PENERAPAN AJARAN KAUSALITAS TERHADAP TINDAK PIDANA YANG MENYEBABKAN HILANGNYA NYAWA ORANG (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1351 K/Pid/1988)
JURNAL Di ajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh gelar Sarjanah Hukum
Oleh YOGI TRIYONO 130200274 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
PENERAPAN AJARAN KAUSALITAS TERHADAP TINDAK PIDANA YANG MENYEBABKAN HILANGNYA NYAWA ORANG (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1351 K/Pid/1988)
JURNAL Di ajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh gelar Sarjanah Hukum
Oleh YOGI TRIYONO 130200274 DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Disetujui oleh : Ketua Departemen Hukum Pidana
Dr. M.Hamdan, SH.,MH. NIP: 195703261986011001
Editor
Nurmalawaty, SH.,M.Hum NIP: 196209071988112001
FAKULTAS HUKU UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2017
ABSTRAKSI Yogi Triyono * Nurmalawaty, SH.,M.Hum ** Dr. M.Ekaputra, SH.,M.Hum *** Jurnal ini berbicara tentang peranan ajaran kausalitas dalam tindak pidana yang meyebabkan hilangnya nyawa orang, khususnya dalam kasus kelalaian pada saat di jalan raya yang terjadi di Purworejo. Tidak mudah untuk menentukan apa yang dianggap sebagai sebab terjadinya suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana, karena suatu akibat dapat timbul disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan, termasuk dalam peristiwa yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang. Permasalahan dari penulisan skripsi ini yaitu terletak pada bagaimana ajaran kausalitas dalam hukum pidana indonesia, bagaimana pengaturan tentang tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang dalam KUHP, serta bagaimana penerapan ajaran kausalitas dalam tindak pidana khususnya kasus dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1351 K/Pid/1988. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan metode pendekatan kualitatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang di peroleh dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan. Teknik analisis data yang di gunakan adalah teknik analisis data kualitatif, yaitu dengan mengumpulkan data, mengkualifikasikan, kemudian menghubungkan teori yang berhubungan dengan masalah dan akhirnya menarik kesimpulan untuk menentukan hasil. Ajaran kausalitas terbagi menjadi empat teori yaitu Teori Conditio Sine Qua non, Teori mengindividualisir, Teori Menggeneralisir dan Teori Relevansi. Hukum pidana Indonesia tidak secara eksplisit mengacu pada salah satu ajaran yang ada, para pakar hukum lah yang membuat suatu pandangan tentang ajaran kasusalitas yang manakah yang di pakai dalam suatu tindak pidana. Dalam KUHP di atur tentang tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang yaitu kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven), kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian (Culpose misdrijven) serta kejahatan terhadap jiwa (penganiayaan) yang mengakibatkan kematian. Pada kasus didalam putusan Mahkamah Agung No.1351 K/Pid/1988, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa teori kausalitas yang diterapkan oleh hakim adalah teori Relevansi.
*
Penulis, mahasiswa Departemen Hukum Pidana Universita Sumatera Utara Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara *** Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **
i
A. PENDAHULUAN Tiap- tiap peristiwa pasti ada sebabnya tidak mungkin terjadi begitu saja, dapat juga suatu peristiwa menimbulkan peristiwa yang lain. Disamping hal tersebut diatas dapat juga terjadi satu peristiwa sebagai akibat satu peristiwa atau beberapa peristiwa yang lain. Peristiwa sebab dan akibat tersebut di sebut dengan causalitas.1 Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana ajaran causalitas ini bertujuan untuk memberikan jawaban atas pertanyaan bilamanakah suatu perbuatan dipandang sebagai suatu sebab dan akibat yang timbul atau dengan perkataan lain ajaran causalitas bertujuan untuk mencari hubungan sebab dan akibat seberapah jauh akibat tersebut ditentukan oleh sebab. Kausalitas dalam hukum pidana terkait dengan sebuah pertanyaan besar yaitu siapakah yang bisa ditempatkan sebagai “penyebab” atas hasil dari tindak pidana? Jawaban atas pertanyaan ini memiliki hubungan erat dengan apakah ada hubungan sebab akibat antara perbuatan seorang pelaku dengan hasil kejahatan, atau apakah hasil dari kejahatan tersebut sudah mencukupi untuk meminta pertanggungjawaban pelaku tersebut. Ajaran kausalitas dalam ilmu pengetahuan hukum pidana digunakan untuk menentukan tindakan yang mana dari serangkaian tindakan yang dipandang sebagai sebab dari munculnya akibat yang dilarang. Jan Remmelink, mengemukakan bahwa yang menjadi fokus perhatian para yuris hukum pidana
1 E. Utrech, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana Suatu Pengantarhukum Pidana Untuk Tingkat Pelajaran Sarjanah Mudahukum Suatu Pembahasan Pelajaran Umum, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000), Hal.381.
1
adalah apa makna yang dapat dilekatkan pada pengertian kausalitas agar mereka dapat menjawab persoalan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban. 2 Tidak mudah untuk menentukan apa yang dianggap sebagai sebab terjadinya suatu akibat yang dilarang oleh hukum pidana, karena suatu akibat dapat timbul disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berhubungan. Misalnya dalam suatu peristiwa yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang pada dasarnya perlu di kaji lebih lanjut dengan teori kausalitas ini, tak menutup kemungkinan seperti rangkaian peristiwa yang terjadi di jalan raya yang menyebabkan kecelakaan dan berujung pada kematian. Pada perkembanganya lalulintas jalan dapat menjadi masalah bagi manusia, karena semakin banyaknya manusia yang bergerak atau berpindahpindah dari suatu tempat ke tempat lainya, dan semakin besarnya masyarakat yang menggunakan sarana transportasi angkutan jalan, maka hal inilah yang akan mempengaruhi tinggi rendahnya angka kecelakaan lalulintas. Menurut pengertian umum di dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalulintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.3 Akibat hukum dari kecelakaan lalulintas adalah adanya pidana bagi si pembuat atau penyebab terjadinya peristiwa itu. Hukum pidana mengenal dua bentuk kesalahan, yaitu kesengajaan dan kealpaan. Kecelakaan lalu lintas sebagai 2
Jan Remmelink, Hukum Pidana (Jakarta : Pt. Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal.
3
Pasal 1 Angka 24 Uu Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
128-134.
2
salah satu bentuk tindak pidana yang mengadopsi suatu bentuk kesalahan berupa kealpaan memiliki suatu masalah dalam menentukan siapa yang harus dipersalahan. Hal ini berkaitan dengan suatu kecelakaan yang didahului dengan beberapa peristiwa yang pada ahirnya berujung pada hilannya nyawa orang lain (kematian). Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengetahui sejauh mana penerapan ajaran kausalitas terhadap suatu bentuk kealpaan dalam kecelakaan lalulintas yang diawali beberapa rangkaian peristiwa yang berujung pada kematian. Yang mana hal ini dirangkup dalam skripsi yang berjudul “Penerapan Ajaran Kausalitas Terhadap
Tindak Pidana Yang
Menyebabkan Hilangnya Nyawa Orang (Studi Putusan Mahkamah Agung No. 1351 K/Pid/1988)
B. PERMASALAHAN 1. Bagaimana ajaran kausalitas di dalam hukum pidana Indonesia ? 2. Bagaimana pengaturan tentang tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang dalam KUHP ? 3. Bagaimana penerapan ajaran kausalitas dalam tindak pidana khususnya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1351 K/Pid/1988 ?
C. METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang menggunakan bahan pustaka atau data sekunder yang diperoleh dari berbagai literatur dan peraturan
3
perundang-undangan yang berkaitan dengan skripsi ini. Selain itu skripsi ini juga menganalisis mengenai peranan ajaran kausalitas dalam suatu tindak pidana guna menentuakan sebab hilangnya nyawa orang dalam Putusan Mahkamah Agung No.1351 K/Pid/1988.
D. HASIL PENELITIAN 1. Ajaran Kausalitas Dalam Hukum Pidana Indonesia a. Macam-macam Ajaran Kausalitas 1) Teori Conditio Sine Quanon Teori ini dikemukakan oleh Von Buri, seorang berkebangsaan Jerman pada tahun 1873. Ajaran Von Buri ini dapat dikatakan sebagai dasar dari ajaran kausalitas,
karena
penyempurnaan
berbagai
atau
teori
setidaknya
yang masih
muncul
kemudian
berkaitan
dengan
merupakan teori
yang
dikemukakannya. Menurut Von Buri dalam Sudarto, tiap syarat adalah sebab, dan semua syarat itu nilainya sama, sebab kalau satu syarat tidak ada, maka akibatnya akan lain pula. Tiap syarat baik positif maupun negatif untuk timbulnya suatu akibat itu adalah sebab, dan mempunyai nilai yang sama. Kalau satu syarat dihilangkan tidak akan mungkin terjadi suatu akibat konkrit, seperti yang senyata nyatanya menurut waktu, tempat dan keadaan. Tidak ada syarat yang dapat dihilangkan tanpa menyebabkan berubahnya akibat. Contoh : A dilukai ringan, kemudian dibawa ke dokter, dalam perjalanan ia tertimpa genting lalu mati. Menurut teori conditio sine qua non penganiayaan ringan terhadap A itu juga merupakan sebab dari kematian A.4 4
Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan : USU Press Cetakan ke-2 2015), hal.120.
4
2) Teori Yang Mengindividualisir Teori individualisir berusaha membuat perbedaan antara ‘syarat’ dan ‘sebab’. Menurut teori ini dalam tiap-tiap suatu peristiwa itu hanya ada satu sebab, yaitu syarat yang paling menentukan untuk timbulnya suatu akibat. 5 Teori ini melihat semua syarat yang ada setelah perbuatan terjadi (post factum) dan berusaha utuk menemukan satu syarat yang bisa dianggap sebagai syarat yang paling menentukan atas timbulnya suatu akibat.6 3) Teori Yang Mengeneralisir Teori ini menyatakan bahwa dalam mencari sebab (causa) dari rangkaian faktor yang berpengaruh atau berhubungan dengan timbulnya akibat dilakukan dengan melihat dan menilai pada faktor mana yang secara wajar dan menurut akal serta pengalaman pada umumnya dapat menimbulkan suatu akibat.7 Pencarian faktor penyebab tidak berdasarkan faktor setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya, tetapi pada pengalaman umum yang menurut akal dan kewajaran manusia. Persoalannya kemudian bagaimana menentukan sebab yang secara akal dan menurut pandangan umum menimbulkan akibat? Berdasarkan pertanyaan ini kemudian muncul teori Adequat yaitu:8 a) Teori adequat subyektif Dipelopori oleh J. Von Kries yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab dari rangkaian faktor yang berhubungan dengan terwujudnya delik, hanya satu sebab saja yang dapat diterima, yakni yang sebelumnya telah dapat diketahui oleh 5
P.A.F Lamintang, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung : Citra Adtya bhakti, 1997), Hal.239 6 Ibid. 7 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2: Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Pemidanaan & Peringanan Pidana, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal.222. 8 A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta:Sinar Grafika,2007), hlm.211.
5
pembuat. Contoh, si A mengetahui bahwa si B mengidap penyakit jantung dan dapat menimbulkan kematian jika dipukul oleh sesuatu. Kemudian si A tiba-tiba memuukul si B dengan yang berakibat pada kematiannya, maka perbuatan mengejutkan itu dikatakan sebagai sebab.9 b) Teori adequat objektif Teori ini dikemukakan oleh Rumelin, yang menyatakan bahwa yang menjadi sebab atau akibat, ialah faktor objektif yang ditentukan dari rangkaian faktor-faktor yang berkaitan dengan terwujudnya delik, setelah delik terjadi. Atau dengan kata lain causa dari suatu akibat terletak pada faktor objektif yang dapat dipikirkan untuk menimbulkan akibat. untuk lebih jelasnya tentang perbedaan antara teori adequat subjektif dengan teori adequat objektif serta penerapanya, sunguh tepat contoh yang di berikan oleh Prof. Moeljatno di bawah ini.10 Seorang juru rawat tetap memberikan obat kepada seorang pasien walaupun telah dilarang oleh dokter untuk memberikan obat pada pasien tersebut. Sebelum obat itu diberikan kepada pasien, tanpa sepengetahuan si juru rawat ada orang lain memasukkan racun ke dalam obat itu sehingga mengakibatkan matinya pasien.11 Menurut ajaran Von Kroes (adequat subjektif), karena jururawat tidak dapat membayangkan atau tidak mengetahui perihal dimassukanya racun pada obat yang dapat menimbulkan kematian jika diminum maka perbuatan meminumkan obat pada pasien bukanlah penyebab kematian pasien. Perbuatan
9
Ibid. Ibid, hal.225. 11 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan : USU Press Cetakan ke-2 2015), hal.128. 10
6
meminumkan obat dengan kematian tidak ada hubungan kausal atau hubungan sebab akibat.12 Lain halnya apabila dipandang dari teori Rumelin (adequat objektif). Oleh karena perbuatan orang lain memasukkan racun ke dalam obat tadi menjadi pertimbangan dalam upaya mencari penyebab matinya walaupun tidak diketahui oleh juru rawat, perbuatan juru rawat meminumkan obat yang mengandung racun adalah adequat terhadap matinya karena itu ada hubungan kausal dengan akibat kematian pasien.13 4) Teori Relevansi teori relevansi diikuti oleh langenmeijer dan Mezger.
Teori ini tidak
dimulai dengan mengadakan perbedaan antara musabab dan syarat seperti teori menggeneralisir
dan
teori
mengindividualisir,
tetapi
dimulai
dengan
menginterprestasi rumusan delik yang bersangkutan. Dari rumusan delik yang hanya memuat akibat yang dilarang dicoba untuk menentukan kelakuan-kelakuan apakah kiranya yang dimaksud pada waktu membuat larangan tersebut. Jadi pada teori relevansi ini pertanyaan pentingnya adalah : pada waktu undang-undang menentukan rumusan delik itu, kelakuan-kelakuan yang manakah yang dibayangkan olehnya dapat menimbulkan akibat yang dilarang?14 b. Ajaran kausalitas dalam KUHP dan RUU-KUHP 2015 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak secara eksplisit merujuk pada salah satu ajaran yang ada. Hal ini dapat disimpulkan dari riwayat pembentukan
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana “Stelser pidana, tindak pidana, teori-teori pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana”, bagian 2, (Jakarta : PT Raja Grafindo persada, 2007), hal. 225. 13 Ibid. 14 Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Medan : USU Press Cetakan ke-2 2015), hal.130 12
7
KUHP maupun dari Pasal-Pasal di dalam KUHP. Remmelink mendapat kesan, bahwa pembuat undang-undang beranjak semata-mata dari kenyataan kehidupan sehari-hari, dengan kata lain beranjak dari pemahaman umum yang diberikan pada pengertian sebab. Tampaknya hal ini dipandang hanya sebagai persoalan pada tataran fakta. Hakim sekadar menetapkan adanya hubungan demikian atau tidak (factual cause). Ini tidak menutup kemung-kinan bahwa pada saat itu sudah dikenal ajaran filosofis maupun hukum pidana yang menyatakan bahwa tiap kejadian, yang tanpanya peristiwa pidana tidak akan terjadi, dapat dipandang sebagai sebab. Meskipun demikian, berkenaan dengan delik-delik yang dikualifikasi, pembuat undang-undang pasti sudah hendak memperhitungkan perlunya pembatasan bagi penentuan kejadian yang layak disebut penyebab. Pembuat undang-undang tidak mung-kin bertujuan menuntut pelaku untuk bertanggung jawab atas semua hal (termasuk yang paling tidak mungkin) yang berkaitan dengan delik. Menurut Remmelink bahwa ajaran relevansilah yang paling mendekati sebagai landasan pemahaman kausalitas dalam KUHP (Belanda maupun Indonesia). Berbeda dengan Remmelink, menurut Wirjono Prodjodikoro KUHP tidak menganut suatu teori kausalitas tertentu. Jaksa dan Hakim diberi keleluasaan memilih diantara teori-teori kausalitas yang dikenal.15 Dalam RUU-KUHP 2015 tidak memberikan bangunan konseptual tentang ajaran kausalitas, namun dalam Buku Kedua, ditemukan rumusan tindak pidana materiil, tindak pidana yang dikualifisir oleh akibatnya dan tindak pidana omisi yang tidak murni.
15
Ibid, hal.131.
8
Di dalam RUU-KUHP 2015 ditemukan Pasal-Pasal yang perumusannya memiliki elemen causal verband yang terdiri dari tindak pidana materiil, tindak pidana yang dikualifisir dengan akibat, omisi tidak murni, tindak pidana karena kealpaannya menimbulkan akibat yang dilarang. 2. Pengaturan Tindak Pidana Yang Mengakibatkan Hilangnya Nyawa Orang Lain Dalam Kuhp a. Tindak Pidana Terhadap Nyawa (Pembunuhan) Kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain itu oleh Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) yang dewasa ini berlaku telah disebut sebagai suatu pembunuhan. Tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa (misdrijven tegen het leven) adalah berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Untuk menghilangkannya nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain.16 Atas dasar objeknya (kepentingan hukum yang dilindungi), maka kejahatan terhadap nyawa dengan sengaja dibedakan dalam 3 (tiga) macam, yaitu: 1) Kejahatan terhadap nyawa orang pada umunya, dimuat dalam Pasal: 338, 339, 340, 344, 345. 2) Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat atau tidak lama setelah dilahirkan, dimuat dalam Pasal: 341, 342, dan 343 3) Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan ibu (janin), dimuat dalam Pasal: 346, 347, 348, dan 349. b. Tindak Pidana Terhadap Nyawa Karena Kelalaian
9
Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian adalah kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 359 KUHP yang menyatakan: “Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun” Unsur-unsur dari rumusan tersebut di atas adalah: 1) Adanya unsur kelalaian (culpa) 2) Adanya wujud perbuatan tertentu 3) Adanya akibat kematian orang lain 4) Adanya hubungan kausa antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain. Culpa adalah “kesalahan pada umumnya”, tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.17 c. Tindak Pidana Terhadap Tubuh (Penganiayaan) yang Mengakibatkan Kematian Secara umum tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan”, mengenai arti dan makna kata penganiayaan tersebut banyak perbedaan diantara para ahli hukum dalam memahaminya. Penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit (pijn) atas luka (letsel) pada tubuh orang lain. Adapula yang memahami penganiayaan adalah “dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka, kesengajaan itu harus dicantumkan dalam surat tuduhan”
17
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (PT Refika Aditama. 2003), hal. 72.
10
sedangkan dalam doktrin/ilmu pengetahuan hukum pidana penganiayaan mempunyai unsur sebagai berikut. 1) Adanya kesengajaan 2) Adanya perbuatan 3) Adanya akibat perbuatan (yang dituju), yakni a) rasa sakit pada tubuh b) luka pada tubuh Unsur pertama adalah berupa unsur subjektif (kesalahan), unsur kedua dan ketiga berupa unsur objektif. Tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatanperbuatannya sehinnga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan
kematian
bila
kita
lihat
dari
unsur
kesalahannya,
dan
kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan (mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II, pasal 351 s/d 356. Penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang di atur dalam BAB XX Buku II, pasal 351 ayat 3, pasal 353 ayat 3, pasal 354 ayat 2, dan pasal 355 ayat 2. 3. Penerapan Ajaran Kausalitas Dalam Tindak Pidana a. Ajaran Kausalitas Dalam Tindak Pidana Ommissionis dan Tindak Pidana Commissionis Per Ommissionis Commissa Tindak pidana commissionis adalah tindak pidana yang berupa berbuat (sesuatu yang dilarang - jadi berupa pelanggaran terhadap larangan), sedangkan tidak pidana omisionis adalah tindak pidana yang berupa tidak berbuat (sesuatu yang diperintahkan - jadi berupa pelanggaran terhadap perintah). Tindak pidana
11
commissionis per ommissionis commissa yang
terjadi adalah pelanggaran
terhadap larangan tetapi dilakukannya dengan cara tidak berbuat.18 Berkaitan dengan pembicaraan tentang Ajaran kausalitas, maka dari tiga jenis tindak pidana di atas yang tidak mempunyai relevansi dengan ajaran kausalitas adalah tindak pidana omisionis, sebab tindak pidana omisionis merupakan tindak pidana formil yaitu tindak pidana yang sudah dianggap telah terjadi dengan telah dilakukannya perbuatan yang dilarang, tanpa mempersoalkan akibat (tindak pidana). b. Penerapan Ajaran Kausalitas Dalam Tindak Pidana Yanng Menyebabkan Hilangnya Nyawa Orang (Studi Putusan Mahkamah Agung No.1351 K/Pid/1998) 1) Kasus Posisi Sebuah kendaraan Umum Pick Up No. Polisi, AA 2018.C. dikemudikan oleh Bukhari (28 th). Kendaraan ini memuat tiga penumpang. Seorang duduk dimuka disamping sopir, sedaang dua penumpang lainnya duduk dibagian belakang. Kendaraan Pick Up ini melaju dijalan umum, arah timur ke barat, dari Kuatoarjo menuju ke Kebumen. Saat itu cuaca mendung agak gelap, karena turun hujan. Keadaan jalan umum lurus dan licin karena basah. Didepan kendaraan Pick Up ini, sedang berjalan dipinggir jalan umum tersebut sebuah becak dan sebuah sepeda yang dinaiki oleh Maniso yang membonceng Suroso. Salah seorang penumpang kendaraan Pick Up memberi tanda kepada sopir, bahwa ia akan turun. Mendengar permintaan penumpang ini, maka sopir
18
Ibid. Hal.182.
12
Bukhari segera mendahului becak dan sepeda tersebut dan selanjutnya menghentikan kendaraan Pick Upnya itu persis disepan sepeda yang sedang berjalan tersebut, dengan maksud untuk menurunkan penumpangnya. Begitu kendaraan Pick Up nya berhenti secara tiba-tiba, maka sopir Pick Up tersebut mendengar suara mobilnya ditabrak dari belakang oleh sepeda yang ditumpangi dua orang tadi. Setelah melihat kebelakang, ia mengetahui, bahwa sepeda dan pengendaranya jatuh dijalan raya. Tidak lama kemudian, dari arah berlawanan (muka) dari Barat ke Timur melaju kendaraan truk box berjalan dengan kencangnya dan tak terduga lalu menggilas sepeda bersama dua orang pengendaranya yang sedang jatuh dijalan raya karena membentur kendaraan Pick Up dari belakang tadi. Karena tergilas truk box, maka kedua pengendara sepeda (Maniso dan Suroso) menderita luka parah dan setelah di Rumah Sakit, lalu meninggal dunia. Kejadian ini diusut oleh pihak Kepolisian dan selanjunya oleh pihak Kejaksaan Sopir kendaraan Pick Up (Bukhari) ditarik sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan Negeri didakwa melakukan delict ex pasal 359. K.U.H Pidana yaitu: “Karena kelalaiannya menyebabkan hilangnya nyawa orang lain. 2) Analisis Kasus Apabila kasus di atas di telaah dari sudut pandang teori Conditio Snie Qua non, semua causa mempunyai nilai yang sama atau dengan kata lain mempunyai peranan dan andil yang sama. Apabila salah satu sebab tidak ada maka akan menimbulkan akibat yang lain. Atau dengan kata lain matinya korban tidak akan terjadi apabila salah satu sebab itu tidak ada.
13
Oleh karena itu jika di telusuri melalui teori ini, maka contoh kasus di atas tidak akan mencapai titik ahir karena harus menyelusuri semua sebab-sebab yang menjadi rangkaian. Yang kedua adalah teori individualisir, dari contoh kasus diatas dapat kita lihat bahwa berdasarkan teori yang dikatakan oleh birkmeyer, faktor yang dominan yang paling kuat pengaruhnya terhadap matinya si korban adalah korban di tabrak oleh truk box. Apabila ajaran birkmeyer ini digunakan pada contoh kasus tersebut maka peristiwa terdakwa yang berhenti secara tiba-tiba di depan sepeda korban yang kemudian mengakibatkan korban terjatuh ke kanan jalan setelah menabrak bagian belakang mobil pick up terdakwa, bukanlah sebagai faktor penyebab kematian si korban tetapi sebagai faktor syarat saja. Oleh karena itu terdakwa tidak bertanggung jawab secara langsung karena bukan terdakwa yang menabrak korban hingga tewas. Yang ketiga adalah teori yang menggenalisir. Seperti yang sudah dibahas pada bab sebelumnya bahwa teori Mangeneralisir ini melahirkan dua pendirian yaitu Teori Adequat Subjektif dan Teori Adequat Objektif.Apabila kasus diatas kita telaah dari pandangan teori adequat subjektif yang menyatakan bahwa faktor penyebab adalah faktor yang menurut kejadian normal adalah adequat (sebanding) atau layak dengan akibat yang timbul, yang faktor mana di ketahui atau di sadari si pembuat sebagai adequat untuk menimbulkan akibat. Dari contoh kasus di atas, maka faktor yang sebanding dengan akibat adalah faktor truk box yang menabrak korban, yang akibatnya adalah kematian.Perbuatan terdakwa sama sekali tidak menghendaki matinya korban.
14
Menurut pandangan teori adequat objektif yang mengatakan bahwa Bagaimana kenyataan objektif setelah peristiwa terjadi beserta akibatnya Apakah faktor tersebut menurut akal dapat dipikirkan Untuk menimbulkan akibat.19 Apbila di pandang dari teori inimaka kasus di atas dimana terdakwa menghentikan mobil Pick up nya sama sekali tidak dapat menimbulkan akibat berupa kematian. Yang ke empat
teori relevansi yang di ikuti oleh langenmeijer dan
mazger. Teori ini tidak dimulai dengan mengadakan perbedaan antara musabab dan syarat, seperti teori yang menggeneralisir dan teori mengindividualisir, tetapi di mulai dengan menggunakan interpretasikan rumusan delik yang bersangkutan. Dari rumusan delik yang hanya memuat akibat yang di larang di coba untuk menentukan kelakuan kelakuan apakah kiranya yang di maksud pada saat pembuat larangan tersebut. Jadi kalo kita lihat contoh kasus di atas pasal 359 merumuskan tentang unsur kelalaian yang mana kelalaian tersebut luas cakupannya dalam bentuk apapun yang dapat menimbulkan matinya seseorang. Maka jelas perbuatan terdakwa yang lalai di jalan umum dapat mengakibatkan apa saja termasuk matinya orang. Oleh karena itu setelah memahami berbagai macam ajaran kausalitas pada bab sebelumnya dan memahami pembuktian yang tertulis dalam putusan tersebut dan melihat persesuaian antara alat bukti, dapat disimpulkan bahwa putusan Mahkamah Agung No.1351 K/Pos/1998 A.n Terdakwa A.Buchori ini cenderung pada teori relevansi.
19 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana “Stelser pidana, tindak pidana, teori-teori pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana”, bagian 2,(Jakarta : PT Raja Grafindo persada, 2007), hal. 222.
15
E. PENUTUP 1. Kesimpulan a) Ajaran kausalitas dalam hukum pidana Indonesia terbagi atas bebera teori yaitu teori Conditio Sine Qua non, teori yang mengindividualisir, teori yang menggeneralisir dan teori relevansi. KUHP maupun RUU-KUHP tidak secara eksplisit mengacu pada salah satu ajaran yang ada, para pakar hukum lah yang membuat suatu pandangan tentang ajaran kasusalitas yang manakah yang di pakai sebagai landasan pemahaman dalam KUHP maupun RUU-KUHP. b) Kejahatan terhadap nyawa dalam KUHP dapat dibedakan atau dikelompokkan atas 2 dasar yaitu : Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus misdrijven) yang di atur dalam Pasal 338 s/d Pasal 349 KUHP dan Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan karena kelalaian (Culpose misdrijven) yang di atur dalam Pasal 359 KUHP seta ada pula kejahatan terhadap jiwa (penganiayaan) yang dapat pula mengakibatkan kematian yang di atur dalam Pasal 351 ayat 3, Pasal 353 ayat 3, Pasal 354 ayat 2 dan Pasal 355 ayat 2 KUHP. c) Pada kasus dalam putusan MA No.1351 K/Pid/1988 ini bahwa keyakinan hakim sangatlah penting untuk menentukan ajaran kausalitas yang akan di terapkan. Dengan mengacu pada fakta hukum dapat dilihat bahwa keterangan saksi, keterangan terdakwa serta barang bukti menemukan titik persesuaian. Oleh karena itu hakim Mahkamah Agung dalam memutuskan perkara No. 1351 K/Pid/1988 sesuai jika di kaitkan dengan Teori Relevansi. Teori relevansi ini tidak dimulai dengan mengadakan perbedaan antara musabab dan syarat seperti teori menggeneralisir dan teori mengindividualisir, tetapi
16
dimulai dengan menginterprestasi rumusan delik yang bersangkutan. Dari rumusan delik yang hanya memuat akibat yang dilarang dicoba untuk menentukan kelakuan-kelakuan apakah kiranya yang dimaksud pada waktu membuat larangan tersebut. 2. Saran a) Dalam hukum pidana indonesia perlu adanya ilmu yang pempelajari khusus tentang ajaran kausalitas, karena dalam hukum pidana indonesia khususnya KUHP tidak mengatur secara khusus dan jelas tentang ajaran kausalitas mana yang di anut dan menjadi patokan yang tetap, melainkan tergantung pada kasus yang terjadi. b) Perlu di lakukan pengkajian secara terperinci terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana, khususnya terhadap ketentuan yang mengatur tentang kualifikasi tindak pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang yang memerlukan ajaran kausalitas. c) Perlu di tegaskan bagi setiap penegak hukum khususnya hakim di indonesia agar mempunyai keyakinan yang teguh dalam menentukan ajaran kausalitas yang akan di gunakan untuk menyelesaikan perkara pidana agar keadilan yang seadil adilnya dapat tercapai
17
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Abidin, Zainal Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2007. Buku Ajar Konsep Dasar Hukum Pidana, Malang : Fakultas Syaria UIN ,2004. Chasawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Jakarta : PT Raja Grafindo, Jakarta, 2002. Chazawi, Adami,
Pelajaran Hukum Pidana “Stelser Pidana, Tindak Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana”, Bagian 2, Jakarta :PT Raja Grafindo Persada, 2007. Djaluli, A, Fiqh Jinayah-Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Ekaputra, Mohammad, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan : USU Press Cetakan Ke-2, 2015. Fazar, Mukti ND, Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Dan Empiris, Yogyakarta : Pustaka Belajar, 2010. Lamintang, P.A.F, Dasar- Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Citra Adtya Bhakti, 1997. Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Persada Media Group, 2008. Marpaung, Leden, Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh (Pemberantasan Dan Prevensinya), Jakarta : Sinar Grafika Cetakan Pertama, 2000. Tongat, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Prespektif Pembaharuan, Malang : UMM Pres, 2009.
18
B. UNDANG-UNDANG Kitab Undng-Undang Hukum Pidana Naskah Akademik RUU-KUHP 2015 UU Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan
C. INTERNET http://reformasikuhp.org/ajaran-kausalitas-dalam-r-kuhp-2/ diakses pada tanggal 14 februari 2017 http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21602/Pasal-penghasutan-kembalidiusulkan-menjadi-delik-materil diakses pada tanggal 14 februari 2017 Pembunuhan
Menurut
KUHP,
http://www.referensimakalah.com/
2013/03/pembunuhan -menurut-kuhp.html, diakses pada hari Jumat tanggal 17 maret 2017
19