Mazhab menurut bahasa: isim makan (kata benda keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi) (Al-Bakri, I‘ânah athThalibin, I/12). Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya, “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq). Menurut istilah: Kumpulan pendapat mujtahid yg berupa hukum-hukum Islam, yg digali dari dalil-dalil syariat yg rinci serta berbagai kaidah (qawâ’id) & landasan (ushûl) yg mendasari pendapat tersebut, yg saling terkait satu sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yg utuh (Nahrawi, 1994: 208; Abdullah, 1995: 197).
Berbagai mazhab fikih lahir pada masa keemasan fikih, yaitu dari abad ke-2 H hingga pertengahan abad ke-4 H dalam rentang waktu 250 tahun di bawah Khilafah Abbasiyah yang berkuasa sejak tahun 132 H. Pada masa ini, tercatat telah lahir paling tidak 13 mazhab fikih (di kalangan Sunni) dgn para imamnya masing-masing, yaitu: Imam Hasan al-Bashri (w. 110 H), Abu Hanifah (w. 150 H), alAuza‟i (w. 157 H), Sufyan ats-Tsauri (w. 160 H), al-Laits bin Sa‟ad (w. 175 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), asy-Syafi‟i (w. 204 H), Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), Dawud azh-Zhahiri (w. 270 H), Ishaq bin Rahawaih (w. 238 H), Abu Tsaur (w. 240 H), dan Ibn Jarir athThabari (w. 310 H) (Lihat: al-‟Alwani, 1987: 88; as-Sayis, 1997: 146).
Berbagai mazhab terbentuk karena adanya perbedaan (ikhtilâf) dalam masalah ushûl maupun furû‘ sebagai dampak adanya berbagai diskusi (munâzharât) di kalangan ulama. Ushul terkait dengan metode penggalian (tharîqah alistinbâth), sedangkan furû‘ terkait dengan hukum-hukum syariat yg digali berdasarkan metode istinbâth tersebut. Perbedaan metode penggalian (tharîqah al-istinbâth) hukum tersebut disebabkan adanya perbedaan dlm 3 (tiga) hal, yaitu: (1) perbedaan dalam sumber hukum (mashdar alahkâm); (2) perbedaan dalam cara memahami nash; (3) perbedaan dalam sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash.
Hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu: 1. Metode mempercayai as-Sunnah serta kriteria untuk menguatkan satu riwayat atas riwayat lainnya. Para mujtahidin Irak (Abu Hanifah dan para sahabatnya), misalnya, berhujjah dengan sunnah mutawâtirah dan sunnah masyhûrah; sedangkan para mujtahidin Madinah (Malik dan sahabat-sahabatnya) berhujjah dengan sunnah yang diamalkan penduduk Madinah. (Khallaf, 1985: 57-58). 2. Fatwa sahabat dan kedudukannya. Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi‟i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya. (Khallaf, 1985: 58-59).
3. Kehujjahan Qiyas. Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. (Khallaf, 1985: 59). 4. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma. Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah.
Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash, sebagian mujtahidin membatasi makna nash syariat hanya pada yang tersurat dalam nash saja. Mereka disebut Ahl al-Hadîts (fukaha Hijaz). Sebagian mujtahidin lainnya tidak membatasi maknanya pada nash yang tersurat, tetapi memberikan makna tambahan yang dapat dipahami akal (ma‘qûl). Mereka disebut Ahl ar-Ra‘yi (fukaha Irak). Dalam masalah zakat fitrah, misalnya, para fukaha Hijaz berpegang dengan lahiriah nash, yakni mewajibkan satu sha’ makanan secara tertentu dan tidak membolehkan menggantinya dengan harganya. Sebaliknya, fukaha Irak menganggap yang menjadi tujuan adalah memberikan kecukupan kepada kaum fakir (ighnâ’ al-faqîr), sehingga mereka membolehkan berzakat fitrah dengan harganya, yang senilai satu sha„ (1 sha‘= 2,176 kg takaran gandum). (Khallaf, 1985: 61; AzZuhaili, 1996: 909-911).
Mengenai perbedaan dlm sebagian kaidah kebahasaan untuk memahami nash, hal ini terpulang pada perbedaan dlm memahami cara pengungkapan makna dalam bahasa Arab (uslûb al-lughah al-‘arabiyah). Sebagian ulama, misalnya, menganggap bahwa nash itu dapat dipahami menurut manthûq (ungkapan eksplisit)-nya dan juga menurut mafhûm mukhâlafah (pengertian implisit yang berkebalikan dari makna eksplisit)-nya. Sebagian ulama lainnya hanya berpegang pada makna manthûq dari nash dan menolak mengambil mafhûm mukhâlafah dari nash. (Khallaf, 1985: 64).
Allah Swt. tidak memerintahkan kita mengikuti seorang mujtahid, seorang imam, ataupun suatu mazhab. Yg diperintahkan Allah Swt. kepada kita adlh mengikuti hukum syariat & mengamalkannya. Itu berarti, kita tidak diperintahkan kecuali mengambil apa saja yg dibawa Rasulullah saw. kepada kita & meninggalkan apa saja yg dilarangnya atas kita. (QS al-Hasyr [59]: 7). Akan tetapi, fakta menunjukkan, tidak semua orang mempunyai kemampuan menggali hukum syariat sendiri secara langsung dari sumber-sumbernya (Al-Quran & as-Sunnah). Mereka mengambil hukum syariat yg digali oleh orang lain, yaitu para mujtahidin. Karena itu, di tengah-tengah umat kemudian banyak yg bertaklid pada hukum-hukum yg digali oleh seorang mujtahid. Mereka pun menjadikan mujtahid itu sebagai imam mereka dan menjadikan hukum-hukum hasil ijtihadnya sebagai mazhab mereka.
Jika ada yg berpaham bahwa yg mereka ikuti adalah hukum-hukum syariat yg digali oleh seorang mujtahid maka bermazhab adalah sesuatu yg sahih dalam pandangan syariat Islam. Sebaliknya, jika ada yg berpaham bahwa yg mereka ikuti adalah pribadi mujtahid (syakhsh al-mujtahid), bukan hukum hasil ijtihad mujtahid itu, maka bermazhab seperti ini adalah sesuatu yg bertolak belakang dengan syariat Islam.
2 (dua) prinsip penting lainnya dalam bermazhab: Pertama, wajib atas muqallid suatu mazhab untuk tidak fanatik (ta‘âshub) terhadap mazhab yg diikutinya. Karena itu, jika terbukti mazhab yg diikutinya salah dlm suatu masalah, & pendapat yg benar (shawâb) ada dalam mazhab lain, maka wajib baginya untuk mengikuti pendapat yg benar itu menurut dugaan kuatnya. Imam Syafi‟i pernah berkata, “Jika kamu melihat ucapanku menyalahi hadis, amalkanlah hadis tersebut dan lemparkanlah pendapatku ke tembok.” (Al-Dahlawi, 1989: 112) Kedua, perbedaan pendapat (khilâfiyah) di kalangan mazhab-mazhab adlh sesuatu yg sehat dan alamiah, bukan sesuatu yg janggal atau menyimpang dari Islam, sebagaimana sangkaan sebagian pihak. Sebab, kemampuan akal manusia berbeda-beda, sebagaimana nashnash syariat juga berpotensi memunculkan perbedaan pemahaman. Perbedaan ijtihad di kalangan sahabat telah terjadi sejak zaman Rasulullah saw. Beliau pun membenarkan hal tersebut dengan taqrîrnya. (Abdullah, 1995: 373).