BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Identitas Terdakwa Nama Lengkap
: Usup Romadhon;
Tempat Lahir
: Kalimiring;
Umur/Tanggal Lahir : 19 Tahun/10 Maret 1995; Jenis Kelamin
: Laki-laki;
Kebangsaan
: Indonesia;
Tempat Tinggal
: Dusun Sumber Jaya Pekon Way Panas, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus;
Agama
: Islam;
Pekerjaan
: Turut Orang Tua;
2. Kasus Posisi Tindak pidana pencabulan terjadi pada tanggal 10 Mei 2014 di Desa Air Panas Pekon Sumber Jaya Kecamatan Wonosobo Kabupaten Tanggamus.Terdakwa yang berusia 19 (sembilan belas) tahun merupakan tetangga korban, dan korban berusia 12 (dua belas) tahun.Kejadian bermula saat terdakwa melihat korban yang merupakan penyandang cacat mental sedang bermain sendirian di belakang rumahnya, kemudian terdakwa menghampiri dan memaksa korban dengan cara menarik korban masuk ke belakang dapur rumah terdakwa yang pada saat itu sedang sepi. Setelah itu terdakwa mendudukkan korban di bangku yang ada di dapur, lalu terdakwa pun melakukan persetubuhan pada korban.Saat kejadian korban
tidak
melakukan
perlawanan
karena
korban
merupakan
penyandang disabilitas atau penyandang cacat mental, tuna rungu, tuna wicara serta mengidap penyakit epilepsi.Setelah melakukan persetubuhan
66
67
pada korban, terdakwa mengantar korban pulang ke rumah.Kemudian ibu korban mengetahui korban sedang berada di belakang rumah dan melihat pada sela paha korban terdapat banyak darah serta cairan kental berwarna putih berbau anyir.Atas kejadian tersebut, keluarga korban mendatangi rumah terdakwa, dan terdakwa mengakui bahwa telah menyetubuhi korban. Berdasarkan visum et repertum No. Visum/1523/46/2014 tanggal 20 Mei 2014 menyimpulkan hasil pemeriksaan pada korban, yakni disimpulkan bahwa selaput dara tidak utuh, dan selaput dara robek di arah jam 3, 7, 10.Terdakwa telah mengakui perbuatan yang dilakukan terhadap korban dihadapan keluarga korban dan keluarga terdakwa.Kasus tersebut diperiksa dan diputus melalui Pengadilan Negeri Kota Agung, Lampung.Atas perbuatan tersebut, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 3. Dakwaan Atas perbuatan terdakwa tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyusun dakwaan alternatif yaitu sebagai berikut: a. Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).” ATAU b. Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menyatakan bahwa “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana
68
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling sedikit 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut untuk memutuskan sebagai berikut: a. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 81 ayat (1) UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) Tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan membayar denda sebesar RP 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan; c. Menyatakan terhadap barang bukti berupa: 1) 1 (satu) potong baju kaos lengan pendek warna orange; 2) 1 (satu) potong celana training pendek warna merah; Agar dikembalikan kepada ibu korban, saksi RUMINAH Binti (Alm) SATAK; d. Menetapkan agar terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah). 5. Amar Putusan Berdasarkan pertimbangan hakim, terdakwa terbukti melanggar ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan majelis hakim mengadili sebagai berikut:
69
a. Menyatakan Terdakwa, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan Sengaja Memaksa Anak Melakukan Persetubuhan Dengannya”; b. Menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 9 (sembilan) Tahun dan pidana denda kepada Terdakwa sejumlah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama 3 (tiga) bulan; c.
Menetapkann bahwa masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
d. Memerintahkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan; e. Menetapkan barang bukti berupa: 1) 1 (satu) potong baju kaos lengan pendek warna orange; 2) 1 (satu) potong celana training pendek warna merah; Agar dikembalikan kepada ibu korban, saksi RUMINAH Binti (Alm) SATAK; f. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 2.000,00 (dua ribu rupiah).
6. Pembahasan Perempuan dan anak penyandang disabilitas merupakan pihak yang sering menjadi korban tindak pidana.Hal tersebut dikarenakan mereka dalam keadaan pasif dan lemah sehingga sulit untuk melakukan perlawanan.Pelaku tindak pidana pun berasal dari lingkungan mereka sendiri seperti bapak kandung maupun bapak tiri, kakek, saudara maupun tetangga.Pihak-pihak yang seharusnya menjaga dan melindungi mereka justru menjadikan mereka objek tindak pidana yang menyebabkan keadaan korban menjadi lebih buruk.Seringnya perempuan dan anak penyandang disabilitas menjadi korban tindak pidana diungkapkan oleh pihak Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) peduli difabel di Yogyakarta yaitu Sentra Advokasi Perempuan, Difabel dan
70
Anak (SAPDA). Pada kenyataannnya perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana memang belum maksimal, ini sejalan dengan hasil penelitian dari SAPDA, dimana penyandang disabilitas perlu mendapat pendampingan dalam proses penegakan hukum, mengingat keadaan mereka yang memiliki keterbatasan. Adanya kendala dalam pemberian perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana, akan berkaitan dengan penegakan HAM itu sendiri serta pemenuhan rasa keadilan bagi penyandang disabilitas. Hubungan antara penegakan HAM dan keadilan tidak dapat dipisahkan.Keadilan merupakan bagian dari tujuan hukum selain kepastian dan kemanfaatan. Keadilan sering diartikan dimana perlakuan yang sama diberikan pada setiap manusia. Hal ini sama dengan gagasan dari penegakan HAM sendiri dimana HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia sejak manusia itu lahir, dan atas hak tersebut diakui dan dihormati. Pengertian keadilan menurut John Borden Rawls dalam jurnal oleh Inge Dwisimiviar bahwa keadilan hanya dapat ditegakkan apabila negara melaksanakan asas keadilan, yaitu berupa setiap orang hendaknya memiliki hak yang sama untuk mendapatkan kebebasan dasar (basic liberties), dan perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat yang besar bagi mereka yang berkedudukan paling tidak beruntung, dan berkaitan dengan jabatan serta kedudukan yang terbuka bagi semua orang berdasarkan persamaan kesempatan yang layak (Inge Dwisimiviar, Jurnal Dinamika Hukum, 2011 : 528). Hal ini berarti pula kesamaan kedudukan bagi setiap orang tidak terkecuali bagi penyandang disabilitas. Hal itu sejalan dengan pendapat Plato bahwa, “Justice is the constant and continual purpose which gives to everyone his own” (Bambang Sutiyoso, Jurnal Hukum, 2010 : 224). Keadilan diartikan sebagai suatu tujuan yang konstan dan kontinyu untuk diberikan kepada setiap orang sebagai haknya. Perlindungan hukum dalam proses peradilan pidana berarti dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara di
71
persidangan. Dalam hal ini berarti aparat penegak hukum dalam setiap proses pemeriksaan berkewajiban memenuhi hak-hak penyandang disabilitas terutama kedudukannya sebagai korban tindak pidana. Perlindungan hukum merupakan upaya dilaksanakannya keadilan sebagai salah satu tujuan dari hukum itu sendiri.Perlindungan terhadap penyandang disabilitas sebagai korban tindak pidana dapat dilihat dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak-hak korban.Hak-hak yang telah diatur dalam undangundang, diberikan sebagai upaya memenuhi rasa keadilan. Untuk dapat memperjelas pembahasan ini, penulis melakukan tinjauan berdasarkan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu pada Pengadilan Negeri Kota Agung dalam Putusan Nomor: 134/Pid.Sus/2014/PN.Kot. Hasil analisis putusan hakim tersebut, masih terdapat beberapa hak korban yang belum terpenuhi, yaitu: 1. Tidak didengarkannya keterangan korban dalam proses peradilan pidana. 2. Tidak diperolehnya penerjemah untuk membantu korban agar dapat memberikan keterangan mengenai tindak pidana yang terjadi dan dialami sebagai korban atau saksi korban. 3. Tidak diberikannya bantuan hukum atau pendampingan hukum bagi korban. 4. Tidak diberikannya upaya rehabilitasi bagi korban. 5. Tidak diperolehnya ganti kerugian bagi korban. 6. Tidak diperolehnya perlindungan atas keamanan bagi korban. Hak-hak korban yang dimaksud di atas merupakan hak-hak korban yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, yaitu KUHAP, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pertama, tidak didengarkannya keterangan korban atau saksi korban dalam proses peradilan pidana adalah salah satu hak korban yang tidak dipenuhi. Keterangan korban dapat diperoleh mulai dari proses penyelidikan atau penyusuan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyidikan, penuntutan
72
sampai dengan pemeriksaan di persidangan. Keterangan korban atau saksi korban dapat menjadi alat bukti utama atas terjadinya tindak pidana pencabulan tersebut. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah diperoleh dari: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Keterangan saksi merupakan alat bukti yang sah dan utama, saksi adalah pihak yang secara langsung mendengar, melihat dan mengalami sendiri tidak pidana yang terjadi padanya.Apalagi dalam hal kejahatan seksual, saksi korban merupakan pihak penting yang harus dihadirkan.Agar Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan melihat dari sisi korban yang menderita akibat terjadinya tindak pidana, bukan hanya dilihat dari sudut pandang pemidanaan bagi terdakwa.Mengingat kejahatan seksual merupakan kejahatan yang serius, terlebih korban masih berusia anak dan merupakan penyandang disabilitas. Keterbatasan anak penyandang disabilitas dalam berkomunikasi yang menghambat jalannya proses peradilan pidana bukan alasan untuk tidak menghadirkan saksi korban dalam setiap proses peradilan pidana. Namun, dalam putusan di atas saksi korban tidak dihadirkan dengan alasan korban mengidap penyakit epilepsi.Hal tersebut bukan alasan yang meyakinkan bahwa korban tidak dapat dihadirkan.Tidak didengarkannya saksi korban dalam proses peradilan pidana berimplikasi pada hak-hak lain yang tidak diperoleh korban. Korban masih bisa memberikan keterangan dalam proses peradilan dengan adanya penerjemah seperti ahli bahasa isyarat yang ikut mendampingi korban dalam mengungkapkan tindak pidana yang dialami. Kedua, tidak diperolehnya penerjemah untuk membantu korban agar dapat memberikan keterangan mengenai tindak pidana yang terjadi dan dialami sebagai korban atau saksi korban.KUHAP memberikan hak pada penyandang
disabilitas
untuk
mendapat
penerjemah
selama
proses
73
persidangan berlangsung, sebagaimana diatur dalam Pasal 178 KUHAP yang menyatakan bahwa, (1) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis, hakim ketua sidang mengangkat sebagai penerjemah orang yang pandai bergaul dengan terdakwa atau saksi itu. (2) Jika terdakwa atau saksi bisu dan atau tuli tetapi dapat menulis, hakim ketua sidang menyampaikan semua pertanyaan atau teguran kepadanya secara tertulis dan kepada terdakwa atau saksi tersebut diperintahkan untuk menulis jawabannya dan selanjutnya semua pertanyaan serta jawaban harus dibacakan. Bunyi pasal tersebut memberikan arti bahwa terhadap terdakwa atau saksi yang mengalami kesulitan dalam berkomunikasi seperti tuli dan atau bisu tetap dapat memberikan keterangan di persidangan dengan adanya penerjemah, termasuk saksi korban itu sendiri.Tidak hadirnya korban untuk memberikan keterangan dalam putusan di atas memperlihatkan tidak diberikannya kesempatan bagi korban untuk memperoleh haknya dalam persidangan. Padahal korban dapat hadir dengan didampingi oleh penerjemah yang mengerti dan paham cara berkomunikasi dengan korban, seperti ahli bahasa isyarat. Keadaan saksi yang merupakan penyandang disabilitas seharusnya tidak menjadi kendala dalam proses pemeriksaan di persidangan dengan adanya Pasal 178 KUHAP tersebut. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, sebenarnya terdapat hak yang diberikan pada saksi dan korban yakni mendapat penerjemah, hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d. Dalam pembahasan ini masih mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 karena belum diamandemennya undang-undang tersebut dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2014 pada saat putusan tersebut dijatuhkan. Dalam Penjelasan pasal di atas, penerjemah ditujukan pada saksi dan korban yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan. Namun, maksud dari “penerjemah” sendiri diartikan secara sempit yakni bagi mereka yang benar-benar tidak dapat berbahasa Indonesia, seperti warga negara asing, atau masyarakat daerah yang kesulitan untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Padahal penyandang disabilitas sendiri memiliki
74
keterbatasan dalam berkomunikasi, namun selama ini undang-undang tersebut memiliki makna yang sempit dan terbatas pada hal yang disampaikan penulis sebelumnya. Seharusnya korban yang merupakan penyandang disabilitas mendapat penerjemah yang mengerti akan tata cara dan komunikasi khusus dengan penyandang disabilitas, seperti ahli bahasa isyarat dan lainnya. Ketiga, tidak diberikannya bantuan hukum atau pendampingan hukum bagi korban.Selain adanya penerjemah, bagi korban seharusnya juga memperoleh pendampingan hukum. Saat putusan tersebut dijatuhkan masih berlaku Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, karena belum diamandemennya undang-undang tersebut dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa, “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.”Ini artinya korban yang dimaksud dalam putusan di atas berhak pula mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya. Proses peradilan pidana dikenal dengan proses yang panjang, dan harus melewati beberapa proses hingga sampai pada putusan hakim. Tidak semua orang mengerti tentang hukum terlebih mengenai proses beracara di peradilan. Dalam putusan di atas, korban harusnya berhak mendapat bantuan hukum seperti pendampingan hukum oleh penasihat hukum selama proses peradilan pidana. Mengingat korban merupakan pihak yang menderita akibat terjadinya tindak pidana pencabulan tersebut, korban harusnya dapat memperoleh hak-haknya sebagai korban. Adanya
penasihat
hukum
akan
memudahkan
korban
untuk
memperoleh hak-hak tersebut. Kurangnya pemahaman korban pada hukum karena tidak adanya penasihat hukum yang mendampingi mengakibatkan hilangnya hak-hak lain yang seharusnya diperoleh korban.Tidak hadirnya korban dalam pemeriksaan di persidangan atau proses-proses sebelumnya harusnya dapat digantikan oleh penasihat hukum.Didampinginya korban oleh penasihat hukum memungkinkankorban memperoleh hak-haknya dan tidak berhenti perkara hanya pada dipidanya terdakwa.Dalam Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, dijelaskan bahwa bantuan lainnya
75
yang dimaksud dalam pasal tersebut termasuk bantuan medik, sosial, rehabilitasi, vokasional, dan pendidikan. Namun, dalam putusan tersebut korban tidak memperoleh bantuan tersebut yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 18.Hal ini berarti hak korban tersebut juga tidak dipenuhi secara maksimal, dapat pula dikatakan bahwa korban belum memperoleh perlindungan hukum secara maksimal. Keempat, tidak diberikannya upaya rehabilitasi bagi korban.Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa, perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui: a. Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b. Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c. Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial, dan d. Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Anak yang menjadi korban tindak pidana tetap harus diterima dalam masyarakat dan masyarakat dapat membantu proses rehabilitasi atau pemulihan pada anak, hal ini karena biasanya anak yang menjadi korban tindak pidana akan mengalami trauma. Oleh karena itu butuh dukungan dari semua pihak agar anak dapat melanjutkan aktivitasnya seperti biasa.Upaya rehabilitasi yang dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) belum mengatur secara jelas bentuk upaya rehabilitasi yang dapat diberikan pada korban.Upaya rehabilitasi yang seharusnya diberikan terhadap korban dalam kasus tersebut seperti
rehabilitasi
sosial,
rehabilitasi
medis,
serta
rehabilitasi
psikologis.Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan keadaan korban agar mampu kembali pada lingkungannya serta melanjutkan aktivitasnya di dalam lingkungan.Rehabilitasi medis dilakukan apabila atas tindak pidana yang terjadi padanya korban mengalami gangguan kesehatan, maka atas hal tersebut korban memerlukan pemulihan secara medis untuk membantu korban sehat secara jasmani. Bentuk lain yaitu rehabilitasi psikologis diberikan pada korban yang mengalami trauma akibat terjadinya
76
tindak pidana tersebut, terutama untuk korban yang merupakan anak, secara psikologis sangat memerlukan adanya rehabilitasi psikologis. Hal ini dimaksudkan agar anak mampu memulihkan keadaan psikologisnya dan dapat melanjutkan aktivitasnya serta mampu tumbuh dan berkembang seperti anak lainnya. Kelima, hak lain yang tidak diperoleh adalah tidak diperolehnya ganti kerugian bagi korban. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Dalam Pasal 7 ayat (1), menyatakan bahwa, korban melalui LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) berhak mengajukan ke pengadilan berupa: a. Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat; b. Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggungjawab pelaku tindak pidana. Bunyi pasal di atas menjelaskan bahwa korban dalam hal ini berhak memperoleh ganti kerugian atas kerugian materiil maupun immaterial atas tindak pidana yang terjadi padanya. Korban dapat mengajukannya melalui LPSK, yang selanjutnya akan diberikan dalam putusan hakim. Namun, dalam putusan tersebut tidak adanya ganti kerugian yang diberikan pada korban.Walaupun pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa yaitu 9 (sembilan) tahun, hal tersebut bertujuan untuk membuat jera terdakwa dan membalas perbuatan terdakwa karena terbukti melakukan perbuatan cabul pada korban. Namun, dari sisi korban, ia telah mengalami kerugian, terutama pada psikis korban apalagi dengan kondisi korban yang merupakan anak penyandang disabilitas. Sebagai seorang anak, korban berhak menikmati kehidupan dan penghidupan yang berkelanjutan di masa depan. Kurangnya informasi pada korban dan keluarga seringkali mengakibatkan tidak diajukannya ganti kerugian pada terdakwa.Kurangnya informasi tersebut dikarenakan tidak adanya penasihat hukum yang mendampingi korban sehingga masih ada hak-hak korban yang belum terpenuhi dan perlindungan hukum terhadap korban dapat dikatakan belum maksimal.
77
Hak lain yang terkait pemberian ganti kerugian pada korban yaitu dalam Pasal 5 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, korban memperoleh hak penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan. Hak ini dapat diperoleh dari tuntutan ganti kerugian atau restitusi serta kompensasi.Korban atau keluarga berhak meminta ganti kerugian atau restitusi atas kerugian yang dialami, baik kerugian materiil maupun immaterial.Namun, hak tersebut tidak diperoleh karena korban tidak didampingi oleh penasihat hukum sehingga korban tidak mengetahui hak yang bisa diperoleh oleh korban. Keenam, tidak diperolehnya perlindungan atas keamanan bagi korban. Korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksisan yang akan, sedang, atau telah diberikannya.Hak tersebut diatur dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Berdasarkan keterangan Ruminah, yang merupakan ibu korban, bahwa orang tua terdakwa sering marah-marah kepada saksi korban setelah adanya dugaan terjadinya tindak pidana tersebut.Maka atas tindakan tersebut, seharusnya saksi korban mendapat perlindungan demi keamanan saksi dan keluarga dari kemungkinan terjadinya ancaman dari pihak keluarga terdakwa.Namun, perlindungan yang dimaksud sepertinya tidak diberikan pada saksi maupun keluarganya.Tidak diberikannya perlindungan terhadap korban, saksi beserta keluarganya mengakibatkan tidak adanya keikutsertaan dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan bagi korban. Tidak tercapainya hak tersebut juga karena tidak didengarkannya keterangan korban dalam proses peradilan pidana, sehingga hak korban dikesampingkan. Perlindungan terhadap keamanan korban beserta keluarga termasuk juga pada hak lain yang diperoleh korban dalam Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006, yakni mendapat informasi mengenai perkembangan kasus, mendapat informasi mengenai putusan pengadilan, mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan. Dalam proses peradilan pidana korban berhak mengetahui perkembangan kasus serta mengetahui terhadap
78
putusan Majelis Hakim yang dijatuhkan bagi terdakwa. Informasi dalam hal terpidana dibebaskan juga harus disampaikan pada korban, hal ini untuk menghindari adanya ancaman atau tindakan yang tidak diinginkan dari terpidana.Apabila
diperlukan
korban
dan
keluarga
dapat
meminta
perlindungan. Korban yang masih berumur 12 (dua belas) tahun masih tergolong dalam usia anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, hal ini merupakan salah satu bentuk adanya perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana, dimana terkait dengan anak digunakan Undang-Undang Perlindungan Anak bukan lagi menggunakan peraturan pidana pada umumnya (KUHP). Jaminan perlindungan hukum terhadap anak penyandang cacat sudah jelas diatur yang kemudian menimbulkan kewajiban untuk melaksanakan peraturan tersebut. Anak yang menyandang cacat tidak boleh diperlakukan berbeda dengan anak lainnya, pun pada saat anak yang menyandang cacat tersebut menjadi korban tindak pidana, maka harus tetap diberi kesempatan mendapat keadilan yang sama dengan anak lainnya. Sebenarnya dari bunyi Pasal 70 ayat (1) huruf b dimana pemenuhan kebutuhan khusus diberikan pada anak penyandang cacat, seharusnya diberikan pula pada saat proses peradilan pidana bukan hanya pada pemenuhan aksesibilitas sarana dan prasarana saja. Apabila dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 belum diatur dengan jelas mengenai beberapa hal terkait hak korban, maka dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2014 yang mengamandemen Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, dalam Pasal 69A huruf j memberikan perlindungan khusus pada anak korban kejahatan seksual sebagaimana yang diatur dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya: a. Edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; b. Rehabilitasi sosial;
79
c. Pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan d. Pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan. Bahkan dalam Pasal 71D Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 memberikan perlindungan hukum secara khusus bagi anak yang menjadi korban kejahatan seksual, yakni berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggungjawab
pelaku
kejahatan.Undang-undang
tersebut
memberikan
perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual dengan lebih jelas.Ini yang berbeda dari putusan di atas, pada saat putusan dijatuhkan menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 belum diatur mengenai pemberian ganti kerugian atau restitusi. Namun, hal itu bukan alasan tidak diberikannya ganti kerugian bagi korban, karena Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 telah mengatur mengenai pemberian ganti kerugian atau restitusi. Namun, hal tersebut belum cukup apabila proses pengajuan melalui lembaga terkait dalam hal ini yaitu LPSK masih sulit terjangkau oleh masyarakat.Tidak adanya penasihat hukum yang mendampingi juga mengakibatkan hak tersebut tidak terpenuhi, karena kurang mengertinya korban mengenai hak yang seharusnya diperoleh. Berbeda dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, dalam pasal 71D di atas lebih memberikan bentuk jaminan yang memang khusus diberikan pada anak korban kejahatan seksual. Salah satunya terkait perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan.Selain itu jelas diatur mengenai upaya rehabilitasi sosial kepada korban, ini dimaksudkan untuk membantu pemulihan korban untuk melanjutkan kehidupan sosialnya serta membantu korban untuk kembali melakukan aktivitas dan berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya.Hal ini sangat penting dilakukan karena dari banyaknya kasus kejahatan seksual, korban selalu takut melapor pada aparat penegak hukum karena berbagai alasan. Diaturnya pasal di atas dapat
80
memberikan payung hukum terhadap kasus serupa seperti pada Putusan Pengadilan Negeri Kota Agung Nomor: 134/Pid.Sus/2014/PN.Kot. Hal lain terkait hak-hak yang diperoleh korban yaitu dalam Pasal 5 ayat (1) huruf p Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 menyebutkan bahwa saksi dan korban memperoleh hak yaitu adanya pendampingan. Meskipun dalam Penjelasan undang-undang tersebut belum ada penjelasan mengenai pendampingan yang dimaksud, namun hal ini dapat diartikan sebagai pendampingan bagi anak yang menjadi korban dalam proses peradilan pidana, tanpa terkecuali pendampingan terhadap anak penyandang disabilitas yang menjadi korban tindak pidana. Aparat penegak hukum yang masih lemah dan minim pengertian, sehingga sikap dan tindakan mereka dalam memperlakukan penyandang disabilitas sebagai korban dapat dikatakan belum efektif. Dalam meminta keterangan korban yang akan disusun dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), aparat penegak hukum terkadang menemui kesulitan karena keadaan korban yang memiliki keterbatasan dalam komunikasi. Hal serupa terjadi pula pada proses-proses selanjutnya. Arti penting perlindungan hukum bagi penyandang disabilitas ada pada proses peradilan ini, sehingga akan tercapai keadilan bagi korban.