Maret 2011 Wilayah Konservasi Asia Pasifik Program Kelautan Laporan No 2/11
Laporan Disusun oleh:
Didukung oleh:
Maret 2011 Wilayah Konservasi Asia Pasifik Program Kelautan Laporan No 2/11
Laporan Disusun oleh:
Diterbitkan oleh: The Nature Conservancy, Program Kelautan Asia Pasifik Joanne Wilson: The Nature Conservancy, Program Kelautan Indonesia, Jl Pengembak 2, Sanur, Bali, Indonesia. Email:
[email protected] Arief Darmawan: Coral Triangle Center, Jl. Danau Tamblingan No. 78, Sanur, Bali, Indonesia. Email:
[email protected] Johannes Subijanto: Coral Triangle Center, Jl. Danau Tamblingan No. 78, Sanur, Bali, Indonesia. Email:
[email protected] Alison Green: The Nature Conservancy, 51 Edmondstone Street, South Brisbane, QLD 4101, Australia. Email:
[email protected] Kutipan yang disarankan: Wilson, J., Darmawan, A., Subijanto. J., Green, A., dan S. Sheppard. 2011. Rancangan Ilmiah Jejaring Kawasan Konservasi Laut yang Tangguh. Ekoregion Sunda Kecil, Segitiga Terumbu Karang. Program Kelautan Asia Pasifik. Laporan 2/11. 96 hlm. © 2011 The Nature Conservancy Semua Hak Cipta Dilindungi Undang-undang. Dilarang memperbanyak laporan ini untuk tujuan apa pun tanpa ijin terlebih dahulu. Semua peta dirancang dan dibuat oleh Arief Darmawan. Dapat diperoleh di: Program Kelautan Indonesia
Indo-Pacific Resource Centre
The Nature Conservancy
The Nature Conservancy
Jl Pengembak 2
51 Edmondstone Street
Sanur, Bali, Indonesia
South Brisbane, Qld 4101 Australia
Atau melalui situs web di: http://conserveonline.org/workspaces/tnccoraltriangle/documents/resilient-mpa-networklesser-sunda-ecoregion/
ii
The Nature Conservancy (TNC) mengucapkan terima kasih kepada rekan, mitra, para pemangku kepentingan dan anggota masyarakat di seluruh Indonesia, yang telah berbagi pengalaman tentang Ekoregion Sunda Kecil dan memberikan masukan pada rancangan jejaring Kawasan Konservasi Laut (KKL). Ucapan terima kasih juga diberikan kepada sejumlah staf TNC, perwakilan pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat di Indonesia dan Timor Leste, serta para mitra LSM yang lain. Dari TNC, Peter Mous memprakarsai dan memimpin proyek ini pada tahun 2006-2007, Gede Wiadnya memberikan saran teknis yang sangat berharga berdasarkan pengalaman dan jaringannya yang sangat luas di daerah tersebut, Handoko Adi Susanto yang berperan penting dalam penyelesaian analisis akhir dan konsultasi publik, Rudyanto yang menyediakan dukungan "di belakang layar" untuk analisis SIG. Terima kasih banyak kepada Juliana Tomasouw dan Kadek Noviantini yang selalu mampu memastikan rangkaian lokakarya selalu berjalan lancar. Tri Soekirman yang memberikan dukungan komunikasi kepada proyek ini dan Jeanine Almany dan Maggie Terry yang membantu tata letak dan pemeriksaan akhir dokumen ini. Rancangan jejaring KKL Sunda Kecil ini disempurnakan melalui serangkaian proses berdasarkan masukan dari para pakar konservasi laut nasional maupun internasional, dan semua peserta lokakarya pemangku kepentingan dan lokakarya ilmiah, dan juga dari rangkaian pelatihan dan pertemuan konsultasi publik. TNC memberikan penghargaan atas dukungan yang telah diberikan oleh: Benjamin Kahn (Apex Environmental Pty Ltd); Lyndon DeVantier, Gerry Allen, Emre Turak, dan Damaris Torres-Pulliza (Synoptika Solutions); Eddie Game (TNC); Didik Santoso (Universitas Mataram); Jotham Ninef (Universitas Nusa Cendana); Frida Sidik dan B. Realino (Balai Riset dan Observasi Kelautan); Hendryanto (konsultan dari NTT); Bintar (Bakosurtanal); I Ketut Sudiarta (Universitas Warmadewa); Evron Asrial (Three Pillars); Isaak Angwarmase (Departemen Kelautan dan Perikanan NTT); Umbu Dawa (Universitas Kristen Arta Wacana); dan Domingoos Mook Soares (Timor Leste). TNC mengucapkan terima kasih kepada Stuart Campbell dari Wildlife Conservation Society yang telah memimpin tim untuk melakukan pengecekan habitat lamun di lapangan berdasarkan hasil pencitraan satelit di lapangan . Proyek ini terselenggara berkat bantuan dari John D. dan Catherine T. MacArthur Foundation, TNC Global Marine Initiative, dan TNC- Asia-Pasific Marine Program, bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. .
iii
iv
v
vi
Kawasan Ekoregion Sunda Kecil meliputi serangkaian pulau dan perairan mulai dari Bali, Indonesia sampai ke Timor Leste dan merupakan salah satu dari 11 ekoregion di Segitiga Karang (Coral Triangle). Wilayah ini memiliki nilai konservasi laut yang luar biasa karena habitat pesisir dangkalnya, di antaranya terumbu karang, mangrove dan lamun, serta penyu dan setasea yang terancam punah. Habitat pesisirnya sangat beragam, dengan dasar laut menurun curam dari terumbu karang yang dangkal hingga kedalaman 2000 meter. Oleh karena itu, fitur habitat laut dalam seperti gunung dan ngarai laut dapat dijumpai dalam jarak beberapa kilometer saja dari pesisir, dan menbentuk habitat laut dalam dekat pantai. Wilayah ini memiliki ciri-ciri arus yang sangat kuat yang dihasilkan oleh lewatnya Arus Lintas Indonesia melalui terusan-terusan sempit antara rangkaian pulau. Terumbu karang pesisir dan ekosistem terkait di Ekoregion Sunda Kecil telah sejak lama menghadapi ancaman dari praktek penangkapan ikan yang destruktif, tangkap-lebih (overfishing), polusi dan pembangunan wilayah pesisir. Saat ini terumbu karang juga terancam oleh dampak perubahan iklim termasuk kenaikan suhu laut, kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrim dan pengasaman laut. Membuat jejaring Kawasan Konservasi Laut (KKL) merupakan suatu strategi kunci untuk meningkatkan ketangguhan (resilience) ekosistem-ekosistem ini terhadap dampak perubahan iklim dengan cara mengidentifikasi dan melindungi daerah-daerah yang paling tangguh terhadap perubahan iklim; dan juga mengurangi tekanan yang disebabkan oleh ancaman-ancaman antropogenis lainnya. Di sini kami menerapkan dan memperbaiki prinsip-prinsip rancangan dan pengelolaan jejaring KKL yang tangguh, yang telah dikembangkan dan diterapkan oleh TNC dan mitra-mitranya di belahan bumi yang lain. Dalam dokumen ini, kami menggambarkan proses untuk menyusun rancangan ilmiah suatu jejaring KKL yang tangguh untuk Ekoregion Sunda Kecil, berdasarkan proses kajian ilmiah yang terinci dan konsultasi dengan pemangku kepentingan secara luas. Proses ini mencakup pembangunan basis data SIG dari beragam informasi terbaik yang ada, mengidentifikasi karakteristik konservasi utama, ancaman dan pemanfaatan wilayah, menerapkan alat-alat perencanaan konservasi tercanggih dan memfasilitasi masukan dari instansi pemerintah terkait, pemangku kepentingan setempat dan kelompok ilmuwan melalui serangkaian lokakarya dan pertemuan. Beberapa karakteristik utama dari proses ini adalah: 1. Salah satu peragaan pertama dari penerapan prinsip-prinsip ketangguhan pada rancangan jejaring KKL di tingkat wilayah ekoregion. 2. Penerapan perencanaan tata ruang laut berskala besar di daerah yang kurang memiliki data, termasuk penerapan pendekatan inovatif seperti: a) tidak terlalu mengandalkan alat pendukung keputusan berbasis komputer; dan b) lebih mengandalkan pemetaan para ahli dan masukan dari pemangku kepentingan kunci untuk mengidentifikasi lokasi target konservasi, ancaman dan nilai sosial ekonomi budaya dari daerah tersebut. 3. Proses konsultasi pemangku kepentingan yang ekstensif dilaksanakan untuk menjamin agar perwakilan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan setempat dapat memberikan masukan atas perancangan, termasuk latihan ahli pemetaan (lokakarya 2 hari dengan peserta
vii
lebih dari 50 orang), tinjauan ilmiah (lokakarya 2 hari dengan peserta 20 orang) dan konsultasi dengan instansi pemerintah terkait di daerah tersebut (23 pertemuan dengan 225 perwakilan pemerintah). 4. Dimasukkannya KKL yang sudah ada dan yang sedang diusulkan di wilayah tersebut, termasuk Taman Nasional Perairan Laut Sawu seluas 3,5 juta hektar. Oleh karena itu, rancangan jejaring KKL didasarkan pada analisis kesenjangan yang mencakup ke-37 KKL yang sudah ada dan 19 KKL yang diusulkan dalam rancangan dan mengidentifikasi 44 Wilayah Penting (WP). WP adalah daerah-daerah yang perlu dipertimbangkan untuk pengembangan KKL baru di masa mendatang guna memastikan agar terumbu karang di Ekoregion Sunda Kecil tangguh terhadap ancaman lokal, regional maupun global. Istilah WP dalam laporan ini dapat bertukar dengan istilah KKL, kecuali jika disebutkan secara khusus. 5. Pengembangan rancangan suatu jejaring KKL yang memasukkan habitat pesisir, laut dangkal dan laut dalam dekat pantai. Rancangan akhir mencakup 100 kawasan perlindungan seluas 9,7 juta hektar, antara lain: 85 kawasan lindung laut dangkal dan pesisir dan KKL untuk terumbu karang, mangrove dan lamun (seluas 2 juta hektar); KKL Laut Sawu yang meliputi habitat pesisir dangkal maupun laut dalam (3,5 juta hektar); dan 14 KKL lepas pantai yang besar (seluas 4,2 juta hektar) yang meliputi habitat laut dalam dekat pantai yang sangat penting bagi beragam kelompok mamalia laut yang ada di wilayah ini. Rancangan ilmiah jejaring KKL Sunda Kecil dan basis data informasi yang menyertainya merupakan sumberdaya yang sangat baik bagi instansi pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten untuk dijadikan pedoman perencanaan pesisir dan laut mereka di Ekoregion Sunda Kecil. Bahkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah setuju untuk mengadopsi rancangan tersebut sebagai rujukan atau serangkaian pedoman (roadmap) dasar untuk pembentukan KKL di Ekoregion Sunda Kecil dan menyertakan rancangan tersebut dalam perencanaan tata ruang laut dan pesisir di tingkat kabupaten, provinsi maupun pusat. Produk-produk ini juga menjadi dasar untuk mendukung perencanaan berbasis lokasi, yang mencakup perancangan dan implementasi masing-masing KKL. Perlu dicatat bahwa rancangan jejaring KKL yang diidentifikasi dalam laporan ini mewakili pandangan para ilmuwan dan pemangku kepentingan kunci, dengan didasarkan pada informasi terbaik yang ada, dan bahwa daerah-daerah yang diidentifikasi akan memenuhi kriteria rancangan KKL yang tangguh sekaligus menekan dampak terhadap masyarakat setempat maupun pemangku kepentingan lainnya. Karena WP yang telah teridentifikasi untuk calon KKL yang potensial dalam rancangan ini belum mendapatkan pengesahan dari pemerintah dan persetujuan dari masyarakat setempat, batas-batas WP atau bahkan lokasinya dapat berubah di kemudian hari berdasarkan hasil diskusi yang lebih terperinci bersama pemerintah, masyarakat setempat dan para pemangku kepentingan. Pertimbanganpertimbangan seperti ini sudah diperhitungkan dalam proses perancangan yang memungkinkan adanya fleksibilitas dalam hal luasan dan lokasi dari tata batas rancangan akhir KKL dan kaitannya dengan WP.
viii
KAWASAN SEGITIGA KARANG Layanan Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem Segitiga Karang merupakan episentrum keanekaragaman hayati laut dan sebuah prioritas dunia konservasi. Dengan luas kurang dari 2% samudera di dunia, wilayah ini memiliki perbandingan keanekargaman hayati yang cukup mencengangkan: terdapat 76% spesies karang pembangun terumbu dan 37% spesies ikan karang (Gambar 1: Veron dkk. 2009). Sebagian besar masyarakat yang tinggal di kawasan Segitiga Karang mengandalkan hidupnya pada perikanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan terumbu karang menyokong mata pencaharian bagi lebih dari 100 juta jiwa (HoeghGuldberg dkk. 2009).
Gambar 1. Sebaran keanekaragaman hayati karang pembentuk terumbu di dunia (Veron dkk. 2009). Keterangan gambar: Jumlah spesies karang per ekoregion
Batas, Ekoregion dan Bentang Laut Fungsional Baru-baru ini dilakukan perubahan pada garis batas luar ekoregion dan bentang laut fungsional di Segitiga Karang untuk tujuan konservasi (Green dan Mous 2008, Veron dkk. 2009: Gambar 2 dan Gambar 3). Kawasan Segitiga Karang merupakan sebuah kawasan yang luas mencapai hampir 550 juta hektar samudera dan meliputi seluruh ataupun sebagian dari wilayah di enam negara di Asia Tenggara dan Melanesia, yaitu Indonesia, Filipina, Malaysia (Sabah), Timor Leste, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon (Gambar 2). Kawasan ini juga mencakup 11 ekoregion dan 32 bentang laut fungsional1 (Green dan Mous 2008) (Gambar 3). Dan ekoregion Sunda Kecil terletak di barat daya dari Segitiga Karang ini.
1
Ekoregion didefinisikan sebagai "wilayah yang besar yang berisi spesies-spesies, komunitas alami dan kondisi lingkungan yang bersatu secara nyata dalam sebuah lingkup geografis", dan bentang laut fungsional didefinisikan sebagai "wilayah di dalam ekoregion yang memiliki ciri khas geografi atau ekologi, tetapi lebih luas yang mungkin lebih cocok untuk penerapan langkah-langkah pengelolaan misalnya suatu jejaring kawasan konservasi laut" (Green dan Mous 2008).
1
Gambar 2. Batas Segitiga Karang (Veron dkk. 2009).
Gambar 3. Pembagian ekoregion dalam kawasan Segitiga Karang (Green dan Mous 2008).
Status dan Ancaman Terumbu karang di dunia, khususnya yang berada di Asia Tenggara, mengalami ancaman serius dari berbagai ancaman antropogenik yang langsung maupun tidak langsung (Brown 1997, Bryant dkk. 1998, Jackson dkk. 2001, Halpern dkk. 2008, Burke dkk. 2011). Yang perlu ditangani dengan segera adalah ancaman terhadap keutuhan ekosistem akibat eksploitasi berlebihan atas sumberdaya laut,
2
praktek penangkapan ikan yang destruktif, pembangunan kawasan pesisir, limpasan dari praktek tata guna lahan yang buruk dan kegiatan pariwisata yang tidak terkendali (Bryant dkk. 1998, Jackson dkk. 2001, Fabricius 2004, Wilkinson 2008, Halpern dkk. 2008, Burke dkk. 2011). Isu lain yang membutuhkan perhatian adalah tingkat kegiatan manusia yang melipatgandakan keberadaan ancamanancaman lain, khususnya penyakit karang dan meledaknya populasi bintang laut berduri pemakan karang (Harvell dkk. 1999, 2007, Jackson dkk. 2001, Fabricius 2004, Bruno dkk. 2007, DeVantier dan Done 2007). Perubahan iklim juga menunjukkan ancaman yang serius dan semakin meningkat kepada terumbu karang di dunia dan ekosistem yang berasosiasi dengannya (Hoegh-Guldberg 1999, McLeod dan Salm 2006, Hoegh-Guldberg dkk. 2007, Veron 2008, Burke dkk. 2011). Ancaman utama pada terumbu karang adalah peningkatan suhu laut (yang mengakibatkan pemutihan karang masal), kenaikan permukaan air laut, pengasaman laut, peningkatan intensitas dan frekuensi badai tropis serta perubahan pola sirkulasi samudera (Hoegh-Guldberg 1999, Hoegh-Guldberg dkk. 2007, IPCC 2007). Meskipun penelitian-penelitian terbaru menunjukkan bahwa terumbu karang di kawasan Segitiga Karang, termasuk yang ada di Indonesia, diduga memiliki kemampuan bertahan yang relatif lebih baik terhadap dampak perubahan iklim (Hoegh-Guldberg dkk. 2007, 2009, Kleypas dkk. 2008, Veron 2008), namun dampak dari kenaikan suhu permukaan laut dan pengasaman samudera tak terelakkan (Hoegh-Guldberg 1999, Hoegh-Guldberg dkk. 2007, 2009).
Di Indonesia dampak langsung kegiatan manusia juga terus menimbulkan ancaman serius pada terumbu karang,khusunya penangkapan ikan berlebih, praktek penangkapan yang merusak (bom dan racun), pembangunan di wilayah pesisir, sedimentasi dan polusi di darat (Cesar dkk. 1997, Pet-Soede dan Erdmann 1998, Burke dkk. 2002, Burke dkk. 2011). Keberagaman, frekuensi dan skala ancamanancaman ini semakin meningkat hingga batas yang membawa terumbu karang menderita parah, menurunkan keragaman, struktur habitat dan kelimpahan spesies kuncinya dalam jangka panjang (Pandolfi dkk. 2003, 2005, Hughes dkk. 2003, Wilkinson 2008, Burke dkk. 2011). Gambaran dalam Burke dkk. (2011) yang diterbitkan baru-baru ini memastikan bahwa terumbu karang di Indonesia adalah satu diantara yang paling terancam di dunia. Wilkinson (2008) memperkirakan bahwa 40% terumbu karang Indonesia sudah mulai musnah dan 45% dalam kondisi terancam. Perkiraan jumlah terumbu di Asia Tenggara yang berada di tingkat ancaman rendah telah turun dari 15% (Wilkinson 2008) menjadi 5% (Burke dkk. 2011). Kini diperlukan tindakan segera untuk menghentikan atau membalikkan penurunan kesehatan terumbu karang di Indonesia ini.
KAWASAN KONSERVASI LAUT Peran dan Definisi Kawasan Konservasi Laut (KKL), khususnya suaka laut yang dilindungi sepenuhnya (zona larang ambil), merupakan alat yang sudah lazim digunakan untuk konservasi laut dan pengelolaan sumber daya laut secara berkelanjutan (Lubchenco dkk. 2003). Bukti ilmiah menunjukkan manfaat KKL dengan jelas dan membenarkan penerapannya dengan segera sebagai alat pengelolaan pokok untuk konservasi dan pengelolaan terumbu karang (Lubchenco dkk. 2003).
3
KKL digunakan baik untuk tujuan konservasi keanekaragaman hayati maupun pengelolaan perikanan berkelanjutan (Lubchenco dkk. 2003, WCP 2003). Dengan melindungi daerah-daerah geografis, termasuk spesies penghuni tetap dan lingkungan biofisik mereka, KKL menawarkan pendekatan berbasis ekosistem terhadap konservasi dan pengelolaan perikanan (Lubchenco dkk. 2003). Sejalan dengan definisi kawasan konservasi menurut IUCN (Dudley 2008), KKL didefinisikan sebagai "ruang geografis yang ditetapkan dengan jelas, diakui, tersendiri dan dikelola, secara hukum atau caracara lain yang efektif, guna mencapai konservasi alam jangka panjang dengan layanan ekosistem dan nilai-nilai budaya yang terkait dengannya‖. Definisi ini melingkupi berbagai jenis KKL, termasuk, namun tidak terbatas hanya pada, zona larang ambil. Definisi ini juga mencakup berbagai jenis tata kelola untuk kawasan konservasi, dari daerah yang ditetapkan secara hukum hingga pengelolaan oleh masyarakat (WPC 2003).
Kawasan Konservasi Laut di Indonesia Pemerintah Indonesia telah memperlihatkan komitmennya untuk membentuk jejaring KKL di tingkat regional melalui kepemimpinannya dalam Coral Triangle Initiative (CTI, Inisiatif Segitiga Karang) (http://www.cti-secretariat.net/). Pada tahun 2008, Indonesia memenuhi komitmennya terhadap Program Kerja Kawasan Konservasi dari Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati untuk membentuk KKL yang meliputi wilayah seluas 10 juta hektar pada tahun 2010, dengan pencanangan Taman Nasional Perairan Laut Sawu seluas 3,5 juta hektar dalam Ekoregion Sunda Kecil. Membangun jejaring KKL yang tangguh di Ekoregion Sunda Kecil akan memberikan sumbangan yang besar bagi tujuan Pemerintah Indonesia yang berikutnya dalam rangka pembentukan KKL seluas 20 juta hektar pada tahun 2020 (Yudhoyono, 2009). Di Indonesia, KKL dapat dibentuk oleh pemerintah pusat, provinsi dan/atau kabupaten berdasarkan UU No. 31/2004 (perikanan) atau pun UU No. 27/2007 (perencanaan wilayah). Kedua undangundang ini memungkinkan pembentukan KKL yang multiguna melalui penerapan zonasi dan rencana pengelolaan. Zona-zona ini meliputi zona larang masuk, larang ambil dan pemanfaatan berkelanjutan. Salah satu aspek penting dalam perancangan dan pelaksanaan KKL di Indonesia adalah untuk melestarikan terumbu karang dan habitat pesisir bukan hanya demi nilai keanekaragaman hayatinya tetapi juga untuk menunjang pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan untuk kepentingan masyarakat setempat. Pengambilan ikan karang, spesies yang terancam dan sumberdaya lainnya secara destruktif dan ilegal lazim dijumpai di seluruh negeri, yang mengakibatkan kerusakan habitat dan eksploitasi berlebihan atas spesies kunci. Praktek-praktek ini seringkali terkait dengan penyebaran tingkat kesejahteraan yang tidak merata, yang menyebabkan kerugian bagi masyarakat setempat. KKL dapat dijadikan fokus pengelolaan untuk mengurangi ancaman-ancaman ini dan menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi industri-industri yang berkelanjutan seperti pariwisata, perikanan yang berkelanjutan dan budidaya perairan. Di Indonesia dan wilayah lain di Segitiga Karang, masyarakat setempat sangat mengandalkan sumberdaya perikanan sebagai sumber pendapatan dan asupan protein sehari-hari. Oleh karena itu, menjadi sangat penting jika KKL mengakomodir perikanan berkelanjutan untuk masyarakat setempat dan mendukung peningkatan produktivitas perikanan dengan cara memperbaiki atau memelihara ekosistem pesisir yang sehat dan beragam.
Merancang Jejaring Kawasan Konservasi Laut yang Tangguh Perubahan iklim adalah ancaman baru terhadap terumbu karang dan ekosistem terkait dan terus meningkat, dan Indonesia termasuk Negara yang mengalaminya (lihat bagian Status dan Ancaman). Oleh karena itu mempertimbangkan perubahan iklim dalam perancangan dan pengelolaan jejaring KKL menjadi hal yang sangat penting. Pada tahun-tahun terakhir, telah dikembangkan prinsip-prinsip perancangan dan pengelolaan jejaring KKL yang tangguh terhadap ancaman perubahan iklim (West dan Salm 2003, Grimsditch dan Salm 2006, McLeod dan Salm 2006, McLeod dkk. 2009).
4
Ketangguhan (resilience) merupakan kemampuan suatu ekosistem untuk menyerap tekanan, melawan perubahan fase dan beregenerasi setelah mengalami gangguan alami maupun gangguan akibat perbuatan manusia (Nyström dkk. 2000). Bagi terumbu karang, ketangguhan adalah kemampuan terumbu menyerap dan bertahan dalam menghadapi gangguan yang berulang (seperti siklon, epidemi hewan pemangsa atau peristiwa pemutihan karang) dan membangun kembali sistem yang didominasi oleh karang dan bukan beralih menjadi sistem yang didominasi alga makro (Marshall dan Schuttenberg 2006, Hughes dkk. 2007). Ketangguhan terumbu karang akan menjadi semakin penting di masa mendatang saat gangguan seperti pemutihan karang semakin sering terjadi dan semakin parah seiring dengan perubahan iklim (Hoegh-Guldberg 1999). Selama 10 tahun terakhir, TNC telah memimpin dalam pengembangan dan penerapan prinsip-prinsip untuk memastikan ketangguhan jejaring KKL dalam menghadapi ancaman perubahan iklim (West dan Salm 2003, Grimsditch dan Salm 2006, McLeod dan Salm 2006, Green dkk. 2007, 2009, Hinchley dkk. 2007, TNC 2009). Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
menyikapi ketidakpastian dengan cara menyebarluaskan risiko melalui representasi dan replikasi habitat-habitat penting; melindungi habitat kritis, khususnya habitat-habitat yang menunjukkan ketangguhan yang tinggi;
memahami dan memasukkan pola-pola keterkaitan biologis; dan
menekan ancaman lainnya (terutama penangkapan yang ikan berlebih dan yang destruktif serta limpasan dari praktek tata guna lahan yang buruk).
Pembelajaran dari studi-studi ini sedang diterapkan di seluruh kawasan Segitiga Karang, dan di banyak di belahan dunia yang lain (http://reefresilience.org/Toolkit_Coral/C8_CaseStudies.html).
EKOREGION SUNDA KECIL Geografi Ekoregion Sunda Kecil meliputi rangkaian kepulauan dari Bali di sebelah barat hingga ke Timor Leste di sebelah timur, sepanjang Kepulauan Nusa Tenggara di sebelah utara dan Pulau Sumba dan Rote di sebelah selatan. Ekoregion ini menlingkupi tiga provinsi di Indonesia (Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur), sebagian provinsi Maluku dan negara Timor Leste (Gambar 4). Ekoregion Sunda Kecil merupakan sebuah wilayah yang luas yang terdiri dari 35.802.039 hektar laut dan 10.886 km garis pantai (Green dan Mous 2008).
5
Gambar 4. Ekoregion Sunda Kecil dengan batas-batas provinsi dan negara. Keterangan gambar: Batas Segitiga Karang (Veron dkk, 2009)
Kondisi Lingkungan dan Oseanografi Ekoregion Sunda Kecil memiliki karakteristik arus yang sangat kuat dan kompleks yang dihasilkan oleh Arus Lintas Indonesia melalui rangkaian kepulauan dari utara ke selatan. Arus Lintas Indonesia membawa air hangat dari utara dan tengah Samudera Pasifik Barat menuju ke bagian timur laut Samudera Hindia melalui jalur di Indonesia yang melingkar (Gordon dan Fine 1996) (Gambar 5). Setelah melewati Selat Makassar dan koridor-koridor lainnya antara Sulawesi, Halmahera dan Papua, arus tersebut (15 juta m3/detik) keluar dari Kepulauan Indonesia melalui selat-selat sempit di kepulauan Sunda Kecil (Gordon dan Fine 1996; Sprintall dkk. 2009). Jalur utama Arus Lintas Indonesia adalah melalui Selat Lombok (antara Bali dan Lombok), Selat Ombai (antara Timor Leste dan Solor-Alor) dan pesisir selatan Pulau Timor (Sprintall dkk. 2004). Jalur yang lebih kecil dan dangkal adalah melalui Selat Komodo (antara Sumbawa dan Flores) dan Selat Lembata dan Pantar di Solor Alor. Di sini arus dominan satu arah dari utara ke selatan dengan arus balik yang sangat terbatas terutama di perairan dalam (Sprintall dkk. 2009). Di sepanjang pesisir utara kepulauan Sunda Kecil, arus ini cenderung bergerak dari barat ke timur dan di sepanjang pesisir selatan arus bergerak dari timur ke barat (Wyrtki 1961). Turbulensi yang kuat juga dihasilkan oleh lewatnya arus-arus lintas yang kuat melalui selat-selat sempit, memutari pulau, terumbu karang dan tanjung (Fudge 2007, DeVantier dkk. 2008). Ekoregion Sunda Kecil juga memiliki karakteristik adanya upwelling (pengangkatan massa air laut yang dingin) musiman yang digerakkan oleh pola angin dan kontur batimetri curam di daerah dengan karakteristik habitat laut dalam (sampai 4000 meter), yang timbul dalam jarak beberapa kilometer dari pantai (Kahn 2008). Upwelling terjadi di sisi selatan rangkaian pulau pada bulan April sampai Mei dan di sisi utara pada bulan Oktober sampai November (Kahn 2008). Terumbu karang dan habitathabitat pesisir lainnya dipengaruhi oleh upwelling ini karena jaraknya yang dekat dengan pantai. Di daerah-daerah yang memiliki upwelling yang terlokalisir, temperatur air dingin dapat mencapai 16°C, yang mempengaruhi komposisi kumpulan karang dan ikan (De Vantier dkk. 2008).
6
Paparan gelombang laut juga sangat bervariasi di Ekoregion Sunda Kecil, dengan energi gelombang besar lebih mempengaruhi pesisir selatan dibanding pesisir utara (De Vantier dkk. 2008).
Gambar 5. Skema Arus Lintas Indonesia dari Ekspedisi Samudera Hindia WOCE. Sumber: (http://tryfan.ucsd.edu/woce_ioe/woce_ioe.htm)
Perairan Pantai Dangkal Ekoregion Sunda Kecil merupakan zona transisi yang penting di antara fauna Pasifik dan Hindia, dengan unsur-unsur fauna yang khas, termasuk stomatopoda endemik, foraminifera dan fauna terumbu karang yang khas (Green dan Mous 2008, Veron dkk. 2009). Dalam tulisan Green dan Mous (2008) hanya teridentifikasi satu bentang laut di Ekoregion Sunda Kecil karena kurangnya data saat itu yang menghambat pembagian wilayah ekoregion yang lebih kecil. Selanjutnya, DeVantier dkk. (2008) mendefinisikan makna ekologis bentang laut di dalam ekoregion tersebut berdasarkan analisis yang lebih terinci berdasarkan data yang tersedia dan pendapat para ahli. Veron dkk. (2009) mencatat bahwa data untuk Ekoregion Sunda Kecil masih kurang, namun mereka memperkirakan bahwa Ekoregion Sunda Kecil memiliki keanekaragaman karang pembangun terumbu yang tinggi (523 spesies). Demikian juga dengan keanekaragaman ikan yang tinggi tercatat 1.783 spesies, 25 di antaranya adalah endemik (Allen 2007). Pada ekoregion ini, faktor-faktor lingkungan termasuk di dalamnya kelayakan habitat dan oseanografi (upwelling dan gelombang laut) memiliki pengaruh kuat terhadap komposisi karang dan komunitas ikan yang berasosiasi dengan karang (De Vantier dkk. 2008). Substrat yang layak bagi pertumbuhan karang ada di sepanjang pantai yang terbentuk oleh batu kapur dan aliran lava dari aktivitas vulkanik. Daerah-daerah lain yang berpantai pasir hitam halus yang juga terbentuk dari aktivitas vulkanik tidak menyediakan substrat yang layak bagi perkembangan terumbu karang.
7
Di daerah-daerah yang memiliki habitat yang layak, komposisi karang di pesisir selatan banyak dipengaruhi oleh gelombang laut selatan yang memiliki energi tinggi, dan daerah pesisir utara lebih terlindung. Selain itu, karena banyaknya daerah upwelling lokal atau regional, dengan suhu air laut yang secara teratur turun hingga 16°C mempengaruhi komposisi spesies karang maupun komunitas ikan (De Vantier dkk. 2008). Komunitas ikan juga beragam antara gugus pulau di barat, tengah dan timur, dengan banyak spesies endemik yang hanya ada di salah satu bagian kawasan tersebut. Ekoregion Sunda Kecil merupakan daerah penting di kawasan Segitiga Karang dalam hal endemisme, dengan tingkat endemisme yang sangat tinggi baik untuk karang maupun ikan. Di samping ke-25 spesies ikan endemik, 11 spesies karang endemik teridentifikasi oleh Veron dkk. (2009), walaupun sejak itu telah tercatat beberapa di ekoregion lainnya (De Vantier dkk. 2008). Untuk ikan maupun karang, wilayah Bali-Lombok, Komodo dan Flores timur merupakan daerah-daerah penting secara khusus atau potensial bagi endemisme.
Habitat dan Spesies Laut Dalam Dekat Pantai Bentang alam bawah lautyang curam dan produktivitas Ekoregion Sunda Kecil yang dipengaruhi upwelling menjadi habitat yang unik bagi fauna laut besar seperti paus, lumba-lumba, dugong, penyu dan ikan pari. Hingga saat ini, 21 spesies mamalia laut telah tercatat berada di wilayah ini, termasuk paus biru yang sangat terancam punah (Kahn 2002, 2004, 2006, pers comm). Beberapa spesies menjadikan Ekoregion Sunda Kecil sebagai jalur migrasi dan bergerak melewati melalui selat-selat sempit antara pulau-pulau (migratory bottlenecks). Daerah-daerah dengan produktivitas yang dipengaruhi upwelling di kedua sisi rangkaian pulau merupakan habitat tempat makan yang sangat penting bagi spesies penghuni tetap maupun migrasi. Beberapa spesies lebih menyukai habitat laut dalam (mis. paus biru menyukai daerah berkedalaman >2000 meter). Perpaduan yang unik dari faktor-faktor habitat laut dalam yang terletak berdekatan satu sama lain dan dekat dengan pesisir menjadikan daerah ini sebagai salah satu daerah terpenting di Segitiga Karang untuk kumpulan setasea dan fauna laut besar lainnya. Jaraknya yang dekat dengan pesisir memberikan peluang pariwisata tetapi juga terancam risiko akibat polusi pesisir, terjerat jala nelayan dan cedera akibat terhantam kapal. Habitat laut dalam dekat pantai ini masih sangat kurang terwakili di sebagian besar perencanaan ekoregion dan inisiatif jejaring KKL untuk Segitiga Karang. Kemajuan teknologi baru-baru ini telah memungkinkan peningkatan yang pesat untuk eksplorasi dan minat masyarakat terhadap laut dalam dengan biaya yang efektif. Minat ini juga sejalan dengan upaya perluasan perikanan yang pesat dan industri lepas pantai dengan target habitat laut dalam (mis. daerah gunung laut dan upwelling; pertambangan laut dalam). Hal ini mendorong kebutuhan yang mendesak untuk membenahi pengelolaan dan konservasi habitat-habitat laut lepas pantai yang sensitif ini. Karena alasan-alasan tersebut, memasukkan KKL "laut dalam" dalam rancangan jejaring KKL Sunda Kecil menjadi sangat penting.
8
Tahun 2006, TNC membahas sebuah proposal dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk merancang jejaring KKL yang tangguh untuk wilayah Ekoregion Sunda Kecil. KKP mendukung proposal ini, dan menyepakati untuk:
mengadopsi rancangan yang dihasilkan sebagai rujukan utama untuk membangun jejaring KKL di Ekoregion Sunda Kecil; dan
menggunakan rancangan tersebut untuk memandu perencanaan tata ruang laut dan pesisir di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional.
Dalam laporan ini, kami menguraikan bagaimana suatu jejaring KKL yang tangguh untuk Ekoregion Sunda Kecil dirancang dan disajikan untuk dimanfaatkan oleh semua tingkat pemerintahan di Indonesia. Rancangan tersebut didasarkan pada:
sebuah analisis ilmiah yang terinci yang memerlukan pengumpulan, pembandingan dan analisis data ekologi dan sosial ekonomi yang intensif dan tinjauan oleh para ilmuwan Indonesia dan internasional; dan
keterlibatan secara luas dengan berbagai pemangku kepentingan kunci (khususnya pejabat pemerintah), yang sangat penting 1) untuk memastikan bahwa kebutuhan dan kepentingan mereka ditanggapi, maupun 2) untuk pengadopsian dan penerapan rancangan jejaring KKL selanjutnya.
METODE Rancangan ilmiah jejaring KKL Sunda Kecil dikembangkan melalui serangkaian proses empat tahap selama tiga tahun dari tahun 2006-2009. Langkah-langkah utama untuk setiap tahap dan kronologinya diuraikan dengan lebih terinci pada Tabel 1di bawah ini . Tabel 1. Langkah-langkah kunci dalam proses perancangan jejaring kawasan konservasi laut.
Langkah-langkah Kunci 1. Menetapkan tujuan, tata batas dan prinsip perancangan jejaring KKL 2. Mengidentifikasi dan menghimpun informasi berprioritas tinggi 3. Menyusun basis data SIG 4. Merancang jejaring KKL yang tangguh dengan menggunakan alat bantu pendukung pengambilan keputusan dengan masukan dari pemangku kepentingan
Waktu Juli 2007 sampai Februari 2008 Juli 2006 sampai Desember 2008 Juli 2006 sampai Februari 2009 Desember 2008 sampai April 2009
MENETAPKAN TUJUAN, TATA BATAS DAN PRINSIP-PRINSIP PERANCANGAN JEJARING Langkah pertama adalah untuk menndefinisikan dengan jelas tujuan proyek, tata batas dan prinsipprinsip rancangan jejaring.
9
Tujuan Tujuan kajian ini adalah untuk merancang jejaring KKL yang tangguh yang, jika dilterapkan, akan melindungi keanekaragaman hayati laut perairan laut dangkal dan pesisir di wilayah Ekoregion Sunda Kecil dan menyokong pemanfaatan sumberdaya laut yang berkelanjutan untuk kepentingan masyarakat yang bergantung kepada sumberdaya tersebut. Selain itu, karena habitat laut dalam merupakan fitur yang penting di Ekoregion Sunda Kecil dan berkaitan erat dengan ekosistem laut dangkal, jejaring KKL dirancang untuk mencakup habitat dan spesies laut dalam dekat pantai. Fitur ini unik untuk jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil karena sebagian besar rencana ekoregion dan rancangan jejaring KKL yang lain hanya mencakup habitat pesisir dekat pantai. Karena banyak KKL telah dibentuk atau diusulkan oleh pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten untuk ekoregion ini, kajian ini memeriksa nilai-nilai yang diberikan oleh KKL yang sudah ada dan yang diusulkan dan mengidentifikasi daerah-daerah tambahan yang perlu dilindungi untuk melengkapi jejaring KKL yang tangguh. Karena hasil kajian ini akan digunakan sebagai rujukan utama untuk membentuk jejaring KKL di Ekoregion Sunda Kecil oleh KKP, jejaring ini juga dimaksudkan untuk mengatasi tujuan KKL yang sudah ada di Indonesia (Wiryawan dkk. 2006), termasuk meningkatkan:
kualitas habitat-habitat penting (mis. terumbu karang, lamun dan mangrove),
populasi, potensi reproduksi dan kelimpahan ikan,
penghidupan masyarakat dari sumberdaya alam,
kemampuan lokal untuk mengelola sumberdaya ikan, dan
keterpaduan antara masyarakat dan lingkungan,
Melalui:
pengelolaan KKL yang efektif di tingkat lokal, dan
regulasi kegiatan masyarakat di dalam KKL.
Tata Batas Tata batas perencanaan wilayah adalah seperti yang didefinisikan sebagai batas wilayah Ekoregion Sunda Kecil menurut tulisan Green dan Mous (2008), yang meliputi provinsi-provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, sebagian kecil provinsi Maluku dan negara Timor Leste.
Prinsip Perancangan Jejaring Prinsip-prinsip perancangan khusus dikembangkan dan digunakan untuk merancang jejaring KKL di daerah pesisir dangkal, yang mempertimbangkan karakter biofisik (Tabel 2) dan sosial ekonomi di wilayah ekoregion tersebut (Tabel 3). Prinsip-prinsip rancangan ini didasarkan pada: kriteria untuk mengidentifikasi KKL di Indonesia (Wiryawan dkk. 2006); dan prinsip-prinsip ketangguhan rancangan jejaring KKL yang telah dikembangkan (McLeod dkk. 2009) dan diterapkan di daerahdaerah lain termasuk Papua Nugini (Green dkk. 2007, 2009) dan Palau (Hinchley dkk. 2007). Kriteria perancangan untuk KKL laut dalam dekat pantai disajikan pada Tabel 4.
10
Tabel 2. Prinsip-prinsip rancangan KKL biofisik untuk daerah pesisir dangkal.
Kriteria rancangan
Aplikasi
Penyebaran Resiko (keterwakilan dan pengulangan)
Melestarikan 20-30% habitat laut dangkal dan pesisir (terumbu karang, mangrove, lamun dan muara sungai) dan bila memungkinkan, menyertakan tipe komunitas yang ada dalam ketiga tipe habitat ini (mis. zona terumbu karang). Mengupayakan untuk menyertakan setidaknya 3 contoh yang mewakili setiap jenis habitat di berbagai lokasi, yang tersebar di wilayah yang luas dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan terkena dampak negatif dari satu peristiwa alam dan antropogenik atau keduanya sekaligus. Mempertimbangkan informasi terbaik yang tersedia tentang kondisi jenis-jenis habitat penting
Merancang Ketangguhan terhadap Perubahan Iklim
Mengikutsertakan lokasi-lokasi yang lebih memiliki potensi ketahanan atau ketangguhan terhadap perubahan lingkungan global. Wilayah yang secara alami lebih berpotensi tahan atau tangguh terhadap pemutihan karang diantaranya: habitat-habitat yang secara rutin mengalami variabilitas suhu yang tinggi daerah-daerah yang mendapat upwelling dan arus kuat, daerah-daerah yang dinaungi oleh vegetasi pesisir atau bertebing, dan daerah-daerah yang memiliki keanekaragaman dan tutupan karang yang tinggi.
Melindungi Lokasi-lokasi dan Spesies Kunci
Memasukkan lokasi-lokasi istimewa dan unik seperti: tempat berkumpulnya spesies perikanan penting (ikan dan avertebrata) yang permanen atau sementara, daerah migrasi, berkembang biak, beristirahat dan makan yang penting bagi spesies laut yang besar dan rentan, dan daerah-daerah yang menyokong spesies yang memiliki distribusi dan kelimpahan yang sangat terbatas, terutama spesies endemik. Mengupayakan untuk memasukkan daerah-daerah dengan kombinasi jenis-jenis habitat air dangkal (terumbu karang, mangrove, muara sungai dan lamun) untuk menjaga pola-pola konektivitas ekologi di antara mereka. Mengupayakan agar KKL berjarak 100-200 km antara satu sama lain untuk menjaga konektivitas genetis. Di dalam KKL, zona larang ambil berjarak 15-20 km antara satu dengan lainnya untuk menjaga konektivitas ekologis. Bila memungkinkan, memasukkan seluruh unit biologi atau geomorfis (mis. seluruh terumbu). Bila unit biologi yang utuh tidak dapat dimasukkan, pilih area yang lebih besar daripada area yang kecil.
Konektivitas di dalam dan antar KKL
11
Tabel 3. Prinsip-prinsip sosial ekonomi dalam perancangan KKL untuk daerah pesisir dangkal.
Kriteria Rancangan Umum
Budaya
Perikanan
Pariwisata Berbasis Alam Infrastruktur dan Industri
Pengelolaan yang Efektif
Aplikasi Memungkinkan untuk beberapa kegiatan dilakukan sekaligus, termasuk perikanan berkelanjutan, pariwisata, budidaya perairan, pendidikan dan penelitian. Meminimalkan dampak-dampak negatif terhadap mata pencaharian strategis yang ada dan memaksimalkan peluang memperoleh pendapatan alternatif. Menghormati pemanfaatan dan akses sumberdaya laut lokal dan tradisional. Mengakui bahwa masyarakat lokal memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan dan dapat menjadi penjaga/pemelihara sumberdaya laut. Melindungi daerah-daerah yang memiliki arti penting secara budaya. Mengakui bahwa KKL dapat mendukung perikanan subsisten (untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari), artisanal dan perikanan komersial/industri yang berkelanjutan. Mengupayakan untuk memaksimalkan manfaat perikanan ini melalui perlindungan habitat perikanan, lokasi pemijahan ikan dan menciptakan "bank ikan". Melindungi daerah-daerah dan habitat yang penting untuk semua tahap kehidupan dari spesies ikan yang memiliki arti komersial berikut mangsanya seperti daerah tempat bertelur, tempat asuhan dan habitat juvenil ikan. Mengakui bahwa KKL dapat memberikan sumberdaya bagi pengelolaan (mis. patroli terhadap praktek penangkapan ikan ilegal), bila memungkinkan, manfaatnya harus dibagikan kepada masyarakat setempat. Memasukkan daerah-daerah pariwisata alam di atau dekat, dengan KKL dengan tujuan pariwisata yang sejalan dengan tujuan KKL (mis. menyelam dan pengamatan paus untuk memberikan penghasilan bagi masyarakat setempat). Mempertimbangkan biaya dan manfaat menempatkan KKL di dekat kota besar (mis. meningkatkan peluang untuk penegakan aturan, penelitian dan alternatif penghasilan vs. peningkatan pemanfaatan, polusi dan kehilangan habitat akibat pembangunan pesisir). Mengakomodasi jalur pelayaran dan infrastruktur pelabuhan yang sudah ada maupun direncanakan (dermaga, terusan). Menghindari penempatan KKL di dekat industri pertambangan, minyak dan gas bumi laut yang sudah ada maupun direncanakan dan dekat daerah-daerah yang terkena limpasan dari pembuangan limbah tambang di darat. Mempertimbangkan pola pemanfaatan sumberdaya yang sudah ada dan di masa depan untuk mengurangi konflik antar pengguna sumberdaya yang ada. Mempertimbangkan peluang pengelolaan bersama dengan masyarakat lokal, tokoh masyarakat, pemangku kepentingan dan instansi pemerintah terkait. Mengakui bahwa manfaat KKL diperkuat dengan menghubungkannya dengan strategi pengelolaan yang lebih luas untuk menyikapi tangkap-lebih dan ancaman-ancaman dari darat yang berasal dari luar KKL.
12
Tabel 4. Kriteria untuk KKL laut dalam dekat pantai.
Kriteria Rancangan Melindungi Habitat Laut Dalam Dekat Pantai
Aplikasi Melindungi habitat laut dalam dekat pantai yang menyokong habitat kritis untuk setasea migrasi dan spesies lainnya, termasuk melindungi gunung laut, ngarai laut dalam, selat (koridor migrasi) dan habitat pelagis persisten besar (mis. daerah upwelling). Memilih daerah-daerah laut dalam yang berdekatan dengan daerah konservasi penting di perairan dangkal. Memilih daerah-daerah yang diidentifikasi berprioritas tinggi seperti tertulis dalam Kahn (2008).
13
MENGIDENTIFIKASI DAN MENGHIMPUN INFORMASI BERPRIORITAS TINGGI Daftar informasi khusus yang diperlukan sebagai tema-tema data untuk merancang jejaring KKL yang telah teridentifikasi berdasarkan prinsip-prinsip rancangan jejaring KKL (Tabel 2 dan 3). Ini mencakup tema-tema SIG dasar seperti garis pantai, KKL yang ada dan kawasan lindung pesisir yang sudah ada dan diusulkan, habitat dan spesies pesisir dangkal serta faktor-faktor sosial ekonomi. Habitat dan spesies laut dalam dekat pantai juga disertakan dalam daftar ini karena nilai ekologinya yang sangat penting di kawasan ini dan jaraknya yang dekat dengan masyarakat pesisir. Informasi terbaik yang dikumpulkan dari tahun 2006-2008 dengan cara mencari kumpulan data yang sudah ada sebelumnya dan menghasilkan kumpulan data melalui interpretasi citra satelit, analisis ilmiah kumpulan data yang ada, ekstraksi data spasial dari laporan-laporan oleh konsultan lokal, sumber-sumber informasi dari internet dan pemetaan oleh pemangku kepentingan (lihat Merancang Jejaring Kawasan Konservasi Laut yang Tangguh). Daftar semua kumpulan data yang tersedia untuk Ekoregion Sunda Kecil disajikan dalam Lampiran A.
Informasi Dasar SIG Informasi tentang tampilan fisik pokok seperti garis pantai, ekoregion, batas-batas nasional, provinsi dan kabupaten, batas-batas KKL, batimetri (laut), topografi pesisir (darat), diperoleh dari departemen pemerintah yang terkait di Indonesia termasuk dari Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA).
KKL dan Kawasan Lindung Pesisir yang Sudah Ada dan Diusulkan Letak dan batas-batas kawasan lindung pesisir dan KKL yang ada (sudah memiliki ketetapan) diperoleh dari instansi-instansi pemerintah yang terkait (Kementerian Kehutanan dan KKP) di tingkat pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat. Letak dan batas-batas KKL yang diusulkan (diidentifikasi namun belum ditetapkan) diperoleh dari berbagai sumber termasuk laporan dan rancangan rencana tata ruang (RTR) di kabupaten dan provinsi. Pada awal proyek ini tahun 2006, wilayah Ekoregion Sunda Kecil sudah mencakup 12 KKL seluas 318.000 hektar. Selama proyek ini berjalan, 3,8 juta hektar KKL telah ditetapkan lagi di Ekoregion Sunda Kecil dengan pendeklarasian Taman Nasional Perairan Laut Sawu (3,4 juta hektar) dan KKL Selat Pantar (0,4 juta hektar). Habitat dan Spesies Perairan Dangkal Target konservasi mencakup seluruh jenis habitat dan spesies laut yang terdapat di perairan pesisir dangkal berkedalaman kurang dari 200 meter (Tabel 5) termasuk terumbu karang, lamun, mangrove dan muara sungai. Sebelum dilakukannya penelitian ini, masih sedikit informasi yang tersedia menyangkut distribusi dan klasifikasi habitat dan spesies yang hidup di perairan dangkal di Sunda Kecil pada skala yang memadai untuk perancangan jejaring KKL. Oleh karenanya beberapa kajian dilakukan antara lain:
Distribusi luasan dan zonasi lamun dan terumbu karang ditentukan melalui analisis citra LANDSAT (Torres-Pulliza 2008). Citra LANDSAT untuk analisis ini bersumber dari arsip data publik yang ada dalam Proyek Pemetaan Terumbu Karang Millennium (Andréfouët dkk. 2006).
Bentang laut terumbu karang diidentifikasi berdasarkan analisis informasi terbaik yang tersedia dalam hal keanekaragaman hayati, distribusi dan endemisme karang, ikan terumbu
14
karang, mangrove dan lamun (DeVantier dkk. 2008). Laporan ini juga menyertakan klasifikasi terumbu karang menjadi 4 jenis utama berdasarkan karakteristik dan paparan geomorfologinya.
Distribusi mangrove dan muara sungai didigitalkan dari citra LANDSAT (1999-2001) oleh staf TNC melalui interpretasi visual.
Distribusi fitur-fitur batimetri atau geomorfologi, mamalia laut dan fauna besar laut lainnya di perairan berkedalaman kurang dari 200 meter (Kahn 2008).
Meskipun habitat umumnya digunakan untuk mewakili keanekaragaman hayati dalam laporan ini, juga terdapat beberapa spesies dengan distribusi terbatas ataupun dengan populasi terancam yang juga dipetakan secara terpisah (antara lain burung laut, mamalia laut, ikan hiu dan Ikan Napoleon) (Tabel 5). Distribusi spesies pesisir tertentu ini diidentifikasi melalui pemetaan oleh perwakilan pemerintah atau para ahli setempat. Peta distribusi fitur-fitur ini diberikan pada Lampiran B. Faktor-faktor Sosial Ekonomi Informasi tentang pola-pola pemanfaatan sumberdaya dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya yang didukung maupun berbenturan dengan pengembangan KKL dikumpulkan dengan berfokus pada perikanan, penangkapan ikan yang destruktif, pariwisata, budidaya perairan, pembangunan pesisir, pertambangan dan pelayaran serta pelabuhan (Tabel 5). Informasi ini diperoleh dengan cara mempekerjakan konsultan setempat di setiap provinsi untuk mencari laporan-laporan pemerintah dan memanfaatkan jaringan lokal untuk mencari dan memetakan informasi terkait. Informasi tambahan diperoleh melalui pemetaan oleh pakar. Peta distribusi beberapa faktor ini diberikan pada Lampiran B. Habitat dan Spesies Laut Dalam Dekat Pantai Distribusi habitat dan spesies laut dalam dekat pantai diperoleh melalui analisis fitur-fitur penting batimetri dan oseanografi serta distribusi spesies besar laut yang diketahui (Kahn 2008). Fitur-fitur batimetri dan oseanografi tersebut meliputi gunung laut, ngarai bawah laut, pulau-pulau satelit, jalur migrasi setasea dan habitat pelagis persisten, yaitu daerah-daerah yang mengalami upwelling musiman yang konsisten. Spesies besar laut meliputi setasea, dugong, penyu, hiu, ikan pari dan molamola. Habitat dan spesies laut dalam dekat pantai yang dijadikan sasaran konservasi dalam analisis ini tercantum pada Tabel 6. Peta distribusi fitur-fitur ini disajikan pada Lampiran C.
Penggabungan Basis Data SIG Data dikumpulkan dan dikonversi menjadi peta elektronik spasial (data SIG), dan disusun dalam sebuah geodatabase dalam ArcGIS. Basis data tersebut memuat total 61 tema termasuk konservasi dan fitur-fitur sosial ekonomi (Lampiran A). Salinan geodatabase (yang memuat tema-tema data yang dapat dibagi dengan para mitra) tersedia untuk digunakan oleh lembaga-lembaga dan organisasi mitra di Indonesia. Hasil akhir basis data SIG mencakup tema-tema data yang diperoleh melalui proses pemetaan oleh pakar yang didokumentasikan di bawah ini.
15
Tabel 5. Target konservasi dan faktor-faktor sosial ekonomi untuk perairan pesisir dangkal.
Kategori Habitat Pesisir Dangkal
Target konservasi Terumbu karang
Lamun Mangrove Muara sungai
Selat
Pulau-pulau satelit
Habitat pelagis persisten
Spesies
Lain-lain
Sebaran
Daerah tempat makan dan bertelur/bersarang Lokasi pemijahan Perairan yang menghadap kawasan lindung darat Lokasi penyelaman
Faktor-faktor Sosial Ekonomi
Perikanan dan budidaya laut Penangkapan ikan yang destruktif Pembangunan pesisir Pariwisata Pelayaran
Pertambangan
Uraian Terumbu karang tepi, gosong terumbu, terumbu penghalang dan atol dengan substrat yang menunjang pertumbuhan karang. Terumbu-terumbu digolongkan menjadi sub-kelas berdasarkan geomorfologi dan paparan Substrat yang menunjang pertumbuhan lamun yang padat atau jarang Daerah pasang-surut dan pesisir dengan vegetasi didominasi oleh spesies mangrove Bagian badan air semi tertutup di pesisir yang tersambung bebas ke laut dan tempat terjadinya percampuran air tawar dengan air laut. Terusan sempit yang menghubungkan dua masa air yang lebih besar. Mungkin penting sebagai daerah lintasan migrasi setasea dan fauna besar laut lainnya. Pulau-pulau dekat daratan besar namun terletak terisolir dekat kontur 200m. Secara khusus memiliki keanekaragaman habitat yang tinggi termasuk komponen pesisir dan laut. Daerah pelagis yang memiliki upwelling yang konsisten dan/atau musiman yang ditandai dengan suhu permukaan laut yang lebih rendah dan peningkatan produktivas primer Sebaran setasea, dugong, penyu, mola-mola, hiu paus, ikan pari, Ikan Napoleon di perairan dangkal yang diketahui. Letak lokasi bertelur/bersarang dan daerah tempat makan yang diketahui untuk penyu dan burung laut Letak lokasi pemijahan ikan dan udang. Perairan pesisir yang diperkirakan memiliki kondisi baik karena sedikitnya limpasan dari daratan. Lokasi ini berpeluang untuk pengelolaan KKL karena tersedianya infrastruktur dan sumberdaya. Daerah-daerah yang sering didatangi oleh penyelenggara wisata selam dan besar kemungkinan dalam kondisi baik. Lokasi desa nelayan, daerah penangkapan ikan yang penting dan lokasi budidaya mutiara dan rumput laut serta tambak udang. Lokasi penangkapan ikan dengan bom dan sianida serta pengambilan karang Lokasi kota-kota besar dan kecil di pesisir berdasarkan perkiraan jumlah penduduk saat ini Lokasi infrastruktur pariwisata termasuk resor, hotel dan pontoon. Lokasi jalur pelayaran setempat, nasional dan internasional dan pembangunan pelabuhan yang direncanakan Lokasi pembuangan limbah tambang ke laut atau lokasi limpasan sedimen yang terkait dengan kegiatan pertambangan dan kemungkinan akan mempengaruhi ekosistem laut dan pesisir.
16
Tabel 6. Target konservasi dan faktor-faktor sosial ekonomi untuk daerah laut dalam namun dekat pantai.
Kategori Habitat Laut Dalam
Fitur Atol Pulau-pulau samudera Ngarai Tonjolan (Pinnacles) Gunung laut Pulau-pulau Satelit
Ambang laut dalam Parit (Trenches)
Koridor migrasi - dalam Koridor migrasi dangkal Laluan kecil
Habitat ekstrem
Target Oseanografi
Habitat pantai yang beragam Arus Lintas Indonesia Habitat pelagis persisten
Spesies
Makhluk laut migrasi besar Jumlah besar setasea Keanekaragaman setasea yang tinggi
Target Sosial, Budaya dan Ekonomi
Perairan lintas-batas Pariwisata laut
Uraian Terumbu berbentuk cincin dengan laguna di tengahtengahnya yang dikelilingi laut dalam Pulau-pulau terpencil yang dikelilingi oleh laut dalam Lembah-lembah curam di dasar laut yang seringkali menonjol tajam mengarah ke landas kontinen "Gunung-gunung" bawah laut yang didefinisikan dengan tonjolan kurang dari 1000 m dari dasar laut "Gunung" bawah laut yang didefinisikan dengan tonjolan 1000 m atau lebih dari dasar laut Pulau-pulau dekat daratan besar namun terletak pada posisi terpencil dekat kontur 200 m. Umumnya memiliki keanekaragaman habitat yang tinggi termasuk komponen pesisir dan laut Pematang bawah laut yang dapat membatasi aliran air dalam antara dua lubuk laut Parit-parit yang sangat dalam di dasar laut karena pertemuan batas lempeng tektonik atau zona subduksi/tabrakan Laluan berkedalaman >200 m yang memiliki arti penting secara konservasi ekologi dan regional Laluan berkedalaman <200 m yang memiliki arti penting secara konservasi ekologi dan regional Laluan berkedalaman <50 m yang penting bagi pergerakan lokal fauna besar laut dan mempengaruhi karakteristik oseanografi yang kompleks termasuk di dalamnya upwelling musiman Daerah-daerah dengan perubahan kedalaman yang ekstrim terjadi dalam jarak yang pendek Habitat perairan dangkal yang penting bagi mamalia laut yang hidup di pantai Daerah-daerah yang sangat dipengaruhi oleh Arus Lintas Indonesia Daerah pelagis yang memiliki upwelling yang konsisten dan/atau musiman yang ditandai dengan suhu permukaan laut yang lebih rendah dan peningkatan produktivas primer Lokasi-lokasi yang penting bagi spesies seperti molamola, ikan pari dan hiu paus Lokasi-lokasi dengan beberapa spesies paus yang sering terlihat Lokasi-lokasi yang memiliki keanekaragaman dan kelimpahan setasea tinggi sebagai spesies penghuni tetap dan bermigrasi Perairan antara Indonesia dan Timor Leste yang berbagi perbatasan Lokasi-lokasi kegiatan pariwisata laut baik perjalanan satu hari dan/atau perjalanan rutin dengan menginap di atas kapal
17
Arti sejarah
Arti budaya
Daerah-daerah yang memiliki sejarah penting bagi masyarakat tradisional atau kolonial dari pengaruh bangsa Portugis dan Belanda Daerah-daerah dengan perburuan tradisional mamalia laut yang masih berlangsung
MENGGUNAKAN ALAT BANTU PENDUKUNG PENGAMBILAN KEPUTUSAN (MARXAN) DALAM PERANCANGAN JEJARING KKL Proses perancangan jejaring KKL yang tangguh di Ekoregion Sunda Kecil pada dasarnya merupakan analisis kesenjangan untuk mengidentifikasi WP yang direkomendasikan untuk pengembangan KKL di masa mendatang berdasarkan jaringan KKL yang sudah ada, sebaran habitat dan spesies kunci serta penerapan prinsip-prinsip perancangan jejaring KKL yang tangguh (Tabel 2 dan Tabel 3). Hal ini ditempuh melalui serangkaian proses yang menggabungkan analisis ilmiah terperinci dan masukan yang sangat luas dari para pemangku kepentingan. Proses ini menjadi tugas yang rumit karena harus mempertimbangkan banyak faktor fisik, biologi, sosial dan ekonomi secara simultan. Untuk membantu pelaksanaan tugas ini, digunakan sebuah alat bantu pengambilan keputusan yang disebut Marxan (lihat di bawah), yang memungkinkan dihasilkannya beberapa pilihan-pilihan untuk perancangan jejaring KKL dengan cepat. Hasilnya digunakan untuk mengembangkan rancangan jejaring kawasan lindung yang selanjutnya dapat dimodifikasi berdasarkan masukan dari para pemangku kepentingan kunci dan para ilmuwan. Rancangan jejaring KKL akhir didasarkan pada masukan dari staf instansi pemerintah kunci di setiap provinsi di Indonesia dan dari Timor Leste (Lampiran E, G, H).
Menggunakan Marxan sebagai Alat Bantu Pendukung Pengambilan Keputusan Marxan merupakan sebuah perangkat lunak komputer yang dikembangkan untuk membantu proses perancangan kawasan-kawasan lindung dan jejaring kawasan lindung (Ball dan Possingham 2000, Possingham dkk. 2000). Program ini dirancang untuk membantu sintesa dan otomatisasi proses seleksi sehingga tersedia banyak skenario pengaturan KKL yang dapat dikembangkan dan ditelusuri. Marxan menganalisis data spasial (format SIG) tentang sebaran target-target konservasi dan faktorfaktor sosial ekonomi. Masing-masing target konservasi diberi sebuah sasaran2 untuk merepresentasikan keberadaannya di dalam jejaring KKL dan faktor-faktor sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi nilai konservasi suatu KKL, misalnya pembuangan limbah tambang, atau ketika dampak sosial atau ekonomi yang signifikan timbul karena pengembangan KKL,,misalnya daerah penangkapan ikan yang penting dinyatakan sebagai "beban biaya". Daerah perencanaan dibagi menjadi unit-unit perencanaan yang berbentuk heksagonal. Bentuk hexagonal ini digunakan karena memiliki batas yang sama dengan semua unit yang berseberangan sehingga memungkinkan pilihan yang lebih luas bagi program piranti lunak tersebut dalam memilih unit-unit perencanaan yang berdekatan dan memiliki karakteristik serupa. Dengan menggabungkan tema data SIG di atas tema unit-unit perencanaan tersebut, setiap unit perencanaan kemudian memiliki atribut target-target konservasi dan "beban biaya" konservasi. Marxan mencari dan mengidentifikasi pengaturan unit-unit perencanaan yang paling efisien, misalnya pengaturan yang mencakup bentang terkecil, termasuk daerah-daerah dengan nilai konservasi tertinggi sekaligus menekan "beban biaya" atau dampak sosial ekonomi. Marxan juga mencoba mengatur unit-unit perencanaan yang terpilih menjadi kelompok-kelompok yang tersebar di seluruh kawasan perencanaan. Untuk mengidentifikasi pengaturan terbaik agar unit-unit perencanaan
18
memenuhi semua kriteria ini, Marxan menganalisis data secara "acak" dengan 100 kali proses, dan satu kali proses menghitung ribuan ulangan dan opsi untuk pengaturan unit perencanaan. Sejumlah opsi dihasilkan dari setiap proses Marxan, dan hasilnya dapat digunakan untuk mendukung pengembangan konsep perancangan jejaring KKL untuk dibahas bersama para pemangku kepentingan dan masyarakat. Frekuensi terpilihnya setiap unit perencanaan selama 100 kali proses memberikan indikasi arti pentingnya setiap lokasi, jadi unit-unit perencanaan yang terpilih dari setiap proses Marxan suatu daerah menunjukkan karakteristik khusus yang tidak mudah ditemukan di tempat lain. Hasil proses Marxan tersebut disajikan dengan dua cara. "Solusi jumlah" menghasilkan peta-peta dengan warna hangat (merah/oranye) yang menunjukkan daerah-daerah yang paling sering terpilih, sedangkan warna dingin (hijau dan biru) mewakili daerah-daerah yang jarang terpilih. Daerah-daerah yang jarang terpilih mungkin masih memuat target konservasi penting, namun target ini besar kemungkinan dijumpai di banyak tempat atau tersebar luas, dan mengindikasikan fleksibilitas dalam pemilihan daerah-daerah untuk mewakili target konservasi di unit perencanaan tersebut. "Solusi terbaik" menunjukkan daerah-daerah yang paling memenuhi semua kriteria dan ditampilkan dengan warna merah muda. Marxan juga digunakan sebagai "alat penghitung" untuk menghitung representasi masing-masing target konservasi di jejaring KKL. Pengecekan secara manual digunakan untuk menilai kriteria rancangan lainnya seperti jarak antar KKL. Harap dicatat bahwa ada sedikit perbedaan terminologi antara Marxan dan pendekatan perencanaan konservasi TNC. Terminologi TNC digunakan dalam laporan ini. Perbedaan utamanya adalah: Target TNC = fitur konservasi Marxan; dan Tujuan TNC = target Marxan. Tema Unit Perencanaan Marxan Marxan telah diaplikasikan pada analisis semua perairan pesisir dangkal di wilayah Ekoregion Sunda Kecil. Batas lepas pantai diperluas sampai kontur kedalaman 200 meter. Batas pantai didefinisikan sebagai 1 kilometer ke arah darat dari garis pantai untuk memastikan bahwa pantai tempat bertelur penyu, mangrove dan muara sungai disertakan dalam analisis. Daerah ini dibagi menjadi "unit-unit perencanaan" yang terdiri atas 32.441 heksagonal (masingmasing 1 kilometer persegi) untuk analisis Marxan (Gambar 6). Pengaturan ini memberikan resolusi yang cukup untuk analisis, sekaligus memastikan waktu pemrosesan yang wajar untuk analisis Marxan. Marxan tidak digunakan untuk mengidentifikasi KKL laut dalam dekat pantai (kedalaman >200 meter) namun digambar secara manual (lihat Daerah Laut Dalam Dekat Pantai). Hal ini karena daerah-daerah prioritas yang dijelaskan dalam Kahn (2008), dan dianggap bahwa daerah tersebut terlalu besar untuk aplikasi Marxan secara efektif. Tema Target dan Tujuan Konservasi Masing-masing target konservasi yang digunakan dalam analisis Marxan diberi sasaran untuk keterwakilan. Total 37 target konservasi diberi sasaran yang meliputi sub-kelas untuk beberapa target konservasi seperti terumbu karang yang digolongkan berdasarkan geomorfologi dan paparan (Lampiran D). Sasaran untuk setiap target bervariasi tergantung kriteria rancangannya (Tabel 2 dan 3), sebaran dan distribusi setiap fitur konservasi dan nilai penting atau kelangkaan target. Untuk analisis ini, kami menggunakan:
19
30% dari masing-masing habitat laut dangkal (terumbu karang, mangrove, lamun dan muara) dan sub-kelasnya.
80% dari daerah yang istimewa dan unik termasuk daerah tempat penyu bertelur dan makan yang telah dikonfirmasikan serta lokasi pemijahan untuk ikan dan udang.
5% habitat pelagis persisten skala besar (mis. upwelling), pulau-pulau satelit, selat
80% distribusi setasea dan dugong di perairan pesisir dangkal yang diketahui.
50% daerah yang diketahui penting bagi lumba-lumba (diidentifikasi dari pemetaan oleh pakar).
5% daerah yang diidentifikasi penting bagi burung laut.
100% daerah kecil yang diidentifikasi sebagai habitat penting bagi spesies langka dan/atau terancam kepunahan seperti Ikan Napoleon dan hiu.
80% lokasi penyelaman, karena kemungkinan berada di daerah terumbu karang yang masih dalam kondisi baik (masih perlu dikonfirmasi).
50% daerah laut di depan kawasan lindung pesisir (darat).
Peta masing-masing target konservasi disajikan dalam Lampiran B dan C, dan contoh satu tema data (terumbu karang) disajikan pada Gambar 7.
Gambar 6. Tema unit perencanaan dengan batas-batas provinsi.
20
Gambar 7. Contoh tema data suatu target konservasi: terumbu karang.
Tema Beban Biaya Pada Marxan, tema beban biaya digunakan untuk menyertakan informasi sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi lokasi KKL dalam analisis . Dalam analisis untuk Sunda Kecil, tema beban biaya didasarkan pada faktor-faktor sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi nilai konservasi suatu KKL, misalnya pembuangan limbah tambang atau pengembangan KKL yang mungkin akan menimbulkan dampak sosial atau ekonomi yang signifikan, misalnya daerah penangkapan ikan yang penting. Penghitungan tema beban biaya yang efektif untuk wilayah Ekoregion Sunda Kecil sangat sulit dilakukan karena keterbatasan informasi yang tersedia, Dalam analisis akhir (Tabel 7) digunakan lima tema biaya. Setiap faktor diberi skor 1 sampai 10 yang mewakili tingkat pengaruhnya terhadap tujuan-tujuan konservasi dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Skor 1 menandakan pengaruh terkecil dan 10 menandakan pengaruh terbesar. Total skor beban biaya dikonversi menjadi nilai persentase (antara 1 sampai 100) dengan rumus: Beban biaya = total biaya dari unit perencanaan/ total skor biaya total maksimum * 100. Sebaran skor biaya ditampilkan pada Gambar 8. Informasi tambahan mengenai faktor-faktor sosial ekonomi yang dapat mempengaruhi lokasi KKL juga dikumpulkan, dan digunakan untuk menyempurnakan rancangan jejaring KKL secara ‗manual‘ (tanpa menggunakan fasilitas Marxan) melalui diskusi dengan para pemangku kepentingan. Faktorfaktor tersebut meliputi:
lokasi dan daerah yang mendapat pengaruh industri-industri besar;
lokasi-lokasi tempat tinggal (kota-kota besar));
daerah-daerah penangkapan ikan yang penting; dan
21
daerah-daerah yang memiliki peluang perikanan yang berkelanjutan, pariwisata dan budidaya perairan.
Tabel 7. Tema Beban Biaya
Topik
Uraian
Jalur pelayaran
Jalur pelayaran yang diakui di tingkat internasional, nasional dan provinsi (dengan zona penyangga 1km)
3
Penggunaan bom ikan
Daerah-daerah yang terimbas penggunaan bom ikan (sekarang atau dulu) Daerah-daerah yang terimbas oleh penggunaan racun ikan (sekarang atau dulu) Daerah-daerah yang terdapat pengambilan karang untuk perdagangan akuarium Daerah-daerah yang digunakan untuk budidaya rumput laut dengan daerah penyangga sekeliling sejauh 500m
7
Penggunaan racun ikan
Pengambilan karang
Budidaya rumput laut
Skor
7
Sumber Data Rencana Tata Ruang Pesisir (NTB) Departemen Perencanaan Tata Ruang 2006 Pemetaan oleh pemangku kepentingan Pemetaan oleh pemangku kepentingan
5
Pemetaan oleh pemangku kepentingan
2
Pemetaan oleh pemangku kepentingan/ survei lapangan 2008
Analisis data Marxan merupakan salah satu metode yang digunakan untuk membantu mengidentifikasi daerahdaerah di kawasan Ekoregion Sunda Kecil yang memiliki nilai konservasi tinggi dan berbiaya pengelolaan rendah untuk diikutsertakan dalam jejaring KKL yang tangguh. Marxan digunakan di berbagai tahap perancangan jejaring KKL. Masing-masing tahap dalam proses ini diuraikan secara terinci di bawah ini.
22
Gambar 8. Total skor biaya yang digunakan untuk analisis Marxan.
23
IDENTIFIKASI AWAL DAERAH-DAERAH BERNILAI KONSERVASI TINGGI Marxan pertama kali digunakan untuk menjalankan analisis awal untuk mengidentifikasi daerahdaerah bernilai konservasi tinggi dan dengan beban biaya minimal pada skala yang luas. Untuk analisis ini, kami mempertimbangkan seluruh Ekoregion Sunda Kecil sebagai satu daerah (tanpa dibagi-bagi). Karena tujuan analisis ini adalah untuk mengidentifikasi daerah-daerah luas yang memiliki arti konservasi, sasaran sebesar 60% digunakan untuk keterwakilan masing-masing tipe habitat dan pesisir laut dangkal yang utama. Analisis data juga ‗tidak diberi batasan‘, sehingga KKL yang sudah ada atau sedang diusulkan tidak diidentifikasi dalam analisis tersebut. Total solusi untuk analisis awal ini ditampilkan pada Gambar 9. Daerah yang berwarna merah menunjukkan opsi terbaik yang dapat dipertimbangkan untuk pembentukan KKL karena teridentifikasi sebagai daerah-daerah bernilai konservasi tinggi sekaligus menghindari daerah-daerah berbiaya tinggi. Hasil ini disajikan dalam Lokakarya Pemangku Kepentingan pada bulan Desember 2008 untuk memfasilitasi diskusi dan memperagakan bagaimana Marxan akan digunakan dalam analisis.
LOKAKARYA PEMANGKU KEPENTINGAN: MEMPERKUAT KOMITMEN PEMERINTAH DAN PEMETAAN OLEH PARA AHLI Pada bulan Desember 2008, 50 orang perwakilan dari instansi pemerintah provinsi dan pusat yang terkait, mitra LSM dan para pemangku kepentingan lain berpartisipasi dalam lokakarya perancangan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil di Bali (Lampiran E). Tujuan lokakarya tersebut adalah: 1. untuk memperoleh kesepakatan dari instansi-instansi kunci pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat baik dari Indonesia maupun Timor Leste tentang metode dan prosedur yang akan digunakan untuk mengembangkan rancangan ilmiah suatu jejaring KKL (termasuk prinsipprinsip rancangan jejaring KKL); dan 2. melengkapi basis data SIG melalui penyempurnaan kumpulan data yang ada, mencari kumpulan data tambahan yang belum ada, dan mengumpulkan informasi baru/yang belum pernah dipublikasikan.
24
Gambar 9. Identifikasi awal daerah-daerah bernilai konservasi tinggi (daerah berwarna merah).
25
Memperkuat Komitmen Pemerintah Selama lokakarya ini dilaksanakan, perwakilan pemerintah provinsi dan pusat baik dari Indonesia maupun Timor Leste menyepakati proses untuk mengidentifikasi daerah-daerah yang akan menjadi basis pembentukan jejaring KKL yang tangguh di wilayah Ekoregion Sunda Kecil, dan berkomitmen untuk menerapkan KKL di wilayah kewenangan mereka. Komitmen ini dituangkan secara resmi dalam suatu dokumen yang merinci hasil rekomendasi dari lokakarya ini dan ditandatangani oleh para perwakilan kunci (Lampiran F). Pemetaan oleh ahli Karena masih banyak pengetahuan yang relevan tentang daerah tersebut yang belum didokumentasikan, diadakan sebuah latihan pemetaan untuk mendokumentasikan sebaran spasial target-target konservasi dan sosial ekonomi yang penting berdasarkan pendapat ahli. Saat lokakarya dilaksanakan, para pemangku kepentingan dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan asal negara dan wilayah provinsinya. Peta-peta besar berukuran A1/A0 disediakan yang menunjukkan garis pantai, batas-batas kabupaten dan tema data yang ada berdasarkan target-target konservasi dan analisis sosial-ekonomi. Para peserta mendapatkan pena/spidol warna yang kemudian dipergunakan untuk mengidentifikasi daerah tambahan dari sebaran atau wilayah penting untuk target konservasi utama (habitat dan spesies), ancaman-ancaman (misalnya penangkapan ikan dengan bom/secara destruktif), daerah pemanfaatan sumberdaya (mis. penangkapan ikan, budidaya perairan). Latihan pemetaan oleh pakar tersebut menghasilkan 14 kumpulan data tambahan. Beberapa dari kumpulan data ini, yang oleh para pemangku kepentingan dianggap dapat diandalkan dan berguna untuk analisis, ditambahkan ke basis data SIG.
NASKAH AWAL RANCANGAN JEJARING KKL UNTUK PERAIRAN PESISIR DANGKAL Naskah awal rancangan jejaring KKL untuk habitat laut dan pesisir dangkal dikembangkan dengan menggunakan Marxan pada bulan Maret 2009. Analisis ini mengikuti pendekatan yang sama seperti yang diuraikan untuk analisis pendahuluan untuk mengidentifikasi nilai-nilai konservasi kunci di atas, dengan beberapa penyempurnaan dan modifikasi untuk menggabungkan masukan yang diterima dari para pemangku kepentingan saat lokakarya. Beberapa penyempurnaan utamanya adalah: 1. Tema data SIG baru yang dikembangkan dari pemetaan oleh para ahli dalam Lokakarya Pemangku Kepentingan disertakan dalam analisis. 2. Dalam melakukan analisis, beberapa daerah sengaja ‗diikutkan‘ atau ‗tidak diikutkan‘. KKL yang sudah ada maupun yang diusulkan sengaja diikutkan agar pasti dimasukkan dalam rancangan jejaring KKL. Daerah-daerah perburuan paus secara tradisional di Solor Alor sengaja tidak diikutkan dalam perhitungan dalam perancangan jejaring KKL karena potensi konflik dengan masyarakat setempat yang dapat timbul. 3. Sasaran akhir yang lebih disempurnakan untuk setiap target konservasi (Lampiran D). 4. Daerah perencanaan dibagi menjadi tiga unit stratifikasi (selanjutnya disebut ‗kawasan‘, lihat Gambar 4): Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Timor Leste dengan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT/TL) dipilih karena selaras dengan batas-batas politik Indonesia, kecuali unit NTT/Timor Leste. Kawasan itu terpilih karena mencerminkan
26
perbedaan kualitas dan kuanitas data yang tersedia untuk mengembangkan tema beban biaya dan beberapa target konservasi di setiap provinsi/negara. Analisis Marxan dijalankan satu per satu untuk setiap kawasan secara tersendiri dan hasilnya digabungkan menjadi satu peta (Gambar 10). Peta ini kemudian digunakan sebagai naskah awal perancangan jejaring KKL untuk mengidentifikasi WP yang akan dipertimbangkan sebagai KKL baru di masa mendatang. Penilaian juga dilakukan (dengan menggunakan Marxan sebagai alat penghitung, serta penghitungan manual) untuk memastikan bahwa rancangan sudah memenuhi prinsip-prinsip rancangan jejaring KKL dan dapat dipraktekkan.
Gambar 10. Naskah awal rancangan jejaring KKL yang menunjukkan daerah-daerah konservasi yang sudah ada maupun sedang diusulkan (KKL), dan WP untuk dipertimbangkan sebagai KKL baru untuk habitat laut dan habitat pesisir dangkal.
TINJAUAN ILMIAH RANCANGAN JEJARING KKL Ilmuwan dari tingkat lokal maupun internasional diundang untuk melakukan peninjauan naskah awal rancangan jejaring KKL untuk memastikan terpenuhinya kriteria rancangan serta memperoleh masukan ilmiah tambahan untuk perancangan tersebut. Kurangnya data yang tersedia untuk penghitungan rancangan kawasan Ekoregion Sunda Kencil mempengaruhi hasil akhir dari perhitungan.Terbatasnya data yang tersedia di wilayah Ekoregion Sunda Kecil membatasi kemampuan Marxan untuk memberikan informasi penting dalam proses pembuatan keputusan. Pada bulan April 2009, sekelompok ahli yang terdiri dari 24 orangberasal dari dari kalangan pemerintah Indonesia dan lembaga akademis, beserta penasehat internasional dari TNC, bertemu di Bali untuk sebuah lokakarya ilmiah 2 hari dalam rangka meninjau naskah rancangan jejaring KKL (Lampiran G). Gambar-gambar kawasan Ekoregion Sunda Kecil yang dipindai dari Google Earth diproyeksikan ke layar dan dibandingkan dengan tema data SIG dan naskah rancangan jejaring KKL. Masukan didasarkan pada: pengetahuan para peserta tentang daerah tersebut, inisiatif pemerintah atau masyarakat baru-baru ini yang akan mendukung atau menghambat pengembangan KKL, dan hasilhasil studi yang belum dipublikasikan.
27
Beberapa rangkaian data tambahan yang bersumber dari tata batas dan/atau lokasi KKL yang diusulkan dan WP yang dimodifikasi. Secara khusus, masukan dari perwakilan Timor Leste pada lokakarya ini mengidentifikasi pengusulan sejumlah KKL, yang didigitalisasikan dan dimasukkan ke dalam tema data beberapa KKL yang sudah ada dan yang sedang diusulkan.
NASKAH KEDUA RANCANGAN JEJARING KKL Perairan Pesisir Dangkal Naskah kedua rancangan KKL untuk perairan pesisir dangkal dikembangkan dengan cara memodifikasi batas-batas secara ‗manual‘ berdasarkan masukan dari para ilmuwan kunci pada lokakarya tinjauan ilmiah (Gambar 11). Marxan tidak digunakan untuk membantu perancangan naskah kedua rancangan jejaring KKL ini. Selama proses ini, rancangan KKL terus-menerus dikaji dan disempurnakan untuk memastikan bahwa rancangan tersebut telah memenuhi prinsip-prinsip rancangan jejaring KKL (Tabel 2 dan 3). sejauh yang dapat diterapkan (dengan menggunakan Marxan sebagai alat bantu penghitung, serta dengan penghitungan manual). Untuk penilaian kriteria perancangan, ketiga kawasan digabungkan dalam penghitungannya. Langkah ini merupakan sebuah proses berulang yang mengharuskan pemindahan batas-batas WP, dan menyertakan WP baru, hingga prinsip-prinsip rancangan dan sasaran dapat terpenuhi. Secara khusus, batas-batas wilayah dimodifikasi untuk memastikan bahwa kepentingan biologi, sosial ekonomi dan budaya telah diperhitungkan.
Daerah Laut Dalam Dekat Pantai Habitat dan spesies laut dalam dekat pantai mencakup daerah tempat makan, lintasan migrasi dan jalur sempit migrasi yang penting bagi fauna besar laut, dan fitur-fitur bawah laut seperti ngarai laut dalam dan gunung laut serta atol dan pulau yang berada di samudera (Tabel 6). Bersama dengan kumpulan data pesisir dangkal (Tabel 5) dihasilkan basis data yang menyeluruh dari semua habitat yang menunjang keberlangsungan keanekaragaman hayati di di Ekoregion Sunda Kecil. WP di laut dalam dekat pantai untuk perlindungan habitat dan spesies ini, kemudian digabungkan ke dalam perancangan jejaring KKL saat pengembangan naskah kedua jejaring KKL untuk perairan pesisir dangkal. Pada tahap ini, banyak informasi tentang habitat dan spesies laut dalam dekat pantai yang penting telah didigitisasi dari Kahn (2008). Batas-batas WP laut dalam ditentukan secara manual melalui proses berikutnya yang didasarkan pada kriteria rancangan dalam Tabel 4. Pada bulan April 2009, sebuah kelompok kecil para ahli setempat dan internasional mengidentifikasi 14 daerah kunci tambahan untuk disertakan dalam jejaring KKL sebagai WP laut dalam berdasarkan Kahn (2008). Bila memungkinkan, WP laut dalam ini menyertakan habitat laut dalam dekat pantai yang penting, yang berbatasan dengan KKL laut dangkal menjadi kesatuan habitat dari terumbu perairan pantai sampai ke laut dalam. Hasilnya adalah naskah kedua rancangan jejaring KKL yang mengikutsertakan KKL baik dari habitat laut dangkal dan pesisir maupun habitat laut dalam dekat pantai (Gambar 11).
KONSULTASI AKHIR DENGAN PEMERINTAH PROVINSI DI INDONESIA DAN PEMERINTAH TIMOR LESTE Setelah naskah kedua rancangan jejaring KKL selesai, naskah tersebut digunakan sebagai dasar konsultasi lebih lanjut dengan perwakilan pemerintah di seluruh Ekoregion Sunda Kecil. Naskah
28
tersebut disampaikan kepada berbagai pejabat pemerintah di ketiga provinsi di Indonesia dan Timor Leste selama bulan Mei dan Juni 2009. Tim Sunda Kecil sebanyak mungkin mendatangi setiap ibu kota provinsi di Indonesia dan ibu kota Timor Leste untuk bertemu dengan instansi pemerintah terkait, termasuk Departemen Perikanan, Departemen Kehutanan, Departemen Perencanaan Tata Ruang, Departemen Lingkungan Hidup dan Departemen Pariwisata. Secara keseluruhan 22 pertemuan dan dihadiri oleh 222 peserta dari ketiga provinsi di Indonesia dan di Timor Leste. Tujuan kegiatan ini adalah untuk menumbuhkan kesadaran instansi pemerintah terkait proyek ini dan hasilhasilnya yang akan datang, serta memperoleh masukan dan saran akhir tentang lokasi KKL. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa rancangan tersebut serelevan mungkin dengan kondisi setempat di setiap provinsi, dan sejalan dengan rencana tata ruang atau rencana strategis yang sudah ada. Rangkuman pertemuan-pertemuan ini diberikan pada Lampiran H. Segala usulan perubahan rancangan yang disampaikan selama pertemuan-pertemuan ini dimasukkan secara manual dengan cara memodifikasi batas-batas KKL agar mencerminkan masukan tersebut. Marxan dan pengecekan manual sekali lagi digunakan sebagai alat bantu perhitungan untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip rancangan jejaring KKL telah dipenuhi sebanyak mungkin (khususnya menyangkut tujuan keterwakilan dan replikasi jenis-jenis habitat utama). Rangkaian proses ini menghasilkan rancangan akhir jejaring KKL Sunda Kecil (Gambar 12).
Gambar 11. Naskah kedua rancangan jejaring KKL yang memperlihatkan KKL dan WP yang sudah ada maupun tengah diusulkan untuk dipertimbangkan sebagai KKL baru, baik untuk habitat laut dangkal dan pesisir maupun habitat laut dalam dekat pantai. Keterangan gambar: tidak ada peta dalam versi Bahasa Indonesia Legenda: Province Boundary (Batas Provinsi), Country Boundary (Batas Negara), Zoom in Area (Area yang diperbesar), Area of Interest (Wilayah Penting), Existing Conservation Area (Kawasan konservasi yang ada), Proposed Conservation Area (Kawasan konservasi usulan), Deep Sea Area of Interest (Wilayah penting laut dalam), Trans-Boundary Area of Interest (Wilayah penting lintas batas)
RANCANGAN AKHIR JEJARING KKL UNTUK PERAIRAN PESISIR DANGKAL DAN DAERAH LAUT DALAM DEKAT PANTAI Rancangan akhir jejaring KKL untuk Ekoregion Sunda Kecil ditampilkan pada Gambar 12 dan 13 dan untuk masing-masing kawasan pada Gambar 14-17. Rancangan tersebut mencakup 100 Kawasan Konservasi yang jika dinyatakan dan dikelola secara efektif akan menciptakan jejaring KKL yang tangguh untuk Ekoregion Sunda Kecil. Rancangan jejaring KKL tersebut mencakup total wilayah seluas 9,8 juta hektar (Tabel 8) dan meliputi:
29
86 daerah yang mencakup 5,6 juta hektar dirancang untuk melindungi habitat dan spesies pesisir dangkal, termasuk 23 kawasan lindung pesisir yang sudah ada, 14 KKL yang sudah ada, 19 usulan KKL dan 30 WP baru yang diidentifikasi melalui proses ini; dan
14 daerah yang mencakup 4,2 juta hektar untuk melindungi habitat dan spesies laut dalam dekat pantai, dengan tiga daerah mencakup perairan lintas-batas antara Indonesia dan Timor Leste.
Jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil meliputi:
23 kawasan lindung darat yang berbatasan dengan pesisir dan mencakup habitat pasangsurut, seperti mangrove atau pantai tempat penyu bertelur;
14 KKL yang sudah ada yang mewakili terumbu karang, lamun, mangrove, pantai tempat penyu bertelur dan habitat dan spesies yang terkait;
19 daerah yang telah diusulkan oleh pemerintah pusat, provinsi atau kabupaten untuk dijadikan KKL namun belum dicanangkan;
30 WP2 tambahan yang diidentifikasi melalui analisis ini; dan
14 wilayah penting laut dalam dan lintas-batas — 3 di antaranya mencakup perairan lintasbatas antara Indonesia dan Timor Leste.
Tabel 8. Total luas jejaring kawasan konservasi laut, dan luas masing-masing kategori (kawasan lindung dan KKL yang sudah ada dan sedang diusulkan, WP).
Kategori
Definisi
Total luas (000 ha)
Jumlah
Perairan Pesisir Dangkal Kawasan Lindung Pesisir yang sudah ada
Kawasan konservasi darat yang sudah ada yang berbatasan dengan pesisir yang mencakup fiturfitur konservasi laut intertidal seperti pantai tempat penyu bertelur dan mangrove
150.000
23
KKL yang sudah ada
KKL yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia atau Timor Leste yang mencakup terumbu karang, lamun, mangrove, pantai tempat penyu bertelur dan habitat dan spesies yang terkait
4.350.000^
14
Usulan KKL
Daerah yang telah diusulkan menjadi KKL baru oleh pemerintah pusat, provinsi atau kabupaten di Indonesia atau pemerintah Timor Leste, namun belum dicanangkan secara formal
200.000
19
Wilayah Penting
Daerah pesisir (kedalaman <200 m) yang diidentifikasi selama studi ini untuk disertakan dalam jejaring KKL Sunda Kecil untuk memenuhi criteria rancangan jejaring KKL yang tangguh
900.000
30
5.600.000
86
(WP)
Total
2
KKL yang diusulkan selama proses ini telah disebut "Wilayah Penting" karena batas-batas akhirnya perlu diputuskan dan dicanangkan oleh pemerintah kabupaten, provinsi dan pusat sebelum ditetapkan sebagai KKL.
30
Daerah Laut Dalam Dekat Pantai WP Laut Dalam
Daerah samudera (kedalaman >200 m) untuk melindungi habitat laut dalam dan fauna besar laut
3.200.000
11
WP Lintas-batas
Tiga WP laut dalam yang meliputi perairan lintas batas antara Indonesia dan Timor Leste
1.000.000
3
Total
4.200.000
Grand total
9.800.000
100
^ luas KKL hanya meliputi komponen-komponen wilayah perlindungan yang mencakup perairan laut atau target pesisir seperti mangrove. Sebagai contoh, Taman Nasional Bali Barat meliputi daerah darat dan laut tetapi hanya daerah lautnya yang dilaporkan di sini.
31
Gambar 12. Rancangan akhir jejaring KKL yang memperlihatkan kawasan konservasi (KKL) yang sudah ada dan sedang diusulkan dan WP yang dipertimbangkan untuk dijadikan KKL baru, baik untuk habitat laut dangkal maupun pesisir dan habitat laut dalam dekat pantai. Keterangan gambar: tidak ada peta dalam versi Bahasa Indonesia Legenda: Province Boundary (Batas Provinsi), Country Boundary (Batas Negara), Zoom in Area (Area yang diperbesar), Area of Interest (Wilayah Penting), Existing Conservation Area (Kawasan konservasi yang ada), Proposed Conservation Area (Kawasan konservasi usulan), Deep Sea Area of Interest (Wilayah penting laut dalam), Trans-Boundary Area of Interest (Wilayah penting lintas batas).
32
Gambar 13. Jejaring KKL Sunda Kecil dengan nama dan peruntukan bagi semua KKL dan WP.
33
Gambar 14. Jejaring KKL Bali.
34
Gambar 15. Jejaring KKL Nusa Tenggara Barat.
35
Gambar 16. Jejaring KKL Nusa Tenggara Timur.
36
Gambar 17. Jejaring KKL Timor Leste.
37
PENILAIAN KRITERIA RANCANGAN JEJARING KKL Setelah rancangan akhir jejaring KKL selesai, Marxan dan pengecekan manual digunakan untuk menilai keseluruhan rancangan jejaring KKL guna memastikan bahwa prinsip dan tujuan rancangan pada Tabel 2, 3 dan 4 telah berhasil diterapkan, serta untuk mengkonfirmasikan bahwa tujuan jejaring akan tercapai. Penghitungan manual mengkonfirmasikan bahwa jika daerah-daerah ini dikonservasi secara efektif, prinsip dan tujuan perancangan jejaring KKL akan berhasil diterapkan dan tujuan jejaring akan tercapai. Berikut adalah penilaian bagaimana rancangan akhir jejaring KKL memenuhi kriteria perancangan KKL.
Kriteria Perancangan Biofisik Penyebaran Risiko (Keterwakilan dan Replikasi) Rancangan akhir Jejaring KKL Sunda Kecil tercapai, dan dalam banyak hal melampaui, sebagian besar kriteria untuk keterwakilan (representasi) dan replikasi target-target konservasi, termasuk tujuantujuan yang ditetapkan untuk habitat dan spesies perairan dangkal utama (
Gambar 18). Pada gambar ini keterwakilan habitat di Laut Sawu ditampilkan terpisah karena, dengan luas 3,5 juta hektar, satu KKL ini empat kali lebih luas dari gabungan semua KKL lain yang ada di Sunda Kecil. Alasan mengapa tujuan tersebut terlampaui dalam beberapa hal antara lain: 1. Karena semua KKL dan WP perairan dangkal dimaksudkan sebagai daerah multifungsi, ada sejumlah persentase kecil dari total luas KKL/WP yang akan dimasukkan dalam zona larang ambil.
38
2. Untuk memungkinkan fleksibilitas dalam penerapan jejaring KKL dan delineasi (penggambaran) batas-batas akhir KKL yang mungkin lebih kecil dari luas WP. 3. Ketika habitat pesisir dangkal disertakan dalam WP laut dalam dan lintas-batas besar. Fokus pengelolaan di daerah-daerah ini kemungkinan berupa sistem lepas pantai dengan peraturan yang berbeda dengan KKL/WP yang dirancang untuk melindungi habitat dan spesies pesisir dangkal. Target-target utama konservasi yang diwakili di setiap KKL disajikan pada Lampiran I. Perancangan untuk Ketangguhan terhadap Perubahan Iklim Tidak tersedianya informasi yang terinci tentang daerah-daerah yang tampak lebih tahan atau tangguh terhadap perubahan iklim, kami ‗menyebar risikonya‘ dengan cara memasukkan terumbu-terumbu karang yang terpapar terhadap berbagai faktor lingkungan. Secara khusus, rancangan jejaring KKL memasukkan daerah-daerah terumbu karang yang terpapar terhadap berbagai jenis pengaruh oseanografi, seperti daerah upwelling musiman, arus kuat, terumbu yang terlindungi dan terpapar terhadap variabilitas temperatur yang tinggi seperti rataan terumbu. Dengan cara demikian, daerahdaerah yang mungkin tahan atau tangguh terhadap kenaikan temperatur laut yang disebabkan oleh perubahan iklim (West dan Salm 2003, Reef Resilience Toolkit) kemungkinan akan tercakup dalam rancangan jejaring KKL.
Gambar 18. Keterwakilan habitat dan spesies pesisir dangkal dalam rancangan akhir jejaring KKL Sunda Kecil. Garis horizontal (jingga) menyatakan target untuk persentase keterwakilan.
39
Gambar 19. Keterwakilan kategori-kategori habitat utama dalam rancangan akhir jejaring KKL. Garis horizontal (merah) menunjukkan target keterwakilan.
Melindungi Lokasi dan Spesies Penting Bila lokasi penting seperti tempat pemijahan dan pantai tempat penyu bertelur diketahui, maka lokasilokasi tersebut dimasukkan dalam jejaring KKL. Sebelum pencanangan KKL Laut Sawu, hampir 30% pantai tempat penyu bertelur dilindungi dalam kawasan lindung pesisir dan KKL yang ada (
40
Gambar 18). KKL Laut Sawu menambahkan lagi 10% pantai yang diketahui sebagai tempat bertelur di Sunda Kecil dan sejumlah lokasi tambahan teridentifikasi untuk dimasukkan dalam KKL. Ada kemungkinan penambahan pantai-pantai tempat penyu bertelur yang akan terdokumentasi seiring bertambahnya konservasi dan survei ilmiah di kawasan ini. Pantai tempat penyu bertelur juga dapat dilindungi melalui peraturan setempat dan patroli melalui perjanjian kerjasama dengan masyarakat setempat. Cara ini dinyatakan sebagai strategi pengelolaan yang efektif di Indonesia. Dugong merupakan spesies yang sangat penting dan sangat terancam punah di Indonesia. KKL Laut Sawu mencakup sekitar 50% dari distribusi dugong yang diketahui di Ekoregion Sunda Kecil dan menjadi fokus pengelolaan melawan ancaman-ancaman kunci terhadap dugong antara lain terperangkap dalam jala, tertabrak kapal dan kehilangan habitat (lamun). Ada kemungkinan masih banyak lagi lokasi penting yang masih belum terdokumentasikan di Ekoregion Sunda Kecil untuk tempat bagi spesies laut besar seperti penyu, hiu, ikan pari dan mamalia laut sebagai tempat makan, bermigrasi dan berkembang biak. Saat lokasi-lokasi ini mulai diketahui, maka harus disertakan dalam basis data dan rancangan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil MPA dan perlu dipastikan apakah perlu diadakan perubahan untuk mengakomodasi informasi baru ini ataukah lokasi-lokasi baru ini dapat dilindungi melalui mekanisme pengelolaan lain seperti kesepakatan dengan masyarakat atau pengelolaan perikanan. Konektivitas di dalam dan antar KKL Rancangan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil memenuhi jarak yang direkomendasikan antar KKL dalam suatu jejaring yaitu 100-200 kilometer demi konektivitas genetik (McLeod dkk. 2009). Di samping itu, bila memungkinkan karakteristik yang utuh (pulau, gunung laut, atol dsb.) dimasukkan dalam satu KKL, termasuk "penyangga" di sekitar WP inti. Bila tidak memungkinkan, kami menyertakan daerah yang lebih luas (bukan daerah yang kecil). Arus yang kuat dan pencampuran turbulensi di daerah ini menunjukkan tingkat konektivitas yang tinggi, yang merupakan faktor penting bagi ketangguhan terumbu karang. Selain itu, Ekoregion Sunda Kecil menerima arus laut yang telah melalui terumbu-terumbu karang di Kalimantan dan Sulawesi di utara dan oleh karenanya kemungkinan menjadi "penampungan (sink)‖ larva dari terumbu-terumbu karang lain di Indonesia.
Kriteria Rancangan Sosial Ekonomi Pemanfaatan Multifungsi Sebagai besar KKL yang ada telah dicanangkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pemanfaatan multifungsi antara lain perikanan, pelayaran, pariwisata dan budidaya perairan melalui penerapan rencana zonasi. Semua WP dirancang atas dasar ini untuk memungkinkan pemanfaatan yang ada atau yang diusulkan untuk masa mendatang dengan asumsi bahwa penggunaan tersebut juga akan dicanangkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang memungkinkan pemanfaatan multifungsi. Dengan demikian, tujuannya adalah untuk memungkinkan pengelolaan kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan yang ada secara efektif sekaligus mencegah pemanfaatan yang tidak berkelanjutan di daerah-daerah yang memiliki arti penting secara ekologis. Budaya Sedapat mungkin, daerah-daerah yang memiliki arti budaya dipertimbangkan dalam rancangan jejaring KKL melalui konsultasi dengan perwakilan pemerintah dan pemangku kepentingan. Ada kemungkinan bahwa daerah atau permasalahan yang penting di tingkat lokal perlu didokumentasikan dan dipertimbangkan lebih lanjut dalam pengembangan dan penerapan setiap KKL saat dicanangkan.
41
Perikanan Keberlanjutan perikanan dipertimbangkan dalam perancangan dengan cara memasukkan lokasi-lokasi pemijahan ikan dan udang yang telah diketahui dalam KKL/WP dan menghindari daerah penangkapan ikan penting yang diidentifikasi melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan dan pemetaan oleh pakar. Keberlanjutan perikanan pada skala lokal telah diantisipasi sehingga akan dicapai melalui pengembangan rencana pengelolaan dan zonasi berdasarkan pada informasi skala lokal yang lebih terinci. Pariwisata Berbasis-Alam Dengan menyertakan lokasi-lokasi penyelaman dan daerah dengan karakteristik konservasi yang sudah diketahui berada berdekatan dengan KKL/WP, memberi peluang untuk meningkatkan dan mengelola kegiatan pariwisata berbasis alam. Selain itu, dimasukkannya daerah-daerah laut dalam dekat pantai juga memberikan fokus peningkatan dan pengelolaan kegiatan pengamatan paus dan lumba-lumba. Keanekaragaman setasea yang tinggi dan keberadaannya dekat pantai menunjukkan bahwa kawasan ini memiliki potensi yang sangat tinggi dan belum terwujud sebagai daerah utama pengamatan paus. Infrastruktur dan Industri Batas-batas WP dimodifikasi menurut informasi dari rencana tata ruang dan melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan untuk menghindari daerah-daerah dengan infrastruktur dan industri yang sudah ada atau sedang diusulkan. Bila memungkinkan, dan dengan memastikan bahwa lokasilokasi juga memenuhi kriteria biofisika, lokasi-lokasi WP yang juga berada dekat dengan kota yang diperkirakan bermanfaat besar (berpeluang memperoleh pendapatan melalui pariwisata, kegiatan pendidikan dan penegakan peraturan kelautan) akan berdampak negatif secara berlebih dalam pembangunan pesisir. Pengelolaan yang Efektif Letak WP juga mencerminkan pertimbangan peluang-peluang untuk mengurangi konflik antar pengguna dan ada peluang untuk melindungi atau memperbaiki kondisi ekosistem melalui pengelolaan yang lebih baik. Dengan berkonsultasi dengan pemangku kepentingan secara luas di masing-masing provinsi di Indonesia serta di Timor Leste untuk menghasilkan naskah akhir rancangan KKL, rancangan jejaring KKL diharapkan sejalan dengan keinginan pemerintah setempat dan dukungan mereka diharapkan akan memperluas kesempatan pengelolaan efektif yang terbaik. Bila memungkinkan, WP perairan dangkal ditempatkan di daerah yang dekat dengan kawasan lindung pesisir yang sudah ada atau daerah lindung darat yang mungkin memiliki fasilitas pengelolaan dan patroli, guna memperbesar peluang pengelolaan bersama.
Daerah Laut Dalam Dekat Pantai Dimasukkannya WP laut dalam dan lintas-batas sangat meningkatkan keterwakilan habitat dan spesies laut dalam dekat pantai di KKL. Keterwakilan setasea naik dari 16% di KKL yang sudah ada menjadi 78% dan untuk habitat pelagis persisten (daerah upwelling) keterwakilan tersebut naik dari 31% menjadi 85% (Gambar 19). Karakteristik laut dalam penting lainnya seperti gunung laut, ngarai bawah air dan selat juga terwakili dengan baik dalam WP laut dalam dan lintas-batas di jejaring KKL. Lokasi WP laut dalam dan lintas-batas dipilih dengan cara: 1. memperluas jejaring KKL pesisir sehingga mengikutsertakan habitat laut dalam dekat pantai yang dikelilingi oleh perairan berkedalaman <200m bila memungkinkan; dan
42
2. mengidentifikasi WP laut dalam dan lintas-batas yang secara khusus menjadikan karakteristik batimetri seperti gunung dan ngarai laut sebagai targetnya, serta daerah-daerah yang memiliki distribusi setasea dan fauna besar lainnya yang diketahui.
Rancangan jejaring Ekoregion Sunda Kecil mewakili rancangan jejaring KKL tangguh pertama yang berskala ekoregion di Segitiga Karang. Ekoregion Sunda Kecil menjadi prioritas yang tinggi bagi Pemerintah Indonesia dari segi nilai konservasi maupun nilai pemanfaatan sumberdaya. Baru-baru ini (Bali, Juli 2009) dalam pelaksanaan untuk memprioritaskan ekoregion-ekoregion laut Indonesia untuk aksi-aksi konservasi, Sunda Kecil menduduki peringkat kedua dari 12 ekoregion berdasarkan makna pentingnya (di bawah Bentang Laut Kepala Burung di Papua) baik oleh ilmuwan independen maupun pemerintah Indonesia (Huffard dkk. 2009). Sementara proses rancangan jejaring KKL didasarkan pada informasi ilmiah terbaik yang tersedia tentang distribusi habitat dan spesies serta analisis informasi menggunakan perangkat perencanaan konservasi Marxan, sebagian besar rancangan jejaring KKL mewakili masukan dari lebih dari 300 orang pakar dan pemangku kepentingan melalui suatu proses konsultasi yang panjang. Berkat masukan ini, jejaring KKL sangat sejalan dengan rencana tata ruang yang ada dan sangat berpeluang memperoleh dukungan dan penerapan oleh instansi pemerintah terkait. Kekurangan data, khususnya yang menyangkut faktor-faktor sosial ekonomi, menunjukkan bahwa perangkat inovatif seperti pemetaan oleh pakar telah digunakan untuk mengumpulkan informasi yang tidak terdokumentasikan dalam laporan atau rencana tata ruang. Informasi ini sangat penting dalam memastikan bahwa jejaring KKL memenuhi kriteria sosial ekonomi. Ke-100 daerah lindung yang teridentifikasi dalam jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil meliputi dan merupakan pengembangan dari KKL laut dan pesisir yang sudah ada, dan mengakui KKL yang diusulkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten untuk peruntukan di masa mendatang. Daerahdaerah tambahan di perairan pesisir dangkal maupun laut dalam telah teridentifikasi untuk memenuhi kriteria rancangan jejaring KKL yang tangguh dan melindungi habitat dan spesies laut dalam. Jika diterapkan, jejaring KKL ini dapat memenuhi prinsip-prinsip ketangguhan untuk rancangan jejaring KKL (berdasarkan informasi terbaik yang tersedia pada saat ini). Salah satu fitur khusus jejaring KKL ini adalah bahwa selain KKL pesisir dangkal "tradisional" untuk terumbu karang, mangrove dan pantai peneluran penyu, jejaring ini juga mengikutsertakan habitat laut dalam, sehingga mencakup seluruh kisaran habitat dan spesies di Ekoregion Sunda Kecil. Dibayangkan bahwa KKL laut dalam dekat pantai akan dikelola sedikit berbeda dengan KKL perairan dangkal yang memiliki peraturan perundang-undangan (Indonesia) mengamanatkan penerapan rencana zonasi yang mencakup zona larang ambil. Habitat laut dalam dan fauna besar yang terkait seperti setasea, dugong, hiu dan penyu dapat dilindungi dengan memberikan fokus pengelolaan yang mengurangi ancaman-ancaman utama di lokasi-lokasi kritis yang digunakan untuk berkumpul, tempat makan atau jalur sempit migrasi (migratory bottleneck). Dapat meliputi peraturan khusus untuk alat tangkap ikan, pelayaran, pertambangan dan eksplorasi seismik serta larangan pembuangan limbah tambang ke habitat yang kritis dan sensitif ini. Kerangka legislatif untuk pengelolaan khusus di daerah ini masih belum dikembangkan, namun prinsip-prinsipnya dapat diikutsertakan dalam pengembangan rencana pengelolaan untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan yang baru-baru ini diidentifikasi di seluruh Indonesia. Dokumen ini dapat digunakan sebagai dasar pengembangan KKL tambahan di Ekoregion Sunda Kecil di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten dalam rangka mendukung aspirasi Pemerintah Indonesia untuk mencanangkan 20 juta hektar KKL pada tahun 2020 (Yudhoyono 2009), untuk mengidentifikasi jejaring KKL nasional serta mendukung proses perencanaan tata ruang untuk daerah
43
pesisir dan pulau-pulau kecil. Idealnya, perancangan jejaring KKL akan disertakan dalam rencana tata ruang di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten. Di Nusa Tenggara Timur, jejaring KKL telah dimasukkan dalam naskah rencana tata ruang provinsi, dan di Bali, dukungan untuk pengembangan jejaring KKL untuk seluruh Bali sedang dalam tahap pembahasan. Langkah berikutnya adalah menyusun strategi untuk pengembangan dan pelaksanaan jejaring KKL lebih lanjut dengan cara bekerjasama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten, mengidentifikasi batas-batas KKL yang direvisi dari WP dan meletakkan tata kelola dan kondisi-kondisi yang memungkinkan pada skala dan lokasi yang sesuai. Karena rancangan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil dilakukan dalam skala yang "kasar" atau luas, disarankan untuk melakukan konsultasi dan analisis tambahan pada skala yang lebih kecil untuk menyempurnakan rancangan jejaring KKL guna memastikan bahwa KKL tambahan akan menyertakan informasi di tingkat lokal terkait karakteristik biofisik dan juga sejalan dengan aspirasi pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya di setiap kawasan setempat.
TANTANGAN DAN PEMBELAJARAN Merancang jejaring KKL untuk Ekoregion Sunda Kecil memberikan sejumlah tantangan, yang beberapa di antaranya teratasi melalui perangkat inovatif dan konsultasi yang panjang. Namun diperkirakan bahwa tantangan yang lain mungkin lebih baik ditangani melalui survei yang lebih intensif dan konsultasi di tingkat lokal. Tantangan-tantangan utama dibahas di bawah ini.
Keterbatasan Data Ada tantangan-tantangan yang signifikan dalam memperoleh data untuk Ekoregion Sunda Kecil dari segi tingkat akurasi, skala dan luasan yang diperlukan untuk analisis. Secara khusus, data yang ada untuk Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya sedikit. Akibatnya, banyak informasi (distribusi habitat) yang digunakan dalam analisis ini dikumpulkan dalam skala besar melalui analisis citra satelit resolusi rendah dan dengan menggabungkan opini dan masukan dari para pakar setempat. Yang sangat memerlukan perhatian adalah kurangnya data sosial ekonomi dan pemanfaatan sumberdaya dalam bentuk spasial yang dapat ikut dimasukkan ke dalam analisis. Informasi yang sangat penting seperti peta daerah penangkapan ikan yang penting bagi masyarakat setempat maupun kepentingan komersial tidak tersedia. Di samping itu, dalam banyak hal, data spasial tentang pola pemanfaatan sumberdaya pada rencana tata ruang kabupaten dan provinsi hanya tersedia bagi TNC dalam format cetak. Karena keterbatasan waktu dan sumberdaya selama proyek ini, data cetak tersebut tidak dapat didigitalisasi dan disertakan dalam analisis Marxan dan karenanya dijadikan bahan pertimbangan secara "manual" dalam proses analisis dan pengambilan keputusan. Memasukkan informasi sosial ekonomi dan pemanfaatan sumberdaya lokal menjadi penting ketika mempertimbangkan penerapan jejaring KKL guna memastikan bahwa nilai-nilai suatu KKL tidak terganggu oleh pemanfaatan sumberdaya atau rencana pembangunan yang tidak sejalan di daerah tersebut. Keterbatasan lain dalam memetakan habitat dari citra satelit resolusi rendah adalah terbatasnya pengecekan di lapangan yang dapat dilakukan karena sifat kawasan yang terpencil dan tidak dihuni, yang membuat akses ke terumbu karang dan padang lamun menjadi sulit. Ini berarti bahwa kepercayaan terhadap akurasi penafsiran citra satelit tidak optimal dan perlu ditekankan kembali akan pentingnya mengumpulkan informasi tambahan pada skala lokal selama pengembangan jejaring KKL selanjutnya.
Perencanaan pada Skala Ekoregion Ekoregion Sunda Kecil mencakup daerah yang sangat luas (325.000 kilometer persegi) termasuk 3 provinsi di Indonesia dan negara Timor Leste. Hal ini menimbulkan tantangan dalam hal skala geografis akan data yang diperlukan, mengkoordinir para pemangku kepentingan dan perwakilan
44
pemerintah yang sangat banyak jumlahnya, mengatasi perbedaan tingkat kemampuan, pemahaman dan dukungan untuk KKL, dan waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan ke kawasan yang terpencil. Tantangan yang lain adalah pendanaan karena konsultasi melibatkan perwakilan dari berbagai instansi di masing-masing provinsi dan negara. Mengingat keterbatasan sumberdaya dan waktu untuk proyek ini, konsultasi dengan perwakilan di tingkat kabupaten di seluruh Ekoregion Sunda Kecil tidak mungkin dilakukan.
Memasukkan Prinsip-prinsip Ketangguhan Meskipun banyak prinsip ketangguhan, seperti keterwakilan dan konektivitas habitat, dapat diterapkan pada skala ekoregion, faktor-faktor khusus yang dianggap memberi ketangguhan terhadap perubahan iklim seperti upwelling, bayangan (tidak langsung terpapar sinar matahari), arus kuat dan variasi suhu yang tinggi memerlukan informasi spasial terinci pada skala lokal. Seperti dijelaskan sebelumnya, informasi pada skala lokal tidak mungkin diperoleh selama pelaksanan proyek ini. Oleh karena itu, identifikasi lokasi spesifik faktor-faktor ini di Ekoregion Sunda Kecil didasarkan pada prinsip-prinsip umum atau informasi yang berskala luas. Hal ini menjadi penting pada saat melakukan penyempurnaan perancangan jejaring KKL agar sesuai kondisi setempat, dengan informasi tentang faktor-faktor ini diperoleh pada skala yang sesuai untuk membantu menentukan batas-batas akhir dan mengidentifikasi daerah-daerah spesifik untuk dimasukkan dalam rencana zonasi untuk setiap KKL.
Menyatukan Masukan dari Pakar dan Pihak Lokal "Pemetaan pakar", menghubungkan dengan para ilmuwan dan bekerjasama langsung dengan perwakilan instansi pemerintah kunci sangat berhasil dilaksanakan dan memperbaiki rancangan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil dengan sangat baik. Pelaksanaan pemetaan oleh pakar ini kini digunakan di KKL-KKL lain di Indonesia untuk memperoleh informasi yang relevan di tingkat lokal atau yang belum terdokumentasikan namun relevan bagi rancangan jejaring dan rencana zonasi KKL. Salah satu kesulitan yang dihadapi dalam pemetaan ini adalah memperoleh informasi yang akurat dan konsisten dari segi spasial. Dianjurkan menggunakan peta-peta yang untuk pemetaan oleh pakar memiliki informasi yang akan dikenali oleh para pemangku kepentingan, seperti karakteristik geografis, nama kota dan kontur batimetri, guna mempermudah proses ini. Selain itu, fasilitator kelompok perlu dilatih dengan cermat guna memastikan bahwa data yang dikumpulkan konsisten dan lengkap untuk setiap kelompok. Sulit untuk memperoleh informasi yang terinci dari segi spasial karena peserta seringkali mengidentifikasi kawasan yang besar di daerah mana, misalnya, penggunaan bom ikan terjadi, tanpa membedakan daerah-daerah yang lebih kecil.
Pandangan Keliru yang Umum Dijumpai di Kalangan Pemangku Kepentingan Bahwa KKL Tidak Mengijinkan Kegiatan Pemanfaatan Sumberdaya Salah satu persepsi yang umum dijumpai selama konsultasi adalah banyak pejabat pemerintah dan pemangku kepentingan secara keliru percaya bahwa KKL akan dilindungi sepenuhnya dan tidak memperbolehkan kegiatan pemanfaatan sumberdaya seperti berlayar, menangkap ikan, pariwisata, budidaya perairan maupun kegiatan ekstraksi atau panen lainnya yang berkelanjutan. Meskipun hal ini memang benar untuk beberapa KKL yang ada, peraturan perundang-undangan tentang KKL yang ada saat ini mengakomodir KKL pemanfaatan multifungsi. Jelas bahwa para pejabat pemerintah dan pemangku kepentingan di wilayah regional belum memahami sepenuhnya peraturan perundangundangan ini dan peraturannya yang memungkinkan pemanfaatan multifungsi di KKL. Oleh karena itu, pada awalnya ada sedikit penolakan terhadap lokasi dan ukuran WP dan menyarankan bahwa WP tersebut sebaiknya terletak seluruhnya di daerah yang jauh dari pemukiman. Hal ini dapat diatasi dengan memasukkan program sosialisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang baru bersama proses rancangan KKL.
45
Kurangnya Sumberdaya dan Keterampilan untuk Mengelola KKL yang Ada Secara Efektif Banyak KKL yang ada di Ekoregion Sunda Kecil tidak dikelola secara efektif karena kurangnya sumberdaya yang dialokasikan dan kurangnya kemampuan di instansi pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten yang bertanggung jawab untuk pelaksanaannya. Oleh karenanya, banyak instansi menyoroti sulitnya mengelola KKL yang ada dan belum melihat manfaat nyata dari KKL karena kurangnya contoh pengelolaan yang efektif. Disarankan agar permasalahan ini disikapi sebagai prioritas utama dalam pelaksanaan jejaring KKL.
PENERAPAN Perancangan jejaring KKL Sunda Kecil memberikan "peta-jalan (roadmap)" jangka panjang untuk pengembangan KKL lebih lanjut di Ekoregion Sunda Kecil untuk mendukung komitmen Pemerintah Indonesia mengembangkan jejaring KKL nasional.
Kegiatan Prioritas Tinggi Prioritas tertinggi untuk pelaksanaan jejaring ini adalah mencapai pengelolaan yang efektif atas KKLKKL yang ada di Ekoregion Sunda Kecil. Untuk ini diperlukan: 1. pengaturan tata kelola yang terdefinisi secara jelas untuk masing-masing KKL yang memungkinkan pengelolaan bersama dan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan KKL, misalnya melalui patroli lokal, 2. alokasi sumberdaya yang memadai, termasuk pendanaan dan infrastruktur serta pemeliharaannya; 3. komitmen dari instansi pemerintah yang terkait untuk dukungan pemberlakuan pengelolaan KKL dan rencana zonasi; 4. program-program pengembangan kemampuan bagi staf di instansi pemerintah terkait untuk mengembangkan keterampilan mengelola KKL; 5. keterlibatan lembaga-lembaga yang dapat membantu pengumpulan atau pengelolaan data seperti universitas, divisi penelitian instansi pemerintah pusat, LSM lokal dan kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan seperti kelompok pelestarian alam atau forum nelayan; dan 6. pengembangan mitra lokal seperti LSM lokal dan kelompok masyarakat dan pemangku kepentingan untuk menunjang pelaksanaan KKL. Jika ketentuan yang kondusif di atas tercapai untuk KKL yang ada di semua provinsi di Indonesia dan negara Timor Leste, maka akan memberikan landasan untuk pencanangan dan pengelolaan KKL tambahan dalam rangka membangun jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil yang tangguh.
MEMBANGUN JEJARING KKL YANG TANGGUH Rancangan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil memberikan dasar lebih lanjut pengembangan jejaring KKL yang tangguh. Telah diperkirakan bahwa seiring makin tersedianya informasi, lokasi dan/atau ukuran WP dapat dimodifikasi untuk menyesuaikan dengan kondisi setempat. Meski demikian, untuk memelihara unsur-unsur ketangguhan atas rancangan ini, setiap modifikasi harus tetap mengikuti prinsip-prinsip perancangan yang diidentifikasi pada Tabel 2 dan Tabel 3. Misalnya, jika diputuskan bahwa suatu WP perlu "dipindahkan", maka habitat dan spesies di KKL tersebut perlu didokumentasikan termasuk daerah-daerah di dekatnya yang juga memiliki habitat dan spesies yang
46
serupa. Jika suatu WP tidak dapat diterapkan karena kondisi setempat dan WP tersebut mencakup 100 hektar terumbu karang dan 50 hektar mangrove, maka harus dipilih suatu lokasi alternatif di dekatnya yang juga memiliki 100 hektar terumbu karang dan 50 hektar mangrove. Selain itu, KKL alternatif harus memenuhi konektivitas dan kriteria yang lain seperti kriteria sosial ekonomi. Laut Sawu merupakan contoh KKL yang memasukkan habitat dan spesies laut dalam. Namun pada umumnya, KKL laut dalam masih belum diterapkan di Indonesia tetapi dapat diikutsertakan dalam pengembangan rencana pengelolaan untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang dicanangkan baru-baru ini oleh Pemerintah RI. Indonesia telah dibagi menjadi 13 WPP dan tujuannya adalah untuk mengelola wilayah-wilayah ini menurut prinsip-prinsip Pengelolaan Perikanan dengan Pendekatan Ekosistem. WP laut dalam dan lintas-batas yang teridentifikasi dalam laporan ini dapat diikutsertakan dalam WPP dan/atau kawasan-kawasan ini dapat diidentifikasi sebagai fokus pengelolaan atau pengaturan kegiatan-kegiatan dan menjadi masukan berbasis darat spesifik. Dinyatakan juga bahwa pelaksanaan KKL lintas-batas akan memerlukan pembahasan tingkat tinggi yang panjang antara departemen-departemen terkait di Indonesia dan Timor Leste. Selama proses identifikasi KKL lintas-batas ini, disarankan agar ada satu KKL atau lebih yang diperuntukkan sebagai "Taman Perdamaian" dan dapat memberikan fokus untuk pembuatan garis luar dan menyepakati batas-batas negara sekaligus melengkapi pengelolaan sumberdaya laut.
Sebuah jejaring KKL yang tangguh telah dirancang untuk Ekoregion Sunda Kecil guna mendukung aspirasi Pemerintah RI mengidentifikasi suatu sistem KKL nasional. Secara keseluruhan telah teridentifikasi 100 KKL yang mencakup luas 9,7 juta hektar melalui suatu perpaduan kajian ilmiah yang terinci dengan konsultasi panjang bersama pakar dan pemangku kepentingan. Jejaring KKL meliputi habitat perairan dangkal maupun laut dalam agar melingkupi semua jenis ekosistem yang ada di Ekoregion Sunda Kecil. Proses untuk merancang jejaring KKL didasarkan pada penilaian kesenjangan (gap assessment) yang membandingkan KKL yang sudah ada dan sedang diusulkan dengan kriteria rancangan yang tangguh dan daerah-daerah baru teridentifikasi untuk pengembangan KKL di masa mendatang. Ada sejumlah karakteristik inovatif dari rancangan jejaring KKL ini:
Ini pertama kalinya prinsip-prinsip perancangan jejaring KKL yang tangguh diterapkan pada skala ekoregion di suatu daerah dengan data yang minim.
Jejaring KKL dirancang untuk mendukung konservasi dan pemanfaatan sumberdaya laut pesisir secara berkelanjutan serta menunjang penghidupan masyarakat setempat.
Baik habitat dan spesies pesisir dangkal (mis. terumbu karang, dugong) maupun habitat dan spesies laut dalam (mis. koridor migrasi paus biru) terwakili dalam jejaring KKL. Di samping ke-55 KKL yang sudah ada maupun sedang diusulkan mencakup luasan 1,2 juta hektar untuk habitat pesisir dangkal, serta 3,5 juta hektar KKL Laut Sawu (yang mencakup habitat pesisir dangkal maupun laut dalam), dan teridentifikasi 30 KKL tambahan yang mencakup luasan 900.000 hektar untuk mencapai prinsip-prinsip rancangan yang tangguh. Secara total telah teridentifikasi 14 KKL laut dalam tambahan seluas 4,2 juta hektar untuk mewakili seluruh jenis habitat dan spesies laut dalam dekat pantai. Dari lokasi-lokasi tersebut, tiga KKL meliputi perairan di Indonesia dan Timor Leste dan disebut KKL " lintas-batas".
Pemerintah RI telah berkomitmen untuk menggunakan rancangan jejaring KKL ini sebagai acuan utama untuk pengembangan KKL di Ekoregion Sunda Kecil.
Banyak peluang tersedia untuk masukan pakar dan pemangku kepentingan, yang dapat membantu memperbaiki rancangan dan menghasilkan ―posisi-tawar‖ di tingkat lokal untuk penerapan rancangan tersebut.
47
Penerapan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil akan menjadi sebuah proses jangka panjang. Prioritas tertinggi dalam penerapan jejaring KKL adalah memastikan KKL-KKL yang ada dikelola secara efektif melalui penyediaan pendanaan, sumberdaya dan staf terlatih yang cukup oleh instansi pemerintah terkait. Pencanangan dan pelaksanaan KKL individu lebih lanjut membutuhkan pengumpulan data dan konsultasi pada skala lokal mengingat jejaring KKL ini didasarkan pada informasi yang dikumpulkan pada skala ekoregional sehingga tidak dapat memasukkan karakteristik lokal atau faktor-faktor sosial ekonomi yang penting. Rancangan ilmiah jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil merupakan sebuah sumber yang sangat baik bagi instansi pemerintah pusat, provinsi maupun kabupaten untuk menunjang penyusunan rencana tata ruang laut dan pesisir yang memasukkan dampak perubahan iklim sebagai pertimbangan.
48
Allen, G.R. 2007. ‗Conservation Hotspots of Biodiversity and Endemism for Indo-Pacific Coral Reef Fishes‘. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystems 18: 541-556. Andrefouet, S., Muller-Karger, F.E., Robinson J.A. Kranenburg, C.J., Torres-Pulliza, D, Spraggins, S.A., Murch, B. 2006. ‗Global assessment of modern coral reef extent and diversityfor regional science and management applications: a view from space‘. Proceedings of 10th International Coral Reef Symposium 1732-1745. Ball, I., Possingham, H. 2000 MARXAN (v1.8.2). Marine Reserve Design Using Spatially Explicit Annealing – A Manual Prepared for the Great Barrier Reef Marine Park Authority. Brown, B.E. 1997. ‗Disturbances to Reefs in Recent Times‘. In: Birkeland, C. (Ed.). Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall, New York, NY 10003 Bruno, J.F., Selig, E.R., Casey, K.S., Page, C.A., Willis, B.L., Harvell, C.D., Sweatman, H., Melendy, A.M. 2007. ‗Thermal Stress and Coral Cover as Drivers of Coral Disease outbreaks.‘ PLoS Biology 5(6): 1-8. Burke, L., Reytar, K., Spalding, M., and Perry, A. L. 2011. Reefs at Risk Revisited. Washington, D.C.: World Resources Institute, The Nature Conservancy, WorldFish Center, International Coral Reef Action Network, UNEP World Conservation Monitoring Centre and Global Coral Reef Monitoring Network, 114 pp. Bryant, D., Burke, L., McManus, J., Spalding, M. 1998. Reefs at Risk. A Map-Based Indicator of Threats of the World’s Coral Reefs. World Resources Institute, Washington D.C. Burke, L., Selig, E., Spalding, M. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. World Resources Institute, Washington, D.C. Cesar, H., Lundin, C.G., Bettencourt, S., Dixon, J., 1997. ‗Indonesian Coral Reefs – An Economic Analysis of a Precious but Threatened Resource‘. Ambio 26 (6): 345-350. DeVantier, L.M., Done, T.J. 2007. ‗Inferring Past Outbreaks of the Crown-of-Thorns Seastar from Scar Patterns on Coral Heads‘. Chapter 4. In: Aronson, R. (Ed.). Geological Approaches to Coral Reef Ecology. Ecological Studies Volume 192: 85-125. Springer, New York. DeVantier, L., Turak, E., Allen, G. 2008. Lesser Sunda Ecoregional Planning Coral Reef Stratification: Reef- and Seascapes of the Lesser Sunda Ecoregion. Report to The Nature Conservancy. Bali, Indonesia. 72 pp. Dudley, N. (Ed). 2008. Guidelines for Applying Protected Area Management Categories. Gland, Switzerland: IUCN. X + 86 pp. Fabricus, K.E. 2004. ‗Effects of Terrestrial Runoff on the Ecology of Corals and Coral Reefs: Review and Synthesis‘. Marine Pollution Bulletin 50: 125-146. Fudge, J. 2007. The Solor and Alor Islands, NTT – 2007 Survey Report. WWF Indonesia, September 2007.
49
Gordon, A.L., Fine, A.R. 1996. ‗Pathways of water between the Pacific and Indian oceans in the Indonesian seas‘. Nature 379: 146-149. Green, A.L., Mous, P.J. 2008. Delineating the Coral Triangle, Its Ecoregions and Functional Seascapes. TNC Coral Triangle Program Report, version 5.0. 44 pp. http://conserveonline.org/workspaces/tnccoraltriangle/documents/ct-delineation-report Green, A., Lokani, P., Sheppard, S., Almany, J., Keu, S., Aitsi, J., Warku Karvon, J., Hamilton, R, Lipsett-Moore, G. 2007. Scientific Design of a Resilient Network of Marine Protected Areas. Kimbe Bay, West New Britain, Papua New Guinea. TNC Pacific Island Countries Report No. 2/07. http://conserveonline.org/workspaces/pacific.island.countries.publications/search?site=Conserve Online&q=kimbe+bay+mpa+design Green, A., Smith, S.E., Lipsett-Moore, G., Groves, C., Peterson, N., Sheppard, S., Lokani, P., Hamilton, R., Almany, J., Aitsi, J., Bualia, L. 2009. ‗Designing a resilient network of Marine Protected Area Network for Kimbe Bay, Papua New Guinea‘. Oryx 43(4): 488-498. Grimsditch, G.D., Salm, R.V. 2006. ‗Coral Reefs Resilience and Resistance to Bleaching‘. IUCN Resilience Science Group Paper Series No.1. 52 pp. Halpern, B.S., Walbridge, S., Selkoe, K.A., Kappel, C.V., Micheli, F., D‘Agrosa, C., Bruno, J.F., Casey, K.S., Ebert, C., Fox, H.E., Fujita, R., Heinemann, D., Lenihan, H.S., Madin, E.M.P., Perry, M.T., Selig, E.R., Spalding, M., Steneck, R., Watson, R. 2008. ‗A Global Map of Human Impact on Marine Ecosystems‘. Science 319: 948-952. Harvell, C.D., Kim, K., Burkholder, J.M., Colwell, R.R., Epstein, P.R., Grimes, D.J., Hofmann, E.E., Lipp, E.K., Osterhaus, A.D.M.E., Overstreet, R.M., Porter, J.W., Smith, G.W., Vasta, G.R. 1999. ‗Emerging Marine Diseases – Climate Links and Anthropogenic Factors‘. Science 285: 1505-1510. Harvell, D., Jordan-Dahlgren, E., Merkel, S., Rosenberg, E., Raymundo, L., Smith, G., Weil, E., Willis, B. 2007. ‗Coral Disease, Environmental Drivers, and the Balance between Coral and Microbial Associates‘. Oceanography 20(1): 58-81. Hinchley, D., Lipsett-Moore, G., Sheppard, S., Sengebau, F.U., Verheij, E., and Austin S. (2007). Biodiversity Planning for Palau‘s Protected Areas Network: An Ecoregional Assessment. TNC Pacific Island Countries Report No. 1/07. Hoegh-Guldberg, O. 1999. ‗Climate Change, Coral Bleaching and the Future of World‘s Coral Reefs‘. Freshwater Resources 50: 839-866. Hoegh-Guldberg, O., Hoegh-Guldberg, H., Veron, J.E.N., Green, A., Gomez, E. D., Lough, J., King, M., Ambariyanto, Hansen, L., Cinner, J., Dews, G., Russ, G., Schuttenberg, H. Z., Peñaflor, E.L., Eakin, C. M., Christensen, T. R. L., Abbey, M., Areki, F., Kosaka, R. A., Tewfik, A., Oliver, J. 2009. The Coral Triangle and Climate Change: Ecosystems, People and Societies at Risk. WWF Australia, Brisbane, 276 pp. Hoegh-Guldberg, O., Mumby P.J., Hooten A.J., Steneck R.S., Greenfield P., Gomez E., Harvell C.D., Sale P.F., Edwards A.J., Caldeira K., Knowlton N., Eakin C.M., Iglesias-Prieto R., Muthiga N., Bradbury R.H., Dubi A., Hatziolos M.E. 2007. ‗Coral reefs under Rapid Climate Change and Ocean Acidification‘. Science 318: 1737-1742. Huffard, C.L., Erdmann, M.V., Gunawan T. 2009. Defining geographic priorities for marine biodiversity conservation in Indonesia. Conservation International, Jakarta. 103 pp.
50
Hughes, T.P., Baird, A.H., Bellwood D.R., Card, M., Conolly, R., Folke, C., Grosberg, R., HoeghGuldberg, O., Jackson, J.B.C., Kleypas, J., Lough, J.M., Marshall, P., Nystrom, M., Palumbi, S.R., Pandolfi, J.M., Rosen, B., Roughgarden, J. 2003. ‗Climate Change, Human Impact, and the Resilience of Coral Reefs‘. Science 301: 929-933. Hughes, T.P., Rodrigues, M.J., Bellwood, D.R., Ceccarelli, D., Hoegh-Guldberg, O., McCook, L., Moltschaniwskyj, N., Pratchett, M.S., Steneck, R.S., Willis, B. 2007. ‗Phase Shifts, Herbivory, and the Resilience of Coral Reefs to Climate Change‘. Current Biology 17: 1-6. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change 2007 Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Geneva, Switzerland. http://www.ipcc.ch/ipccreports/assessments-reports.htm [Accessed 26 May, 2009] Jackson, J.B.C., Kirby, M.X., Berger, W.H., Bjorndal, K.A., Botsford, L.W., Bourque, B.J., Bradbury, R.H., Cooke, R., Erlandson, J., Estes, J.A., Hughes, T.P., Kidwell, S., Lange, C.B., Lenihan, H.S., Pandolfi, J.M., Peterson, C.H., Steneck, R.S., Tegner, M.J., Warner, R.R. 2001. ‗Historical Overfishing and the Recent Collapse of Coastal Ecosystems‘. Science 293: 629-638. Kahn, B. 2002. ‗Alor Rapid Ecological Assessment – Visual and Acoustic Cetacean Surveys and Evaluation of Traditional Whaling Practices, Fisheries Interactions and Nature-Based Tourism Potential: October 2001 and May 2002 Survey Periods‘. Alor Rapid Ecological Assessment (REA) Technical Report for WWF - Wallacea and TNC Coastal and Marine Program/Indonesia. 36 pp. Kahn, B. 2004. ‗Indonesia Oceanic Cetacean Program Activity Report – October-Desember 2003: Solor-Alor Visual and Acoustic Cetacean Survey and Applied Ecological Research, Indonesia Marine Mammal Management Area (IM3A), Solor-Alor Marine Protected Area Development‘. 29 pp. Kahn, B. 2006. ‗Living Linkages: The Indo-Pacific Marine Corridors and MPA Networks of Indonesia – Managing Critical Habitats for Migratory Oceanic Whale Species‘. In: Proceedings of the 20th Annual Meeting of the Society for Conservation Biology, ‗Conservation Without Borders‘, 24-28 June 2006, San Jose, California, USA. Khan, B. 2008. ‗Lesser Sunda – Timor-Leste (East Timor) Ecoregional Planning: Deep-Sea yet NearShore Habitats Associated with Oceanic Cetaceans. Apex International. 25 pp. Kleypas, J.A., Danabasoglu, G., Lough, J.M. 2008. ‗Potential Role of the Ocean Thermostat in Determining Regional Differences in Coral Reef Bleaching Events‘. Geophysical Research Letters 35: 1-6. Lubchenco, J., Palumbi, S.R., Gaines, S.D., Andelman, S. 2003. ‗Plugging a Hole in the Ocean: The Emerging Science of Marine Reserves. Ecological Applications 13(1): S3-S5. Marshall, P., Schuttenberg, H. 2006. A Reef Manager’s Guide to Coral Bleaching. Great Barrier Reef Marine Park Authority Publication, Townsville, Australia. McLeod, E., Salm R.V. 2006. Managing Mangroves for Resilience to Climate Change. IUCN Resilience Science Group Working Paper Series No.2. 52 pp. McLeod, E., Salm, R., Green, A., Almany, J. 2009. ‗Designing Marine Protected Area Networks to Address the Impacts Of Climate Change‘. Frontiers in Ecology and the Environment; 7 doi: 10.1890/070211.
51
Nystrom, M., Folke, C., Moberg, F. 2000. ‗Coral Reef Disturbance and Resilience in a HumanDominated Environment‘. Trends in Ecology and Evolution 15: 413-417. Pandolfi, J.M., Bradbury, R.H., Sala, E., Hughes, T.P., Bjorndal, K.A., Cooke, R.G., McArdle, D., McClanachan, L., Newman, M.J.H., Paredes, G., Warner, R.R., Jackson, J.B.C. 2003. ‗Global Trajectories of the Long-Term Decline of Coral Reef Ecosystems‘. Science 301: 955-958. Pandolfi, J.M., Jackson, J.B.C., Baron, N., Bradbury, R.H., Guzman, H.M., Hughes, T.P., Kappel, C.V., Michell, F., Ogden, J.C., Possingham, H.P, Sala, E. 2005. ‗Are U.S. Coral Reefs on the Slippery Slope to Slime?‘ Science 307: 1725-1726. Pet-Soede, L., Erdmann, M. 1998. ‗An overview and comparison of destructive fishing practices in Indonesia‘. SPC Live Reef Fish Information Bulletin 4: 28-36. Possingham, H.P., Ball, I.R., Andelman, S. 2000. ‗Mathematical Methods for Identifying Representative Reserve Networks‘. In: S. Ferson and M. Burgman (Eds.). Quantitative Methods for Conservation Biology. Springer-Verlag, New York, pp. 291-305. Sprintall, J., Wijffels, S., Gordon, A.L., Ffield, A., Molcard, R, Susanto, R.D, Indroyono, Soesilo and Sopaheluwaka, J. 2004. ‗INSTANT: A New International Array to Measure the Indonesian Throughflow‘. Eos 85(39): 369, 376. Sprintall, J., Wijffels, S., Molcard, R, Jaya I. 2009. ‗Direct estimates of the Indonesian Throughflow entering the Indian Ocean: 2004–2006‘. Journal of Geophysical Research 114: C07001, doi:10.1029/2008JC005257 [TNC] The Nature Conservancy. 2009. R2-Reef Resilience Toolkit: Resources for Coral Reef Managers. www.reefresilience.org/home.html [Accessed 26 May, 2009] Torres-Pulliza, D. 2008. LANDSAT Derived Ecoregional Seagrass Habitat Mapping: Approach to Support the Development of a Resilient Network of MPAs in the Lesser Sunda Ecoregion. Technical Report to The Nature Conservancy. Bali, Indonesia. Veron, J.E.N. 2008. A Reef in Time: The Great Barrier Reef from Beginning to End. The Belknap Press of Harvard University Press, London, England. Veron, J. E. N., L. M. De Vantier, E. Turak, A. L. Green, S. Kininmonth, M. Stafford-Smith, and N. Petersen. 2009. ‗Delineating the Coral Triangle‘. Galexea, Journal of Coral Reef Studies 11:91100. World Parks Congress 2003 http://www.iucn.org/themes/wcpa/wpc2003/pdfs/outputs/wpc/recommendations.pdf West, J., Salm, R.V. 2003. Resistance and Resilience to Coral Bleaching: Implications for Coral Reefs Conservation and Management. Conservation Biology 17 (4): 956-967. Wilkinson, C. (Ed.). 2008. Status of Coral Reefs of the World. Global Coral Reef Monitoring Network and Reef and Rainforest Research Centre, Townsville, Australia, 296 p. Wiryawan, B., Dermawan, A., Suraji. (Ed.). 2006. Panduan Pengembangan KKLD (Marine Management Area/MMA) di Wilayah COREMAP II – Indonesia Bagian Barat. (English translation: Guide for the Development of Marine Management Area in COREMAP II Region – Western Indonesia) Jakarta: Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP) II.
52
Yudhoyono, S.B. 2006 Message from H.E. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, President of the Republic of Indonesia, for the Conference on Convention on Biological Diversity, Brazil 20-31 March, 2006. Yudhoyono, S.B. 2009 Speech by Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, President of the Republic of Indonesia, at the Coral Triangle Initiative Summit, Manado, 15 May 2009.
53
LAMPIRAN A. DAFTAR SEMUA TEMA DATA DALAM BASIS DATA SIG SUNDA KECIL. Kategori
Uraian
Nama file
Sumber
Lampiran
Batas-batas provinsi dan kabupaten – Bali
bli_admin_line
Bappeda
Batas-batas provinsi dan kabupaten – Nusa Tenggara Barat Batas-batas provinsi dan kabupaten - Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste Garis pantai – Bali Garis pantai – Nusa Tenggara Barat Garis pantai – Nusa Tenggara Timur Batas Ekoregion Sunda Kecil Batas-batas KKL, kawasan lindung pesisir dan "wilayah penting" yang ada
ntb_ admin_line ntt_admin_line
Bappeda Bappeda
bli_landdistrict_poly ntb_landdistrict_poly ntt_landdistrict_poly lse_ecoregion20080930_poly lse_mpanetwork_line lse_mpanetwok_poly
Bappeda Bappeda Bappeda TNC Departemen Perikanan dan Departemen Kehutanan
lse_coralreef_poly lse_reefscapegeneral_poly
Torres-Pulliza 2008 DeVantier dkk. 2008 DeVantier dkk. 2008
B1 B2 B3
lse_reefscapegeneral_poly
DeVantier dkk. 2008
B3
lse_reefscapegeneral_poly
DeVantier dkk. 2008
B3
lse_reefscapegeneral_poly lse_reefscapedetail_poly
DeVantier dkk. 2008 Torres – Pulliza 2008
B3 B4
lse_reefscapedetail_poly lse_reefscapedetail_poly
Torres – Pulliza 2008 Torres – Pulliza 2008
B4 B4
Tema SIG Dasar Batas-batas administratif
KKL dan kawasan lindung pesisir yang ada Habitat pesisir dangkal Terumbu karang Batas luar terumbu karang Bentang terumbu Klasifikasi terumbu karang – paparan, Terpapar, pantai dengan terumbu tepi dan berbatu menghadap zona terumbu ke utara Gosong terumbu dengan pengaruh dari utara dan semiterpapar Terpapar, pantai dengan terumbu tepi dan pantai berbatu dengan pengaruh dari selatan Habitat terlindung, anak teluk Klasifikasi terumbu karang geomorfologi Fitur terumbu karang dalam (deep reef) Lereng terumbu muka (forereef slope) Rataan terumbu (reef flat)
54
Lamun Mangrove Muara Selat Pulau Satelit Habitat pelagis persisten
Undak laguna terumbu (reef lagoonal terrace) Jarang sampai sedang Sedang sampai rapat Batas luar mangrove Batas luar muara Batas luar selat* Batas luar pulau lepas pantai *
lse_reefscapedetail_poly lse_seagrass_poly lse_seagrass_poly lse_mangroves_poly lse_estuary_poly lse_strait_poly lse_satelliteislands_poly
Torres – Pulliza 2008 Torres – Pulliza 2008 Torres – Pulliza 2008 Digitalisasi dari citra satelit Digitalisasi dari citra satelit Kahn 2008 Kahn 2008
B4 B5 B5 B6 B6 C1 C2
Wilayah upwelling persisten di sisi selatan pulau *
lse_pphsouth_poly
Kahn 2008
C4
lse_pphnorth_poly
Kahn 2008
C4
lse_dugong_poly bli_molamola_poly bli_manta_poly lse_cetaceanblue_poly lse_cetaceanbryde_poly lse_cetaceanhumpback_poly lse_cetaceansperm_poly lse_cetaceanhighdiversity_poly bli_dolphin_poly ntb_shark_poly ntb_whale_poly bli_endangeredspecies_point ntb_endageredspecies_point lse_turtlenesting_poly
Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Pemetaan oleh pakar Pemetaan oleh pakar Pemetaan oleh pakar Pemetaan oleh pakar Pemetaan oleh pakar Basis data WWF, pemetaan oleh pakar Salm 1980 Basis data WWF Pemetaan oleh pakar Kahn 2008
B7
Wilayah upwelling persisten di sisi utara pulau * Spesies pesisir dangkal Distribusi Dugong Mola mola Ikan pari Manta Distribusi Paus Biru * Distribusi Paus Byrdes * Distribusi Paus Bungkuk * Distribusi Paus Sperma * Daerah distribusi setasea berkeanekaragaman tinggi * Distribusi Lumba-lumba Distribusi Hiu (Nusa Tenggara Barat) Distribusi Paus (Nusa Tenggara Barat) Spesies terancam punah (Bali) Spesies terancam punah (Nusa Tenggara Barat) Daerah tempat Lokasi tempat penyu bertelur makan dan bertelur Daerah penting untuk penyu Daerah tempat makan penyu Distribusi sarang burung laut (Nusa Tenggara Barat) Lokasi bertelur Daerah tempat bertelur untuk ikan dan udang Fitur lainnya Lokasi penyelaman Perairan yang berbatasan dengan kawasan lindung darat
lse_turtleimportantarea_poly lse_turtlefeeding_poly ntb_seabirds_poly ntb_spags_poly lse_divesites_point Penyangga yang digunakan dari batas-batas kawasan lindung darat
Pencarian di Internet
C5 C5 C5 C5 C5 B8 B9 B9 B10 B11 B11 B8 B12
Sosial ekonomi
55
Perikanan dan budidaya perairan
Penangkapan ikan secara destruktif Pembangunan pesisir Pariwisata
Pelayaran
Desa nelayan (Bali)
Bli_fishingvillages_poly
Desa nelayan (Nusa Tenggara Barat) Tambak udang (Bali)
Ntb_fishermenvilage_point bli_shrimppond_poly
Tambak udang (Nusa Tenggara Barat)
ntb_shrimppond_poly
Tambak bandeng (Nusa Tenggara Barat) Budidaya rumput laut (Nusa Tenggara Barat)
ntb_milkfish_pond bli_seaweed_poly
Daerah penggunaan bom ikan (Nusa Tenggara Barat)
ntb_destructivefishing_poly
Daerah penggunaan bom ikan (Nusa Tenggara Timur) Populasi kabupaten Daerah pengamatan lumba-lumba (Bali) Derah tempat kegiatan olah raga air (Bali) Daerah selancar (Bali) Daerah wisata pesisir (Nusa Tenggara Barat) Daerah wisata pesisir (Nusa Tenggara Timur) Pelabuhan, bandar dan pusat pendaratan ikan
ntt_destructivefishing_poly Indonesia_village bli_dolphinwatching_poly bli_marine_sport bli_surfing_poly ntb_marinetourism_poly ntt_marinetourism_poly ls_porttpippiharbour_point
Jalur pelayaran (Bali) Daerah pertambangan di daerah pesisir (Nusa Tenggara Barat) Habitat dan spesies laut dalam dekat pantai Habitat laut dalam Garis luar selat * Pulau satelit * Pulau samudera Atol samudera Gunung laut Ngarai bawah air Ambang bawah laut Oseanografi Wilayah upwelling persisten di sisi selatan pulau * Wilayah upwelling persisten di sisi utara pulau * Arus Lintas Indonesia Spesies Dugong Mola-mola Pertambangan
Departemen Perikanan (Provinsi Bali) Survei lapangan 2008 Survei lapangan, laporan pemerintah Rencana tata ruang Nusa Tenggara Barat (2006-2020) Pemetaan oleh pakar Laporan pemerintah provinsi dan kabupaten Pemetaan oleh pakar
bli_shippinglanes_line ntb_mining_poly
Pemetaan oleh pakar Statistik pemerintah pusat DKP Bali Survei lapangan 2008 Pemetaan oleh pakar Pemetaan oleh pakar Pemetaan oleh pakar Survei 2008, laporan pemerintah provinsi Bappeda Pemetaan oleh pakar
lse_strait_poly lse_satelliteislands_poly lse_oceanicislands_poly lse_atolsoceanicreefs_poly lse_seamounts_poly lse_canyon_poly lse_sills_poly lse_pphsouth_poly lse_pphnorth_poly Lse_indonesia_inflow lse_dugong_poly bli_molamola_poly
Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008
C1 C2 C2 C2 C3 C3 C3 C4 C4 B7
56
Ikan pari Manta Distribusi Paus Biru * Distribusi Paus Byrdes* Distribusi Paus Bungkuk* Distribusi Paus Sperma * Daerah distribusi setasea berkeanekaragaman tinggi *
bli_manta_poly lse_cetaceanblue_poly lse_cetaceanbryde_poly lse_cetaceanhumpback_poly lse_cetaceansperm_poly lse_cetaceanhighdiversity_poly
Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008 Kahn 2008
C5 C5 C5 C5 C5
57
LAMPIRAN B. PETA TARGET KONSERVASI LAUT DANGKAL.
Gambar B1. Batas-batas terumbu karang.
58
Gambar B2. Bentang terumbu karang.
59
Gambar B3. Klasifikasi terumbu – paparan dan tipe terumbu. Keterangan gambar: tidak ada peta dalam versi Bahasa Indonesia Legenda: Province Boundary (Batas Provinsi), Country Boundary (Batas Negara), Zoom in Area (Area yang diperbesar), Ungu = Terpapar, terumbu dan pesisi batu menghadap Utara, Hijau = Terpapar, terumbu dan pesisi batu menghadap Selatan, Jingga = Kepulauan Komodo, Coklat = karang terpengaruh dari Utara dan semi terpapar, Abu-abu = habitat yang terlindung, Blok Biru = Terumbu karang.
60
Gambar B4. Klasifikasi terumbu karang - geomorfologi.
61
Gambar B5. Batas-batas dan klasifikasi lamun.
62
Gambar B6. Batas-batas mangrove.
63
Gambar B7. Distribusi dugong.
64
Gambar B8. Distribusi lumba-lumba dan lokasi tempat burung laut membuat sarang. Informasi untuk Nusa Tenggara Timur tidak tersedia.
65
Gambar B9. Distribusi spesies terancam, langka dan/atau dilindungi dari pemetaan oleh pakar dan laporan pemerintah. Informasi untuk Nusa Tenggara Timur tidak tersedia.
66
Gambar B10. Pantai tempat peteluran penyu.
67
Gambar B11. Distribusi daerah tempat makan penyu (WWF Indonesia) dan daerah-daerah "penting" yang diidentifikasi dalam Salm (1980).
68
Gambar B12. Lokasi-lokasi penyelaman.
69
LAMPIRAN C. FITUR-FITUR KONSERVASI LAUT DALAM DEKAT PANTAI
70
Gambar C1. Selat-selat yang mewakili lintasan dan jalur sempit migrasi yang penting bagi setasea.
Gambar C2. Pulau-pulau satelit, pulau samudera, atol dan terumbu.
71
Gambar C3. Gunung laut, ngarai dan ambang.
72
Gambar C4. Daerah-daerah yang biasa mengalami upwelling selama musim angin selatan (April sampai Mei) dan utara (Oktober sampai November).
73
Gambar C5. Distribusi setasea besar.
74
LAMPIRAN D. TUJUAN BAGI SEMUA TARGET KONSERVASI. Target konservasi
Uraian Bali
Perairan pesisir dangkal Terumbu karang Batas luar terumbu karang Klasifikasi terumbu Terpapar, terumbu tepi dan pantai berbatu karang – paparan, menghadap ke utara zona terumbu Gosong terumbu dengan pengaruh dari utara dan semi-terpapar Terpapar, pantai dengan terumbu tepi dan pantai berbatu dengan pengaruh dari selatan Habitat sangat terlindung, anak teluk Klasifikasi terumbu Fitur terumbu dalam karang – Lereng terumbu muka (forereef slope) geomorfologi Rataan terumbu Undak laguna terumbu Lamun Jarang sampai sedang Sedang sampai rapat Mangrove Batas luar Mangrove Muara Batas luar muara Selat Batas luar selat* Pulau Satelit Batas luar pulau lepas pantai * Habitat pelagos Wilayah upwelling persisten di sisi selatan persisten pulau * Wilayah upwelling persisten di sisi utara pulau * Spesies pesisir dangkal Distribusi spesies Dugong Mola-mola Ikan Pari Manta Distribusi Paus Biru * Distribusi Paus Byrdes * Distribusi Paus Bungkuk * Distribusi Paus Sperma * Daerah distribusi setasea berkeanekaragaman tinggi * Distribusi Lumba-lumba Distribusi Hiu (Nusa Tenggara Barat) Distribusi Paus (Nusa Tenggara Barat) Spesies terancam punah (Bali) Spesies terancam punah (Nusa Tenggara Barat) Wilayah tempat Lokasi tempat penyu bertelur makan dan bersarang Daerah penting untuk penyu Daerah tempat makan untuk penyu Distribusi tempat bersarang burung laut (Nusa Tenggara Barat) Tempat bertelur Tempat bertelur untuk ikan dan udang Fitur-fitur lain
% tujuan NTB NTT
30 30
30 30
30 30
30
30
30
30
30
30
30 30 30 30 30 30 30 30 100 5
30 30 30 30 30 30 30 30 30 5 5 5
30 30 30 30 30 30 30 30 30 5 5 5
5
5
5
80 100 100
80
5 5 5 5 5
5 50
50 5
30 100 30
80
80 80
80 5 100
80
75
Lokasi penyelaman Perairan berbatasan dengan kawasan lindung darat
80
80 50
80
76
LAMPIRAN E. PESERTA LOKAKARYA SUNDA KECIL DESEMBER 2008. No. Nama Pusat 1 M. Eko Rudianto 2 Agus Dermawan 3 Ngurah N. Wiadnyana 4 Abdul Ghofar 5 Wudianto 6 Yaya Mulyana 7 Sutomo 8 Rofi Alhanif Bali 9 A.A.N. Ketut Parwa 10 Widhi Artha P. 11 Astari 12 Ida Bagus Arnaya 13 Frida Sidik 14
B. Realino
15 Nuryani Widagti 16 Dati Pertami 17 Elvan Ampou Nusa Tenggara Barat Mohammad Yunan 18 I. A. Makchul 19 Wihandono Eki Sutopo 20 I Gusti Putu Supartha 21
Mohammad Yunan
Jabatan dan Instansi Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil - Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktur Konservasi dan Taman Nasional Laut – Kementerian Kelautan dan Perikanan Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan (Komnaskajiskan) Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan (Komnaskajiskan) Badan Penelitian Kelautan & Perikanan - Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktor PMO COREMAP Direktorat Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil - Kementerian Kelautan dan Perikanan Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut - Kementerian Kelautan dan Perikanan Dinas Pariwisata Provinsi Bali Badan Perencanaan & Pembangunan Daerah Provinsi Bali Dinas Kelautan & Perikanan Provinsi Bali Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Bali Kepala Divisi Konservasi - SEACORM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bali Barat Kepala Divisi Penginderaan Jarak Jauh Laut – BROK/SEACORM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bali Barat BROK/SEACORM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bali Barat BROK/SEACORM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bali Barat BROK/SEACORM, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Bali Barat Kepala Seksi Konservasi Kelautan dan Perikanan – Dinas Kelautan & Perikanan Provinsi NTB Kepala Divisi Statistik – Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Provinsi NTB Staf Divisi Konservasi dan Perlindungan – Badan Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi NTB Pengolah Data & Program – Dinas Kebudayaan & Pariwisata Provinsi NTB Kepala Seksi Konservasi Kelautan dan Perikanan – Dinas Kelautan & Perikanan Provinsi NTB
77
No. Nama Nusa Tenggara Timur 22 Nico B. Nuhan 23 I.A. Lochana Dewi 24 Dahlan Makatutu 25 Jotham Ninef 26 Izaak Angwarmasse 26 Floridius Dionisius Timor Leste 27 Abilio de Deus de Jesus Lima 28 Rafael Pereira Goncalves 29 Augusto Fernandes 30
Adalfredo Do Rosario Ferreira
Organisasi non-pemerintah 31 Abdul Halim 32 Joanne Wilson 33 Johannes Subijanto 34 Arief Darmawan 35 Gede R. Wiadnya 36 Wen Wen 37 Rudyanto 38 Stephanus Mandagi 39 Marthen Welly 40 Alexander S. Tanody 41 Anton Wijonarno 42 Edwin Bimo 43 Ari Soemodinoto 44 Juliana Tomasouw 45 Stuart Sheppard
Jabatan dan Instansi Kepala Subdivisi Sumber Daya Alam – Dinas Kelautan & Perikanan Provinsi NTT Dinas Kelautan & Perikanan Provinsi NTB Kepala Badan KKL Nasional di Kupang - Kementerian Kelautan dan Perikanan Kepala Tim Pengkajian & Penetapan KKL (PPKKL) Laut Sawu Koordinator Ilmiah – Tim Pengkajian & Penetapan KKL (PPKKL) Laut Sawu Kepala Seksi Tata Ruang Laut dan Pelabuhan – Dinas Kelautan & Perikanan Kabupaten Sika Menteri Negara Lingkungan Hidup – Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) Kepala Taman Laut, Perlindungan & Konservasi Sumber Daya Perairan – RDTL Direktur Nasional Perikanan & Budidaya Perairan, Kementerian Pertanian dan Perikanan, RDTL Direktur Penelitian dan Informasi – Direktorat Nasional ALGIS, Kementerian Pertanian dan Perikanan, RDTL Program Manager, TNC Indonesia Marine Program Lead Scientist, TNC Indonesia Marine Program Portfolio Manager, Sunda Kecil, TNC Indonesia Marine Program GIS specialist, TNC Indonesia Marine Program Training Manager, TNC Indonesia Marine Program GIS specialist, TNC Indonesia Marine Program Data manager, TNC Indonesia Marine Program Deputy Scientist, TNC Indonesia Marine Program Program Leader, Nusa Penida MPA, TNC Indonesia Marine Program Policy, Savu Sea MNP, Nusa Tenggara Timur, TNC Indonesia Marine Program Conservation Coordinator, Savu Sea MNP, Nusa Tenggara Timur, TNC Indonesia Marine Program Communications Officer, TNC Indonesia Marine Program Monitoring and Evaluation Coordinator, TNC Indonesia Marine Program Program Support Coordinator, TNC Indonesia Marine Program Data Node Manager, TNC Asia Pacific
78
No. 46 47 48 49 50
Nama Maha Adi Ketut Sarjana Putra Tiene Gunawan Scott Atkinson Wawan Ridwan
Jabatan dan Instansi Konsultan TNC Director of Marine Program, CI Indonesia Policy and Planning Coordinator, CI Indonesia CI Indonesia Director of Marine Program - WWF Indonesia
CI = Conservation International, RDTL = Republik Demokratik Timor Leste, TNP = Taman Nasional Perairan, SEACORM = Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring, TNC = The Nature Conservancy.
79
LAMPIRAN F. REKOMENDASI DARI LOKAKARYA KKL SUNDA KECIL DESEMBER 2008 Rekomendasi dari Lokakarya Jejaring MPA Ekoregion Sunda Kecil Pada tanggal 18-19 Desember 2008 bertempat di Mercure Hotel, Sanur, Bali, telah dilaksanakan Lokakarya Pengembangan Jejaring Kawasan Konservasi Laut Ekoregion Sunda Kecil yang bertujuan untuk menyajikan hasil perancangan jejaring KKL yang telah dipersiapkan. Berdasarkan pemaparan narasumber dan diskusi peserta, disepakati bahwa setelah lokakarya ini perlu ditindaklanjuti beberapa aspek untuk mendapatkan hasil yang lebih komprehensif, berdasarkan masukan berbagai pihak, terintegrasi dengan perencanaan di berbagai level sehingga dapat diimplementasikan dengan baik dalam mendukung kebijakan nasional pengembangan KKL. Beberapa aspek tersebut meliputi: 1. Basis Data Guna melengkapi pemetaan dan pengembangan basis data untuk merancang jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil, maka lokakarya ini perlu ditindaklanjuti dengan melengkapi data-data yang dibutuhkan dan validasi data yang telah terkumpul terkait ekosistem atau habitat penting pesisir dan laut seperti terumbu karang, hutan bakau, padang lamun, lokasi pemijahan ikan, lokasi migrasi paus, dan lumbalumba, mola-mola (sunfish), pari manta, dan lainnya. Masukan data tersebut dikoordinasikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan masing-masing provinsi untuk selanjutnya disampaikan kepada Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut DKP (kontak: Andy Rusandy, email:
[email protected]) dan/atau The Nature Conservancy – Coral Triangle Center (kontak: Gondan Renosari, email:
[email protected]) 2. Koordinasi Untuk memastikan pengelolaan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil yang efektif, maka lokakarya lanjutan dianggap perlu untuk dilakukan: Pertemuan dalam rangka finalisasi jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil berikut pembuatan rencana pengelolaan yang dilakukan setelah ditinjau oleh para pakar. Mengintegrasikan pembentukan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil kedua negara (Republik Indonesia dan Republik Demokrasi Timor Leste) ke dalam program instansi di masing-masing wilayah provinsi, kabupaten/kota. Membentuk dan menjalankan surat elektronik beruntun (mailing list) di antara peserta Lokakarya Jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil. 3. Kebijakan Dalam rangka pembentukan dan pengelolaan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil, maka hasil loakarya ini perlu ditindaklanjuti dengan perumusan kebijakan perencanaan dan penganggaran di tingkat nasional (Republik Indonesia dan Democratic Republic of Timor Leste), provinsi maupun kabupaten/kota. 4. Komitmen Bersama Guna mewujudkan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil berikut implementasi rencana pengelolaannya diperlukan komitmen dan keterlibatan semua pihak, dalam hal ini Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehutanan, dan para pihak di Ekoregion Sunda Kecil yang meliputi Bali, NTB, NTT dan Timor Leste. 5. Tindak Lanjut Pasca Finalisasi Jejaring Ekoregion Sunda Kecil Setelah finalisasi jejaring Ekoregion Sunda Kecil dalam bentuk peta, direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
80
Jejaring kawasan Ekoregion Sunda Kecil harus menjadi referensi dalam pembentukan dan penerapan KKL di wilayah masing-masing. Menyatukan rancangan jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil ke dalam rencana tata ruang masing-masing wilayah, khususnya tata ruang laut, pesisir dan pulau-pulau kecil yang diselaraskan dengan RTR Nasional, Regional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota dan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) / Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Melakukan pertemuan berkala antar provinsi di Ekoregion Sunda Kecil yang difasilitasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dalam rangka penerapan dan pemecahan permasalahanpermasalahan yang dihadapi berkaitan dengan KKL. Membentuk badan koordinasi jejaring KKL Ekoregion Sunda Kecil. Denpasar, 19 Desember 2008
Tim Perumus: 1. Marthen Welly 2. Gede Wiadnya 3. Rofi Alhanif 4. B. Realino 5. Alex Tanody 6. Astari 7. Augusto Fernandes 8. Jotham Ninef 9. A. Makchul
TNC TNC Departemen Kelautan dan Perikanan -KTNL BROK-SEACORM TNC DKP Bali Perikanan Timor Leste Tim PPKKL Sawu Bappeda NTB
81
LAMPIRAN G. PESERTA LOKAKARYA PAKAR ILMIAH – APRIL 2009. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nama Organisasi Frida Sidik BROK/SEACORM, Departemen Kelautan dan Perikanan, Bali Barat B. Realino BROK/SEACORM, Departemen Kelautan dan Perikanan, Bali Barat Ngurah N. Wiadnyana Badan Penelitian Kelautan & Perikanan - Departemen Kelautan dan Perikanan M. Eko Rudianto Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan M. Saifudin Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil - Departemen Kelautan dan Perikanan Ida Bagus Arnaya Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Bali Detty Agustina Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Bali Abdul Ghofar Universitas Diponegoro, Semarang – Jawa Tengah Deny Yusup Universitas Udayana, Bali Didik Santoso Universitas Mataram, Mataram – Nusa Tenggara Barat Jotham Ninef Universitas Nusa Cendana – Kupang – Nusa Tenggara Timur Ayub Meko Universitas Kristen Artha Wacana – Kupang – Nusa Tenggara Timur Anselmo L. Amaral Kementerian Pertanian dan Perikanan, Timor Leste Orlando H. Kalis Kementerian Pertanian dan Perikanan, Timor Leste Ayi Hidayat Ardisastra WWF – Solor Alor Project Anton Wijonarno TNC - Savu Sea Project Allison Green TNC – Asia Pacific Program Edward Game TNC – Conservation Methods Team Joanne Wilson TNC – Indonesia Marine Program TNC – Indonesia Marine Program Johannes Subijanto TNC – Indonesia Marine Program Gede Wiadnya TNC – Indonesia Marine Program Arief Darmawan Stuart Sheppard TNC – Asia Pacific Program Handoko TNC – Indonesia Marine Program
SEACORM = Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring, TNC = The Nature Conservancy.
82
LAMPIRAN H. NOTULENSI KONSULTASI AKHIR DENGAN BADAN-BADAN PEMERINTAH DI TINGKAT PROVINSI DAN NEGARA DI INDONESIA DAN TIMOR LESTE. Tim TNP Laut Sawu – Tim multi-para pemangku kepentingan untuk pemantapan Taman Nasional Perairan Laut Sawu, BAPPEDA -= Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, BLH = Badan Lingkungan Hidup, BBKSDA = Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam, DKP = Departemen Kelautan dan Perikanan, SEACORM = Southeast Asia Center for Ocean Research and Monitoring A. Konsultasi Pemerintah dengan Provinsi NTT Tanggal 26 Mei 2009
Pertemuan dengan: Tim TNP Laut Sawu * (Bpk. Jotham Ninef, kepala)
27 Mei 2009
BAPPEDA NTT (Bpk. Danny Suhadi, Kabid dan Bpk. 15 orang Gaspar) BLH NTT (Bpk. Diaz, kepala BLHD) 8 orang
May 28, 2009
Peserta 14 orang
BBKSDA (Bpk. Zubaidi Susanto)
10 orang
DKP (Bpk. Nico Nuhan, kabid dan Bpk. Izaak Angwarmase) BKKPN (Bpk. Dahlan)
6 orang
Catatan/Masukan Kawasan perairan Maubesi akan dijadikan WP, penting bagi larva ikan bandeng Masukan untuk rencana tata ruang NTT yang sedang direvisi, data SIG tentang batas-batas administratif TNC diundang untuk menyampaikan presentasi tentang KKL pada pertemuan Gemala sekitar bulan Juni di Ngada Status daerah mangrove perlu dikonfirmasikan dengan pemerintah setempat. Menambahkan dua WP: antara Riung dan Maumere, dan antara Sikka dan Sawu 1
-
B. Konsultasi Pemerintah dengan Provinsi Bali Tanggal 2 Juni 2009 3 Juni 2009
5 Juni 2009 15 Juni 2009
Pertemuan dengan: Peserta Perwakilan pemerintah provinsi Bali (Bpk. I.B. 13 orang Wijaya, kabid dan Bpk. Dewa Dharma) BROK/SEACORM (Ibu Frida Sidik dan Bpk. Realino) 6 orang
DKP Provinsi (Bpk. Pancima, sekretaris dan Bpk. Suastawa) DKP Karangasem (Bpk. Nengah Mantha, kepala)
3 orang 4 orang
Catatan/Masukan Laporan terinci akan sangat berguna untuk rencana tata ruang Menambahkan WP di daerah Perancak, menambah persentase mangrove, muara, dan tempat penyu bertelur Menjadwalkan ulang pertemuan menjadi minggu keempat bulan Juni Tidak ada kemajuan tentang CKKLD, tergantung pada DKP Pusat (Jakarta)
83
16 Juni 2009
BKSDA Bali (Bpk. Istanto, kepala, Ibu Detty Agustina) DKP Buleleng (Bpk. Nyoman Sutrisna, kepala)
12 orang 5 orang
Daerah Perancak penting untuk tempat penyu bertelur dan mangrove Menambahkan CKKLD Sumberkima. 3 CKKLD akan dicanangkan tahun ini. Sejalan dengan rencana strategis untuk pembangunan pesisir
C. Konsultasi Pemerintah dengan Provinsi NTB Tanggal 9 Juni 2009
Pertemuan dengan (c.p.): Perwakilan pemerintah provinsi NTB (Bpk. Made Sujana, kabid P4K DKP)
Peserta 20 orang
10 Juni 2009
BKSDA NTB (Bpk. Asep Sugiharta, kepala BKSDA NTB)
11 orang
BAPPEDA NTB (Bpk. Abel Syamsul)
6 orang
Pariwisata (Bpk. Irfan) BLH (Bpk. Subagyo)
4 orang 6 orang
11 Juni 2009
Catatan/Masukan Pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan serta pengawasan KKL, memerlukan asistensi untuk mengembangkan KKL di Lombok Tengah, Pulau Sopia Louisa akan dikembangkan menjadi KKL di Lombok Barat. Diperlukan pengamatan lebih lanjut untuk daerah pesisir selatan Sumbawa sebagai tempat penyu bertelur, pentingnya pengelolaan kolaboratif dan keterlibatan masyarakat Teluk Saleh dinyatakan sebagai daerah khusus untuk pembangunan ekonomi, satu WP di Teluk Saleh dipindahkan ke utara di sekitar P. Liang, Menambahkan sebuah WP di sebelah selatan Lombok 15 daerah pengembangan pariwisata (Perda 9/1989)
D. Konsultasi Pemerintah dengan Timor Leste Tanggal 3 Juni 2009 4 Juni 2009
Pertemuan dengan: Perwakilan pemerintah NT dan Charles Darwin Uni (Ibu Karen Edyvane dan Bpk. Guy Boggs) Presentasi dan lokakarya – hasil proyek ATSEF bagi pemerintah Timor Leste Dept. Pertanian dan Perikanan (Bpk. Augusto dan Bpk. Ancelmo) Apex Pty Ltd (Bpk. Ben Kahn)
Peserta 3 orang
Catatan/Masukan Peluang berbagi data dengan ATSEF
70+ orang 4 orang
Sumber penghasilan alternatif dan sebagai permasalahan utama Perubahan beberapa WP, pengelolaan KKL lintas-batas
2 orang
Penyesuaian dan penambahan KKL laut dalam
84
LAMPIRAN I. JEJARING KKL SUNDA KECIL Tabel I1. Perincian setiap KKL di Jejaring KKL Sunda Kecil meliputi status, peruntukan, tingkat pengelolaan, ukuran dan target konservasi utama pesisir dan laut dalam. No = nomor identifikasi KKL sesuai Gambar 13-17; Mgt = pengelolaan; CR = terumbu karang; SG = lamun; M = mangrove; Tur = pantai peneluran penyu; Dug = dugong; UP = upwelling; ST = selat; SC = Pulau satelit/ngarai/gunung laut/pulau samudera; CT = setasea. Ukuran (ha) hanya meliputi komponen daerah yang dilindungi yang mencakup perairan laut atau target perairan pesisir seperti mangrove. Misalnya, Taman Nasional Bali Barat melingkupi daerah darat maupun laut tetapi hanya ukuran daerah laut yang dilaporkan di sini.
85
No
Nama
Provinsi
Status
Peruntukan
Tingkat
Luas (ha)
Indonesia Provinsi Bali 1 Bali Barat 2 Perancak 3 Sumber Kima 4 Lovina 5 Tejakule 6 Munggu 7 Bukit Tanjung 8 Ngurah Rai 9 Sanur 10 Penida 11 Karangasem
Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali Bali
Sudah ada AOI Diusulkan Diusulkan Diusulkan AOI AOI Sudah ada AOI Diusulkan Diusulkan
TN CKKLD CKKLD CKKLD CKKLD
Nasional Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Nasional Kabupaten Kabupaten Kabupaten
Indonesia - Provinsi Nusa Tenggara Barat 12 Gili Matra 13 Paloh 14 Sekotong Barat 15 Gili Gede 16 Bangko-Bangko (M) 17 Bangko-Bangko (T) 18 Cape Berambang 19 Teluk Mekaki 20 Pelangan 21 Teluk Sepi 22 Tanjung Tampa 23 Kuta Awang 24 Gunung Tunak 25 Tanjung Cina 26 Tanjung Sulat 27 Pedauh 28 Takad Sagena
NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB NTB
Sudah ada AOI Diusulkan Diusulkan Diusulkan Sudah ada Diusulkan Diusulkan Sudah ada Diusulkan Sudah ada AOI Sudah ada AOI Sudah ada Sudah ada Diusulkan
TWAL
Nasional Kabupaten Kabupaten Kabupaten Kabupaten Nasional Kabupaten Kabupaten Nasional Kabupaten Nasional Kabupaten Nasional Kabupaten Kabupaten Nasional Kabupaten
THR CKKLD CKKLD
CKKLD CKKLD CKKLD TWA CKKLD CKKLD TWA CKKLD HL TWA KKLD CA KKLD
Ciri-ciri pesisir CR
SG
M
17.338* 1.691 592 18.937 8601 431 15.128 1.993* 2.041 18.801 26.761
x
x
x
2.452* 1.730 1.200 3.372 945 2.419* 1.017 908 371* 3.215 1.019* 11.231 1.827* 11.453* 2.895* 686* 175
Tur
Ciri-ciri laut dalam Dug
x x
x x x x x x x
x x
x
x
x
x x x x x x x x x x x x x x x x
x x x x x x
x x
x x x x x x x x
ST
x
x
x x
x x
CT
x
x x x x x x
x x
x x x x
x
x
SC
x
x x
x x x
UP
x x x x x x x x x
x x x
x
x
x
x x x x x x x
x x x
86
No
Nama
Provinsi
Status
Peruntukan
Tingkat
Luas (ha)
Ciri-ciri pesisir CR
SG
M
Ciri-ciri laut dalam
Tur
Dug
UP
ST
SC
CT
Indonesia – Provinsi Nusa Tenggara Barat (lanjutan ) 29
Takad Gili Bendis
NTB
Diusulkan
CKKLD
Kabupaten
170
30
P. Belang
NTB
Diusulkan
CKKLD
Kabupaten
2.080
31
P. Kalong Is
NTB
WP
32
P. Panjang (M)
NTB
33
P. Panjang (T)
NTB
34
Medang Is
NTB
35
P. Moyo (M2)
NTB
36
P. Moyo (M1)
NTB
37
P. Moyo (T)
NTB
38
P. Satonda (M)
NTB
39
P. Satonda (T)
NTB
40
P. Liang
NTB
WP
Provinsi
41
P. Ketapang
NTB
WP
42
P. Rak
NTB
WP
Teluk Cempi
NTB
WP
Provinsi
44
Teluk Sanggar
NTB
WP
Provinsi
45
Tenawu -Taa
NTB
WP
46
Teluk Woworada
NTB
47
Toffo Kota Lambu
48
Gili Banta
43
WP Sudah ada
KSA
Kabupaten
3.050
Kabupaten
11.172
Pusat
3.074 *
x x x x x x x
Kabupaten
1.,782
CKKLD
Pusat
51.413
Sudah ada
TWAL
Pusat
7.533 *
Sudah ada
TB
Pusat
28.561 * 1.915
x
WP Diusulkan
WP Sudah ada
Pusat TWA
NTB
WP Sudah ada
CA
NTB
Sudah ada
KKLD TN
Pusat
438 *
x x x x
x x
x
x
x
x
x
x x
x
x
x
x
Provinsi
8.945
x
x
Provinsi
12.061
x
x
34.510
x x
3.729
Kabupaten
9.575
x
x
Kabupaten
10.255
x
x
x
x
Kabupaten
x x
x
3.936 *
x
x
7.710
Pusat
x x x x x
x
x x
x
x x
10.253
x
x
176.962
x
x
x
23.472
x
x
x
x
552.787
x
x
x
x
x
x
x
x
Indonesia – Provinsi Nusa Tenggara Timur 49
Komodo
NTT
Sudah ada
50
Seraya
NTT
51
Sawu 1
NTT
WP Sudah ada
52
Manupeu Tanadaru
NTT
Sudah ada
53
Teluk Lasipu
NTT
54
Riung
NTT
WP Sudah ada
TWAL
Pusat
6.844 *
x
x
x
55
Wolo Tadho
NTT
Sudah ada
CA
Pusat
5.249 *
x
x
x
56
P. Palue
NTT
159.088
x
x
x
P. Ende
NTT
88.876
x
x
57
Pusat Kabupaten
TNP
Pusat
TN
Pusat
75.943 *
x
Provinsi
38.439
x
WP
Provinsi
WP
Provinsi
x
x
x
x
x x
87
No
Nama
Provinsi
Status
Peruntukan
Tingkat
Luas (ha)
Ciri-ciri pesisir CR
SG
M
Ciri-ciri laut dalam
Tur
Dug
UP
ST
SC
CT
Indonesia – Provinsi Nusa Tenggara Timur( lanjutan ) 58
Teluk Maumere
NTT
Sudah ada
TWAL
Pusat
51.366 *
x
x
x
59
P. Besar
NTT
Sudah ada
TWA
Pusat
6.321 *
x
x
x
60
Ngaru Baluk
NTT
61
Sawu 2
NTT
WP Sudah ada
KKPN
Pusat
62
P. Ndana
NTT
Sudah ada
TB
Pusat
63
Harlu
NTT
Sudah ada
SM
Pusat
64
Perhatu
NTT
Sudah ada
SM
Pusat
65
Teluk Kupang
NTT
Sudah ada
TWAL
66
Danau Tuadale
NTT
Sudah ada
P. Menipo
NTT
Sudah ada
68
Dataran Bena
NTT
Sudah ada
69
Maubesi (T)
NTT
Sudah ada
70
Maubesi (M)
NTT
71
Berluli
NTT
Selat Pantar
NTT
WP Sudah ada
73
P. Rusa
NTT
Sudah ada
TB
Pusat
74
P. Lapang
NTT
Sudah ada
TWA
Pusat
249 *
x
75
P. Batang
NTT
Sudah ada
TWA
Pusat
360 *
x
76
Tuti Adagae
NTT
Sudah ada
TWA
Pusat
5.576 *
x
77
Batu Gade
NTT
Diusulkan
CKKLD
67
72
Kabupaten
37.759
x
x
2.861.863
x
x
1.422
x
x
601 *
x
x
461 *
x
Pusat
64.830 *
x
SM
Pusat
852 *
x
TWA
Pusat
TB
Pusat
CA
Pusat
WP KKLD
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
1.516 *
x
2.129
x
x
7.,392 *
x
x
x
x
Kabupaten
12.907
x
x
x
399.223
x
x
x
1.391
x
12.491
x
x
29.498
Kabupaten
x
x
Kabupaten Kabupaten
x
x x
x
x x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x x
Timor-Leste 78
Suai
Timor Leste
79
Behau
Timor Leste
WP Diusulkan
CKKLD
Kabupaten
27.934
x
x
80
P. Atauro
Timor Leste
Diusulkan
CKKLD
Kabupaten
10.882
x
x
81
Lamsanak
Timor Leste
Diusulkan
CKKLD
Kabupaten
15.242
x
x
82
Manufahi
Timor Leste
Pusat
18.329
x
x
83
Nino Konis Santana
Timor Leste
Pusat
125.699
x
x
WP Sudah ada
Pusat
TN
x
7.136
x
x
x
x
x
x x
x
x x
x
x
x
Indonesia – Provinsi Maluku P. Kisar
Maluku
WP
Kabupaten
25.324
x
x
x
x
85
P. Romang
Maluku
WP
Kabupaten
278.326
x
x
x
x
86
P. Leti
Maluku
WP
Kabupaten
32.501
x
x
x
x
84
88
KKL Laut Dalam No
Nama
Provinsi
Status
Peruntukan
Tingkat
Ukuran (ha)
Ciri-ciri pesisir CR
SG
87
Bali Selatan
Bali
laut dalam
WPLD
Pusat
270.453
x
88
Selat Lombok
Bali
laut dalam
WPLD
Pusat
252.105
x
x
x
x
M
Ciri-ciri laut dalam
Tur
Dug
UP
ST
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
SC
CT
Indonesia – Provinsi Nusa Tenggara Barat Lombok Selatan
NTB
laut dalam
WPLD
Pusat
133.321
90
Kepulauan Tengah
NTB
laut dalam
WPLD
Pusat
232.605
x
91
Pulau Sangeang
NTB
laut dalam
WPLD
Pusat
85.552
x
89
Indonesia – Provinsi Nusa Tenggara Timur Flores Timur
NTT
laut dalam
WPLD
Pusat
397.181
x
x
x
x
93
Lembata
NTT
laut dalam
WPLD
Pusat
573.360
x
x
x
x
94
Alor – Laut Dalam
NTT
laut dalam
WPLD
Pusat
800.035
x
x
x
95
Maubesi – Laut Dalam
NTT
laut dalam
WPLD
Pusat
148.280
92
x
x
x
x
x
x
x x
x
x
x
x
x
x
Indonesia - Timor-Leste Ombai
Lintas-batas
WPLB
Lintas-batas
594.766
x
x
x
x
x
97
Liran-Atauro
Lintas-batas
WPLB
Lintas-batas
186.407
x
x
x
x
x
98
Wetar Selatan
Lintas-batas
WPLB
Lintas-batas
230.823
x
x
x
x
x
96
x
Timor-Leste 99 100
Manufahi – Laut Dalam
Timor Leste
laut dalam
WPLD
Pusat
223.648
Nino Konis Santana-Laut Dalam
Timor Leste
laut dalam
WPLD
Pusat
113.538
x x
x
x
89