6
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Analisis Komparasi Kabupaten Klungkung, kecamatan Nusa Penida terdapat 16 desa yang
mempunyai potensi baik sekali untuk dikembangkan, terutama nusa Lembongan dan Jungutbatu. Kabupaten Klungkung diharapkan sebagai salah satu pusat perikanan laut, ternyata dalam produksi perikanan di provinsi Bali, masih jauh dibawah kabupaten Denpasar, Badung dan Jembrana. Perikanan di Klungkung merupakan salah satu usaha yang berlandaskan alam, karena laut sebagai lahan merupakan salah satu faktor produksi utama perikanan (sea based fisheries). Produk-produk yang dihasilkan oleh perikanan mempunyai hubungan dengan komoditas ekspor, seperti ikan, cumi, udang, rumput laut dan beberapa jenis kima atau mutiara (Data Produksi Bali 2003). Laut dimanfaatkan sebagai sumberdaya alam yang sifatnya tak terbatas tentunya akan lebih berdampak positif jika mengarah kepada potensi lestari (MSY), sehingga menjadi salah satu kontribusi yang besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan terhadap para pelaksana sebagai partisipan langsung. Dengan demikian sumberdaya laut yang dimanfaatkan tersebut berperan ganda yakni sebagai sarana untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan sekaligus meningkatkan pendapatan bagi nelayan yang terlibat langsung. Dalam mengkaji analisis komparasi seperti tersebut diatas maka, perlu suatu kepastian mengenai sejumlah alat tangkap yang dipakai untuk menangkap produk laut. Agar potensi lestari (MSY) dapat dipertahankan, maka perlu suatu alat yang ramah lingkungan efektif, efisien dan dapat dijangkau oleh nelayan secara ekonomis (Rumajar 2002). Dalam wacana pembangunan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi jaringan kerja dan keadilan. Pada dasarnya diletakan pada kekuatan nelayan, tingkat individu dan sosial. Masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur sosial yang tidak berpengaruh negatif terhadap kekuasaan (powerful) (Hikmat 2002). Sementara itu, Hikmat (2002) mengartikan bahwa kehidupan masyarakat atau nelayan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang
7
secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan “keharusan” melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam mencapai tujuan mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Adalah merupakan suatu ironi bagi sebuah Negara Maritim seperti Indonesia bahwa masyarakat nelayan merupakan golongan masyarakat yang paling miskin. Walau data agregatif dan kuantitatif yang terpercaya tidak mudah diperoleh, pengamatan visual atau langsung ke kampung-kampung nelayan dapat memberikan gambaran yang jauh lebih gamblang tentang kemiskinan nelayan di tengah kekayaan laut yang begitu besar. Pemandangan yang sering kita jumpai di perkampungan nelayan adalah lingkungan hidup yang kumuh serta rumah-rumah yang sangat sederhana. Kalaupun ada beberapa rumah yang menonjolkan tanda-tanda kemakmuran (misalnya rumah yang megah dan berantena parabola), rumah-rumah tersebut umumnya dipunyai oleh pemilik kapal, pemodal, atau rentenir yang jumlahnya tidak signifikan dan sumbangannya kepada kesejahteraan komunitas sangat tergantung pada individu yang bersangkutan. Di samping itu, karena lokasi geografisnya yang banyak berada di muara sungai, lingkungan nelayan sering kali juga sudah sangat terpolusi. Lebih dari itu, aspirasi politisnya acap kali terabaikan (Sarosa 2000). Laut Indonesia mencapai tiga per empat wilayah nasional dan potensi ikan sangat besar. Namun kenyataanya sektor perikanan dan kelautan tidak lebih dari sektor pelengkap atau penunjang pembangunan sektor lain seperti industri dan pertanian. Potensi sumberdaya alam laut yang terdapat di Pulau Bali terdapat tiga kegiatan yakni parawisata bahari, budidaya laut dan perikanan tangkap. Ketiga potensi ini dapat dilihat dari pengaruh positif dan negative yang selalu mempengaruhi. Pengaruh positif dan negative dapat terjadi terhadap hasil tangkap dan nelayan itu sendiri. Terhadap hasil tangkapan bersumber pada kelestarian sumberdaya alam untuk pengembangan dan pengelolaan parawisata, demi peningkatan pendapatan nelayan. Munculnya fenomena kemiskinan didaerah pesisir yang
8
merupakan bagian dari sektor kelautan sebagai sumber kekayaan alam utama Indonesia tidak semestinya kita terima begitu saja. Selama ini kelompok termiskin dalam masyarakat kita adalah jutaan masyarakat nelayan kecil disepanjang pantai. Salah satu titik strategis dari penyebab utama kemiskinan dan ketidak berdayaan mereka adalah lemahnya kemampuan manajemen usaha. Hal ini juga terjadi karena rendahnya pendidikan dan penguasaan ketrampilan bidang perikanan. Sumberdaya laut sudah semestinya dilakukan melalui pendekatan dengan para nelayan, antara lain dengan melakukan pemberdayaan kepada kelompok nelayan miskin agar mereka dapat mengorganisasikan usaha tangkapan ikannya (Widiyanto at al 2002). Laut belum memberikan sumbangan maksimal bagi pembangunan ekonomi. Terhadap nelayan akan berakibat bagi sosial dan ekonomi, jika ekonomi baik maka dengan jelas keadan sosial akan baik. Setidaknya fokus masyarakat pesisir untuk mengangkat nasib nelayan yang selama ini masih tergolong miskin. Selain merancang dan melakukan penyediaan teknologi kelautan yang berhubungan dengan nelayan, sebagai langkah awal menuju perbaikan sektor kelautan dan perikanan adalah melalui peningkatan wadah kelembagaan masyarakat pesisir. Teknologi yang diintroduksi adalah bubu besi yang dilengkapi dengan, perahu motor, tali, katrol dan pelampung tanda, kesemuanya ini untuk peningkatan usaha nelayan dan pendapatan, (Monintja dan Martasuganda 1991).
2.2
Alat Tangkap Bubu yang Ramah Lingkungan Semenjak diperkenalkannya sianida pada perikanan karang yang
menjanjikan kemudahan pengoperasian dan hasil tangkap berlipat ganda, namun sejak itu pula didaerah perairan pulau Bali mengalami gangguan yang sangat serius terutama pada semua terumbu karang yang berada di sekaitar pantai. Penggunaan bahan kimia ataupun perusakan terumbu karang yang luar biasa dan tidak ramah lingkungan ini menyebabkan kelestarian sumberdaya hayati laut mulai terancam. Akibatnya habitat ikan demersal menjadi terancam penuh bersama beberapa ikan hias ekonomis (anonimous, 2001).
9
Menurut Ayodhyoa dan Diniah (1989), alat perangkap bermacam-macam dan alat tangkap tersebut adalah pancing, bubu dan trawl dasar. Bubu yang umum dipakai di perairan Indonesia adalah jenis bubu dasar. Pengoperasian bubu dilakukan dengan cara meletakan bubu disela-sela karang atau tempat hunian ikan. Bubu merupakan alat tangkap pasif, tradisional yang berupa perangkap ikan tersebut dari bubu, rotan, kawat, besi, jaring, kayu dan plastik yang dijalin sedemikian rupa sehingga ikan yang masuk tidak dapat keluar (Brandt 1984). Monintja dan Martasuganda (1991) mengemukakan bahwa bubu merupakan alat tangkap tradisional yang memiliki banyak keistimewaan, antara lain : (1) pembuatan bubu mudah dan murah; (2) mudah dalam pengoperasiannya; (3) hasil tangkapan diperoleh dalam keadaan segar; (4) tidak merusak sumberdaya, baik secara ekologi maupun teknik; (5) biasanya dioperasikan di tempat-tempat yang ada tangkap lain tidak bias dioperasikan. Bubu adalah perangkap yang mempunyai satu atau dua pintu masuk dan dapat diangkat ke beberapa daerah penangkapan dengan mudah, dengan atau tanpa perahu (Rumajar 2002). Brandt (1984) menambahkan lagi bahwa bubu adalah semacam perangkap yang memudahkan ikan untuk memasukinya dan menyulitkan ikan untuk keluar, alat ini sering diberi nama fishing pots atau fising basket. Bubu adalah alat tangkap yang sangat efektif untuk menangkap organisme yang bergerak lambat di dasar perairan, baik laut maupun danau, (Rumajar 2002).
2.3
Pengoperasian Bubu Berdasarkan cara operasi penangkapan, bubu dibagi menjadi 3 jenis
yaitu, bubu dasar (stationary fish pots), bubu apung (floating fish pots) dan bubu hanyut (drift fish pots). Bubu yang paling banyak digunakan dalam perikanan Indonesia adalah bubu dasar. Pengoperasian bubu dilakukan dengan
10
cara meletakan bubu diela-sela karang atau tempat hunian ikan. Sesuai dengan namanya, ikan yang tertangkap dengan alat ini adalah ikan dasar, ikan karang (termasuk kerapu dan kakap merupakan ikan-ikan demersal) dan udang (Subani dan Barus, 1989). Subani dan Barus (1989), menyatakan
bahwa Bentuk dari bubu
bermacam-macam yaitu bubu berbentuk lipat, sangkar (cages), silinder (cylindrical), gendang, segitiga memanjakan (kubus), atau segi banyak, bulat setengah lingkaran dan lain-lainnya. Secara garis besar bubu terdiri dari badan (body), mulut (funnel) atau ijeb dan pintu. Badan bubu berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung. Mulut bubu (funnel) berbentuk corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tapi tidak dapat keluar dan pintu bubu merupakan bagaian temapat pengambilan hasil tangkapan. Biasanya bubu yang digunakan oleh nelayan di Bali terbuat dari kayu ataupun dari rotan, selanjutnya dianyam membentuk sebuah kurungan dengan ukuran rata-rata bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan, untuk bubu kecil umumnya berukuran panjang (70 – 100 cm), lebar (50 – 70 cm) dan tinggi (25 – 30 cm). Untuk bubu besar dapat mencapai ukuran panjang (3,5 – 6 m), lebar (75 – 150 cm) dan tingginya (50 – 150 cm). Bubu ini dipasang pada kedalaman perairan 20 – 50 m sesuai lokasi, setiap 2 – 4 hari hasilnya diambil dengan perahu sampan (anonimous 2001). Dalam pengoperasiannya dapat dilakukan dengan dua cara. Cara pertama, bubu dipasang secara terpisah (umumnya bubu berukuran besar), satu bubu dengan satu pelampung. Cara kedua dipasang secara bergandengan (umumnya bubu ukuran kecil sampai sedang) dengan menggunakan tali utama, sehingga cara ini dinamakan “longline trap”. Untuk cara kedua ini dapat dioperasikan beberapa bubu sampai puluhan bahkan ratusan bubu. Biasanya dioperasikan dengan menggunakan kapal yang bermesin serta dilengkapi dengan katrol. Tempat pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau diantara pemasangan bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau diantara karang-karang atau bebatuan (Subani dan Barus 1989). Ditambahkan oleh Rumajar, (2002), bahwa untuk memudahkan mengetahui
11
tempat-tempat dimana bubu dipasang, maka dilengkapi dengan pelampung melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu tersebut (Gambar 1). Bubu sendiri dalam operasionalnya untuk laut dalam (bubu dasar) sering dipakai benda berupa umpan untuk menarik perhatian ataupun dilepas tanpa menggunakan umpan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan ikan dasar, ikan karang dan udang terperangkap pada bubu. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah tertarik oleh bau umpan, dipakai untuk tempat berlindung, sebagai tempat istirahat sewaktu ikan bermigrasi dan karena sifat thigmotaxis dari ikan itu sendiri (Monintja dan Martasuganda 1991). Menurut Gunarso (1985), sifat thigmotaxis adalah sifat ikan yang selalu ingin mengetahui suatu benda asing yang ada di sekitarnya, sehingga ikan cendrung untuk menyentuh diri pada alat tersebut. Selain merancang dan melakukan penyediaan teknologi kelautan yang berhubungan dengan nelayan, sebagai langkah awal menuju perbaikan sektor kelautan dan perikanan adalah melalui peningkatan wadah kelembagaan masyarakat pesisir. Teknologi yang diintroduksi adalah bubu besi yang dilengkapi dengan, perahu motor, tali, katrol dan pelampung tanda, kesemuanya ini untuk peningkatan usaha nelayan dan pendapatan, (Monintja dan Martasuganda 1991).
12
Gambar 1. Posisi Pengoperasian Bubu Dasar Perikanan Skala Kecil (von Brandt, 1984).