Formatted: Font: 14 pt
1)I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Identifikasi Masalah
1. Latar Belakang
Dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional, Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan produksi pangan melalui peningkatan produktivitas dan perbaikan kualitas hasil pertanian. Diantara berbagai jenis bahan pangan, beras merupakan komoditas pangan utama bagi masyarakat Indonesia. Hal ini mudah dipahami karena beras memiliki posisi strategis dalam memelihara stabilitas ekonomi nasional. (Amien, 2002 dalam Komba, 2010)
Pemenuhan kebutuhan beras nasional yang bersumber dari produksi dalam negeri telah dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia. Salah mengurus beras akan berakibat fatal bagi kelangsungan kehidupan bernegara karena komoditas ini sangat strategis dan sarat nilai politis. Berbagai upaya telah ditempuh Pemerintah untuk mendukung ketahanan pangan tersebut, antara lain dengan menetapkan kebijakan dasar yaitu dengan penyediaan subsidi benih, penyediaan subsidi pupuk, penyediaan Kredit Ketahanan Pangan (KKP), penetapan harga gabah pembelian Pemerintah, dan peningkatan tarif bea masuk untuk impor beras. Dengan kebijakan dasar tersebut diharapkan selama periode
Formatted: Indent: Left: 0,63 cm, Hanging: 0,62 cm, Numbered + Level: 1 + Numbering Style: I, II, III, … + Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 0,63 cm + Tab after: 1,9 cm + Indent at: 1,9 cm, Tab stops: 1,25 cm, List tab + Not at 1,9 cm
2009-2014 pertumbuhan produksi per tahun untuk tanaman pangan diproyeksikan dapat meningkat berkisar 3,22 – 20,50 persen.
Untuk mencapai sasaran pertumbuhan produksi pangan tersebut, diperlukan dukungan sarana dan prasarana, dimana salah satu faktor penting dalam peningkatan produksi komoditas pertanian pangan adalah pupuk, seiring dengan dikembangkannya varietas unggul dan varietas hibrida yang cenderung responsif terhadap penggunaan pupuk anorganik, dimana efisiensi dan efektivitasnya tergantung pada lokasi setempat.
Perkembangan pupuk anorganik yang merupakan hasil produksi pabrik kimia, mulai berkembang pesat sejak dicanangkannya revolusi hijau melalui program BIMAS/INMAS oleh Pemerintah Indonesia. Pada saat itu, telah diperkenalkan berbagai varietas padi unggul baru IR-5 dan IR-8 yang sangat responsif terhadap pemupukan anorganik, agar dapat meningkatkan produksi tanaman pangan. Pada awal tahun 1970an, pada saat petani belum menggunakan pupuk anorganik, hasil padi varietas lokal yang diusahakan hanya mampu berproduksi maksimal 2,0-2,5 ton/ha, meskipun mereka telah menggunakan pupuk kandang. Dengan menggunakan pupuk anorganik, hasil varietas unggul padi di lahan sawah irigasi meningkat lebih dua kali lipat menjadi 5-6 ton/ha.
Penggunaan pupuk anorganik tersebut semakin meningkat pada tanaman pangan khususnya untuk tanaman padi sawah seiring dengan pelaksanaan program Pemerintah berswasembada pangan. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, upaya peningkatan produksi padi melalui gerakan revolusi hijau telah mengantarkan Indonesia berswasembada beras pada tahun 1984.
Keberhasilan pembangunan pertanian tidak dapat dipisahkan dari kesadaran petani dalam menggunakan pupuk anorganik.
Di satu sisi, pengembangan pupuk anorganik berdampak positif terhadap peningkatan produksi padi sawah, namun di sisi lain penggunaan pupuk anorgonik perlu disikapi secara bijaksana karena dapat juga berdampak negatif, seperti pencemaran lingkungan dan inefisiensi pemupukan di sebagian besar daerah intensifikasi padi. Karena positif terhadap peningkatan produksi, berakibat mendorong tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap pupuk anorganik, bahkan mereka seringkali menggunakannya dalam jumlah yang berlebihan. Selain tidak lagi meningkatkan hasil, penggunaan pupuk anorganik dengan takaran di atas kebutuhan tanaman juga mengurangi keuntungan yang dapat diperoleh dari usahatani.
Pada saat ini petani memiliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap penggunaan pupuk kimia dan bahkan banyak yang melakukan pemupukan secara inefisien (overdosis) akibat degradasi mutu lahan yang mempengaruhi responsitas tanaman terhadap serapan unsur hara. Perilaku pemupukan demikian secara finansial sangat merugikan petani. Menyadari pentingnya upaya penghematan pupuk bagi peningkatan pendapatan petani, penghematan sumberdaya pupuk, dan pelestarian sumberdaya alam, maka studi analisis dinamika tingkat penggunaan pupuk di tingkat petani perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana penggunaan dan rasionalisasi petani dalam merespon pupuk untuk meningkatkan produksi, khususnya tanaman padi sawah, terutama
karena adanya partisipasi aktif pemerintah dalam aspek Kebijakan Pupuk Bersubsidi.
A.B.
Identifikasi Masalah
Peningkatan permintaan terhadap komoditas padi dari tahun ke tahun di Indonesia sebenarnya telah diikuti oleh peningkatan produksi komoditas tersebut, namun
Formatted: Indent: Left: 0 cm, Hanging: 0,67 cm, Don't add space between paragraphs of the same style, Numbered + Level: 1 + Numbering Style: A, B, C, … + Start at: 1 + Alignment: Left + Aligned at: 0,63 cm + Indent at: 1,27 cm, Tab stops: Not at 2,54 cm
peningkatan produksi padi belum mampu mengikuti peningkatan konsumsi akan beras. Hal ini berarti jumlah produksi padi yang dihasilkan di Indonesia belum mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri. Gambaran keseimbangan kebutuhan akan beras dengan ketersediaan pangan beras dapat dilihat sebagaimana pada Tabel berikut ;1.
Tabel 1. Perkembangan Jumlah penduduk dan Konsumsi beras di Indonesia tahun 20015-20068 Tahun 2005 2006 2007 2008
Tersedia Total Padi GKG Beras Penduduk Selisih untuk konsumsi Konsumsi (000 Ton) (000 Ton) (000 Jiwa) (Prod-Kon) (000 Ton) (000 Ton) 54,151 34,115 27,974 219.205 28,913 -939 54,455 34,307 28,131 222.051 29,289 -1.157 57,049 35,941 29,472 222.225 29,379 93 60,326 38,005 34,140 228.520 31,800 3,865
Sumber : Neraca Bahan Makanan, BPS 200Departemen Pertanian (diolah)7
Dari TabelTabel 1 di atas dapat dilihatmenunjukkan bahwa laju peningkatan produksi beras nasional hingga tahun 2006 tidak mampu memenuhi laju permintaan perkembangan jumlah penduduk dan konsumsiakan beras di Indonesia. Hal tersebut menyebabkan Indonesia harus mengimpor beras dalam rangka mencukupi ketersediaan untuk konsumsi pangan. Pada tahun 2007 terjadi kelebihan produksi beras (excess supply) meskipun jumlahnya kecil dan di tahun 2008 terjadi
Formatted: Indent: Left: 0,67 cm
peningkatan relatif tinggi, sehingga tahun 2008 Indonesia terjadi swasembada pangan.
Upaya peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah yang dilakukan Pemerintah selama ini dalam rangka membantu petani telah memberikan hasil yang menggembirakan. Propinsi Lampung sebagai bagian integral dari sentra produksi padi sawah di Indonesia juga terus memberikan kontribusi dalam mendukung upaya peningkatan produksi dan produktivitas padi sawah. Propinsi Lampung memiliki beberapa sentra produksi padi sawah yang tersebar di seluruh kabupaten-kota. Sebaran areal luas panen, produksi, dan produktivitas padi sawah di Propinsi Lampung dapat dilihat pada Tabel 2.
Peluang peningkatan produksi padi sawah di Indonesia masih cukup besar mengingat sampai saat ini benih padi yang digunakan masih menggunakan benih varietas unggul belum menggunakan benih varietas hibrida yang produksinya bisa mencapai lebih dari 12 ton/ha, dan pemupukan yang dilakukan petani belum berimbang sesuai anjuran tekhnologi spesifik lokasi, selain itu .benih padi yang digunakan secara umum masih menggunakan benih varietas unggul belum banyak petani yang menggunakan benih varietas hibrida yang produksinya mencapai 10 ton/ha.
Tabel 2. Sebaran areal Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Padi Sawah per kabupaten di Propinsi Lampung tahun 2005-2009* No
Kabupaten
2005
2006
2007
Lampung Barat Produksi (ton) 100.822 109.947 143.506 Luas Panen (ha) 23.066 25.024 32.407 Produktivitas (ton/ha) 4,37 4,39 4,43 2. Tanggamus Produksi (ton) 248.461 223.547 212.034 Luas Panen (ha) 53.199 47.826 44.435 Produktivitas (ton/ha) 4,67 4,67 4,77 3. Lampung Selatan Produksi (ton) 377.455 350.001 383.373 Luas Panen (ha) 81.222 75.457 81.666 Produktivitas(ton/ha) 4,65 4,64 4,69 4. Lampung Timur Produksi (ton) 330.507 340.083 333.908 Luas Panen (ha) 72.531 74.565 70.849 Produktivitas (ton/ha) 4,56 4,56 4,71 5. Lampung Tengah Produksi (ton) 408.081 439.006 486.435 Luas Panen (ha) 88.091 94.686 102.301 Produktivitas (ton/ha) 4,63 4,64 4,75 6. Lampung Utara Produksi (ton) 78.950 80.409 96.525 Luas Panen (ha) 17.869 18.168 21.335 Produktivitas (ton/ha) 4,42 4,43 4,52 7. Way Kanan Produksi (ton) 114.057 111.539 115.499 Luas Panen (ha) 26.130 25.601 25.925 Produktivitas (ton/ha) 4,36 4,36 4,46 8. Tulang Bawang Produksi (ton) 256.189 280.388 336.291 Luas Panen (ha) 58.573 63.231 75.603 Produktivitas (ton/ha) 4,37 4,43 4,45 9. Bandar Lampung Produksi (ton) 7.987 7.363 6.600 Luas Panen (ha) 1.730 1.599 1.383 Produktivitas (ton/ha) 4,62 4,60 4,77 10. Metro Produksi (ton) 16.875 17.143 17.697 Luas Panen (ha) 3.781 3.773 3.780 Produktivitas (ton/ha) 4,46 4,54 4,68 11. Pesawaran Produksi (Ton) Luas Panen (Ha) Produktivitas (ton/ha) Lampung Produksi (ton) 1.939.384 1.959.426 2.131.868 Luas Panen (ha) 426.192 429.930 459.684 Produktivitas (ton/ha) 4,55 4,56 4,64
2008
2009*
143.092 32.327 4,43
116.698 26.207 4,45
245.585 48.584 5,06
289.567 56.943 5,09
260.515 52.075 5,03
347.825 69.113 5,03
365.689 71.629 5,10
378.165 74.300 5,09
465.481 90.420 5,15
587.179 115.311 5,09
91.153 20.458 4,46
103.674 23.129 4,48
124.986 28.538 4,38
111.891 25.396 4,40
338.012 76.184 4,44
337.387 75.590 4,46
8.467 1.673 5,06
15.111 2.968 5,09
19.618 3.779 5,19
24.928 4.773 5,22
102.581 20.319 5,05
49.442 9.735 5,08
2.165179 446.049 4,85
2.361.866 483.464 4,88
1.
Keterangan Sumber
: 2009* = ARAM II 2009 (Angka Ramalan II, 2009) : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2009
Pupuk menyumbang 20 persen terhadap keberhasilan peningkatan produksi pertanian, khususnya beras antara tahun 1965-1980 dan keberhasilan Indonesia mencapai swasembada beras di tahun 1984. Pupuk pun berkontribusi 15-30 persen untuk biaya usahatani padi. Penggunaan pupuk oleh petani untuk tujuan tersebut secara tepat, baik jenis, jumlah, harga, tempat, waktu, maupun mutu akan menjamin adanya peningkatan produksi yang akan berdampak pada peningkatan pendapatan. (Rusastra dkk, 2002)
Kebijakan Pupuk Bersubsidi untuk petani telah berjalan lama. Sejalan dengan kompleksitas masalah pembangunan pertanian, khususnya dalam peningkatan produksi, dimana pupuk menjadi barang yang diperlukan petani dengan daya beli yang terbatas, Pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan kebijakan subsidi pupuk bagi petani. Argumen pemberian subsidi terhadap pupuk, antara lain : (1) Merangsang penggunaan pupuk oleh petani sebagai bagian dari penerapan teknologi dan peningkatan produksi pangan, (2) Dalam rangka menstabilkan harga di tingkat petani, dan (3) Lebih mengefisienkan transfer sumber daya dari pemerintah ke petani guna membantu pembangunan di pedesaan. ( Rusastra dkk, 2002)
Dinamika Pupuk saat ini merupakan salah satu faktor produksi yang vital dan dominan yang menentukan berhasil tidaknya usaha peningkatan produksi pertanian utamanya tanaman padi. Beberapa faktor yang mempengaruhi pemakaian pupuk pada usahatani padi antara lain menyangkut harga pupuk itu sendiri, kemampuan petani untuk membeli pupuk, ketersediaan pupuk di pasaran, kemudahan petani mendapatkan pupuk dan selain itu pupuk merupakan barang ekonomis yang mempunyai nilai jual yang menguntungkan baik di pasar dalam negeri, maupun sebagai komoditi ekspor sehingga. Sejalan dengan kompleksitas masalah pembangunan pertanian, khususnya dalam peningkatan produksi, dimana pupuk menjadi barang yang
diperlukan petani dengan daya beli yang terbatas, Pemerintah merasa perlu untuk mengeluarkan kebijakan subsidi pupuk bagi petani. Argumen pemberian subsidi terhadap pupuk, antara lain : (1) Merangsang penggunaan pupuk oleh petani sebagai bagian dari penerapan teknologi dan peningkatan produksi pangan, (2) Dalam rangka menstabilkan harga di tingkat petani, dan (3) Lebih mengefisienkan transfer sumber daya dari pemerintah ke petani guna membantu pembangunan di pedesaan. ( I Wayan Rusastra dkk 2002) Kebijakan subsidi pupuk untuk petani telah berjalan lama dan setelah dihapusnya program Bimas, Pemerintah pada tahun 2002 mengeluarkan kebijaksanaanKebijakankebijakanKebijakan pupuk bersubsidi dimana penyalurannya sampai lini IV diserahkan pada distributor dan kios. Dalam pelaksanaannya sampai dengan tahun 2008 dirasakan tidak efektif dan banyak terjadi pupuk langka dan tidak sampai ke petani serta harganya jauh diatas harga eceran yang ditetapkan . Dengan pertimbangan tersebut pada tahun 2008, Pemerintah melakukan perbaikan dan melalui Menteri Pertanian Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Nomor : 42/Permentan/OT.140/09/2008, tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pupuk Bersubsidi pola sistem tertutup untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2009. Banyak pihak yang terlibat dalam pembuatan kebijakan ini, antara lain : Menteri Perdagangan Republik Indonesia, Gubernur, Bupati, Camat, dan Kepala Desa di setiap wilayah propinsi di Indonesia. Kebijakan ini menetapkan berbagai hal-hal penting didalamnya yaitu peruntukkan pupuk bersubsidi, alokasi pupuk bersubsidi, penyaluran HET dan pupuk bersubsidi, pengawasan, dan pelaporan dari hasil pelaksanaan kebijakan tersebut. Yang khusus dan membedakan dalam Peraturan Menteri 2009 mengenai subsidi pupuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian tahun 2002 s/d 2008 adalah bahwa penyaluran pupuk di lini IV kepada petani, hanya dapat diberikan kepada petani yang telah menyerahkan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) yang dikoordinir oleh ketua kelompok petani. Dengan adanya point ini maka hanya petani yang terdaftar dalam RDKK yang telah diserahkan yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi. Dan diperhitungkan kecil kemungkinan untuk terjadinya penyimpangan penyaluran pupuk bersubsidi sehingga petani mendapat kemudahan untuk dapat memperoleh pupuk sesuai kebutuhannya dengan harga subsidi sehingga penerapan penggunaan pupuk sesuai rekomendasi teknologi spesifik lokasi akan menghasilkan produktivitas yang tinggi yang akhirnya akan menghasilkan produksi dan pendapatan yang tinggi. “ Dengan telah diberlakukannya KebijaksanaanKebijakanKebijakanKebijakan Pupuk sistem pola tertutup timbul pertanyaan seberapa banyak petani melakukan penggunaan pupuk secara berimbang sehingga peningkatan produksi persatuan luas lahan
meningkat secara siknifikan dan seberapa besar memberikan pendapatan yang lebih baik dibanding sebelum diberlakukannya KebijaksanaanKebijakanKebijakanKebijakan tersebut “.
Penggunaan Pupuk Bersubsidi di Tingkat Petani Tidak Berpola
Tingkat pemakaian pupuk anorganik di pertanian Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan di Negara Asia lainnya, seperti China dan India. Dalam masa perkenalan penggunaan pupuk anorganik, tingkat pemakaian pupuk anorganik di Indonesia 10 hingga 20 tahun, laju pertumbuhan rata-rata per tahun meningkat dari sekitar 1,7% dalam dekade 1960an menjadi 16% selama periode 1970 sampai 1980an, yang membuat pemakaian pupuk modern per hektar juga mengalami suatu peningkatan dari sekitar 1,3% menjadi 13,6% rata-rata per tahun selama periode yang sama (Tambunan, 2007). Tetapi, sejak pertengahan tahun 1990an praktis tidak ada pertumbuhan dan bahkan pemakaiannya per hektar menurun sampai pada tahun 2007, walaupun sejak permulaan tahun 2000 dan 2006 cenderung meningkat kembali. Pemakaian pupuk anorganik dari tahun 2004 sampai tahun 2007 dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pemakaian Pupuk Pabrik/ha di Pertanian di beberapa negara Asia, 2004 – 2007 diukur dalam juta ton 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 -
2004 2005 China
India
Indonesia
Viet Nam
Thailand
2006
2004
40,40
18,41
3,62
2,67
2,00
2007
2005
43,64
20,35
3,61
2,30
1,71
2006
50,36
21,66
3,95
2,54
1,80
2007
46,56
22,57
3,73
2,70
1,78
Sumber : FAO Statistical Yearbook, 2009
Kebijakan Pupuk Bersubsidi diberlakukan untuk tujuan pemerintah dalam mengendalikan produksi pangan utama yaitu padi, yang merupakan upaya untuk meningkatkan produksi dalam menyelaraskan kebutuhan konsumsi masyarakat. Sebagai salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang membutuhkan dukungan anggaran pemerintah yang amat besar, sudah semestinya subsidi pupuk dievaluasi dan disesuaikan agar senantiasa efektif dan efisien. Efektivitas subsidi pupuk dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu distribusi dan usahatani. Pada tingkat distribusi, efektivitas kebijakan berkenaan dengan kelancaran pasokan pupuk dari produsen hingga petani sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan pemerintah. Efektivitas kebijakan di tingkat usahatani berkenaan dengan sejauhmana subsidi pupuk berdampak pada peningkatan produksi dan laba usahatani. (Anjak, 2006)
Dalam mengkonsumsi pupuk walaupun disubsidi penggunaan belum tentu cenderung meningkat tetapi akan selalu mengalami dinamika yang bersifat fluktuatif, atau menurun, atau meningkat, disajikan pada Tabel 3. Dalam kosa kata ekonomi pertanian, ketergantungan pada pupuk anorganik yang berlebih, petani terperangkap ke dalam ketidakseimbangan dinamis (dynamic disequilibrium) karena penggunaan pupuk cenderung bergerak dinamis bukan pada tingkat keseimbangan, yaitu bergerak di antara posisi aktual aplikasi pupuk dan posisi potensial kombinasi
pupuk (dengan tingkat penggunaan yang lebih tinggi) karena harga relatif yang lebih murah. (Arifin, 2009)
Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Pupuk di Indonesia, 2001 - 2009 (ton) Tahun 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Urea 3.972.617 3.872.044 4.077.523 4.204.188 4.082.874 4.218.414 4.359.150 4.552.239 4.672.802
TSP/SP36 178.130 138.610 1.390.430 759.753 774.267 711.224 763.350 582.071 715.706
NPK 63.492 87.931 116.981 226.897 316.401 485.605 732.599 1.175.027 1.664.238
Sumber : Fertilizer Hand Book
Hasil usahatani padi responsif terhadap intensitas penggunaan pupuk urea dan pupuk SP36. Penggunaan aktual pupuk urea dan SP36 pada survei 2005/2006 di pulau Sumatera dan Sulawesi telah melampaui penggunaan optimal pupuk urea dan SP36 , hal ini menyebabkan hasil yang didapatkan jauh dari hasil optimal yang dapat dicapai. Sedangkan pada pulau Jawa, penggunaan aktual pupuk urea berlebih dengan kombinasi penggunaan pupuk SP36 di bawah penggunaan pupuk yang optimal, sehingga hasilnya menjadi kurang optimal pula. Penggunaan pupuk yang demikian tidak efisien (Tabel 4). Penggunaan pupuk yang jauh dari tingkat optimal, maka jelas bahwa subsidi pupuk tidak efektif untuk meningkatkan hasil usahatani padi, tetapi mungkin berguna untuk dalam hal mengurangi ongkos usahatani. (Anjak, 2006)
Tabel 4. Penggunaan urea dan SP36 untuk hasil padi aktual dan optimal menurut pulau (kg/ha) No
Uraian
1.
Aktual 1998/19992 Urea1 SP361 Hasil1 Aktual (Survei 2005/2006) Urea SP36 Hasil ARAM 2 2006 Optimal1 Urea SP36 Hasil1
2.
3.
Sumatera
Jawa
Sulawesi
Indonesia
123 63 4.036
278 112 4.972
153 28 4.033
206 82 4.442
2263 1673 4.247
3414 604 5.377
2445 815 4.543
2706 1036 4.807
127 108 4.462
261 105 5.565
135 42 4.926
189 48 5.008
Keterangan : 1. Pada harga 2006, 2. Struktur ongkos BPS, 3. Sumatera Utara (PSEKP, 2006), 4. Jawa Timur (PSEKP, 2006), 5. Sulawesi Selatan (PSEKP, 2006), 6. Rata-rata Sumatera Utara, Jawa Timur, Sulawesi Selatan (PSEKP, 2006) Sumber : Anjak, 2006
Penggunaan Pupuk yang Belum Berimbang dan Belum Efisien
Subsidi pupuk yang menjadi bentuk kepedulian pemerintah yang tercantum dalam APBN akan berdampak positif maupun negatif. Dampak positif subsidi pupuk, yaitu melindungi petani yang lemah akan modal (keterbatasan modal), suatu insentif yang merangsang petani agar dapat mengkombinasikan pupuk dengan baik sesuai rekomendasi pemupukan spesifik lokasi, dan melindungi petani dalam menghadapi harga output yang rendah. Dampak negatif yang ditimbulkan dengan adanya subsidi pupuk, diantaranya adalah penggunaan pupuk yang berlebih, adanya pergeseran penggunaan pupuk subsidi untuk padi ke penggunaaan lain yang tidak disubsidi, dan meningkatnya beban subsidi yang ditanggung pemerintah.
Saat ini rata-rata penggunaan pupuk anorganik di tingkat petani masih cukup tinggi. Masih sangat sulit untuk melepaskan ketergantungan petani dari pupuk kimiawi. Di sejumlah daerah anggota SPI rata-rata penggunaan pupuk urea mencapai 279,66 kg per hektar tanaman padi, angka ini di atas angka ketetapan pemerintah yang sebesar 160-275 kg per hektar (Gambar 2). Tingginya pemakaian pupuk banyak disebabkan ketidaktahuan petani dan minimnya penyuluhan yang terkait masalah pupuk. Petani seringkali coba-coba atau melihat dari petani lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan pupuk di tingkat petani belum berjalan berimbang dan efisien sesuai anjuran rekomendasi penggunaan pupuk spesifik lokasi.
Gambar 2. Rata-rata penggunaan pupuk pada usahatani padi (kg/ha).
Sumber : SPI, 2009.
Beberapa faktor yang mempengaruhi pemakaian pupuk pada usahatani, selain faktor harga dari pupuk itu sendiri, yakni kemampuan petani untuk membeli pupuk, ketersediaan pupuk di pasaran, kemudahan petani mendapatkan pupuk. Selain itu pupuk merupakan barang ekonomis yang mempunyai nilai jual yang menguntungkan baik di pasar dalam negeri, maupun sebagai komoditi ekspor sehingga rentan terhadap permainan pasar untuk mencari keuntungan.
(Rusastra dkk, 2002)
Berdasarkan pemaparan tersebut, dengan diberlakukannya KebijaksanaanKebijakan KebijakanKebijakan Pupuk Bersubsidi dimana selalu menjadi bahan evaluasi Pemerintah diharapkan menjamin kemudahan bagi petani untuk mendapatkan pupuk dengan harga yang terjangkau dan tingkat ketersediaannya, sehingga petani padi sawah melakukan penggunaan pupuk secara berimbang dan efisien (tidak berlebihan atau kekurangan) yang berdampak pada peningkatan produksi padi sawah per satuan luas lahan meningkat secara signifikan dan peningkatan produktivitas. Penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien dalam mekanisme produksi merupakan hal yang mutlak dalam mencapai keberhasilan produksi. Karena keuntungan maksimum hanya akan tercapai dengan mengkombinasikan faktor-faktor produksi secara efisien. “. Formatted: Indent: Left: 0,67 cm
a. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, maka permasalahan
Formatted: Indent: Left: 0,67 cm, Line spacing: single, No bullets or numbering
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Formatted: Indent: Left: 0,67 cm, First line: 0 cm
a. Bagaimana dinamika tingkat penggunaan pupuk bersubsidi di tingkat petani pada usahatani padi sawah di Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah?
Formatted: Font: Not Bold
b. Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan umum yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini, antara lain :Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi rasionalisasi petani dalam penggunaan pupuk bersubsidi pada usahatani padi
Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold
sawah pasca diberlakukannya kebijakan subsidi pupuk sistem pola tertutup di Kecamatan Trimurjo Kabupaten Lampung Tengah?
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
c. Bagaimana implikasi kebijakan subsidi pupuk sistem pola tertutup terhadap penggunaan pupuk pada usahatani padi sawah di Kecamatan Trimurjo
Formatted: Font: Not Bold
Kabupaten Lampung Tengah?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :
Formatted: Indent: Left: 0 cm, Line spacing: single
1 Mengidentifikasi dinamika tingkat penggunaan pupuk bersubsidi di tingkat petani pada usahatani padi sawah di Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah. 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi rasionalisasi petani dalam penggunaan pupuk bersubsidi pada usahatani padi sawah di Kecamatan
Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold
Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah. 3. Mengetahui implikasi kebijakan subsidi pupuk sistem pola tertutup terhadap penggunaan pupuk pada usahatani padi sawah di Kecamatan Trimurjo, Kabupaten Lampung Tengah.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini berguna untuk : 1. Petani, pedagang pupuk, dan produsen pupuk sebagai bahan masukan. 2. Instansi terkait, sebagai bahan informasi untuk pembuatan kebijakan dan evaluasi yang terkait dengan masalah kinerja peningkatan produksi, produktivitas, dan pendapatan petani padi sawah serta penerapan teknologi pemupukan spesifik lokasi. 3. Peneliti lain, sebagai bahan informasi dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya.