGD.
(3)
FGD adalah diskusi terfokus bukan diskusi bebas. Prinsip ini melengkapi prinsip pertama di atas. Selama diskusi berlangsung moderator harus fokus pada tujuan diskusi, sehingga moderator akan selalu berusaha mengembalikan diskusi ke ―jalan yang benar‖.
2.6
Multi Criteria Decision Making (MCDM) Analisis MCDM merupakan suatu teknik analisis untuk menentukan
alternatif keputusan yang akan diambil dengan menentukan kriteria yang dapat digunakan dalam memilih alternatif tersebut. Seorang pengambil keputusan dapat memberikan bobot yang lebih atau kurang pada setiap kriteria tergantung seberapa penting atau kriteria tersebut menjadi penilai dalam pengambilan keputusan. Jumlah bobot seluruh kriteria harus sama dengan satu. Menurut Jankkowski (1994) dalam Hanim (2007), penerimaan MCDM pada beberapa bidang ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya: (1)
Teknik MCDM memiliki kemampuan menangani jenis data yang bervariasi (kuantitatif, kualitatif, campuran dan pengukuran yang intangible).
(2)
Dapat mengakomodasi perbedaan yang diinginkan dalam kriteria.
(3)
Skema bobot yang bervariasi, menghadirkan prioritas yang berbeda atau pandangan dari stakeholder yang berbeda dapat diterapkan dalam MCDM.
(4)
Teknik MCDM tidak membutuhkan penilaian ambang seperti pada operasi overlay sehingga kehilangan informasi yang dihasilkan tidak terjadi penurunan skala dari variabel yang kontinyu pada skala nominal.
(5)
Prosedur analisis atau agregat dalam MCDM relatif sederhana dan straightforward.
47
Analisis kriteria memerlukan sejumlah pendekatan dengan menghitung banyak kriteria untuk membentuk struktur dan mendukung proses pengambilan keputusan. Penggunaan Simple Multi Attribute Rating Technique (SMART) merupakan salah satu software untuk mendukung analisis MCDM.