A. KONDISI GEOGRAFIS DAN DEMOGRAFIS 1. Kecamatan Ujungberung Kota Bandung Secara geografis, Kecamatan Ujungberung terletak di sebelah timur dengan posisi paling timur bila mengikuti alur perjalanan dari arah pusat Kota Bandung. Untuk sampai ke Ujungberung, ada tiga akses jalur yang dapat dilalui. Pertama, jalur yang ditempuh dari pusat kota Bandung, yaitu dari kawasan alun-alun Kota Bandung atau kawasan Jalan Asia-Afrika. Kedua, jalur yang ditempuh bila melalui arah Jalan Soekarno-Hatta (jalan bypass). Ketiga, jalur yang ditempuh dari arah timur yang memasuki daerah kawasan Cileunyi-Cibiru bila perjalanan awal dimulai dari arah Kabupaten Ciamis atau Kabupaten Garut. Wilayah Ujungberung pada awalnya belum termasuk ke dalam wilayah Kota Bandung, tetapi termasuk wilayah Kabupaten Bandung. Dahulu, wilayah Ujungberung ini, mulai dari batas daerah Cicaheum hingga kota Ujungberung terkenal dengan sebutan kawasan wilayah “Bandung Coret”. Sebutan itu muncul karena tepat di batas daerah Cicaheum terdapat tanda rambu lalu lintas dengan tulisan ‘BANDUNG’ yang diberi garis berwarna merah melintang dari ujung sudut kiri bawah tulisan hingga sudut kanan atas tulisan.
Gambar 4.1 Peta Kota Ujungberung Sumber: http://geocities.com/bandungcity
Kecamatan Ujungberung termasuk ke dalam wilayah Kota Bandung yang dahulu dikenal dengan nama Kotamadya Bandung. Daerah tersebut terletak di bagian timur Kota Bandung pada jarak kilometer 12 dari pusat Kota Bandung ke arah timur yang lahir dan terbentuk berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1978. Kantor Kecamatan Ujungberung terletak di Jalan Alun-alun Utara Nomor 211 Bandung Kode Pos 40616. Ujungberung memiliki luas wilayah 661.258 hektar (ha) yang terbagi ke dalam 5 kelurahan, yaitu Kelurahan Pasir Endah dengan luas wilayah 108,5 ha yang memiliki 7 Rukun Warga (RW) dan 49 Rukun Tetangga (RT); Kelurahan Cigending dengan luas wilayah 92,858 ha yang memiliki 11 RW dan 63 RT; Kelurahan Pasir Wangi dengan luas wilayah 111,468 ha yang memiliki 11 RW dan 48 RT; Kelurahan Pasir Jati dengan luas wilayah 123,432 ha yang memiliki 12 RW dan 51 RT; dan Kelurahan Pasanggrahan dengan luas wilayah 225 ha yang memiliki 14 RW dan 61 RT. Ujungberung memiliki karakteristik wilayah pedataran 668 m (dpl), jumlah hari dengan curah hujan terbanyak dalam setahun yaitu 10 hari, banyaknya curah hujan 24000 mm/tahun, dan suhu udara antara 18 – 24 derajat Celcius. Batas wilayahnya, yaitu bagian utara adalah Cilengkrang Kabupaten Bandung, bagian selatan adalah Cinambo Kota Bandung, bagian timur adalah Cibiru Kota Bandung, dan bagian barat adalah Mandalajati Kota Bandung. Ujungberung merupakan daerah terbuka dengan penduduk asli yang bermata pencaharian sebagai petani, pedagang, dan peternak yang bertempat tinggal di kaki-kaki Gunung Manglayang, dengan latar belakang pendidikan kurang dengan persentasi yang masih terbilang tinggi.
Gambar 4.2 Areal Persawahan yang Semakin Tergusur oleh Pabrik Sumber: Dokumentasi Penulis, November 2011
Adapun para penduduk pendatang pada umumnya berada di dataran rendah, yaitu di bawah kaki Gunung Manglayang. Penduduk urban ini memiliki mata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil, pemilik toko, pemilik mall, pegawai toko, pegawai swasta, pensiunan, satpam, polisi, dan pelajar.
Gambar 4.3 Megahnya Bangunan Supermarket di Ujungberung dengan Latar Belakang Gunung Manglayang Sumber: Dokumentasi Penulis, November 2011
Ujungberung mempunyai jumlah penduduk 63.864 orang, dengan mayoritas penduduknya beragama Islam 62.898 orang, Kristen 619 orang, Katolik 213 orang, Hindu 61 orang, dan Budha 73 orang. Data ini penulis temukan selama melaksanakan studi penelitian
dalam mencari data tentang seni Bangbarongan sejak bulan Maret 2011 dan studi observasi ke Kecamatan Ujungberung pada bulan September 2011. Jalur transportasi angkutan yang melewati Ujungberung memang bervariasi, di antaranya ojeg, angkutan kota, metro mini/minibus, bus pariwisata, bus antarkota, dan elf. Kendaraan ojeg dimiliki oleh setiap jalur yang menuju ke arah Gunung Manglayang dari jalan utama. Ujungberung merupakan daerah yang masih berkembang dari segi perdagangan, pendidikan, dan terutama untuk pengembangan potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam. Dalam pengembangan potensi alam, terutama dalam potensi objek wisata, Ujungberung belum memiliki tempat yang layak untuk dikunjungi para wisatawan. Dalam hal seni dan budaya, ada beberapa jenis Kesenian di Kecamatan Ujungberung, yaitu: TABEL 4.1 JENIS KESENIAN DI KECAMATAN UJUNGBERUNG KOTA BANDUNG No
Jenis Kesenian
Jumlah Kelompok Seni
1
Benjang
13
2
Jaipong
4
3
Buncis
3
4
Calung
13
5
Reog
5
6
Lengser
1
7
Wayang Golek
2
8
Kecapi Suling
4
9
Upacara Adat
2
10
Tembang Sunda
1
11
Cianjuran
2
12
Degung
4
13
Kasidah Modern
1
14
Pencak Silat
8
15
Kecapi Pantun
1
16
Kiliningan
1
17
Kuda Renggong
1
18
Reak
1
19
Dangdut
2
20
Rock Dangdut
1
Sumber: Data Tipologi Kecamatan Ujungberung, 2010
Kegiatan ini dilaksanakan sebagai data mengenai jumlah jenis kesenian tradisional di wilayah Ujungberung. Pementasan yang telah digelarkan merupakan upaya dari kerjasama antara Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan Dinas Pariwisata Kota Bandung. Beberapa kelompok seni yang akan tampil dapat melaksanakan latihan di dalam aula Kecamatan Ujungberung atau di sanggar seni dari masing-masing kelompok seni. Kini, dalam perkembangan seni dan budaya di Kecamatan Ujungberung Kota Bandung, kesenian helaran yang ada di antaranya seni Terebangan, seni Benjang Gulat/Gelut (dilaksanakan pada malam harinya), seni Bangbarongan, seni Tari Topeng Benjang, seni Kuda Kepang, seni Kuda Lumping, seni Wayang Golek (pelaksanaan pada malam harinya), dan seni Reak.
2. Kecamatan Sukamantri Kabupaten Ciamis
Desa Sukamantri
Gambar 4.4 Peta Kabupaten Ciamis Sumber: Wikipedia
Gambar 4.5 Kecamatan Sukamantri, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sumber: Dokumentasi Penulis, November 2011
Sukamantri termasuk kecamatan baru di Kabupaten Ciamis, hasil pengembangan dari Kecamatan Panjalu di wilayah bagian utara. Wilayah tersebut merupakan batas sebelah Barat antara Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Majalengka. Daerah Sukamantri merupakan daerah pesawahan yang dikelilingi pegunungan. Masyarakat Sukamantri yang bermata pencaharian bertani sebanyak 6774 orang, berdagang 2632 orang, pegawai swasta atau berwiraswasta 1288 orang, dan selebihnya berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, tentara, polisi, serta pensiunan. Sukamantri adalah sebuah kecamatan paling utara di Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Indonesia, yang dibentuk pada tanggal 23 Januari 2004 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2004/Tanggal 02 Agustus 2004. Kecamatan ini memiliki total luas
wilayah 4.790,682 hektar (ha) dan secara administratif terdiri dari 5 desa/kelurahan, 61 RW, 164 RT, dan 30 dusun. Sebelum resmi dibentuk, Sukamantri adalah sebuah kemantren (perwakilan kecamatan) di Kecamatan Panjalu. Istilah "Panjalu Utara" pernah digunakan sebagai sebutan tidak resmi untuk kecamatan ini. Kantor Kecamatan Sukamantri beralamat di Jalan Raya Barat Nomor 97 Sukamantri kode pos 46264. Kecamatan Sukamantri mempunyai jumlah penduduk 23.947 dengan kepadatan 500 jiwa/km². Seluruh penduduknya memeluk agama Islam dan memiliki 40 mesjid, 8 mushola, serta 3 langgar sebagai sarana dan prasarana peribadatan. Kecamatan Sukamantri terletak paling utara di Kabupaten Ciamis. Wilayah ini memiliki kesamaan karakteristik dengan Kota Bandung, yaitu terletak di sebuah basin (cekungan) yang terletak pada 729 m (dpl), dengan memiliki curah hujan 2.485,28 mm/tahun (data akhir pada perolehan per bulan Desember 2010). Suhunya 19 derajat Celsius. Jarak ke pusat Kabupaten Ciamis adalah 42 km, sedangkan jarak ke Kota Bandung adalah 110 km. Dengan batas wilayah, yaitu bagian utara adalah Kabupaten Majalengka, bagian timur adalah Kecamatan Panawangan, bagian barat adalah Kecamatan Panumbangan, dan bagian selatan adalah Kecamatan Panjalu. Dari segi perekonomian, penduduk Sukamantri mayoritas bermata pencaharian di bidang pertanian, jasa, dan pegawai negri sipil (PNS). Kecamatan Sukamantri mencakup lima desa yang masing-masing desa memiliki produk pertanian unggulan, yakni Desa Cibeureum yang memiliki luas wilayah 1.448,695 ha, terdiri dari 16 RW, 51 RT, dan 9 dusun, dengan produk hasil pertanian berupa cabe merah; Desa Sukamantri yang memiliki luas wilayah 820,705 ha, terdiri dari 14 RW, 30 RT, dan 7 Dusun, dengan produk hasil perkebunan berupa teh rakyat; Desa Tengger Raharja yang memiliki luas wilayah 852,853 ha, terdiri dari 9 RW, 20 RT, dan 5 Dusun, dengan hasil produk jagung dan sapi; Desa Sindanglaya yang memiliki
luas wilayah 750,035 ha, terdiri dari 13 RW, 41 RT, dan 5 Dusun, dengan hasil produk tanaman ubi ‘garut’ ganyong; dan Desa Mekarwangi yang memiliki luas wilayah 918,414 ha, terdiri dari 9 RW, 22 RT, dan 4 Dusun, dengan hasil produk perkebunan kopi. Selain itu, di wilayah Kecamatan Sukamantri ini terdapat 64 kelompok tani, 5 kelompok wanita tani, dan 3 kelompok taruna tani. Di samping itu, mengenai pertambahan dan tingkat urbanisasi penduduk di Ciamis, banyak masyarakat yang berpindah ke kota-kota besar di Jawa Barat dan Jakarta, seperti ke Bandung, Tasikmalaya, Cirebon, Bekasi, dan Bogor. Masyarakat yang berusaha di kota-kota besar kebanyakan bergerak di bidang perdagangan. Transportasi di daerah ini terbilang cukup maju. Daerah Sukamantri dilalui oleh jalan raya lintas kabupaten yang menjadi pintu masuk ke kabupaten lain, seperti Majalengka, Kuningan, dan Cirebon. Di Kecamatan ini juga terdapat sebuah terminal yang cukup padat. Angkutan yang paling umum digunakan adalah mini bus yang sering disebut ELF. Angkutan ini tiap harinya melayani trayek menuju Bandung (pulang pergi) dengan jumlah lebih dari 100 armada. Selain itu, terdapat pula minibus CPI dengan trayek menuju Tasikmalaya (pulang pergi) dan bus dengan daerah tujuan ke timur Jawa Barat dan Jawa Tengah. Salah satu usaha yang sedang dikembangkan oleh aparat pemerintah tingkat Pemerintah Daerah (Pemda) Kecamatan Sukamantri adalah wisata off-road karena memiliki track di pegunungan dan diharapkan dapat mengembangkan tingkat ekonomi masyarakat. Selain wisata off-road tadi, daerah Sukamantri pun sedang mengembangkan wisata air karena di wilayah ini terdapat Situ Cibubuhan yang cukup berpotensi untuk dijadikan sebagai sarana pariwisata. Keduanya merupakan potensi pariwisata masa depan kecamatan ini. Dalam bidang seni dan budaya, Kecamatan Sukamantri mempunyai kebudayaan khas daerah, yaitu Bebegig. Bebegig ditampilkan terutama dalam acara perayaan hari Kemerdekaan Republik Indonesia tiap tanggal 17 Agustus dan dilombakan dalam beberapa
acara festival di luar daerah, seperti di Bali (juara II), Jakarta, Bandung dan Pangandaran, serta berencana untuk mengikuti festival budaya di Brazil pada tahun 2012. Beberapa jenis kesenian tradisional yang ada di lingkungan Kecamatan Sukamantri di antaranya sebagai berikut: TABEL 4.2 JENIS KESENIAN DI KECAMATAN SUKAMANTRI KABUPATEN CIAMIS No
Jenis Kesenian
Jumlah Kelompok Seni
1
Bebegig Sukamantri
1
2
Pencak Silat
1
3
Gembyung/Terebangan
7
4
Angklung Dog-dog
2
5
Sisingaan
1
6
Oray Liong
1
Sumber: Data Tipologi Kecamatan Sukamantri, Oktober 2011
Dalam perkembangannya, seni topeng Bebegig Sukamantri sekarang sudah menjadi kesenian yang biasa dipentaskan dalam kegiatan helaran, seperti pada penampilan kegiatan helaran dalam menyambut hari raya Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus, acara khitanan anak, dan upacara syukuran setelah menyemai padi di sawah. Lahir serta berkembangnya kesenian tersebut mengalami proses yang sangat panjang serta mengandung nilai sejarah sejalan dengan perkembangan kesenian dan masyarakat Kabupaten Ciamis.
A. DESKRIPSI DAN HISTORIOGRAFI TOPENG BANGBARONGAN 1. Pengertian dan Deskripsi Bangbarongan Barong secara harfiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim, 1995: 1069) diartikan sebagai perwujudan dari macan atau singa jantan. Namun dalam Bangbarongan, istilah ‘bang’ muncul karena dalam pertunjukannya ada salah satu jenis musik yang menjadi
ciri dari Seni Bangbarongan, yaitu alat musik terebang. Dari kata terebang ini, lalu diambilah kata ‘bang’ yang kemudian dipakai sebagai kata pelengkap untuk nama Bangbarongan. Kata ‘barongan’ digunakan sebagai penjelas bahwa bangbarongan yang divisualisasikan tersebut memiliki kharisma seperti singa, yang memiliki bentuk wajah meniru kuda nil dengan rambut yang lebat menyerupai singa. Alat musik terebang itu sendiri pada umumnya digunakan sebagai media dakwah bagi umat muslim dalam ritual acara salawatan ataupun pengajian dalam proses ijtihad manusia pada Al-Quran dan Al-Hadist. Dalam lingkungan itulah kesenian Bangbarongan lahir dan berkembang di daerah Ujungberung, Kota Bandung. Pertunjukan Topeng Bangbarongan memanglah atraktif dengan bentuk tarian yang bersifat monoton tanpa mengusung tema atau judul tarian. Tempo tarian dari Topeng Bangbarongan dikuasai oleh irama musik yang disuarakan oleh alat musik. Menurut Duyeh, alat musik yang digunakan untuk mengiringi Bangbarongan yang pertama adalah dog-dog yang di dalamnya terdapat 5 macam alat musik, yaitu tilingtit (dengan bahan terbuat dari kulit anjing), tong dan brung (dengan bahan terbuat dari kulit domba), badogblag (dengan bahan terbuat dari kulit mencek), dan bedug (dengan bahan terbuat dari kulit sapi); kedua adalah terebang atau rebana dengan ukuran besar; dan ketiga adalah kecrek (Wawancara, Oktober 2011). Selain alat musik, terdapat pula badud atau lengser yang divisualkan dengan kedok nini (nenek) yang sedang menggendong boboko (dalam bahasa Sunda yang berarti tempat menyimpan nasi terbuat dari anyaman bambu) dan kedok aki yang divisualkan memiliki gigi tinggal satu, berbadan bongkok sambil menggendong pacul; kuda lumping; kuda kepang; kedok monyet; dan punakawan, seperti Cepot, Gareng, dan Dewala.
Gambar 4.6 Kedok Monyet Sumber: Dokumentasi Penulis, Februari 2011
Gambar 4.7 Dua Bangbarongan dan Kedok Monyet sedang Menari Diikuti Penonton yang Menyaksikan di Dekatnya Sumber: Dokumentasi Penulis, Juli 2011
Dalam pergelarannya, bila musik mengalun dengan tempo lambat maka tarian atau ibing Bangbarongan akan melambat. Namun sebaliknya, bila irama musik mengalun dengan tempo menghentak-hentak dan cepat maka tarian pun akan menjadi cepat hingga menjadi liar tak tentu arah. Bila sudah seperti itu, Bangbarongan akan sulit dikendalikan dan penonton pun tak luput menjadi sasaran untuk dikejar dan diterjang oleh Bangbarongan. Pada proses persiapan awal pertunjukan Bangbarongan, berbagai pihak, mulai dari pihak grup kesenian Benjang Helaran/seni Bangbarongan dan pihak dari keluarga yang akan
melaksanakan acara nyepitan (dalam bahasa Sunda yang berarti khitanan) sebelumnya sudah mengadakan kesepakatan terlebih dahulu untuk melaksanakan prosesi acara dengan arakarakan. Tujuan dalam arak-arakan pun ditentukan hingga kembali ke posisi awal pemberangkatan. Persiapan berikutnya, anak yang akan dikhitan dipersiapkan di dalam rumah, lengkap dengan pakaian adat Sunda. Bila anak yang akan dikhitan tidak hanya satu orang, tetapi hingga beberapa orang maka anak-anak tersebut tetap dipersiapkan memakai pakaian adat Sunda kemudian ditempatkan di dalam satu rumah. Rumah tersebut selanjutnya berfungsi sebagai tempat pelaksanaan khitanan yang dilakukan oleh tukang sunat. Setelah tukang sunat mempersiapkan berbagai perlengkapan yang nantinya dipakai untuk pelaksanaan khitanan, seni Bangbarongan pun dipersiapkan untuk acara arak-arakan. Dalam persiapan arak-arakan, ada struktur yang harus dilalui hingga akhir pertunjukan, yaitu: a. Pra-Bubuka/Nyuguh (Prapembukaan) Beberapa hari sebelum pertunjukan dimulai, seluruh alat musik/waditra dan properti Benjang Helaran (kuda lumping, kuda kepang, kedok, badud, cemeti, umbul-umbul berwarna merah putih, dan bangbarongan) dikumpulkan di suatu tempat atau ruangan kosong dengan dilengkapi sasajen (dalam bahasa Sunda yang berarti sesajian). Acara ritual ini disebut nyuguh (dalam bahasa Sunda yang berarti jamuan) yang dipimpin oleh seorang malim (dalam bahasa Sunda yang berarti sesepuh Benjang) yang memegang kanjut kundang serta mempunyai kemampuan untuk ngajadikeun dan nyageurkeun pada saat acara puncak seni Bangbarongan.
Malim
berfungsi
untuk
memimpin
rombongan
Benjang
Helaran/Bangbarongan yang dihadirkan dengan maksud untuk memohon keselamatan agar pertunjukan pergelaran seni tersebut berjalan sesuai dengan harapan. Acara nyuguh ini, menurut Anto, seiring perkembangan zaman telah mengalami perubahan. Dahulu, acara nyuguh dilakukan tujuh hari sebelum hari pertunjukan dan
dilakukan di tempat-tempat yang dianggap keramat, seperti Situs Mbah Dalem Gordah yang terdapat di Kompleks Pemakaman Pasarean Pasir Jati, Mbah Garut yang terdapat di Kompleks Pemakaman Kampung Cigupakan, dan Dema Luhur yang terdapat di Kompleks Pemakaman Kampung Palintang Kecamatan Ujungberung. Tempat-tempat keramat tersebut kerap juga dikunjungi oleh para jawara (dalam bahasa Sunda yang berarti pendekar) Benjang yang akan berlaga pada acara Benjang Gelut dengan maksud untuk meminta berkah agar diberi kekuatan sehingga tidak akan mengalami cedera yang cukup berarti saat mengikuti acara tersebut (Wawancara, April 2011). Sesaji yang biasa disediakan adalah telur ayam, surutu (dalam bahasa Sunda yang berarti cerutu), air kopi pahit, rujak, pisang dan roti, gula merah atau gula batu, menyan (dalam bahasa Sunda yang berarti kemenyan), rokok supiah (supiah merupakan salah satu jenis nama produk atau merek rokok seperti halnya rokok gudang garam coklat yang dikenal dengan garcok), dawegan (dalam bahasa Sunda yang berarti kelapa muda), lisah seungit (dalam bahasa Sunda yang berarti minyak wangi), dan minyak kelapa. Adapun, sesaji berupa daging mentah, bakakak ayam, beras, dan pisang kapas, tidak semua kelompok benjang helaran menggunakannya. Semua sesaji tersebut disimpan dalam sebuah nyiru (dalam bahasa Sunda yang berarti nampan bambu yang umumnya dipakai untuk menampi beras). b. Bubuka Tetabah atau tabuhan pembuka diawali dengan suara terebang sebagai pangkatnya, tanpa menabuh waditra (dalam bahasa Sunda yang berarti alat musik) bedug. Pola tabuhan biasanya memainkan tema lagu Rincik Manik. Pola tabuhan itu digunakan sebagai pengiring saat anak yang akan dikhitan tengah dimandikan kemudian dihias dengan menggunakan busana khusus untuk anak khitan. Acara memandikan anak khitan tersebut biasanya dipimpin oleh malim (dalam bahasa Sunda yang berarti pimpinan rombongan kesenian Benjang
Helaran) dengan membacakan doa-doa keselamatan bagi si anak khitan sambil memegang kanjut kundang, yaitu sejenis kantong kain dengan ukuran kecil. Setelah acara itu selesai, alat musik tabuhan mulai memasukkan bunyi dari waditra bedug. Seiring dengan hal tersebut, berbagai unsur dalam properti Benjang Helaran berupa bangbarongan, kuda kepang, dan kuda lumping, ditaruh di tengah arena pertunjukan di depan para nayaga (dalam bahasa Sunda yang berarti penabuh waditra).
Gambar 4.8 Persiapan Menuju Atraksi Benjang Helaran/Bangbarongan Sumber: Dokumentasi Penulis, Juli 2011
Gambar 4.9 Persiapan Menuju Atraksi Benjang Helaran/Bangbarongan Sumber: Dokumentasi Penulis, Juli 2011