2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Deskripsi dan Identifikasi Ikan Bandeng (Chanos chanos, Forskal) Bandeng (Chanos chanos, Forskal) merupakan hasil utama budidaya
tambak. Berwarna putih keperak-perakan. Sepintas mirip dengan ikan salem, namun dagingnya tidak berwarna merah, melainkan putih susu, sehingga di berbagai negara yang berbahasa Inggris, dikenal sebagai milkfish. Badannya langsing berbentuk torpedo dengan sirip ekor yang bercabang dan merupakan suatu tanda ikan perenang cepat. Panjang badannya bisa mencapai 1 meter, tetapi di tambak ukuran badannya tidak dapat melebihi 50 cm karena pengaruh faktor ruang dan sengaja diambil sebelum menjadi dewasa (Soeseno 1988). Secara taksonomi, bandeng termasuk dalam Kelas Pisces (bangsa ikan), Subkelas Teleostei (ikan bertulang sejati), Ordo Malacopterygii (ikan berjari-jari sirip lemah), Keluarga Chanidae (bandeng-bandengan), Genus Chanos, spesies Chanos chanos. Ikan ini dalam bahasa daerah, dikenal juga dengan nama-nama bandeng, bolu, muloh dan ikan agam (Mudjiman 1991). Gambar morfologi bandeng (Chanos chanos Forskal) disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Ikan bandeng (Chanos chanos, Forskal). Sumber:http://www.verwijsfish.com/picture content/cms_picture/7.jpg [30 Desember 2008] Pengembangan budidaya bandeng di masyarakat tidak banyak menemui kesulitan karena ikan ini memiliki keunggulan komparatif dibandingkan dengan ikan lainnya. Cara pembenihannya telah dikuasai sehingga pasokan benih tidak tergantung dari alam, cara pembudidayanya relatif mudah, bersifat euryhaline, toleran terhadap perubahan salinitas antara 0-158 ppt (Ismail et al. 1994).
5
Ikan bandeng juga bersifat herbivorous dan tanggap terhadap pakan buatan, dengan formulasi pakan buatan relatif mudah, tidak bersifat kanibal, dan mampu hidup dalam kondisi berjejal. Ikan bandeng juga dapat dibudidayakan secara polikultur dengan spesies lainnya, seperti baronang. Ikan bandeng dagingnya bertulang, tetapi rasanya lezat dan di beberapa daerah memiliki tingkat preferensi konsumsi yang tinggi. Ikan bandeng juga dapat digunakan sebagai umpan bagi industri penangkapan tuna (Rachmansyah et al. 1997). 2.2 Deskripsi dan Identifikasi Ikan Patin (Pangasius sp.) Ikan patin (Pangasius sp.) merupakan ikan konsumsi budidaya ikan air tawar unggulan dari famili pangasidae yang dikenal dengan nama lokal patin, jambal atau pangasius. Ikan patin berbadan panjang, berwarna putih perak dengan punggung berwarna kebiruan-biruan. Daging ikan patin memiliki kandungan kalori dan protein cukup tinggi, rasa dagingnya enak, lezat dan gurih. Gambar ikan patin dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Ikan patin (Pangasius sp.). Saanin (1984) mengklasifikasi ikan patin sebagai berikut : Filum
: Chordata
Kelas
: Pisces
Sub Kelas
: Teleostei
Ordo
: Ostariophysi
Sub Ordo
: Siluroidei
Famili
: Schilbeidae
Genus
: Pangasius
Spesies
: Pangasius hipothalmus
6
2.3 Protease pada Ikan Protease adalah enzim yang mampu menghidrolisis ikatan peptida pada protein. Enzim ini untuk melakukan aktivitasnya membutuhkan air sehingga dikelompokkan dalam kelas hidrolase. Protease berperan dalam sejumlah reaksi biokimia seluler. Selain diperlukan untuk degradasi protein nutrien, enzim protease terlibat dalam sejumlah mekanisme patogenisitas, proses koagulasi darah, proses sporulasi, diferensiasi, sejumlah proses pasca translasi protein, dan mekanisme ekspresi protein ekstra seluler (Rao et al. 1998). Secara umum protease dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu proteinase dan peptidase. Proteinase mengkatalisis hidrolisis molekul protein menjadi fragmen-fragmen besar, sedangkan peptidase mengkatalisis fragmen polipeptida menjadi asam amino (Suhartono 1992). Dilihat dari letak pemutusan ikatan peptida,
protease
dibedakan
menjadi
endopeptidase
atau
proteinase
(EC 3.4.21-99) dan eksopeptidase (EC 3.4.11-21). Endopeptidase memutuskan ikatan peptida yang berada di dalam rantai protein sehingga dihasilkan peptida dan polipeptida, sedangkan eksopeptidase menguraikan protein dari ujung rantai sehingga dihasilkan satu asam amino dan sisa peptida. Berdasarkan sifat kimia dan sisi aktifnya dikenal empat golongan protease yaitu serin (EC 3.4.21), sistein (EC 3.4.22), aspartat (EC 3.4.23), dan metallo endopeptidase (EC 3.4.24) (Otto dan Schirmeister 1997). Sistein protease merupakan kelompok besar enzim, termasuk katepsin lisosomal dan calpain. Secara fisiologis, sistein proteinase mempunyai peranan penting pada metabolisme protein dan sebaliknya. Selain itu sistein proteinase juga dihubungkan dengan proses dan aktivasi berbagai prohormon, proenzim, dan peptida (Hultman 2003). Katepsin juga terlibat dalam kemunduran tekstur daging. Katepsin yang berbeda dapat memberikan aksi pada proses autolisis daging ikan (Kolodziejska dan Sikorski 1996). Katepsin ditemukan di lisosom serat daging dan di sel fagosit. Lisosom merupakan intraseluler organel yang banyak mengandung enzim hidrolitik dan berperan dalam pencernaan dalam sel. Beberapa tipe katepsin telah diidentifikasi dengan asam amino yang berbeda di sisi aktifnya. Katepsin B (EC 3.4.22.2) dan Katepsin L (EC 3.4.22.15) keduanya merupakan sistein proteinase yang
7
kemungkinan paling penting dalam kemunduran tekstur daging (Aoki et al. 2000; Kolodziejska dan Sikorski 1996). Aktivitasnya berbeda beda tiap fraksi daging dan spesies ikan. Aktivitas optimum dilaporkan pada suhu 40-50
o
C dan
aktivitasnya menurun dengan penurunan suhu. Katepsin secara umum bekerja pada pH 3-4 dan beberapa katepsin juga mempunyai aktivitas tinggi pada pH 6-6,5 (Aoki et al. 2000; Kolodziejska dan Sikorski 1996). Aktivitas katepsin sangat berpengaruh terhadap tekstur daging ikan karena katepsin dapat menurunkan fleksibilitas (kekenyalan) sehingga daging ikan menjadi tidak elastis dan jaringan daging ikan melunak (lembek). Pelunakan daging ini merupakan salah satu sumber masalah pada industri surimi karena katepsin dapat menurunkan kemampuan pembentukan gel pada proses pembuatan surimi dari daging ikan akibat degradasi protein miofibril yang dapat mengurangi elastisitas dan kekuatan gel surimi. Jenis katepsin B, D, L dan H telah diketahui memiliki efek gel softening pada proses pembentukan gel surimi (Haard 2000). Calpain (EC 3.4.22.17) merupakan proteinase netral yang diaktifkan adanya ion kalsium, dan bekerja bersama dengan spesifik inhibitor endogenous (calpastatin) pada kebanyakan hewan mamalia tetapi tidak ditemukan pada tanaman (Otto dan Schirmeister 1997). Calpain mempunyai peran pada post mortem degradasi daging ikan melalui pemecahan protein miofibrillar. Calpain adalah sistein endopeptidase netral yang ditemukan pada sarkoplasma daging. Disusun dari dua subunit dan diaktifkan oleh ion kalsium dan komponen thiol, kebanyakan aktif pada pH netral (6,9-7,5) dan suhu 30 oC (Kolodziejska dan Sikorski 1996). Kolagenase (EC 3.4.24.7) merupakan metalloproteinase yang ditemukan pada daging skeletal (Kolodziejska dan Sikorski 1996). Endogenous kolagenase berperan dalam kerusakan jaringan penghubung daging ikan yang menyebabkan gaping dan perubahan tekstur yang tidak diinginkan. Selain itu, terjadinya perubahan komponen dari matrik ekstraseluler dapat lebih memberikan kemudahan penyerangan oleh protease lainnya (Ashie et al. 1996). Endogeneus kolagenase bertanggung jawab terhadap kerusakan protein fibril kolagen pada otot daging ikan granedier biru (Macruronus novaezelandiae) (Hultman 2003).
8
2.4 Inhibitor Protease Suatu molekul enzim dapat kehilangan aktivitasnya akibat panas, asam atau basa kuat, pelarut organik, atau faktor lain yang dapat menyebabkan denaturasi dan perubahan konformasi protein. Hambatan atau inhibisi pada suatu reaksi yang menggunakan enzim sebagai katalis dapat terjadi apabila penggabungan substrat pada bagian aktif enzim mengalami hambatan. Molekul atau ion yang dapat menghambat reaksi tersebut dinamakan inhibitor (Lehninger 1993). Inhibitor enzim merupakan suatu komponen yang dapat menurunkan laju rata-rata pengukuran reaksi katalitik enzim (Carreno dan Cortes 2000). Lebih dari 100 jenis inhibitor protein alami telah berhasil diidentifikasi dan lebih banyak lagi jenis yang telah berhasil disintetis. Inhibitor proteinase memiliki berbagai macam bentuk dan sering dikelompokkan berdasarkan mekanisme reaksinya dan kesamaan strukturnya (Creighton 1989 diacu dalam Wijaya 2005). Banyak inhibitor proteinase alami berupa protein dengan ukuran molekul berkisar 3.000-800.000 Da. Inhibitor dari kultur mikroba juga mengandung inhibitor proteinase dengan berat molekul rendah dan biasanya berupa peptida (Nagase dan Salvesen 2001). Inhibitor enzim, berdasarkan spesifitas kerjanya, dibagi atas inhibitor enzim non spesifik dan spesifik. Inhibitor non spesifik meliputi α2-macroglobulin, peptida klorometil keton, peptida aldehida, dan metal chelator. α2-macroglobulin mempunyai bobot molekul tinggi, bersifat irreversible, dapat berikatan dan menghambat kebanyakan endopeptidase (proteinase). Inhibitor jenis peptida aldehida bersifat reversible, terdiri dari leupeptin dan antipain yang mengandung aldehida (Salvesen dan Nagase 2001). Inhibitor spesifik meliputi inhibitor proteinase serin, proteinase sistein, proteinase logam, proteinase aspartat, dan inhibitor proteasome. Inhibitor protease serin meliputi organofosfat, sulfonil flourida (PMSF), kumarin, asam boron peptida, dan protein inhibitor serin proteinase (serpin dan aprotinin). Organofosfat merupakan komponen yang toksik karena menginaktifkan asetilkolin esterase. PMSF bersifat kurang aktif, sehingga dapat digunakan secara umum untuk proteinase serin, dengan beberapa proteinase sistein yang bersifat reversible. Komponen penyusun kumarin adalah heterosiklik bersifat
9
nontoksik, mempunyai kecepatan reaksi yang lebih cepat dibandingkan dengan DFP atau PMSF, sehingga merupakan inhibitor yang paling banyak direkomendasikan. Inhibitor proteinase logam berupa peptida inhibitor dan protein inhibitor seperti TIMPs (Salvesen dan Nagase 2001). 2.4.1
Inhibitor Sistein Proteinase Aktivitas sistein proteinase dapat diatur dan dihambat secara endogenous,
melalui inhibitor alami maupun melalui pengikatan sistein pada kondisi lingkungan tertentu seperti pH dan agen pengkelat. Jika sistem kontrol pada lingkungan proteinase tidak seimbang maka akan menyebabkan kerusakan serius. Banyak pathogen mempunyai sendiri sistein proteinase untuk menginvasi inangnya. Mengganggu aktivitas sistein proteinase dan inhibitor alaminya dapat dihubungkan dengan beberapa kondisi patologis seperti arthritis, kekacauan system syaraf, dan kanker (Hultman 2003). Inhibitor proteinase sistein meliputi peptida diazometana, peptida epoksida, florometil keton, asilometil keton, dan sistatin. Semuanya bersifat irreversible kecuali sistatin yang bersifat reversible. Mekanisme penghambatan oleh peptida diazometana melalui pembentukan sistin teralkilasi, sedangkan peptida epoksida melalui pembentukan gugus alkil pada sisi aktifnya. Peptida klorometil keton menghambat enzim dengan cara mengikat protein melalui alkilasi pada sisi aktif histidin oleh klorometil (Salvesen dan Nagase 2001). Inhibitor sistein proteinase dari hewan dan mamalia dapat berupa sistatin yang dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu stefin, sistatins, dan kininogens. Pada umumnya, semua inhibitor sistein proteinase mempunyai stabilitas yang besar terhadap suhu tinggi (sampai 100 oC) dan pH yang ekstrim (LMW-CPIs pH 2-12, kininogens pH 5-12) maupun spesifitasnya pada sistein proteinase (Otto dan Schirmeister 1997). Sistatin adalah inhibitor sistein proteinase yang secara luas tersebar pada jaringan hewan dan cairan tubuh, merupakan suatu molekul protein yang terdiri dari 100 sampai 120 deret asam amino dengan adanya jembatan disulfida dan residu karbohidrat (Otto dan Schirmeister 1997). Sistatin diklasifikasikan dalam tiga group berdasarkan struktur molekulnya. Kelompok I sistatin, kekurangan ikatan disulfida dan residu karbohidrat dengan jumlah asam amino 100, seperti
10
stefin, sistatin A, B dan rat cystatin β. Kelompok II sistatin, mempunyai karakteristik dua ikatan disulfida dengan jumlah asam amino 110-120, seperti human cystatin, chiken cystatin, dan rat cystatin. Kelompok I dan II ini mempunyai berat molekul 10 sampai 20 kDa. Kelompok III sistatin adalah kininogen yang mempunyai rantai tunggal glikoprotein yang mengandung 3 domain like cystatin dengan berat molekul 68 sampai 120 kDa (Oliviera et al. 2003 ; Ustadi et al. 2005). Inhibitor endogenous dari sistein proteinase yaitu sistatin telah dilaporkan dapat bereaksi sebagai agen pertahanan melawan bakteri, virus, dan hama. Salah satu sistatin yang ditemukan dari kulit tikus dan juga pada manusia. Lingkungan tempat ikan hidup yang penuh dengan pathogen dapat memungkinkan juga kulit ikan mengandung mekanisme pertahanan nonspesifik (Hultman 2003). Interaksi antara proteinase sistein dan inhibitornya telah menjadi tujuan beberapa penelitian pada dua dekade ini. Spesifik inhibitor dari sistein protease sangat dibutuhkan untuk mencegah terjadinya proteolisis yang destruktif dan juga dapat dimanfaatkan pada proses terapi dan pada bahan penelitian. Pengertian yang mendalam pada interaksi sistein proteinase dan inhibitornya dapat memberikan informasi penting unutuk mengontrol aktivitas proteolitik (Hultman 2003). Purifikasi Inhibitor protease alami telah banyak dilakukan oleh bererapa peneliti diantaranya oleh Olonen (2004) yang melakukan purifikasi pada kulit ikan atlantic salmon, atlantic cod, dan spotted wolf fish yang diperoleh empat inhibitor sistein proteinase, dimana kininogens ditemukan pada semua jenis ikan yang diteliti. Ditemukan juga tipe baru inhibitor sistein proteinase yaitu salarin. Li et al. (2008) melakukan penelitian pada pemurnian inhibitor sistein proteinase dari plasma ikan chum salmon (Oncorhynchus keta) diperoleh sistein proteinase inhibitor dengan rasio kemurnian 0,94% dan 30,36 fold, berat molekul 70 kDa, jenis inhibitor adalah kininogen. Beberapa hasil penelitian lain dapat dilihat pada Tabel 1.
11
4
Tabel 1 Beberapa penelitian mengenai purifikasi inhibitor enzim dari jaringan hewan Peneliti dan bahan - Li et al. (2008)
Bahan penelitian - Plasma ikan chum salmon
- Ustadi et al. (2005)
- Telur ikan glassfish
Teknik pemurnian - Kromatografi afinitas - Gel filtrasi
- Presipitasi (NH4)2SO4 - CM Sepharose - Sephacryl HR-100 - Kromatografi afinitas - Han et al. - Telur katak - gel filtrasi (2008) - ion exchange kromatografi - RP-HPLC - Cao et al. - Daging - Presipitasi (NH4)2SO4 (2000) skeletal ikan - kromatografi kolom - Gel filtrasi croaker - Choi et al. - Telur ikan - Presipitasi (NH4)2SO4 (2002) skipjack tuna - Gel filtrasi - Ion exchange kromatografi - RP-HPLC - Ylonen et al. - Kulit ikan - papain-affinity (2002) atlantic cod kromatografi - kulit ikan - Gel filtrasi - Anion exchange spotted kromatografi wolffish
Aktivitas dan Karakteristik - Kemurnian 0,94 % - pH 6,0 -9,0 dan 30,36 fold, optimum pH 7,0 BM 70 kDa - Suhu 20-40 oC - Ki 105 nM - Kemurnian 0,25% - Suhu 50 sampai dan 49,69 fold 65 oC - BM 18 dan 67 kDa - pH 8 - Ki 4,44 nM - BM 14,4 kDa - Bakteriostatic - Ki 620 nM, 27 nM dan 220 nM - BM 55 kDa - Suhu optimum 55 oC Hasil purifikasi
Keterangan - inhibitor non kompetitif - kininogen (sistein protease inhibitor) - sistatin I (sistein protease inhibitor) - Ranaserpin (serin protease inhibitor) - Miofibril serin proteinase inhibitor
- BM 39 kDa - pH 4-10 - Kemurnian 0,19 % - Suhu optimum dan 18,18 fold dibawah 40 oC
- Tripsin inhibitor
- pI 3,6 ; 3,9 ; 4,4 - ikan cod BM 51 kDa - ikan spotted - pI 4,1, 4,3, 4,35, wolffish 45,8 kDa 4,4
- Kininogen (inhibitor sistein) - mengandung Nacetylglucosamine
12
2.4.2
Mekanisme Kerja Inhibitor Protease Hambatan yang dilakukan oleh inhibitor dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu hambatan tidak dapat balik (irreversible) dan hambatan dapat balik (reversible). Hambatan tidak dapat balik pada umumnya disebabkan oleh terjadinya proses destruksi atau modifikasi sebuah gugus atau lebih yang terdapat pada molekul enzim inhibitor (Carreno dan Cortes 2000). Inhibitor tidak dapat balik (irreversible) atau disebut juga inactivator, selalu mengikat enzim secara kovalen (Otto dan Schirmeister 1997). Hambatan dapat balik (reversible) biasanya merupakan interaksi non kovalen antar enzim dan inhibitor (Otto dan Schirmeister 1997). Hambatan dapat balik terdiri dari hambatan bersaing (kompetitif) dan tidak bersaing (non kompetitif).
Hambatan bersaing disebabkan karena ada molekul yang mirip
dengan substrat, yang dapat pula membentuk kompleks, yaitu kompleks enzim inhibitor (EI). Pembentukan kompleks EI ini sama dengan pembentukan kompleks ES (enzim substrat), yaitu melalui penggabungan inhibitor dengan enzim pada bagian aktif enzim, sehingga terjadi persaingan antara inhibitor dengan substrat terhadap bagian aktif enzim. Inhibitor bersaing menghalangi terbentuknya kompleks ES dengan cara membentuk kompleks EI. Berbeda dengan kompleks ES, kompleks EI tidak dapat membentuk produk (P). Ciri inhibitor kompetitif ini adalah penghambatan dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat (Lehninger 1993). Hambatan tidak bersaing (non kompetitif) tidak dipengaruhi oleh besarnya konsentrasi substrat dan inhibitor yang melakukannya disebut inhibitor tidak bersaing. Inhibitor ini dapat bergabung dengan enzim pada suatu bagian enzim di luar bagian aktif. Penggabungan antara inhibitor dengan enzim ini terjadi pada enzim bebas atau pada enzim yang telah mengikat substrat, yaitu kompleks enzim-substrat. Penggabungan inhibitor dengan enzim bebas menghasilkan kompleks EI, sedangkan penggabungan dengan kompleks ES menghasilkan kompleks ESI (enzim substrat inhibitor). Baik kompleks EI maupun ESI bersifat inaktif, sehingga kedua kompleks tersebut tidak dapat menghasilkan produk reaksi yang diharapkan (Lehninger 1993).
13
2.5
Pemurnian Enzim dan Inhibitor Enzim Pemurnian enzim dan inhibitor endogenous enzim secara umum
mempunyai teknik pemurnian yang sama, karena bentuk molekul dari inhibitor (natural protease inhibitor) dapat berupa protein. Inhibitor alami proteinase banyak berupa protein dengan ukuran molekul berkisar 3.000-800.000 Da. (Nagase dan Salvesen 2001). Tujuan utama pemurnian enzim adalah mengisolasi enzim murni dengan aktivitas spesifik yang tinggi dan kemurnian maksimal pada tingkat rendemen maksimal dengan biaya yang efektif (Harris dan Angal 1989 diacu dalam Wijaya 2005). Pemurnian enzim secara umum dapat dibagi menjadi ekstraksi, pemekatan, dan fraksinasi. Pemilihan tahapan pemurnian secara tepat sangat berpengaruh terhadap kriteria enzim murni yang dihasilkan. Enzim dan inhibitor protease endegenous dari hewan, seperti pada ikan, pada umumnya terletak pada jaringan dan organ-organ khusus atau intraseluler sehingga dibutuhkan teknik tertentu untuk mengekstraknya. Tahap awal untuk ekstraksi enzim intraseluler adalah pemecahan sel melalui proses mekanis (agitasi, sonikator, homogenasi, dan lainnya) atau non mekanik dengan manipulasi lingkungan, kimiawi, dan enzimatis (Suhartono 1989). Aktivitas inhibitor yang terdeteksi terdapat pada ekstrak kasar, selanjutnya dilakukan fraksinasi inhibitor, dengan ammonium sulfat, pelarut organik, fraksinasi dengan polietilen glikol, kromatografi gel filtrasi, atau penukar ion. Proses ini dapat menentukan peningkatan aktivitas spesifik inhibitor setelah fraksinasi (Nagase dan Salvesen 2001). Proses pemisahan dengan sentrifugasi merupakan sistem pemisahan berdasarkan ukuran dan berat. Partikel dengan berat, ukuran, dan bentuk yang berbeda akan mengendap pada kecepatan yang berbeda. Metode ini dapat menyebabkan gumpalan non enzim yang dihasilkan pada proses klarifikasi dengan bagian enzimnya dapat dipisahkan. Enzim intraseluler yang telah dikeluarkan akan dipisahkan dari bagian sel dan dindingnya dengan proses sentrifugasi. Proses sentrifugasi terhadap enzim-enzim yang bersifat rapuh dilakukan pada suhu rendah, sehingga kehilangan aktivitas enzim dapat dijaga seminimal mungkin (Suhartono 1989).
14
Pemekatan enzim dan inhibitor protease yang berupa protein pada dasarnya sama dengan pemurnian enzim, yaitu dilakukan untuk memisahkan konsentrat protein dari komponen biomolekul lainnya, seperti karbohidrat, lipid, dan asam nukleat. Berbagai metode pemekatan yang lazim digunakan dalam pemurnian enzim, yaitu pelarut organik, presipitasi dengan garam, polimer, dialisis, ultrafiltrasi, dan liofilisasi (Rosenberg 1996). Pemekatan enzim dan inihibitor protease endogenous dilakukan untuk memisahkan konsentrat protein dari komponen biomolekul lainnya. Beberapa metode pemekatan yang banyak digunakan dalam pemurnian enzim atau inhibitor adalah presipitasi dengan garam. Presipitasi untuk memurnikan enzim antara lain adalah presipitasi dengan pengaturan pH, peningkatan kekuatan ion, penurunan kekuatan ion, dan penggunaan pelarut organik. Presipitasi yang paling banyak digunakan adalah peningkatan kekuatan ion atau lebih dikenal dengan nama salting out (Rosenberg 1996). Presipitasi dengan garam (ammonium sulfat dan natrium sulfat) lebih disukai daripada presipitasi dengan pelarut organik, seperti etanol dan aseton. Ammonium sulfat sering digunakan karena kelarutannya tinggi, harganya murah, dan umumnya tidak mempengaruhi struktur protein atau menstabilkan protein enzim (Suhartono 1989). Presipitasi protein menggunakan ammonium sulfat dapat menyebabkan dehidrasi lingkungan mikro dari molekul protein. Ion-ion dari garam, seperti ion sulfat (SO42-) akan menarik dan mengikat molekul air dari koloid protein. Pada konsentrasi rendah, ion-ion ini akan mengisi lingkungan molekul protein sehingga protein melarut yang disebut salting in. Pada konsentrasi tinggi terjadi peningkatan muatan listrik yang akan menarik molekul air dari koloid protein sehingga interaksi hidrofobik diantara sesama molekul protein akan menurunkan kelarutan protein sehingga terjadi salting out yang menyebabkan protein mengendap (Suhartono 1989 ; Rosenberg 1996). Fraksinasi merupakan tahap akhir dalam pemurnian enzim yang bertujuan untuk memisahkan enzim dari protein-protein non enzim lainnya. Metode fraksinasi yang umum untuk pemurnian enzim meliputi kromatografi kolom dan elektroforesis.
15
2.6.
Elektroforesis SDS-PAGE Elektroforesis merupakan teknik pemisahan senyawa berdasarkan
kecepatan migrasi dari senyawa bermuatan listrik dibawah pengaruh medan listrik. Beberapa matriks yang banyak digunakan adalah agarose dan poliakrilamida (Westermeier 2005). Elektroforesis gel poliakrilamida (poly acrilamide gel electrophoresis) merupakan metode yang sering digunakan dalam analisis sampel biologis karena kemampuannya dalam memisahkan campuran protein kompleks dengan baik dengan resolusi yang tinggi (Rosenberg 1996). Molekul-molekul biologis yang bermuatan listrik di dalam larutan akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan muatan molekul. Prinsip inilah yang digunakan untuk memisahkan molekul-molekul dengan muatan berbeda. Beberapa contoh partikel yang bermuatan, yaitu asam amino, protein, asam nukleat, dan ion-ion (Westermeier 2005). Metode ini menggunakan matriks dari gel yang disusun oleh akrilamida dan N,N’-metilen-bis-akrilamida yang berpolimerisasi melalui mekanisme radikal bebas dengan bantuan katalisator N,N,N’,N’,-tetramethylene-diamine (TEMED) dan inisiator ammonium persulfate (APS) (Rosenberg 1996 ; Westermeier 2005). Poliakrilamida adalah polimer dari monomer akrilamida. Pada saat polimer terbentuk, Poliakrilamida berubah menjadi gel dan digunakan untuk menarik protein melalui gel sehingga keseluruhan proses disebut SDSPAGE. Gel poliakrilamida tidaklah padat tetapi membentuk saluran labirin yang menghubungkan antar pori fiber. Molekul yang berukuran kecil dapat melewati gel poliakrilamida lebih cepat dibanding molekul besar. Setelah proses dihentikan kemudian dilakukan proses pewarnaan protein (Westermeier 2005). Prinsip analisis SDS-PAGE adalah pemisahan protein berdasarkan berat molekul. Penambahan deterjen anionik seperti SDS (sodium dodesil sulfat), βmerkaptoetanol dan pemanasan akan merusak struktur tiga dimensi protein. Beta merkaptoetanol akan memecah ikatan disulfida dan mereduksinya menjadi gugus sulfihidril, sedangkan SDS akan bereaksi dengan protein membentuk kompleks bermuatan negatif sehingga protein akan bergerak dalam medan listrik hanya berdasarkan pada ukuran molekul. Protein berukuran kecil akan bergerak lebih cepat dibandingkan protein berukuran lebih besar (Rosenberg 1996).
16
Reaksi polimerisasi akrilamida dan N,N’-metilen-bis-akrilamida dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Reaksi polimerisasi akrilamida dan N,N’-metilen-bisakrilamida (Westermeier 2005). 2.7. Kromatografi Kromatografi
merupakan
teknik
pemisahan
dengan
mengadakan
manipulasi atas dasar perbedaan sifat-sifat fisik dari zat-zat yang menyusun suatu campuran. Kromatografi juga termasuk teknik isolasi komponen dalam suatu campuran menggunakan medium yang mengalir pada liquid atau gas yang disebabkan perbedaan migrasi setiap komponen. Aliran tersebut biasanya menggunakan tekanan atau gravitasi. Teknik kromatografi secara mendasar terdiri dari empat kelompok, yaitu gel filtrasi, ion exchange, interaksi hidrofobik, dan kromatografi afinitas (Rosenberg 1996). Fraksinasi inhibitor enzim merupakan suatu proses pemurnian untuk memisahkan protein inhibitor dengan protein lainnya yang terdapat pada ekstrak kasar inhibitor enzim. Kromatografi kolom merupakan teknik yang efisien dalam pemisahan protein ekstrak hayati. Metode fraksinasi dengan kolom kromatografi berbeda-beda tergantung pada tujuan karakter fraksi protein yang difraksinasi sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
17
Tabel 2 Metode kromatografi untuk fraksinasi protein Sifat protein
Teknik pemisahan
Hidrofobik
-Interaksi hidrofobik dan fase balik kromatografi
Ukuran dan bentuk molekul
-Filtrasi gel
Titik isoelektrik
-kromatofokusing
Muatan
-Ion exchange kromatografi
Biospesifik terhadap ligan,
-Kromatografi afinitas
inhibitor, reseptor, antibodi dll. Sumber : APB (2001) Kromatografi penukar ion (ion exchange chromatography) merupakan teknik pemisahan berdasarkan muatan dengan memanfaatkan sifat amfoter dari protein. Pengisi kolom merupakan senyawa polimer elastik dengan kerangka resin sintetik berupa polistirena yang dikaitkan dengan suatu gugus fungsional yang akan berinteraksi dengan molekul enzim. Dietilaminoetil (DEAE) selulosa merupakan penukar ion yang paling banyak digunakan untuk keperluan fraksinasi enzim dan merupakan penukar anion lemah yang bekerja pada kisaran pH 2-9. Penukar ion paling baik dipergunakan pada tahap awal kromatografi dengan kapasitas yang tinggi (Suhartono 1989; Rosenberg 1996). Filtrasi gel digunakan untuk memisahkan protein yang mempunyai berat molekul tinggi dari protein lain yang bermolekul rendah. Salah satu matriks gel yang sering dipakai adalah sephadex yang merupakan cross-linked dextran yang mempunyai sifat tahan terhadap garam atau basa pada konsentrasi tinggi, dapat rusak oleh asam dibawah pH 2, dan merupakan oksidator kuat. Contoh sephadex yang biasa digunakan untuk filtrasi gel adalah sephadex G-100 yang bekerja pada pemisahan molekul berukuran 4.000-150.000 Da. Filtrasi gel sangat baik dipergunakan pada tahap akhir pemurnian (Suhartono 1989; Rosenberg 1996).