IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kecamatan Terisi secara geografis terletak pada 108o 04’-108o 17’ bujur
timur dan 6o36’-6o48’ lintang selatan memiliki luas wilayah 174,22 km 2 yang terbagi untuk perkantoran, perumahan, area persawahan, dan perhutanan. Wilayah kecamatan terisi sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Losarang, sebelah timur
dengan kecamatan Cikedung, sebelah selatan dengan kabupaten
Majalengka dan Sumedang, sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Kroya dan kecamatan Gabus wetan. Secara topografi kecamatan Terisi merupakan daerah landai dengan suhu berkisar antara 22,9o – 30o C dan kelembaban 70% 80%. Kecamatan Terisi mempunyai 9 desa yaitu Cikawung, Jatimunggul, Plosokerep, Cibereng, Rajasinga, Karangasem, Kendayakan, Jatimulya, dan Manggungan. Desa dengan jumlah kepadatan penduduk rendah berada pada desa Cikawung dengan luas wilayah 72,71 km2 (Nuradi, 2014). Desa Cikawung sebagai tempat penelitian dapat dijadikan sebagai wilayah penghasil bibit sapi potong, khususnya sapi lokal seperti sapi Peranakan Ongole, dan sapi Pasundan. Peternakan di daerah ini masih menggunakan sistem tradisional dengan menggunakan pola pemeliharaan semi intensif yaitu dengan menggembalakan ternak di padang penggembalaan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari. Berdasarkan kondisi geografis di daerah ini dengan daya dukung hijauan tanaman pakan yang tersedia dengan memanfaatkan lahan tumpang sari hutan jati (buffer zone) dengan pakan hijauan (rumput dan
27 leguminosa), tanaman pangan (jagung, padi, dan umbi-umbian), hortikultura (cabai, dan tanaman sayur lainnya), dan buah-buahan (manga, pisang, dan linlain). Desa Cikawung dusun Sukasari kecamatan Terisi ini berpotensi menjadi pusat pengembangan bibit sapi potong di
pedesaan Village breeding center
(VBC).
4.2.
Karakteristik Sapi Pasundan Sapi pasundan sebagai sapi lokal yang baru diresmikan rumpunnya oleh
Direktorat Pembibitan mempunyai standar karakteristik, yaitu secara fenotip sapi Pasundan memiliki warna hidung dan warna pada ujung ekor hitam, warna tubuh merah bata atau merah tua, kepala kecil, tanduk kecil mengarah ke dalam, pada bagian perut (abdomen), gendis (thick) dan kaki (tarsal, metatarsal, carpus dan metatarsus) berwarna putih
dan sebagian memiliki garis belut di sepanjang
punggung. Pada jantan memiliki kemiripan fenotip eksterior dengan betina, namun warna tubuh sebagian agak gelap. Sapi Pasundan mempunyai 2 tipe jenis yaitu sapi pasundan tipe bergumba/berpunuk dan non gumba/punuk. Hal ini diakibatkan dari asal-ususl genetik dari sapi Pasundan berasal dari perkawinan antar bangsa sapi yang berbeda (cross breeding) dari sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa, dan sapi Peranakan Ongol kemudian keturunannya terjadi inbreeding selama sepuluh keturunan sehingga menghasilkan performa ukuran tubuh yang kecil (Indrijani dkk, 2013). Tipe bergumba diakibatkan dari darah Bos indicus dan untuk tipe non gelambir dipengaruhi oleh sapi Bali atau banteng Jawa yang merupakan sapi asli Indonesia (Bos sondaicus). Karakteristik sapi Pasundan secara tampilan fenotip mempunyai bentuk performa yang dipengaruhi oleh darah sapi Bali, sapi Madura,
28 dan sapi Peranakan Ongol. Sebagai langkah awal pengembangan populasi sapi Pasundan perlu dilihat secara intra genetiknya dengan menganalisis pola pita Protein albumin yang dijadikan sebagai biomarker.
4.3.
Pola Pita Protein Albumin Sapi Pasundan Keragaman pola pita protein darah disebabkan oleh keragaman gen-gen
yang mengatur sifat-sifat yang diekspresikan oleh pita-pita protein, sedangkan banyak kelompok keragaman bentuk protein darah menunjukan keragaman protein darah (Tjahjaningsih, 1991). Kajian tentang biomolekuler diharapkan dapat menggali informasi mengenai pola pita protein dari sapi Pasundan di Village Breeding Center (VBC) dengan cara menganalisis hasil dari elektroforesis vertical. Menurut Wongsosupatio (1992) menyatakan bahwa Elektroforesis dapat menentukan polimorfisme protein yang didasarkan pada mobilitas molekul di dalam suatu medan listrik yang ditentukan oleh ukuran, bentuk, besar muatan dan sifat kimia molekul. Hasil pola protein berupa band atau pita yang dapat diukur jarak migrasinya. Jarak migrasi adalah letak pita protein setelah dilakukan elektroforesis sistem vertikal sehingga dapat diketahui polimorfisme protein. Setiap molekul protein yang dikode oleh gen dengan gen berbeda akan mempunyai berat molekul serta muatan yang berbeda sehingga mobilitas dari anoda (kutub positif) ke arah katoda (kutub negatif) dalam gel elektroforesis juga berbeda. Protein dengan berat molekul tinggi tetapi muatan positifnya banyak akan bergerak lambat dan sebaiknya apabila berat molekulnya rendah tetapi muatan negatifnya sedikit maka gerak atau mobilitasnya semakin cepat dan hal ini akan menghasilkan gambaran susunan genotipe serta gen dari setiap individu sapi dalam suatu populasi (Maeda dkk, 1980 dalam Aminah 2005).
29 Berikut ini merupakan pola pita protein albumin darah hasil dari elektrforesis sistem vertikal dengan menggunakan Bovine Serum Albumin (BSA) dari sapi Pasundan di desa Cikawung dusun Sukasari kecamatan Terisi kabupaten Indramayu Jawa Barat.
Gambar 1. Pola Pita Protein Albumin Sapi Pasundan Village Breeding Center Kecamatan Terisi dengan Metode Elektroforesis Vertikal Polyacrilamide Gel Electrophoresis (PAGE)
Dari gambar diatas dapat dilihat terdapat 3 lokus dan 3 bentuk genotip protein albumin yang dapat diilustrasikan oleh gambar dibawah ini :
Gambar 2. Ilustrasi Pola Pita Albumin Sapi Pasundan Berdasarkan Hasil Gambaran Polyacrilamid Electrophoresis
30 Keterangan : Penetapan lokus pita protein albumin darah pada sapi Pasundan berdasarkan jarak kemunculan ukuran pita/band :
Lokus A : berjarak 15 mm. Lokus B : berjarak 17 mm. Lokus C : berjarak 21 mm.
Sedangkan hasil elektroforesis protein Albumin darah pada sapi Pasundan dengan sampel 10 sapi menunjukan 3 pola pita sebagai berikut :
Gen AA : tipe homozigot berjarak 15/15 mm (2 sapi). Gen BB : tipe homozigot berjarak 17/17 mm (1 sapi). Gen BC : heterezigot dengan jarak 17/21 mm (7 sapi).
Tabel 1. Karakteristik Pola Pita Protein Albumin Sapi Pasundan No.
Gen Lokus Protein Albumin
Alb 1. AA 2. BB 3. BC Jumlah
Jarak migrasi mm 15/15 17/17 17/21
Jumlah kemunculan N 2 1 7 10
Hasil penelitian pada 10 sampel sapi Pasundan di VBC kecamatan Terisi, menunjukan 3 sebaran pita lokus albumin (Alb) yaitu alel A, alel B, dan alel C. Sebaran lokus tersebut sama dengan sebaran genotipik alel albumin pada sapi Jawa oleh johari, dkk (2007) bahwa sapi Jawa memiliki 3 sebaran genotipik alel albumin, yaitu Alb A, Alb B dan Alb C. Alel A memiliki karakteristik bergerak lambat ke arah kutub negatif (katoda) dibandingkan dengan alel B, lebih lanjut alel C bergerak lebih cepat dibandingkan dengan alel-alel albumin yang lain. Berdasarkan gambar hasil elektroforesis protein albumin sapi Pasundan, tidak berbeda yaitu posisi pita/band alel Alb A paling dekat dengan kutub positif (anoda), diikuti pita/band alel Alb B berjarak tidak terlalu jauh dengan pita alel Alb A yang tepat berada di bawahnya, dan pita alel Alb C mempuyai jarak yang
31 paling jauh. Penentuan genotip yang diidentifikasidari pita lokus albumin hasil elektroforesis BSA sapi Pasundan berdasarkan jarak migrasi dari anoda ke permukaan pita/band lokus protein yang muncul dari setiap sampel. Berdasarkan bentuk dan kecepatan migrasi molekul lokus pita gen Alb A sebesar 15 milimeter, lokus pita gen Alb B sebesar 17 milimeter, dan lokus pita gen Alb C sebesar 21 milimeter. Perbedaan jarak migrasi tersebut disebabkan oleh ukuran/berat molekul protein tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Sumitro dkk. (1996) bahwa pada saat elektroforesis berlangsung, protein (molekul) akan bergerak menuju elektroda positif sampai pada jarak tertentu pada gel poliakrilamid yang tergantung pada berat molekulnya. Semakin kecil berat molekulnya maka semakin jauh pula protein bergerak atau mobilitasnya tinggi. Protein dengan berat molekul tinggi atau lebih besar, sebaliknya akan bergerak pada jarak yang lebih pendek atau mobilitasnya rendah. Adanya perbedaan tersebut menurut Plummer (1979) sebagai akibat adanya perbedaan struktur primer protein karena disandikan oleh gen yang berbeda. Selain itu protein merupakan produk langsung dari deret asam nukleotida suatu gen, sehingga adanya perbedaan tersebut dapat diputuskan sebagai akibat perbedaan genotipik antar kultivar yang diuji. Bentuk pola pita protein albumin dari hasil elektroforesis menunjukan pola pita dengan bentuk bervariasi yaitu heterozigot dan homozigot. Penentuan bentuk pita ditentukan berdasarkan kemunculan pita/band pada sampel yang diteliti. Menurut Arifin (2004) bahwa lokus protein yang ditunjukkan dengan gambar satu band pada satu sampel protein maka diasumsikan bahwa sampel tersebut merupakan homozigot dengan pasangan alel yang sama. Bila terbentuk lebih dari satu band maka diasumsikan bahwa protein tersebut adalah heterosigot dengan
32 pasangan alel yang berbeda. Hasil elektroforesis di wilayah penelitian menunjukan bahwa dari 10 sampel diperoleh tiga jenis bentuk pola pita protein albumin yakni 3 dari seluruh sampel penelitian yaitu sampel 4, 9, dan 10 kemunculan pita hanya satu sehingga gen dan genotipnya sama yaitu pada sampel 4 lokus gen B dengan genotip alel Alb BB, dan lokus gen A untuk sampel 9 dan 10 dengan genotip alel Alb AA merupakan bentuk homozigot. Bentuk dari tujuh sampel lainnya merupakan heterezigot dengan kemunculan dua pita alel protein albumin (Alb) berbeda yaitu alel B dan alel C. Persentase kemunculan bentuk pita heterezigot dari semua sampel didapatkan alel heterezigot Alb BC sebesar 70% dan alel homozigot Alb AA 20%, dan Alb BB 10%. Hal ini menandakan bahwa pola pita potein albumin dari sapi Pasundan di Village Breeding Center kecamatan Terisi adalah polimorfik dengan ditemukannya 3 pola pita albumin, dan tipe genotip heterozigot jumlahnya lebih tinggi dibandingkan dengan genotip homozigot. Sebagai pembanding dalam penelitian dapat dilihat pula pola pita protein albumin sapi Jawa pada penelitian Aminah (2005) :
Sumber : (Aminah, 2005) Gambar 3. Pola Pita Protein Albumin Darah dari Sapi Jawa (N = 30)
33 Berdasarkan penelitian Aminah (2005), tentang pola protein albumin darah pada sapi Jawa dengan menggunakan sampel 30 sapi didapatkan sebaran Alb BB 15 sapi, Alb BC 5 sapi, AA 1 sapi, sisanya terdiri dari Alb AC (6 sapi), Alb AB (3 sapi). Gambaran dari pola pita protein albumin antara sapi Pasundan dan sapi Jawa terdapat kemiripan pada sebaran alel B lebih banyak dari sebaran alel lainnya di kedua sapi. Berdasarkan asal-usul genetiknya menurut Sutopo dkk (2001), sapi Jawa merupakan turunan dari Bos sondaicus yaitu sapi Bali yang merupakan sapi asli Indonesia dan Bos indicus (Zebu) seperti sapi Ongole. Berdasarkan Indrijani dkk, (2013) bahwa Sapi Pasundan ini mempunyai 2 tipe jenis yaitu sapi Pasundan tipe bergumba/berpunuk dan non gumba/punuk. Hal ini diakibatkan dari asal-ususl genetik dari sapi Pasundan berasal dari perkawinan antar bangsa sapi yang berbeda (outbreeding) dari sapi Bali, sapi Madura, sapi Jawa, dan sapi Peranakan Ongol kemudian keturunannya terjadi inbreeding selama sepuluh keturunan sehingga menghasilkan performa ukuran tubuh yang kecil.