Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
1 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
2 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
1.1.
Latar Belakang Keberadaan manusia saat ini hampir seperti sudah tidak dapat dipisahkan
dengan konteks dunia perkotaan. Sayangnya, urbanisasi terhadap lingkungan perkotaan seringkali dijadikan “tersangka“ yang bertanggung jawab atas permasalahan-permasalahan baik sosial maupun lingkungan yang terjadi. Terdapat kemungkinan bahwa efek-efek yang merusak tersebut terjadi akibat adanya hubungan yang tidak harmonis antara budaya bekerja masyarakat perkotaan tersebut dengan lingkungan alam di sekitarnya. Inilah yang mendasari mengapa masyarakat perkotaan tetap membutuhkan kedekatan yang harmonis terhadap lingkungan alami yang menyehatkan. Salah satu solusi pemenuhan kebutuhan ini tidak lain adalah taman kota. Taman kota sebetulnya merupakan sebuah ruang terbuka yang dapat mengintegrasikan antara lingkungan, masyarakat, dan kesehatan di lingkungan perkotaan dengan mempromosikan sebuah pendekatan ekologis terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia yang didasari pada kontak dengan alam. Selain itu, taman kota juga bermanfaat secara lingkungan, estetis, rekreasi, psikologis, sosial, serta ekonomis bagi masyarakat perkotaan. Namun idealisme mengenai konsep awal pembentukan taman kota ini tampaknya sudah semakin kurang disadari oleh masyarakat perkotaan masa kini. Untuk itu diperlukan adanya suatu pemahaman
3 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
kembali mengenai peran penting taman kota yang diperuntukkan bagi seluruh komponen masyarakat kota. Pemahaman kembali ini, yang terwujud dalam konsep reposisi taman kota, tidak saja hanya sebatas wacana komunikasi saja, melainkan juga melalui pendidikan lingkungan serta pemfasilitasan melalui perancangan taman kota tersebut. Di dalam proses reposisi taman kota juga diperlukan adanya penyesuaian terhadap konteks nilai-nilai lokal budaya masyarakat perkotaan setempat, sehingga nantinya dapat menghasilkan perancangan taman kota yang optimal. Kesemua proses ini pada akhirnya diharapkan dapat menjadikan taman kota sebagai ruang publik yang dapat membentuk budaya sehat kolektif bagi masyarakat perkotaan di Indonesia. Hubungan keterkaitan antara manusia dengan kota seperti sudah tidak bisa lagi dipisahkan saat ini. Keberadaan manusia hampir selalu menyatu dengan konteks dunia perkotaan. Sejak tahun 2007, sudah lebih dari 50% populasi manusia di dunia yang tinggal di wilayah perkotaan. Hal ini tentu telah menjadi peristiwa yang cukup penting dalam peradaban manusia mengingat wilayah angka prosentase populasi tersebut hanyalah sebesar 2% pada periode awal abad ke 19; serta meningkat menjadi 14% pada awal periode awal abad ke 20 dan 30% sejak periode tahun 1950. Wilayah perkotaan, yang hanya memiliki luas 3% dari permukaan bumi namun menampung lebih dari separuh populasi dunia, telah menjelma menjadi pusat dari transformasi budaya sosial, mesin pertumbuhan ekonomi, serta tempat terciptanya inovasi dan pengetahuan (Wu, 2009). Satu hal yang telah menjadi budaya manusia yang universal saat ini, yaitu manusia rela berbondong-bondong untuk tinggal dan bekerja di wilayah perkotaan demi mendapatkan taraf kehidupan yang lebih baik.
4 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
Jika kita melihat sejarah peradaban manusia, dapat dikatakan bahwa kejadian di atas disebabkan oleh fenomena industrialisasi. Industrialisasi seperti telah menjadi pusat dari segala kegiatan manusia; dimana industrialisasi ini telah menciptakan pergeseran budaya yang sebelumnya adalah agraris, sehingga menyebabkan pergeseran dari pertanian ke industri dan dari perdesaan ke kota. Proses industrialisasi ini kerap kali praktis merupakan inti dari economic development, bahkan pembangunan atau perkembangan perekonomian sering diidentikan dengan industrialisasi (Rahardjo dalam Priyadi, 2008); sedangkan urbanisasi adalah salah satu bagian dari proses industrialisasi yang tak dapat dihindarkan (Todaro dan Jerry dalam Priyadi, 2008). Dibalik segala lika-liku fenomena industrialisasi tersebut, urbanisasi terhadap lingkungan perkotaan –ekspansi spasial secara padat dari lingkungan terbangun oleh manusia dan segala kegiatan sosio-ekonomi mereka –telah seringkali dijadikan “tersangka“ yang bertanggung jawab atas permasalahan-permasalahan baik sosial maupun lingkungan yang terjadi akibat dari proses budaya yang baru tersebut (Wu, 2009). Menurut Dascălu (2007) di dalam jurnalnya menuliskan bahwa budaya “bekerja“ yang terjadi di dalam lingkup konteks perkotaan ini sudah banyak membawa efek-efek yang merusak kehidupan perkotaaan itu sendiri; diantaranya adalah terjadinya area urban yang terpolusi yang dikenal dengan nama “megapolis“, area terbangun maupun area alami yang mengalami degradasi, destrukturalisasi sosial, banyaknya penyakit fisik ataupun psikis (stres) yang dialami, rasisme dan agresivitas yang berlebihan, keserakahan dan kemiskinan, serta banyak hal lainnya. Terdapat kemungkinan bahwa efek-efek yang merusak tersebut terjadi akibat adanya hubungan yang tidak harmonis antara budaya “bekerja“ masyarakat 5 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
perkotaan tersebut dengan lingkungan alam di sekitarnya. Seperti yang diungkap oleh Byrne dan Wolch (2009) tentang beberapa ahli lingkungan yang telah menyadari bahwa setiap permasalahan perkotaaan, terutama permasalahan sosial, mempunyai akar permasalahan yang terkait dengan lingkungan (konteks ekologis). Kehidupan masyarakat perkotaan akan lebih berkualitas, lebih “sehat“, lebih bermoral, lebih berjiwa sosial, lebih bijaksana, serta lebih pintar apabila dihadapkan dengan lingkungan sekitar yang tepat dan serasi; hal yang bertolak belakang apabila kehidupan tersebut dihadapkan dengan lingkungan yang kurang serasi, dimana besar kemungkinan akan mengundang gaya hidup melankolia dan korup yang berlebihan (Byrne dan Wolch, 2009). Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Fromm (dalam Priyadi, 2008) yang melihat dampak kapitalisme yang umum terjadi di perkotaan menimbulkan keadaan masyarakat tidak sehat, karena ada kecenderungan masyarakat selalu minta lebih banyak lagi (acquisitive society). Sejalan dengan kegiatan yang dilakukan oleh TNI dalam rangka melestarikan lingkungan hidup yaitu Toba Go Green, Pemerintah Kabupaten Toba Samosir melalui Bappeda juga melakukan perencanaan untuk Program Pengelolaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan Kegiatan : Penyusunan Program Pengembangan RTH. Balige yang menyandang berbagai predikat yaitu sebagai Ibu Kota Kabupaten Toba Samosir dan juga sebagai Pusat Kegiatan Wilayah dalam RTRWN perlu untuk lebih ditata khususnya dalam hal RTH. Penanganan/pengelolaan Taman sebagai bagian dari RTH di kota Balige selama ini dirasa masih kurang optimal baik dari segi lokasi, jumlah maupun pemeliharaan taman yang ada. Diawali dari kegiatan ini, harapan ke depan jumlah taman di Kota Balige dapat tumbuh secara signifikan dengan pemeliharaan yang baik oleh SKPD dan 6 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
seluruh stakeholder. Mengingat keterbatasan anggaran dan banyaknya wilayah yang masih sangat membutuhkan pengembangan fasilitas RTH khususnya di IKK, maka perlu dilakukan suatu prioritas pelaksanaan program yang disusun dimana untuk tahun ini adalah PENYUSUNAN RENCANA TAMAN TAMAN DI BALIGE (BALIGE GO GREEN). 1.2.
Maksud Dan Tujuan Maksud kegiatan ini adalah Tersedianya Rencana Taman Taman di Balige
(Balige Go Green). Tujuan yang hendak dicapai dari kegiatan ini adalah: a)
Terciptanya dokumen perencanaan konsep taman kota
b) Menjadikan KOTA BALIGE GO GREEN (Balige Kota Penuh Taman) 1.3.
Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah : • Tersedianya dokumen perencanaan untuk pembuatan dan pengelolaan taman di Kota Balige yang melibatkan Pemerintah, Swasta dan Masyarakat. • Tersedianya acuan program pembuatan taman yang berupa detail desain sesuai kebutuhan. 1.4.
Manfaat Kegiatan Penyusunan Rencana Taman Kota Balige (Balige Go Green)
memberikan manfaat yang akan diperoleh adalah sebagai berikut : a) Tersedianya data awal sebagai bahan dasar dalam Penyusunan Rencana Taman Kota Balige (Balige Go Green).
7 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
b) Meningkatnya keasrian kota Balige melalui pembangunan Taman Taman Di Balige (Balige Go Green) yang diharapkan dapat mendukung kepariwisataan di Kabupaten. Toba Samosir. 1.5.
Landasan Pekerjaan
Kegiatan dilaksanakan dengan mempedomani dan memenuhi kriteria serta peraturan-peraturan yang digariskan sesuai kebutuhan. 1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. 2) Permen PU No. 05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. 3) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup: Kep. 55/Men.LH/11/1995 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Regional. 4) Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesbilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan. 5) Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan terhadap bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan. 6) Petunjuk Teknis Perencanaan dan Penyusunan Program Jalan Kabupaten (parameter bangunan dari standard perencanaan) Jalan dan Jembatan dari Direktorat Jenderal PU Bina Marga, tahun 1990. 7) SK.No.77/KPTS/Db/1990, edisi Januari 1995, Bagian A: Gambaran Umum 8) SK.No.77/KPTS/Db/1990, edisi Januari 1995, Bagian B: Pedoman Prosedur 9) PP.No.26/1985, tentang Wewenang Pembinaan Jalan 10) PP.No. 43/1993(pasal 11), tentang Kelas Jalan 11) Jalan, No.038/T/BM/1997, Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Raya. 8 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
12) Kriteria Desain ditunjang dengan: ▪
Gambar-gambar standard perencanaan
▪
Persyaratan pengukuran, (PT-02)
13) KAK (Kerangka Acuan Kerja)
9 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
2.1. Penataan dan Perencanaan Ruang Menurut Undang-Undang No.26 Tahun 2007 pasal 1 tentang penataan ruang disebutkan bahwa ruang adalah wadah ya ng meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang laut sebagai wujud fisik dalam
dimensi geografis, penataannya dapat
dipandang sebagai suatu rangkaian proses perencanaan pengaturan tata ruang secara efektif dan efisien yang ditetapkan dan dikendalikan dengan fungsi utama untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya. Untuk suatu daerah (provinsi dan kabupaten/kota), kewenangannya yang menca kup hingga 12 mil dari garis pantai, umumnya merupakan luasan dari wilayah pesisir. Dengan demikian, pengaturan ruang laut daerah dapat dicakup dalam suatu kesatuan penat aan ruang pesisir. Sedangkan tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Penataan ruang dimaksudkan untuk membenahi penggunaan lahan yang sedang berjalan dengan tujuan meningkatkan efisiensi sehingga keluaran yang diharapkan adalah yang terbaik dalam dimensi kurun waktu dan ruang tertentu. Dengan demikian secara transparan dalam peta skala tertentu, sesuai menurut kepentingannya dapat dilihat zonasi lahan menurut peruntukkannya, antara la in kehutanan, pertambaka n, 10 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
pemukiman, sawah, kawasan industri, perkebunan, kawasan wisata dan kawasan fasilitas umum yang dapat diartikan sebagai penatagunaan sumber alam (Haerumen, 1996). Secara umum, perencanaan ruang adalah suatu proses penyusunan rencana tata ruang untuk meningkatkan kualit as lingkungan hidup, manusia, dan kualitas pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang tersebut dilakukan melalui proses proses dan prosedur penyusunan serta pene tapan rencana tata ruang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta mengikat semua pihak (Darwanto, 2000). Formulasi konsep tata ruang berdasarkan unit areal konkrit; fungsionalitas di antara fenomena dan subyektifitas dalam pe nentuan kriteria (Budiharsono, 2002).Latar belakang inilah yang mendasari mengapa masyarakat perkotaan tetap membutuhkan kedekatan yang harmonis terhadap alam –lingkungan alami yang dianggap ”menyehatkan“. Kebutuhan yang dapat dikatakan bersifat ekologis ini telah menjadi salah satu kebutuhan yang umum terutama bagi masyarakat perkotaan modern saat ini – kebutuhan manusia sebagai bagian dari alam, untuk dekat dengan alam, berada pada suatu “ruang” yang beratapkan langit (Nasution, 2003). Kemunculan fenomena kebutuhan ekologis ini seakan sudah menjadi bagian dari kebudayaan baru sebuah kota modern. Semakin tinggi tingkat urbanisasi yang terjadi, akan semakin tinggi pula tingkat kebutuhan ekologis masyarakat kota tersebut –kebutuhan untuk dapat berekreasi di ruang terbuka hijau yang dianggap menyehatkan serta dapat mengurangi beban stres pekerjaan sehari-hari mereka (Casagrande, 2001). Kebutuhan ekologis ini menyebabkan peran dari arsitektur lanskap perkotaan menjadi sangat penting terhadap budaya masyarakatnya –dimana arsitektur lanskap
11 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
diharapkan dapat membawa atau memasukkan budaya perkotaan sebagai bagian yang harmonis dan sinergis terhadap alam. Sehingga pada akhirnya, kualitas lanskap perkotaan ini dapat memiliki kemampuan untuk memperbaiki, melindungi, serta merehabilitasi ruang-ruang perkotaan; yang dapat membuat hubungan antara komponen-komponen perkotaan dengan ruang di sekitarnya menjadi lebih baik; dan yang dapat memberi kehidupan serta makna yang baru terhadap ruang-ruang terbangun yang “berjiwa kosong” (Dascălu, 2007). Contoh tipologi yang paling umum dari infrastruktur lanskap yang dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan ekologis ini tidak lain adalah taman kota (urban park). Pada awal konsep mengenai taman kota (yang bersifat publik) ini diperkenalkan, tipologi ini dirancang sebagai “tempat pelarian“ warga kota dari kehidupan bekerjanya sehari-hari dimana tempat ini memiliki kualitas estetis dalam mensimulasikan sebuah lingkungan yang terdapat pada area rural –dimana suasana daerah rural yang dikelilingi oleh lingkungan alami yang masih asri tersebut diyakini dapat memberikan kesan romantisme serta dipercaya dapat memberikan efek pembangkit ataupun penyehat bagi jiwa manusia (Low dkk., 2005). Manfaat taman sebagai pemberi efek yang menyehatkan juga diungkapkan lebih lanjut oleh Rohde dan Kendle (dalam Maller, 2009) yang menyatakan bahwa ketika taman kota dirancang untuk pertama kali pada abad ke 19 di Amerika, pemerintah kota saat itu percaya akan keuntungan-keuntungan kesehatan yang ditimbulkan dari adanya ruang terbuka hijau –dimana manfaat dari taman kota tersebut diantaranya adalah dapat mengurangi penyakit, kriminal, dan kegelisahan sosial; di samping menyediakan paru-paru hijau kota dan area rekreasi.
12 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
Taman kota merupakan bagian penting dari jaringan ekosistem kompleks perkotaan yang memberikan servis ekosistem secara signifikan –yang didefinisikan sebagai manfaat yang berasal dari fungsi ekosistem ruang terbuka hijau itu sendiri bagi manusia, baik langsung ataupun tidak langsung. Sebagai contoh, taman kota dapat menyerap emisi karbon dioksida dan menghasilkan oksigen, memperbaiki kualitas udara dan air, mengatur iklim mikro, mengurangi kebisingan, melindungi tanah dan air, mempertahankan keanekaragaman hayati, serta memiliki nilai rekreasi, budaya, dan sosial. Dapat dikatakan dengan lebih sederhana, taman kota bermanfaat secara lingkungan, estetis, rekreasi, psikologis, sosial, dan juga ekonomis (Loures dkk., 2007). Ini mungkin yang mendasari Frederick Law Olmsted, salah satu perancang lanskap yang pertama kali merancang taman kota, untuk dapat percaya akan kualitas restoratif dari alam dan bahwa taman kota dapat meningkatkan kesehatan, kemampuan, serta harapan akan umur hidup yang panjang masyarakat perkotaan (Lewis dalam Maller, 2009). 2.2. Permasalahan Yang Muncul Pada Taman Kota Di era modern sayangnya, idealisme-idealisme mengenai taman kota tersebut tampaknya sudah semakin kurang disadari oleh masyarakat perkotaan masa kini. Hal ini disebabkan kurangnya pendidikan masyarakat kota mengenai pentingnya keberadaan taman kota. Peluang penanaman idealisme ini juga akhirnya menjadi kecil dengan makin padatnya lingkungan perkotaan. Terkadang, terutama untuk kasus negara berkembang termasuk Indonesia, pesoalan urbanisasi menjadi semakin kompleks dengan terjadinya gejala urbanisasi berlebih (overurbanisasi) dan urbanisasi semu (pseudo-urbanization); dimana tingkat urbanisasi yang terjadi terlalu tinggi di atas tingkat industrialisasi yang dicapai oleh evolusi suatu 13 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
masyarakat (Nasikun dalam Priyadi, 2008). Di negara barat sendiri pun, taman kota di era modern seperti sudah kehilangan hubungannya dengan konsep taman kota yang dulu pertama kali dicetuskan –dimana penekanan taman kota pada saat sekarang lebih hanya disadari sebagai tempat untuk bersenang-senang di waktu luang, tanpa menyadari adanya fungsi ekologis serta efek menyehatkan dari taman tersebut (Rohde dan Kendle dalam Maller, 2009). Pada akhirnya, perancangan taman kota terkesan monoton dan “hasil jiplakan“ tanpa usaha yang berkelanjutan dari taman-taman kota sebelumnya. Pengguna dari taman kota tentu memiliki karakter yang berbeda baik itu dari konteks tempat lokasi, budaya, maupun waktu. Sebagai contoh, kita dapat melihat perbedaan antara budaya barat dengan timur. Pada konteks budaya barat, taman kota dirancang bagi aktivitas penggunanya lebih kepada hal-hal yang bertema bersenang dan berolahraga di waktu luang (Hariyono,2010). Sehingga dapat dikatakan taman kota pada budaya barat, dimana konsep taman kota ini pertama kali berasal, lebih menekankan pada aktivitas pengguna yang individualis atau berkelompok dalam jumlah yang sangat sedikit. Ini mungkin akan sangat mudah terlihat dari komponen sederhana dari taman kota tersebut, yakni seperti bangku taman. Bangku taman per area penempatannya pada konsep taman kota bergaya barat akan lebih cenderung hanya dapat menampung sebagian kecil jumlah manusia –pendekatan ini memang cocok untuk jenis aktivitas yang dilakukan seorang diri,berpasangan, atau berkelompok kecil; seperti merenung (kontemplasi), mengobrol dalam suasana yang tenang, bersantai menikmati sore hari, berjalan-jalan dengan binatang peliharaan, atau berolahraga (jogging atau bersepeda). Sedangkan
14 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
pada budaya timur, seperti di Indonesia khususnya, kebiasaan bersenang-senang yang bersifat individualis mungkin akan sangat jarang ditemukan. Bagi masyarakat timur pada umumnya, kebiasaan untuk memanfaatkan waktu luang adalah dengan berkumpul dalam tema kebersamaan dengan keluarga atau kerabat yang seringkali melibatkan jumlah yang cukup besar (Hariyono, 2010). Hal inilah yang menyebabkan konsep “alun-alun“ atau ruang terbuka komunal akan lebih cocok diterapkan walaupun konsep tersebut sebenarnya sudah berbeda tipologi dengan taman kota. Taman kota merupakan suatu konsep yang relatif baru bagi budaya timur yang dikenalkan oleh bangsa barat ketika terjadinya kolonisasi. Saat kolonisasi tersebut, bangsa barat membangun taman pada kota koloninya dengan tujuan menciptakan suasana taman kota seperti di negara asal mereka. Taman ini pada mulanya memang tidak diperuntukan bagi publik masyarakat kota, melainkan bagi kalangan-kalangan atas tertentu. Di Indonesia, beberapa contoh dari taman tersebut dapat kita temui pada kota-kota besar yang pernah menjadi koloni dari Belanda; seperti di Jakarta yang diantaranya adalah Waterloo Plein (Taman Banteng) dan Boorgermeester Bisschopplein (Taman Suropati); serta di Bandung yang diantaranya adalah Ijzerman Park (Taman Ganesha), Pieters Park (Taman Merdeka), Molukken Park (Taman Maluku), dan Insulinde Park (Taman Nusantara). Ketika
taman-taman
tersebut
dibangun,
konsep
taman
kota
yang
menyehatkan serta menaungi aktivitas penggunanya memang masih dapat dikatakan relevan, mengingat hampir sebagian besar penggunanya saat itu adalah orang-orang barat (Belanda) atau setidaknya orang-orang berpendidikan barat (west-educated). Situasi ini akan menjadi bermasalah ketika taman-taman kota tersebut mengalami 15 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
pergantian tipikal pengguna yang memiliki budaya yang bertolak belakang serta dalam periode waktu yang berbeda. Yang terjadi ketika taman kota dengan “rasa barat” ini digunakan oleh masyarakat biasa berbudaya timur adalah apa yang dinamakan sebagai pengkotakkotakan. Pengkotak-kotakan komunitas pengguna taman ini terjadi melalui beberapa tahapan mekanisme. Pertama, pengguna belum atau tidak mengetahui makna dari masing-masing fasilitas yang terdapat pada taman tersebut –dan memang mereka belum terbiasa serta belum mendapatkan pendidikan atau pengetahuan mengenai taman kota bergaya barat. Kedua, mereka kemudian memaksakan kebiasaankebiasaan beraktivitas yang berasal dari budaya mereka pada taman tersebut –ada yang merasa bermasalah dan ada juga yang tidak merasa bermasalah. Pada akhirnya, mereka yang merasa bermasalah dengan penyesuaian terhadap taman kota bergaya barat tersebut akan meninggalkan taman tersebut dan tidak akan mengunjunginya kembali –dan mereka pun kembali pada pola dan gaya hidup perkotaan yang polutif dan tidak sehat. Sedangkan bagi mereka yang tidak merasa bermasalah dengan proses penyesuaian tersebut, mereka akan melakukan hal-hal yang menurut mereka juga tidak merupakan masalah; seperti merusak tanaman (walaupun dalam skala yang kecil), membuang sampah sembarangan (karena mengangap akan ada pihak yang membersihkannya), menjadikan taman sebagai tempat tinggal dan tempat melakukan kegiatan ekonomi yang tidak berijin (karena menganggap itu hal yang diperbolehkan di suatu tempat publik), dan hal-hal yang tidak bertanggung jawab lainnya. Keadaan-keadaan di atas menyebabkan taman kota menjadi hanya dapat dinikmati oleh beberapa kalangan saja. Inilah yang dikhawatirkan oleh Solecki dan 16 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
Welch (dalam Maller, 2009) yang mengungkapkan bahwa jika tidak dikelola dan digunakan dengan semestinya, taman kota hanya akan menjadi sebuah “dinding hijau“ yang memisahkan komunitas (yang sebenarnya terdiri dari berbagai karakteristik etnik dan sosial-ekonomi), daripada menjadi sebuah tempat komunitas tersebut untuk dapat saling berinteraksi. Taman kota yang bermasalah seperti ini juga akan rentan terhadap terjadinya perebutan kepentingan di taman tersebut;baik oleh pemerintah, beberapa kelompok masyarakat, maupun oleh swasta –yang semua pihak merasa berhak dan menganggap dapat mengubah ruang publik tersebut menjadi sesuatu yang lebih berguna. Kekhawatiran ini juga diungkapkan oleh Fandeli dkk. (dalam Hariyono, 2010) yang menyebutkan bahwa terdapat kecenderungan ruang terbuka hijau nantinya akan semakin berkurang; dikarenakan terjadinya perebutan kawasan taman kota baik antara sektor publik dan privat, maupun antara masyarakat strata menengah bawah dan masyarakat strata atas. Laurie (1986) mengemukakan bahwa asal mula pengertian kata taman ( garden) dapat ditelusuri pada bahasa Ibrani gan, yang berarti melindungi dan mempertahankan; menyatakan secara tidak langsung hal pemagaran atau lahan berpagar, dan oden atau eden, yang berarti kesenangan atau kegembiraan. Jadi dalam bahasa Inggris perkataan “garden” memiliki gabungan dari kedua kata-kata tersebut, yang berarti sebidang lahan berpagar yang digunakan untuk kesenangan dan kegembiraan. Sedangkan menurut Djamal (2005), taman adalah sebidang tanah terbuka dengan luasan tertentu di dalamnya ditanam pepohonan, perdu, semak dan rerumputan yang dapat dikombinasikan dengan kreasi dari bahan lainnya. Umumnya dipergunakan untuk olah raga, bersantai, bermain dan sebagainya. 17 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
2.3. Asal Mula Konsep Taman Pembuatan taman yang dilakukan oleh para penguasa kuno dalam bentuk penataan lahan pertanian dengan variasi pengairannya merupakan wujud pengakuan akan keindahan alam. Pohon yang rindang, bunga warna-warni, aliran air, batu-batu dan berbagai elemen lain dianngap sebagai karunia alam yang memiliki nilai estetika tinggi. Bentuk-bentuk itu kemudian dibawa ke lahan pertaniannya untuk dijadikan taman yang setiap saat dapat dinikmati. Suatu konsep taman untuk kegiatan bersenang-senang barangkali berasal dari mitologi, mengingat rancangan dan susunannya nampak berasal dari praktek penanaman dan pengairan kuno. Sebagian besar kepercayaan-kepercayaan keagamaan di dunia melukiskan taman-taman atau firdaus pada permulaan zaman atau pada akhir kehidupan di muka bumi. Dalam Al Qur’an, keindahan taman sering digunakan dalam menggambarkan keindahan surga. Dari beberapa ayat di bawah ini, terlihat bahwa unsur air dan tanaman sangat dominan untuk membentuk keindahan taman. ”Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya”. QS Al Furqan (25):24. ”Dan dimasukkanlah orang-orang yang beriman dan beramal shaleh ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dengan seizin Tuhan mereka. Ucapan penghormatan mereka dalam surga itu ialah "salaam". QS Ibrahim (14):23. ”Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang takwa ialah (seperti taman), mengalir sungai-sungai di dalamnya; buahnya tak henti-henti, sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orang-orang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka”. QS Ar R’ad (13):35. 18 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
Dikemukakan oleh Laurie (1986), bahwa taman gantung Babilon merupakan contoh yang unik, dibangun di Lembah Sungai Efrat sekitar 3.500 SM. Monumen agung ini dikatakan menempati daerah seluas 4 acre dan meninggi bertingkat-tingkat ke atas dalam bentuk serangkaian teras-teras atap yang ditanami pepohonan dan diberi pengairan sampai ketinggian 300 kaki dari mana pemandangan-pemandangan lembah dan padang pasir di sekitarnya
dapat dilihat, seperti ditunjukkan pada
gambar berikut.
Sumber: dari berbagai sumber Gambar 2.1 Taman Babilonia
2.4. Taman dalam Skala Kota Taman dalam skala kota adalah sebuah ruang terbuka (open
space) dimana
didalamnya terdapat aktifitas. Taman sebagai ruang terbuka menjadi piliha n warga kota untuk bersa ntai atau bersenang –senang se cara individu atau kelo mpok. Awal abad ke19 dimana pada saat negara barat merupakan negara industri, taman diciptakan sebagai tempat untuk refresing secara fisik, moral, estetik dan ekonomi. Taman pada saat itu adalah ruang terbuka hanya terdiri dari pohon–pohon (vegetasi) dimana orang dapat menikmati kelegaan di luar kesibukan industri serta melakukan 19 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
perenungan. Pada dewasa ini taman tidak lagi hanya berfungsi sebagai open space , namun berkembang fungsinya menjadi lebih kompleks, berbagai macam tipe taman memberikan pola–pola aktifitas yang berbeda. a. Tipe pertama. Adalah taman yang fungsinya digabung dengan fasilitas olah raga, baik berupa lapangan terbuka dengan street furniture, jogging track, biking, dan olah raga lainnya.Taman menjadi sebuah places for play dan sport park. Taman jenis ini disebut sebagai Taman Aktif. Central Park di New York, Dunia Fantasi (Dufan) di Ancol-Jakarta serta Alun-alun di beberapa kota di Jawa, merupakan contoh taman aktif. b. Tipe kedua. Adalah dimana taman berfungsi sebagai sebuah taman rekreasi dengan fasilitas dan moda-moda penikmatan yang lengkap dan orang-orang membayar untuk menikmatinya. Penikmatan kepada rekreasi secara visual yang melibatkan
vista
pada tiap-tiap obyeknya. Pengunjung berjalan ketiap-tiap
obyeknya dan berhenti untuk melihat apa yang ada disana (pertunjukan), sehingga model taman rekreasi ini dapat dikategorikan sebagai “taman rekreasi pasif”. Bundesgaten Park, Cologne, Germany, sebuah contoh taman dengan penanganan aktifitas rekreatif yang sangat berbeda, pengunjung dapat menikmati taman dengan kereta gantung yang membawa pengunjung kesetiap bagian taman dan pengunjung dapat menikmati vista dari atas. Tiap-tiap obyek tujuan berupa gallery, panggung band, theatre, dan obyek lainnya yang
tidak memerlukan pelibatan tubuh
penontonnya. 2.5. Elemen Taman Elemen taman serta prinsip perancangan taman yang dibahas pada bagian ini lebih merupakan refreshing (penyegaran). Penjelasan yang lebih detail dapat dibaca 20 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
pada berbagai buku pertamanan, antara lain Buku Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap karya Rustam Hakim (2004).
Menurut Arifin (2006), dalam
perancangan taman perlu dilakukan pemilihan dan penataan secara detail elemenelemennya, agar taman dapat fungsional dan estetis. Elemen taman dapat diklasifikasikan menjadi: a. Berdasarkan jenis dasar elemen : 1) Elemen alami 2) Elemen non alami (buatan) b. Berdasarkan kesan yang ditimbulkan: 1) Elemen lunak (soft material) seperti tanaman, air dan satwa. 2) Elemen keras ( hard material) seperti paving, pagar, patung, pergola, bangku taman, kolam, lampu taman, dan sebagainya. c. Berdasarkan kemungkinan perubahan: Taman dalam skala besar (dalam konteks lansekap), memiliki elemen perancangan yang lebih beragam yang memiliki perbedaan dalam hal kemungkinan dirubah. Elemen tersebut diklasifikasikan menjadi: 1) Elemen mayor (elemen yang sulit diubah), seperti sungai, gunung, pantai, hujan, kabut, suhu, kelembaban udara, radiasi matahari, angin, petir dan sebagainya. 2) Elemen minor (elemen yang dapat diubah), seperti sungai kecil, bukit kecil, tanaman, dan sebagainya serta elemen buatan manusia. Beberapa prinsip desain yang harus diperhatikan dalam pembuatan taman adalah :
21 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
a) Tema, unity.
Penetapan tema yang terlihat dari adanya kesan kesatuan
(unity) merupakan upaya untuk memunculkan kesan utama, karakter atau identitas. Melalui unity yang terjadi, karakter taman dapat terlihat dengan jelas, misal memiliki karakter sebagai taman bermain, taman rumah, taman formal, taman tropis, dan sebagainya. b) Gradasi, variasi, repetisi. Pembuatan gradasi bertujuan untuk menimbulkan kesan gerak sehingga terkesan dinamis dan berirama. Hal ini akan mencegah kemonotonan. Contoh : warna hijau menjadi gradasi hijau tua ke hijau muda; bentuk bulat diolah menjadi berbagai variasi bulat, misal berdasarkan ukuran (kecil – besar), berdasarkan tekstur (halus – kasar) dan sebagainya. c) Kontras, penarik perhatian. Melalui pembuatan desain elemen tertentu yang memiliki kontras dengan elemen yang lainnya, akan menarik perha tian. Pemberian kontras ini akan memberikan kesan kejutan ataupun klimaks. Kontras, antara lain dapat
dibuat
dengan menerapkan:
menyolok; bentuk individual yang menarik; elemen yang
warna
yang
unik, misal
peletakan elemen tanaman pada lingkungan yang terdiri dari elemen buatan, dan sebagainya. d) Kontrol, balance, skala, sederhana. Prinsip desain ini mampu menjadi aspek penyeimbang, agar taman terkesan harmonis. Pada dasarnya desain merupakan pengaturan dan ekspresi dari elemen-elemen disain. Elemen des ain terdiri dari titik, garis, bentuk/pola, warna, tekstur, bunyi, aroma dan ge rak. Karakter/ sifat yang melekat pada elemen taman ditata berdasarkan prin sip –prinsip desain
22 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
2.6. Reposisi Taman Kota Dengan Memanfaatkan Nilai Budaya Lokal Dalam melakukan reposisi taman kota di Indonesia, pertama-tama diperlukan adanya pemahaman kembali oleh seluruh komponen masyarakat perkotaan mengenai peran penting taman tersebut di dalam memelihara, menjaga, serta meningkatkan kesehatan masyarakat perkotaan beserta lingkungannya (Maller, 2009). Sudah tentu di dalam proses reposisi taman kota ini juga diperlukan adanya penyesuaian terhadap konteks budaya masyarakat perkotaan tersebut. Namun seburuk-buruknya perlakukan manusia terhadap alam, tiap budaya manusia di dunia pada hakekatnya tetap memiliki “rasa hormat“ dan apresiasinya masing-masing terhadap alam –bahwa alam meresap dan adalah sangat penting dalam budaya manusia, seperti servis ekosistem memberikan sebuah nilai yang sangat penting bagi manusia, serta alam adalah salah satu pusat (centerpiece) dari budaya dan berakar sangat dalam pada manusia (Forman, 2008). Sehingga dengan demikian, perlu dipahami bahwa taman kota merupakan aset kota yang potensial dan merupakan sebuah katalis yang ideal; yang dapat mengintegrasikan antara lingkungan, masyarakat, dan kesehatan di lingkungan perkotaan dengan mempromosikan sebuah pendekatan ekologis terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia yang didasari pada kontak dengan alam (Maller, 2009). Tujuan dari reposisi taman kota ini nantinya tidak lain adalah untuk membentuk kembali budaya kolektif perkotaan yang lebih sehat dan sejahtera. Budaya ini juga diharapkan dapat menjadi budaya yang menghargai peran dan manfaat bentang alam yang terdapat di lingkungan perkotaan (landscape urban culture); sehingga budaya tersebut dapat memiliki kualitas seperti: kekuatan untuk menyatukan semua lapisan masyarakat yang berbeda dan kekuatan untuk 23 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
memberikan rasa kolektivitas serta saling memiliki kepada masyarakat (Dascălu, 2007). Konsep reposisi taman kota ini, dimana manajemen pertamanan kota diharapkan bertindak sebagai agen pelakasananya, sebenarnya dapat menerapkan rekomendasi-rekomendasi yang digagas oleh Maller dkk. (2009); yang rekomendasi tersebut diantaranya adalah sebagai berikut ini. a. Pengkomunikasian kepada pemerintah dan masyarakat kota secara luas bahwa: •
akses kepada alam melalui taman kota merupakan hal yang penting bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat perkotaan;
•
taman kota dapat berpotensi untuk mengurangi beban dari sistem perawatan kesehatan konvensional;
•
taman kota memfasilitasi kesehatan dan kesejahteraan melalui pendekatan ekologis yang menguntungkan; dan
•
taman kota dapat mengembalikan kembali sense of empowerment kepada masyarakat perkotaan.
b. Pendidikan kepada pemerintah dan masyarakat kota secara luas mengenai: •
pengaplikasian butir-butir di atas guna meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan;
•
pemasukan pengetahuan di atas ke dalam kebijakan kesehatan publik beserta promosinya;
•
pengkolaborasian hal-hal di atas demi tujuan bersama; dan
•
kebutuhan untuk memperluas dasar pengetahuan di area ini demi penyebaran di masa depan. 24 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
c. Pemfasilitasan hubungan antara komunitas masyarakat perkotaan dengan alam dalam upaya menghidupkan kembali pentingnya alam di dalam kehidupan manusia dan mengolah perilaku yang holistik dan berkelanjutan dalam berkehidupan yang menyehatkan, melalui: •
proses komunikasi dan edukasi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya;
•
eksplorasi yang kontinu terhadap manfaat dan kebaikan yang dapat diperoleh melalui kontak dengan alam; dan
•
pengembangan praktek-praktek manajemen pertamanan dan perancangan taman yang mendukung pertemuan komunitas masyarakat tersebut dengan alam.
Melihat
rekomendasi-rekomendasi
di
atas,
dapat
dicermati
bahwa
rekomendasi yang cenderung memerlukan penyesuaian dengan konteks budaya setempat adalah rekomendasi ketiga; yaitu penerapan konsep reposisi taman kota tersebut di dalam perancangan taman kota itu sendiri –tanpa mengurangi esensi dari rekomendasi pertama dan kedua. Akan sangat bijaksana jika proses “pemfasilitasan” di atas dapat mengangkat nilai-nilai lokal sehingga pada akhirnya keseluruhan proses dapat dijalankan dengan sempurna dan menghasilkan perancangan taman kota yang optimal. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, secara tradisional masyarakat perkotaan di Indonesia tidak mengenal konsep taman kota seperti yang dipahami pada masyarakat berbudaya barat sebagai taman yang digunakan untuk bersenangsenang yang bersifat individualistis. Sehingga untuk dapat mereposisi taman kota di Indonesia ini ada baiknya dilakukan pemetaan terhadap pengalaman tiap-tiap 25 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
komponen masyarakat melalui latar belakang budayanya (Hariyono, 2010). Masyarakat di Indonesia akan lebih senang memanfaatkan waktu luangnya dengan berkumpul secara komunal di ruang-ruang terbuka kota –seperti di alun-alun kota. Fenomena inilah yang seharusnya menjadi titik potensial dalam mereposisi taman kota di Indonesia. Disamping taman kota yang memiliki nilai ekologis yang tinggi, reposisi taman kota juga perlu memperhatikan orientasi nilai sosial yang mengutamakan kebersamaan, sehingga nantinya akan melahirkan perancangan taman kota yang memiliki fungsi sosial yang tinggi. Ada baiknya ruang-ruang yang tercipta di dalam taman kota yang berbudaya Indonesia memiliki sifat yang tidak jauh berbeda dengan konsep “alun-alun”; dimana pada konsep ruang terbuka yang dianggap cocok dengan budaya masyarakat lokal Indonesia tersebut memiliki sifat multifungsi – selain berfungsi sebagai wadah interaksi sosial dan budaya masyarakat, ruang tersebut juga dapat menjadi wadah kegiatan perekonomian, walaupun bersifat informal (Damajani, 2007). Dari uraian di atas, diketahui bahwa untuk masyarakat perkotaan di Indonesia masa kini, terdapat kemungkinan beberapa konsep yang dapat mendukung reposisi taman kota, yaitu: •
taman kota yang bukan untuk kesenangan individual –melainkan komunal;
•
taman kota yang memiliki fungsi sosial yang tinggi; dan
•
taman kota yang dapat menyediakan fungsi ekonomi –walaupun bersifat informal. Penerapan konsep-konsep pendukung ini pada perancangan sebuah taman
kota dapat diwujudkan mulai dari skala yang besar (perancangan tapak) sampai 26 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
kepada skala yang kecil (perancangan detail taman). Perwujudan dalam skala yang besar akan lebih mudah dilakukan ketika merencanakan, merancang, dan membangun suatu taman kota yang baru. Segala bentuk idealisme perancangan memang akan lebih mudah diterapkan dan diwujudkan pada suatu kondisi yang baru. Namun ketika “kondisi yang baru” ini sulit ditemukan di lingkungan perkotaan (dalam hal ini adalah lahan siap pakai), mungkin dikarenakan makin terbatasnya lahan terbuka di lingkungan perkotaan, maka proses pemfasilitasan dari konsep reposisi taman kota ini dapat dilakukan dengan perancangan kembali (redesign) beberapa komponen dari taman kota yang sudah ada dengan skala perancangan yang lebih kecil atau lebih detail. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian ketiga dari makalah ini, bangku taman merupakan salah satu komponen dari sebuah taman yang dapat menggambarkan budaya penggunanya. Sehingga di dalam mereposisi taman kota yang merespon budaya dari penggunanya, penyesuaian kembali komponen tersebut sebenarnya dapat dikatakan sebagai salah satu solusi yang mudah. Fasilitas bangku taman pada konsep taman kota bergaya barat cenderung memiliki kapasitas tampung yang kecil dan bersifat linier dengan akses visual yang luas (menyebar). Jika paradigma ini disesuaikan kembali dengan menerapkan konsep bangku taman yang memiliki kapasitas tampung yang lebih besar dan bersifat sirkular dengan akses visual yang terfokus pada pusat (seperti pada konsep amphitheater), maka niscaya kualitas sosial dari bangku taman tersebut akan meningkat. Konsep ini sebenarnya juga tidak membatasi pengguna dalam menikmati kualitas estetis dari taman tersebut yang dihiasi oleh pepohonan yang rimbun –baik itu menikmati secara visual maupun non-visual. 27 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
Kesemua proses di atas pada akhirnya diharapkan dapat menjadikan taman kota sebagai ruang publik yang dapat membentuk budaya sehat kolektif bagi masyarakat perkotaan di Indonesia. Sudah menjadi hal yang wajar jika di dalam proses perjalanannya konsep pemahaman kembali ini akan mendapat berbagai halangan dan kendala. Namun di era peradaban yang selalu menghendaki perubahan yang cepat dan yang kini juga mulai terjadinya perubahan kondisi alam secara global, kondisi hubungan manusia dan alam mau tidak mau harus mengalami perubahan yang lebih baik; dan mereposisi konsep taman kota merupakan sebuah solusi yang visible demi lingkungan perkotaan yang berkelanjutan. Dalam proses pembentukan budaya baru yang lebih baik ini sebenarnya tidak diperlukan adanya kekhawatiran yang berlebihan; ini dikarenakan terdapatnya sebuah kualitas mendasar dari tiap budaya manusia, yaitu budaya tersebut bisa dan dapat “dipelajari” (Dascălu, 2007).
28 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
3.1. Metode Pengamatan Penelitian
ini
memadukan
analisis
existing
dan
referensi
dengan
menggunakan data primer dan karakteristik pemanfaatan ruang serta komponen biofisik (vegetasi) menggunakan metode survei yaitu suatu metode penelitian deskriptif yang dilakukan terhadap sekumpulan objek yang cukup banyak dalam jangka waktu tertentu (Nasution, 2002) sehingga dihasilkan suatu model peta tematik. Data tematik yang dihasilkan diolah berdasarkan spasial untuk mencari kesesuaian pemanfaatan ruang di wilayah studi. Untuk menjawab tujuan dari penelitian ini ditentukan variabel-varibel yang diukur dan dianalisis. Adapun lingkup kajian dalam penelitian ini sebagai berikut : a) Identifikasi keruangan eksisting penggunaan lahan di kawasan Kota Balige; b) Menganalisis kesesuaian pemanfaatan ruang di kawasan Kota Balige secara spasial dengan atribut/parameter biofisik yang telah ditetapkan serta kesesuaian terhadap Rencana Tata Ruang Kabupaten Toba Samosir; c) Alternatif pengelolaan zona pemanfaatan ruang (prioritas) pada kawasan perkotaan Kota Balige yang terdiri dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan penyangga, zona pemanfaatan dan zona khusus.
29 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
3.2. Metode Pelaksanaan Kegiatan ini akan dilakukan secara swakelola yang didampingi oleh tenaga ahli. Sebagian kegiatan akan berupa pengumpulan berbagai data inventarisasi serta pengukuran lokasi Taman di Kota Balige. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan dengan: 1.
Penentuan lokasi kegiatan : atas dasar pertimbangan teknis yang mengisyaratkan adanya beberapa ketentuan, maka ditentukanlah rencana lokasi taman yang akan dibangun dan di utamakan di sepanjang jalan negara yang melintasi kota Balige.
2.
Metode survey/pengumpulan data : tahap awal adalah survey untuk penentuan posisi/ letak bangunan (site plan) pada kawasan yang terpilih. Dengan penetapan berbagai kriteria secara umum maupun kriteria khusus sesuai dengan spesifikasi yang dituangkan dalam peraturan yang berlaku.
3.
Kajian : melakukan kajian teoritis dan empiris dalam rangka pemanfaatan dan keberlangsungan taman yang akan dibangun.
4.
Diskusi : konsultasi dilakukan baik secara formal maupun informal untuk pembahasan kemajuan pendampingan oleh tenaga ahli.
5.
Alih Pengetahuan/ Pertukaran Informasi; Pengguna jasa memandang perlu untuk mengadakan diskusi, terkait dengan substansi pelaksanaan pekerjaan dalam rangka alih pengetahuan/ pertukaran informasi
3.3.
Jangka Waktu Pelaksanaan Jangka waktu pelaksanaan pendampingan oleh tenaga ahli 2 (dua) bulan.
30 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
3.4.
Tenaga Ahli Tenaga Ahli yang akan ditempatkan dalam penanganan pekerjaan ini adalah
Ahli Tata Kota. 3.5.
Keluaran Keluaran yang dihasilkan dari pelaksanaan pekerjaan ini adalah hasil analisa
kebutuhan penggunaan lahan dan perencanaan secara teknis serta rekomendasi pengembangan Penyusunan Rencana Taman Taman Di Balige (Balige Go Green) yang memuat: ✓ Prototype situasi lokasi rencana taman. ✓ Estimasi Biaya ✓ Jenis Tanaman ✓ Sistem pelaksanaan 3.6.
Nama Dan Organisasi Pengguna Jasa Pengguna Jasa adalah Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten
Toba Samosir. 3.7.
Sumber Pendanaan Sumber dana untuk kegiatan ini diperoleh dari Dana APBD Kabupaten Toba
Samosir TA. 2012. 3.8.
Ruang Lingkup Pekerjaan a. Lingkup Pekerjaan Ruang lingkup pekerjaan untuk melakukan kegiatan ini adalah perencanaan
merupakan lingkup identifikasi fakta dan analisis keruangan yang dijadikan objek dengan batasan lingkup ruang milik jalan, materi perencanaan merupakan lingkup 31 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
indentifikasi rencana lokasi taman, konstruksi taman dan tanamannya serta penanggungjawabnya. a. Menyiapkan format data ukur taman baik dari segi konstruksi maupun tanaman yang dibutuhkan serta melakukan kajian teknis/ perencanaan teknis secara detail bagian kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan pengembangan Penyusunan Rencana Taman Taman Di Balige (Balige Go Green). b. Melakukan inventarisasi dan pengukuran terhadap semua titik lokasi perletakan Taman Taman di Balige. c. Melakukan penentuan sinkronisasi antar program termasuk antar SKPD. d. Melakukan gambar rencana secara detail bagian yang direncanakan. e. Diskusi pada Pokja. f. Melakukan ekspose hasil perencanaan. b.Lokasi Pekerjaan Lokasi pekerjaan Penyusunan Rencana Taman Di Balige (Balige Go Green) berada di Kota Balige dan diutamakan pada sepanjang jalan negara di Kecamatan Balige di Kelurahan Pardede Onan. 3.9.
Data dan Fasilitas Penunjang
Data dan Fasilitas Penunjang yang disediakan oleh Pengguna Jasa: a) Draft Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Toba Samosir b) Diskusi dan asistensi c) Staf pendamping dari pihak pengguna jasa yang akan ditunjuk d) Fasilitas lainnya yang dianggap perlu..
32 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
4.1.Kondisi Exsisting Kota Balige Kabupaten Toba Samosir terletak antara 020 36’-030 18’ Lintang Utara dan 980 32’-990 35’ Bujur Timur, dan berbatasan dengan 5 kabupaten tetangga yaitu : Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupten Karo, Kabupaten Tobasa, Kabupaten Samosir dan Kabupaten Asahan. Luas wilayah Kabupaten Toba Samosir adalah 4.386,6 Km2 atau 6.12% dari luas wilayah Propinsi Sumatera Utara, dan terdiri dari 31 kecamatan, 22 kelurahan, dan 345 desa/nagori. Keadaan iklim Kota balige bertemperatur sedang, suhu tertinggi terdapat pada bulan Mei dengan rata-rata 25,40. Rata-rata suhu udara tertinggi per tahun adalah 29,70 C dan terendah 20,40 C. Kelembaban udara rata-rata perbulan 86,0% dengan kelembaban tertingi terjadi pada bulan Oktober dan Nopember yaitu 89% dengan penguapan rata-rata 3,03 mm/hari. Dalam satu tahun rata-rata terdapat 16 hari hujan dengan hari hujan tertinggi terdapat pada bulan September dan Oktober sebanyak 22 hari hujan, kemudian bulan Maret sebanyak 21 hari hujan. Curah hujan terbanyak terdapat pada bulan September sebesar 574 mm. Pada tahun 2011 telah ditetapkan pembentukan 28 (dua puluh delapan) desa, sehingga pada saat ini wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Toba Samosir terdiri dari 16 (enam) belas kecamatan, 13 kelurahan dan 231 (dua ratus tiga puluh
33 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
satu) desa. Ibukota kabupaten berlokasi di Balige dengan jarak antara 18 Km s.d. 127 Km dari kecamatan. 4.2. Analisis Perkembangan Wilayah Kecamatan Penelitian tentang perkembangan wilayah kecamatan di Kabupaten Toba Samosir sebelum dan setelah pemekaran dengan mengkaji perkembangan wilayah kecamatan di Kabupaten Toba Samosir. Penelitian melalui survei primer dan sekunder, yang dilaksanakan dengan berpedoman pada variabel penelitian yang telah ditentukan, yaitu variabel karakteristik sosial penduduk, variabel tingkat pelayanan infrastruktur, variabel karakteristik ekonomi,dan kelembagaan. 4.3. Analisis Sosial Penduduk Kabupaten Toba Samosir dengan luas 2.021,80 Km² memiliki kepadatan penduduk sekitar 83 orang per Km² pada tahun 2011, dan meningkat menjadi 86,70 orang per km² pada tahun 2011. Kecamatan Balige merupakan kecamatan yang memiliki penduduk terpadat, yaitu 487,52 orang per km², sedangkan kecamatan yang memiliki kepadatan penduduk terendah adalah Kecamatan Nassau. Kecamatan ini hanya ditempati sekitar 18,80 orang setiap satu kilo meter persegi. Evaluasi kondisi penduduk dapat ditunjukkan pada sebelum pemekaran dan sesudah pemekaran Distribusi penyebaran jumlah penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Toba Samosir secara alami jenis kelamin , dan berkaitan erat dengan kondisi agama kepercayaan masyarakat setiap kecamatan. Pertumbuhan penduduk secara alami merupakan potensi sumber daya manusia yang sangat mempengaruhi perkembangan wilayah, khususnya di Kabupaten Toba Samosir. Dengan demikian, diapat dilihat kondisi sosial kependudukan untuk menyesuaikan pelayanan publik, 34 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
yang pada akhirnya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat, khususnya di Kabupaten Toba Samosir. Untuk mengetahui kondisi perkembangan setiap kecamatan, dilakukan analisis scoring guna mengukur tingkat perkembangan yang terjadi, melalui pemberian nilai terhadap variabel perkembangan berupa jumlah penduduk, jenis kelamin dan agama kepercayaan dengan kriteria-kriteria perkembangan yang ada. Dari hasil pembobotan nilai terhadap kriteria sosial penduduk yang terjadi, maka dilakukan perhitungan terhadap perkembangan sosial penduduk di setiap kecamatan di Kabupaten Toba Samosir sebelum dan setelah pemekaran yaitu. Hasil perhitungan scoring yang dilakukan terhadap kriteria-kriteria sosial penduduk didapat skor perkembangan sosial penduduk setiap kecamatan. Kecamatan yang memiliki skor yang meningkat bila dibandingkan dengan sebelum pemekaran berarti terjadinya peningkatan perkembangan sosial penduduk. Hasil analisis ini menggambarkan bahwa sosial penduduk yang terjadi di setiap kecamatan berbeda-beda sesuai dengan jumlah, jenis kelamin dan agama kepercayaan wilayah yang dominan. Terjadi setiap tahun akan mengalami perubahan, baik meningkat atau pun menurun. Hal ini berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat wilayah kecamatan. 4.4. Analisis Kondisi Existing Taman Kota Permasalahan taman kota bergaya barat yang tidak sesuai dengan konteks budaya timur ini memang tidak selalu terjadi di negara-negara berbudaya timur. Namun di Indonesia, melalui konteks Kabupaten Toba Samosir, terdapat contoh kasus melalui kutipan artikel berikut ini dimana permasalahan tersebut muncul – yang mungkin tidak disadari oleh warga Kabupaten Toba Samosir itu sendiri. 35 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
“Kabupaten Toba Samosir memiliki 604 taman; dimana sebanyak 240 taman kota publik menjadi tanggung jawab dinas pertamanan kota tersebut, dan sisanya yang merupakan taman semi-privat dan privat menjadi tanggung jawab masyarakat atau pengelola perumahan (Silaen, Kepala Bidang Pertamanan, Dinas Pasar dan Pertamanan Kabupaten Toba Samosir, 2012). Jumlah ini dapat dikatakan relatif sangat banyak dan cukup untuk menyegarkan sebuah kota yang luasnya hanya 16.729 hektar. Namun terdapat hal yang mengkhawatirkan pada taman kota di Kabupaten Toba Samosir ini, yaitu taman kota yang dipagari. Hal tersebut mungkin dapat dipahami sebagai usaha proteksi agar taman tetap asri -dikarenakan banyaknya warga Kota Balige yang tidak atau kurang peduli terhadap lingkungan serta berpikir bahwa menjaga lingkungan adalah bukan tugas mereka. Taman kota di Balige yang dipagari salah satunya adalah Taman Askitek – taman yang kini sudah berganti nama menjadi Taman Kota (terletak di dekat Gedung Kantor Lurah Pardede Onan Balige). Pada Taman Kota ini, sebenarnya dapat terdapat cukup banyak acara bertema peduli lingkungan atau pendidikan lingkungan yang dilaksanakan. Dengan kegiatan seperti ini, taman kota dapat menjadi sebuah ruang publik yang sangat menyenangkan.
36 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
Taman kota dapat dikatakan sebagai sebuah ruang terbuka yang secara ideal dapat mengintegrasikan antara lingkungan, masyarakat, dan kesehatan di lingkungan perkotaan dengan mempromosikan sebuah pendekatan ekologis terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia yang didasari pada kontak dengan alam. Taman kota merupakan bagian penting dari jaringan ekosistem perkotaan yang memberikan jasa servis ekosistem, dan taman kota bermanfaat secara lingkungan, estetis, rekreasi, psikologis, sosial, serta ekonomis bagi masyarakat perkotaan. Namun idealisme mengenai konsep awal pembentukan taman kota ini tampaknya sudah semakin kurang disadari oleh masyarakat perkotaan masa kini dimana penekanan taman kota pada saat sekarang lebih hanya disadari sebagai tempat untuk bersenang-senang di waktu luang, tanpa menyadari adanya fungsi ekologis serta efek menyehatkan dari taman tersebut. Keadaan ini disebabkan kurangnya pendidikan masyarakat kota mengenai pentingnya keberadaan taman kota dan terjadinya konflik antara budaya perancangan dengan budaya pemakaian dari taman kota tersebut. Untuk itu diperlukan adanya suatu pemahaman kembali mengenai peran penting taman kota yang diperuntukkan bagi seluruh komponen masyarakat kota; baik itu masyarakat umum, pemerintah, maupun swasta. Pemahaman kembali ini, yang terwujud dalam konsep reposisi taman kota, tidak saja hanya sebatas wacana
37 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
komunikasi saja, melainkan juga melalui pendidikan lingkungan serta pemfasilitasan melalui perancangan taman kota tersebut. Di dalam proses reposisi taman kota juga diperlukan adanya penyesuaian terhadap konteks nilai-nilai lokal budaya masyarakat perkotaan setempat, sehingga nantinya dapat menghasilkan perancangan taman kota yang optimal dan tidak sekedar hasil tiruan dari taman-taman kota sebelumnya yang sudah ada.
38 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
Byrne, J. dan Wolch, J. (2009). Nature, Race, and Parks: Past Research and Future Directions for Geographic Research. Progress in Human Geography 33(6): 743– 765. http://phg.sagepub.com (30 September 2010) Casagrande, D. (2001). The Human Component of Urban Wetland Restoration. Yale F&ES Bulletin 100: 254-270. http://environment.research.yale.edu (19 Oktober 2010) Damajani, D. (2007). Hidden-Order dan Hidden-Power pada Ruang Terbuka Publik: Studi Kasus Lapangan Cikapundung, Bandung. ITB J. Vis. Art. 1(3): 330345. http://proceedings.itb.ac.id/ (8 Oktober 2010) Dascălu, D. (2007). The Urban Landscape and the Landscape Urban Culture. http://univagro-iasi.ro (20 September 2010) Forman, R. (2008). Urban Regions: Ecology and Planning Beyond the City. Cambridge: Cambridge University Press. Hariyono, P. (2010). Konsep Taman Kota pada Masyarakat Jawa Masa Kini. Local Wisdom-Jurnal Ilmiah Online 2 (3): 1-3. http://localwisdom.ucoz.com/ (7 Oktober 2010). Loures, L., Santos, R., dan Panagopoulos, T. (2007). Urban Parks and Sustainable City Planning: The Case of Portimao, Portugal. WSEAS Transactions on Environment and Development Journal 10 (3): 171-180. http://wseas.us/e-library/ (7 Oktober 2010). Low, S. Taplin, D. dan Scheld, S. (2005). Rethinking Urban Parks: Public Space and Cultural Diversity. Austin: University of Texas Press. Maller, C., Townsend, M., Leger, L., Henderson-Wilson, C., Pryor, A., Prosser, L., dan Moore, M. (2009). Healthy Parks, Healthy People: The Health Benefits of Contacts with Nature in a Park Context. The George Wright Forum 26 (2): 51-83. http://www.georgewright.com/ (26 Oktober 2010) Nasution, A. (2003). Perkembangan Kebutuhan Masyarakat pada Ruang Terbuka Publik di Pusat Kota. http://repository.usu.ac.id (9 Oktober 2010) Priyadi B. (2008). Menggugat Pembangunan Perkotaan: Belajar Dari Masyarakat Agraris. Dialogue Jurnal Ilmu Administrasi dan Kebijakan Publik 5 (1): 54-65. http://ejournal.undip.ac.id/ (28 November 2010) Wildensyah, I. (2010). Pagar Taman http://green.kompasiana.com/penghijauan/2010/05/14/pagar-taman-kota/ Desember 2010)
Kota. (12
Wu, J. (2009). Urban Sustainability: an Inevitable Goal of Landscape Research. Landscape Ecol 25: 1–4. http://leml.asu.edu (20 September 2010 39 Bappeda Toba Samosir,2012
Rencana Penataan Taman Kota Balige “Balige Go Green”
40 Bappeda Toba Samosir,2012