Volume 3, Nomor 3, Juni 2016
JURNAL MANAJEMEN DAN BISNIS INDONESIA
VOL. 3
NO. 3
HAL.303-459
JUNI 2016
ISSN 2338-4557
Volume 3, Nomor 3, Juni 2016
Fax: 031 502 6288, E-mail:
[email protected]
Volume 3, Nomor 3, Juni 2016
303-318
ANALISIS PERBEDAAN TINGKAT PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN PADA INDUSTRI HIGH-PROFILE DAN LOW-PROFILE Sisilia Devina Permatasari, Supatmi
319-333
PENGARUH MANAJEMEN PERUBAHAN TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJARAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA PT. KAI (PERSERO) DAOP II BANDUNG Joeliaty, Yayan Firmansyah
334-346
EVALUASI ON-TIME PERFORMANCE PADA MASKAPAI TIGER AIRWAYS RUTE SURABAYA-SINGAPURA DENGAN MENGGUNAKAN DIAGRAM KONTROL, DIAGRAM PARETO, DAN DIAGRAM SEBAB-AKIBAT T. Aria Auliandri, Mutiya Kurniastuti
347-356
PERAN KEMASAN DAN LEGALITAS DALAM PEMASARAN DOMESTIK DAN MANCANEGARA PRODUK KULINER OLEH-OLEH KHAS SOLO Cahyani Tunggal Sari, BRM Suryo Triono
357-369
ANALISIS IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA PT INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA Rudy Hartanto, Helni Mutiarsih Jumhur
370-379
STUDI ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM E-INNOVATION DENGAN MENGGUNAKAN VOTING DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENAMPUNG IDE INOVASI DI DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN KOTA SURABAYA Adhika Dwi Pramudita, Rinabi Tanamal
380-397
THE INFLUENCE OF FIRMS WITH EXCESS FREE CASH FLOW AND LOW GROWTH PERSPECTIVE TOWARDS EARNING MANAGEMENT Marika Suma Raya Sembiring, Kathleen Kusuma Nugroho
398-426
KOMITMEN ORGANISASIONAL DAN ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) SEBAGAI PEMEDIASI PADA PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KINERJA PEGAWAI Prima Kartika Sari, Euis Soliha
427-437
STRATEGI PENANGANAN PEMBIAYAAN BERMASALAH KPR PADA PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) TBK KANTOR CABANG SYARIAH MALANG Fani Firmansyah, Refila Aulina
438-459
ANALISA PENGARUH CAR, BOPO, NPL, NIM TERHADAP PROFITABILITAS BANK Apriangga Rachmandinur, Purwanto
Fax: 031 502 6288 E-mail:
[email protected]
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
ANALISIS PERBEDAAN TINGKAT PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN PADA INDUSTRI HIGH-PROFILE DAN LOW-PROFILE Sisilia Devina Permatasari Supatmi Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga
[email protected] Abstract This study aims to prove the difference in the level of disclosure of Corporate Social Responsibility (CSR) and financial performance among the industry's high-profile and lowprofile. This study also proved that if there is a relationship between the level of CSR and financial performance. Financial performance is measured using the Return On Equity (ROE) and Tobin's Q. The samples are 346 companies listed in Indonesia Stock Exchange (IDX) in 2012, where the industry as much as 167 high-profile and low-profile companies as much as 179 companies. The sampling method used is purposive sampling. The analyze used to test Mann-Whitney test first, while the second test using Spearman correlation test. The results of this study indicate that there are differences in the level of disclosure of CSR and financial performance as measured by Tobin's Q between industrial high-profile and lowprofile, but did not differ when performance is measured by ROE. In addition, this study proves that there is a positive relationship between the level of CSR and financial performance as measured by ROE, but there is no relationship between the level of CSR and financial performance as measured by Tobin's Q. Keywords : Corporate Social Responsibility Disclosure, ROE, Tobin’s Q, high-profile and low-profile industries. Pendahuluan Kinerja keuangan merupakan salah satu faktor yang menjadi perhatian investor dalam membeli saham di pasar modal. Laporan keuangan yang dipublikasikan merupakan cerminan kinerja keuangan perusahaan. Selain itu, kinerja keuangan juga berarti sebagai penentu dalam mengukur keberhasilan suatu perusahaan dalam mencapai tujuan organisasi yaitu laba (Stoner et al. 1995:9). Selain laba (profit), ada hal yang sama pentingnya yaitu keberlangsungan atau sustainability (Sembiring 2005). Keberlangsungan yang dilakukan perusahaan tidak dapat dipisahkan dari lingkungan eksternalnya, sehingga memunculkan konsep memunculkan konsep Corporate Social Responsibility (CSR) di mana komitmen perusahaan untuk memperhatikan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan (triple bottom line). Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan klaim agar perusahaan tak hanya beroperasi untuk kepentingan para pemegang saham (shareholders), tetapi juga untuk pihak stakeholders dalam praktik bisnis, yaitu para pekerja, komunitas lokal, pemerintah, LSM, konsumen, dan lingkungan (Dahlia dan Siregar 2008). Perusahaan tidak hanya mementingkan kesejahteraan shareholders, tetapi juga kepada stakeholders. Perusahaan yang menerapkan aktivitas CSR akan memperhatikan dampak dari kegiatan operasional perusahaan terhadap kondisi masyarakat, karyawan dan lingkungan. Dengan adanya konsep ini, maka pemerintah mengharapkan kerusakan lingkungan dapat diminimalkan. Penerapan CSR awalnya bersifat sukarela, akan tetapi dalam beberapa tahun ini telah dikeluarkan aturan bahwa perusahaan wajib melaksanakan CSR yang tertuang dalam 303
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
PP No. 47 Tahun 2012 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan pada Perseroan Terbatas. Kesadaran stakeholders meningkat terkait pentingnya informasi penerapan CSR demi keberlangsungan perusahaan sehingga mendorong perusahaan untuk mengungkapkan penerapan CSR di dalam laporan tahunan. Tingkat pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan ditemukan masih berbeda-beda. Hackston dan Milne (1996), Utomo (2000), dan Yap dan Widyaningdyah (2009) membuktikan bahwa peruhsaan pada industri high-profile akan memberikan informasi sosial lebih banyak dibandingkan perusahan low-profile. Menurut Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008), industri high-profile memiliki tingkat sensitivitas tinggi terhadap lingkungan sehingga mereka memiliki tekanan besar dari pihak luar untuk melakukan CSR sebagai bentuk dari pertanggungjawaban sosial perusahaan atas aktivitasnya yang berdampak buruk pada lingkungan. Sedangkan industri low-profile memiliki tingkat sensitivitas rendah terhadap lingkungan sehingga tekanan untuk melakukan CSR pun rendah. Adanya perbedaan karakteristik antara industri high-profile dan low-profile memiliki dampak yang berbeda dalam tingkat pengungkapan CSR. Tingkat pengungkapan CSR yang berbeda pada industri high-profile dan low-profile memiliki dugaan bahwa kinerja keuangan perusahaan juga mengalami perbedaan. Ada beberapa peneliti yang telah menyelidiki pengaruh tingkat pengungkapan CSR terhadap kinerja perusahaan. Penelitian Dahlia dan Siregar (2008) dan Syahnaz (2012) menemukan tingkat pengungkapan CSR berpengaruh terhadap kinerja keuangan yang diproksikan dengan Return On Assets (ROA) dan Return On Equity (ROE), tetapi tidak berpengaruh terhadap CAR. Namun penelitian Cahyono dan Nur (2010), dan Yaparto dan Frisko (2013) membuktikan bahwa tingkat pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan yang diproksikan dengan ROE, ROA, Earning Per Share (EPS), dan Return Realisasi. Sedangkan penelitian Nurhayati dan Medyawati (2012) serta Muhammady dan Akbar (2012) membuktikan bahwa tingkat pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q. Namun penelitian Gunawan dan Utami (2008), Kusumadilaga (2010), dan Bidhari (2013) membuktikan bahwa tingkat pengungkapan CSR berpengaruh terhadap nilai perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang tidak konsisten sehingga penelitian ini ingin meneliti lebih lanjut untuk melihat adanya perbedaan tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan pada industri high-profile dan low-profile. Penelitian ini mereplikasi penelitian yang dilakukan Utomo (2000), dengan perbedaan penelitian ini akan membahas lebih lanjut perbedaan tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan antara industri highprofile dan low-profile di Indonesia pada tahun 2012, serta menguji hubungan antara tingkat pengungkapan CSR dengan kinerja keuangan. Kinerja keuangan diukur menggunakan ROE dan Tobin’s Q sehingga dapat menunjukkan ukuran profitabilitas dari sudut pandang pemegang saham dan nilai perusahaan. Penelitian ini bermanfaat dalam pemberian informasi mengenai pentingnya tingkat pengungkapan CSR dan sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan perusahaan di masa datang. Selain itu, penelitian ini memberikan informasi yang berguna bagi investor sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Tinjauan Literatur dan Perumusan Hipotesis Pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) Menurut Clarkson (1995) dalam buku karangan Lawrence dan James (2011: 7), teori stakeholder adalah sekelompok orang atau individu yang diidentifikasi dapat mempengaruhi 304
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
atau dipengaruhi oleh kegiatan perusahaan. Perusahaan harus mampu menjaga hubungan baik dengan cara memenuhi kebutuhan dan keinginan stakeholder-nya (Lawrence dan James 2011: 7)). Salah satu cara untuk menjaga hubungan baik dengan stakeholder adalah dengan menerapkan CSR dan mengungkapkannya dalam laporan tahunan. Menurut ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility (draft 3 2007), CSR adalah tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusankeputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh. Aktivitas CSR yang dilakukan perusahaan butuh untuk diungkapkan. Pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan yang sering juga disebut sebagai social disclosure, corporate social reporting, social accounting merupakan proses pengkomunikasian dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan ekonomi organisasi terhadap kelompok khusus yang berkepentingan dan terhadap masyarakat secara keseluruhan. Hal tersebut memperluas tanggung jawab organisasi (khususnya perusahaan), di luar peran tradisionalnya untuk menyediakan laporan keuangan kepada pemilik modal, khususnya pemegang saham. Perluasan tersebut dibuat dengan asumsi bahwa perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih luas dibanding hanya mencari laba untuk pemegang saham (Gray et al. 1995). Pengungkapan Corporate Social Responsibility terdiri dari beberapa komponen menurut Global Reporting Initiatives (GRI) tahun 2006. GRI merupakan standar yang pelaporan yang berstandar Internasional yang secara umum diterima dan diakui secara luas (William 2012). Komponen dan indikator untuk melihat pengungkapan Corporate Social Responsibility menurut GRI tahun 2006 dapat dibaca di lampiran. Tipe Industri High-Profile dan Low-Profile ISO 26000 menyediakan standar pedoman mengenai tanggung jawab sosial semua institusi. Pedoman tersebut ditujukan pada perusahaan yang memiliki tipe high-profile dan low-profile. Menurut Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008), tipe high-profile memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan, resiko politis dan tingkat persaingan yang tinggi. Industri ini merupakan perusahaan yang memperoleh sorotan masyarakat karena aktivitas operasinya memilki potensi untuk bersinggungan dengan kepentingan masyarakat luas. Ciri-cirinya adalah perusahaan yang memiliki tenaga kerja yang besar, proses produksinya mengeluarkan residu seperti limbah cair atau polusi dan bila perusahaan mengalami kelalaian dalam pengamanan produksi dan hasil produksi akan membawa akibat fatal bagi masyarakat dan lingkungan. Industri yang termasuk tipe highprofile antara lain perusahaan perminyakan dan pertambangan lain, kimia, hutan, kertas, otomotif, penerbangan, agrobisnis, tembakau dan rokok, produk makanan dan minuman, media dan komunikasi, energi (listrik), engineering, kesehatan serta transportasi dan pariwisata. Di sisi lain, Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008) menyatakan bahwa tipe low-profile memiliki tingkat sensitivitas yang rendah terhadap lingkungan, resiko politis dan tingkat persaingan yang rendah. Industri ini merupakan perusahaan yang tidak terlalu mendapat sorotan luas dari masyarakat, saat operasi yang mereka lakukan mengalami kegagalan atau kesalahan pada aspek tertentu dalam proses atau hasil produksinya. Ciricirinya adalah perusahaan yang memiliki tenaga kerja yang lebih kecil, tidak memiliki sisa residu (seperti limbah) dan biasanya mendapat toleransi dari masyarakat dari kegagalan dalam produksi/ aktivitas kerja mereka. Industri tipe low-profile meliputi bangunan, 305
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
keuangan dan perbankan, supplier peralatan medis, properti, retailer, tekstil dan produk tekstil, produk personal, dan produk rumah tangga. Perumusan Hipotesis Tingkat Pengungkapan CSR pada Industri High-Profile dan Low-Profile Kepentingan stakeholder adalah hal yang diutamakan bagi perusahaan demi kelangsungan hidupnya. Perusahaan tidak hanya berfokus untuk memenuhi kepentingan pemegang saham, tetapi juga kepentingan stakeholder. Hal tersebut sesuai dengan teori stakeholder yaitu keberlangsungan perusahaan ditentukan oleh stakeholders, bukan shareholders (Gray et al. 1995). Pengungkapan CSR merupakan salah satu cara untuk menjaga hubungan baik antara perusahaan dan stakeholder-nya agar perusahaan tetap bertahan. Tiap perusahaan memiliki tingkat pengungkapan CSR yang berbeda. Umumnya, perusahaan mengungkapkan aktivitas CSR karena ada tekanan dari lingkungan sekitar akibat aktivitas operasi yang dilakukan. Industri high-profile menurut Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008), memiliki tekanan yang besar dari lingkungannya sehingga akan mengungkapkan CSR lebih banyak dibandingkan industri low-profile yang memiliki tekanan yang lebih kecil. Di samping itu, resiko politis pada industri high-profile lebih tinggi daripada low-profile. Menurut UU No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, industri high-profile berada di bawah pengawasan pemerintah yang cukup ketat, sedangkan lowprofile relatif rendah pengawasannya kecuali sektor perbankan. Muncul dugaan bahwa industri high-profile yang berada di bawah pengawasan pemerintah yang ketat akan mengungkapkan CSR lebih banyak daripada industri low-profile. Berdasarkan perbedaan karakterikstik tersebut menyebabkan tingkat pengungkapan CSR dalam laporan tahunan pada industri high-profile lebih banyak daripada industri low-profile. Di sisi lain, pengungkapan CSR juga berkaitan dengan biaya pengungkapan. Ada kemungkinan industri low-profile lebih banyak mengungkapkan CSR dibandingkan highprofile ketika industri high-profile dikaitkan dengan biaya pengungkapan yang besar. Industri high-profile yang memiliki tingkat kompetisi yang tinggi antar perusahaan dihadapkan dengan biaya pengungkapan CSR yang besar, dimana untuk memenangkan kompetisi dibutuhkan biaya yang besar. Biaya operasional yang besar mengakibatkan industri ini tidak mampu untuk mengungkapkan CSR sehingga lebih banyak tingkat pengungkapan CSR pada industri low-profile dibandingkan high-profile. Penelitian Utomo (2000), Yap dan Widyaningdyah (2009), menemukan tingkat pengungkapan CSR pada perusahaan highprofile lebih tinggi daripada low-profile. Sehingga dapat diajukan hipotesis : H1 : Ada perbedaan tingkat pengungkapan CSR pada industri high- profile dan low-profile Kinerja Keuangan pada Industri High-Profile dan Low-Profile Kinerja keuangan merupakan salah satu tolak ukur untuk mengukur keberhasilan suatu perusahaan. Tiap perusahaan memiliki kinerja keuangan yang berbeda. Begitu pula dengan perusahaan yang termasuk dalam industri high-profile dan low-profile yang diduga memiliki kinerja yang berbeda. Menurut Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008), karakteristik industri high-profile memiliki tingkat kompetisi yang tinggi daripada low-profile dimana mereka berlomba-lomba dan berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan penjualan dan laba perusahaan. Ketika industri high-profile mendapat tekanan yang besar, perusahaan akan berusaha untuk meningkatkan penjualan sehingga laba yang dihasilkan lebih tinggi dan pada akhirnya ROE meningkat. Namun, akibat tekanan besar yang dihadapi industri high306
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
profile, maka akan menyebabkan beban yang tinggi pula sehingga laba yang dihasilkan tidak lebih tinggi, bahkan menjadi lebih rendah (Kieso et al. 2011: 148). Selain itu, ketika industri high-profile memiliki tekanan yang besar dan tingkat kompetisi yang tinggi, dapat dimungkinkan akan memiliki respon pasar yang berbeda dimana dengan tekanan yang besar, maka respon pasar dapat tercermin dalam perubahan harga saham sehingga dapat mempengaruhi nilai Tobin’s Q. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Susenohaji (2011) membuktikan bahwa terdapat perbedaaan kinerja keuangan yang diukur dengan ROE pada sektor agrobisnis, dan properti, sedangkan pada sektor pertambangan, industri kimia, industri makanan dan minuman, jasa dan perdagangan dan industri tekstil tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Sehingga hipotesisi yang dapat diajukan : H2 : Ada perbedaan kinerja keuangan pada industri high-profile dan low-profile Hubungan antara Tingkat Pengungkapan CSR dan Kinerja Keuangan pada Industri High-Profile dan Low-Profile Muncul dugaan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan. Argumen tersebut diperkuat dengan pernyataan bahwa perusahaan menggunakan sustainability reporting framework untuk mengkomunikasikan kinerja manajemen kepada para stakeholder dalam mencapai keuntungan jangka panjang (Finch (2005) dalam Dahlia dan Siregar (2008)). Perusahaan mengungkapkan CSR merupakan bentuk pertanggungjawaban perusahaan, dimana perusahaan tidak hanya berfokus pada aspek bisnis, tetapi juga pada aspek sosial. Diharapkan dengan banyak mengungkapkan CSR, masyarakat mengetahui bahwa perusahaan sadar tentang kepentingan sosial. Ditambah lagi, setelah masyarakat mengetahui bahwa perusahaan peduli terhadap lingkungan dan aspek sosial, maka dimungkinkan perusahaan juga peduli terhadap produknya. Dapat dikatakan bahwa semakin tinggi pengungkapan CSR akan memiliki relevansi semakin bagus pula kualitas produknya. Dengan produk berkualitas, maka masyarakat akan setia dengan produk perusahaan, dimana dalam jangka panjang akan meningkatkan pendapatan dan kinerja keuangan perusahaan pun akan meningkat. Selain itu, dengan adanya pengungkapan CSR dapat meningkatkan reputasi perusahaan sehingga dapat memperbaiki hubungan dengan pihak bank, investor, pemerintahan, dan masyarakat (McGuire (1998) dalam Dahlia dan Siregar (2008)). Perbaikan hubungan yang terjadi tercermin pada peningkatan keuntungan perusahaan dan harga saham. Kenaikan harga saham merupakan indikasi meningkatnya nilai perusahaan. Semakin tinggi pengungkapan CSR, hal itu berarti perusahaan sadar akan tujuan jangka panjang, sehingga menunjukkan kemampuan going concern perusahaan di masa datang. Di sisi lain, kinerja keuangan yang baik sangat dibutuhkan oleh perusahaan untuk membiayai kegiatan dan pengungkapan CSR. Semakin baik kinerja keuangan perusahaan, maka semakin mampu perusahaan dalam membiayai pengungkapan CSR. Berbagai penelitian yang menyelidiki hubungan tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan dapat diringkas sebagai berikut:
307
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Tabel 1. Review Penelitian Terdahulu Hasil Tingkat pengungkapan CSR berpengaruh positif dan signifikan terhadap ROE, namun tidak berpengaruh terhadap CAR dengan menggunakan leverage, size, growth dan unexpected return sebagai variabel control pada perusahaan di BEI tahun 2005 dan 2006. Syahnaz (2012) Tingkat pengungkapan CSR berpengaruh terhadap ROA dan ROE, tetapi tidak berpengaruh terhadap CAR pada Perusahaan Perbankan pada tahun 2009-2011. Cahyono dan Nur (2010) Tingkat pengungkapan CSR tidak berpengaruh terhadap ROE dan CAR dengan kepemilikan asing sebagai variabel moderating pada perusahaan manufaktur di BEI tahun 20062008. Yaparto dan Frisko (2013) Tingkat pengungkapan CSR tidak memiliki pengaruh terhadap ROA, ROE, dan EPS pada sektor manufaktur di BEI tahun 2010-2011. Muhammady dan Akbar Tingkat pengungkapan CSR tidak berpengaruh signifikan (2012) terhadap Tobin’s Q pada perusahaan manufaktur di BEI tahun 2008-2010. Nurhayati dan Medyawati Tingkat pengungkapan CSR secara parsial tidak berpengaruh (2012) dengan nilai perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q pada perusahaan yang terdaftar dalam LQ45 tahun 2009-2011. Gunawan dan Utami (2008) Tingkat pengungkapan CSR berpengaruh terhadap nilai perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q dengan presentase pengelolaan kepemilikan dan jenis industri sebagai variabel moderator pada perusahaan yang terdaftar di BEI pada tahun 2005-2006. Kusumadilaga (2010) Tingkat pengungkapan CSR berpengaruh terhadap nilai perusahaan yang diukur menggunakan Tobin’s Q dengan profitabilitas sebagai variabel moderating pada perusahaan manufaktur di BEI tahun 2006 dan 2008. Bidhari (2013) Tingkat pengungkapan CSR berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan yang diproksikan dengan Tobin’s Q pada perusahaan perbankan di Indonesia tahun 2008-2010 Sumber : Dari berbagai jurnal. Penelitian Dahlia dan Siregar (2008)
Berdasarkan penjelasan di atas, terdapat hasil penelitian tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan yang tidak konsisten. Maka peneliti ingin membuktikan kembali dengan hipotesis sebagai berikut: H3 : Tingkat pengungkapan CSR memiliki hubungan dengan kinerja keuangan pada industri high-profile dan low-profile. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan populasi perusahaan high-profile dan low -profile yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2012. Pengambilan sampel ditentukan secara purposive sampling. Tabel 2 menunjukkan penentuan sampel penelitian: 308
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Tabel 2. Kriteria Penentuan Sampel No 1. 2.
Kriteria Penentuan Sampel
Perusahaan yang terdaftar di BEI tahun 2012 Perusahaan yang tidak mempublikasikan Laporan Tahunan tahun 2012 di BEI 3. Perusahaan yang tidak mempublikasikan CSR dalam Laporan Tahunan pada tahun 2012 4. Perusahaan yang memiliki data tidak lengkap pada tahun 2012 Total sampel yang digunakan Sumber : Data diolah, 2014
Jumlah Jumlah High-Profile Low-Profile 260 212 (30) (12)
Total 472 (42)
(6)
(7)
(13)
(57)
(14)
(71)
167
179
346
Kriteria perusahaan yang tidak mempublikasikan CSR yaitu ketika di dalam Laporan Tahunan tidak terdapat sama sekali item-item dari kriteria pengungkapan CSR menurut GRI. Selanjutnya, perusahaan yang tidak memiliki data lengkap meliputi perusahaan yang menggunakan satuan dollar dan tidak terdapatnya harga saham dalam Yahoo Finance. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder berupa laporan tahunan dari industri high-profile dan low-profile di Bursa Efek Indonesia tahun 2012. Data tersebut berasal dari situs resmi di http://www.idx.co.id dan ICMD (Indonesian Capital Market Directory) serta bahan pendukung lainnya seperti data dari penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Selain itu juga menggunakan metode dokumentasi atau kutipan dari berbagai sumber. Teknik analisis yang digunakan untuk pengujian hipotesis menggunakan Uji MannWhitney dan Spearmen Correlation. Sedangkan untuk variabel-variabel dalam penelitian ini adalah tingkat pengungkapan CSR perusahaan dan kinerja keuangan. CSR Disclosure diukur menggunakan indikator dari Global Reporting Initiative (GRI) dengan jumlah 79 item pengungkapan yang terdiri dari tiga kategori yaitu Economics Performance Indicators, Environmental Performance Indicators, dan Social Performance Indicators (lihat lampiran). Pendekatan untuk menghitung jumlah item yang diungkapkan oleh perusahaan menggunakan dikotomi (Dummy) yaitu setiap item yang mengungkapkan CSR diberi nilai 1 dan item yang tidak diungkapkan diberi nilai 0 (Sayekti dan Wondabio 2007). Sedangkan tingkat pengungkapan diukur dengan jumlah pengungkapan yang dilakukan dibagi dengan total pengungkapan maksimal (79 item). Kinerja keuangan diukur menggunakan Return On Equity (ROE) dan Tobin’s Q. Menurut Widayanti et al. (2006), ROE merupakan kemampuan dari modal sendiri untuk menghasilkan keuntungan bagi seluruh pemegang saham dengan membagi laba setelah pajak dengan total ekuitas. Sedangkan Tobin’s Q menurut Smithers dan Wright (2000:37) dalam Gunawan dan Utami (2008), dihitung dengan rumus sebagai berikut : Q = EMV + D EBV + D Keterangan : Q = Nilai Perusahaan EMV = Nilai pasar ekuitas (harga saham akhir tahun x jumlah saham beredar) EBV = Nilai buku dari total ekuitas D (Debt) = Nilai buku dari total hutang 309
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Analisis Data dan Pembahasan Hasil Statistik Deskriptif Berdasarkan tabel 3, nilai rata-rata tingkat pengungkapan CSR pada semua perusahaan di BEI pada tahun 2012 sebesar 0,41. Hasil ini lebih besar dibandingkan oleh penelitian Sayekti dan Wondabio (2007) yang mengambil sampel seluruh perusahaan di BEI yaitu sebesar 0,2. Tabel 3. Statistik Deskriptif Variabel Penelitian N Mean Max Min St Dev CSR 346 0,41 0,82 0,09 0,14 167 0,45 0,82 0,09 0,15 • High-Profile 179 0,36 0,75 0,11 0,12 • Low-Profile ROE 346 0,1 2,07 -3,97 0,34 167 0,08 1,66 -3,97 0,42 • High-Profile 0,12 2,07 -1,18 0,25 179 • Low-Profile TOBIN’S Q 346 1,78 52,70 0,11 3,15 167 2,17 52,70 0,25 4,28 • High-Profile 1,42 14,10 0,11 1,37 179 • Low-Profile Sumber : Data diolah, 2014 Hal ini membuktikan bahwa semakin banyak perusahaan mengungkapkan aktivitas CSR yang dilakukannya. Selain itu, perusahaan juga semakin menyadari bahwa investor mulai menaruh perhatian pada aktivitas CSR yang dilakukan sehingga perusahaan mengungkapkan aktivitas tersebut dalam laporan tahunan demi memenuhi kebutuhan informasi bagi investor. Tabel tersebut juga menunjukkan rata-rata tingkat pengungkapan CSR pada industri high-profile lebih tinggi daripada industri low-profile yaitu 0,45 dan 0,36. Dari sisi kinerja keuangan, dihasilkan bahwa nilai rata-rata ROE pada industri low-profile lebih tinggi dibandingkan industri high-profile, sedangkan nilai rata-rata Tobin’s Q industri high-profile lebih tinggi dari industri low-profile. Pengujian Hipotesis Tingkat Pengungkapan CSR pada Industri High-Profile dan Low-Profile Berdasarkan tabel 4, hasil penelitian ini membuktikan bahwa hipotesis pertama diterima yaitu terdapat perbedaan tingkat pengungkapan CSR yang signifikan pada industri high-profile dan low-profile tahun 2012. Tabel 4. Hasil Analisis Uji Beda Tingkat Pengungkapan CSR Test Statisticsa Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: KODING_CSR Sumber : Diolah dari SPSS, 2014
CSR 9.686E3 2.580E4 -5.661 .000
310
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Hal ini juga sejalan dengan temuan dalam statistik deskriptif rata-rata tingkat pengungkapan CSR dalam industri high-profile lebih tinggi daripada low-profile. Perbedaan tingkat pengungkapan CSR antar kedua kelompok industri tersebut terjadi sejalan dengan pendapat Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008), terkait dengan karakteristik dari kedua industri tersebut yang berbeda. Industri high-profile memiliki tekanan yang lebih besar untuk mengungkapkan CSR akibat aktivitas bisnisnya memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan. Selain itu, industri high-profile mendapat sorotan lebih luas daripada industri low-profile karena aktivitasnya lebih bersinggungan dengan kepentingan masyarakat. Ditambah lagi, pada industri high-profile apabila perusahaan mengalami kelalaian dalam pengamanan produksi dan hasil produksi akan membawa akibat fatal bagi masyarakat dan lingkungan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Utomo (2000) dan Yap dan Widyaningdyah (2009) yang membuktikan bahwa tingkat pengungkapan CSR pada industri high-profile lebih tinggi daripada industri low-profile. Kinerja Keuangan pada Industri High-Profile dan Low-Profile Berdasarkan tabel 5, hasil pengujian ini menemukan bahwa ada perbedaan kinerja keuangan yang diukur dengan Tobin’s Q antara industri high profile dan low profile, namun tidak ada perbedaan jika kinerja keuangan diukur dengan ROE. Tabel 5. Hasil Analisis Uji Beda Kinerja Keuangan Test Statisticsa TOBIN ROE Mann-Whitney U 1.166E4 1.489E4 Wilcoxon W 2.778E4 2.892E4 Z -3.530 -.059 Asymp. Sig. (2-tailed) .000 .953 a. Grouping Variable: KODING_ROE Sumber: Diolah dari SPSS, 2014 Hal tersebut berarti bahwa dari sudut pandang pasar, dalam hal ini investor, industri high profile dengan tingkat pengungkapan CSR-nya yang tinggi dianggap juga memiliki keberlangsungan hidup yang lebih baik daripada industri low profile. Meski risiko politis yang dihadapai industri high profile tinggi, namun industri ini ditopang oleh pihak pemerintah sehingga dapat dikatakan memiliki kemampuan going concern yang baik, mengingat industri ini banyak terkait dengan pengeloaan sumber daya alam. Namun dari sudut pandang kinerja profitabilitas jangka pendek, yaitu ROE, antara industri high profile dan low profile tidak terdapat perbedaan. Hal tersebut diduga disebabkan tingginya tingkat penjualan diiringi oleh tingginya beban yang dihasilkan untuk industri highprofile. Menurut Robert (1992) dalam Gunawan dan Utami (2008), industri high-profile memiliki tingkat kompetisi yang tinggi sehingga perusahaan berusaha meningkatkan penjualan dengan meningkatkan biaya iklan, pada akhirnya laba belum tentu meningkat. Di sisi lain, ada banyak faktor yang mempengaruhi komponen laba. Pembagian perusahaan menjadi dua kelompok industri yaitu high-profile dan low-profile merupakan pembagian berdasarkan kegiatan operasi perusahaan (Robert dalam Gunawan dan Utami (2008)). Laba yang bagus tidak hanya selalu dilihat dari tingkat persaingan, tetapi juga dapat terjadi karena kinerja perusahaan itu memang bagus disamping laba tersebut dapat di-manage. Apabila industri low-profile memiliki laba tinggi dan kinerja yang bagus, maka tingkat ROE pada industri ini tetap lebih bagus daripada industri high-profile. Hasil statistik penelitian ini pun menyatakan bahwa kinerja keuangan industri low-profile lebih tinggi daripada high-profile. 311
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Komponen laba bersih termasuk laba operasi dan laba diluar usaha (Kieso et al. 2011: 148), sehingga kemungkinan laba di luar operasi pada industri low-profile lebih tinggi dari laba usaha sehingga dapat menghasilkan laba yang tinggi. Sebagai contoh adalah sektor perbankan yang memiliki berbagai produk yang ditawarkan di luar kegiatan operasi utamanya, misalkan asuransi. Kemungkinan pendapatan asuransi lebih tinggi daripada pendapatan utama perbankan. Hasil penelitian ini sejalan oleh hasil penelitian Susenohaji (2011), dimana secara garis besar kinerja keuangan yang diukur dengan ROE tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara industri high-profile dan low-profile. Hubungan Tingkat Pengungkapan CSR dan Kinerja Keuangan Berdasarkan tabel 6 ditemukan bahwa tingkat pengungkapan CSR berhubungan positif dengan kinerja keuangan yang dilihat dari ROE, namun tidak berhubungan dengan Tobins’Q. Tabel 6. Hasil Analisis Uji Korelasi Tingkat Pengungkapan CSR dan Kinerja Keuangan Spearman’s rho CSR ROE TOBIN RO RO TOBI CSR CSR RO E E TOBI N CSR HIG LOW E HIG LO N HIG H H W H Correlation 1.00 1.00 .121 CSR 1.000 .135 .121 .070 .022 * Coefficient 0 0 Sig. (2. . .024 .083 .107 .192 .777 . tailed) N 346 167 179 346 167 179 346 167 .121 1.00 1.00 1.00 ROE Correlation .135 .121 .222** .298** * Coefficient 0 0 0 Sig. (2.107 . . . .000 .000 .024 .083 tailed) N 346 167 179 346 167 179 346 167 .222 .298 TOBI Correlation -.019 .146 1.000 1.000 .070 .022 ** ** Coefficient N Sig. (2.192 .777 .800 .000 .000 .051 . . tailed) N 346 167 179 346 167 179 346 167 Sumber : Diolah dari SPSS, 2014
TOBI N LOW -.019 .800 179 .146 .051 179 1.000 . 179
Semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR, menunjukkan bahwa perusahaan sadar akan kepentingan sosial dan kualitas produknya, sehingga dapat dikatakan perusahaan dengan tingkat pengungkapan CSR yang tinggi, produknya semakin berkualitas. Masyarakat akan dengan setia membeli produk yang berkualitas, sehingga akan meningkatkan penjualan dan laba perusahaan dalam jangka panjang. Selain itu, perusahaan yang memiliki kinerja keuangan yang baik, akan mampu untuk mengungkapkan CSR sehingga semakin tinggi tingkat pengungkapan CSR-nya. Namun, ketika dikaitkan dengan pengelompokan industri, ditemukan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pengungkapan CSR dengan kinerja keuangan yang diukur dengan ROE maupun Tobin’s Q baik pada industri high-profile dan low-profile. Hal ini berarti bahwa 312
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
tingkat pengungkapan CSR tidak berhubungan dengan tinggi rendahnya ROE dan Tobin’s Q. Diduga kinerja ROE dan Tobin’s Q dipengaruhi oleh variabel lain, dimana tingkat pengungkapan CSR dikatakan manfaat yang diperoleh masih belum jelas dan pengungkapan CSR sendiri masih bersifat sukarela sehingga kinerja keuangan yang diukur dengan ROE dan reaksi pasar yang tercermin pada harga saham yang diukur dengan Tobin’s Q tidak memperoleh dampaknya. Harga saham relatif tetap menunjukkan bahwa nilai perusahaan tidak berkembang. Perbedaan Tobin’s Q dalam perusahaan belum tentu disebabkan oleh CSR karena ternyata tingkat pengungkapan CSR dan Tobin’s Q tidak berhubungan. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dahlia dan Siregar (2008) dan Syahnaz (2012) yang membuktikan bahwa tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan yang diukur dengan ROE memiliki hubungan yang signifikan. Selain itu, penelitian ini juga diperkuat oleh penelitian Muhammady dan Akbar (2012) dan Nurhayati dan Medyawati (2012) yang membuktikan bahwa tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan yang diukur dengan Tobin’s Q tidak memiliki hubungan yang signifikan. Penutup Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan yang diukur dengan Tobin’s Q antara industri high-profile dan low-profile, tetapi tidak terdapat perbedaan kinerja keuangan yang diukur dengan ROE. Penelitian ini juga membuktikan terdapat hubungan positif antara tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan yang diukur dengan ROE, tetapi tidak terdapat hubungan antara tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan yang diukur dengan Tobin’s Q. Antara industri high-profile dan low-profile, ditemukan juga tidak terdapat hubungan antara tingkat pengungkapan CSR dan kinerja keuangan, baik diukur dengan ROE dan Tobin’s Q. Hasil penelitian ini dapat memberi gambaran bagi perusahaan bahwa tingkat pengungkapan CSR merupakan salah satu pertimbangan penting bagi investor dalam membuat keputusan investasi. Oleh karena itu, semakin banyak perusahaan mengungkapkan CSR, maka semakin baik perusahaan di mata investor. Informasi tingkat pengungkapan CSR dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan di bidang sosial di masa depan sehingga dapat membawa keuntungan baik bagi perusahaan, masyarakat, dan lingkungan. Investor akan lebih diuntungkan bila berinvestasi pada industri high-profile karena industri ini lebih direspon pasar dan memiliki tekanan yang besar untuk melaksanakan dan mengungkapkan CSR sehingga dampak dari tingkat pengungkapan CSR secara berkelanjutan akan memberi manfaat jangka panjang bagi perusahaan. Manfaat tersebut dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan di masa depan sehingga dapat dikatakan perusahaan memiliki going concern yang baik. Keterbatasan Penelitian dan Saran Penelitian Mendatang Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yang dihadapi yaitu ada unsur subjektifitas dalam penilaian tingkat pengungkapan CSR, serta sedikit subjektifitas pada pengelompokan beberapa kelompok di ICMD yaitu untuk sektor Holding and Other Investment dan Others. Selain itu, penelitian ini tidak menunjukkan dampak berkelanjutan dari tingkat pengungkapan CSR karena hanya dilihat dalam jangka waktu penelitian setahun. Dengan adanya keterbatasan dalam penelitian ini, maka ada beberapa saran untuk penelitian mendatang. Pertama, menambah periode penelitian sehingga dampak dari tingkat 313
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
pengungkapan CSR secara berkelanjutan dapat lebih terlihat misalnya dalam rentang 3 tahun. Kedua, mempertimbangkan penyempurnaan daftar penilaian tingkat pengungkapan CSR sehingga alat tersebut dapat menghasilkan informasi yang sesuai kondisi saat ini dan lebih teliti. Ketiga, penggunaan informasi lain selain dari laporan tahunan sebagai dasar menilai tingkat pengungkapan CSR perusahaan. Contohnya yaitu sustainability reporting (Laporan Keberlanjutan) dan survei dari badan organisasi tertentu mengenai aktivitas CSR. Daftar Pustaka Bidhari, S, C. 2013. Effect of Corporate Social Responsibility Information Disclosure on Financial Performance and Firm Value in Banking Industry Listed at Indonesia Stock Exchange. Faculty of Economics and Business Brawijaya University. http://www.iiste.org/Journals/index.php/EJBM/article/viewFile/6642/6786 (diakses 11 Januari 2014, 6:15 PM) Cahyono, Budi dan Etna Nur. 2010. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Kinerja Perusahaan dengan Kepemilikan Asing Sebagai Variabel Moderating. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. http://eprints.undip.ac.id/26643/1/SKRIPSI(r).pdf (diakses 11 Januari 2014, 8:13 PM) Dahlia, Lely dan Sylvia Veronica Siregar. 2008. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Kinerja Perusahaan. Jurnal disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi XI, Pontianak. Gray R, Kouhy and Lavers . 1995. Corporate social and environmental reporting: A review of the literature and a longitudinal study of UK disclosure. Accounting, Auditing & Accountability Journal 8 (2): 78-101. http://www.emeraldinsight.com/journals.htm?articleid=869644 (diakses 13 Januari 2014, 6:30 PM) Gunawan, Barbara dan Suharti Sri Utami. 2008. Peranan Corporate Social Responsibility dalam Nilai Perusahaan. Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/843/07Barbara%20_174-185_.pdf?sequence=1 (diakses 13 Januari 2014, 7:35 PM). Hackston, David and Markus J. Milne. 1996. Some Determinants of Social and Environmental Disclosure in New Zealand Companies. Accounting, Auditing and Accountability Journal. Vol. 9, No. 1, p. 77-108. http://www.emeraldinsight.com/journals.htm?articleid=1509110 (diakses 13 Januari 2014, 8:10 PM). Kieso, Donald E, Jerry J. Weygandt, and Terry D. Warfield. 2011. Intermediate Accounting Vol 1 IFRS Edition. United States of America: Graphics. Kusumadilaga, Rimba. 2010. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan dengan Profitabilitas sebagai Variabel Moderating. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro Semarang. http://eprints.undip.ac.id/22572/1/SKRIPSI_Rimba_Kusumadilaga.PDF (diakses 14 Januari 2014, 7:30 PM). 314
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Lawrence, Anne T. dan James Weber. 2011. Business and Society Stakeholders, Ethics, Public Policy, Thirteenth Edition. New York: McGraw-Hill. Muhammady, El dan Faddly Akbar. 2012. Pengaruh Kinerja Keuangan dan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar di BEI. Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma. http://publication.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/6167/1/JURNAL%20SKRIP SI.pdf (diakses 12 Januari 2014, 7:20 PM) Nurhayati, Miranty dan Henny Medyawati. 2012. Analisis Pengaruh Kinerja Keuangan, Good Corporate Governance, dan Corporate Social Responsibility terhadap Nilai Perusahaan yang Terdaftar dalam LQ45 pada tahun 2009-2011. Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma. http://publication.gunadarma.ac.id/bitstream/123456789/5532/1/JurnalOK.pdf (diakses 14 Januari 2014, 7:33 PM). Sayekti, Yosefa dan Ludovicus Sensi Wondabio. 2007. Pengaruh CSR Disclosure terhadap Earning Response Coefficient (Suatu Studi Empiris pada Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta). Jurnal disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi X, Makassar. Sembiring, Eddy Rismanda. 2005. Karakteristik Perusahaan dan Pengungkapan Tanggung Jawab Sosial. Jurnal disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi VIII, Solo. Stoner, James A. F., Edward Freeman, dan Daniel R. Gilbert. 1995. Management, Sixth Edition. United States of America: Prentice Hall. Susenohaji. 2011. Analisis Kinerja Keuangan Perusahaan Atas Ungkapan (Disclosure) Tanggung Jawab Lingkungan Perusahaan (Studi Empiris Penerapan Regulasi pada Perusahaan Go-Publik di Indonesia.) http://www.academia.edu/6406277/Judul_Analisis_Kinerja_Keuangan_Perusahaan_A tas_Ungkapan_Disclosure_Tanggungjawab_Lingkungan_Perusahaan_Studi_Empiris_ Penerapan_Regulasi_pada_Perusahaan_Go-Publik_di_Indonesia (diakses tanggal 16 Juli 2014, 16:00 PM) Syahnaz, Melisa. 2012. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan Perbankan. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya. http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/download/352/299 (diakses 23 Januari 2014, 7:45 PM). Utomo, Muhammad Muslim. 2000. Praktek Pengungkapan Sosial pada Laporan Tahunan Perusahaan di Indonesia (Studi Perbandingan antara Perusahaan High-Profile dan Low-Profile). Jurnal disajikan dalam Simposium Nasional Akuntansi IV, Bandung. Widayanti, Rita, Henny Ekawati, Apriani Dorkas Rambu Atahau, Usil Sis Sucahyo, dan Maria Rio Rita. 2006. Manajemen Keuangan. Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
315
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
William. 2012. Pengaruh Pengungkapan Corporate Social Responsibility berdasarkan Pedoman Global Reporting Initiative terhadap Nilai Perusahaan. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. www.ui.ac.id (diakses 26 September 2014, 15:25 PM) Yaparto, Marissa dan Dianne Frisko. 2013. Pengaruh Corporate Social Responsibility terhadap Kinerja Keuangan pada Sektor Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada Periode 2010-2011. Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya. https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/viewFile/111/91 (diakses 25 Januari 2014, 9:15 PM). Yap, Raldy dan Agnes Widyaningdyah. 2009. Pengungkapan Pertanggungjawaban Sosial pada Laporan Tahunan Perusahaan Yang Go Public di Bursa Efek Indonesia (Studi Empiris atas Perusahan High dan Low Profile). Universitas Katolik Widya Mandala. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=18498&val=1144&title (diakses 23 Januari 2014, 8:40 PM). www.globalreporting.org (diakses tanggal 2 Februari 2014, 7:30 PM) Lampiran 1 Daftar Item Pengungkapan CSR menurut GLOBAL REPORTING INITIATIVE (GRI) Lingkungan 1. Pengendalian polusi kegiatan operasi, pengeluaran riset dan pengembangan untuk mengurangi polusi. 2. Operasi perusahaan tidak mengakibatkan polusi atau memenuhi ketentuan hukum dan peraturan polusi. 3. Pernyataan yang menunjukkan bahwa polusi operasi telah atau akan dikurangi. 4. Pencegahan atau perbaikan kerusakan lingkungan akibat pengelolaan sumber alam, misalnya reklamasi daratan atau reboisasi. 5. Konservasi sumber alam, misalnya mendaur ulang kaca, besi, minyak, air dan kertas. 6. Penggunaan material daur ulang 7. Menerima penghargaan berkaitan dengan program lingkungan yang dibuat perusahaan. 8. Merancang fasilitas yang harmonis dengan lingkungan. 9. Kontribusi dalam seni yang bertujuan untuk memperindah lingkungan. 10. Kontribusi dalam pemugaran bangunan sejarah. 11. Pengelolaan limbah. 12. Riset mengenai pengelolaan limbah. 13. Mempelajari dampak lingkungan untuk memonitor dampak lingkungan perusahaan. 14. Perlindungan lingkungan hidup. Energi 15. Menggunakan energi secara lebih efisien dalam kegiatan operasi. 16. Memanfaatkan barang bekas untuk memproduksi energi. 17. Penghematan energi sebagai hasil produk daur ulang. 18. Membahas upaya perusahaan dalam mengurangi konsumsi energi. 19. Peningkatan efisiensi energi dan produk. 20. Riset yang mengarah pada peningkatan efisiensi energi dari produk. 21. Mengungkapkan kebijakan energi perusahaan. 316
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Kesehatan dan Keselamatan Kerja 22. Mengurangi polusi, iritasi, atau resiko dalam lingkungan kerja. 23. Mempromosikan keselamatan tenaga kerja dan kesehatan fisik atau mental. 24. Mengungkapkan statistik kecelakaan kerja. 25. Mentaati peraturan standar kesehatan dengan keselamatan kerja. 26. Menerima penghargaan berkaitan dengan keselamatan kerja. 27. Menetapkan suatu komite keselamatan kerja. 28. Melaksanakan riset untuk meningkatkan keselamatan kerja. 29. Mengungkapkan pelayanan kesehatan tenaga kerja. Lain-lain Tentang Tenaga Kerja 30. Perekrutan atau memanfaatkan tenaga kerja wanita / orang cacat. 31. Mengungkapkan persentase/jumlah tenaga kerja wanita / orang cacat dalam tingkat manajerial. 32. Mengungkapkan tujuan penggunaan tenaga kerja wanita / orang cacat dalam pekerjaan. 33. Program untuk kemajuan tenaga kerja wanita / orang cacat. 34. Pelatihan tenaga kerja melalui program tertentu di tempat kerja. 35. Memberikan bantuan keuangan pada tenaga kerja dalam bidang pendidikan. 36. Mendirikan suatu pusat pelatihan tenaga kerja. 37. Mengungkapkan bantuan atau bimbingan untuk tenaga kerja yang dalam proses mengundurkan diri atau yang telah membuat kesalahan. 38. Mengungkapkan perencanaan kepemilikan rumah karyawan. 39. Mengungkapkan fasilitas untuk aktivitas rekreasi. 40. Pengungkapan persentase gaji untuk pensiun. 41. Mengungkapkan kebijakan penggajian dalam perusahaan. 42. Mengungkapkan jumlah tenaga kerja dalam perusahaan. 43. Mengungkapkan tingkatan manajerial yang ada. 44. Mengungkapkan disposisi staff dimana staff ditempatkan. 45. Mengungkapkan jumlah staff, masa kerja dan kelompok usia mereka. 46. Mengungkapkan statistik tenaga kerja, misalnya penjualan per tenaga kerja. 47. Mengungkapkan kualifikasi tenaga kerja yang direkrut. 48. Mengungkapkan rencana kepemilikan saham oleh tenaga kerja. 49. Mengungkapkan rencana pembagian keuntungan lain. 50. Mengungkapkan informasi hubungan manajemen dengan tenaga kerja dalam meningkatkan keputusan dan motivasi kerja. 51. Mengungkapkan informasi stabilitas pekerjaan tenaga kerja dan masa depan perusahaan. 52. Membuat laporan tenaga kerja yang terpisah. 53. Melaporkan hubungan perusahaan dengan serikat buruh. 54. Melaporkan gangguan dan aksi tenaga kerja. 55. Mengungkapkan informasi bagaimana aksi tenaga kerja dinegosiasikan. 56. Peningkatan kondisi kerja secara umum. 57. Informasi reorganisasi perusahaan yang mempengaruhi tenaga kerja. 58. Informasi dan statistik perputaran tenaga kerja. Produk 59. Pengungkapan informasi pengembangan produk perusahaan, termasuk pengemasan. 317
Sisilia Devina Permatasari Supatmi
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
60. Gambaran pengeluaran riset dan pengembangan produk. 61. Pengungkapan informasi proyek riset perusahaan untuk memperbaiki produk. 62. Pengungkapan bahwa produk memenuhi standar keselamatan. 63. Membuat produk lebih aman untuk konsumen. 64. Melaksanakan riset atas tingkat keselamatan produk perusahaan. 65. Pengungkapan peningkatan kebersihan / kesehatan dalam pengolahan dan penyiapan produk. 66. Pengungkapan informasi atas keselamatan produk perusahaan. 67. Pengungkapan informasi mutu produk yang dicerminkan dalam penerimaan penghargaan. 68. Informasi yang dapat diverifikasi bahwa mutu produk telah meningkat (misalnya, ISO 9000). Keterlibatan Masyarakat 69. Sumbangan tunai, produk, pelayanan untuk mendukung aktivitas masyarakat, pendidikan, dan seni. 70. Tenaga kerja paruh waktu (part-time employment) dari mahasiswa/pelajar. 71. Sebagai sponsor untuk proyek kesehatan masyarakat. 72. Membantu riset media. 73. Sebagai sponsor untuk konferensi pendidikan, seminar atau pameran seni. 74. Membiayai program beasiswa. 75. Membuka fasilitas perusahaan untuk masyarakat. 76. Mensponsori kampanye nasional. 77. Mendukung pengembangan industri lokal. Umum 78. Pengungkapan tujuan. Kebijakan perusahaan secara umum berkaitan dengan tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat. 79. Informasi hubungan dengan tanggung jawab sosial perusahaan selain yang disebut di atas.
318
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
PENGARUH MANAJEMEN PERUBAHAN TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJARAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA PT. KAI (PERSERO) DAOP II BANDUNG JOELIATY FEB Universitas Padjadjaran
[email protected] YAYAN. FIRMANSYAH STIE INABA
[email protected] Abstract Changes of business environment that is increasingly fast encountered by PT.KAI (PERSERO) DAOP II Bandung. It requires this company to be adapted. Adapting with this is condition is a must. The company's ability to address the challenges of current and future become one of the power that must be owned by the company. The purpose of this research is to discover to discover effect change management on learning organization and its implication on employee performance in PT.KAI (PERSERO) DAOP II Bandung. This research used survey method by distributing questionnaires to 100 respondents. The result of Effect of change management on employee performance through learning organization is about 41.11%. Keywords : change management, learning organization, employee performance Pendahuluan Seiring dengan perubahan jaman dengan lingkungan yang penuh turbulensi dan dinamika, membentuk arena kompetisi yang semakin kuat dan ketat. Penulis menyitir pendapat Charles Darwin tentang perusahaan yang mampu mempunyai umur panjang, berpendapat “bukan yang terkuat yang mampu berumur panjang, melainkan yang paling adaptif” (Rhenald Kasali, 17 : 2007). Perubahan dalam organisasi apapun memainkan peran yang penting untuk meraih kesuksesan di banyak organisasi (Dumpy dan Stace : 1993 ; Reib: 2012 ; Alireza Shirvani at al : 2013; 1751). Perubahan menjadi salah satu kebutuhan organisasi yang sangat vital dilakukan, perubahan yang terjadi sekarang ini lebih cenderung disebabkan perubahan yang direncanakan daripada perubahan yang tidak direncanakan (Greenberg dan Baron 1997 :550; Wibowo 2012 :88). Kemampuan untuk mengelola perubahan akhirnya menjadi kunci sukses dalam mencapai tujuan dari dilakukannya perubahan tersebut. Salah satu sasaran manajemen perubahan adalah mengupayakan agar proses transformasi tersebut berlangsung dalam waktu yang relatif cepat dan akurat dengan meminimalisasi kesulitan-kesulitan. PT. Kereta Api Indonesia (PERSERO) DAOP 2 Bandung, sebagai entitas bisnis, yang dewasa ini persaingan hypercompetitive dalam industri jasa transportasi, diharuskan dapat menjawab kebutuhan para stakeholders ini juga sesuai dengan visi PT. Kereta Api Indonesia (PERSERO) yaitu “Menjadi penyedia jasa perkeretaapian terbaik yang fokus pada pelayanan pelanggan dan memenuhi harapan stakeholders”. Dorongan untuk berubah pada PT. Kereta Api (PERSERO) DAOP II Bandung, Perubahan yang dilakukan disini adalah perubahan yang terencana menurut Geernberg dan Baron (1997 : 550) dalam Wibowo (2012 : 88) perubahan terencana karena adanya dorongan seperti : perubahan dalam produk atau jasa,
319
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
perubahan dalam ukuran dan struktur organisasi, perubahan dalam sistem administrasi, dan yang terakhir adalah pengenalan teknologi baru. Perubahan merupakan suatu fenomena yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan organisasi, meskipun banyak yang berpendapat bahwa kecepatan dan besaran perubahan telah meningkat secara signifikan beberapa tahun belakangan ini. Penelitian yang dilakukan The Institute of Management tahun 1991 menunjukkan bahwa 90% organisasi menjadi lebih ramping dan datar. Pada tahun 1992 dilaporkan bahwa 80% manajer merespon dengan merestruktur perusahannya dalam lima tahun terakhir. Oleh karena itu, kita melihat bahwa dalam waktu yang relatif pendek, kebanyakan organisasi dan pekerjaannya telah mengalami perubahan secara substansial tentang apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya (Burnes, 2000:250). Manajemen perubahan tidak akan berhasil tanpa adanya implemtasi organisasi pembelajaran yang menyediakan ruang untuk selalu improvement, diharapakan menjadi atau mempertahankan sebagai leader market, salah satu saran untuk mencapinya dengan kinerja pegawai yang baik, disini diperlukan peranan organisasi pembelajaran agar keberhasilan perubahan oraganisasi dapat berjalan efektif dan efesien sehingga akan tercapai visi perusahaan. Fokus proses perubahan membentuk organisasi pembelajaran, dan membentuk mental model untuk memahami kegiatan organisasi dan megambil kebijakan yang sesuai untuk mengelola kualitas antara semua eksekutif, manajer dan key staff. (Albert, Michael: 47 :2005). Hasil studi empirik yang dilakukan oleh Albert, Michael (2006) mendapatkan temuan adanya pengaruh manajemen perubahan terhadap terbentuknya organisasi pembelajaran, studi ini dilakukan di Laboraturium Hewlett-Packard Company. Dari pengamatan penulis di PT KAI (PERSERO) DAOP II belum terlihat adanya prasarana yang menunjang secara utuh untuk organisasi pembelajaran diduga ini merupakan salah satu faktor kenapa kinerja karyawan tidak dapat tercapai, seperti yang dikemukakan sebelumnya manajemen perubahan dapat berjalan efektif dan efisien jika didukung dengan organisasi pembelajaran. Kita mengetahui bahwa perusahaan-perusahaan Jepang telah mencapai kemajuan sehubungan dengan posisi mereka dalam persaingan internasional. Menurut Ikujiro Nonaka, keberhasilan perusahaan-perusahaan Jepang bukanlah disebabkan keberhasilan mereka dalam bidang produksi : karena dapat mencapi harga murah: karena mereka memiliki hubungan dekat : serta erat dengan pelanggan mereka. Perusahaan-perusahaan di Jepang telah mencapai keberhasilan yang luar biasa karena keterampilan-keterampilan dan keahlian mereka dalam hal “menciptakan pengetahuan keorganisasian” (Nonaka, 1995 :3) dalam Winardi 2010, yang dimaksud olehnya dengan penciptaan pengetahuan keorganisasian yaitu kemampuan pengetahuan baru-kemudian menyebarkanya melalui seluruh organisasi tersebut dan “memasukannya”ke dalam produk-produk, servis-servis, serta sistem-sistem. Organisasi pembelajaran, dimana setiap individu menunjukan perilaku perbaikan dalam berbagai aspek melalui proses belajar, maka kinerja individu dapat diperbaiki secara terus menerus yang pada akhirnya akan berdampak pula pada peningkatan kinerja pegawai. Hal ini senada dengan William Looney dan Air Force Lt Gen. Charles L. Johnson, II (dikutip oleh Anderson et.al, 2004 : 1) yang berpendapat bahwa : organisasi pembelajaran sebagai cara untuk memperbaiki efisiensi kerja, membagi informasi dengan baik lagi, mengembangakan akses yang lebih fleksibel pada pelatihan, memperluas sumber untuk pemecahan masalah ; meningkatkan pilihan dalam belajar dan akhirnya membuat belajar menjadi bagian keseharian dalam lingkungan kerja. Komitmen pemimpin sangat dibutuhkan untuk keberhasilan implementasinya. Penelitian Pool (2002) dalam Agapita Sri H (2006) menunjukan adanya pengaruh positif dan signifikan antara penetapan organisasi pembelajaran dengan motivasi manajer untuk meningkatkan kinerjanya.
320
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Kajian Pustaka Salah satu pendekatan proses perubahan yang menjadi rujukan di kemukakan oleh seorang ilmuwan John P. Kotter dari Harvard Bussines School, Massachusetts, United States dalam bukunya Leading Change: Why Transformation Efforts Fail, dalam bukunya John P.Kotter mengapa proses transformasi mengalami kegagalan, dan sekaligus memberikan solusi agar proses transformasi berhasil, model ini lebih dikenal dengan nama Kotter’s 8-step method. Model ini sudah di uji dibeberapa penelitian, seperti penelitian yang dilakukan oleh Amin Soebagyo (2009) model di uji secara empirik pada PT TELKOM, mendapatkan temuan bahwa kedelapan tahap proses transformasi, tahapan pencariran status quo dan tahap penanaman akar perubahan secara kokoh dalam kultur perusahaan dari Kotter yang dimplementasikan secara baik berpengaruh positif dan signifikan terhadap keberhasilan proses tranformasi. Pada tahun 2011 penelitian tentang proses manajemen perubahan yang di lakukan oleh, Ledy Primasary, mendapatkan temuan adanya pengaruh positif proses manajemen perubahan terhadap program transformasi bisnis. Hal ini dikuatkan oleh bukti penelitian yang dilakukan oleh Alireza Shirvani et al (2013) yang melakukan penelitan pada perusahaan distribusi gas di Provinsi Esfahan, Iran. Hasil dari studi ini mengungkapkan bahwa perusahaan ini, dengan menggunakan Kotter’s 8-step method, sukses dalam membuat keadaan mendesak, membentuk kekuatan koalisi, membuat perubahan visi, mengkomunikasikan visi, membuat kemenangan jangka pendek, dan membangun perubahan. Tetapi organisasi ini tidak berhasil memindahkan hambatan-hambatan yang ada dan perubahan dalam budaya perusahaan. Langkah keenam, membuat kemenangankemenangan jangka pendek, menghasilkan tingkat keberhasilan yang sangat tinggi dengan menghilangkan hambatan-hambatan yang bisa meminimalkan tingkat kesuksesan, dengan menerapakan Kotter’s 8-step method , mampu menghadapi perubuhan. Selain itu ada literature study tentang Kotter’s 8-step method yang dilakukan oleh Appelbaum, Steven H et al (2012) dalam studi ini mendapatkan temuan bahwa Kotter’s change management model dapat menjadi rujukan terbaik dan implemtatif dalam tahapan proses perubahan, dan banyak para ilmuan yang konsensus bahwa Kotter’s change management model merupakan pendekatan yang terbaik untuk mengurangi kesalahan dalam proses perubahan, walaupun model ini jika tidak dimodifikasi yang tepat mempunyai kelemahannya karena terlalu rigid. Walaupun ada sisi kekurangan dari model ini Stagalas, Nicole. (2010;37), menyakini dan menguatkan bahwa model Kotter memberikan wawasan mendalam langkah-langkah tindakan yang lebih rinci yang dapat menjamin aplikasi yang sesuai dan relevan dari proses yang diuraikan. Kemampuan perusahaan dalam menjalankan mengelola proses perubahan berpengaruh terhadap implementasi organisasi pembelajaran yang dilakukan oleh organisasi (Albert, Michael 2005 & 2006), salah satu cara organisasi berhasil dalam mengelola proses perubahan harus terciptanya organisasi pembelajaran yang baik, hal ini sudah di uji secara empirik oleh berapa peneliti seperti Haque, Md Mahbubul (2008) dalam desertasinya pada Graduate School of Education and Psychology Pepperdine University. USA. Menguji model organisasi pembelajaran model Watkins dan Marsick, mendapat temuan bahwa organisasi pembelajar berpengaruh dan signifikan terhadap kemampuan organisasi dalam menghadapai perubahan, hal senada juga penelitian yang dilakukan oleh Mohammad Traheri R. et al (2013), dengan temuan hubungan yang signifikan antara organisasi pembelajaran dan kesiapan organisasi untuk perubahan, studi ini dilakukan di Agricultural Bank of Borujed City, Iran. Kemampuan organisasi untuk belajar berjalan salah satu sumber yang benar keunggulan kompetitif. Beberapa peneliti sebelumnya mengenai organisasi pembelajar seperti yang dilakukan oleh Small (2006 ; 284) membuat kajian menyeluruh literatur yang melibatkan studi Argyris 321
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
dan Schön (1978); Boud dan Middleton (2003); Brown dan Duguid (1996); De Geus (1999), Gibson dan Vermeulen (2003); Huber (1996); Keating, Robinson, dan Clemson (1996); Kock, McQueen, dan Corner (1997); Lave dan Wenger (1991); Loewen dan Loo (2004); Moilanen (2001); Örtenblad (2004); Pedler, Burgyne, dan Boydell (1997); Beberapa penulis murni berfokus pada pengembangan pendekatan yang ditujukan untuk individu sebagai titik awal dalam rantai interaksi yang bisa pergi untuk membentuk proses selanjutnya belajar dalam kelompok, praktek masyarakat, organisasi belajar dan kemungkinan hasil dari menciptakan sebuah organisasi pembelajaran. Penelitian ini mendukung perspektif Watkins dan Marsick (1993 , 1996, 1999 ), yang mencatat bahwa dalam organisasi pembelajaran, belajar terjadi pada individu, kelompok, dan tingkat organisasi. Penulis mencoba untuk mengukur pembelajaran dalam organisasi untuk mencakup semua ketiga tingkatan untuk mencapai perspektif yang komprehensif (Rush, Rosalee Billingslea. 2011; 48-49). Calvert et al .(1994; Haque, Md Mahbubul 2008 ; 55) menjelaskan bahwa aspek yang saling berhubungan belajar di berbagai tingkatan menciptakan berbagai persepsi, yang membuat kontribusi berguna dalam memahami konsep. Sejumlah faktor mendorong penulis untuk pilih model ini. Pertama, Redding ( 1997) dan Örtenblad ( 2002) didalam Md Mahbubul (2008 ; 55) mencatat bahwa kerangka dikembangkan oleh Watkins dan Marsick adalah salah satu dari beberapa alat yang mengukur belajar ditingkat individu, tingkat tim, dan tingkat organisasi. Kedua, kerangka kerja ini memerlukan seperangkat lintas dimensi yang divalidasi dalam pendekatan organisasi pembelajaran terkemuka lainnya (Senge,1990; . Marquardt, 2002). Ketiga, kerangka telah dikenakan luas keandalannya dan pengujian validitas dibandingkan dengan model organisasi pembelajaran lain ( Yang, 2003; Yang,Watkins , & Marsick , 2004, Song, Ji Hoon,at al.2009) . Keempat, kerangka telah banyak digunakan oleh berbagai peneliti dalam berbagai pengaturan penelitian ( Dymock , 2003; David, A. Herrera. 2007; Haque, Md Mahbubul, 2008; Rowe, Allen, 2010). Berdasarkan hasil penelitian Kohli et al (1998) dalam Agapita Sri Haryanti. (2006) menunjukan bahwa karyawan yang tumbuh dalam organisasi yang mendukung pembelajaran ternyata mampu mencapai peningkatan kinerja yang lebih baik, hal ini menjadi bukti bahwa organisasi pembelajaran ternyata memiliki pengaruh positif dan signifikan guna meningkatkan kinerja karyawan. Ini dikuatkan oleh penelitian oleh Akhmad Supriadi (2007) memperoleh hasil emprik bahwa organisasi pembelajaran memberikan kontribusi positif dalam upaya manajemenen meningkatkan kinerja karyawan, dari sini dapat dianalisis bahwa untuk meningkatkan kinerja karyawan di perlukan penerapan organisasi pembelajaran. Kinerja menurut Bernardin (2013 : 241) adalah sebagai hasil pekerjaan yang telah dilakukan berdasarkan fungsi pekerjaan atau aktivitas tertentu pada jangka waktu tertentu. Dalam penelitian ini mengukapkan kriteria kinerja pegwai menggunakan teori Gomes (2003:142), dikarenakan teori ini sudah di uji secara empirik dan dibanyak tempat, beberapa penelitian yang menggunakan model ini seperti yang dilakukan oleh Agapita Sri Haryanti (2012) mengukapkan bahwa model yang diungkapkan gomes menjadi pendekatanya sistematis sehingga dapat menjadi acuan dalam penlian kinerja karyawan, demensi kierja pegawai dengan teori gomes (2003) mengungkapkan ada delapan kriteria yang menjadi perhatian untuk melihat deskripsi perilaku individu secara spesifik dalam kinerja karyawan yang berdasarkan perilaku yang spesifik. Gambaran paradigma penelitian pengaruh manajemen perubahan terhadap penerapan organisasi pembelajaran serta dampaknya terhadap kinerja pegawai, seperti gambar 1
322
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Gambar 1 Metode Penelitian Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode survey explanotary dikarenakan untuk mengetahui hubungan kausal antara variabel dan gambaran umum antar variabel, dalam penelitian ini variabelnya adalah manajemen perubahan (X), organisasi pembelajaran (Y) dan kinerja pegawai (Z). Survey explanotary merupakan riset awal, riset ini ditindaklanjuti kepada metode deskritif dan verifikatif (Istijanto, 2006 :20). Metode verifikatif digunakan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh variabel independent (X), variabel intervening (Y) terhadap variabel dependent (Z), serta mengetahui hubungan antara variabel penelitian melalui pengujian hipotesis dengan menggunakan perhitungan statistik (Nazir, 2005). Tipe penelitian ini adalah penelitian kausal yang bertujuan untuk menguji pengaruh dan atau hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian. Dalam penelitian ini juga dijaring dengan menggunakan alat pengumpulan data tertentu, yaitu kuesioner (Mudrajat Kuncoro, 2003:8) Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara simple Sratified propotional random sampling. Dimana Sratified propotional random sampling yaitu mengambil sampel pada setiap tingkatan pada penelitian ini terdiri dari tujuh kelompok kerja, setiap kelompok kerja diambil sampel yang secara proposional Mengingat besarnnya populasi, maka peneliti mengambil sampel 100 pegawai PT KAI (PERSERO) DAOP 2 Bandung. Ukuran sampel ditentukan berdasarkan metode pengukuran sampel yang dikemukakan oleh Slovin dan Sevilla dengan rumus sebagai berikut: = 95.02 100 Dimana : i = ukuran sampel minimal N = ukuran populasi e = tingkat kesalahan yang ditolerir Dalam sampel penelitian ini, menetapkan tingkat kesalahan sebesar 10%. Maka ukuran sampel yang dibutuhkan untuk penelitian ini yaitu sebesar 100 responden dari populasi sebesar 1909 pegawai. Dan yang memenuhi kriteria yang bisa di ambil sebagai 323
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
sampel adalah pegawai yang masa kerjanya minimal lima tahun masa kerja yaitu sebesar 1345. Analisis Jalur (Path Analysis) Analisis jalur adalah suatu metode grafik dalam mengkaji pengaruh-pengaruh langsung dan akibat tidak langsung dari variabel penyebab (eksogenuos) terhadap variabel akibat (endogenous). Metode ini untuk memotret dan menguji “teori” analisis jalur adalah suatu bentuk terapan dari analisis multi regresi, membantu menguji hipotesis yang kompleks, dengan menggunakanya dapat menghitung pengaruh langsung dan tidak langsung. Penelitian ini dilakukan untuk mencari hubungan antar variabel independent/endogen atau akibat. Oleh karena itu analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis jalur (path analysis)
Gambar 2 Diagram jalur antara variabel Dimana : X = Manajemen Perubahan (Change Management) Y = Organisasi pembelajaran (Learning Organization) Z = Kinerja Pegawai Gambar 2 menjelaskan diagram jalur yang menyatakan hubungan kausal X dan Y sebagai penyebab dan Z sebagai akibat, dimana Y adalah variabel intervening, teknik perhitungan analisis jalur (path analysis) dengan menggunakan software SPSS 22 for windows. Berdasarkan teknik analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian dua, tiga, dan empat, maka diagram jalurnya memiliki dua persamaan sub struktur, yaitu : Y= Pxy X+ε1 Z= PzxY+ε2 Keterangan : Pxy X+ε1 : Koefisien jalur X terhadap Y PzxX+ε2 : Koefisien jalur Y terhadap Z ε : epsilon Hipotesis Hipotesis penelitian ini sebagai berikut : 1. Manajemen perubahan berpengaruh terhadap organisasi pembelajaran pada PT. KAI (PERSERO) DAOP II Bandung 2. Organisasi Pembelajaran berpengaruh terhadap kinerja pegawai pada PT. KAI (PERSERO) DAOP II Bandung 3. Manajemen perubahan berpengaruh terhadap kinerja pegawai baik langsung maupun tidak langsung melalui organisasi pembelajaran pada PT. KAI (PERSERO) DAOP II Bandung 324
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Hasil dan Pembahasan Pengaruh Manajemen Perubahan terhadap Organisasi Pembelajaran Uji hipotesis ini pertama dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Pengaruh Manajemen Perubahan (X) terhadap Organisasi Pembelajaran (Y) Atau pengujian hipotesis digunakan uji F, data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program komputer SPSS 22.0 for Windows. Hasil pengolahan data tersebut ditunjukkan pada Tabel 1 Tabel 1 ANOVAa Sum of Mean Model Squares df Square 1 Regression 2761,325 1 2761,325 Residual 4352,189 98 44,410 Total 7113,514 99 a. Dependent Variable: Organisasi Pembelajaran b. Predictors: (Constant), Manajemen Perubahan Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014
F 62,178
Sig. ,000b
Berdasarkan tabel ANOVA tabel 1. Dapat diketahui besarnya Fhitung melalui uji ANOVA atau Ftest, yaitu sebesar 62,178 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000. Harga ini selanjutnya dikonsultasikan dengan F tabel, dengan didasarkan pada dk pembilang = 1 dan dk penyebut (100-1-1) = 98, sehingga nilai Ftabel diperoleh sebesar 3,94. Dikarenakan Fhitung > Ftabel (62,178 >3,94), karena F hitung lebih besar dari F tabel maka koefisien korelasi yang diuji adalah signifikan untuk α=5%, probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak, artinya Y dipengaruhi oleh X atau organisasi pembelajaran dipengaruhi oleh manajemen perubahan. Untuk menentukan persamaan struktural dari pengaruh manajemen perubahan terhadap organisasi pembelajaran perlu mengetahui nilai dari koefisien determinasi yang dijelaskan Tabel 2, berikut: Tabel 2 Output Regresi XY Adjusted R Std. Error of Model R R Square Square the Estimate a 1 ,623 ,388 ,382 6,66409 a. Predictors: (Constant), Manajemen Perubahan b. Dependent Variable: Organisasi Pembelajaran Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014 Berdasarkan Tabel 2. Dapat dilihat nilai R Square adalah 0,388. Nilai ini dikonversikan dalam bentuk persen menjadi koefisien determinasi, yaitu sebesar 38,8%. Nilai residunya adalah 0,612 (didapat dari 1- R Square). Nilai ini menunjukan besarnya pengaruh manajemen perubahan terhadap organisasi pembelajaran sebesar 38,8%, sedangkan 61,2% dipengaruhi faktor lain. diketahui nilai koefisien determinasi R2yx = (0,623)(0,623) = 0,388, dan besarnya koefisien residu ei 1 0,388 = 0.782. Maka dapat ditentukan persamaan struktural yang baru dari model Y yaitu sebagai berikut:
325
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016 Y= 0,623+0.782 ε1
Dalam penelitian ini, diagram jalur pengujian hipotesis menunjukkan pengaruh manajemen perubahan (variabel X) terhadap organisasi pembelajaran (variabel Y). Seperti dijelaskan pada Gambar 3
Gambar 3 Diagram Jalur Pengujian Hipotesis Kedua Pengaruh Organisasi Pembelajaran terhadap Kinerja Pegawai Uji hipotesis ini pertama dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Pengaruh Organisasi Pembelajaran (Y) terhadap Kinerja Pegawai (Z). Hasil pengolahan data tersebut ditunjukkan pada Tabel 3 Tabel 3 ANOVA YZ ANOVAa Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 5594,584 1 5594,584 75,928 ,000b Residual 7220,949 98 73,683 Total 12815,532 99 a. Dependent Variable: Kinerja Pegawai b. Predictors: (Constant), Organisasi Pembelajaran Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014 Berdasarkan tabel ANOVA tabel 3, dapat diketahui besarnya Fhitung melalui uji ANOVA atau Ftest, yaitu sebesar 75,928 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000. Harga ini selanjutnya dikonsultasikan dengan F tabel, dengan didasarkan pada dk pembilang = 1 dan dk penyebut (100-1-1) = 98, sehingga nilai Ftabel diperoleh sebesar 3,94. Dikarenakan Fhitung > Ftabel (75,928>3,94), karena F hitung lebih besar dari F tabel maka koefisien korelasi yang diuji adalah signifikan untuk α=5%, probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak, artinya variabel Z dipengaruhi oleh variabel Y atau kinerja pegawai dipengaruhi oleh organisasi pembelajaran. Untuk menentukan persamaan struktural dari pengaruh organisasi pembelajaran terhadap kinerja pegawai perlu mengetahui nilai dari koefisien determinasi yang dijelaskan Tabel 4, berikut: Tabel 4 Output Regresi YZ Model Summary Adjusted R Std. Error of Model R R Square Square the Estimate a 1 ,661 ,437 ,431 8,58389 a. Predictors: (Constant), Organisasi Pembelajaran Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014 326
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Berdasarkan Tabel 4 Dapat dilihat nilai R Square adalah 0,437. Nilai ini dikonversikan dalam bentuk persen menjadi koefisien determinasi, yaitu sebesar 43,7%. Nilai residunya adalah 0,563 (didapat dari 1- R Square). Nilai ini menunjukan besarnya pengaruh organisasi pembelajaran terhadap kinerja pegawai sebesar 43,7%, sedangkan 56,3% dipengaruhi faktor lain. diketahui nilai koefisien determinasi R2yx = (0,661)(0,661) = 0,437, dan besarnya koefisien residu ei 1 0,437 = 0.750. Maka dapat ditentukan persamaan struktural yang baru dari model Y yaitu sebagai berikut: Y= 0,661+0.750 ε2 Dalam penelitian ini, diagram jalur pengujian hipotesis menunjukkan pengaruh organisasi pembelajaran (variabel Y) terhadap kinerja pegawai (variabel Z). Seperti dijelaskan pada Gambar 4
Gambar 4 Diagram Jalur Pengujian Hipotesis Ketiga Pengaruh Manajemen Perubahan terhadap Kinerja Pegawai melalui Organisasi Pembelajaran pada PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung Dalam bagian ini akan dijabarkan pengaruh langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai dan pengaruh tidak langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai, yaitu dengan melalui organisasi pembelajaran. Pengaruh langsung dan tidak langsung tersebut adalah sebagai berikut : Pengaruh langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai Uji hipotesis ini pertama dalam penelitian ini adalah mengetahui pengaruh Pengaruh Manajemen Perubahan (X) terhadap Kinerja Pegawai (Z). Hasil pengolahan data tersebut ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 ANOVA XZ ANOVAa Model Sum of Squares df Mean Square F Sig. 1 Regression 5991,377 1 5991,377 86,041 ,000b Residual 6824,155 98 69,634 Total 12815,532 99 a. Dependent Variable: Kinerja Pegawai b. Predictors: (Constant), Manajemen Perubahan Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014 Berdasarkan tabel ANOVA tabel 5, dapat diketahui besarnya Fhitung melalui uji ANOVA atau Ftest, yaitu sebesar 86,041 dengan tingkat signifikansi sebesar 0,000. Harga ini selanjutnya dikonsultasikan dengan F tabel, dengan didasarkan pada dk pembilang = 1 dan dk 327
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
penyebut (100-1-1) = 98, sehingga nilai Ftabel diperoleh sebesar 3,94. Dikarenakan Fhitung > Ftabel (86,041 >3,94), karena F hitung lebih besar dari F tabel maka koefisien korelasi yang diuji adalah signifikan untuk α=5%, probabilitas (0,000) jauh lebih kecil dari 0,05, maka Ho ditolak, artinya variabel Z dipengaruhi oleh variabel X atau kinerja pegawai dipengaruhi oleh manajemen perubahan. Untuk menentukan persamaan struktural dari pengaruh manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai perlu mengetahui nilai dari koefisien determinasi yang dijelaskan 6, berikut; Tabel 6 Output Regresi XZ Model Summary Adjusted R Std. Error of Model R R Square Square the Estimate a 1 ,684 ,468 ,462 8,34471 a. Predictors: (Constant), Manajemen Perubahan Sumber : Data kuesioner yang telah diolah, 2014 Berdasarkan Tabel 6 Dapat dilihat nilai R Square adalah 0,468. Nilai ini dikonversikan dalam bentuk persen menjadi koefisien determinasi, yaitu sebesar 46,8%. Nilai residunya adalah 0,532 (didapat dari 1- R Square). Nilai ini menunjukan besarnya pengaruh manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai sebesar 46,8%, sedangkan 53,2% dipengaruhi faktor lain. diketahui nilai koefisien determinasi R2yx = (0,684)(0,684) = 0,468, dan besarnya koefisien residu ei 1 0,468 = 0.729. Maka dapat ditentukan persamaan struktural yang baru dari model Y yaitu sebagai berikut: Y= 0,684+0.729 ε3 Dalam penelitian ini, diagram jalur pengujian hipotesis menunjukkan pengaruh manajemen perubahan (variabel X) terhadap kinerja pegawai (variabel Z). Seperti dijelaskan pada Gambar 5
Gambar 5 Diagram Jalur Pengujian Hipotesis Kempat Pengaruh tidak langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai melalui organisasi pembelajaran Pengaruh manajemen perubahan terhadap organisasi pembelajaran dapat dilihat dari koefisien jalur X terhadap Y (Pyx). Pengaruh organisasi pembelajaran terhadap kinerja pegawai dapat dilihat dari koefisien jalur Y terhadap Z (Pzy). Pengaruh manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai dapat dilihat dari koefisien jalur X terhadap Z (Pzx). Besarnya pengaruh tidak langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai melalui organisasi pembelajar dapat dihitung melalui formula sebagai berikut : 328
Joeliaty Yayan. Firmansyah Pzx Pzx
= Pyx x = 0,623 x
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016 Pzy 0,661 = 0,411
Dari perhitungan tersebut di dapat sebesar 0,411. Ini berarti besarnya pengaruh tidak langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai melalui organisasi pembelajaran sebesar = 41,1%. Dari keseluruhan hasil penelitian maka dapat digambarkan dengan analisis jalur sebagai berikut :
Gambar 6 Diagram Jalur Hasil Penelitian Dari hasil penelitian ini maka persamaan strukturalnya adalah sebagai berikut : 1. Persamaan struktural pertama Y = Pyx X + py Ɛ1 Y = 0,623 X + 0,782 Ɛ1
2. Persamaan struktural kedua Z = PzyY+pz Ɛ2 Z = 0,661 Y + 0,750 Ɛ2
Dari hasil penelitianyang terlihat pada gambar 6, dapat disimpulkan bahwa besar pengaruh manajemen perubahan terhadap organisasi pembelajaran adalah 0,623, yang berarti jika manajemen perubahan naik 1, maka organisasi pembelajaran akan naik sebesar 0,623. Besar pengaruh organisasi pembelajaran terhadap kinerja pegawai adalah 0,661, yang berarti jika organisasi pembelajaran naik 1, maka kinerja pegawai naik sebesar 0,661. Besar pengaruh langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai sebesar 46,8%, sedangkan penagaruh tidak langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai melalui organisasi pembelajaran sebesar 41,1%. Total pengaruh langsung lebih besar daripada total pengaruh tidak langsung. Ini berarti bahwa hubungan antara manajemen perubahan dengan kinerja pegawai dipengaruhi oleh organisasi pembelajaran, namun pengaruhnya rendah. Ini berarti adanya organisasi pembelajaran dalam manajemen perubahan hanya sedikit mempengaruhi kinerja pegawai. Hal ini disebabkan masih belum optimalnya penerapan organisasi pembelajaran yang diterapkan pada PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung. Sehingga tidak dapat meningkatkan pengaruh manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai. Penerapan organisasi pembelajaran pada PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung, belum dirasakan seluruh pegawai, seperti studi banding hanya sebagaian kecil pegawai yang mendapatkan kesempatan dan belum adanya forum resmi knowledge sharing. Permintaan dan dialog yang sudah diwadahi oleh DPD 2 SPKA DAOP II Bandung, dalam aktivitasnya SPKA masih belum optimal, ini dilihat dari tidak semua tuntutan inti pegawai dapat dikabulkan oleh pihak manajemen, selain itu pemberdayaan pegawai dalam penentuan rancangan kerja dan anggara (RKA) tidak semua pegawai bisa secara langsung memberikan masukan untuk perusahaan, dan masih kurang dukungan dari pimpinan dalam menggunakan pembelajaran untuk menciptakan perubahan dan untuk memindahkan organisasi ke arah yang baru.
329
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Dari hasil penelitian diketahui bahwa manajemen perubahan berpengaruh terhadap organisasi pembelajaran pada PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung adalah 38,8%. Dilihat dari nilai koefisien determinasi pengaruhnya tergolong kuat. Pengaruh manajemen perubahan terhadap organisasi pembelajaran berbanding lurus berarti ketika manajemen perubahan tinggi maka organisasi pembelajar juga tinggi. 2. Dari hasil penelitian diketahui bahwa organisasi pembelajaran berpengaruh terhadap kinerja pegawai PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung adalah 43,7%. Dilihat dari nilai koefisien determinasi pengaruhnya tergolong kuat. Pengaruh organisasi pembelajaran terhadap kinerja pegawai berbanding lurus berarti ketika organisasi tinggi maka kinerja pegawai juga tinggi. 3. Dari hasil penelitian diketahui bahwa manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai melalui organisasi pembelajaran PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung, total pengaruh tidak langsung adalah 41,1%. Sedangkan manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai pembelajaran PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung, total pengaruh langsung adalah 46,8%. Berarti pengaruh langsung manajemen perubahan terhadap kinerja pegawai lebih besar daripada pengaruh tidak langsungnya melalui organisasi pembelajaran. Hal ini Hal ini disebabkan masih belum optimalnya penerapan organisasi pembelajaran yang diterapkan pada PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung. Saran 1. 2. 3.
4.
5.
Penelitian selanjutnya hendaknya dilakukan pada objek dengan skala yang lebih luas dengan mengambil semua DAOP dan Sub Divre PT KAI. Penelitian selanjutnya hendaknya mengadakan FGD (Focus Group Discussion) baik dari pihak manajemen, pegawai, pelanggan dan pemerintah, dalam menjalankan manajemen perubahan yang sedang dilakukan. Penelitian selanjutnya dapat mengkaitkan organisasi pembelajaran dengan variabel baru seperti readiness to change, karena kesiapan perubahan tidak akan optimal tanpa adanya dukungan organisasi pembelajaran yang secara terus menerus melakukan perbaikan. PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung, dalam upaya melakukan proses manajemen perubahan lebih intensif dalam melakukan penyebaran visi dengan melakukan komunikasi dua arah, agar dapat menjaring aspirasi pegawai lebih banyak, dan saluran komunikasi berjalan baik. Dengan baiknya saluran komunikasi ini akan pegawai lebih dihargai oleh perusahaan sehingga akan menilngkatkan rasa memiliki perusahaan. PT KAI (PERSERO) DAOP II Bandung, dalam upaya melakukan proses manajemen perubahan, hendaknya perusahaan menyakinkan bahwa arah perubahan kearah yang positf, seperti dengan meningkatnya keuntungan perusahaan, hendaknya perusahaan lebih menyakinkan pegawai bahwa proses perubahan ini berjalan positif, dengan cara salah satunya meningkatkan kesejahtraan pegawai baik berupa materil dan non materil, sehingga proses perubahan dapat terus berjalan. 330
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Daftar Pustaka Agapita Sri Haryanti. 2006. Analisis Faktor - Faktor yang Menjadi Prediktor Organisasi Pembelajaran Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan (Study Kasus Pada PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta).Tesis. Semarang : Undip. Akhmad Supardi 2007. Analisis Implementasi Learning Orgnization Dalam Upaya Mendukung Peningkatan Kinerja Karyawan di PT KH. Tidak dipublikasikan (Tesis). Bandung : Unpad. Albert, Michael. 2005. Managing Change: Creating a Learning Organization Focused on Quality. Problems and Perspectives in Management Journal, 1/2005. Albert, Michael. 2006. Managing Change at HP Lab: Perspectives for Innovation, Knowledge Management and Becoming a Learning Organization. Journal The Business Review, Cambridge 5.2 (Summer 2006): 17-22. Alireza Shirvani, Mashallah Valikhani Dehaghani, Seyed Hassan Mossavi. 2013. Change Management in Public Sector : A case Study of Gas Distribution Firm. Iran : Management Science Letters Journal 3 (2013) 1751-1756. Amin Soebagyo. 2009. Kajian Atas Pengaruh Tahapan Proses Transformasi Dari Koter Pada Keberhasilan Proses Transformasi Perusahaan Dalam Perspektif Manajemen dan Karyawan. Tidak dipublikasikan (Tesis). Bandung : Unpad. Anderson, Frank. Rob Dare & Rich Stillman. 2004. The Hanscorn Learning Organization : a solution for the information age, Defense AT & L Journal, September-Oktober, 2004. Appelbaum, Steven H., Habashy, Sally., Malo, Jean-Luc & Shafiq, Hisham. 2012. Back to the future: revisiting Kotter's 1996 change model. Journal of Management Development, Vol. 31 Iss: 8 pp. 764 – 782. © Emerald Group Publishing Limited Bernardin. H John & Joyce. E.A. Russell. 2013. Human Resources Management, An Experiential Approach. Sixth Edition. New York : McGraw-Hill International Edition. Burnes, Bernard. 2000. Managing Change. Essex-England : Pearson Edication Limited. David, A. Herrera. 2007. A Validation of The Learning Organization as a Driver of Performance Improvement. UMI by ProQuest Information and Learning Company. United States. Dissertation. Capella University. Gomes, Faustic C. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : CV. Andi Offset. Haque,
Md Mahbubul. 2008. A Study of The Relationship Between The Learning Organization And Organizational Readiness For Change. UMI by ProQuest LLC. United States. Dissertation. Graduate School of Education and Psychology Pepperdine University.
331
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Istijanto. 2006. Riset Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Kotter, John P.2000. Leading Change: Why Transformation Efforts Fail. HBR OnPoint . USA : Harvard Business School Publishing Corporation. Marquardt, Michael.J. 2002. Building The Learning Organization. Mastering The 5 Elements For Corporate Learning. 2nd Edition. Davies-Black Publishing, Inc. Palo Alto, CA. Mathis, R.L & Jackson, J.H., 2004. Human Resource Management. International Student Edition ed. Mohammad Taheri R. Majid Khazai. Elahe Nasiri F. Saeed Mahdavi Nasr. 2013. The Relationship between Learning Organization and Organizational Readiness for Change According to Seven Dimensions of Learning Organization. Journal of Basic and App;ied Scientific Research. 3(5)631-636, 2013. ISSN 2090-4304. Text Road Publication. Mudrajat Kuncoro. 2003. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta : Erlangga Muhamad Haniv 2012. Peran Sumber Daya Manusia dan Sistem Model Organisasi pembelajaran (Learning Organization) Dalam Reformasi Birokrasi Perpajakan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak (Studi Kasus Pelayanan Pajak di Kanwil DJP jakarta). Bogor : Manajemen Bisnis (Disertasi) Sekolah Pascasarjana IPB. Nazir. 2005. Metode penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia. Omar Al-Jaradat. Mohammed Nagresh. Abdullah Al-Shegran & Nura Jadellah. 2013. Impact of change management on the performance of employees in university libraries in Jordan. European Journal of Business and Management ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN 2222-2839 (Online) Vol.5, No.2, 2013. www.iiste.org. Rhenald Kasali.2007. Change (Manajemen Perubahan dan Manajemen Harapan). Jakarta : PT Ikrar Mandiri abdi. Rowe, Allen. 2010. Looking at Extension as a Learning Organization. Journal of Extension August 2010 Volume 48 Number 4 Article Number 4 RIB, 1-7. Rush, Rosalee Billingslea. 2011. Learning Organization Principles: The Impact On a Midwest State Government as Perceived by Its Employees. A Dissertation Faculty of The Graduate College Western Michigan University. USA. UMI Disssertation Publishing Copyright 2011 by ProQuest LL. Small, A. 2006. Towards A Framework For Organizational Learning. The Learning Organization, 13(3), 276–299. Song, Ji Hoon,. Joo, Baek-Kyoo (Brian), & Chermack, Thomas J.2009. The Dimensions of Learning Organization Questionnaire (DLOQ): A Validation Study in a Korean Context. Human Resource Development Quarterly, vol. 20, no. 1, Spring 2009 © Wiley Periodicals, Inc. 332
Joeliaty Yayan. Firmansyah
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Stagalas, Nicole. 2010. Improving Change Implementation Practical adaptation of Kotter’s Model. OD Practitioner vol.42 no. 1 2010. P 31-38. Watkins, K., & Marsick, V.1993. Sculpting the learning organization: Lessons in the art and science of systemic change. San Francisco: Jossey-Bass. Watkins, K., & Marsick, V. 1996. In action: Creating a learning organization. Alexandria, VA: American Society for Training and Development. Watkins, K. E., & Marsick, V. J. 1999. Sculpting the learning community: New forms of working and organizing. National Association of Secondary School Principals: NASSP Bulletin, 83(604), 78–87. Wibowo. 2012. Manajemen Perubahan. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Winardi. 2010. Manajemen Perubahan (Management of Change). Jakarta : Prenada Media Group. Yang, B. 2003. Identifying Valid And Reliable Measures For Dimensions Of A Learningculture. Advances in Developing Human Resources, 5(2), 152–162. Yang, B., Watkins, K. E., & Marsick, V. J. 2004. The Construct of The Learning Organization: Dimensions, Measurement, and Validation. Human Resource Development Quarterly, 15(1), 31–56. Wiley Periodicals, Inc.
333
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
EVALUASI ON-TIME PERFORMANCE PADA MASKAPAI TIGER AIRWAYS RUTE SURABAYA-SINGAPURA DENGAN MENGGUNAKAN DIAGRAM KONTROL, DIAGRAM PARETO, DAN DIAGRAM SEBAB-AKIBAT T. Aria Auliandri, Mutiya Kurniastuti Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Airlangga Email:
[email protected] Abstract Pengguna transportasi udara akan memilih penerbangan yang paling cepat, tepat, aman, dan nyaman dengan tidak mengabaikan unsur-unsur keselamatan. Salah satu maskapai yang menerapkan konsep Low Cost Carrier (LCC) dan tidak mengabaikan unsur-unsur keselamatan adalah Tiger Airways. Dengan semakin menjamurnya jumlah pesawat terbang menyebabkan overcapacity dan antrian pesawat baik di darat maupun di udara semakin lama dan semakin panjang. Hal ini menjadi salah satu penyebab jadwal penerbangan terkadang sering tertunda (delay). Alasan yang sering muncul ketika pesawat terlambat (delay) adalah alasan teknis, cuaca, komersial, dan gangguan operasional. Penelitian ini dilakukan dengan mengevaluasi data monthly report on time performance Tiger Airways selama periode yang ditentukan. Perhitungan dengan menggunakan diagram pareto untuk mengidentifikasi prioritas utama penyebab delay dan diagram sebab-akibat untuk mencari akar penyebab masalah utama terjadinya delay. Hasil evaluasi menggunakan metode diagram pareto menunjukkan bahwa 80% dari tingkat delay yang terjadi disebabkan oleh tiga macam delay yaitu: late arrival of aircraft, air traffic control (ATC), dan teknis. Kemudian menggunakan metode diagram sebab-akibat ditemukan akar penyebab dari tiga macam delay yang dihadapi maskapai Tiger Airways. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa delay yang terjadi di setiap kali penerbangan diakibatkan kurang optimalnya kinerja operasional baik dari faktor internal maupun eksternal. Kata Kunci: ketepatan waktu, on-time performance, delay, kualitas jasa Pendahuluan Pada saat ini pesawat udara merupakan salah satu moda transportasi yang sudah banyak digunakan oleh masyarakat. Kebutuhan manusia sekarangpun sudah merujuk pada penggunaan pesawat udara yang dapat beroperasi dalam jangka waktu yang singkat dan mampu mengantarkan mereka ke tempat tujuan dengan cepat dan efektif. Perkembangan teknologi yang begitu pesat, faktor kenyamanan dan keselamatan sebagai prioritas utama, serta menyediakan cara untuk melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain dengan waktu yang lebih singkat, yaitu perjalanan udara melalui maskapai penerbangan. Oleh karena itu maskapai penerbangan selalu menjadi pilihan masyarakat dalam melakukan perjalanan, baik dengan tujuan rekreasi maupun tujuan bisnis. Industri jasa transportasi di Indonesia yang sedang berkembang selama beberapa tahun terakhir, terjadi akibat meningkatnya jumlah penumpang penerbangan baik domestik maupun internasional. Hal ini tidak terlepas dari munculnya kategori pelayanan maskapai penerbangan Low Cost Carrier (LCC) yang beroperasi secara efisien sehingga jasa penawaran penerbangan mencapai biaya yang rendah. Salah satu maskapai yang menerapkan 334
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
konsep Low Cost Carrier (LCC) ini adalah Tiger Airways yang merupakan sebuah maskapai penerbangan bertarif rendah Singapura. Ketepatan waktu atau On-Time Performance sudah menjadi tolak ukur kepercayaan dari pemakai jasa yang menjadi pilihan untuk melakukan perjalanan. On-Time Performance adalah suatu keadaan ketika waktu keberangkatan dan waktu kedatangan sesuai dengan yang telah ditetapkan. Suatu pesawat udara memiliki nilai guna saat pesawat udara tersebut berada di udara. Semakin lama pesawat udara mengudara, semakin banyak keuntungan yang dihasilkan. Oleh karena itu ketepatan waktu penerbangan atau on-time performance sangat diperhitungkan. Keberhasilan kinerja sebuah bandar udara berdasarkan kualitas keselamatan, keamanan penerbangan, kualitas ketepatan waktu penerbangan, dan kualitas pelayanan secara umum. Ketepatan waktu penerbangan saat ini dinilai masih kurang. Pengguna transportasi udara akan memilih penerbangan yang paling cepat, tepat, aman, dan nyaman dengan tidak mengabaikan unsur-unsur keselamatan. Operator penerbangan di Indonesia saat ini dinilai semakin berkembang pesat, terlihat dari bertambahnya pesawat-pesawat baru setiap bulannya. Dengan semakin menjamurnya jumlah pesawat terbang menyebabkan overcapacity dan antrian pesawat baik di darat maupun di udara semakin lama dan semakin panjang. Hal ini menjadi salah satu penyebab jadwal penerbangan terkadang sering tertunda (delay). Alasan yang sering muncul ketika pesawat terlambat (delay) adalah alasan teknis, cuaca, komersial, dan gangguan operasional. Landasan Teori Kualitas Garvin dalam Foster (2007:4) mendefinisikan kualitas ke dalam lima dimensi atau lebih populernya dimensi kualitas, mencakup transcendent, product-based, user based, manufacturing based, atau value-based, diantaranya: 1. Transcendent, menunjukkan kualitas sebagai suatu hal yang hanya bisa dipahami dengan intuisi, tetapi hampir tidak mungkin untuk dikomunikasikan. 2. Product-based, dinyatakan dalam suatu komponen-komponen dan atribut-atribut yang melekat pada suatu produk. 3. User based, suatu produk dikatakan berkualitas bagus, jika konsumen mendapatkan kepuasan. 4. Manufacturing based, kualitas suatu produk dapat dicapai apabila produk tersebut sesuai dengan spesifikasi desain yang diinginkan. 5. Value-based, jika suatu produk memberikan nilai yang baik untuk harga yang telah dibayar oleh konsumen. Jasa Jasa mencakup semua aktivitas ekonomi yang hasilnya bukanlah produk atau konstruksi fisik, yang secara umum konsumsi dan produksinya dilakukan pada saat bersamaan, dan nilai tambah yang diberikannya dalam bentuk (kenyamanan, hiburan, kecepatan, dan kesehatan) yang secara prinsip tidak berwujud pada pembeli pertamanya (Zeithaml, 2003:3).
335
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Karakteristik Jasa Philip Kotler (2003) menyebutkan bahwa pada umumnya jasa memiliki empat karakteristik utama yang sangat mempengaruhi desain program pemasaran di antaranya: 1. Tidak berwujud (intangibility), karena jasa tidak berwujud. Biasanya jasa dirasakan secara subjektif dan ketika jasa di deskripsikan oleh pelanggan, ekspresi seperti pengalaman, kepercayaan, perasaan, dan keamanan adalah tolak ukur yang di pakai. Inti dari suatu jasa adalah ketidak berwujudan dari fenomena itu sendiri. Oleh karena tingginya derajat ketidakberwujudannya maka jasa sulit di evaluasi oleh pelanggan. 2. Tidak terpisahkan (inseparability), biasanya jasa dihasilkan dan dikonsumsi secara bersamaan. Hal ini tidak berlaku bagi barang-barang fisik, yang diproduksi, disimpan sebagai persediaan, didistribusikan melalui banyak penjual, dan dikonsumsi kemudian.jika seseorang memberikan jasa tersebut, pemyediaan adalah bagian dari jasa itu. 3. Bervariasi (variability), karena bergantung pada siapa yang memberikannya, kapan dan dimana diberikannya, jasa sangat bervariasi. Selain itu karena proses produksi dan penyampaiannya dilakukan oleh manusia. Oleh karena manusia mempunyai sifat yang tidak konsisten sehingga penyampaian suatu jasa belum tentu sama terhadap tiap-tiap pelanggan. 4. Tidak tahan lama (perishabity), jasa tidak dapat disimpan. Sifat jasa sangat mudah rusak (perishability) teresebut tidak akan menjadi masalah apabila permintaan tetap berjalan lancar. Jika perusahaan berfluktuasi, perusahaan-perusahaan jasa menghadapi masalah yang rumit. Kualitas Jasa Kualitas jasa didefinisikan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan konsumen serta ketepatan penyampaiannya dalam mengimbangi harapan konsumen (Tjiptono, 2011). Faktor-faktor Buruknya Kualitas Jasa Untuk menarik konsumen maka sebuah perusahaan baik perusahaan jasa atau produk wajib memberikan suatu kualitas jasa yang baik untuk konsumennya. Namun terkadang perusahaan belum bisa melakukan hal tersebut dikarenakan masih ada beberapa faktor yang menyebabkan kualitas suatu jasa menjadi buruk. Faktor – faktor tersebut meliputi: 1. Produksi dan Konsumsi yang terjadi secara simultan Salah satu karakteristik jasa yang penting adalah Inseparability, artinya jasa diproduksi dan di konsumsi pada saat yang bersamaan. Beberapa kekuranggan yang mungkin ada pada karyawan pemberi jasa dan dapat berpengaruh terhadap persepsi pelanggan pada kualitas jasa misalnya: a. Tidak terampil dalam melayani pelanggan. b. Cara berpakaian tidak sesuai. c. Tutur katanya tidak sopan dan kurang menyenangkan. 2. Intensitas tenaga kerja yang tinggi. 3. Dukungan terhadap pelanggan internal (pelanggan perantara) kurang memadai. 4. Kesenjangan – kesenjangan komunikasi. Kesenjangan komunikasi yang sering terjadi: a. Perusahaan memberikan janji yang berlebihan, sehingga tidak dapat memenuhinya. 336
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
b. Perusahaan tidak bisa selalu menyajikan informasi terbaru kepada pelanggan, misalnya yang berkaitan dengan perubahan prosedur/aturan. 5. Memperlakukan semua pelanggan dengan cara yang sama karena pelanggan adalah manusia yang bersifat unik, karena memiliki perasaan dan emosi. 6. Perluasan atau pengembangan jasa secara berlebihan. 7. Visi bisnis jangka pendek. Lima Dimensi dari Kualitas Jasa Barry dan Parasuraman (1994) mengidentifikasi lima dimensi yang digunakan oleh para pelanggan dalam mengevaluasi kualitas jasa, yaitu seperti berikut: 1. Bukti Langsung (Tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan, pegawai, dan sarana komunikasi. 2. Keandalan (Reliability), yakni kemampuan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan memuaskan. 3. Daya Tanggap (Responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap. 4. Jaminan (Assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki staf; bebas dari bahaya, risiko atau keragu-raguan. 5. Empati (Empathy), meliputi kemudahan dalam melakukan hubungan, komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan para pelanggan. Kelima dimensi diatas dapat disebut juga SERVQUAL yang berfungsi sebagai alat analisis untuk mengukur kualitas pelayanan (Parasuraman, et al., 1985). Statistical Quality Control Statistical Quality Control (SQC) adalah alat statistik yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas organisasi. Alat pengendalian kualitas secara statistik merupakan metode statistik yang menerapkan teori probabilitas dalam pengujian atau pemeriksaan sampel pada kegiatan pengendalian kualitas suatu produk atau pelayanan (Nasution, 2005). Statistical quality control bisa dibagi menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut: 1. Statistik Deskriptif (Descriptive Statistics) – digunakan untuk menggambarkan karakteristik kualitas dan hubungan. 2. Statistical process control (SPC) – melibatkan pemeriksaan sampel secara acak dari output sebuah proses dan memutuskan apakah proses ini menghasilkan produk dengan karakteristik yang berada dalam kisaran standar yang telah ditentukan. 3. Acceptance sampling – proses pemeriksaan sampel barang secara acak dan memutuskan apakah akan menerima seluruh barang berdasarkan hasil. Sampling penerimaan menentukan apakah batch barang harus diterima atau ditolak. Ketiga kategori statistical quality control sangat membantu dalam mengukur dan mengevaluasi kualitas produk atau pelayanan. Namun, alat pengawasan kualitas statistical process control yang paling sering digunakan karena mereka mengidentifikasi masalah kualitas selama proses produksi (Reid, 2010). Tujuan pengawasan kualitas secara statistik adalah untuk menunjukkan tingkat reliabilitas sampel dan bagaimana cara mengawasi risiko. Teknik pengawasan kualitas secara statistik juga membantu pengawasan pemrosesan melalui pemberian peringatan apabila terjadi penyimpangan (Nasution, 2005).
337
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Diagram Kontrol (Control Chart) Diagram kontrol merupakan salah satu metode pengawasan kualitas, dikembangkan oleh Walter Shewhart (1924), yang dapat mengukur kinerja kualitas. Diagram kontrol dipergunakan untuk mengukur rata-rata, variabel dan atribut. Variabel berhubungan dengan rata-rata dan besarnya deviasi serta untuk mengetahui sumbu terjadinya variasi proses (Nasution, 2005). Besarnya deviasi (sigma) yang dapat digunakan dalam diagram kontrol yaitu dari 1-3 sigma untuk menentukan batas kontrol. Kegunaan alat analisis diagram kontrol untuk melihat penyimpangan yang terjadi pada pelaksaan kegiatan operasional. Terdapat lima macam metode diagram kontrol yaitu sebagai berikut: 1. Diagram kontrol p atau Np (sampel size konstan) 2. Diagram kontrol rata-rata (x bar) 3. Diagram kontrol Range (R) 4. Diagram kontrol cacat C 5. Diagram kontrol cacat 100% inspeksi (p-chart) (size tidak konstan) Pareto Chart Pareto chart digunakan untuk memperbandingkan berbagai kategori kejadian yang disusun menurut ukurannya, dari yang paling besar di sebelah kiri ke yang paling kecil di sebelah kanan. Susunan tersebut akan membantu kita untuk menentukan pentingnya atau prioritas kategori kejadian-kejadian atau sebab-sebab kejadian yang dikaji atau untuk mengetahui masalah utama dalam prosesnya (Nasution, 2005). Pareto chart dapat menunjukkan prioritas penyimpangan dan memusatkan perhatian pada persoalan utama yang harus ditangani dalam upaya perbaikan. Kegunaan Pareto Chart Pareto Chart bertujuan untuk menemukan atau mengetahui prioritas utama dari masalah yang dihadapi dan merupakan kunci dalam penyelesaian masalah yang dihadapi dan perbandingan terhadap keseluruhan. Kegunaan pareto chart antara lain: 1. Menunjukkan masalah utama dengan menunjukkan urutan prioritas dari beberapa masalah. 2. Menyatakan perbandingan masing-masing masalah terhadap keseluruhan. 3. Menunjukkan tingkat perbaikan setelah tindakan perbaikan pada daerah terbatas. 4. Menunjukkan perbandingan masing-masing masalah sebelum dan sesudah perbaikan. Diagram Sebab-Akibat Diagram sebab-akibat atau sering disebut juga sebagai fishbone diagram atau ishikawa diagram, sesuai dengan nama Prof. Kaoru Ishikawa dari Jepang yang memperkenalkan diagram ini. Diagram sebab-akibat adalah suatu pendekatan terstruktur yang memungkinkan dilakukan suatu analisis lebih terperinci dalam menemukan penyebabpenyebab suatu masalah, ketidaksesuaian, dan kesenjangan yang terjadi (Nasution, 2005). Kegunaan dari diagram sebab-akibat adalah untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab dari permasalahan kualitas agar dapat diperbaiki. Pada dasarnya diagram sebab-akibat dapat digunakan untuk kebutuhan-kebutuhan berikut (Gaspersz, 1998): 1. Membantu mengidentifikasi akar penyebab suatu masalah 2. Membantu membangkitkan ide-ide untuk solusi suatu masalah 338
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
3. Membantu dalam penyelidikan atau pencarian fakta lebih lanjut Metodelogi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan metode studi kasus eksploratif karena studi ini harus dilaksanakan dengan melakukan wawancara pada partisipan (perwakilan manager Tiger Air station Juanda Airport Surabaya), dalam periode waktu tertentu, di sebuah tempat tertentu yaitu kantor operasional Tiger Airways di Terminal 2 Bandara Internasional Juanda Surabaya. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam melakukan penelitian ini yaitu dengan melakukan observasi dan wawancara (in-depth-interview) langsung (face-to-face) pada informan terpilih selanjutnya melakukan penelaahan dokumen terpilih. Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari berbagai proses biologis dan psikologis (Yin, 2011:133-140). Wawancara adalah suatu percakapan yang diarahkan pada suatu masalah tertentu dan merupakan proses tanya jawab lisan di mana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik (Yin, 2011:133-140). Wawancara dapat dilakukan dengan (1) tanpa daftar pertanyaan; (2) menggunakan kerangka yang dipakai pedoman tentang apa yang akan ditanyakan; dan (3) menggunakan daftar pertanyaan. Pembatasan permasalahan ini bertujuan agar penelitian lebih terfokus pada pokok permasalahan. Batasan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini hanya dilakukan pada PT. Gapura Angkasa sebagai perusahaan penyedia jasa ground handling sekaligus ground staff yang memberikan pelayanan sejak penumpang lapor ke check in counter sampai di baggage claim/terminal kedatangan penumpang pesawat. Dan maskapai Tiger Airways sebagai salah satu maskapai yang dipilih untuk mengetahui bagaimana penanganan pelayanan yang diberikan selama proses pre-flight hingga post flight. 2. Penelitian hanya dilakukan di Terminal 2 Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya dan dibantu oleh PT. Gapura Angkasa sebagai perusahaan yang membantu kegiatan operasional maskapai Tiger Airways sejak penumpang lapor ke check in counter sampai di baggage claim/terminal kedatangan penumpang pesawat. 3. Penelitian juga berfokus pada proses pelayanan penumpang jika terjadi delay yang dilakukan oleh PT. Gapura Angkasa terhadap maskapai Tiger Airways di Terminal 2 Bandar Udara Internasional Juanda Surabaya. 4. Evaluasi yang dilakukan menggunakan data berupa data jumlah penerbangan setiap bulan, jumlah delay per bulan, total nilai on-time performance per bulan, serta data penyebab delay yang terdapat pada OTP report and summary maskapai Tiger Airways. 5. Evaluasi dilakukan dengan alat kualitas diagram kontrol, diagram pareto, dan diagram sebab-akibat. Hasil dan Pembahasan Hasil analisis pada penelitian ini mencakup jawaban mengenai bagaimana evaluasi dari on-time performance sebagai upaya untuk mengawasi dan meningkatkan kualitas jasa pada maskapai Tiger Airways sebagai maskapai dengan konsep LCC, Sehingga dapat diketahui apa penyebab menurunnya nilai on-time performance dan terjadinya delay.
339
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Diagram Kontrol Diagram kontrol akan digunakan untuk melihat adakah penyimpangan yang terjadi pada pelaksanaan kegiatan operasional maskapai, sehingga peneliti akan menggunakan diagram kontrol cacat 100% inspeksi sebagai bahan evaluasi. Besarnya sigma yang digunakan dalam metode ini adalah 3 sigma untuk menentukan batas kontrol. Untuk menyusun diagram kontrol ini menurut A.V. Feigeumbaum (1996) yaitu sebagai berikut: 1. Menentukan data yang dibutuhkan Tabel 4.2 Data Penerbangan Bulanan Tiger Airways Rute Surabaya - Singapura Tahun 20152016 Bulan
Jumlah Penerbangan Mei 2015 22 Juni 2015 23 Juli 2015 26 Agustus 2015 26 September 2015 22 Oktober 2015 23 November 2015 20 Desember 2015 26 Januari 2016 23 Februari 2016 25 Maret 2016 27 April 2016 18 Jumlah 281
Jumlah Delay 2 4 0 1 2 2 6 14 14 7 13 9 74
Persentase Delay 9.09% 17.39% 0.00% 3.85% 9.09% 8.70% 30.00% 53.85% 60.87% 28.00% 48.15% 50.00%
Sumber: Data Sekunder Diolah Setelah ditentukan data maka dengan itu dapat menentukan Garis Sentral (CL), Batas Kontrol Atas (BKA) dan Batas Kontrol Bawah (BKB) yaitu sebagai berikut: 2. Menghitung rata-rata penerbangan per periode (ā) (ā) = jumlah penerbangan per periode / period (ā) = 281/12 = 23.42 3. Kemudian, menghitung rata-rata delay per periode (ĉ) (ĉ) = jumlah delay per periode / period (ĉ) = 74/12 = 6.12 4. Setelah diketahui (ĉ), lalu hitung delay maksimum dan delay minimum Delay maksimum = ĉ + 3√ĉ = 6.12 + 3√6.12 = 13.54 Delay minimum = ĉ - 3√ĉ = 6.12 - 3√6.12 = -1.30 = 0 5. Setelah diketahui ā, ĉ, delay maksimum, dan delay minimum, tentukan garis sentral (CL), batas kontrol atas (BKA), dan batas kontrol bawah (BKB). CL = ĉ/ā x 100% CL = 6.12/23.42 x 100% = 26.13% BKA = delay maksimum / ā x 100% BKA = 13.54 / 23.42 x 100% = 57.81% BKB = delay minimum / ā x 100% BKB = -1.30 / 23.42 x 100% = -5.55% = 0 340
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Setelah ditentukan garis sentral, batas kontrol atas, dan batas kontrol bawah, maka dapat dibuat diagram kontrol sebagai berikut:
Sumber: Data Sekunder Diolah Gambar 4.5 Diagram Kontrol Tahun 2015-2016 Berdasarkan gambar 4.5 diketahui bahwa ada satu titik yang terjadi delay melewati batas kontrol atas ( BKA) yaitu pada bulan Januari 2016. Pada bulan Januari 2016 tingkat delay sebesar 60.87% lebih besar daripada BKA sebesar 57.81%, hal ini disebabkan akibat pada bulan Januari ini sudah memasuki musim penghujan, dimana keadaan di sekitar bandara akan mempengaruhi keberangkatan maupun kedatangan penerbangan. Pada bulan Juli 2015 persentase delay sebesar 0.00% sama dengan nilai BKB sebesar 0.00% yang menandakan bahwa tidak terjadi delay di waktu tersebut meskipun pada bulan Juli biasanya merupakan peak season karena musim liburan. Pareto Chart Pareto Chart dalam penelitian ini menunjukkan prioritas penyimpangan dan memusatkan perhatian pada persoalan utama yang harus ditangani dalam upaya perbaikan. Untuk dapat menyusun Pareto Chart dibutuhkan data mengenai permasalahan yaitu sebagai berikut: Tabel 4.3 Data Penyebab Delay Tahun 2015-2016 Penyebab Delay Frekuensi Jumlah Persentase Persentase Kumulatif Jumlah Kumulatif Kumulatif Late Arrival of 57 57 79.17% 79.17% Aircraft ATC (Air Traffic 11 68 15.27% 94.44% Control) Teknis 2 70 2.80% 97.24% Fuel Uplift
1
71
1.38%
98.62%
Equipment Shortage Jumlah
1
72
1.38%
100.00%
72
100.00%
Sumber: Data Sekunder Diolah
341
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Berdasarkan data penyebab delay pada tabel 4.3, maka dapat dibuat Pareto Chart yaitu sebagai berikut:
Sumber: Data Sekunder Diolah Gambar 4.6 Penyebab Delay Tahun 2015-2016 Berdasarkan gambar 4.6 diatas, terlihat bahwa delay yang terjadi disebabkan dari tiga macam delay yaitu: Late Arrival of Aircraft, ATC (Air Traffic Control), dan Teknis. Tingkat delay yang disebabkan oleh late arrival of aircraft selama 12 bulan sebesar 79,17%. Tingkat delay yang disebabkan oleh ATC sebesar 15,27%. Tingkat delay yang disebabkan oleh Teknis sebesar 2,80%. Hasil ini membantu memusatkan penyelesaian masalah dari ketiga masalah utama yang ada. Ketiga masalah tersebut merupakan masalah yang berasal dari faktor internal, sehingga dapat dilakukan tindakan korektif secara langsung. Selanjutnya, perlu dicari akar penyebab dari ketiga masalah utama menggunakan diagram sebab-akibat. Diagram Sebab-Akibat Untuk mengidentifikasi penyebab-penyebab dari permasalahan kualitas agar dapat diperbaiki, maka perlu di analisis menggunakan diagram sebab-akibat. Berdasarkan hasil dari Pareto Chart dapat dicari akar penyebab masalah dari ketiga masalah utama dengan menggunakan diagram sebab-akibat. Data mentah didapatkan dari hasil wawancara dengan manager supervisor maskapai Tiger Air (Lampiran 2). Gambar diagram sebab-akibat tersebut merupakan gambaran penyebab terjadinya delay yang sebagaimana telah diidentifikasi menggunakan Pareto Chart. Penyebabnya adalah: 1. Late Arrival of Aircraft a. Delay dari stasiun/bandara sebelumnya. Keterlambatan kedatangan pesawat biasanya disebabkan karena delay yang terjadi sebelumnya di bandara asal atau bandara sebelumnya. Namun, penyebab delay dari bandara sebelumnya ini sangat erat kaitannya dengan masalah yang terjadi yaitu: a. Listrik padam, kejadian tersebut mempengaruhi kegiatan operasional bandara sebab banyak kegiatan yang dilakukan dengan menggunakan bantuan tenaga listrik. Apabila listrik padam maka tidak bisa dihindari masalah akan timbul salah satunya delay, sebab jika saat proses check in hingga penumpang akan melakukan boarding mengalami gangguan akan mempengaruhi proses keberangkatan karena petugas akan kesulitan mengecek manifest 342
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
penumpangnya. Dan petugas ATC pun akan mengalami gangguan dalam pengaturan penerbangan pesawat. b. Tidak mendapat aviobridge, jika pesawat landing/take off lalu tidak mendapat aviobridge (garbarata) maka akan memperlambat kegiatan operasional baik dari sisi petugas maskapai maupun ground handling dan penumpang. Sehingga hal tersebut dapat memperlambat waktu yang digunakan dan akan mempersulit penumpang jika ada penumpang yang harus menggunakan kursi roda. 2. ATC (Air Traffic Control) a. VVIP ATC akan memastikan tidak ada pesawat yang landing/take off saat ada VVIP, sehingga semua penerbangan akan di tahan dan hal ini akan menyebabkan terjadinya delay pada penerbangan yang akan terbang dari bandara Juanda maupun menuju bandara Juanda. Yang termasuk VVIP disini biasanya Presiden dan Wakil Presiden serta Tamu Kenegaraan. b. Cuaca Pengaruh cuaca sangat mempengaruhi penerbangan karena apabila cuaca buruk maka ATC berhak untuk tidak mengizinkan adanya penerbangan menuju dan dari bandara Juanda. Dan bila hal tersebut sudah terlanjur terjadi biasanya akan ada pengalihan pendaratan di bandara sebelumnya bandara yang dituju. c. Antrian take off/landing Antrian akan terjadi saat ada VVIP dan cuaca buruk sehingga akan berimbas pada terlambatnya beberapa penerbangan. Dan antrian dapat terjadi pula bila keadaan parkir pesawat saat itu penuh sehingga mau tidak mau pesawat yang akan landing harus menunggu. 3. Teknis Dalam kegiatan operasional penerbangan masalah teknis sering terjadi dan biasanya masalah kerusakan mesin, hal ini akan sangat mengganggu penerbangan bila masalah teknis tersebut terjadi saat penerbangan berlangsung. Meskipun demikian bila masalah kerusakan mesin sebelum penerbangan terjadi juga akan menimbulkan keterlambatan dari jadwal penerbangan yang seharusnya.
Cuaca
Gambar 4.7 Diagram Sebab-Akibat 343
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Mengevaluasi on-time performance sebagai upaya mengawasi dan meningkatkan kualitas jasa, membutuhkan sebuah metode yang dapat menelusuri dan mengkaji penyebabpenyebab di dalamnya. Penggunaan the basic seven tools of quality dapat mengetahui dan membuka penyebab masalah yang sering mengganggu maskapai Tiger Air dalam menjaga kualitas jasa yang diberikan kepada penumpang. The basic seven tools of quality yang digunakan hanya tiga tools saja, yaitu control chart, pareto chart, dan cause and effect diagrams. Alasan pemakaian tiga alat metode dikarenakan minimnya data yang akan digunakan untuk mengevaluasi data bila harus menggunakan ketujuh alat metode yang ada. Hasil penelitian menunjukkan, pada gambar 4.5, bahwa pada bulan Januari 2016 terdapat tingkat delay yang melewati batas kontrol atas (BKA) dan tidak terdapat tingkat delay yang melewati batas kontrol bawah (BKB). Delay dalam hal ini sudah menjadi ancaman bagi pihak maskapai sebab mereka mentargetkan OTP diatas 95% sehingga sekecil apapun tingkat delay yang terjadi akan menjadi masalah yang mengakibatkan penyimpangan. Berdasarkan gambar 4.6, ditemukan tiga masalah yang mengakibatkan penyimpangan yaitu: late arrival of aircraft, air traffic control (ATC), dan teknis. Selanjutnya, pada gambar 4.7, ditemukan akar penyebab dari ketiga masalah yang dapat dilakukan tindakan korektif secara efektif sebagai alternarif bagi Tiger Air agar tetap dapat mempertahankan nilai on-time performance diatas 95%. Permasalahan on-time performance berkaitan dengan lima dimensi kualitas jasa yaitu bukti langsung, keandalan, daya tanggap, jaminan, dan empati. Dimensi bukti langsung dalam maskapai penerbangan merupakan cara menunjukkan tangibles ke pelanggan, seperti kebersihan di dalam pesawat mengingat Tiger Air merupakan maskapai penerbangan Internasional sehingga hal tersebut penting diperhatikan. Dimensi keandalan dalam maskapai penerbangan merupakan ketepatan penyampaian pelayanan pada kegiatan operasional kepada pelanggan. Dimensi daya tanggap merupakan tingkat kecepatan layanan dengan permintaan pelanggan. Dimensi jaminan merupakan cara maskapai penerbangan untuk membuat nyaman dan tenang saat terbang serta percaya dengan pelayanan yang diberikan pihak maskapai. Dimensi empati dalam maskapai penerbangan merupakan cara kru bersikap baik kepada pelanggan. Permasalahan on-time performance sangat berhubungan dengan dimensi keandalan, dimana dalam hal ini ketepatan penyampaian pelayanan pada kegiatan operasional mempengaruhi kepercayaan pelanggan yang mempunyai harapan terhadap pelayanan yang diberikan pihak maskapai penerbangan. Pelanggan mengharapkan agar maskapai penerbangan dapat diandalkan dalam menyediakan jasa yang diberikan. Ketika pelanggan memutuskan untuk melakukan sebuah penerbangan, maka pelanggan berharap bahwa penerbangan itu tepat waktu baik keberangkatan maupun kedatangan. Pelanggan memilih melakukan perjalanan udara karena saat ini penerbangan dianggap cara yang tepat untuk dapat sampai ke tempat tujuan dengan cepat dan pelanggan memutuskan untuk mendapat pelayanan tepat waktu. Apabila maskapai penerbangan tidak mampu menyediakan pelayanan tepat waktu, maka hal itu akan ditandai oleh pelanggan sebagai ketidakandalan pelayanan yang diberikan. Simpulan 1. Berdasarkan hasil pengamatan secara langsung, wawancara, dan arsip data yang dilakukan pada maskapai Tiger Airways, diketahui bahwa on time performance merupakan indikator utama bagi maskapai penerbangan dan faktor krusial sebab berhubungan dengan groundtime dan kepuasan pelanggan. Dimana waktu pelayanan telah tertuang dalam sebuah perjanjian atau SLA (Service Level Agreement) dan bisa 344
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
2.
3. 4.
5.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
saja jika OTP tidak tercapai maka akan timbul kerugian baik berupa materiil maupun non materiil. OTP atau on time performance adalah salah satu penilaian kualitas pelayanan ground handling bagi PT. Gapura Angkasa untuk dapat mengukur kinerja dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Termasuk pada maskapai Tiger Airways sebagai salah satu maskapai yang pelayanan pelanggannya dilakukan oleh PT. Gapura Angkasa. Jika OTP satu penerbangan tidak tercapai artinya terjadi delay. Dan jika delay terjadi tentunya akan berdampak pada dimensi keandalan sebagai ukuran kualitas jasa yang diharapkan pelanggan mengalami penurunan, karena pelanggan akan merasa tidak nyaman dengan penerbangan yang akan dilakukannya. Kasus delay yang terjadi diakibatkan oleh tiga masalah yaitu: Late Arrival of Aircraft, ATC (Air Traffic Control), dan Teknis. Dalam hasil evaluasi menggunakan metode diagram kontrol menunjukkan bahwa tingkat delay yang melewati BKA terjadi pada bulan Januari 2016 dengan persentase sebesar 60,87% dimana pada bulan itu jumlah delay yang terjadi sebanyak 14 kali dengan jumlah penerbangan sebanyak 23 kali. Hal ini merupakan ancaman bagi maskapai karena standar nilai OTP yang ditargetkan 95% sehingga hal seperti itu tidak seharusnya terjadi dan hal ini menjadi bahan pengawasan untuk tidak menurunkan harapan pelanggan terhadap maskapai Tiger Airways. Hasil evaluasi menggunakan metode diagram pareto menunjukkan bahwa 80% dari tingkat delay yang terjadi disebabkan oleh tiga macam delay yaitu: late arrival of aircraft, air traffic control (ATC), dan teknis. Kemudian menggunakan metode diagram sebab-akibat ditemukan akar penyebab dari tiga macam delay yang dihadapi maskapai Tiger Airways, sehingga pihak maskapai dapat memberikan pengawasan lebih mendalam dan melakukan koordinasi dengan pihak bandara serta pihak ground handling. Tiger Airways dapat melakukan kontrol bagi pelayanan yang diberikan dan mengontrol kegiatan operasional lainnya guna menjaga kualitas jasanya.
Saran 1. Bagi pihak penyedia jasa ground handling yaitu PT. Gapura Angkasa Cabang Surabaya agar dapat menempatkan sumber daya manusia (karyawan) sesuai dengan kualifikasi tugas yang dibebankan agar dapat melayani pelanggan dalam hal ini penumpang maskapai Tiger Airways dengan sebaik mungkin. Berusaha memenuhi tanggung jawab yang tertuang dalam SLA (Servive Level Agreement). 2. Bagi pihak maskapai Tiger Airways dapat menyusun struktur organisasi yang sesuai dengan tugas masing-masing agar tidak terjadi ketimpangan dalam memenuhi tanggung jawabnya, kemudian melakukan pengawasan dan peningkatan agar pelayanan yang diberikan kepada penumpang dapat sesuai dengan harapan penumpang. Mempertahankan kualitas jasa pelayanan yang sesuai standar penerbangan internasional. Dan mengupayakan koordinasi dengan pihak ground handling dan bandara agar dapat meminimalisir terjadinya delay pada setiap penerbangan.
345
T. Aria Auliandri Mutiya Kurniastuti
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Daftar Pustaka Berry, Leonard, A. Parasuraman, dan Valerie A. Zeithaml. 1994. Improving service quality in America: Lesson learned dalam Academy of Management Executive, Vol. 8, No.2, h. 32-52 Boone, Captain Pat. 2009. IATA Delay Codes. (Online), (www.b737mrg.net, diakses tanggal 22 Oktober 2016). Chowdary, Nimit dan Monika Prakash. 2007. Prioritizing service quality dimensions dalam Managing Service Quality, Vol. 17, No.5, h. 493-509 Foster, S. Thomas. 2007. Managing Quality: Integrating the Supply Chain. Third Edition. United States: Pearson Education, Inc. Kotler, Philip. 2005. Dasar-dasar Pemasaran. Jakarta: Erlangga. Nasution, M. 2005. MANAJEMEN MUTU TERPADU (Total Quality Management). Edisi kedua, Bogor: Ghalia Indonesia. Niehues, Alexander et al. 2001. Punctuality: How Airlines Can Improve On-Time Performance. Booz-Allen & Hamilton., (Online), h. 1-16, (http://www.aviation.go.th/rbm/Punctuality.pdf , diakses tanggal 16 Oktober 2016). Parasuraman, A., Valarie A. Zeithaml, dan Leonard L. Berry. 1985. A Conceptual Model of Service Quality and Its Implications for Future Research dalam Journal of Marketing, Vol. 49, h. 41-50
346
Cahyani Tunggal Sari BRM. Suryo Triono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
PERAN KEMASAN DAN LEGALITAS DALAM PEMASARAN DOMESTIK DAN MANCANEGARA PRODUK KULINER OLEH-OLEH KHAS SOLO Cahyani Tunggal Sari1 BRM. Suryo Triono2 STIE-AUB Surakarta Jalan MR. Sartono No.97, Nusukan, Banjarsari, Surakarta, Jawa Tengah 57135, Indonesia Phone: +62 271 854904 Abstrak Kemasan merupakan proses melindungi produk dalam rangka mendukung distribusi, penyimpanan, penjualan. Penentuan kemasan sebuah produk melalui proses merancang, mengevaluasi, dan memproduksi kemasan tersebut. Materi yang terdapat dalam sebuah kemasan sangat mendukung bagaimana produk tersebut dapat sampai pada konsumen dengan baik. Materi legalitas produk menjadi salah satu acuan utama konsumen dalam menilai dan memilih produk hingga konsumen memutuskan untuk melakukan pembelian produk tersebut. Kedua hal itulah yang saat ini menjadi permasalahan yang banyak dihadapi oleh pelaku usaha mikro kecil menengah khususnya produk oleh-oleh khas daerah. Pelaku usaha produk oleholeh khas lebih banyak tergolong pada industri rumah tangga dengan proses pengemasan yang sederhana dan legalitas yang minimal untuk dapat menjangkau pasar nasional maupun mancanegara. Kota Solo atau Surakarta saat ini sudah menjadi tujuan wisata baik dari dalam negri maupun luar negri. Berbagai agenda budaya menjadi daya tarik kota Solo bagi para wisatawan. Hal ini juga menjadi media peningkatan ekonomi masyarakat Solo terutama untuk produk oleh-oleh. Kata Kunci: kemasan, legalitas, pemasaran, produk kuliner oleh-oleh, industri rumah tangga Abstract Packaging is the process of protecting in order to support the product distribution, storage, and sale. The packaging process includes designing, evaluating, and producing the package. The material contained in a package will support of how the products can be delivered and arrived at the customers well. The material of the product legality to be one of the main references for customers in assessing, selecting, and purchasing the product. Product packaging and legality, are currently the problems faced by Micro Small Medium Enterprises, especially culinary products souvenirs from local home industry. Culinary souvenirs business is categorized as homebase industry with a simple packaging and minimum legality. This has made it difficult to reach national and international markets. Keywords: packaging, legal, marketing, culinary product souvenirs, home industry Pendahuluan Pemerintah Indonesia khususnya Kementrian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah saat ini tengah mengajak masyarakat untuk kreatif dalam mengembangkan usaha mikro kecil dalam rangka pengembangan kewirausahaan. Mariana Kristiyanti (2012) 1 2
Cahyani Tunggal Sari S.E., M.A., M.M. Dosen Manajemen, STIE-Adi Unggul Bhirawa, Surakarta BRM. Suryo Triono S.S., M.Hum. Dosen Manajemen, STIE-Adi Unggul Bhirawa, Surakarta
347
Cahyani Tunggal Sari BRM. Suryo Triono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
menyebutkan bahwa sejumlah UMKM di Indonesia memiliki peran yang strategis dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Namun, hal tersebut kurang didukung dengan sarana dan prasarana yang dapat meningkatkan pemasaran produk UMKM khususnya usaha mikro bagi industri rumah tangga. Endang Purwanti (2012), mengungkapkan bahwa kepedulian pemerintah terhadap UMKM sangat diperlukan demi perkembangan usaha dari UMKM. Masyarakat baik pedesaan maupun perkotaan, mulai dari usia muda hingga yang sudah lanjut banyak yang menjalankan industri rumah tangga. Produk kuliner oleh-oleh khas daerah menggunakan berbagai bahan baik pertanian maupun peternakan. Pengolahannya pun beragam, dari yang sederhana hingga yang sangat kreatif baik dari segi rasa, proses, maupun kemasan. Para pelaku usaha kuliner berlomba-lomba untuk membuat kemasan se-menarik mungkin sehingga mudah dilirik oleh konsumen. Dewi Shanti Nugrahani (2011) mengungkapkan bahwa salah satu permasalahan yang dihadapi UMKM adalah masalah permodalan dan pemasaran. Pelaku UMKM perlu mencari terbosan baru untuk dapat meningkatkan omzet penjualan. Saat ini pemasaran yang paling efektif bagi pelaku kuliner oleh-oleh ini melalui toko oleh-oleh setempat. Namun, dengan ruang yang tidak begitu luas, menjadikan setiap merk dari produk kuliner oleh-oleh khas daerah harus bersaing dari kemasannya. Peluang usaha kuliner oleh-oleh khas daerah saat ini cukup menjanjikan bagi daerahdaerah tujuan wisata, salah satunya kota Solo. Saat ini Solo menjadi salah satu sorotan bagi masyarakat Indonesia. Beberapa hal yang menjadikan Solo menjadi salah satu daya tarik media maupun wisatawan adalah: (1) Presiden Indonesia, Jokowi berasal dari kota Solo, (2) Agenda budaya baik nasional maupun internasional, (3) Kraton Kasunanan dan Mangkunegaran yang menjadi obyek wisata di kota Solo, (4) Kuliner kota Solo yang sudah menyebar melalui sosial media, (5) Batik Solo yang menjadi alternatif pakaian formal. Keunggulan kota Solo tersebut hendaknya dapat mendukung pemilihan strategi pemasaran produk kuliner oleh-oleh khas Solo. Sebagaimana disebutkan dalam Dimas Hendika Wibowo (2015) bahwa pemasaran perlu mendapat perhatian serius dari UMKM, terutama dalam penetapan strategi pemasarannya sehingga dapat menembus pasar baik domestik maupun mancanegara. Keberhasilan sebuah usaha juga tergantung pada bagaimana industri atau perusahaan tersebut menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sebagaimana diungkapkan oleh Gendut Sukarno (2009). Indonesia saat ini tengah berada di era MEA dan UMKM diharapkan mampu mengikuti perkembangan ini dengan meningkatkan kinerja pemasaran melalui berbagai inovasi produk. Inovasi produk tersebut dapat berupa inovasi dalam bentuk kemasan dan juga proses pengolahannya. Selain itu, untuk ikut serta dalam era MEA, UMKM juga dituntut untuk berperan aktif dalam mengurus legalitas terkait dengan usaha. Sehingga produk dari UMKM tidak hanya menembus pasar domestik tetapi juga mancanegara. Pentingnya inovasi produk, terutama kemasan serta legalitas usaha bagi pelaku UMKM khususnya pelaku usaha kuliner oleh-oleh khas Solo di era MEA ini, mendorong untuk dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini diharapkan mampu mengungkapkan peran kemasan dan legalitas usaha dalam pemasaran produk kuliner oleh-oleh khas Solo dalam pasar domestik maupun mancanegara. Kajian Pustaka dan Hipotesis Berdasarkan Undang-Undang No. 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro Kecil Menengah, pengertian dari usaha adalah sebagai berikut:
348
Cahyani Tunggal Sari BRM. Suryo Triono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
1. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 2. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. 3. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau Usaha Besar dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Usaha Besar adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh badan usaha dengan jumlah kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar dari Usaha Menengah, yang meliputi usaha nasional milik negara atau swasta, usaha patungan, dan usaha asing yang melakukan kegiatan ekonomi di Indonesia. Berdasarkan modalnya, jenis usaha dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Kriteria Usaha Mikro adalah sebagai berikut: a. Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). 2. Kriteria Usaha Kecil adalah sebagai berikut: a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah). 3. Kriteria Usaha Menengah adalah sebagai berikut: a. Memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b. Memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh milyar rupiah). Hingga saat ini, jika dikategorikan kedalam pengertian maupun besar modalnya, maka pelaku usaha kuliner oleh-oleh khas daerah sebagian besar masih termasuk dalam indusri mikro yang belum memiliki modal besar dan omzet yang besar. Hal tersebut juga dikarenakan dukungan sarana prasarana yang kurang meningkatkan nilai jual produk kuliner oleh-oleh khas daerah. Keuntungan yang diambil dari harga jual juga tidak terlalu besar. Kemasan Produk Kemasan sebuah produk merupakan salah satu hal penting bagi konsumen dalam mempertimbangkan keputusan membeli terhadap sebuah produk. Saat ini sudah banyak 349
Cahyani Tunggal Sari BRM. Suryo Triono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
beragam kemasan untuk produk kuliner oleh-oleh yang menarik dan dari berbagai bahan. Berbagai jenis bahan kemasan produk oleh-oleh diantaranya plastik dengan berbagai ketebalan, box karton, kaleng, kertas. Kemasan sebagai salah satu media komunikasi visual dari produk membutuhkan sebuah kreativitas dalam menyampaikan isi dari kemasan tersebut. Visualisasi sebuah kemasan produk kuliner hendaknya dapat mencerminkan isi dari kemasan tersebut. Kemasan produk yang baku biasanya berisi tentang: (1) Nama produk atau brand; (2) Bahan-bahan yang digunakan untuk produksi; (3) Tanggal kadaluarsa; (4) Nomor produksi; (5) Tanggal produksi; dan (6) Alamat produksi. Designer kemasan produk mempunyai peran penting dalam menuangkan keinginan dari pemilik produk terkait dengan visualisasi pada kemasan. Kreativitas designer kemasan akan teruji pada saat produk tersebut sudah masuk di pasaran dan bersaing dengan kemasan produk baik produk sejenis maupun berbeda jenis. Menurut Christine Suharto Cenadi (2000), kemasan harus dapat memberikan impresi spontan yang mempengaruhi tindakan positif konsumen di tempat penjualan. Fungsi dari kemasan sebuah produk adalah melindungi isi atau produk itu sendiri, terutama jika produk tersebut adalah produk makanan. Namun, sebagaimana disampaikan Hermawan Kartajaya (1996), seiring dengan perkembangan dunia desain dan pemasaran, fungsi dari kemasan tidak hanya melindungi dari isinya tetapi juga menjual dari isinya. Penampilan sebuah kemasan perlu memiliki daya tarik agar bagi pembeli produk. Daya tarik pada kemasan dapat digolongkan menjadi dua yaitupertama, daya tarik visual (estetika) yang berhubungan dengan faktor emosi dan psikologis yang terletak pada bawah sadar manusia. Menurut Christine Suharto Cenadi (1999), sebuah desain yang baik harus mampu mempengaruhi konsumen untuk memberikan respons positif tanpa disadarinya dan kedua, daya tarik praktis (fungsional) yang merupakan efektivitas dan efisiensi suatu kemasan yang ditujukan kepada konsumen maupun distributor. Aspek Legal untuk Pemasaran Produk Dalam Negri 1. Sertifikat P-IRT Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengatur bahwa tujuan pengaturan, pembinaan dan pengawasan pangan adalah untuk tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu dan gizi bagi kepentingan kesehatan manusia. Meng ingat hal tersebut diatas maka SP-IRT (Sertifikat Produksi Industri Rumah Tangga) dan izin Dinas Kesehatan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas Industri Rumah Tangga pangan, meletakkan Industri Rumah Tangga pangan dalam posisi strategis dan sehat. Dinas Koperasi dan UMKM saat ini sudah memberikan fasilitas kepada pelaku UMKM untuk mendapatkan P IRT gratis. Adapun syarat-syarat untuk mendapatkan izin edar P IRT ini antara lain: 1. Sudah pernah mengikuti program penyuluhan tentang ketahanan pangan bagi industri rumah tangga dari Dinas Kesehatan setempat. Keikutsertaan dalam kegiatan ini dibuktikan dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh pihak Dinas Kesehatan. Apabila mengikuti kegiatan penyuluhan ini secara mandiri, maka pelaku industry rumah tangga dikenakan biaya sekitar Rp 100.000,-. Sertifikat dari kegiatan penyuluhan tentang ketahanan pangan nantinya wajib disertakan pada saat pengumpulan formulir pengajuan izin P IRT. 2. Mengisi formulir pendaftaran izin P IRT yang dapat diambil di Dinas Kesehatan setempat dan melampirkan beberapa kelengkapan seperti data terkait produk (nama produk, lokasi produksi, data pemilik, fotokopi KTP pemilik usaha) 350
Cahyani Tunggal Sari BRM. Suryo Triono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
3. Melakukan uji bakteriologi produk di laboratorium Dinas Kesehatan setempat. Hasil dari uji bakteriologi ini harus dilampirkan pada saat pengumpulan formulir permohonan izin P IRT. Apabila kelengkapan sudah terpenuhi dan diterima oleh Dinas Kesehatan setempat, maka tim dari Dinas Kesehatan akan melakukan kunjungan ke lokasi produksi untuk meninjau apakah lokasi usaha sudah memenuhi standar layak dan sehat untuk melakukan produksi makanan. Jika sudah sesuai standar, maka Dinas Kesehatan akan menerbitkan ijin P IRT bagi industry rumah tangga tersebut. Jika belum, maka industri rumah tangga tersebut hendaknya memperbaiki beberapa masukan dari Dinas Kesehatan dan akan ditinjau ulang oleh Dinas Kesehatan. Permohonan tidak dapat dipenuhi apabila pangan yang diproduksi berupa : susu dan hasil olahannya, daging, ikan, unggas dan hasil olahanya yang memerlukan proses dan atatu penyimpanan beku, pangan kaleng, pangan bayi, minuman berakohol, air minum dalam kemasan (AMDK), pangan lain yang wajib memenuhi persyaratan SNI, dan pangan lain yang ditetapkan oleh Badan POM. 2. Perijinan Badan Pengawasan Obat dan Makanan a. Proses Pendaftaran Sejauh ini pendaftaran makanan dan minuman untuk seluruh wilayah Indonesia ditangani langsung oleh Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM. Untuk makanan dalam negeri diperlukan fotokopi izin industri dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan. Formulir Pendaftaran dapat diperoleh di Bagian Tata Usaha Direktorat Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM. Setelah formulir ini diisi dengan lengkap, kemudian diserahkan kembali bersama contoh produk dan rancangan label yang sesuai dengan yang akan diedarkan. Penilaian untuk mendapatkan nomor pendaftaran disebut penilaian keamanan pangan. b. Ijin Edar Produk Dalam Negri dari BPOM (MD) Pelaku usaha atau pemilik produk yang tidak termasuk dalam criteria makanan atau minuman dalam ijin edar P IRT wajib mengajukan ijin edar dari BPOM. Adapun syarat pendaftaran produk MD antara lain : (1) Fotokopi ijin industri dari Departemen Perindustrian dan Perdagangan atau Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM); (2) Hasil analisa laboratorium (asli) yang berhubungan dengan produk antara lain zat gizi (klaim gizi), zat yang diklaim sesuai dengan label, uji kimia, cemaran mikrobiologi dan cemaran logam; (3) Rancangan label sesuai dengan yang akan diedarkan dan contoh produk; (4) Formulir pendaftaran yang telah diisi dengan lengkap. c. Ijin Edar Produk Luar Negri dari BPOM (ML) Pelaku usaha atau pemilik produk yang tidak termasuk dalam criteria makanan atau minuman dalam ijin edar P IRT wajib mengajukan ijin edar dari BPOM. Adapun syarat pendaftaran produk ML antara lain : (1) Surat penunjukkan dari pabrik asal (surat asli ditunjukkan sedangkan yang fotokopi dilampirkan); (2) Health certificate atau free sale dari instansi yang berwenang di negara asal (surat asli ditunjukkan sedangkan yang fotokopi dilampirkan); (3) Hasil analisa laboratorium (asli) yang berhubungan dengan produk antara lain zat gizi (klaim gizi), zat yang diklaim sesuai dengan label, uji kimia, cemaran mikrobiologi dan cemaran logam; (4) Rancangan label sesuai dengan yang akan diedarkan dan contoh produk; dan (5) Formulir pendaftaran yang tekah diisi dengan lengkap. 3. Sertifikat Halal LP POM MUI Sertifikat Halal adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat atau Propinsi tentang halalnya suatu produk makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika. Suatu produk dinyatakan halal oleh MUI apabila sudah diteliti 351
Cahyani Tunggal Sari BRM. Suryo Triono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
dan dinyatakan bahwa produk tersebut terbuat dari bahan-bahan yang halal dan diproses dengan cara yang halal. Pernyataan sertifikasi halal bermanfaat dalam pemasaran produk. Produk yang memiliki sertifikat halal dan dipasarkan di kalangan masyarakat muslim membantu untuk memilah produk yang bisa dikonsumsi sesuai syariat Islam dengan yang haram. Produk yang memiliki sertifikat halal MUI juga dapat menjangkau seluruh kalangan masyarakat dan ada kepercayaan tersendiri dari konsumen terhadap produk-produk yang sudah bersertifikat halal. Menurut Muhammad Ibnu Elmi As Pelu (2009) dalam KN Sofyan Hasan (2014), Fungsi sertifikat halal dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu fungsi bagi konsumen dan fungsi bagi produsen.Fungsi sertifikat halal bagi konsumen antara lain : (1) Perlindungan bagi konsumen muslim terhadap produk-produk yang haram; (2) Memberikan rasa tenang dalam mengkonsumsi bagi konsumen; dan (3) Memberikan kepastian dan perlindungan hukum. Fungsi sertifikat halal bagi produsen antara lain : (1) Merupakan pertanggungjawaban produsen bagi konsumen muslim, dikarenakan halal merupakan salah satu prinsip hidup; (2) Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen; (3) Meningkatkan citra dan daya saing perusahaan; (4) Sebagai alat pemasaran dan memperluas jaringan pemasaran; dan (5) Meningkatkan omzet penjualan. 4. Ijin Usaha Industri Kecil Setiap usaha yang bergerak dalam sektor industri wajib memiliki izin dalam bidang industri. Hal ini tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 dan 2 peraturan menteri Perindustrian No. 41/M-IND/PER/2008 mengenai ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan tanda daftar Industri (PERMENRIND 41/-M-IND/PER/2008), dijelaskan bahwa: 1. Setiap pendirian Perusahaan Industri wajib memiliki Izin Usaha Industri (IUI), kecuali bagi Industri Kecil. 2. Industri Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki Tanda Daftar Industri (TDI), yang diberlakukan sama dengan IUI. Industri kecil, sebagaimana dijelaskan pada pasal 8 ayat 1 dan 2 PERMENRIND 41/M-IND/PER/2008mengenai ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan tanda daftar Industri: 1. Industri keci l yang wajib memiliki TDI sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (2), meliputi jenis industri yang tercantum dalam lampiran huruf D Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 07/M-IND/PER/5/2005 dan atau perubahaannya, dengan nilai perusahaan seluruhnya sampai dengan Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan. 2. Industri kecil sebagaimana dimaksud ayat (1) dengan nilai investasi seluruhnya sebagai berikut: a. sampai dengan Rp.5.000.000,-(lima Juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tepat usaha, tidak wajib Tanda Daftar Industri (TDI), kecuali perusahaan yang bersangkutan menghendaki TDI. b. di atas Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) sampai dengan Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, wajib memiliki TDI Dengan demikian, industri kecil yang memiliki nilai investasi kurang dari Rp. 5.000.000 ke bawah tidak mempunyai kewajiban untuk memiliki Tanda Daftar Industri (TDI). Namun apabila industri kecil tersebut ingin memiliki TDI, dapat mengajukan permohonan izin meskipun nilai investasi kurang dari Rp. 5.000.000.
352
Cahyani Tunggal Sari BRM. Suryo Triono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
5. Prosedur Ekspor Kegiatan ekspor barang merupakan sistem perdagangan yang memungkinkan seseorang mengadakan trading lintas negara. Saat ini pemerintah berupaya meningkatkan devisa dengan menggenjot arus Ekspor barang. Prosedur ekspor sebenarnya lebih mudah daripada kegiatan prosedur impor karena saat ini lebih banyak aturan yang mengatur tentang impor daripada tentang ekspor, terutama untuk masalah pembayaran pajak. Pada kegiatan impor hampir semua barang dikenakan bea masuk dan pajak impor lainnya, sedangkan pada saat ekspor lebih banyak barang yang tidak dikenakan pajak ekspor maupun bea keluar. Untuk pajak ekspor yang dikenakan diantaranya pada kegiatan ekspor kayu, rotan, juga CPO (crude palm oil). Untuk kegiatan ekspor yang lainnya saat ini tidak dikenakan pajak ekspor antaral lain adalah ekspor ikan, jagung, pisang, pakaian, alat elektronik dll. Dokumen yang perlu dipersiapkan oleh eksportit antara lain dokumen Pemberitahuan Barang Ekspor (PEB). PEB tersebut berisi data barang ekspor diantaranya : (1) Data Eksportir; (2) Data penerima barang; (3) Data Customs Broker (bila ada); (4) Sarana pengangkut yang akan mengangkut; (5) Negara Tujuan; dan (6) Detil barang, seperti jumlah dan jenis barang, dokumen yang menyertai,nomor kontainer yang dipakai.Setelah PEB diajukan ke kantor Bea Cukai setempat, akan diberikan persetujuan Ekspor dan barang bisa dikirim ke pelabuhan yang selanjutnya bisa dimuat ke kapal atau sarana pengangkut menuju negara tujuan. Eksportir juga perlu membayar pendapatan negara bukan pajak dengan besaran yang berbeda-beda ditentukan dengan keputusan menteri keuangan. Aturan pengiriman barang berbeda-beda sesuai dengan jenis barang. Sebagai contoh, barang yang berupa kayu memerlukan dokumen Laporan Surveyor, endorsement dari Badan Revitalisasi Industri Kayu. Namun banyak juga ekspor yang tanpa persyaratan atau ijin dari instansi terkait, misalnya ekspor sepeda, plastik, sirup, sepatu, kabel, besi, baja, mainan plastik, dan yang lain. Prosedur ekspor di Indonesia bisa melalui langkah-langkah sebagai berikut : (1) Mencari tahu terlebih dahulu apakah barang yang akan diekspor tersebut termasuk barang yang dilarang untuk di ekspor, diperbolehkan untuk diekspor tetapi dengan pembatasan, atau barang yang bebas diekspor (Menurut undang-undang dan peraturan di Indonesia). Untuk mengetahuinya bisa dilihat di www.insw.go.id; (2) Memastikan apakah barang diperbolehkan untuk masuk ke negara tujuan ekspor; (3) Jika sudah mendapatkan pembeli (buyer), menentukan sistem pembayaran, menentukan quantity dan spek barang, dll, maka selanjutnya mempersiapkan barang yang akan diekspor dan dokumen-dokumennya sesuai kesepakatan dengan buyer; (4) Melakukan pemberitahuan pabean kepada pemerintah (Bea Cukai) dengan menggunakan dokumen Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) beserta dokumen pelengkapnya; (5) Setelah eksportasi disetujui oleh Bea Cukai, maka akan diterbitkan dokumen NPE (Nota Persetujuan Ekspor). Jika sudah terbit NPE, maka secara hukum barang sudah dianggap sebagai barang ekspor; (6) Melakukan stuffing dan mengapalkan barang menggunakan moda transportasi udara (air cargo), laut (sea cargo), atau darat; (7) Mengasuransikan barang / kargo Anda (jika menggunakan term CIF); dan (8) Mengambil pembayaran di Bank (Jika menggunakan LC atau pembayaran di akhir). Adapun syarat untuk menjadi eksportir antara lain : (1) memiliki badan hukum (CV,PT, Firma, Persero, Perum, Perjan, Koperasi); (2) memiliki NPWP; dan (3) mempunyai salah satu izin yang dikeluarkan pemerintah seperti Surat Izin Usaha Perdagangan dari Dinas Perdagangan, Surat Izin Industri dari Dinas Perindustrian, atau Izin Usaha Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
353
Cahyani Tunggal Sari BRM. Suryo Triono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Pengembangan Hipotesis Pelaku UMKM khususnya industri rumah tangga produk kuliner oleh-oleh masih kesulitan untuk mendapatkan legalitas produk dan membuat kemasan yang dapat meningkatkan pemasaran domestik maupun mancanegara. Penelitian ini diharapkan mampu menjawab permasalahan sebagai berikut : 1. Apa saja peran kemasan dalam pemasaran produk kuliner oleh-oleh khas daerah? 2. Apa saja peran legalitas produk dalam pemasaran produk kuliner oleh-oleh khas daerah? Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan eksploratif deskriptif dengan menganalisis strategi pemasaran Usaha Mikro khususnya industri rumah tangga produk kuliner oleh-oleh khas daerah Solo ke wilayah domestik dan mancanegara. Karya ilmiah dikembangkan dengan menggunakan pendekatan kajian literatur atau studi putaka. Metode observasi juga dilakukan pada anggota forum komunikasi kuliner pada UMKM di kota Surakarta. Pendekatan teori merujuk dari beberapa sumber seperti buku, jurnal ilmiah, dan internet. Pembahasan Peran Kemasan dalam Pemasaran Dalam Negri dan Luar Negri 1.
Media pengaman Kemasan untuk produk kuliner yang beragam warna dan bentuk menarik bagi konsumen. Namun, yang utama dari sebuah kemasan, khususnya untuk produk kuliner oleh-oleh adalah dalam menjaga keamanan produk dari udara maupun cuaca sehingga tidak mudah hancur dan busuk. Dalam proses pengiriman juga membutuhkan kemasan yang kuat dan tahan banting, terutama jika sasaran pasarnya adalah pasar luar negri. Produk akan melewati proses pengiriman yang cukup lama. Salah satu kuliner oleh-oleh khas Solo yang saat ini mempunyai inovasi kemasan yang mampu menembus pasar internasional yaitu produk sambel pecel “Bu Jayus” dengan kemasan kaleng. Kemasan kaleng mempunyai daya tahan tinggi dan tahan banting, apalagi untuk pengiriman ke mancanegara. Selain itu, kemasan kaleng juga mampu memperpanjang masa kadaluarsa dari produk, dibandingkan dengan kemasan plastik.
2.
Media pemasaran Pemasaran yang inovatif juga perlu melibatkan kemasan yang menarik karena secara visual, kemasan produk menjadi faktor utama dalam menarik konsumen untuk membeli. Kemasan merupakan media pemasaran yang sangat efektif. Sesuai dengan salah satu strategi pemasaran, yaitu segmentasi pasar, kemasan dapat menjadi salah satu media untuk segmentasi pasar. Desaign kemasan dapat disesuaikan dengan segmentasi pasar dari produk. Sebagai contoh, produk dengan segmentasi pasar anak-anak, maka desain kemasan mengikuti tema yang sedang tren di kalangan anak-anak seperti desain animasi disney atau film anak-anak yang sedang diputar di media televisi. Begitu pula dengan desain kemasan produk kuliner oleh-oleh khas Solo, sebaiknya juga mencerminkan budaya dan pariwisata kota Solo seperti dengan menampilkan gambar salah satu obyek wisata kota Solo sebagai daya tarik konsumen. Salah satu produk kuliner oleh-oleh khas Solo yang 354
Cahyani Tunggal Sari BRM. Suryo Triono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
menggunakan media pariwisata kota Solo pada kemasannya yaitu produk intip “Intip Buntel”. Kemasan produk Intip Buntel menggunakan gambar keraton Kasunanan Surakarta dan juga maskot dengan pakaian adat Jawa sebagai salah satu daya tarik bagi konsumen. 3.
Media komunikasi Kemasan produk tidak hanya berfungsi sebagai pembungkus dari produk itu sendiri tetapi juga sebagai media komunikasi bagi produk di dalamnya. Gambaran produk beserta keterangan produk perlu disampaikan seperti : deskripsi singkat produk, komposisi produk, keterangan terkait legalitas, masa produksi dan kadaluarsa. Kuliner oleh-oleh khas Solo, sebaiknya juga mencantumkan keterangan bahwa produk tersebut merupakan makanan khas Solo, sehingga konsumen yakin untuk membeli dan menjadikannya buah tangan untuk dibawa ke kota ataupun negara lain. Kemasan yang difungsikan secara efektif sebagai media komunikasi produk mampu menarik segmen pasar dari produk tersebut sehingga mengundang konsumen untuk melakukan pembelian produk. Produk Intip Buntel yang merupakan produk UMKM kuliner juga mencantumkan tulisan “oleh-oleh saking Solo” sebagai salah satu media komunikasi kepada konsumen bahwa produk tersebut merupakan produk oleholeh.
Peran Legal dalam Pemasaran Dalam Negri dan Luar Negri 1.
Aset kepercayaan : meningkatkan kepercayaan konsumen Produk yang telah memiliki legalitas yang lengkap mampu meyakinkan pasar untuk mengkonsumsi produk tersebut. Legalitas minimal yang perlu dimiliki oleh produk kuliner oleh-oleh khas yaitu Ijin P IRT yang dikeluarkan oleh dinas Kesehatan. Dengan dimilikinya ijin tersebut oleh pelaku usaha kuliner, membuktikan bahwa produk tersebut layak untuk dikonsumsi. Masyarakat menjadi lebih yakin untuk membeli suatu produk makanan jika produk tersebut baik untuk dikonsumsi. Keberadaan sertifikat halal juga menjadi salah satu faktor kepercayaan masyarakat muslim untuk mengkonsumsi suatu produk.
2. Syarat edar Legalitas usaha seperti ijin usaha, ijin P IRT, dan badan hukum usaha di Indonesia menjadi salah satu syarat untuk dapat dipasarkan. Beberapa produk kuliner oleh-oleh khas Solo ada sudah dapat masuk ke supermarket, toko oleholeh, dan toko online diantaranya perlu memiliki ijin P IRT. Sedangkan untuk pemasaran mancanegara diperlukan ijin usaha, ijin Badan POM dan harus sudah berbadan hukum. Salah satu produk oleh-oleh khas Solo yang sudah memiliki syarat lengkap untuk prosedur ekspor (pemasaran mancanegara) yaitu sambel pecel “Bu Jayus” yang diproduksi oleh PT Sri Wiji Utami. Kesimpulan Keberhasilan sebuah industri diawali dari kemauan pelaku usahanya untuk berkembang. Begitu pula dengan pelaku usaha UMKM produk kuliner oleh-oleh khas Solo. Salah satu pelaku usaha yang berhasil naik kelas dari industri rumah tangga hingga berbadan hukum yaitu sambel pecel “Bu Jayus”. Kemauan pemiliknya untuk mengurus segala hal perijinan maupun mengembangkan produk dengan berbagai macam kemasan mampu 355
Cahyani Tunggal Sari BRM. Suryo Triono
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
membuahkan hasil yang saat ini mampu menembus pasar mancanegara. Kemasan dan Legalitas sebuah produk menjadi salah satu faktor utama dalam pengembangan pemasaran produk kuliner oleh-oleh khas terutama oleh-oleh khas Solo. Namun, untuk mengupayakan kemasan yang menarik dan legalitas yang memenuhi kebutuhan pemasaran domestik maupun mancanegara juga membutuhkan modal yang tidak sedikit. Peran pemerintah khususnya Dinas Koperasi dan UMKM dibutuhkan bagi perkembangan UMKM menuju pasar internasional. Daftar Pustaka Cenadi, Christine Suharto. 1999. Elemen-Elemen Dalam Desain Komunikasi Visual. Nirmana Vol.1 No.1. Cenadi, Christine Suharto. 2000. Peranan Desain Kemasan Dalam Dunia Pemasaran. Nirmana Vol.2 No.1. Hasan, KN Sofyan. 2014. Kepastian Hukum Sertifikasi dan Labelisasi Halal Produk Pangan. Jurnal Dinamika Hukum Vol.14 No. 2. Kartajaya.Hermawan. (1996). Marketing Plus 2000 Siasat Memenangkan Persaingan Global. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Kristiyanti, Mariana. (2012). Peran Strategis Usaha Kecil Menengah (UKM) Dalam Pembangunan Nasional. Majalah Ilmiah INFORMATIKA, 3(1). Nugrahani, Dewi Shanti. (2011). E-commerce untuk Pemasaran Untuk Produk Usaha Kecil dan Menengah. SEGMEN Jurnal Manajemen dan Bisnis. (1). Pelu, Muhammad Ibnu Elmi As. (2009). Label Halal; Antara Spiritualitas Bisnis dan Komoditas Agama. Malang : Madani. Peraturan Menteri Perindustrian. (2008). Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri. No. 41/M-IND/PER/2008. Purwanti, Endang. (2012). Pengaruh Karakteristik Wirausaha, Modal Usaha, Strategi Pemasaran Terhadap Perkembangan UMKM Di Desa Dayaan dan Kalilondo Salatiga. Among Makarti, 5 (9). Sukarno, Gendut. 2009. Meningkatkan Kinerja Pemasaran UMKM Melalui Peran Lingkungan, Inovasi Produk dan Kreatifitas Strategi Pemasaran. EKUITAS ISSN 1411-0393 Akreditasi No.110/DIKTI/Kep/2009. Undang-Undang Republik Indonesia. (2012). tentang Pangan. Nomor 18 Tahun 2012. Wibowo, Dimas Hendika., Arifin, Zainul.,& Sunarti. 2015. Analisis Strategi Pemasaran Untuk Meningkatkan Daya Saing UMKM (Studi pada Batik Diajeng Solo). Jurnal Administrasi Bisnis (JAB). 29 (1).
356
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
ANALISIS IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA PT INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA IMPLEMENTATION ANALYSIS OF GOOD CORPORATE GOVERNANCE IN PT INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA Rudy Hartanto¹, Helni Mutiarsih Jumhur ² ¹Prodi S1 Manajemen Bisnis Telekomunikasi dan Informatika, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,Universitas Telkom ²Staff Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Telkom ¹
[email protected], ²
[email protected] Abstrak Salah satu upaya perusahaan dalam memaksimalkan nilai adalah melalui pemisahan kepemilikan dari pengelolaan perusahaan. Melalui pemisahan ini kegiatan pengelolaan diharapkan lebih fokus dengan ditangani oleh pihak yang profesional. Meskipun mampu memberikan efektifitas dalam pengelolaan perusahaan, pemisahan ini juga menimbulkan masalah yang dikenal sebagai agency problem. Untuk melindungi kepentingan pemegang saham dibutuhkan suatu struktur dan proses yang mengarahkan dan mengelola kegiatan perusahaan secara menyeluruh untuk kepentingan pemegang saham dan tetap memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan lain. Struktur dan proses inilah yang disebut Good Corporate Governance (GCG). Penelitian ini bertujuan mengetahui implementasi GCG melalui penerapan prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG. Prinsip-prinsip yang digunakan berdasarkan Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik GCG pada BUMN yang meliputi transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Analisis data menggunakan penghitungan sesuai corporate governance self assessment checklist. Untuk interpretasi hasil perhitungan presentase menggunakan ketentuan Dean J Champion. Hasil penelitian menunjukkan implementasi prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kewajaran berada pada kategori sangat memadai, hanya prinsip kemandirian yang penerapannya cukup memadai. Untuk implementasi GCG secara keseluruhan presentase nilai yang didapatkan adalah 83,70% yang berarti penerapan GCG pada PT INTI telah sangat memadai. Kata kunci : Good Corporate Governance, Corporate Governance Self Assessment Checklist. Abstract One of the company's efforts in maximizing the value is through separation of ownership from management companies. Through this separation, management activities are expected to be more focused and to be handled by the professionals. Although the separation is able to provide effectiveness in managing the company, this also creates a problem known as the agency problem. To protect the interests of shareholders we need a structure and process of directing and managing the overall activities of the company for the sake of shareholders and still consider the interests of other stakeholders. The structure and the process is called Good Corporate Governance (GCG). This study aims to determine the GCG implementation through application of the principles contained in the GCG. The principles used by the Minister of State-Owned Enterprises No. "Kep-117 / M-MBU / 2002" concerning 357
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
the Implementation and Practice of GCG in SOEs which include transparency, independence, accountability, responsibility, and fairness. The type of the research is descriptive quantitative research. Data analysis using appropriate calculation of corporate governance self-assessment checklist. For the interpretation of the results of the calculation of the percentage is based on the provision Dean J Champion. The results show the implementation of the principles of transparency, accountability, responsibility and fairness in the category is more than adequate, only the application of the principle independence that category is just adequate. For the overall implementation GCG, the percentage of the value obtained was 83.70%, which means the application of GCG at PT INTI has been very adequate. Keywords: Good Corporate Governance, Corporate Governance Self-Assessment Checklist. Pendahuluan Peningkatan nilai perusahaan yang tinggi tentu menjadi harapan dan tujuan jangka panjang bagi setiap perusahaan. Dalam proses memaksimalkan nilai tersebut, pengelolaan perusahaan harus ditangani secara tepat dan profesional. Salah satunya adalah dengan memisahkan kepemilikan dari pengelolaan perusahaan. Dengan pemisahan ini kegiatan pengelolaan diharapkan lebih fokus dengan ditangani oleh pihak yang profesional. Meskipun mampu memberikan efektifitas dalam pengelolaan perusahaan, pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan dapat menimbulkan masalah yang dikenal sebagai agency problem. Seperti yang diungkapkan oleh Jensen dan Meckling (Warsono et al, 2009:10), agency problem adalah masalah yang muncul karena perbedaan informasi antara pemegang saham sebagai pihak yang memberikan amanat dengan manajemen sebagai pihak yang menerima amanat untuk mengelola perusahaan. Salah satu masalah dalam agency problem adalah perbedaan kepentingan antara pemegang saham dengan manajemen. Sebagai contoh, untuk meningkatkan bonus maka manajemen mungkin akan memoles laporan keuangannya sehingga kinerja perusahaan tampak lebih baik dari yang sebenarnya. Apabila laporan keuangan tidak akurat maka keputusan investasi yang diambil oleh pemegang saham menjadi tidak tepat. Pada akhirnya hal ini menyebabkan keinginan pemegang saham untuk memperoleh tingkat keuntungan tertentu menjadi tidak tercapai. Untuk melindungi kepentingan pemegang saham harus terdapat suatu struktur dan proses yang mengarahkan dan mengelola kegiatan perusahaan secara menyeluruh untuk kepentingan pemegang saham dan dengan memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan lain. Struktur dan proses inilah yang disebut dengan Good Corporate Governance. Secara umum, Good Corporate Governance (GCG) dapat dijabarkan menjadi beberapa prinsip yaitu Transparansi, Akuntabilitas, Pertanggungjawaban, Independensi, serta Kesetaraan dan Kewajaran (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006). Di Indonesia, konsep GCG mulai banyak dibicarakan ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1997. Krisis yang terjadi di Indonesia mengakibatkan banyak perusahaan tidak mampu bertahan, hal tersebut tercermin dari 16 bank yang dengan terpaksa harus dilikuidasi karena tidak mampu mempertahankan kelangsungan usahanya. Dalam kajiannya, Bank Pembangunan Asia menarik kesimpulan bahwa krisis ekonomi yang menimpa negara-negara di Asia Tenggara utamanya disebabkan karena sistem corporate governance yang buruk dalam perekonomian. Praktik-praktik corporate governance yang kurang terpuji sering ditandai dengan ciri-ciri dewan direksi yang tidak efektif, kontrol internal yang lemah, audit yang buruk, kurangnya disclosure yang seimbang, dan kurangnya penegakan hukum (Sutedi, 2011:50). Tuntutan pelaksanaan GCG di Indonesia utamanya ditujukan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini didorong oleh komitmen pemerintah untuk menciptakan 358
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
BUMN yang berkualitas global dan efisien dalam pengelolaannya. Banyaknya jumlah BUMN di Indonesia dengan hasil kinerja secara keseluruhan yang kurang menggembirakan dianggap hanya akan membebani anggaran negara (APBN). Menghadapi kondisi tersebut pemerintah Indonesia melakukan tindakan dengan perampingan jumlah BUMN yang telah dimulai sejak tahun 2007. Secara perlahan namun pasti jumlah BUMN mulai dikurangi dari semula berjumlah 140 tersisa 104 ditahun 2007, kemudian turun menjadi 87 pada tahun 2008, lalu tinggal 69 ditahun 2009 dan direncanakan hanya akan tersisa sebanyak 25 BUMN di Indonesia pada tahun 2015. BUMN perlu diatur serta dikelola secara efektif dan efisien sesuai dengan mekanisme GCG karena memiliki peran yang signifikan terhadap perekonomian nasional sebagai aparatur perekonomian negara. Namun, pada kenyataannya belum semua BUMN di Indonesia telah melaksanakan praktek GCG dengan sepenuhnya. Umumnya pelaksanakan GCG dikarenakan tuntutan regulasi saja tanpa praktik yang benar dan berkesinambungan dari nilai yang terkandung dalam prinsip GCG. Guna memaksimalkan implementasi GCG pada BUMN, pemerintah Indonesia menerbitkan Surat Keputusan Menteri BUMN No. Kep-117/M-MBU/2002 Tangal 31 Juli Tahun 2002 tentang Penerapan Praktik GCG pada BUMN. Konsep terkait GCG juga tertuang dalam pion IV dan poin VI dari penjelasan atas Undang-Undang No.19 Tahun 2003 tentang BUMN (Effendi, 2009:61). GCG merupakan hal yang esensial untuk diterapkan pada BUMN. Implementasi GCG serta tanggungjawab sosial perusahaan diyakini mampu menjadikan sebuah perusahaan lebih bernilai dan dihargai. Penelitian yang dilakukan oleh Mc Kinsey & Company (Mukharomah, 2010) membuktikan bahwa para manajer dana di Asia akan membayar 26-30% lebih untuk saham-saham perusahaan dengan GCG yang lebih baik daripada untuk saham-saham perusahaan dengan GCG yang meragukan. Hal senada juga disampaikan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) bahwa pedoman GCG yang disusun oleh lembaga tersebut antara lain bertujuan untuk memaksimalkan nilai perusahaan dan nilai perseroan bagi pemegang saham dengan penerapan prinsip-prinsip yang terkandung dalam GCG. PT INTI merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri dan rekayasa telekomunikasi. Pada tahun 1990-an PT INTI adalah perusahaan besar yang berjaya pada sektor manufaktur telekomunikasi. Namun memasuki tahun 2000 PT INTI mengalami penurunan kinerja dan oleh Kementrian BUMN digolongkan kedalam BUMN yang kurang berkembang. PT INTI juga sempat akan dimasukkan kedalam sebuah strategic holding bersama BUMN lainnya seperti PT Krakatau Steel, PT Barata Indonesia, PT LEN Industri dan PT PAL Indonesia. Berbanding terbalik dengan keadaan tersebut, sekarang PT INTI kembali tumbuh dengan kinerja perusahaan yang terus meningkat. Kinerja PT INTI yang terus meningkat dapat dilihat dari laporan keuangan perusahaan yang terus mengalami peningkatan pada pendapatan dan juga keuntungan perusahaan. Berikut gambaran peningkatan kinerja PT INTI dalam Tabel 1 : (Juta Rupiah) No. Uraian 2010 2011 2012 647.815,0 723.117,0 1.227.699,7 1. Penjualan 4.586 10.226 16.331,7 2. Laba Bersih 412.932,0 419.669,7 434.569,8 3. Ekuitas 4. Jumlah Aset 637.941,6 1.001.006,4 1.070.232,1 Sumber : www.inti.co.id (diakses tanggal 19 Februari 2014) Dari data yang disajikan pada Tabel 1 diperoleh informasi bahwa selama kurun waktu tiga tahun yaitu tahun 2010 sampai dengan 2012, penjualan PT INTI selalu mengalami kenaikan yang cukup signifikan dan tentunya hal tersebut diikuti oleh laba yang diperoleh 359
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
perusahaan yang juga terus mengalami peningkatan. Hal tersebut membuktikan bahwa PT INTI masih menunjukan eksistensinya dalam persaingan bisnis di sektor industri telekomunikasi. Sebagai BUMN, PT INTI telah menerapkan GCG dalam kegiatan pengelolaan perusahaan. Bagi PT INTI, GCG telah menjadi bagian dalam strategi perusahaan yang digunakan sebagai peningkat keberhasilan usaha. Proses pelaksanaan GCG telah dimulai sejak tahun 2004 dengan dibentuknya Komite Tata Kelola Perusahaan untuk membangun dasar penerapan GCG. Implementasi GCG INTI dapat dilihat pada kegiatan sehari-hari perusahaan yang antara lain telah menerapkan E-auction guna transparansi pengadaan barang dan jasa, memberdayakan website INTI untuk keterbukaan informasi, publikasi laporan keuangan perusahaan, perbaikan berbagai peraturan. Untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan standar pencapaian praktek GCG pada PT INTI dilakukan kegiatan monitoring dan evaluasi praktek GCG secara teratur dan berkesinambungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran implementasi GCG yang dilakukan oleh PT INTI. Pengukuran variabel GCG dilakukan menggunakan pedoman Corporate Governance Self Assessment Checklist yang dikeluarkan oleh KNKG. Pedoman tersebut digunakan karena manfaat dari Corporate Governance Self Assessment Checklist ini secara internal perusahaan cukup besar sehingga mampu menggambarkan implementasi yang dilakukan oleh perusahaan serta mampu mengidentifikasi bagian dari implementasi GCG yang masih lemah pada perusahaan agar dapat ditanggulangi. Tinjauan Pustaka Gede Raka dalam Effendi (2009:6) menjelaskan pada konsep Good Corporate Governance (GCG) memiliki arti secara tersirat bahwa sebuah perusahaan bukanlah sekedar mesin pencetak keuntungan bagi pemiliknya, akan tetapi perusahaan adalah sebuah entitas yang diharapkan dapat menciptakan nilai bagi seluruh pihak yang berkepentingan. Konsep yang dibawa GCG sesungguhnya mencerminkan pentingnya sikap berbagi, peduli dan melestarikan. Kata ”governance” berasal dari bahasa perancis yaitu “gubernance” yang berarti pengendalian. Kemudian kata tersebut digunakan dalam konteks kegiatan perusahaan atau jenis organisasi yang lain menjadi corporate governance. Dalam bahasa Indonesia corporate governance diterjemahkan sebagai tata kelola atau tata pemerintahan perusahaan (Effendi, 2009:1). Pasal 1 Surat Keputusan Menteri BUMN No. 117/M-MBU/2002 Tanggal 31 Juli 2002 tentang penerapan GCG pada BUMN memberikan pengertian bahwa GCG adalah sebuah proses dan struktur yang digunakan BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika. Secara singkat GCG diartikan sebagai seperangkat sistem yang digunakan guna mengatur dan mengendalikan perusahaan dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah bagi para pemangku kepentingan (Effendi, 2009:2). Sejalan dengan yang tertera dalam Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia (2006) yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) bahwa guna menjaga kesinambungan (sustainability) usaha serta tetap memperhatikan kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders), perusahaan harus memastikan bahwa setiap prinsip dalam GCG yaitu transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban dan kewajaran telah diterapkan pada setiap aspek bisnis dan disemua jajaran perusahaan. Prinsip-prinsip tersebut memiliki peran sebagai pijakan bagi perusahaan dalam memilih dan menetapkan berbagai aktivitas yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam penerapan GCG (Warsono et al, 2009:63). 360
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Tabel 2 Definisi Prinsip-Prinsip GCG Definisi Keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan bagi perusahaan. Kemandirian Suatu keadaaan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan pearturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip korporasi yang sehat. Akuntabilitas Kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. Pertanggungjawaban Kesesuaian didalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Kewajaran Keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangundangan yang berlaku. Sumber : Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 Prinsip GCG Transparansi
Instrumen utama yang digunakan dalam proses analisis penelitian ini adalah Corporate governance self assessment checklist yang disusun oleh KNKG. Tujuan penyususnan Corporate governance self assessment checklist adalah sebagai alat penilaian mandiri bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia guna mengetahui implementasi GCG di masing-masing perusahaan. Pertanyaan-pertanyaan yang disusun dalam corporate governance self assessment checklist tidak hanya ditujukan untuk memperoleh jawaban “ya” atau “tidak” tetapi menekankan pada proses implementasi GCG perusahaan. Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan dalam corporate governance self assessment checklist memiliki nilai nol dan sepuluh. Indikator dalam corporate governance self assessment checklist antara lain (Komite Nasional Kebijakan Governance, 2006) : 1. Nilai-nilai perusahaan, merupakan landasan moral dalam mencapai visi dan misi perusahaan. Nilai-nilai perusahaan pada dasarnya universal, namun dalam merumuskannya perlu disesuaikan dengan sektor usaha serta karakter dan letak geografis dari masing-masing perusahaan. 2. Hak pemegang saham, hak pemegang saham harus dilindungi dan dapat dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar perusahaan. 3. Dewan Komisaris, sebagai organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada Direksi serta memastikan bahwa perusahaan melaksanakan GCG. 4. Dewan Direksi, sebagai organ perusahaan yang bertugas dan bertanggungjawab dalam mengelola perusahaan. 5. Pemangku kepentingan, antara lain mereka yang memiliki kepentingan terhadap perusahaan dan mereka yang terpengaruh secara langsung oleh keputusan strategis dan operasional perusahaan serta masyarakat sekitar perusahaan. Perusahaan harus menjalin hubungan yang sesuai dengan asas kewajaran dan kesetaraan berdasarkan ketentuan yang berlaku bagi masing-masing pihak. 6. Pengungkapan, setiap perusahaan perlu membuat pernyataan tentang kesesuaian penerapan GCG dengan pedoman GCG dalam laporan tahunannya. 361
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur 7.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Pedoman pelaksanaan GCG, pelaksanaan GCG perlu dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Untuk itu diperlukan pedoman praktis yang dapat dijadikan acuan oleh perusahaan dalam implementasi GCG.
Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif, menurut Sekaran (2007:158) metode deskriptif dilakukan untuk mengetahui serta menjelaskan karakter variabel yang diteliti pada suatu kondisi. Tujuan penggunaan metode ini adalah untuk memberikan gambaran aspek-aspek yang relavan dengan fenomena dari perspektif seseorang, organisasi, orientasi industri dan lainnya. Sedangkan menurut Sugiyono (2012:11) metode kuantitatif diartikan sebagai “Metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan”. Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah GCG dalam penerapannya oleh PT INTI. Skala yang digunakan adalah skala Guttman. Penelitian menggunakan skala Guttman dilakukan bila ingin mendapatkan jawaban yang tegas terhadap suatu permasalahan yang ditanyakan. Tabel 3 Variabel Operasional Variabel Subvariabel Indikator Skala Transparansi Pengungkapan Kemandirian Nilai-nilai perusahaan Kinerja Dewan Direksi Good Akuntabilitas Kinerja Dewan Komisaris Corporate Ordin Hak pemegang saham Governan Pertanggungjawa al Pedoman pelaksanaan Corporate ce ban Governance Hubungan perusahaan dengan Pemangku Kewajaran kepentingan Sekaran (2007:241) menjelaskan populasi adalah keseluruhan kelompok orang, peristiwa, atau hal lain yang di investigasi oleh peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah Divisi Hukum dan Kepatuhan PT INTI. Sedangkan sampel menurut Zikmund (2010:42) adalah bagian kecil dari anggota populasi yang diambil menurut prosedur tertentu sehingga dapat mewakili populasinya. Pada penelitian ini menggunakan metode sensus dimana seluruh anggota populasi dijadikan sebagai responden untuk memperoleh data penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai pada divisi Hukum dan Kepatuhan PT INTI yang berjumlah 12 orang. Untuk teknik pengumpulan data, penulis menggunakan dua sumber informasi yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian ini didapat dari penyebaran kuesioner kepada responden penelitian yaitu pegawai yang berada pada Divisi Hukum dan Kepatuhan PT INTI, sedangkan data sekunder didapat dari studi pustaka dan dokumentasi. Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan mentransformasikan hasil penelitian yang berupa nilai dari jawaban responden dengan menggunakan Skala Guttman menjadi angka-angka dalam bentuk persen (%). Untuk interpretasi hasil perhitungan presentase, menggunakan ketentuan sebagaimana dijelaskan oleh Dean J Champion (Ulfa, 2011), sebagai berikut : 362
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
1) 0% - 25% berarti bahwa implementasi Good Corporate Governance (GCG) tidak memadai. 2) 26% - 50% berarti bahwa implementasi Good Corporate Governance (GCG) kurang memadai. 3) 51% - 75% berarti bahwa implementasi Good Corporate Governance (GCG) cukup memadai. 4) 76% - 100% berarti bahwa implementasi Good Corporate Governance (GCG) sangat memadai. Untuk mengetahui tanggapan responden penelitian mengenai implementasi GCG pada PT INTI dilakukan dengan analisis statistik deskriptif. Statistik deskriptif adalah teknik analisis yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara mendeskripsikan data yang telah terkumpul sesuai dengan hasil yang sebenarnya (Sugiyono, 2013:206). Setelah data ditabulasi dan dilakukan pengolahan selanjutnya hasil pengolahan tersebut digolongkan kedalam nilai jenjang dengan empat kriteria sesuai dengan ketentuan Champion. Hasil dan Pembahasan Hasil analisis berkaitan dengan tujuan untuk mendeskripsikan implementasi GCG oleh PT INTI. Kuesioner yang dibagikan kepada 12 responden telah terkumpul sejumlah sepuluh kuesioner yang menunjukkan tingkat pengembalian kuesioner adalah 83%. Dari lima subvariabel, empat subvariabel diantaranya berada pada kategori sangat memadai. Hanya satu subvariabel yang berada pada kategori cukup memadai yaitu subvariabel kemandirian. Seperti dijelaskan pada garis jenjang penilaian masing-masing subvariabel dari variabel GCG mulai dari persentase tertinggi sampai dengan yang terendah berikut ini : Tidak Memadai
0%
Kurang Memadai
Cukup Memadai
Sangat Memadai
25% 50%
100%
75% 2 3
1
5 4
Gambar 1 Garis Nilai Jenjang Subvariabel GCG Keterangan Gambar 1 : 1 = Transparansi (83%) 2 = Kemandirian (74,44%) 3 = Akuntabilitas (75,65%)
4 = Pertanggungjawaban (98%) 5 = Kewajaran (95%)
Pertanggungjawaban Subvariabel pertanggungjawaban memiliki presentase skor paling tinggi diantara keempat subvariabel lainnya sebesar 98%. Hal ini menunjukan bahwa pertanggungjawaban berada pada kategori sangat memadai, berdasarkan pernyataan yang disampaikan dalam kuesioner PT INTI dalam pengelolaannya telah mematuhi kebijakan atau peraturan terkait prinsip-prinsip korporasi yang sehat, serta telah mampu mempertanggungjawabkan kebijakan 363
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur perusahaan kepada pertanggungjawaban.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016 seluruh
stakeholders
dengan
berpegang
pada
prinsip
Kewajaran Presentase skor yang diperoleh subvariabel kewajaran setelah melalui pengolahan data adalah 95%. Penerapan prinsip kewajaran PT INTI telah mampu memberikan perlakuan yang setara kepada seluruh stakeholders seperti pemegang saham, kreditor, supplier, konsumen, karyawan, pemerintah, masyarakat dan lingkungan tentang ketentuan kerjasama, survei kepuasan, program pengembangan serta akses ke informasi lain terkait kepentingan masing-masing stakeholders. Transparansi Hasil analisis menunjukan subvariabel transparansi mendapatkan presentase skor sebesar 83% yang menjelaskan bahwa implementasi prinsip transparansi pada PT INTI masuk kedalam kategori sangat memadai. Hal tersebut terlihat melalui kemudahan bagi stakeholders untuk mengakses informasi yang mereka butuhkan dan untuk menjaga objektivitas dalam menjalankan bisnis, pengungkapan informasi yang sesuai dengan apa yang terjadi dalam perusahaan telah dilaksanakan oleh PT INTI untuk mewujudkan penerapan prinsip transparansi dengan benar sesuai dengan prinsip-prinsip korporasi yang sehat dalam kegiatan operasional perusahaan. Akuntabilitas Subvariabel akuntabilitas memperoleh hasil presentase skor sebesar 75,65%. Penerapan prinsip akuntabilitas yang dilaksanakan PT INTI termasuk dalam kategori sangat memadai. Berdasarkan hal tersebut pengelolaan PT INTI dapat dikatakan telah terlaksana secara efektif dan efisien melalui pelaksanaan fungsi serta tanggungjawab manajemen perusahaan yang profesional. Profesionalitas yang dibangun sebagai wujud penerapan prinsip akuntabilitas tercermin pada kode etik dan budaya yang dibangun PT INTI serta struktur organisasi yang secara jelas menggambarkan tugas, wewenang, dan tanggungjawab masingmasing pegawai dalam perusahaan. Kemandirian Subvariabel kemandirian memperoleh presentase skor paling rendah diantara keempat subvariabel lainnya yaitu sebesar 74,44%. Meskipun memperoleh hasil presentase paling rendah akan tetapi penerapan prinsip kemandirian pada PT INTI masih sesuai karena tergolong dalam kategori cukup baik. Berdasarkan pernyataan yang disampaikan dalam kuesioner menggambarkan masih adanya potensi komisaris dan direksi serta jajaran perusahaan sering menerima hadiah dan donasi dari mitra bisnis, masih terjadi penyalahgunaan informasi perusahaan untuk kepentingan pribadi komisaris, direksi ataupun seluruh jajaran perusahaan yang dapat memicu terjadinya konflik kepentingan serta intervensi dari pihak-pihak yang bersangkutan baik dari internal maupun eksternal perusahaan. Prinsip kemandirian diwujudkan PT INTI antara lain melalui kebijakan perusahaan terkait benturan kepentingan, auditor independen, serta kebijakan tentang larangan dan penerimaan hadiah. Pada analisis variabel GCG secara keseluruhan implementasi GCG pada PT INTI menghasilkan skor 83,70%. Skor tersebut menunjukkan implementasi GCG masuk kedalam 364
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
kategori sangat memadai. Dengan hasil tersebut dapat dikatakan PT INTI telah berhasil menerapkan GCG dalam pengelolaan perusahaan secara maksimal. Hal ini tentu akan mendukung perusahaan dalam pencapaian tujuan seperti yang tertera dalam Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik GCG di BUMN terkait tujuan penerapan GCG dalam perusahaan. Tidak Memadai
0%
Kurang Memadai
25%
Cukup Memadai
50%
Sangat Memadai
75%
100%
GCG PT INTI (83,70%)
Gambar 2 Garis Nilai Jenjang Variabel GCG Meskipun secara simultan implementasi GCG PT INTI telah berada pada kategori sangat memadai, akan tetapi jika ditinjau secara parsial terdapat satu subvariabel yang implementasinya dapat dikatakan belum maksimal karena masih berada pada kategori cukup memadai. Seperti telah dijelaskan sebelumnya subvariabel kemandirian adalah yang implementasinya belum maksimal. Untuk mampu mewujudkan nilai-nilai tata kelola perusahaan yang sehat tentunya PT INTI harus mengupayakan kelima prinsip GCG tersebut agar dapat masuk kedalam kategori sangat memadai. Setelah pemaparan hasil penelitian, berikut dijelaskan pembahasan mengenai implementasi GCG berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan melalui presentase skor yang didapat dari masing-masing subvariabel dan variabel GCG secara keseluruhan dalam implementasi GCG yang dilakukan oleh PT INTI. 1.
Transparansi, prinsip pertama dalam implementasi GCG di PT INTI ini memperoleh presentase skor sebesar 83% yang tergolong kedalam kategori sangat memadai. Bukti dari implementasi prinsip transparansi dapat dilihat pada kegiatan yang dilaksanakan PT INTI seperti vendor gathering, komunikasi internal atau forum komunikasi karyawan, pemberdayaan website INTI untuk keterbukaan informasi, penerapan Eauction guna transparansi pengadaan barang dan jasa, serta publikasi laporan keuangan perusahaan.
Gambar 3. Website PT INTI Sumber : www.inti.co.id (diakses tanggal 21 Agustus 2014)
2.
Gambar 3 menunjukan pemberdayaan website PT INTI guna keterbukaan informasi sebagai wujud implementasi prinsip transparansi dalam kegiatan bisnis perusahaan. Kemandirian, prinsip kedua dalam perwujudan GCG di PT INTI ini memperoleh presentase skor sebesar 74,44% yang tergolong kedalam kategori cukup memadai. 365
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur
3.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Implementasi prinsip kemandirian pada PT INTI digambarkan melalui auditor independen, RUPS, Kebijakan terkait benturan kepentingan, kebijakan pemberian donasi, dan kebijakan tentang larangan serta penerimaan hadiah. Prinsip kemandirian mendapatkan presentase skor paling rendah diantara prinsip-prinsip GCG lainnya yang mengindikasikan kurang maksimalnya upaya PT INTI dalam penerapan prinsip ini. Akuntabilitas, prinsip ketiga dalam implementasi GCG di PT INTI ini memperoleh presentase skor sebesar 75,65% dan memasukannya dalam kategori sangat memadai. Penerapan prinsip akuntabilitas terlihat dari penentuan tugas dan tanggungjawab setiap lini perusahaan secara jelas dalam struktur organisasi. Selain itu, didukung pula dengan hadirnya kode etik dan budaya perusahaan dalam PT INTI, kemudian adanya key performance indicator, kebijakan terkait whistle blower serta implementasi ISO sebagai upaya untuk pengelolaan perusahaan yang efektif dan efisien sesuai visi dan misi yang diusung perusahaan.
Gambar 4 Struktur Organisasi PT INTI Sumber : www.inti.co.id (diakses tanggal 21 Agustus 2014) Pada Gambar 4 menunjukan tugas dan tanggungjawab setiap lini dalam perusahaan secara jelas dalam bentuk struktur organisasi sebagai wujud implementasi prinsip akuntabilitas. 4. Pertanggungjawaban, prinsip keempat dalam perwujudan GCG di PT INTI ini memperoleh presentase tertinggi dengan skor sebesar 98% yang menggolongkannya kedalam kategori sangat memadai. Berdasarkan hasil tersebut pertanggungjawaban merupakan prinsip yang implementasinya paling optimal di PT INTI. Bukti dari implementasi prinsip pertanggungjawaban dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan PT INTI seperti laporan manajemen, anggaran dasar dan perubahannya, pengawasan 366
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
internal, perbaikan kesejahteraan karyawan, program kemitraan dan bina lingkungan, serta kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Gambar 5 Mitra Binaan PT INTI Sumber : www.pkblinti.org/modules/mitrabinaan (diakses tanggal 21 Agustus 2014)
5.
Pada Gambar 5 menjelaskan beberapa mitra binaan PT INTI yang juga menjadi salah satu perwujudan implementasi prinsip pertanggungjawaban dengan pelaksanaan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) INTI sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara RI No. PER-5/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan. Kewajaran, adalah prinsip kelima dalam implementasi GCG di PT INTI. Prinsip kewajaran memperoleh presentase skor sebesar 95%. Bukti implementasi dari prinsip kewajaran dapat dilihat dari kegiatan perusahaan antara lain perjanjian kerjasama, sistem karir, e-auction, dan job tender. Dengan hasil itu pula dapat dikatakan PT INTI telah mampu menghadirkan kesetaraan terhadap seluruh stakeholders.
Berdasarkan hasil analisis penghitungan terhadap variabel GCG secara keseluruhan melalui penentuan bobot pada masing-masing subvariabel sesuai dengan GCG self assessment checklist oleh KNKG, implementasi GCG pada PT INTI memperoleh skor sebesar 83,70%. Jumlah skor tersebut menggolongkan implementasi GCG pada PT INTI kedalam kategori sangat memadai. PT INTI telah melaksanakan GCG sejak tahun tahun 2004. Implementasi GCG pada PT INTI berpedoman pada Keputusan Menteri BUMN No. KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktik GCG di BUMN. Pelaksanaan penerapan GCG oleh PT INTI diatur secara sistematis melalui Road Map GCG INTI yang dimulai dengan langkah membentuk Komite Tata Kelola Perusahaan (GCG). Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Implementasi GCG yang dilaksanakan PT INTI jika dilihat melalui analisis secara parsial dan diurutkan dari prinsip yang memiliki jumlah presentase skor yang paling tinggi adalah prinsip pertanggungjawaban, kemudian prinsip kewajaran, prinsip transparansi, prinsip akuntabilitas dan yang memperoleh presentase skor paling rendah adalah prinsip kemandirian, serta hanya prinsip kemandirian yang tergolong dalam kategori cukup memadai sedangkan ke empat prinsip lainnya berada pada 367
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur
2.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
kategori sangat memadai. Hasil tersebut dapat dikatakan mewakili pendapat responden yang menggambarkan bahwa implementasi kelima prinsip GCG pada PT INTI telah memadai. Prinsip pertanggungjawaban mendapat penilaian yang paling memadai implementasinya sedangkan prinsip kemandirian mendapatkan penilaian yang kurang dibandingkan dengan prinsip lainnya. Implementasi GCG yang dilaksanakan PT INTI jika dilihat dari analisis secara simultan sesuai dengan penghitungan dalam GCG self assessment checklist yang disusun oleh KNKG mendapatkan skor sebesar 83,70%. Skor tersebut menggolongkan implementasi GCG pada PT INTI kedalam kategori sangat memadai. Dari hasil tersebut dapat mewakili pendapat responden yang menggambarkan bahwa implementasi GCG yang dilaksanakan PT INTI telah memadai. Implementasi GCG pada PT INTI yang telah memadai tercermin dari kegiatan sehari-hari perusahaan seperti pemberdayaan website PT INTI guna ketrebukaan informasi, Program Kemitraan dan Bina Lingkungan untuk memenuhi tanggungjawab sosial perusahaan serta pengaturan pelaksanaan GCG secara sistematis melalui Road Map GCG INTI.
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dalam penelitian, maka saran yang dapat disampaikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan yang dapat berguna bagi PT INTI ataupun pihak lain adalah sebagai berikut : 1. Penelitian ini memiliki keterbatasan pada kelima prinsip GCG untuk mengungkapkan implementasi GCG dalam perusahaan, karena itu perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai variabel-variabel lain yang dapat menjelaskan implementasi GCG lebih lanjut misalnya dibahas juga mengenai Corporate Social Responsibility (CSR) dalam perusahaan sehingga hasil penelitian dapat semakin luas. 2. Instrumen penelitian yang digunakan yaitu Corporate governance self assessment checklist memiliki kelemahan berupa subjektifitas data, karena itu guna mendukung tingkat keabsahan data yang lebih baik untuk penelitian selanjutnya dapat menggunakan instrumen tambahan seperti melakukan wawancara lebih mendalam atau dapat juga dengan melakukan observasi yang lebih mendalam terkait pelaksanaan GCG disebuah perusahaan. 3. Pada implementasi prinsip kemandirian yang dilaksanakan PT INTI memiliki hasil yang paling rendah dan menjadi satu-satunya prinsip yang pelaksanaannya masuk dalam kategori cukup memadai. Hal tersebut menggambarkan penilain responden bahwa implementasi prinsip kemandirian pada PT INTI harus dilaksanakan dengan lebih maksimal, misalnya dengan meningkatkan kepatuhan terhadap kebijakankebijakan perusahaan terkait prinsip kemandirian seperti kebijakan pemberian donasi dan kebijakan tentang larangan serta penerimaan hadiah. Melalui hal tersebut diharapkan implementasi GCG pada PT INTI dapat lebih optimal untuk kedepannya dengan tetap mempertahankan serta meningkatkan implementasi GCG untuk mewujudkan tata kelola perusahaan yang sehat dan mendukung kegiatan bisnis PT INTI menuju tujuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Daftar Pustaka Effendi, Muh. Arief. (2009). The Power of Good Corporate Governance : Teori dan Implementasi. Jakarta : Salemba Empat. Komite Nasional Kebijakan Governance. (2006). Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Jakarta : Komite Nasional Kebijakan Governance. 368
Rudy Hartanto Helni Mutiarsih Jumhur
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Mukharomah, Wafiatun. (2010). Meningkatkan Kinerja Perusahaan Melalui Praktek Corporate Governance pada Industri Kecil dan Menengah. Jurnal Manajemen dan Bisnis Vol. 14 No. 2. Surakarta : Universitas Muhammadiyah Surakarta. Retno, Reni Diah dan Denies Priantinah. (2012). Pengaruh Good Corporate Governance dan Pengungkapan Corporate Social Responsibility Terhadap Nilai Perusahaan (Studi Empiris Pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa efek Indonesia Periode 20072010). Jurnal Nominal Vol. 1 No. 1. Yogyakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Sekaran, Uma. (2007). Research Methods for Business. Jakarta : Salemba Empat. Siregar, Syofian. (2013). Metode Penelitian Kuantitatif (Dilengkapi dengan Perbandingan Perhitungan Manual dan SPSS). Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alfabeta. Sutedi, Adrian. (2011). Good Corporate Governance. Jakarta : Sinar Grafika. Ulfa, Umi Maria. (2011). Evaluasi Sistem Pegendalian Intern Pengeluaran Kas Pada PT Global Engineering Technology Jakarta. Jurnal Akuntansi Vol. 11 No. 2. Semarang : Universitas Diponegoro Warsono, Sony; Fitri Amalia, dan Dian Kartika Rahajeng. (2009). Corporate Governance Concept and Model: Preserving True Organization Welfare. Yogyakarta : Center for Good Corporate. Zikmund, William G; Barry J. Babin, Jon C. Carr, Mitch Griffin. (2010). Business Research Method 8th Edition. Canada : Cengage Learning. www.inti.co.id (diakses tanggal 19 Februari dan 21 Agustus 2014) www.pkblinti.org/modules/mitrabinaan (diakses tanggal 21 Agustus 2014)
369
Adhika Dwi Pramudita Rinabi Tanamal
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
STUDI ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM E-INNOVATION DENGAN MENGGUNAKAN VOTING DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENAMPUNG IDE INOVASI DI DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN KOTA SURABAYA Adhika Dwi Pramudita, Rinabi Tanamal Universitas Ciputra
[email protected] Abstract The problem is how to design and make E-Innovation technology prototype using Analytical Hierarchy Process. The purpose of this project is designing and making the EInnovation prototype which gives solution to increase quantity and quality of Innovation ideas at Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya. The Methods used to design and making the E-Innovation prototype are interview, observation, and experiment. The goal is to increase quantity and quality of Innovation ideas at Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya. Keywords: Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya, Innovation, E-Innovation, Analytical Hierarchy Process. Latar Belakang Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya merupakan salah satu lembaga pelayanan publik terbaik yang dipunyai oleh Kota Surabaya berdasarkan penilaian dari lembaga independen yang ditunjuk oleh Pemerintah Kota Surabaya. Dinas ini telah berkalikali memenangkan penghargaan sebagai lembaga dengan pelayanan terbaik terhadap masyarakat Kota Surabaya. Mereka terkenal dengan inovasi layanan yang terus menerus diperbaharui untuk pelayanan yang lebih baik. Inovasi adalah hal dasar yang diandalkan oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya. Pada pelaksanaannya, masih banyak hambatan yang menghalangi Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya melakukan inovasi. Pertama, berdasarkan hasil observasi pada tanggal 24 – 28 Oktober 2011 terlihat bahwa pegawai negeri sipil di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya sendiri cenderung hanya melakukan pekerjaan standard yang telah ditetapkan. Hal ini mengakibatkan kurang munculnya inovasi untuk menghasilkan layanan yang lebih baik. Sistem saat ini tidak memberikan kredit lebih bagi mereka yang terus-menerus menciptakan inovasi layanan yang bagus. Dampaknya, jumlah inovasi yang muncul sangat sedikit untuk diolah menjadi layanan baru yang bagus. Kedua, hambatan struktural yang ada sangat mengekang pegawai yang mempunyai potensi lebih. Pegawai yang mempunyai ide inovasi, harus melapor kepada Kepala Seksi atau Kepala Bidang. Apabila Kepala Seksi atau Kepala Bidang tidak menyampaikan ide inovasi tersebut terhadap Kepala Dinas dalam rapat, maka ide inovasi tersebut tidak akan pernah terwujud. Sering juga Kepala Seksi atau Kepala Bidang mengklaim ide pegawai tersebut sebagai ide mereka, sehingga merekalah yang mendapatkan kredit, bukan pegawai yang bersangkutan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah sistem baru yang memungkinkan karyawan yang awalnya malas menjadi termotivasi untuk mengeluarkan ide inovasi sekaligus menemukan karyawan berpangkat rendah namun berpotensi tinggi yang selama ini tertutupi oleh Kepala 370
Adhika Dwi Pramudita Rinabi Tanamal
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Seksi atau Kepala Bidang mereka. Ide E-Innovation akan menyelesaikan masalah ini. Sebuah internal web-based system yang dapat diakses seluruh pegawai Disperdagin dengan fitur-fitur khusus yang memungkinkan sebuah ide inovasi dapat diolah secara bersama-sama serta pemilik ide mendapatkan kredit khusus berupa penambahan poin. Sebuah ide inovasi akan dapat divoting oleh karyawan lain. Bobot nilai setiap voting akan berbeda dan ditentukan dengan metode Analytical Hierarchy Process. Apabila sudah mendapatkan jumlah poin tertentu, maka pegawai tersebut dapat menukarkannya dengan point E-Performance, sebuah software yang telah tersedia di pemerintahan Kota Surabaya untuk dapat menambah penghasilan mereka. Dengan dapat menukarkan point E-Innovation dengan point E-Performance, diharapkan dapat menyelesaikan masalah motivasi pegawai negeri dalam memberikan ide inovasi baru. Semakin banyak dan berkualitas ide inovasi yang mereka keluarkan, semakin besar kemungkinan mereka mendapatkan penghasilan tambahan. Pada akhir setiap cycle, pegawai negeri berhak memasukkan kontribusi mereka dari E-Innovation ke E-Performance secara manual. Pada sistem Analytical Hierarchy Process, diharapkan proses pemilihan ide inovasi dapat berjalan secara adil. Fitur ini akan membuat karyawan bertalenta tinggi yang sebelumnya tertutupi oleh atasan langsungnya, kini dapat menunjukkan kemampuan mereka kepada semua orang di organisasi. Apabila mereka terus-menerus memberikan ide inovasi melalui E-Innovation, maka bakat mereka pasti akan diketahui oleh Kepala Dinas dan bisa mendapatkan penghasilan tambahan atau malah kenaikan pangkat. Metode Metodologi penelitian yang digunakan dalam pembuatan tugas akhir ini adalah : 1. Studi literatur mengenai metode Analytical Hierarchy Process, penilaian sistem kinerja karyawan, dan bagaimana cara meningkatkan inovasi dalam sebuah perusahaan. 2. Pembuatan pertanyaan wawancara untuk mendapatkan data-data, informasi yang diperlukan, dan fitur-fitur yang diminta. 3. Perhitungan metode Analytic Hierarchy Process berdasarkan data-data yang didapatkan serta menentukan bobot nilai voting tiap pangkat/jabatan. 4. Proses perancangan dan pembuatan software requirements specification untuk teknologi E-Innovation. 5. Melakukan testing menggunakan prototype low-fidelity. 6. Membuat kesimpulan dari hasil testing. 7. Penulisan laporan. Hasil dan Pembahasan Model Innovation Tournament Apabila organisasi mengecek dan menganalisa ide inovasi yang diberikan oleh anggota satu per satu, tentunya akan memakan waktu cukup lama. Tentu sistem ini tidak akan cocok diterapkan dalam organisasi besar dengan ratusan atau bahkan ribuan karyawan di dalamnya yang ingin memberikan sumbangan terhadap kemajuan perusahaan. Untuk mempercepat proses seleksi inovasi, digunakan Innovation tournament. Innovation tournament biasanya digunakan untuk menyaring ribuan ide inovasi menjadi beberapa ide yang sangat kuat. Di dalam Innovation tournament, terdapat beberapa level filter yang akan membantu organisasi mencari ide inovasi yang terbaik. Organisasi 371
Adhika Dwi Pramudita Rinabi Tanamal
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
hanya perlu untuk mencari jenis filter yang tepat di masing-masing levelnya. Berikut adalah contoh model Innovation tournament yang sederhana.
Gambar 1 Contoh Model Innovation tournament Sumber: Terwiesch and Ulrich, 2009 Aplikasi E-Innovation akan menggunakan Innovation tournament sebagai kerangka dasar pembuatannya. E-Innovation akan mampu untuk menyediakan dua buah filter untuk Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya. Filter pertama akan berupa power vote dan filter kedua berupa Analytical Hierarchy Process menggunakan dimensi bisnis Fontana. Inovasi-inovasi yang telah lolos dari dua filter ini kemudian akan menjadi masukan untuk rapat tentang kemungkinan inovasi yang dapat diterapkan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya. Power Vote Sistem power vote adalah filter pertama untuk mewujudkan teori Innovation tournament dalam aplikasi E-Innovation untuk Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya. Seperti namanya, power vote tidak sama dengan sistem vote biasa. Apabila sistem vote dalam forum yang standard, semua vote bernilai 1, maka dalam power vote, nilai vote bisa berbeda-beda tergantung dengan siapa yang memberikan vote. Sistem vote biasa sangat tidak cocok dengan hasil wawancara yang menunjukkan struktur organisasi yang cukup dalam dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya. Pertama, ada banyak sekali level yang memisahkan antara Kepala Dinas dengan karyawan biasa. Pola piramida juga ditemukan dalam struktur organisasi ini, menyebabkan semakin tinggi jabatan, semakin sedikit orang yang mendudukinya. Jabatan yang lebih tinggi menunjukkan pengalaman dan pengetahuan seseorang di bagiannya. Posisi karyawan operasional mempunyai jumlah karyawan yang sangat banyak, namun tentunya dengan pengalaman dan pengetahuan yang jauh dibawah atasan mereka. Masalah kedua datang dari struktur organisasi yang memisahkan masing-masing department juga menyebabkan karyawan menjadi sangat spesialis, hanya mengerjakan apa yang di departmentnya kerjakan. Karyawan tidak boleh mengerjakan hal lain yang selain tanggung jawabnya yang telah ditulis di undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah terbit. Hal ini menyebabkan karyawan hanya mempunyai pengetahuan tentang departmennya dan sedikit atau bahkan tidak sama sekali pengetahuan tentang department lain. . Berikut adalah daftar nilai vote yang akan dipakai untuk dasar power vote dalam EInnovation yang sudah disetujui oleh Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya:
372
Adhika Dwi Pramudita Rinabi Tanamal
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Tabel 1 Nilai power vote yang sudah ditentukan Jabatan Value Dalam Bagian Masing-Masing Pengadministrasian Umum 3 0,5 Pengadministrasian Umum 2 0,5 Jabatan Value Dalam Bagian Masing-Masing Pengadministrasian Umum 1 1 Pengadministrasian Tertentu 3 1 Pengadministrasian Tertentu 2 1 Pengadministrasian Tertentu 1 1,5 Petugas Operasional 3 1,5 Petugas Operasional 2 1,5 Petugas Operasional 1 2 Penyelia Teknis 3 2 Penyelia Teknis 2 2 Penyelia Teknis 1 2,5 Perencana Teknis 3 2,5 Perencana Teknis 2 3 Perencana Teknis 1 3 Verifikator 3 Analis 3 4 Analis 2 5 Analis 1 6 Sub Bagian Tata Usaha 7 UPTD Pasar Turi 8 Seksi Perdagangan Dalam Negeri 7 Seksi Perdagangan Luar Negeri 7 Kepala Bidang Perdagangan 8 Seksi Logam, Mesin, Elektronika 7 & Aneka Seksi Industri Kimia, Agro & 7 Hasil Hutan Jabatan Value Dalam Bagian Masing-Masing Kepala Bidang Industri 8 Seksi Promosi 7 Seksi Pendaftaran Perusahaan 7 Kepala Bidang Promosi & 8 Pendaftaran Perusahaan Sub Bagian Umum & 7 Kepegawaian Sub Bagian Keuangan 7 Kepala Bidang Perdagangan 8 Kepala Dinas Perdagangan dan 10 Perindustrian Kota Surabaya Sumber: Berdasarkan data yang diolah
373
Adhika Dwi Pramudita Rinabi Tanamal
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Tabel 2 Nilai power vote apabila pengguna berada di bagian lain Jabatan Value Dalam Bagian Lain Pengadministrasian Umum 3 0,25 Pengadministrasian Umum 2 0,25
Jabatan Value Dalam Bagian Lain Pengadministrasian Umum 1 0,5 Pengadministrasian Tertentu 3 0,5 Pengadministrasian Tertentu 2 0,5 Pengadministrasian Tertentu 1 0,75 Petugas Operasional 3 0,75 Petugas Operasional 2 0,75 Petugas Operasional 1 1 Penyelia Teknis 3 1 Penyelia Teknis 2 1 Penyelia Teknis 1 1,25 Perencana Teknis 3 1,25 Perencana Teknis 2 1,5 Perencana Teknis 1 1,5 Verifikator 1,5 Analis 3 2 Analis 2 2,5 Analis 1 3 Sub Bagian Tata Usaha 3,5 UPTD Pasar Turi 4 Seksi Perdagangan Dalam Negeri 3,5 Seksi Perdagangan Luar Negeri 3,5 Kepala Bidang Perdagangan 4 Jabatan Value Dalam Bagian Lain Seksi Logam, Mesin, Elektronika & 3,5 Aneka Seksi Industri Kimia, Agro & Hasil 3,5 Hutan Kepala Bidang Industri 4 Seksi Promosi 3,5 Seksi Pendaftaran Perusahaan 3,5 Kepala Bidang Promosi & Pendaftaran 4 Perusahaan Sub Bagian Umum & Kepegawaian 3,5 Sub Bagian Keuangan 3,5 Kepala Bidang Perdagangan 4 Kepala Dinas Perdagangan dan 10 Perindustrian Kota Surabaya Sumber: Berdasarkan data yang diolah 374
Adhika Dwi Pramudita Rinabi Tanamal
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Analytical Hierarchy Process Analytical Hierarchy Process adalah hal utama yang ditekankan dalam aplikasi EInnovation ini. Metode Analytical Hierarchy Process dapat menilai secara objektif mengenai hal-hal yang sebelumnya sulit diukur seperti kualitas dari ide inovasi. Dalam E-Innovation, akan digunakan tiga level Analytical Hierarchy Process. Level satu adalah tujuan, yaitu menyaring tiga ide terbaik yang akan dibahas lebih lanjut oleh beberapa pimpinan teratas di rapat bulanan. Level dua berisi lima dimensi bisnis yang dapat diterapkan dalam E-Innovation di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya. Level tiga adalah enam ide inovasi terbaik yang akan diperoleh dari sistem web-based power vote dari E-Innovation. Berdasarkan hasil wawancara, maka dimensi bisnis Fontana yang akan dipakai sebagai variabel level dua adalah konsumen, pengalaman konsumen, proses, rantai pasok, dan pasar. Bentuk dasar dari konstruksi Analytical Hierarchy Processnya adalah sebagai berikut: Tujuan
Konsumen
Ide 1
Pengalaman Konsumen Ide 2
Proses
Ide 3
Rantai Pasok
Ide 4
Pasar
Ide 5
Ide 6
Gambar 2 Bentuk dasar konstruksi Analytical Hierarchy Process Sumber: Avanti Fontana 2009 Langkah pertama, kita harus menentukan perbandingan skala fundamental dari masing-masing faktor yang berada di level kedua. Setelah menentukan nilai kepentingan masing-masing, maka tiap kolom harus dijumlah untuk memudahkan perhitungan proses Analytical Hierarchy Process yang selanjutnya dengan tiga angka di belakang koma. Berikut adalah tabel yang menjelaskan perbandingan nilai kepentingan dari masing-masing faktor level dua dalam Analytical Hierarchy Process di E-Innovation. Tabel 3 Perbandingan nilai kepentingan Analytical Hierarchy Process Goal Pengalaman Konsumen Proses Pasar Rantai Konsumen Pasok Pengalaman 1 2 4 5 7 Konsumen Konsumen 1/2 1 3 3 6 Proses 1/4 1/3 1 2 5 Pasar 1/5 1/3 1/2 1 3 Rantai 1/7 1/6 1/5 1/3 1 Pasok Jumlah 2,093 3,826 8,700 11,330 22 Sumber: Berdasarkan data diolah. 375
Adhika Dwi Pramudita Rinabi Tanamal
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Proses selanjutnya dalam Analytical Hierarchy Process adalah perhitungan bobot relatif yang dinormalkan pada masing-masing faktor diatas. Berikut adalah perhitungan untuk tiap faktor dengan lima angka di belakang koma. Berikut adalah tabel yang menunjukkan hasil perhitungan bobot relatif dan eigenvector utama masing-masing faktor. Tabel 4 Hasil perhitungan bobot relatif dan eigenvector utama masing-masing faktor. Goal
Pengalaman Konsumen Proses Pasar Konsumen Pengalaman 0,47778 0,52274 0,45977 0,44131 Konsumen Konsumen 0,23889 0,26137 0,34483 0,26478 Proses 0,11945 0,08625 0,11494 0,17652 Pasar 0,09556 0,08704 0,05747 0,08826 Rantai 0,06832 0,04260 0,02299 0,02913 Pasok Jumlah 1 1 1 1 Sumber: Berdasarkan data yang diolah
Rantai Eigenvector Pasok Utama 0,31818 0,44396 0,27273 0,22727 0,13636 0,04546
0,27652 0,14488 0,09294 0,04170
1
1
Perhitungan level tiga tinggal memasukkan angka yang sudah dihitung diatas. Dengan Yi sebagai prosentase dari alternatif moda i dan V sebagai prosentase vote level kedua berdasarkan dimensi bisnis, maka rumus Analytical Hierarchy Process yang akan digunakan untuk E-Innovation adalah: Y1 = ( Vpengalaman konsumen(1) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(1) x 0,27652 ) + ( Vproses(1) x 0,14488 ) + ( Vpasar(1) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(1) x 0,04170 ) Y2 = ( Vpengalaman konsumen(2) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(2) x 0,27652 ) + ( Vproses(2) x 0,14488 ) + ( Vpasar(2) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(2) x 0,04170 ) Y3 = ( Vpengalaman konsumen(3) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(3) x 0,27652 ) + ( Vproses(3) x 0,14488 ) + ( Vpasar(3) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(3) x 0,04170 ) Y4 = ( Vpengalaman konsumen(4) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(4) x 0,27652 ) + ( Vproses(4) x 0,14488 ) + ( Vpasar(4) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(4) x 0,04170 ) Y5 = ( Vpengalaman konsumen(5) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(5) x 0,27652 ) + ( Vproses(5) x 0,14488 ) + ( Vpasar(5) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(5) x 0,04170 ) Y6 = ( Vpengalaman konsumen(6) x 0,44396 ) + ( Vkonsumen(6) x 0,27652 ) + ( Vproses(6) x 0,14488 ) + ( Vpasar(6) x 0,09294 ) + ( Vrantai pasok(6) x 0,04170 )
376
Adhika Dwi Pramudita Rinabi Tanamal
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Berikut adalah contoh perhitungan nilai Analytical Hierarchy Process dalam PHP:
Kesimpulan Berdasarkan perancangan dan prototype yang telah dibuat, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1. Aplikasi E-Innovation dapat memberikan satu platform bagi Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya untuk menilai sebuah ide inovasi secara lebih objektif menggunakan power vote dan Analytical Hierarchy Process. 2. Aplikasi E-Innovation telah berhasil dibuat prototypenya dengan fitur-fitur sebagai berikut: a. Fitur memberikan ide inovasi telah berhasil dibuat untuk memungkinkan semua karyawan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya dapat memberikan ide inovasi mereka untuk kemudian dinilai menggunakan E-Innovation. b. Fitur memberikan komentar dalam ide inovasi telah berhasil dibuat untuk memungkinkan semua karyawan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya bisa memberikan komentar terhadap ide inovasi dan berdiskusi tentang hal tersebut. c. Fitur memberikan vote dalam ide inovasi telah berhasil dibuat untuk memungkinkan semua karyawan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya bisa memberikan vote terhadap ide inovasi yang mereka sukai. d. Fitur power vote dalam ide inovasi telah berhasil dibuat untuk memungkinkan semua karyawan di Dinas Perdagangan dan Perindustrian mempunyai nilai votenya sendiri-sendiri tergantung dengan jabatan dan department mereka. e. Fitur Analytical Hierarchy Process telah berhasil dibuat untuk memungkinkan semua ide inovasi yang sudah lolos pada tahap vote akan dinilai menggunakan metode Analytical Hierarchy Process sesuai dengan nilai faktor yang dihitung secara akurat berdasarkan hasil wawancara. 377
Adhika Dwi Pramudita Rinabi Tanamal 3. 4.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Aplikasi E-Innovation tidak dapat memasukkan pengalaman seseorang dalam bagian lain. Aplikasi E-Innovation tidak dapat melakukan perbaikan secara berjenjang pada ide awal.
Saran Dari perancangan dan prototype yang telah dilakukan, maka didapatkan beberapa saran untuk penelitian-penelitian kedepan antara lain: 1. Penggunaan faktor-faktor lain untuk Analytical Hierarchy Process selain dimensi bisnis Fontana. 2. Menyediakan waktu yang lebih banyak untuk melakukan testing dalam aplikasi. 3. Membuat desain yang jauh lebih menarik. 4. Pembuatan aplikasi E-Innovation ke dalam platform lain seperti iPhone, iPad, Windows Mobile, dan Android. Daftar Pustaka Barton Rabe, Cynthia. 2006. The Innovation Killer. New York: Amacom. Beighley, Lynn & Michael Morrison,.2009. Head First PHP and MySQL.USA: O‟Reilly. Duarte, Deborah L & Nancy Tennant Snyder. 2008. Unleashing Innovation, how whirlpool transformed an industry. San Francisco: Jossey-Bass. Fontana, Avanti. 2009. Innovate We Can! How to Create Value Through Innovation in Your Organization and Society. Jakarta: Cipta Inovasi Sejahtera. Heller, Robert, & Herbayu Noerlambang. 2008. Bill Gates: Jenius Revolusi Software dan Master Abad Informasi. Jakarta: Esensi. Kroenke, David M. 2004.Database Processing Fundamental, Design and Implementation. USA: Pearson. Mulyana, Deddy, Solatun. 2007. Metode Penelitian Komunikasi: Contoh-Contoh Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Praktis. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya. Munadi, Ernawati, & Wayan R. Susila. 2007. Penggunaan Analytical Hierarchy Process Untuk Penyusunan Prioritas Penelitian. Jurnal Informatika Pertanian Volume 16 No 2. Peraturan Walikota Surabaya Nomor 91 Tahun 2008 Tentang Rincian Tugas dan Fungsi Dinas Kota Surabaya. Powell, Gavin.2006. Beginning Database Design. USA: Wiley Publishing. Revisi Usulan Jabatan Staf Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya Tahun 2012. Richardson, Adam.2010. Why a Company Toughest Problems are its Greatest Advantage. San Francisco: Jossey-Bass. 378
Adhika Dwi Pramudita Rinabi Tanamal
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Sevilla, Consuelo G [et al.], Alimuddin Tuwu. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Siswanto, Hendro, & Sebastianus Ari Yudhanto. 1999. Penggunaan Metode Analytic Hierarchy Process Dalam Menganalisa Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Moda ke Kampus. Jurnal Dimensi Teknik Sipil Volume 1, No. 1. Terwiesch, Christian, & Karl T.Ulrich. 2009. Innovation Tournaments: Creating and Selecting Exceptional Opportunities. Boston: Harvard Business Press.
379
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
THE INFLUENCE OF FIRMS WITH EXCESS FREE CASH FLOW AND LOW GROWTH PERSPECTIVE TOWARDS EARNING MANAGEMENT Marika Suma Raya Sembiring Fakultas Bisnis Universitas Presiden
[email protected] Kathleen Kusuma Nugroho Fakultas Bisnis Universitas Presiden
[email protected] Abstract This research aims to investigate whether firms with excess of free cash flow and low growth perspective are tend to engage in earnings management with several control variables included. We predict the relationship between each variable using multiple regressions model. The data sample used is manufacturing companies listed in IDX from the year of 2012 to 201. The result of this research presents that there is no significant relationship between excess of free cash flow and earnings management. The reasons behind this result might be a difference in type of agency problem, in dividend policy, and in organization behavior widespread across the countries. However, we found a significant relationship between control variables to the dependent variable by means of discretionary accruals, which are firm size, IFRS implementation and audit quality towards earnings management. Keywords: Agency Problem, Earnings management, Excess Free Cash Flow, Dividend Payment. Background According to Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 1, earnings information is fundamental and important information for creditors, investors, and other users of financial statements which aims to evaluate the performance of management, estimate “earning power” of a firm, forecast future earnings, and asses the investing and borrowing risk. In regards with this issue, the primary accounting standard-setting bodies – the International Accounting Standards Boards (IASB) and the Financial Accounting Standards Boards (FASB) requires that an entity should present its financial statements using the accrual basis of accounting, except for cash flow information. The accrual basis of accounting is an accounting system trying to combine current cash inflows or outflows with the future expected cash inflows or outflows to provide a clearer image of a company’s current financial condition. The research of Dechow, Richardson & Tuna (2003) indicates that accruals significantly influence the earnings quality. Despite that the standard setters require the implementation of accrual basis in a firm, at the same time it allows the management to have some flexibility in accounting discretion over the recognition of accruals. This discretion may lead the management to opportunistically manipulate earnings (Dechow, 1994) and to its expected level that potentially could mislead the users of financial statements. This earnings manipulation latter known as earnings management. Earnings management refers to apply accounting method under generally accepted accounting principles (GAAP) intentionally in order to have discretion over discretionary account to achieved a desired earnings (Bhundia, 2012). The extreme action of earnings management may lead to a financial fraudulent or even a 380
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
bankruptcy of a firm. For example, the scandal of Satyam Computer Service (IND), which is also called the Enron of India leads to a huge lost for its investor as much as $2.2 billion as Satyam’s shares shrunk responding to the company’s former chairman’s confession that he had manipulated the company’s earnings nearly $1.1 billion (Balachandran, 2015). There are many factors which might influence the management to have discretion over accruals account in order to achieve desired earnings, one of them is agency problem between management and shareholders. Jensen & Meckling (1976) describe the shareholders of firm as the principal, and the management as the agent. The agent acts as the representative of the principals within the firm and is responsible to them by disclosing the performance of a firm during one accounting period in the form of financial statements. However, if both management and principal have self interest in maximizing their own wealth, thus it is quite reasonable to believe that an agent does not always act on behalf of the principal and in the best interest of the principal. Instead, an agent might act to maximize their interest at the expensed of the principals. Companies with high level of free cash flow have bigger chance to engage in earnings management. Previous researches indicate that companies with high level of free cash flow and low investment opportunity are more often facing the major agency problem (Chung, Firth & Kim, 2005). According to Jensen, dividend distribution to shareholders creates a conflict between management and shareholders since it reduces the available resource of fund which is in the control of managers. As well as Jensen, lots of financial analysts raise the same argument that the available resource in cash should be invested in fixed assets only (cash used in investing activities), but should also be distributed as dividend to shareholders. This reduction of available resource might impact to the power of managers within the firm, and thus makes managers do monitoring of the capital market in order to obtain new fund. In order for the resources not leaving the firm, in the absence of shareholders’ supervision, manager may use this opportunity to maximize their wealth by investing the available free cash flow in unprofitable projects, misuse the funds over investments (Jensen, 1986). Meanwhile, it is by no means that the shareholders would like to forgo dividend but do not require a higher return on this investment. Yet, keeping a promise to give higher return is not that easy and simple, therefore, earnings management plays role as a tool to camouflage the impact of negative investment to soothe the shareholders and preserve the managers’ position at the same time (Cardoso, Martinez, & Teixeira, 2014). Equally important, there will be so many factors which might influence earnings management, thus the researcher tries to consider other factors such as shareholder’s concentration, the size of the firm, leverage, audit quality, loss, and IFRS implementation to support this research. The result from previous studies done by Chung, Firth, Kim (2005), Bukit and Iskandar (2009), Bundhia (2012), and Cardoso et al (2014) support the theory of Jensen (1986) that it is found a positive relationship and significant influence between excess of free cash flow to earnings managements which is measured by discretionary accruals in firms with excess of free cash flow and low growth firms. Thus, it can be concluded that the theory of free cash flow by Jensen (1986) might still be relevant to current condition. However, this study does not aim to proof the relevancy theory of Jensen to current condition, instead this study aims to give another perspective regarding the relationship between free cash flow and earnings management according to free cash flow theory by Jensen especially in Indonesia where there still few researches discussing about this topic.
381
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Literature Review and Hypothesis Development Literature Review Earnings Management According to Healy and Whalen (1999) in Bukit and Iskandar (2009), companies facing major agency problems are very common to engage in earnings manipulation. It may involve manipulation on accounting documents, intentional omission or misuse of accounting principles. It gets severe when earnings manipulation leads to earnings fraud which is a fraudulent in financial reporting by presenting misleading information in financial statements to deceive the users (MIA, 2002). “Earnings management occurs when managers use judgment in financial reporting and in structuring transactions to alter financial reports to either mislead some stakeholders about the underlying economic performance of the company or to influence contractual outcomes that depend on reported accounting numbers” (Healy & Wahlen, 1999; p.6). According to Bukit & Iskandar (2009), direct rewards in the form of compensation and bonus or indirect rewards by offering a future promotion, a prestigious position or job, and job security are often motivating managers to gain personal benefits. Mostly, these rewards are given based on company’s earnings achievement. If it is, then managers will be likely to perform in order to fulfill their self interest as to gain personal benefits offered by presenting a good performance of the company to shareholders through earnings management. The ability of managers to manage accruals in order to affect the reported earnings as well as affect the managers’ compensation may lead to major agency problem. As a result of earnings management, the financial reporting does not faithfully present and reflect the real economic conditions of the company. In the other side, the users of financial statements use the financial information to make decisions which are reflected in the share price. The decisions made based on the “managed” accounting information may cause the shares undervalued. There have been many researches studied about earnings management and thus the proxies of earnings management are developing. The researchers use discretionary accrual proxy such as Healy (1985) uses total accruals, DeAngelo (1986) uses changes in total accruals, Jones (1991) uses residual from regression of total accruals on changing in sales and property, plant and equipment, and Modified Jones Model from Dechow et al.(1996) uses residual from regression of total accruals on change in sales and property, plant and equipment, when revenue is adjusted for change in receivables in the event period. In this research, researcher applies The Modified Jones Model by Dechow (1996) to detect earnings management practice since this model includes the changes in total receivables which believed to be potentially manipulated. Therefore, this model might be the most effective one to detect earnings management since there are many studies which had been used this model already. Hyphotesis Development The Relationship between Free Cash Flow and Earning Management Jensen (1986), in Bhundia (2012), introduced the theory of free cash flow and defined it as the cash from operating activities after deducting any payment in cash in order to have excess cash to be invested in project with positive net present (NPV) value when it is discounted with weighted averaged cost of capital (WACC). According to Len and Poulsen 382
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
(1989) in Cardoso et al (2014) free cash flow is operating income before depreciation expense after tax, interest expense and preferred and common stock dividend payment. For Dechow and Ge (2006) free cash flow is the cash flows from operating activities plus the cash flows from the investment activities. According to Bundhia (2012) and Jensen (1986), allocating free cash flow is the most common agency problem faced by the company. Agency problem is raised when free cash flow available in the company is not used for the best interest of shareholders. Instead, in the absence of direct monitoring from the shareholders the managers choose to invest in unprofitable projects for their self interest at the expense of shareholders. The negative impact of this unprofitable investment may lower the growth of the company (Bhundia, 2012) and lead to lower stock price which might adversely affect the company’s financial position and possibly cause the managers to be replaced (Nikhili, Amar, Chtioui, & Lakhal, 2016). The asymmetry gap between the management and shareholder may allow the managers to cover the negative impact of unprofitable investment by presenting as minimal disclosure as possible regarding the activities or manipulating the accounting number (Bukit & Iskandar, 2009). As a result, investors do not have any access of information whether the investment is giving benefit or loss to their wealth (Chung et al, 2005). Nekhili et al (2016) finds out that availability of free cash flow allows manager to have the opportunity to manage earnings. Cardoso et al (2014) and Bundhia’s (2012) studies result the same findings that firms with excess of free cash flow and low growth perspective tend to engage in earnings management. However, Rusmin et al (2014) documented a positive relationship between free cash flow and earnings management, however this relationship is partially applicable in Singapore, yet it is not applicable in Indonesia. Selahudin et al (2016) recently also conducted a research to seek relationship between free cash flow and earnings management in Thailand and Malaysia, and found no significant relationship between earnings management and free cash flow. Taking all of these into accounts, these arguments lead to our hypothesis: H1: There is a significant relationship between firms with excess of free cash flow and low growth perspective towards discretionary accruals by means of earnings management. Control Variables of Earnings Management. Leverage Debt covenant hypothesis in Positive Accounting Theory presented that the higher the debt to equity ratio of a firm, the closer it may violate the debt covenant, and thus managers are motivated to select accounting method which may allow them to drag reported income from next period to the current period. This is because higher net earnings will reduce the probability of a firm to breach debt covenant since if the firms are violating the debt agreement, they might be fined some penalties by the debtors. Lambert (2001) in Cardoso et al (2014) suggests that to avoid breaching a debt covenant, managers may exercise their influence over financial reporting. Beatty and Weber (2003) in Bhundia (2012) suggests that leveraged firms engage in earnings management to avoid debt covenant default. Firm Size Relationship between firm size and earnings management suggested that larger firms are usually under pressure of capital market monitoring and thus show more tendency towards earnings management (Lusi & Swastika, 2013). Consistently, Barton and Simko 383
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
(2002) in Cardoso et al (2014) indicate that larger firms encounter higher pressure on meeting or beating the analyst’s expectations. Large firms usually have higher current assets which turn to give discretion to manage earnings. Watts & Zimmerman (1986) suggested that firm size might lead to higher political cost. Larger firms usually face higher political costs and therefore are motivated to apply accounting discretion in order to reduce unwanted political views. Government also requires large company to do more corporate social responsibilities. Hence, larger company has probability to lower its profit in order to evade the control from government and reduce political cost. It concludes that the larger the firms are, the higher the political costs and the scale cost. Audit Quality The existence of asymmetry gap between principal and management in agency problem creates a demand for external audit. The responsible of external auditors are to verify the conformity of financial statements to GAAP and whether the information disclosed is faithfully reflecting the company’s economic true condition (Lin & Hwang, 2010). The audit opinion given by the external auditors adds credibility to the company’s financial statements. In addition, auditing standards require the external auditors to discus and communicate with audit committee not only the acceptability of accounting principles applied but also the quality. Therefore, it is expected that audit quality will reduce the risk of material misstatement or omissions in financial statements as well as to reduce earnings management. IFRS Accounting theory argues in order to reduce the information asymmetry; firm should disclose the financial statements which reflect the firm’s economic true condition in a timely basis (S.Soderstrom & Sun, 2007). Before the implementation of IFRS is adopted widespread across the countries, companies followed a variety GAAP of every country. The implementing of IFRS gives a shared set of standard which can help to easily having a big picture about the financial performance and condition of companies across different countries. This may enhance the transparency of financial reporting disclosed and improve its quality so that the reliable accounting number may be presented to users (Jeanjean & Stolowy, 2008). The higher quality of financial reporting may lower the possibility of earnings management. Shareholder’s Concentration Managerial ownership can be defined as the share owned by stakeholders who are actively taking roles in decision making. Management ownership is aiming to give reward to the management for their dedication and performance. It is believed that management ownership may reduce agency costs as managers with relatively large share are more in line with shareholder’s motivation and interests, and thus may reduce earnings management (Chung, Firth, & Kim, 2005). Absolute Total Accrual According to Becker et al (1998) in Rusmin et al (2014) the absolute total accrual is included to be the control variable in this research in order to control a firm’s “accrualgenerating potential”. The theory developed is firms with higher total accrual are likely to 384
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
engage in earnings management (Krishnan, 2003). Thus, we would expect a positive relationship between absolute total accruals and discretionary accruals. Cash Flow Cash flow is the net amount of cash and cash-equivalents which flow into and out of a business. Amount of positive cash flow indicates that a firm’s liquid assets is increasing which enables it to pay for debts, invest this resources into new project or business, and pay dividends. According to Bukit and Iskandar (2012), a higher level of cash flow might motivate managers to use discretionary accruals to smooth earnings in order to meet analyst’s projections and increasing stock price. Chung et al (2005) also argues the same thing with Bukit and Iskandar (2012), that these authors expect a positive relationship between cash flow and discretionary accruals by means of earnings management. Research Methodology Sample The sample of this research is manufacturing companies listed in Indonesian Stock exchange in the period year from 2012 to 2015. The criteria applied are in these following: 1. Companies which are continually listed from 2012 to 2015. 2. Companies which continually published a complete set of financial statements from 2012 to 2015. 3. Companies which provide the necessary information used in data processing (calculation of each variable measurement). 4. Companies whose accounting period ends in December 31 from 2012 to 2015. Operational Definition and Variable Measurement Dependent Variable: Earning Management The proxy used to measure earnings management is discretionary accruals (DA). The model applied is Modified Jones Model by Dechow (1996) to separate non-discretionary accrual (NDA) components from discretionary accruals component (NDA) in the total accrual (TA). According to Dechow, Sloan and Sweeney (1996), Modified Jones Model provides the most powerful test of earnings management. In Cornett et al (2008), Modified Jones Model defined as follow: NDAi.t = 1 [1/Ai.t-1] + 2 [(REVt – RECt)/Ai.t-1)] + 3 [PPEt/Ai.t-1] Where: NDA = non-discretionary accrual items at year t REVt = revenues in year t less revenue in year (t-1) RECt = net receivables in year t less net receivables in year (t-1) PPEt = gross property, plant and equipment in year t Ai.t-1 = total assets of firm i at year (t-1) 1, 2, 3 = firm-specific parameters and calculated by following equation: TAt/Ait-1 = 1[1/Ai.t-1] + 2[REVt/ Ai.t-1] + 3[PPEt/Ai.t-1] + e TA is a proxy for total accrual items at year t. Total accrual items is calculated by following equation: TAit = NI – CFO 385
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
In addition, discretionary accruals (DAit) are calculated by the difference between total accruals (TAit) and non-discretionary accruals (NDAit) as following: DAit = TAit / Ait-1 – NDAit %DA = TAit / Ait-1 – (1 [1/Ai.t-1] + 2 [(REVt – RECt)/Ai.t-1)] + 3 [PPEt/Ai.t-1] Independent Variable: EFCF According to Cardoso et al (2014), EFCF is the variable to measure whether there is a relationship between FCF in firms with low growth perspective and earnings management by means of discretionary accruals. It is a dummy variable consists of two other dummy variables. The first of these compares whether the value of FCF calculated of a firm is greater than the median FCF value for all firms in a specific year. If the FCF value is greater than the median, the dummy variable assumes value of 1, and 0 otherwise. The second of these dummy variables is the price-to-book ratio. The logic behind the use of this ratio is that the market recognizes the firms with greater growth perspectives, by bidding up the stock price above the book value. Thus, to capture the firms with low growth perspective in a certain year, we calculated the price-to-book ratio of all firms, and assume value of 1 for the P/B ratio which is below the median and 0 otherwise. The variable EFCF is obtained by multiplying the dummy variable FCF and P/B ratio, with value 1 when there is excess FCF in a firm with low growth perspectives and 0 otherwise. In order to clarify, there is a different between excess cash and excess free cash flow. Excess cash shows how much the cash from operating activity after combined or deducted with cash from investing and financing activities. The excess of free cash flow shows how much firm cash in hand after deducted with several expenditures such as dividend and interest. As in Bundhia (2012), Len and Pulson model (1989) is applied in order to measure free cash flows. According to this model FCF is measured as operating income before depreciation deducted by total of taxes, interest cost and dividend from operating income, standardized by dividing it to assets. FCFi.t = (INCi.t – TAXi.t – INTEPi.t – PSDIVi.t – CSDIVi.t) / TAi.t-1 P/B ratio = Market price / (BV/share) BV = TAt – TLt BV/Share = (TAt – TLt) / Outstanding sharest Where, FCF = free cash flow firm of year t INCi.t = operating income after depreciation of firm i at year t TAXi.t = total taxes of firm i at year t INTEPi.t = interest expense of firm i at year t PSDIVi.t = preferred stock holders dividends of firm i in year t CSDIVi.t = common stock holders dividends of firm i in year t TAi.t-1 = total asset of firm i in year (t-1) P/B ratio = price-to-book value of firm i at year t BV = book value of firm i at year t TAt = total asset of firm i in year t TLt = total liabilities of firm i in year t
386
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Control Variable 1. Leverage (LEV) Debt covenant is measured by financial leveraged which Cardoso (2014) defined as total debt divided by total assets in previous year (book leverage). 2. Firm Size (SIZE) Firm size is one of the most common variables used in earnings management research (Francis, Nanda, & Olsson, 2008). Firm size is measured by natural logarithm of total assets in year t. 3. Cash Flow (CF) Difference between the firm’s cash flow and the annual median of the sample divided by total assets in the previous year. 4. Shareholder Concentration (ESC) Dummy variable for shareholding concentration, with value 1 when the percentage of common shares held by the largest shareholder is above the annual median of the sample and 0 otherwise. 5. Absolute Total Accruals (AB_TACC) Absolute value of total accruals divided by total assets of previous year. 6. IFRS Dummy variables that assume 1 for observation in 2012, 2 in 2013, 3 in 2014, and 4 in 2015 due to requirement to use IFRS in those years. 7. IFRS*EFCF Dummy variable that seeks to capture the interaction of the influence of adopting IFRS and the excess of free cash flow. 8. Audit Quality (AQ) Dummy variable that assume value of 1 when a firm is audited by BIG Four Accounting Public (Pricewaterhouse Coopers, Delloitte, KPMG, Ernst & Young), and 0 otherwise. Research Model According to operational proxy of independent and dependent variables that have been explained above, this study develops the research model as follow, DAi.t = 0 + 1EFCFi,t + 2ESCi,t + 3 SIZEi.t + 4LEVi.t + 5CFi.t + 6AB_TACC + 7IFRSi,t + 8IFRS*EFCFi,t + 9AQ + e Result And Discussion There are 95 companies that meet the sampling criteria. However, in order for data to be normally distributed, we tried to eliminate the outliers. Outliers are data whose values is higher than maximum value and lesser than minimum value calculated. The maximum value is calculated by using this formula: average + (3 x standard deviation); while the minimum value is calculated by using this formula: average – (3 x standard deviation). After the outliers are omitted, the final samples of this research are 40
387
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Total Population Eliminated due to year of IPO Eliminated due to unavailability of Financial Statements (2012 – 2015) Eliminated due to difference of accounting period year end Eliminated due to unavailability of data related to variable measurement Outliers Total Final Sample Table 1. Sample Detail
144 17 2 4 26 55 40
Before testing the relationship between variables, we first performed a descriptive statistical analysis of each variable. The results are presented in the following table. Variable DA
EFCF ESC SIZE LEV CF
AB_TACC IFRS IFRS*EFC F AQ
N
Mean
Median
Max
16 0
3.138479
2.31433 6
13.6733 0
Min
Std.Dev
Skewnes Kurtosis s 5.577197 3.017618 0.376139
13.0006 7 16 0.187500 0.00000 1.00000 0.00000 0.391538 0 0 0 16 0.506250 1.00000 1.00000 0.00000 0.501531 0 0 0 16 28.71645 28.4361 32.2059 25.6348 1.510211 0 1 8 1 16 0.425582 0.39731 2.48821 0.00108 0.385868 0 5 3 5 16 0.006686 0.39239 0.055127 0 0.00026 8 0.16455 4 0 16 0.062795 0.04790 0.44930 0.00010 0.057700 0 7 4 7 16 3.500000 3.50000 5.00000 2.00000 1.121544 0 0 0 0 16 0.687500 0.00000 5.00000 0.00000 1.513825 0 0 0 0 16 0.500000 0.50000 1.00000 0.00000 0.501570 0 0 0 0 Dummy Variable Dummy = 1 18.75% EFCF 56% ESC 55.56% AQ Table 2. Statistic Descriptive
1.601282 3.564103 1.000625 0.025002 0.271647 2.170533 2.963935 15.37859 2.491978 18.88457
2.798867 15.89083 4 0.000000 1.640000 1.946783 5.209739 0.000000 1.000000 Dummy = 0 81.25% 44% 44.44%
The mean of discretionary accrual in order to measure earnings management is 3.13 with the maximum value is 13.67 and minimum value is -13.67. The closer the value to 0 indicates that the company is doing lower accruals management or we can say that the 388
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
intention to engage in earnings management is lower. The company which has the maximum value of 13.67 is PT. Tifico Fiber Indonesia Tbk (TFCO), while the company which has the minimum value -13.00 is PT Kalbe Farma Tbk (KLBF). The descriptive data shown above is obtained after some outliers are omitted. Before the outliers are omitted, the highest value of discretionary accrual is 469.51 which owned by PT PT. Citra Tubindo Tbk (CTBN). EFCF is the variable used to capture whether there is a relationship between free cash flow in the firms with low growth perspective with earnings management. Value of 1, 18.75% of total samples, indicates the firm with excess free cash flow and low growth perspective. Meanwhile, the value of 0, 81.25% of total samples, indicates the firms with less free cash flow and high growth perspective. According to this descriptive table, it is informed that mostly of our samples are firms with lower free cash flow and high growth perspective. ESC is the variable to capture the relationship between shares ownership and earnings management. The proportion dummy variable with value 1 indicates that 56% of firms have greater ownership concentration than the annual median of the sample, and value of 0 indicates that 44% of firms have lower ownership concentration. The maximum value of SIZE is 32.20 which belong to PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP) with total assets in 2015 Rp 97,024,509,420. Meanwhile the minimum value is 25.63 which belong to PT Intanwijaya International Tbk (INCI) with total assets in 2012 Rp 132,278,839,080. Leverage is to measure the proportion of debt used to fund the company. The more debt financing a company uses, the higher the financial leverage is. High debt level may lead company to breach debt covenant, credit downgrades, or even bankruptcy. The maximum value of leverage is 2.5 (250%) belongs to PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW) with total debt approximately 650 billion rupiah while the total asset is only approximately 287 billion rupiah in 2014. In the other hand, the minimum value is 0.001085 (0.11%) which belongs to PT KMI Wire and Cable Tbk (KBLI) with total debt approximately 1.2 billion rupiah and total assets 1.1 trillion rupiah. Compare to the mean of leverage of all samples, 42.5%, PT. Jakarta Kyoei Steel Works Tbk might be considered to have very high financial risk. CF is the variable to measure the level of high cash flow by subtracting the cash flow of firm and the annual median of the sample, divided by total assets year t-1. The maximum value of cash flow is 0.39 belongs to PT Pan Brothers (PBRX) in 2012 and the lowest is -0.16 belongs to PBRX as well in 2015. The higher level of cash flow might tend to use discretionary accruals to smooth income in order to meet analyst’s projection. Absolute Accrual (AB_TACC) indicates the total value of accruals within net income. The maximum value of total accrual is 0.45 which might indicate that 45% of net income is containing accruals. PT Panasia Indo Resources Tbk in 2013 owns the maximum value of total accrual. Accruals itself is the amount you are yet to pay or receive. Meanwhile, the minimum value of total accrual is 0.000107 which indicates that there is very small percentage of accrual. The minimum value of total accrual owned by PT Nipress Tbk in 2012. This is also marked by the lower level of leverage which is only 5%, and value of discretionary accruals is -10.97. IFRS and IFRS*EFCF are the variable used to see whether the implementation of IFRS in accounting discretions is more being used every year. The enhancement of accounting information is believed to be aligned with the implementation of IFRS. AQ refers to audit quality which aims to capture whether there is influence to earnings management between companies audited by big four accounting firms and non big four accounting firms. 55.56% of total samples is audited by big four accounting firms, and the remaining samples are audited by non big four accounting firms. It is wished that the audit
389
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
quality will reduce the earnings management intention since it is believed that better audit quality report is resulted from big four accounting firms. The Influence of Free Cash Flow to Earnings Management The result of regression shows the Prob t-test of our independent variable, which is free cash flow (EFCF) 0.3404. The value of Prob t-test indicates whether the independent variable significantly influence the dependent variable. It gives significant influence if the value of Prob two-tailed is lower than alpha. In here, the Prob two-tailed value of EFCF is 0.3404 which is higher than 0.05 (α = 5%). This means that the independent variable, EFCF, does not have any significant influence to earnings management by means of discretionary accruals. Variable
Coeffici ent
Std. Error
t-Statistic
Prob.
EFCF
3.51489 9 0.01368 0 0.68771 6 0.57768 3 10.1909 0 4.29891 5 1.81163 2 0.97963 9 1.78953 0 22.4825 0
3.675171
0.956391
0.3404
0.925292 -0.014785
0.9882
0.325617
2.112041
0.0363
1.174836
0.491714
0.6236
7.618932 -1.337576
0.1831
7.327211
0.586706
0.5583
0.413281
4.383534
0.0000
0.970371 -1.009551
0.3143
0.992447 -1.803149
0.0734
9.213022 -2.440296
0.0158
ESC
**SIZE LEV CF
AB_TACC ***IFRS IFRS_X_EFCF
*AQ
C
R-squared Adjusted Rsquared S.E. of regression Sum squared resid
0.17097 Mean dependent 9 var 0.12123 S.D. dependent var 8 5.22819 Akaike info 2 criterion 4100.09 Schwarz criterion 9
3.1384 79 5.5771 97 6.2064 70 6.3986 68 390
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho Log likelihood
F-statistic Prob(F-statistic)
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016 Hannan-Quinn 486.517 criter. 6 3.43737 Durbin-Watson stat 7 0.00070 9 Table 3. Regression Result
6.2845 15 1.9410 46
The result of our finding is on the contrary with several previous researches. Cardoso et al (2014) and Bundhia’s (2012) findings show that firm with high level of free cash flow and low growth perspective tends to engage in earnings management by means of discretionary accruals. Their findings show the positive relationship between free cash flow and earnings management. Meanwhile, the result of our finding also bears a positive relationship between free cash flow and earnings management. Which might indicate that there is possibility of firms with high free cash flow and low growth perspective in Indonesia to engage in earnings management? However excess of free cash flow itself does not significantly influence the discretionary accruals. Positive relationship shows that the firms with high free cash flow and low growth perspective have possibility to engage in earnings management. The positive coefficient explains when the coefficient increase by value of 1, the discretionary accruals is also increase. Nevertheless, there is no significant influence between EFCF and DA eventhough positive relationship is shown. Bottom line, that EFCF does not significantly influence the discretionary accruals. In order to support our finding, we refer to Rusmin et al’s (2014) research which aims to investigate the same issues, whether firms with higher level of free cash flow and low growth perspective are related to earnings management. The study focuses on companies listed in Indonesian Stock Exchange, Bursa Malaysia, and Singapore Stock Exchange. The result of the study does support the hypothesis that firms with high free cash flow and low growth perspectives tend to manage their earnings. However, this relationship found only in firms listed in Bursa Malaysia, and partially in Singapore. Yet, the relationship is not valid for firms listed in Indonesia Stock Exchange. The result conducted by Rusmin et al (2014) supports the finding of this research that it is not found any significant influence between free cash flow and earnings management in Indonesia. Another research by Selahudin et al (2014) was also conducted to examine the relationship between earnings management and leverage, financial distress, and free cash flow in Malaysia and Thailand. The finding of the research is free cash flow does not significantly affect the earnings management in Malaysia as well as in Thailand. Eversince a research to seek for relationship between free cash flow and earnings management is rarely done in Indonesia, therefore the possible explanation is that the agency problems rise in every country might be different, and another factor such as organisation culture and factors related country of origin may affect the manager’s behaviour. As our research is closely related to agency problem where Jensen & Meckling (1976) suggest that the conflict arises when both agent and principle seek to maximise their own wealth, thus it is reasonable if agent acts for their own interest at the expense of principal. Hence, in its free cash flow theory, Jensen (1986) in Cardoso et al (2014) said that dividend payment is one major conflict in agency problem. Instead of paying dividend to shareholders, the manager will try to invest the money in negative net present value in order to maintain their power over the available resources. Maintaining their power same as maintaining their position in a firm. Earnings management plays role to camouflage the impact of negative investment by
391
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
having discretion over accrual to present smoother financial reports to shareholders in exchange of unpaid dividend. Responding to this issue, Bae et al (2012) suggest that cultural aspects are suggested as possible reasons to explain the cross-country differences in dividend distribution policy. Another study conducted by Baker & Powell (2012) regarding dividend policy in Indonesia, presents findings that managers view dividend distribution is one of the most important determinant for earnings stability and the level of current and future earnings. The managers also believe that dividend payment has significant influence on stock prices and thus the effect of dividends payment is also becomes the important determinant of a firm market value. The evidence shows that managers of Indonesia firms perceive that dividend policy affects the firm value. In addition, information asymmetry exist between management and shareholders is also believed to be other determinant for dividend policy since dividend payment may be perceived as a signal of future profitability of a firm (Breurer, Rieger, & Soypak, 2014). Compare to Jensen’s theory regarding dividend distribution as one of major agency problem faced by firms with high free cash flow, from this research findings we can conclude that dividend distribution matters for the sake of the firm value and thus it might minimise the possibility of agency problem happens in firm with high free cash flow as predicted by Jensen in Cordoso et al (2014) and Bundhia (2012). In regards with this finding, the data of dividend payment extracted by the researcher shows a stable dividend payment from 2012 to 2015 of forty manufacturing companies in Indonesia in point of 50%. The dividend payment data is presented in the appendix table 4.3.4.1. In addition, after we do a data processing to obtain the number of firms with high free cash flow and low growth perspective, we found that only 18.75% from total sample forty companies which marked as firms with high level of free cash flow and low growth perspective. The data can be seen in table 4.2.1 descriptive statistic in appendix. Thus, we might draw a conclusion that a firm with high free cash flow is also take account for dividend payment. At the same time, this might explain why there is no significant influence between free cash flow and earnings management since mostly dividend is distributed to shareholders. Taking all of these into account, the hypothesis of this result is rejected that there is no significant relationship between firms with excess of free cash flow and low growth perspective towards discretionary accruals by means of earnings management. The Influence of Control Variables to Earnings Management There are three variables controls which found to be significantly influence earnings management. The first control variable is SIZE which positive and significant at 5%. The positive relationship between SIZE and DA by means of earnings management indicates that the bigger size of a firm, the higher possibility of a firm to engage in earnings management. This finding is as predicted by Cardoso et al (2014) and Swastika (2013). Relationship between firm size and earnings management suggested that larger firms are usually under pressure of capital market monitoring and thus show more tendency towards earnings management (Lusi & Swastika, 2013). Consistently, Barton and Simko (2002) in Cardoso et al (2014) indicate that larger firms encounter higher pressure on meeting or beating the analyst’s expectations. Large firms usually have higher current assets which turn to give discretion to manage earnings. Hence, larger company has probability to lower its profit in order to evade the control from government and reduce political cost. The variable of IFRS is also positive and significant at 1%. Unlike the research conducted by Cordoso et al (2014) which expect a negative relationship between IFRS and earnings management, our research results a positive relationship which means that the 392
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
implementation of IFRS in subsequent years do not significantly reduce earnings management. Thus a reasonable implementation is that since IFRS is implemented, manager has flexibility in accounting options to have discretion over accruals accounts. This result is in line with the arguments raised by Jeanjean & Stolowy (2008) that there is evidence that accounting standards give only few and limited contribution in determining the quality of financial reporting. They said that the implementation of accounting standard involves reasonable judgment and the use of private or insider information, and as a result, IFRS may provide managers with substantial discretion. How far this discretion might be used depends on the firm’s culture and characteristics (Jeanjean & Stolowy, 2008). Another variable found to be significant is audit quality (AQ). It is negative and significant at 10%. It is in line with the finding from Lin & Hwang (2010) who found significant and negative relationship between audit quality and earnings management. It’s consistent with a theory when auditor provides better audit quality report, earnings management is less likely. This finding also supported by recent research done by Chee at al (2016) who found that audit quality significantly influences the earnings management in Malaysia. The other variable such as shareholders concentration, leverage, total accrual, cash flow, and interaction between IFRS and free cash flow do not have any significant influence to earnings management. The shareholders concentration (ESC) bears negative relationship to earnings management, which means that the greater shares ownership a management has the lower possibility of earnings management. This finding is in line with Cardoso et al (2014). Leverage also does not significantly influence the earnings management as Ardison et al (2012) research result that found no significant influence between leverage and earnings management. The possible explanation the higher leverage leads to higher financial risk of a firm. Higher financial risk leads to a higher chance of a firm to breach debt covenant, and thus earnings management plays a role in order for a firm to avoid breaching debt covenant. However, there is a moderator variable which is debt covenant which might be more related to leverage. Therefore, perhaps the relationship between leverage and earnings management is clearer when relationship between leverage and debt covenant is observed as well. In addition according to Ardison et al (2012), there is beneficial consequence of debt because the increased debt might reduce manager’s discretionary spending, and in turn, reduce earnings management. Total accrual also does not have any significant influence over discretionary accruals. However, it bears a positive relationship between total accruals and discretionary accruals, means that when total accruals increase by value of one, the possibility of earnings management is also higher as Chung et al (2005) and Bhundia (2012) predicted. Cash flow as well as the other control variables, does not have any significant influence over earnings management. Our result shows that greater cash flow tend to reduce earnings management. A plausible explanation might be a firm with higher level of cash flow does not always reinvest their money in unprofitable project. The management might raise more concern on dividend distribution to shareholders or investing the cash to expand the firm or buy new assets. Conclusion One of major problem may be faced by every company is agency problem. According to Jensen and Meckling (1986), agency problem happens when both management and principal are in their own interest to maximise their own wealth. Thus, there is a reason not to believe that management always act on behalf of the shareholders. Jensen suggest that dividend distribution is one of the most often meet agency problem in a company since by 393
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
distributing the dividend, the available resource in cash of a firm is decreasing, and while managers would like to maintain their position and power in a company, instead of paying dividend, they try to invest the available resource in negative present value project by promising the shareholders higher return in the future. However, keeping the promise of giving higher return to investors is not that easy when manager invest in unpromising investment. Therefore, in order to camouflage the impact of negative investment, earnings management plays role to allow manager having discretion over accruals to present better financial report to the investors. In this study, the researcher would like to investigate whether firm with high free cash flow and low growth perspective are more often engage in earnings management behaviour along with several control variables included to enrich the research. Our results show that there is no significant influence between higher level of free cash flow and low growth perspective to earnings management. However, we found a positive relationship between free cash flow and discretionary accruals by means of earnings management as other previous researches did. A positive relationship tells us that the higher level of free cash flow, the higher possibility of a firm to engage in earnings management. In Indonesia, we found it to be insignificant eventhough a positive relationship is shown. Possible explanation might be a different type of agency problem, dividend policy and organisation culture a cross-country. In addition, several control variables such as SIZE, IFRS and AQ (Audit Quality) are found to be significant. Means that these three control variables have significant influence to discretionary accruals by means of earnings management.
394
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
References Ardison, K.M.M., Martinez, A.l., Galdi, FC. (2012), “The effect of leverage on earnings management in Brazil”, Journal of Scientific and Appiled Accounting, Vol 5, No. 3, pp. 305-324. Bae, S.C., Chang, K., and Kang, E. (2012), “Culture, corporate governance, and dividend policy: international evidence”, Journal of Finance Research, Vol 35, pp. 298-316. Balachandran, M. (2015, April 9). The Satyam scandal: How India's biggest corporate fraud unfolded. India. Bukit, R.Br. and Iskandar, J.M. (2009), “Surplus free cash flow, earnings management and audit committee”, International Journal of Economics and Management, Vol. 3 No. 1, pp. 204-223. Baker, H.K. and Powell, G.E. (2012), “Dividend policy in Indonesia: survey evidence from executives”, Journal of Asia Business Studies, Vol 6 No.1, pp. 79-92 Bhundia, A. (2012). A comparative study between free cash flow and earnings management. Nikhili, M., Amar, I. F., Chtioui, T., & Lakhal, F. (2016). Free cash flow and earnings management: the moderating role of governance and ownership. The Journal of Applied Business Research , 32. Breurer, W., Rieger, O., & Soypak, C. (2014). The behavioral foundations of corporate dividend policy: a cross-country analysis (Vol. 42). Elsevier. Bukit, Rina. and Nasution, Fahmi N. (2015), “Employee diff, free cash flow, corporate governance, and earnings management”, Journal of Social and Behavioral Sciences, Vol. 211, pp. 585-594. Cardoso, F. T., Martinez, A. L., & Teixeira, A. J. (2014). Free Cash Flow and Earnings Managemetn in Brazil: The negative side of financial slack. Global Journal of Management and Business Research: Accounting and Auditing , 14. Bukit, R. B., & Iskandar, T. M. (2009). surplus free cash flow, earnings managemement, and audit committee. International Journal of Economics and Management . Chee, H.K., Phua, L.K., Yau, D.L.I. (2016), “The relationship between audit quality, board of independence and audit committee independence on earnings management before and after full convergence of IFRS”, Journal of Social Science, Vol. 11 No. 20, pp. 49024906. Chung, R., Firth, M., & Kim, J.-B. (2005). Earnings management, surplus free cash flow, and external monitoring. Journal of Business Research , 58, 766-776. Cornett, M.M., Marcus, A.J., Tehranian, H. (2008), “Corporate governance and pay-forperformance: The impact of earnings management”, Journal of Financial Economics,Vol. 87, pp.357-373. 395
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Dechow, P.M., Sloan, R.G. and Sweeney, A.P. (1995), “Detecting earnings management”, The Accounting Review, Vol. 70 No. 2, pp. 193-225. Dechow, P. M. (1994). Accounting Earnings and Cash Flows as Measures of Firm Performance: The Role of Accounting Accruals. Journal of Accounting & Economics , 18, 3-42. Francis, J., Nanda, D., & Olsson, P. (2008). Volentary disclosure, earning quality and cost of capital. Journal of accounting research , 46 no 1, 53-99. Ghozali, I. (2013). Aplikasi Analisis Multivariate dengan program SPSS. Semarang, Central Java, Indonesia: Universitas Diponegoro. Gorganlidavaji, J., & Vakilifard, H. (2014). The Effect of Firm Size and Growth Opportunity on Accounting Discretion and Its Relationship with Future Stock Return. European Online Journal of Natural and Social Sciences , 3 , 511-521. Hair J. F., Black, W.C., Babin, Barry J., Anderson, R.E. (2009). Multivariate Data Analysis. Prentice Hall. Healy, P.M. and Palepu, K.G. (1990), “Effectiveness of accounting-based dividend covenants”, Journal of Accounting and Economics, Vol. 12 Nos 1/3, pp. 97-123. Healy, P. M., & Wahlen, J. M. (1999). A review of the earnings management literature and its implications for standard setting. Accounting Horizons , 13 No 4, 365-383. Healy, P. M. (1985), The Effect of Bonus Schemes on Accounting Decisions, Journal of Accounting and Economics, vol. 7, no.3, page 85-107; Jensen, M.C. (1986), “Agency costs of free cash flow, corporate finance and takeovers”, American Economics Review, Vol. 76 No. 2, pp. 323-329. Jeanjean, T., & Stolowy, H. (2008). Do accounting standards matter? An exploratory analysis of earnings management before and after IFRS adoption. Journal of account.public policy , 27, 480-494. Jiraporn, P., Kim, Y., & Mathur, I. (2008). Does Corporate Diversification Exacerbate or Mitigate Earnings Managament?: An empirical analysis. International review of financial analysis , 17 no 5, 1087-1109. Kim, Y., Liu, C., & Rhee, S. (2003). The Effect of Firm Size on Earnings Management. University of Hawai'i, College of Business Administration. Kouki, M., Elkhaldi, A., Atri, H., & Souid, S. (2011). Does Corporate Governance Constrain Earnings Management? Evidence from US Firms. European Journal of Economics, Finance and Administrative Sciences , 35. Krishnan, G. (2003). Does big 6 auditor industry expertise constrain earnings management? Accounting Horizons , 17, 1-16.
396
Marika Suma Raya Sembiring Kathleen Kusuma Nugroho
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Lin, J. W., & Hwang, M. I. (2010). Audit quality, corporate governance, and earnings management: A meta-analysis. International Journal of Auditing , 14, 57-77. Lusi, D., Swastika, T. (2013). Corporate Governance, Firm Size, and Earning Management: Evidence in Indonesia Stock Exchange. Journal of Business and Management. Vo. 10(4), 77- 82. Nikhili, M., Amar, I. F., Chtioui, T., & Lakhal, F. (2016). Free cash flow and earnings management: the moderating role of governance and ownership. The Journal of Applied Business Research , 32. Roychowdhury, S. (2006). Earnings Management through real activities manipulation. Journal of Accounting and Economics , 42, 335-370. Rusmin Rusmin Emita W. Astami Bambang Hartadi , (2014),"The impact of surplus free c ash flow and audit quality on earnings management", Asian Review of Accounting, Vol. 22 Iss 3 pp. 217 – 232. Sarwono, J. (2016). Prosedur-prosedur analisis populer aplikasi riset skripsi dan tesis dengan Eviews. Gava Media. Selahudin, N.F., Zakaria, N.B., Sanusi, Z.M. and Budsaratragoon, P. (2014), “Monitoring financial risk ratios and earnings management: evidence from Malaysia and Thailand”, Procedia-Social and Behavioral Sciences, Vol. 14, pp. 51-60. S.Soderstrom, N., & Sun, K. J. (2007). IFRS Adoption and Accounting Quality: A Review. European Accounting Review , 16, 675-702. Sidney Davidson, J. S. (1987). Accounting Magic. In J. S. Sidney Davidson, Accounting: The Language of Business (10th Edition ed.). Sun Lakes Arizona: Thomas Horton and Daughter. Ujah, N. U., & Brusa., J. (2014). Earnings Management, Financial Leverage, and Cash Flow Volatilation: An analysis by Industry. Journal of Business and Economics , 5 No 3, 338-348. Wang, Y. S., & Huang, P. C. Earnings Manipulation and Profitability. University of Science and Technology, Taiwan, Department of Money and Banking, National Kaohsiung First, Taiwan. Watts, R.L. and Zimmerman, J.L. (1986), Positive Accounting Theory, Prentice-Hall Inc., Englewood Cliffs, NJ. Watts, R. L., & Zimmerman, J. L. (1990). Positive Accounting Theory: A Ten Year Perspective. The Accounting Review , 65, 131-156. Widyaningdyah, A. U. (2001). Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap earnings management pada perusahaan go public di Indonesia. Jurnal Akuntansi & Keuangan , 3, 89 - 101.
397
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
KOMITMEN ORGANISASIONAL DAN ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) SEBAGAI PEMEDIASI PADA PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KINERJA PEGAWAI ( Studi pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ) Prima Kartika Sari Euis Soliha Alumni Pascasarjana Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Stikubank Semarang Email:
[email protected] Abstract This study aimed to analyze the effect of transformational leadership style to the organizational commitment, transformational leadership style to organizational citizenship behavior, organizational commitment on organizational citizenship behavior, organizational commitment to employee performance, transformational leadership style on employee performance and organizational citizenship behavior on employee performance. The sample used in this research is census method, the number of respondents was 103 employees at Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Data testing techniques used include test the validity of factor analysis, reliability test with Cronbach alpha formula, multiple regression analysis to validate the research hypothesis and test the mediation. From the test results show the transformational leadership style positive and significant effect on organizational commitment. Transformational leadership positive and significant effect on organizational citizenship behavior. Organizational commitment has no effect on organizational citizenship behavior. Organizational commitment positive and significant effect on employee performance. Transformational leadership style has no effect on employee performance. Organizational citizenship behavior positive and significant impact on employee performance. Organizational commitment and organizational citizenship behavior perfect mediate the effect of transformational leadership style on employee performance. Keywords: Transformational Leadership Style, Organizational Commitment, Organizational Citizenship Behavior, Employee Performance. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh gaya kepemimpinan trnsformasional terhadap komitmen organisasional, gaya kepemimpinan transformasional terhadap organizational citizenship behavior, komitmen organisasional terhadap organizational citizenship behavior, komitmen organisasional terhadap kinerja pegawai, gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai, dan organizational citizenship behavior terhadap kinerja pegawai. Pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sensus, dengan jumlah responden sebanyak 103 orang pegawai di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Teknik pengujian data yang digunakan meliputi uji validitas dengan analisis factor, uji reliabilitas dengan rumus alpha cronbach, analisis regresi berganda untuk membuktikan kebenaran hipotesis penelitian serta uji mediasi. Dari hasil pengujian menunjukkan gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional. Gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap organizational citizenship behavior. Komitmen
398
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
organisasional tidak berpengaruh terhadap organizational citizenship behavior. Komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Gaya kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Organizational citizenship behavior berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai. Komitmen organisasional dan organizational citizenship behavior memediasi sempurna pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai. Kata Kunci: Gaya Kepemimpinan Transformasional, Komitmen Organisasional, Organizational Citizenship Behavior, Kinerja Pegawai Pendahuluan Gaya kepemimpinan merupakan tulang punggung pengembangan organisasi karena tanpa kepemimpinan yang baik akan sulit untuk mencapai tujuan organisasi. Jika seorang pemimpin berusaha untuk mempengaruhi perilaku orang lain, maka orang tersebut perlu memikirkan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuannya. Perilaku seorang pemimpin memiliki dampak yang besar, terkait dengan sikap bawahan, perilaku bawahan yang akhirnya pada kinerja. Gaya kepemimpinan merupakan faktor penting dalam memberikan pengarahan kepada karyawan apalagi pada saat-saat sekarang ini di mana semua serba terbuka, maka kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang bisa memberdayakan karyawannya. Kepemimpinan yang bisa menumbuhkan motivasi kerja karyawan adalah kepemimpinan yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri para karyawan dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Peran pemimpin dalam segala situasi organisasi merupakan suatu faktor yang sangat strategis. Sampai saat ini penelitian-penelitian banyak dilakukan oleh ilmuwan sebagai salah satu upaya peningkatan efisiensi, dan efektivitas kerja organisasi. Pemimpin harus dapat menyampaikan visi dan misi organisasi secara persuasif dengan bahasa yang mudah dipahami dan dimengerti agar kinerjanya meningkat. Menurut Robbins (2008), bahwa keberhasilan suatu orgasnisasi dalam pencapaian tujuan melalui usaha menggerakkan orang lain dalam organisasi atau instansi tidak terlepas dari kapasitas, peranan, perilaku, dan karakteristik seseorang pimpinan. Isu yang muncul terkait dengan otonomi daerah adalah bagaimana kemampuan Pemerintah Daerah dilihat dari sumber daya manusia aparatnya mampu mewadahi aktivitas pemerintahan, pelayanan publik dan pembangunan. Banyak daerah yang mengakui bahwa kemampuan sumber daya manusia aparaturnya masih perlu ditingkatkan. Pemerintah akhir – akhir ini memberikan perhatian yang besar pada upaya-upaya peningkatan kompetensi aparatur dalam melaksanakan tugas–tugasnya, yakni memberikan pelayanan yang sebaikbaiknya kepada rakyat sesuai perannya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Kualitas dari pemimpin seringkali dianggap sebagai faktor terpenting dari keberhasilan atau kegagalan organisasi. Demikian juga keberhasilan atau kegagalan suatu organisasi baik yang berorientasi bisnis maupun publik, biasanya dipersepsikan sebagai keberhasilan atau kegagalan pemimpin. Begitu pentingnya peran pemimpin sehingga isu mengenai pemimpin menjadi faktor yang menarik perhatian para peneliti bidang perilaku keorganisasian. Hal ini akan membawa konsistensi bahwa setiap pemimpin berkewajiban memberikan perhatian yang sungguh-sungguh untuk membina, menggerakkan, mengarahkan semua potensi pegawai di lingkungannya agar terwujud volume dan beban kerja yang terarah pada tujuan Beberapa fenomena yang dihadapi Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang yaitu: banyak para pegawai menganggap sukses organisasi tidak tergantung pada
399
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
pimpinannya saja, tetapi keberadaan seorang pemimpin dalam organisasi tetap diperlukan sebagai penentu kebijakan; banyak para pegawai menganggap pelatihan kurang penting disebabkan menyita waktu tugas harian, padahal pelatihan berguna untuk meningkatkan kompetensi pegawai; distribusi pekerjaan yang ada tidak merata sehingga tingkat kinerja masing-masing pegawai tidak berimbang. Permasalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: apakah Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh terhadap Komitmen Organisasional pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang; apakah Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB) pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang; apakah Komitmen Organisasional berpengaruh terhadap Organizational Citizenship Behavior OCB pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang; apakah Komitmen Organisasional berpengaruh terhadap Kinerja pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang; apakah Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh terhadap Kinerja pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang; apakah Organizational Citizenship Behavior (OCB) berpengaruh terhadap Kinerja pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang? Landasan Teori Dan Pengembangan Hipotesis 1.
Kepemimpinan Transformasional
Penggunaan pendekatan atau perspektif yang beragam atas kepemimpinan, selain melahirkan definisi kepemimpinan yang beragam juga melahirkan teori kepemimpinan yang beragam pula. Setiap pendekatan yang digunakan melahirkan berbagai macam teori kepemimpinan. Luthans (2006) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sekelompok proses, kepribadian, pemenuhan, perilaku tertentu, persuasi, wewenang, pencapai tujuan, interaksi, perbedaan peran, inisiasi struktur, dan kombinasi dari dua atau lebih dari hal-hal tersebut. Menurut Rivai dan Mulyadi (2012) kepemimpinan pada dasarnya: melibatkan orang lain, melibatkan distribusi kekuasaan yang tidak merata antara pemimpin dan anggota kelompok, menggerakkan kemampuan dengan menggunakan berbagai bentuk kekuasaan untuk mempengaruhi tingkah laku bawahan, dan menyangkut nilai. Empat sifat umum yang mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, yaitu: (1) kecerdasan, (2) kedewasaan, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap hubungan kemanusiaan. James MacGregor Burns dalam Luthans (2006) mengidentifikasikan dua jenis kepemimpinan politis, yaitu transaksional hubungan pertukaran antara pemimpin dan pengikut, tetapi kepemimpinan transformasional lebih mendasarkan pada pergeseran nilai dan kepercayaan pemimpin, serta kebutuhan pengikutnya. Kepemimpinan transaksional adalah resep bagi keadaan seimbang, sedangkan kepemimpinan transformasional membawa keadaan menuju kinerja tinggi pada organisasi yang menghadapi tuntutan pembaruan dan perubahan. Karakteristik dan pendekatan pemimpin transaksional yaitu (Luthans, 2006) 1) Penghargaan kontingen, yaitu kontrak pertukaran penghargaan dengan usaha yang dikeluarkan, menjanjikan penghargaan untuk kinerja baik, mengakui pencapaian atau prestasi. 2) Manajemen berdasarkan kekecualian (aktif), yaitu:mengawasi dan mencari pelanggaran terhadap aturan dan standar, mengambil tindakan korektif. 3) Manajemen berdasarkan kekecualian (pasif), yaitu: intervensi hanya jika standar tidak dipenuhi. 4) Sesuka hati, yaitu: menghindari tanggung jawab, menghindari pengambilan keputusan.
400
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Adapun karakteristik dan pendekatan pemimpinan transformasional yaitu (Luthans,2006) 1) Karisma, yaitu: memberikan visi dan misi, memunculkan rasa bangga, mendapatkan respek dan kepercayaan. 2) Inspirasi, yaitu: mengkomunikasikan harapan tinggi, menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan usaha, mengekspresikan tujuan penting dalam cara yang sederhana. 3) Stimulasi intelektual, yaitu: menunjukkan inteligensi, rasional, pemecahan masalah secara hati-hati. 4) Memperhatikan individu, yaitu: menunjukkan perhatian terhadap pribadi, memperlakukan karyawan secara individual, melatih, menasehati. 2.
Komitmen Organisasional
Komitmen organisasional didefinisikan oleh Durkin dan Bennet (1999) sebagai perasaan yang kuat dan erat dari seseorang terhadap tujuan dan nilai suatu organisasi dalam hubungannya dengan peran mereka terhadap upaya percapaian tujuan dan nilai-nilai tersebut. Luthans (2006) menyatakan bahwa komitmen organisasional merupakan sikap yang menunjukkan loyalitas karyawan dan merupakan proses berkelanjutan bagaimana seorang anggota organisasi mengepresikan perhatian mereka kepada kesuksesan dan kebaikan organisasinya. Lebih lanjut sikap loyalitas ini diindikasikan dengan tiga hal, yaitu (1) keinginan kuat seseorang untuk tetap menjadi anggota organisasinya; (2) kemauan untuk mengerahkan usahanya untuk organisasi; (3) keyakinan dan penerimaan yang kuat terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi. Komitmen organisasional akan membuat pekerja memberikan yang terbaik kepada organisasi tempat dia bekerja. Pekerja dengan komitmen yang tinggi akan lebih berorientasi pada kerja. pekerja yang memiliki komitmen organisasional tinggi akan cenderung senang membantu dan dapat bekerjasama. Curtis dan Wright (2001) mengemukakan bahwa komitmen didefinisikan sebagai kekuatan identifikasi individu yang berada dalam sebuah organisasi. Jika seseorang memiliki komitmen untuk organisasi, ia akan memiliki identifikasi yang kuat dengan organisasi, ia akan memiliki identifikasi yang kuat dengan organisasi, memiliki nilai-nilai keanggotaan, setuju dengan tujuan dan sistem nilai, kemungkinan akan tetap di dalamnya, dan akhirnya, siap untuk bekerja keras demi organisasinya. John dan Taylor (1999); Allen dan Meyer (1991); Sopiah (2008) mengemukakan suatu model anteseden (faktor-faktor yang mendahului) dari komitmen organisasional yaitu : 1) Karakteristik Pribadi Beberapa karakteristik pribadi dianggap memiliki hubungan dengan komitmen organisasional yaitu usia dan masa kerja, tingkat pendidikan, status perkawinan, dan jenis kelamin. 2) Karakteristik Pekerjaan Karakteristik pekerjaan merupakan posisi pekerjaan, yaitu karakteristik yang berkaitan dengan peran, self-employment, otonomi, jam kerja, tantangan dalam pekerjaan, serta tingkat kesulitan dalam pekerjaan. 3) Pengalaman Kerja Pengalaman kerja dipandang sebagai suatu kekuatan sosialisasi utama yang mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan ikatan psikologis dengan organisasi. 4) Karakteristik Struktural Karakteristik struktural adalah karakteristik yang dikembangkan untuk meningkatkan komitmen individu kepada organisasi, meliputi kemajuan karis dan peluang promosi di
401
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
masa yang akan datang, besar atau kecilnya organisasi, bentuk organisasi, dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi terhadap karyawan. Tett dan Meyer (1993); Meyer et al (2002); Karatus dan Aslan (2008); Luthans (2008); Aydogdu dan Asikgil (2011) mengemukakan tiga dimensi dari komitmen organisasional yaitu sebagai berikut: 1) Komitmen efektif (affective comitment) Komitmen afektif adalah keterikatan emosional, identifikasi serta keterlibatan seorang karyawan pada suatu organisasi. Komitmen afektif seseorang akan menjadi lebih kuat bila pengalamannya dalam suatu organisasi konsisten dengan harapan-harapan dan memuaskan kebutuhan dasarnya dan sebaliknya. Komitmen efektif menunjukkan kuatnya keinginan seseorang untuk terus bekerja bagi suatu organisasi karena ia memang setuju dengan organisasi itu dan memang berkeinginan melakukannya. Karyawan yang mempunyai komitmen efektif yang kuat tetap bekerja dengan organisasi karena mereka menginginkan untuk bekerja pada organisasi itu. 2) Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) Komitmen berkelanjutan merupakan komitmen karyawan yang didasarkan pada pertimbangan apa yang harus dikorbankan bila meninggalkan organisasi dan kerugian yang akan diperoleh karyawan jika tidak melanjutkan pekerjaannya dalam organisasi. Tindakan meninggalkan organisasi menjadi sesuatu yang berisiko tinggi karena karyawan merasa takut akan kehilangan sumbangan yang mereka tanamkan pada tanamkan pada organisasi itu dan menyadari bahwa mereka tak mungkin mencari gantinya. Karyawan yang mempunyai komitmen kontinuan yang tinggi akan berada dalam organisasi karena mereka memang membutuhkan untuk bekerja pada organisasi itu. 3) Komitmen normatif (normative commiment) Komitmen normatif merupakan komitmen karyawan terhadap organisasinya karena kewajibannya untuk bertahan dalam organisasi untuk alasan-alasan moral atau etis, atau dengan kata lain keyakinan yang memiliki karyawan tentang tanggung jawabnya terhadap organisasi. Tindakan tersebut merupakan hal benar yang harus dilakukan. Komitmen ini berkaitan dengan perasaan karyawan terhadap keharusan untuk tetap bertahan dalam organisasi. Oleh karena itu, karyawan yang memiliki komitmen normatif yang tinggi akan bertahan dalam organisasi karena merasa wajib atau sudah seharusnya untuk loyal kepada organisasi tersebut. 3.
Organizational Citizenship Behavior (OCB)
Huang (2012) mengemukakan tiga kategori perilaku pekerja, yaitu: (1) berpartisipasi, terikat dan berada dalam suatu organisasi; (2) harus menyelesaikan suatu pekerjaan dan bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur oleh organisasi; serta(3) melakukan aktivitas yang inovatif dan spontan melebihi persepsi perannya dalam organisasi. Kategori terakhirlah yang sering disebut sebagai organizational citizenship behavior (OCB) Robbins dan Judge (2008) mendefinisikan OCB sebagai perilaku pilihan yang tidak menjadi bagian dari kewajiban kerja formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif. Shweta dan Srirang (2009) menyatakan bahwa OCB ditandai dengan usaha dalam bentuk apapun yang dilakukan berdasarkan kebijaksanaan pegawai yang memberikan manfaat bagi organisasi tanpa mengharapkan imbalan apapun. Kumar et al (2009) mendifinisikan OCB sebagai perilaku individu yang memberikan kontribusi pada terciptanya efektifitas organisasi dan tidak berkaitan langsung dengan sistem reward organisasi. Kumat et al (2009) menyatakan bahwa OCB merupakan :
402
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
1) Perilaku bebas pekerja yang tidak diharapkan maupun diperlakukan, oleh karena itu organisasi tidak dapat memberikan penghargaan atas munculnya perilaku tersebut ataupun memberikan hukuman atas ketiadaan perilaku tersebut. 2) Perilaku individu yang memberikan manfaat bagi organisasi akan tetapi tidak secara langsung maupun eksplisit diakui dalam sistem penghargaan formal organisasi. 3) Perilaku yang bergantung pada setiap individu untuk memunculkan ataupun menghilangkan perilaku tersebut dalam lingkungan kerja. 4) Perilaku yang berdampak pada terciptanya efektifitas dan efisiensi kerja tim dan organisasi, sehingga memberikan kontribusi bagi produktifitas organisasi secara keseluruhan. Organ et al (2006) menggambarkan OCB sebagai perilaku individual yang bersifat bebas (discretionary), yang tidak secara langsung dan eksplisit mendapat penghargaan dari sistem imbalan formal, dan yang secara keseluruhan (agregat) meningkatkan efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi organisasi. Bersifat bebas dan sukarela, karena perilaku tersebut tidak diharuskan oleh persyaratan peran atau deskripsi jabatan yang secara jelas dituntut berdasarkan kontrak dengan organisasi, melainkan sebagai pilihan personal, Organ et al (2006) menguraikan definisi tersebut ke dalam beberapa poin sebagai berikut : 1) Perilaku individu yang bebas. Maksudnya adalah bahwa perilaku tertentu yang dimunculkan dalam konteks tertentu bukan merupakan persyaratan muthak yang tercantum dalam deskripsi pekerjaan yang harus dijalankan oleh seorang individu. Hal ini menyebabkan setiap individu memiliki pilihan secara bebas, apakah akan memunculkan OCB atau tidak, karena seseorang tidak akan dihukum karena tidak mempratekkan perilaku tersebut. 2) Tidak secara langsung dan eksplisit diakui oleh sistem penghargaan formal. Beberapa pekerjaan mencantumkan standar minimal seperti pengalaman, pengetahuan, dan kompetensi untuk memenuhi tanggung jawab pekerjaan secara tertulis. Ketika berbagai tuntutan tersebut dicantumkan dalam diskripsi pekerjaan, atau kontrak kerja, maka perilaku yang timbul dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut bukanlah merupakan OCB. Dalam hal ini bukan berarti perilaku yang termasuk OCB tidak akan mendapatkan penghargaan sama sekali. Sebagai contoh ketika seseorang menunjukkan OCB, perilaku yang dimunculkan tersebut dapat merubah pandangan rekan kerja serta atasan dalam mempertimbangkan orang tersebut untuk direkomendasikan agar diberikan kesempatan pekerjaan dengan tanggung jawab lebih besar, diusulkan oleh atasannya untuk dinaikkan gajinya, atau direkomendasikan oleh rekan kerja dan atasannya untuk mendapatkan promosi jabatan. Organ et al. Menyatakan bahwa perbedaan penting yang mendasari pemberian imbalan atau penghargaan yang diberikan tersebut tidak ditetapkan dalam kontrak kerja atau tidak terdapat dalam kebijakan dan prosedur formal organisasi. Pemberian imbalan tersebut bersifat alamiah dan terdapat ketidakpastian dari segi waktu dan cara mendapatkan imbalan tersebut. 3) Secara bersama-sama mendorong fungsi efisiensi dan efektifitas organisasi. Pengertian secara bersama-sama mengandung maksud bahwa OCB muncul pada setiap individu, pada kelompok, hingga pada tingkatan organisasi secara luas. Organ et al, mengungkapkan bahwa beberapa penelitian mengenai OCB secara umum telah dikaitkan dengan indikator efisiensi dan efektivitas pada organisasi seperti efisiensi operasi, kepuasan pelanggan, kinerja keuangan, dan pertumbuhan pendapatan.
403
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
OCB sangat penting artinya untuk menunjang keefektifan fungsi-fungsi organisasi, terutama dalam jangka panjang. Menurut Podsakoff et al (2000), OCB mempengaruhi keefektifan organisasi karena beberapa alasan: (1) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas rekan kerja; (2) OCB dapat membantu meningkatkan produktivitas manajerial; (3) OCB dapat membantu mengefisienkan penggunaan sumber daya organisasi untuk tujuantujuan produktif; (4) OCB dapat menurunkan tingkat kebutuhan akan penyediaan sumber daya organisasi secara umum untuk tujuan-tujuan pemeliharaan karyawan; (5) OCB dapat dijadikan sebagai dasar yang efektif untuk aktivitas-aktivitas koordinasi antar anggotaanggota tim dan antar kelompok-kelompok kerja; (6) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk mendapatkan dan mempertahankan sumber daya manusia yang handal; (7) OCB dapat meningkatkan stabilitas kinerja organisasi; (8) OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi untuk beradaptasi secara lebih efektif terhadap perubahan-perubahan lingkungannya. Shweta dan Srirang (2010) menyajikan sebuah tinjauan yang komprehensif berupa kerangka kerja untuk mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi OCB, diantaranya: 1) Disposisi individu dan motif individu Disposisi individu seperti positive affectivity, negative affectivity, conscientiousness, agreeableness, dan juga locus of control memainkan peranan penting dalam menentukan tingkat OCB yang ditampilkan oleh pegawai. Selain disposisi individu, pegawai didorong oleh motivasi baik intrinsik atau ekstrinsik untuk menunjukkan OCB. 2) Kohesivitas kelompok Pegawai pada umumnya berhubungan langsung dengan kelompok kerja dalam pekerjaannya. Hal ini secara jelas memberikan pengaruh pada sikap dan perilaku pegawai tersebut. Kohesivitas kelompok mendorong munculnya OCB yang bertujuan untuk lebih mempererat hubungan agar kelompok menjadi kuat dan efektif. 3) Sikap Pegawai OCB tergantung pada sikap positif karyawan terhadap pekerjaan mereka serta terhadap organisasi, yang meliputi: a. Komitmen Organisasi Dalam beberapa kasus, tingkat komitmen organisasi mempengaruhi timbulnya OCB. Tingginya tingkat komitmen organisasi tercermin dalam keterlibatan pegawai dalam permasalahan organisasi di luar penugasan secara umum. b. Kepuasan Kerja Berbagai studi menunjukkan hubungan yang potitif antara kepuasan kerja dengan OCB 4) Pegawai yang paling mungkin terlibat dalam OCB adalah dalam kondisi manajer menampilkan perilaku kepemimpinan transformasional seperti mempunyai visi, menjadi teladan, menyegarkan intelektual bawahan, dan mengkomunikasikan harapan kinerja yang tinggi. Jelas sekali bahwa perhatian pada munculnya OCB pegawai tergantung pada efektivitas kepemimpinan yang berjalan dalam organisasi. 5) Keadilan Organisasi Keadilan organisasi mencerminkan sejauh mana pegawai merasa diperlakukan adil oleh organisasi. Organisasi yang mengikuti prinsip-prinsip umum keadilan organisasi akan memastikan bahwa keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional telah memiliki ukuran yang baik dalam organisasi.
404
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Masing-masing komponen dalam keadilan organisasi memberikan kontribusi yang sangat penting dalam membentuk OCB pegawai dalam organisasi.
4. Kinerja a. Pengertian Kinerja Hani Handoko (2002) mengistilahkan kinerja (performance) dengan prestasi kerja yaitu proses melalui mana organisasi mengevaluasi atau menilai prestasi kerja karyawan. Gibson (2009) mendefinisikan kinerja sebagai hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi seperti kualitas dan kuantitas. Kualitas kerja dinilai dari tanggung jawab dan inisiatif yang dimiliki oleh pegawai dalam menyelesaikan tugasnya sedangkan kuantitas kerja dapat dinilai dari target capaian kerja dan ketepatan waktu dalam penyelesaian pekerjaan. Hasil kerja seseorang akan memberikan umpan balik bagi orang itu sendiri untuk selalu aktif melakukan pekerjaannya secara baik dan diharapkan akan menghasilkan mutu pekerjaan yang baik pula. Pendidikan mempengaruhi kinerja seseorang karena dapat memberikan wawasan yang lebih luas untuk berinisiatif dan berinovasi dan selanjutnya berpengaruh terhadap kinerjanya. Sopiah (2008) menyatakan lingkungan juga bisa mempengaruhi kinerja seseorang. Situasi lingkungan yang kondusif, misalnya dukungan dari atasan, teman kerja, sarana dan prasarana yang memadai akan menciptaka kenyamanan tersendiri dan akan memacu kinerja yang baik. Sebaliknya, suasana kerja yang tidak nyaman karena sarana dan prasarana yang tidak memadai, tidak adanya dukungan dari atasan, dan banyak terjadi konflik akan memberi dampak negatif yang mengakibatkan kemerosotan pada kinerja seseorang. b. Penilaian Kinerja Penilaian kinerja (performance appraisal) memainkan peranan yang sangat penting dalam peningkatan motivasi di tempat kerja. Karyawan menginginkan dan memerlukan balikan berkenaan dengan prestasi mereka dan penilaian menyediakan kesempatan untuk memberikan balikan kepada mereka. Jika kinerja tidak sesuai dengan standar, maka penilaian memberikan kesempatan untuk meninjau kemajuan karyawan dan untuk menyusun rencana peningkatan kinerja. Penilaian kinerja merupakan upaya membandingkan prestasi aktual karyawan dengan prestasi kerja dengan yang diharapkan darinya (Dessler 2000). Dalam penilaian kinerja karyawan tidak hanya menilai hasil fisik, tetapi pelaksanaan pekerjaan secara keseluruhan yang menyangkut berbagai bidang seperti kemampuan kerja, kerajinan, kedisiplinan, hubungan kerja atau hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan level pekerjaan yang dijabatnya. Menurt Dessler (2000) ada lima faktor dalam penilaian kinerja yang populer, yaitu: 1. Prestasi pekerjaan, meliputi: akurasi, ketelitian, keterampilan, dan penerimaan keluaran 2. Kuantitas pekerjaan, meliputi: volume keluaran dan kontribusi 3. Kepemimpinan yang diperlukan, meliputi: membutuhkan saran, arahan atau perbaikan 4. Kedisiplinan, meliputi: kehadiran, sanksi, warkat, regulasi, dapat dipercaya/ diandalkan dan ketepatan waktu 5. Komunikasi, meliputi: hubungan antar karyawan maupun dengan pimpinan, media komunikasi.
405
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Menurut Hani Handoko (2002) pengukuran kinerja adalah usaha untuk merencanakan dan mengontrol proses pengelolaan pekerjaan sehingga dapat dilaksanakan sesuai tujuan yang telah ditetapkan, penilaian prestasi kerja juga merupakan proses mengevaluasi dan menilai prestasi kerja karyawan diwaktu yang lalu atau untuk memprediksi prestasi kerja di waktu yang akan datang dalam suatu organisasi. Hani Handoko (2002) menyebutkan bahwa penilaian kinerja terdiri dari 3 kriteria, yaitu : 1. Penilaian berdasarkan hasil yaitu penilaian yang didasarkan adanya target-target dan ukurannya spesifik serta dapat diukur. 2. Penilaian berdasarkan perilaku yaitu penilaian perilaku-perilaku yang berkaitan dengan pekerjaan. . Model Penelitian 1 4
Motivasi (Y1) 3 Karakteristik Individu (X1)
Kinerja Pegawai (Y3) 2
5
Kepuasan (Y2) Y1 = a 1 + b 1 X 1 + e1 Y2 = a 2 + b 2 X 1 + b 3 Y 1 + e2 Y3 = a3 + b 4 Y 1 + b5 X1 + b6 Y2 + e3
6
(1) (2) (3)
Keterangan : Y3 = Kinerja Pegawai X1 = Kepemiminan Transformasional Y1 = Komitmen Organisasional Y2 = OCB a 1-3 = konstanta b 1-5 = koefisien regresi e = standar error Hubungan Antar Variabel a.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Komitmen Organisasi
Kepemimpinan Transformasional menyangkut nilai-nilai yang relevan bagi proses pertukaran seperti: kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan pertukaran imbalan (Burns, 1978). Untuk menghubungkan pemimpin dengan bawahannya diperlukan gaya 406
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
kepemimpinan sehingga akan membentuk suatu hubungan bawahan dengan organisasi dan mempunyai implikasi dalam keputusan bawahan untuk meneruskan atau tidak meneruskan hubungannya dalam organisasi. Komitmen organisasi sebagai kekuatan dari identifikasi intividu dan keterlibatan dalam organisasi khusus, meliputi kepercayaan, dukungan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, kemauan untuk menggunakan upaya yang sungguh-sungguh untuk kepentingan organisasi, dan keinginan yang kuat untuk memelihara keanggotaan dalam organisasi. Hasil penelitian Kaihatu dan Rini (2007) menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap komitmen organisasi. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan hipotesis 1 sebagai berikut: Hipotesis 1: Gaya Kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang b.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap OCB
Dalam konteks perilaku keorganisasian, perilaku ekstra peran atau perilaku baik warga organisasi yang populer dikenal sebagai organizational citizenship behavior (OCB) amat penting dimiliki karena turut memberikan kontribusi positif terhadap kualitas kehidupan kerja dan kinerja organisasi pada saat organisasi diharapkan pada berbagai situasi yang kurang kondusif dan kualitas kehidupan kerja menurun maka perilaku (OCB) perlu didukung. Bentuk dapat diimplementasikan dalam perilaku yaitu : Altruism (perilaku membantu dengan segera terhadap orang lain), Conscientiousness, (sikap berhati-hati/mendengarkan kata hati), Sportmanship (sikap sportif seperti toleransi terhadap dihindari tanpa adanya komplain), Courtesy (kesopanan seperti memberitahu yang lain dalam mencegah kejadian dalam kerja yang menimbulkan suatu masalah), Civic virtue, (berpartisipasi dan memperhatikan kelangsungan hidup perusahaan). Seorang pemimpin dalam lingkungan organisasi diharapkan dapat menunjukkan kewibawaan dan menimbulkan rasa hormat bagi pengikutnya sehingga membuat para pengikut merasa terinspirasi untuk mengikuti dan menunjukkan perilaku ekstra peran sebagai warga yang baik untuk mengikuti dan menunjukkan perilaku ekstra peran sebagai warga yang baik bagi organisasinya. Keefektifan kepemimpinan akan mendorong meningkatnya perilaku ekstra pengikutnya. Hasil penelitian Lamidi (2008) menyatakan bahwa Kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap Organization Citizenship Behavior (OCB) para dosen di Unisri Surakarta. Semakin tinggi persepsi dosen terhadap kepemimpinan transformasional, maka para dosen akan menunjukkan perilakuekstra peran (OCB) yang semakin tinggi. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan Hipotesis 2 sebagai berikut: Hipotesis 2: Gaaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap OCB pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang c.
Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap OCB
Organizational Citizenship Behavior (OCB) dapat timbul dari berbagai faktor dalam organisasi, di antaranya karena adanya kepuasan kerja dari karyawan dan komitmen organisaasi yang tinggi (Robbin & Judge, 2007). Ketika karyawan merasakan kepuasan terhadap pekerjaan yang dilakukannya, maka karyawan tersebut akan bekerja secara maksimal dalam menyelesaikan pekerjaannya, bahkan melakukan beberapa hal yang mungkin di luar tugasnya. Begitu juga dengan ketika seseorang mempunyai komitmen yang tinggi terhadap organisasinya, maka orang tersebut akan melakukan apapun untuk memajukan perusahaannya karena keyakinannya terhadap organisasinya (Luthans, 1995).
407
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Ketika seseorang mendapatkan kepuasan kerja dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap organisasi, karyawan akan memberikan pelayanan yang baik dan begitu juga sebaliknya, ketika karyawan saja tidak mengalami kepuasan maka pelayanan yang diberikan kepada konsumen, dalam hal ini para pegawai bisa tidak memuaskan. Kepuasan kerja diartikan sebagai tanggapan emosional seseorang terhadap aspek-aspek di dalam atau pada keseluruhan pekerjaannya (Nawawi, 1998). Keadaan emosional atau sikap seseorang tersebut akan diperlihatkan dalam bentuk tanggung jawab, perhatian, serta perkembangan kinerjanya. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan Hipotesis 3 sebagai berikut: Hipotesis 3: Komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap OCB pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. d.
Pengaruh Komitmen Organisasional terhadap Kinerja
Komitmen Organisasional kadang-kadang disebut komitmen kerja, mencerminkan identifikasi dan ikatan seorang individu pada organisasi. Seseorang yang sangat berkomitmen mungkin akan melihat dirinya sebagai anggota sejati dari sebuah perusahaan, mengabaikan sumber ketidakpuasan kecil, dan melihat dirinya tetap sebagai anggota organisasi. Sebaliknya, seseorang yang kurang berkomitmen lebih berkemungkinan melihat dirinya sendiri sebagai orang luar. Organisasi dapat melakukan beberapa hal definitif untuk meningkatkan kepuasan dan komitmen, tetapi tersedia beberapa panduan spesifik. Untuk satu hal, jika organisasi memperlakukan karyawannya dengan adil dan memberikan penghargaan yang masuk akal serta keamanan kerja, karyawannya lebih berkemungkinan untuk merasa puas dan berkomitmen. Hasil penelitian Fakhrizal, Yunus dan Amri (2012) menyatakan bahwa komitmen organisasi baik secara parsial maupun simultan berpengaruh terhadap kinerja pegawai Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan Hipotesis 4 sebagai berikut: Hipotesis 4: komitmen organisasional berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang e.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Tranformasional terhadap Kinerja
Keberhasilan suatu organisasi baik sebagai keseluruhan maupun berbagai kelompok dalam suatu organisasi tertentu, sangat tergantung pada mutu kepemimpinan yang terdapat dalam organisasi yang bersangkutan. Bahkan kiranya dapat dikatakan bahwa mutu kepemimpinan yang terdapat dalam suatu organisasi memainkan peranan yang sangat dominan dalam keberhasilan organisasi tersebut dalam menyelenggarakan berbagai kegiatannya terutama terlihat dalam kinerja para pegawainya (Siagian, 1999) Gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi kondisi kerja, dimana akan berhubungan dengan bagaimana karyawan menerima suatu gaya kepemimpinan, senang atau tidak, suka atau tidak. Di satu sisi gaya kepemimpinan tertentu dan menyebabkan peningkatan kinerja disisi lain dapat menyebabkan penurunan kinerja. Hasil penelitian Marjam (2010) menyatakan bahwa Kepemimpinan transformasional berpengaruh signifikan terhadap Kinerja pegawai. Penerapan kepemimpinan transformasional yang semakin efektif, ditunjukkan dari kepuasan kerja dan kepercayaan bawahan yang semakin tinggi, loyalitas dan rasa hormat kepada atasan, serta semakin tingginya motivasi bawahan untuk meningkatkan prestasi kerja. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan Hipotesis 5 sebagai berikut:
408
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Hipotesis 5: Gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang f.
Organizational Citizenship Behavior (OCB) terhadap Kinerja
Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan suatu perilaku sukarela yang tampak dan dapat diamati. OCB merupakan suatu perilaku. Oleh karena itu, sebenarnya OCB didasari oleh suatu motif/nilai yang dominan. Kesukarelaan dalam bentuk perilaku bentuk tentu mencerminkan kerelaan yang sebenarnya. Memang untuk mengetahui nilainilai diri karyawan tidak selalu mudah. Oleh karena itu, secara pragmatis praktek manajemen dalam organisasi sering berorientasi pada apa yang dapat diamati yaitu perilaku. Pembentukan perilaku pun sering didasarkan pada reward dan punishment yang bersifat eksternal. OCB memiliki lingkup yang luas dibandingkan dengan komitmen karyawan secara pribadi karena arti dari citizen itu sendiri adalah kewarganegaraan sehingga memiliki tanggung jawab dan rasa cinta terhadap pekerjaan secara sukarela dan tanpa diawali. Perilaku OCB tidak terdapat pada job description karyawan, tetapi sangat diharapkan, karena mendukung peningkatan efektivitas dan kelangsungan hidup organisasi, khususnya dalam lingkungan bisnis yang persaingannya semakin tajam. Karyawan yang memiliki OCB akan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap organisasi tempatnya bekerja, dan dengan sendirinya akan merasa nyaman dan aman terhadap pekerjaannya. Hasil pembahasan Marita menyatakan bahwa OCB mempunyai pengaruh yang signifikan pada kinerja organisasi dan keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Sehingga seharusnya organisasi memberikan perhatian lebih pada OCB anggotanya untuk lebih mendukung kelancaran organisasi mencapai tujuannya. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti merumuskan Hipotesis 6 sebagai berikut: Hipotesis 6: OCB berpengaruh positif terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang Metode Penelitian Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian (Arikunto, 2002). Berdasarkan pengertian tersebut dapat dijelaskan populasi merupakan keseluruhan obyek yang diteliti, dapat berupa manusia, gejala-gejala atau peristiwa-peristiwa yang mempunyai karakteristik tertentu serta merupakan sumber data dan menentukan keberhasilan penelitian.Dalam penelitian ini, yang menjadi populasi adalah seluruh pegawai di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang sebanyak 103 orang pegawai. Sampel merupakan bagian terkecil dari suatu populasi. Dengan mempertimbangkan bahwa elemen populasi relatif sedikit dan variabilitas setiap elemen relatif tinggi (heterogen), maka pengambilan sampel untuk dijadikan responden dalam penelitian ini adalah menggunakan metode sensus, dimana setiap anggota populasi secara keseluruhan dijadikan sebagai sampel. Jumlah responden yang diambil sebagai sampel adalah sebanyak 103 pegawai di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Definisi Konsep dan Operasional Kepemimpinan transformasional yang mencakup perubahan organisasi yang memprediksi hubungan emosional pengikut pada pimpinannya dan stimulasi emosional dan
409
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
motivasional pengikut sebagai konsekuensi dari perilaku pimpinan (House, Woycke, dan Fodor, 1988 dalam Hartog dan Van Muijen, 1997. Kepemimpinan transformasional memiliki dimensi yaitu : kharisma, Motivasi Inspirasional, Stimulasi Intelektual, Perhatian Individual. Komitmen organisasional adalah suatu kondisi yang dirasakan oleh pegawai yang dapat menimbulkan perilaku yang positif yang kuat terdapat organisasi kerja yang dimiliki dalam bentuk affective commitment, continueance commitment , normative commitmen (Allen dan Meyer, 1993). Variabel Komitmen organisasional terdiri dari tiga dimensi yaitu affective commitment (Komitmen Efektif), continueance commitment (Komitmen Continueance) , normative commitmen (Komitmen Normatif) Menurut Organ (1988) dalam Bolino, Turnley dan Bloodgood (2002), OCB adalah Perilaku karyawan yang melebihi peran yang diwajibkan yang tidak secara langsung atau eksplisit diakui oleh sistem reward.. Variabel OCB terdiri dari lima dimensi yaitu Alturism, Civic Virtue, Conscientiousness, Sportsmanship, Courtesy. Gibson (1997) mendefinisikan kinerja sebagai hasil dari pekerjaan yang terkait dengan tujuan organisasi seperti kualitas dan kuantitas Variabel Kinerja terdiri dari tiga dimensi yaitu pengetahuan kemampuan dan ketrampilan kerja, kualitas hasil kerja dan efisiensi kerja. Hasil Analisis dan Pembahasan Pengambilan data dalam penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 April 2014 sampai dengan 17 April 2014, Pengambilan sampel menggunakan metode sensus dengan membagikan 103 kuesioner, diisi dengan benar oleh responden sesuai dengan petunjuk pengisian. Deskripsi Responden Gambaran identitas responden akan memberikan deskripsi mengenai keadaan responden. Sesuai dengan data kuesioner, responden diidentifikasikan menurut jenis kelamin, umur, masa kerja, dan pendidikan terakhir, dengan rincian sebagai berikut: Tabel 1 Deskripsi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Usia, Pendidikan Terakhir dan Masa Kerja Frekuensi Prosentase (%) Jenis Kelamin Pria 79 76,70 Wanita 24 23,30 Usia < 30 Tahun 3 2,91 30-40 Tahun 33 32,04 >40 Tahun 67 65,05 Pendidikan Terakhir SLTA 46 44,66 Diploma 4 3,89 Sarjana (S1) 48 46,60 Pasca Sarjana (S2) 5 4,85 Masa Kerja 1-5 Tahun 13 12,60 5-10 Tahun 23 22,30 11-15 Tahun 22 21,40 >15 Tahun 45 43,70 Sumber: Data primer yang diolah, 2014
410
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Dari Tabel 1 diatas dapat diketahui bahwa responden pria sejumlah 79 orang atau sebesar 76,7 % sedangkan responden wanita sejumlah 24 orang atau sebesar 23,3%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa responden dalam penelitian ini didominasi oleh responden pria. Untuk jumlah responden dengan umur kurang dari 30 tahun sebesar 2,9% yaitu ada 3 orang, umur 30-40 tahun sebesar 32% yaitu ada 33 orang dan umur diatas 40 tahun sebesar 65% yaitu ada 67 orang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan umur responden penelitian ini didominasi oleh umur lebih dari 40 tahun. Sedangkan untuk responden dengan jumlah terkecil adalah pegawai dengan umur dibawah 30 tahun. Selain itu juga diketahui bahwa jumlah responden dengan tingkat pendidikan SLTA sebesar 44,7% yaitu sejumlah 46 orang. Untuk latar belakang pendidikan Diploma sebesar 4% yaitu sejumlah 4 responden, pegawai dengan latar pendidikan Sarjana atau Strata 1 sebesar 46,6% atau sejumlah 48 orang. Dan untuk pegawai dengan latar belakang pendidikan Pasca Sarjana atau S2 sebesar 4,9% atau sejumlah 5 orang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berdasarkan latar belakang pendidikan responden penelitian yang merupakan pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang didominasi oleh lulusan Sarjana S1. Dari tabel diatas juga menunjukkan bahwa jumlah responden terbesar berdasarkan masa kerja adalah selama 1-5 tahun sejumlah 13 orang atau sebesar 12,6%, masa kerja 5-10 tahun sejumlah 23 orang atau sebesar 22,3 %, masa kerja 10-15 tahun sejumlah 22 orang atau 21,4 % dan masa kerja lebih dari 15 tahun ada 45 orang atau 43,7%. Untuk responden dengan jumlah masa terkecil adalah pegawai dengan masa kerja 1-5 tahun 12,6 % sejumlah 13 orang, lebih dari 15 tahun 43,7 % sejumlah 45 orang masa kerja paling banyak Deskripsi Variabel Tabel 2 Deskripsi Variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional (X1) X1.1 X1.2 X1.3 X1.4 X1.5 X1.6 X1.7 X1.8 X1.9 X1.10 X1.11 X1.12 Mean 5.82 5.03 6.10 5.94 5.69 5.70 5.43 6.12 6.07 5.57 5.83 5.88 Med 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 Mod 6 5 6 6 6 6 5 6 6 6 6 6 Min 2 2 3 4 1 3 4 5 4 1 4 5 Max 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 Sumber: Data primer yang diolah, 2014 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jawaban yang paling banyak diisikan dalam kuesioner penelitian ini mengenai item-item dalam variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional (X1) adalah nilai dengan bobot 6 yaitu Setuju. Tabel 3 Deskripsi Variabel Komitmen Organisasional (Y1)
Mean Med Mod Min Max
Y1.1 Y1.2 Y1.3 Y1.4 Y1.5 Y1.6 Y1.7 Y1.8 Y1.9 Y1.10 Y1.11 Y1.12 5.37 5.89 5.83 5.46 6.16 5.10 5.18 5.84 5.13 5.08 4.16 4.64 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 5.00 6.00 5.00 5.00 4.00 5.00 6 6 6 6 6 6 5 6 6 5 4 4 2 1 1 2 4 2 3 4 1 2 1 1 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 6 7
411
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Mean Med Mod Min Max
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Y1.13 Y1.14 Y1.15 Y1.16 Y1.17 Y1.18 Y1.19 Y1.20 Y1.21 Y1.22 Y1.23 Y1.24 5.86 4.94 4.70 5.83 4.92 5.99 4.48 5.94 4.96 5.87 6.03 6.00 6.00 5.00 5.00 6.00 5.00 6.00 4.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6 6 5 6 5 6 4 6 4 6 6 6 2 2 2 1 1 2 1 1 2 4 4 4 7 7 6 7 6 7 6 7 7 7 7 7
Sumber: Data primer yang diolah, 2014 Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jawaban yang paling banyak diisikan dalam kuesioner penelitian ini mengenai item-item dalam variabel Komitmen Organisasional (Y1) adalah nilai dengan bobot 6 yaitu Setuju. Tabel 4 Deskripsi Variabel OCB (Y2)
Mean Med Mod Min Max
Mean Med Mod Min Max
Y2.1 Y2.2 Y2.3 Y2.4 Y2.5 Y2.6 Y2.7 Y2.8 Y2.9 5.82 5.73 5.87 5.75 5.33 5.72 5.79 5.83 6.18 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6 6 6 6 5 6 6 6 6 4 4 4 5 4 4 2 4 5 7 7 7 7 7 7 7 7 7 Y2.10 Y2.11 Y2.12 Y2.13 Y2.14 Y2.15 Y2.16 Y2.17 Y2.18 5.92 5.74 6.10 6.36 5.98 5.19 6.15 5.83 6.14 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 5.00 6.00 6.00 6.00 6 6 6 6 6 5 6 6 6 4 4 4 5 2 2 4 4 4 7 7 7 7 7 6 7 7 7
Sumber: Data primer yang diolah, 2014. Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jawaban yang paling banyak diisikan dalam kuesioner penelitian ini mengenai item-item dalam variabel OCB (Y2) adalah nilai dengan bobot 6 yaitu Setuju. Tabel 5 Deskripsi Variabel Kinerja (Y3) Y3.1 Y3.2 Y3.3 Y3.4 Y3.5 Y3.6 Y3.7 Y3.8 Y3.9 Y3.10 Y3.11 Mean 6.06 5.61 6.10 5.55 5.83 5.83 6.02 5.69 5.90 6.13 6.15 Med 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 6.00 Mod 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 6 Min 5 4 4 2 3 4 4 4 4 3 5 Max 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 7 Sumber: Data primer yang diolah, 2014.
412
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jawaban yang paling banyak diisikan dalam kuesioner penelitian ini mengenai item-item dalam variabel Kinerja Pegawai (Y3) adalah nilai dengan bobot 6 yaitu Setuju. Uji Validitas Uji validitas digunakan untuk menunjukkan seberapa jauh ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsinya. Dalam pengujian validitas dibantu dengan program SPSS untuk menentukan apakah kuesioner tersebut sudah valid atau belum. Pengujian validitas menggunakan metode analisis faktor. Untuk mengetahui valid tidaknya suatu variabel yang diuji, dilakukan dengan membandingkan nilai component matriks atau faktor loading-nya dengan 0,4. Jika hasilnya lebih besar dari 0,4 berarti valid dan jika lebih kecil maka item dari variabel yang diuji di drop dulu kemudian diuji kembali. Sedangkan untuk mengetahui kecukupan sampel, ditentukan dengan nilai KMO (KaiserMeyer-Olkin) and Bartlett’s Test lebih besar dari 0,5. Adapun hasil uji validitas dari masingmasing variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Nilai KMO dan Bartlett’s Test variabel gaya kepemimpinan transformasional adalah 0,604 sehingga kecukupan sampel pada variabel kepemimpinan tranformasional telah memenuhi persyaratan yaitu diatas 0,5. Dan diketahui bahwa nilai Component Matrix atau Loading Factor dari 12 indikator gaya kepemimpinan transformasional (X2) 8 indikator valid karena telah memenuhi persyaratan yaitu diatas 0,4. Nilai KMO dan Bartlett’s Test variabel komitmen organisasional adalah 0,721 sehingga kecukupan sampel pada variabel komitmen organisasional telah memenuhi persyaratan yaitu diatas 0,5. Sedangkan untuk nilai Component Matrix atau Loading Factor dari 24 indikator komitmen organisasional (Y1) 15 indikator valid karena telah memenuhi persyaratan yaitu diatas 0,4. Variabel OCB memiliki nilai KMO dan Bartlett’s Test adalah 0,618 sehingga kecukupan sampel pada variabel OCB telah memenuhi persyaratan yaitu diatas 0,5. Selanjutnya diketahui bahwa nilai Component Matrix atau Loading Factor dari 18 indikator OCB (Y2) 11 indikator valid karena telah memenuhi persyaratan yaitu diatas 0,4. Nilai KMO dan Bartlett’s Test variabel Kinerja setelah dilakukan analisi ulang dikarenakan terdapat beberapa indikator yang memiliki loading factor yang tidak valid adalah sebesar 0,762 sehingga kecukupan sampel pada variabel kinerja telah memenuhi persyaratan yaitu diatas 0,5. Untuk nilai komponen matrix atau Loading Factor dari 11 indikator yang terukur secara keseluruhan diperoleh nilai lebih dari 0,4 dan 10 indikator yang valid. Uji Reliabilitas Variabel atau konstruk dikatakan reliabel atau handal jika jawaban seseorang terhadap pernyataan adalah konsisten atau stabil dari waktu ke waktu. Suatu konstruk atau variabel dikatakan reliabel jika memberikan nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,7. Adapun hasil uji reliabilitas dari masing-masing variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada hasil perhitungan dari SPSS sebagai berikut:
413
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Tabel 6 Hasil Uji Reliabilitas Variabel Nama Variabel Cronbach’s alpha X1 Gaya Kepemimpinan 0,799 Transformasional Y1 Komitmen 0,821 Organisasional Y2 OCB 0,782 Y3 Kinerja 0,831 Sumber: Data primer yang diolah, 2014
Nilai 0,7
Keterangan Reliabel
0,7
Reliabel
0,7 0,7
Reliabel Reliabel
Dari Tabel 6 diatas dapat diketahui bahwa terdapat nilai Cronbach alpha dari variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional adalah sebesar 0,799 atau lebih besar dari 0,7. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsistensi alat ukurnya baik atau reliabel. Untuk variabel Komitmen Organisasional adalah sebesar 0,821 atau lebih besar dari 0,7. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsistensi alat ukurnya baik atau reliabel. Nilai Cronbach alpha dari variabel OCB adalah sebesar 0,782 atau lebih besar dari 0,7. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsistensi alat ukurnya baik atau reliabel. Sedangkan untuk variabel Kinerja atau Y3 memiliki nilai Cronbach alpha dari sebesar 0,831 atau lebih besar dari 0,7. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsistensi alat ukurnya baik atau reliabel. Analisis Regresi Analisis regresi digunakan untuk menunjukkan ada tidaknya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Dalam penelitian ini variabel bebasnya adalah Gaya Kepemimpinan Transformasional (X1) sedangkan variabel terikatnya adalah Komitmen Organisasional (Y1), OCB (Y2) dan Kinerja (Y3). Adapun hasil analisis regresi yang diperoleh adalah sebagai berikut: Tabel 7 Koefisien Regresi Gaya Kepemimpinan Transformasional Terhadap Komitmen Organisasional Variabel
Adj R-Square 0,516
Hasil Uji F
Gaya 107,768 Kepemimpinan Transformasional Variabel Dependen: Komitmen Organisasional Sumber: Data primer yang diolah, 2014
Sig 0,00
Koefisien Beta 0,718
Hasil t-Hitung 10,381
Sig 0,000
Adapun hasil uji Adjusted R Square (R²) dari variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap variabel Komitmen Organisasional adalah sebesar 0,516. Hal ini menunjukkan bahwa variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional memberikan kontribusi sebesar 51,6% terhadap variabel Komitmen Organisasional. Dan berdasarkan Uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 107,768 dengan signifikansi 0,00. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Komitmen Organisasional dikarenakan nilai Signifikansi kurang dari 0,05. 414
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Persamaan regresi yang dapat dibentuk dari tabel 8 diatas adalah: Y1 = 0,718 X1 Melalui persamaan regresi tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai serikut:
Variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Komitmen Organisasional dengan koefisien Beta sebesar 0,718 atau β1. Tabel 8 Koefisien Regresi Gaya Kepemimpinan Transformasional , Komitmen Organisasional terhadap OCB Variabel
Adj R-Square 0,193
Hasil Uji F
Gaya 11,968 Kepemimpinan Transformasional Komitmen Organisasional Variabel Dependen: OCB Sumber: Data primer yang diolah, 2014.
Sig 0,00
Koefisien Beta 0,276
Hasil t-Hitung 2,138
0,035
0,197
1,524
0,131
Sig
Hasil uji Adjusted R Square (R²) dari variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Komitmen Organisasional terhadap variabel OCB adalah sebesar 0,193. Hal ini menunjukkan bahwa variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Komitmen Organisasional secara bersama-sama memberikan kontribusi sebesar 19,3% terhadap variabel OCB. Dan berdasarkan Uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 11,968 dengan signifikansi 0,00. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Komitmen Organisasional secara bersama-sama memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap OCB dikarenakan nilai signifikansi kurang dari 0,05. Persamaan regresi yang dapat dibentuk dari tabel 9 diatas adalah: Y2
= 0,276 X1
Melalui persamaan regresi tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai serikut:
Variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap OCB dengan koefisien Beta sebesar 0,276 atau β2. Variabel Komitmen Organisasional tidak berpengaruh terhadap OCB
415
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Tabel 9 Koefisien Regresi Gaya Kepemimpinan Transformasional , Komitmen Organisasional dan OCB terhadap Kinerja
Variabel
Adj RSquare 0,411
Hasil Uji F
Komitmen 24,719 Organisasional Kepemimpinan Transformasional OCB Variabel Dependen: Kinerja Sumber: Data primer yang diolah, 2014.
Sig
Koefisien Beta
Hasil t-Hitung
Sig
0,00
0,299
2,709
0,008
0,128
1,143
0,256
0,373
4,411
0,001
Hasil uji Adjusted R Square (R²) dari variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional, Komitmen Organisasional, OCB terhadap variabel Kinerja adalah sebesar 0,411. Hal ini menunjukkan bahwa variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional, Komitmen Organisasional dan OCB secara bersama-sama memberikan kontribusi sebesar 41,1% terhadap variabel Kinerja . Dan berdasarkan Uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 24,719 dengan signifikansi 0,00. Dari nilai tersebut dapat disimpulkan bahwa variabel Gaya Kepemimpinan Transformasional, Komitmen Organisasional dan OCB secara bersama-sama memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Kinerja dikarenakan nilai Signifikansi kurang dari 0,05. Persamaan regresi yang dapat dibentuk dari tabel 4.10 diatas adalah: Y3
= 0,299 Y1 + 0,373Y2
Melalui persamaan regresi tersebut dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Variabel Komitmen Organisasional memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Kinerja dengan koefisien Beta sebesar 0,299. Variabel Kepemimpinan Transformasional tidak berpengaruh terhadap Kinerja dengan koefisien Beta sebesar 0,128. Variabel OCB memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap Kinerja dengan koefisien Beta sebesar 0,373 atau β6. Uji Hipotesis (Uji t) a. Uji Hipotesis I Hipotesis I berbunyi Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap Komitmen Organisasional. Berdasarkan Tabel 4.8 diketahui bahwa Gaya Kepemimpinan Transformasional mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap Komitmen Organisasional, yang ditunjukkan oleh nilai signifikasi 0,00 nilai signifikasi kurang dari 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa hiposesis yang menyatakan Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh positif terhadap komitmen organisasional pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang terbukti, sehingga hipotesis I diterima.
416
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
b. Uji Hipotesis II Hipotesis II berbunyi Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB. Berdasarkan Tabel 4.9 diketahui bahwa Gaya Kepemimpinan Transformasional mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap OCB, yang ditunjukkan oleh nilai signifikasi 0,035 nilai signifikasi kurang dari 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa hiposesis yang menyatakan Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh positif terhadap OCB pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang terbukti, sehingga hipotesis II diterima. c. Uji Hipotesis III Hipotesis III berbunyi Komitmen Organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB. Berdasarkan Tabel 4.9 diketahui bahwa Komitmen Organisasional tidak signifikan terhadap OCB yang ditunjukkan oleh nilai signifikasi 0,131 nilai signifikasi lebih besar dari 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa hiposesis yang menyatakan Komitmen Organisasional berpengaruh terhadap OCB pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang tidak terbukti, sehingga hipotesis III ditolak. d. Uji Hipotesis IV Hipotesis IV berbunyi Komitmen Organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja. Berdasarkan Tabel 4.10 diketahui bahwa Komitmen Organisasional pengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja yang ditunjukkan oleh nilai signifikasi 0,008 nilai signifikasi kurang dari 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa hiposesis yang menyatakan Komitmen Organisasional berpengaruh terhadap Kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang terbukti, sehingga hipotesis IV diterima. e. Uji Hipotesis V Hipotesis V berbunyi Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja. Berdasarkan Tabel 4.10 diketahui bahwa Gaya Kepemimpinan Transformasional tidak signifikan terhadap Kinerja yang ditunjukkan oleh nilai signifikasi 0,256 nilai signifikasi lebih besar dari 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa hiposesis yang menyatakan Gaya Kepemimpinan Transformasional berpengaruh terhadap Kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang tidak terbukti, sehingga hipotesis V ditolak. f. Uji Hipotesis VI Hipotesis VI berbunyi OCB berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja. Berdasarkan Tabel 4.10 diketahui bahwa OCB pengaruh positif dan signifikan terhadap Kinerja yang ditunjukkan oleh nilai signifikasi 0,001 nilai signifikasi kurang dari 0,05. Hasil ini membuktikan bahwa hiposesis yang menyatakan OCB berpengaruh terhadap Kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang terbukti, sehingga hipotesis VI diterima. Uji Mediasi Mediasi merupakan variabel antara yang berfungsi memediasi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Untuk mengetahui efek mediasi dari suatu variabel intervening digunakan analisis jalur atau path analysis. Analisis jalur adalah penggunaan analisis regresi untuk menaksir hubungan kausalitas antar variabel yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan teori. Apa yang dapat dilakukan oleh analisis jalur adalah
417
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
menentukan pola hubungan antara 3 atau lebih variabel dan tidak dapat digunakan untuk mengkonfirmasi atau menolak hipotesis kasualitas imajiner (Ghozali, 2006). Dari model grafis dalam penelitian ini, terdapat 3 analisis jalur path sebagaimana berikut ini : 1) Komitmen Organisasional sebagai mediasi pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja Pegawai Hubungan langsung variable Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja ternyata tidak signifikan. Sedangkan hubungan tidak langsung signifikan, sehingga pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja dimediasi variable Komitmen Organisasional. 2) OCB sebagai mediasi pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja Pegawai Hubungan langsung variable Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja ternyata tidak signifikan. Sedangkan hubungan tidak langsung signifikan, sehingga pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja dimediasi variable OCB. 3) Komitmen Organisasional sebagai mediasi pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional terhadap OCB Hubungan variable Komitmen Organisasional terhadap OCB ternyata tidak signifikan karena signifikansinya sebesar 0,131 jauh di atas 0,05. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa variable Kepemimpinan Transformasional terhadap OCB dengan mediasi variable Komitmen Organisasional tidak bisa di uji Pembahasan 1.
Deskripsi variabel Penelitian Deskripsi variabel penelitian di dalam penelitian ini dikategorikan dalam 7 (tujuh) tingkat jawaban, yang tersusun kategori variabel sebagai berikut: sangat setuju (SS=7), setuju (S=6), agak setuju (AS=5), netral (N=4), agak tidak setuju (ATS=3), dan sangat tidak setuju (STS=1). Pada analisis pendapat responden diukur dengan tujuh skala tersebut guna mengetahui derajat kesetujuan dan ketidaksetujuan responden terdapat serangkaian pernyataan. Adapun analisis ini sebagai berikut : a.Variabel gaya kepemimpinan transformasional Dari variabel gaya kepemimpinan transformasional menunjukkkan mode frekuensi observasi 6 (enam) yang sering muncul dari 12 indikator adalah jawaban setuju. Ini bermakna bahwa pegawai di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, mempersepsikan kepemimpinan sudah baik meskipun masih terdapat kekurangan seperti kepercayaan kepada atasan, atasan sebagai simbul kesuksesan, motivasi dari sesama,mendapat penghargaan kalau kerja dengan baik. Beberapa responden memberikan jawaban tidak setuju untuk indikator tersebut meskipun porsinya relatif kecil. Nilai rata-rata (Mean) skor tertinggi dari 12 indikator variabel gaya kepemimpinan yaitu indikator optimisme bawahan (6,10) hal ini menandakan bahwa pimpinan mempercayahi bawahannya dalam melaksanakan tugas. Sedangkan skor rata-rata terendah adalah indikator atasan sebagai simbul kesuksesan (5,03). Hal ini menandakan bahwa responden menganggap sukses organisasi tidak tergantung pada pimpinan saja.
418
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
b. Variabel Komitmen Organisasional Dari variabel Komitmen Organisasional menunjukkkan mode frekuensi observasi 6 (enam) yang sering muncul dari 24 indikator adalah jawaban setuju. Ini bermakna bahwa pegawai di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, mempersepsikan komitmen organisasional sudah baik meskipun masih terdapat kekurangan seperti menghabiskan sisa karier di organisasi, bangga pada organisasi, masalah organisasi, tidak terikat pada organisasi, emosional, organisasi memiliki arti yang sangat besar, perasaan takut berhenti dari pekerjaan, sulit meninggalkan organisasi, banyak hal terganggu di organisasi, kerugian besar jika meninggalkan organisasi, bekerja merupakan kebutuhan, memiliki sedikit pilihan, perasaan tidak mungkin meninggalkan organisasi, melanjutkan pekerjaan, sering pindah organisasi, loyal pada organisasi, pindah organisasi adalah tidak etis, pentingnya loyalitas, tawaran pindah. Beberapa responden memberikan jawaban tidak setuju untuk indikator tersebut meskipun porsinya relatif kecil. Nilai rata-rata (Mean) skor tertinggi dari 24 indikator variabel Komitmen Organisasional yaitu indikator menekuni pekerjaan (6,03) hal ini menandakan bahwa responden tekun dalam melaksanakan tugas di organisasi. Sedangkan skor rata-rata terendah adalah indikator banyak hal terganggu (4,16). Hal ini menandakan bahwa responden menganggap di organisasi bekerja tidak ada hal yang mengganggu dalam menyelesaikan tugas. c. Variabel OCB Dari variabel OCB menunjukkkan mode frekuensi observasi 6 (enam) yang sering muncul dari 17 indikator adalah jawaban setuju. Ini bermakna bahwa pegawai di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, mempersepsikan OCB sudah baik meskipun masih terdapat kekurangan seperti tidak pernah membolos, sukarela melaksanakan tugas ekstra, bersedia mengikuti pelatihan tambahan. Beberapa responden memberikan jawaban tidak setuju untuk indikator tersebut meskipun porsinya relatif kecil. Nilai rata-rata (Mean) skor tertinggi dari 17 indikator variabel OCB yaitu indikator tidak memaksakan kehendak atas ide-ide yang disampaikan (6,36) hal ini menandakan bahwa responden merasa bebas menyampaikan ide-idenya Sedangkan skor rata-rata terendah adalah indikator bersedia mengikuti pelatihan (5,19). Hal ini menandakan bahwa responden mengganggap pelatihan kurang penting disebabkan menyita waktu tugas harian. d. Variabel Kinerja Dari variabel kinerja menunjukkkan mode frekuensi observasi 6 (enam) yang sering muncul dari 11 indikator adalah jawaban setuju. Ini bermakna bahwa pegawai di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, mempersepsikan kinerja sudah baik meskipun masih terdapat kekurangan seperti distribusi pekerjaan. Beberapa responden memberikan jawaban tidak setuju untuk indikator tersebut meskipun porsinya relatif kecil. Nilai rata-rata (Mean) skor tertinggi dari 11 indikator variabel kinerja yaitu indikator kepatuhan kerja (6,15) hal ini menandakan bahwa responden patuh pada aturan yang ada di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang Sedangkan skor rata-rata terendah adalah indikator distribusi pekerjaan (5,55). Hal ini menandakan bahwa responden mengganggap distribusi pekerjaan yang ada kurang seimbang. 2. a.
Deskripsi Uji Hipotesis Hipotesis I Hipotesis pertama dapat diterima, hal ini berarti mendukung penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Kaihatu dan Rini (2007) yang menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap Komitmen Organisasional. Terbuktinya hipotesis ini dapat dinyatakan jika Gaya
419
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Kepemimpinan di lingkungan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, dikaitkan dengan Komitmen Organisasional, maka seorang pemimpin harus mampu memotivasi bawahan dengan mengembangkan visi dan misi organisasi dan memaksimalkan potensi pegawai sehingga meningkatkan komitmen secara optimal. b.
Hipotesis II Hipotesis kedua dapat diterima, hal ini berarti mendukung penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Lamidi (2008) yang menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap OCB. Terbuktinya hipotesis ini dapat dinyatakan jika Gaya Kepemimpinan di lingkungan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, dikaitkan dengan OCB, maka seorang pemimpin harus mampu memberi petunjuk bawahan dalam bekerja sehingga meningkatkan kinerja..
c.
Hipotesis III Hipotesis ketiga ditolak, hal ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Darmawati, Hidayati, dan Herlina S (2013) yang menyatakan bahwa Komitmen Organisasional memiliki pengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap OCB pada karyawan Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta. Karyawan yang ada pada Dinas Pertanian dan Kehutanan sebagian besar tenaga teknis yang ada di lapangan sehingga komitmen terhadap organisasi dinilai masih kurang, karena mereka bisa bertahan diluar organisasi untuk melaksanakan kewajibannya. OCB merupakan perilaku yang melebihi apa yang distandarkan karyawan, sehingga komitmen yang tinggi tidak selalu menyebabkan seorang melakukan OCB.
d.
Hipotesis IV Hipotesis keempat diterima, hal ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Fakhrizal, Yunus, Amri (2012) yang menyatakan bahwa komitmen organisasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh. Terbuktinya hipotesis ini dapat dinyatakan jika Komitmen Organisasional di lingkungan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, dikaitkan dengan Kinerja Pegawai, maka seorang pegawai selalu menekuni pekerjaan yang diterima dan loyal di organisasi sehingga meningkatkan kinerja. e. Hipotesis V Hipotesis kelima ditolak, hal ini tidak mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Marjam (2010) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai pada Dinas Pendidikan Kabupaten Sukoharjo. Terbuktinya hipotesis ini dapat dinyatakan jika kepemimpinan, di lingkungan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, dikaitkan dengan kinerja pegawai, maka seorang pemimpin harus dapat menjadi simbol keberhasilan dan prestasi bagi pegawainya, selain itu pemimpin harus pula mendistribusi pekerjaan secara merata dan berimbang sesuai dengan kapasitas pegawai, pemimpin selalu memberi saran, petunjuk dan arahan kepada bawahan dalam menyelesaikan pekerjaan, pemimpin dapat memberikan penghargaan kepada bawahan yang dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Pegawai lebih baik dikasih pelatihan sehingga mampu bekerja lebih cepat dan tepat.
420
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
f. Hipotesis VI Hipotesis keenam dapat diterima, hal ini berarti mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Linda Kartini Ticoalu (2013), yang menyatakan bahwa OCB berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai pada PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BPTPN). Terbuktinya hipotesis ini dapat dinyatakan jika OCB di lingkungan Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, dikaitkan dengan Kinerja Pegawai, maka seorang pegawai selalu membantu rekan kerja yang memiliki masalah dalam menyelesaikan tugas, pegawai selalu tepat waktu dalam menyelesaikan tugas , tidak suka mengeluh dalam melaksanakan tugasnya sehingga perilaku pegawai ini bisa meningkatkan kinerja. Kesimpulan, Saran, Keterbatasan, dan Rekomendasi Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data mengenai peran karakteristik individu dan karakteristik pekerjaan terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang melalui komitmen organisasional dan OCB sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Berdasarkan hasil hipotesis 1 secara parsial diketahui bahwa gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap komitmen organisasional di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh pimpinan pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata mampu mempengaruhi perubahan positif terhadap komitmen organisasional. 2. Berdasarkan hasil hipotesis 2 secara parsial diketahui bahwa gaya kepemimpinan transformasional berpengaruh positif dan signifikan terhadap OCB pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh pimpinan pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata mampu mempengaruhi perubahan positif terhadap perilaku pegawai. 3. Berdasarkan hasil hipotesis 3 secara parsial diketahui bahwa komitmen organisasional tidak berpengaruh terhadap OCB pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa komitmen organisasional yang ada di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata tidak mampu mempengaruhi perubahan positif terhadap OCB pegawai. 4. Berdasarkan hasil hipotesis 4 secara parsial diketahui bahwa komitmen organisasional tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa komitmen organisasional yang ada di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata tidak mampu mempengaruhi perubahan positif terhadap kinerja pegawai. 5. Berdasarkan hasil hipotesis 5 secara parsial diketahui bahwa gaya kepemimpinan transformasional tidak berpengaruh terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh pimpinan pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata tidak mampu mempengaruhi perubahan positif terhadap kinerja pegawai. 6. Berdasarkan hasil hipotesis 6 secara parsial diketahui bahwa OCB berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Hasil ini memberi arti bahwa perilaku pegawai yang ada di Dinas Pertanian
421
Prima Kartika Sari Euis Soliha
7.
8.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata mampu mempengaruhi perubahan positif terhadap kinerja pegawai. Variabel komitmen organisasional menjadi variabel mediasi pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai. Hasil ini memberi arti bahwa komitmen organisasional yang ada di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata mampu memediasi sempurna kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai. Variabel OCB menjadi variabel mediasi pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap kinerja pegawai. Hasil ini memberi arti bahwa OCB yang ada di Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang ternyata mampu memediasi sempurna kepemimpinan tranformasional terhadap kinerja pegawai.
Saran Beberapa saran yang dapat penulis sampaikan berdasarkan kesimpulan dan keterbatasan dalam penelitian ini adalah : 1. Pegawai akan meningkat kinerjanya apabila pemimpin tidak sebagai simbol kesuksesan, pemimpin bisa menjelaskan tujuan pekerjaan, menunjukkan cara baru menyelesaikan masalah, pemimpin menggunakan penalaran dalam bekerja. 2. Berdasarkan Hasil Uji Regresi diketahui bahwa kepemimpinan transformasional berpengaruh secara langsung terhadap kinerja sehingga untuk meningkatkan kinerja pegawai Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang. Penerapan kepemimpinan transformasional yang semakin efektif, ditunjukkan dari kepuasan kerja dan kepercayaan bawahan yang semakin tinggi, loyalitas dan rasa hormat kepada atasan. 3. Pada dasarnya secara organisasional komitmen karyawan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya melalui perilaku kepemimpinan. Keterbatasan Dalam penelitian ini, permasalahan hanya dibatasi pada variabel gaya kepemimpinan transformasional, Komitmen organisasional, organizational citizenship behavior (OCB), dan Kinerja. Penelitian ini juga terbatas pada obyek pengamatan yang sempit, yaitu hanya dibatasi pada Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Rembang, dimana sampel yang diteliti yang diambil dengan metode sensus mengingat populasi yang terbatas. Rekomendasi Penelitian Mendatang Rekomendasi untuk penelitian yang akan datang dapat penulis sampaikan berdasarkan kesimpulan dan keterbatasan dalam penelitian ini adalah : 1. Perlu dilakukan penelitian lain atau lanjutan dengan memasukkan variabelvariabel lain misalkan variabel kepemimpinan transformasional, analisis beban kerja dan sebagai variabel yang kemungkinan juga berpengaruh terhadap kinerja pegawai. 2. Mengembangkan populasi dengan wilayah yang lebih luas sehingga lebih dalam dalam melakukan pembahasan dalam penelitian yang tidak hanya terbatas pada wilayah Kabupaten Rembang. 3. Melakukan pengambilan sampel dengan membatasi tingkat beban kerja sehingga dapat diketahui perbedaan yang lebih signifikan antara staf dan atasan.
422
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Daftar Pustaka Allen,N.J. and Meyer, J.P. 1991. A Three-Component Conceptualization of Organizational Commitment, Human Resource Management Review, Vol 1, No 1, pp. 61-89. Antonakis,J., Avolio,B.J., and Sivasubramaniam, N. 2003. Context and Leadership : An Examination of the Nine Factor Full-Range Leadership Theory Using the Multifactor Leadership Questionnaire, The Leadership Quarterty, Vol 14, No 2, pp. 261-295. Arum Darmawati, Lina Nur Hidayati, dan Dyna Herlina S, 2013. Pengaruh Kepuasan Kerja dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB), “Jurnal Economia” Vol 9, No 1. Aydogdu,S., and Asikgil, B. 2011. An Empirical Study of the Relationship Among Job Satisfaction, Organizational Commitment and Turnover Intention, International review of Management and Marketing, Vol 1, No 3, pp. 43-53. Bolon, D.S. 1997. Organizational citizenship behavior among hospital employees: A Multidimensional Analysis Involving Job Satisfaction and Organizational Commitment, Hospital & Health Services Administration,, Vol 42, No 42, No 2, pp 221-241. Cavazotte, F., Moreno, V., Hickmann, M. 2012. Effects of Leader Intelligence, Personality and Emotional Intelligence on Transformational Leadership and Managerial Performance, The Leadership Quarterly, Vol 23, pp. 443-455. Greenberg, j. Wright, D. 2001. Retaining employees – the fast track to commitment, Management Research News, Vol 24, No 8, pp. 59-64. Curtis, S., and W, (1984), Organization and Environment, Homewood, IL : Richard D. Irwin. Curtis, S., and Wright, D. 2001. Retaining Employees – The Fast Track to Commitment, Management Research News, Vol 24, No 8, pp. 59-64. Greenberg, j. Wright, D. 2001. Retaining employees – the fast track to commitment, Management Research News, Vol 24, No 8, pp. 59-64. Debora Eflina Purba dan Ali Nina Liche Seniati, 2004. Pengaruh Kepribadian dan Komitmen Organisasi terhadap Organizational Citizenship Behavior (OCB), “Makara, Sosial, Humaniora” Vol 8, No 3, pp. 105-111 Dessler,G, 2000, Human Resource Management 8 th edition, New Jersey : Prentice Hall inc. Durkin,M., and Bennet, H, 1999. Employee Commitment in Retail Banking: Identifying and Exploring Hidden Dangers, The International Journal of Bank Marketing, Vol 17, No 3, pp. 124-137. Ferdinand, A. 2002, Structural Equation Modelling dalam Penelitian Manajemen. Semarang: BP UNDIP.
423
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Gibson, J.L., Ivancevich, J.M., Donnelly Jr. 2009. Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses, Edisi Bahasa Indonesia, Tangerang: Binarupa Aksara. Goodwin, V.L., Wofford, J.C., and Whittington, J.L. 2001. A Theoretical and Empirical Extension to the Transformational Leadership Construct, . Journal of Organizational Behavior, Vol 22, No 7, pp. 759-774. Ghozali, Imam, 2009, Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program IBM SPSS 20, Badan Penerbit UNDIP. Semarang Handoko, Hani, 2002, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, BPFE. Yogyakarta. Huang, C.C., You, C.S., and Tsai, M.T.2012. A Multidimensional Analysis of Ethical Climate, Job Satisfaction, Organizational Commitment, and Organizational Citizenship Behaviors, Nursing Ethics, Edisi Ketujuh, Jakarta: Salemba Humanika. Hughes, R.L., Ginnett, R.C and Curphy, G.J. 2012. Leadership: Memperkaya Pelajaran dari Pengalaman, Edisi Ketujuh, Jakarta: Salemba Humanika. John, M.C., and Taylor J.W. 1999. Leadership Style, School Climate, and the Institutional Commitment of Teachers. International Forum Vol 2, No 1, pp. 25-57. Karakus, M., and Aslan, B. 2008. Teachers’ commitment focuses: a three-dimensioned view, Journal of Management Development, Vol 28, No 5, pp. 425-438. Khuntia, R., and Suar, D. 2004. A Scale to Assess Ethical Leadership of Indian Private and Public Sector Managers, Journal of Business Ethies, Vol 49, No 1, pp. 13-26. Krishnan R., Arumugam, N., Chandran, V., and Kanchymalay, K. 2009. Examining the Relationship between Job Satisfaction and Organizational Citizenship Behavior: A Case Study among Non Academic Staffs in A Public Higher Learning Institution in Malaysia, Global Business Summit Conference, Vol 2, No 43,pp. 221-232 Kumar, K., Bakhshi, A., and Rani, E. 2009. Linking the ‘Big Five’ Personality Domains to Organizational Citizenship Behavior, International Journal of Psychological Studies, Vol 1, No 2, pp. 73-81. Lamidi, 2008. Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Organizational Citizenship Behavior: dengan Variabel Intervening Komitmen Organisasional, “Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan” Vol 8, No 1, pp. 25-37. Linda Kartini Ticoalu, 2013. Organizational Citizenship Behavior (OCB) dan Komitmen Organisasi Pengaruhnya terhadap Kinerja Karyawan, “Jurnal EMBA” Vol 1, No 4, pp. 782-790. Luthans, F. 2006, Perilaku Organisasi, Edisi Sepuluh, Yogyakarta: Penerbit Andi.
424
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
MacKenzie, S.B., Podsakoff, P.M., and Ahearne, M. 1998. Some Possible Antecedents and Consequences of In-Role and Extra-Role Salesperson Performance The Journal of Marketing, Vol 62, No 3, pp. 87-98. Marjam Desma Rahadhini, 2010. Efek Moderasi Budaya Organisasi pada Pengaruh Kepemimpinan Transformasional terhadap Kinerja Pegawai, “Jurnal Manajemen Sumberdaya Manusia” Vol 4, No 1, pp. 20-26. Marita Ahdiyana, 2010. Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB) dalam Kinerja Organisasi, “Jurnal Efisiensi” Vol X, ISSN; 1412-1131. Meyer, J.P., Stanley, D.J., Herscovitch, L., and Topolnytsky, L. 2002. Affective, Continuance, and Normative Commitment to the Organization: A Meta analysis of Antecedents, Correlates, and Consequences, Journal of Vocational Behavior, Vol 61, pp. 20-52. Nurul Fakhrizal, Mukhlis Yunus, dan Amri, 2012. Pengaruh Komitmen Individu, Organisasi dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai serta Dampaknya pada Kinerja Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh, “Jurnal Manajemen Pascasarjana Universitas Syiah Kuala” Vol 2, No 1, pp. 68-84 Nguni, S.C., 2005. A Study of the Effects of Transformational Leadership on Teachers Job Satisfaction, Organizational Commitment and Organizational Citizenship Behaviour in Tanzanian Primary and Secondary Schools, Doctoral thesis, Universiteit Nijmegen. Organ, D.W., Podsakoff, P.M., and MacKenzie, S.B. 2006, Organizational Citizenship Behavior: Its Nature, Antecedents, and Consequences, SAGE Publications. Podsakoff, P.M., MacKenzie, S.B., Paine, J.B., and Bachrach, D.G. 2000. Organizational Citizenship Behaviors: A Critical Review of the Theoretical and Empirical Literature and Suggestions for Future Research, Journal of Management, Vol 26, No 3, pp. 513563. Rivai, V., dan Mulyadi. D. 2012, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta: Rajawali Pers. Robbins, S.P., and Judge, T.A. 2008, Perilaku Organisasi. Edisi Kedua belas, Jakarta: Salemba Empat. Shweta, J., and Srirang, J. 2010. Determinants of Organizational Citizenship Behavior: A Review of Literature, Journal of Management and Public Policy, Jakarta : Vol 1, No 2, pp. 27-36. Sopiah, 2008, Perilaku Organisasional, Yogyakarta: Penerbit Andi. Siagian, S.P., 1995. Teori Motivasi dan Aplikasinya, Jakarta: Rineke Cipta. Tett, R.P., and Meyer, J.P. 1993. Job Satisfaction, Organizational Commitment, Turnover Intention, and Turnover: Path Analyses Based on Meta-Analytical Findings, Personnel Psychology, Vol 1, No 1, pp. 35-49.
425
Prima Kartika Sari Euis Soliha
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Thomas Stefanus Kaihatu, 2007. Kepemimpinan Transformasional dan Pengaruhnya terhadap Kepuasan atas Kualitas Kehidupan Kerja, Komitmen Organisasi, dan Perilaku Ekstra Peran: Studi pada Guru-Guru SMU di Kota Surabaya, “Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan” Vol 98, No 1, pp. 49-61. Yukl, G. 2010, Kepemimpinan dalam Organisasi, Edisi Indonesia. Jakarta: Penerbit PT Indeks.
426
Fani Firmansyah Refila Aulina
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
STRATEGI PENANGANAN PEMBIAYAAN BERMASALAH KPR PADA PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) TBK KANTOR CABANG SYARIAH MALANG Fani Firmansyah Refila Aulina Fakultas Ekonomi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang email :
[email protected] Abstrak Bank merupakan lembaga intermediasi keuangan, menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana dalam bentuk giro tabungan deposito dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Dalam menyalurkan pembiayaan haruslah melalui proses analisi kredit. Itu dilakukan untuk meminimalisir terjadinya pembiayaan bermasalah (Macet) atau dalam dunia perbankan syariah biasa disebut dengan NPF (Non Performing Financing). Bank BTN Syariah adalah salah satu Unit Usaha Syariah (UUS) dari bank BTN konvensional. Bank BTN sebagai salah satu yang ditunjuk untuk lembaga pembiayan kredit perumahan masyarakat menengah kebawah. Bank BTN selama ini menjadi integrator stakeholder strategi dalam pemecahan permasalahan perumahan Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat bagaimana penanganan pembiayaan bermasalah pada KPR di Bank BTN Syariah Malang periode tahun penelitian 2014-2015. Latar Belakang Bank BTN Syariah adalah salah satu Unit Usaha Syariah (UUS) dari bank BTN konvensional. Bank BTN sebagai salah satu yang ditunjuk untuk lembaga pembiayan kredit perumahan masyarakat menengah kebawah. Bank BTN selama ini menjadi integrator stakeholder strategi dalam pemecahan permasalahan perumahan Indonesia. Di Bank BTN penyaluran pembiayaan KPR adalah salah satu sumber utama pendapatan bank. Oleh karna itu pembiayaan KPR memiliki peran penting dalam terciptanya kesehatan bank. Dalam menyalurkan pembiayaan haruslah melalui proses analisi kredit. Itu dilakukan untuk meminimalisir terjadinya pembiayaan bermasalah (Macet) atau dalam dunia perbankan syariah biasa disebut dengan NPF (Non Performing Financing) Jika telah terjadi pembiayaan bermasalah (macet) setiap Bank pastilah memiliki kebijakan-kebijakan dalam mengatasi hal tersebut. Dalam membuat suatu keijakan, bank haruslah taat pada peraturan otoritas terkait. Semisal pada Bank Syariah harus mengikuti peraturan atau fatwa yang diatur oleh DSN (Dewan Syariah Nasional) serta mengunkan acuan dan peraturan Bi. Dalam berbagai peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia tidak di jumpai pengertian dari “Pembiayaan bermasalah”. Begitu juga istilah Non Perfoming Financings (NPFs) untuk fasilitas pembiayaan maupun istilah Non perfoming Loan (NPL) untuk fasilitas kredit idak di jumpai dalam peraturan-peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia. Namun dalam setiap statistic perbankan syariah yang diterbitkan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia dapat di jumpai Istilah Non performing Financings (NPFs) yang diartikan sebagai “pembiayaan Non lancer mulai dari kurang lancer sampai dengan macet”. (Djamali, 2012:66)
427
Fani Firmansyah Refila Aulina
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Dalam hal pembiayaan macet pihak bank perlu melakukan penanganan (penyelamatan), sehingga tidak akan menimbulkan kerugian. Penanganan yang dilakuikan apakah dengan memberikan keringanan berupa jangka waktu atau angsuran terutama bagi pembiayaan terkena musibah atau melakukan penyitaan bagi pembiayaan yang sengaja lalai untuk membayar. Kemungkinan pembiayaan tersebut macet pasti ada hal ini 1) dari pihak perbankan. 2) Dari pihak nasabah. 3) Adanya unsur tidak sengaja. Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Malang dalam melakukan penyelamatan atas pembiayaan bermasalah pada pembiyaan KPR, Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah pasti memiliki strategi untuk mencapai targetnya. Ditahun 2015 mengalami perkembangan yang pesat dalam penyelesaian pembiayaan bermasalah. Hal ini dapat dilihat dari table jumlah nasabah dari tahun ke tahun yang mengalami penurunan dalam pembiayaan bermasalah (kredit macet). Berikut adalah grafik penurunan pembiayaan bermasalah (macet) pada tahun 2014-2015 di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang. Gambar 1.1 Grafik Penurunan Pembiayaan Bermasalah
Tahun 1.50% 1.00% 0.50% 0.00% 2014
2015 Tahun
Sumber: PT. Bank Tabungan Negara KCS Malang 2016 Dari grafik diatas dapat di jelaskan bahwa jumlah nasabah pembiayaan bermasalah (macet) pada tahun 2014-2015 di Bank Tabungna Negara Kantor Cabang Syariah Malang mengalami penurunan. Sesuai sumber dari Ary Irawan menyatakan bahwa ditahun 2014 banyaknya nasabah pembiayaan bermasalah disebabkan oleh adanya beberapa nasabah yang mengalami penunggakan diatas 4 bulan. Kemudian mengalami penurunan ditahun 2015 disebabkan oleh banyaknya nasabah yang melakukan pelunasan tunggakan dan melakukan pelelangan. Dari beberapa uraian diatas, peneliti merasa tertarik untuk meneliti dengan judul “STRATEGI PENANGANA PEMBIAYAAN BERMASALAH KPR PADA PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) TBK KANTOR CABANG SYARIAH MALANG”. Berdasarkan latar belakang di atas. Maka masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bagaimana penanganan pembiayaan bermasalah pada KPR di Bank BTN Syariah Malang periode 2014-2015.
428
Fani Firmansyah Refila Aulina
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Kajian Teoritis Pengertian Bank Syariah Bank merupakan lembaga intermediasi keuangan, menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana dalam bentuk giro tabungan deposito dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Menurut Muhammad (2005:1) Bank Syariah adalah bank yang bereoprasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan Bank Tanpa Bunga, adalah loembaga/perbankan yang oprasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Pengertian Pembiayaan Islam mengajurkan kepada manusia agar membantu ataukerja sama dalam kebaikan atau kegiatan usaha yang mendatangkan manfaat bersama serta kemaslahatan. Hal ini sebagaimna yang termaktub dalam Q.S Al Maidah ayat 2 sebagai berikut: نَىَُوََ نِْن ت اىوَعاو نَُواع تََو ع نَىَُو نُْ ن اىل تو عم نَ تَو وَ تلَُو نُنْ ن ََ نِْن ت ع “… Bertong-tolonglah (kerja sama) kamu dalam kebaikan dan taqwa, dan janganlah bertong-tolong dalam dosa dan permusuhan” Menurut undang-undang perbankan No.10 tahun 1998 ayat 12 tentang pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah: Penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau keepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk menembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangaka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Pada tahun 1992, Indonesia memasuki era dual banking system dengan dimungkinkan suatu bank beroperasi dengan prinsip bagi hasil berdasarkan pasal 13 huruf (c) Undang-Undang No 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyatakan bahwa salah satu Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam pasal 6 Peraturan Pemerintahan No.72 Tahun 1992 tentang Bank berdasarkan Prinsip Bagi Hasil ( selanjutnya ditulis PP No.72 Tahun 1992) dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam lembaran Negara RI Nomor 119 Tahun 1992. Pembiayaan atau financing, yaitu pendanaan yang yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang tealah direncanakan, baik dilakukan sendiri maupun lembga. Dengan kata lain, pembiayaan adalah pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah dirncanakan. (Muhammad 2005:17) Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, beredasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dan/ atau lembaga keuangan lainya dengan pihak lain yang mewjibkan pihak peminjam untuk melinasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau hasil (Veithz rivai dan Arviyan Arifin 2009:700). Pembiayaan Bermasalah Dalam berbagai peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia tidak di jumpai pengertian dari “pembiayaan bermasalah”. Begitu juga istilah Non Perfoming Financings (NPFs) untuk
429
Fani Firmansyah Refila Aulina
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
fasilitas pembiayaan maupun istilah Non perfoming Loan (NPL) untuk fasilitas kredit idak di jumpai dalam peraturan-peraturan yang diterbitkan Bank Indonesia. Namun dalam setiap statistic perbankan syariah yang diterbitkan oleh Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia dapat di jumpai Istilah Non performing Financings (NPFs) yang diartikan sebagai “pembiayaan Non lancer mulai dari kurang lancer sampai dengan macet”. (Djamali, 2012:66) Menurt Dunil (2005:263) “istilah kredit macet juga sering dipakai untuk kredit bermasalah yang sudah dihapus dari pembukuan bank. Agar tidak menimbulkan kerancuan untuk selanjutnya dipakai istilah yang lebih teknis yaitu Non Performing Loan NPL. Penggolongan Kolekmbilitas Pembiayaan. Menurut Muhammad (2005:165) ketidak lancaran nasabah membayar angsuran pokok maupun bagi hasil/profit margin pembiayaan menyebabkan adanya kolektabilitas pembiayaan. Secara umum kolektabilitas pembiayaan dikategorikan menjadi lima macam, yaitu: Lancar atau kolektabilitas 1, Kurang lancar atau kolektabilitas 2, Diragukan atau kolektabilitas 3, Perhatian khusus atau kolektabilitas 4, Macer atau kolektabilitas 5 Faktor Pembiayaan Bermasalah Menurut Djamil (2005:73) secara umum pembiayaan bermasalah disebabkan oleh factorfaktor intern dan factor-faktor ekstern. Faktor intern adalah factor yang ada di dalam perusahaan sendiri, dan factor utama yang paling dominan adalah factor manajerial. Timbulnya kesulitankesulitan keuangan perusahaan yang disebabkan oleh factor manajerial dapat dilihat dari beberapa hal, seperti kelemahan dalam kebijakan pembellian dan penjualan, lemahnya pengawasan biaya dan pengeluaran, kebijakan piutang yang kurang tepat, penempatan yang berlebihan pada aktiva tetap, permodalan yang tidak cukup. Factor ekstern adalah factor-faktor yang berbeda di luar kekusaan manajemen perusahaan, seperti bencana alam, peperangsn, perubahan dalam kondisi perekonomian dan perdagangan, perubahan-perubahan teknologi, dan lain-lain. Penyelesaian/Penyelamatan Pembiayaan Bermasalah Menurut Kasmir (2012: 110) penyelematan krdit bermasalah dilakukan dengan beberpa metode yaitu: Rescheduling, Reconditioning, Restructurin, serta Kombinasi. Metode Penelitian Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan desktiptif. Penelitian ini dilakukan pada PT.Bank Tabungan Negara PT. Bank Tabungan Negara Tbk. Cabang Kota Malang Jawa Timur. Jl. Bandung No. 40. Adapun subyek penelitian ini melibatkan 3 informasi penting yaitu: Collection and work out (CWO) serta Nasabah. Sumber data di dalam penelitian merupakan fakto yang sangat penting, karena sumber data akan menyangkut kualitas dari hasil penelitian, yaitu berupa Data primer serta Data skunder. Dalam penelitian ini pengumpulan datanya menggunakan teknik dokumentasi, observasi dan wawancara. Analisis yang digunakan terdri dari : data reduksi, penyajian data, serta penarikan kesimpulan.
430
Fani Firmansyah Refila Aulina
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Pembahasan Hasil Penelitian Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu resiko bagi jasa keuangan yang memberikan pembiayaan kepada nasabahnya dan nasabah tidak mampu untuk melakukan pelunasan angsuran atau sengaja tidak melakukan pengembalian angsuran kepada pihak bank. Pembiayaan bermasalah hal yang wajar terjadi di dalam jasa keuangan manapun yang memberikan pembiayaan. Pembahasan penelitian terkait pembiayaan bermasalah semakain jelaas setelah melakukan wawancara di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam 16:30 rabu, 1 juni 2016 mengatakan bahwa: “Pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan yang dibaerikan kepada nasabah yang mengangalami gagal bayar untuk memenuhi kewajibannya, untuk membayar angsuran (cicilan) atau margin yang telah disepakati kedua belahpihak dalam perjanjian pembiayaan. Meskipun pembiayaan itu pasti ada, setidaknya pihak bank dapat meminimalisir pembiayaan bermasalah yang ada.” Dapat disimpulkan dari penjelasn yang ada bahwa pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan (pinjaman) yang belum dilunasi oleh nasasbah sampai batas akhir yang telah ditentukan atau jatuh tempo, dan ini adalah masalah yang pasti ada dan harus ditindak lanjuti agar pembiayaan bermasalah dapat mengurangi pendapatan dan menambah biaya percadangan, dalam memberikan pembiayaan harus berdasarkan prinsip syariah, Ketidak lancaran nasabah membayara angsuran pokok (cicilan) maupun bagi hasil kepada pihak bank, hal semacam ini meyebabkan kolektabilitas pembiyaan yang secara umum dikategorikan menjadi lima macam sesuai dengan teori Muhammad (2005:165) yaitu , lancar, kurang lancar, diragukana, perhatian khusus, dan pembiayaan macet. Dalam wawancara peneliti dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam 16:30 rabu, 1 juni 2016 mengatakan bahwa: “Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, mengelompokan menjadi lima terhadap pembiayaan bermasalah ini di sesuaikan dengan kriteria yang ada, pertama dikelompokan dalam kategori Kol 1(lancar) tidak terdapat tungakan. Kol 2 (Dalam Perhatia Khusus) terdapt tunggakan pokok yang melampui 2bulan. Kol 3 (Kurang Lancar) Kol 4 (Diragukan) yang mana pembiayaan dapat diselamatkan dan agunannys msdih memiliki nilai, Kol 5 (Macet) tidak memenuhi kriteriabkurang lancar dan diragukan.” Lembaga jasa keuangan pasti sudah mempunyai strategi untuk menyelamatkan pembiayaan yang telah diberikan, dalam artian penanggulangan pembiayaan bermasalah dapat dilakukan melalui upaya-upaya yang bersifat pencegahan dan upaya-upaya yang bersifat penyelamatan yang telah sesuai dengan Surat Edaran Bank Indonesia No.26/4/BPPP tanggal 29 Mei 1993 dan berpedoman pada teori Kasmir (2012:110) sebagai berikut: A.
Rescheduling: Berkaitan dengan pembahasan mengenai strategi penanganan pembiayaan bermasalah peneliti melakukan wawancara dengan dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam 16:30 rabu, 1 juni 2016 mengatakan bahwa “Strategi penangana pembiayaan bermasalah dengan melihat dari lis pembayaran apakah setiap jatuh tempo nasabah membayar tepat waktu, nasabah yang mengalami penunggakan maka pihak bank akan melakukan pengingatan dengan telpon, sms dan kunjungan. Dalam tahap awal penanganan pembiayaan bermasalah Di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah
431
Fani Firmansyah Refila Aulina
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Malang melakukakan rescheduling (penjadwalan kembali) dengan menawarkan kepada nasabah penjadwalan ulang pinjaman (PUSP)”. Peneliti juga melakukan wawancara dengan Ndaru perdana selaku staff Collection and work out (CWO) di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang tentang strategi penanganan pembiayaan bermasalah pada tgl 2 Juni 2016, jam 16:30 yang bertempat di kantor Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, daru menjelaskan: “Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, melakukan penyelamatan pembiyaan (rescheduling) dengan melakukan perubahan syart-syarat perjanjian pembiayaan yang berkenang dengan jadwal pembayaran kembali atau jangka waktu, termaksud dengan grace periode. Strategi penanganan pembiayaan bermaslah melalui metode rescheuling (penjadwalan kembali) suatu upaya untuk melakukan perubahan terhadap beberapa syarat perjanjian kredit yang berkenaan dengan penjadwalan kembali /jangka waktu kredit termaksuk tentanggang, dan tidak termasuk perubahan jumlah angsuran Strategi penanganan pembiayaan bermasalah di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang melakukan tunggakan Penjadwalan ulang sisa pinjaman (PUSP) yaitu jangak waktunya lebih panjang dan angsurannya bisa mengalami penurunan dengan asuransi bisa dikover dan tidak dikove. Dalam teori Kasmir (2012:110) mengatakan bahwa rescheduling dua macam yaitu: 1. Memperpanjang jangka waktu kredit Dalam hal ini debitur diberikan keringanan dalam masalah jangka waktu kredit, misalnya perpanjang jangka waktu kredit dari 6 bulan menjadi 1 tahun sehingga debitur mempunyai waktu yang lebih lama untuk mengembalikanya 2. Memperpanjang waktu angsuran Memperpanjang angsuran hampir sama dengan jangka waktu angsuran kredit. Dalam hal ini jangka waktu angsuran kreditnya dipanjang pembayarannya. Misalnya dari 36 kali menjadi 48 kali dan hal ini tentu saja jumlah angsuranpun menjadi mengecil seiring dengan penambahan jumlah angsuran. Penanganan pembiayaan bermasalah yang yang ada di PT. Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Sayariah Malang mengunakan metode rescturturing, yang mengubah jangkka waktua angsuran dan menambah jangsangat membantu nasabah dalam penyelesaian pembiayaan bermaalah B. Reconditioning Resconditioning (persyaratan kembalai), dengan melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh persyartan perjanjian, yang tidak terbatas hanya kepada perubahan jadwal angsuran, atau jangka waktu kredit saja. Tetapi perubahan tersebut tanpa memberikan tambahan kredit. Resconditioning dalam syariah biasanya biasanya dilakukan dengan penundaan pembayaran atau grespriot, untuk tunggakan berjalan dihentikan contohnya nasabah tidak mampu untuk melakukan pembayaran dalam satu tahun dan pembayaran dihentikan dan mengalami perubahan. Peneliti juga melakukan wawancara dengan Ndaru perdana selaku staff Collection and work out (CWO) di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang tentang strategi penanganan pembiayaan bermasalah pada tgl 2 Juni 2016, jam 16:30 yang bertempat di kantor Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, daru menjelaskan:
432
Fani Firmansyah Refila Aulina
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
“Startegi penanagan pembiayaab bermasalah Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang berupaya menyelamatkan pembiayaan bermasalah dengan cara melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh syarat perjanjian pembiyaan Dalam strategi penanganan pembiaan bermasalah metode reconditioning peneliti melakukan wawancara dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam 16:30 rabu, 1 juni 2016 mengatakan bahwa: “Strategi penanganan pembiayaan bermasalah di Bank Tabungan Negara Kamtor Cabang Syariah Malang, tahap selanjutnya mengunakan proses persyaratan kembali (reconditioning) yang mana persyaratan ini hanya diberikan kepada nasabah tertentu. Peneliti melakukan wawancara dengan Okta Yuda nasabah Bank tabungan Negara tentang penanganan pembiayaan bermasalah dengan metode reconditioning mengatakan “saya sempat mengalami terlambat bayar karena usaha saya usaha saya mengalami kemacetan, sehingga rumah saya mau distiker oleh bank,dan pihank bank sempat memberikan saya solusi pokok penyelesaian anggsuran setau saya itu resconditioning , sepenjelasan mas yang datang kepada saya resconditioning anggsuranya turun jangka waktunya bertambah, akan tetapi saya hampir menunggu tiga minggu untuk prosespelaksanaannya, saya ingginkan proses itu dipercepatagar nasabah kayak saya bisa menrima kejelasan.” Dalam teori Kasmir (2012:110) mengatakan bahwa reconditioning dengan caramengubah berbagai persyaratan yang ada seperti: a. Kapitalisasi bunga, yaitu dengan cara bunga dijadikan hutang pokok. b. Penundaan pembayaran bunga sampai wktu tertentu Maksudnya hanya bunga yang dapat ditunda pembauaran s edangkan pokok pinjamannya tetap harus dibayar seperti biasa c. Penurunan suku bunga Penurunan suku bunga dimaksudkan agar lebih meringankan beban bnasabah. Sebagai contoh jika bunga pertahun sebelumnya 15%. Hal ini tergantung pertimbangan bank bersangkutan. Penurunan suku bungga akan mempengaruhi jumlah anagsuran yang semakain mengecil, sehingga diharapkan dapat membantu meringankan nasabah, d. Pembebsan bunga Dalam pembebasan suku bunga yang di berikan pada nasabah denga pertimbangan nasabah sudah tidak mampu lagi membayarkredit tersebut. akan tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar kredit tersebut. Akan tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk membayar pokok pinjaman sasmapai lunas. Dari wawanncara diatas dapat disimpulkan bahwa Langkah penyelesaian kredit bermasalah yang dilakukan bank bagi nasabah yang masih mempunyai prospek dan mempunyai iktikad baik. Penanganan pembiayaan bermasalah di bank dengan penerapan metode reschonditioning, yang mana upya untuk melakukan penyelamatan atau penjegahan pembiayaan bermasalah dengan melakukan perubahan atas sebagian atau seluruh perjanjian pembiayaan yang tidak terbatas hanya pada perubahan jadwal angsuran saja.
433
Fani Firmansyah Refila Aulina
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
C. Restructuring Menganai penanganan pembiayaan bermasalah restrukturing dapat dilakukan dengan berpedoman kepada Surat Edaran Bannk Indonesia No.26/4/BPP tanggal 29Mei 1993, Melalui restructuring (penataan kembali) upaya untuk berupa melakukan perubahan syarat-syarat perjanjian kredit berupa pemberian tambahan kredit, atau melakukan konversi atas seluru atau sebagian kredit, yang dilakukan dengan atau tanpa rescheduling atau reconditioning.Penataan kembali menyangkut: 1. Penurunan sukuk bunga kredit 2. Perpajang jangka waktu kredit 3. Pengurangan tunggakan bunga kredit 4. Pengurangan tungakan pokok 5. Penambahan fasilitas kredit 6. Konversi kredit menjadi pernyataan modal sementara Dalam strategi penanganan pembiaan bermasalah metode restructuring peneliti melakukan wawancara dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam 16:30 rabu, 1 juni 2016 mengatakan bahwa: “Setelah itu, proses (restructuring) yang mana di Bank Tabugan Negara Kantor Cabang Syariah malang rescheduling dan restructuring memppunyai kesamaan, restructuring dapat dilakukan dengan pengalihan piutang dan melakukan perhitungan lagi dengan tidak menambah jangaka waktu. Peneliti juga melakukan wawancara dengan Ndaru perdana selaku staff Collection and work out (CWO) di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang tentang strategi penanganan pembiayaan bermasalah pada tanggal 2 Juni 2016, jam 16:30 yang bertempat di kantor Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, daru menjelaskan: “Restructuring di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, bisa dilakukan dengan pengalihan piutang dan akhirnya yang tadinya pembiayaan bermasalah selesai. Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah juga melakukan penjadwalan ulang sisa tunggakan. (PUST) dalam strategi Restructuring lebih pada pencegahan pembiayaan bermasalah dengan tidak menambah jangka waktu akan tetapi jumlah angsurannya bertambah, dengan asuransi tetap terkover, ketika pembiayaan ada asuransi jaminan, asuransi kebakaran dan angsuransi jiwa,ketika orang di asuransi meninggal maka bisa diclemkan atau hutang yang ada dinyatakan lunas meskipun nasabah masih mempunyai tunggakan, untuk penambahan jumlah kredit tidak di lakukan di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang karena penambahan jumlah kredit hanya ada pada Bank konvesional. Restructuring yang di lakukan di bank syariah yang sudah dilakukan adalah penambahan fasilitas kredit, perpanjang jangka waktu kredit. Untuk penurunan bunga kredit dan penambahan equity tidak dilakukankan karena tidak sesuai dengan syariah. Peneliti melakukan wawancara dengan Sandi Pratama Putra, nasabah Bank tabungan Negara tentang penanganan pembiayaan bermasalah dengan metode restructuring mengatakan: “Solusi PUST (reconditioning) itu sangat membantu saya jangka waktu saya tidak tambah tetapi anggusaran saya bertambah, dengan program itu saya bisa tepat waktu untuk pelunasan saya.
434
Fani Firmansyah Refila Aulina
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Dalam teori Kasmir (2012:110) mengatakan bahwa restructuring Yaitu dangan cara: a. Menambah jumlah kredit b. Menambah equity yaitu: 1). Dengan menyetor uang tunai 2). Tambahan dari pemilik D. Kombinasi Dalam strategi penanganan pembiaaan bermalsah metode kombinasi peneliti melakukan wawancara dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam 16:30 rabu, 1 juni 2016 mengatakan bahwa: Metode (Kombinasi) di gunakan di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang atau mengabungankan dari rescheduling, dan reconditioning, atau restructuring dari tiga tahup it saling bersinambungan. Peneliti juga melakukan wawancara dengan Ndaru perdana selaku staff Collection and work out (CWO) di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang tentang strategi penanganan pembiayaan bermasalah pada tgl 2 Juni 2016, jam 16:30 yang bertempat di kantor Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, daru menjelaskan: “Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang melakukan kombinasi kepada nasabah yang mengalami pembiayaan bermasalah biasanya rescheduling berkombinasi dengan restructuring sesuai dengan permasalahan yang di amlami oleh nasabah Dalam teori Kasmir (2012:110) mengatakan bahwa kombinasi Merupakan kombinasi dari ketiga jenis metode yang di atas misalnya komninasi Retruturing dengan Reconditioning atau Rescheduling dengan Restructuring E. Penyitaan jaminan Dalam strategi penanganan pembiaaan bermalsah metode kombinasi peneliti melakukan wawancara dengan Ari Irawan Fauzi staff Collection and work out (CWO) pada jam 16:30 rabu, 1 juni 2016 mengatakan bahwa: ”Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang melakukan penyitaan jaminan sebagai metode terakhir dalam penanganan pembiayaan bermasalah, melalui pelelangan atau mengunakan surat kuasa menjual (SKM) dari notaris Peneliti juga melakukan wawancara dengan Ndaru perdana selaku staff Collection and work out (CWO) di Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang tentang penyitaan jaminan pada tgl 2 Juni 2016, jam 16:30 yang bertempat di kantor Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang, daru menjelaskan: “Sebelum melakukan penyitaan jaminan (pelelangan) Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang melakukan beberapa tahap yaitu pemberkasan terdiri dari SP 1,SP 2 dan SP 3, pemberitahuan kepada nasabah (somasi) surat pengekosongan rumah seblum hari pelelangandan mengajukan KPKML” Dalam teori Kasmir (2012:110) mengatakan bahwa kombinasi Penyitaan jaminan merupk jalan terakhir apabila nasabah suadah benar-benar tidak punya etikad atau sudah tidak mampu lagi untuk membayar hutang-hutang.
435
Fani Firmansyah Refila Aulina
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Kesimpulan Penelitian ini di lakukan oleh peneliti pada Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malng, Unutk mengetahui bagaimana penenganan pembiayaan bermasalah pada KPR di Bank BTN Syariah Malang periode 2014-2015. Dengan manfaat dapat menambah penegtahuan ilmu tentang penangana pembiayaan bermasalah, dan melatih penulis untuk dapat menerapkan teori-teori yang dapat diperkuliahan maka peneliti berharap akan menambah refrensi dan bermanfaat bagi pembaca, terutama bagi pebaca yang membutuhalan informasi tersebut. Berdasarkan hasil penelitian analisis teori yang diperoleh, maka dapat disimpulkan, untuk strategi penanganan pembiayaan bermaasalah, pihak Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah sudah sesuai dengan SOP dan teori kasmir, yaitu dangan cara: rescheduling, reconditioning, restructuring, kombinasi dan penyitaan jaminan. Bank juga mengunakan restructuring pembiayaan untuk membantu nasabah dalam menyelesaikan kewajibannya. Namum pada kenyataannya masih ada kekurangan dan yang terjadi. Kekurangan yang terjadi kurangannya pengawasan sehingga proses pelaksanaan penangana terhadap nasabah yanag mengalami pembiayaan bermasalah mengalami kelambatan dalam mentindak lanjuti. Saran Berdasarkan pembahasan diatas, maka penulis ingin memberikan beberapa saran yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan dan masukanbagi perbankan syariah pada umumnya dan khususnya pada Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Malang.Agar strategi penanganan pembiayaan bermasalah brjalan dengan baik harus terciptanya kondisi yang efektif dan efisien antara dengan pihak bank maka diperlukan peningkaytan pelayanan dan pengawasan
436
Fani Firmansyah Refila Aulina
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Daftar Pustaka Antonio,Safi’I Muhammad, 2012, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik. Jakarta: Gema Insani dan Tazkia Cendikia. Asyhuri, Muhammad, (2013) Strategi Penanganan Pembiayaan di BMT Aamal Mulia Suruh Skripsi (tidak di publikasikan) Basrowi, Suwandi, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rineka Cipta Djamil, Faturrahman. 2012. Penyelesaian pembiayaan bermasalah Di Bank Syariah. Jakarta: Sinar Grafik Inaya, Nur (2009). Strategi Penanganan Pembiayaan Bermasalah pada Pembiayaan Murahbahah di BMT Bina Ihsanul Fikri Yogyakarta Skripsi (tidak di publikasikan) Kasmir, 2012. Bank dan lembaga keuangan lainya. Jakarta: Rajawali Pers Muhammad, 2005. Manajemen Pembiayaan Bank Syariah. Yogyakarta: Unit Penerbitan dan percetakan Akademik Manajemen Perusahaan YKPN Machmud Amir.,Rukmana. 2010. Bank syariah. Jakarta: Penerbitan Erlangga Rival Veithzal, Arviyan 2010. Islamic Banking. Jakarta: PT Bumi Aksara Supriyono, Maryono, 2012. Buku pintar perbankan, Yogyakarta: C.V Andi Offiset Prabowo. Bagya Agung, 2012, Aspek Hukum pembioayaam murabahah pada perbankan Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press Purhantara, Wahyu.2010. Metode Penelitian Kualitatif Unit Bisnis. Yogyakarta: Graha Ilmu Prastowo, Andi (2010.) Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian Jogjakarta: Ar-ruzz Media Taufik, Akmat,(2015) Strategi Penanganan Pembiayaan Bermasalah pada Jasa Keuangan Syariah Koperai BMT-MASLAHA skripsi (tidak di publikasikan) Yulianto, Dwi, (2014), Penyelamatan Dan Penyelesaian Pembiayaan Kpr Bermasalah Mulai Restrukturisasi Pada Bank Btn (Studi Pada Bank Tabungan Negara Kantor Cabang Syariah Solo) Skripsi (tidak di publikasikan)
437
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
ANALISA PENGARUH CAR, BOPO, NPL, NIM TERHADAP PROFITABILITAS BANK Apriangga Rachmandinur1, Purwanto1,2 1 Fakultas Bisnis, Universitas Presiden, Bekasi, Indonesia 2 Faculty of Economic and Business, Padjajaran University, Bandung, Indonesia Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa pengaruh CAR, BOPO, NPL, dan NIM terhadap profitabilitas bank dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi dan kepustakaan dengan menggunakan tekhnis analisis regresi linear berganda. Subyek dalam penelitian ini adalah 9 bank yaitu OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB, BTN, CIMB Niaga tahun 2010-2014. Berdasarkan uji t yang dilakukan diketahui bahwa BOPO, NPL, NIM terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap profitabilitas bank. Berdasarkan tabel koefisien determinasi dapat dilihat bahwa nilai Adjusted R2 adalah sebesar 0,609. Hal ini dapat diketahui presentase pengaruh variable BOPO, NPL, NIM terhadap variable profitabilitas sebesar 60,9% sedangkan sisanya sebesar 39,1% dipengaruhi oleh faktor lain di luar model dalam penelitian ini. Kata kunci : Profitabilitas, CAR, BOPO, NPL, NIM Abstract This research has a purpose to analyze the influence of CAR, BOPO, NPL, and NIM toward the bank profitability with use quantitative method research. Data collection method used in this research is documentation and literature and the analysis technique in this research is multiple regression. The subject on this research is 9 bank that is OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB, BTN, CIMB Niaga at 2010-2014. Based on t test used on this research known that BOPO, NPL, and NIM proven has influential in significant on bank profitability. Based on the coefficient of determinant tabel known that It appears that the adjusted is of 0,609 This thing can be known percentage influence of variable BOPO, NPL, NIM toward variable bank profitability is 60,9% while 39,1% influence by the others factor Outside a model in this research Keywords :Profitability, CAR, BOPO, NPL, NIM 1. Latar Belakang Kondisi ekonomi di Indonesia sebelum masa krisis moneter 1997-1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangatlah pesat, kurs rupiah cenderung relatif stabil. Stabilnya nilai rupiah ini membuat para investor dan pemerintah selaku pihak yang berperan besar dalam pembangunan ekonomi cenderung mengabaikan pinjaman terhadap mata uang asing, khususnya Dollar Amerika Serikat. Dengan tidak adanya perlindungan terhadap rupiah, membawa dampak yang kurang baik pada saat terjadinya resesi ekonomi secara global pada tahun 1997. Krisis itu diawali dengan merosotnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang USD. Hal ini membuat banyak bank di Indonesia mengalami kesulitan keuangan, terutama yang mempunyai pinjaman uang dalam bentuk mata uang asing. Hal ini berakibat pada kebijakan
438
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
pemerintah untuk melikuidasi 16 bank pada masa itu, sehingga mendorong sejumlah nasabah menarik dananya dari bank secara besar-besaran. Menurut Booklet Perbankan 2014, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat. Selain itu bank merupakan salah satu industri yang memegang peran penting dalam perekonomian nasional. Perbankan di Indonesia dituntut untuk memiliki kinerja yang baik untuk menjaga kepercayaan masyarakat dan investor sehingga dapat memicu pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan maka dari itu bank berperan sebagai perantara antara pihak yang memiliki dana lebih (surplus unit) dan pihak yang memerlukan dana (deficit unit) dan juga sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar aliran lalu lintas pembayaran. Fungsi dan peran bank sangat penting bagi perekonomian suatu negara karena masyarakat menggunakan jasa bank untuk menyimpan atau meminjam dana guna investasi. Keberadaan bank sangat mempengaruhi ekonomi masyarakat dan merambah sampai ekonomi suatu negara bahkan dalam lingkup internasional, sehingga bank akan selalu berkembang seiring dengan aktivitas ekonomi. Modal utama bank adalah kepercayaan masyarakat yang menyimpan dana di bank yang bersangkutan, kepercayaan masyarakat penting untuk menghindari terjadinya rush and panic dimana masyarakat menarik dananya secara besarbesaran. Peristiwa rush and panic terjadi di Indonesia pada tahun 1998 saat terjadi krisis moneter. Berdasarkan "Global Financial Inclusion Index" yang dirilis oleh World Bank tahun 2013, hanya 20% dari masyarakat dewasa di Indonesia yang memiliki akses ke dunia perbankan. Dengan pertumbuhan jumlah kantor bank yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia tersebut, diharapkan dapat memudahkan akses masyarakat ke dunia perbankan yang pada ujungnya mampu mendorong produktifitas perekonomian dan pertumbuhan ekonomi. Tabel 1. Jumlah bank dan kantor yang ada di Indonesia Indikator 2010 2011 2012 2013 Bank Umum 122 124 120 120 Bank Perkreditan Rakyat 1.706 1.669 1.653 1635 Jumlah Bank 1.828 1.793 1.773 1.755 Bank Umum 13.387 14.797 16.625 18.558 Bank Perkreditan Rakyat 3.910 4.172 4.425 4.678 Jumlah kantor 17.747 18.969 21.050 23.236 Sumber : SPI Vol 13 No.9 Agustus 2015 data diolah peneliti, 2016
2014 119 1643 1.762 19.948 4895 24.834
Jika kita melihat kondisi masyarakat sekarang, sangat jarang orang yang tidak berhubungan dengan bank. Semakin lama bank semakin mendominasi perkembangan ekonomi dan bisnis suatu negara, tidak hanya di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Perkembangan dunia perbankan pun mengalami kemajuan yang sangat pesat dan moderen sehingga menyebabkan adanya persaingan antar bank. Persaingan ini makin dirasakan oleh masyarakat dengan ditawarkannya produkproduk dan jasa-jasa perbankan yang menggiurkan seperti bonus, hadiah, dan penawaranpenawaran lainnya. Selain itu, bank mulai meningkatkan kualitas pelayanannya serta teknologi yang dimiliki masing-masing bank berusaha untuk mendapatkan nasabah sebanyak-banyaknya. Salah satu indikator yang digunakan untuk melihat profitabilitas adalah dengan mencermati laporan kinerja keuangan bank. Bank yang memiliki kinerja keuangan yang bagus menandakan bahwa bank tersebut dapat menghasilkan profitabilitas yang
439
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
maksimal. Profitabilitas merupakan indikator penting dalam laporan kinerja keuangan perusahaan karena memiliki berbagai kegunaan. Profitabilitas pada umumnya digunakan untuk menilai kondisi suatu perusahaan, pertumbuhan dan kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang. Profitabilitas yang tinggi menunjukkan apakah perusahaan tersebut memiliki prospek yang bagus di masa mendatang. Semakin tinggi profitabilitas yang dicapai suatu perusahaan maka semakin terjamin kelangsungan hidup perusahaan. Selain itu tingginya profitabilitas dapat digunakan sebagai bahan pengambilan keputusan bagi investor untuk menanamkan modalnya. Apabila profitabilitas yang dihasilkan tinggi maka investor akan beranggapan bahwa perusahaan tersebut memiliki perkembangan yang bagus sehingga modal yang ditanamkan dapat bertambah dan tingkat pengembalian investasi tinggi. Ukuran profitabilitas bank yang digunakan pada umumnya adalah Return On Equity (ROE) dan Return On Asset (ROA). ROE hanya menghitung return yang diperoleh dari investasi pemilik perusahaan dalam bisnis tersebut, sedangkan ROA memfokuskan kemampuan perusahaan untuk memperoleh earning dari operasi perusahaan sehingga dapat digunakan sebagai analisis rasio kemampuan perusahaan dalam mengelola asset yang dimilikinya (Siamat, 2008). Pengukuran ROA menurut SE BI No 13/30/DPNP tanggal 16 Desember 2011 adalah dengan cara membandingkan laba sebelum pajak terhadap rata-rata total aset. Semakin tinggi ROA menunjukkan kinerja keuangan yang baik, kerena bank menjalankan kegiatan usahanya dengan lancar sehingga tingkat pengembalian modal tinggi. Faktor pertama yang diduga berpengaruh terhadap ROA yaitu Capital Adequacy Ratio (CAR). CAR adalah rasio kecukupan modal yang menunjukkan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi, dan mengontrol resiko-resiko yang timbul yang dapat berpengaruh pada besarnya modal bank (Kuncoro dan Suhardjono, 2011). CAR menunjukkan sejauh mana penurunan aset bank masih dapat ditutupi oleh equity bank yang tersedia (Taswan, 2010). Bank Indonesia menetapkan modal minimal suatu bank adalah 8%, hal tersebut tercantum dalam SE BI No 15/11/DPNP tanggal 8 April 2013. Semakin tinggi CAR maka semakin banyak modal yang dimiliki oleh bank untuk manutupi penurunan aset. Faktor kedua yang diduga mempengaruhi ROA adalah Beban Operasional Pendapatan Operasional (BOPO). Pada laporan laba rugi sendiri terdapat dua pos utama, yakni pendapatan operasional dan biaya operasional. Jika pendapatan operasional merupakan hasil yang diperoleh dari kegiatan operasional maka, biaya operasional adalah biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan kegiatan operasional tersebut. Jika biaya operasional besar namun hanya menghasilkan pendapatan operasional yang sedikit maka bank tersebut tergolong tidak efisien dalam menjalankan kegiatan operasionalnya. Di lain pihak, biaya operasional yang besar nantinya akan mengurangi jumlah laba bersih yang dapat diperoleh karena biaya operasional merupakan faktor pengurang dalam laporan laba rugi. Bank yang nilai rasio BOPO-nya tinggi menunjukkan bahwa bank tersebut tidak beroperasi dengan efisien sehingga, memungkinkan suatu bank berada dalam kondisi bermasalah semakin besar. Nilai rasio BOPO yang ideal atau dikategorikan sangat sehat berada antara 50-75% sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004. BOPO yang menujukan tingkat efisiensi bank dalam menjalakan operasional seharusnya memiliki dampak terhadap pertumbuhan ROA semakin tinggi BOPO maka semakin tidak efisien bank tersebut. Fee Based Income yang berasal dari kegiatan operasional bank juga termasuk di dalam BOPO. Faktor ketiga yang diduga mempengaruhi ROA adalah Non Performing Loan (NPL). Dilihat kembali dari fungsi bank untuk menyalurkan dana kepada masyarakat guna menaikan taraf hidup masyarakat memiliki resiko yang cukup tinggi karena, dapat mengakibatkan kredit bermasalah meskipun pengalokasian terbesar dari perbankan adalah dalam bentuk
440
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
kredit yang dapat meningkatkan keuntungan pada bank. Tingkat resiko yang dimiliki bank dalam penyaluran dana kembali kepada masyarakat dapat dilihat dari rasio NPL. NPL adalah rasio untuk mengetahui kemampuan bank dalam hal menutupi ketidak mampuan dari kewajiban debitur untuk mengembalikan dana yang di berikan dalam bentuk kredit oleh bank. Bank harus berhati-hati dalam pemberian dana kreditnya agar tidak memacu tinggi tingkat NPL karena akan mempengaruhi biaya operasional dari bank yang akan meningkat sehingga berpengaruh buruk pada kinerja dan kesehatan dari bank. Semakin tinggi rasio ini, maka akan semakin buruk kualitas kredit bank yang menyebabkan jumlah kredit bermasalah semakin besar dan menyebabkan kerugian, sebaliknya jika semakin rendah NPL maka laba atau profitabilitas bank tersebut akan semakin meningkat (Puspitasari, 2009). Bank Indonesia dalam PBI No 15/2/PBI/2013 menetapkan bahwa kategori bank sehat NPL tidak melebihi dari 5 %. Faktor keempat yang diduga mempengaruhi ROA adalah Net Interest Margin (NIM). SE BI No 13/13/DPNP tanggal 16 Desember 2011, menyatakan bahwa NIM merupakan perbandingan persentase pendapatan bunga dan rata-rata aset produktif. Rasio ini digunakan untuk menghitung kemampuan bank dalam menghasilkan pendapatan bunga bersih dengan penempatan aset yang tersedia. Semakin besar hasil bunga yang didapatkan bank atas pengelolaan asetnya maka hal tersebut dapat meminimalisir terjadinya masalah. NIM bertujuan untuk mengevaluasi kinerja bank dalam mengelola berbagai resiko yang mungkin terjadi pada suku bunga. Semakin tinggi NIM yang diperoleh bank maka semakin tinggi pula ROA bank karena pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola bank semakin bertambah. Apabila selisih antara pendapatan bunga dengan biaya bunga yang didapat besar, maka profitabilitas yang didapat pun akan semakin besar (Taswan, 2010). Bank yang diteliti adalah 9 bank BUKU III yaitu singkatan dari Bank Umum Kelompok Usaha III (PBI Nomor 14/26/PBI/2012) bank di BUKU III tersebut diantaranya OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB, BTN, CIMB Niaga yang namanya sudah tercatat dalam Bursa Efek Indonesia dengan rentan waktu 5 tahun dari tahun 2010 sampai dengan 2014. Selama periode tersebut terdapat fluktuasi terhadap rasio-rasio keuangan perbankan. Berikut adalah perkembangan rasio-rasio keungan perbankan diantaranya ROA, CAR, BOPO, NPL, NIM pada bank OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB, BTN, CIMB Niaga dan rentan waktu periode 2010-2014 dengan sumber yang didapat dari laporan tahunan bank yang sudah dipublikasi. Sebagai pembuktian bahwa adanya pengaruh yang signifikan dari masing-masing rasio keuangan serta dapat memberi bukti empirik. Pada kesempatan ini peneliti mengambil contoh 9 bank umum devisa yang berada pada kategori Bank BUKU III dengan modal ratarata di bawah 30 Trilliun dan namanya tercatat dalam Bursa Efek Indonesia yaitu OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB, BTN, dan CIMB Niaga. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka identifikasi masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Profitabilitas merupakan dasar kunci dari tingkat kesehatan sebuah bank. Untuk mengukur profitabilitas sebuah bank pada umumnya biasa menggunakan ROA dimana hasil dari besar ROA akan menunjukan seberapa besar keuntungan pada bank dalam suatu periode. 2. Modal inti bank menunjukan tingkat kesehatan bank yang memicu tingkat kepercayaan dari masyarakat untuk menghimpun dana pada bank dan investor yang menanamkan modal pada bank. 3. Tingkat efisiensi bank dalam menjalankan kegiatan operasional merupakan hal yang memiliki pengaruh pada peningkatan profitabilitas bank. 4. Kemampuan bank dalam mengelola kredit bermasalah dalam era persaingan bisnis perbankan yang semakin ketat dalam upaya peningkatan profitabilitas bank.
441
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
5. Kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya dalam rangka menghasilkan pendapatan bunga bersih menujukan tingkat profitabiltas bank. 6. Untuk mengetahui tingkat profitabilitas dari bank dapat diukur dari ROA yang dipengaruhi oleh tinggi rendah rasio CAR, BOPO, NPL, NIM. 2. Landasan Teori Profitabilitas ( Return on Asset / ROA) Profitabilitas bank adalah hal yang sangat penting karena pendapatan bank ini merupakan sasaran utama yang harus dicapai sebab, bank didirikan untuk mencapai tujuan profit atau laba dimana laba merupakan kunci utama dalam kontinuitas atau perkembangan bank. Kemampuan bank dalam memperoleh laba tercermin dalam laporan keuangan bank. Profitabilitas perusahaan merupakan unsur yang mempengaruhi kebijakan investor atas investasinya. Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dapat menarik para investor untuk menanamkan dananya guna menambah modal. Apabila profitabilitas suatu perusahaan rendah maka investor akan menarik dananya. Bagi perusahaan profitabilitas digunakan sebagai bahan evaluasi atas usaha yang didirikan. Ukuran profitabilitas pada industri perbankan biasa digunakan umumnya dengan Return on Asset (ROA) dan Return on Equity (ROE). ROA memfokuskan kemampuan perusahaan untuk memperoleh profitabilitas dalam kegiatan operasinya sedangkan ROE hanya mengukur return yang diperoleh dari investasi pemilik perusahaan dalam bisnis tersebut (Siamat, 2008). Pada penelitian ini rasio profitabilitas yang digunakan adalah ROA. Alasan penggunaan ROA sebagai salah satu rasio yang mengukur profitabilitas bank dikarenakan Bank Indonesia sebagai pembina dan pengawas perbankan lebih mementingkan aset yang dananya berasal dari masyarakat (Buyung, 2009). ROA adalah rasio yang menunjukan hasil (return) atas jumlah aktiva yang digunakan dalam perusahaan. Selain itu, ROA memberikan ukuran yang lebih baik atas profitabilitas perusahaan karena menunjukan efektivitas manajemen dalam menggunakan aktiva untuk memperoleh pendapatan (Kasmir, 2012). Retutrn on Asset adalah sama dengan Return on Investment dalam analisa keuangan mempunyai arti yang sangat penting sebagai salah satu teknik analisa keuangan yang bersifat menyeluruh (komprehensif). Return on Asset juga sering disebut sebagai rentabilitas ekonomis yang merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dengan semua aktiva yang dimiliki perusahaan (Sutrisno, 2009). Analisis ini sudah merupakan teknik analisa yang lazim di gunakan oleh pimpinan perusahaan untuk mengukur efektivitas dari keseluruhan operasi perusahaan (Munawir, 2010). ROA menggambarkan perputaran aktiva diukur dari penjualan. Semakin besar rasio ini maka semakin baik dan dalam hal ini berarti bahwa aktiva dapat lebih cepat berputar dan meraih laba (Harahap, 2010). Return on asset sering juga disebut sebagai Return on Investment, karena ROA ini melihat sejauh mana investasi yang telah ditanamkan mampu memberikan pengembalian keuntungan sesuai dengan yang diharapkan dan investasi tersebut sebenarnya sama dengan aset perusahaan yang ditanamkan atau ditempatkan (Fahmi, 2012). Rasio ini menunjukkan berapa besar laba bersih diperoleh perusahaan bila diukur dari nilai asetnya. Menurut Bank Indonesia, ROA merupakan perbandingan antara laba sebelum pajak dengan rata-rata total aset dalam suatu periode. Salah satu faktor dipilihnya rasio ini mengingat keuntungan yang diperoleh dari penggunaan aset dapat mencerminkan tingkat efisiensi usaha suatu bank. Semakin besar ROA suatu bank semakin besar pula keuntungan yang dicapai bank tersebut serta semakin baik posisi penggunaan aset di dalam bank.
442
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
ROA dapat dirumuskan sebagai berikut :
=
ℎ
…………(1)
100%
Sumber : SE BI No 13/30/DPNP Tanggal 16 Desember 2011
Capital Adequacy Ratio (CAR) Capital Adequacy Ratio (CAR) adalah rasio permodalan yang menunjukkan kemampuan bank dalam mengembangkan usaha dan menampung resiko kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan operasional perusahaan. Semakin banyak modal yang dihimpun bank maka operasional bank dapat berjalan lancar. CAR juga dapat digunakan sebagai rasio permodalan yang digunakan untuk melindungi nasabah sehingga mempertahankan kepercayaan terhadap bank. Setiap bank diwajibkan untuk memelihara rasio kecukupan modal atau CAR. Fungsi modal bagi bank adalah (Taswan, 2010) : a. Melindungi deposan dengan menangkal semua kerugian usaha perbankan sebagai akibat salah satu resiko usaha. b. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat dengan kemampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. c. Membiayai kebutuhan aktiva tetap. d. Mengusahakan kekurangan modal tersebut dari luar. Dengan kata lain, semakin kecil resiko suatu bank dengan modal yang besar maka semakin besar keuntungan yang diperoleh bank. Seperti diketahui bahwa CAR juga biasa disebut dengan rasio kecukupan modal, yang berarti jumlah modal sendiri yang diperlukan untuk menutup resiko kerugian yang mungkin timbul dari penanaman aktiva-aktiva yang mengandung resiko serta membiayai seluruh benda tetap dan inventaris. Rasio kecukupan modal merupakan faktor yang penting bagi bank dalam rangka mengembangkan usaha dan menampung kerugian serta mencerminkan kesehatan bank yang bertujuan untuk menjaga kepercayaan masyarakat kepada perbankan, melindungi dana masyarakat pada bank bersangkutan. Faktor permodalan sangat penting dalam menjalankan kegiatan operasional bank dan menunjang kebutuhannya, dengan kualitas pihak manajemen dalam pengelolaan kegiatan perbankan akan mendapatkan tingkat laba yang diharapkan. Dengan pengelolaan yang baik suatu bank akan terus meningkatkan modal dengan memperhatikan indikator kesehatan permodalan yaitu CAR. CAR adalah rasio yang memperlihatkan seberapa besar jumlah seluruh aktiva bank yang mengandung unsur resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, tagihan pada bank lain) yang ikut dibiayai dari modal sendiri bank, disamping memperoleh dana-dana dari sumber-sumber diluar bank. Semakin bersar CAR maka keuntungan bank juga akan semakin besar (Dendawijaya, 2009). CAR adalah kecukupan modal yang menunjukan kemampuan bank dalam mempertahankan modal yang mencukupi dan kemampuan manajemen bank dalam mengidentifikasi, mengukur, mengawasi, dan mengontrol resiko-resiko yang timbul yang dapat berpengaruh terhadap besarnya modal bank (Kuncoro dan Suhardjono, 2011). Dengan kata lain, semakin kecil resiko suatu bank maka semakin besar keuntungan yang diperoleh bank (Kuncoro dan Suhardjono, 2011). Dengan ini maka, CAR adalah rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang dimiliki bank untuk menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan resiko, misalkan kredit yang diberikan. CAR
443
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
merupakan indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang beresiko. Secara sistematis CAR dapat dirumuskan sebagai berikut :
=
100%
……………(2)
Sumber : SE BI No 13/30/DPNP Tanggal 16 Desember 2011. Modal terdiri dari modal inti dan modal pelengkap. Modal inti terdiri dari modal disetor dan cadangan tambahan modal yang terdiri dari faktor penambah (agio, modal sumbangan, cadangan umum modal, cadangan tujuan modal dll). Sedangkan modal pelengkap terdiri dari cadangan revaluasi aktiva tetap, modal pinjaman, pinjaman subordinasi dan peningkatan nilai penyertaan pada portofolio. ATMR (Aktiva Tertimbang Menurut Resiko) terdiri dari aktiva neraca yang diberikan bobot sesuai kadar resiko kredit yang melekat. ATMR diperoleh dengan cara mengalikan nilai nominal aktiva dengan bobot resiko. Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) Pada penelitian ini variabel BOPO diambil sebagai salah satu variabel atau faktor yang mempengaruhi kinerja keuangan bank, karena bagaimanapun juga jika kita berbicara mengenai kinerja suatu perusahaan pastilah juga berhubungan dengan efisiensi operasi perusahaan tersebut. Rasio yang sering disebut rasio efisiensi ini digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank yang bersangkutan sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Semakin besar BOPO maka akan semakin kecil atau menurun kinerja keuangan perbankan. Begitu juga sebaliknya, jika BOPO semakin kecil, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan perbankan semakin meningkat atau membaik (Ambo, 2013). Beban Operasional terhadap Pendapatan Operasional rasio ini mengindikasikan efisiensi operasional suatu bank. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan semakin tidak efisien operasional bank (Taswan, 2010), BOPO merupakan rasio antara biaya operasional terhadap pendapatan operasional (Dendawijaya, 2009). Mengingat kegiatan utama bank adalah sebagai perantara pihak yang kelebihan dana kepada pihak yang kekurangan dana, maka beban dan pendapatan operasional bank didominasi oleh biaya bunga dan hasil bunga. Biaya operasi merupakan biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam rangka menjalankan aktivitas usaha utamanya seperti biaya bunga, biaya pemasaran, biaya tenaga kerja dan biaya operasional lainnya. Pendapatan operasional merupakan pendapatan utama bank yaitu pendapatan yang diperoleh dari penempatan dana dalam bentuk kredit dan pendapatan operasi lainnya seperti biaya mutasi rekening, biaya surat referensi bank dan surat konfirmasi bank. Semakin kecil BOPO menunjukkan semakin efisien bank dalam menjalankan aktivitas usahanya. Bank yang sehat rasio BOPO-nya kurang dari satu sebaliknya bank yang kurang sehat, rasio BOPO-nya lebih dari satu. Menurut ketentuan Bank Indonesia efisiensi operasi diukur dengan BOPO. Bank yang sehat ketentuan dari BI harus memiliki BOPO < 93,52%. Rasio Beban Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) sering disebut rasio efisiensi digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengendalikan biaya operasional terhadap pendapatan operasional. Semakin kecil rasio ini berarti semakin efisien biaya operasional yang dikeluarkan bank tersebut.
444
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Secara sistematis BOPO dapat dirumuskan sebagai berikut:
=
100%
..……….(3)
Sumber : SE BI No 13/30/DPNP Tanggal 16 Desember 2011. Non Performing Loan (NPL) Menurut Peraturan Bank Indonesia nomor 5 Tahun 2003 resiko adalah potensi terjadinya peristiwa (event) yang menimbulkan kerugian. Seperti diketahui bahwa perbankan di Indonesia mengalami perkembangan pesat. Non Performing Loan (NPL) adalah rasio kredit bermasalah yang menurut Peraturan BI No 15/2/PBI/2013, NPL tidak lebih dari 5 % total kredit dan penyelesaiannya bersifat kompleks. Kredit bermasalah yang tinggi dapat menimbulkan keengganan bank untuk menyalurkan kredit karena harus membentuk cadangan penghapusan yang besar (Siamat, 2005). Seiring dengan perkembangan pesat tersebut juga diiringi dengan resiko tinggi yang harus dihadapi oleh bank. Salah satu resiko yang dapat mempengaruhi profitabilitas atau tingkat keuntungan yang diraih oleh bank yaitu resiko kredit. Resiko kredit didefinisikan sebagai resiko kerugian yang dikaitkan dengan kemungkinan kegagalan klien membayar kewajibannya atau resiko dimana debitur tidak dapat melunasi hutangnya (Ghozali, 2011). Rasio keuangan yang digunakan sebagai proxy dari resiko kredit adalah rasio NPL. Rasio ini menunjukkan kemampuan bank dalam mengelola kredit bermasalah yang diberikan oleh bank. Salah satu resiko yang muncul akibat semakin kompleksnya kegiatan perbankan adalah munculnya NPL yang semakin besar. Semakin kecil NPL semakin kecil pula resiko kredit yang ditanggung bank. Bank dengan NPL yang tinggi akan memperbesar biaya baik pencadangan aktiva produktif maupun biaya lainnya, sehingga berpotensi terhadap kerugian bank (Mawardi, 2005). Kredit bermasalah adalah pinjaman yang mengalami kesulitan akibat faktor kesengajaan dan atau karena faktor eksternal diluar kemampuan kendali debitur (Siamat, 2005). Tingginya NPL akan meningkatkan premi resiko yang berdampak pada tingginya suku bunga kredit yang terlampau tinggi akan mempengaruhi permintaan masyarakat akan kredit (Arma, 2010). Peningkatan Non Performing Loan dalam jumlah yang banyak dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan bank, oleh karena itu bank dituntut untuk selalu menjaga kredit tidak dalam posisi NPL yang tinggi. Sebuah bank yang dirongrong oleh kredit bermasalah dalam jumlah besar akan cenderung menurunkan profitabilitasnya (Sutojo, 2008). kredit bermasalah secara umum adalah semua kredit yang mengandung resiko tinggi atau kredit bermasalah adalah kredit-kredit yang mengandung kelemahan atau tidak memenuhi standar kualitas yang telah ditetapkan oleh bank (Arthesa, 2006). Dalam dunia perbankan internasional, kredit dapat dikategorikan ke dalam kredit bermasalah jika terjadinya keterlambatan pembayaran bunga dan atau kredit induk lebih dari 90 hari sejak tanggal jatuh temponya, tidak dilunasi sama sekali, atau diperlukan negosiasi kembali atas syarat pembayaran kembali kredit dan bunga yang tercantum dalam perjanjian kredit (Sutojo, 2008). Agar dapat menentukan tingkat wajar atau sehat maka ditentukan ukuran standar yang tepat untuk NPL. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan naik turunnya NPL suatu bank, diantaranya kemauan atau itikad baik debitur dan kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia terakhir adalah kondisi perekonomian. Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) menetapkan rasio NPL adalah sebesar 5%.
445
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Semakin tinggi nilai NPL maka bank tersebut tidak sehat. NPL yang tinggi menyebabkan menurunnya laba yang akan diterima oleh bank. Menurut perhitungan rasio keuangan Bank Indonesia, NPL didapat dari perbandingan antara kredit bermasalah dengan total kredit. Kredit bermasalah meliputi kredit kurang lancar, diragukan, dan macet. Secara sistematis NPL dapat dirumuskan sebagai berikut: (SE BI No13/30/DPNP Tanggal 16 Desember 2011).
=
!
" !
ℎ
100%
……...(4)
Sumber : SE BI No 13/30/DPNP Tanggal 16 Desember 2011. Net Interest Margin (NIM) Net Interest Margin (NIM) merupakan rasio pendapatan bunga bersih yang didapat oleh bank. Pendapatan tersebut diperoleh bank dari bunga yang diterima dari pinjaman atau jasa-jasa yang diberikan bank kepada nasabah kemudian dikurangi oleh beban bunga dari sumber dana yang telah dikumpulkan. Menurut SE BI No 6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004, Net Interest Margin adalah perbandingan antara pendapatan bunga bersih dengan rata-rata aktiva produktifnya. Rasio NIM merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan pendapatan bunga bersih (Pandia, 2012). Rasio NIM juga digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan pendapatan dari bunga dengan melihat kinerja bank dalam menyalurkan kredit, mengingat pendapatan operasional bank sangat tergantung dari selisih bunga dari kredit yang disalurkan (Mahardian, 2008). NIM merupakan selisih bunga simpanan DPK (Dana Pihak Ketiga) dengan bunga pinjaman (Ghani dan Sugiyanto, 2008). NIM merupakan perbandingan antara presentase hasil bunga terhadap total asset atau terhadap total earning asset (Riyadi, 2006). Semakin besar NIM suatu bank, mengindikasikan semakin baik kinerja dalam pemberian jasa-jasa perbankan. Untuk dapat meningkatkan NIM suatu bank perlu dilakukan penekanan terhadap beban bunga. Dalam hal ini beban bunga adalah bunga yang dibayarkan bank kepada masing-masing sumber dana yang bersangkutan. Tingkat suku bunga yang diberikan oleh bank menentukan besarnya NIM. Menurut Surat Edaran No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 Bank Indonesia menetapkan kriteria rasio NIM adalah 6 %. Semakin besar rasio ini maka meningkatnya pendapatan bunga atas aktiva produktif yang dikelola bank sehingga kemungkinan suatu bank dalam kondisi bermasalah semakin kecil. Secara sistematis NIM dapat dirumuskan sebagai berikut:
#
=
−
$ %
ℎ $
'
100%
…...(5)
Sumber : SE BI No 13/30/DPNP Tanggal 16 Desember 2011. Metode Penelitian dan Hipotesis Pendekatan yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan kuantitatif, menganalisis pengukuran fenomena ekonomi yang merupakan gabungan antara ekonomi (informasi laporan keuangan), model matematika dan statistika diklasifikasikan dalam kategori tertentu dengan menggunakan tabel-tabel tertentu
yaitu teori yang guna
446
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
mempermudah dalam menganalisis dengan menggunakan program IBM SPSS versi 22. Sedangkan teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis regresi linier berganda, untuk melihat hubungan antara satu variabel terikat dengan lebih satu variabel bebas. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data untuk mempermudah pekerjaan dan hasil yang didapatkan lebih cermat, lebih lengkap dan sistematis sehingga lebih mudah diolah (Arikunto, 2010). Instrumen penelitian digunakan untuk melakukan pengukuran dengan tujuan menghasilkan data yang akurat. Instrumen yang digunakan adalah : 1. Studi literatur Studi literatur diperlukan untuk mencari data sekunder yang diperlukan dalam penelitian dan juga untuk mengetahui sampai dimana ilmu yang berhubungan dengan penelitian sudah berkembang (Nazir, 2013). Sumber studi literatur yang digunakan berasal dari beberapa sumber, diantaranya adalah (Nazir, 2013) : a. Buku teks Buku teks adalah tulisan ilmiah yang digunakan sebagai buku wajib dalam mata kuliah tertentu. b. Jurnal Jurnal adalah majalah ilmiah yang berisi hasil seminar atau tulisan ilmiah yang diterbitkan oleh himpunan profesi ilmiah. Abstract jurnal adalah majalah ilmiah yang berisi singkatan atau ikhtisar (judul, metode serta kesimpulan) dari artikel pada jurnal terbaru. c. Periodical Periodical adalah majalah ilmiah yang diterbitkan secara berkala yang berisi hasil penelitian yang dikerjakan. d. Yearbook Yearbook adalah buku yang berisi fakta dan statistik selama satu tahun dan diterbitkan tiap tahun oleh lembaga pemerintah atau swasta. Yearbook yang dikeluarkan dapat juga membahas suatu masalah bidang ilmu. e. Buletin Buletin adalah tulisan ilmiah pendek yang berisi tentang catatan ilmiah mengenai suatu kegiatan operasional dan diterbitkan secara berkala. f. Annual Review Annual review berisi ulasan tentang literatur yang telah diterbitkan selama setahun atau beberapa tahun sebelumnya. Penelitian ini menggunakan dua instrumen pengumpulan data, yaitu: Studi Pustaka Penelitian ini menggunakan data dan teori yang relevan terhadap permasalahan yang akan diteliti dengan melakukan studi pustaka terhadap literatur dan bahan pustaka lainnya seperti artikel, jurnal, buku dan penelitian terdahulu. Studi kepustakaan berkaitan dengan kajian teoritis dan referensi lain yang berkaitan dengan nilai, budaya dan norma yang berkembang pada situasi sosial yang diteliti, selain itu studi kepustakaan sangat penting
447
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
dalam melakukan penelitian, hal ini dikarenakan penelitian tidak akan lepas dari literaturliteratur ilmiah ( Sugiyono, 2012) 2. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan cara mempelajari dokumen untuk mendapatkan data atau informasi yang memiliki hubungan dengan masalah yang sedang diteliti. Studi dokumentasi adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumentasi dapat berupa tulisan, gambar, dan karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2012). Studi dokumentasi dalam penelitian ini adalah dengan mengumpulkan data yang berupa laporan tahunan yang diperoleh dari laporan keuangan yang sudah dipublikasi oleh perusahaan dan Bank Indonesia. Hal ini dilakukan agar informasi dan data yang diperoleh benar bersumber dari objek yang akan dijadikan penelitian. Desain sampel a. Populasi Populasi adalah suatu kumpulan individu yang mempunyai kualitas dan ciri-ciri yang telah ditetapkan (Nazir, 2013). Keterangan mengenai suatu populasi dapat dikumpulkan dengan dua cara, yaitu : 1) Sensus atau complete enumeration Sensus adalah menghitung setiap unit populasi 2) Sampel atau sample enumeration Perhitungan yang hanya dilakukan pada bagian unit populasi saja. Keterangan tentang sesuatu hal diambil dari wakil populasi atau sampel. Populasi merupakan keseluruhan objek peneletian dan populasi dalam penelitian ini merupakan populasi terbatas, karena sumber data yang diperoleh secara kuantitatif dan jumlahnya dapat dihitung. Populasi dalam penelitian ini adalah bank kategori BUKU (Bank Umum Kelompok Usaha) III yang tercatat namanya di Bursa Efek Indonesia. b. Sampel Sampel adalah objek penelitian yang diambil dari suatu populasi dan memiliki karakteristik yang sama dengan populasi tersebut. Sampel adalah bagian dari populasi yang memiliki karakteristik yang sama dengan populasi (Sugiyono, 2012). Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah 9 bank BUKU (Bank Umum Kelompok Usaha) III yang namanya tercatat dalam Bursa Efek Indonesia yaitu, OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB, BTN, dan CIMB Niaga. Penelitian ini menggunakan data pengamatan selama lima tahun yaitu tahun 2010-2014. Uji Asumsi Klasik Model regresi yang digunakan dalam menguji hipotesis haruslah menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan asumsi klasik. Asumsi klasik regresi menurut Ghozali (2011) terdiri dari uji normalitas, uji heteroskedastisitas, uji multikolineritas, dan uji autokorelasi. Regresi Linier Berganda Dalam analisis regresi, selain mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel atau lebih, juga menunjukkan arah hubungan antara variabel dependen dengan variabel
448
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
independen (Ghozali, 2011). Model regresi linear berganda (multiple linier regresion method), digunakan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh yang signifikan dari satu variabel terikat (dependen) dan lebih dari satu variabel bebas (independen). Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari laporan keuangan 9 Bank BUKU (Bank Umum Kelompok Usaha) III OCBCNISP, Maybank, Panin, Mega, Permata, UOB, BJB, BTN, dan CIMB Niaga periode 2010 – 2014 yang dipublikasikan dan dikutip dari laporan tahunan serta tercantum dalam Direktori Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Data penelitian adalah gabungan antara deret waktu (time series) dan cross section selama kurun waktu 2010 sampai dengan tahun 2014. Jangka waktu tersebut dipandang cukup untuk mengikuti perkembangan kinerja bank. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah profitabilitas (ROA), sedangkan yang menjadi variabel bebas CAR, BOPO, NPL dan NIM. Model hubungan ROA dengan CAR, BOPO, NPL, dan NIM dapat disusun dalam persamaan linear sebagai berikut :
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + e
………………………….(6)
Sumber : Ghozali, 2011 diolah peneiliti Y = Return On Asset (ROA) a = konstanta β1- β4 = koefisien regresi, merupakan besarnya perubahan variabel terikat akibat perubahan tiap-tiap unit variabel bebas. X1 = Capital Adequacy Ratio (CAR) X2 = Beban Oprasional Pendapatan Oprasional (BOPO) X3 = Non Performing Loan (NPL) X4 = Net Interest Margin (NIM) e = Kesalahan residual (error) Hipotesis
a. b. c. d. e.
Adapun hipotesis yang akan diuji kebenarannya adalah sebagai berikut : Hipostesis 1 : CAR memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Hipostesis 2 : BOPO memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Hipostesis 3 : NPL memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Hipostesis 4 : NIM memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Hipostesis 5 : Secara simultan CAR, BOPO, NPL, NIM berpengaruh signifikan terhadap ROA
3. Hasil Penelitian dan Diskusi Analisa Deskriptif Pada bagian ini akan dideskripsikan data dari masing-masing variabel yang diolah mengunakan SPSS versi 22. Adapun hasil olahan data dari SPSS dalam bentuk deskriftif statistik akan menampilkan karakteristik dari sampel yang digunakan antara lain yaitu; jumlah sampel (n), mean, minimum, maksimum serta, standar deviasi dari masing-masing variabel sebagai berikut :
449
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Tabel 2. Statistik deskriptif ROA, CAR, BOPO, NPL, NIM Descriptive Statistics N ROA CAR BOPO NPL NIM Valid N (listwise)
45 45 45 45 45
Minimum Maximum 0,67% 3,31% 11,70% 22,85% 44,76% 93,03% 0,73% 4,36% 3,63% 7,96%
Mean 1,97% 15,87% 78,79% 2,29% 5,28%
Std. Deviation 0,62% 2,39% 11,38% 0,97% 0,95%
45
Sumber : Data Sekunder diolah menggukana SPSS versi 22, 2016 Bedasarkan tabel 2 dapat dilihat statistik deskriptif dari masing-masing variabel. Dari 45 data sampel ini variabel CAR memiliki nilai minimum sebesar 11,70%, maksimum sebesar 22,85% dan standar deviasi 2,39 % yang jauh lebih kecil dari mean yang sebesar 15,87% membuktikan bahwa variabel CAR terdistribusi secara baik. Lalu pada variabel BOPO dapat dilihat nilai minimum sebesar 44,76%, maksimum 93,03%, dan standar deviasi sebesar 11,38% lebih kecil dari nilai mean yang sebesar 78,79% dikatakan juga baik terdistribusi. Pada variabel NPL nilai minimum sebesar 0,73%, maksimum 4,36%, dan standar deviasi 0,97% lebih kecil dari nilai mean yang sebesar 2,29% menunjukan NPL juga terdistribusi secara baik hal ini di dukung oleh kebijakan Bank Indonesia yang membatasi rasio NPL adalah 5% jika lebih dari itu maka dapat dikatakan bank tidak sehat. Untuk pendapatan dari bunga bersih yaitu variabel NIM juga dapat dilihat nilai minimum sebesar 3,63%, maksimum 7,96%, dan standar deviasi sebesar 0,95% lebih kecil dari nilai rata-rata mean 5,28% menujukan pendapatan dari bunga bersih juga terdistribusi secara baik. Variabel ROA memilki nilai minimum 0,67%, nilai maksimum 3,31%, dan standar deviasi sebesar 0,62% berada di bawah nilai mean sebesar 1,97% membuktikan juga bahwa tidak ada penyimpangan yang terlalu jauh atau terdistribusi secara baik. Nilai standar deviasi yang lebih besar dari mean akan menunjukan adanya penyimpangan (Outlier) yang biasanya muncul karna data yang terlalu ekstrim (Ghozali, 2009). Hasil Pengujian Regresi Berganda Tabel 3. Pengujian Regresi Berganda Coefficientsa Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta 1 (Constant) 2,110 ,665 ,020 ,027 ,078 CAR ,006 -,541 -,030 BOPO ,062 -,302 -,193 NPL ,439 ,069 ,669 NIM a. Dependent Variable: ROA Sumber : Data Sekunder diolah menggukan SPSS versi 22, 2016 450
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Berdasarkan tabel 4.4 dapat dirumuskan persamaan regresi berganda sebagai berikut : ………(6) ROA = 2,110 + 0,20 CAR - 0,30 BOPO - 0,193 NPL +0,439 NIM Dari persamaan analisis regresi berganda diatas maka dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Nilai konstan dari regresi berganda adalah 2,110 yang menunjukan bahwa nilai dari CAR, BOPO, NPL, NIM diabaikan atau sama dengan nol (X1=X2=X3=X4=0) ketika nilai ROA adalah 2,110 2. Capital Adequacy Ratio memiliki nilai positif unstaderdized coefficient beta sebesar 0,20. Nilai positif dari unstaderdized coefficient beta mengindikasikan bahwa CAR memiliki pengaruh positif terhadap ROA. Dari hasil tersebut berarti setiap 1% kenaikan dari CAR akan menambah sebesar 0,20 nilai dari ROA. 3. Beban Operasional Pendapatan Operasional memiliki nilai negatif unstaderdized coefficient beta sebesar 0,30. Nilai negatif dari unstaderdized coefficient beta mengindikasikan bahwa BOPO memiliki pengaruh negatif terhadap ROA. Dari hasil tersebut berarti setiap 1% kenaikan BOPO akan mengurangi sebesar 0,30 nilai dari ROA. 4. Non Performing Loan memiliki nilai negatif unstaderdized coefficient beta sebesar 0,193. Nilai negatif dari unstaderdized coefficient beta mengindikasikan bahwa NPL memiliki pengaruh negatif terhadap ROA. Dari hasil tersebut berarti setiap 1% dari kenaikan NPL akan mengurangi sebesar 0,193 nilai dari ROA. 5. Net Interest Margin memiliki nilai positif unstaderdized coefficient beta sebesar 0,439. Nilai positif dari unstaderdized coefficient beta mengindikasikan bahwa NIM memiliki pengaruh positif tehadap ROA. Dari hasil tersebut berarti setiap 1% dari kenaikan NIM akan menambah sebesar 0,439 nilai ROA Unstandardized coefficient beta digunakan karena data yang diuji adalah berskala rasio murni, dan memiliki nilai nol mutlak. Selain itu Unstandardized coefficient beta digunakan karena satuan pengukuran sama, yaitu satuan persen. Uji Siginfikan Parameter Individual (Uji Statistik t) Uji T-test digunakan untuk mengetahui tiap-tiap dari variabel mana saja yang memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Secara parsial pengaruh dari empat variabel independen tersebut terhadap ROA ditunjukkan pada tabel 4. sebagai berikut: Tabel 4. Uji Statistik t Coefficientsa Model
T 1 (Constant)
3,175 0,759 -5,345 -3,114 6,393
CAR BOPO NPL NIM a. Dependent Variabel: ROA Sumber : Data Sekunder diolah menggukan SPSS versi 22, 2016
Sig. ,0,03 ,452 ,000 ,003 ,000
451
Apriangga Rachmandinur Purwanto
1.
2.
3.
4.
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Hasil pengujian parameter individual diatas dapat dilihat variabel mana yang signifikan dengan melihat kolom Sig. jika nilai tersebut tidak melebihi dari angka 5% maka variabel bebas yang uji memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel terikat maka dapat dijelaskan sebagai berikut: Nilai signifikasi dari CAR adalah 0,452 dimana nilai signifikasi lebih besar dari 5%. Dari hasil tersebut H01 diterima (Ha1 ditolak) dan bisa disimpulkan bahwa CAR memiliki pengaruh tetapi tidak signifikan terhadap ROA. Nilai positif dari t mengindikasikan bahwa CAR memliki pengaruh positif terhadap ROA. Nilai siginifikasi dari BOPO adalah 0.000 dimana signifikasi kurang dari 5%. Dari hasil tersebut Ha2 diterima (H02 ditolak) dan bisa disimpulkan bahwa BOPO memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Nilai negatif dari t mengindikasikan bahwa BOPO memiliki pengaruh negatif terhadap ROA. Nilai siginifikasi dari NPL adalah 0.003 dimana signifikasi kurang dari 5%. Dari hasil tersebut Ha3 diterima (H03 ditolak) dan bisa disimpulkan bahwa NPL memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Nilai negatif dari t mengindikasikan bahwa NPL memiliki pengaruh negatif terhadap ROA. Nilai signifikasi dari NIM adalah 0,000 dimana nilai signifikasi kurang dari 5%. Dari hasil tersebut Ha4 diterima (H04 ditolak) dan bisa disimpulkan bahwa NIM memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Nilai positif dari t mengindikasikan bahwa NIM memliki pengaruh positif terhadap ROA.
Hasil T-test tersebut, dapat dilihat bahwa Capital Adequacy Ratio tidak memilki pengaruh signifikan terhadap Return on Asset. Jadi persamaan CAR dalam regresi berganda dieliminasi sehingga persamaan baru dari regresi berganda tersebut setelah uji hipotesis adalah : ROA = 2,110 - 0,30 BOPO - 0,193 NPL +0,439 NIM
………………….(7)
Persamaan tersebut maka dapat dikatakan nilai konstan adalah 2,110 yang menunjukan nilai BOPO, NPL, NIM adalah nol ketika ROA berada pada nilai sebesar 2,110. Uji Signifikan Simultan F (Uji Statistik F) Berdasarkan output SPSS nampak bahwa pengaruh secara bersama-sama empat variabel independen pada CAR, BOPO, NPL, NIM terhadap ROA seperti ditunjukkan pada tabel 4.5 sebagai berikut : Tabel 5. Uji statistik F ANOVAa Sum of Mean Model Squares df Square F 1 Regression 11,090 4 2,773 18,144 Residual 6,112 40 ,153 Total 17,203 44 a. Dependent Variabel: ROA b. Predictors: (Constant), NIM, BOPO, NPL, CAR
Sig. ,000b
Sumber : Data Sekunder diolah menggukan SPSS versi 22, 2016
452
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Hasil perhitungan diperoleh nilai F sebesar 18,144 dan nilai signifikansi sebesar 0,000. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari tingkat kepercayaan yang digunakan 5%, dari hasil tersebut maka Ha5 diterima (H05 ditolak) yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel CAR, BOPO, NPL, NIM secara simultan terhadap ROA 2010-2014 dan dapat disimpulkan bahwa model layak untuk diteliti. Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi merupakan kemampuan prediksi dari keempat variabel independen (CAR, BOPO, NPL, NIM) terhadap variabel dependen ROA (Profitabiltas). Hasil dari pengujian ini menunjukan seberapa besar presentase yang menjelaskan pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen dengan melihat Adjusted R2 sebaga fator pengaruhnya (1-Adjusted R2) Tabel 6. Adjusted R2 Model Summaryb
Model 1
R
R Square ,803a
Adjusted R Square
,645
,609
Std. Error of the Estimate 0,39091%
a. Predictors: (Constant), NIM, BOPO, NPL, CAR b. Dependent Variabel: ROA Sumber : Data Sekunder diolah menggukan SPSS versi 22 Pada tabel 6, nilai koefisien determinasi (Adjusted R2) sebesar 0,609 atau 60,9% hal ini berarti 60,9% perubahan Profitabilitas (ROA) yang bisa dijelaskan oleh dari keempat variabel bebas yaitu: CAR, BOPO, NPL, NIM sedangkan sisanya sebesar 39,1% dijelaskan oleh sebab-sebab lain diluar model. Pengaruh keempat variabel cukup besar terhadap perubahan laba dengan range tahun penelitian yang hanya 5 tahun laporan keuangan dikatakan cukup baik untuk dijadikan sebagai bahan penelitian. Selain itu rasio keuangan yang digunakan sebagai variabel independen juga dapat menjadi penyebabnya. Diskusi Dari hasil hitung statisktik regresi berganda diatas untuk menganalisa pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen. Hasil tersebut dapat diinterpretasikan dengan melihat nilai dari nilai unstanderdized coefficient beta dari hasil regresi berganda sebagai berikut: 1. Pengaruh CAR terhadap ROA Pengujian (Ha1) membuktikan variabel CAR memiliki pengaruh tetapi tidak signifikan terhadap ROA yang ditunjukkan dengan besarnya hasil uji T-tes dengan nilai t sebesar 0,078 dan tingkat signifikansi yang lebih besar dari 0,05 yaitu 0,452. Hal tersebut tidak sesuai dengan hipotesis yang menyebutkan CAR berpengaruh signifikan terhadap ROA, sehingga hipotesis 1 menyatakan CAR memiliki pengaruh positif tidak signifikan terhadap ROA. Hasil dari uji parsial ini tidak sejalan dengan hasil dari Dendawijaya (2009) dan Kuncoro (2011) 453
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
yang menyatakan bahwa semakin besar dan tingginya tingkat rasio dari CAR akan mempengaruhi tingkat besar dan tingginya keuntungan dari sebuah bank. Hal ini bertentangan dengan peneilitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wahyudi (2014) yang mendapatkan hasil bahwa CAR berpengaruh signifikan terhadap ROA akan tetapi hal ini sejalan dengan penelitian lain yang diteliti oleh Hutagalung (2013) bahwa CAR tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. 2. Pengaruh BOPO terhadap ROA Pengujian (Ha2) membuktikan variabel BOPO berpengaruh signifikan terhadap ROA yang ditunjukkan dengan besarnya hasil uji T-tes dengan nilai t sebesar -0,541 dan tingkat signifikansi yang tidak lebih besar dari 0,05 yaitu 0,000. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis yang menyebutkan BOPO berpengaruh signifikan terhadap ROA, sehingga hipotesis 2 menyatakan BOPO memilki pengaruh negatif signifikan terhadap ROA. Hasil dari perhitungan uji parsial BOPO yang signifikan didukung dengan teori dari Ambo (2013) yang menyebutkan bahwa jika BOPO semakin kecil, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan perbankan semakin meningkat atau membaik. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Widiastuti (2014) bahwa BOPO memilki pengaruh negatif signifikan terhadap ROA. 3. Pengaruh NPL terhadap ROA Pengujian (Ha3) membuktikan variabel NPL berpengaruh signifikan terhadap ROA yang ditunjukkan dengan besarnya hasil uji T-tes dengan nilai t sebesar -0,302 dan tingkat signifikansi yang tidak lebih besar dari 0,05 yaitu 0,003. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis yang menyebutkan NPL berpengaruh signifikan terhadap ROA, sehingga hipotesis 3 menyatakan NPL memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap ROA. Hasil ini sejalan dengan teori dari Sutojo (2008) yaitu sebuah bank yang dirongrong oleh kredit bermasalah dalam jumlah besar akan cenderung menurunkan profitabilitasnya. Dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mitasari (2014) juga menyebutkan bahwa NPL berpangaruh signifikan terhadap ROA, hal ini juga di dukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Randy (2014) yang juga menyatakan bahwa NPL juga memilki pengaruh yang signifikan terhadap ROA. 4. Pengaruh NIM terhadap ROA Pengujian (Ha4) membuktikan variabel NIM berpengaruh signifikan terhadap ROA yang ditunjukkan dengan besarnya hasil uji T-tes dengan nilai t sebesar 0,669 dan tingkat signifikansi yang tidak lebih besar dari 0,05 yaitu 0,000. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis yang menyebutkan NIM berpengaruh signifikan terhadap ROA, sehingga hipotesis 4 menyatakan NIM memiliki pengaruh positif signifikan terhadap ROA diterima. Hasil dari uji parsial NIM sejalan dengan teori dari Mahardian (2008) NIM digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam menghasilkan pendapatan dari bunga dengan melihat kinerja bank dalam menyalurkan kredit, mengingat pendapatan operasional bank sangat tergantung dari selisih bunga dari kredit yang disalurkan dan teori dari Pandia (2012) yang menyebutkan Rasio Net Interest Margin (NIM) merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola aktiva produktifnya untuk menghasilkan pendapatan bunga bersih. Dari penelitian yang dilakukan Tan Sau Eng (2013), Sulindawati dkk (2015) juga menyatakan bahwa NIM memilki pengaruh signifikan terhadap ROA sehingga mendukung hasil dari penelitian yang dilakukan.
454
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
5. Pengaruh secara simultan CAR, BOPO, NPL,NIM terhadap ROA Pengujian F-tes diperoleh nilai F sebesar 18,44 dan nilai signifikasi sebesar 0,000 yang tidak lebih besar dari 5%. Dari hasil tersebut maka Ha5 diterima (H05 ditolak) yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel CAR, BOPO, NPL, NIM secara simultan terhadap ROA. Hal tersebut sesuai dengan hipotesis yang menyebutkan bahwa CAR, BOPO, NPL, NIM secara simultan terhadap ROA memiliki pengaruh signifikan diterima. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hutagalung (2013) dan Mitasari (2014) juga menyatakan bahwa secara simultan CAR, BOPO, NPL, NIM memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA sehingga mendukung hasil dari penelitian ini. Sementara dari hasil perhitungan koefisien determinasi R2 didapatkan hasil Adjusted R2 sebesar 0,609 atau 60,9%. Dari hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengaruh dari variable CAR, BOPO, NPL dan NIM memiliki pengaruh sebesar 60,9% terhadap ROA yang berarti 39,1% di pengaruhi oleh faktor lain di luar variable yang ditelilti. 5. Kesimpulan 1. Pengaruh CAR terhadap ROA melalui uji-T, CAR dengan nilai t hitung sebesar 0,759 dan taraf signifikasi sebesar 0,452 lebih besar dari 0,05 tersebut maka CAR bengaruh positif tetapi tidak signifikan terhadap ROA. Pengujian ini secara statistik membuktikan bahwa CAR memiliki positif pengaruh tetapi tidak signifikan terhadap ROA. Artinya kecukupan modal tidak memiliki pengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas sebuah bank. 2. Pengaruh BOPO terhadap profitabilitas yang dukur dengan ROA melalui uji-T, BOPO dengan nilai t hitung sebesar -5,345 dan taraf signifikasi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 tersebut maka BOPO memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap ROA. Pengujian ini secara statistik membuktikan bahwa BOPO memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Artinya efisiensi memiliki pengaruh signifikan terhadap profitabilitas sebuah bank. 3. Pengaruh NPL terhadap profitabilitas yang dukur dengan ROA melalui uji-T, NPL dengan nilai t hitung sebesar -3,114 dan taraf signifikasi sebesar 0,003 lebih kecil dari 0,05 tersebut maka NPL memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap ROA. Pengujian ini secara statistik membuktikan bahwa NPL memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap ROA. Artinya resiko kredit bermasalah memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap profitabilitas sebuah bank. 4. Pengaruh NIM terhadap profitabilitas yang dukur dengan ROA melalui uji-T dengan nilai t hitung sebesar 6,393 dan taraf signifikasi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 tersebut maka NIM memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA. Pengujian ini secara statistik membuktikan bahwa NIM memiliki pengaruh positif signifikan terhadap ROA. Artinya pendapatan dari bunga bersih memiliki pengaruh positif signifikan terhadap profitabilitas sebuah bank. 5. Pengaruh variabel independen CAR, BOPO, NPL, NIM secara simultan terhadap profitabilitas yang diukur dengan ROA melalui uji-F dengan nilai F hitung sebesar 18,144 dan taraf signifikasi sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05 tersebut maka CAR, BOPO, NPL, NIM yang secara simultan memiliki pengaruh signifikan terhadap ROA.
455
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Nilai dari Adjusted R2 menunjukan besarnya pengaruh dari variable independen terhadap variable dependen adalah 60,9% yang sisanya 39,1% dipengaruhi faktor eksternal diluar dari variablel yang diteliti. Dapat disimpulkan pengaruh dari kecukupan modal, efisiensi, kredit bermasalah, dan pendapatan bunga bersih secara bersamaan memiliki pengaruh signifikan terhadap profitabilitas sebuah bank.
456
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Daftar Pustaka Agus Salim (2006). Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Aldridge, John.E Siswanto Sutojo. (2008). Good Corporate Governance. Jakarta: PT.Damar Mulia Pustaka. Arikunto, S. (2010). Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktik. (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta. Arthesa, Ade dan Edian Handiman. (2006). Bank & Lembaga Keuangan Bukan Bank. Jakarta: Indeks. Dahlan, Siamat. (2008). Manajemen Lembaga Keuangan, Edisi Keempat. Lembaga Penerbit FE Universitas Indonesia, Jakarta. Fahmi, Irham. (2012). Analisis Laporan Keuangan. Cetakan Ke-2. Bandung: Alfabeta. Frianto, Pandia, (2012). Manajemen Dana dan Kesehatan Bank. Jakarta: Rineka Cipta. Ghozali, Imam. (2011). Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Edisi Ke-5. Semarang: BP Universitas Diponogoro. Harahap, Sofian Safitri. (2010). Analisis Kritis Atas Laporan Keuangan. Jakarta: Rajawali Persada. Istijanto, (2009). Aplikasi Praktis Riset Pemasaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kasmir, (2012). Analisis Laporan Keuangan. Edisi Keenam. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Kuncoro, Mudrajad., Suharjono. (2011). Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi. Edisi Kedua. Yogyakarta: BPFE Lukman, Dendawijaya. (2009). Manajemen Perbankan.Edisi Kedua. Jakarta: Ghalia Indonesia. Mudrajad, Kuncoro dan Suhardjono. (2011). Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta. Munawir. (2010). Analisis laporan Keuangan. Edisi 4. Yogyakarta: Liberty. Nazir, Mohamad. (2013). Metode Penelitian. Jakarta: Balai Aksara. Riyadi Selamet, (2006). Banking asset and liability management. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sugiyono. (2012). Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R &D. Bandung: Alfabetha.
457
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
Sutrisno, Edi. (2009). Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Taswan. (2010). Manajemen Perbankan Konsep, Teknik, dan Aplikasi. Edisi Kedua. Yogyakarta: UPP STIM YKPN Ambo, Aman. (2013). Analisis Kinerja Keuangan Dengan Menggunakan Metode Camel Pada Bank Umum Swasta Nasional Devisa Di Indonesia Tahun 2007-2011, SKRIPSI. NHAS Makasar. Billy Arma Pratama. (2010). Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Penyaluran Kredit Perbankan ( Studi Pada Bank Umum di Indonesia Periode tahun 2005-2009). Semarang: Universitas Dipenogoro, 397-403. ISSN 1907-9958. Nusantara, Ahmad Buyung. (2009). Analisis Pengaruh NPL, CAR, LDR, DAN BOPO Terhadap Profitabilitas Bank (Perbandingan Bank Umum Go Publik dan Bank Umum Non Go Publik di Indonesia Periode Tahun 2005-2007. Tesis Program e-Journal Ak. Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Akuntansi (Volume 2 No.1 Tahun 2014) Studi Magister Manajemen. Universitas Diponegoro. Puspitasari, Diana. (2009). Analisi pengaruh CAR, NPL, PDN, NIM, BOPO, LDR, Dan Suku Bunga Sbi Terhadap ROA. Tesis. Magister Manajemen, Universitas Diponegoro Semarang. Talattov, Abra Puspa Ghani. dan FX Sugiyanto. (2011). Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Perbankan di Indonesia Tahun 2003-2008. Semarang. Universitas Diponegoro. Booklet Perbankan Indonesia Edisi Maret 2014, Bank Indonesia Peraturan BI No 14/26/PBI/2012 tentang Kegiatan Usaha dan Jaringan Kantor Berdasarkan Modal Inti Bank. Peraturan BI No 15/2/PBI/2013 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Umum Konvensional. PSAK No. 31 Akuntansi Perbankan. SE BI No 13/13/DPNP tanggal 16 Desember 2011 perihal Perubahan Ketiga atas Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/30/DPNP tanggal 14 Desember 2001 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia. SE BI No 13/30/DPNP tanggal 16 Desember 2011 perihal Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank Umum serta Laporan Tertentu yang Disampaikan kepada Bank Indonesia. SE BI No 15/11/DPNP tanggal 8 April 2013 perihal Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek Bagi Bank Umum.
458
Apriangga Rachmandinur Purwanto
Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia Vol. 3, Nomor 3, Juni 2016
SE BI No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004 perihal Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank umum dan lampiran. UU Republik Indonesia nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan.
459
Agency Problem Analytical Hierarchy Process BOPO
: 380, 381, 382, 383, 384, 391, 392, 393, 394 : 370, 371, 372, 375, 376, 377, 378 : 438, 440, 441, 442, 444, 445, 449, 450, 451, 452, 453, 454, 455, 456, 458 CAR : 438, 440, 441, 442, 443, 444, 449, 450, 451, 452, 453, 454, 455, 456, 458 Change management : 319, 321, 324, 331, 332 Corporate Governance Self Assessment Checklist. : 357, 360, 361, 368 Corporate Social Responsibility Disclosure : 303 Culinary product souvenirs : 347 Delay : 334, 335, 339, 340, 341, 342, 343, 344, 345, 346 Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Surabaya : 370, 372, 373, 374, 375, 377, 378 Dividend Payment : 380, 383, 391, 392 Earnings management : 380, 381, 382, 383, 384, 385, 386, 387, 388, 389, 390, 391, 392, 393, 394, 395, 396, 397 E-Innovation : 370, 371, 372, 375, 376, 377, 378 Employee Performance : 319, 398 Excess Free Cash Flow : 380, 386, 389 Good Corporate Governance : 357, 358, 360, 362, 363, 368, 369 High-profile and low-profile industries : 303 Home industry : 347 Industri rumah tangga : 347, 348, 350, 351, 354, 355 Innovation : 370, 371, 372, 375, 376, 377, 378, 379 Kemasan : 347, 348, 350, 351, 354, 355, 356 Learning organization : 319, 324, 331, 332, 333 Legal : 347, 350, 355 Legalitas : 347, 348, 354, 355, 356 Marketing : 347, 356 NIM : 438, 441, 442, 446, 449, 450, 451, 452, 453, 454, 455, 456, 458 NPL : 438, 440, 441, 442, 445, 446, 449, 450, 451, 452, 453, 454, 455, 456, 458 On time performance : 334, 344, 345 Organizational Citizenship Behavior : 398, 399, 400, 402, 407, 409, 422, 423, 424, 425 Organizational Commitment : 398, 423, 424, 425 Packaging : 347 Pemasaran : 347, 348, 350, 352, 354, 355, 356 Produk kuliner oleh-oleh : 347, 348, 349, 350, 354, 355, 356 Profitabilitas : 438, 439, 440, 441, 442, 445, 449, 454, 455, 456, 458 Profitability : 438 Punctuality : 334, 346 Quality of services : 334 ROE : 303 Tobin’s Q : 303, 304, 307, 308, 309, 310, 311, 313 Transformational Leadership Style : 398
Sisilia Devina Permatasari, Supatmi ANALISIS PERBEDAAN TINGKAT PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DAN KINERJA KEUANGAN PERUSAHAAN PADA INDUSTRI HIGH-PROFILE DAN LOW-PROFILE
303
Joeliaty, Yayan Firmansyah PENGARUH MANAJEMEN PERUBAHAN TERHADAP ORGANISASI PEMBELAJARAN SERTA DAMPAKNYA TERHADAP KINERJA PEGAWAI PADA PT. KAI (PERSERO) DAOP II BANDUNG
319
T. Aria Auliandri, Mutiya Kurniastuti EVALUASI ON-TIME PERFORMANCE PADA MASKAPAI TIGER AIRWAYS RUTE SURABAYA-SINGAPURA DENGAN MENGGUNAKAN DIAGRAM KONTROL, DIAGRAM PARETO, DAN DIAGRAM SEBAB-AKIBAT
334
Cahyani Tunggal Sari, BRM Suryo Triono PERAN KEMASAN DAN LEGALITAS DALAM PEMASARAN DOMESTIK DAN MANCANEGARA PRODUK KULINER OLEH-OLEH KHAS SOLO
347
Rudy Hartanto, Helni Mutiarsih Jumhur ANALISIS IMPLEMENTASI GOOD CORPORATE GOVERNANCE PADA PT INDUSTRI TELEKOMUNIKASI INDONESIA
357
Adhika Dwi Pramudita, Rinabi Tanamal STUDI ANALISIS DAN PERANCANGAN SISTEM E-INNOVATION DENGAN MENGGUNAKAN VOTING DAN ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS UNTUK MENAMPUNG IDE INOVASI DI DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN KOTA SURABAYA
370
Marika Suma Raya Sembiring, Kathleen Kusuma Nugroho THE INFLUENCE OF FIRMS WITH EXCESS FREE CASH FLOW AND LOW GROWTH PERSPECTIVE TOWARDS EARNING MANAGEMENT
380
Prima Kartika Sari, Euis Soliha KOMITMEN ORGANISASIONAL DAN ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB) SEBAGAI PEMEDIASI PADA PENGARUH GAYA KEPEMIMPINAN TRANSFORMASIONAL TERHADAP KINERJA PEGAWAI
398
Fani Firmansyah, Refila Aulina STRATEGI PENANGANAN PEMBIAYAAN BERMASALAH KPR PADA PT. BANK TABUNGAN NEGARA (PERSERO) TBK KANTOR CABANG SYARIAH MALANG
427
Apriangga Rachmandinur, Purwanto ANALISA PENGARUH CAR, BOPO, NPL, NIM TERHADAP PROFITABILITAS BANK
438
@ Rp. 400.000 @ Rp. 1.000.000 @ Rp. 200.000
Fax: 031 502 6288 E-mail:
[email protected]
Fax: 031 502 6288 E-mail:
[email protected]