2. Secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat bagi berbagai pihak berkepentingan (masyarakat, mahasiswa, kelompok kepentingan, dan para pengambil kebijakan).
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Peraturan Daerah Indonesia adalah Negara yang menganut sistem Negara kesatuan (unitary) yang berbentuk Republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap Kabupaten dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Undang-undang. Otonomi daerah adalah kebijakan Pemerintah Republik Indonesia untuk mendistribusikan kekuasaan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Melalui otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus daerahnya masing-masing dalam berbagai hal, kecuali :
1. Politik luar negeri 2. Pertahanan 3. Keamanan 4. Politik luar negeri 5. Moneter dan Fiskal 6. Agama Keenam bidang tersebut diatas merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Artinya selain enam bidang tersebut berbagai kewenangan yang ada merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Selanjutnya secara lebih terperinci Undangundang (UU) No.32 Tahun 2004 juga mengatur pembagian kewenangan antara Pemerintah daerah, yaitu antara Provinsi dengan Kabupaten atau Kota. Dalam pasal 13 UU No.32 Tahun 2004 ditegaskan tentang kewenangan wajib Pemerintahan Provinsi, yaitu ; 1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. Penanganan bidang kesehatan; 6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; 9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota; 10. Pengendalian lingkungan hidup; 11. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. Pelayanan administrasi penanaman modal (investasi) termasuk lintas kabupaten/kota;
15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. Dalam pasal 14 UU ini juga diatur mengenai kewenangan wajib pemerintah kabupaten, yaitu meliputi : 1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan; 2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum; 5. Penanganan bidang kesehatan; 6. Penyelenggaraan pendidikan; 7. Penanggulangan masalah sosial; 8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan; 9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; 10. Pengendalian lingkungan hidup; 11. Pelayanan pertanahan; 12. Pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; 13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan; 14. Pelayanan administrasi penanaman modal (investasi); 15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan 16. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan. Diluar kewenangan-kewenangan tersebut,terdapat beberapa kewenangan yang merupakan kewenangan pemerintah pusat, namun dilimpahkan kepada pemerintah daerah, baik pemerintah propinsi maupun kabupaten/kota. Pelimpahan wewenang tersebut berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 dengan cara dekonsentrasi, maupun tugas pembantuan. Dekonsentrasi dapat dimaknai sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada perangakat pemerintahan pusat di daerah, seperti gubernur dan wakil pemerintah pusat lainnya di daerah. Dalam konsepsi hukum
administrasi negara, pelimpahan wewenang demikian dikenal dengan mandat, yaitu pelimpahan wewenang yang terjadi atas izin suatu organ kepada organ lain agar organ tersebut menjalankan wewenang atas namanya.Dalam mandat juga terdapat beberapa konsekwensi yuridis yang mengikutinya, yaitu ; 1. Perintah untuk melaksanakan 2. Kewenangan dapat dilaksanakan sewaktu-waktu oleh pemberi mandate 3. Tidak terjadi peralihan tanggungjawab, 4. Tidak harus berdasarkan Undang-undang, 5. Tidak harus tertulis. Sedangkan yang dimaksud dengan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggung jawabkannya kepada yang menugaskan. Pada prinsipnya tidak terlalu ada perbedaan antara dekonsentrasi dengan tugas pembantuan ini. Hanya saja dalam tugas pembantuan hal-hal tekhnis sudah diatur oleh pemerintah pusat, sehingga kepala daerah hanya diserahi tugas teknisnya, beserta pertanggung jawabannya.
B. Kewenangan Pemda membuat Perda Pemerintah daerah, baik provinsi, maupun kabupaten/kota memiliki kewenangan untuk membuat peraturan daerah (perda). Dalam pasal 1 UU No.32 Tahun 2004 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perda adalah peraturan yang dimiliki oleh pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.Secara terperinci Bab VI UU No.32 Tahun 2004 menjelaskan tentang prosedur
pembentukan perda, materi muatan perda, asas yang harus terkandung dalam perda, termasuk sanksi yang dapat dimuat dalam perda tersebut. Pertama : Prosedur pembentukan perda. Perda dibentuk/ditetapkan oleh kepala daerah setempat bersama dengan DPRD. Artinya perda yang dibuat di tingkat provinsi ditetapkan oleh gubernur setempat bersama dengan DPRD provinsi, demikian pula di tingkat kabupaten/kota. Usul pembentukan perda dapat dilakukan oleh kepala daerah sebagai kepala eksekutif daerah dan oleh DPRD sebagai legislative daerah. Hal ini berlaku terhadap seluruh usulan perda, kecuali rancangan perda mengenai APBD yang harus berasal dari kepala daerah (eksekutif) saja. Dalam pembentukan perda, masukan dari masyarakat harus diberi ruang, baik dalam proses awal pembentukannya, maupun pada saat perumusan terhadap materi perda tersebut. Kedua : Materi muatan perda disesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki daerah sesuai dengan asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Perda berisikan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas daerah. Dalam konteks ini, materi perda ditafsirkan dari berisi rumusan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan diatasnya. Selain itu, materi perda juga dapat memuat hal-hal yang terkait dengan ciri khas daerah tersebut. Selain itu materi perda juga harus memuat beberapa asas dalam pembentukan perda, yaitu ; 1. Pengayoman; 2. Kemanusiaan; 3. Kebangsaan; 4. Kekeluargaan; 5. Kenusantaraan; 6. Bhineka tunggal ika;
7. Keadilan; 8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; 9. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau 10. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan Ketiga : Sebagai salah satu produk peraturan perundang-undangan di republik Indonesia yang berada pada hirarki bawah, Perda dapat memuat ketentuan sanksi pidana dan denda yang jenis sanksinya lebih ringan daripada sanksi yang dimuat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam ketentuan pasal 143 ayat (1), (2) dan (3) UU No.32 Tahun 2004 diatur mengenai sanksi yang dapat diatur dalam perda, yaitu : 1. Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar sesuai dengan peraturan perundangan. 2. Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). 3. Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya. Keempat : Sebagai produk hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah dalam menjalankan tugasnya berdasarkan asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Prosuder pembentukan, maupun materi Perda dilakukan melalui verifikasi oleh pemerintah pusat sebagaimana ditegaskan dalam pasal 145 UU No.32 Tahun 2004. Perda yang dianggap melanggar kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat melalui Keputusan Presiden. Selambatlambatnya setelah 7 (tujuh) hari sejak dibatalkan, kepala daerah harus
memberhentikan pelaksanaan Perda tersebut dan selanjutnya DPRD dan kepala daerah harus mencabut perda tersebut. Bagi kepala daerah dan DPRD yang merasa keberatan atas pembatalan perda dari pemerintah pusat dapat mengajukan keberatan melalui Mahkamah Agung. Jika keberatan tersebut diterima, maka perda tersebut diberlakukan kembali dengan terlebih dahulu dikeluarkan Keputusan Presiden yang membatalkan Keputusan Presiden sebelumnya yang menyatakan perda tersebut tidak berlaku. Apabila pemerintah pusat tidak mengeluarkan keputusan presiden untuk membatalkan perda tersebut, maka perda tersebut dengan sendirinya dinyatakan berlaku. Kelima : Setelah perda dibuat dan dilaksanakan, masyarakat memiliki kesempatan untuk malakukan “control” terhadap perda tersebut dengan melakukan review terhadapnya. Ada dua mekanisme yang dapat digunakan public untuk melakukan review terhadap perda, yaitu melalui Mahkamah Agung (judicial review) dan melalui pemerintah pusat (executive review). Review yang diajukan ke Mahkamah Agung menuntut keaktifan dari masyarakat dan terbatas hanya dalam waktu 180 hari sejak perda tersebut sejak perda tersebut diundangkan. Sedangkan mekanisme review melalui Pemerintah Pusat c.q Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dilaksanakan sebagai bentuk pengawasan pemerintah pusat terhadap produk hukum pemerintah daerah sebagamana dijelaskan diatas. Kendati demikian publik dapat pro-aktif meminta pemerintah pusat untuk menggunakan kewenangannya ini guna mengawasi perda-perda yang dianggap
bermasalah. Lebih rinci mengenai pengujian (review) terhadap perda dapat dilihat dalam table berikut ; Tabel 2. Perbedaan Pengujian Perda antara Mahkamah Agung dengan Pemerintah Kategori
Mahkamah Agung
Pemerintah Pusat
Jenis Review
Judicial Review
Executive Review
Bentuk review
Permohonan keberatan
1.
Pengawasan preventif terhadap oleh pemerintah pusat terhadap RANPERDA yang bermuatan APBD, pajak dan retribusi daerah serta tata ruang. 2. Pengawasan represif terhadap PERDA dari pemerintah pusat terhadap daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Lembaga yang Mahkamah Agung Departemen Dalam Negeri melakukan dibantu dengan: review a. Departemen Keuangan b. Departemen PU c. Departemen Hukum dan HAM Sifat kewenangan Pasif à menunggu datangnya Aktif melakukan pengawasan, lembaga yang permohonan dari pemohon evaluasi terhadap seluruh melakukan perda yang dikeluarkan review (represif) Kapasitas Menyelesaikan sengketa Dalam rangka pengawasan dan lembaga peraturan perundang-undangan pembinaan terhadap yang timbul dibawah undangpemerintah daerah undang terhadap undangundang (konflik norma) Dasar hukum a. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 a. Pasal 114 ayat (1) sampai kewenangan b. Pasal 11 ayat (2) huruf b UU ayat (4) UU No 22/1999 pengujian No. 4/ 2004 tentang tentang Pemda Kekuasaan Kehakiman b. Pasal 145 ayat (1), ayat (2), c. Pasal 31 ayat (1) sampai ayat ayat (3), dan ayat (4) jo (5) UU No. 5/2004 tentang Pasal 136 ayat (4) jo Pasal Mahkamah Agung 218 ayat (1) huruf b UU No d. Peraturan Mahkamah Agung 32/2004 tentang Pemda No. 1 Tahun 1999 yang sudah
diganti dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materil Standar pengujian a. bertentangan dengan a. bertentangan dengan peraturan perundangperaturan perundangundangan yang lebih tinggi undangan yang lebih tinggi b. pembentukannya tidak b. bertentangan dengan memenuhi ketentuan yang kepentingan umum berlaku Lama waktu Permohonan Keberatan paling a. Perda disampaikan kepada review lambat diajukan ke MA setelah Pemerintah paling lama 7 180 hari pengundangan Perda. (tujuh) hari setelah Tetapi tidak diatur berapa lama ditetapkan proses review harus diselesaikan b. Bila perda dibatalkan, maka oleh MA. peraturan presiden pembatalan harus sudah ditetapkan paling lama 60 hari sejak diterimanya perda Waktu eksekusi Paling lama 90 (sembilanpuluh) Paling lama 7 hari setelah hari setelah putusan yang ditetapkan pembatalan perda, mengabulkan permohonan kepala daerah harus keberatan perda, perda harus menghentikan pelaksanaan dicabut oleh DPRD bersama perda, selanjutnya DPRD kepala daerah. bersama kepala daerah mencabut perda tersebut Bentuk Putusan Mahkamah Agung Peraturan Presiden pembatalan Upaya Hukum Tidak dapat diajukan Peninjaun Mengajukan keberatan kepada Kembali Mahkamah Agung Sumber : Yance Arizona, Disparitas Pengujian Perda, Suatu Tinjauan Normatif dalam www.yancearizona.wordpress.com diakses pada 08 Juli 2012. C. Perda dalam Hirarkhi Perundang-undangan RI Perda sebagai salah satu produk hukum yang berlaku di Republik Indonesia (RI) memiliki tempat dalam struktur hirarkhi perundang-undangan RI sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 UU tersebut ditegaskan jenis dan hirarkhi peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu ; 1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; 5. Peraturan Daerah. Secara hirarkhi, perda merupakan jenis peraturan perundang-undangan paling bawah yang disebutkan dalam UU No.10 tahun 2004 ini, kendati dalam rumusan pasal 7 ayat (3) UU tersebut disebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan diatas diakui keberadaannya dan mengikat secara hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi. Dengan diberlakukannya UU ini, maka terdapat beberapa jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tidak termasuk dalam hirarkhi perundang-undangan, seperti : Keppres, Permen, Kepmen dsb. Implikasi yuridis dari tidak dimuatnya beberapa jenis peraturan diatas dalam UU 10 tahun 2004 adalah terjadinya ketidakjelasan kedudukan beberapa peraturan tersebut dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan RI. Jika perda merupakan jenis peraturan paling bawah yang disebutkan oleh UU No.10 tahun 2004, maka bagaimana kedudukan perda dengan keputusan presiden misalnya. Apakah keputusan presiden lebih tinggi daripada perda, atau sebaliknya. Sebagai contoh sebuah Perda dapat dibatalkan oleh Keputusan Presiden karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum. Padahal keputusan presiden tidak termasuk dalam hirarkhi perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No.10 Tahun 2004. D. Melihat Perda Syariah Fenomena munculnya Perda syariah di berbagai daerah di Indonesia satu mata rantai dengan kemunculan otonomi daerah. Kewenangan yang besar yang diberikan kepada daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota dimanfaatkan oleh
sebagian
daerah
untuk
membuat
perda
dengan
maksud
melindung,
mempertahankan dan/atau menjaga berbagai karakteristik khas daerahnya. Bagi daerah-daerah yang mayoritas muslim, dimana antara agama Islam dan budaya masyarakat setempat telah berjalan berbarengan, bahkan telah menyatu selama puluhan bahkan ratusan tahun. Daerah-daerah demikian memprkarsai beberapa perda yang bernuansa syariah, seperti perda tentang kewajiban khatam Al-Qur’an bagi anak usia SD/MI, Perda tentang Ramadhan, Perda tentang Jumat khusu’ dan berbagai perda lainnya. Perda-perda demikian populer disebut sebagai perda syariat Islam. Perda Syariah saat ini setidaknya dilaksanakan di enam provinsi, 38 kabupaten dan 12 kota. Pola pemberlakuan syariat Islam pun berbeda – beda seperti di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang menegaskan pelaksanaan hukum Islam, Perda syariat dibuat oleh Pemerintah Provinsi yang mengacu kepada sebuah aturan induk, yaitu Perda Nomor 5 Tahun 2000 tentang Penegakan Syariah Islam dimana Perda ini dibuat berlaku bagi seluruh kabupaten/kota . Di Sulawesi Selatan dan Sumatera Barat, perda dibuat di tingkat provinsi secara umum dengan harapan akan dikembangkan dan dijadikan aturan induk bagi pelaksanaan perda serupa di kabupaten/kota. Beberapa kabupaten/kota di kedua provinsi itu sudah memberlakukan aturan serupa. Di Provinsi Riau, Sumatera Selatan, dan Gorontalo, perda syariat dibuat di tingkat provinsi, tetapi tidak diikuti pemerintah kabupaten/kota. Aturan yang diatur umumnya terkait dengan pelarangan pelacuran dan peredaran minuman keras. Bentuk lain dari pemberlakuan Perda syariat adalah perda dibuat oleh
pemerintah kabupaten/kota, tanpa ada aturan induk di tingkat provinsi. Kabupaten Cianjur (Jawa Barat), Tangerang (Banten), Banjarmasin (Kalimantan Selatan), dan Pamekasan (Madura, Jawa Timur) adalah beberapa pemerintah kabupaten dan/atau kota yang melaksanakan Perda syariat walau provinsi induknya tak mengaturnya Gambaran diatas ingin menyatakan bahwa terdapat antusiasme yang tinggi oleh masyarakat sejak dahulu sampai dengan sekarang terhadap ajaran Islam. Sehingga formalisasi ajaran Islam dalam produk perundang-undangan oleh beberapa kalangan dianggap penting. Pasca otonomi daerah, peluang melakukan formalisasi tersebut memungkinkan dalam bentuk Perda. Kendati demikian, pembentukan perda syariah memerlukan analisis yang lebih holistik dari kaca mata hukum, khususnya hukum tatanegara. Sebab perda merupakan produk hukum yang harus tunduk dan patuh terhadap kaidah-kaidah pembuatan produk hukum dan tertib hukum Indonesia. Beberapa aspek untuk melihat sejauhmana perda-perda syariah dapat diterima, atau bahkan bertentangan secara yuridis dilihat dari sudut pandang hukum tata negara Indonesia. Pertama : Dari sisi tertib hukum Indonesia sebagaimana dijelaskan diatas, perda merupakan jenis peraturan yang berada paling bawah sesuai dengan UU No.10 Tahun 2004. Sehingga secara yuridis terdapat konsekwensi secara formil, maupun materiil bahwa perda tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti undang-undang (UU). Dalam UU No.32 Tahun 2004 sebagaimana dijelaskan sebelumnya, masalah agama merupakan domain pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Sehingga jika perda syariah sama dengan perda yang mengatur perihal persoalan-persoalan
agama, kendati skopnya lokal, maka secara tertib hukum nasional ia dianggap bertentangan dan wajib dinyatakan tidak berlaku. Kedua : Dilihat dari sisi materi perda. Materi/muatan yang diatur oleh perdaperda syariah akan menentukan bertentangan atau tidaknya perda tersebut secara yuridis. Materi perda yang memuat persoalan agama jelas bertentangan dengan tertib hukum nasional, sebab bukan merupakan wewenang pemerintah daerah untuk mengaturnya. Kendati materi perda yang dianggap bermuatan agama masih dapat diperdebatkan. Sebagai contoh Perda Kabupaten Banjar tentang kewajiban khatam AlQur’an masih mengandung perdebatan, apakah kewajiban khatan Al-Quran merupakan ranah agama, atau dapat ditarik menjadi ranah pendidikan. Sebab di Kalimantan Selatan terdapat kultur pendidikan, dimana anak-anak usia SD berkewajiban (secara budaya) untuk mengkhatamkan Al-Qur’an. Hal ini terkait dengan budaya dan tradisi masyarakat Banjar yang dekat dengan budaya baca (termasuk tulis) Al-Qur’an. Jika perda demikian muatannya didekati dari sisi pendidikan, maka perda demikian tidaklah bertentangan secara yuridis. Hal ini berbeda dengan perda syariah yang murni mengatur tentang persoalan agama dan bersifat privat, seperti Perda Jum’at khusu’. Perda ini memuat tentang larangan membuat “keributan” pada saat sholat jum’at dilaksanakan dengan tujuan agar orang yang melaksanakan sholat jum’at dapat dengan khusu’ melaksanakan ibadahnya. Persoalan khusu’ adalah persoalan keagamaan dan sifatnya sangat privat. Hanya sang individu yang dapat merasakan khusu’ atau tidaknya pada saat ia beriadah. Sangat aneh, jika persoalan khusu’ ini ditarik oleh pemerintah daerah menjadi kewenangannya. Dari persfektif ini,
materi perda yang merupakan wilayah agama dan bersifat privat dapat dinyatakan bertentangan secara yuridis. Terlebih hukum (hukum positif) bertujuan untuk mengatur hubungan manusia dengan manusia semata, hubungan manusia dengan Tuhan tidak menjadi domain hukum positif. Ketiga : Dilihat dari sisi legal drafting, adanya pencantuman sumber hukum perda berupa Al-Qur’an dan Al-Hadist tidak konkruen dengan produk hukum Indonesia yang bukan negara agama. Pencantuman kedua sumber hukum tersebut membuat perda-perda syariah “cacat” dilihat dari sisi tata cara penyusunan produk hukum (legal drafting), termasuk perda Keempat : Dari sisi penerapan sanksi, sebuah perda hanya diperkenankan menerapkan sanksi administratif dan sanksi pidana, serta denda dalam batasan tertentu. Sanksi pidana misalnya tidak boleh melebihi 6 (enam) bulan penjara, sedangkan sanksi berupa denda maksimal sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sebagaimana dijelaskan diatas. Jika terdapat perda yang menerapkan sngsi di luar sanksi tersebut, termasuk sanksi-sanksi yang terdapat dalam hukum Islam untuk perbuatan tertentu. Kelima : Dari aspek etika-moral hukum (law in ethic), pembuatan perda syariah harus dilihat secara proporsional, terutama latar belakang dan kondisi pada saat perda syariah itu dibuat. Sebagai contoh, di beberapa daerah beberapa perda yang mendesak untuk dibuat justeru di kesampingkan dan mendahulukan pembuatan perda-perda syariah. Perda yang berkaitan dengan pelayanan pubik, perda anti korupsi dan berbagai perda lain yang seharusnya menjadi prioritas tidak dikerjakan. Dalam kontek demikian, secara etika hukum, pembentukan perda syariah mengundang tanda tanya besar. Terlebih di banyak kasus, pembuatan
perda syariah dibuat pada saat menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pembuatan perda syariah dapat dimaknai sebagai cara penarikan simpati publik kepada penguasa dan diharapkan dari simpati itu akan muncul dukungan kembali untuk menjadikan penguasa yang ada (incombent) duduk kembali di kursi kekuasaannya. Dalam konteks ini, kekuasaan cenderung disalahgunakan untuk kepentingan jangka pendek sang penguasa (power tends to corrupts, absolute power corrupts absolutely). Hal lain yang juga harus mendapat perhatian dalam koridor etika-moral hukum dalam pembentukan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk perda adalah sejauhmana terbentuknya pelbagai peraturan tersebut dapat menciptakan tertib hukum nasional yang bermuara pada tertib masyarakat secara luas. Munculnya peraturan yang identik dengan kepentingan kalangan tertentu, lambat laun akan menimbulkan sintemen dari kalangan lain. Dalam kacamata keIndonesia-an, antusiasme sebagian daerah yang mayoritas penduduknya muslim untuk membentuk perda-perda syariah akan menimbulkan sintemen kalangan non-muslim untuk membentu peraturan serupa di daerah-daerah yang menjadi basisnya. Jika fenomena ini terus berlanjut, maka kedepan yang menonjol adalah peraturan-peraturan berbasis kepentingan kelompok tertentu, sehingga peraturan yang mejunjung tinggi persamaan di depan hukum lambat laut akan tersingkirkan. Hal ini bukan tidak mungkin akan menimbulkan disintegrasi hukum nasional yang merupakan awal lahir disintegrasi bangsa. Tabel
3.
Parameter
Penilaian
Ketatanegaraan
Perda
Syariah
dari
sisi
Yuridis
No
Parameter Penilaian
1
Tertib Hukum Nasional
Permasalahan Krusial
Diaturnya persoalan-persoalan terkait wilayah agama yang seharusnya menjadi domain pemerintah pusat berdasarkan UU No.32 Tahun 2004. Perda secara hirarkhi berada dibawah UU, sehingga ia tidak boleh bertentangan dengan UU (vide UU No.10 Tahun 2004). 2 Materi/Muatan Perda Perda syariah mengatur masalah agama, bukan domain pengaturan melalui perda. Perda syariah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Hukum positif mengatur hubungan manusia dengan manusia. 3 Legal Drafting Pencantuman sumber hukum perda berupa AlQur’an dan Al-Hadist. 4 Sanksi Tidak boleh menerapkan sanksi pidana dan/atau denda melebihi ketentuan dalam UU No.32 tahun 2004. Penerapan sanksi diluar yang diatur dalam UU No.32 tahun 2004 tidak dibenarkan, termasuk sanksi-sanksi yang sesuai dengan hukum Islam (syariah). 5 Etika-Moral Hukum Prioritas pembentukan perda. Latar belakang pembentukan perda. Sumber : Yance Arizona, Disparitas Pengujian Perda, Suatu Tinjauan Normatif dalam www.yancearizona.wordpress.com diakses pada 08 Juli 2012.
E. Perda Syariah dalam Prespektif Politik Hukum Indonesia Politik hukum mengandung dua sisi yang tidak terpisahkan, yakni sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum, dan sekaligus alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak dengan kerangka pikir legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Dengan pengertian-pengertian tersebut, maka pembahasan politik hukum untuk mencapai tujuan negara dengan satu sistem hukum nasional mencakup sekurang-kurangnya hal-hal berikut , yaitu:
1. Tujuan negara atau masyarakat Indonesia yang diidamkan sebagai orientasi politik hukum, termasuk panggilan nilai-nilai dasar tujuan negara sebagai pemandu politik hukum. 2. Sistem hukum nasional yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. 3. Perencanaan dan kerangka pikir dalam perumusan kebijakan hukum. 4. Isi hukum nasional dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. 5. Pemagaran hukum dengan prolegnas dan judicial review, legislative, review, dan sebagainya. Atau, menurut Muhadar7 Politik hukum adalah Legal Policy yang akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah yang mencakup: Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan materimateri hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan pembangunan, termasuk materi-materi hukum di bidang pertanahan; juga bagaimana pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegakan supremasi hukum, sesuai fungsi-fungsi hukum, fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum. Dengan kata lain, Politik Hukum mencakup proses pembangunan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukkan peranan, sifat dan kearah mana hukum akan di bangun dan ditegakkan. Politik hukum merupakan arah pembangunan hukum yang berpijak pada sistem hukum nasional untuk mencapai tujuan dan cita-cita negara atau masyarakat bangsa. Hukum di Indonesia harus mengacu pada cita-cita masyarakat bangsa, yakni tegaknya hukum yang demokratis dan berkeadilan sosial. Pembangunan hukum harus ditujukan untuk mengakhiri tatanan sosial yang tidak adil dan menindas hak-hak asasi manusia; dan karenanya politik hukum harus berorientasi pada cita-cita negara hukum yang didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan berkeadilan sosial dalam satu masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam konteks politik hukum jelas bahwa hukum adalah alat yang bekerja dalam sistem hukum tertentu untuk mencapai tujuan negara atau cita-cita masyarakat Indonesia. Tujuan negara kita, bangsa Indonesia, adalah membentuk masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara definitif, tujuan negara kita tertuang di dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, yang meliputi: 1. Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. 2. Memajukan kesejahteraan umum. 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa. 4. Ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia,
berdasarkan
kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan negara ini didasarkan pada lima dasar negara (Pancasila), yaitu: ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusian yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat/kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila inilah yang memandu politik hukum nasional dalam berbagai bidang Hukum sebagai alat untuk mencapai Tujuan Negara, selain berpijak pada lima dasar (Pancasila), menurut Tanya 10 juga harus berfungsi dan selalu berpijak pada empat prinsip cita hukum (rechtsidee), yakni: 1. Melindungi semua unsur bangsa (nation) demi keutuhan (integrasi). 2. Mewujudkan keadilan sosial dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan. 3. Mewujudkan
kedaulatan
rakyat
(demokrasi)
dan
negara
hukum
(nomokrasi) 4. Menciptakan toleransi atas dasar kemanusiaan dan berkeadaban dalam hidup beragama. Empat prinsip cita hukum tersebut haruslah selalu menjadi asas umum yang memandu terwujudnya cita-cita dan tujuan negara, sebab cita hukum adalah
kerangka keyakinan (belief framework) yang bersifat normatif dan konstitutif. Cita hukum itu bersifat normatif karena berfungsi sebagai pangkal dan prasyarat ideal yang mendasari setiap hukum positif, dan bersifat konstitutif karena mengarahkan hukum dan tujuan yang hendak dicapai oleh negara. Berdasarkan cita-cita masyarakat yang ingin dicapai yang dikristalisasikan di dalam tujuan negara, dasar negara, dan cita-cita hukum, maka diperlukan sistem hukum nasional yang dapat dijadikan wadah atau pijakan dan kerangka kerja politik hukum nasional. Dalam hal ini, pengertian tentang sistem hukum nasional Indonesia atau sistem hukum Indonesia perlu dikembangkan. Sistem adalah kesatuan yang terdiri dari bagian-bagian yang satu dengan yang lain saling bergantung untuk mencapai tujuan tertentu. Banyak yang memberi definisi tentang istilah sistem ini. Ada yang mengatakan bahwa sistem adalah keseluruhan yang terdiri dari banyak bagian atau komponen yang terjalin dalam hubungan antara komponen yang satu dengan yang lain secara teratur. Sedangkan hukum nasional adalah hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibentuk dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan, dasar, dan cita hukum suatu negara. Dalam konteks ini, hukum nasional Indonesia adalah kesatuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai tujuan negara yang bersumber pada Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 1945. sebab, di dalam Pembukaan dan Pasal-pasal UUD itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum Indonesia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai khas budaya bangsa Indonesia yang tumbuh dan berkembang dalam kesadaran hidup bermasyarakat selama berabad-abad.
Dengan demikian, sistem hukum nasional Indonesia adalah sistem hukum yang berlaku diseluruh Indonesia yang meliputi semua unsur hukum (seperti isi, struktur, budaya, sarana, peraturan perundang-undangan, dan semua sub unsurnya) yang antara yang satu dengan yang lain saling bergantungan dan yang bersumber dari Pembukaan dan Pasal-pasal UUD 194512. Menurut Soerjono Soekanto13, masalah-masalah yang dipersoalkan dalam sistem hukum mencakup empat hal, yaitu: 1. Elemen atau unsur-unsur sistem hukum; 2. Konsistensi sistem hukum; 3. pengertian-pengrtian dasar sistem hukum; dan 4. kelengkapan sistem hukum. Politik Hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan. Dengan arti ini, maka menurut Mahfud, politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar, sebagai berikut 1. Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa, yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. 2. Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara, yakni: a.
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
b.
memajukan kesejahteraan umum,
c.
mencerdaskan kehidupan bangsa,
d.
melaksanakan
ketertiban
dunia
berdasarkan
kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 3. Politik hukum harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara, yakni: a.
berbasis moral agama,
b.
menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi,
c.
mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan primordialnya,
d.
meletakkan kekuasaan dibawah kekuasaan rakyat,
e.
membangun keadilan sosial.
4. Agak mirip dengan butir 3, jika dikaitkan dengan cita hukum negara Indonesia, politik hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk; a.
melindungi semua unsur bangsa demi integrasi atau keutuhan bangsa yang mencakup ideologi dan teritori,
b.
mewujudkan keadilan sosial dalam ekonomi dan kemasyarakat,
c.
mewujudkan demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum),
d.
menciptakan toleransi hidup beragama berdasar keadaban dan kemanusian.
5. Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan panduan tersebut maka sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila, yakni sistem hukum yang mengambil atau memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial, dan konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur baiknya. Tipologi Philippe Nonetz dan Philip Selznick tentang bentuk-bentuk legal ordering: Repressive law, Autonomous law, Responsive law. terpaksa mengakui bahwa dalam satu sistem hukum ada dua kemungkinan wajah hukum: pertama, Sistem hukum dapat bersifat menindas, dan hukum sering membatasi dan kaku; kedua, Hukum dapat merupakan suatu sarana untuk merealisasikan kebebasan dan persamaan, menjadikan para politisi tunduk kepada asas-asas hukum. Ada tiga tipe keadaan hukum dalam masyarakat: a. Repressive Hukum yang mengabdi kepada kekuasaan dan tertib sosial yang represif, artinya banyak menggunakan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada pada rakyat. Karakteristik : Institusi-institusi hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik, hukum di identifikasikan dengan negara. b. Perspektif resmi mendominasi segalanya.
c. Kepentingan bagi rakyat untuk mendaatkan keadilan memperoleh perlindungan apabila keadilan semacam itu ada, adalah terbatas. d. Badan-badan khusus, misalnya, polisi, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang bebas. e. Hukum dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan. Autonomous Hukum otonom berorientasi pada pengawasan kekuasaan represif artinya hukum otonom merupakan antitesis dari hukum represif. Karakteristik : a. Penekanan pada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama mengawasi kekuasaan resmi b. Adanya pengadilan yang dapat didatangi secara bebas tanpa manipulasi kekuasaan politik dan ekonomi. c. Kelemahan : Perhatian terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mengakibatkan peranan hukum semakin sempit; Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif; Penekanan atas kepatuhan terhadap hukum, melahirkan pandangan tentang hukum sebagai sarana kontrol sosial, mengembangkan suatu mentalitas hukum diantara rakyat, mendorong ahli hukum mengadopsi sifat konservatif. Responsive Sikap responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan
sosial.
(Satjipto
Rahardjo,
menyebut
lebih
peka
terhadap
masyarakat). Karakteristik: Pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsipprinsip dan tujuan; Pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya. Setelah melakukan pengkajian teoretik, dapat diambil kesimpulan awal bahwa tipe yang paling relevan untuk rujukan adalah tipe hukum responsif, karena: a. roses pembuatannya bersifat partisipatif.
b. Dilihat dari segi fungsinya, maka hukum yang berkarakter responsif bersifat aspiratif, artinya memuat materi secara umum sesuai dengan aspirasi yang dilayani (dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat). c. Dari segi penafsiran, memberi peluang sedikit kepada pemerintah untuk membuat penafsiran melalui peraturan pelaksanaan. Politik hukum mengandung dua sisi yang tidak terpisahkan, yakni: sebagai arahan pembuatan hukum atau legal policy lembaga-lembaga negara dalam pembuatan hukum, dan sekaligus alat untuk menilai dan mengkritisi apakah sebuah hukum yang dibuat sudah sesuai atau tidak, dengan kerangka pikir legal policy tersebut untuk mencapai tujuan negara. Analisis secara mendalam topik Politik Hukum dan Perda-Perda Bias Agama di bumi Pancasila, belum dilakukan secara mendalam, masih perlu metodologis untuk menganalisisnya secara mendalam. Kendati belum mendalam, namun ada beberapa hal, sebagai gambaran awal, yang dapat disimpulkan berhubungan dengan tatanan Politik Hukum Nasional . Dari segi Hakikat Peraturan Daerah, Perda Bias Syariah Islam: menyalahi hierarki peraturan perundang-undangan, menyalahi eksistensi perda, dan mengabaikan prinsip pijakan perda, yang tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi (misalnya, kebebasan beragama di dalam UUD 1945). Perda Bias Syariah tidak sejalan dengan cita-cita dan tujuan Negara, yang hendak menegakkan keadilan sosial, menegakkan hak-hak asasi manusia, menegakkan persatuan tanpa diskriminasi. Perda Bias Syariah Islam mengancam prinsip cita hukum (rechtsidee) mengenai perlindungan terhadap semua unsur bangsa demi keutuhan/integrasi.
Perda ini tidak sejalan dengan sistem hukum nasional Indonesia, dimana kesatuan hukum atau peraturan perundang-undangan yang dibangun untuk mencapai tujuan negara, seharusnya selalu bersumber pada Pembukaan dan Pasalpasal UUD 1945. Perda ini mengancam kerangka dasar/pijakan politik hukum kita, karena bias perda menciptakan in-toleransi hidup beragama yang berdasar keadaban dan kemanusiaan. Mengacu pada tiopologi Nonetz, perda bias syariah dapat dikategorikan Repressive, karena hukum dan otoritas resmi (formalisasisweeping) dipergunakan. Arah Hukum Indonesia saat ini, seharusnya sudah jelas, yakni, terletak pada tujuan negara, dasar negara, pada cita-cita hukum, maupun pada pijakan/dasar Politik Hukum kita. Namun, kebangkitan Islam Politik dengan mengusung “syariah Islam” jelas sangat mencemaskan, tidak hanya bagi nonmuslim, tetapi juga bagi Islam Kultural. Diketahui bahwa, semua umat beragama di
Indonesia
wajib,
bahkan
sudah
hakikatnya,
melaksanakan
syariah/ketentuan/hukum agamanya masing-masing, secara interen, tanpa harus diperdakan (menjadi hukum positif negara).
F. Resistensi Perda Syariah Dalam Sistem Sosial Indonesia Secara yuridis normatif pemberlakuan syariah Islam di era otonomi daerah ditetapkan melalui instrumen legislatif daerah utamanya peraturan daerah (perda) yang memiliki kekuatan hukum dan politis. Kendatipun Undang-Undang tentang otonomi daerah tidak memberi wewenang bidang peradilan dan agama kepada daerah, tetapi dalam praktiknya, perda-perda itu masuk kedalam ranah persoalan agama. Karenanya, keberadaan perda-perda syariah itu perlu terus dikaji untuk menguji, apakah peraturan-peraturan daerah tersebut bertentangan dengan
undang-undang dan Konstitusi atau tidak. Karenanya dalam kenyataannya, perda syariah tidak jarang menimbulkan rresistensi sosial yang memicu perdebatan dalam masyarakat. Selain menimbulkan kontroversi yang memicu ketegangan dan konflik sosial, perda syariah juga dikhawatirkan dapat menjadi alat politisasi agama. Perda dengan begitu dapat kehilangan otoritas relijiusnya dan hanya menjadi kebijakan publik biasa dari pemerintah daerah yang bersangkutan. Gejala ‘politik syariah’ ini juga paradoks, karena mengajarkan kepalsuan dan kemunafikan dalam keberagamaan, padahal inti keberagamaan adalah toleransi. Di daerah perda syariah, masyarakat tampak lebih taat beragama, namun diragukan bahwa ketaatan itu refleksi ketulusan, kesadaran, dan kedewasaan. Sangat mungkin ketaatan itu lahir, karena rasa takut pada aparat negara. Bila benar, maka ini pertanda terjadinya reduksi mendasar terhadap prinsipprinsip syariah, sebab, dilihat dari sifat dan tujuannya, syariah hanya bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Sebaliknya, prinsip-prinsip syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara. Sifat relijius syariah dan fokusnya pada pengaturan hubungan antara Tuhan dan manusia, mungkin satu-satunya alasan utama bertahan dan berkembangnya pengadilan-pengadilan sekular yang berfungsi memutuskan perkara-perkara praktis dalam pelaksanaan peradilan dan pemerintahan secara umum. Namun demikian, dukungan masyarakat terhadap perda sangat jelas dan kuat. Pemberlakuan syariah lewat perda-perda itu pada umumnya diketahui dan disetujui kebanyakan masyarakat Muslim. Meski bagi masyarakat yang tidak setuju, perda syari’ah dinilai antara lain mengganggu kerukunan antar umat
beragama, tetapi bagi masyarakat yang setuju, menerapkan syariah lewat perda dianggap sebagai perintah agama. Bagi sebagian mereka, perda syariah bahkan diharapkan dapat menjadi solusi bagi berbagai masalah yang membelit bangsa dewasa ini. Harapan ini tampaknya dipengaruhi oleh kegagalan negara mengintegrasikan program-program politik, budaya, dan ekonomi, dengan sistem nilai-nilai dan worldview yang hidup dalam masyarakat dan juga kegagalan (kurang berhasilnya) modernisasi dalam berbagai bidang yang dilakukan negara. Kendatipun demikian, manfaat yang paling terasa dari perda-perda syariah adalah meningkatnya keamanan dan ketertiban masyarakat misalnya, kebiasaan anak-anak muda yang mabuk-mabukan dan berjudi di gang-gang perkampungan menjadi hilang. Meningkatnya rasa aman dalam masyarakat perlu dicermati dan diteliti lebih lanjut, karena gejala ini boleh jadi sekadar efek atau refleksi dari ketakutan publik pada syariah. Jika benar, maka gejala ini bukanlah cerminan sesungguhnya dari menguatnya institusi hukum dan keamanan. Artinya, yang sesungguhnya berlangsung bukanlah kepatuhan hukum warga negara akibat dari situasi objektif yang tercipta, melainkan karena rasa takut kepada polisi syariah yang dipersepsikan menjalankan tugas mereka atas nama agama. Gejala ini dapat menggeser otoritas keamanan dari institusi kepolisian ke otoritas syariah. Ini tentu berbahaya, karena citra dan peran institusi keamanan akan terus merosot. Pada gilirannya, ini akan menimbulkan ketegangan di antara otoritas syariah dan otoritas kepolisian. Sebagai kebijakan publik, perda-perda itu kurang demokratis secara prosedural. Hal ini dikarenakan rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses penerbitan perda syariah. Artinya agenda penerapan syariah cenderung dilakukan
secara tertutup, tanpa proses dialog yang partisipatif dengan melibatkan sebanyak mungkin elemen masyarakat, baik komunitas non-Muslim maupun komunitas Muslim. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa perda syariah adalah agenda politik elit. Sebagaimana telah diungkap, sebagian masyarakat yang diteliti mengakui adanya politisasi syariah. Hampir sepertiga dari mereka menyatakan bahwa formalisasi syariah tidak jarang menjadi isu kampanye dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Menurut mereka, politisasi syariah juga terjadi dalam pemilu nasional yang dilakukan partai-partai tertentu untuk menarik perhatian pemilih dalam jumlah yang besar. Bahkan, perda syariah disinyalir sebagai move politik elite daerah, guna mengalihkan perhatian rakyat dari penderitaan ekonomi yang dialaminya. Meski mendapat dukungan kuat publik Muslim, rendahnya partisipasi publik dalam proses penerapan syariah memperkuat dugaan bahwa ‘politik syariah’ sebagai agenda elit. Hinga kini, pemerintah pusat terkesan mendiamkan gejala ini meski muncul kekhawatiran dari banyak kalangan. Banyaknya kepentingan publik yang ‘ditabrak’ sebagai dampak perda syariah pada dasarnya mengkonfirmasi asumsi di atas. Seperti telah disebutkan berulang kali dalam buku ini, penerapan syariah di berbagai daerah mengancam atau bahkan sebagiannya melanggar kebebasan sipil, hak-hak perempuan, dan non-Muslim. Hal ini terjadi, karena antara lain konstruk syariah tradisional yang dalam beberapa hal memang problematik, jika diukur dengan ukuran HAM universal. Sikap tidak toleran dan ekslusivisme juga merebak di daerah-daerah. Hal ini jelas terlihat dari rendahnya keinginan untuk hidup secara berdampingan
dengan kelompok minoritas lainnya, serta rendahnya penghargaan terhadap kebebasan beragama kelompok minoritas. Pengrusakan rumah-rumah ibadah (gereja) yang meningkat dalam beberapa tahun belakangan adalah contoh ekstrim intoleransi dalam masyarakat Islam belakangan ini. Selama 12 bulan terakhir saja, misalnya, terdapat banyak gereja yang diserang oleh sekelompok orang, seperti yang terjadi di Jawa Barat, Aceh, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara. Yang perlu dicermati dari gejala perda syariah adalah, selain menunjukkan kembalinya syariah ke ruang publik, tren perda-perda syariah di tingkat lokal ini juga merefleksikan gejala baru Islamisasi, yaitu usaha untuk mengkonstruksi masyarakat yang Islami melalui otoritas politik lokal. Di daerah-daerah kantong Islam tersebut, para pendukung gerakan-gerakan pro-syariah menyatakan perang melawan segala bentuk maksiat yang dianggap sebagai representasi budaya sekular yang mencemari ajaran Islam. Faktor ketidakpastian hukum serta degradasi moral sosial secara signifikan telah mendorong lahirnya kelompok Islam yang mendukung penerapan syariah “secara paksa” oleh negara. Deprivasi sosial akibat krisis ekonomi-politik juga secara fundamental membuka jalan bagi desakan-desakan penerapan syariah oleh negara tersebut. Sikap negara yang cenderung mendiamkan pelanggaran HAM yang ditimbulkan perda-perda syariah tersebut memunculkan dugaan bahwa perda ini “direstui” negara. Sikap ini beresiko, karena akan memancing dunia internasional mempertanyakan komitmen Indonesia pada penegakan HAM dan pluralisme. Karenanya, pemerintah perlu secara sungguh-sungguh membatalkan semua perda syariah yang bertentangan dengan HAM.
Secara historis, syari’ah tradisional yang kita kenal adalah produk ulama, terutama pada abad ke-7 dan 8, dalam memahami teks-teks suci Islam yang dipengaruhi dan dibenarkan masanya yang belum mengenal HAM universal yang baru lahir pada tahun 1948. Celahnya dengan menekankan syari’ah pada pertimbangan kemaslahatan kemanusiaan, baik dalam konteks lokal maupun nasional. Dengan demikian, tanpa menghilangkan sifatnya yang bersumber dari teks suci, syariah pun akan bersifat modern dan rasional, bahkan dimungkinkan untuk didialogkan dan diterima warga non-Muslim dalam bingkai naton state seperti Indonesia.
G. Perda Syariah sebagai Produk Hukum Lokal yang Khas (Tela’ah dalam Prespektif Hukum Progresif) Indonesia berdasarkan Pasal 1 ayat (3) adalah negara hukum. Negara hukum yang selama ini dijalankan untuk memberikan koridor, rel dalam pelaksanaan kehidupan bernegara, berbangsa bahkan sampai dengan kehidupan berkeluarga, masih menyisakan banyak persoalan. Persoalan tersebut, antara lain tercermin dari pendapat Satjipto Rahardjo “pembangunan negara hukum ternyata belum juga kunjung selesai dengan baik, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya”. Indonesia menjadi terkenal di dunia sebagai negara dengan sistem hukum sangat buruk. Yang dimaksud dengan pembangunan yang belum kunjung selesai di sini adalah bagaimana menjadikan negara hukum itu suatu organisasi yang secara substansial mampu menjadi rumah yang menyenangkan, mensejahterakan dan membahagiakan bagi bangsa Indonesia. Dari pendapat tersebut tampak bahwa bangunan negara hukum yang dikonstruksi dan diformulasikan dalam konstitusi,
belum sepenuhnya menjadi sarana bagi segenap bangsa Indonesia untuk hidup secara senang dan sejahtera ( the affluent society). Bangunan negara hukum sebagai rumah bangsa yang mensejahterakan, tampaknya masih harus diusahakan, diperjuangkan secara sungguh –sungguh sehingga negara hukum betul-betul menjelma menjadi rumah bangsa yang mensejahterakan. Usaha secara sungguh-sungguh diprasayaratkan, mengingat bangsa Indonesia dalam berhukum secara modern dengan menggunakan instrumen hukum barat yang terkodifikasikan adalah pengalaman baru. Disebut demikian, karena hukum modern yang sebagian besar masih berlaku di Indonesia adalah sebuah produk kultural yang ditransplantasikan dari sistem kultural dunia barat (western legal system). Dengan lain perkataan, bangunan, konsep, termasuk juga asas-asas untuk operasionalisasi negara hukum, apakah itu rechstaat ataupun juga rule of law adalah adalah produk kultural yamg nyata bukan bagian dari sejarah sosial dan politik bangsa ini. Negara hukum adalah produk kultural yang di paksakan dari sistem kultural barat ke Indonesia dalam atmosfir kolonialisasi di saat itu, sehingga peberlakukan hukum di tanah jajahan, bukan semata-mata kehendak yang ikhlas untuk membentuk masyarakat berkarakter sadar dan cerdas hukum, malainkan dalam rangka memperlancar visi dan misi kolonialisasi pada saat itu. Membangunan negara hukum pada hakikatnya adalah sebuah proses secara sadar, terencana untuk membangun perilaku berhukum masyarakat. Sehingga, membangun negara hukum bukan semata-mata mendirikan pengadilan, melantik hakim dan jaksa, serta melafal pasal-pasal undang-undang, melainkan adalah upaya untuk membangun budaya perilaku tertib dan sadar hukum.
Semenjak negara ini merdeka, pembangunan negara hukum, tampaknya masih diartikan secara positivistik bahwa negara hukum selalu berdiri tegak diatas aturan hukum yang tertulis dengan aparat penegaknya, sehingga dengan adanya pasal yang menyatakan Indonesia adalah negara hukum, adanya pengadilan, adanya undang-undang serta para aparat dengan fasih dapat melafal pasal, sudah terpenuhi sarat sebagai negara hukum. Jika demikian, menurut Satjipto Rahardj, sejatinya kita masih berhukum secara primitif. Jika tidak mau dikatakan yang demikian, maka bangsa ini harus berani melakukan perubahan pola berpikir dalam berhukum, yaitu berhukum secara progresif. Berhukum secara progresif selalu mengkaitkan dengan erat antara keadilan yang tertulis nyata dan ditawarkan dalam undang-undang dengan nilainilai masyarakat. Dengan demikian unsur sosial seperti nilai, moral, nurani, kesusilaan menjadi penting untuk dipertimbangkan. Pertimbangan tersebut antara lain dapat dikemukakan, apakah bangunan negara hukum yang diterima bangsa Indonesia sudah pas/cocok dengan sistem kultural/sosial bangsa Indonesia, mengingat bangunan negara hukum modern adalah bangunan bernegara yang bukan merupakan bagian dari perkembangan sosial kultural bangsa ini. Secara perilaku apakah bangsa ini sudah siap, serta untuk mencegah luruhnya, pudarnya nilai-nilai sosial, minimal mengusahakan bagaimana nilai sosial bangsa Indonesia (nilai-nilai luhur Pancasila) dapat mewarnai dalam bernegara hukum. Jika mengkaji pertanyaan – pertanyan diatas, jelas bahwa bernegara hukum bukan instan melainkan berproses. Proses dalam konteks negara hukum, sebenarnya mengambarkan bahwa yang di idealkan sebagai negara hukum
disamping institusi dan aspek normatif juga aspek perilaku (behaviuor). Negaranegara yag saat ini menjadi cerminan dan kiblat pembangunan negara-negara hukum di dunia ketiga, boleh dibilang membutuhkan waktu yang lama untuk sampai pada negara hukum yang konstitusional dan menyejahterakan. Untuk mengetahui waktu dan proses perjalanan bangsa-bangsa eropa menjadi negara hukum yangg konstitusional seperti saat ini, haruslah terlebih dahulu mencermati sejarah kelahiran negara hukum di eropa, yang sama juga dengan membaca sejarah tentang keambrukan dari suatu sistem sosial/tatanan sosial satu ke sistem sosial/tatanan sosial yang lain. Eropa, sebagai ajang persemaian negara hukum membutuhkan waktu tidak kurang dari sepuluh abad, sebelum kelahiran rule of law dan negara konstitusional. jika kemudian saat ini bangsa Indonesia sedang berproses menuju negara yang diidealkan, dan banyak diwarnai dengan kekacauan, kerusuhan sosial, bisa dimaklumi, sebab konsep negara hukum di eropa pada masanya juga demikian. Belanda yang menjajah Indonesia pernah tercabik-cabik dan kelelahan karena mengalami perang berkepanjangan di dalam negerinya. Perancis harus memenggal kepala seorang rajanya dan menjebol penjara Bastille, sebelum menjadi negara konstitusional. Amerika Serikat juga harus mengalami perang dengan sesama saudaranya sebelum berjaya sebagai suatu negara besar dan kuat. Sejarah yang demikian, tampak bahwa negara hukum adalah sebuah proses sosial politik yang panjang karena menyangkut perubahan perilaku, tatanan sosial, dan kultur. Negara hukum modern membutuhkan suatu predisposisi sosial dan kultural tertentu untuk bisa berhasil dengan baik, yang di Eropa membutuhkan waktu sekitar seribu tahun. Salah satu persyaratan menonjol adalah
ambruknya tatanan kolektif dan personal, untuk digantikan tatanan rasional dan impersonal. Di Eropa feodalisme dan lain-lain harus ambruk lebih dahulu untuk memberi jalan terciptanya kehidupan urban, individual, sebelum hukum modern bisa muncul, atau dengan lain perkataan, Eropa harus mengalami keambrukan sistem sosial yang satu disusul keambrukan berikutnya, dari feodalisme, Staendestaat, negara absolut, dan baru kemudian menjadi negara konstitusional. Masing-masing keambrukan itu memberi jalan kepada lahirnya negara negara hukum modern. Kita juga dapat membacanya sebagai keambrukan suatu perilaku untuk digantikan perilaku baru. Tetapi, “sejarah keambrukan” bukan menjadi milik Indonesia karena untuk menjadi negara hukum Indonesia tidak memerlukan proses keambrukan. Indonesia “dipaksa” untuk menjadi negara hukum instan melalui transformasi dan transplantasi. Mungkin ia melompat dari feodalisme langsung menjadi negara hukum modern. Dengan demikian, perkembangan negara hukum yang terjadi cukup “kacau”, dalam arti tidak berlangsung setapak demi setapak, seperti di Eropa, sehingga banyak melahirkan problem dalam penerapannya. Pada uraian sebelumnya, telah disingung bahwa konsep negara hukum modern bukan produk kultural bangsa Indonesia, melainkan produk kultural eropa (western legal thought), yang memiliki kosmologi, nilai, dan moral yang sama dengan masyarakat eropa dimana konsep negara hukum modern mulanya dipersemaikan. Reformasi tahun 1997 adalah momen yang luar biasa untuk melakukan dobrakan hukum yang luar biasa pula, diantaranya dengan membuat produk
hukum yang lebih bisa memberikan ruang dan lebih bisa mengasorbsi nilai-nilai masyarakat. Hukum yang lebih bisa mengasorbsi nilai – nilai masyarakat adalah produk hukum yang tidak sentralisme dengan monopoli tafsir serta monopoli standar keadilan. Produk hukum khususnya dalam kontek perda di era otonomi daerah ini, sering ditampilan beraneka warna sesuai dengan kebutuhan yang juga mencerminkan nilai lokal yang unik dan khas. Perda Syariah dalam kontek ini, perlu diwacanakan, sebab kelahiran perda-perda ini telah menimbulkan persepsi dari banyak kalangan yang berbedabeda, diantaranya sebagai ajang pengusungan agama di ruang publik, formalisme islam, politisasi islam, atau malah justru perda yang unik, khas karena lahir sebagai respon dari kebutuhan daerah untuk mencegah distorsi nilai sekaligus juga sebagai instrumen untuk memelihara, mempertahankan dan mempromosikan nilai dan prinsip-prinsip tertentu (local normative order). Perda yang ideal selayaknya demikian. Seorang mantan hakim agung Amerika Serikat, namanya Oliver Wendel Holmes, mengatakan kalimat yang redaksi lengkapnya berbunyi: “ the life of law has not been logic, but it is experience”. Roscoe Pound juga mengatakan “mari kita tidak jadi biarawan hukum, yang hanya menikmati atmospir kemurnian hukum dengan memisahkan hukum dari kehidupan keseharian dan elemen kemanusiaan”. Dan Eugen Ehrlich , juga mengatakan “the center of gravity of legal development lies not in legislation nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself”.
H. Teori Elit
Untuk memahami peran elit politik, kita perlu memahami definisi peran dalam perspektif ilmu Sosiologi. Mengenai definisi peran, Pratama, Fauzi, Setiawan, Zafriady & Fallo (2008) dan Tangkilisan (2005) mengungkapkan bahwa peran dapat didefinisikan sebagai suatu aspek dinamis dari adanya suatu kedudukan (posisi/status sosial). Aspek dinamis tersebut mencakup rangkaian wewenang, hak dan kewajiban yang menyertai keberadaan dari kedudukan tersebut. Lebih lanjut, Pratama dkk. menyebutkan bahwa suatu peran mencakup tiga hal, yaitu: a. Peran meliputi norma-norma terkait posisi dan tempat (kedudukan) dalam masyarakat b. Peran merupakan konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu (atau organisasi) dalam masyarakat. c. Peran sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial. Struktur sosial sendiri dapat diartikan sebagai suatu jalinan atau pola hubungan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu antara lain kelompokkelompok sosial, institusi sosial, norma sosial dan stratifikasi sosial (Henslin, 2007). Dalam istilah yang lebih sederhana, peran merupakan perilaku individu yang penting bagi pihak-pihak selain dirinya dalam suatu masyarakat. Henslin (2007) mendefinisikan peran (role) sebagai perilaku, kewajiban dan hak yang melekat pada suatu status. Lebih jauh, Henslin menyebutkan bahwa arti penting sosiologis dari suatu peran adalah “…memaparkan apa yang diharapkan dari (sese)orang“. Jika masyarakat dianalogikan sebagai sebuah pementasan drama, maka peran diibaratkan sebagai aturan yang “...mengekang orang – mengatakan kepada mereka kapan harus ‘masuk’ dan kapan harus ‘keluar’…“. Dengan kata lain, peran dapat diartikan sebagai batasan-batasan
mengenai apa yang boleh dan tidak boleh, patut dan tidak patut dilakukan oleh seseorang (atau suatu institusi) di tengah masyarakat di sekitarnya. Dari beberapa definisi tersebut, dapat didefinisikan bahwa dalam sudut pandang sosiologi ‘peran partai politik’ dapat diartikan sebagai apa yang diharapkan masyarakat dari keberadaan partai politik ditengah masyarakat tersebut. Harapan dari masyarakat tersebut mencakup perilaku, kewajiban dan hak yang idealnya melekat pada suatu partai politik. Lebih lanjut, berbicara tentang peran partai politik ditengah masyarakat berarti berbicara tentang norma-norma serta perilaku-perilaku yang menunjukkan arti penting (urgensitas) partai politik terhadap masyarakat yang menjadi konstituennya. Garis besar perkembangan elit Indonesia adalah dari yang bersifat tradisional yang berorientasi kosmologis, dan berdasarkan keturunan kepada elit modern yang berorientasi kepada negara kemakmuran, berdasarkan pendidikan. Elit modern ini jauh lebih beraneka ragam daripada elit tradisional. Secara struktural ada disebutkan tenatang administratur-administratur, pegawai-pegawai pemerintah, teknisi-teknisi, orang-orang profesional, dan para intelektual, tetapi pada akhirnya perbedaan utama yang dapat dibuat adalah antara elit fungsional dan elit politik. Yang dimaksud dengan elit fungsional adalah pemimpin-pemimpin yang baik pada masa lalumaupun masa sekarang mengabdikan diri untuk kelangsungan berfungsinya suatu negara dan masyarakat yang modern, sedangkan elit politik adalah orang-orang (Indonesia) yang terlibat dalam aktivitas politik untuk berbagai tujuan tapi biasanya bertalian dengan sekedar perubahan politik. Kelompok pertama berlainan dengan yang biasa ditafsirkan, menjalankan fungsi
sosial yang lebih besar dengan bertindak sebagai pembawa perubahan, sedangkan golongan ke dua lebih mempunyai arti simbolis daripada praktis. Elit politik yang dimaksud adalah individu atau kelompok elit yang memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan politik. Suzanne Keller mengelompokkan ahli yang mengkaji elit politik ke dalam dua golongan. Pertama, ahli yang beranggapan bahwa golongan elite itu adalah tunggal yang biasa disebut elit politik (Aristoteles, Gaetano Mosca dan Pareto). Kedua, ahli yang beranggapan bahwa ada sejumlah kaum elit yang berkoeksistensi, berbagi kekuasaan, tanggung jawab, dan hak-hak atau imbalan. (ahlinya adalah Saint Simon, Karl Mainnheim, dan Raymond Aron). Menurut Aristoteles, elit adalah sejumlah kecil individu yang memikul semua atau hampir semua tanggung jawab kemasyarakatan. Definisi elit yang dikemukakan oleh Aristoteles merupakan penegasan lebih lanjut dari pernyataan Plato tentang dalil inti teori demokrasi elitis klasik bahwa di setiap masyarakat, suatu minoritas membuat keputusan-keputusan besar. Konsep teoritis yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles kemudian diperluas kajiannya oleh dua sosiolog politik Italias, yakni Vilpredo Pareto dan Gaetano Mosca. Pareto menyatakan bahwa setiap masyarakat diperintah oleh sekelompok kecil orang yang mempunyai kualitas yang diperlukan dalam kehidupan sosial dan politik. Kelompok kessil itu disebut dengan elit, yang mampu menjangkau pusat kekuasaan. Elit adalah orang-orang berhasil yang mampu menduduki jabatan tinggi dalam lapisan masyarakat. Pareto mempertegas bahwa pada umumnya elit berasal dari kelas yang sama, yaitu orang-orang kaya dan pandai yang mempunyai
kelebihan dalam matematika, bidang muasik, karakter moral dan sebagainya. Pareto lebih lanjut membagi masyarakat dalam dua kelas, yaitu pertama elit yang memerintah (governing elite) dan elit yang tiak memerintah (non governign elit). Kedua, lapisan rendah (non- elite) kajian tentang elit politik lebih jauh dilakukan oleh Mosca yang mengembangkan teori elit politik. Menurut Mosca, dalam semua masyarakat, mulai adri yang paling giat mengembangkan diri serta mencapai fajar peradaban, hingga pada masyarakt yang paling maju dan kuat selalu muncul dua kelas, yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatnya dari kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah. Pareto dan Mosca mendefinisikan elit sebagai kelas penguasa yang secara efektif memonopoli pos-pos kunci dalam masyarakat. Definisi ini kemduain didukung oleh Robert Michel yang berkeyakinan bahwa ”hukum besi oligarki” tak terelakkan. Dalam organisasi apapun, selalu ada kelompok kecil yang kuat, dominan dan mampu mendiktekan kepentingannya sendiri. Sebaliknya, Lasswell berpendapat bahwa elit sebenarnya bersifat pluralistik. Sosoknya tersebar (tidak berupa sosok tunggal), orangnya sendiri beganti-ganti pada setiap tahapan fungsional dalam proses pembuatan keputusan, dan perannya pun bisa naik turun tergantung situasinya. Bagi Lasswell, situasi itu yang lebih penting, dalam situasi peran elit tidak terlalu menonjol dan status elit bisa melekat kepada siapa saja yang kebetuan punya peran penting.
Pandangan
yang lebih luwes dikemukakan oleh Dwaine Marvick.
Menurutnya ada dua tradisi akademik tentang elit. Pertama, dalam tradisi yang lebih tua, elit diperlukan sebagai sosok khusus yang menjalankan misi historis, memenuhi
kebuthan
mendesak,
melahirkan
bakat-bakat
unggul,
atau
menampilkan kualitas tersendiri. Elit dipandang sebagai kelompok pencipta tatanan yang kemudian dianut oleh semua pihak. Kedua, dalam tradisi yang lebih baru, elit dilihat sebagai kelompok, baik kelompok yang menghimpun yang menghimpun para petinggi pemerintahan atau penguasa di berbagai sektor dan tempat. Pengertian elit dipadankan dengan pemimpin, pembuat keputusan, atau pihak berpengaruh yang selalu menjadi figur sentral. Lipset dan Solari menunjukkan bahwa elit adalah mereka yang menempati posisi di dalam masyarakat di puncak struktur-struktur sosial yang terpenting,, yaitu posisi tinggi di dalam ekonomi pemerintahan, aparat kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan-pekerjaan. Pernyataan seiring dikemukakan oleh Czudnowski bahwa elit adalah mereka yang mengatur segala sesuatunya, ataua aktor-aktor kunci yang memainkan peran utama yang fungsional dan terstruktur dalam berbagai lingkup institusional, keagamaan, militer, akademis, industri, komunikasi dan sebagainya. Field dan Higley menyederhanakan dengan mengemukakan bahwa elit adalah orang-orang yang memiliki posisi kunci, yang secara awamdipandang sebagai sebuah kelompok. Merekalah yang membuat kebijakan umum, yang satu sama lain melakukan koordinasi untuk menonjolkan perannya. Menurut Marvick, meskipun elit sering dipandang sebagai satu kelompok yang terpadu, tetapi sesungguhnya di antara anggota-anggota elit itu sendiri, apa lagi dengan elit yang
lain sering bersaing dan berbeda kepentingan. Persaingan dan perbedaan kepentingan antar elit itu kerap kali terjadi dalam perebutan kekuasaan atau sirkulasi elit. Schrool menyatakan bahwa elit menjadi golongan utama dalam masyarakat yang didasarkan pada posisi mereka yang tinggi dalam struktur masyarakat. Posisi yang tinggi tersebut terdapat pada puncak struktur masyarakat, yaitu posisi tinggi dalam bidang ekonomi, pemerintahan, kemiliteran, politik, agama, pengajaran dan pekerjaan bebas. Kedua sudut pandang kelembagaan. Pandangan ini didasarkan pada suatu lembaga yang dapat menjadi pendukung bagi elit terhadap peranannya dalam masyarakat. C. Wright Mills menyatakan bahwa untuk bisa memiliki kemasyhuran, kekayaan, dan kekuasaan, orang harus bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga
besar,
karena
posisi
kelembagaan
yang
didudukinya
menentukan sebagian besar kesempatan-kesempatannya untuk memilki dan menguasai pengalaman-pengalamannya yang bernialai itu. Ketiga, sudut pandang kekuasaan. Bila kekuasaan politik didefinisikan dalam arti pengaruh atas kegiatan pemerintah, bisa diketahui elit mana yang memiliki kekuasaan dengan mempelajari proses pembuatan keputusan tertentu, terutama dengan memperhatikan siapa yang berhasil mengajukan inisiatif atau menentang usul suatu keputusan. Pandangan ilmuwan sosial di atas menunjukkan bahwa elit memiliki pengaruh
dalam
proses
pengambilan
keputusan.
Pengaruh
yang
memiliki/bersumber dari penghargaan masyarakat terhadap kelebihan elit yang dikatakan sebagai sumber kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, sumber-sumber
kekuasaan itu bisa berupa keududukan, status kekayaan, kepercayaan, agama, kekerabatan, kepandaian dan keterampilan. Pendapat senda juga diungkapkan oleh Charles F. Andrain yang meneybutnya sebagai sumber daya kekuasaan, yakni : sumber daya fisik, ekonomi, normatif, personal dan keahlian. Dalam konteks Sulawesi Selatan, elit politik lokal dapat dilihat dalam 3 kategori, pertama, kategori elit berdasarkan pelapisan sosial, ke dua kategori elit berdasarkan kegiatan fungsional, ketiga, elit berdasarkan kharisma. Dalam tradisi lontara, pelapisan itu sosial masyarakat Bugis Makassar terbagi atas 3 kellompok sosial, pertama, raja dan kerabat raja yang dikenal dengan kelompok bangsawan atau aristokrat. Ke dua kelompok manusia merdeka dan ketiga, kelompok hamba. Dalam konteks politik deliberatif, ranah politik menjadi sebuah ruang yang penuh dengan kontestasi/persaingan terbuka. Pada ruang terbuka ini, beberapa pandangan dari kelompok-kelompok teori di atas terdapat kecocokan, namun yag terjadi dalam politik Sulawesi Selatan kini, adalah saling tumpang tindihnya faktor-faktor sumber daya kuasa sebagaimana disebutkan di atas. Faktor status kebangsawanan bertumpang tindih dengan pendidikan dan kapasitas politik kelembagaan yang diperoleh dari kualifikasi pengakderan partai politik akan tetapi juga tidak menunjukkan sikap elit yang loyal dan ideologis terhadap partainya. Modalitas ekonomi seringkali menjadi faktor yang diasumsikan menjadi sumber
kekuasaan,
dalam
masyarakat
Bugis
Makassar
tentunya
akan
menampakkan dinamika yang kuat, dimana sirkulasi elit akan sedemikian kencangnya terjadi dikarenakan budaya dasar masyarakat bugis makassar adalah
berdagang. Namun kondisi ini saling bertumpang tindih dengan patrimonialisme, kekeluargaan, dan bahkan memungkinkan untuk terjadinya dinastitokrasi. Dalam fenomena keluarga Yasin Limpo jejak yang saling tumpang tindih itu menjadi konteks fenomenal yang menyulitkan untuk menetapkan satu bingkai paradigmatik dan teoritik sebagaimana dijelaskan di atas. Karenanya, asumsi teoritik Pierre Bourdieu mengenai Habitus, modal, ranah dan praktek mungkin relevan sebagai alat analisis utama disamping kekuatan teoritik dari dari teori elit di atas. Istilah ”elit” khususnya ”elit politik” dikembangkan oleh Vilfedro Pareto (1848-1923) sebagai sinisme terhadap kekuasaan Aristokrat. Defenisi elit menurut Pareto (1916) adalah sebagai kelompok orang yang punya indeks kemampuan yang tinggi dalam aktivitas mereka, apapun bentuknya, tetapi dia kemudian mengkonsentrasikan diri pada apa yang disebutnya sebagai ”elite penguasa”, yang dipertentangkan dengan massa yang tidak berkuasa. Gaetano Mosca (1858-1941) kemudian mengembangkan teori ini. Mosca mengkualifikasikan elit ini ke dalam dua status, yaitu elit yang berada dalam struktur kekuasaan dan elit masyarakat. Elit berkuasa menurut Mosca yaitu elit yang mampu dan memiliki kecakapan untuk memimpin dan menjalankan kontrol politik. Dalam proses komunikasi elit berkuasa merupakan komunikator utama yang mengelola dan mengendalikan sumber-sumber komunikasi, sekaligus mengatur lalu lintas transformasi pesan-pesan komunikasi yang mengalir secara vertikal maupun horizontal. Menurut Schrool dalam bukunya ’Sociologie der Modernisering”, elit dapat dibagi ke dalam 5 tipe. Pertama, elit menengah. Elit ini berasal dari
kelompok pedagang dan tukang yang termasuk golongan minoritas keagamaan atau kebangsaan. Pola keyakinan atau ideologi elit ini mudah berubah dan bersifat individualistis. Struktur masyarakat yang dicita-citakan bersifat bebas dan terbuka terhadap inisiatif dan aktifitas swasta. Kedua, elit dinastik. Elit ini sebagai elit Aristokrat yang mempertahankan tradisi dan status quo. Tradisi pulalah yang dijadikan dasar untuk melegitimasi kekuasaan dan kewibawaan. Ketiga, elit revolusioner. Elit ini berpandangan bahwa nilai-nilai lama perlu di hapus, karena tidak cocok dengan tingkat kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Keempat, elit nasionalistik. Elit ini merupakan kelompok pluralis, sehingga mudah mengundang konflik antar kelompok. Elit ini timbul dari kegiatan sosiopolitik melawan penjajahan. Kelima, elit kolonial. Elit kolonial merupakan elit yang berkuasa di wilayah jajahan. Relasi yang dibangun adalah interaksi vertikal dan struktur yang dikembangkan adalah interaksi feodal. Teori elit ini akan digunakan untuk menganalisis peran elit pesantren dalam menentukan sikap politiknya. Teori elit politik ini juga akan digunakan untuk melihat perilaku politik para aktor-aktor politik dari partai politik Islam dalam membangun komunikasi dengan pesantren. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam struktur pesantren terdapat satu atau beberapa orang yang memiliki kekuasaan penuh terhadap pesantren, dan biasanya mereka disebut Kiai atau pengurus yayasan atau pemilik pesantren. Biasanya mereka inilah yang menentukan sikap pesantren terhadap situasi politik yang ada.
I.
Konsep Budaya Politik Budaya adalah pembicaraan-pembicaraan dramatis tentang hal-hal yang
menjadi masalah bagi para pesertanya (Robert N. Bellah, ed., 1985). Di dalam
dunia nyata, budaya dibentuk oleh banyak pola nilai, kepercayaan dan adat yang sering bertentangan. Menurut F.G. Balley dalam bukunya Humbuggery and Manipulation: the Art of Leadership, Nilai-nilai berhubungan dengan ”bagaimana dunia seharusnya”, kepercayaan dengan ”bagaimana dunia adanya”, adat dengan ”bagaimana seorang mengatur dirinya di bawah petunjuk seperangkat nilai-nilai dan kepercayaan khusus”. Pola-pola ini dinamis, selamanya berubah dalam menanggapi dan dalam mendahului gerakan-gerakan lainnya, baik yang di dalam maupun yang di luar masyarakat. (R. William Liddle, 1997) Di dalam bukunya Lucian Pye dan Sidney Verba (1965) yang berjudul Political Culture and Political Development, “pandangan budaya politik menganggap bahwa sikap, sentiment dan kesadaran yang memberi informasi dan mengatur perilaku politik di dalam setiap kelompok masyarakat adalah bukan hanya kumpulan sembarangan, tetapi mewakili pola-pola yang koheren, yang sama-sama sesuai dan saling memperkuat. (R. William Liddle, 1997). Gabriel Almond (1956) mendefinisikan budaya politik sebagai pola khusus dari orientasi ke tindakan politik, sebuah perangkat makna dan tujuan yang ada di dalam setiap sistem politik. Oleh karena itu, budaya politik merujuk pada keyakinan, nilai dan simbol ekpresif yang memuat konteks emosional dan sikap dari aktivitas politik. Budaya politik adalah produk dari banyak faktor, dan penggunaan budaya sebagai variabel penjelasan seharusnya tidak boleh lebih dari faktor pengaruh. Hubungan aktual antara tatanan normatif dan struktur sosial atau politik atau ekonomi tampaknya merupakan hubungan yang saling menguatkan. Budaya politik harus membentuk bagian dari penjelasan kinerja sistem politik, tetapi pada akhirnya kita harus menjelaskan bagaimana orientasi budaya dapat
dibentuk. Tetapi manusia adalah hewan simbolis yang memiliki kehidupan mental. Tindakannya merefleksikan cara dia mengintepretasikan lingkungannya, dan intepretasi ini akan dibentuk oleh peta kognitif, keyakinan dan sikap. (Almond, 1956) Biasanya latar belakang, asal-usul, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, adat istiadat akan sangat mempengaruhi perilaku atau cara sikap seseorang atau sekelompok orang. Begitu juga halnya dalam dunia politik, sikap politik seseorang atau sekelompok orang atau organisasi sangat dipengaruhi oleh budayanya yang sedang berkembang. Konsep budaya politik ini, akan digunakan sebagai pisau analisis untuk menggambarkan latar budaya pesantren di Tapanuli bagian Selatan dan pengaruhnya terhadap sikap politiknya terhadap situasi politik yang berkembang dan khususnya terhadap partai-partai Islam. Tentu saja alat analisis dengan konsep budaya politik ini akan sangat dinamis, karena akan menguraikan lebih dalam tentang pola-pola budaya yang berkembang di pesantren dan dikaitkan dengan sikap politik pesantren, sehingga alat analisis ini akan dapat melengkapi alat analisis teori elit yang sebelumnya telah digunakan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini di