ISSN 0853 – 0203
STT NO. 1541/SK/DITJEN PPG/STT/1990
VISI Volume 24
Nomor 2
Juni 2016
Penyederhanan Partai Politik Sebagai Upaya Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia Januari Sihotang Pengalihan Risiko Gugatan Konsumen Melalui Mekanisme Asuransi Tanggung Jawab Produk Debora Analisa Pengaruh Perubahan Jumlah Lilitan dan Tegangan Terhadap Efisiensi Konsumsi Energi Listrik Pada Model Pemanas Induksi Elektromagnet Golfrid Gultomt1), Libianko Sianturi2) Penerapan Metode Field Trip Terhadap Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa Roselyn Nainggolan1), Farisda Siahaan2) Realization of Politeness Strategies In Sending Short Messages Service (SMS) By The Fifth Semester Students of English Department of HKBP Nommensen University Srisofian Sianturi Hubungan Manajemen Mutu Pendidikan dengan Keberhasilan Pelayanan Pendidikan Sekolah Dasar di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun Marto Silalahi Pengembangan Perangkat Pembelajaran Untuk Meningkatkan Self Efficacy (Kepercayaan Diri Siswa) Rick Hunter Simanungkalit Pengaruh Komitmen Kerja dan Kualitas Pelayanan Publik Terhadap Kinerja Lurah serta Pengaruhnya Terhadap Perencanan Wilayah di Kota Binjai Abdi Sugiarto Hubungan Antara Orientasi Profesional Terhadap Konflik Peran dengan Partisipasi Anggaran Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris di Rumah Sakit Swasta di Sumatera Utara) Jadongan Sijabat
Majalah Ilmiah Universitas HKBP Nommensen
VISI Majalah Ilmiah Universitas HKBP Nommensen Izin Penerbitan dari Departemen Penerangan Republik Indonesia STT No. 1541/SK/DITJEN PPG/STT/1990 7 Pebruari 1990 Penerbit: Universitas HKBP Nomensen Penasehat: Ketua BPH Yayasan Rektor Pembina: Pembantu Rektor I Pembantu Rektor IV Ketua Pengarah: Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Ketua Penyunting: Prof.Dr.Monang Sitorus, M.Si Anggota Penyunting: Prof.Dr. Monang Sitorus, M.Si Ir. Rosnawyta Simanjuntak, MP Dr. Richard Napitupulu, ST.,MT Dr. Jadongan Sijabat, SE.,M.Si Junita Batubara, S.Sn.,M.Sn.,PhD Prof. Dr. Hasan Sitorus, MS Dr. Budiman Sinaga, SH.,MH Dr. Sondang Manik, M.Hum Lay out: Alida Simanjuntak, S.Pd Tata Usaha: Ronauli Panjaitan, A.Md
Alamat Redaksi: Majalah Ilmiah “VISI” Universitas HKBP Nommensen Jalan Sutomo No.4A Medan 20234 Sumatera Utara – Medan Majalah ini diterbitkan tiga kali setahun: Pebruari, Juni dan Oktober Biaya langganan satu tahun untuk wilayah Indonesia Rp 30.000 dan US$ 5 untuk pelanggan luar negeri (tidak termasuk ongkos kirim) Biaya langganan dikirim dengan pos wesel, yang ditujukan kepada Pimimpin Redaksi Petunjuk penulisan naskah dicantumkan pada halaman dalam Sampul belakang majalah ini E-mail : visi @ yahoo.co.id
ISSN 0853 – 0203
STT NO. 1541/SK/DITJEN PPG/STT/1990
VISI _____________________________________________________________ Volume 24 Nomor 2 Juni 2016 ____________________________________________________________________________________________
Januari Sihotang
Penyederhanan Partai Politik Sebagai Upaya Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia
Debora
Pengalihan Risiko Gugatan Konsumen Melalui Mekanisme Asuransi Tanggung Jawab Produk
Golfrid Gultom Libianko Sianturi
Analisa Pengaruh Perubahan Jumlah Lilitan dan Tegangan Terhadap Efisiensi Konsumsi Energi Listrik Pada Model Pemanas Induksi Elektromagnet
Roselyn Nainggolan Farisda Siahaan
Penerapan Metode Field Trip Terhadap Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa
2586-2605
Srisofian Sianturi
Realization of Politeness Strategies In Sending Short Messages Service (SMS) By The Fifth Semester Students of English Department of HKBP Nommensen University
2606-2615
Marto Silalahi
Hubungan Manajemen Mutu Pendidikan dengan Keberhasilan Pelayanan Pendidikan Sekolah Dasar di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun
2616-2635
Rick Hunter Simanungkalit
Pengembangan Perangkat Pembelajaran Untuk Meningkatkan Self Efficacy (Kepercayaan Diri Siswa)
2636-2652
Pengaruh Komitmen Kerja dan Kualitas Pelayanan Publik Terhadap Kinerja Lurah serta Pengaruhnya Terhadap Perencanan Wilayah di Kota Binjai
2653-2667
Hubungan Antara Orientasi Profesional Terhadap Konflik Peran dengan Partisipasi Anggaran Sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris di Rumah Sakit Swasta di Sumatera Utara)
2668-2684
Abdi Sugiarto
Jadongan Sijabat
Majalah Ilmiah Universitas HKBP Nommensen
2540-2558
2559-2573
2574-2585
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh kasih dan ridhoNya majalah ilmiah Universitas HKBP Nommensen “VISI” Volume 24, Nomor 2, Juni 2016 dapat terbit. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada Saudara yang telah mengirimkan artikel untuk dimuat di majalah ini. Dalam rangka pengembangan kualitas tulisan dan penerbitan serta terjalinnya komunikasi dalam pertukaran informasi ilmiah, kami akan senang hati apabila Saudara berkenan memberikan masukan dan mengirimkan tulisannya untuk dimuat pada edisi selanjutnya. Akhirnya, kami berharap semoga tulisan-tulisan yang dimuat pada edisi ini bermanfaat bagi para pembaca.
Pro Deo et Patria Redaksi
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL
Majalah Ilmiah “Visi”, UHN adalah salah satu sarana/media bagi ilmuan dalam menyebarluaskan ilmu pengetahuan, baik untuk pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri maupun untuk kepentingan pembangunan secara umum. Redaksi mengundang ilmuan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan untuk berperan serta dalam mengisi majalah ini. Naskah yang dikirim ke redaksi ditulis mengikuti tata cara penulisan ilmiah yang baku secara umum, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, dengan spesifikasi: - Ukuran kertas : A4 atau letter - Ketikan : 2 spasi - Jumlah halaman : maksimum 24 halaman, dan - Software : Microsoft Words Format dan Pedoman Penulisan Judul Nama Penulis Abstrak (maksimum ¾ halaman). Memuat tujuan, metode dan kesimpulan hasil penelitian, disertai kata kunci. Abstrak dalam bahasa Inggris bila naskah dalam bahasa Indonesia atau sebaliknya. I. Pendahuluan (maks. 4 hal.), memuat latar belakang, masalah, tinjauan pustaka, tujuan dan hipotesis (bila ada). II. Metodologi penelitian (maks. 3 hal), memuat tempat dan waktu penelitian, bahan dan alat atau objek penelitian, perlakuan (bila ada) dan metode (mis.: kriteria sampel, uji statistik). III. Hasil penelitian dan Pembahasan (maks. 12 halaman). Memuat hasil penelitian dan kemukakan secara menarik dan mudah dimengerti, hindari tabel lampiran. Pembahasan memuat interpretasi hasil yang didukung oleh tinjauan pustaka, dan bila perlu pembahasan kelemahan dan kekuatan metode (penelitian) yang digunakan. IV. Kesimpulan dan saran (maks. 2 halaman). Memuat kesimpulan yang relevan dengan judul dan saran (bila ada) yang relevan dengan penelitian. Daftar Pustaka (maks. 2 halaman). Memuat daftar pustaka secara alfabetis dan hanya yang dikutip saja, dengan susunan. Untuk buku: nama belakang. Nama depan (tahun), Judul, kota tempat penerbitan. Penerbit. Untuk penerbitan periodikal: nama belakang, nama depan, (tahun). Judul tulisan, Nama Periodikal, Vol. (nomor), nomor halaman. Prosedur pengiriman naskah: - Kirimkan 1 (satu) eksemplar manuskrip naskah, file naskah dalam disket 31/2, serta riwayat hidup penulis ke alamat Redaksi Majalah VISI UHN. - Naskah belum pernah diterbitkan atau sedang dalam proses penerbitan pada media lain. - Naskah yang dikrim ke redaksi sepenuhnya menjadi milik redaksi. Redaksi berwewenang menyunting artikel tanpa mengubah isi dan tujuannya.
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
Penyederhanaan Partai Politik Sebagai Upaya Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia Oleh: Januari Sihotang, S.H.,LL.M. Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan ABSTRACT The purpose of this study is, first, to determine the design of the presidential system in Indonesia; second, to determine the mix of multi-party system and the presidential system in Indonesia and third, to provide recommendations on the simplification of the urgency of political parties in efforts to strengthen the presidential system in Indonesia. This type of research is a normative legal research by basing the research on secondary data. The conclusion of this study are: First, the implementation of the presidential system in Indonesia can not be separated from the characteristics contained in constitution of Indonesia so that it can be concluded that Indonesia adopted a presidential system. Second, the presidential system is implemented in the design of multi-party system in Indonesia has resulted in the emergence of President and Vice President who is supported by a political party that has the support of a minority government in parliament, giving rise cloven (divided government). This happens due to the multi-party system, it is very difficult for a party to obtain a majority in parliament. Such situation causes the inter-party coalition becomes a necessity. However, the coalition built rather that a common interest which is not always the same and not the same platform cause the coalition to be very fragile. And third, the efforts that can be made in the simplification of political parties is as follows: 1) Tightening requirements for establishing a political party; 2) The implementation and improvement of Electoral Threshold; 3) Increased Parliamentary Threshold; 4) Implement the District Electoral System. keywords: political party, presidential system.
2540 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
I.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Penelitian
Secara eksplisit, Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945)1 tidak menentukan sistem kepartaian apa yang dianut Indonesia, karena sistem kepartaian dapat berubah-ubah sesuai dengan dinamika masyarakat. Namun pengaturannya agak berbeda dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945).2 Terutama karena pengaturan tentang HAM sudah lebih terperinci salah satunya dengan adanya jaminan hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagaimana tertuang dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3).3 Pembentukan partai politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi, warga negara bisa menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran, orientasi dan cita-cita yang sama sehingga pikiran dan orientasinya bisa dikonsolidasikan.4 Partai politik juga menjadi wahana bagi setiap warga negara untuk memperjuangkan kepentingannya di hadapan penguasa. Urgenitas partai politik di negara demokrasi tak lepas dari fungsifungsi yang dimilikinya. Menurut Miriam Budiardjo5, di negara demokrasi seperti Indonesia, terdapat beberpa fungsi partai politik, yaitu: 1. Sebagai sarana komunikasi politik. 2. Sebagai sarana sosialisasi politik. 3. Sebagai sarana rekrutmen politik. 4. Sebagai sarana pengatur konflik (conflict management).
1
UUD 1945 yang dimaksud dalam hal ini adalah UUD 1945 sebelum perubahan.
2
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah hukum dasar di Indonesia. Lihat Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. 3 Janedjri M Gaffar, Konsolidasi Sistem Pemilu, Harian Seputar Indonesia, Senin, 28 November 2011. 4 Ibid, hlm 403. 5 Ibid, hlm. 405-410.
2541 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
Sistem multipartai menjadi suatu keniscayaan dan tidak dapat terhindarkan dalam setiap pelaksanaan pemilu di Indonesia. Setidaknya ada beberapa faktor penyebabnya, yakni:6 1. Pluralitas masyarakat Indonesia. 2. Sejarah dan budaya politis 3. Desain sistem pemilihan umum.7 Di sisi lain, setelah perubahan, Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia menganut desain sistem pemerintahan presidensial. Dalam sistem presidensial, Presiden tidak hanya sebagai pusat kekuasaan eksekutif, tetapi juga pusat kekuasaan negara. Artinya presiden tidak hanya sebagai kepala pemerintahan (chief of executive), tetapi juga kepala negara (chief of state). Namun dalam kenyataannya, sistem presidensial produk perubahan UUD 1945 juga sulit diimplementasikan. Faktor penyebabnya adalah sistem presidensial dipasangkan di atas struktur politik multipartai. Sebuah pasangan dan kondisi yang tidak lazim di negara-negara yang menganut sistem presidensial.8 Berbagai studi menunjukkan, paduan sistem presidensial dengan multipartai memang problematik. Juan Linz dan Arturo Velenzuela berpendapat, sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai (presidensial-multipartai) cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen serta menghadirkan demokrasi yang tidak stabil. 9 Terbukti, tiga presiden yang pernah dan sedang berkuasa di Indonesia10 mengalami berbagai hambatan. Di tengah sistem multipartai, koalisi yang sesungguhnya tidak lazim dalam tradisi presidensialisme justru menjadi kebutuhan mendasar dan sulit dihindari. Apalagi koalisi yang terbangun sangat rapuh dan cair karena karakter partai-partai dalam berkoalisi tidak disiplin dan pragmatis. Partai koalisi seringkali berdiri di
6 Hanta Yuda AR, 2010, Presidensialisme Setengah Hati, Dari Dilema Ke Kompromi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 27-30. 7 Rumusan kecenderungan sistem pemilihan terhadap sistem kepartaian secara sederhana dapat disimpulkan bahwa sistem distrik dalam pemilihan akan kondusif menciptakan sistem dua partai, sedangkan sistem proporsional akan kondusif menciptakan sistem banyak partai (multipartai). 8 Hanta Yuda AR, Kerentanan Presidensial-Multipartai, Harian Kompas, Senin, 28 Juli 2010. 9 Ibid 10 Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2001), Megawati Soekarno Puteri (20012004) dan Susilo Bambang Yudoyono (2004-2014).
2542 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
‘dua kaki’.11 Artinya, beberapa partai yang sebenarnya bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah justru ikut menentang kebijakan pemerintah yang dianggap tidak populer dan pro publik. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan dukungan publik demi perolehan suara di pemilu berikutnya. Paling tidak, ada empat fakta politik paling aktual pada masa pemerintahan saat ini yang menjadi potret kerentanan multipartai yang mereduksi sistem presidensial. Pertama, tingginya kompromi dalam pembentukan dan perombakan kabinet. Kedua, dukungan koalisi pendukung pemerintah tidak efektif. Ketiga, kontrol parlemen terhadap pemerintah cenderung berlebihan (legislative heavy) sehingga kebijakan presiden sangat sulit untuk mendapatkan dukungan politik di parlemen. Keempat, perjalanan pemerintahan dibayangi ancaman impeachment. Oleh karena itu, penyederhanaan partai politik di Indonesia menjadi sesuatu hal yang mutlak dilakukan. Penyederhanaan partai politik tersebut tentu harus dilakukan secara perlahan dan ‘alami’ agar tidak bertentangan dengan hak untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana yang telah diatur oleh UUD NRI Tahun 1945. 1.2.
Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah implementasi sistem presidensial di Indonesia? 2. Bagaimanakah perpaduan sistem multipartai dan sistem presidensial di Indonesia? 3. Bagaimanakah urgensi penyederhanaan partai politik dalam uapaya penguatan sistem presidensial di Indonesia? II. 2.1.
Tinjauan Pustaka Partai Politik dan Sistem Kepartaian Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai berperan sebagai penghubung antara proses pemerintahan dan warga negara.12 Partai politik juga merupakan satu wadah yang mengakomodasi hak kebebasan berserikat dan berkumpul. 11
Januari Sihotang, Setgab yang Gagap, Harian Suara Karya, 14 Januari 2010. Jimly Asshiddiqie, 2006, Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Op.cit, hlm. 52. 12
2543 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
Banyak sarjana yang mendefenisikan partai politik. Carl J Friedrich menulis sebagai berikut: Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini, memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat adil serta materiil .13 Senada dengan pengertian tersebut, Miriam Budiardjo mendefenisikan partai politik sebagai: Suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik –(biasanya) dengan cara konstitusional-untuk melaksanakan programnya.14 Sedangkan defenisi paling operasional menurut Riswandha Imawan adalah defenisi yang diberikan Giovanni Sartori yang mendefinisikan partai politik sebagai kelompok politik apapun yang dikenali lewat label resmi yang ada saat pemilihan umum, dan mampu menempatkan wakil-wakilnya pada jabatan publik melalui pemilihan umum 15. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik mendefinisikan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan citacita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13
Friedrich, 1967, Constitutional Government and Democracy: Theorie and Practice in Europe and America, edisi ke 5, , Weltham Mass; Blasidell Publishing Company , hlm. 419. Sebagaimana dikutip Miriam Budiardjo, Ibid, hlm. 404. 14 Miriam Budiardjo, Ibid. 15 Riswandha Imawan, 2001, Pemilu Sebagai Sarana Demokratisasi Politik di Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 3.
2544 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
Menurut Riswandha Imawan, terdapat beberapa fungsi partai politik yang paling mendasar16, yakni: 1. Melaksanakan fungsi input dari sistem politik. 2. Membuat dan engontrol aktivitas pemerintahan. 3. Regulator konflik masyarakat. Namun, pelaksanaan fungsi partai politik akan berbeda di masing-masing negara. Pelaksanaan fungsi ini akan sangat banyak tergantung kepada sejarah kelahiran sebuah partai politik dan kondisi perpolitikan di negara tersebut. Sehingga fungsi partai politik di negara demokrasi dan otoriter akan sangat berbeda.17 Pelaksanaan fungsi partai politik itu sendiri akan sangat tergantung dengan sistem kepartaian yang dianut suatu negara. Duverger membagi sistem kepartaian ke dalam tiga bagian18, yakni: 1.
2.
3.
Sistem partai-tunggal dipakai untuk partai yang benar-benar merupakan satu-satunya partai dalam satu negara maupun untuk partai yang memiliki kedudukan dominan di antara partai yang lain. Sistem dwi-partai diartikan bahwa ada dua partai di antara beberapa partai yang berhasil memenangkan tempat dua teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan. Sistem multi-partai merupakan sistem kepartaian yang memiliki banyak partai, namun tak ada partai yang benar-benar dominan.
2.2.
Sistem Pemerintahan Sistem pemerintahan adalah sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara.19 Pendapat ini juga tak jauh berbeda dengan Jimly Asshiddiqie yang mengemukakan bahwa sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan fungsi legislatif.20
16
Riswandha Imawan, Op.cit, hlm.3. Miriam Budiardjo, Op.cit, hlm. 405. 18 Lihat Miriam Budiardjo, Ibid, hlm. 415-420. 19 Mahfud MD, 1993, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hlm. 83. 20 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 311, 17
2545 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
Ada 3 (tiga) jenis sistem pemerintahan, yakni:21 1. Sistem Presidensial Terdapat beberapa ciri pokok sistem presidensial22, yakni kepala pemerintahan adalah presiden yang sekaligus juga sebagai kepala negara. Presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Presiden memegang kendali pemerintahan. Ia adalah kepala lembaga eksekutif yang menunjuk mmenteri-menteri yang akan duduk di dalam kabinet. menteri-menteri adalah para pembantu presiden yang bertanggung jawab kepada presiden. Oleh karena presiden juga adalah kepala negara, ia memegang kekuasaan simbolis tersebut.23 Kedudukan presiden dan parlemen adalah sama-sama kuat karena presiden dan parlemen memiliki legitimasi yang kuat melalui pemilihan umum yang terpisah.24 Arend Lijphart mengemukakan beberapa kelebihan sistem presidennsial25, yaitu stabilitas pemerintahan, demokrasi yang lebih besar dan pemerintahan yang lebih terbatas. Sedangkan kekurangan sistem presidennsial adalah munculnya kemandegan (deadlock) eksekutif-legislatif, kekakuan temporal dan pemmerintahan yang kurang inklusif. 2.
Sistem Parlementer Sistem parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang perdana menteri yang diangkat dari partai atau koalisi partai yang menguasai suara mayoritas di parlemen. Sedangkan kepala negara tidak dipegang oleh perdana menteri, namun oleh seorang presiden atau tergantung masing-masing negara. Misalnya, di Inggris, kepala negara dipimpin oleh Ratu, di Malaysia oleh Yang Dipertuan 21
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm.25. 22 Maswadi Rauf, dkk, 2009, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka pelajar, Yogyakarta, hlm. 30-34. 23 Di dalam sistem presidensial, kekuasaan seorang presiden meliputi kekuasaan politik nyata dan kekuasaan politik simbolis yang mencerminkan kewenangan yang diberikan oleh negara. 24 Oleh karena memiliki legitimasi dan kedudukan yang sama kuat, maka presiden tidak bertanggung jawab terhadap parlemen. Namun, presiden juga tidak boleh membubarkan parlemen, sebaliknya parlemen tidak boleh menjatuhkan presiden, kecuali karena alasan pelanggaran hukum berat yang harus memerlukan proses hukum terlebih dahulu. 25 Arend Lijphart, 1995, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial (Sebuah Terjemahan), Cetakan Pertama, Oxford University Press,London, hlm. 13-18.
2546 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
Agung dan Australia oleh seorang Gubernur Jenderal yang masih berada di bawah pengaruh Ratu Inggris.26 Sistem parlementer ini sering juga disebut sistem eksekutif parlementer, sistem kabinet, atau sistem Inggris karena sistem ini berasal dari Inggris.27 Penggunaan istilah sistem eksekutif parlementer atau sistem kabinet hanya ingin menunjukkan bahwa kekuasaan eksekutif dalam sistem parlementer berada di tangan kabinet, bukan di presiden.28 Perdana menteri dengan dewan menteri maupun kabinetnya bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya. Sedangkan kepala negara tidak boleh diganggu gugat. 3.
Sistem Semi-Presidensial. Duverger menyatakan bahwa sistem pemerintahan semi-presidensial bukan merupakan syntesis dari sistem parlementer dan sistem presidensial.29 Tetapi merupakan alternation di antara tahapan-tahapan dalam sistem presidensial dan sistem parlementer. Pendapat Duverger berbeda dengan pendapat Sartory yang menyatakan bahwa sistem semi-presidensial sungguhsungguh merupakan sistem pemerintahan campuran.30 III. 3.1.
Metode Penelitian Lokasi/ Tempat Penelitian Lokasi /tempat penelitian dilakukan di Perpustakaan Pusat Universitas HKBP Nommensen serta di dunia maya melalui penelusuran literatur melalui internet.
26
Denny Indrayana, Op.cit, hlm. 192-193. Nomensen Sinamo, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta, hlm. 63. 28 Ibid, hlm. 64. 29 Ibid, hlm. 44. 30 Pendapat Sartory ini kemudian dikuatkan dalam Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas, Jakarta, hlm. 193-194 yang menyatakan bahwa sistem pemerintahan semi-presidensial ala Perancis pada masa republik kelima dapat dikelompokkan sebagai sistem pemerintahan campuran (hibrid) dengan menggabbungkan beberapa elemen sistem pemerintahan presidensil dan parlementer. Dimana peran kepala negara dijalankan oleh Presiden dan peran kepala pemerintahan dijalankan oleh perdana menteri. Presiden dalam hal ini tidak hanya melaksanakan tugas-tugas seremonial yang simbolik seperti dalam sistem parlementer. Hal itu karena Presiden dipilih dan bertanggung jawab kepada rakyat secara langsung. 27
2547 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
3.2. a.
b.
c.
Bahan Penelitian Dalam penelitian ini bahan penelitian yang digunakan meliputi: Bahan hukum primer; bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat, yaitu berupa: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Partai Politik, Undnag-Undnag Nomor 22 Tahun 2007 tentang Pemilihan Umum (serta perubahannya jika sudah disahkan), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan sebagainya. Bahan hukum sekunder; bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari: 1) Buku-buku yang berkaitan dengan tema sistem pemerintahan, sistem kepartaian dan lembaga kepresidenan, baik cetak maupun elektronik. 2) Majalah, jurnal, artikel-artikel ilmiah, baik dari surat kabar maupun internet yang relevan dengan penelitian. Bahan hukum tertier; bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa: Kamus Umum, Kamus Bahasa Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Bahasa Inggris-Indonesia.
3.3.
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan mendasarkan penelitian pada data sekunder yakni data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan, berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal dan kamus-kamus hukum. IV. 4.1.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Implementasi Sistem Presidensial di Indonesia Di Indonesia, sistem hubungan antar cabang kekuasaan negara dapat dilihat secara eksplisit di dalam konstitusi, mulai dari UUD 1945 hingga UUD NRI Tahun 1945. 4.1.1. UUD 1945 Pembahasan mengenai sistem pemerintahan merupakan salah satu topik yang menjadi perhatian utama pada masa Sidang Badan Penyelidik 2548 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mulai 28 Mei-1 Juni 1945. Dalam pembahasan itu, anggota BPUPKI cenderung menolak sistem parlementer, namun tidak secara eksplisit pula menerima sistem pemerintahan presidensial.31 Anggota BPUPKI lebih sepakat membentuk sistem pemerintahan sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dari pendapat Soepomo yang menyatakan bahwa sistem pemerintahan yang akan dibentuk hendaknya sebuah pemerintahan yang kuat dan stabil, dimana kabinet adalah pembantu Presiden dan tidak bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat, tetapi sepenuhnya tunduk kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Keinginan membentuk ‘sistem pemerintahan sendiri’ itulah yang kemudian menyebabkan muncul perdebatan terhadap sistem pemerintahan Indonesia setelah UUD 1945 dibentuk. Secara umum, ada 2 (dua) bagian besar pendapat tentang sistem pemerintahan di Indonesia: a. Sistem Presidensial Pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia menggunakan sistem presidensial dapat dilihat dari beberapa ciri yakni: 1) Presiden merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan 2) Adanya kepastian masa jabatan Presiden yaitu lima tahun 3) Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR 4) Presiden tidak dapat membubarkan DPR b. Sistem Campuran Sedangkan pihak-pihak yang berpendapat bahwa Indonesia menggunakan sistem campuran memiliki alasan bahwa sistem pemerintahan Indonesia tersebut memiliki ciri-ciri atau karakter sistem parlementer maupun sistem presidensial. Ciri-ciri sistem presidensial adalah sebagaimana dijelaskan dalam poin (b) sebelumnya, sedangkan ciri-ciri sistem parlementer dapat dilihat dalam mekanisme pertanggungjawaban Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Penulis sendiri sesungguhnya lebih sepakat bahwa pada masa UUD 1945, Indonesia menggunakan sistem pemerintahan campuran walaupun lebih didominasi ciri-ciri sistem presidensial. Namun, tak bisa dipungkiri juga bahwa sistem pemerintahan Indonesia pada masa UUD 1945 juga tidak 31
Saldi Isra, op. Cit, hlm. 51.
2549 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
dapat dikatakan sepenuhnya sistem pemerintahan presidensial karena tidak memiliki salah satu ciri-ciri pokok dalam sistem presidensial, yakni pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Pada masa UUD ini, Presiden justru dipilih oleh MPR dan Presiden juga sekaligus sebagai mandataris MPR dimana hal ini merupakan ciri-ciri sistem parlementer. 4.1.2. UUD NRI Tahun 1945 Salah satu fokus utama dalam perubahan UUD 1945 adalah penataan kembali sistem pemerintahan. Jika dalam UUD 1945 masih belum ada kesepakatan mengenai sistem pemerintahan, maka dalam perubahan UUD 1945 sudah disepakati bahwa sistem pemerintahan yang digunakan di Indonesia adalah sistem pemerintahan Presidensial. Oleh karena itu, dalam perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali (1999-2002) dilakukan upayaupaya pemurnian (purifikasi) sistem presidensial melalui beberapa perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, yakni: a. b. c. d. e.
Mengubah mekanisme pemilihan Presiden/Wakil Presiden Membatasi periodesasi masa jabatan Presiden/Wakil Presiden Memperjelas mekanisme pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden Larangan Presiden untuk membubarkan DPR Menata ulang kelembagaan MPR
4.2.
Perpaduan Sistem Multipartai dan Sistem Presidensial di Indonesia Dalam sistem multipartai, koalisi menjadi sebuah keniscayaan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dalam bagian latar belakang penelitian ini, dalam sistem multipartai akan sangat susah muncul partai mayoritas di parlemen. Dengan demikian, untuk mendukung pemerintahan, partai pendukung pemerintah harus berkoalisi dengan partai lain dengan menjadikan kursi kabinet dan jabtan-jabatan strategis lainnya sebagai alat tawar-menawar. Praktik inilah yang terjadi di Indonesia, setidaknya sejak tahun 2004 setelah Presiden/Wakil Presiden dipilih secara langsung melalui pemilihan umum. Pada Pemilihan Umum 2004, 2009 dan 2014, pemilihan umum di Indonesia selalu diikuti oleh banyak partai. Pada Pemilihan Umum 2004 diikuti oleh 24 partai politik, Pemilihan Umum 2009 diikuti 44 partai politik dan Pemilihan Umum 2014 cenderung menurun dengan diikuti 12 partai 2550 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
politik. Pada pemilihan umum 2004, pasangan Presiden/Wakil Presiden terpilih justru bukan dari partai pemenang pemilu. Pasangan SBY-JK justru didukung Partai Demokrat yang hanya mendapatkan 7 persen suara. Kondisi ini mengharuskan Partai Demokrat berkoalisi dengan partai lain, termasuk dengan partai pemenang pemilu saat itu, yakni Partai Golkar. Hal ini menyebabkan munculnya ‘matahari kembar’ dalam pemerintahan. Jusuf Kalla yang merasa didukung oleh partai terbesar seringkali overlapping dari posisinya sebagai Wakil Presiden. Padahal, Partai Golkar bukan partai pendukung utama Presiden/Wakil Presiden karena Partai ini justru bergabung setelah pasangan SBY-JK memenangkan Pemilu Presiden. Pada Pemiu 2009, kondisinya lebih baik. Pasangan SBY-Boediono didukung oleh Partai Demokrat yang merupakan partai pemennag Pemilu pada saat itu dengan raihan suara sekitar 20,1 persen. Kendati demikian, partai ini tetap saja tidak menjadi mayoritas di parlemen sehingga mengharuskan koalisi dengan partai politik lain. Kerentanan bangunan sistem presidensial dalam bingkai sistem multipartai sangat nyata dalam Pemilu 2014. Pemilihan umum tersebut benar-benar menghasilkan pemerintahan terbelah (divided government). Makna pemerintahan terbelah adalah kondisi ketika terjadi perbedaan dominasi antara partai atau gabungan partai politik penguasa (the rulling party) dengan partai yang mendominasi legislatif. 4.3.
Urgensi Penyederhanaan Partai Politik dalam Uapaya Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia Untuk menyederhanakan partai politik dapat dilakukan dengan berbagai cara dengan catatan tidak boleh melarang pembentukan partai politik baru atau memberi keistimewaan kepada partai politik tertentu. Kesempatan pembentukan partai politik harus tetap dibuka sebagai manifestasi kebebasan berserikat dan berkumpul. Selain itu,hal yang harus diperhatikan dalam proses penyederhanaan partai politik adalah jangan sampai menimbulkan penindasan atau pengingkaran terhadap hak-hak minoritas. Agar penyederhanaan partai politik tidak dianggap sebagai upaya untuk membatasi kebebasan berserikat dan berkumpul, menghindari suara rakyat yang terbuang, serta mempermudah proses pengambilan keputusan kenegaraan, maka penyederhanaan partai politik dapat dilakukan dengan berbagai cara dan secara bertahap. Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam penyederhanaan partai politik adalah sebagai berikut: 2551 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
1.
Memperketat syarat pendirian partai politik Untuk menjadi partai politik, tentu partai politik tersebut harus berbadan hukum dengan cara didaftarkan ke Departemen Hukum dan HAM. Untuk mendapatkan status badan hukum, partai politik yang akan didaftarkan harus memiliki kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;32 serta harus memiliki kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum. 2.
Pemberlakuan dan peningkatan Electoral Threshold Electoral threshold adalah ambang batas ataupun persyaratan yang harus dipenuhi oleh suatu partai politik untuk dapat mengikuti atau menjadi peserta pemilihan umum. Pemberlakuan Electoral trheshold ini menjadi sangat penting agar partai politik yang akan menjadi peserta pemilihan umum adalah partai yang benar-benar mampu menjalankan fungsinya dengan baik. Memang, Undang-Undang sudah mengatur mengenai pemberlakuan electoral trheshold yakni dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, sebagai berikut:33 a. Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. b. Partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan: 1) berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; 2) memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; 3) memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; 4) memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;
32 33
Lihat Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011. Lihat Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012.
2552 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
5)
6)
7)
8) 9)
menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU.
3.
Peningkatan Parliamentary Threshold Parliamentary Threshol dapat dipahami sebagai ambang batas suara sah secara nasional yang harus dipenuhi sebagai syarat untuk memperoleh kursi di parlemen. Menurut Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurangkurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.34 Sedangkan bagi Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208, tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap daerah pemilihan. Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak
34
Lihat Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2553 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208.35 Namun demikian, Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 telah diubah seiring dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUUX/2012 yang menyatakan bahwa Pasal 208 sepanjang frasa “secara nasional” Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah inkonstitusional sepanjang tidak dibaca: Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara bertingkat di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Kemudian Mahkamah Konstitusi juga menyatakan penjelasan Pasal 208 sepanjang frasa” jumlah suara sah secara nasional adalah hasil penghitungan untuk suara DPR” UUNomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah inkonstitusional sepanjang tidak dibaca: Yang dimaksud dengan “jumlah suara sah secara bertingkat di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota” adalah hasil penghitungan untuk suara DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.36 Hemat penulis, syarat 3,5 persen Parliamentary Threshol masih belum ideal di dalam upaya menciptakan sistem multipartai sederhana. Oleh karena itu, jika memang pembentuk Undang-Undang memiliki kesepahaman dalam memperbaiki desain sistem presidensial, maka harus ada keberanian untuk meningkatkan Parliamentary Threshol. Parliamentary Threshol jangan lagi menjadi alat tawar-menawar antara partai politik besar, menengah dan kecil. Jika angka Parliamentary Threshol hanya pada tataran 4-5 persen, maka penulis yakin tidak akan mampu secara signifikan mengurang jumlah partai politik. Hemat penulis, angka Parliamentary Threshol 10 persen merupakan angka ideal di dalam menciptakan sistem multipartai sederhana.
35
Lihat Pasal 209 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 36 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012
2554 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
4.
Menerapkan Sistem Pemilu Distrik Selain upaya-upaya yang telah dijelaskan sebelumnya, jika bangsa ini ingin benar-benar mengurangi jumlah partai politik, maka cara yang paling ampuh, alami namun sedikit ekstrim adalah dengan melakukan perubahan sistem pemilihan umum. Harus diakui, bahwa dengan sistem pemilihan umum proporsional yang digunakan saat ini, maka peluang bagi partai politik menengah dan kecil untuk mendapatkan kursi di parlemen. Untuk mendapatkan kursi, tidak harus menjadi partai pemenang di Daerah pemilihan, tetapi harapan memperoleh kursi masih ada dalam perhitungan sisa suara. Hal tersebut berbeda dengan sistem pemilihan umum distrik. Dalam sistem distrik, calon legislatif yang mendapatkan kursi harus menempati nomor urut pertama perolehan suara di Daerah pemilihan (Distrik). Dengan demikian, peluang untuk mendapatkan kursi parlemen hanya ada jika partai politik dan calon legislatif tersebut benar-benar merupakan figur yang dikenal dan paling mendapat dukungan masyarakat. Tentu, hal ini dapat terjadi di partai politik besar. Implikasinya, sebelum mendirikan partai politik atau sebelum mencalonkan diri menjadi calon legislatif, harus dipikirkan matang-matang. Tidak ada lagi istilah coba-cba seperti yang sering dilakukan politisi-politisi selama ini. Dengan demikian, sistem ini dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan dapat mengubah psikologi masyarakat dan berpotensi besar mengurangi jumlah partai politik di Indonesia. V. 5.1. 1.
2.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Adapun kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Implementasi sistem presidensial di Indonesia tidak terlepas dari pengaturan dalam UUD NRI Tahun 1945. Kendati tidak terdapat satu pasal pun yang secara eksplisit mengatur sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia, namun dari ciri-ciri yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945 dapat disimpulkan bahwa Indonesia menerapkan sistem presidensial. Sistem presidensial yang diimplementasikan dalam desain sistem kepartaian multipartai di Indonesia telah mengakibatkan munculnya Presiden dan Wakil Presiden yang didukung oleh partai politik yang memiliki dukungan minoritas di parlemen sehingga menimbulkan pemerintahan terbelah (divided government). Hal ini terjadi karena 2555
ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
3.
VI. 1.
2.
dengan sistem multipartai, sangat berat bagi suatu partai untuk mendapatkan suara mayoritas di parlemen. Keadaan yang demikian menyebabkan koalisi antar partai menjadi sebuah keniscayaan. Namun, koalisi yang dibangun lebih kepada karena kesamaan kepentingan yang tidak selalu sama dan bukan atas platform yang sama menyebabkan koalisi menjadi sangat rapuh. Dengan demikian, walaupun Presiden dan Wakil Presiden didukung koalisi yang mayoritas di parlemen, tidak menjadi jaminan hubungan parlemen dan Presiden mulus dan kebijakannya berjalan dengan baik. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam penyederhanaan partai politik adalah sebagai berikut: a. Memperketat syarat pendirian partai politik b. Pemberlakuan dan peningkatan Electoral Threshold c. Peningkatan Parliamentary Threshold d. Menerapkan Sistem Pemilu Distrik Saran-saran Adapun saran-saran penulis adalah sebagai berikut: Upaya mewujudkan sistem multipartai sederhana yang dapat mendukung sistem presidensialisme hanya dapat dilakukan jika ada kesepahaman dan komitmen bersama di dalam perubahan-perubahan peraturan perundang-undangan terkait. Oleh karena itu, ke depan, pembentukan Undang-Undang Pemilihan Umum yang mengatur mengenai syarat-syarat pendirian partai politik, electoral threshold maupun parliamentary threshold tidak dilaksanakan berdasarkan kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok. Penyederhanaan partai politik hendaknya dipahami semua pihak sebagai suatu upaya untuk menciptakan sistem presidensial yang berkontribusi positif dalam penyelenggaraan berbangsa dan bernegara, bukan untuk menghambat kepentingan kelompokkelompok tertentu. Daftar Pustaka
Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas, Jakarta. Denny Indrayana, 2011, Indonesia Optimis, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta. 2556 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
Hanta Yuda AR, 2010, Presidensialisme Setengah Hati, Dari Dilema Ke Kompromi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Jimly Asshiddiqie, 2006, Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta. Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Buana Ilmu Populer, Jakarta. Mahfud MD, 1993, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Amandemen, Nusa Media, Bandung. Maswadi Rauf, dkk, 2009, Sistem Presidensial dan Sosok Presiden Ideal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Cetakan Keempat,PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Nomensen Sinamo, 2010, Perbandingan Hukum Tata Negara, Jala Permata Aksara, Jakarta. Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Pradjoto, 1983, Kebebasan Berserikat di Indonesia, Sinar harapan, Jakarta. Riswandha Imawan, 2001, Pemilu Sebagai Sarana Demokratisasi Politik di Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Riswanda Imawan, 2004, Partai Politik Di Indonesia: Pergulatan Setengah Hati Mencari Jati Diri, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajagrafindo Persada, Jakarta. Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2013. Januari Sihotang, 2014, Mendesain Pemilu Nasional Serentak dalam Rangka Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia, makalah disampaikan pada Konferensi Nasional Hukum tata Negara dan Penganugerahan Muhammad Yamin Award, Sawahlunto, 2 Juni 2014. M Ilham Habibie, 2009, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial di Indonesia, Thesis, Universitas Diponegoro, Semarang. 2557 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
S.E.M. Nirahua, 2009, Sistem Multipartai dalam Pemilihan Umum di Indonesia, Jurnal Konstitusi Volume II Nomor 1, Fakultas Hukum Universitas Patimura, Ambon. Gun Gun Heryanto, Menata Ulang Sistem Presidensialisme, Harian Seputar Indonesia, 25 November 2010. Hanta Yuda AR, Kerentanan Presidensial-Multipartai, Harian Kompas, Senin, 28 Juli 2010. Janedjri M Gaffar, Konsolidasi Sistem Pemilu, Harian Seputar Indonesia, Senin, 28 November 2011. Januari Sihotang, Setgab yang Gagap, Harian Suara Karya, 14 Januari 2010. Valina Singka Subekti, Komplikasi Sistem Presidensial, Harian Seputar Indonesia, 1 November 2010.
2558 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24 (2) 2540 - 2558
BIOGRAFI PENULIS Januari Sihotang, S.H., LL.M., lahir di Pulau Samosir, 1 Januari 1984. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum (S.H) dari Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Medan (2008). Kemudian melanjutkan pendidikan di Klaster Kenegaraan Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (MIH-UGM) dan mendapatkan gelar Master of Laws (LL.M) sebagai lulusan terbaik dengan predikat cum-laude (2012). Mengabdi sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen sejak 2012 sampai sekarang. Bidang keahlian penulis adalah dalam bidang ketatanegaraan seperti Hukum Konstitusi, Hukum Kelembagaan Negara, Hukum Otonomi Daerah, Pemilu, Legal Drafting dan Hukum Pajak. Aktif menjadi pembicara di berbagai seminar hukum, meneliti dan menulis. Menjadi juri dan pembimbing dalam berbagai kompetisi debat hukum seperti Unpar Law Fair (2010), Debat Aspirasi Untuk Negeri kerja sama TVONE dan BNI (2013-2014), Debat Publik UNPAB (2014) dan lain-lain. Sampai saat ini, sudah menulis sekitar 300-an artikel hukum di berbagai majalah dan surat kabar, baik lokal maupun nasional. Peminat sastra dan kajian filsafat. Penulis dapat dihubungi melalui email:
[email protected] atau nomor handphone: 085296044787. Saat ini berdomisili di: Jl. Sejahtera Nomor 25 Gaperta Ujung Medan Helvetia, Medan, Sumatera Utara dan alamat kantor di Fakultas Hukum Universitas HKBP Medan Jjl. Sutomo Nomor 4A Medan.
2559 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 Pengalihan Risiko Gugatan Konsumen Melalui Mekanisme Asuransi Tanggung Jawab Produk Debora, SH., MH. Dosen Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen Medan ABSTRACT
Insurance institution becomes important to transfer produceris liability risk for the products he produced for consumers consumption or use, if consumers sujer accident and or loss because of consuming or using such product. In Indonesia, the intention to materialize legal effort of Consumer Protection has existed since 1998 with enactment of Law Number 8 of 1999 on Consumer Protection. The existing regulations on insurance has not made manufacturers to buy liability insurance for their products, yet a few joint venture insurance companies ojer this type of insurance in the market. To face business law development especially in insurance area which its impact on legal protection for consumers of product in general, at present it is necessary to have a reform and or regulation which certainty will be able to anticmate the development of business, in creating and implementing contracts in insurance business practices. The research method used in this dissertation is normative-qualitative with comparative approach. The analysis of research uses transfer of risk theory. The outcome of the research shows that product liability insurance has an important role in protecting consumers' interest in the current Indonesian society. This product liability insurance provides guarantee for consumers to receive compensation U' the products being used cause injuries/loss, even such compensation is not only for the consumer who uses the product but also for bystanders when the product is being used in mechanism of product liability insurance, producers have to pay premium for products insured which its value shall depend on quantity and type of product, risk level for products insured. The idea of the need for consumer protection through product liability insurance becomes absolute to be accommodated in legislative regulations, up to implementation of risk transfer mechanism in the forms of Risk Retention Group (RRG) or Kelompok Penahan dan Berbagi Risilco (KPBR), namely a group of persons/legal entities which functions as insurance company for its members, the members who also own this company bear the same risk exposure; and Purchasing Group (PG) or Kelompok Pembeli Asuransi (KIM) namely a group of persons/legal entities 2559 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 that purchase insurance policy based on the group. These call for comprehensive legal reform, not only in the field of consumer protection law but also insurance law, to be precise through amending the Law Number 2 of 1992 on Insurance Business. Keywords : Consumer, Regulation, and Government I.
Pendahuluan
I.1.
Latar Belakang Prinsip tanggung jawab muntlak dalam hukum perlindungan konsumen (strict product liability) dirasakan penting, paling tidak didasarkan pada empat alasan, yaitu pertama, tanggung jawab muntlak merupakan instrumen hukum yang relatif masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen memperoleh ganti kerugian. Kedua tanggung jawab muntlak merupakan bagian dan hasil dari perubahan hukum di bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan yang dalam prakteknya sering menampakkan kesenjangan atau “gap” antara standar yang diterapkan di Negara yang bersangkutan, yaitu antara kebutuhan keadilan masyarakat dengan standar perlindungan konsumen dalam hukum positifnya. Ketiga, penerapan prinsip tanggung jawab muntlak melahirkan masalah baru bagi produsen, yaitu bagaimana produsen menangani risiko gugatan konsumen. Keempat, Indonesia merupakan contoh yang menggambarkan dua kesenjangan yang dimaksud, yaitu antara standar norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan kepentingan dan hak-hak konsumen. Ketika suatu bangsa memasuki tahap Negara kesejahteraan, tuntutan terhadap intervensi pemerintah melalui pembentukan hukum yang melindungi pihak yang lemah sangatlah kuat. Pada periode ini Negara mulai memperlihatkan antara lain kepentingan tenaga kerja, konsumen, usaha kecil dan lingkungan hidup. Perlindungan terhadap konsumen merupakan konsekuensi dan bagian dari kemajuan teknologi dan industri, karena perkembangan produk-produk industri di satu pihak, pada pihak lain memerlukan perlindungan terhadap konsumen. Kemajuan teknologi dan industri telah pula memperkuat perbedaan antara pola hidup masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Keberatan produsen atas penerapan prinsip tanggungjawab muntlak didasarkan pada pertimbangan bahwa prinsip tanggung jawab muntlak membuka peluang bagi konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian yang relatif lebih besar. Risiko tersebut dapat saja mengganggu kelangsungan usaha, bahkan dapat berakibat sampai pada penutupan perusahaan karena tidak mampu membayar ganti kerugian konsumen. 2560 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 Untuk mengantisipasi kondisi yang paling buruk dalam menghadapi gugatan konsumen, maka salah satu mekanisme yang dapat digunakan adalah melalui asuransi, yang dikenal dengan asuransi tanggung jawab produk (product liability insurance). Perjanjian asuransi adalah perjanjian dengan syarat itikad baik yang sempurna, maksudnya ialah bahwa perjanjian asuransi merupakan perjanjian dengan keadaan bahwa kata sepakat dapat tercapai/negoisasi dengan posisi masing-masing mempunyai pengetahuan yang sama mengenai fakta, dengan penilaian sama penelaahannya untuk memperoleh fakta yang sama pula, sehingga dapat bebas dari cacat-cacat tersembunyi. Salah satu cara untuk mengatasi resiko tersebut adalah dengan cara mengalihkan risiko (transfer of risk) terhadap pihak lain diluar manusia.1 Pada saat ini pihak lain penerima risiko dan mampu mengelola risiko tersebut adalah perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi adalah perusahaan yang secara profesional menyediakan diri untuk mengambil alih dan menerima risiko pihak-pihak lain. Dengan pembayaran tertentu, risiko yang menjadi tanggung jawabnya itu kemudian dikelola sedemikian rupa dalam suatu rangkaian kegiatan yang berkelanjutan, sebagai kegiatan perusahaan.2 Perusahaan asuransi merupakan badan hukum yang menerima peralihan risiko dimana terdapat subjek hukum yakni manusia yang berusaha mengurangi risiko atas hidupnya. Di Indonesia, perusahaan asuransi bekerja dengan landasan yuridis yang kuat yakni Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Sejauh ini bentuk badan hukum asuransi tersebut adalah : Perseroan Terbatas (PT), Pesero (BUMN), dan Koperasi. Di mata produsen, asuransi bagaikan pedang bermata dua. Disatu sisi asuransi dimaksudkan untuk mengantisipasi tuntutan ganti kerugian yang timbul dari penggunaan produk yang dihasilkan atau dijual, namun pada sisi lain, asuransi juga merupakan biaya yang berkaitan dengan tanggung jawba produk yang ditanggung oleh perusahaan dalam aktivitas bisnisnya. Dari segi kebutuhan pengalihan risiko, perusahaan asuransi berperan sebagai penanggung atas gugatan yang diajukan oleh konsumen. Lembaga asuransi dimaksudkan pula untuk memenuhi permintaan atau tuntutan masyarakat dalam menciptakan keseimbangan kepentingan konsumen dan produsen, dengan memberikan ruang lingkup jaminan atas risiko tanggung jawab akibat kecelakaan atau kerusakan yang diderita oleh konsumen.
1 M.Suparman Sastrawidjaja, Aspek-Aspek Hukum dan Surat Berharga, PT. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 9. 2 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 197-198.
2561 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 Oleh karena itulah dipilih judul tulisan ini yaitu PENGALIHAN RISIKO GUGATAN KONSUMEN MELALUI MEKANISME ASURANSI TANGGUNGJAWAB PRODUK. I.2.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa masalah yang timbul yaitu : 1. Bagaimana risiko atau tanggungjawab produsen berdasarkan prinsip tanggung jawab muntlak dapat diakomodasi dalam sistem asuransi. 2. Bagaimana strategi yang digunakan oleh perusahaan asuransi dan pemerintah dalam menghadapi risiko gugatan konsumen. II.
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.
Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Konsumen Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai defenisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pasal 1 angka (2) UUPK menyatakan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Sebelum muncul UUPK yang diberlakukan pemerintah mulai 20 April 2000, praktis hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Diantara ketentuan normatif tersebut terdapat Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999 diberlakukan 5 Maret 2000, satu tahun setelah diundangkan). UU No.5/1999 memuat dalam Pasal 1 angka (15) suatu defenisi tentang konsumen yaitu setiap pemakai dan/atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. Batasan tersebut mirip dan garis maknanya diambil alih oleh UUPK.3 Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan yang dimaksud dengan konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari pemegang izin usaha penyediaan tenagalistrik. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi mendefenisikan konsumen itu adalah pelanggan dan 3
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2000, hlm. 1-2.
2562 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 pemakai, yaitu pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak. Sedangkan pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa yang tidak berdasarkan kontrak. Istilah yang dekat dengan konsumen adalah pembeli, pengertian konsumen jelas lebih luas dari pada pembeli. Pakar masalah hukum konsumen di Belanda, Hondius sebagaimana dikutip oleh Tim FH UI dan Depdagri disimpulkan bahwa, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda dan/atau jasa (uiteindelijk gebruiker van goederenen diesten). Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir (konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir.4 Dan kita bisa lihat penjelasan Pasal 1 angka 2 dalam UUPK menyatakan di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang dan/atau jasa baginya, dan/atau jasa menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggungjawab.5 Perlindungan konsumen yang dijamin oleh Undang-Undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan diantara keduanya”. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihanya atas barang dan/atau jasa kebutuhannya serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.6
4
Tim FH UI dan Depdagri, Rancangan Akademik UUPK, Jakarta, 1992, hlm. 57. Adrian Sutedi, Tanggung Tawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Bogor, Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 8. 6 Ibid., hlm. 9. 5
2563 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 2.
Hak dan Kewajiban Konsumen
Dalam Pasal 4 UUPK No. 8 Tahun 1999 hak dari konsumen adalah sebagai berikut : 1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa; 2) Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; 3) Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan; 5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 6) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen; 7) Hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminasi; 8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apa bila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian dan atau sebagai mana mestinya; 9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Adapun kewajiban konsumen menurut Pasal 5 UUPK adalah : 1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan. 2) Beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. 3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. 4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. II.2. Tinjauan Umum Tentang Pelaku Usaha II.2.1 Pengertian Pelaku Usaha Dalam Pasal 1 angka (3) UUPK disebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri
2564 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.7 Dalam penjelasan UUPK Pasal 1 angka (3), yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor dan lain-lain.8 Dalam Pasal 1 angka (5) UU No.5/1999 menyatakan Pelaku Usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk adan hukum atau yang bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indinesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan barbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. II.2.2 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Adapun hak-hak pelaku usaha yang dimuat dalam Pasal 6 UUPK adalah sebagai berikut : 1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan; 2) Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikat tidak baik; 3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya didalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; 4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; 5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya; Adapun kewajiban pelaku usaha yang dimuat dalam Pasal 7 UUPK adalah sebagai berikut : 1) Beriktikat baik dalam melakukan kegiatan usanya. 2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan. 3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.
7
Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Ditinjau dari Hukum Acara Perdata serta Implementasinya, Jakarta, Prenada Media Group, 2008, hlm. 385. 8 Ibid. hlm. 423.
2565 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku. 5) Memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan dan/atau diperdagangkan; 6) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan konsumen tidak sesuai dengan perjanjian. Kewajiban pelaku usaha beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usaha merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) BW. Bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan Arrest H.R. Di Negera Belanda memberikan peranan tertinggi terhadap iktikad baik dalam tahap pra perjanjian, bahkan kesesatan ditempatkan di bawah asas iktikad baik, bukan lagi pada teori kehendak. Begitu pentingnya iktikad baik tersebut, sehingga dalam perundingan-perundingan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh iktikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus bertindak dengan mengingat kepentingan-kepentingan yang wajar dari pihak lain.9 II.2.3 Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha Seperti diketahui bahwa UUPK menetapkan tujuan perlindungan konsumen antara lain adalah untuk mengangkat harkat kehidupan konsumen, maka untuk maksud tersebut berbagai hal yang membawa akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa harus dihindarkan dari aktivitas perdagangan pelaku usaha. Sebagai upaya untuk menghindarkan akibat negatif pemakaian barang dan/atau jasa tersebut, maka Pasal 8 UUPK menentukan berbagai larangan sebagai berikut: 1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangan-undangan. b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih, atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etikat barang tersebut.
9
Ibid.,hlm. 52.
2566 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya. d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etikat, atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut. e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya metode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tertentu. f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etikat, keterangan, iklan, atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. g. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu. Penggunaan/ pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu. h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label. i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha, serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat. j. Tidak mencamtumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. 2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. 3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. 4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta menariknya dari peredaran. Pada intinya subtansi Pasal 8 UUPK ini tertuju pada 2 hal, yaitu larangan memproduksi barang dan/atau jasa, dan larangan memperdagangkan barang dan /atau jasa yang dimaksud yaitu barang-barang yang tidak membahayakan konsumen dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Larangan-larangan yang dimaksudkan ini, hakikatnya menurut Nurmadjito yaitu untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar di masyarakat merupakan produk yang layak
2567 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai dengan informasi pengusaha baik melalui label, etikat, iklan, dan lain sebagainya.10 II.2.4. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Pasal 19 UUPK kita bisa lihat tanggung jawab pelaku usaha: 1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau yang diperdagangkan. 2) Ganti rugi sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/ atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi. 4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Memperhatikan substansi Pasal 19 ayat (1) dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi: 1) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan. 2) Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran. 3) Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen. Berdasarkan hal tersebut, maka adanya produk barang dan/atau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha. Hal ini berarti bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi segala kerugian yang dialami oleh konsumen yang bersangkutan.11 Prinsip tanggung jawab produk, baik berdasarkan kesalahan serta beberapa modifikasinya, maupun prinsip tanggung jawab muntlak merupakan elemen substansi dalam sistem hukum perlindungan konsumen. Substansi hukum, 10 Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan Tentang Perlindungan Konsumen di Indonesia, dalam Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, penyunting, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, 2000, hlm. 18. 11 Ahmad Miru dan Sutarman yodo, Op. Cit., hlm. 125-126.
2568 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 sebagaimana dikemukakan oleh Friedman mengalami perubahan, melalui 4 (empat) model perubahan hukum selanjutnya. Selanjutnya sebagaimana dikemukakan oleh Savigny dan Bentham, bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum yaitu system politik yang mengontrol aktivitas hukum (faktor eksternal) dan kepentingan sosial (faktor internal). Perubahan substansi sistem hukum perlindungan konsumen, baik karena faktor internal maupun faktor eksternal hukum sebagaimana dikemukakan di atas akan mengarah kepada terbentuknya substansi hukum baru dengan karakteristik yang berbeda. Prinsip tanggung jawab muntlak dalam hukum perlindungan konsumen (strict product liability) dirasakan penting, paling tidak didasarkan pada empat alasan, yaitu pertama, tanggung jawab muntlak merupakan instrumen hukum yang relatif masih baru untuk memperjuangkan hak konsumen memperoleh ganti kerugian. Kedua tanggung jawab muntlak merupakan bagian dan hasil dari perubahan hukum di bidang ekonomi, khususnya industri dan perdagangan yang dalam prakteknya sering menampakkan kesenjangan atau “gap” antara standar yang diterapkan di Negara yang bersangkutan, yaitu antara kebutuhan keadilan masyarakat dengan standar perlindungan konsumen dalam hokum positifnya. Ketiga, penerapan prinsip tanggung jawab muntlak melahirkan masalah baru bagi produsen, yaitu bagaimana produsen menangani risiko gugatan konsumen. Keempat, Indonesia merupakan contoh yang menggambarkan dua kesenjangan yang dimaksud, yaitu antara standar norma dalam hukum positif dan kebutuhan perlindungan kepentingan dan hak-hak konsumen III.
PEMBAHASAN
III.1. Risiko atau Tanggungjawab Produsen Berdasarkan Prinsip Tanggungjawab Muntlak Dapat Diakomodasi Dalam Sistem Asuransi. Di mata produsen, asuransi bagaikan pedang bermata dua. Disatu sisi asuransi dimaksudkan untuk mengantisipasi tuntuan ganti rugi kerugian yang timbul dari penggunaan produk yang dihasilkan atau dijua. Namun pada sisi lain, asuransi juga merupakan biaya yang berkaitan dengan tanggung jawab produk yang ditanggung oleh perusahaan dalam aktivitas bisnisnya. Dari segi kebutuhan pengalihan risiko, perusahaan asuransi berperan sebagai penanggung atas gugatan yang diajukan oleh konsumen. Lembaga asuransi dimaksudkan pula untuk memenuhi permintaan masyarakat dalam menciptakan keseimbangan kepentingan konsumen dan produsen, dengan memberikan ruang lingkup jaminan atas risiko 2569 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 tanggungjawab akibat kecelakaan atau kerusakan yang diderita oleh konsumen. Di indonesia, peningkatan risiko produsen setelah berlakunya UUPK dapat dilihat pada dua aspek, yaitu pertama, pada aspek hukum materiil yang menerapkan beban pembuktian terbalik yang didukung oleh faktor kedua yaitu apda aspek hukum formil yang membentuk lembaga penyelesaian sengketa dan cara mengajukan gugatan melalui class action dan legal standing. UUPK mengkategorikan produk dalam bentuk barang dan jasa sehingga UUPK mengakui dua bentuk tanggung jawab yaitu professional liability, yang berkaitan dengan jasa dan product liability yang berkaitan dengan barang. Dalam aspek hukum formil sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam penerapan UUPK dan doktrin tanggung jawab produk ini adalah pembentukan lembaga penyelesaian sengketa konsumen dan pengakuan gugatan dengan cara “class action” dan “legal standing”. Perjanjian asuransi tanggung jawab produk pada dasarnya berlaku untuk suatu jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, dalam prakteknya produsen dapat mengasuransikan satu produk pada beberapa perusahaan asuransi. Asuransi tanggung jawab produk merupakan salah satu jenis asuransi tanggung jawab atas risiko gugatan pihak ketiga. Dengan demikian, prinsip dasarnya adalah pertanggungan atas kewajiban hukum yang dibebankan kepada pihak produsen akibat mengkonsumsi produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Asuransi tanggung jawab produk pada dasarnya merupakan bagian dari asuransi pertanggungjawaban, yaitu perjanjian asuransi yang ditutup oleh seseorang untuk mengalihkan atau membagi kewajibannya membayar sejumlah uang terhadap pihak lain dikarenakan tanggungjawabnya terhadap perusahaan asuransi dengan membayar premi. Asuransi pertanggungjawabab berdasarkan undang-undang disebabkan seseorang mempunyai tanggung jawab yang didasarkan kepada undang-undang atau hukum. Oleh karena itu, sebagai dasar dari asuransi demikian adalah Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 1367 KUH Perdata. Asuransi yang lahir berdasarkan undang-undang memiliki keistimewaan, yaitu pertama : menyimpang dari Pasal 276 KUHD. Penyimpangannya terletak pada prinsip bahwa risiko yang dapat ditanggung adalah akibat peristiwa yang terjadi karena kesalahan tertanggung asal tidak karena suatu perbuatan yang sengaja dilakukan . Dalam asuransi pertanggungjawaban berdasarkan perjanjian, lahirnya tanggung jawab seseorang disebabkan yang bersangkutan mengadakan 2570 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 perjanjian dengan pihak lain, hal demikian mengakibatkan pihak tersebut kemungkinan dituntut memberikan ganti kerugian atau melaksanakan kewajibannya bila melakukan wanprestasi terhadap perjanjian yang dibuatnya. Konsep risiko produk yang diasuransikan dalam polis yaitu cidera fisik dan kerusakan pada harta benda yang terjadi karena produk-produk yang dihasilkan atau dipinjamkan oleh pihak tertanggung kecuali produk tersebut masih dikuasai atau belum dijual kepada konsumen, pekerjaan yang belum selesai atau belum diserahkan dari produsen kepada konsumen. III.2 Risiko – Risiko Produk yang dapat diasuransikan. Tidak semua risiko yang menurut hukum dibebankan kepada produsen dapat dialihkan kepada perusahaan asuransi. Disamping terjadi tarik menarik kepentingan pihak tertanggung dan penanggung dalam menentukan peristiwa yang menjadi faktor utama atau langsung timbulnya kerugian. Produk yang menjadi obyek yang dapat diasuransikan adalah pertama, barang atau produk selain kekayaan dalam bentuk tanha dan bangunan yang dihasilkan, dijual, dipelihara atau dirawat, didistribusikan atau yang diberikan oleh tertanggung. Kedua, kontainer selain motor, bahan-bahan bangunan, bagian-bagian atau perlengkapan penghalusan yang berkaitan denganbarang-barang atau produk. Ketiga, pekerjaan yang dilaksanakan oleh pihak produsen atau tertanggung. IV.
Kesimpulan dan Saran
IV.1. Kesimpulan A. Risiko bisnis atau usaha adalah suatu kerugian yang dipandang sebagai bagian dari biaya atau ongkos kegiatan usaha, sehingga menjadi tanggungan pelaku bisnis atau produsen sendiri. Di mata produsen, asuransi bagaikan pedang bermata dua. Disatu sisi asuransi dimaksudkan untuk mengantisipasi tuntuan ganti rugi kerugian yang timbul dari penggunaan produk yang dihasilkan atau dijual. Namun pada sisi lain, asuransi juga merupakan biaya yang berkaitan dengan tanggung jawab produk yang ditanggung oleh perusahaan dalam aktivitas bisnisnya. Dari segi kebutuhan pengalihan risiko, perusahaan asuransi berperan sebagai penanggung atas gugatan yang diajukan oleh konsumen. Lembaga asuransi dimaksudkan pula untuk memenuhi permintaan masyarakat dalam menciptakan keseimbangan kepentingan konsumen dan produsen, dengan memberikan ruang 2571 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 lingkup jaminan atas risiko tanggungjawab akibat kecelakaan atau kerusakan yang diderita oleh konsumen. B. Ada dua jenis pengecualian atas risiko yang ditanggung oleh pihak asuransi, yaitu pertama, pengecualian yang sifatnya standar yang umumnya terdapat dalam setiap polis asuransi tanggung jawab produk adalah risiko bisnis, kerusakan pada produk atau pekerjaan, tanggung jawab perwakilan produsen, kerugian pencemaran lingkungandalam setiap polis asuransi memuat pengecualian tersebut. Sedangkan kedua adalah pengecualian yang biasanya ditentukan oleh para pihak, sebagai tambahan dalam praktek termasuk Indonesia. IV.2. Saran 1. Agar membentuk undang-undang khusus yang mengatur tentang prinsip tanggung jawab muntlak yang didalamnya memuat materi mengenai produk, produk cacat, produsen atau pra pihak yang dapat dimintakan pertanggungjawaban, masalah pembuktian, pengecualian, batas waktu tanggung jawab produk serta asuransi tanggung jawab produk. 2. Untuk mengantisipasi kelemahan mekanisme asuransi tanggung jawab produk, Pemerintah perlu mengembangkan kebijaksanaan alternatif yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mengenai insentif pajak atas keuntungan produsen yang disisihkan untuk keperluan pembayaran premi asuransi atau membayar tuntutan ganti kerugian konsumen. DAFTAR PUSTAKA Buku Kiyosaki, Robert T, The Cashflow Quadrant. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005. Marzuki, Peter Mahmud, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana 2006. Miru Ahmadi dan Yodo Sutarman Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT. Gajah Persada, 2004. Muhdar Muhammad, Metode Penelitian Hukum, Balikpapan, 2010.
2572 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2559 - 2573 Nasution, A.Z Konsumen dan Hukum, Tnjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995. Nugroho, Adi Susanti, Proses Penyelesaian sengketa Ditinjau Dari Hukum Acara Perdata Serta Implementasinya, Jakarta: Prenada Media Group, 2008. Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan tentang Perlindungan Konsumen Di Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 2000. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2005. Sutedi, Adrian Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Bogor: Ghalia Indonesia, 2008. Tim FH.UI dan Depdagri, Rancangan akademik Undang-Undang Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: 2000. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan.
2573 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
Analisa Pengaruh Perubahan Jumlah Lilitan dan Tegangan Terhadap Efisiensi Konsumsi Energi Listrik Pada Model Pemanas Induksi Elektomagnet Golfrid Gultom1), Libianko Sianturi 2) Dosen Tetap pada Jurusan Teknik Mekanika Politeknik Teknologi Kimia Industri Dosen Tetap pada Program Studi Teknik Elektro Universitas HKBP Nommensen Abstract Pada penelitian ini dilakukan perancangan model dan pengujian model pe In this research, tubular induction heater was made for fluids heater using electromagnetic induction with variable voltage and constant 50 Hz frequency. Induction heater model work effectively at voltage of 22 volts with 200 turns and fluid heating process from 26 °C to 80°C with fluid mass of 0.1 kg for 138 seconds and the energy consumption efficiency average was 75.67%. For induction heater with 400 turns, the addition of the voltage will not affect to the increase the efficiency of the electrical energy consumption of the induction heater, this is due to external flux have to pass through before reaching the inner surface of the conductor in order to generate heat in the whole conductor. If the frequency is increased then the current flow will be more effective and able to penetrate the surface layer of the conductor. The ability of the current to penetrate the conductor skin was one of the most affected variable in induction heater. Keywords : Induction heater, power consumption efficiency 1.
PENDAHULUAN Rangkaian magnetic elektrik merupakan basis dari sebagian terbesar peralatan listrik di industri maupun rumah tangga. Motor dan generator dari yang bekemampuan kecil sampai sangat besar, berbasis pada medan magnetik yang memungkinkan terjadinya konversi energi listrik. Apabila dua buah rangkaian atau lebih yang terhubung secara langsung atau tidak satu sama lainnya, akan tetapi mempunyai pengaruh antara satu sama lainnya secara magnetic diakibatkan adanya medan magnet di salah satu rangkaian tersebut, maka rangkaian tersebut dikatakan rangkaian gandeng magnetik (magnetically couple).Apabila frekuensi sumber tegangan ditingkatkan maka 2574 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
aliran arus menjadi lebih efektif dalam membangkitkan seluruh medan magnet yang dibutuhkan, dan muatan arus yang kecil akan mengalir pada lapisan dibawah permukaan. Peristiwa yang terjadi ini disebut dengan efek kulit ( Skin effect ) dimana efek kulit sangat berguna untuk menghasilkan konsentrasi arus pada permukaan bahan dan arus yang keluar dipermukaan bahan tersebut dinamakan dengan arus eddy ( Eddy Curent ). Panas yang dihasilkan oleh resistansi pada bahan inti terhadap arus eddy disebut dengan rugi - rugi arus eddy, maka rugi – rugi arus eddy dapat diartikan sebagai suatu rugi yang disebabkan arus pusar pada inti besi. Mengapa disebut dengan rugi – rugi arus eddy, karena arus eddy ditimbulkan oleh perubahaan kerapatan fluks pada inti besi dengan menggunakan lilitan utama yang diberi tenaga. 2.
TINJAUAN PUSTAKA Suatu pemanas induksi bekerja apabila sumber tegangan bolak balik dihubungkan dengan kumparan maka arus bolak – balik akan mengalir pada semua bagian konduktor dan akan timbul medan magnet disekitar kumparan induksi tersebut. Apabila pada kumparan tersebut ditempatkan suatu bahan konduktif, maka akan timbul arus eddy dalam bahan tersebut. Karena arus eddy dalam mengambil energinya adalah dalam bentuk panas sedangkan magnetisasi bahan magnet dalam bentuk lingkaran histerisis, maka panas yang dihasilkan dari pemanas akan berubah apabila terjadi perubahan frekuensi. Pemanas induksi ditunjukkan sebagai rugi – rugi arus eddy sebab pemanasannya terjadi pada inti besi yang diberi frekuensi. Karena panas yang ditimbulkan pada bahan pemanas sepenuhnya dari fluksi magnetik yang diciptakan oleh lilitan induktor, maka hanya mengubah intensitas fluksi maka kemampuan pembangkitan panas bisa dikontrol. Pada bahan – bahan magnetic, rugi – rugi histerisis akan menciptakan panas, tetapi rugi rugi arus eddy dapat menghasilkan panas lebih besar. Persamaan rugi – rugi arus eddy adalah sangat kompleks dan jarang digunakan, tetapi dengan beberapa pendekatan untuk menunjukan hubungan dari berbagai parameter aka ada faktor yang mempengaruhi akurasi dari hasil pengukuran. Rugi – rugi arus eddy ditunjukan pada persamaan (1). Pe = Ke ( Bmaks.f )2…………………………………..............(1)
2575 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
dimana : Pe Ke F Bmaks
= Rugi – rugi arus eddy = Konstanta eddy = Frekuensi = Fluks maksimum
( Watt ) ( Hz ) ( Wb/m2 )
Penjelasan mengenai arus eddy dan rugi – rugi arus eddy dapat penulis jadikan dasar teori bahwa intensitas dari medan eksternal akan mempengaruhi kemampuan pemanasan dimana frekuensi mempengaruhi kedalaman arus yang dapat menembus permukaan. Pemanas akan dikondisikan sesuai dengan frekuensi yang dihasilkan sumber AC sehinggah proses dari pemanas Induksi ini akan terlihat dengan mengamati perubahan temperatur pada inti besi tersebut. Sejumlah disipasi daya, seperti panas pada bagian permukaan logam dalam hubungannya dengan kesepakatan fluks magnit, freukensi dan karakteristik bahan atau logam yang dipanaskan akan diperoleh dari persamaan : Δ = dimana : Δ Ht
f
. .
………………………………………… (2)
= Disipasi Daya = Kerapatan Fluks = Resistivitas besi = Permeabilitas = Frekuensi
( Arus eddy ) ( Wb/m2 ) ( Ω. ) ( Wb/ A.m ) ( Hz )
Disipasi daya yang akan dihasilkan dari persamaan di atas permukaan merupakan harga dari arus eddy, sebab disipasi daya berfungsi sebagai arus eddy. Karena kerapatan fluksi magnetik ( Ht ) setara pada putaran – ampere dari dalam lilitan, maka factor Ht2 dapat digantikan dengan I2 N2 dengan catatan kondisi waktu konstan. Pada saat pemanas induksi yang telah menghasilkan panas, maka kedalaman penembusan atau penetrasi ( ) dari panas diketahui. Karena N ( Lilitan ) adalah jumlah putaran lilitan yang bernilai analog maka kita dapat memprediksikan bahwa arus eddy akan menjadi magnitude yang paling besar pada permukaan dari objek yang dipanaskan yaitu lempeng logam. Dari persamaan medan magnetik dan intensitas elektrik, sehingga kedalaman penetrasinya dapat diketahui dengan menggunakan persamaan berikut : 2576 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
= dimana:
. . .
………………………………………........(3)
= Penetrasi ( Penembusan ) = Konduktivitas = Permeabilitas f = frekuensi
( Inchi ) (m) ( Wb/A.m ) ( Hz )
Perlu diketahui bahwa permeabilitas merupakan sifat – sifat magnetik dari logam mempunyai harga lebih besar dari ( > l ). Dalam membuat perencanaan pemanas induksi ( lilitan pemanas ) maka harus diperhatikan bahwa panas yang ditimbulkan pada bahan tersebut sepenuhnya hasil dari fluksi magnetik. Fluksi magnetik yang timbul karena lilitan induktor tersebut akan menjadi pengontrol panas yang diinginkan. Apabila intensitas bentuk fluksi mengalami perubahan maka akan berpengaruh pada panas yang dihasilkan. Fluksi magnetik yang dihasilkan akan berbanding lurus dengan jumlah putaran dan ampere dalam lilitan, yaitu arus lilitan mengatur jumlah efektif dari putaran. Salah satu hal yang penting dari desain pemanas induksi ini adalah hasil pengukuran pemanasan yang berupa panas (kalor). Kalor adalah sesuatu yang dipindahkan diantara suatu sistem dan lingkungannya sebagai akibat perbedaan temperatur ( suhu ). 3.
METODE PENELITIAN Dalam melaksanalan penelitian dilakukan pembuatan model simulator pemanas induksi dengan menggunakan prinsip dasar induksi elektromagnetik, seperti pada Gambar 1. berikut ini
Gambar 1. Model pengujian 2577 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
Jumlah lilitan pada batang konduktor dibuat sebanyak 200 lilitan dan 400 lilitan. Hasil rancangan simulator pemanas induksi, akan dilakukan analisis terhadap data-data seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Parameter Pengujian Parameter Tegangan (Volt) Frekuensi (Hz) Daya rata-rata (Watt) Waktu (detik) T awal ( C) T akhir (C) Energi Listrik Energi Kalor
Pengujian I 20
27 80
Pengujian II 22 50 diukur diukur 27 80 dihitung dihitung
Pengujian III 25
27 80
Eksperimen yang dilakukan ditujukan untuk mengetahui karakteristik pemanas induksi terhadap variabel perubahan tegangan dan jumlah lilitan. Variabel lilitan menjadi perhatian utama, dimana akan dianalisis perubahan variabel lilitan terhadap waktu pemanasan dan efisiensi energi pada saat pemanasan. Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : material konduktor jenis pipa stainless, lembaga (diameter 1 mm), variabel AC ( 0 – 280 V), sensor suhu, stop watch dan Power Quality Analyzer. 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN Model pemanas induksi ditunjukkan pada Gambar 2 (a) dan rangkaian pengujian ditunjukkan pada Gambar 2 (b). Model pemanas induksi terdiri dari 200 lilitan dan 400 lilita Variable AC
Pemanas Induksi
P Q Analyzer
pipa konduktor
lilitan
(a)
(b) 2578
ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
Gambar 2. (a) Model pemanas induksi; (b) Rangkaian pengujian 4.1.
Pengujian Pemanas Induksi Dengan 200 Lilitan
Pada rangkaian pengujian pemanas induksi dengan 200 lilitan dilakukan pengukuran temperatur dan konsumsi daya listrik. Selanjutnya akan diperoleh besar energi listrik (Joule) dan besar energi kalor (Joule), dimana massa fluida yang dipanaskan adalah 0,1 kg; kapasitas kalor = 4810 J/Kg.C. Dengan mengetahui nilai energi listrik pemanas dan energi kalor hasil pemanasan maka dapat ditentukan efisiensi konsumsi energi pemanas induksi tersebut. Pengukuran dilakukan dari temperatur awal 26 oC sampai dengan temperatur akhir 80 oC. Dilakukan tiga kali pengukuran dengan memvariasikan besar tegangan sumber pada pemanas induksi, sehingga diperoleh data pada Tabel berikut : Tabel 2. Data pengukuran pemanas induksi 200 lilitan dengan V = 20 Volt Suhu Waktu yang pencapaian dicapai suhu ( C) (detik) 30 8 35 20 40 46 45 67 50 85 55 105 60 122 65 139 70 156 75 173 80 192
Daya (Watt) 249 247 242 240 234 233 218 232 232 232 232
Energi Energi Listrik Kalor Efisiensi (Joule) (Joule) (%) 1992 1924 96.586 4940 4329 87.632 11132 6734 60.492 16080 9139 56.835 19890 11544 58.039 24465 13949 57.016 26596 16354 61.490 32248 18759 58.171 36192 21164 58.477 40136 23569 58.723 44544 25974 58.311
2579 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
Tabel 3. Data pengukuran pemanas induksi 200 lilitan dengan V = 22 Volt Suhu Waktu yang pencapaian dicapai suhu Daya Rata( C) (detik) Rata (Watt) 30 5 387 35 12 388 40 35 288 45 45 288 50 65 284 55 80 285 60 95 283 65 105 282 70 121 285 75 130 285 80 138 285
Energi Energi Listrik Kalor Efisiensi (Joule) (Joule) (%) 1935 1924 99.432 4656 4329 92.977 10080 6734 66.806 12960 9139 70.517 18460 11544 62.535 22800 13949 61.180 26885 16354 60.829 29610 18759 63.354 34485 21164 61.372 37050 23569 63.614 39330 25974 66.041
Tabel 4. Data pengukuran pemanas induksi 200 lilitan dengan V = 25 Volt Suhu Waktu yang pencapaian dicapai suhu ( C) (detik) 30 5 35 15 40 30 45 45 50 57 55 67 60 80 65 85 70 92 75 99 80 103
Daya Rata-Rata (Watt) 475 465 457 452 449 447 446 446 444 441 437
Energi Listrik (Joule) 2375 6975 13710 20340 25593 29949 35680 37910 40848 43659 45011
Energi Kalor Efisiensi (Joule) (%) 1924 81.011 4329 62.065 6734 49.117 9139 44.931 11544 45.106 13949 46.576 16354 45.835 18759 49.483 21164 51.812 23569 53.984 25974 57.706
4.2. Pengujian Pemanas Induksi Dengan 400 Lilitan Pada rangkaian pengujian pemanas induksi dengan 400 lilitan dilakukan pengukuran temperatur dan konsumsi daya listrik. Selanjutnya akan diperoleh besar energi listrik (Joule) dan besar energi kalor (Joule), dimana massa fluida yang dipanaskan adalah 0,1 kg; kapasitas kalor = 4810 2580 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
J/Kg.C. Dengan mengetahui nilai energi listrik pemanas dan energi kalor hasil pemanasan maka dapat ditentukan efisiensi konsumsi energi pemanas induksi tersebut. Pengukuran dilakukan dari temperatur awal 26 oC sampai dengan temperatur akhir 80 oC. Dilakukan tiga kali pengukuran dengan memvariasikan besar tegangan sumber pada pemanas induksi, sehingga diperoleh data pada Tabel berikut : Tabel 5. Data pengukuran pemanas induksi 400 lilitan dengan V = 20 Volt Suhu yang dicapai ( C) 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80
Waktu pencapaian suhu (detik) 101 250 402 605 845 1125 1467 1917 2615 3986 6354
Daya Rata-Rata (Watt) 21.5 21.4 21.1 21 20.9 20.9 20.8 20.5 20.1 19.8 19.6
Energi Listrik (Joule) 2171.5 5350 8482.2 12705 17660.5 23512.5 30513.6 39298.5 52561.5 78922.8 124538.4
Energi Kalor (Joule) 1924 4329 6734 9139 11544 13949 16354 18759 21164 23569 25974
Efisiensi (%) 88.602 80.916 79.390 71.932 65.366 59.326 53.596 47.735 40.265 29.863 20.856
Tabel 6. Data pengukuran pemanas induksi 400 lilitan dengan V = 22 Volt Suhu Waktu yang pencapaian dicapai suhu ( C) (detik) 30 80 35 213 40 402 45 605 50 845 55 1125 60 1467 65 1917 70 2615 75 3986 80 7494
Daya RataRata (Watt) 27 27 27 26.6 26.8 26.7 26.6 26.2 27.1 27.2 27.2
Energi Listrik (Joule) 2160 5751 10854 16093 22646 30037.5 39022.2 50225.4 70866.5 108419.2 203836.8
Energi Kalor (Joule) 1924 4329 6734 9139 11544 13949 16354 18759 21164 23569 25974
Efisiensi (%) 89.074 75.274 62.042 56.789 50.976 46.439 41.909 37.350 29.865 21.739 12.743
2581 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
Tabel 7. Data pengukuran pemanas induksi 400 lilitan dengan V = 25 Volt Suhu yang dicapai ( C) 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80
Waktu pencapaian suhu (detik) 90 153 275 403 528 673 833 1022 1243 1504 1835
Daya Rata-Rata (Watt) 42 41.7 41.5 41.5 41.5 40.8 40.8 40.8 40.6 40.8 40.6
Energi Listrik (Joule) 3780 6380.1 11412.5 16724.5 21912 27458.4 33986.4 41697.6 50465.8 61363.2 74501
Energi Kalor (Joule) 1924 4329 6734 9139 11544 13949 16354 18759 21164 23569 25974
Efisiensi (%) 50.899 67.852 59.005 54.644 52.683 50.800 48.119 44.988 41.937 38.409 34.864
Pembahasan Dari data hasil pengukuran pemanas induksi dengan 200 lilitan diperoleh data bahwa konsumsi energi listrik paling besar pada tegangan 25 volt, namun kondisi tidak sebanding dengan efisiensi konsumsi energi yang dikonversikan menjadi energi kalor, sedangkan efisiensi konsumsi energi paling tinggi adalah pada tegangan 20 Volt, seperti ditunjukkan pada Gambar 3 dan Gambar 4. Hal ini dikarenakan frekuensi sumber tegangan adalah 50 Hz, sehingga tidak mampu melakukan penetrasi terhadap konduktor, meskipun semakin besar tegangan yang diberikan, dan hasil tersebut juga tidak linier dengan efisiensi pemanas induksi.
Energi Listrik (Joule)
4.3.
50000 40000 30000 20000 10000 0
V = 20 Volt V = 22 Volt V = 25 Volt 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 Suhu Pemanasan (C)
Gambar 3. Grafik konsumsi energi listrik pada pemanas dengan 200 lilitan 2582 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
Variable Efisiensi pada V = 20 Volt (%) Efisiensi pada V = 22 Volt (%) Efisiensi pada V = 25 Volt (%)
100
Efisiensi (%)
90 80 70 60 50 40 30
40 50 60 70 Suhu yang dicapai ( C)
80
Gambar 4. Efisiensi konsumsi energi pada pemanas induksi 200 lilitan
Energi Listrik (Joule)
Kondisi yang sama berlaku pada pemanas induksi dengan 400 lilitan. Dari data hasil pengukuran pemanas induksi dengan 400 lilitan diperoleh diperoleh bahwa konsumsi energi listrik paling besar pada tegangan 25 volt, namun kondisi tidak sebanding dengan efisiensi konsumsi energi yang dikonversikan menjadi energi kalor. Efisiensi konsumsi energi paling tinggi adalah pada tegangan 20 Volt, seperti ditunjukkan pada Gambar 5 dan Gambar. Hal ini dikarenakan frekuensi sumber tegangan adalah 50 Hz, sehingga tidak mampu melakukan penetrasi terhadap konduktor, sehingga meskipun semakin besar tegangan yang diberikan namun hasil yang dicapai tidak linier dengan efisiensi pemanas induksi tersebut. 250000 200000 150000 100000
V = 20 Volt
50000
V = 22 Volt
0 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80
V = 25 Volt
Suhu Pemanasan ( Celcius)
Gambar 5. Grafik konsumsi energi listrik pada pemanas dengan 400 lilitan 2583 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
Variable Efisiensi pada V = 20 Volt (%) Efisiensi pada V = 22 Volt (%) Efisiensi pada V = 25 Volt (%)
90 80
Efisiensi (%)
70 60 50 40 30 20 10 30
40
50 60 70 Suhu yang dicapai (C)
80
Gambar 6. Efisiensi konsumsi energi pada pemanas induksi 400 lilitan 5.
KESIMPULAN Model pemanas induksi yang dibuat, berdasarkan hasil pengamatan bekerja efektif pada tegangan 22 Volt dengan 200 lilitan dan berhasil memanaskan fluida dari temperatur 26oC sampai temperatur 80oC pada massa 0.1 Kg selama 138 detik dengan efisiensi konsumsi energi rata-rata adalah 75,67%. Pada pemanas dengan 400 lilitan, penambahan tegangan listrik tidak berarti akan meningkatkan efisiensi konsumsi energi listrik pemanas induksi tersebut, hal ini diakibatkan fluks eksternal harus menembus permukaan sebelum mencapai bagian dalam bahan konduktor untuk dapat membangkitkan panas pada seluruh konduktor. Apabila frekuensi ditingkatkan maka aliran arus akan semakin efektif dan dapat menembus lapisan permukaan konduktor.
2584 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
DAFTAR PUSTAKA Li Guofa et al, 2009, ” Designing of a New Induction Heating Shaft Bearing Replacer Using FEM” IEEE Kranj et.al, 2010, “Numerical Analysis And Thermographic Investigation Of Induction Heating” International Journal of Heat and Mass Transfer Yu Sun et.al, 2013, “A Novel Coil Distribution for Transverse Flux Induction Heating” Physics Procedia Haroen, Yauarsyah, 1994, ” Kontribusi Analisis Induktansi Sendiri dan Induktansi Bersama Pada Sisrkuit Listrik dan Mesin Listrik Arus Bolak-Balik Tiga Fasa”, Proceedings ITB, Vol. 27, No.2, Theraja, 1994, “ A Text Book of Electrical Technology”, Vol.I, New Delhi Wentworth, 2005, “Fundamentals of Electromagnetics with Engineering Applications”, John Wiley & Sons Inc. Sadiku, 2003, “Elements of Electromagnetics, 3rd Ed”, Oxford University Press Inc., New York. Stephen Chapman, 2005, “Electric Machinery Fundamentals”, 4th ed., New York: McGraw–Hill.
2585 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2574 - 2585
Riwayat Hidup singkat Penulis: Golfrid Gultom adalah dosen tetap pada Jurusan Teknik Mekanika Politeknik Teknologi Kimia Industri, Kementerian Perindustrian R.I di Medan, lahir di Pangaribuan, Kabupaten Tapanuli Utara, tanggal 07 Mei 1977. Tamat dari SMA Negeri 3 Balige tahun 1996, Sarjana Teknik Elektro lulusan Universitas Sumatera Utara dan Magister Teknik Elektro Universitas Sumatera Utara dengan bidang penelitian adalah induksi elektromagnetik, energi terbarukan dan material serapan gelombang mikro. Alamat Kantor : Kampus Politeknik Teknologi Kimia Industri Medan Jl. Medan Tenggara VII, Medan 20228 http :// www. ptki.ac.id. phone/ Whatsapp : 081361245428.
2586 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 PENERAPAN METODE FIELD TRIP TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS CERPEN SISWA KELAS XI SMA SWASTA DHARMA BAKTI TANAH JAWA Dra. Roselyn Nainggolan, M.Pd.* Farida Siahaan (11110114) Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas HKBP Nommensen Jl. Sangnaualuh Nomor 4 Pematangsiantar Kode Pos 21132 Siantar Timur Telepon (0622) 7550232, Faks:7552017 E-mail:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan menulis cerpen dengan menggunakan metode Field Trip. Peneliti juga ingin membuktikan bahwa penerapan metode Field Trip dapat meningkatkan kemampuan menulis cerpen. Penelitian ini dilakukan di SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa tahun ajaran 2014/2015. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan rumus yang digunakan adalah uji “t” sampel berhubungan sebagai berikut: D t= D 2 D 2 N N ( N 1) . Dari pengolahan data diperoleh nilai rata-rata pre-tes = 44,08 dan nilai rata-rata pos-tes= 75,51. Dengan hasil penelitian diperoleh thitung: 17,59> ttabel: 2,009 pada taraf signifikasi 0,05. Dengan temuan ini, bahwa Ho ditolak dan Ha diterima artinya hasil kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa lebih baik setelah menggunakan metode Field Trip dibandingkan sebelum menggunakan metode Field Trip. Kata kunci: Metode Field Trip, Menulis, Cerpen
2586 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Tarigan (2008:22) mengemukakan bahwa, menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami seseorang, sehingga orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu. Oleh karena itu menulis merupakan salah satu kegiatan yang harus dihadapi siswa dalam proses pembelajaran, terutama untuk mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Melalui kegiatan menulis diharapkan siswa dapat menuangkan ide-ide atau gagasan baik yang bersifat ilmiah maupun imajinatif. Pembelajaran menulis berbagai jenis sastra adalah hal yang penting dan diterapkan dalam pembelajaran di sekolah.Salah satunya adalah cerpen. Cerpen merupakan salah satu karya sastra yang dihasilkan oleh seorang pengarang. Cerpen juga dapat memberi manfaat karena di dalamnya mengandung pesan moral yang dapat diserap pembaca. Sayuti (2009:8) mengemukakan bahwa, “Tulisan fiksi dibuat secara khayali atau tidak sungguh-sungguh terjadi dalam dunia nyata sehingga sering juga disebut sebagai cerita rekaan, atau cerita yang direka-reka oleh pengarangnya.” Menulis cerpen memiliki daya imajinasi yang tinggi, semakin tinggi imajinasi yang dimiliki oleh pengarang semakin bagus cerita yang dihasilkan. Kemampuan menulis cerpen ditujukan agar siswa mampu membentuk konsep pengetahuan yang dimilikinya dengan pengetahuan yang baru diperoleh. Siswa tidak hanya sekedar menerima pengetahuan dari orang lain, tetapi mampu melatih potensi kognitif dalam membangun pengetahuan yang bermakna melalui pengalaman belajar serta pengetahuan yang baru diperoleh di kelas. Maka dapat disimpulkan bahwa menulis cerpen sangat penting dalam dunia pendidikan agar setiap siswa mempunyai peluang untuk menuangkan dan mengembangkan daya imajinasinya ke dalam tulisan. Dalam kurikulum 2013, menulis merupakan keterampilan yang harus dimiliki seorang siswa. Keterampilan menulis cerpen merupakan salah satu keterampilan menulis yang terdapat di kelas XI SMA/sederajat, dengan Kompetensi Dasar: 4.2 Memproduksi teks cerita pendek, yang koheren sesuai dengan karakteristik teks yang akan dibuat baik secara lisan mupun tulisan. Dalam memproduksi cerpen, siswa dituntut mampu menuangkan gagasan berdasarkan hasil imajinasinya ke dalam tulisan berbentuk cerpen. Menulis telah dipelajari mulai dari tingkat Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, maka seharusnya para siswa telah mampu menulis cerpen dengan baik. 2587 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 Berangkat dari tuntutan kurikulum, berikut ini ada beberapa penelitian terdahulu mengenai kemampuan menulis cerpen siswa, seperti penelitian yang dilakukan oleh Dewi Ika Fitryana tahun 2011 dengan judul “Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen Melalui Media Berita Dengan Metode Latihan Terbimbing Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Rembang.” Pada penelitian yang dilakukan oleh Dewi Ika Fitryana disimpulkan bahwa pada siklus I, rata-rata skor karya cerpen siswa sebesar 70,31 yang berarti mengalami peningkatan sebesar 8,87 dari hasil pratindakan sebesar 61,44. Kemudian pada siklus II, kemampuan menulis cerpen siswa semakin meningkat, yaitu sebesar 13,5 yang terhitung dari siklus I 70,31 menjadi 83,81 pada siklus II. Sedangkan dibandingkan dengan hasil skor pratindakan, pada siklus II telah terjadi peningkatan sebesar 22,37 terhitung dari skor hasil siklus II dikurangi skor hasil pratindakan, yaitu 83,81 dikurangi 61,44. Penelitian lain juga dilakukan oleh Elfrida Simatupang, tahun 2013 dalam skripsinya yang berjudul, “Efektivitas Penerapan Teknik Clustering Terhadap Tingkat Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Lumbanjulu” mengemukakan bahwa, kemampuan menulis cerpen sebelum teknik Clustering digunakan kurang memadai, sedangkan sesudah menggunakan teknik clustering tingkat kemampuan menulis cerpen kelas X menjadi lebih baik dengan skor rata-rata 43,34 sebelum teknik clustering diterapkan dan skor rata-rata 76,85 diperoleh sesudah teknik clustering diterapakan. Pembelajaran keterampilan menulis cerpen dapat memberikan manfaat untuk melatih siswa bernalar melalui bahasa yang digunakannya. Akan tetapi kenyataannya kemampuan menulis cerpen pada siswa masih kurang, sehingga dalam hal ini penulis menggunakan siswa kelas XI sebagai sasaran untuk meningkatkan kemampuan menulis cerpen yang masih kurang. Mengamati rendahnya kemampuan siswa dalam menulis cerpen maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan siswa dalam menulis cerpen perlu ditingkatkan. Salah satu cara meningkatkan kemampuan tersebut adalah dengan menerapkan metode pembelajaran. Istarani (2011:1) mengemukakan bahwa, “Metode adalah cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan strategi.” Faturrohman dalam Istarani (2011:1) juga mengemukakan bahwa, “Metode diartikan sebagai suatu cara atau prosedur yang dipakai untuk mencapai tujuan tertentu.” Dengan demikian, metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah ditetapkan maka bisa terjadi satu strategi pembelajaran digunakan beberapa metode. Metode Field Trip adalah metode belajar mengajar anak didik dibawah bimbingan guru mengunjungi tempat-tempat tertentu dengan maksud untuk belajar (Sagala, 2006:214). Melalui metode field trip, guru akan meminta siswa untuk mengembangkan materi mengenai cerpen di luar ruangan kelas dan menanamkan konsep materi yang sesuai dengan kompetensi yang ingin 2588 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 dicapai sehingga siswa dapat memahami secara jelas tentang makna hakiki dari materi ajar yang disampaikan kepada siswa. Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Penerapan Metode Field Trip terhadap Kemampuan Menulis Cerpen pada Siswa Kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa.” 1.2 Rumusan Masalah Masalah perlu dirumuskan dengan jelas dan lengkap dalam ruang lingkupnya agar sesuai dengan tujuan penelitian. Mengenai rumusan masalah ini, Arikunto (2010:63) mengemukakan bahwa, “Agar penelitian dapat dilaksanakan sebaik-baiknya, maka peneliti harus merumuskan masalahnya sehingga jelas dari mana harus memulai, kemana harus pergi, dan dengan apa.” Berdasarkan kutipan tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa yang diajar sebelum menggunakan metode field trip? 2. Bagaimanakah kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa yang diajar sesudah menggunakan metode field trip ? 3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa sebelum dan sesudah menggunakan metode field trip? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa sebelum metode field trip diterapkan dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia. 2. Untuk mendeskripsikan tingkat kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa setelah metode field trip diterapkan dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia. 3. Untuk mendeskripsikan apakah terdapat perbedaan yang signifikan pada tingkat kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa sebelum dan sesudah metode field trip diterapkan dalam proses belajar mengajar bahasa Indonesia. 1.4 Manfaat Penelitian Sesuai dengan tujuan penelitian yang telah diuraikan di atas, maka peneliti berharap penuh penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak. 1. Manfaat teoretis 2589 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 Manfaat teoretis yang diharapkan yaitu dapat memberikan sumbangan yang relevan bagi dunia pendidikan yang berkaitan dengan keterampilan menulis cerpen. 2. Manfaat praktis a. Bagi siswa: dengan adanya penelitian ini siswa mendapat suatu pengalaman baru yang bermakna dengan adanya pembelajaran menulis cerpen dengan metode field trip. b. Bagi guru: penelitian ini dapat dijadikan pedoman dan pertimbangan dalam upaya meningkatkan keterampilan menulis cerpen bagi siswa. c. Bagi peneliti yang lain: hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai pembanding dalam hal cara meningkatkan keterampilan menulis cerpen. II. LANDASAN TEORETIS 2.1. Pengertian Menulis Menulis merupakan salah satu dari empat aspek keterampilan berbahasa. Tarigan (2008:22) mengemukakan bahwa, “Menulis adalah menurunkan atau melukiskan lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa yang dipahami seseorang, sehingga orang-orang lain dapat membaca lambang-lambang grafik tersebut kalau mereka memahami bahasa dan gambaran grafik itu.” Menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya (Suparno, 2009:3). Keterampilan menulis tidak akan datang begitu saja, melainkan harus melalui latihan dan praktik yang banyak dan teratur. Pada dasarnya, kegiatan menulis tidak sekedar melahirkan perasaan atau pikiran, akan tetapi juga mengungkapkan atau menuangkan ide, pengetahuan, ilmu, dan pengalaman hidup seseorang dalam bahasa tulis. Penyampaian bahasa tulis tersebut harus dapat dipahami orang lain sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penulis. Oleh karena itu, menulis merupakan suatu proses yang harus dipelajari dan tidak begitu saja terjadi. Menulis merupakan suatu kegiatan untuk menuangkan gagasan, ide, inspirasi, atau buah pikiran ke dalam bentuk lambang-lambang grafik yang menggambarkan suatu bahasa agar orang lain dapat memahaminya. 2.2 Fungsi dan Tujuan Menulis Tarigan (2008:22-23) mengemukakan bahwa, pada prinsipnya fungsi utama dari tulisan adalah sebagai alat komunikasi yang tidak langsung. Menulis sangat penting bagi pendidikan karena memudahkan para belajar berpikir. Juga dapat menolong kita berpikir secara kritis. Juga dapat memudahkan kita merasakan dan menikmati hubungan-hubungan, 2590 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 memperdalam daya tanggap atau persepsi kita, memecahkan masalah yang kita hadapi, menyusun uraian bagi pengalaman. Tujuan keterampilan menulis tidak lain agar seseorang memiliki kemampuan atau pengalaman menulis serta memanfaatkan kemampuan tersebut untuk berbagai keperluan. Beberapa tujuan penulisan sebagai berikut: 1. Assignment purpose (tujuan penugasan). Tujuan penugasan ini sebenarnya tidak mempunyai tujuan sama sekali. Penulis menulis sesuatu karena ditugaskan, bukan atas kemauan sendiri (misalnya para siswa yang diberi tugas merangkum buku, sekertaris yang ditugaskan membuat laporan, notulen rapat). 2. Altruistic purpose (tujuan altruistik). Penulis bertujuan untuk menyenangkan para pembaca, menghindarkan kedukaan para pembaca, ingin menolong para pembaca memahami, menghargai perasaan dan penalarannya, ingin membuat hidup para pembaca lebih mudah dan lebih manyenangkan dengan karyanya itu. Tujuan altruistik adalah kunci keterbacaan sesuatu tulisan. 3. Persuasive purpose (tujuan persuasif). Tulisan yang bertujuan meyakinkan para pembaca akan kebenaran gagasan yang diutarakan. 4. Informational purpose (tujuan informasional, tujuan penerangan). Tulisan yang bertujuan memberi informasi atau keterangan/penerangan kepada para pembaca. 5. Self-expresive purpose (tujuan pernyataan diri). Tulisan yang bertujuan memperkenalkan atau menyatakan diri sang pengarang kepada para pembaca. 6. Creative purpose (tujuan kreatif). Tujuan ini erat berhubungan dengan tujuan pernyataan diri, tetapi “keinginan kreatif” di sini melebihi pernyataan diri, dan melibatkan dirinya dengan keinginan mencapai norma artistik, atau seni yang ideal, seni idaman. Tulisan yang bertujuan mencapai nilai-nilai arrtistik, kesenian. 7. Problem-solving purpose (tujuan pemecahan masalah). Dalam tulisan seperti ini sang penulis ingin memecahkan masalah yang dihadapi, sang penulis ingin menjelaskan, menjernihkan serta menjelajahi serta meneliti secara cermati pikiran-pikiran dan gagasan-gagasannya sendiri agar dapat dimengerti dan diterima oleh para pembaca (Hipple dalam Tarigan, 1986: 25)
2591 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 2.3 Manfaat Menulis Akhadiah, dkk. (1988:1) mengemukakan bahwa, “Banyak manfaat atau keuntungan yang dapat diperoleh dari kegiatan menulis yakni dengan menulis seseorang dapat mengenali kemampuan dan potensi diri.” Melalui kegiatan menulis seseorang dapat mengembangkan berbagai gagasan. Kegiatan menulis memaksa seseorang lebih banyak menyerap, mencari serta menguasai informasi sehubungan dengan topik yang ditulis. Menulis adalah mengorganisasikan gagasan secara sistematik serta mengungkapkannya secara tersurat. Melalui tulisan, seseorang akan dapat meninjau serta menilai gagasan secara objektif. Dengan menulis di atas kertas, seseorang akan lebih mudah memecahkan permasalahan, yaitu dengan menganalisisnya secara tersurat, dalam konteks yang lebih konkret. Tugas menulis mengenai suatu topik mendorong seseorang untuk belajar secara aktif dan kreatif. Kegiatan menulis yang terencana akan membiasakan kita berpikir serta berbahasa secara tertib. 2.4 Cerpen Cerita pendek atau cerpen adalah cerita yang menurut wujud fisiknya berbentuk pendek. Ukuran panjang pendeknya cerita memang relatif namun, pada umumnya cerita pendek merupakan cerita yang habis dibaca sekitar sepuluh menit atau setengah jam. Jumlah katanya sekitar 500-5.000 kata. Cerpen adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. Cerita pendek tidak boleh dipenuhi dengan hal-hal yang tidak perlu. Untuk lebih jelas, sebagai salah satu bentuk karya sastra, cerpen memiliki ciri-ciri; alur lebih sederhana, tokoh yang dimunculkan hanya beberapa orang, latar yang dilukiskan hanya sesaat dan dalam lingkungan yang relatif terbatas, tema dan nilai-nilai kehidupan yang disampaikan relatif sederhana (Kosasih, 2003: 222). Adapun unsur-unsur intrinsik sebuah cerita pendek mencakup: 1) Tema, menurut arti katanya tema berarti “sesuatu yang telah diuraikan”, atau “sesuatu yang telah ditempatkan.” Kata ini berasal dari kata Yunani “tithenai” yang berarti “menempatkan” atau “meletakkan.” Tema merupakan inti atau ide dasar sebuah cerita. Dari ide dasar itulah kemudian cerita dibangun oleh pengarangnya dengan memanfaatkan unsur-unsur intrinsik seperti plot, penokohan, dan latar. Tarigan (1986:167) juga mengemukakan bahwa, tema adalah suatu karya sastra imajinatif merupakan pikiran yang akan ditemui oleh setiap pembaca yang cermat sebagai akibat membaca karya tersebut. 2) Alur, Brooks and Warren dalam Tarigan, (1986:156) mengemukakan istilah lain yang sama maknanya dengan alur atau plot ini adalah map 2592 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 atau dramatic conflict. Keempat istilah ini bermakna “struktur gerak atau laku dalam suatu fiksi atau drama.” 3) Latar, latar atau setting merupakan salah satu unsur intrinsik karya sastra. Terliput dalam latar, adalah keadaan tempat, waktu, dan budaya. Tempat dan waktu yang dirujuk dalam sebuah cerita bisa merupakan yang sesuatu yang faktual atau bisa pula yang imajiner. 4) Tokoh, dalam pembicaraan sebuah cerita pendek sering dipergunakan istilah-istilah tokoh. Tokoh cerita ialah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Tarigan, 2008:147). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita. 5) Sudut Pandang/Point Of View, Sudjiman dalam Zulfahnur, dkk. (1996:35) mengemukakan bahwa, “Sudut pandang adalah tempat pencerita dalam hubungannya dengan cerita, dari sudut mana pencerita menyampaikan kisahnya. Istilah lain yang mirip dengan sudut pandang (point of view) adalah pusat pengisahan (focus of narration).” 6) Amanat, amanat merupakan pesan moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu. Tidak jauh dari yang lainnya, amanat dalam cerpen akan disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnya dalam keseluruhan isi cerita (Kosasih, 2003:230). Dengan kata lain, amanat adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang berupa pemecahan atau jalan keluar terhadap persoalan yang ada dalam cerita. 7) Gaya bahasa, Muljana dalam Waridah (2009: 321-336) mengemukakan bahwa, gaya bahasa ialah susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan suatu perasaan tertentu dalam hati pembaca. Gaya bahasa disebut juga majas. Gaya bahasa terbagi menjadi empat bagian, yaitu: gaya bahasa penegasan, gaya bahasa sindiran, gaya bahasa pertentangan, dan gaya bahasa perbandingan. Menulis cerpen memiliki daya imajinasi yang tinggi, semakin tinggi imajinasi yang dimiliki oleh pengarang semakin bagus cerita yang dihasilkan. Pengembangan keterampilan menulis cerpen melalui beberapa tahap, yaitu mengembangkan unsur-unsur cerpen untuk dituangkan dalam bentuk tulisan. Tahapan menulis cerpen, yaitu dilakukan dengan cara sebagai berikut:
2593 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 1) Tahap Menemukan dan Menuangkan Ide Tulisan Dalam menemukan ide penulis harus memiliki beberapa referensi dari berbagai hal, baik itu membaca, melihat, atau merasakan. Penulis harus memiliki pengetahuan tentang informasi yang luas agar memiliki banyak ide dalam menulis cerpen, pengetahuan itu dapat diperoleh dari, membaca koran, majalah, buku. Selain itu harus ditopang oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kehidupan penulis agar penulis lebih peka sehingga tulisan yang dihasilkan sesuai dengan kehidupan-kehidupan manusia sekarang. Menggali ide dari realita kehidupan dalam menulis bagi seorang penulis menjadi sarana untuk melatih kepekaan (Sayuti, 2009: 21). Menuangkan ide ke dalam bentuk paragraf diperlukan teknik penulisan. Sayuti (2009: 25-26) mengemukakan tahap-tahap menulis. Pertama, tahap pramenulis. Di sini harus menggali ide, memilih ide, menyiapkan bahan tulisan. Kedua, tahap menulis draf. Tahap menulis draf adalah tahap menulis ide-ide mereka ke dalam bentuk tulisan yang kasar sebelum dituliskan dalam bentuk yang sudah jadi. Ketiga, tahap merevisi. Tahap merevisi adalah tahap memperbaiki ulang atau menambahkan ide-ide baru terhadap karya. Keempat, tahap menyuting. Pada tahap ini harus memperbaiki karangan pada aspek kebahasaan dan kesalahan mekanik yang lain. Kesalahan mekanik antara lain penulisan huruf, ejaan, struktur kalimat, tanda baca, istilah, dan kosa kata. 2) Mengembangkan alur cerita Alur merupakan rangkaian peristiwa yang disusun berdasarkan hubungan sebab akibat (kualitas). Peristiwa itu saling berhubungan maka jika tidak ada peristiwa satu, peristiwa yang lain tidak akan terjadi (Sayuti, 2009: 47). Pengembangan alur tidak semudah yang dibayangkan oleh orang pada umumnya, untuk mempermudah dalam mengembangkan alur ada beberapa hal yang harus diperhatikan: a) Konflik harus tergarap dengan baik Konflik yang tidak tergarap dengan baik biasanya tampak pada pengembangan alur cerita yang tidak selesai atau terlalu singkat. Tidak selesai di sini berarti penulis memaparkan peristiwa-peristiwa tetapi belum sampai pada klimaks, cerita sudah ditutup atau diakhiri. Kebanyakan penulis hanya memaparkan masalah-masalah kemudian menjadikan masalah itu sebagai peristiwa-peristiwa cerita tetapi tidak ada yang ditonjolkan menjadi konflik dan klimaks. b) Struktur cerita harus proporsional Beberapa kemungkinan bentuk ketidakproporsionalan alur cerita di antaranya tampak dalam masalah panjang cerita dan pembukaan cerita. Oleh karena itu, penulis tidaklah berbelit-belit dalam menulis agar tidak semakin mempersempit ruang cerita. 2594 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 c) Akhir cerita (ending) tidak klise dan tidak mudah ditebak. Akhir cerita hendaknya tidak mudah ditebak oleh pembaca, agar memperoleh hal itu penulis harus banyak berlatih sebab itu tidak mudah untuk dilakukan. Akhir cerita yang mudah ditebak berawal dari ide cerita yang monoton sehingga jalan cerita juga dapat dengan mudah ditebak oleh pembaca. 3) Mengembangkan Tokoh Cerita Dilihat dari sifatnya tokoh dapat dibagi tokoh protagonis (baik) dan antagonis (buruk). Tokoh dilihat dari keterlibatanya dalam cerita terdapat tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah tokoh yang paling sering mucul dalam cerita dan paling banyak berhubungan dengan tokoh lain. Sayuti (2009: 58) memaparkan rambu-rambu pengembangan tokoh cerita: a) Penggambaran tokoh secara hidup (tidak datar) Penggambaran tokoh tidak hanya digambarkan berdasarkan nama, bentuk fisik, dan pekerjaan dalam cerita. Tokoh dalam cerita harus mempunyai karakter yang jelas. b) Penggambaran tokoh bervariasi Penokohan secara langsung menjadikan cerita tampak datar, membosankan, dan menyebabkan karakter tokoh tidak kuat. Keberhasilan penulis memunculkan karakter yang kuat pada tokohtokohnya akan membuat tokoh-tokoh cerita tersebut menjadi hidup sehingga keterikatan pembaca dengan tokoh cerita dapat terjalin dengan baik. c) Tokoh yang dimunculkan harus memiliki sumbangan bagi pengembangan cerita. Penulis memunculkan banyak tokoh tetapi sebenarnya tokoh itu tidak memiliki sumbangan bagi pengembangan cerita. Hal itu menyebabkan cerita menjadi kedodoran, jalan cerita dan panjang tulisannya pendek tetapi tokoh yang disajikan terlalu banyak. 4) Mengembangkan Latar Cerita Latar cerita merupakam unsur fiksi yang mengacu pada tempat, waktu, dan kondisi sosial cerita itu terjadi (Sayuti, 2009: 71). Latar sering kali hanya disebutkan sebagai nama, misalnya di kampung, pada malam hari, atau pada keluarga miskin, tidak dimanfaatkan untuk membangun cerita. Selain itu, latar tidak digambarkan secara detail yang mengakibatkan penggambaran dalam cerita kurang mendalam.
2595 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 5)
Diksi dan Bahasa dalam Fiksi Bahasa dalam fiksi lebih banyak mengandung makna konotatif. Namun, terdapat perbedaan antara puisi dan cerpen. Bahasa konotatif dalam puisi lebih banyak sedangkan dalam cerpen selain bahasa konotatif terdapat juga bahasa denotatif. Bahasa yang seperti itu menjadikan bahasa fiksi memiliki rasa sehingga memunculkan emosi pembaca. Diksi juga diperlukan dalam penulisan cerita agar tulisan menjadi lebih menarik. Pemilihan diksi yang tepat akan membantu pembaca masuk ke dalam cerita sehingga menikmati suasana secara langsung dan penghayatan lebih mudah dicapai. 2.5 Metode Field Trip Metode Field Trip adalah salah satu metode belajar mengajar anak didik dibawah bimbingan guru dengan mengunjungi tempat-tempat tertentu yang bertujuan untuk belajar (Sagala, 2006:214). Metode field trip tidak diartikan untuk bersenang-senang atau sebagai selingan pelajaran, tetapi anak-anak dalam perjalanan itu mengobservasi dan menyelidiki sesuatu (Roestiyah, 83:1986). Adapun keunggulan dari metode field trip adalah sebagai berikut: 1. Anak didik dapat mengamati kenyataan-kenyataan beraneka ragam dari dekat. 2. Anak didik dapat menghayati pengalaman-pengalaman baru dengan mencoba turut serta di dalam suatu kegiatan. 3. Anak didik dapat menjawab masalah-masalah atau pertanyaanpertanyaan dengan melihat, mendengar, mencoba, dan membuktikan secara langsung. 4. Anak didik dapat mempelajari sesuatu secara integral dan komprehensif. Menulis cerpen merupakan suatu proses yang dilakukan siswa untuk menuangkan ide-ide ke dalam bentuk tulisan. Kegiatan menulis cerpen dengan menggunakan metode field trip dapat dilakukan dengan beberapa langkah, yaitu: 1. Guru membuka interaksi dengan siswa untuk merumuskan tujuan kegiatan dalam pembelajaran menulis cerpen. 2. Guru dan siswa menyepakati trip yang akan dikunjungi dan waktu yang dipilih untuk pembelajaran menulis cerpen. 3. Siswa dan guru sama-sama mengunjungi tempat yang dituju. 4. Guru membimbing siswa untuk segera menulis berdasarkan hasil pengamatannya. 5. Guru merefleksi tulisan yang sudah ditulis oleh siswa. 2596 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 III.METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Arikunto (2010:203) mengemukakan bahwa, “Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Metode penelitian ini harus cocok dan sesuai dengan masalah yang dibahas supaya apa yang menjadi tujuan penelitian ini dapat tercapai dengan baik.” Berdasarkan pendapat tersebut, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen. Eksperimen adalah kegiatan yang direncanakan dan dilaksanakan oleh peneliti untuk mengumpulkan buktibukti yang ada hubungannya dengan hipotesis, karena tujuan dari eksperimen ini adalah mengetahui dampak dari sesuatu perlakuan, yaitu memperlakukan sesuatu, lalu dicermati akibat dari perlakuan tersebut. Melalui model inilah peneliti akan memperoleh bukti yang paling meyakinkan tentang pengaruh penerapan metode field trip terhadap kemampuan menulis cerpen pada siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Dalam melakukan penelitian, peneliti tidak lepas dari lokasi penelitian yang menjadi tempat untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan. Sesuai dengan judul, yang menjadi lokasi penelitian adalah di SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa pada semester genap tahun pembelajaran 2014/2015. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sampel yang berjumlah dua kelas, yaitu kelas XI-IPA dan XI-IPS yang sama-sama diajari dengan menggunakan metode field trip. Jadi sampel dalam penelitian ini berjumlah 49 orang. 3.3 Desain Penelitian Sebelum eksperimen dilakukan maka peneliti lebih dahulu membuat pre-tes dengan tujuan mengetahui kemampuan siswa dalam menulis cerpen sebelum eksperimen dilakukan atau sebelum diajarkan metode field trip. Karena hanya membandingkan pretes dan postes dengan metode field trip yang terdiri dari satu kelompok. Maka peneliti menggunakan Designe Eksperimen One Group pretest-postest (Ary,1982:350).
2597 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 3.4 Prosedur Penelitian
SAMPEL
KELAS EKSPERIMEN PRE-TES
SKOR UJI T
Metode Field Trip POST-TES
SKOR
Berdasarkan skema tersebut, dapat dijelaskan bahwa dalam melakukan penelitian langkah pertama yang dilakukan adalah menemukan populasi. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah siswa kelas XI sebanyak tujuh kelas SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa. Dari jumlah populasi tersebut ditentukan sebanyak dua kelas, yakni kelas XI-IPA1 dan XI-IPS1 sebagai kelas eksperimen. Sebelum diberikan perlakuan model pembelajaran, maka kedua kelas tersebut diberi pre-tes terlebih dahulu. Pemberian pre-tes ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan awal siswa mengenai menulis cerpen. Setelah diberi pre-tes, maka diberikan perlakuan pada masing-masing kelas. Metode field trip diberikan kepada kelas eksperimen. Setelah diberikan perlakuan, maka dilakukan post-tes untuk mengetahui kemampuan siswa akhir setelah perlakuan diberikan. Setelah diberi post- tes, maka diperoleh skor dari kelas eksperimen tersebut. Skor pada kelas eksperimen tersebut akan dibandingkan dengan menggunakan uji t sampel berhubungan pada taraf signifikan atau tingkat kepercayaan 0,05 (95%). 3.5 Teknik Analisis Data Analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Kegiatan dalam analisis data adalah: mengelompokkan data berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari keseluruhan responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan perhitungan untuk 2598 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan (Sugiyono, 2013:207). Model pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model eksperimen kuantitatif dengan menggunakan rumus uji pembeda. Datanya menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: - Data yang diperoleh diperiksa terlebih dahulu - Menentukan mean perbedaan skor yang berpasangan D dengan rumus: D = D N - Pengujian Hipotesis Ha : Terdapat perbedaan yang signifikan tingkat menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa sebelum dan sesudah menggunakan metode field trip. Ho : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa sebelum dan sesudah menggunakan metode field trip. Hipotesis Statistik Ho: 1 2 Ha: 1 2 - Untuk menguji hipotesis digunakan uji perbedaan mean sampel berhubungan : D t Ary (1982:218) 2 D D 2 N N (N - 1) Keterangan : t : Nilai –t mean yang tak mandiri ( yang ada hubungannya) D : Perbedaan antara skor yang berpasangan D : Mean perbedaan tersebut D2 : Jumlah skor perbedaan yang dikuadratkan N : Jumlah pasangan Skor pre-tes dan pos-tes pada kelas eksperimen tersebut akan dibandingkan dengan menggunakan uji t sampel berhubungan pada taraf signifikansi atau tingkat kepercayaan 0,05 (95%).
2599 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 IV. PEMBAHASAN 4.1 Hasil Sebelum Menggunakan Metode Field Trip Hasil data pada pre-tes sebelum menggunakan metode field trip terhadap kemampuan menulis cerpen, maka diperoleh hasil sebagai berikut: tabulasi data pre-test sebagai berikut: ∑ X1 = X2 = X1 = 44,08
4.2 Hasil Sesudah Menggunakan Metode Field Trip Hasil data pada post-test setelah menggunakan metode field trip terhadap kemampuan menulis cerpen siswa maka diperoleh hasil sebagai berikut: Data post-test ∑ X2 = X2 = X2 = 75,51
4.3 Hasil Penelitian Sebelum dan Sesudah Menggunakan Metode Field Trip Hasil data pada pre-tes sebelum menggunakan metode field trip terhadap kemampuan menulis cerpen maka diperoleh hasil 44,08 sementara itu hasil data pada post-test setelah menggunakan metode field trip terhadap kemampuan menulis cerpen siswa, maka diperoleh hasil 75,51. Tabel 4.1 Pengolahan Data No
Nama Siswa
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Muhammad Farhan Jekky Sahputra Riski Hamjaya Heru Prabowo Doni Fazri Lubis Preddy Manurung Pahotan Nainggolan Dimas Wira Sri Intan Sirait
Pre-tes
Pos-tes
D
D2
55 10 20 20 20 20 55 55 60 50 55
85 80 75 70 70 75 80 80 85 75 80
-30 -70 -55 -50 -50 -55 -25 -25 -25 -25 -25
900 4900 3025 2500 2500 3025 625 625 625 625 625
2600 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 No 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
Nama Siswa Rumanti Nainggolan Eko Wardian Haris Aditya Dedi Sidik Rahmadan Hendra Irwansyah Yusuf Abdi Sanjaya Elingsah Mumtahanah Pebri Siahaan Teguh Ardi Haditio Pratama Nita Arlita Manik Dwi Ramadani Khairani Gilang Ramadhan Andreas Sinurat Restu Dhea Zannah Zetty Icha Rya Andani Indah Sriwahyuni Winda Anastasya Sinaga Ayu Ningsih Rivai Purba Kevin Siburian Randy Nugroho Eva Tambunan Wulandari Panjaitan Bobi Sahputra Fakri Lubis Aprianti Samosir Sona Sitinjak Jihan Hidayah Fadlan Ansari Ratih Pratiwi Ana Jmlah Rata-rata
Pre-tes
Pos-tes
D
D2
50 55 45 50 45 40 45 45 45 60 20 45 40 40 60 55 45 35 20 60 55 35 45 40 55 60 45 20 50 50 50 25 55 50 50 50 60 45 2160 44.08
75 75 70 65 70 65 75 80 70 80 70 70 85 70 80 80 70 70 75 75 85 75 70 80 75 75 80 65 80 85 75 75 80 80 75 75 75 70 3700 75.51
-25 -20 -25 -15 -25 -25 -30 -35 -25 -20 -50 -25 -45 -30 -20 -25 -25 -35 -55 -15 -30 -40 -25 -40 -20 -15 -35 -45 -30 -35 -25 -50 -25 -30 -25 -25 -15 -25 -1540 -31,42
625 400 625 225 625 625 900 1225 625 400 2500 625 2025 900 400 625 625 1225 3025 225 900 1600 625 1600 400 225 1225 2025 900 1225 625 2500 625 900 625 625 225 625 55900
2601 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 Analisis Data d D N 1540 D 49 D 31, 42 Pengujian Hipotesis Tes signifikasi t
D
=
D 2
D 2
N N ( N 1)
31 , 42
=
(1540 ) 2 49 49 ( 49 1)
55900
31,42
=
2371600 49 2352 31,42
55900
=
= = t= df
55900 48400 2352 31,42
3,18877 31,42 1,78571 -17,59
= = =
N-1 49-1 48 95% tdf 48 = 2,009 (interpolasi), signifikan pada p<0,05.
2602 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 4.4 Pengujian Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: Ha : Terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa sebelum dan sesudah menggunakan metode field trip. Ho : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan menulis menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa sebelum dan sesudah menggunakan metode field trip. Hipotesis Statistik: Ho : 1 = 2 Ha : 1 ≠ 2 Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini dinyatakan dengan menggunakan uji “t” sampel berhubungan. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa thitung= -17,59 sedangkan 95% tdf 48 = 2,009 (interpolasi), signifikan pada p<0,05. Dengan demikian Ho ditolak.Dengan penolakan itu maka Ha diterima, artinya terdapat perbedaan yang signifikan tingkat kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa sebelum dan sesudah menggunakan metode Field Trip. 4.5 Pembahasan Hasil Penelitian Penerapan metode field trip lebih unggul dan lebih efektif digunakan dalam pembelajaran menulis cerpen oleh siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa. Hal ini dapat dilihat dari kemampuan siswa dalam menulis cerpen. Dalam pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan metode field trip dapat meningkatkan motivasi belajar, meningkatkan interaksi antar siswa, serta meningkatkan kemampuan berpikir dalam menginstruksikan pengetahuan yang dimiliki siswa sebelumnya atau diperoleh dari kegiatan pembelajaran. Setelah melakukan prosedur akhirnya peneliti mendapat hasil yang signifikan. Metode field trip yang diterapkan kepada siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa dalam meningkatkan kemampuan menulis cerpan ternyata berpengaruh positif. Ini dibuktikan dari hasil pre-test dan post-test siswa dapat dilihat dari perhitungan rata-rata siswa sebelum mendapat perlakuan dan setelah mendapatkan perlakuan dengan menggunakan metode field trip. Tabel 4.2 Hasil Pre-test dan Post-test Menulis Cerpen Skor Rata-rata Kelas Pre-test Post-test Eksperimen 44,08 75,51
D -31,42 2603
ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada kelas eksperimen dengan sampel berhubungan, maka didapat hasil penelitian dengan menggunakan metode field trip dalam pembelajaran menulis cerpen pada siswa kelas IX SMA Swasta Dharma Bakti diperoleh nilai mean perbedaan skor 17,59. V. SIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka peneliti dapat menyimpulkan: 1. Kemampuan menulis cerpen sebelum menggunakan metode field trip pada siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa adalah berada dalam kategori kurang. 2. Kemampuan menulis cerpen sebelum menggunakan metode field trip pada siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa adalah berada dalam kategori baik. 3. Tingkat kemampuan menulis cerpen siswa kelas XI SMA Swasta Dharma Bakti Tanah Jawa setelah diberi perlakuan di dalam proses pembelajaran menulis cerpen dengan menggunakan metode field trip lebih tinggi dari sebelum menggunakan metode field trip. DAFTAR PUSTAKA Akhadiah, Sabarti. 1998. Pembinaan Kemampuan Menulis Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Alwi, Hasan. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka. Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta Rineka Cipta. Ary, Donal. 1982. PengantarPenelitian Dalam Pendidikan. Surabaya. Usaha Nasional. Fitriana, Dewi Ika. 2012. Peningkatan Keterampilan Menulis Cerpen Melalui Media Berita dengan Metode Latihan Terbimbing pada Siswa Kelas X SMA Negeri I Rembang. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: UNY. Istarani. 2011. 58 Model Pembelajaran. Medan: Media Persada. Kosasih, E. 2003.Ketatabahasaan dan Kesusastraan. Bandung: Rama Widya. 2604 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605 --------------. 2006. Kompetensi Kebahasaan dan Kesusastraan. Bandung: Rama Widya. Pasaribu, Elfrida. 2014. Sanggar Bahasa dan Sastra.Pematangsiantar. Pradnyani, Ida. 2014.Penerapan Metode Field Trip Sebagi Upaya Meningkatkan Keterampilan Menulis Karangan Deskripsi Siswa Di Kelas VII A.3 SMP Negeri 1 Singaraja.Tesis Tidak Diterbitkan. Universitas Pendidikan Ganesha. Roestiyah. 1986. Didaktik Metodik. Jakarta: PT. Bina Aksara. Sagala.Syaiful. 2006. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta. Sayuti, Suminto. 2009. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Simatupang, Elfrida. 2013. Efektivitas Penerapan Teknik Clustering TerhadapTingkat Kemampuan Menulis Cerpen Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Lumbanjulu. Skripsi tidak diterbitkan. Pematangsiantar:UHN. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D). Bandung: Alfabeta. Supomo, Muhammad Yunus, 2009. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta : Universitas terbuka. Tarigan. Henry Guntur. 1986. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. -------------------------------. 2008. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Utami, Mala. 2013. Penerapan Metode Field Trip Dalam Pembelajaran Menulis Puisi Kelas VII SMP Negeri 3 Lembang. Tesis Tidak Diterbitkan. FPBS Universitas Pendidikan Indonesia.
2605 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2586 - 2605
2606 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2606 - 2615 REALIZATION OF POLITENESS STRATEGIES IN SENDING SHORT MESSAGES SERVICE (SMS) BY THE FIFTH SEMESTER STUDENTS OF ENGLISH DEPARTMENT OF HKBP NOMMENSEN UNIVERSITY Srisofian Sianturi, S.S., M.Hum Dosen Prodi Bahasa Inggeris FKIP Universitas HKBP Nommensen Medan ABSTRAK Penelitian ini mengkaji mengenai realisasi strategi kesantunan berbahasa yang digunakan oleh mahasiswa Universitas HKBP Nommensen dalam mengirimkan pesan singkat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang bertujuan menggambarkan strategi kesantunan yang digunakan oleh mahasiswa. Subyek penelitian ini terdiri dari 30 (tiga puluh) teks pesan singkat yang dikirim oleh mahasiswa kepada dosen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Program Studi Bahasa Inggris mengekspresikan kesantunan mereka dengan menggunakan salam sebelum mengungkapkan maksud dan tujuan pesan singkat tersebut. Mereka juga menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Mahasiswa mengaplikasikan keempat strategi kesantunan yang diusulkan oleh Brown dan Levinson yaitu (1) strategi langsung, (2) kesantunan positif, (3) kesantunan negatif, dan (4) strategi tidak langsung. Kesantunan yang paling dominan adalah kesantunan negatif (46%). Hal itu disebabkan oleh karena adanya rasa hormat mahasiswa yang ditunjukkan dengan penggunaan salam dan bahasa Indonesia yang baku. Kata Kunci: Realization, Strategy, Politeness, Short Message Services I.
BACKGROUND Language plays a great part in our life. Perhaps because of its familiarity, we rarely observe it, taking it rather for granted, as we do breathing or walking. Language is a total of communication and it has interactions among humans. Communication involves two or more people coding and encoding messages to each other through the medium of language. Thus, a language has a lot of contribution for human beings in expressing their desire, mood, feeling, and need. In addition, language also functions as an instrument of social interaction. In social interaction, the speaker has to concern the politeness.Politeness is applied by someone because he wants to respect the hearer. 2606 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2606 - 2615 Nowadays, there is an aspect which influences the politeness in the way of speaking, succh as the influence of globalization. The globalization influences the life style and way of speaking. In the past time, people interacted directly. But now interaction can be used by sending Short Message Service (SMS). The Short Message Service (SMS) provides a means for sending a message of a limited size (160 characters) to and from terminal equipment. Because of this limitation, some people type messages as short as possible. The shortness of the text cause missunderstanding between the sender and receiver. Some people said that the short text is impolite. The reasons mentioned above are considered to be the reasons why this research should be done urgently that is in order to describe the types of politeness strategies of students which them brings the writer to the research entitled “Realization of Politeness Strategies In Sending Short Messages Service (Sms) by the Fifth Semester Students of English Department of HKBP Nommensen University” 1.1 The Problems of the Study Related to the background of the study, the problems of the study are formulated as the following. 1. How are the politeness strategies expressed by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University? 2. What are the types of politeness strategies applied by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University? 3. What is the dominant types of politeness strategies applied by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University? 1.2 The Objectives of the Study In relation to the problems, the objectives of the study are 1. to describe the politeness strategies expressed by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University. 2. to elaborate the types of politeness strategies applied by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University.
2607 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2606 - 2615 3. to elaborate the dominant types o politeness strategies applied by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University. 1.3. Review of Literature Politeness Politeness is the expression of the speaker‟s intention to mitigate face threats carried by certain face threatening acts toward another (Mills, 2003:6). Being polite therefore consist of attempting to save face. The goal of politeness is to make all the parties relaxed and comfortable with one another, these culturally defined standards at times may be manipulated to inflict shame on designated party. Brown and Levinson (1992) state that politeness strategies are ways to convey the utterances as polite as possible and politeness strategies are strategies used to avoid or minimize the FTA (Face Threatening Act) that a speaker makes. The realization of politeness strategies were studied in many social lives of tribes, society, etc. Bald On Record is the first types of politeness strategies. It is usually used in (1) welcoming; (2) farewells, and (3) offers. There are fifteen strategies of positive politeness by Brown and Levinson, such as: (1) Notice, attend to Hearer (his interests, wants, needs, goods); (2) Exaggerate (interest, approval, sympathy with hearer); (3) Intensify, interest to hearer; (4) Use in-group identity markers; (5) Seek agreement; (6) Avoid disagreement; (7) Presuppose/ raise/ assert common ground; (8) Joke; (9) Assert or presuppose S’s knowledge of and concern for H’s wants; (10) Offer, promise; (11) Be optimistic; (12) Include both S and H in the activity; (13) Give (or ask for) reason; (14) Assume or assert reciprocity; (15) Give gifts to H (goods‟ sympathy, understanding, cooperation) Negative politeness consists of ten strategies, such as: (1) Be conventionally indirect; (2) Question hedge; (3) Be pessimistic; (4) Minimize the imposition; (5) Give deference; (6) Apologize; (7) Impersonalize S and H; (8) State the FTA as a general rule; (9) Nominalize; (10) Go on record as incurring a debt, or as not indebting H. There are fifteen strategies off record, such as: (1) Give hints; (2) Give association clues; (3) Presuppose; (4) Understate; (5) Overstate; (6) Use tautologies; (7) Use contradiction; (8) Be ironic; (9) Use metaphors; (10) Use rethorical questions; (11) Be ambiguous; (12) Be vague; (13) Ove generalize; (14) Displace H; (15) Be incomplete, use ellipsis.
2608 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2606 - 2615 1.4 Short Message Service (SMS) Cell phones have become an integral part of the modern world, providing human connectivity ia a way never before possible. Most cell phones are used for their original intent –making telephone calls wireleslythese devices are also loaded with other features that are often little used or even ignored. One feature that users have begun to fully exploit in recent years is the short message services or text messaging. Tis basic service allows the exchange of short text messages between subscribers. The short messages service has emerged as one of the most popular wirelessservice. (Shipman, 2010 :1) II.
RESEARCH METHOD This study applied descriptive qualitative research design. The most important thing in this research is the accuracy of the data. By using the accurate data, we will get the more an accurate data. According to how the data are collected, there are two kinds of data. First, primary data are a data which are collected directly from the object, which is the original data. Next, secondary data are a data which are collected first by other researcher. The data as the primary data like students’ messages to their lecturer. The data were taken from the handphone inbox of the students of English Department of HKBP Nommense University. The data were the transcriptions of the students’ messages to their lecturer. The data were in the words form. The writer was also used the secondary data to support the research. After getting the messages transcription of the students, the researcher interviewed the students. Therefore, it became the secondary data. Miles and Huberman (1984) state that the data are collected in a variety of ways (observation, interviews, extracts from documents, tape recording). In this study, the data are collected by transcribing of students’ messages, interview and having some field notes. To collect the data, the writer did the following steps: 1. Saving students’ messages from handphone inbox. 2. The students’ messageswere transcribed into texts. 3. Having some field notes to the trascriptions. The sample of this research were30 messages.The techniques of data analysis were formulated into three steps, they are: 1) data collection, 2) data reduction, and 3) data display. III. 3.1.1
DATA ANALYSIS Types of Politeness Strategies Used by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University The realization of politeness strategies were studied in many social lives of tribes, society, etc. The studies of realization of politeness strategies 2609 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2606 - 2615 develop from time to time. It is caused by the politeness is the acts in social life. Ferguson(1976) in Watts (2003) explains that here are some of the kinds of linguistic expression which could be classified as realizations of politeness, like saying please and thank you or prefacing a request made of a stranger with excuse me or apologizing with I‟m sorry or pardon me, are highly routinized, ritualistic linguistic formulae. Before we turn to the types of Politeness strategies, based on the research problem, we will show some messages of HKBP Nommensen’s students that they send to their lecturer so that from that messages, we will know actually what politeness strategies that the students dominant use in sending messages and what kinds of politeness strategies that the students use in sending SMS to their lecturer. They are : Table 3.1. The Types of Politeness Strategies Used by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University NO 1
2
3
4
TEXTS Lagi di jalan saya mam
Sir, tadi aku uda coba hubungi Listra yang ngutip uang buku grup B. Katanya dia lagi ujian bible pro. Jadi mungkin minggu depan bisa masuk kampus, uang bukunya belum semua dilunasi sama yang lain katanya sir, Trmks Enggak mam..cuman fd saya itu ada skripsi ya lsg mam kembalikan nantikan?
off-record strategy(give association clues)
Selamat siang pak?
Negative politeness (give deference) positive politeness strategy(pseudo-agreement)
Ini senior yang masuk grammar 2 dikelas bapak hari ini saya ada penelitian pak jadi tidak bisa mengikuti jadwal kuliah dari bapak. Minta izin saya pak untuk hari ini. 5
ANALYSIS Bald-on record strategy(FTAoriented bald-on record usage)
Good morning, Sir. I’m HeriyantoManalu, your student from Art and Language Faculty , I
Bald-on record strategy( nonminimalization or the face threat)
Negative politeness (give deference) Bald-on record strategy(FTAoriented bald-on record usage)
2610 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2606 - 2615
6
want to ask you about your schedule on Wednesday. Because I want to discuss about my thesis. Thank you.” Selamat pagi ibu.
7
Ini Ivana, Fk. Biologi-12. Hari ini kita kuliah pengganti pukul 11 utk praktikum di ruang laboratorium. Morning, Sir.
8
Today we have a make-up class for CCU at 4p.m” Selamat pagi bu,
9
ini saya melisa hasibuan anak bimbingan ibu. Mau nanya ibu pukul berapa datang ke kampus? Soalnya saya mau bimbingan. Terimakasi sebelumnya ” Okay mom,,, I’ll tell them.”
10 11 12
“Sir ..ruangan pengganti syntax di I.4.5 ya sir. Udah maam. Sekitar 6 masih yang bayar ma’am. Selamat siang mam,
15
saya apni reflesia saragih grup A.. saya permisi tidak masuk mam karena lagi sakit mam.. makasih sebelumnya yah mam Miss today we have a replacement class in I.4.12 at 10 a.m Thank you miss “pak kuliah pengganti bahasa indonesia hari ini diruang L3.8 ya pak, Good morning mam,
16
are we so lectures a substitute for reading these days? Selamat pagi pak.
13
14
Pak hari ini kita masuk kuliah
Negative politeness ( give deference) Bald-on record strategy(FTAoriented bald-on record usage)
Negative politeness (give deference) Bald-on record strategy(FTAoriented bald-on record usage) Negative politeness (give deference) Bald-on record strategy(FTAoriented bald-on record usage)
Bald-on record strategy(FTAoriented bald-on record usage) Bald-on record strategy(FTAoriented bald-on record usage) positive politeness strategy(took-agreement) Negative politeness (give deference) Negative politeness strategy(be conventionally indirect)
Bald-on record strategy(FTAoriented bald-on record usage) Bald-on record strategy(FTAoriented bald-on record usage) Negative politeness (give deference) positive politeness strategy(seek-agreement) Negative politeness (give deference) positive politeness
2611 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2606 - 2615
17
pengganti di ruang L4.5 jam 2. Jangan lupa ya pak. Terima kasih. Selamat pagi bu.
strategy(address forms)
18
Kami bisa jam 8 hari sabtu bu. Terima kasih bu Selamat siang bu.
19
Pelajaran kita sampai jenis teknik periklanan bu. Terima kasih bu Ya bu. Dah dikasih tai sariana tadi bu
Negative politeness (give deference) Bald-on record strategy(FTAoriented bald-on record usage) Negative politeness (give deference) positive politeness strategy(took-agreement) Bald-on record strategy( FTA-
hari rabu jam 3 bu kita masuk.
oriented bald-on record usage)
Terima kasih bu 20
Selamat pagi bu
21
Bu jam berapa jadinya kita kuliah pengganti hari ini bu? Terima kasih bu Selamat siang bu
22
Bu tugas yg kemarin yang kami kumpul itu tidak dikeranjang lagi bu Terima kasih bu Selamat siang bu
23
Kita gak masuk bu hari ini? Terima kasih bu Nasri simamora Selamat pagi mam.. Ini febri rotama silaban mam. Dari stambuk 2014 grup A mam. Mau nanyak, kita masuk hari ini mam?
24
Selamat malam miss...:-) maaf mgganggu y ms. Saya Marlina dari kelas public speaking. Saya ingin beritau ms. Jumlah yg ngambil buku dan bayar sama saya dr group pindahan itu ada sebanyak 15 org ms. Dan yg dr grup menetap itu ada sebanyak 16 org.. jd jumlhnya 21 ms..
Negative politeness ( give deference) positive politeness strategy(seek-agreement) Negative politeness (give deference) Bald-on record strategy( FTAoriented bald-on record usage) Negative politeness (give deference) positive politeness strategy(seek-agreement) Negative politeness (give deference) positive politeness strategy(seek-agreement) Negative politeness (give deference) Negative politeness (apologize) Positive politeness strategy(took-agreement)
2612 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2606 - 2615
25
26
Selamat pagi miss,, Saya marlina grup public speaking 2013... Ms,, mau tanya praktek public speaking tu hari ini yah ms??? Siang Miss
28
Mau tanya nih Hari rabu, 1 juli 2015 sudah positifkah akan diadakan rapat seminar tersebut??? Atau adakah tanda2 akan diundur ke hari kamis rapatnya??:-D Iyaa Mam. Memang hari selasa, saya sudah hubungi mereka juga mam kemaren. Mulai jam 10 wib Selamat pagi Ms. Ernawaty
29
Saya Theoria dari pendidikan Bahasa Inggris grup B 2014 Miss sekarang ada dimana? Kami mau tanda tangan KRS miss karena hari ini terakhir Selamat siang mam
30
Saya Liwanti Jumat mam ada di campus? Kapan saya bisa bbimbingan mam? Terima kasih mam Selamat siang pak.
27
Saya mahasiswa Ekonomi Pembangunan ingin mengumpulkan tugas Hukum Bisnis. Bapak sekarang berada di mana?
Negative politeness (give deference) negative politeness strategy (impersonalize S and H) Negative politeness (give deference) positive politeness strategy (offer)
positive strategy(give reason)
(or
politeness ask for)
Negative politeness (give deference) positive politeness strategy (took-agreement)
Negative politeness ( give deference) positive politeness strategy(seek-agreement)
Negative politeness (give deference) positive politeness strategy (give (or ask for) reason)
Those are the screen shots of short messages of HKBP Nommensen University’s students as the sample that is used for this research. Those messages will be analyzed word by word, phrase by phrase, or sentence by sentence about what politeness strategy that is used by each of them. Therefore, it is important to know about the Politeness Strategies. There are 4 kinds of Politeness strategy. They are Bald On-Record Strategy, 2613 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2606 - 2615 Positive Politeness Strategy, Negative Politeness Strategy, Off Record Politeness Strategy. 3.1.2 The Dominant types of Politeness Strategies Used by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University The fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University used the bald on record as dominant types of politeness strategies when they interact to their lecturer by texts. The percentages of the types of politeness strategies can be seen from the following table: Table 3.2. The Percentages of Politeness Strategies Used by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University No Types of politeness Number Percent 1 Bald-on record strategy 11 22% 2 Positive politeness 15 30% strategy 3 Negative politeness 23 46% strategy 4 Off-record strategy 1 2% Total 50 100% Table 4.2 presents the percentages of the politeness strategies used by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University. The percentages of bald on record strategy (22%), positive politeness (30%), negative politeness (46%), off-record strategy (2%). The dominant type of politeness strategies is bald on record strategy. 3.2 Findings From the data analysis, some findings are specified based on the aim at describing politeness strategies used by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University as follow: 1) Generally, the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University express their politeness by using greetings. It shows that they give deference to their lecturer. Almost they used standard Bahasa Indonesia. The using standard Bahasa Indonesia shows the distance between students and lecturers. 2) Brown and Levinson’s strategies are used by the fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University in 2614 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2606 - 2615 their interactions, they are bald on strategy, positive strategy, negative strategy and off-record strategy. 3) Negative politeness strategy is the dominant strategy. IV.
CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS
5.1 Conclusions Based on the analysis, the conclusions are stated as the following: 1) The fifth semester students of English Department of HKBP Nommensen University express their politeness by using greetings to show their deference to their lecturer and use standard Indonesian Language. 2) They apply Brown and Levinson’s strategiesin their interactions 5.2 Suggestions 1) It is suggested to those who concerned with students of HKBP Nommensen University to balance the four politeness strategies in their interaction. 2) It is suggested to lecturers in HKBP Nommensen University to teach Brown and Levinson strategies to build students’ characters. REFERENCES Brown, Penelope and Levinson, Stephen. C. 1992. Politeness: Some Universals in Language Usage. New York: Cambridge University Press. Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. London: Longman Mills. 2003. Politeness in East Asia.Cambridge: Cambridge University Press. Miles and Huberman. 1984. Qualitative Data Analysis. California: Sage. Shipman. 2010. Language and Technology. Newyork: Palgrave Macmillan. Watts, Richard J. 2003. Politeness. Key Topics in Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press.
2615 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2606 - 2615
Biodata Penulis Srisofian Sianturi. Lahir di Simatupang, 06 Nopember 1985. Anak ke-2 dari 7 bersaudara. Pada tahun 2009 menyelesaikan pendidikan dengan gelar Sarjana Sastra (S.S) dari Universitas Methodist Indonesia. Pada tahun berikutnya melanjutkan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan konsentrasi Linguistik Terapan Bahasa Inggris dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2014 mulai mengajar di Universitas HKBP Nommensen, Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.
2616 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 HUBUNGAN MANAJEMEN MUTU PENDIDIKAN DENGAN KEBERHASILAN PELAYANAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN SIANTAR KABUPATEN SIMALUNGUN DR. Drs. Marto Silalahi, MSi Dosen Kopertis Wilayah I dpk STIE SULTAN AGUNG PEMATANGSIANTAR ABSTRACT The study is aimed to analizes the relationship of the management of the quality of education with the successed primary educations in kecamatan siantar Simalungun Regency. The education services is one of indicator to successes of governmen and development. The development of educations is one of the government program or activities to fill of the educations of people needs. The best education development is scala priority of the local government program. The educations of primary have big contribution to the success of visi and mission of the local government. The managemen of educations quality have signicifant contributions to the success of primary education of local government. The management of quality educations is the strategy of local government in order to making easier and faster to reaching the best quality of local educations. The result of this researchs want to known the relationship the managemen of quality of educations to making higher the quality of primary educations servicess. The reseaches used is the quantitative analysis, that simple regresion test analysis and the coefiscien of corelations. The technique to collecting data is quensioner, documentation and the direct of observations. In the reseachs, the population are the people of siantar simalungun regency. The output of the research is there are the relationships the management of quality educations with the success of primary educations of quality. The objectives of this research is about the relationship between the managemen of quality educations with the success of primary educations of quality. The success of primary educations is one of the indicator the success the activities of government and local delopment according the vision and mission of local government. Keywords : The Management of Quality Educations and The Success of Primary Educations of Quality.
2616 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 I. Pendahuluan I.1. Latar Belakang Kehadiran pemerintahan (dalam bentuk program dan kegiatannya) memberikan kemanfaatan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kehadiran pemerintahan merupakan hakekat keberadaan pemerintahan daerah. Berbagai kebijakan yang diterbitkan pemerintahan daerah dimaksudkan dan ditujukan untuk pemenuhkan kebutuhan masyarakat. Program dan kegiatan pemerintah daerah menjadi strategi meningkatkan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Keberhasilan program dan kegiatan daerah membutuhkan dukungan sinergi dari diharapkan kepentingan mensejahterakan masyarakat. Kebutuhan masyarakat merupakan dasar merumuskan berbagai kebijakan pemerintah daerah. Pemenuhan kebutuhan layanan pendidikan dasar merupakan salah satu kebutuhan masyarakat. Memang harus diakui bahwa pelayanan pendidikan dasar memiliki hubungan yang komprehensif dengan kuantitas ataupun kualitas. Ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan dasar seperti gedung sekolah, ketersediaan sumber daya kependidikan, dan sebagainya. Peranan dan sumbangan pendidikan adalah sangat menentukan kepada pencapaian kesejahteraan melalui peningkatan akal pikir dan akal budi masyarakat. Pelayanan pendidikan dasar khususnya sekolah dasar merupakan salah satu fenomena pendidikan daerah karena pelayanan dasar khususnya sekolah dasar membutuhkan sinergitas dan komprehensivitas dari semua stakeholders pendidikan. Pelayanan pendidikan dasar merupakan fondasi dasar bagi keberhasilan pelayanan pendidikan daerah pada umumnya. Oleh karena itu pelayanan pendidikan dasar membutuhkan ketersediaan sumber daya aparatur, ketersediaan sarana prasarana, dukungan kejelasan dan ketegasan norma perundangan, reward dan punishmen dan sebagainya. Optimalisasi pelayanan dasar (sekolah dasar) membutuhkan ketersediaan sarana dan prasarana fisik sekolah misalnya tanah sekolah, bangunan sekolah, alat transportasi, infrastruktur jalan yang menghubungkan sekolah dengan lingkungan masyarakat dan sebagainya. Fenomena bangunan sekolah yang rusak, tidak layak digunakan, kekurangan gedung sekolah dan sebagainya adalah puncak gunung es dari masalah pelayanan pendidikan yang terjadi di daerah. Untuk membangun bangunan sekolah dasar sangat dibutuhkan dana yang besar sehingga pemerintah daerah akan berhadapan dengan skala prioritas pembangunan daerah. Pada musyawarah pembangunan daerah, terkadang kondisi yang belum rusah berat, akan dinomorduakan dalam penyusunan skala prioritas pembangunan daerah. Perjuangan untuk memasukan usulan kegiatan pembangunan bangunan sekolah dasar sebagai contohnya, akan mengalami perjalanan panjang dan terkadang mengalami kegagalan. Pada tingkat 2617 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 musyawarah pembangunan desa, maka pemangku kepentingan pendidikan di desa/nagori dituntut memperjuangkan kebutuhan prasarana sekolah sebagai skala prioritas pertama. Kebutuhan prasarana sekolah dasar dari suatu nagori akan dibahas dalam musyawarah pembangunan tingkat kecamatan dan kebutuhan prasarana sekolah dasar dari suatu kecamatan akan dibahas dalam musyawarah pembangunan tingkat kabupaten/kota. Pembangunan daerah membutuhkan sumber dana yang besar untuk membiayai program dan kegiatan yang telah disepakati dalam rapat musyawarah pembangunan daerah. Untuk mengatasi permasalahan kekurangan sumber dana pembangunan daerah, maka pemerintah daerah menentukan skala prioritas pembangunan daerah. Skala prioritas pembangunan daerah harus memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Keterbatasan dana untuk membiayai pembangunan sekolah dasar adalah salah satu masalah pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan pendidikan dasar. Namun demikian, harus diakui bahwa keterbatasan dana dapat dikelola dengan memberdayakan dunia usaha melalui corporate social responsibility (CSR) dan partisipasi masyarakat melalui menyumbangkan pikiran/tenaga ataupun uangnya. Sumber daya aparatur (tenaga kependidikan dan aparatur yang bekerja pada dinas pendidikan) memiliki sumbangan yang besar atas keberhasilan pelayanan pendidikan dasar. Keberadaan guru, pegawai tata usaha, kepala sekolah, penjaga sekolah, pegawai perpustakaan, pegawai labotorium dan sebagainya merupakan sumber daya tenaga kependidikan dalam proses belajar dan mengajar. Pengalihan ilmu pengetahuan dan budi pekerti adalah elemen utama dari proses belajar dan mengajar dalam pendidikan secara keseluruhannya. Mengoptimalisasikan kemampuan dan kemauan sumber daya kependidikan dan tenaga kependidikan membutuhkan perhatian dari pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sumber daya pendidikan daerah dapat dilakukan dengan mengoptimalisasi kemampuan dan kemauan mereka. Meningkatkan kemampuan dapat dilakukan melalui melalui memberikan kesempatan untuk menempuh meningkatkan pendidikan formal, pelatihan dan keterampilan mengajar dan sebagainya. Pola penerimaan dan peningkatan karier sumber daya pendidikan dasar harus disesuaikan dengan kebutuhan pendidikan daerah dan mengikuti norma perundangan pendidikan yang berlaku. Meningkatkan kemauan dapat dilakukan dengan memberikan motivasi kepada sumber daya kependidikan misalnya memberikan sertifikasi guru tepat pada waktunya, mendorong meningkatkan pendidikan formal, meningkatkan prestasi dan memberikan peluang meningkatkan karier dan sebagainya. Kebutuhan pelayanan pendidikan yang maksimal merupakan kebutuhan masyarakat yang harus diujudnyatakan program dan kegiatan 2618 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 pemerintahan daerah. Dalam era otonomi daerah, profesionalitas, akuntabilitas, transparansi dan responsivitas pemangku keberhasilan pendidikan daerah menjadi strategi utama. Mengelola sumber daya daerah dengan komprehensif dan integralistik akan memberikan kemudahan dan kecepatan mencapai visi dan misi daerah khususnya dalam mewujudnyatakan pendidikan yang berkualitas. Manajemen mutu pendidikan menjadi pilihan cerdas untuk meningkatkan pelayanan pendidikan dasar daerah. Manajemen mutu pendidikan tersebut merupakan produk dari perangkat daerah dalam menyusun rencana kerja pemerintahan dan pembangunan daerah. Manajemen mutu pendidikan daerah merupakan bagian tidak terpisahkan dari manajemen pemerintahan daerah sehingga visi dan misi daerah dapat tercapai dengan optimal. Mengamati fenomena pendidikan daerah khususnya pelayanan pendidikan dasar menjadi bahan diskusi yang menarik karena pelayanan pendidikan dasar adalah kewenangan pemerintahan daerah. Keberhasilan mewujudnyatakan pelayanan pendidikan dasar tersebut tercermin dari tugas dan fungsi perangkat daerah khususnya yang membidangi pendidikan. Pembahasan pelayanan pendidikan dasar memiliki keterkaitan dengan program dan kegiatan bidang pendidikan daerah. Rencana kerja pendidikan daerah merupakan bagian dari rencana kerja pembangunan daerah yang telah disusun pemerintah daerah bersama dengan lembaga perwakilan daerah. Rencana kerja pembangunan daerah disusun berdasarkan kewenangan daerah dan kebutuhan daerah. Fenomena pendidikan daerah menjadi menarik dianalisa sehubungan dengan pendidikan dasar menjadi kewenangan daerah. Diskusi atau analisa pelayanan pendidikan dasar daerah menjadi input strategis dalam mengelola kebijakan yang diterbitkan pemerintah daerah. I.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat ditentukan rumusan masalah, yaitu ”Apakah ada hubungan manajemen mutu pendidikan dengan keberhasilan pelayanan pendidikan dasar di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun.” II. Tinjauan Pustaka. II.1. Manajemen Mutu Pendidikan ` Kebutuhan masyarakat menjadi pilar utama bagi penyusunan rencana kerja pemerintahan dan pembangunan daerah. Hal itu tersebut dapat dilihat dari proses panjang musyawarah pembangunan daerah. Kegiatan musrenbang dimulai dari musyawarah pembangunan daerah pada tingkat desa, tingkat kecamatan, tingkatan satuan kerja perangkat daerah dan pada akhirnya pada tingkat daerah Kabupaten/Kota. Pemenuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat menjadi skala prioritas kegiatan pemerintahan dan 2619 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 pembangunan daerah. Mengoptimalisasikan sumber daya untuk menghasilkan berbagai kebutuhan masyarakat adalah jalan pendekat bagi mensejahterakan masyarakat. Dalam era otonomi daerah, keberadaan pendidikan dasar menjadi kewenangan pemerintah daerah. Blue print atau cetak biru kebijakan pendidikan daerah menjadi barometer keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah bidang pendidikan. Pemerintah daerah membutuhkan dukungan semua pemangku kepentingan pendidikan sehingga pendidikan menjadi salah satu indikator penyelenggaraan pemerintahan daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah membutuhkan kebijakan pendidikan secara keseluruhan. Manajemen pendidikan daerah merupakan bagian tidak terpisahkan dari manejemen pemerintahan dan pembangunan daerah. Manajemen mutu pendidikan merupakan bagian dari manajemen pendidikan daerah. Dalam manajemen pendidikan daerah teruraikan keseluruhan strategi dan kebijakan tahunan, lima tahunan dan duapuluh tahunan yang akan dilaksanakan pada bidang pendidikan di daerah. Sedangkan manajemen mutu pendidikan memuat strategi dan kebijakan yang dilakukan pada program dan kegiatan pendidikan daerah dalam jangka waktu tertentu misalnya satu tahunan. Sehubungan dengan betapa pentingnya managemen mutu dalam organisasi, Creech (dalam Usman, 2009) mengatakan bahwa ”Lima pilar yang menunjang managemen mutu, yaitu Product, Process, Organization, Leadership dan Commitment.” Aktivitas semua sumber daya organisasi menjadi faktor dinamis sehingga organisasi tersebut tidak mati (Entropi negatif). Dalam organisasi pendidikan, adalah perencanaan jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang merupakan aktivitas dinamis yang membuat unggul dalam produk proses pendidikan (Product and Services Education Exellence). Kehadiran manajemen mutu dalam pendidikan daerah memberikan energi baru sehingga kebijakan pendidikan daerah mendapatkan pencerahan ataupun perbaikan khususunya dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan setiap program dan kegiatan pendidikan daerah. Hubungan pemerintah daerah dengan kebutuhan masyarakat merupakan essensi dari otonomi daerah karena pada hakekatnya kehadiran pemerintahan merupakan memberikan jawaban atas berbagai kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan pelayanan pendidikan. Kebijakan pendidikan daerah memberikan percepatan tercapainya kebutuhan pelayanan pendidikan yang diharapkan masyarakat. Kebutuhan pelayanan pendidikan daerah merupakan salah satu kebutuhan primer dari berbagai kebutuhan masyarakat daerah. Untuk mengujudnyatakan kebutuhan itu adalah menjadi suatu keharusan membuat grand desain kebijakan pendidikan daerah. Dokumen perencanaan pembangunan daerah termasuk didalamnya kebijakan pendidikan daerah adalah bagian tidak terpisahkan dari rencana pembangunan daerah secara keseluruhan. Untuk 2620 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 mengaktualisasikan program dan kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan pendidikan daerah,maka pemerintah daerah membutuhkan dukungan dari pemangku kepentingan pendidikan daerah. Kebijakan pendidikan daerah memiliki faktor faktor yang beraneka ragam baik kuantitas maupun kualitasnya. Kebijakan sekolah adalah salah satu elemen penting dalam merumuskan kebijakan pendidikan daerah. Berkaitan dengan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam kebijakan sekolah, maka Duke dan Canady (dalam Syafaruddin, 2008:119 ) mengatakan bahwa fokus kebijakan sekolah adalah (1) Melibatkan staf dalam pengambilan keputusan, (2) Kurikulum, (3) Imbalan dan hukuman, (4) Keterlibatan Orangtua, (5) Peluang bagi pelajar dan (6) Iklim sekolah. Pemerintah daerah membutuhkan strategi dan kebijakan untuk mengembangkan daya dukung sekolah dalam mempermudah dan mempercepat terselenggaranya pendidikan di daerah. Kurikulum sekolah merupakan strategi pembelajaran yang diemban sumber daya pendidikan (guru, staf labotorium, staf administrasi dan sebagainya). Dengan mempedoman kurikulum yang diterbitkan pemerintah maka pemerintah daerah dapat memperkaya dengan sumber daya daerah dan kearifan lokal yang dimiliki daerah. Kebutuhan layanan pendidikan daerah merupakan bahan baku untuk merumuskan kebijakan pendidikan daerah. Layanan pendidikan yang bagaimana yang dibutuhkan masyarakat merupakan salah satu pertanyaan yang perlu dikembangkan dan dikelola serta perlu dicarikan jalan keluarnya. Untuk menganalisa kebutuhan pelanggan atas produktivitas suatu organisasi, Deming (dalam Tjiptono dan Diana, 2003) mengatakan bahwa ”Siklus Deming dikembangkan untuk menghubungkan antara produksi suatu produk dengan kebutuhan pelanggan dan memfokuskan sumber daya semua departemen (riset, desain, produksi dan pemasaran) dalam suatu usaha kerja sama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ada lima tahapan dalam siklus deming itu, yaitu (1) Mengadakan riset konsumen dan menggunakannya dalam perencanaan produk/Plan; (2) Menghasilkan produk/Do; (3) Memeriksa produk apakah telah dihasilkan sesuai dengan rencana /Check; (4) Memasarkan produk tersebut/Act; (5) Menganalisa bagaimana produk tersebut diterima di pasar dalam hal kualitas, biaya dan kriteria lainnya/Analyze” Kebutuhan pelanggan (masyarakat) atas pelayanan pendidikan dasar yang berkualitas merupakan titik fokus perhatian merumuskan kebijakan pendidikan dasar daerah. Untuk merumuskan kebutuhan pendidikan dasar itu, maka pemerintah daerah mengambil masukan yang berlangsung dalam musyawarah pembangunan daerah pada setia tingkatan musrenbang. Masukan masyarakat atas pendidikan dasar yang diharapkan menjadi masukan berarti dalam merumuskan kebijakan pendidikan dasar yang akan 2621 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 diterbitkan pemerintah daerah. Pendidikan dasar (sekolah dasar) merupakan kewenangan pendidikan yang dimiliki pemerintah daerah dalam era otonomi daerah. Kebijakan pendidikan dasar daerah dapat mempercepat dan mempermudah penciptakan generasi emas seperti yang disampaikan dalam berbagai pertemuan. Pembangunan pendidikan daerah merupakan tugas pemerintahan sehingga alokasi penggunaan sumber dana mendapatkan skala prioritas. Pelayanan pendidikan dasar membutuhkan skala prioritas dari kegiatan pembangunan daerah sehingga kebutuhan layanan pendidikan masyarakat dapat terpenuhi dengan maksimal. Kemampuan pemerintah daerah sangat tergantung kepada memformulasikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat kedalam rencana strategis daerah. Sebagai salah satu skala prioritas pembangunan daerah, maka pelayanan pendidikan dasar diharapkan mendapatkan dukungan dari semua stakeholders kebijakan daerah baik pemerintah daerah (eksekutif) maupun dewan perwakilan rakyat daerah (legislatif). Kehadiran pemerintahan menjadi jawaban atas perwujudnya kebutuhan masyarakat melalui optimalisasi program dan kegiatan pemerintah daerah. Untuk meningkatkan daya dukung pemerintah daerah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia daerah, maka dari itu sangat dibutuhkan strategi dan kebijakan mutu program dan kegiatan perangkat daerah. Berhubungan dengan organisasi yang mengarusutamakan managemen mutu, Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono dan Diana, 2003), mengatakan bahwa ada sepuluh komponen yang harus diperhatikan organisasi yang berlandaskan managemen mutu, yaitu : (1) Fokus kepada pelanggan ; (2) Obsesi terhadap kualitas ; (3) Pendekatan Ilmiah ; (4) Komitmen jangka panjang ; (5) Kerja sama tim (team work) ; (6) Perbaikan sistem secara berkesinambungan ; (7) Pendidikan dan Pelataihan ; (8) Kebebasan yang terkendali ; (9) Kesatuan tujuan dan (10) Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan. Pemerintah daerah membutuhkan dukungan pemangku kepentingan kesejahteraan masyarakat baik dari masyarakat, dunia usaha maupun dari pihak lainnya. Kehadiran pemerintah daerah membutuhkan profesionalitas, akuntabilitas, transparan dan responsivitas perangkat daerah. Dengan demikian perangkat daerah dapat menerjemahkan kebutuhan masyarakat kedalam program dan kegiatan daerah. Manajemen mutu pelayanan pemerintahan menjadi suatu kebutuhan organisasi pemerintah daerah sehingga pelayanan pemerintah daerah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan maksimal. Masyarakat sebagai objek dari kebijakan daerah, maka kebutuhan masyarakat menjadi dasar merumuskan berbagai kebijakan daerah. Kebutuhan pelayanan pendidikan merupakan kebutuhan masyarakat yang harus diperjuangkan agar masuk kedalam rencana kerja 2622 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 pembangunan daerah setiap tahunnya. Dengan demikian bahwa masyarakat merupakan subjek dan objek program dan kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah. Optimalisasi tugas dan fungsi perangkat daerah akan mempermudah dan mempercepat pemenuhan kebutuhan pelayanan pendidikan masyarakat. Kinerja perangkat daerah menjadi barometer keberhasilan mewujudnyatakan kebutuhan pelayanan pendidikan daerah. The excellent of education services adalah visi perangkat pendidikan daerah sehingga masyarakat merasakan kehadiran pemerintah daerah itu. Pelayanan pendidikan daerah merupakan salah satu kebutuhan masyarakat yang perlu diaktualisasikan. Aktualisasi pelayanan pendidikan yang maksimal merupakan sinergitas seluruh pemangku kepentingan pendidikan daerah. Pemerintah daerah mengoperasionalisasikan tugas dan fungsi pemerintahan dan pembangunan daerah kedalam perangkat daerah. Oleh karena itu, keberhasilan pendidikan mencapai tujuannya, tidak terlepas dari keberdayaan perangkat daerah. Berkaitan dengan keberadaan pemimpin dalam organisasi pemerintahan, maka Rasyid (1996:61) yang mengatakan bahwa”Untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan yang kompleks memerlukan figur pemimpin yang bukan saja mengerti tapi juga memiliki kemampuan, ketrampilan, visi, integritas, wisdom untuk melayani masyarakat.” Untuk mempercepat pencapaian visi dan misi pendidikan daerah, program dan kegiatan pendidikan daerah dirumuskan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan kebutuhan pemerintah daerah. Kehadiran perangkat daerah yang berkualitas akan mempermudah mencapaian tujuan dari setiap kegiatan pendidikan daerah. Daya dukung sumber daya perangkat daerah melalui intelektualitas dan integritas dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat sehingga kehadiran pemerintahan berkesesuaian dengan terbina hubungan pemerintahan dengan masyarakat. II.2.
Pelayanan Pendidikan. Pada hakekatnya kehadiran pemerintah daerah adalah untuk memberikan pelayanan pemerintahan sehingga mendekatkan kensejahteraan masyarakat. Pelayanan pendidikan adalah salah bentuk pelayanan pemerintahan yang membutuhkan dukungan seluruh pemangku kepentingan pendidikan daerah. Dalam era otonomi daerah, salah satu kewenangan pemerintah daerah adalah pelayanan pendidikan dasar. Pendidikan dasar merupakan proses pertama dari berbagai proses dalam pendidikan. Hal itu dikarenakan pendidikan dasar adalah proses penanaman pemahaman dan pengetahuan bagi peserta didik. Seperti kata orang bijak bahwa melenggarakan pendidikan dasar jauh lebih sukar atau sulit dibandingan pendidikan menengah atau pendidikan lanjutan. Hal itu disebabkan bahwa pendidikan dasar berhadapan dengan peserta didik yang berusia 5 tahun 2623 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 sampai dengan 12 tahun. Pada usia ini, merupakan usia emas dalam proses penanaman nilai kebaikan dan kebenaran serta nilai pengetahuan. Pemerintah daerah melalui perangkat daerah (dinasi pendidikan, unit pelaksana teknis dinas dan sekolah dasar, pengawas sekolah dan sebagainya) memiliki tugas dan fungsi mengoptimalkan sumber daya untuk meningkat mutu pendidikan sekolah dasar. Keberadaan pelayanan pendidikan dasar atau sekolah dasar menjadi sangat penting karena murid sekolah dasar (bagian dari anggota masyarakat) membutukan keberadaan dukungan berbagai prasarana dan sarana sehingga mutu pendidikan sekolah dasar dapat meningkat. Peningkatan mutu sekolah dasar dipengaruhi beberapa faktor antara lain ketersediaan sarana dan prasarana fisik sekolah dasar yang memadai, keberdayaan sumber daya aparatur yang mengajar (guru, tenaga kependidikan dan sebagainya), dan faktor lainnya. Berkaitan dengan pelayanan pendidikan dasar bagi masyarakat, Beare dan Boyd (dalam Syafaruddin, 2008:4) mengatakan bahwa “Ada lima kebijakan pendidikan yang perlu diperhatikan, yaitu (1) Penataan atau penyusunan tujuan dan sasaran lembaga pendidikan ; (2) Mengalokasikan sumber daya untuk pelayanan pendidikan ; (3) Menentukan tujuan pemberian pelayanan pendidikan ; (4) Menentukan pelayanan pendidikan yang hendak diberikan ; dan (5) Menentukan tingkat investasi dalam mutu pendidikan untuk memajukan pertumbuhan ekonomi.” Pelayanan pendidikan dasar merupakan bagian tidak terpisahkan dengan pembangunan daerah. Perumusan kebijakan pendidikan dasar daerah harus disesuaikan dengan sumber daya daerah sehingga kebijakan tersebut dapat memenuhi tujuan atau target yang telah ditetapkan sebelumnya. Pertumbuhan penduduk akan menuntut kebutuhan sarana dan prasarana pendidikan. Kebutuhan pelayanan pendidikan akan menimbulkan berbagai kebijakan pendidikan yang lebih komprehensif dan integralistik. Pembangunan infrastruktur pendidikan seperti gedung sekolah, labotorium sekolah, dan sebagainya membutuhkan sumber dana yang tidak sedikit pula. Karena itu adalah wajar bila pemerintah daerah mengelola sumber daya yang tersedia. Untuk mengaktualisasikan kebijakan pendidikan, maka pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan pendidikan. Salah satu kebijakan dalam bidang pendidikan tersebut adalah UU No.14 Tahun 2005. Pada pasal 1 ayat 1 UU No. 14 Tahun 2005 menjelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada level pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Kebijakan pemerintah memberdayakan guru dan tenaga pendidikan merupakan bagian integral pembangunan pendidikan secara nasional maupun secara daerah. Sumber daya pendidikan (termasuk guru dan dosen) membutuhkan meningkatkan daya saing sehingga sumber 2624 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 daya pendidikan dapat memberikan sumbangannya dengan maksimal dalam pencapaian tujuan pendidikan itu sendiri. Untuk meningkatkan daya dukung dan kontribusi tenaga pendidikan atau tenaga kependidikan maka diperlukan penguatan sumber daya pendidikan tersebut. Berkaitan dengan penguatan sumber daya pendidikan, Mulyasa (2007:157) mengatakan bahwa “Penilaian tenaga pendidikan biasanya difokuskan pada prestasi individu, dan peran sertanya dalam kegiatan sekolah. Penilaian ini tidak hanya penting bagi sekolah, tetapi juga penting bagi tenaga kependidikan yang bersangkutan. Bagi para tenaga kependidikan, penilaian berguna sebagai umpan balik terhadap berbagai hal, kemampuan, ketelitian, kekurangan dan potensi yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana, dan pengembangan karir. Bagi sekolah, hasil penilaian prestasi tenaga kependidikan sangat penting dalam mengambil keputusan berbagai hal, seperti identifikasi kebutuhan program sekolah, penerimaan, pemilihan, pengenalan, penempatan, promosi, sistem imbalan dan aspek lain dari keseluruhan proses pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan”. Pemberdayakan sumber daya pendidikan menjadi strategi penguatan kontribusi sumber daya pendidikan dalam meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan dalam pemerintahan. Pelayanan pendidikan baik pada tingkatan pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi membutuhkan kuantitas dan kualitas sumber daya pendidikan. Pelayanan pendidikan yang berkualitas memiliki hubungan dengan kuantitas dan kualitas sumber daya pendidikan. Transfer ilmu pengetahuan dari sumber daya tenaga kependidikan (guru,dosen,staf labotorium dan sebagainya) akan semakin mudah dan berkualitas apabila sumber daya tenaga kependidikan tersebut memiliki kapabilitas dan kapasitas yang maksimal. Namun demikian transfer ilmu pengetahuan tersebut juga harus diikuti dengan transfer perilaku dan tindakan yang mendukung penguatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Misalnya transfer ilmu pengetahuan melalui pemanfaatan media elektronik dan komputer, harus disertai pendampingan dan penguatan nilai sosial, nilai budaya dan nilai agama yang disertakan sumber daya tenaga kependidikan. Meningkatkan daya dukung sumber daya pendidikan, diharapkan memberikan sumbangan berarti dalam mensukseskan pelayanan pendidikan yang dilakukan organisasi sekolah. Pelayanan pendidikan yang dilakukan di sekolah, memiliki keterkaitan dengan pemangku kepentingan pendidikan di sekolah. Berkaitan dengan memperkuat daya dukung sekolah dalam pelayanan pendidikan, adalah wajar dan pantas diperkuat manajemen sumber daya sekolah. Manajemen sumber daya sekolah merupakan bagian tidak terpisahkan dari manajemen mutu pendidikan yang dikelola pemerintahan daerah. Manajemen mutu pendidikan daerah merupakan grand desain kebijakan 2625 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 pendidikan daerah dalam memberhasilkan pembangunan pendidikan di daerah. Berkaitan dengan manajemen sumber daya sekolah, Mulyasa (2007:24) menyatakan bahwa “Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan salah satu wujud dari reformasi pendidikan, yang menawarkan kepada sekolah untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.” Meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan (termasuk pendidikan sekolah dasar) merupakan program dan kegiatan pemerintahan daerah yang membutuhkan dukungan semua pemangku kepentingan pendidikan daerah. Keberhasilan program dan kegiatan pendidikan daerah memiliki hubungan dengan berbagai kehidupan masyarakat. Hampir tidak dapat dibayangkan bila suatu daerah memiliki tingkatan pendidikan sekolah dasar yang masih besar dan apalagi bila masih banyak masyarakat buta huruf. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa bila komposisi masyarakat tidak dapat membaca masih terlalu banyak maka hampir dapat dipastikan kehidupan masyarakat tersebut mengalami banyak kendala, misalnya tidak mengerti arti kesehatan lingkungan, tidak mengerti pentingnya bersekolah, dan sebagainya. Meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan termasuk pendidikan sekolah dasar merupakan strategi atau kebijakan daerah yang harus terus menerus diperjuangkan. Artinya bahwa kemampuan daerah terkadang menjadi salah satu gangguan atau hambatan dalam mensukseskan program dan kegiatan pelayanan pendidikan di daerah. Bukan rahasia umum lagi bahwa kemampuan keuangan daerah terkadang hampir habis digunakan dalam berbagai belanja aparatur daerah atau belanja aparatur (sebagian besar untuk gaji pegawai). Untuk mensiasati kekurangan pendanaan itu, maka optimalisasi program dan kegiatan pendidikan daerah menjadi bagian yang harus diperhatikan dengan komprehensif. Berkaitan dengan optimalisasi pelayanan pendidikan sekolah dasar, Mudyahardjo (2006 :95) mengatakan bahwa “Perbaikan pendidikan lebih ditekankan pada metode mengajar, pendidikan guru dan pemahaman tentang karakteristik proses pendidikan yang lebih baik.” Untuk memberikan daya saing bagi pelayanan pendidikan dasar,maka sumber daya pendidikan (tenaga kependidikan,tenaga administrasi,arsiparis,tenaga labotorium dan sebagainya) membutuhkan energi penguatan sehingga kualitas pelayanan pendidikan dasar memenuhi kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan kemampuan guru mengajar, Parker (dalam Mudyahardjo, 2006 :95) mengatakan bahwa “Pola kepribadian dan kemampuan teknis/profesional kependidikan merupakan dua faktor penting 2626 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 yang mempengaruhi efektivitas pekerjaan pendidik.” Kapasitas dan kapabilitas sumber daya pendidikan menjadi sumber daya penguatan pelayanan pendidikan sehingga memenuhi kebutuhan masyarakat. Memperkuat sumbangan sumber daya pendidikan membutuhkan dukungan semua pemangku kepentingan pendidikan yang berkualitas. Transfer ilmu pengetahuan dari sumber daya pendidikan membutuhkan kapasitas dan kapabilitas sumber daya pendidikan dan dukungan sarana dan prasarana pendidikan lainnya. III. Metodologi dan Hipotesis. III.1. Hipotesis Dalam penelitian ini, yang menjadi hipotesis penelitian adalah ”Manajemen mutu pendidikan memiliki hubungan siginfikan dengan keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar.”. III.2. Metodologi. Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisanya adalah individu dari masyarakat membutuhkan pendidikan sekolah dasar yang berada di wilayah . Pemerintahan kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun. Kebutuhan masyarakat atas pelayanan pendidikan sekolah dasar merupakan fenomena sosial yang menarik untuk dicermati atau diteliti, sesuai dengan pendapat Singarimbun (1989:4) mengatakan bahwa “Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial.” Penelitian ini bertujuan untuk mengamati pelayanan pendidikan sekolah dasar yang diselenggarakan satuan pendidikan di tingkat wilayah kecamatan. Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian menerangkan yaitu penelitian yang menyangkut pengujian hipotesis penelitian yang dalam deskripsinya mengandung uraian dan fokusnya terletak pada analisa hubungan antara variabel. (Singarimbun, 1989:4). Tehnik penggumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah (1) studi kepustakaan, adalah dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan atau dokumen-dokumen lainnya; (2) kuesioner adalah dilakukan dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai alat dalam pengumpulan data yang diberikan kepada responden dan (3) observasi adalah mengadakan pengamatan langsung kelapangan. Jumlah penduduk kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun sebesar 62.916 jiwa (BPS tahun 2011). Dari jumlah penduduk yang menjadi populasi penelitian tersebut, berdasarkan rumus Rumus Frank Lynck ( dalam Arikunto, 1996 : 13) ; diperoleh sampel penelitian sebesar 96 orang. Penelitian mengadakan pengujian validitas dan realibilitas data dan menganalisa data dilakukan dengan analisa korelasi dan regresi sederhana dan dibantu dengan soft ware SPSS. 2627 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 III.3.
Hasil Penelitian dan Pembahasan. Untuk mengetahui hubungan manajemen mutu pendidikan dengan keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar dilakukan analisis korelasi dan regresi sederhana. Dari perhitungan program SPSS, maka diperoleh informasi bahwa hubungan manajemen mutu pendidikan dengan keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar adalah sangat erat yaitu 0,644. Hal tersebut mengandung makna bahwa manajemen mutu pendidikan memiliki hubungan dengan keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar di Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun. Nilai thitung =115.796 sedangkan nilai signifikansi t sebesar 0,000. (lebih kecil dari 0,05 ). Dari informasi perolehan nilai t tersebut, maka diartikan bahwa thitung lebih besar ( >) dari thitung (115.796 > 0,000). Dari hasil pengolahan data tersebut diatas, maka hipotesis dapat diterima, artinya bahwa terdapat hubungan manajemen mutu pendidikan dengan keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar. Dengan mempergunakan program SPSS, dibuatkan tabel validitas kuesioner manajemen mutu pendidikan. Dari tabel tersebut, diperoleh informasi bahwa hasil uji validitas pada kuesioner item pernyataan dari variabel manajemen mutu pendidikan dikatakan valid. Responden memberikan jawaban terhadap item pernyataan tentang manajemen mutu pendidikan adalah valid. Hal tersebut dapat dilihat dari skor nilai yang diperoleh dari setiap item pernyataan yaitu semua nilai berada diatas 0,3006. Dengan mempergunakan program SPSS, dibuatkan tabel realibilitas kuesioner manajemen mutu pendidikan. Dari tabel tersebut, diperoleh informasi bahwa hasil uji reliabilitas pada kuesioner item pernyataan dari variable manajemen mutu pendidikan dikatakan reliabel. Responden memberikan jawaban terhadap item pernyataan tentang manajemen mutu pendidikan adalah reliabel. Dengan mempergunakan program SPSS, dibuatkan tabel validitas kuesioner keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar. Dari tabel tersebut, diperoleh informasi bahwa hasil uji validitas pada kuesioner item pernyataan dari variabel keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar dikatakan valid. Responden memberikan jawaban terhadap item pernyataan tentang keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar adalah valid. Hal tersebut dapat dilihat dari skor nilai yang diperoleh dari setiap item pernyataan yaitu semua nilai berada diatas 0,3006. Dengan mempergunakan program SPSS, dibuatkan tabel reabilitas kuesioner keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar. Dari tabel tersebut, diperoleh informasi bahwa hasil uji realibilitas pada kuesioner item pernyataan dari variabel keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar dikatakan realibel. Responden memberikan jawaban terhadap item 2628 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 pernyataan tentang keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar adalah reliabel. Keberhasilan pelayanan pendidikan membutuhkan dukungan pemangku kepentingan pendidikan daerah. Pemerintah daerah membutuhkan sumber daya daerah yang maksimal sehingga pelayanan pendidikan daerah mencapai visi dan misi pendidikan daerah. Keberadaan sumber daya pendidikan menjadi barometer keberhasilan pendidikan menccapai sasaran atau tujuan yang telah ditarget dalam rencana pembangunan daerah. Berkaitan dengan keberadaan sumber daya pendidikan maka Bafadal (2008:3) mengatakan bahwa “Prasarana pendidikan di sekolah bisa diklasifikasikan menjadi dua macam. Pertama, prasarana pendidikan yang secara langsung digunakan untuk proses belajar, seperti ruang teori, ruang perpustakaan, ruang praktek keterampilan, dan ruang labotorium. Kedua, prasarana sekolah yang keberadaannya tidak digunakan untuk proses belajar, tetapi secara langsung sangat menunjang terjadinya proses belajar mengajar, diantaranya ruang kantor, kantin sekolah, tanah, jalan menuju sekolah, kamar mandi, ruang usaha kesehatan, ruang guru, ruang kepala sekolah dan parkir kenderaan.” Kehadiran sumber daya pendidikan memiliki sumbangan yang besar dan berarti dalam mensukseskan keberhasilan pendidikan yang berkualitas. Sumber daya pendidikan termasuk guru membutuhkan dukungan dan perhatian pemangku kepentingan pendidikan daerah. Untuk mendukung keberhasilan pelayanan pendidikan daerah dibutuhkan kompetensi guru dalam mentransfer ilmu pengetahuan dan sikap dan perilaku kepada peserta didik. Bidang-bidang Kompetensi Guru dalam Penilaian Kinerja guru adalah sebagai berikut: 1. Kompetensi Pedagogi meliputi: 1) Mengenal karakteristik anak didik; 2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik; 3) Pengembangan kurikulum; 4) Kegiatan pembelajaran yang mendidik; 5) Memahami dan mengembangkan potensi; 6) Komunikasi dengan peserta didik; 7) Penilaian dan evaluasi 2. Kompetensi Kepribadian meliputi: 1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia; 2) Menunjukkan pribadi yang dewasa dan teladan; 3) Etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru 3. Kompetensi Sosial meliputi: 1) Bersikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif; dan 2) Komunikasi dengan sesama guru, tenaga pendidik, orang tua peserta didik, dan masyarakat. 4. Kompetensi Profesional meliputi: 1) Penguasaan materi struktur konsep dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang diampu; 2) Mengembangkan keprofesionalan melalui tindakan reflektif. 2629 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 Kemampuan sumber daya pendidikan termasuk guru seperti kompetensi pedagogik,kompetensi sosial, kompetens profesional dan kompetensi kepribadian akan mempermudah dan mempercepat pelayanan pendidikan sekolah dasar mencapai sasaran atau target yang telah ditetapkan satuan pendidikan atau perangkat pendidikan daerah. Pendidikan sekolah dasar merupakan pelayanan pendidikan yang membutuhkan perhatian dan dukungan pemerintah daerah karena pelayanan pendidikan sekolah dasar merupakan kebutuhan masyarakat yang paling esensial dalam pendidikan daerah. Pendidikan dasar (sekolah dasar) merupakan tahapan pendidikan formal yang harus dikelola dengan maksimal. Keberhasilan pendidikan sekolah dasar memiliki hubungan dengan pendidikan selanjutnya baik menengah, atas ataupun pendidikan tinggi. Keberhasilan pendidikan daerah memiliki keterkaitan dengan keberhasilan pendidikan dasar. Pelayanan pendidikan dasar merupakan salah satu layanan pemerintahan yang sangat mendasar dan penting. Sebagai kebutuhan masyarakat, maka pemerintah daerah merencanakan pembangunan pendidikan daerah dengan memperhatikan seluruh sumber daya pendukung keberhasilan pendidikan daerah. Layanan pendidikan dasar berupa meningkatkan pendidikan dasar bagi peserta didik melalui optimalisasi prasarana dan sarana pendidikan, keberdayaan sumber daya pendidikan,kejelasan dan ketegasan sistem,norma dan standar pendidikan dasar, dan sebagainya. Optimalisasi tugas dan fungsi perangkat pendidikan daerah memberikan percepatan pencapaian target atau sasarana sebagaimana telah disusun dalam rencana pembangunan pendidikan daerah. Kemampuan pemerintah daerah sangat tergantung kepada memformulasikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat kedalam rencana strategis daerah. Sebagai salah satu skala prioritas pembangunan daerah, maka pelayanan pendidikan dasar diharapkan mendapatkan dukungan dari semua stakeholders kebijakan daerah baik pemerintah daerah (eksekutif) maupun dewan perwakilan rakyat daerah (legislatif). Pendidikan sekolah dasar membutuhkan keberdayaan seluruh sumber daya sehingga mencerdaskan murid sekolah dapat terwujud dengan maksimal. Pemerintah daerah melalui perangkat daerah (dinasi pendidikan, unit pelaksana teknis dinas dan sekolah dasar) memiliki tugas dan fungsi mengoptimalkan sumber daya untuk meningkat mutu pendidikan sekolah dasar. Aktualisasi tugas dan fungsi pelayanan pendidikan akan mempermudah dan mempercepat keberhasilan pelayanan pendidikan daerah. Berkenan dengan kualitas pelayanan pendidikan daerah, Parasuraman, dkk (dalam Ratminto dan Winarsih, 2005: 80), mengatakan bahwa ada faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu: (1) Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana 2630 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 komunikasi ; (2) Keandalan (reability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan ; (3) Daya tanggap (responsiverness), yakni keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap ; (4) Jaminan (assurance), mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan, dan sifat yang dipercaya, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan dan (5) Empati, meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, perhatian pribadi dan memahami kebutuhan pelanggan. Untuk mempermudah dan mempercepat keberhasilan pelayanan pendidikan daerah, maka dibutuhkan sumber daya pendidikan yang maksimal baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Kehadiran pelayanan pendidikan yang maksimal merupakan fenomena pelayanan yang sangat dibutuhkan masyarakat. Berkaitan dengan pelayanan pendidikan dasar bagi masyarakat, Beare dan Boyd (dalam Syafaruddin, 2008:4) mengatakan bahwa “Ada lima kebijakan pendidikan yang perlu diperhatikan, yaitu (1) Penataan atau penyusunan tujuan dan sasaran lembaga pendidikan ; (2) Mengalokasikan sumber daya untuk pelayanan pendidikan ; (3) Menentukan tujuan pemberian pelayanan pendidikan ; (4) Menentukan pelayanan pendidikan yang hendak diberikan ; dan (5) Menentukan tingkat investasi dalam mutu pendidikan untuk memajukan pertumbuhan ekonomi.” Pembangunan daerah khususnya pelayanan pendidikan dasar membutuhkan dukungan semua pihak karena pelayanan pendidikan dasar membutuhkan sumber dana yang besar baik untuk sarana/prasarana gedung sekolah, mobilier sekolah, pembangunan sistem pendidikan, pemberdayaan guru/tenaga kependidikan dan sebagainya. Pembangunan daerah termasuk pelayanan pendidikan sekolah dasar merupakan kebutuhan masyarakat yang harus direncanakan dengan maksimal sebagaimana dirumuskan dalam musyawarah pembangunan daerah baik mulai tingkat desa sampai tingkatan satuan perangkat daerah. Pembangunan pendidikan daerah termasuk pendidikan sekolah dasar membutuhkan pelaksanakan dengan maksimal dengan memperhatikan keberdayaan sumber daya daerah termasuk sumber daya pendidikan yang profesional, kompeten,akuntabel dan responsif. Keberdayaan sumber daya pendidikan juga memperhatikan dukungan dan partisipasi masyarakat karena masyarakat sebagai objek pembangunan daerah harus dilayanan dengan maksimal. IV. Kesimpulan dan Saran. IV.1. Kesimpulan Dari hasil analisis korelasi dan pembahasan maka dapat dapat ditarik kesimpulan, yaitu Manajemen mutu pendidikan memiliki hubungan yang erat dan signifikan dengan keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar. 2631 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 Keberhasilan pembangunan daerah termasuk pelayanan pendidikan daerah merupakan indikator keberhasilan pemerintahan daerah mewujudnyatakan kebutuhan masyarakat dengan maksimal. IV.2. Saran Adapun yang menjadi saran dari penelitian ini adalah 1) Manajemen mutu pendidikan daerah memiliki sumbangan yang besar dan berarti dalam keberhasilan pendidikan daerah. Keberhasilan pendidikan daerah termasuk pendidikan sekolah dasar membutuhkan dukungan pemangku pelayanan pendidikan baik dunia pendidikan, masyarakat madani dan dunia usaha. Sinergitas pemangku pendidikan daerah memberikan sumbangan yang besar dan berarti dalam menunjang keberhasilan pelayanan pendidikan sekolah dasar. Profesionalitas, akuntabilitas, transparansi dan menerapkan prinsip-prinsip organisasi modern lainnya sangat dibutuhkan perangkat pendidikan daerah dalam menjalankan tugas dan fungsi pelayanan pendidikan. . 2) Memperkuat daya saing pendidikan daerah dibutuhkan dukungan seluruh komponen daerah baik pemerintah daerah, lembaga perwakilan daerah, lembaga kemasyarakatan, kepedulian dunia pendidikan yang dikelola dunia usaha dan dunia usaha. Dengan demikian sinergitas program dan kegiatan pendidikan yang diselenggarakan mencapai sasaran dan tujuan pendidikan itu. Daftar Pustaka Abdurrahman, Mulyono. 2009. Pendidikan Bagi Anak Kesulitan Belajar. Jakarta : Rineka Cipta. Amtu, Onisimus. 2011. Managemen Pendidikan di Era Otonomi Daerah. Konsep,Strategi dan Implementasi. Bandung : Alfabeta. Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, jakarta Bafadal, Ibrahim. 2008. Managemen Perlengkapan Sekolah. Teori dan Aplikasinya. Jakarta : Bumi Aksara. Conyers, Diana. 1991. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Terjemahan Susetiawan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Djamarah, Syaiful Bahri. 2010.Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta : Rinneka Cipta. 2632 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 Dwiyanto, Agus, 1999, Penilaian Kinerja Organisasi Pelayanan Publik, Makalah Seminar Kinerja Organisasi Sektor Publik Kebijakan dan Persiapannya, Jurusan Ilmu Administrasi Negara Fisipol UGM, Yogyakarta. Gibson, James L.,John F. Ivanceich and James H. Donnelly, JR. 1996. Organisasi, Perilaku, struktur dan Proses. Terjemahan Nunuk Adriani. Jakarta : Bina Aksara. Kerlinger, Fred N. 1990. Azas-Azas Penelitian Behavioral. Terjemahan Landung Simatupang. Jogjakarta : UGM Press. Karten, D. C. dan Syahrir. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Moebyarto. 1984. Strategi Pembangunan Pedesaan. Jogyakarta: P3PK Universitas Gajah Mada. __________. 1985. Partisipasi dan Demokrasi di Pedesaan. Jakarta: PBHMI. Mulyasa, H.E.2011. Managemen Pendidikan Karakter. Jakarta : PT. Bumi Aksara. Martono, Nanang. 2011. Sosiologi Perubahaan Social. Yakarta : PT RajaGrafindo. Mudyahardjo, Redja. 2006. Pengantar Pendidikan. Sebuah Studi Awal tentang Dasar-Dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. Nazir, Moh. 1983. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Ratminto dan Winarsih.2005. Manajement Pelayanan. Jogjakarta : PT. Pustaka Pelajar Roestiyah, N.K. 1996. Masalah – Masalah Ilmu Kependidikan. Jakarta : PT Bina Aksara. Siagian,Sondang P. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara. Sugiyono, 2004. Methode Penelitian Administrasi, Bandung : Alfabeta. 2633 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 Supriatna, Tjahja. 1997. Birokrasi, Pemberdayaan dan Pengentasan kemiskinan. Bandung : Humaniora Press. Steward, Aleen Mitchell. 2002. Empowering People, (Pemberdayaan Sumberdaya Manusia. Terjemahan: Agus M. Hardjana. Jakarta: Kanisius. Soetrisno, Lukman. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Jogjakarta :Kanisius Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Bandung: Refika Aditama. Sumodiningrat, Gunawan. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Sutrisno R. 2001. Pemberdayan Masyarakat dan Upaya Pembebasan Kemiskinan. Yogyakarta: Philosophy Press UGM. Syafaruddin. 2008. Efektivitas Kebijakan Pendidikan. Jakarta : Rineka Cipta. Tilaar, H.A.R. 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta : Rinneka Cipta. Tjokrowinoto, Moeljarto, 1996."Pembangunan : Dilema dan Tantangan", Yogyakarta, Pustaka Pelajar, Tjokroamidjojo, Bintoro dan Mustopadidjajaya. 1988. Teori dan Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta : PT. Gunung Agung. Tjokroamidjodjo, Bintoro. 1974. Manajemen Pembangunan. Jakarta: Haji Masagung. Tjokrowinoto, Moeljarto. 1999. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Jakarta: Pustaka Pelajar. Usman, M.oh.Uzer. 1994. Menjadi Pendidik Profesional. Bandung : PT Remaja Rosda Karya. Usman. Sunyoto. 2004. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Usman, Husaini. 2009. Managemen. Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara. 2634 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635 Wibawa, Basuki. 2005. Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Managemen dan Implementasinya di Era Otonomi. Surabaya : Kerta Jaya Duta Media. B. Peraturan Perundang-undangan Undang – Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Pendidikan Nasional. Undang- Undangan No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antar Pusat dengan Pemerintah Daerah. Undang – Undang No.14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Permindiknas No. 16 Tahun 2007 Tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Permindiknas No. 18 Tahun 2007 Tentang Sertifikasi bagi Guru dalam jabatan. Permindiknas No. 32 Tahun 2007 Tentang Bantuan Kesejahteraan Guru. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara ( MENPAN) Nomor 63 Tahun 2004 tentang pedoman penyelenggaraan pelayanan. Kep Menpan No.Kep / 26 / M.PAN / 2 / 2004 Tentang Petunjuk Tehnis Transparansi dan Akuntabilitas dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 158 Tahun 2004 Tentang Pedoman Organisasi Kecamatan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 100/757/OTDA Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Kewenangan Wajib dan Standar Pelayanan Minimal Kecamatan Siantar dalam angka 2011.
2635 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2616 - 2635
BIODATA ; 1. NAMA : DR.DRS.MARTO SILALAHI, MSi 2. TEMPAT TGL LAHIR : P.SIANTAR, 23 MARET 1970. 3. STATUS : BERUMAH TANGGA/KAWIN ; ANAK = TIGA ORANG. 4. PEKERJAAN : PNS KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN cq DOSEN KOPERTIS WILAYAH I dpk STIE SULTAN AGUNG PEMATANGSIANTAR 5. PANGKAT : LEKTOR ; 6. ALUMNI / LULUSAN : S1 – INSTITUT ILMU PEMERINTAHAN – JAKARTA ; LULUS 1998 ; S2 – UNIVERSITAS PADJADJARAN – BANDUNG ; LULUS 2001; S3 – UNIVERSITAS PADJADJARAN – BANDUNG ; LULUS THN 2007 ;
2636 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
PENGEMBANGAN PERANGKAT PEMBELAJARAN UNTUK MENINGKATKAN SELF EFFICACY (KEPERCAYAAN DIRI) SISWA Rick Hunter Simanungkalit Dosen Prodi Pendidikan Matematika FKIP Universitas HKBP Nommensen Jl. Sangnaualuh Nomor 4 Pematangsiantar Kode Pos 21132 Siantar Timur Email :
[email protected] ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui: (1) Bagaimana kualitas perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model pembelajaran berdasarkan masalah untuk meningkatkan Self-Efficacy siswa, (2) Bagaimana peningkatan Self-Efficacy siswa dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah buku guru, buku siswa, RPP, LAS, dan angket self efficacy. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 12 Pematangsiantar T.A. 2014/2015, dengan mengambil sampel dua kelas yang berjumlah 70 siswa. Penelitian ini merupakan penelitian pengembangan dengan menggunakan model pengembangan Thiagarajan, yaitu model 4D yang telah dimodifikasi. Proses pengembangan tersebut terdiri dari empat tahap, yaitu: define, design, develop dan disseminate. Hasil analisis data yang telah diperoleh menunjukkan bahwa kualitas perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model pembelajaran berdasarkan masalah pada materi persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel di kelas VII SMP Negeri 12 Pematangsiantar adalah baik ditinjau dari valid, praktis dan efektif. Terjadi peningkatan Self-Efficacy siswa dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Kata Kunci: Perangkat pembelajaran, pembelajaran berdasarkan masalah, self-efficacy.
2636 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
I.
PENDAHULUAN Pengetahuan manusia tentang matematika memiliki peran penting dalam peradaban manusia, sehingga matematika merupakan bidang studi yang selalu diajarkan di setiap jenjang pendidikan sekolah. Esensi pembelajaran matematika di sekolah bertujuan agar siswa memiliki pengetahuan, keterampilan dan kemampuan intelektual dalam bidang matematika. Berbagai upaya telah dilakukan dalam meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa tentang matematika, seperti: Perubahan kurikulum matematika, penggunaan metode yang lebih konkrit dan lebih dekat dengan siswa, dan juga pengadaan dan pengembangan media ataupun perangkat pembelajaran pendidikan matematika. Seperti pada tahun 2013 yang lalu, sebuah terobosan kurikulum telah dirancang untuk mengembangkan pengetahuan siswa dan pemahaman siswa tentang matematika. Selain kemampuan matematis, kepercayaan diri (self efficacy) juga mempengaruhi pengetahuan dan pemahaman siswa tentang matematika. Self Efficacy merupakan aspek psikologis yang turut memberikan kontribusi terhadap keberhasilan seorang siswa dalam menyelesaikan tugas dengan baik. Mempunyai percaya diri yang kuat akan membuat seseorang mempunyai motivasi, keberanian, ketekunan dalam melaksanakan tugas yang diberikan, begitu juga sebaliknya. Mempunyai percaya diri yang rendah akan menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit, cepat menyerah saat menghadapi masalah atau tantangan matematika. Dari pengamatan peneliti, siswa di SMP Negeri 12 Pematangsiantar memiliki self efficacy siswa yang tergolong rendah. Hal ini dapat terlihat dari: (1) siswa yang pada umumnya pasif yakni menunggu jawaban dari temannya atau dari guru, (2) Siswa tidak percaya diri untuk mengemukakan pendapatnya dan pada umumnya hanya akan menjawab soal ketika ditunjuk guru. Ketika peneliti menanyakan langsung kepada beberapa siswa, mereka mengaku takut salah dan sebagian lagi mengaku bahwa mereka tidak menyukai matematika. Baron (Bandura: 1997) mengatakan bahwa self efficacy merupakan kepercayaan diri terkait dengan penilaian seseorang akan kemampuan dirinya dalam menyelesaikan sesuatu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa self efficacy menunjang kemampuan matematis. Bandura (1997&2006:) menyatakan bahwa pengukuran self efficacy seseorang mengacu pada tiga dimensi, yaitu level, strength, dan generality. 2637 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
Dalam hal meningkatkan kemampuan self efficacy siswa maka guru harus menyusun dan merencanakan persiapan yang baik dan matang. Salah satu bentuk persiapan yang harus disusun guru adalah perangkat pembelajaran. Perangkat pembelajaran sangat berperan penting, seperti yang diungkapkan Suparno (2002): Sebelum guru mengajar (tahap persiapan) seorang guru diharapkan mempersiapkan bahan yang mau diajarkan, mempersiapkan alat-alat peraga/praktikum yang akan digunakan, mempersiapkan pertanyaan dan arahan untuk memancing siswa aktif belajar, mempelajari keadaan siswa, mengerti kelemahan dan kelebihan siswa, serta mempelajari pengetahuan awal siswa, kesemuanya ini akan terurai pelaksanaannya di dalam perangkat pembelajaran. Sejalan dengan itu, Menurut Brata (Komalasari, 2011) perangkat pembelajaran adalah salah satu wujud persiapan yang dilakukan oleh guru sebelum mereka melakukan proses pembelajaran. Selanjutnya, Suhadi (2007) mengemukakan bahwa “Perangkat pembelajaran adalah sejumlah bahan, alat, media, petunjuk dan pedoman yang akan digunakan dalam proses pembelajaran”. Pengembangan perangkat pembelajaran harus disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan pengalaman siswa. Disamping itu, pengembangan perangkat pembelajaran harus disesuaikan juga dengan kurikulum yang berlaku pada saat itu. Untuk mengembangkan perangkat pembelajaran, referensi dapat diperoleh dari berbagai sumber baik itu berupa pengalaman ataupun pengetahuan sendiri, ataupun penggalian informasi dari narasumber ahli maupun narasumber teman sejawat dan referensi juga dapat diperoleh dari buku-buku, media massa, internet, dan lain sebagainya. Mengingat perangkat pembelajaran sangat penting, berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, mulai dari workshop, pendampingan, pelatihan dan juga membentuk sekolah percobaan dalam penyusunan dan pengembangan perangkat pembelajaran, tetapi kenyataan dilapangan bahwa masih banyak guru yang tidak memiliki perangkat pembelajaran saat mengajar. Sering dijumpai perangkat pembelajaran hanya sebatas ‘asal buat’ untuk kelengkapan administrasi belaka. Bahkan perangkat pembelajaransering tidak dibuat karena guru tidak bisa membuat dan juga karena sudah ada buku yang dibeli oleh siswa. Guru menganggap perencanaan pembelajaran hanya sekadar persyaratan. Padahal, perangkat pembelajaran adalah tonggak awal untuk menghasilkan pembelajaran yang bermutu. Nurjaya (2013) mengemukakan beberapa faktor penyebab guru tidak menyusun dan mengembangkan perangkat pembelajaran, antara lain: (1) 2638 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
para guru mengganggap bahwa perencanaan pembelajaran hanya sekadar persyaratan. Akibatnya, perencanaan pembelajaran dan segenap perangkat pembelajaran tersebut hanya sebatas kelengkapan administrasi dan tidak tahu bahwa alasan penyusunan itu merupakan prosedur standar dari pola kerja seorang akademik, (2) guru masih kebingungan membuat perangkat pembelajaran yang sesuai dengan harapan kurikulum. Akibat dari keadaan di atas maka perangkat pembelajaran yang dihasilkan para guru sangat jauh dari tuntutan. Banyak guru mengesampingkan kalau mengajar itu merupakan rangkaian sistem mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan refleksi. Disamping itu juga, sering ditemukan perangkat pembelajaran yang digunakan masih terfokus terhadap materi yang terdapat pada kurikulum sehingga siswa cenderung hanya menghafal tanpa memahami konsep dan maknanya. Akibatnya, ketika siswa dihadapkan dengan masalah yang tidak rutin, siswa akan kesulitan dalam menyelesaikannya sehingga siswa akan pasif, dan tidak memiliki keberanian dan kepercayaan diri. Akibat dari pandangan yang keliru di atas penyusunan perangkat pembelajaran hanya sebatas ‘asal buat’. Masalah inilah yang sekarang perlu penanganan. Pengembangan perangkat pembelajaran harus disusun berdasarkan model pembelajaran yang tepat juga. Penggunaan model pembelajaran yang tidak sesuai dengan perkembangan siswa akan berdampak tehadap tahap perkembangan belajar siswa. Pembelajaran yang selalu berfokus pada guru akan menyebabkan pengetahuan siswa kurang berkembang. Pembelajaran yang berpusat pada guru menyebabkan siswa pasif, hanya menerima materi. Aktivitas pembelajaran akan membuat siswa hanya mengingat dan menghafal. Siswa akan lebih cenderung menghafal rumus-rumus yang ada di dalam buku teks, dan akan kesulitan ketika siswa dihadapkan dengan sebuah tantangan atau persoalan dalam matematika. Siswa cenderung mengingat rumus saja, tanpa mengetahui konsep dan aplikasi dari rumus tersebut. Banyaknya rumus-rumus yang akan dihafal di dalam buku teks akan mengakibatkan siswa cenderung bosan dalam belajar matematika yang berakibat hasil belajar matematika rendah. Untuk mencapai tujuan di atas perlu adanya model pembelajaran yang dapat mengatasi masalah pendidikan yang telah diungkapkan sebelumnya. Istarani (2012) menyatakan bahwa: “Model pembelajaran adalah seluruh rangkaian penyajian materi ajar yang meliputi segala aspek sebelum sedang dan sesudah pembelajaran yang dilakukan guru serta segala fasilitas yang terkait yang digunakan secara langsung atau tidak langsung 2639 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
dalam proses belajar mengajar”. Model pembelajaran yang diharapkan dapat membuat siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan, dapat membuat siswa mandiri dalam belajar, dapat meningkatkan interaksi siswa, dapat melatih siswa untuk mengomunikasikan idenya dan dapat meningkatkan pengetahuan siswa memecahkan masalah. Dengan ciri-ciri yang dimiliki tersebut diharapkan model pembelajaran itu akan berakibat pada meningkatnya hasil belajar siswa. Hal ini didukung oleh Nur (2008) yang menyatakan bahwa: “model pembelajaran yang sesuai adalah dengan menerapkan model pembelajaran berdasarkan masalah, dan penggunaanya untuk menumbuhkan dan mengembangkan berfikir tingkat tinggi dalam situasi-situasi berorientasi masalah, mencakup bagaimana belajar. Pembelajaran berdasarkan masalah dirancang terutama untuk membantu siswa: (1) mengembangkan keterampilan berpikir, pemecahan masalah, dan intelektual; (2) belajar peran-peran orang dewasa dengan menghayati peran-peran itu melalui situasi-situasi nyata atau yang disimulasikan; dan (3) menjadi mandiri maupun siswa otonom (Nur, 2008c). Secara terstruktur, Nur (2008c) menyatakan bahwa sintaks pembelajaran berdasarkan masalah mengikuti lima tahapan utama (sintaks), sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 1.1 sebagai berikut:
Tabel 1.1. Sintaks Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBM) Fase Fase 1: Mengorientasikan siswa terhadap masalah.
Fase 2: Mengorganisasikan siswa untuk belajar. Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok.
Perilaku Guru Guru menginformasikan tujuan-tujuan pembel-ajaran, mendeskripsikan kebutuhankebutuhan logistik penting dan memotivasi siswa agar terlibat dalam kegiatan pemecahan masalah yang mereka pilih sendiri. Guru membantu siswa menentukan dan mengatur tugas-tugas belajar yang berhubungan dengan masalah itu. Guru mendorong siswa mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen, mencari penjelasan, dan solusi. 2640
ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
Fase Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya serta memamerkannya. Fase 5: Menganalisis dan meng-evaluasi proses pemeca-han masalah.
Perilaku Guru Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan hasil karya yang sesuai seperti laporan, rekaman video, dan model, serta membantu mereka berbagi karya mereka. Guru membantu siswa melakukan refleksi atas penyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 12 Pematangsiantar. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII-2 dan VII-3 tahun ajaran 2014/2015. Jenis penelitian ini adalah penelitian pengembangan. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah Buku guru, buku siswa, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Lembar Aktivitas Siswa (LAS), dan angket SelfEfficacy. Penelitian pengembangan ini menggunakan model Thiagarajan. Model Thiagarajan terdiri dari empat tahap yang dikenal dengan model 4-D. Keempat tahap tersebut adalah tahap pendefinisian define, design, develop, dan disseminate (Thiagarajan et al., 1974). Perangkat pembelajaran dinilai berdasarkan kriteria Nieven (2007: 94). Kriteria tersebut menilai kualitas perangkat pembelajaran berdasakan tiga aspek yaitu: (1) Validitas (Validity); (2) Kepraktisan (Practically); dan (3) Keefektifan (Effectivenes). Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Analisis Data Hasil Validitas Perangkat Pembelajaran Validasi isi didasarkan pada pendapat lima orang ahli dalam bidang pendidikan matematika.Berdasarkan pendapat ahli tersebut akan ditentukan tingkat kesepakatan antar pengamat (ahli) yang dianalisis menggunakan uji statistik dengan rumus:
2641 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
Dimana: r=tingkat kesepakatan antar pengamat/ahli RJKb= varians jumlah kuadrat butir RJKe= varians jumlah kuadrat error RJKt= varians jumlah kuadrat total Kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan koefisien validasi instrumen menurut Arikunto (2012) adalah sebagai berikut: Tabel 1.2. Kriteria Interpretasi Nilai r Besarnya nilai r 0,000 ≤ r ≤ 0,200 0,200
Interpretasi Sangat rendah (tidak sepakat) Rendah Cukup Tinggi Sangat tinggi
2. Analisis Data Kepraktisan Perangkat Pembelajaran a. Analisis Data Aktivitas Siswa Kadar aktivitas aktif siswa merupakan persentase waktu yang digunakan siswa untuk aktif dalam proses pembelajaran dan mencapai waktu idealnya. Kadar aktivitas aktif siswa dapat dilihat dari persentase siswa yang menyerap informasi dan persentase gangguan dari siswa lain selama proses pembelajaran. Kadar aktivitas siswa juga ditentukan dengan membandingkan alokasi waktu pembelajaran yang digunakan dengan persentase waktu ideal yang digunakan untuk setiap kegiatan aktivitas siswa yang diperlihatkan pada Tabel 1.3 berikut: Tabel 1.3. Persentase Waktu Ideal Aktivitas Siswa Persentase Efektif (P) Jenis Aktivitas Siswa Waktu Ideal Toleransi (5%) Mendengarkan/memperhatikan penjelasan guru/teman dengan 14% 9% ≤ P ≤ 19% aktif Membaca serta memahami 11% 6% ≤ P ≤ 16% permasalahan yang diberikan Menyelesaikan permasalahan 38% 33% ≤ P ≤ 43% 2642 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
sesuai dengan prosedur Melakukan diskusi maupun mengajukan pertanyaan Menarik kesimpulan terkait dengan materi dan permasalahan Perilaku siswa yang tidak relevan dalam KBM (gangguan)
24%
19% ≤ P ≤ 29%
13%
8% ≤ P ≤ 18%
0%
0% ≤ P ≤ 5%
b. Analisis Data Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran Kemampuan guru mengelola pembelajaran merupakan kemampuan untuk mengembangkan suasana belajar yang akrab dan positif, meliputi kemampuan membuka pembelajaran, mengorganisasi pembelajaran, menutup pembelajaran, mengelola waktu, dan mengelola iklim pembelajaran. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh observer dalam pelaksanaan pembelajaran, kemampuan guru mengelola proses pembelajaran ditentukan oleh rata-rata skor yang diberikan oleh observer menggunakan skala penilaian yaitu sebagai berikut.
Dimana: KG = kemampuan guru =rerata kemampuan membuka pembelajaran =rerata kemampuan mengorganisasi pembelajaran =rerata kemampuan menutup pembelajaran =rerata kemampuan mengelola waktu =rerata kemampuan mengelola iklim pembelajaran Berdasarkan nilai rata-rata tersebut, kemampuan guru dikategorikan sebagai berikut: Kriterianya: 1,00 ≤ KG < 1,50 = sangat tidak baik 1,50 ≤ KG < 2,50 = tidak baik 2,50 ≤ KG < 3,50 = cukup baik 3,50 ≤ KG < 4,50 = baik 4,50 ≤ KG < 5,00 = sangat baik Guru dikatakan mampu mengelola pembelajaran apabila rata-rata nilainya berada pada kategori cukup baik. 2643 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
3. Analisis Data Keefektifan Perangkat Pembelajaran a. Analisis data ketuntasan belajar siswa Kriteria menyatakan siswa dikatakan telah tuntas belajar apabila terdapat 80% siswa yang mengikuti tes telah memperoleh nilai minimal sedang (memperoleh nilai lebih dari atau sama dengan 2,66 atau minimal B). Interval skor penentuan tingkat penguasaan siswa dikategorikan pada tabel 1.4 berikut: Tabel 1.4. Tingkat Penguasaan Siswa Nilai Predikat 0,00 < Nilai ≤ 1,00 D 1,00 < Nilai ≤ 1,33 D+ 1,33 < Nilai ≤ 1,66 C1,66 < Nilai ≤ 2,00 C 2,00 < Nilai ≤ 2,33 C+ 2,33 < Nilai ≤ 2,66 B2,66 < Nilai ≤ 3,00 B 3,00 < Nilai ≤ 3,33 B+ 3,33 < Nilai ≤ 3,66 A3,66 < Nilai ≤ 4,00 A Apabila kriteria di atas belum dipenuhi maka perlu diadakan peninjauan ulang proses dan hasil pembelajaran. Kemudian dilakukan uji coba ulang dengan tujuan untuk mendapatkan perangkat pembelajaran yang efektif ditinjau dari peningkatan self efficacy siswa. Tingkat keberhasilan siswa ditentukan oleh seberapa besar persentase ketuntasan belajar siswa. Untuk menentukan persentase ketuntasan belajar masing-masing siswa dapat digunakan persamaan berikut ini.
Dimana: KB = ketuntasan belajar T= jumlah skor yang diperoleh siswa Tt= jumlah skor total Kriterianya: 0% ≤ KB < 80%= siswa belum tuntas belajar 2644 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
80% ≤ KB < 100%= siswa telah tuntas belajar b. Analisis Data Respon Siswa Data hasil angket respon siswa dianalisis dengan deskriptif kualitatif dengan memprosentasekan respon positif dan negatif siswa dalam mengisi lembar angket respon siswa yang dihitung dengan rumus:
. Untuk menentukan pencapaian tujuan pembelajaran ditinjau dari respons siswa, apabila banyaknya siswa yang memberi respons positif lebih besar atau sama dengan 80% dari banyak subjek yang diteliti untuk setiap uji coba. 4. Analisis Data Peningkatan Self Efficacy Untuk menghitung peningkatan self efficacy setelah menggunakan pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model pembelajaran berdasarkan masalah, ditentukan dengan rumus gain, yaitu :
Dengan kariteria sebagai berikut : = kategori rendah =kategori sedang = kategori tinggi III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN III.1 Hasil Penelitian Dalam penelitian ini perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah buku guru, buku siswa,RPP, LAS, dan Instrumen angket self efficacy. Model pengembangan perangkat pembelajaran pada penelitian ini mengacu pada Model Thiagarajan yang terdiri dari empat tahap yaitu define, design,develope, dan disseminate. Tahap pertama adalah tahap pendefinisian dengan 5 langkah pokok, yaitu analisis awal-akhir, analisis siswa, analisis konsep, analisis tugas, dan spesifikasi tujuan pembelajaran. Indikator yang dihasilkan dalam 2645 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
spesifikasi tujuan pembelajaran digunakan sebagai dasar dalam penyusunan rancangan perangkat pemebalajaran dengan pada materi persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel. Tahap design perangkat pembelajaran terdiri dari 4 langkah yaitu penyusunan tes, pemilihan media, pemilihan format, dan perancangan awal. Pada tahap perancangan dihasilkan draf I. Tahap selanjutnya adalah tahap develop, pada tahap ini dihasilkan draf II perangkat pembelajaran yang telah direvisi berdasarkan masukan dari para ahli dan kemudian dilakukan ujicoba I terhadap draf II. Dari hasil uji coba I dianalisis, draf II direvisi kembali dan menghasilkan draf III. Kemudian dilakukan uji coba II dan dianalisis. Dari hasil ujicoba II diperoleh perangkat pembelajaran yang valid, praktis dan efektif dan hasilnya disebut perangkat final. Hasil analisis data yang dilakukan terhadap pengembangan perangkat pembelajaran diuraikan sebagai berikut: 1. Kualitas Perangkat Pembelajaran a) Validitas Kriteria kevalidan perangkat pembelajaran diperoleh dari hasil analisis validasi yang dilakukan para ahli terhadap perangkat pembelajaran yang dikembangkan. Berdasarkan penilaian validator, perangkat pembelajaran yang dikembangkan berupa RPP dengan skor validitas 4,13, Lembar Aktivitas Siswa (LAS) dengan skor validitas 4,17, Buku Guru (BG) skor validitas 4,10, dan Buku Siswa (BS) skor validitas 4,10. Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa rata-rata validator memberikan nilai tingkat validitas baik, hal ini berarti perangkat pembelajaran valid/layak digunakan. Sedangkan untuk angket self efficacy validator menyatakan bahwa angket self efficacy dapat karena telah memenuhi kriteria valid secara isi maupun konstruk. b) Praktis 1. Aktivitas Siswa Dari hasil analisis aktivitas siswa selama kegiatan belajar telah memenuhi kriteria toleransi waktu ideal yang ditetapkan. Pada uji coba I terdapat dua kategori aktivitas yang persentasenya tidak berada pada interval toleransi waktu ideal yang ditetapkan yaitu kategori Memperhatikan/mendengarkan penjelasan guru/teman dan Membaca, memahami masalah kontekstual dalam buku siswa/ LAS. 2646 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
Sedangkan pada uji coba II seluruh aktivitas siswa telah berada pada interval toleransi waktu ideal yang ditetapkan sehingga disimpulkan kriteria ini telah tercapai. 2. Kemampuan Guru Mengelola Pembelajaran Hasil analisis kemampuan guru mengelola pembelajaran terpenuhi apabila guru minimal termasuk dalam kategori cukup baik dengan nilai minimal 3,00. Pada ujicoba I dan ujicoba II kemampuan guru mengelola pembelajaran telah termasuk dalam kategori cukup baik dengan nilai kemampuan guru sebesar 3,02 dan 3,69. Sehingga pada kategori ini dapat dikatakan guru mampu mengelola pembelajaran dan disimpulkan kriteria ini telah tercapai. Hal ini berarti bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan memenuhi kriteria praktis. c) Efektif 1. Ketuntasan Hasil Belajar Dari hasil analisis ketuntasan belajar siswa pada uji coba I terdapat 27 siswa tuntas (72,22%) dari 36 siswa dan pada uji coba II terdapat 30 siswa tuntas (88,24%) dari 34 siswa, sehingga disimpulkan kriteria ini telah tercapai. 2. Respon Siswa Hasil analisis respon siswa terhadap komponen perangkat pembelajaran dan proses pembelajaran dikatakan positif apabila lebih dari atau sama dengan 80% respon siswa berada pada kategori positif. Pada uji coba I dan uji coba II diperoleh hasil bahwa lebih dari 80% siswa memberikan respon yang positif pada tiap aspek respon terhadap perangkat pembelajaran. Hal ini berarti bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan memenuhi kriteria efektif. Dari hasil dan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa perangkat pembelajaran yang dikembangkan telah memenuhi kriteria kualitas yang baik ditinjau dari valid, praktis dan efektif. 2. Analisis Data Peningkatan Self Efficacy Siswa Pada ujicoba I diperoleh peningkatan self efficacy siswa sebesar g=0.68 atau berada pada kategori sedang. Sedangkan pada ujicoba II diperoleh peningkatan self efficacy siswa sebesar g = 0.71 atau berada pada kategori tinggi. 2647 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
III.2 Pembahasan III.2.1 Aktivitas Aktif Siswa Bila ditinjau dari aktivitas siswa, terdapat peningkatan kadar aktifitas aktif siswa dimana pada ujicoba I terdapat 2 kategori pengamatan aktivitas aktif siswa yang belum berada pada batas toleransi yang ditentukan, selanjutnya pada ujicoba II semua kategori pengamatan aktivitas aktif siswa sudah berada pada batas toleransi yang ditentukan. Bila dikaitkan aktivitas siswa dalam proses penerapan model pembelajaran berdasarkan masalah (PBM) dengan teori Piaget menyatakan bahwa interaksi sosial dalam kegiatan belajar baik dengan teman-teman satu kelompok maupun di luar kelompok mempunyai pengaruh besar dalam pemikiran anak. Melalui interaksi ini, anak akan dapat membandingkan pemikiran dan pengetahuan yang telah dibentuknya dengan pemikiran dan pengetahuan orang lain. Pada bagian lain Jhon Dewey (Trianto: 2009) menjelaskan belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan system saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah itu diselidiki, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik. Dengan adanya kondisi serta proses dan aktivitas belajar di atas, diharapkan memberikan kesempatan dan menjadikan siswa sebagai pembelajar yang mandiri. III.2.2
Kemampuan Guru dalam Mengelola Pembelajaran Bila ditinjau dari analisis data kemampuan guru mengelola pembelajaran, terdapat peningkatan kemampuan guru mengelola pembelajaran, yakni pada ujicoba I, nilai kemampuan guru mengelola pembelajaran berada pada kriteria “cukup baik” dengan nilai rerata adalah 2.83. Pada ujicoba II, kemampuan guru mengelola pembelajaran berada pada kriteria “baik” dengan nilai rerata adalah 3.69. Apabila dikaitkan dengan teori-teori yang mengkaji model pembelajaran berdasarkan masalah, maka hasil penelitian di atas sangatlah beralasan, seperti yang dinyatakan Vygotsky (Anwar 2008) bahwa dalam model pembelajaran berdasarkan masalah 2648
ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
memberikan penekanan pada scaffolding, yaitu memberikan sejumlah besar bantuan berupa pertanyaan ketika kemacetan (stagnasi berpikir), kemudian mengurangi bantuan tersebut secara bertahap dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar segera setelah ia dapat melakukannya. Vygotsky (Anwar 2008) juga menekankan peran guru pada tahapan memberi pertanyaan-pertanyaan yang bersifat petunjuk dan aktif ketika ada kesulitan yang dialami siswa melalui arahan, dorongan, membantu mereka pada saat terjadi stagnasi berpikir dan proses selanjutnya lebih ditekankan kepada keaktivan siswa, sehingga pembelajaran tidak berpusat lagi pada guru.Dari penjelasan di atas guru memberikan arahan membantu siswa untuk menggali informasi dan mengatasi informasi yang keliru atau tidak bermakna, guru mendorong agar terjadi interaksi dan bekerjasama antara siswa, dan peranan guru adalah menciptakan iklim/lingkungan belajar yang saling menghargai diantara guru dan siswa, antara siswa dengan sesama siswa. Parkay (Aryati: 2012) berpendapat bahwa peran guru dalam model pembelajaran berbasis masalah hanya sebagai fasilitator dan organisator yaitu hanya mengatur aktivitas belajar siswa, memberikan arahan agar materi yang dipelajari mudah dipahami dan dimaknai siswa. Peran guru sebagai fasilitator adalah memfasilitasi dan mengakomodasi keragaman kemampuan matematika siswa. Hal ini disebabkan tingkat kecerdasan siswa yang bervariasi, maka tingkat kesulitan siswa dalam memecahkan masalah sangat beragam pula. Guru dapat mengatasi dengan cara membagi siswa dalam bekerja kelompok yang terdiri empat sampai lima orang siswa. Sehingga dengan demikian siswa dapat berinteraksi dan bekerjasama, berbagi gagasan/ide dalam memecahkan masalah. Berdasarkan uraian di atas sangatlah wajar bila model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran. III.2.3. Respon Siswa terhadap Komponen dan Kegiatan Pembelajaran Berdasarkan hasil analisis data respon siswa pada ujicoba I dan II diperoleh kesimpulan bahwa siswa memiliki respon yang positif terhadap komponen dan kegiatan pembelajaran. Respon positif siswa tidak terlepas dari pengkondisian pembelajaran dengan model 2649 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
pembelajaran berdasarkan masalah, antara lain: masalah-masalah yang diajukan pada siswa bersumber dari masalah kontekstual yaitu masalah yang dekat dengan dunia nyata siswa atau dapat dijangkau oleh imajinasi siswa untuk menunjukkan kebergunaan matematika dalam kehidupan siswa melalui pemecahan masalah. Soedjadi (Sinaga, 2007) mengemukakan bahwa: menetapkan masalah nyata dalam pelaksanaan pembelajaran matematika perlu selalu memperhatikan realitas dan lingkungan yang ada, sehingga memungkinkan dan sekaligus memotivasi siswa untuk senang belajar matematika. Respon siswa pada ujicoba I dan ujicoba II selalu memenuhi kriteria yang ditetapkan. Hal ini mengindikasikan bahwa penerapan perangkat pembelajaran yang dikembangkan berorientasi model pembelajaran berdasarkan masalah dapat menumbuhkan motivasi dan minat belajar siswa dalam melaksanakan pembelajaran. III.2.4 Self Efficacy Siswa Dari hasil penelitian pada ujicoba I diperoleh peningkatan self efficacy siswa dengan menggunakan perangkat pembelajaran menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah. Besar peningkatan gain self efficacy pada ujicoba I adalah sebesar 0.68. Peningkatan yang paling tinggi pada indikator self efficacy adalah indikator Magnitude atau level. Besar peningkatan gain self efficacy pada ujicoba II adalah sebesar 0.71 (kategori tinggi). Peningkatan yang paling tinggi pada indikator self efficacy adalah juga indikator Magnitude atau level. Ini disebabkan karena model pembelajaran berdasarkan masalah selalu menghadapkan atau mengajukan masalah terhadap siswa. Akibatnya siswa akan terbiasa dalam menghadapi masalah dan juga menyelesaikan masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Oleh karena itu, pembelajaran berdasarkan masalah merancang rasa ingin tahu siswa serta mem otivasi siswa untuk dapat menjadi pebelajar mandiri. Oleh karena itu, rasa percaya diri atau self efficacy siswa akan meningkat. Hal ini sejalan dengan penelitian Arnawa (2010), Kurniawan (2012) dan Aryati (2012) yang menemukan bahwa model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan self efficacy siswa secara signifikan dibandingan dengan pembelajaran konvensional. Yazdani (Nur: 2650 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
2008c) juga mengatakan bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah dapat meningkatkan pengarahan diri dan sikap memotivasi diri sendiri. IV. KESIMPULAN Kesimpulan pada penelitian ini adalah: 1. Perangkat pembelajaran yang dikembangkan menggunakan pembelajaran berdasarkan masalah telah memenuhi kriteria valid, praktis dan efektif, sehingga dapat diterapkan pada lingkungan yang lebih luas. 2. Terdapat peningkatan self efficacy siswa dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang dikembangkan dengan model pembelajaran berdasarkan masalah. DAFTAR PUSTAKA Anwar, H. 2008. Teori Vygotsky Tentang Pentingnya Strategi Belajar. Arikunto, S. 2012. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi 2). Bandung: Bumi Aksara. Arnawa, I. 2010. Pengaruh Model Self-Regulated Learning Terhadap Self Efficacy Siswa SMP Ditinjau Berdasarkan Gender. Aryati, K. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Dalam Pembelajaran Fisika Terhadap Keterampilan Berpikir Kritis dan Self Efficacy Siswa SMA. Program Pascasarjana Undiksha Singaraja. Bandura. 1997. A. Self-efficacy: The exercise of control. New York. W.H. Freeman. Bandura. 2006. “Guide for Constructing Self- Efficacy Scales” dalam Self efficacy Beliefs of Adolescent. New York: Information Age Publishing Istarani. 2012. 58 Model Pembelajaran Inovatif. Medan: Media Persada. Komalasari, K. 2011. Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. Bandung: PT Refika Aditama. Kurniawan, B.W. 2012. Penerapan Model Modified Problem Based Learning (PBL) Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis dan Efikasi Diri Mahasiswa. Tesis. Nieveen, N. 2007. An Introdution To education Design Research. Dapat dilihat di www.slo.nl/organisatie/international/publications diakses pada tanggal 15 oktober 2014. 2651 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2636 - 2652
Nieveen, N., McKenney, S., van den Akker. 2006. “Educational Design Research” dalam Educational Design Research. New York : Routledge Nur, M. 2008. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: PSMS Unesa. ----------- 2008c. Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Pusat Sains dan Matematika Sekolah Unesa. Nurjaya, I. 2013. Pelatihan Penyusunan Perangkat Pembelajaran Bermuatan Pendidikan Karakter sesuai Amanat Kurikulum 2013 pada Guru-guru Sekolah Dasar Nomor 1 Kapal. Universitas Ganesha Singaraja: Bali. Sinaga, B. 2007. Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berdasarkan Masalah Berbasis Budaya Batak (PBMB3). Disertasi. Tidak dipublikasikan. Surabaya: PPs. Unesa Suhadi. 2007. Petunjuk Perangkat Pembelajaran. Surakarta: Universitas Muhammadiyah. Suparno, P. 2002. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Kanisus: Yogyakarta. Thiagarajan, et al. 1974. Instructional Development for Training Teachers of Exceptional Children. A Sourse Book. Bloomington: Central for Innovation on Teaching The Handicapped. Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep, Landasan, dan Implementasinya pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta: Kencana
2652 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
Pengaruh Komitmen Kerja dan Kualitas Pelayanan Publik Terhadap Kinerja Lurah serta Pengaruhnya Terhadap Perencanaan Wilayah Di Kota Binjai Abdi Sugiarto Dosen Fakultas Ekonomi Universitas. HKBP Nommensen Medan ABSTRACT Regional planning is to establish a goal after considering the limiting of internal and external influences, select and establish measures to achieve the objectives. The purpose this study is to examine and determine the effect of work commitments, and quality public services either partially or simultaneously on the performance headman in Binjai, test and determine the influence of work commitment, the quality of public services and performance headman either partially or simultaneously to the planning area, and also to test the effect of indirect variable work commitment, and quality of public services for the planning area in Binjai through customer satisfaction , The population in this study is the whole society Binjai city that receives public service in 2015, the sample size was set at 65 people. Data were collected through interviews, questionnaires and documentation study, the variables studied using Likert scale. The list of questions beforehand tested by using validity and reliability testing, data processing using software SPSS version 20.0, and analyzed with multiple linear regression, and path analysis. Results found in testing the hypothesis of this study are: Partially work commitment and quality of public services positive and significant effect on the performance headman either partially or simultaneously, the quality of public services and performance headman significantly influence the planning of the area while the work commitment does not significantly influence regional planning, work commitment variable simultaneously, public service quality and performance headman positive and significant impact on regional planning in Binjai. Indirectly work commitment significantly influence the performance of regional planning through urban village in Binjai and the quality of public service does not significantly influence the performance of regional planning through urban village in Binjai. Keywords: Commitment of work, public service quality, performance, planning territory. 2653 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
I.
PENDAHULUAN Untuk meningkatkan pelayanan yang berkualitas (exellent service) dan perencanaan pembangunan (development planning) yang baik di Kota Binjai tentunya tidak terlepas dari peran aparatur pemerintah, yaitu melalui kinerjanya.Kinerja aparatur publik dalam upaya menciptakan perencanaan dan pelayanan yang berkualitas tidak boleh dipisahkan.Oleh karenanya setiap organisasi pemerintah haruslah meningkatkan kinerja aparaturnya masing-masing dengan tetap mengoptimalkan kualitas perencanaan dan pelayanan publik untuk semua urusan yang bersentuhan dengan masyarakat. Sudah menjadi bahan pembicaraan yang hangat apabila berbicara tentang kualitas pelayanan yang diberikan pemerintah. Sebagian besar masyarakat kurang respek terhadap apa yang dilakukan oleh pemerintah, dan hal ini terjadi juga di Pemerintah Daerah Kota Binjai. Keluhan terhadap layanan pemerintah sudah menjadi hal yang biasa, walaupun harus diakui memang ada juga yang memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, namun bila hal tersebut dibandingkan dengan pemberian layanan yang buruk (kurang memuaskan) masih sangat besar dibandingkan dengan organisasi pemerintahan yang memberikan layanan yang baik kepada masyarakatnya. Hal ini disebabkan, para pegawai negeri sipil sebagai aparatur pemberi pelayanan publik (Abdi Negara dan Abdi Masyarakat) tidak memiliki komitmen, terutama tidak komit terhadap pekerjaannya.Kinerja aparatur yang kurang baik dalam pemberi pelayanan publik juga seakanakan menjadi sesuatu hal yang wajar bagi masyarakat saat ini, dan hal tersebut hampir terjadi diberbagai daerah yang ada di Indonesia.Kinerja yang rendah tersebut tentunya menjadi sesuatu yang dapat mengakibatkan menurunkan kualitas pelayanan publik. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Kaspinor (2004) yang menyatakan perkembangan pemerintahan sebagai organisasi modern yang pada hakekatnya merupakan organisasi pelayan masyarakat, efektivitasnya tergantung kepada sistem administrasi dan manajemen yang diterapkan. Semodern apapun sebuah organisasi, faktor sumber daya manusia masih menjadi kunci keberhasilan organisasi. Sebuah organisasi akan mampu melaksanakan tanggungjawabnya, akan banyak tergantung pada orang-orang yang mengelolanya (Stoner, 1996). Demikian juga dengan kegiatan perencanaan wilayah dalam suatu daerah. Agar perencanaan yang dilakukan dalam suatu daerah menjadi lebih baik, tentunya tidak terlepas dari peran aparatur pemerintahnya, seperti komitmen yang tinggi dan kinerja yang baik dari seorang aparatur publik, khusunya di tingkat Kelurahan. Berdasarkan 2654 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
pengamatan dilapangan, perencanaan wilayah yang dilakukan oleh pihak Kelurahan di Kota Binjai belum berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat bahwa rencana-rencana kegiatan dan program pembangunan yang dilakukan dan ditetapkan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kelurahan belum terakomodir seluruhnya dan bahkan tidak terealisasi. Misalnya Pembangunan jalan, drainase, gedung, dan sarana prasarana publik lainnya. Dari data yang diperoleh dapat diinterpretasikan bahwa banyak sekali program atau kegiatan hasil musrebang Kelurahan dan Kecamatan di Kota Binjai yang tidak terakomodir di dalam pelaksanaannya.Artinya Lurah sebagai ujung tombak dalam perencanaan wilayah belum menunjukkan kinerja yang maksimal dan tidak memiliki komitmen, karena tidak dapat mempertahankan program dan kegiatan hasil musrenbang menjadi suatu kenyataan (terealisasi).Bahkan ada beberapa program dan kegiatan yang telah diusulkan melalui musrenbang Kelurahan tidak terlihat pada usulan musrenbang berikutnya, padahal program dan kegiatan tersebut belum terlaksana (terealisasi). Dengan demikian kinerja lurah dalam merencanakan wilayahnya dengan berbagai program maupun kegiatan belum maksimal dan belum memiliki komitmen. II.
Tinjauan Pustaka Komitmen adalah membangun suatu usaha untuk menjelaskan konsistensi yang melibatkan sikap, keyakinan dan perilaku dan melibatkan perilaku pilihan serta menyiratkan penolakan terhadap program alternatif yang layak dari tindakan (Hulin, 1991 dalam Javad.E dan Davood.G, 2012).Selanjutnya komitmen kerja di definisikan sebagai kekuatan relative dan identifikasi individu dan keterlibatan dengan organisasi kerja (Mowdey, 1982 dalam Suwardi dan Utomo, J, 2011).Kemudian Robbins (2009) menambahkan bahwa yang dimaksud dengan komitmen organisasi adalah tingkat sampai dimana seorang karyawan memihak sebuah organisasi serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi tersebut. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki ketuguhan hati dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Kualitas menurut Lukman (1999) adalah segala sesuatu yang mampu memenuhi keinginan atau kebutuhan pelanggan (meeting the needs of coutamers). Kata kualitas mengandung banyak mengandung defenisi dan makna. Orang yang berbeda akan mengartikannya secara 2655 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
berlainan. Menurut Goetsch dan Davis dalam Tjiptono dan Diana(1994), kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Pelayanan pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan atau urutan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan (Lukman, 1999). Dengan demikian Kualitas pelayanan adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan standar pelayanan yang telah dibakukan sebagai pedoman dalam pemberian layanan (Lukman, 1999). Dengan demikian kualitas pelayanan dapat diartikan suatu kondisi yang mengarah kepada keadaan yang lebih baik dari hari ke hari. Mas’ud (2004) mendefinisikan kinerja sebagai hasil pencapaian dari usaha yang telah dilakukan yang dapat diukur dengan indikatorindikator tertentu (kinerja individu dan kinerja organisasi). Kemudian Nelson (1997) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kinerja atau performance merupakan perilaku organisasi yang secara lansung berhubungan dengan aktivitas hasil kerja, pencapaian tugas dimana istilah tugas berasal dari pemikiran aktivitas yang dibutuhkan oleh pekerja. Sedangkan Gibson (1997) mendefinikan kinerja sebagai hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi seperti kualitas, efisien dan kriteria efektifitas kerja lainnya. Secara sederhana perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan dan memilih langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.Pada tingkat kedua perencanaan didefinisikan sebagai menetapkan suatu tujuan yang dapat dicapai setelah memperhatikan faktor-faktor pembatas dalam mencapai tujuan tersebut memilih serta menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut.Dapat juga diartikan bahwasan perencanaan adalah menetapkan suatu tujuan setelah memperhatikan pembatas internal dan pengaruh eksternal, memilih serta menetapkan langkah-langkah untuk mencapai tujuan tersebut (Robbinson, 2005). Menurut Glasson (1974) dalam Robbinson (2005) yang harus dilakukan dalam perencanaan wilayah adalah memperhatikan langkahlangkah suatu rencana yaitu sebagai berikut : 1. The indentification of the problem 2. The formulation of general goals and more specific and measurable objectives relating to the problem. 3. The identification of possible constraints. 4. Projection of the future situation 2656 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
5. The generation and evaluation of alternative courses of action; and the production of a preferred plan, which in generic form may include any policy statement or strategy as well as a definitive plan. Dengan demikian perencanaan wilayah itu harus dilakukan dengan matang dan tetap memperhatikan langkah-langkah dalam perencanaan yang baik. Kerangka Pemikiran Kerangka berfikir bertujuan untuk merumuskan dan mendefinisikan istilah-istilah yang dipergunakan secara mendasar agar tercapainya suatu kesamaan persepsi dan tidak muncul salah dalam pengertian pemakaian istilah yang dapat mengkaburkan tujuan dalam penelitian ini. Walaupun penelitian seperti ini bukan yang pertamakali, namun penelitian ini ingin memberikan gambaran yang lebih rinci terhadap beberapa variabel-variabel yang mungkin belum pernah diteliti sebelumnya. Adapun kerangka berfikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut : Komitmen Kerja (X1)
Kinerja Lurah (Y)
Kualitas Pelayanan Publik (X2)
Perencanaan Wilayah (Z)
Gambar Kerangka Berpikir Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian serta kerangka konseptual yang telah digambarkan di atas, dapat disusun hipotesis sebagai berikut : 1. Komitmen kerja berpengaruh signifikan terhadap kinerja Lurah di Kota Binjai. 2. Kualitas pelayanan publik berpengaruh signifikan terhadap kinerja Lurah di Kota Binjai. 2657 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
3. Komitmen kerja dan kualitas pelayanan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap kinerja Lurah di Kota Binjai. 4. Komitmen kerja berpengaruh signifikan terhadap perencanaan wilayah di Kota Binjai. 5. Kualitas pelayanan publik berpengaruh signifikan terhadap perencanaan wilayah di Kota Binjai. 6. Kinerja lurah berpengaruh signifikan terhadap perencanaan wilayah di Kota Binjai. 7. Komitmen kerja, kualitas pelayanan, dan kinerja lurah secara simultan berpengaruh signifikan terhadap perencanaan wilayah di Kota Binjai. 8. Komitmen kerja berpengaruh signifikan terhadap perencanaan wilayah di Kota Binjai melalui kinerja lurah. 9. Kualitas pelayanan publik berpengaruh signifikan terhadap perencanaan wilayah di Kota Binjai melalui kinerja lurah. III.
METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan survey. Pendekatan survey adalah kegiatan mengumpulkan data sebanyakbanyaknya mengenai fakta-fakta yang merupakan pendukung terhadap penelitian, dengan maksud untuk mengetahui status, gejala menentukan kesamaan status dengan cara membandingkan dengan standard yang sudah dipilih dan atau ditentukan (Arikunto, 2005) Penelitian deskriptif kuantitatif, Nazir (2005, 54) menyatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang yang bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki Populasi dan Sampel Populasi dalam penelitian ini merupan keseluruah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan (sugiyono, 2009). Populasi adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga Berdasarkan dua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa populasi adalah keseluruhan unit, nilai, ataupun individu yang menjadi obyek penelitian. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penerima layanan di kota binjai pada tahun 2015. 2658 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
Sampel adalah bagian dari populasi yang diharapkan dapat mewakili Populasi penelitian.Agar informasi yang diperoleh dari sampel benar-benar mewakili populasi, sampel tersebut harus mewakili karakteristik populasi yang diwakilinya adapun penentuan sampel dalam penelitian ini adalah ditentukan sebanyak 80 orang penerima layanan. Dari 80 daftar pertanyaan yang diberikan kepada responden yang mengembalikan dan mengisi dengan lengkap adalah sebanyak 65 sisanya diisi dengan tidak lengkap dimana sebagian pertanyaan tidak dijawab sehingga yang dianalisis adalah data berdasarkan 65 responden yang Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah accidental sampling.Accidental sampling yaitu sampel ditentukan dengan cara memilih siapa saja yang ditemui pada saat penelitian atau pengumpulan data dengan ketentuan: a) Masyarakat yang sedang menerima layanan publik dikantor kelurahan dan yang.bersedia memberikan informasi dengan jujur. b) Masyarakat yang menggunakan layanan publik periode waktu Desember 2015 serta masyarakat yang mengikuti musrenbang kelurahan. Uji Validitas dan Reabilitas 1. Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk menguji apakah pertanyaan pada suatu kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Validitas merupakan ukuran yang benar-benar mengukur apa yang akan diukur. Metode yang akan digunakan untuk melakukan uji validitas adalah dengan melakukan korelasi antar skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk atau variabel. 2. Uji Reabilitas Uji reabilitas digunakan untuk menguji apakah pertanyaan pada suatu kuesioner mampu untuk mengungkapkan sesuatu yang akan diukur oleh kuesioner tersebut. Validitas merupakan ukuran yang benar-benar mengukur apa yang akan diukur. Metode yang akan digunakan untuk melakukan uji validitas adalah dengan melakukan korelasi antar skor butir pertanyaan dengan total skor konstruk atau variabel. Metode Pengumpulan Data Dalam kegiatan penelitian ini, data dan informasi dikumpulkan dengan menggunakan metode, yaitu : 1. Wawancara (Interview) kepada pihak kelurahan dan masyarakat yang mendapatkan layanan dari masing-masing Kelurahan di Kota Binjai. 2659 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
2. Obsevasi (Observation) yaitau melakukan pengamatan secara langsung terhadap aktivitas keseharian, lingkungan kerja dan sarana kerja yang berhubungan dengan penulisan ini. 3. Daftar pertanyaan (Questionaire) yang diberikan kepada masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini. 4. Studi dokumentasi yaitu dengan melakukan pengumpulan dokumendokumen pendukung yang diperoleh dari buku-buku atau laporanlaporan yang berhubungan dengan penelitian ini. Model Analisis Data Penelitian Metode analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah analisis jalur (path analize). Metode analisis dibutuhkan untuk memecahkan perumusan masalah yang telah ditentukan sebelumnya. Metode analisis akan berisikan alat yang akan digunakan untuk membuktikan hipotesis apakah dapat diterima atau ditolak nantinya berdasarkan kesesuaian dengan hasil yang diperoleh. IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Uji Parsial (Uji t) Adapun hasil dari uji parsial adalah seperti ditunjukkan pada tabel berikut: Uji Parsial ( Uji t ) Coefficientsa Model
(Constant)
Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients B Std. Beta Error 9,879
3,018
,069
,134
,062
,284 ,196
Komitmen Kerja 1 Kualitas Layanan Kinerja
T
Sig.
Collinearity Statistics Tolerance VIF
3,273
,002
,515
,608
,731 1,368
,099
,377 2,866
,006
,612 1,633
,081
,322 2,412
,019
,595 1,682
a. Dependent Variable: PerencanaanWilayah 1. Nilai sig untuk variabel komitmen kerja adalah sebesar (0,020) lebih kecil dari alpha (0,025). Berdasarkan hasil yang diperoleh maka Ho ditolak dan H1diterima untuk variabel komitmen kerja, maka secara parsial variabel komitmen kerja berpengaruh signifikan terhadap 2660 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
2.
3.
4.
5.
kinerja lurah di kota Binjai, yang berarti bahwa variabel komitmen kerja memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi kinerja lurah di kota Binjai. Nilai sig variabel kualitas layanan publik adalah sebesar (0,000) lebih kecil dari alpha (0,025). Berdasarkan hasil yang diperoleh maka Ho ditolak dan H1diterima untuk variabel kualitas layanan publik.Hal ini menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik secara parsial berpengaruh signifikan terhadapkinerja lurah, yang berarti bahwa kualitas pelayanan publik memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi atau meningkatkan kinerja lurah di kota Binjai. Nilai sig untuk variabel komitmen kerja adalah (0,608) lebih besar dari alpha (0,025). Berdasarkan hasil yang diperoleh maka Ho diterima dan H1ditolak untuk variabel komitmen kerja. Dengan demikian maka secara parsial komitmen kerja tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadapperencanaan wilayah kota Binjai, yang artinya bahwa komitmen kerja kurang berperan dalam mempengaruhi /memperbaiki perencanaan wilayah di kota Binjai. Nilai sig untuk variabel kualitas pelayanan publik adalah sebesar (0,005) lebih kecil dari alpha (0,025). Berdasarkan hasil yang diperoleh maka Ho ditolak dan H1diterima untuk variabel kualitas pelayanan publik, maka secara parsial variabel kualitas pelayanan publik berpengaruh signifikan terhadap perbaikan perencanaan wilayah di kota Binjai, yang berarti bahwa variabel kualitas pelayanan publik memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi atau dalam meningkatkan/memperbaiki perencanaan wilayah. Nilai sig variabel kinerja lurah adalah sebesar (0,019) lebih kecil dari alpha (0,025). Berdasarkan hasil yang diperoleh maka Ho ditolak dan H1diterima untuk variabel kinerja lurah.Hal ini menunjukkan bahwa kinerja lurah secara parsial berpengaruh signifikan terhadapperencanaan wilayah, yang berarti bahwa kinerja lurah memiliki peran yang besar dalam mempengaruhi atau memperbaiki perencanaan wilayah di kota Binjai.
2. Uji Serempak (Uji F) Untuk menguji hipotesis ini dilakukan dengan kriteria pengambilan keputusan membandingkan nilai signifikan dengan tingkat alpha 5%. Berdasarkan Tabel 4.10 di bawah ini dapat diketahui bahwa nilai signifikan adalah 0.000 lebih kecil dari nilai alpha 0.05, sehingga keputusan yang diambil adalah H0 ditolak dan H1 diterima. Diterimanya hipotesis alternatif menunjukkan variabel bebas X1 dan X2, mampu menjelaskan keragaman dari variabel terikat (Y) dalam hal ini variabel komitmen kerja dan kualitas 2661 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
pelayanan publiksecara serempak berpengaruh signifikan terhadap kinerja lurah di kota Binjai, atau dapat kita komitmen kerja dan kualitas pelayanan publiksecara serempak mampu menjelaskan atau mampu mempengaruhi tingkat kinerja lurah di kota Binjai. Tabel Uji Serempak ( Uji F ) ANOVAa Model Sum of df Mean Square F Sig. Squares Regression 764,298 2 382,149 21,141 ,000b 1 Residual 1120,718 62 18,076 Total 1885,015 64 a. Dependent Variable: Kinerja b. Predictors: (Constant), KualitasLayanan, KomitmenKerja Untuk menguji hipotesis ini dilakukan dengan kriteria pengambilan keputusan membandingkan nilai signifikan dengan tingkat alpha 5%. Berdasarkan Tabel 4.11 di bawah ini dapat diketahui bahwa nilai signifikan adalah 0.000 lebih kecil dari nilai alpha 0.05, sehingga keputusan yang diambil adalah H0 ditolak dan H1 diterima. Diterimanya hipotesis alternatif menunjukkan variabel bebas X1, X2, dan Y mampu menjelaskan keragaman dari variabel terikat (Z) dalam hal ini variabel komitmen kerja, kualitas pelayanan publik dan kinerja lurahsecara serempak berpengaruh signifikan terhadap perencanaan wilayah di kota Binjai, atau secara serempak komitmen kerja, kualitas pelayanan publik dan kinerja lurah mampu menjelaskan atau mempengaruhi perencanaan wilayah di kota Binjai. ANOVAa Model Sum of df Mean Square F Sig. Squares Regression 246,978 3 82,326 11,121 ,000b 1 Residual 451,576 61 7,403 Total 698,554 64 a. Dependent Variable: PerencanaanWilayah b. Predictors: (Constant), Kinerja, KomitmenKerja, KualitasLayanan 3. Hasil Analisis Jalur Adapun nilai dari setiap jalur untuk model struktural I dan model struktural II adalah sebagai berikut: 1) Model Struktural I 2) Model Struktural I 2662 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
e
(X1 ) Komitmen Kerja
1
Pzx 1 0,062
(X2)
Pzx 2
Kualitas Pelayanan
0,377
(Y) Kinerja lurah
Perencanaan Wilayah (Z)
Pzy 0,322
Gambar Model Struktural I 3) Model Struktural II Komitmen kerja (X1 )
Pyx 1 0,261
Kinerja Lurah (Y) Kualitas Pelayanan (X 3)
Pyx 2 0,475
Gambar Model Struktural II Menghitung Pengaruh tidak langsung komitmen kerja terhadap perencanaan wilayah melalui kinerja lurah adalah sebagai berikut: Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung dan total : Pengaruh langsung (direct effect) komitmen kerja terhadap perencanaan wilayah di Kota Binjai sebesar 0,062 Pengaruh tidak langsung (indirect effect) komitmen kerja terhadap perencanaan wilayah melalui kinerja lurah sebesar 0,261 x 0,322 = 0,084.
2663 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
Hipotesis : Ho : Komitmen kerja tidak mempunyai pengaruh signifikan secara tidak langsung terhadap perencanaan wilayah melalui kinerja lurah. Ha : Komitmen kerja mempunyai pengaruh signifikan secara tidak langsung terhadap perencanaan wilayah melalui kinerja lurah Kriteria Pengujian Hipotesis : - Tolak Ho dan terima Ha jika nilai pengaruh tidak langsung > nilai pengaruh langsung. - Tolak Ha dan terima Ho jika nilai pengaruh tidak langsung < nilai pengaruh langsung Dari perhitungan diperoleh bahwa nilai pengaruh tidak langsung = 0,084 dan pengaruh langsung = 0,062 yang berarti nilai pengaruh tidak langsung lebih besar daripada nilai pengaruh langsung, maka dapat disimpulkan bahwa Ho ditolakdan Ha diterimayang berarti bahwa secara tidak langsung komitmen kerja berpengaruh signifikan terhadap terhadap perencanaan wilayah di Kota Binjai melalui kinerja lurah. Menghitung Pengaruh tidak langsung kualitas pelayanan publik terhadap perencanaan wilayah melalui kinerja lurah adalah sebagai berikut: Koefisien pengaruh langsung, tidak langsung dan total : Pengaruh langsung (direct effect) kualitas pelayanan publik terhadap perencanaan wilayah di Kota Binjai sebesar 0,377 Pengaruh tidak langsung (indirect effect) kualitas pelayanan publik terhadap perencanaan wilayah melalui kinerja lurah sebesar 0,475 x 0,322 = 0,153. Hipotesis : Ho : Kualitas pelayanan publik tidak mempunyai pengaruh signifikan secara tidak langsung terhadap perencanaan wilayah melalui kinerja lurah. Ha : Kualitas pelayanan publik mempunyai pengaruh signifikan secara tidak langsung terhadap perencanaan wilayah melalui kinerja lurah Kriteria Pengujian Hipotesis : - Tolak Ho dan terima Ha jika nilai pengaruh tidak langsung > nilai pengaruh langsung. - Tolak Ha dan terima Ho jika nilai pengaruh tidak langsung < nilai pengaruh langsung Dari perhitungan diperoleh bahwa nilai pengaruh tidak langsung = 0,153 dan pengaruh langsung = 0,377 yang berarti nilai pengaruh tidak langsung lebih kecil daripada nilai pengaruh langsung, maka dapat 2664 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
disimpulkan bahwa Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti bahwa secara tidak langsung kualitas pelayanan publik tidak berpengaruh signifikan terhadap terhadap perencanaan wilayah di Kota Binjai melalui kinerja lurah. V.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Secara parsial variabel komitmen kerja berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja lurah di kota Binjai. 2. Secara parsial variabel kualitas layanan publik berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja lurah di kota Binjai 3. Secara parsial variabel komitmen kerja tidak berpengaruhsignifikan terhadap perencanaan wilayah di kota Binjai. 4. Secara parsial variabel kualitas pelayanan publik berpengaruhsignifikan terhadap perencanaan wilayah di kota Binjai. 5. Secara parsial variabel kinerja lurah berpengaruhsignifikan terhadap perencanaan wilayah di kota Binjai. 6. Secara simultan variabel komitmen kerja dan kualitas pelayanan publik berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja lurah di kota Binjai. 7. Secara simultan variabel komitmen kerja, kualitas pelayanan dan kinerja lurah berpengaruh signifikan terhadap perencanaan wilayah kota Binjai. 8. Komitmen kerja berpengaruh signifikan secara tidak langsung terhadap perencanaan wilayah kota Binjai melalui kinerja lurah di kota Binjai. 9. Kualitas pelayanan publik tidak berpengaruh signifikan secara tidak langsung terhadap perencanaan wilayah kota Binjai melalui kinerja lurah di kota Binjai. DAFTAR REFERENSI Boast, W. 2001. Master Of Change. Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Volume 2, Nomor 2, September 2011:23-27. Eddy Poernomo. 2006. Pengaruh Kreativitas dan Kerjasama Tim Terhadap Kinerja Manajer Pada PT. Jesslyn K Cakes Indonesia.Volume 6.Nomor.2 : 102-108. 2665 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
Eslami, Javad dan Gharakhani, Davood.Organizational Commitment and Job Satisfaction.ARPN Journal OF Science and Technology. Vol. 2, No. 2, March 2012 : 85-91. Ettinger, R.H. 1994. Psychology, science behavior and life. Printed in United States Of America. Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, Volume 2, Nomor 2, September 2011:23-27. Frince, Heflin. 2004. Kewirausahaan dan Inovasi Bisnis. Inovasi dan Kewirausaan, Volume 1 No. 3 September 2012:135-151. Gibson, James, dan Donelly. JR. 1997.Perilaku, Struktur, Diterjemahkan Oleh Nunuk Andriani, Edisi Kedelapan, Jilid. I. Jakarta, Binarupa Aksara Hurlock. 1990. Perkembangan Anak Jilid 2. Islamadina, Vol. VII, No. 3 September 2008:74-84 Kaspinor.2004, Implikasi Penerapan Good Governance Dalam Pelayanan Administrasi Publik Pada Daerah Kabupaten Sukamara, Diklat Pimpinan Tingkat II Angkatan XII, Bandung. Lukman, Sampara. 1999. Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta, STIA-LAN PRESS. Mas’ud, Fuad. 2004. Survai Diagnosis Organisasional Konsep dan Aplikasi. Semarang, Universitas Diponegoro. Munandar, U. 1999. Pemanduan Anak Berbakat (suatu studi penjajakan). Islamadina, Vol. VII, No. 3 September 2008:74-84 Munandar, U. 1999. Kreatifitas dan Keberbakatan.Pendidikan Teknologi dan Kejuruan. Volume 2, Nomor 2, September 2011:23-27. Nazir Moh, 2005. Metode Penelitian.Jakarta, Ghalia Indonesia. Anggota IKAPI. Ravianto.J. 1985.Produktivitas dan Manusia Indonesia.Jakarta, Lembaga Sarana Informasi Usaha dan Produktivitas.
2666 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2653 - 2667
Robbins, Stephens P. 2009, Perilaku Organisasi, Jilid 1 dan 2, Prehallindo, Analisis Manajemen.Vol. 5, No. 1 Juli 2011. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Bisnis,Bandung, Alfabeta. Sumarsono HM. Sonny. 2004. Metode Manusia,Yogyakarta, Graha Ilmu.
Riset
Sumber
Daya
Suwardi dan Utomo, Joko. 2011. Pengaruh Motivasi Kerja, Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasional Terhadap Kinerja Pegawai (studi Pada Pegawai Setda Kabupaten Pati). Analisis Manajemen, Vol. 5 No. 1 Juli 2011:75-86. Tarigan, Robbinson. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta. Bumi Aksara. Tjiptono, Fandi dan Diana, Anastasia. 2001. Total Quality Management. Yogyakarta.Andi. Tjiptono, Fandi dan Diana, Anastasia. 2001. Total Quality Management. Yogyakarta.Andi.
2667 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 HUBUNGAN ANTARA ORIENTASI PROFESIONAL TERHADAP KONFLIK PERAN DENGAN PARTISIPASI ANGGARAN SEBAGAI VARIABEL MODERATING (Studi Empiris di Rumah Sakit Swasta di Sumatera Utara) Jadongan Sijabat Dosen Fakultas Ekonomi Universitas HKBP Nommensen Email:
[email protected]
Abstract The purpose of this paper is to examine the relationship of professional orientation to role conflict. Next, the purpose of this paper is to examine whether budget participation affect to the relathionship of professional orientation to role conflict when they are in controlling a bureaucrat. This research conducted with survey on doctors and nurses working on the private hospital in province of Sumatera Utara. Unit analysis are doctors and nurses who have a position besides as a doctors and nurse services. The Multiple regression with SPSS program is used to analized the data. The result of this paper by using a sample of 107 doctors and nurse from 22 private hospital indicates that professional orientation have significant positif relation to role conflict, and than budget participation have positive affection to the relathionship of professional orientation to role conflict. Key words: Professional orientation, budget participation, role conflict, multiple regression.
2668 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 .I. PENDAHULUAN Tidak adanya kepastian yang dapat dijadikan padanan (standard) yang dapat diterapkan dalam semua kondisi dan perubahan lingkungan (contingency), merupakan suatu tantangan tersendiri bagi manajemen dalam mengelola organisasi yang dipimpinnya. Dalam ketidakpastian itu, teori kontinjensi memberikan cara untuk memandang berbagai perubahan dan sistem definitif yang diadopsi oleh organisasi dalam lingkungan yang tidak pasti (Michael dan Gayle, 1991). Skema pendanaan berbasis output dan perubahan dalam struktur kekuasaan internal dengan orientasi profesional, memiliki potensi konflik peran, karena diasumsikan bahwa adanya ketidaksesuaian norma dan nilai yang dianut oleh profesional dengan norma dan nilai organisasi yang memperkerjakan profesional tersebut (Vandenberg dan Scarpello, 1994; Wallace, 1995). Sistem akuntansi rumah sakit secara tradisional memberikan fungsi sebagai alat perencanaan dan pengendalian manajemen bagaimana sistem pembayaran memberikan beberapa insentif untuk mengelola sumber daya secara efisien. Sistem pembiayaan yang didasarkan atas prinsip biaya produk yang awal mulanya digunakan dalam sektor manufaktur diimplementasikan sehingga informasi mengenai biaya atas pasien individual dan kelompok pasien dapat diberikan untuk menilai profitabilitas dari berbagai “lini produk” rumah sakit (Chua and Degeling, 1991; Preston, 1992). Dengan menspesifikasi target biaya dan mengukur kinerja dalam hubungannya dengan target tersebut, informasi yang diberikan oleh sistem penganggaran dan pembiayaan tersebut dapat digunakan untuk mengalokasi sumber daya terhadap unit klinik dan untuk mengukur kinerja unit klinik (Abernethy and Stoelwinder, 2005). Integrasi para profesional layanan kesehatan ke dalam struktur manajemen rumah sakit, akan mendorong mereka menggunakan informasi yang ada untuk meningkatkan fungsionalisasi unit kerja mereka. Namun demikian, yang perlu menjadi perhatian adalah pengaruh perubahan tersebut terhadap para profesional layanan kesehatan (Hopwood, 1984; Chua and Degeling, 1991; Abernethy and Stoelwinder, 2005). Selanjutnya bagaimana mengetahui rintangan yang dapat mengganggu integrasi profesional kesehatan ke dalam proses penganggaran, karena penganggaran merupakan mekanisme pengendalian administratif formal yang didesain sesuai dengan prinsip pengendalian organisasi. Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa para profesional akan mengalami konflik peran ketika mereka diharapkan untuk berpartisipasi dalam bentuk pengendalian birokratis (Scott, 1966; Hall, 1967; Copur, 1990; Raelin, 1991). Misalnya pengendalian profesional yang menekankan pada selfcontrol dipandang tidak sejalan dengan pengendalian birokratik, dan 2669 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 loyalitas organisasi dipandang tidak konsisten dengan loyalitas pada pasien. Jalan untuk menghindari apa yang disebut sebagai konflik profesional adalah dengan menghindari untuk mempertemukan para profesional dengan sistem birokrasi, yang membatasi aktivitas pengaturan diri mereka (Abernethy and Stoelwinder, 2005). Dengan demikian rumah sakit mengalami keadaan dimana para profesional akan menghadapi adanya tekanan yang meningkat untuk terlibat dalam penganggaran dan bentuk-bentuk pengendalian administratif lainnya. Motivasi penelitian ini: pertama, penelitian yang direplikasi adalah keadaan di Australia yang dilakukan oleh Comerford dan Abernethy (2005), dengan demikian diharapkan penelitian dapat mengetahui bagaimana keadaan yang ada di negeri ini, terutama di Sumatera Utara. Kedua, Untuk melacak bagaimana implementasi kendali akuntansi, terutama dalam proses penganggaran dalam rumah sakit dan kendali finansial dalam situasi yang tidak memungkinkan bagi para profesional untuk dapat melepaskan diri dari keterlibatan mereka dalam pengendalian tersebut. Ketiga, bagaimana memahami kondisi yang memungkinkan adanya implementasi yang efektif terhadap penganggaran dan pengendalian administrasi yang relevan dalam pengelolaan rumah sakit yang di dalamnya banyak memanfaatkan tenaga profesional dibidang kesehatan. Keempat, penelitian ini merupakan penegasan atas implikasi penelitian yang dilakukan oleh Ataina Hudayati (2011), yang meneliti tentang pengaruh aspek-aspek penganggaran terhadap konflik peran, studi empiris pada perguruan tinggi, dimana disarankan untuk dilakukan penelitian yang berkaitan dengan profesi lain seperti dokter, yang secara tidak langsung tenaga profesional layanan kesehatan yang banyak bekerja pada lembaga publik, rumah sakit. Rumah sakit di Sumatera Utara telah ditetapkan oleh Pemerintah melalui Departemen Kesehatan mengenai persyaratan minimal rumah sakit dan desain struktur organisasinya. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat merupakan representasi dari rumah sakit yang ada seluruh Indoensia. Sementara penelitian yang berkaitan langsung dengan rumah sakit, telah diteliti oleh J. Michael dan J. Gayle (1991) meneliti tentang teknologi akuntansi, kontenjensi dan tekanan tugas di rumah sakit. Abernethy dan Stoelwinder meneliti tentang patisipasi anggaran, ketidakpastian tugas dan orientasi tujuan di rumah sakit, demikian juga penelitian yang direplikasi disini, yaitu Comerford dan Abernethy (2005) meneliti tentang orientasi profesional, orientasi tujuan sistem, partispasi dalam anggaran dan konflik peran di rumah sakit, dengan maksud untuk menguji kembali, apakah dengan menggunakan landasan teori yang sama, dengan tempat, waktu dan sampel yang berbeda menghasilkan kesimpulan yang sama. 2670 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 Uraian di atas memberikan gambaran permasalahan pokok yang akan diteliti, yaitu: 1. Apakah orientasi profesional berpengaruh terhadap konflik peran ketika dokter dan perawat terlibat dalam struktur organisasi. 2. Apakah partisipasi dalam anggaran berpengaruh terhadap hubungan antara orientasi profesional dan konflik peran. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini antara lain: 1. Untuk menemukan bukti empiris bahwa orientasi profesional berpengaruh terhadap konflik peran ketika mereka terlibat dalam struktur organisasi. 2. Untuk menemukan bukti empiris bahwa partisipasi dalam anggaran berpengaruh terhadap hubungan antara orientasi profesional dan konflik peran. II. TELAAH PUSTAKA DAN HIPOTESIS Profesi merupakan bidang pekerjaan yang dijalani seseorang sesuai dengan keahliannya yang menuntut kesetiaan (comitment), kecakapan (skill), dan tanggung jawab yang sepadan (accountability) sehingga bukan semata-mata kegiatan mencari nafkah yang berupa materi belaka. Beberapa penelitian menyatakan bahwa profesional yang bekerja dalam organisasi birokratis mengalami konflik antara norma profesi mereka dan organisasi yang memperkerjakannya (Barley dan Tolbert, 1991). Konflik tersebut timbul karena profesional yang bekerja dalam organisasi merupakan subjek dari sumber kekuasaan yang memiliki legitimasi, yaitu kekuasaan profesional dan kekuasaan birokartis (Feter Blau, 1962, dalam Barley dan Tolbert, 1991). Konflik diartikulasikan sebagai suatu proses yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa suatu pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif sesuatu yang dipentingkan pihak pertama (Stephen P. Robbins, 1996). Konflik ini terjadi karena adanya pemicu yang dapat berupa penghargaan profesional, termasuk monopoli terhadap pekerjaan, klien, kompensasi dan pengahargaan sosial (Kalber dan Fogarty,1995). Jalinan hubungan antara profesional dan hasil organisasi yang diinginkan manajemen (pemilik perusahaan) akan mengalami kontraksi dan kontribusi bagi kemandirian manajemen dalam pengembangan organisasi. II. 1. Hubungan Orientasi Profesional dan Konflik Peran Keterlibatan profesional dalam birokrat menjadi problematik tersendiri, karena keinginan profesional tidak hanya terlibat dalam pengendalian proses pekerjaan, tetapi juga pengendalian tujuan (Barley dan Tolbert, 1991). Sementara itu organisasi enggan memberikan hak-hak istimewa pada profesional bila bertentangan dengan tujuan manajemen dan 2671 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 prinsip-prinsip manajemen birokratik. Dimana tujuan implisit kebijakan manajemen birokratik adalah untuk mengendalikan perilaku profesional yang sering berseberangan dengan upaya efisiensi dan efektifitas dalam manajemen birokartik, yang sering menyentuh masalah krusial pada jasa profesional, yaitu penekanan pada efisiensi biaya. Keadaan ini diperkuat oleh Johnson (1991), yang lebih skeptis pada kalangan profesional, dimana para profesional ingin mendominasi dan otoritas dengan keahlian yang dimilikinya untuk melakukan aktivitas yang lebih memuaskan tujuan mereka sendiri dibandingkan untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan kata lain, harapan yang dihubungkan dengan peran mereka sebagai seorang profesional akan menimbulkan konflik langsung bila mereka harus memenuhi harapan yang dikaitkan dengan peran mereka sebagai seorang birokrat (Rizzo, 1970 dalam Carnerford dan Abernethy, 2005). Dilain pihak, perhatian manajemen terhadap kebutuhan anggota organisasi-nya akan berpengaruh pada komitmen manajerial. Keadaan ini didukung oleh studi Aranya dan Ferris (1984) yang berkesimpulan bahwa kemampuan organisasi untuk memfasilitasi pemenuhan harapan profesional akan berpengaruh pada komitmen profesional pada tujuan-tujuan managerial organisasi. Jika organisasi dipandang memiliki komitmen pada tujuan profesional individu, maka individu cenderung untuk mengembangkan komitmennya pada tujuan-tujuan organisasi. Keadaan ini menghendaki adanya harmonisasi antara tujuan manajemen dengan tujuan profesional yang saling mendukung. Kondisi ini akan terjadi bila manajemen mendapatkan kepercayaan para profesional (Korsgaard dkk, 1995). Uraian di atas memberikan simpulan bahwa orientasi profesional yang tinggi yang dimiliki seorang manajer (birokarat) dapat menimbulkan konflik peran dan dapat juga tidak, tergantung dari berbagai variabel kontinjen lainnya. Hasil penelitian Aranya dan Ferris, (1984) menyatakan bahwa luasnya konflik yang dialami para profesional tergantung seberapa tingginya mereka menjaga orientasi profesionalnya atau tergantung pada beralihnya orientasi profesional menuju nilai dan norma organisasi. Semakin besar orientasi profesional yang dimiliki para manajer, semakin tinggi potensi konflik peran yang muncul. Model hubungan orientasi profesional dan konflik tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
2672 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684
Gambar 1: Model Hubungan Orientasi Profesional dengan Konflik Peran
Orientasi Profesional
Konflik Peran
Berdasarkan penjelasan di atas maka dirumuskanlah hipotesis sebagai berikut: H1: Orientasi profesional yang tinggi berpengaruh negatif terhadap konflik peran. II.2. Partisipasi dalam Anggaran sebagai Variabel Moderating Model yang dikembangkan oleh Abernethy and Stoelwinder (2005) tidak memungkinkan bahwa konflik peran, yang timbul ketika profesional terlibat dalam penganggaran. Dengan demikian, diakui bahwa mempertahankan orientasi profesional adalah kritis untuk manajemen kerja profesional yang efektif, namun sangat mungkin bahwa organisasi dapat menciptakan lingkungan yang membangkitkan para profesional untuk mengambil orientasi tujuan sistem tanpa melepaskan komitmen mereka terhadap nilai-nilai profesional. Model yang disajikan di sini memperluas model Abernethy and Stoelwinder (2005) dan diuji dengan menggunakan sampel yang sama terhadap para manajer dokter dan perawat. Model ini berbeda dengan model Abernethy and Stoelwinder (2005) dalam dua hal penting. Model Abernethy and Stoelwinder (2005) memfokuskan pada hubungan antara orientasi profesional dan sejauh mana superior menggunakan bentuk output pengendalian dalam mengevaluasi kinerja subunit klinik. Fokus dalam penelitian ini adalah pada keterlibatan profesional kesehatan dalam proses anggaran. Tingkat keterlibatan para profesional kesehatan pada akhirnya akan menentukan efektivitas sistem penganggaran. Penelitian Commerfod dan Margaret A. Abernethy (2005) sebagai perluasan penelitiannya sebelumnya, mengemukakan bahwa peran yang mendua ini dapat berpotensi memiliki konsekuensi organisasional yang merugikan, melalui penciptaan konflik peran. Profesional cenderung memiliki komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai profesional, namun memiliki komitmen yang rendah terhadap nilai-nilai manajerial, sehingga secara langsung melibatkan mereka dalam kendali keuangan, seperti penganggaran, sangat mungkin mengarahkan pada konflik peran. Anggaran berfungsi sebagai pengendali output dengan menentukan target dan mengukur besarnya individu mencapai target yang ditentukan 2673 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 dalam anggaran. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan penggunaan pengendalian output dalam organisasi yang didominasi profesional menimbulkan konflik peran. Abernethy dan Stoelwinder (2005) menguji pengaruh pengendalian admnistratif formal, seperti pengendalian akuntansi yang diterapkan pada organisasi yang didominasi profesioanl. Aranya & Feris (1984) menyatakan, besarnya konflik yang terjadi selain dipengaruhi orientasi profesional yang tinggi, juga berasal dari penerapan pengendalian admnistratif. Pengendalian administratif meliputi pengendalian output dan pengendalian perilaku. Pengendalian perilaku adalah usaha untuk mengendalikan perilaku dengan mengarahkan perilaku yang akan mendorong pencapaian tujuan yang diinginkan dan selanjutnya mengamati bahwa, individu yang bertindak dengan cara tersebut (Abernethy & Stoelwinder, 2005). Sementara pengendalian finansial seperti penganggaran merupakan contoh pengendalian output. Puspa (1999) telah melakukan penelitian dengan model yang sama dengan Abernethy dan Stoelwinder (2005), dengan responden dokter dan dosen. Hasil penelitian Puspa (1999) menunjukkan bahwa untuk kelompok profesional dosen, interaksi antara orientasi profesional dan dominasi pengendalian output dapat menimbulkan konflik. Sedangkan untuk kelompok profesional dokter, pengendalian output tidak menimbulkan konflik peran. Sementara Ataina Hudayati (2011) yang meneliti pengaruh aspekaspek penganggaran terhadap konflik peran pada perguruan tinggi, menyatakan bahwa interaksi antara orientasi profesional dan penggunaan anggaran sebagai evaluasi kinerja berpengaruh terhadap konflik peran. Temuan ini menunjukkan belum sepenuhnya mendukung temuan penelitian Abernethy dan Stoelwinder (2005). Dari temuan penelitian-penelitian tersebut memberi motivasi untuk menguji kembali dan mengajukan dugaan bahwa penggunaan anggaran sebagai evaluasi kinerja akan memperkuat hubungan positif orientasi profesional terhadap konflik peran. Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa konflik peran tidak dapat dihindarkan, sehingga model kedua yang dapat dibangun dari pertentangan tersebut adalah apakah partisipasi (keterlibatan) dalam anggaran dapat menimbulkan konflik peran, yang dapat divisualisasikan pada gambar 2 berikut:
2674 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684
Gambar 2: Model Hubungan antara Orientasi Profesional terhadap Konflik Peran dengan Partisipasi dalam Anggaran sebagai Variabel Moderating Partisipasi Dalam Anggaran Orientasi Profesional
Konflik Peran
Berdasarkan penjelasan di atas maka dirumuskanlah hipotesis sebagai berikut: H2: Partisipasi dalam penganggaran berpengaruh positif terhadap hubungan orientasi profesional dengan konflik peran. III. METODE PENELITIAN III.1. Populasi dan Prosedur Penentuan Sampel Data untuk penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan melalui kuesioner survei yang dijalankan terhadap dokter manajer dan perawat yang memegang jabatan, di rumah sakit swasta di Sumatera Utara dengan cara mengirimkan kuesioner. Jumlah rumah sakit swasta di Sumatera Utara menurut buku Sumatera Utara Dalam Angka 2014 yang dikeluarkan oleh BPS Sumatera Utara berjumlah 62 rumah sakit swasta yang tersebar di 35 kota dan kabupaten. Cara pengumpulan data dengan menggunakan purposive sampling. Studi ini dibatasi pada dokter dan perawat yang memegang jabatan struktural. III.2. Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian ini prosedur pengumpulan data dilakukan dengan mengirimkan kuesioner melalui pos. Kuesioner dikirimkan kepada para profesional-birokrat layanan kesehatan di rumah sakit yang terlibat dalam penyusunan anggaran dengan harapan respons rate minimal 10 %. Namun peneliti menyadari bahwa tingkat pengembalian kuesioner secara umum di Indonesia mengindikasikan partisipasi yang rendah. Untuk mengatasi kemungkinan tersebut peneliti akan mencoba untuk berhubungan langsung kepada rumah sakit yang relatif masih dalam jangkauan peneliti.
2675 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 III.3. Definisi Operasional Variabel Orientasi profesional diukur didasarkan pada instrumen yang dikembangkan oleh Miller and Wager (1971) dan digunakan oleh Abernethy and Stoelwinder (2005). Responden diminta untuk mengindikasikan sejauh mana mereka menyetujui tiga item pertama pada lima poin skala Likert, yang bervariasi dari “sangat tidak setuju” hingga “sangat setuju”. Untuk item (4) dan (5), responden diminta untuk menentukan pilihannya dengan tegas. Konflik peran diukur dengan menggunakan instrumen delapan item yang dikembangkan oleh Rizzo (1970). Instrumen tersebut meminta responden untuk mengindikasikan pada lima poin skala Likert sejauh mana keberadaan berbagai kondisi dalam masing-masing item, yang bervariasi dari sangat setuju hingga sangat tidak banyak. Partisipasi dalam penganggaran diukur dengan menggunakan instrumen tujuh item yang didasarkan atas instrumen Milani (1975) dan Abernethy and Stoelwinder (1990). IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
IV.1.
Deskripsi Responden Tampilan pengiriman dan pengembalian kuesioner dalam penelitian ini dapat dibaca pada tabel yang disajikan berikut ini. Tabel 1 Rincian Penerimaan dan Pengembalian Kuesioner Kuesioner yang dikirim melalui pos, tahap pertama Kuesioner yang dikirim melalui pos tahap kedua Kuesioner yang diantar langsung Jumlah Kuesioner yang beredar Kuesioner yang tidak kembali Kuesioner yang kembali Kuesioner yang tidak memenuhi syarat Kuesioner yang digunakan
310 200 110 + 620 512 108 1107
Tingkat pengembalian (response rate) 108 / 620 X 100% = 17,42 % Tingkat pengembalian yang digunakan (usable response rate) 107 / 620 X 100% = 17,26 % Sumber: Hasil Penelitian, 2014 Mengenai profil 107 responden yang berpartisipasi dan dijadikan sebagai sumber data dalam kajian penelitian ini dapat dideskripsikan dalam tabel 2 berikut ini: 2676 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684
Tabel 2 Profil Responden (n=107) Jumlah
Pimpinan atau Kepala Bagian setingkat Manajer Bagian Pelayanan Medis Laboratorium Medis
Persentase
Analis Gizi Pasien Administrasi Perjalanan Medis Pasien Lainnya, tidak mengisi jabatan
97 3 4 2 1
90,65 2,80 3,74 1,87 0,94
Pria Wanita
66 41
61,68 38,32
Gender
Umur 20 – 30 31 – 40 > 40 Kisaran 20 – 62 dan Rata-rata 38,2 Pendidikan SLTA D3/Diploma S1/Sarjana
Lama Bekerja di Rumah Sakit 1 –5 6 – 10 11– 15 > 15 Kisaran 3 – 18 dan Rata-rata 6,3 Lama Jabatan di Rumah Sakit 1–5 6 – 10 > 10 Kisaran 1 – 12 dan Rata-rata 4,8 ≈ 5 Jumlah Bawahan 1 – 10 11 – 20 > 20 Kisaran 2 – 23 dan Rata-rata 13,7 ≈ 14
34 29 44
31,78 27,10 41,12
1 37 69
0,94 34,57 64,49
14 71 18 4
13,08 66,36 16,82 3,74
56 43 8
52,34 40,19 7,47
83 21 3
77,57 19,63 2,80
Sumber : Hasil Penelitian, 2014 2677 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 IV.2.
Uji Asumsi Klasik Hasil uji multikolinieritas dalam penelitian ini menyajikan bahwa hubungan langsung antara independen (orientasi professional dan partisipasi dalam anggaran) mempunyai nilai tolerance tidak lebih dari 10%. Sedangkan nilai variance inflation factor (VIF) lebih dari 10%. Dengan demikian dapat disimpulkan tidak terdapat multikolinieritas antar variabel bebas yang memungkinkan terjadinya korelasi antar variabel. Uji Autokorelasi dimaksudkan untuk mengetahui apakah pada observasi yang berasal dari individu yang berbeda terdapat gangguan, walaupun pada data yang bersifat crossections jarang terjadi. Untuk mengetahuinya dilakukan uji Durbin Watson (DW), dimana terdapat tiga jumlah variabel bebas. Pada penelitian ini, hasil uji Durbin Watson (DW) menyatakan angka sebesar 1.918 pada jumlah sampel 100. Selanjutnya angka tersebut dibandingkan dengan DW tabel, dalam tabel untuk angka 5 % menunjukkan sebesar 1.67. Hasil uji DW jauh lebih besar dari DW tabel, ini berarti dapat dikatakan bahwa tidak terdapat autokorelasi antara variabel independen dengan dependen. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya heteroskedatisitas dapat dilakukan dengan dua cara yaitu uji Gletser dan melalui grafik plot. Dari hasil uji Gletser dengan melihat tingkat signifikansi dari hasil regresi nilai absolut residual sebagai varaibel terikat dengan variabel bebas. Hasil uji Gletser dapat dilihat pada tabel 3. Hasil regresi menunjukkan bahwa tidak ada satupun variabel bebas yang signifikan secara statistik mempengaruhi variabel terikat di bawah nilai probabilitas, p< 0,05. Tabel 3 Uji Heteroskedastisitas - Gletser Variabel Nilai Satandar Koefisien Error
t-value
Prob.
Orientasi Profesional
X1
-,193
5,20
-2,016
0,046
Partisipasi dlm Anggaran
X2
-0,98
5,02
-1,049
0,006
Y
0,223
4,96
2,145
0,034
Konflik Peran Sumber : Hasil Penelitian, diolah, 2014. Hasil grafik scatterplot memvisualisasikan titik-titik yang menyebar secara acak serta tersebar di atas maupun di bawah angka 0 pada sumbu Y, dengan tidak mempunyai pola yang jelas, hasil grafik plot dapat dilihat pada 2678 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 gambar berikut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi. Gambar 3 Grafik Plot S c a tte rp lo t
R egression S tudentized R esidual
D e p e n d e n t V a ria b le : K P 3 2 1 0 -1 -2 -3 -3
-2
-1
0
1
2
3
4
R e g re s s io n S ta n d a r d iz e d P re d ic t e d V a lu e
Pengujian distribusi normal dilakukan dengan cara melihat histogram yang membandingkan data observasi dengan distribusi yang mendekati normal. Selain itu uji normalitas dapat juga dengan menggunakan normal probability plot yang membandingkan distribusi kumulatif dari data yang sesungguhnya dengan distribusi kumulatif dari data distribusi normal. Gambar 4 Histogram Normal Probability Plot Histogram Dependent Variable: KP 14 12 10 8 6 4
Frequency
Std. Dev = .99 2
Mean = 0.00
0
N = 107.00
0 2.0 5 1.7 0 1.5 5 1.2
0 1.0
.75
.50
.25 0 0.0
5 -.2
0 -.5 5 -.7 00 -1. 25 -1. 50 -1. 75 -1. 00 -2. 25 -2. 50 -2. Regression Standardized Residual
Dengan memperhatikan tampilan grafik histogram dan grafik normal plot dapat disimpulkan bahwa grafik histogram memberikan pola distribusi yang mendekati normal. Pada grafik normal plot terlihat titik-titik menyebar disekitar garis diagonal, dengan penyebaran mengikuti arah garis diagonal. Dengan memperhatikan kedua grafik tersebut dapat dikatakan bahwa model regresi memenuhi asumsi normalitas sehingga layak untuk digunakan. Gambar 5 2679 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Dependent Variable: KP 1.00
.75
Expected Cum Prob
.50
.25
0.00 0.00
.25
.50
.75
1.00
Observed Cum Prob
IV.3.
Pengujian Hipotesis dan Pembahasan Pengujian hipotesis pertama dengan menggunakan notasi Y = b0 + b1 X1 + e, yaitu hubungan langsung antara orientasi profesional (X1) dengan konflik peran (Y) yang dihipotesiskan mempunyai pengaruh negatif. Hasil pengujian dengan menggunakan regresi sederhana setelah distandardisasi menunjukkan bahwa koefisien interaksi dengan signifikansi sebesar 0,046, pada signifikan p<0,05, dengan unstandarized coefficients beta minus yaitu 1,026 dengan R2 0,037, Nilai F 4,064 beta standarized coefficients -,193 dan t –2,016. Artinya orientasi profesional berpengaruh negatif pada konflik peran. Hasil pengolahan regresi tersebut memberi arti bahwa hubungan orientasi profesional dengan konflik peran mempunyai pengaruh negatif yang ditunjukkan dengan coefficients regresi –1,026 dan t –2,016 dan tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05. Ini membuktikan bahwa semakin besar orientasi profesional yang dimiliki oleh para manajer, semakin tinggi potensi konflik peran yang dialami. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian Comerford dan Abernethy (2005) yang menyatakan bahwa semakin tinggi orientasi professional maka akan semakin besar potensi konflik yang ditimbulkannya. Dengan demikian hipotesis 1 terbukti dan tidak dapat ditolak, tampilan pengujian tersebut dapat dilihat pada tabel 4 berikut. Tabel 4 Hasil Analisis Regresi Uji Hipotesis1 Koefisien Model Beta t Sig. Constanta Orientasi Profesional (X1)
28,240 -1,026
57,319 -2,016
0.000 0,046
R2 = 0,037 F= 4,064 Sig. F = 0,046 Sumber : Hasil olah data penelitian, 2014 2680 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 Hipotesis 2 menyatakan partisipasi (keterlibatan) dalam penganggaran akan berpengaruh positif terhadap hubungan orientasi profesional dengan konflik peran, dengan notasi matematis Y= b0+b1X1+b3X3+ b3 (X1-X3) + e. Metode analisis menggunakan regresi berganda, dengan variabel moderating partisipasi dalam anggaran dan orientasi profesional sebagai prediktor konflik peran. Pengujian ini dimaksudkan untuk menguji sejauhmana pengaruh kedua variabel tersebut terhadap variabel dependen, konflik peran. Rangkuman hasil regresi dapat ditampilan sebagai berikut:
Model Constanta Zscore (OP) Zscore (PDA) ABOPOTSPDA
Tabel 5 Hasil Analisis Regresi Uji Hipotesis 2 Koefisien Beta 25,979 -,841 -,575 1,328
T
27,611 -1,281 -1,171 2,145
Sig. 0,000 0,203 0,244 0,034
R2 = 0,159 F=3,814 Sig. F = 0,003 Sumber : Hasil olah data penelitian, 2014 Hasilnya menyebutkan bahwa hubungan orientasi profesional dengan beta 1,328 positif dan signifikansi sebesar 0,034 pada p<0,05, thitung 2,145, dengan signifikansi 0,34 pada P<0,05. dan R2-nya sebesar 15,9% dan signifikan F 3,814 dengan beta 25,979. Sehingga variabel moderating tersebut dapat memprediksi, bahwa hubungan negatif antara orientasi profesional dengan konflik dapat dijelaskan dengan adanya variabel mederating partisipasi dalam anggaran sebesar 15,979 %. Artinya adalah bahwa partisipasi dalam anggaran secara kumulatif, berpengaruh positif terhadap hubungan orientasi profesional dengan konflik peran. Dengan demikian hipotesis 2 diterima dan mendukung hasil penelitian Comerford dan Abernethy (2005) yang menyatakan bahwa partisipasi dalam anggaran berpengaruh positif terhadap hubungan orientasi professional dan konflik peran.
2681 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 V. V.1.
KESIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN Kesimpulan Kajian teoritis menjelaskan bahwa konflik peran adalah suatu proses yang dimulai bila satu pihak merasakan bahwa pihak lain telah mempengaruhi secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif sesuatu yang dipentingkan pihak pertama (Stephen P. Robbins, 1996). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi orientasi profesional, maka akan semakin besar potensi konflik yang ditimbulkannya. Hasil ini mendukung hasil penelitian Comerford & Abernethy (2005) yang mengemukakan bahwa interaksi antara orientasi profesional dan konflik peran mempunyai hubungan negatif. Selanjutnya penelitian ini mengindikasikan bahwa parstisipasi dalam anggaran, berpengaruhi positif terhadap hubungan orientasi profesional dan konflik peran. Dengan demikian hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Copur (1990), Comerford dan Abernethy (2005), Ataina (2011), yang mengatakan bahwa parstisipasi dalam anggaran berpengaruhi positif terhadap hubungan orientasi profesional dan konflik peran. V.2. Saran Dengan didukungnya hasil penelitian sebelumnya, maka hasil penelitian ini akan lebih meyakinkan bahwa keterlibatan para profesional dalam lingkungan birokrasi pelayanan kesehatan tidak perlu dicurigai, serta partisipasi dalam anggaran tidak dianggap sebagai faktor yang membelenggu para profesional untuk bekerja lebih leluasa. Namun demikian perlu disadari bahwa penelitian ini masih perlu diperluas, misalnya memperbesar jumlah responden, menambah variabel lain, seperti budaya organisasi, gaya kepemimpinan dan motivasi kerja serta tingkat penghasilan para profesional, yang mungkin mempengaruhi terjadinya konflik peran. Karena penelitian ini memfokuskan pada lingkungan rumah sakit, maka temuan tersebut mungkin tidak dapat digeneralisasi, misalnya pada lingkungan kerja lainnya yang berbeda, walaupun diharapkan adanya kondisi yang sama dalam organisasi profesional lain. Penelitian lebih lanjut dalam setting yang lain sangat dibutuhkan, misalnya mengembangkan studi untuk memungkinkan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi sejauh mana kinerja profesional bila terintegrasi ke dalam struktur rumah sakit dan bagaimana pengaruhnya terhadap kendali akuntansi dalam manajemen yang efektif terhadap berbagai jasa layanan kesehatan. Selain itu dimasa datang mungkin perlu fokus penelitian yang khusus bagi para dokter-manager saja atau perawat saja yang menjadi responden dalam penelitian, dan dari sini mungkin dapat teridentifikasi secara jelas faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik peran. 2682 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 V.3.
Keterbatasan Keterbatasan yang dirasakan dalam penelitian ini terletak pada metode pengambilan sampel, dengan menggunakan purposive sampling yaitu terbatas pada tenaga profesional kesehatan, dokter dan perawat yang memegang jabatan struktural dalam rumah sakit. Keterbatasan dari metode pengambilan sampel tersebut membawa implikasi bahwa hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisais untuk semua jenis organisasi, yang lingkungan kerjanya tidak sama. DAFTAR PUSTAKA Abernethy, M.A. and J.U. Stoelwinder, 2005. The Role of Professional in the Management of Complex organizations, Accounting Organizations and Society, 1-17. Aranya, N., and K.R. Ferris, 1984. A reexamination of accountants organizational-professional conflict. The Accounting Review, 1-15. Ataina Hudayati. 2011. Pengaruh Aspek-aspek Penganggaran terhadap Konflik Peran, Studi Empiris pada Perguruan Tinggi, Simposium Nasional Akuntansi IV: 561-578. Barley, S.R. and P.S. Tolbert, 1991. Introduction : At the intersection of organizations and occupations, Research in Sociology of Organizations, 1- 13. Chua, W.F. and P. Degeling, 1991, Inporamation Technology and Accounting in the Accomplishment of Public Policy: A cautionary tale. Accounting, Management and Inpormation Technology. 109 – 137. Comerford, Sue E. and Abernethy, M.A. 2005, Budgeting and the Management of Role Conflict in Hospitals, Behavioral Research in Accounting, 94-110. Copur, H. 1990. Academic Professionals: A study of Conflict and satisfaction in professoriate. Human Relations, 113-127. Hall. R.H. 1967. Some organizational considerations in the professionalorganizational relationship. Administrative Science Quarterly: 461478. Hopwood. A., 1984. Accounting and the pursuit of efficiency, In Issues in public Sector Accounting, edited by A Hopwood, and C. Tomkins. Oxford, England : Phillip Allan. Imam Ghozali, 2001. Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Johnson, V., 1991. The urban Public Hospital A Street-Level Bureaucracy: The Employee Perspective, Public Personal Management, 271-284.
2683 ISSN 0853 - 0203
VISI (2016) 24(2) 2668 - 2684 Kalbers, L.P. and Fogarty, T.J. 1995. Professionalism and its Consequences: A Study of Internal Auditors. Auditing: A Journal of Practice & Theory: 6485. Korsgaarrd, M.A., D.M.Schweiger and H.J. Sapienza, 1995. Building commitement, attchment and trust in strategic decision-making teams: The role of procedural justice, Academy of Management Journal, 60-84. Michael, J.R, and Gayle L.R. 1991. Contingency Theory and the Impact of New Accounting Technology in Uncertain Hospital Environment. Accounting, Auditing & Accountability Journal, 55-75. Milani. K.W. 1975. The relationship of participation in budget-setting to industrial supervisor performance and attitude: A field study. The Accounting Review (April 2): 274-284 Miller, G.A., and L.W. Wager. 1971. Adult socialization, organizational structure, and role orientations. Administrative Society Quarterly: 151-163. Puspa, D.F. 1999. Tipe Lingkungan Pengendalian Organisasi, Orientasi Profesional, Konflik Peranan dan Kinerja: Suatu Penelitian Empiris, Tesis Program Pacasarjana, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Preston, A. 1992. The birth of clinical costing, A study of the emergence and transformations of discourses on cost and practices of accounting in U.S. hospital. Accounting, Organizations and Society: 63-100. Raelin, J.A. 1991. The Class of Culture: Mangers Professional, Boston, MA.: Harvard Business School Press. Rizzo, J.R. 1970. Role conflict and ambiguity an complex organization style on jobralated tension: A research note. Accounting Organizations and Society: 629-635. Scott, W.R. 1966. Professionals in Bureaucracies – Areas of Conflict. In Professionalization, edited bay M. Volmer, and D.L. Mill Englewood Cliffs, NJ. Prentice Hall, dalam Comerford and Abernethy, 1999, p. 93110 Stephen S. Robbins, 1996. Organizational Behavior: Consepts, Controversies, Applications, Edisi Indoensia, Jilid I, II. PT. Prenhallindo, Jakarta. Vanderberg, R. and V. Scarpello, 1994. A Longitudinal Assessment of the Determinant Relationship between Employee Commitments to the Occupation and the Organization, Journal of Organization Behavior, Vol 15. 535-547. Wallace, J.E. 1995. Organizational and Professional Commitment in Professional and Nonprofessional Organizations. Administrative Science Quarterly: 228-255.
2684 ISSN 0853 - 0203