1V. BALIGE: AJANG SOSIAL PENGUSAHA TENUN
1. Terbentuknya Kota Balige Balige mewpakan kota pantai di dataran Toba Holbung, suatu bentangan wilayah pantai yang subur dan padat penduduk di sebelah selatan Danau Toba (lihat ?eta 1 dan 2). Terbelah dua oleh lintasan jalan raya trans-Sumatera, ibukota Kecamatan Balige ini terletak sekitar 43 km di sebelah utara Tarutung (ibu kota kabupaten) atau 230 km di sebelah selatan Medan (ibu kota propinsi). Ciri utama kota ini adalah tegakan empat balairung besar berarsitektur rumah adat Batak Toba di "pusat kota" yaitu di komplek OnanBalige, di sisi selatan jalan utama kota, dan tegakan patung Pahlawan Revolusi Mayjen Anumerta D.I. Panjaitan di ujung barat jalan utama tenebut -- berdiri di samping bangunan museum beranitektur rumah adat Batak. Di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan utarna tadi berdiri rapat bangunan-bangunan rumah-toko, rumah kedai. rumah penginapan dan bank, yang memberi ciri "pasar" pada kota itu. Sejarah kota Balige telah terentang lama sejak masa pra-kolonial dan menempati posisi sentral dalam sejarah sosial Toba Holbung khususnya atau Tanah Batak umumnya. Kota kecil yang kini mencakup lima kelurahan ini (Napitupulu Bagasan, Pardede Onan, Lumbandolok, Sangkarnihuta, Balige I, dan Balige Ill) di masa lalu, pada masa pra-kolonial, adalah "ibu kota" wilayah Sumba atau wilayah domisili Batak Belahan Sumba. la kemudian menjadi ibu kota bagi onderafdeeling ((kawedanaan) Toba pada masa kolonial, dan bagi Kecamatan Balige pada masa kemerdekaan. Sejarah peralihan dari satu ke lain masa itu adalah sejarah pembentukan kota Balige, sekaligus sejarah perubahan sosial di sana.
1.1. Sebelum abad ke-20: pusat kekuasaan dan ekonomi tradisional Asal-usul terbentuknya kota Balige dan desa-desa sekitarnya, atau Kecamatan Balige secara keseluruhan, sebagai suatu satuan teritorial dan sosial orang Batak-Toba dapat ditelusuri
dari
legendalsilsilah leluhur orang Batak sejauh, merujuk Frederick dan Soeroto (1982: 87), legenddsikilah (Btk. tammh) itu dapat diterima sebagai kisah sejwah.
Lduhur pertama orang Batak menurut
legenddsilsilah adalah Si Raja Batak, titisan dewata Batara Guru yang bermukim di Sianjur Mula-mula, sebuah kampung di Gunung Pusukbuhit yang terletak di pantai barat Danau Toba (lihat Peta 2). 'Si Raja
Batak" sebagai persona pasti tidak pernah ada karena, sebagaimana misalnya ditegaskan Situmorang (1993:207), nama itu adalah sebutan kolektif untuk semua leluhur (kolektifitas) pendiri kampung Sianjur
Sirnula-mula. "Si Raja Batak" lebih tepat dimengerti sebagai komunitas pertama "orang Batak Toba", yaitu kelompok migran sub-ras Meiayu Tua (EarlyMdaaysl yang daerah asalnya sejauh ini belum dapat dipastikan. Legendalsilsilah menyebutkan "Si Raja Batak" memiliki dua orang "putera", kelak menjadi cikalbakal orang Batak, yaitu GUN Tateabulan atau llontungan dengan gelar si Raja Altong (putera pertama) dan Si Raja lsumbaon (putera kedua). Nama-nama ini juga merupakan nama kolektif untuk dua kolektifitas yang diyakini sebagai leluhur dua "belahan" (moiety) orang Batak Toba, yaitu Belahan Lontung (turunan kolektifias Tateabulan) dan Belahan Sumba (turunan kolektiifitas Isumbaon).') Menurut taksiran Vergouwen, Belahan Lontung rnemang lebih tua atau lebih dulu mendiami Tanah Batak dibanding Belahan Surnba (Vergouwen, 1986). Belahan Lontung mencakup marga-marga yang kemudian diturunkan oleh ernpat dari lima orang "putera" Guru Tateabulan, yaitu Sariburaja, Limbongmulana. Sagalaraja dan Malauraja. Sedangkan Belahan Sumba mencakup marga-marga yang diturunkan oleh satu dari tiga "putera" Raja lsumbaon yaitu Tuan Sorimangaraja.2) Masih menurut legenda/silsilah, perintis sekaligus pernukim pertama perkampungan di wilayah Balige adalah Tuan Sorirnangaraja, warga Batak belahan Sumba. Sorimangaraja beristeri tiga orang wanita Batak Belahan Lontung. Masing-masing istrinya itu berputera satu orang: Nai Ambaton (isteri ke-I) berputera Tuan Sorbadijulu, Nai Rasaon (isteri ke-2) berputera Tuan Sorbadgae, dan Nai Suanon (isteri ke3) berputera Tuan Sorbadibanua. Leluhur orang Batak yang kemudian menjadi marga r4a (pemilik tanah
yang meraja) di kota Balige dan desadesa sekitamya adalah anak pertama Tuan Sorbadibanua dari isteri pertamanya (Nai Attinginalela bow Pasaribu) yaitu Sibagotnipohan (Hutagalung, 1991). Orang Batak yang menjadi marga raja di Balige dan sekiiarnya dengan demikian adalah Belahan Sumba. Leluhur langsung marga-marga rqa tenebut adalah sebagian
-- yaitu mereka yang tidak pergi
'1 Menurut Sitor Siturnorang (1993: 208): 'Kedua 'putem' si Raja Batak ... dan ketuntnannya dipandang sebagai dua belahan yang sating mekngkapi dan sebagai sepasang tanduk kerbau, perlambang kesatuan paguyuban dan kesatuan mikro dan makro kosmos". 21 Nama-nama -a, Cirnbongmulana, Sagalaraja, dan Makumja ((keempatnya "putem" Tateabulan; sewang bgi 'puLera"nya bemama Raja Biak-biak) dan Tuan Tuan Scrimangav$a ("putera" Isumbm, dua orang lagi "putera"nya bemama Si Raja Asi-asi dan Sangkar Somalidang) ini ad& nama-nama menumt !qenda/m, lcemungljnao besar juga menrpadgn nama 'koMH". Desluipi lmgkap margamarga yang tergolong dalam Eelahan Lontung dan blahan Swnba, benkut penebam wilayahnya. Ithat: W.M. HutmaJuna. hdaha kt&:Tando &ml TuriWn ni &ma 87ta.k (Pustaka Batak Sikilah dan Leanda Omno @atak), Tubs ~aya,194; ringkmannya lihat 1.C. Vergouwen. Masprcikat u& ~ u k m ~ &5atak t Tcba, Jakarta: P& Azet, 1 9 k (h. j-
36).
merantau mernbuka wilayah baru -- dari keturunan keempat orang putera Sibagotnipohan, yaitu Sapalatua (yang berputera tunggal Tuan Sihubil), Tuan Somanimbil, Tuan Oibangama, dan Sonahalela. Mereka yang kemudian menjadi cikal bakal marga-marga r@a dan "pemukim asli" Balige dan sekitarnya adalah: Tampubolon dan Baiingbing (cucu-cucu Sapalatua); Panjaitan, Siagian dan Sianipar (putera-putera Tuan Dibangama); Siahaan, Sirnanjuntak dan Hutagaol (putera-putera Tuan Sornanimbil); Sirnangunsong, Marpaung, Napitupulu dan Pardede (puteraputera Sonahalela) (lihat Tabel Lampiran 1). Menurut cerita orang-orang tua, Tuan Sorimangaraja dan kernudian juga anaknya Tuan Sobardibanua dahulu kala mernbuka dan berdiam di huta (pedukuhan) Lumbangorat, sekarang rnenjadi sebuah desa di pinggir selatan kota Balige3)
Cerita tentang cikal bakal masyarakat Balige ini ada
penesuaiannya dengan fakta historis mengingat pada abad ke-13 nama Sorimangaraja tetah tampil sebagai nama lembaga "pendeta-raja" (piat-king} untuk wilayah Belahan Swnba. Pendeta-raja Sorimangaraja disebutkan berkedudukan di bfii.) Baligeraja, atau Balige sekarang (Siturnorang, 1993: 104-5, 109). Ini berarti sekurangnya sejak abad ke 13, atau jauh sebelum terbentuknya lembaga "pendeta-raja" Sisingamangaraja abad ke-16, Balige sudah tampil sebagai 'pusat kekuasaan" tradisionil yang menonjol di wilayah Surnba. Status Balige sebagai pusat kekuasaan antara lain juga dikuatkan oleh fakta adanya lembaga Onan Namarpt/k(Pasar Besar Berhukum) yang disebut Onan Rqa (sekarang rnenjadi nama peduwnan) di dekat Lumbangorat. Kehadiran suatu Onan Namarpat~disuatu wilayah adalah petunjuk bahwa wilayah tersebut meiupakan "pusat kekuasaan". Disamping berfungsi sebagai pasar rakyat (pasar tradisional), Onan Namaptikrnewpakan tempat berkumpul para r4a-r@ biusuntuk mengambil keputusan-keputusan penting dan mengadili perkara-perkara yang melibatkan warga masyarakat. Keberadaan Onan Namapatik atau Onan Rap di Balige dengan sendirinya menunjukkan bahwa disarnping sebagai pusat kekuasan tradisional, Balige juga merupakan pusat kegiatan ekonomi rakyat (tradisional) untuk wilayah Sumba setidaknya sejak abad ke-13. Onan R#
Balige di masa lalu merupakan
31 Komunikasi pribadi penul'is dengan MA. Simanjuntak, tokoh masyarakat (Mahiran 1926), anggda DPRD Tk. I! Tapanuli Utara, tinggal di kampung Tampubolon, Desa Sibolahotang MS. Balige, Ddam masa p m g melawan Belanda (1878-1907), Siiingamangaraja XI1 pemah mengadalran pertemuan dengan r@-@ wilayah Sumba di Lumbangorat dabm rangka menyusun drategi xrangan ke markas tentara M o d Belanda di Bali. Fahta ini membwi petunjuk bahwa Lumbangorai me~pakan "karnpung induk", cihl-batd sernua lolmpung bin di whyah 4) Dakm masyarakat h h m adat BiuakToba, satwn m i a l hbsmenrpekan kderasi dari sejumhh satwn sosial /@a, clan satuan m i a l hqiamenpkan fec!emi &ri xjwnbh satuan smial huta(kampung).
pasar utama dimana penduduk dari berbagai bius di wilayah Surnba bertemu untuk rnelakukan transaksi ekonomi khususnya tukar-menukar dalam arti dagang. Sekitar abad ke-13 itu, jika mengikuti penuturan Situmorang (1993: 156) hanya ada tiga Onan Namapatkdi wilayah Toba, yaitu satu di Baligeraja untuk wilayah genealogis Belahaan Sumba, satu di Urat (Samosir) untuk wilayah genealogis Lontung, dan satu lagi di Limbong (Onan Namapatiktertua) untuk wilayah Limbong-Sagala.5) Lainnya adalah pekan-pekan kecil, disebut onan manogot-nogot (pekanlpasar pagi), yang dapat dijumpai di setiap bius datam wilayah Tanah Batak.
1.2. Abad ke-20: menuju pusat ekonomi dan kekuasaan modem Wlayah dan rnasyarakat Balige mengalami perubahan yang menyolok terutama sejak awal abad ke20 ini, sebagai buah pengaruh dua kekuatan sosial Barat (Eropah) yaitu zending RheiniKfte MMissions-
Ges-e/schafi(RMG) dan kemudian Pemerintah Kolonial Belanda. Dua kekuatan sosial tersebut rnernbawakan perubahan di bidang yang d i n g berbeda. Zending atau Batakmission - yang mulai berkarya di wilayah Balige dan sekitarnya (Toba Holbung) sejak tahun 18816) -- membawakan perubahan terutama di bidang sosial budaya meliputi agama, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan pemerintah kolonial yang telah rnemasuki Balige tahun 18837) atau 15 tahun sebelum pembentukan Afddhg SataManden (1908) -- yang
Sekitar abad ke-13 twdapat tiga lembaga 'pendeta-aja" di Tanah Batak, yaitu Sorimangaraja untuk m'layah Surnba (berkedudukan di Baliiraja), Ompu P* Raja untuk klayah LLonhrng (berkedudukan di W, Samosir), dan longgi Manaor unhlk wilayah Limbong-Sag& (berkrdudukan di Limbong) yang mengldaim din sebagai p e m tradki Sianjur Muh-rnula d m menolak W b t a n Sorimangaraja, Ompu Palti Raja, d m bahkan SbingaMngaraja (lihat Siturnorang, 1993: 78,105,109). 6) Zending RMG memubi karyanya di Tanah Batak pada penghujung tahun 1864, terhiiung seiak Pendeta I.L Nommensen rnengawali k q a zendingnya di daerah Siliidwg (Tatutung). Setelah d i i u k sebagai Epho~usBatalanisskm tahun 1881, Nommensen kemudian memperluas wihyah karya zendingnya di Balige dan sekifamya (Toba Hohng). Sebelum Nommensen ke Toba Holbung, misionaris pertama yarg diiempatlen di Balige ad& G. Pilgrim (lihat Hirosw, pindah dari Pearaja (T&ng) 1988: 56). Nommensen senditi mulamuia (1885-1888) tinggal di Lagubdi dan kemudii di Sigumpar sampai akhir hayatnya (1918), &digus d h k a n di sana (WMmang, 1988: 198). Setehh memasuk idayah Toba Hobung (1881). zernling kemudian krtulut-tulut memasuki wilayah Samosir (1893), Habinsaran (1905) dan Dairi (1908) (lihat M.1. Ruychaver, 1936, M m n k van O v e v g a v e d e r ~ & Rskkntk ~ , Tqpanoe(h. 85). 7) Pada bulan Lpril 1883 pemerintah kolonial mwmpatlen seowng Confdmrdi B a l i i dan 50 orang serdadu di Lagubdi (lihst Hirowe, 1988: 57). Setebh pembentukan MMhg BaU* tahun 1908, dua tahun setaah pembentukm l k d m a n Tapanuli (1906). B a l i i men@ ibu kota o&edk?l& Toba. A&&g sendiri rnencakup 5 cd%&&hg yaitu Silindoeng, HqvMrte van Tobq Toba. Samosir, dan Dairi; atau mencakup wilayah Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi sekarang. Pada masa k e m e r d k , berdsarkan UU No.711956 tentang pmbentukan Daerah Otonom KabupatenXabupaten di Linglamgan Pmpimi Sumateia Utara kedua kabupaten twsebut t d i r tehp menyahr s e e rahl Daerah Monan Tingkat 11. Mupaten Tapanuli Utara ban^ terpkah dan Kabupaten Daili pda tahun 1964, berdasa~UU No. 1511964 tentang Pemkntukan Kabupaten M. 51
~~~
menandai penguasaan penuh pemerintah kolonial atas Tanah Batak -- membawakan perubahan terutama di bidang politik dan ekonomi. Zending RMG telah melengkapi peran tradisional Balige
--
yaitu sebagai pusat kekuasaan dan
ekonomi (pasar) tradisional -- dengan peran baru yaitu sebagai pusat pelayanan sosial. Upaya kristenisasi oleh zending di Balige telah disertai dengan upaya peningkatan di bidang pendidikan melalui pendirian sekolah-sekolah dan peningkatan kesehatan penduduk melalui pendirian rumah sakit dan klinik-klinik kesehatan. Balige kernudian tampil sebagai pusat pelayanan pendidikan dan kesehatan yang penting tidak saja untuk wilayah Toba Holbung tetapi juga Samosir bagian barat. Rumah sakit milik zending khususnya kelak terkenal sebagai "Rumah Sakit Huria Kristen Batak Protestan" (HKBP), rumah sakit "terbesar" dan satu-satunya rurnah saki swasta dari total lima unit rumah sakit (tahun 1994) di Tapanuli Utara. Menurut Pedersen kehadiran rumah =kit ini telah mernbuka peluang pendidikan bagi kaum muda Kristen untuk kemudian menjadi paramedis, bidan, perawat, dan bahkan dokter (Pedenen, 1970: 88). Perubahan-perubahan di bidang politik dan ekonomi di Balige tampak nyata tenitama sejak tahun 1908, ketika wilayah Toba Holbung atau Tanah Batak umumnya sudah resrni dianeksasi pemerintah kolonial. Balige sendiri kernudian ditetapkan sebagai "ibu kota"
pemerintahan Onderafdeelihg Toba, suatu wilayah
yang mencakup 4 onderdistrlitectenyaitu Balige, Porsea. Lumbanjulu, dan Habinsaran, atau dengan kata lain mencakup wilayah-wilayah Toba Holbung, Uluan, dan Habinsaran
(lihat Peta 3). Kda kecil Balige kemudian
mengalami transfomasi dari pusat kekuasaaan dan ekonomi "tradisional" rnenuju pusat kekuasaan dan ekonomi "modem". Di bidang politik warga Balige kemudian berkenalan dengan tiga kebijaksanaan pemerintah yang diberlakukan di seluruh Karesidenan Tapanuli yaitu: (a) pemungutan pajak (belds'ting)yang dikenakan antara lain pada tanah sawah dan rumah (b) wajib kerja (rod4 terutama untuk pembangunan jalan, saluran air, pekan, dan bangunan pemerintahan, dan (c) reorganisasi sistem pemerintahaan lokal yaitu penerapan sistem kademangan yang melibatkan penduduk pribumi sebagai d
q dengan status
pegawai pernerintah kolonial di tingkat bawah (Castles, 1972: 48-9). Mellui kebijaksanaan wajib keja pada tahun 1917 pemerintah kolonial (Residen F.C. Vorstman) berhasil mernbangun mas jalan tembus dari Parapat ke Balige sampai Tarutung. Walaupun Belanda telah mendirikan benteng di Balige (dan Laguboti) pada tahun 1883, sampai pertengahan tahun 1910-an secara
.
'1 Lihaf M.1. Ruycttaver, Memo& van Overgave.. (1 936: 14)
geografis kawasan itu memang masih relatif terisolasi, karena belum ada jalan raya yang menghubungkannya dengan Tarutung di sebelah selatan dan Parapat di sebelah utara.
Disamping membatasi mobilitas
penduduk, kondisi ini juga menyulitkan pemerintah kolonial antara lain dalam mobilisasi kekuatan militer. Sampai tahun 1915, sebelurn kapal penumpang pertama beroperasi, transportasi dari Balige ke daerah Simalungun dan sebaliknya dilakukan terutama melalui Danau Toba dengan menggunakan solu, perahu tradisional Batak.9) Pelabuhan danau di Simalungun pada waktu itu adalah Sipiak (sekarang Parapat) dan Tigaras (terletak di sebelah barat-laut Parapat). Dua "kampung pelabuhan" ini merupakan pintu masuk ke wilayah Simalungun di masa lalu. Ketenediaan jaringan jalan raya tadi, kelak menjadi jalan raya trans-Sumatera, telah membuka isolasi tidak saja wilayah Balige tetapi Toba Holbung umumnya dari "dunia luar" dan sekaligus menjadi katalisator perkembangan ekonomi setempat. Bersamaan dengan itu gejala monetisasi atau ekonomi uang semakin nyata dan meluas ke pedesaan. Kegiatan ekonomi luar-pertanian mulai berkembang, antara lain usaha angkutan darat dengan kendaraan bermotor (bus penumpang, truk barang
).lo)
Balige benama
"kampung-kampung besar" lainnya yang berada di sepanjang jalan raya itu antara lain Porsea di daerah Uluan (26 km di sebelah timur Balige), Laguboti di Toba Holbung, d m Siborong-borong di dataran-tinggi Humbang (1 7 km di sebelah selatan Balige), mulai berkembang menjadi "kota-pasar" (market tow) yaitu kota kecil yang "berpusat" pada suatu p a r (lihat Situmorang, 1993: 22-3).
Untuk mendukung peran
Balige sebagai "kota-pasar", pemerintah kolonial Belanda kemudian membangun sarana o m rakyat lengkap dengan empat unit balairung besar berarsitektur rumah adat Batak. Kelak pasar tersebut dikenal sebagai "Onan Balige", dimana "pasar besar" mingguan berlangsung setiap hari Ium'at. Pada awal tahun 1930-an Balige sudah menampilkan wujud "kota kecil" yang rdatif lengkap. Balige pada waktu itu sudah memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai: (a) pusat administrasi Pemerintah Kolonial Belanda untuk Onderafdedihg Toba (Afdding h M e n r Karesidenan Tapanuli), (b) pusat kegiatan ekonomi ditandl dengan perkembangan ekonomi non-pertanian terutama perdagangan dan jenis jasa l M W m Pardede, 'Maoe Madjoe?". Anak&?&(Bubnan) No.1 Th. IV. 1 lanuari 1929 (h.3). Sampaj tahun 1915 hanya ada satu unit kapal danau, yailu k+d motw Wilhelmina" milik pwnerintah kdonid yang menghubungkan Balw dengan Paapat. Tahun 1917 bertambah dua kapal lagi (satu miiikorang Gna dad Pernatang Siantardan sahr milii wang Batak). Sampai akhimya -tat 5 unit kapal danau. Usaha a n g h kapal danau rute Barge- Parapat tersebut luemudii terhenti m e n y d xlesajnya pembangunanwas jalan raya Parapat Balige -Tamtung. '0) Pa& tahun 1920 tercatat &ar 20 unit kendaraan bermdm yang mclayani rutc Sibdga Tamhng - Balige - Parapat Pematang SiW,&tau sddar 3 4 lcendaraan yang Lxpsai sstiap hadnya. Lihat Weper, Mthk M , Auto &hot V-k (Oang Batak,Oto dm W W ) ,AMk&fak(Bulanan) No. 12 Th. II,1 h b w 1927 (h.2).
-
-
lainnya (sebelum munculnya pabrik tenun pada pertengahan 1930-an), dan (c) pusat kegiatan jasa sosial temtama pelayanan kesehatan (ada rumah s k i t zending) dan pendidikan. Mengutip kisah sastrawan Sitor Situmorang, Balige pada masa itu adalah kota kecil dimana terdapat rurnah saki, surat kabar lokal, lapangan sepak bola, Hub tenis, bioskop, bengkel (sepeda, mobil), pompa bensin, tukang gigi, toko-toko, dan jum potret (Situmorang, 1981:28-9).11) Boleh dikatakan sejak tahun 1920-an ke atas Balige telah berkembang menjadi pusat aktivitas ekonomi, politik, dan sosial bagi wilayah Onderafdding Tobapada masa kolonial atau kemudian bagi wilayah Toba pada masa paxa-kolonial sampai sekarang menjelang abad ke-20 berakhir. Peran Balige sebagai pusat kegiatan ekonomi khususnya semakin nyata sejak industri tenun berteknologi ATBM rnulai berkembang di sana pada pertengahan tahun 1930-an. Kegiatan industri tenun ini memang sempat merosot pada masa pendudukan Jepang (1942-1 945) dan masa revolusi (1945-1 950), tetapi berhasil bangkit kernbali pada masa Pemerintahan Soekarno dan bahkan mengalami "ledakan populasi" pada tahun 1960-an. Seiring dengan perkembangan Balige menjadi "kota industri tenun", ragamjenis kegiatan luar-pertanian lainnya juga berkembang antara lain ditandai dengan pertambahan jumlah toko dan rumah makan, pendirian bank, dan pertambahan angkutan urnum. Bwsarnaan dengan pengukuhan Balige sebagai pusat kegiatan ekonomi di Tapanuli Utara, peran sosialnya sebagai pusat pendidikan juga sernakin nyata, terutama sejak Desa Soposurung dikembangkan sebagai pusat pendidikan dasar sampai rnenengah pada awal tahun 1950-an. Di Soposurung berdiri tidak saja sekolah-sekolah negeri, tetapi juga sekolah-sekolah swasta khususnya milik Gereja Katolik yang terkenal sangat baik rnutunya. Untuk jenjang pendidikan menengah atas khususnya dapat dikatakan bahwa Balige paling unggul sewilayah Tapanuli Utara sekarang ini. Pada tahun 1994 di Kecarnatan Balige terdapat 7 unit SMA (5 unit diantaranya swasta), 4 unit SMEA (3 unit diantaranya swasta), dan 4 unit STM (3 unit diantaranya swasta). Tidak ada kecamatan lain di Tapanuli Utara yang memiliki sarana pendidikan rnenengah atas sebanyak ini.
") Gambaran seperti ini t w d n juga pada surat kabar lokal ( t e t h n Mi)pada awal tahun 1930-m yang memuat sejumlah ildan tdco atau usaha jasa hinnya di Mge. Lihat misalnya surat kabar Emhdrt (.Svuha) No. 3, 1 bet 1933 yang memuat antara lain iklan Tcka dai Antanius Siahaan" (menjual an& pakaian) dan ildan 'Karl Sianipac T h dan CMnmisie Handel"
(meniual andm barangtwKKlandan benang,s&a bahan-bahan bangunan).
2. Struktur Sosial Asli Masyarakat Batak Toba Balige
Walaupun secara fisik Balige tampak sebagai "kota kecil", tetapi s t ~ k t uasli r masyarakat Batak Toba rnasih bertahan dalam rnasyarakat di sana. Dengan struktur sosial asli dimaksudkan di sini adalah struktur masyarakat petani Batak Toba yaitu sistem kekerabatan Dalian Na Tolu (DNT) yang sekaligus juga menjadi acuan struktur sosial huta atau kampung asli masyarakat Batak Toba. Tidak ada orang Batak Toba Balige yang dapat melepaskan din dari struktur sosial asli ini. Pada setiap individulkeluarga Batak Toba di Balige selalu rnelekat statuslperanan tertentu baik dalam konteks sosial DNT rnaupun huta. Balige sendiri adalah sebuah "kota" yang terdiri dari sejumlah huta yang rne~pakan"kerajaan-kerajaan" kecil . 2.1. Sistem Daihan Na Tolu
Sistern DNT secara sederhana dapat dijelaskan sebagai suatu pola interaksi sosial segi tiga, dimana seorang individu dalam kehidupan sosialnya berinteraksi dengan tiga golongan sosial dengan status berbeda yaku hub-huldnya, boru-nya, dan dongamBbu-nya.
Sebagai implikasi dari pola interaksi ini,
maka individu tersebut dengan sendirinya menyandang tiga status sosial dalam interaksi sosialnya yaitu sebagai boru bagi hula-hulaflya, hulaJIul bagi boru-nya, dan dongan-Bbu bagi dongan-Bbuqya. Dengan merujuk pada tarombo marga (silsilah) seorang individu Batak Toba selalu dapat menentukan statusnya ketika behadapan dengan individu Batak Toba lainnya, seMipun sebelumnya mereka tidak saling kenal. Dengan demikian individu tersebut dapat menentukan dirinya harus menyapa dengan "nama status" apa tehadap individu lainnya. Tabel Lampiran 6 menyajikan nomenklatur status sosial (dalam konteks DNT) yang lazim digunakan orang Batak Toba dalam pergaulan sehari-hari. Hubungan sosial antara tiga unsur DNT itu diatur oleh suatu nonna adat. Orang Batak Toba merumuskan nonna l u sebagai berikut: Somba ma/Jula-hula;
Manat mardongan-tubu;
E M marborn.
Artinya: Horrnat terhadap hula-hula, Hati-hati terhadap hngdn-tubu; Penuh kasih tehadap ban/.
lntinya
adalah bahwa seseorang diingatkan untuk tidak melakukan sesuatu tindakan atau mengajukan sesuatu perkataan yang dapat menimbulkan keteninggungan, kemarahan, sakit hati, ataupun kesedihan di pihak hula-hula, hngan-tubu, dan bomnya. lika ha1 itu sampai tejadi, dan tidak disusul dengan suatu upaya pernmhonan maaf, maka ada keyakinan bahwa orang tersebut tidak akan "selamat" dalam kehidupannya.
Sistem DNT itu tidak semata-mata berfungsi sebagai acuan tindakan sosial individu, tetapi juga mempakan acuan masyarakat dalam pengorganisasian sumberdaya.
Pembangunan dan pengelolaan
saluran irigasi yang tergolong cangih di Lintong Nihuta, Balige tahun 1868 (dan masih bertahan hingga kini) misalnya dilakukan dengan bersendikan adat DNT (Lando, 1980).
Sistem DNT juga menjadi landasan
kegiatan gotong royong dalam masyarakat petani Batak Toba, misalnya dalam kegiatan mendirikan rumah, menanggulangi bencana, pemakaman belulang leluhur, dan lain-lain seperti dilapotkan Siahaan berdasar hasil penelitian di Lumban Silintong, Balige (Siahaan, 1982). Dengan ini hendak dikatakan bahwa sistem sosial DNT adalah sistem sosial masyarakat petani BatakToba. Sistem sosial DNT tersebut mempakan dasar pembentukan struktur huta, satuan sosial-politik terkecil dan bersifat otonom dalam masyarakat Batak Toba. Huta terdiri dari dua kelompol: sosial utama yaitu marga rqa dan marga penumpang @an$e, non-marga rqa). Marga ria, atau marga taw (marga tanah), adalah keturunan patrilineal pendiri kampung yang rnemegang hak memerintah (harqaon,
panggomgomion) dan hak milik atas tanah (golai) di suatu karnpung -- sebagai hak bersama (hatopan)bagi selumh anggota kelompok marga tenebut. Di Balige, seperti disebutkan di muka, maga r4a adalah
marga-marga yang termasuk dalam rumpun Sibagotnipohan (lihat kembali Tabel Lampiran 1). Marga Pardede misalnya meraja di Kelurahan Pardede Onan dan Kelurahan Lumban Dolok-Haumabange, sedangkan marga Napitupulu meraja di Kelurahan Napitupulu Bagasan dan Kelurahan Sangkarnihuta. Masing-masing marga rqa itu mempunyai marga rakyat (gomgoman) sendin yang hidup bersama di suatu wilayah kampung kerajaannya, yaitu "penumpang" yang terdiri dari marga born dan warga pendatang lainnya. Dalam konteks struktur DNT, yang merupakan basis strukur sosial asli suatu kampung, marga r&a secara historis menempati status hula-hula yaitu pihak pemberi isteri kepada kelompok marga lain yang disebut marga bmdalam konteks jalinan affinal. Marga bow ini sekaligus merupakan marga penumpang utama yang menjadi pihak 'rakyat yang diperintah" dalam suatu kampung, disamping kemungkinan adanya penumpang lain yaitu pendatang yang yang tidak memiliki hubungan affina maupun agnata langsung dengan
marga rqa. Berbeda dengan marga r& yang rnemegang hak milik atas tanah, marga boru hanya memegang hak pakai, dengan kekecualian pada tanah kampung marga born yang telah berdiri sendiri atas izin dan restu maqa q a (Vergouwen, 1986: 126-7).
lelas bahwa kelompok marga raja, sebagai elit tradisional dalam konteks struktur DNT dari satuan sosial karnpung, memiliki akses yang lebih besar terhadap sumberdaya ekonorni (tanah) dan polit~k (kekuasaan).
Keadaan ini mendorong marga penumpang termasuk boru untuk mencari nafkah di luar
kegiatan cocok-tanam, antara lain perdagangan dan peternakan (lihat Vergouwen, 1986: 70). atau bahkan mungkin keluar dari kampung untuk kemudian menetap di daerah lain. Mengenai ha1 terakhir ini, rnenurut
G.L. Tichelman ( B a t a M ArbAdsrese~aat,KT XXV, 1936: 399-403) kebanyakan orang Batak Toba yang menetap sebagai pekerja tetap di perkebunan Sumatera Timur tadinya adalah parripe di kampung asalnya (dikutip Castles, 1972: 73, catatan kaki). Narnun kekuatan dorninan di bidang perdagangan pada masa lalu, misalnya perdagangan ternak, tampaknya bukan di tangan golongan marga boru
atau penumpang
umumnya tetapi golongan marga rzja (lihat Loeb. 1990: 39; Cunningham, 1958: 153). Akses ekonomi dan politik yang lebih besar pada marga raja tarnpaknya telah memungkinkan golongan ini untuk menjadi "pernanfaat pertama" ragam peluang ekonorni, dan pada gilirannya rnenjadi kekuatan dorninan dalam berbagai sektor kegiatan ekonorni. 2.2. Struktur sosial huta masyarakat Batak Toba sebagai masyarakat dua-kelas
Lepas dari perdebatan apakah di masa lalu (pra-kolonial) sudah ada atau belurn suatu "negara"
(state) Toba, satu ha1 yang jelas struktur asli masyarakat Batak Toba sudah n~engenalkonsepsi 'raja" dan "rakyat". Hal ini te~vujudkanpada dua golongan utama dalam satuan sosial huta, yaitu panggomgom (penguasa) dan gomgoman (rakyat). Sebagaimana telah disebutkan di atas panggomgom, yaitu pemimpin sekuler yang disebut sebagai rqa huta, adalah marga rqia yaitu keiornpok marga pendiri huta yang rnemegang hak memerintah secara benarna. Dalam prakteknya, hak memerintah itu diemban secara langsung oleh salah seorang anggota maga raja berdasar hasil pemilihan, lazimnya merupakan anggota
marga rzja tertua dilihat dari posisinya dalarn silsilah (bukan dari segi umur). Sementara gomgomanadalah maga p a m e atau "penumpang" yang terdiri dari kelompok marga borudan pendatang lainnya. Jadi. menurut struktur aslinya rnasyarakat Batak Toba adalah masyarakat "dua-kelasn, yaitu terdiri dari kel&
marga "raja" dan kdas maiya "rakyat". Secara khusus kelas "raja" sesungguhnya terdiri dari dua kelompok sesuai dengan domein
"kerajaann-nya yaitu pemimpin/pejabat sekuler dan pemirnpin/pejabat religius. Untuk memahami ha1 ini
perlu sedikit penjelasan mengenai struktur politik masyarakat Batak Toba yang "asli". Huta, sebagairnana disebut di muka, dibawah pemerintahan seorang r q a hutadengan bantuan sejumlah pangituai(orang-orang yang dituakan) adalah satuan sosial-politik terkecil yang bersifat otonom dalam struktur politik Batak Toba. Sejumlah huta yang berdekatan kemudian membentuk suatu federasi Tingkat-ll yang dikenal sebagai hoja, yaitu suatu satuan sosial-politik ad-hocdan informal yang diperintah oleh "rapat marga" -- yang terdiri dari perwakilan rnarga-marga raja dalam suatu "wilayah" hoja. Di atas h o j a adalah federasi Tingkat-l yang dikenal sebagai bius yaitu suatu satuan sosial-politik yang diperintah oleh suatu "dewan biuf yang disebut sebagai r-a-r-a bius -- yang keanggotaaan terdiri dari perwakilan marga-marga raja dalam suatu "wilayah" bius. Dewan biusini dikepalai seorang pemirnpin yang kedudukannya bersifat prinus inte/prs, dengan sebutan yang saling berbeda dari satu ke lain wilayah -- misalnya Rqa Doli(Samosir) dan Rqa
lunjungan (Silindung). Anggota dewan lainnya disebut Rqa Paeahidan masing-masing bertanggungjawab atas sesuatu bidang u r u m pemerintahan.
lika r4a huta merupakan pejabat sekuler 'yang menjamin
kelangsungan pemerintahan sehari-hari, maka raja-qa bius bertanggungjawab atas keamanan, tertib hukum, keutuhan perbatasan negeri, peradilan, dan prasarana perekonomian utama seperti irigasi dan pasar. Raja-raj2 huta ataupun raa-raa bius inilah yang dikenal sebagai pernimpin sekuler dalam struktur politik Batak Toba. Sedangkan pemimpinlpejabat religius dalam struktur politik Batak Toba dikenal sebagai ria-r&a parban'ngin (pendeta).
Mereka ini adalah pejabat-pejabat yang sepanjang tahun mempeniapkan
dan melayani berbagai macam ritual yang menyettai setiap tahapan pertanian sawah di suatu wilayah bus (Aritonang, 1988: 44-7). Sebenamya Loeb (1 990: 40) telah menambahkan satu "kelas" lagi dalam masyarakat Batak Toba yaitu golongan hatoban atau kaum budak. Tetapi, sebagaimana misalnya posisi budak pada keluargakeluarga bangsawan Sasak, Lombok (ludd, 1980: 84), budak bukanlah suatu kelas sosial yang berdiri sendiri. Budak menyatu -- baik permanen maupun temporer
-- sebagai bagian dari keluarga raja, sehingga
kurang tepat jika diklasifikasikan sebagai suatu kelas sosial tersendiri. sampai tahun 1914
- tahun berakhirnya masa perbudakan yang
Dalam masyarakat Batak Toba,
ditandai dengan pembebasan budak
terakhir di Samosir -- hafobanadalah bagian integral dari rumahtangga r+i. Kesimpulan bahwa masyarakat Batak Toba pra-kolonial merupakan masyarakat dua-kdas, dengan sendirinya di sini menolak pandangan bahwa masyarakat Batak Toba adalah masyarakat egaliter.
Masalahnya pandangan terakhir ini tidak memiliki dasar yang kuat, kecuali selalu dikatakan bahwa dalam konteks struktur DaLhan Na Tolusetiap orang Batak Toba adalah "raja" (Situmorang, 1993: 173): qa ni hula-hula, raja nidongan tubu, dan raja niborusekaligus. Ketiga kategori status "raja" itu melekat pada din setiap individu pria dewasa. Status mana yang fungsional tergantung pada siapa berhadapan dengan siapa dalam suatu konteks interaksi sosial. Namun, sepanjang konteks "kerajaann itu adalah struktur Dajhan Na Tolu maka status individu senantiasa benifat simbolik, dalam arti tidak menunjuk pada status sosial seseorang dalam konteks praksis sosial. Dalam struktur sosial buts, dimana raja ni bula-buIa adalah kelompok marga q a sementara ra$a niboruadalah kelompok margapam@, segera tampak bahwa hak-hak sosial, ekonomi, dan politik kelompok tersebut terakhir (jauh) lebih lemah. Dengan demikian, "masyarakat Batak Toba yang egaliter" bukanlah suatu realias melainkan sebuah mitos.
3.
3.1.
Penduduk Balige Pertumbuhan penduduk dan migrasi Menurut perhitungan Vergouwen (1 986) berdasar Sensus Penduduk (VolMLng) yang dilakukan
Pemerintah Kolonial Belanda tahun 1930, jumlah "penduduk asli" di wilayah Balige mencapai 21.000 jiwa atau kira-kira 4 penen dari total "penduduk asli" Tanah Batak pada tahun sensus tenebut (Tabel 4.1). Dengan "penduduk asli" dimaksudkan di sini adalah "orang Batak Toba". Dalam kasus Balige, merujuk pengelompokan orang Batak menurut leluhur maqa-marga "penduduk asli" adalah Batak Kelompok PohanBalige yaitu keturunan Sibagotnipohan yang menduduki keseluruhan wilayah yang sekarang menjadi Kecamatan Balige. Jdas bahwa angka 21.000 j i a menurut V o / . / i n g 1930 tadi tidak mencakup etnis Batak Toba di luar Kelompok Pohan dan etnis non-Batak Toba yang juga bermukim di wilayah Balige pada saat itu. Kelangkaan data sejauh ini tidak memungkinkan suatu kajian yang tepat dan nnci tentang pertumbuhan penduduk kota Balige dan desadesa sekitamya pada masa kolonial. Namun dari data perkembangan penduduk di tingkat Karesidenan Tapanuli (mencakup tiga a W @ : B a M ! , Sibolg;, dan Padang Sidempuan) atau, lebih sempit lagi, di tingkat Afdeeling BataWanden (mencakup lima
ondeMeelii: Silindung, Hoog&&e van Tobd, Toba, Samosir, Daili) dapat diperoleh suatu gambaran dinamika perturnbuhan penduduk yang diduga berlakujuga untuk konteks wilayah sesempit Balige.
Tabel 4.1. Penduduk Kecamatan Balige pada Tahun-tahun Tertentu, 1930-1990 Tahun
Luas Wiiayah (Km2)
Jumlah Penduduk (Jiwa) Pria
Wanita
P+W
Kepadatan Penduduk (JiwaKm2)
Sumber: -1930: V e r g w n (1986) mengutip data V&e/Iirg 1930 -1961,1971: Data Sensus Penduduk (1961;1971) -1980, 1943: Data Sensus Pendoduk (1980, 1990) dalam "Analisa Kependudukan serta Kaitannya dengan Pddikan Tapanuli Utaa Tahun 1990". Kantor Statistik Kabupaten Tapanuli Utara. 1992 (h. 17 Tabel 2.2 dan h. 18 Tabel 2.3.). -1985: KabupatenTapanuli Utara Dalam Angka (1985).
di Dati It
Dalam masa 1905-1930 (25 tahun) jumlah penduduk Karesidenan Tapanuli telah mengalami peningkatan drastis sebesar 152 penen (rata-rata 6,l persen per tahun), yaitu dari total (semua etnis) 41 3.301 jiwa menjadi 1.042.583 jiwa (Tabel Lampiran 2). Penduduk Tapanuli Utara sendiri dalam masa 1914-1 930 (1 6 tahun) telah rnengalami peningkatan sekitar 70 penen atau rata-rata 4,4 penen per tahun (Tabel 4.2).
Angka-angka ini jelas menunjuk pada pertumbuhan penduduk yang tergolong tinggi di daerah
Tapanuli, termasuk wilayah Balige pada masa kolonial. Gejala ini menurut Langenberg berpangkal pada dua faktor penting, yaitu: (a) peperangan (yang memakan banyak korban) telah behasil ditekan sampai taraf tak berarti hingga tahun 1930 dan, (b) tingkat kernatian bayi telah menurun tajam dan tingkat kesehatan masyarakat umumnya juga semakin membaik berkat jasa pelayanan kesehatan dari pihak zending (Langenberg, 1976: 37-8). Namun jika membanding antar wilayah, karena penga~hfaktor rnigrasi khususnya, besar dugaan bahwa tingkat pertumbuhan penduduk di Karesidenan Tapanuli sangat bervariasi antara satu dan lain
onderfd'ng. Diduga tingkat pertumbuhan penduduk di wilayah Balige atau Toba Holbung, dan jugh mungkin di wilayah Silindung dan Samosir, pada paruh pertama abad ke-20 lebih rendah dibanding di
laya ah lain terutama Tapanuli Selatan dan Dairi. Dasar dugaan ini adalah kenyataan bahwa sejak permulaan abad ke-20 wilayah Toba Holbung sudah menjadi daerah utama pengirim migran sedangkan Tapanuli Selatan
dan Dairi termasuk daerah penerimanya. Dampak pertumbuhan penduduk yang tinggi di Tapanuli pada rnasa itu rnemang paling terasa di wilayah Toba Holbung yaitu b m p a peningkatan tekanan penduduk atas tanah. Bersamaan dengan tradisi mamungka bhuta (merintis kampung baru) bagi kaum lelaki muda Batak Toba, menurut Liddle tingginya tekanan penduduk atas tanah itu telah mendorong orang Batak Toba bermigrasi ke wilayah lain yang rnasih jarang penduduknya (Liddle, 1970: 32). Tabel 4.2. PendudukTapanuliUtara pada Tahun-Tahun Tertentu, 1914-1 995 Tahun
1995
Pria (Jia)
Wanita (Jiia)
tad tad tad
tad tad tad
270.884 283.065 304.324 317.372 331.648 339.700 350.128
287.669 300.661 318.21 1 331.863 350.764 356.077 362.887
Pria + Wanita (ha)
Rasio PIW
713.015
96
Sumber Data: -1914: LWles (1972:41) mengutip I.P.1. Barth, ~ v a n O v e r g a v e ( R ~ t Tpnuti1915, of V&a/l/7/1518!J), h. 21 -1930: L.Castles ( 1 97241) mengutip VdkrrelPng1930 (Vol. 10, h. 112-3). -1950: W.F. Weitheim (1959374)mengutip Data Pendaban Pemilu 1955. -1%1,1971,1980,1990: Data Sensus Penduduk pada tahun-tahun yang bersarghian dikutip dari:TwnuliULm Dakm Angka. Data untuk tahun-tahun lainnya juga diiartip d a i TwnutiWaraDabm Angka (behatahun). 1995: PendudukSurnateraUtara: Hasil Survei PendudukAntas Semus 1995.Jakarta: BPS.
Arus migrasi Batak Toba itu disebut Castles sebagai "migrasi petani lapar tanah" (Calstles, 1972:
72). Hat ini agaknya berkalan dengan karaideristik bentang-alam Toba Holbung yang mernbatasi peluang membuka areal penawahan baru, sistem pertanian yang merupakan inti ekologi budaya masyarakat di sana sejak lama. Toba Holbung adalah lembah berbentuk setengah lingkaran dengan batas-batas aiam tegas yang tidak memungkinkan ekspansi penawahan lebih jauh lagi: batas "garis setengah lingkaran" adalah puncak-puncak Bukit Barisan berlereng curam yang membentengi kmbah itu mulai dari sebelah timur-laut sampai baratdaya, dan batas "garis tengah lingkaran" adalah pantai Danau Toba yang membentang di sebelah barat-iaut (iihat Peta 4). Dari lembah padat inilah migran Batak Toba mengalir ke tiga arah yaitu ke wilayah Angkola dan Mandailing di sebelah selatan, daerah Dairi dan lembah Alas (Aceh) di sebelah barat
daya, dan yang paling utama ke wilayah Sumatera Timur khususnya Simalungun dan Asahan.
Menurut
Langenberg ledakan (booming) ekonomi di kawasan pantai timur, terutama karena pembukaaan areal perkebunan, telah menjadi daya tank utama bagi orang Batak Toba untuk bermigrasi ke Sumatera Timur (Langenberg, 1976: 42). Wilayah Simalungun dan Siantar khususnya telah menjadi daerah tujuan migrasi Batak Toba yang paling utama pada masa kolonial.l2) Hal ini berpangkal terutama pada kebijaksanaan pernerintah kolonial untuk meningkatkan produksi beras di wilayah pekebunan selama dekade pertama dan kedua abad ke-20 karena adanya kekhawatiran kelangkaan beras terutama selama Perang Dunia 1 (1914-1 91 5).
Langkah
pemerintah kolonial Belanda mendatangkan tenaga buruh perkebunan dari Cina dan lawa waktu itu tetah meningkatkan penintaan pangan di Sumatera Timur. Sementara itu produksi pangan di Sumatera Timur pada saat yang m a tidak mampu mencukupi kebutuhan pangan tadi karena, disamping areal pertanian pangan yang semakin menyemp'i akibat konversi menjadi areal perkebunan, teknologi produksi pertanian lokal juga masih tradisional. Penduduk asli Simalungun misalnya masih menerapkan sistem "tebang-bakar"
(sfash-and-burn) dalam usahatani padi (ladang berpindah).
Mendatangkan petani Batak Toba ke
SiantarISimalungun kemudian menjadi langkah strategis karena, disamping tekenal ahli dalam teknologi pertanian sawah, mereka juga pada waktu itu sedang dihadapkan pada masalah tingginya tekanan penduduk atas tanah. Dalam rangka perluasan sawah di Sumatera Timur, pemerintah kolonid kemudian menyediakan tanah dan fasillas irigasi bagi migran Batak Toba itu. Sesuai dengan harapan pemerintah, migran Batak Toba kemudian berhasil membuka areal persawahan dan &ngan demikian Sumatera Timur terhindar dari ancaman krisis pangan pada ma% itu.l3) (D.Weuraxa dikutip Langenberg, 1976: 42-3; Castles, 1972: 1901 ; Liddle, 1970: 30-32). Sebagian besar migran Batak Toba di daerah Simalungun berasal dari Balige (Toba Holbung) disamping dari Samosir dan Silindung (Tarutung). Hal ini dapat dimengerti mengingat Balige dan sekitamya '2) Pada tahun 1915 jurnlah mgran Batak Toba di wilayah ini sudah memapai 9 . W wang. Pada tahun 1920 atau lima tahun kemudianjmkhyame!rJnlakmenydi 26.W orang,dan menjadi 42.000 orang pada pertengahan 1930-an. SmenWa di dzmh Dairi, sebagai perbandingan, pada peftengah tahun 1 9 3 h tedapt s e k 23.000 orang mnn Batak, atau krq-lebih sama jumhhnya dengan "penduduk adi" Daili (Batak P a w patlawah ku (lihat Castles. 1972: 191-2). 13) Strategi mencegah %ti pangan di Sumatera Timur dengan cam "mengimpor petani sawah Batak Toba" s e h a m y a juga diulang dengan program "impor beras" dati lawa dan Luar-Hindia Bdamla (India.Siam, lumhh hpor beras tahun 1911 mkalnya 75.000ton, tahun 1912 tercatat 89.000 ton, tahun 1914 tot4 99.000 ton. dan tahun 1914 mencapai 117.000 ton (lihat Abw Djohan, t 981:78-9).
m).
merupakan daerah pettanian sawah yang paling padat penduduk di Tapanuli. Disamping itu transportasi dari wilayah Balige ke daerah Sirnalungun juga tergolong paling lancar dibanding dari Silindung atau dari pulau Samosir, khususnya dari Samosir bagian pantai barat dimana masyarakat petani sawah banyak ditemukan.14) Arus migrasi ke Sumatera Timur membawa dampak positif terhadap wilayah Toba Holbung atau Balige khususnya, sekurangnya dari segi pengurangan tekanan penduduk atas tanah. Kasus Lintong Nihuta dan Meat, dua desa pertanian sawah di sebelah barat kota Balige, kiranya dapat memberi gambaran tentang ha1 ini. lumlah penduduk Lintong Nihuta tahun 1868 tercatat sekiiar 330 rumahtangga tetapi, karena arus migrasi-keluar, tahun 1920 tingggal sekitar 240 rurnahtangga dan tahun 1974-75 tinggal 187 rumahtangga (Lando, 1979:3). Sementara di Meat arus migrasi-keluar sejak tahun 1920-an sampai 1950-an telah "mengurangi" hampir setengah dari total keluarga di sana, sehingga bahkan ada huta yang menjadi kosong sama-sekali (Cunningham, 1958: 78). Migrasi penduduk dari wilayah Balige tetap berlangsung setelah masa perang. Namun motifnya tidak lagi hanya terpusat pada "pembukaan daerah pertanian baru" (orientasi pettanian) seperti pada m a s sebelum perang. Pada masa kemerdekaaan, terutama sejak tahun 1950-an, telah muncul tipe migrasi berorientasi luar-pertanian. Termasuk datarn tipe ini adalah migrasi pengusaha luar-pertanian. Migrasi berorientasi luar-pertanian ini mencakup juga atus besar migrasi kaum muda ke kota-kota madydbesar di Sumatera Utara (Pematang Siantar, Medan) dan Jawa (Jakarta, Bandung, Yogyakarta) dengan motif melanjutkan pendidikan atau mencari kerja di luar sektor pertanian (orientasi luar-pertanian).
Sejak
pertengahan 1950-an misalnya, seiring dengan perkembangan pesat industri tekstil T.D. Pardede di Medan, banyak wanita Batak dari Toba yang berangkat ke kota itu untuk menjadi buruh dalam industri tersebut. Pada masa kemerdekaan arus migrasi tipe "orientasi pertaniann'5) dan migrasi tip "orimtasi luarpertanian" secara ke~lumhanrupanya tergolong besar. Dugaan ini dikuatkan oleh fakta kecilnya angka "1 Main l u penugasan pernerintah kolonial kepada Andreas Simangunsong untuk mengurus m a ~ l a hmigran @at&Toba di d dari Toba Simalungun tahun 1917 (Castles, 1972: 191) kemungldnan turut juga berpengawh. Simanguwmg yang b Hdbung, kareM f a k t ~p&ncdlalW, sang& mungkin tehh mengutamah ciang Balige dan s e b y a untuk pindah dan membuka sawah batu di d a d Simahmgun. Menurut penuturan MA. Simanjuntak (infonnan peneltian), Andreas Simangunwrng
dan se*a &uk p'* ke daekd-Skdungun. Qnmei&uka sawah a& Lain di Siantar, kihat, Tanah JG.T y @a&, dan Tga Dokk (Sebagai catatan: mslamajalan di Kampung Kmtm, P. Siantar h i mengingatkanwang akan Batak Toba, a.l.11. Balii, 11. Laguboti. 11. Samcsir, dan 11. Toba. '5) M i "bawientasi pertanian" ini di lrdanganaang &dak Tobadisebut Mnombang(membulg hhan pRtanian baru). h p a i iahun 1970an gejala mancwnhqini mash nyata, dengan daerah tujuan utama AWan W n y a antara Pamingke dan Dimpo. Pada masa itu ada ko; pmumpang 'Perms" yang mdayam jahr Tapmli llrahw (via P. %War), dan bus ini pada wakh~ihr d i i i k a n sebq-ai "bus pawdad.
-
-
pertambahan penduduk wilayah (kecamatan) Balige dalam masa 1930-1994 yaitu dari perkiraan 21.000 jiwa rnenjadi 37.271 jiwa; hanya sebesar 77,5 penen selama 64 tahun atau rata-rata 1,2 penen per tahun l Namun gejala pertumbuhan penduduk seperti ini rupanya bukanlah khas Balige tetapi (lihat ~ a b e4.1). Tapanuli Utara. Pada tahun 1930 penduduk Tapanuti Utara tercatat 523.000 jiwa dan pada tahun 1990 tercatat hanya 695.777 jiwa; artinya hanya bertambah 33.0 penen setelah 60 tahun berlalu atau rata-rata 0,6 persen per tahun (lihat Tabet 4.1 ). Tapanuli Utara pasca-kolonial, atau tepatnya mungkin pasca-revolusi, memang terkenal sebagai wilayah dengan pertumbuhan penduduk yang paling rendah se-eks-karesidenan Tapanuli (Tabel 4.3), antara lain karena tingginya arus migrasi-keluar. Laju pertumbuhan penduduk wilayah itu bahkan nyaris mencapai angka no1 penen (0,19 persen) dalam masa 1980-1990; masa ketika 12 dari 27 kecamatan di wilayah itu mengalami laju pertumbuhan penduduk negatif. Lap pertumbuhan penduduk di Kecamatan Balige sendiii pada masa itu tercatat 0,41 persen, dan ini masih tergolong sangat rendah. Gejala pasca-kolonial ini .kurang lebih merupakan kebalikan dari pertumbuhan penduduk Tapanuli Utara yang tergolong tinggi pada masa kolonial, setidaknya dalam masa 1900-1930, ketika gerak migrasi Batak Toba masih berorientasi pertanian dan terbatas antar onderaMihg, antar
afdeehhg, atau antar karesidenan di
wilayah Sumatera Utara.
Tabel 4.3. Lqu Pertumbuhan Penduduk di Wilayah Eks-Karesidenan Tapanuli, 1961-1 990
No. Wilayah
1961-1 971
1971-1980
1.67 2.60 1. Kabupaten Nias 2.44 2.07 2. Kabupaten Tapanuli Sdatan 3. Kabupaten Tapanuli Tengah 3.06 2.30 4. Kabupaten Tapanuli Utara 1.07 1.01 5. Kabupaten Dairi 2.97 3.09 6. Kdamadya Sibolga 0,90 3.92 Surnber: Analisa Kependudukan serta Kahannya dengan Pendiiikan di Dati IITapanuli UtaraTahun 1990, Kantor Statistik Kabupaten Tapanuli Utam 1992.
1980-1990 2.32 2.34 2.52 0.19 1.37 1,84
3.2. Keragaman etno-religi dan etno-okupasi Dan segi etnis, agama dan okupasi sekaligus penduduk kota keul Balige dan sekitamya dapat dibedakan kedalam satu kelornpok mayoritas dan empat kelompok minoritas. Kelompok mayoritas adalah etnis Batak Toba, "penduduk ash" yang umumnya beragama Kristen Protestan dan Katolik dengan bidang okupasi utama pertanian pangan, perdaganganljasa, dan industri tenun. Sedangkan kelompok-kelornpok minoritas meliputi kaurn pendatang, yaitu etnis Cina yang beragama Budha dengan bidang okupasi utama perdaganganqasa, etnis Batak MandailingIAngkola yang umumnya beragama Islam, etnis Minangkabau (orang Padang) yang beragama Islam, dan etnis Jawa yang umumnya beragama Islam. Tiga kelompok etnoreligius tersebut terakhir ini urnumnya bergerak di bidang usaha dagangljasa. Disamping lirna kelompok etnis tenebut tentu masih ada penduduk dari etnis lain, misalnya Nias, Batak Karo, dan Batak Pakpak, tetapi jumlahnya sangat kecil dan tidak rnerniliki ciri etno-religius ataupun etno-okupasional yang spesifik. Penduduk asli kota Balige dan desadesa sekitamya, sebagaimana disinggung dl muka, adalah etnis Batak Toba Belahan Sumba keturunan Sibagotnipohan atau disebut Kelompok Pohan Balige. Sebelum kedatangan zending RMG ke wilayah Toba Holbung, penduduk Balige adalah penganut 'agama suku", agama asli rnasyarakat Batak Toba di masa talu. Zending RMG, terutama dibawah pimpinan Pendeta L.I. Nomenm (terkenal sebagai "Apostel Batak"), melalui karya evangelisasinya di Toba Holbung sejak awal 1880-an kemudian telah berhasil melakukan kristenisasi di Balige dan sekianya. Sebagian besar penduduk Balige dart sekitamya beralih menjadi penganut agama Protestan, kemudian (sejak 1930) dikenal sebagai "Huria Kristen Batak Protestan" (HKBP). Mayoritas etnis Batak Toba di Balige sampai sekarang adalah umat HKBP, atau umat Protestan umumnya jika dihitung secara keseluruhan dengan penganut sekte-sekte Protestan lain non-HKBP. Selain penganut agama Protestan, sebagian kecil etnis Batak Toba di Balige dan desa-desa sekitarnya addah penganut agama Katolik. Menurut sejarahnya Missi Gereja Katolik Roma (GKR) baru resmi mulai berkarya di Tanah Batak sejak tahun 1930-an atau sekitar 50-an tahun di belakang Zending RMG. Pada waktu itu mayoritas masyarakat Batak Toba sudah menjadi penganut Protestan. Karya Missi GKR diarahkan pada upaya "katolikiwi" umat Protestan tersebut, t e ~ t a m aanak-anak mereka yang "dijaring" melalui pembukaan sekolah-sekolah (HIS, tk,//ands InIdnder School ) yang lebih baikltinggi dibanding sekolah-sekolah zending RMG (umumnya Vo/krcho4 Sekolah Rakyat 3 Tahun). Zending RMG sudah barang
tentu berupaya keras mencegah eksodus umatnya ke agama Katolik, antara lain dengan cara menjelekjelekkan Missi GKR, dan upaya itu agaknya tidaklah sia-sia. Missi GKR hanya berhasil merangkul sejumlah kecil pengikut di Tanah Batak umumnya atau di wilayah Balige khususnya. Selain mayoritas penganut agama Kristen (Protestan ditambah Katolik), . sebenamya di Balige terdapat juga etnis Batak Toba non-Kristen yaitu minoritas penganut Parmalim dan Islam. Parmalim adalah suatu sekte yang pada awalnya rnerupakan gerakan perlawanan terhadap Belanda (1890-1896). Pencetus sekaligus pernirnpin pertama "gerakan" ini adalah Guru Somalaing Pardede, seorang pengikut setia Raja Sisingamangaraja XI1 yang berasal Haurnabange (sekarang masuk kedalam Kelurahan Lumbandolok), Balige16). Berbeda dengan kehadiran penganut agama Parmalim yang merupakan hasil "gerakan dari dalam masyarakat", kehadiran penganut agarna lslam merupakan hasil penyebaran dari luar. Pada masa kolonial zending RMG dan pemerintah kolonial telah berupaya menghempang penetrasi lslam dari selatan (Tapanuli Sdatan dan Tengah). Batas selatan dan barat AfMing BataMa&
misalnya telah ditetapkan sekaligus
sebagai perbatasan wilayah pengamh Islam dan pengaruh Kristen (Zending RMG). Tetapi upaya tersebut tidak berhasil sepenuhnya. Penganut agama lslam sudah ada di Balige dan tempat-tempat lain di Toba sejak dekade-dekade awal abad ini.17) Minoritas etnis Cina mulai memasuki kota Balge sekiiar tahun 1910-an, seiring dengan semakin terbukanya wilayah Toba Holbung ke "dunia luar" dan semakin kukuhnya kekuasaan kolonial Belanda di sana. Mereka datang dari kota-kota di daerah Sumatera Timur, dimana golongan etnis itu sebelumnya bekerja terutama bekeja sebagai buruh perkebunan (Thee, 1977: 34) tetapi kemudian berhasil mengernbangkan kegiatan ekonomi perdagangan dan jasa, terutarna berkat dukungan fasilitas dana dan kesempatan
-- antara lain kesempatan untuk menjadi pedagang perantara -- yang mereka perdeh dari
penguasa kolonial (Djohan, 1981: 924). Etnis Cina di Balige, seperti halnya di Sumatera Timur, juga rnemasuki bidang perdagangan dan jasa antara lain jenis-jenis usaha toko kelontong, toko kainlpakaian, toko kue, kedai bakmi, jasa fotografi, dan bahkan dulu sempat juga ada yang rnengusahakan penginapan Untuk kajian mendalam tentang P a m a h , lihat H i m Masashi, 'Prophets and Followen in Batak Millenarian Response to the Cdoni Ordec Parmalim, Nasiak Bagi, and Parhudamdam", Canbena: Australian National University, 1988 (Dissertation); Sior Siturnorang, Gum Somal&g dan Mco@hi "UlUSdn R& him:. Sekelurnit S$$rah Lahihya blu Ad1 d Toba, Jakarta: G&do Mukti, 1993. 17J Lihat CJ. Adampes. Mem& van &eye lrin & Ibba,A&d& Bakkk&n, R e Tqocumel'(3 luni 1913, h 5). Lhat juga M.I. Ruychaver, Memorie van Owyw (1936:101).Pada tahun 1935 di Afd&ng Batahndentelah ada seldtar 16.000 orang penganut agama ldam {sadtar 3% dari total penduduk), dan Qn 2.000 wang bwada di OfhkmWing T i t-ma di Pwsea dan s e h y a .
~~ ...
dan angkutan umum. Golongan etnis Cina yang menetap di kota Balige sekarang ini, sebagian merupakan generasi kedua, sudah resmi menjadi WNI dan umumnya masih bertahan sebagai penganut agama Budha. Percakapan antara mereka sendiri masih sering menggunakan bahasa Cina, walaupun umumnya sudah lancar behahasa Batak Toba. Beberapa diantara mereka ada yang mengenakan nama khas Batak Toba atau bahkan menikah dengan orang Batak Toba. Etnis-etnis Batak MandailingIAngkola, Minangkabau (orang Padang), dan lawa datang ke Balige terutama sejak tahun 1970-an, bersamaan dengan semakin berkembangnya kota Balige sebagai suatu pusat kegiatan ekonomi terpenting di Tapanuli Utara. Mereka umumnya menekuni usaha dagangljasa di Balige. Etnis Minangkabau (disebut Orang Padang) umumnya menjadi pedagang kain dan pengusaha rumah makan. Sedangkan etnis lawa umumnya adalah pedagang keliling, terutama menjajakan makanan antara lain soto mie, bakso, es, dan bubur. Ketiga etnis ini (MandailingIAngkola, Minangkabau, lawa) umumnya adalah penganut agama Islam. Keragaman etnis di Balige tidak sampai menyebabkan kota kecil itu terbagi-bagi kedalam segmensegmen pemukiman berdasar etnis. Posisi dominan etnis Batak Toba, dan ideologi harajon (kerajaan) dari marga-marga raja Batak Toba, tidak memungkinkan kaum pendatang dari luar kelompok m r g a rqa membuka hutasendiri di Balige. Hak seperti itu hanya mungkin diberikan kepada kelompok marga h u y a n g berstatus ban/ nihuta, yaitu keturunan born yang menjadi pendamping utama leluhur marga fa& ketika membuka huta (kampung) di masa lalu. Dalam konteks struktur masyarakat hukum adat Batak Toba, kaum pendatang dati subetnis atau etnis lain di Balige diterima dengan status par@e, yaitu warga "penumpang" yang kedudukan hukumnya lebih lemah dibanding m r g a born. Kaum "penumpang" itu hanya dimungkinkan memakai, menyewa, atau membeli sebidang tanah sebatas keperluan pertapakan rumah tinggal atau bangunan usaha. Oleh karena itu bagi etnis-etnis non-Batak Toba pilihan kegiatan ekonomi yang paling terbuka memang adalah perdaganganJjasa. Sebagai pendatang non-Batak Toba, dan dengan demikian tergolong sebagai "orang luar masyarakat hukum adat", akses mereka terhadap tanah sangat terbatas sehingga tidak mungkin untuk melakukan kegiatan pertanian. Ini pola umum yang bertaku di semua kota di Tapanuli Utara.
4. Perekonomi Rakyat Keadaan ekonomi masyarakat Balige atau Kecamatan Balige umumnya tergolong paling maju dibanding mayoritas kecamatan lainnya di Tapanuli Utara. Dengan "paling maju" dimaksudkan adalah, pertama, gejala diferensiasi kegiatan ekonomi pada masyarakat Balige tergolong paling cepat dan paling nyata terjadi. Hal ini ditandai dengan jumlah golongan pengusahalpedagang dan buruhlkaryawan swasta yang paling nyata di kecamatan ini dibanding kondisi umum Tapanuli Utara (Tabel 4.4). Berkaitan dengan kehadiran golongan pengusaha industri khususnya, Balige adalah satu-satunya kecarnatan di Tapanuli Utara dimana terdapat kegiatan industri modem berbasis rakyat, yaitu industri tenun yang sudah berkembang sejak masa kolonial. Kedua, berkaitan dengan taraf kehidupan ekonomi rakyat, setidaknya menurut peta lokasi daerah rniskin tahun 1973 buatan Departemen Dalam Negeri (1976), Kecamatan Balige tergolong kecamatan "harnpir miskin"; status terbaik (dua kecamatan) di Tapanuli Utara pada waktu itu.18) Tabel 4.4. Penduduk Kecamatan Balige dan Tapanuli Utara menurut lenis Pekejaan, 1979 No. Jenis Pekerjaan 1. Petani 2. PedagangtPengu~ha 3. 4. 5. 6.
Kecamatan Balige via)
Pegawai NegerifABRI BuruhlKa~yawan Swasta Pensiunan Lain-lain
28.423 796 1.100 1.095 199 2.762
(82.69) ( 2,32) ( 3.20) ( 3,18) ( 0.58) ( 8.03)
lumlah
34.375 (100,OO)
Kab. Tapanuli Utara via) 491.259 (7258) 4.680 ( 0,69) 14.591 ( 2,16) 3.379 ( 0,50) 2.349 ( 0,35) 160.607 (23.73)
676.865 (100,OO)
Sumber: Tapanuli Utara Dalam Angka 1980 & 1981, Kantor Statistik KabupatenTapanuli Utara. 1981 (h.45)
Perkembangan masyarakat Balige tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dua kekuatan sosial Barat (Eropah) yaitu zending RMG dan kemudian pemerintah kolonial Belanda. Namun, seperti disebutkan di muka, bidang pengaruh dua kekuatan sosial itu relatif berbeda: zending RMG terutama di bidang agama dan sosial (pendidikan dan kesehatan) sedangkan pemerintah kolonial terutama di bidang ekonomi dan
l a ) Dad 29 kecamatan di Tapanuli b r a pada tahun 1973, hanya ada dua kecamatan yang tergolong "hampir miskin" (kcamatan Balige dan Pahaejae). selebihnya t e p ! q "misldn" dan 'mkkn dnsekali". Dengan jum!ah penduduk 29.447 jiwa (5,787 KK), dan kcpadatan penduduk 207 jiwa/kmZ (terpadat di Tapanuli Utara, rata-rata 72 WkmZ),ratamta pendapatan per kapb penduduk Kecamatan B a l i pada tahun 1973 addah Rp 32.066.73. Angka ini sedikit di bawah angka KecKMtan F'ahaejae (Rp 32.5EO.M per kapita),tetapi cutup iauhdi atas angka rata+ataTapwii Utara (g23.403,58 p&apita).
politik. lelas di sini bahwa perkembangan nyata dalam perekonomian Balige sekurangnya sejak 1910-an secara langsung memang berkaitan dengan kebijaksanaan pemerintah kolonial. Pengembangan ekonomi rakyat memang bukanlah poni karya RMG. Ini dapat dimengerti karena, sebagairnana dikemukakan Castles, pihak RMG sesungguhnya tidak beninat pada urusan pencapaian materil, dan karena itu cenderung mernbatasi hubungan komersil orang Batak dengan pihak luar. Zending ingin masyarakat Batak menjadi 'masyarakat tertdup", bebas dari pengatuh luar (kecuali penga~hzending) yang dianggap dapat menjauhkan masyarakat Batak Toba dari "keselamatan akhiratn -- tujuan utama kehidupan (Castles, 1972: 127). Namun demikian, sekalipun benifat tidak langsung, pengaruh zending sebenamya juga tidak dapat diabaikan karena, melalui jalur pendidikan, setidaknya ia telah meningkatkan kualitas "manusia Batak Toba" sekaligus melahirkan golongan muda Batak Toba terdidik yang berorientasi pada hamajuon (kemajuan).'Q) Mengenai peranan pemerintah kolonial, di muka sudah disinggung tiga program utamanya di Tanah Batak atau Toba Holbung khususnya yaitu pernungutan pajak, wajib kerja, dan
reorganisasi sistem
pemerintahan lokal.Z0) Melalui program wajib kerja khususnya pemerintah kolonial telah behasil membangun jaringan jalan pedesaan di witayah Toba dan juga, yang paling penting, jalan tembus Parapat-Balige-Tarutung berhasil dibangun pada tahun 1917. laringan jalan ini telah membukawilayah Toba Holhng atau khususnya Balige dari "keterisolasiann, sekaligus menjadi katalisator perkembangan ekonomi setempat yang ditandai dengan transformasi Balige dari "desa tradisional" rnenjadi "kota pasar" (ma*
town).
Pembangunan
jaringan jalan ini dapat dicatat sebagai kebijaksanaan pertama pemerintah kolonial yang mernpercepat proses diferensisasi ekonomi rakyat di Balige, dari semula ekonomi agraris mumi menjadi ekonomi campuran pertanian dan jasa terutama perdagangan. karya RMG di bid- p d d i h , lihatlah k a j i komprehemif dair I. Arito~ng,S@& &kMkn K%ten d TaMh Bat& lahkx BPK Gunung Mulia, 1988. Di Balige, selain mendinkan S t d & i ? k d & K ~ o d ( W a h Kdas DuaiSekdah k, 3 tahun) tahun 19 15, phak RMG juga r n e n d i h Me&&qsdma' [Sekolah Pengatur Rumahtangga. jenjang 6 tahun) tahun 1925 dan S e M Pwawat dan B i i yang mmnpg l u h M&@qddtadi. -n ii adalah peninghtan status Sekohh Putei yaitu plimer J u h Balige. Di t&nmm&-P(1900, pindah ke Laguboti tahun 1907) RMG sempat juga mendinkan sekolah industri yang mencakup bidang keahiim pertukangan kayu, pengohhan low, penettdcan, pmjilida, dan petturnan jam. S e w pertanian hum sawah pemah juga didmb di Laguboti (191 3). luga ada Sekdah Tenun dan Renda yang menyatu deqan Sekdah Puten d i n g untuk melestarikan dan mengembanglen busana tradisionil, secata husm bettujuan mnhgkatkan p e r m wanita dabm menun& MI lum&tangga, dan dengan d d i pada gilirannya mmingkatkan pendapatanmasyarakat. m, Seorang m'khais Rm; di Tanah Batak tahun 191511916 m e n u l i catatan: 'lii anda mengunjungi d e s a k , alan M h a t bdwa *at hanya sibuk dmgan t i i ha]: pajak, wajib Icej a di @Ian,dan kepemirnpinan"( d i w deh L. Castles. 1972: 67, 191 Mengenai
tejemahan deh MTFS).
lika kehadiran ekonomi campuran "pertanian dan jasa" dapat disepakati sebagai diferensiasi tahap pertama, maka kehadiran industri tenunltekstil "modem" pertengahan tahun 1930-an diferensiasi tahap kedua.
menandai
Sebagaimana halnya di lawa, sebagai respon terhadap akibat-akibat buruk
Depresi Besar 1930-an, pemerintah kolonial telah mengambil langkah untuk mengembangkan industri tenun rakyat di Karesidenan Tapanuli umumnya atau onderafddhg Toba khususnya. Setelah langkah "pembangunan jaringan jalan" tadi, maka inilah kebijaksanaan kedua dari pemerintah kolonial yang secara langsung membawa perubahan pada struktur ekonomi rakyat di Balige. Dengan kebijaksanaan ini maka s t r u h r ekonomi rakyat Balige telah berubah menjadi campuran pertanian, jasa, dan industri. 4.1
. Pertanian Rakyat
4.1 .l.Penawahan Dari segi tipologi ekologi budaya, Geertz pernah memilah wilayah Indonesia rnenjadi "Indonesia Dalam" (Iawa) yang berekologi sawah dan "Indonesia Luar" (Luar lawa) yang berekdogi perladangan. Wilayah Balige atau Toba Holbung secara keseluruhan berada di wilayah "Indonesia Luar", tetapi berbeda dari tipe "Indonesia Luar" umumnya ekologi budayanya adalah sawah beririgasi (Geertz, 1983: 12-14, 136). Komunitas-komunitas Batak Toba menurut sejarahnya memang adalah komunitas lembah yaitu komunitas petani dengan usahatani sawah beririgasi (Situmorang, 1993: 40, 45). Sistem usahatani ini diyakini sudah diierapkan sejak masa komunitas "Si Raja Batak" (leluhur Batak Toba), sebagai salah satu unsur budaya "pinjaman" (hrmwind dari kebudayaan Hindu (Loeb, 1990). Pola serupa berlaku juga untuk wilayah Balige, bagian baratdaya wilayah lembah Toba Holbung (lihat Peta 4), sekurangnya sejak abad ke-14 yang lalu. Di awal abad-20 ini persawahan di wilayah Toba tlolbung termasuk Balige didatamnya
- disamping juga lembah ~ilindung-- sudah dicatat pemerintah kolonial sebagai salah satu yang terbaik di Tapanuli (Ruychaver, 1936: 123; Stibbe, 1921: 274). Rata-rata produktivitas sawah di OnderafdedingToba pada tahun 1930-an sudah mencapai sekitar 4,O ton per hektar (lihat Tabel 4.5). lntervensi zending RMG, pemerintah kolonial, dan kemudian Jepang di masa lalu tidak membawa perubahan nyata pada wajah ekologi budaya atau sistem pertanian Batak Toba di B a l i i dan selcitamya. Di masa lalu zending memang pernah mend'mkan Sekolah Pertanian (Sawah) di Lumban Nabolm. Laguboti dengan maksud rneningkatkan ketrampilan bertani orang Batak. Sekolah ini sempat beqalan sekitar tiga
tahun (1 913-1 91 5), sebelum kemudian ditutup tanpa alasan yang jelas. Menyusul penutupan sekolah itu segelintir penduduk sempat aktif melakukan percobaan-percobaan usaha tani sendiri, antara lain uji-coba budidaya tanaman asal Eropa. Tetapi semangat memajukan pertanian seperti ini agaknya telah terkalahkan deh "arus besar" animo untuk mwantau dan menjadi pegawai "kerah-putih" pada masa itu (Aritonang, 1988: 220). Tabel 4.5. ProduktivitasRata-rata Usahatani Sawah di OnderafdeelingToba, 1930-1935 Tahun 1930
ProduktivitasSawah (kuintalha) 37.54
1935
..,. . 40,13
Surnber: M.!. Ruychaver, 1936, Memo& van CvergavederAldeehg&fdkhnden, Resi4entk Tpnoeli (h. 123).
Dari pihak pemerintah kolonial wujud intervensi di bidang pertanian terutama adalah penyuluhan teknik bercocok tanam yang lebih baik.
(Landhmddtings dim& s9 lee'&,
Untuk keperluan itu dibentuk Dinas Penyuluhan Pertanian BataManden dibawah pimpinan seorang "penasihat pertanian"
(landbou~~nsu/en9 yang berkedudukan di Balige. "Penasihat pertanian" itu dibantu oleh seorang wakil ( a d j u d / a ? d b o ~ ~ ~ ~ /yang e n rsekaligus ) bertanggungjawab untuk wilayah kerja o&MhgToba
dan
Samosir. Selain itu masih terdapat sejumlah tenaga lapangan yang tenebar di berbagai lokasi yaitu 4 orang "pengawas pertanian" (landhuw opzlirhfers) yang diiempatkan di Tarutung. Siborong-borong. SibaraniLaguboti, dan Sidikalang, dan 5 orang "mantri" yang diiempatkan di Pangaribuan, Doloksanggul, Samosir, Sidikalang, dan Balige (lihat Ruychaver, 1936: 131). Selain penyuluhan pertanian perlu pula dicatat langkah pemerintah kolonial meledakkan batu bongbong (sumbat batu) yaitu bongkah batu besar yang menyumbat pintu keluar air Sungai Asahan di Sigura-gura. Peledakan dengan menggunakan dinaml itu diprakatsai deh 0. van der Meulen ketika ia menjadi kontroler Toba pada tahun 1915-191 6. Menurut v.d. Muelen peledakan sumbat batu itu telah menyurutkan permukaan danau secara nyata, sehingga memunculkan areal "tanah baru" di sepanjang bibir pantai danau, termasuk pantai Toba Holbung mulai dari Balige sampai Porsea. Diwarnai oleh persdisihan -
adakalanya konflik berdarah - menyangkut hak pernilikan atas "tanah baru" tersebut, penduduk Balige dan sekitamya kemudian menggarap tanah itu menjadi lahan penawahan baru (v.d. Muelen dikutip Sherman, 1982: 98-9). lnisiatif penggarapan ini tidak berhenti di sekitar wilayah Balige saja tetapi bergerak rnenyusur pantai ke arah timur-laut hingga ke wilayah Porsea atau Uluan.23) Pernerintah pendudukan lepang yang datang kemudian tidak rnernbawakan kebijakan yang menyebabkan perubahan pemanen pada ekologi budaya Batak Toba di wilayah Balige.
Pemerintah
pendudukan memang sempat mernberlakukan wajib tanam kapas, jarak, dan ubi-ubian di Tapanuli termasuk Toba Holbung. Namun penanaman ragam kornoditi ini hanya dilakukan di lahan kering, sehingga tidak rnengganggu budidaya padi sawah. Setelah rnasa pendudukan berakhir, rnaka berakhir pula sejarah tanarnan kapas dan jarak, sedangkan budidaya umbi-umbian tetap beltahan karena memang sudah diterapkan para petani sejak lama. Budidaya padi sawah di Tapanuli pada masa itu dipertahankan karena, dalam rangka perang, pemerintah pendudukan juga sangat berkepentingan dengan ketersediaan bahan pangw. Pada v~aktulu, selain menerapkan larangan "ekspor" beraslpadi ke luar Tapanuli, pemerintah pendudukan juga mewajibkan petani untuk menyerahkan 40 persen (7) dari hasil panen kepada pemerintah.241 Dengan demikian, sejak masa pra-kolonial sampai rnasa paca-kolonial sekarang, ekologi budaya padi sawah tetap bertahan di Balige. Ekologi budaya ini pula yang telah rnenempatkan wilayah Balige sebagai bagian dari salah satu "lumbung padi" (pangan) terpenting di Tapanuli b r a , yaitu bagian dari "Sabuk Persawahan Toba" yang membentang sepanjang kiri-kanan jalan raya trans-Sumatra mulai dari Lumbanjulu (daerah Uluan) di sebelah Utara sampai Balige di sebelah selatan (daerah Toba Holbung). "Sabuk Persawahan Toba" tidak saja hanya rnenyediakan kebutuhan pangan bagi penduduk Toba tetapi, setidaknya sejak permulaan abad ke-20 ini, juga menjadi sumber sebagian bahan pangan komunitas pekeja perkebunan di Sumatera Timur (lihat Liddle, 1970: 31). Pematang Siantar di Sumatera Timur, dan juga Sibolga di pantai barat, adalah daerah tujuan utama ekspor beras dari OndeafdeelingToba termasuk Balige pada rnasa kolonial.25) 231 W~awancadeqan dengan MA. Simanjuntak Menwut Simanjuntak lnilah salah satu proses yang dahulu tdah m esekelompck wang Batak Toba h n a n Sibqotnipohan (Pohan Balige) sampd k kwdsan sdatan &&Uuan, dan kemudm i
membula-hdisitu. "1 Wi.~wncaradengan informanMA. Simanjuntak, Seingat Simanjuntak menurut peraturan bagim produk yay bus d'diserahlen
petani kepada pemerintah pendudukan lepang sebenamya hanya 10 persen. L51 tihat MJ. Ruychaver. Memode van &yaw.. (1936: 124).
.
Masyarakat Batak Toba di Balige sejak lama memang sudah mengenal teknologi sawah beririgasi. Petani di Desa Lintong Nihuta, sekitar 5 km di sebelah barat kota Balige, misatnya pada tahun 1868 secara swadaya dengan bersendikan adat telah berhasil membangun dan menerapkan sistem irigasi persawahan yang tergolong canggih baik teknologi maupun organisasinya. Sistem irigasi tersebut, yang dinamai 9Ie-n
Banua, menurut Lando telah memenuhi kriteria Wiltfogel tentang pertanian hidraulik, kecuali bahwa tidak ada "suatu bentuk khusus sistem negara (unsur manajerial) dengan suatu
distribusi khusus kekuasaan
(despotisme)" (Lando, 1979: 13). Pada tahun 197311974 sistem irigasi ini tercatat mengairi sawah seluas 120 ha dan melibatkan 206 orang (keluarga) petani pemilik sawah dalam organisasinya (Lando, 1979: 1). Kasus Silen h u a ini menunjukkan bahwa penduduk Balige sudah menerapkan pertanian sawah beririgasi yang relatif intensif jauh sebelum Toba Holbung sepenuhnya dikuasai Belanda (1 908) atau bahkan sebelum pejabat kolonial Belanda datang dan menetap untuk pertama kali di Balige (1883). Keahlian bersawah seperti ini pula, disamping terbatasnya peluang ekspansi persawahan di Toba, yang antara lain menjadi alasan bagi pernerintah kolonial untuk memilih mendatangkan penduduk Batak Toba dari Balige dan sekitarnya untuk membuka sawah baru di Sumatera Timur pada perempat pertama abad ini. Dalam konteks keterbatasan peluang ekspansi, bahkan sebaliknya yang terjadi adalah gejala penciutan persawahan, total luas areal persawahan di wilayah Kecarnatan Balige termasuk dalam peringkat "tiga besar" di Tapanuli Lkara. Pada tahun 1970 total luas sawah di Kecamatan Balige menempati unltan ketiga setelah Kecamatan Lumbanjulu (3.722 ha) dan Kecamatan Siborong-borong (3.550 ha). Namun penting dicatat bahwa sekiiar 65 persen dari total sawah irigasi setengah teknis - jenis sawah yang paling produktif - di Tapanuli Utxa pada tahun tersebut terdapat di Kecamatan Balige. Pada tahun 1985 dan 1990 angka persentase ini memang rnenurun tajam rnenjadi sekitar 20 persen atau 19 persen pada tahun 1993 karena, disamping adanya penyempitan sawah di Balige antara lain akibat konversi ke pertapakan perumahan, luas sawah irigasi setengah-teknis di Tapanuli Lkara dalam masa f 970-1993 telah meningkat hampir tiga Mi lipat (284 persen) dari 2.450 ha menjadi 9.966 ha. Sekalipun demikian pada waktu bersarnaan Balige ternyata justru menempati urutan kedua setelah Kecamatan Lumbanjulu dalam ha1 total luas sawah. Angka-angka ini dengan jelas mengukuhkan status Kecamatan Balige sebagai salah satu "lumbung padi" terpenting di Tapanuli ihara. Luas keseluruhan sawah di kecamatan Balige pada tahun 1970
rnencakup sekiar 7 persen (3.505 ha) dari total sawah di Tapanuli Utara, dan pada tahun 1993 angka itu telah turun menjadi sekitar 6 persen (3.484 ha) (lihat Tabel 4.6). Tabel 4.6. Luas Areal Persawahan di Kecamatan Balige dan KabupatenTapanuliUtara menurut lenisnya pada Tahun-tahun Tertentu,1970-1993 (dalam Ha) Lokasi dan Tahun
lrigasi % Teknis
lrigasi Sederhana PU
lrigasi Desa (Sederhana
Tadah Hujan
Total
Non-PU)
I. Kecamatan Balige 1970 1985 1990 1993
1.600 (65,311 1.345 (20.03) 1,345 (19.89) 1.337 (19,19)
2.095 ( 1 3,901 2.095 (13,901 2.095 (13,95)
1.905 (4w 65 (0,021 57 (0.02) 57 (0.02)
3.505 (6,72) 3.505 (6.47) 3.497
(6.26) 3.489 (6.16)
II. Kabupaten Tap. Utara 1970 2.450 47.169 2.552 52.171 1985 6.761 15.071 28.794 3.534 54.160 19% 6.761 15.071 29.315 4.690 55.837 1993 6.966 15.071 29.781 4.780 56.598 Sumber: 1970:Sumatera litara Dakm Angka, 1970. 1985,1990,1993:Tapanuli Utala dalam Angka fpada tahun-tahun tenebui) Catatan: Angka-angka dalam tanda b a n g (. .) adalah perrentase luas sawah di Kecamatan Balige terhadap total luas di Tapanuli Utara menurut jenisnya.
-
.
Predikat "lumbung padi" itu juga tercermin dari luas panen dan angka produksi padi sawah di Kecamatan Balige. Setidaknya dalam masa 1985-1993 luas panen dan produksi padi sawah di kecarnatan itu selalu merupakan yang tehesar se-Tapanuli Utara. Produktivitas usaha tani padi sawah di kecamatan tersebut, juga senantiasa berada di atas angka rata-rata Tapanuli Utara setiap tahun (Tabel 4.7). lika angka produksi padi sawah tahun 1985 misalnya dibagi dengan jumlah penduduk pada tahun itu, maka diperoleh hasil pembagian 785 kg padi per orang. Artinya, dengan angka rendemen 60 persen saja, Kecamatan Balige pada tahun itu sudah jauh mdampaui batas swasembada beras (140 kglorangltahun), sdlingga memungkinkan "ekspor" beras ke daerah lain terutama Sumatera Timur.
Tabel 4.7. Luas Panen, Produksi Padi, dan Produktivitas Persawahan di Kecamatan Balige dan Kabupaten Tapanuli Utara pada Tahun-tahun Tertentu, 1985-1993 Lokasi dan Tahun
Luas Panen (Ha)
Produksi (Ton)
Pr~dukb~itas (TonlHa)
5.981 6.900 5.662
28.285 35.990 36.839
4,73 5,22 6.51
275.848 328.71 1 338.354
4.1 1 4,72 5,04
I. K e c Balige 1985 1990 1993 II. Kab. Tap. Utara 1985 1990 1993
67.059 69.640 67.127 Sumber: Tapanuli Utara Dalam Angka (tahun 1985.1990.1993)
4.1.2. Peternakan
Unsur temak tidak dapat dilepaskan dari kehidupan ekonomi dan budaya masyarakat Batak Toba di Balige atau Tapanuli Utara umumnya. Namun demikian jarang ditemukan keluarga-keluarga Batak Toba dengan mata pencaharian utama betemak. Mata pencaharian utama adalah usahatani tanaman, sedangkan peternakan rnerupakan usaha sekunder. Empat jenis temak utama yang dipelihara masyarakat Batak Toba sejak dahulu adalah babi, kerbau, kuda, dan ayam. Babi adalah "temak komenil" sekaligus "ternak adat". Sebagai ternak komersil babi adalah "tabungan" keluarga. Orang Batak Toba memelihara ternak babi lazimnya untuk dijual pada "saat krlis", yaitu pada s a t suatu keluarga memerlukan biaya cukup besar untuk sesuatu keperluan, misalnya biaya sekolah anak dan ongkos anak pergi merantau. Masyarakat Batak Toba sendiri adalah target pasar ternak babi yang paling utama. Sesuai dengan predikat "twnak adat", babi adalah jenis ternak yang paling umum disembelih orang Batak Toba untuk kepeduan pesta adat. Permintaan ternak babi untuk kepentingan adat ini sangat besar mengingat frekuensi pesta adat dalam masyarakat Batak Toba tergolong sangat tinggi, baik itu pesta-pesta kecil seperti menyambut bayi lahir dan memberangkatkan anak merantau, maupun pesta-pesta besar seperti perkawinan, kematian, sampai pesta tugu (monumen) leluhur atau marga. Sebagaimana umumnya di setiap onan di Tapanuli Utara, di Onan Balige ada kapling k h w s jual-beli babi dimana transaksi jual-beli babi hidup selalu berlangsung ramai pada setiap hari pekan (Ium'at).
Dengan demikian tidaklah mengherankan jika sejak dahulu sampai sekarang populasi ternak babi paling besar diantara jenis ternak lainnya di Tapanuli Utara termasuk di Balige. Pada tahun 1914 misalnya jumlah ternak babi di Afdmkng BataManden diperkirakan mencapai 96.000 ekor, 50.000 ekor diantaranya (menurut taksiran 1913) menyebar di Onderfdeeling Toba (Toba Holbung, termasuk Balige) d m OndefafddenqDataran Tinggi Toba (Humbang).26) Pada penghujung abad ke-21 kemudian, tepatnya tahun 1993, populasi ternak babi di Tapanuli Utara tercatat 174.380 ekor. 6.1 30 ekor diantaranya twdapat di kecamatan Balige (Tabel 4.8). Tetapi pada tahun 1997 jumlah ternak babi telah merosot drastis di seluruh wilayah Tapanuli Utara menjadi bilangan ribuan, sebagai akibat wabah penyakit (sejenis virus) yang menyerang dan mematikan ribuan ternak babi sejak tahun 1995. Selain babi, kerbau juga memiliki arti penting dalam kehidupan sosial+konomi masyarakat Batak Toba. Kerbau merupakan "ternak kerja", "ternak komersil", dan sekaligus juga "ternak adat".
Sebagai
"ternak kerja", yaitu tenaga utama penarik bajak, Juku, dan garu dalam pengolahan sawah, kerbau menjadi bagian tidak terpisahkan dari ekoiogi budaya sawah Batak Toba. Untuk wilayah kecamatan Balige atau Toba Holbung umumnya sejak tahun 1980-an fungsi kerbau sebagai "ternak kerja" di sawah memang telah mulai digantikan oleh traktor tangan, walaupun tidak bisa dikatakan bahwa "traktorisasi" telah sepenuhnya menyisihkan peranan kerbau. Hal ini ada kaitannya dengan populasi ternak kerbau yang cenderung menurun di wilayah kecamatan Balige: tahun 1973 tercatat 3.053 ekor dan tahun 1993 turun menjadi hanya 1.920 ekor (Tabd 4.8).
Selain sebagai "ternak-kerja" kerbau juga merupakan "ternak adat",
walaupun penyembelihan kerbau untuk keperluan pesta adat tidak sekerap penyembelihan babi. Penyembelihan kerbau lazimnya dilakukan pada pesta-pesta adat besar, misalnya pesta perkawinan, kematian orangtua pada kondisi sarimatua (masih ada anak yang belum menikah) dan saurmatua {semua an& sudah menikah dan rnemberikan cucu), dan pesta tugu/monumen leluhur ataupun -a. Arti sosial-ekonomi kerbau sebagai "ternak kerja" dan 'ternak adat" membawa implikasi nilai ekonomi yang tinggi pada ternak ini, d m dilihat dari sisi ini kerbau merupakan "ternak komersil". Artinya, disamping untuk kepentingan tenaga kerja untuk penggarapan sawah, kerbau juga menyandang funds! "tabungan". Ternak itu dapat dijual sew&-waktu
pada saat pemilik memerlukan uang dalam jurnlah b a r .
Untuk itu pemilik tidak perlu membawa kerbaunya ke "pasar kerbau". XI Lihat Stibbe,
1921: 275.
Cukuplah ia beritahukan niatnya
kepada seorang toke horbo (makelar kerbau) dan toke itu akan datang melakukan transaksi sekaligus membawa pergi kerbau itu jika harga disepakati.27) Tabel 4.8. Iumlah Temak menurut Ienisnya di Kecamatan Balige dan Kabupaten Tapanuli Utara pada Tahun-Tahun Tertentu, 1914-1 993 (ekor) No. Lokasi dan
Kerbau
Sapi
Kuda
Kambingl Domba
Tahun
Babi
Ayam
1. Kec. Balige -1914 -1973 -1993
tad
tad
tad
tad
tad
tad
3.053 1.920
365 0
35 30
56 90
6.762 6.130
1 1.422 19.320
2. Tapanuli Utara -1914 -1 973 -1993
35.691 30.714 56.670
15.183 4.572 1.670
26.1 14 4.029 2.1 70
19.512 8.302 4.560
96.000 104.496 174.380
210.288 604.220
tad
Sumber: -1 9t4: O.G. Stibbe. 1921. E m y d p d ! vanNe&&~ch/ndl° (vk&~Soemb-z), Q m h a g e : Martinus Nijhoff &Lei& N.V. v/h. EJ. Brill. 1921: 275. Angka jumlah temak babi adahh taksiran untuk Afdeeling Bataklandentahun 1913. -1973: Senst~sPertanian 1973 dikutip dalam Tapanuli Utara Dalam Angka 1977 & 1978. Kantor Sensus dan Statistik Tapanuli Utara, 1978. (AngkaTetap), BappedaTk II dan Kantor Statistik b b p t e n -1993: Semus Pertanian 1993: Hail Pendaftam RumahTapanuli Lkara, 1994.
"Ternak keja" selain kerbau adalah kuda, tetapi bukan untuk keperiuan pengolahan sawah melainkan untuk
transportasi atau pengangkutan. Sekurangnya sampai tahun 1910-an, sebelurn
transportasi modem (kendaraan bermotor) berkembang pesat, kuda merupakan alat transportasi utama khususnya untuk keperiuan pengangkutan hail bumi dan barang dagangan. daerah di masa lalu
M a M a n (kuda beban) merupakan aset utama.
Bagi para pedagang antar Namun seiring dengan
perkembangan transportasi modem peranan kuda sebagai alat transportasi semakin berkurang, dan bersamaan dengan itu populasi kuda juga semakin rnengecil. Pada tahun 1914 misalnya jumlah kuda di
Afdeeling Btaklanden tercatat 26.1 14 ekor; tahun 1993 atau 79 tahun kemudian tercatat hanya 2.1 70 ekor (Tabel 4.8). Jumlah terakhir ini mencakup juga sejumlah kecil (30 ekor) kuda yang ada di Kecamatan Balige pada tahun yang sama. z71 Tergantung pada usia/besamya harga sedcor khau pada tahun 1997, menurut pergalaman seorwg tak h n i ~berldw antara Rp 1.000.W sampai Rp 2.OLW.000.
Dan empat jenis ternak utama tersebut di atas, setelah ternak babi maka ayamlah yang paling luas penyebarannya dalam masyarakat Batak Toba. lumlah ternak ayam di Tapanuli Utara tahun 1973 tercatat 210.288 ekor; dari jumlah ini 11.422 ekor (5,4%) terdapat di Kecamatan Balige. Pada tahun 1993 angkaangka itu lebih besar lagi: 604.220 ekor untuk Tapanuli Utara, atau 19.320 ekor untuk Kecamatan Balige (Tabel 4.8). Kemungkinan besar angka-angka ini lebih kecil dari kenyataannya karena, harus diakui, sulit untuk menghitung populasi ayam secara cermat. Dapat dikatakan hampir setiap keluarga Batak Toba, kecuali yang tinggal di pusat-pusat kota, memelihara ayam. Selain untuk kepentingan konsumsi sendiri, lazimnya disembelih dalam kesempatan acara-acara terbatas keluarga (misalnya: menjarnu tamu, anak pulang dari rantau, perayaan Natal dan tahun Baru), keluarga-keluarga Batak Toba umumnya juga menjual ayam peliharaannya. Kaum perempuan (ibu-ibu) datang ke pekan dengan membawa satudua ekor ayarn
--
disamping hasil-hail bumi lain -- untuk dijual adalah pemandangan yang sangat lazim di Onan Balige pada setiap hari pekan. Uang hasil penjualan ayam itu kenrudian akan digunakan untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari, antara lain ikan asin, gula, kopi, garam dan aneka bumbu dapur lainnya, minyak goreng, dan tembakau, ataupun untuk membeli perlengkapan sekolah anak antara lain alat tulis-menulis dan buku pelajaran. 4.2. Perdagangan dan lasa Lainnya Kegiatan perdagangan (Btk.: ma@a-bga) sudah dikenal orang Batak Toba sejak lama. Dahulu kegiatan itu berpusat di lingkungan onan, baik itu di tingkat onan mnogot-nogot maupun tingkat Onan Ndmd~pa&. Untuk wilayah Balige, lembaga Onan N m a p b t i t u pada masa pra-kolonial adalah Onan Rqa, dimana penduduk wilayah Baligeraja dan wilayah sekitarnya melakukan kegiatan dagang. Dahulu transaksi dagang dilakukan secara barter, dimana gabah menjadi "alat tukar utama".
Sebagaimana dicatat
Vergouwen: "Hampir semua barang dapat dibeli dengan gabah" (Vergouwen, 1986: 355).
Pada
pemerintahan kolonial, terutama sejak tahun 1910-an ketika ekonomi uang (monetisasi) tetah mulai meluas ke pedesaan, pekan tersebut telah mengalami transfonasi menjadi suatu p a r rakyat biasa yaitu 0hn Balige yang dikenal sekarang. S e t i i hari pekan (lum'at), Pekan B a l i menjadi pusat tranMksi jual-beli ragam jenis hasil bumi, ternak, ikan, dan barang-barang hasil industrilpabrik yang melibatkan tidak saja pedagang (Btk.: pattiga-tiga) dan pembeli dari wilayah Balige atau Toba Holbung, tetapi juga dari wilayah
Samosir, Silindung, Hurnbang, Uluan, dan Simalungun. Onan Balige sekarang adalah salah satu dari tiga onan besar di wilayah eks-onderafdeelingToba; satunya lagi adalah Onan Ponea (hari pasar besar: Rabu) dan OnanAjibata (hari pasar besar: Sabtu). Besar dugaan bahwa setidaknya sampai awal abad ke-20 kegiatan perdagangan dalam masyarakat Batak termasuk di Balige belurn menjadi suatu kegiatan profesional, dalarn arti seseorang rnelakukannya secara purna-waktu sebagai suatu kegiatan ekonomi utarna. Perdagangan di rnasa tenebut merupakan kegiatan sekunder yang dilakukan secara paruh-waktu. Diduga bidang kegiatan itu di rnasa lalu didominasi oleh golwgan r+a atau penguasa dusun, sebagai jalan untuk meningkatkan kemakmuran mereka (Loeb, 1990: 39; Cunningharn, 1958: 153, cit.kaki). Dengan dernikian "golongan pedagang" pada masa itu pada urnumnya adalah golongan elit penguasajuga. Suatu golongan "pedagang yang profesional" - yaitu elit ekonomi yang secara kategoris dapat dibedakan dari e l i penguasa -- dalam masyarakat Batak di Balige diperkirakan rnuncul sejak p m h kedua dekade 1910. Kelak rnereka ini benatu dalarn wadah "Perkvmpulan Pedagang Balige" (Handelsvereenising
Bakge, disingkat H.V.0). ekonorni uang
Pernunculan golongan tersebut merupakan respon terhadap, pertama, gejda
yang sernakin rneluas di pedesaan dan, kedua, perkembangan Balige yang sernakin
rnengarah pada bentuk "kota pasar". Salah seorang putra Balige yang rnulai rnerintis uMha dagang (toko) pada masa itu (1917) adalah Karl Sianipar, seorang dari generasi pertama pengusaha Batak yang kemudian tercatat sebagai penguda tenun l o M terbesar sepanjang sejarah ekonomi Balige. Tokoh pedagang lainnya yang tidak kurang pentingnya adalah Baginda Pipin Siahaan (sempat menjadi ketua
H.V.B), seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan awal industri tenun di Balige atau Tanah Batak urnurnnya. Menyusul pemunculan gofongan pengusaha dagang tadi, di Balige lahir pula golongan pengusaha di bidang jasa lain terutama transportasi, restoran, fotografi, dan hiburan. Pengusaha jasa transprtasi rnulai muncul terutama tahun 1920-an, ketika jalan raya yang menghubungkan Balige dengan Sibolga di selatan dan Medan di utara telah selesai dibangun. Jenis usaha ini dari dahulu sarnpai sekarang dikuahi oleh orang Batak Toba sendiri. Pada tahun 1930-an misalnya terdapat sedikitnya empat orang Batak yang menjadi pengusaha angkutan umurn di Balige.zq Gejala "ledakan" usaha jasa transportasi terjadi pada akhir a)Merele ad& Napitqulu (1 bus).
Benjamin Simamm (1 bus), Simangumong (1 bus), Marius Simanjuntak (1 bus dan 1 kapal danau), dan
1970-an atau awal 1980-an, benamaan dengan masuknya jenis-jenis kendaraan "mini" (roda empat) buatan lepang ke Tapanuli Utara. Pada waktu itu mas jalan raya Balige-Porsea dan Balige-Tamtung dipadati oleh lalu-lalang kendaraan oplet dari berbagai grup usaha angkutan. Benamaan dengan perkembangan usaha transportasi ini muncul pula usaha pompa bensin, pehengkelan dan jasa cuci kendaraan. Bidang usaha restoran di Balige pada awalnya didominasi oleh etnis Cina dengan kedai-kedai bakminya. Di kemudian hari orang Batak juga telah memasuki bidang usaha ini dengan membuka kedai-kedai makan dan minum khas Batak, sementara kedai bakmi boleh dikatakan tetap menjadi domein etnis Cina. Kedai-kedai makanlminum khas Batak tadi menyediakan ragam jenis makanan khas etnis Batak.
Etnis
Minangkabau juga datang dan membuka "rumah makan Padang" di Balige; konsumen utamanya adalah para penumpang bus trayek panjang yang memilih Balige sebagai peninggahan. Berbeda dari usaha restoran, jasa fotografi tetap didominasi oleh etnis Cina sejak tahun 1930-an sampai sekarang. Tahun 1930-an memang ada seorang etnis Batak pendatang (maya Sigalingging) yang rnenjadi "tukang garnbar", tetapi sekarang usaha itu sepenuhnya dikuasai etnis Cina. Sebagian dari mereka adalah penerus usaha peninggalan orangtua, misalnya usaha fotografi yang kini dikembangkan menjadi usaha fotografi modem lengkap dengan mesin cuci-cetak filem, dan bahkan dianekaragarnkan dengan menarnbah jasa M'deoshootingdan foto-kopi.
Oi bidang jasa hiburan, paling menonjol adalah kehadiran dua biskop di Balige yaitu biskop "Antara" dan "Maju". Bioskop "Antara" berdiri pada tahun 1930-an, sedangkan bioskop "Maju" berdiri setelah masa perang. Kedua bioskop ini milik orang Batak Toba. Sekarang (1 998) hanya bioskop "Antara" yang masih bertahan, walaupun tidak lagi memutar rol filem konvensional tetapi menyetel laserdisk
.
Bioskop "Maju" sudah berhenti beroperasi dan bangunannya kini digunakan untuk tempat usaha diskotik. Keadaan terakhir usaha perdagangan dan jasa lainnya di Balige menunjukkan gejala stagnasi, atau bahkan mungkin kemunduran. Untuk sebagian jenis usaha, Sensus Ekonomi tahun 1986 di Kecamatan Balige kemungkinan besar telah mencatat jumlah unit usaha yang lebih kecil dibanding tahun-tahun sebelumnya (Tabel 4.9). Salah satu jenis usaha yang mengalami kemerosotan adalah jasa menjahit. Pada tahun 1990-an banyak penjahit di Balige yang terpaksa tutup usaha karena tenaingi oleh pedagang
pakaian bekas, atau bujermenurut istilah setempat.29) Uang sebesar Rp 5000 misalnya, bagi seorang pria sudah cukup untuk memperoleh sepotong celana panjang dan sepotong kemeja bekas yang masih layak pakai atau, bagi seorang wanita, memperoleh sepotong rok dan sepotong blouse bekas. Bagi mayoritas konsumen yang berasal dari desa, jelas ini mempakan pilihan yang lebih menarik, lebih murah dan praktis, dibanding membeli kain bahan dan kemudian menjahitkannya di tukang jahit. Tabel 4.9. lumlah Unit Usaha dan Tenaga Kerja Sektor Tersier di Kecamatan Balige dan Kabupaten Tapanuli Utara, 1986 No. Sektor/Sub%ktor
Kec. Balige Kab. Tapanuli Utara lumlah Usaha lwnlahTenaaa lumlah UMha (Unit) Kerja (Orang) (Unit)
-
lumlah Tenaaa " Kerja (Orang)
1. Perdagangan:
a. Perdagangan Besar 13 29 240 b. Perdagangan Eceran 41 7 667 5.753 2. Restoran dan Hotel: a. Restoran/R MakanR Minum 308 455 4.680 b. HotelIPenginapan 5 11 67 3. Angkutan, Pergudangan dan Komunikasi: a. Angkutan Darat 54 114 690 b. Angkutan Lainnya 3 49 331 Pergudangan, dan Komunikasi 4. Keuangan. Awransi, P-aan 12 131 140 Bangunanranah dan Jasa Perusahaan 5. Bangunan Qn Konsbuksi 14 41 327 6.lasa Kemasyarakatan dan Sosial. 145 389 1.559 Hiburan d i Perorangan Sumbee Sensus Ekonorni 1986: Hasil Pendaftam PerusahaanlUsaha di Kabuwten Tacanuli Utara (Angka Tetap). Kwtw Statktik Tapanuli Utara (Pembagii s e k r menuiut KLUI).
Menarik dicatat kenyataan bahwa bidang usaha dagang dan jasa lainnya di Balige secara keseluruhan didominasi oleh etnis Batak Toba, bukan oleh etnis Cina seperti misalnya di Siantar dan Medan.
Di Balige dan juga di kota-kota lain di Tapanuli Utara, golongan etnis Cina rupanya tidak pernah menjadi kekuatan dominan dalam bidang perdagangan. Kegiatan dagang mereka di Balige dan di Tapanuli Utaba umumnya, mengutip Ong Eng Die,
telah dihempang oleh golongan etnis Batak Toba yang temyata
&@radalah singkatan b u & ~ m ' k r m a n . Sebutan hi m d uladanya lexurigaanbdma pak&n bekas itutadinya adalah wmbangan umat Kmtiani krman untuk penghuni pwtipanti wag binaan HKBP, tetapi kemudm ' (htigai) ada "&urn" Yaw menihya kqMda para pedagang. 29J
*
mempunyai jiwa dagang yang kuat juga.
Hal ini berbeda dengan situasi kota-kota di Jawa ataupun di
Sumatera Timur, dimana etnis Cina berhasil membangun dorninasi dalam kegiatan ekonomi dan bahkan membentuk "kawasan pecinan" atau kantong pemukiman eksklusif etnis Cina (Ong, 1979: 60). 4.3.
lndustri Dari segi jumlah unit usaha, kegiatan industri di wilayah Balige atau Tapanuli Utara umumnya
didominasi oleh industri skala mmahan (lihat Tabel 4.10).
Di Kecamatan Balige industri rumahan itu
mencakup terutama jenis-jenis industri tenun adat atau ubs, pengolahan pangan, dan kerajinan mebel kayu. Dari ragam jenis industri ini yang paling menonjol adalah pertenunan ulos, dan dalam ha1 ini Sensus Ekonomi 1986 - dengan batasannya sendiri - agaknya telah mencatat jumlah yang lebih kecil dari kenyataan sesungguhnya. Menumt hasil sensus tenebut (Tabel 4.10) di Kecamatan Balige terdapat hanya 8 unit usaha industri tekstillpakaian jadikulit (Tapanuli Utara: 1.464 unit), sementara menurut data Dinas
Perindustrian Kabupaten Tapanuli Utara pada tahun 1990 terdapat 141 una usaha pertenunan ulos di kecamatan itu (Tapanuli Utara: 5.843 unit usaha; paling banyak di Kecamatan Tarutung: 3.288 unit usaha).22) Berdasarkan data tahun 1990 dan 199211993 dari sumber tenebut terakhir ini dapat dibuat suatu peta penebaran yang menunjuk pada jenis industri skala rumahan yang paling menonjol di setiap kecamatan; Kecamatan Balige tampil dengan dominasi industri tenun ulos (lihat Peta 5). Sebagai wujud "industri-awal" (proto-industri), yaitu suatu kegiatan kerajinan rumahan sebagai kerja sampingan diluar kegiatan utama pertanian, pertenunan ulos dengan basis teknologi gedogn sudah hadir di tengah-tengah masyarakat Batak Toba di Balige atau Tapanuli b r a umumnya sejak masa prakolonial. Sebagaimana dilaporkan Ruychavert sekurangnya pada tahun 1930-an pertenunan rnemang merupakan jenis industri yang paling menonjol dalam masyarakat Batak, dibanding misalnya kerajinan gerabah, kerajinan kayu, dan jaring ikan (Ruychavert, 1936: 144). Balige sendin menurut penuturan para orang tua termasuk sebagai salah satu wilayah produsen ubs Batak yang menonjol di masa lalu.Z3) Fakta bahwa pertenunan ubs ini telah dicatat dalam karya Jasper dan Pimgadie tahun 1912 menguatl$n
221 Data o
i i Perindustrian Tk II Tapanuli Utara dikxtip dahm T + h a
Lk4i~llngka19% Kantw StatisMt 1
4h m .
1992. 231
Nama "Balige"sendin - wakupun mash dipwdebatkan para orang b- IWM~ berasddari kata pada aht tenun Miional ge&n
unsur
(w
ydffu ma Sahh satu
kesimpulan bahwa ia termasuk salah satu pertenunan tekstil etnik yang menonjol di nusantara (lihat Jasper dan Pimgadie, 1912).
M e n u ~ Niessen t (1985 dan 1993) di masa lalu ulos Batak digunakan sebagai
pakaian harian dan adat sekaligus tetapi kemudian, dengan semakin meluasnya penerimaan 'gaya busana Eropah" yang dibawakan oleh Missionaris Zending (lerman) dan penguasa Belanda sejak penghujung abad ke-19, secara perlahan-lahan fungsi ulos rnengalami penyempitan
menjadi "pakaian adat" saja. Sejak itu
kegiatan pertenunan ubs dengan sendirinya juga mengalami kemunduran, karena pasarannya semakin terbatas. Tabel 4.10. lumlah Usaha lndustri dan Tenaga Kerja Terserap menurut Skala Usaha di Kecarnatan Balige dan Kabupaten Tapanuli Utara, 1986 No. Lokasi &n lenis lndusiri
I. Kec. Balige 1. lndusbi tekstil/ pakaian jadikulit 2. lndusbi lainnya
II. Kab. Tapanuli Utara 1. lndustri tekstill pakaianjadikulit 2. lndusbi lainnya
Sedang Usaha Tenaga Kwja (unit) (orang)
Kecil kha (unit)
Tenaga Keja (orang)
Rumahan Usaha Tenaga (unit) Kerja (orang)
10
314
8
100
8
10
0
0
8
42
92
176
11
336
11
120
1.464
1.775
3
7t
71
443
2.1 57
3.327
Surnber: Senuo Ekomi 1986: Hasil PendaftaranPerusahaanlUsahadi Kabupaten Tapanuli Utara (Aogka Tetap), Kantor Statistik Tapanuli Utara. (Pernbagian s e h menund KLUI).
Sejak pertengahan tahun 1930-an industri tenun di Balige dapat dikatakan mengalami "revolusi teknologi" dari gedogan ke ATBM buatan Bandung atau dari pertenunan "tradisionil" ke pertenunan "modem".
Berbeda dengan keadaan di lawa terutama di Majalaya dimana terjadi gejala "ledakan industri
tenun", perkembangan industri tenun "modem" di Balige sejak pertengahan tahun 1930-an sampai tahun 1950-an tidak menunjukkan gejala semacam itu. Gejala "ledakan industri tenun" di Balige atau Tapanuli
Utara, sebagaimana akan dijelaskan nanti, baru tejadi terutama tahun 1960-an. Hasilnya pada tahun 1970 tercatat sejumlah 82 unit usaha kilang tenun di Tapanuli Utara, dan hampir seluruhnya berada di Balige.29 tihat: Sumatera &m dtlvnA@ Pangururan dan Onan Runggu).
1970. Beberapa kbng tenun kedl twdapat juga di Laguboti. Tandung, dan P. Smcsir (a.1.
lnilah yang menjadi alasan orang untuk menjuluki Balige sebagai "Majalaya Kedua". Namun julukan ini tidak relevan lagi dengan kondisl dekade 1980-an wnpai sekarang. Hasil Sensus Ekonorni 1986 rnisalnya mencatat hanya 18 unit usaha kilang tenun yang masih bertahan di Balige: 10 unit usaha skala sedang dan 8 unit sisanya skala kecil (Tabet 4.10). Selain industri tenun sebenarnya Balige sernpat juga dikenal dengan indumi rokok, sekurangnya sejak tahun 1940-an sampai 1950-an. Pada tahun 1940-an industri rokok di sana masih berupa industri rokok lintinga tangan, dengan rnenggunakan bahan baku tembakau yang berasal dari Deli dan Sidikalang. Upaya mekanisasi pabrik rokok mulai dilakukan tahun 1950-an. Salah satu industri rokok yang terkernuka yang telah melakukan mekaniwi pada masa itu adalah pabrik rokok "Sedia" rnilik Busmin Pasaribu. Tidak ada etnis Cina yang memasuki bidang usaha pabrik rokok di Balige. Tetapi di P. Siantar, dimana populasi etnis Cina tergolong besar, waktu itu ada etnis Cina tampil sebagai pengusaha pabrik rokok berskala besar. Dalam perkembangannya kemudian pengusaha rokok etnis Cina Siantar ini tidak saja tampil sebagai pesaing berat yang mempemmpit pasaran rokok "Sedia" tetapi juga bahkan "mematikan" pabrik rokok tersebut.25) Dan uraian di atas jelas bahwa sekurangnya sejak akhir rnasa pernerintahan kolonial sarnpai awal rnasa pemerintahan Soeharto, Balige sebenamya pemah tarnpil sebagai "kota industri rakyat" terkernuka di Tapanuli Utara. Dua jenis industri andalan pada waktu itu, seperti dikernukakan tadi, adalah industri tenun dan industri rokok. Tetapi sejak tahun 1980-an predikat "kota industri" itu tidak relevan lagi. Populasi dan skala usaha industri tenun sudah rnerosot tajam, sernentara industri rokok sudah lama "mati": Baiige telah mengalami gejala "deindustrialisasi".
Menurut penuturan para informan pada waktu itu pengusaha (etnis OM) rdcdc di P. Siantar rupanya tdah membeli mkdc "Sedii" dalam jumlah besar dan kemudian menimbunnya di gudang sampai rusk (membusuk). Setelah rusak rdsk itu lremudian dilempar kembali ke pasar. Sejak itu orang kemudianmmilik anggapan bahwa W %a" rnenjual nick busuk,~hingga produk mkoknya Wak laku di pasar. Aldbat bnjutannya: pabrik rdsk %a" krpakia bemenli bwoperasi.
lnilah yang menjadi alasan orang untuk menjuluki Balige sebagai "Majalaya Kedua". Namun julukan ini tidak relevan lagi dengan kondisi dekade 1980-an sarnpai sekarang. Hasil Sensus Ekonomi 1986 misalnya mencatat hanya 18 unit usaha kilang tenun yang masih bertahan di Balige: 10 unit usaha skala sedang dan 8 unit sisanya skala kecil (Tabet 4.10). Selain industri tenun sebenarnya Balige sempat juga dikenal dengan indumi rokok, sekurangnya sejak tahun 1940-an sampai 1950-an. Pada tahun 1940-an industri rokok di sana masih berupa industri rokok kndnggantangan, dengan menggunakan bahan baku tembakau yang berasal dari Deli dan Sidikalang. Upaya mekanisasi pabrik rokok mulai dilakukan tahun 1950-an. Salah satu industri rokok yang terkemuka yang telah melakukan mekanisasi pada masa itu adalah pabrik rokok "Sedia" milik Busmin Pasaribu. Tidak ada etnis Cina yang memasuki bidang usaha pabrik rokok di Balige. Tetapi di P. Siantar, dimana populasi etnis Cina tergolong besar, waktu itu ada etnis Cina tampil sebagai pengusaha pabrik rokok benkala be%. Dalam perkembangannya kemudian pengusaha rokok etnis Cina Siantar ini tidak saja tarnpil sebagai pesaing berat yang mempenempit pasaran rokok "Sedia" tetapi juga bahkan "mematikan" pabrik mkok tenebut.25) Dan uraian di atas jelas bahwa sekurangnya sejak akhir masa pemerintahan kolonial sampai awal masa pemerintahan Soeharto, Balige sebenamya pernah tampil sebagai "kota industri rakyat" terkemuka di Tapanuli Utara. Dua jenis industri andalan pada waktu itu, seperti dikemukakan tadi, adalah industri tenun dan industri rokok. Tetapi sejak tahun 1980-an predikat "kota industri" itu tidak relevan lagi. Populasi dan skala usaha industri tenun sudah merosot tajam, sementara industri rokok sudah lama "mati": Balige telah mengalami gejala "deindustrialisasi".
'*'Menurut penuturan para informan pada wddu itu pengusaha (etnis Cina) rokok di P. Siantar tdah membeli mkdc dalam jumlah dan W i a n menimbunnyadi gudang sampai rusak (memkrsuk). Setelah turak rdck itu kemudii nyMnya
"Sedka" besar mkok %a" menjual mkck busuk.Khingga dilRnpar kembali k par. Sejak itu orang kemudian memilib anggapan bahwa pnduk rckohya tiiak !&I di par. &bat hnjutannya: pabrik mkdc "Sedii" terpaksa bementi bemperasi.