The
WAHID
Report
Institute
i Ed
si
23 O
o kt
be
0 r2
09
Monthly
on Religious issues
Pengantar Redaksi
Qanun Jinayah NAD Disahkan DPRA Nurun Nisa’
Penyergapan tersangka teroris dan isu lanjut annya menjadi isu paling kuat di media massa selama September lalu. Mulai dari penyergapan mereka di sebuah rumah di Kampung Kepuhsari, Desa Mojosongo, Jebres, Kota Solo, hingga pe nolakan penguburan ketiga jenazahnya. Dengan alasan menghindari kesan “kampung teroris” sejumlah warga menolak kampungnya menjadi tempat peristirahatan abadi ketiga teroris ini. Namun begitu, pada akhirnya ketiga jenazah tersangka teroris tetap bisa dikuburkan di kam pung mereka masing-masing. Selain isu terorisme masih ada isu lain yang juga hangat diperbincangkan: pengesahan Qanun Jinayah dan Qanun Hukum Acara Ji nayah. Pada 14 september 2009 lalu, DPRA mengesahkan draft keduanya. Di dalamnya terdapat sanksi bagi pelaku zina yang telah menikah akan dirajam dengan cara melempar batu hingga meninggal. Pihak pemerintah Aceh keberatan soal pasal ini. Sejumlah aktivis hak asasi manusia juga menolak pengesahan terse but. Selain bertentangan dengan prinsip HAM, qanun itu bertentangan dengan undang-undang di atasnya. Dari daerah lain, sejumlah kasus dugaan aliran sesat masih bermunculan. Salah satunya diduga dilakukan Herman, seorang pendeta asal Manado. Selain dianggap sesat, Herman ditu ding telah melakukan aksi kekerasan terhadap para jemaatnya. Dari Provinsi Banten, sebuah padepokan juga di bakar karena diduga melaku kan praktik sesat. Sementara seorang dukun di Jawa Timur diusir paksa. Di edisi ini, kami juga masih menurunkan ka sus-kasus terkait pelaksanaan Ramadhan. Dari Lombok, dua tersangka pengeroyokan warta wan dalam razia rumah makan yang dilakukan Satpol PP Kota Mataram dan Komponen Umat Islam (KUI) ditangkap polisi. Kasus-kasus in tolernasi juga masih mewarnai negeri ini. Di antaranya penutupan kegiatan buka puasa di sebuah gereja di Solo, dan pelarangan salat Ied yang dilakukan sebuah kelompok di Jakarta. Se langkapnya, silakan membacanya.
Akhirnya, selamat membaca.
D
Pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh/Foto.dok. Media Indonesia
PR Aceh telah mengesahkan Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah pada Senin (14/09). Qanun tersebut di antaranya berisi sanksi bagi mereka yang melakukan jarimah (perbuatan yang dilarang syariat Islam dan dikenai hukuman hudud atau takzir -red ) dan minuman keras, maisir (judi), khalwat (berdua-duaan di tempat tertutup yang bukan mahram red), ikhtilath (bermesraan di ruang terbuka atau tertutup -red), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat membuktikan dengan menghadirkan empat saksi -red), liwath (hubungan seksual sesama jenis -red), dan musahaqah. Mereka yang melanggar diancam dengan hukuman cambuk berkisar antara 10 hingga 400 kali cambukan. Sementara khusus pelaku zina yang telah menikah akan dirajam dengan cara melempar batu hingga meninggal. Jenis kejahatan dan hukuman yang berbeda dengan hukum positif di Indonesia ini memancing protes dari beberapa kalangan. Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariah, misalnya, menolak karena beberapa alasan. Di antaranya karena peminggiran partisipasi
masyarakat sipil. “Kelompok sipil mencatat telah terjadi peminggiran terhadap aspirasi masyarakat sipil yang tergabung dalam tim perumus draf rancangan qanun tersebut,” jelasnya dalam rilis pers (14/09). Jaringan yang terdiri dari Koalisi NGO HAM Aceh, Kontras Aceh, RPuK, LBH Aceh, LBH APIK Aceh, KPI, Flower Aceh,Tikar Pandan, ACSTF, AJMI, KKP, SeiA, GWG, SP Aceh, Radio Suara Perempuan, Violet Grey, Sikma, Pusham Unsyiah, Yayasan Sri Ratu Safiatuddin itu juga menyatakan bahwa Qanun Jinayah bukanlah jawaban bagi kebutuhan masyarakat Aceh, bahkan sebaliknya berpotensi menciptakan konflik antar masyarakat yang dapat mengganggu proses perdamaian yang sedang berlangsung di Aceh. Beberapa permasalahan mendasar yang termuat dalam rancangan Qanun Jinayah seperti dimuat dala rilis pers tersebut, di antaranya tentang definisi yang multitafsir dan memunculkan ketidakpastian hukum serta resiko kriminalisasi orang-orang yang tak bersalah, khususnya perempuan. Selain itu dari sisi peraturan perundangundangan, muatan rancangan Qanun Jinayah bertentangan dengan semangat penegakan dan pemenuhan hak asasi
Penerbit The Wahid Institute | Penanggung Jawab: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Pemimpin Redaksi: Rumadi | Redaktur Pelaksana: Alamsyah M. Dja’far | Sidang Redaksi: Ahmad Suaedy, Gamal Ferdhi, Alamsyah M. Dja’far | Staf Redaksi: M. Subhi Azhari, Nurun Nisa’, Badrus Samsul Fata | Lay out: Ulum Zulvaton | Kontributor: Noor Rahman (DKI Jakarta), Suhendy, Dindin Ghazali (Jawa Barat), Nur Khalik Ridwan (Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta), Tedi Kholiludin (Jawa Tengah), Zainul Hamdi (Jawa Timur), Syamsul Rijal Ad’han (Makassar), Akhdiansyah, Yusuf Tantowi (NTB) | Alamat Redaksi: The Wahid Institute , Jln Taman Amir Hamzah 8, Jakarta - 10320 | Telp +62 21 3928 233, 3145 671 I Faks. +62 21 3928 250 Email:
[email protected] Website: www. wahidinstitute.org. Penerbitan ini hasil kerjasama the Wahid Institute dan TIFA Foundation.
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXIII, Oktober 2009
Beberapa pasal dalam Qanun Jinayah juga bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam UU HAM, UU Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU pengesahan konvenan antipenyiksaan, UU Perlindungan anak.... manusia setiap warga negara sebagaimana ditegaskan dalam UUD Negara RI 1945 dan UU Pemerintah Aceh sendiri. Beberapa pasal dalam Qanun Jinayah juga berten tangan dengan apa yang telah diatur da lam UU HAM, UU Penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, UU pengesahan konvenan antipenyiksaan, UU Perlindungan anak, UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU tentang Hukum Acara Pidana, Kompilasi Hukum Islam dan Qanun Perlindungan Anak. Hampir senada dengan jaringan ini, Koalisi Kebijakan Partisipatif menyatakan, rancangan qanun ini menghilangkan prinsip kepastian di mata hukum dan tak ada persamaan di muka hukum, khususnya bagi pejabat. “Masih ada bab-bab yang sangat sarat dengan impunitas,” kata Zulfikar Muhammad, juru bicara Koalisi Kebijakan Partisipatif, sebagaimana dikutip acehkita.com, Kamis (10/09). Misalnya, di pasal 7 yaitu, tidak dikenakan ‘uqubat setiap orang yang melakukan jarimah karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pe jabat yang berwenang. “Terdapat bentuk diskriminasi hukum di sini,” jelas Zulfikar. Komnas Perempuan menyatakan bah wa disahkannya qanun ini membuktikan bahwa pemerintah nasional gagal mene gakkan konstitusi. “Munculnya qanun tentang jinayah dalam kerangka kebijakan Indonesia membuktikan kegagalan jajaran pemerintah nasional yang mengemban kewajiban dan kewenangan untuk mengkaji dan mencegah adanya kebijakan-kebijakan daerah yang bertentangan dengan peraturan-perundangan nasional dan UUD Negara RI 1945,” demikian pernyataan Komnas Perempuan dalam siaran pers (15/09). Komnas Perempuan menolak jika pe ngesahan qanun ini dikaitkan dengan keistimewaan Aceh dan segala bentuk kekhasan daerah yang dicanangkan dalam peraturan-perundangan nasional, tidak bisa dijadikan landasan untuk membenarkan dan melembagakan diskriminasi dan
perlakuan tidak manusiawi terhadap Warga Negara Indonesia di manapun mereka berada. Karenanya, Komnas Perempuan menganjurkan agar para aktivis prodemokrasi dan komunitas HAM untuk mengajukan review ke Mahkamah Konstitusi terhadap UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang dijadikan landasan hukum bagi pengesahan Qanun Jinayah di NAD. Mantan Presiden, Abdurrahman Wahid yang mendorong pelaksanaan hukum syariah di Aceh beberapa tahun lalu, seperti dikutip Suara Media News (15/09), pernah mengatakan hukum pelaksanaan hukum syariah di Aceh sebaiknya tidak termasuk pelaksaan hukuman rajam atau potong bagian tubuh karena melanggar HAM dan KUHP. Mahkamah Agung menyatakan hukum rajam dalam Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah dapat diuji materi atau judicial review. “Masyarakat dapat mengajukan uji materi hukum rajam tersebut ke Mahkamah Agung (MA) jika dinilai bertentangan dengan undang-undang,” kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi seperti dikutip Koran Tempo (16/09). Menurut Nurhadi, masyarakat yang dihukum dengan ketentuan tersebut juga dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung. “Ada upaya kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung,” tambah Nurhadi. Mahkamah Agung belum memutuskan apakah upaya kasasi atas putusan Mahkamah Syariah di Aceh masuk pengadilan agama atau pengadilan umum. Pemerintah Aceh sendiri masih belum menyetujui pemberlakuan hukuman rajam yang tertera pada qanun tersebut. “Kita berada dalam posisi dilematis. Apa pun undang-undang yang disahkan, wajib dilaksanakan. Tapi posisi kita tetap menolak rajam masuk dalam qanun,” kata Wakil Gubernur Muhammad Nazar. Ia berjanji akan membicarakan hal tersebut dengan parlemen Aceh. “Posisi kita tetap menolak rajam masuk dalam qanun. Jadi ini disahkan dengan catatan, kita akan melakukan upaya lebih jauh nantinya,” kata Nazar seperti ditulis Suara Media News (15/09). Pemerintah Aceh, kata Nazar belum berencana mengajukan uji materil (judicial review) aturan tersebut, ke Mahkamah Agung. “Apapun undang-undang yang
isahkan, wajib untuk dilaksanakan, kita d akan memikirkan langkah selanjutnya,” tambahnya. Sebelumnya, di hadapan 30-an anggota parlemen Aceh yang mengikuti sidang paripurna IV di gedung dewan, Jumat (11/9) malam (acehkita.com, 12/09), Sekretaris Daerah Aceh Husni Bahri Tob yang mewakili pemerintah Aceh menolak hukum rajam bagi pelaku zina. “Pelaksanaannya, (rajam) identik dengan hukuman mati,” katanya. Sementara itu kelompok tertentu yang mendukung qanun ini bahkan menuntut sang gubernur, Muhammad Irwandi, agar segera mundur dari jabatannya jika menolak menandatangani qanun yang sudah disahkan DPRA itu. “Kalau tidak, gubernur harus turun dari jabatannya biar digantikan orang lain dan ditandatangani oleh orang lain,” tukas Tgk. Hasanuddin Yusuf Adan, Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dalam siaran persnya seperti dikutip Serambi News (18/09). Menandatangani qanun adalah kewajiban gubernur karena memang demikian tugas dan tanggung jawabnya selaku kepala daerah NAD. Hasanuddin juga memperingatkan agar Irwandi tidak menandatangani qanun ini hanya gara-gara investor (tidak) mau datang ke Aceh gara-gara qanun ini. “Jadi, jangan mengharapkan uang asing dengan mengorbankan hukum Allah yang dapat berakibat fatal kepada anak cucu,” tukas Hasanuddin. Tuntutan mundur ini sesungguhnya tak perlu. Sebab, sesuai peraturan yang sudah ada, perda (peraturan daerah)—qanun termasuk golongan perda—akan berlaku dengan sendirinya jika tidak ditandangani setelah lewat tiga puluh hari. Dalam pasal 43 (2) UU No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa apabila rancangan tidak ditandatangani oleh gubernur atau bupati/walikota dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak raperda disetujui bersama maka raperda tersebut sah menjadi peraturan daerah dan wajib diundangkan dengan memuatnya dalam Lembaran Daerah. Tapi perkembangan terakhir menyebutkan jika Ketua DPRA sementara hasil pemilu 2009 Hasbi Abdullah mendukung penghapusan hukuman rajam. Menurutnya, penghapusan itu juga didukung mayoritas partai Aceh (Media Indonesia, 8/10). M
Tiga Jenazah Tersangka Teroris Ditolak Warga Alamsyah M. Dja’far
J
umat dini hari (2/10) Jenazah Susilo dimasukan ke liang kubur di pemakaman umum Pracimaloyo, Makamhaji,
K artasura, Sukoharjo, Solo Jawa Tengah. Jam menunjukkan pukul 01.30 WIB. Prose si penguburan sendiri berlangsung selama
20 menit. Seperti pantauan Tempo Interaktif saat prosesi berlangsung, beberapa orang sempat meneriakan takbir sembari
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXIII, Oktober 2009 engutuk para pembunuh Susilo. Semenm tara puluhan aparat tampak berjaga di sekitar areal pemakaman. Jenazah tersangka teroris ini datang setengah jam sebelumnya, juga dengan kawalan ketat aparat, dan langung dikuburkan. Dua tersangka lain yang tewas dalam penggerebekan di Kampung Kepuhsari, Desa Mojosongo, Jebres, Kota Solo bersama Noordin M. Top asal Malaysia, Bagus Budi Pranoto alias Urwah dan Husamudin alias Mistam alias Ario Sudarso alias Aji masing-masing dikuburkan di pemakaman Bulu, Dukuh Madaran, Desa Mijen, Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kudus pada Jumat pagi (2/10) sekitar pukul 08.00 dan pemakaman Desa Karangreja Kecamatan Kutasari Kabupaten Purbalingga Kamis (1/10) sekitar pukul 21.30. Spanduk berwarna putih bertuliskan tinta merah itu terpampang di tepi jalan raya di Desa Karangreja, Kecamatan Kutasari, Purbalingga Jawa Tengah Rabu akhir September lalu (23/9). “Warga Masyarakat Menolak Pemakaman Teroris ‘Mistam’ di Wilayah Kutasari PBG”. Spanduk ini dipasang kelompok masyarakat yang tak setuju jika Mistam di kubur di kampung mereka. Kelompok ini menggelar demo penolakan di Balai Desa Kutasari dan Balai Desa Karangreja pada Rabu (23/9). ”Kami tak habis pikir mengapa warga Karangreja bersedia ketempatan jenazah Mistam. Apa mereka tidak mengetahui jika orang yang dimakamkan merupakan pelaku teroris kelas tinggi. Akibat ulahnya banyak nyawa melayang,” kata Parikun (39) juru bicara kelompok yang menolak. Aksipun sempat memanas, bahkan nyaris bentrok, lantaran mendapat reaksi dari sebagian masyarakat yang setuju menerima dan menguburkan jenazah Mistam. Bagi kelompok ini, penerimaan tersebut semata-mata karena alasan kemanusian. Tak berarti pula mereka mendukung aksi terorisme. Sebagai warga Karangreja, Mistam dianggap punya hak sama dengan warga lainnya. Menurut Iwan Mujianto Kepala Desa Karangreja, selain soal kesamaan hak keputusan itu juga diambil setelah dicapainya hasil kesepakatan antara tokoh masyarakat, lembaga di desa dan warga lainnya. Penolakan juga disuarakan sebagian warga Desa Pasuruhan, Kecamatan Bina
Selain soal kesamaan hak, keputusan itu juga diambil setelah dicapainya hasil kesepakatan antara tokoh masyarakat, lembaga di desa dan warga lainnya.
The WAHID Institute
ngun, Cilacap Jawa Tengah setelah mende ngar penolakan warga Karangreja dan beredar kabar Urwah akan dimakamkan di Pasuruhan. Pasuruhan adalah tempat kelahiran putra pasangan Sanwardi (alm) dan Wajem warga Dusun Melela RT 19 Rw 06 Desa Pasuruhan Kecamatan Binangun ini. Mereka yang menolak itu kemudian membuat surat pernyataan yang ditandatangani para tokoh warga dan dibacakan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Pasuruhan, Ahmad Riyadi. Mereka menolak karena empat alasan. “Pertama yang besangkutan bukan lagi warga Desa Pasuruhan, kedua karena perbuatannya membuat citra desa Pasuruhan tidak baik, ketiga berdampak tidak baik bagi warga Pasuruhan khususnya untuk para pemuda meraih prestasi dalam mencari kerja dan yang ke empat tindakan terorisme sangat tidak manusiawi,”kata Ahmad Riyadi. Selain Mistam penguburan jenazah dua tersangka teroris lain Urwah alias Bagus Budi Pranoto dan Susilo alias Adib juga mendapat penolakan serupa. Urwah di Desa Kadokan, Sukoharjo, Jawa Tengah, dan di tempat tinggal orangtuanya di Kudus. Susilo di Desa Kagokan, Kecamatan Laweyan, Pajang, Solo. Seperti diberitakan media massa, puluhan warga berkumpul di jalan desa menyerukan penolakan, pada Rabu (23/09). Mereka melakukan penjaga an di sepanjang jalan masuk desa setelah mendengar isu kepulangan jenazah Urwah. Demi mendapat “restu” penguburan, pihak Tim Pembela Muslim (TPM) Jawa Tengah bahkan mengirim surat untuk agar MUI Jateng mengeluarkan fatwa terkait penguburan. “Fatwa mengenai pengurusan jenazah orang muslim bagaimana, terlepas dia tersangka teroris, koruptor maupun penjahat kelas kakap,” kata salah satu anggota tim TPM Jawa Tengah, Budi Kuswanto di Solo, Jawa Tengah, seperti dikutip TVone, Senin (28/9). Tapi MUI Surakarta menilai pihaknya tak perlu mengeluarkan fatwa. “Bagi umat Islam untuk memakamkan jenazah itu suatu kewajiban bersama yang harus dilakukan,” kata Plt Ketua MUI Surakarta, Zainal Arifin Adnan, di Solo seperti dikutip Antara, Selasa (29/09). Jika warga menolak jenazah Susilo dimakamkan, menurutnya mesti dikembalikan kepada kewenangan pemerintah. Dan sebagai warga negara yang baik, mereka harus tunduk pada keputusan pemerintah. “Kalau orang yang sudah meninggal, dia sudah lepas dari hukum. Kita sebagai umat Muslim mempunyai kewajiban untuk memakamkan.” Melihat masifnya aksi-aksi penolakan itu, pengacara keluarga Bagus Budi Pranoto alias Urwah meyakini, ada pihak-pihak ter-
Kami melihat tidak ada alasan yang dapat dibenarkan terkait penolakan yang dilakukan warga. Kekhawatiran akan timbulnya stigma kampung teroris adalah persoalan lain dan tidak dapat dijustifikasi sebagai dasar penolakan --Parulian Sihombing tentu yang dianggapnya bermain di balik aksi penolakan warga. “Kami yakin ada yang bermain,” kata Kurniawan Isac seperti dikutip VIVAnews, (23/09). “Reaksi tersebut wajar terjadi pada masyarakat yang merasa terganggu pada tindakan terorisme yang dilakukan oleh para tersangka tersebut,” kata Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Tengah, Irjen Alex Bambang Riatmodjo saat merespon prokontra ini. Pernyataan tersebut dilontarkanya pada Jumat (25/9) di Solo. Aksi penolakan jenazah tersangka teroris, lanjutnya, bisa menjadi pelajaran berarti bagi masyarakat agar tak terlibat dalam aksi dan jejaring teroris. Saat itu pihak kepolisian sendiri belum menyiapkan tempat pemakaman alternatif bagi tiga jenazah tersangka teroris itu . “Tempat pemakaman Pondok Rangon, Jakarta, yang bisa dijadikan tempat pemakaman korban narkoba mungkin bisa menjadi tempat alternatif mereka,” katanya. Meresepon pro-kontra ini Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan (AKKBB) memberi pandangan. Menurut AKKBB, meski terbukti sebagai pelaku kejahatan semestinya tak perlu ada diskriminasi pemakaman buat mereka. “Kami melihat tidak ada alasan yang dapat dibenarkan terkait penolakan yang dilakukan warga. Kekhawatiran akan timbulnya stigma kampung teroris adalah persoalan lain dan tidak dapat dijustifikasi sebagai dasar penolakan,” ujar Direktur Indonesia Legal Resource Center (IRRC), Uli Parulian Sihombing dalam jumpa pers di Kantor LBH, Jl Diponegoro, Jakarta Pusat, Rabu (30/09). AKKBB juga menyayangkan pernyataan Kapolda Jawa Tengah Irjen Pol Irjen Alex Bambang Riatmodjo, yang menyatakan penolakan pemakaman para pelaku teroris ini adalah indikator kesadaran warga akan bahaya terorisme. ”Pemakaman jenazah tidak mengancam bahaya apapun. Sebaliknya negara termasuk kepolisian demi hukum harus melindungi warga negaranya,” jelasnya. Karena itu AKKBB menilai akan menjadi satu bentuk diskriminasi serius bila negara tak memfasilitasi pemakaman alternatif bagi jenazah mereka. M
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXIII, Oktober 2009
Salat Ied Lebih Awal, Dibubarkan Massa Nurun Nisa’
M
assa di sekitar rumah mewah di di Jalan Bangau 2 Nomor 18, RT 5 RW 3, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan membubarkan kumpulan jemaah Naqsyabandi Haqqani yang akan menghelat salat Ied secara berjemaah (18/09).
“Ini keyakinan kami. Kami melakukan puasa dua hari sebelum yang lain. Atas kemarahan warga kami memaklumi, kami mohon maaf.” -- Imam Warga mendatangi rumah tesebut ka rena terdengar suara takbir, padahal bagi masyarakat kebanyakan hari itu masih diwajibkan berpuasa. “Tadi sekitar pukul 09.30 WIB banyak warga berkumpul, kita kira acara keluarga. Tapi kok terdengar ada suara orang takbiran, kami curiga,” ujar Ketua RW 3, Entong Syafii, kepada wartawan di lokasi. Versi lain menyatakan bahwa pembubaran salat dilakukan karena mereka belum memiliki izin dari RW setempat. “Saya tidak tahu dengan keberadaan mereka. Seharusnya mereka meminta izin kepada kita,” kata Entong Syafei, Ketua RW03 Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan, seperti ditulis okezone.com (18/9/2009). Jemaah Naqsyabandiyah merasa berhak melakukan salat Ied karena puasa
mereka dua hari lebih awal. “Ini keyakinan kami. Kami melakukan puasa dua hari sebelum yang lain. Atas kemarahan warga kami memaklumi, kami mohon maaf,” ucap Imam, salah seorang jemaah Naqsyabandi. Warga yang mengetahui hal tersebut menjadi marah dan membubarkan secara paksa. Massa yang datang, seperti dituturkan pihak jemaah Naqsyabandi, terdiri dari petugas kepolisian, ketua RW setempat serta 20-an orang laki-laki mendatangi rumah mewah di Jalan Bangau 2 Nomor 18, RT 5 RW 3, Pondok Labu, Cilandak, Jakarta Selatan. “Mereka hendak membubarkan salat Ied jemaah Naqsyabandiyah,” kata Rivaldi, salah seorang peserta salat Ied sebagiamana dikutip detik.com (18/09). “Kalau yang bapak-bapak itu sepertinya bukan warga sekitar sini, lebih mirip tukang ojek,” tambahnya. Setelah sempat bersitegang selama 30 menit, akhirnya jemaah mengalah dan bersedia membubarkan diri. Mereka mengaku sempat emosi, namun daripada terjadi kericuhan, Revaldi dan kawan-kawannya memilih untuk diam dan membereskan peralatan salat Id yang sudah disiapkan. “Karena kita kebanyakan anak muda, takut terjadi chaos kalau dituruti,” tegasnya. Jemaah yang sudah terlanjur menyiapkan hidangan lebaran akhirnya memilih untuk makan dan mengajak serta sebagian warga yang datang. Polisi sendiri mengaku datang untuk
menengahi keadaan, bukan melakukan pembubaran. “Warga resah dengan kegiatan ini. Kami datang untuk mencegah halhal yang tak diinginkan,”kata Kapolsek Cilandak, Kompol Dony Adityawarman seba gaimana dikutip detik.com (18/09). Akibat desakan masyarakat, aktivitas salat Id tersebut terhenti. Para jemaah secara damai membubarkan diri. “Baru takbiran, belum sampai salat. Di situ cuma rumah warga biasa. Aktivitas kelompok tersebut tak di sini,” kata Dony. Tetapi kepada polisi, jemaah tersebut mengaku dari sebuah organisasi. “Mereka mengaku dari Rabbani Sufi Institute Indonesia,” tambah Donny. Revaldi, seperti ditulis okezone.com (18/09), adalah staff riset dan dokumentasi Rabbani Sufi Institute Indonesia. Lembaga ini tampaknya merupakan lembaga resmi bagi para jemaah Naqsyabandi Haqqani. Lembaga ini, kata Revaldi, berbadan hukum. Dalam situs res minya dijelaskan, lembaga itu merupakan yayasan yang fokus pada pemberdayaan kaum muda di Indonesia dalam bidang apapun—mereka di antaranya memiliki Haqqani Rabbani Band dan Naqshbandi Haqqani Rabbani Whirling Dervishes, aikido, dan menerbitkan buku tentang tokoh Naqsyabandi. Kegiatannya berpusat di Villa Cinere Mas, Pondok Cabe. Tempat salat Ied yang digunakan mereka di Pondok Labu merupakan rumah wakaf dari seorang pe ngusaha yang menjadi pengikut jamaah M Naqsyabandi Haqqani.
Padepokan Pengajian Dibakar Massa Noor Rohman & Alamsyah M. Dja’far
S
ebuah padepokan pengajian di Desa Sekong RT 01 RW 01, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Banten, Selasa (8/9) malam, ludes dibakar massa yang jumlahnya puluhan orang. Beruntung tak ada korban jiwa dalam aksi tersebut. Pimpinan padepokan beserta pengikutnya kebetulan tak ada di tempat. Sejumlah media menyebut nama padepokan yang berdiri sejak lima tahun silam itu berbeda-beda. Ada yang menyebut Padepokan Zikir Qodariyah-Naqsabandiyah, Kelompok Islam Hakekok atau Wali Gaib. Peristiwa pembakaran sendiri konon dipicu oleh dugaan Syahrudin, pimpinan pengajian, mempraktikan ajaran menyim pang berupa praktik pernikahan gaib, ritu
al pernikahan tanpa saksi, wali dan penghulu, cukup dengan kehadiran mempelai laki-laki dan perempuan. Selain itu, menurut salah seorang warga, Ustadz Syah, demikian panggilan akrab Sahrudin, juga melakukan aktivitas ibadah dengan cara aneh. “Puluhan penga nutnya dikumpulkan di padepokan dan hanya mengucap bacaan zikir saja tanpa melakukan salat, jadi kami terpaksa membakar tempat ini,” katanya seperti dikutip okezone.com (10/09). Kepada media, Jupran bin Satra (44 tahun), Sekretaris Desa Sekong, menjelaskan. Sehari sebelumnya, Senin (7/09), Istri Syahrudin bernama Ririn membuat pengakuan heboh di hadapan sekitar 300an warga desa. Ririn sendiri sudah sekian
“Dia (Syahrudin-red) tetap tak mengakui perbuatannya itu. Bahkan ia mengucapkan lafadz istighfar ketika dikonfrontasi. Nah makanya kami masih harus melakukan pendalaman lagi.” --Deni Okvianto lama meninggalkan Syahrudin untuk sebuah alasan. “Dalam pengakuan Ririn itu, diperoleh keterangan bahwa saat dikawini Sahrudin, Ririn berstatus janda beranak tiga, yang di antara anaknya bernama Sri Sumarwanti dan Intan. Dari penikahan dengan Ririn, Sahrudin memiliki seorang anak,” katanya seperti dikutup Media Indo-
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXIII, Oktober 2009 nesia (09/09). Masih menurut Jupran, menginjak usia kesekian perkawinan kedua, Syahrudin meminta Ririn menjadi wali atas per nikahannya dengan Sri. Caranya dengan menikah secara gaib. “Permintaan itu sontak membuat Ririn terkejut, namun ia sendiri tak kuasa menolaknya,” katanya. Ririn kecewa, lalu meninggalkan Syahrudin, meski tanpa surat cerai karena mereka menikah dengan cara kawin gaib. Kepada pihak kepolisian yang mengon frontirnya dengan perempuan yang diduga dicabuli, Ririn dan anaknya SW, Syahrudin membantah tudingan ini. “Dia (Syahrudinred) tetap tak mengakui perbuatannya itu. Bahkan ia mengucapkan lafadz istighfar ketika dikonfrontasi. Nah makanya kami masih harus melakukan pendalaman lagi,” ungkap Wakapolres Pandeglang Kompol Deni Okvianto seperti dikutip radarbanten. com (11/09). Sayangnya hingga berita ini diturunkan Syahrudin belum bisa dimintai
komentarnya. Melalui proses pemeriksaan, Polres Pandeglang akhirnya menetapkan empat warga Ac, Ag, Dn, dan Ar sebagai tersangka yang diduga kuat menjadi pelaku perusakan gedung pengajian yang agak terpisah dari rumah penduduk sekitar ini. Keempatnya merupakan warga Desa Sekong, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, dan kini mendekam di sel Mapolres Pandeglang karena melanggar pasal 170 KUHP, dengan ancaman 5 tahun penjara. “Titik terang soal kasus ini mulai terungkap. Kami sudah menetapkan empat tersangka,” ujar AKP Idra Hermawan, Kasat Reskrim Polres Pandeglang, kepada Radar Banten, Jumat (11/9). Sementara itu demi mengetahui apakah Sahrudin melakukan penistaan agama, menurut Wakapolres pihaknya akan berko ordinasi dengan MUI dan Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). “Ini penting dilakukan.
Nantinya baik MUI maupun Bakorpakem melakukan sidang terhadap Ustadz Syahrudin untuk mengetahui ajaran apa yang selama ini disebarkan. Setelah ada keterangan dari MUI dan Bakorpakem, maka polisi bisa menentukan penggunaan pasal-pasal dalam KUHP,” ujarnya. Namun beberapa hari setelah itu pihak Majlis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten langsung menyatakan jika aliran Hakekok menyimpang. ”Oleh karena itu MUI Banten mendesak Badan Koordinasi Penganut Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem) segera bertindak tegas,” kata Ketua MUI Banten KH Aminudin Ibrohim di Serang (republika, 10/09).”Yang dimaksud menyimpang itu, beribadah cukup dengan niat dan dilakukan di tempat gelap. Selain itu laku-laki dan wanita yang bukan muhrimnya diperbolehkan bercampur (berhubungan badan-red),” kata Aminudin. M
Kekerasan Pendeta Herman Resahkan Warga Nurun Nisa’
H
erman Kemala menjadi sorotan banyak pihak. Penyebabnya, aktivitas ibadah salah seorang pendeta di Manado ini disertai kekerasan terhadap para pengikutnya. Aksi ini diketahui lewat video berdurasi enam menit 36 detik yang direkam salah seorang mantan pengikutnya. Rekaman video, mengutip metrotvnews.com (30/09), menunjukkan bagaimana cara Herman Kemala memperlakukan jemaatnya. Tangannya menampar pipi jemaatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Jemaat hanya bisa menunduk tanpa berani memandang wajah pemimpin mereka. Kekerasan yang tergambar dalam vi deo ini memantik banyak protes. Ratusan pendeta dan warga Kristiani, seperti ditulis VIVANews.com (11/09/09), mendatangi kantor Kesatuan Bangsa Sulawesi Utara (Kesbang Sulut), untuk menyerahkan se jumlah bukti video dan rekaman. Para orang tua di Manado juga menga ku resah jika anak-anak mereka terperangkap dalam indoktrinasi yang dilakukan Herman. Pasalnya, ajaran itu dinilai sesat oleh komunitas Kristen setempat. Salah satu ajaran yang paling menyesatkan ada lah dibenarkannya pembunuhan demi me lindungi keluarga. Ajaran seperti inilah yang membuat keluarga para pengikut Herman khawatir. Namun mereka tak bisa menahan anakanaknya lantaran begitu terobsesi dengan Herman Kemala. Di antaranya keluarga Telly Sondak yang mengaku anaknya su-
The WAHID Institute
dah mengikuti Herman Kemala sejak berusia 15 tahun dan tidak pernah pulang ke rumah. Menurut ibu Telly Sondak, anaknya itu baru pulang ke rumah saat para wartawan hendak mewawancarinya. Namun, Nancy Walangitan yang menjadi jemaat Herman Kemala membantah pengakuan ibunya itu. Hanny Pantouw, Pendeta Gereja Bethel menyatakan, selain kekerasan yang dilakukan oknum pimpinan aliran sesat itu, Herman diduga menyampaikan doktrin lain yang menyimpang. “Pemimpin ini menga jarkan konsep mencuri dan membunuh yang dilegalkan,” jelasnya sebagaimana dikutip oleh VIVASNews.com (10/09). Herman yang juga pemimpin Yayasan Kemuliaan Allah menyebarkan ajarannya dengan sistem leader. Artinya, dilakukan secara berpindah-pindah dari satu hotel ke hotel lain di Kota Manado, bahkan keluar daerah. Target pengikutnya adalah anak-anak muda dan mahasiswa yang masih enerjik dengan tujuan untuk memudahkan penyebaran ajaran agama dan mencarikan dana untuk mendukung penyebaran aliran sesat tersebut. “Para remaja di doktrin setelah berusia 17 tahun untuk meninggalkan orang tuanya dan melegalkan pencurian dan boleh membunuh orang yang menghambat bahkan menghalangi setiap aktivitas dalam ibadah mereka,” tutur Hanny lagi. Hanny menyatakan bahwa aksi memukul diambil guna memberikan
hukuman kepada umatnya yang diduga melakukan kesalahan. Ditemui di suatu ke sempatan, Herman membantah tudingan yang diarahkan pada yayasan yang dipim pinnya sejak 2004 itu. Ia bahkan, seperti ditu lis Liputan6.com (11/09), menilai tindakan tersebut dilakukan untuk menghapuskan dosa para pengikut yang sudah mencapai 4000 orang itu. Selain dua ajaran tersebut, ajaran lain yang cukup kontroversial yang termuat dalam video adalah aborsi yang menurut Herman diperbolehkan agama.
Kekerasan Herman adalah kekerasan murni pidana yang harus ditindak, misalnya dengan Pasal 351 KUHP. Kekerasan Herman tidak berhubungan dengan agama sehingga tidak layak disebut penodaan agama sebagaimana disebutkan dalam pasal 156a KUHP. Menurut pengamat hukum Universitas Samratulangi, Ralfie Pinangsang, jika suatu ibadah mengandung aksi kekerasan, tindakan yang tidak lazim untuk dilakukan dan cenderung melanggar hukum, maka UU KUHP Pidana harus diberlakukan. “Kasus itu seharusnya secepat mungkin ditangani pihak Kepolisian dan lebih proaktif menyelidikinya, sehingga tidak berlarut-larut,” ujar Ralfie sebagaimana ditulis VIVANews.com (10/09).
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXIII, Oktober 2009
Informasi yang diterima Monthly Report menyebut bahwa Herman justru Su dah dilaporkan pihak gereja setempat dengan tuduhan pasal penodaan agama. Sejauh ini polisi sudah memeriksa Herman Kemala. Namun, belum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Pemerintah Provinsi Sulut juga telah mem-
bentuk tim pencari fakta untuk segera menyelesaikan kasus Herman yang dinilai menyesatkan itu. Informasi yang diterima Monthly Report menyebut bahwa Herman justru sudah dilaporkan pihak gereja setempat dengan tuduhan pasal penodaan agama. Terhadap hal ini AKBB dalam konferensi pers (30/09) menyatakan, kekerasan Herman adalah kekerasan murni pidana yang harus ditindak, misalnya dengan Pasal 351 KUHP. Kekerasan Herman tidak berhubungan
engan agama sehingga tidak layak d disebut penodaan agama sebagaimana disebutkan dalam pasal 156a KUHP. Sepertinya ini adalah urusan kali kedua Herman dengan polisi. Kasus pertamanya adalah pada pertengahan tahun 2007, seperti ditulis metrotvnews.com (10/09), ketika ia sempat terseret kasus dugaan penipuan mahasiswa gadungan yang meminta sumbangan di Dumai, Riau, berkedok bantuan dana rehabilitasi penderita narkoba. M
Dua Wartawan Mataram Korban Razia Satpol dan Ormas Yusuf Tantowi
Razia itu dilakukan puluhan anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Mataram dan Komponenan Umat Islam (KUI), awal September silam (1/09). Kedua wartawan itu mengalami luka memar di wajah, dan kaset rekamannya dirusak.
D
UA wartawan stasiun teve nasional, Herman Zuhdi (TVone) dan Yosibio Novianto (Trans TV) dikeroyok sejumlah orang di Jalan Ismail Marzuki, Cakranegara, Kota Mataram ketika meliput razia rumah makan yang buka siang hari. Razia itu dilakukan puluhan anggota Satu an Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Mataram dan Komponenan Umat Islam (KUI), awal September silam (1/09). Kedua wartawan itu mengalami luka memar di wajah, dan kaset rekamannya dirusak. Razia sendiri dimulai sekitar pukul 10.00 Wita, dimulai dari Cafe Delicio, KFC dan McDonall di komplek Mataram Mall. Di tempat makan siap saji itu mereka tak menemukan seorang pengunjung pun. Mereka lalu menaikkan kursi-kursi makan
ke atas meja dan meminta pengelola agar tidak buka selama bulan Ramadhan. Razia yang dilakukan kelompok berjubah dan mengenakan sorban itu dilanjutkan ke Jalan Bung Karno dan Jalan Ismail Marzuki. Dua organisasi wartawan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) NTB dan Aliansi Jurnalis Independent (AJI) mengecam aksi penganiayaan itu. Mereka meminta polisi segera menangkap pelaku penganiayaan. “Polisi jangan ragu menindak para pelaku” ujar H.Ismail Husni, ketua PWI NTB yang juga bos Harian Lombok Post. Kapolres Mataram AKBP Triyono berjanji akan segera menangkap pelaku. “Iden titasnya telah kami ketahui, kami tengah melakukan pengejaran” ujarnya. Polisi baru menyita sepeda motor yang diduga milik pelaku dan telah memeriksa beberapa saksi. Komponenan Umat Islam (KUI) sendiri dikoordinatori H. Husni Tamrin, salah seorang anggota DPRD Kota Mataram dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Pria berjenggot lebat dan suka mengenakan jubah ini merupakan anggota Jamaah Tablig. Razia rumah makan adalah agenda tahunan Husni Tamrin meski dengan nama kelompok yang berbeda-beda. Sejak
awal bulan Ramadhan Husni Tamrin memang sudah beberapa kali meminta Walikota Mataram HM. Ruslan agar menindak warung makan yang buka disiang hari. Dia bahkan mengancam, kalau Walikota tidak bertindak, ia bersama anggotanya akan bertindak sendiri. Dua dari empat tersangka pelaku akhir nya ditangkap aparat pada Senin, (7/09). Keduanya diketahui bernama Galwazi Hi dayat alias Melong dan Adi Joeng. Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Mataram, Ajun Komisaris Polisi Andi Dadi mengatakan penangkapan dua pengeroyok itu dilakukan Senin malam di rumah pacar mereka masing-masing.”Kita tangkap saat keduanya bersembunyi di rumah pacar mereka yakni di Dasan Jangkrik dan Kebon Duren Cakranegara,” kata Andi kepada wartawan di Mataram seperti dikutip VIVAnews. com (8/09). Dua orang lagi masih diburu. Jika terbukti bersalah dua pelaku pe nganiayaan itu terancam hukuman lima tahun penjara. Keduanya dikenakan Pasal 351 jo Pasal 170 KUHP tentang tindak peng aniayaan dan pengeroyokan. Sumber: Harian Lombok Post (02/9), VIAnews.com (08/9). M
Penyelesaian Kasus Salafi Lobar Masih Menggantung Yusuf Tantowi & M.Jayadi
T
OKOH Salafi Lombok Barat, H. Musfihat (50) alias H. Mukti mengaku akan menghadap Komisi Nasional Hak Asa si Manusia (Komnas HAM) jika kasusnya tak segera ditangani polisi. Ia mengaku polisi tidak serius menangani aksi perusakan, pe ngusiran dan pencurian yang dialami bersama jemaahnya.
“Insya Allah selesai lebaran kami akan ke Jakarta menghadap Komnas HAM,” katanya saat ditemui dirumahnya di dusun Mesanggok, Desa Gapuk, Kec. Gerung, Lombok Barat, Rabu (1/9) . Pihaknya juga sudah siap menghadirkan pengacara. Menurut H. Mukti, aksi perusakan dan pengusiran itu bukan hanya tindakan
k riminal biasa tapi sudah tergolong pelanggaran HAM. Karena itu ia menuntut para pelaku perusakan dihukum. Selain itu ia juga akan mempidanakan pembuat akte wakaf palsu yang diduga telah memalsukan tanda tangan sang ayah, almarhum H. Muh. Kasim. Surat itu juga berisi keterangan mengetahui dari Kepala Kantor Urusan
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXIII, Oktober 2009 Agama Kecamatan Gerung, tanpa stempel dan tanda tangan.
Menurut H. Mukti, aksi perusakan dan pengusiran itu bukan hanya tindakan kriminal biasa tapi sudah tergolong pelanggaran HAM. Karena itu ia menuntut para pelaku perusakan dihukum. Diceritakannya, tahun 1990 ia memang pernah mewakafkan perpustakaan de ngan nama “Nur Muhammad”. Lewat perpustakaan ini diharapkan masyarakat bisa menimba ilmu dari beragam koleksi buku dan kitab-kitab koleksi pribadinya. Istilah “Nur Muhammad” ini berasal dari nama kakeknya, TGH. Muhammad Nur, salah seorang tokoh masyarakat di kampung tersebut. “Saya tidak pernah mewakafkan tanah itu kepada masjid tetapi hanya mewakafkan perpustakaan (manfaat) itu untuk dibaca oleh umum,” tuturnya H. Mukti. Sayangnya, oleh mantan kepala desa Mesanggok, H. Mas’uddin itu dianggap sebagai proses
wakaf tanah perpustakaan kepada Masjid Daarud Ad-Da’wah yang letaknya bersebelahan. H. Mas’ud bersama beberapa tokoh masyarakat lain lalu membuat akte tanah atas nama masjid Daarud Ad-Da’wah. “Mereka memalsukan tanda tangan bapak saya. Padahal bapak saya tidak bisa tanda tangan,” jelasnya lagi. Apa lagi saudara-saudaranya yang lain juga tidak setuju. Dirinya memang ikut tanda tangan. Hanya, dirinya beralasan saat itu ia sedang sakit. Jadi ia tidak sempat membaca secara detail isi surat pernyataan penyerahan tersebut. Sementara itu, sejak aksi perusakan dan pengusiran jemaah Salafi dari kampung Mesanggok, kini nasib mereka masih terkatung-katung. “Nasib kami (jemaah Salafi) sampai hari ini tidak jelas, kami masih menunggu janji pemerintah Lombok Barat. Me reka berjanji akan segera menyelesaikan kasus ini dalam waktu dekat dengan merelokasi jemaah Salafi ke tempat yang lebih aman. Tapi dari Februari sampai sekarang ini tidak ada realisasi,” ujar Hani Iswanti, putri tertua H.Mukti. Ia juga mengaku telah membuat laporan mengenai kasus kekerasan dan perusakan itu ke Polres Lombok Barat dengan
nomor: STPL/29.a/II/2009/SPK atas nama Hani Iswanti, Nomor Polisi: STPL/28.a/ II/2009/SPK atas nama Inaq Maream dan Nomor Polisi: STPL/30.a/II/2009/SPK atas na ma Hj Rasmiah, tertanggal 21 dan 22 Feb ruari 2009. Tapi hingga kini tak jelas tindak lanjutnya. Namun begitu, akhir Juni lalu, kepolisian sempat mengeluarkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan tertanggal 30 Juni. Dalam surat bernomor B/01/V/2009/Reskrim, kepolisian menjelas kan pihaknya telah memanggil saksi-saksi dan menyita barang bukti. Di surat itu pula diberitahukan jika pihak kepolisian juga akan segera mengiriman berkas perkara ta hap i ke JPU. “Kami berharap aparat menangani kasus ini dengan serius agar kami dapat kembali hidup dengan normal. Sampai sekarang kami belum punya tempat tinggal sementara jemaah yang terusir dari Mesanggok masih tinggal dirumah keluaraga, sebagaian lagi mengungsi ke Lombok Tengah” harapnya. Karena kalau tidak ia akan melaporkan dan meminta perlin dungan kepada Komnas HAM. M
Siarkan Genjer-genjer, Solo Radio Didatangi Hizbullah Tedi Khaliludin
G
ARA-gara memutar lagu “GenjerGenjer”, sebuah radio swasta di Kota Solo, Solo Radio FM mendapat protes dari Laskar Hizbullah pada Senin pertengahan September lalu (14/09). Las kar yang terdiri dari sekitar 20 orang berto peng tersebut menuntut Solo Radio FM untuk meminta maaf kepada masyarakat Indonesia, khususnya Kota Solo, karena telah menyiarkan lagu yang pernah diang gap rezim Orde Baru sebagai pembangkit semangat gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Pada segmen sahur hari Jumat (11/9), Solo Radio FM mengadakan kuis tebak musik pengiring film dan pada salah satu bagian di kuis tersebut GenjerGenjer yang menjadi salah satu musik pengiring film Gie disiarkan oleh penyiar kami”. -- Yunianto Puspowardoyo “Lagu tersebut adalah milik PKI yang merupakan pengkhianat bangsa ini. Selain itu, PKI juga telah menimbulkan banyak ke sengsaraan di Indonesia,” kata koordinator
The WAHID Institute
aksi Laskar Hizbullah, Yanni Rusmanto. Dia mengatakan, lagu yang oleh Solo Radio FM diputar pada Jumat (11/9) pukul 03:45 WIB tersebut dikhawatirkan dapat membuka luka lama Bangsa Indonesia, “Selain itu, pemutaran lagu tersebut juga dapat menyakiti para korban politik terkait dengan pengkhianatan PKI,”. “Kami menuntut Solo Radio FM segera meminta maaf kepada Bangsa Indonesia, terutama masyarakat Kota Solo yang mendengarkan siaran tersebut,” kata Yanni yang mengaku mendapat mandat dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Solo. Berkali-kali, mereka yang datang berbaris itu meneriakkan takbir, serta melantangkan yel-yel anti komunis. “Komunis, hancurkan... komunis, hancurkan,” teriak massa seperti dikutip Suara Merdeka (15/09). Sementara itu, General Manager Solo Radio FM, Yunianto Puspowardoyo mengatakan, Solo Radio FM akan meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat terkait pemutaran lagu tersebut. “Kami telah menandatangani surat per nyataan maaf terkait kasus tersebut. Permintaan maaf secara terbuka kepada ma syarakat akan segera kami lakukan secepatnya,” kata dia. Dia mengatakan, penyiaran la
gu tersebut merupakan kelalaian dari pihak radio yang berlokasi di kawasan Manahan, Kota Solo. “Pada segmen sahur hari Jumat (11/9), Solo Radio FM mengadakan kuis tebak mu sik pengiring film dan pada salah satu ba gian di kuis tersebut Genjer-Genjer yang menjadi salah satu musik pengiring film Gie disiarkan oleh penyiar kami,” kata Yunianto Puspowardoyo. Pada kesempatan lain, Anggota Bagian Perizinan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah, Hari Wiryawan mengatakan, KPID Jawa Tengah sudah mendapat laporan dari masyarakat terkait penyiaran lagu Genjer-Genjer pada Jumat (11/9). Seperti dikutip Antara, Hari mengatakan, sampai saat ini belum ada peraturan spesifik yang mengatur dilarangnya lagu yang berhubungan dengan PKI. “Akan tetapi, dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, telah disebutkan bahwa setiap lembaga penyiaran dilarang untuk menyiarkan materi yang dapat menimbulkan perpecahan bangsa,” katanya. Sumber: Antara News, Detik, Suara Merdeka. M
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXIII, Oktober 2009
Ustadz SR Diskreditkan LDII Tedi Khaliludin
M
erasa didiskreditkan, ratusan warga LDII dari Desa Krakitan, Bayat, menggeruduk Mapolsek setempat, Sabtu (19/09) pagi. Aksi massa tersebut merupakan bentuk protes mereka terhadap tindakan seorang ustadz bernama SR warga Dukuh Jombor, Krakitan, Bayat.
Seperti dikutip solopos.com, ustadz tersebut diduga telah mendiskreditkan warga LDII di dalam beberapa forum. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan SR kemudian dijemput dan diamankan di Mapolsek Bayat.
Seperti dikutip solopos.com, ustadz ter sebut diduga telah mendiskreditkan warga LDII di dalam beberapa forum. Untuk men cegah hal-hal yang tidak diinginkan SR kemudian dijemput dan diamankan di Ma polsek Bayat. Untuk mengatasi persoalan tersebut, pihak Polsek menggelar forum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Dalam pertemuan yang juga dihadiri Camat Bayat, Kapolsek AKP Widji DM, atas permintaan warga LDII, SR bersedia menandatangani surat pernyataan permintaan maaf. Dalam pernyataan maaf tersebut, SR mengaku salah dan berjanji akan mereha-
bilitasi nama LDII melalui media massa dan forum- forum pengajian. Bila dikemudian hari dia terbukti mengulangi kesalahannya lagi, SR bersedia dituntut sesuai dengan hukum yang berlaku. Ketua LDII Klaten Drs Sugiyo mengatakan sudah menerima permintaan maaf itu dan belum akan mengambil langkah hukum. Pihaknya juga berharap semua pihak menghormati keputusan tersebut. Sementara itu Kapolsek AKP Widji DM mengatakan persoalan tersebut sudah selesai. Namun pihaknya akan terus melakukan pengawasan mengingat masalah ini sangat sensitif. Sumber: www.solopos.com (19/09) M
Kisruh Program Buka Puasa di GKJ Solo Tedi Khaliludin
G
ereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan di Kota Solo memiliki tradisi yang sangat unik pada setiap bulan puasa. Sebagai wujud toleransi kepada umat Islam, pihak GKJ selalu menyediakan paket berbuka puasa berupa paket buka seharga Rp 500. Kegiatan ini sudah berlangsung selama 13 tahun dan mendapat sambutan dari umat Islam setempat. Wajar, karena paket murah itu sangat bisa dijangkau oleh umat Islam yang berada di sekitar Gereja. Antusiasme itu bisa dilihat dari jumlah warga yang terus bertambah. Tahun ini, tak kurang dari 500 paket habis terjual. Namun, baru satu minggu berjalan, Poltabes Surakarta meminta kepada pe ngurus Gereja Kristen Jawa (GKJ) Manahan di Kota Solo untuk menghentikan program penjualan paket buka tersebut. Alasannya demi menjaga kondusivitas karena ada sejumlah elemen masyarakat yang tidak setuju dengan kegiatan tersebut (detik. com, 28/08). Keputusan itu didasarkan atas hasil pertemuan antara pengurus GKJ Manahan dengan Kasat Intelkam Poltabes Surakarta. Intinya adalah menghentikan program yang telah berjalan selama 13 tahun setiap bulan Ramadan tersebut. Pihak gereja diwakili Pendeta Ratna Ratih, J Soeprapto (mantan Wakil Walikota Surakarta) dan Tumiriyanto (aktivis LSM di Solo). “Kemarin pihak Poltabes Surakarta sudah datang menemui kami meminta program itu dihentikan. Alasannya pihak
kepolisian menerima banyak masukan dan desakan dari sejumlah kalangan yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap acara yang telah kami lakukan selama 13 tahun terakhir tersebut,” ujar Pendeta Ratih seperti dikutip detik.com. Dalam pertemuan di Poltabes Surakarta, lanjutnya, pihaknya menyatakan prog ram tersebut akan dihentikan sesuai keinginan polisi. “Jumat sore ini (28/08) kami masih mengadakannya sebagai hari terakhir karena nasi berikut lauk-pauknya sudah terlanjur matang,” kata Ratih. Jumat petang memang acara penjual an paket hidangan buka tersebut tetap diadakan. Bahkan acara tidak lagi diadakan di dalam gedung gereja seperti biasanya, melainkan diadakan di depan gereja yaitu di jalur lambat Jalan MT Haryono. Seperti hari-hari sebelumnya, setiap pembeli yang datang harus membayar Rp 500 untuk mendapatkan minuman pembuka, teh, nasi dan lauk. Menu petang ini adalah masakan khas Solo, yaitu timlo. Panitia menyediakan 500 porsi, langsung ludes. Kapada seluruh hadirin, Pendeta Ratna Ratih mengumumkan bahwa hari ini ada lah hari terakhir program nasi murah itu diadakan. Kepada hadirin, dia juga menyatakan bahwa program tersebut terpaksa dihentikan karena mendapat teguran dari pihak kepolisian. Kepada wartawan, dengan bergurau Pendeta Ratih menyatakan ini adalah per-
jamuan terakhir. Selanjutnya dengan mimik serius dia mengatakan akan mengupaya kan bentuk-bentuk lain untuk mengungkapkan rasa kerukunan beragama dan santunan kemanusiaan bagi warga tidak mampu. LSM Pertanyakan Penghentian Setelah munculnya instruksi peng hentian kegiatan tersebut, sejumlah ele men masyarakat melakukan audiensi dengan pihak kepolisian di Mapoltabes Solo pada Senin (31/08). Perwakilan dari berbagai elemen masyarakat tersebut ditemui oleh Wakapoltabes Solo AKBP A Marhaendra dan Kasatintelkam Kompol Jaka Wibawa. Dalam pertemuan tersebut, berbagai elemen masyarakat tersebut mempertanyakan mengenai penghentian penjualan nasi murah (solopos.com, 31/8). Menurut Zainal Abidin dari LSM Insan Mas, penjualan nasi murah tersebut telah berlangsung sejak 13 tahun yang lalu. “Namun mengapa Jumat kemarin dihentikan. Padahal ini semua merupakan jalur keru kunan antarumat beragama,” jelas Zainal saat audiensi seperti dilansir solopos.com. Dia mengatakan, berhentinya penjualan nasi murah tersebut disayangkan oleh sebagian masyarakat. Sedangkan Pendeta Retno Ratih mengungkapkan, selama ini masyarakat yang memanfaatkan penjualan nasi murah terus mengalami peningkatan. “Karena terus naik akhirnya dilakukan di gedung. Namun, itu tidak di gereja, tapi di
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXIII, Oktober 2009 ruang serba guna. Dan tidak ada perekrutan keagamaan,” ujar Retno. Menanggapi hal tersebut, Kasatintel
Kompol Jaka Wibawa menegaskan, aparat kepolisian tidak menghentikan karena sebatas pada imbauan. kam Kompol Jaka Wibawa menegaskan, aparat kepolisian tidak menghentikan karena sebatas pada imbauan. Dia menyatakan, imbauan tersebut disampaikan karena kepolisian mendapatkan surat tembusan dari kelompok tertentu yang keberatan dengan adanya kegiatan tersebut. Dalam situs mediakeberagaman.com disebutkan, pihak yang dimaksud adalah MUI Kota Solo dan elemen organisasi masyarakat lainnya. Jaka menegaskan, untuk menjaga kon dusivitas Solo juga harus dipertimbangkan soal lokasi kegiatan tersebut. “Tidak menghentikan, namun untuk menjaga kondusivitas alangkah baiknya juga diper-
”Bahwa selama ini pihak Poltabes melaui Kasat Intelkam Poltabes Surakarta bukan menghimbau melainkan meminta kepada pihak GKJ Manahan untuk menutup kegiatan ini”,
timbangkan soal teknis, seperti tempat kegiatan,” papar Jaka. Suasana sempat sedikit memanas ketika Pendeta Ratih sebagai perwakilan dari GKJ Manahan merespon pernyataan yang disampaikan Kasat Intelkam Poltabes Surakarta yang dianggap tidak sesuai dengan yang terjadi selama ini. ”Bahwa selama ini pihak Poltabes melaui Kasat Intelkam Poltabes Surakarta bukan menghimbau melainkan meminta kepada pihak GKJ Manahan untuk menutup kegiatan ini”, ungkap Pendeta Ratih yang langsung direspon Kasat Intelkam Poltabes Surakarta dengan nada yang tinggi. Sementara itu, Wakapoltabes Solo AKBP A Marhaendra menegaskan, kegiatan tersebut dapat terus dijalankan namun masalah tempat juga harus dipertimbangankan. Dia berharap, jangan sampai masalah tersebut dimanfaatkan dan digunakan untuk meme cah belah masyarakat. Kembali Dibuka Kisruh tentang masalah ini berhasil direda dengan mengembalikan esensi audiensi yang sedang dibicarakan saat ini oleh sejumlah peserta yang hadir. Sejumlah peserta menegaskan bahwa Program Na si Peduli Kasih dibuka kembali mulai hari Selasa (01/09) dengan perubahan teknis yang akan dibicarakan kemudian oleh sejumlah LSM yang hadir maupun pihak
GKJ Manahan. Dan dalam kesempatan ini pihak Kepolisian memberikan ketegasan sekaligus jaminan kepada pihak GKJ untuk membuka kembali Program Nasi Peduli Kasih yang sempat terhenti sejak hari Jumat (28/09) lalu. Berdasarkan hasil koordinasi antara sejumlah aktivis LSM dan pihak GKJ setelah melakukan audiensi dengan Poltabes sepakat untuk melibatkan pihak lain terlibat dalam program ini. Dan hasil kesepakatan yang telah dicapai, beberapa pihak yang akan terlibat bersama-sama GKJ Manahan untuk program ini antara lain: Konsorsium Solo, Insan Mas, FPLAG, YAPHI, BAGKS, Kaukus Perempuan Surakarta, Commitment, SARI, LAMPU, JARPUK, PRM, YKP, KS3 dan KOMPIP. Sedang dua lembaga lain berasal dari Boyolali yaitu dan LBKUB dan satu lembaga dari Salatiga yaitu PERCIK. Sejumlah kalangan berharap, semoga melalui Program Nasi Murah Peduli Kasih ini akan mampu meretas semangat keberagaman yang ada di Kota Solo sekaligus membantu meringankan masyarakat yang selama ini terpinggirkan dengan hanya membeli paket nasi dan minuman sebesar Rp. 500,-. Sumber: mediaindonesia.com, detik. com, solopos.com, mediakeberagaman. com. M
Sang Dukun Diusir, Kuburan Keramat Dimusnahkan Noor Rohman
R
atusan warga dari Dusun Krajan Desa Purwoharjo, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi, mendatangi rumah Abdurrahman (45) alias Untung dan memaksanya hengkang meninggalkan Krajan. Suami Semi (40) ini dianggap dukun penganut ajaran sesat. Pengusiran disinyalir akibat kekesalan warga terhadap kejanggalan ritual yang dilakoninya. Warga sendiri sudah mengendus kejanggalan tersebut selama setahun terakhir.
Selain masalah penyembahan kuburan, kemarahan warga ternyata juga dipicu oleh kecurigaan bahwa Untung melakukan tindakan cabul. Tersebar kabar jika anak perempuan tirinya telah hamil meski belum menikah. Anak perempuannya itu sejak beberapa bulan terakhir memang sudah tak ada di rumah. The WAHID Institute
Menurut laporan detikSurabaya.com Rabu (30/09), Untung yang bukan warga asli Krajan, mengajarkan pengikutnya untuk ‘menyembah’ sebuah kuburan keramat yang diyakininya sebagai makam Mbah Projo, leluhur Desa Purwoharjo. Ritual penyembahan ini rutin dilakukan tiap malam Jumat Kliwon sesuai penanggalan Jawa. Namun, warga setempat meragukan keberadaan makam tersebut dan menuding Untung melakukan rekayasa karena keberadaan kuburan muncul secara tiba-tiba. Selama ini warga tak pernah melihat ada makam keramat tersebut. “Sepanjang sejarah desa tak pernah ada yang namanya Mbah Projo,” jelas Burhan, juru kunci pemakaman umum Purwoharjo seperti dikutip detiksurabaya.com. Berdasarkan penuturan warga, laki-laki yang sudah 15 bulan bermukim di Desa Purwoharjo sejak awal sudah memperlihatkan gelagat aneh. “Dia itu tak mau berbaur atau bergaul sama warga, tertutup dan aneh,” terang Imam Subakir, tokoh
masyarakat setempat seperti dikutip detiksurabaya.com. Menurut informasi detiksurabaya. com, kuburan keramat yang terletak di area pemakaman umum Dusun Krajan Desa Purwoharjo, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi itu dihancurkan warga setelah sang dukun berhasil diusir. Selain masalah penyembahan kuburan, kemarahan warga ternyata juga dipicu oleh kecurigaan bahwa Untung melakukan tindakan cabul. Tersebar kabar jika anak perempuan tirinya telah hamil meski belum menikah. Anak perempuannya itu sejak beberapa bulan terakhir memang sudah tak ada di rumah. Sementara itu, pengakuan polisi menjelaskan belum adanya laporan mengenai dugaan asusila ini. “Kalau dugaan asusila kami belum mendapat laporan resmi dari pihak keluarga,” ujar Kanit Reskrim Polsek Purwoharjo, Aiptu Wignyo seperti dikutip detiksurabaya.com. M
■ Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXIII, Oktober 2009
Warga Madura Yogya Minta FPI Bubar Nur Khalik Ridwan
S
aat tengah asyik menyeruput kopi pada dini hari akhir Agustus silam, di sebuah kedai di Kampung Kuliner Jalan Laksda Adi Sucipto, Yogyakarta, lelaki itu tiba-tiba didatangi segerombolan orang berjubah dan beratribut Front pembela Islam (FPI). Orang-orang itu menuduhnya tengah mabuk. Kopiah yang dipakainya ju ga dicopot paksa. “Itu tidak sopan dan melecehkan,” kata lelaki itu.
Kami marah, sebab rasa aman terancam; kami marah, sebab marwah atau kehormatan H. Abd Kowi MA (Cak Kowi) dan Keluarga Madura Yogyakarta (KMY) dilecehkan; kami marah, sebab peran Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sebagai penegak hukum telah diambilalih oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan ‘polisi Tuhan’ dengan cara-cara biadabbarbarian....
Lepas tengah malam (25/08), sekelompok orang yang diduga kuat dari FPI Yogyakarta memang tengah menggelar aksi sweeping di bulan Ramadhan. Mereka mendatangi tempat-tempat yang dianggap berbau maksiat dan pelaku yang berbuat maksiat. Salah satu yang “disapu” itu, lelaki tadi, H Abd Kowi MA, yang akrab disapa Cak Kowi. Ia sesepuh warga Madura di Kota Gudeg. Malam itu sesepuh Keluarga Madura Yogyakarta (KMY) datang ke Jalan
Laksda Adi Sucipto, tepatnya di depan Ambarukmo Plaza, itu mengaku sedang akan menemui teman-temannya. Tapi oleh FPI dianggap tengah mabuk-mabukan. Aksi yang menimpa tokoh Madura ini akhirnya berbuntut panjang. Esok harinya Keluarga Madura Yogyakarta (KMY) langsung membuat siaran pers. Isinya mengecam aksi FPI. Organisasi ini dianggap kembali melakukan tindakan melawan hukum yang mengancam stabilitas keamanaan, ketenangan, serta kenyamanan masyarakat Yogyakarta. Mereka juga tak terima jika sesepuhnya Cak Kowi dianggap tengah mabuk-mabukan. Padahal, menurut KMY hanya kebetulan melintas dan menghampiri sahabat-sahabatnya, termasuk minum kopi. Pemberitaan yang dimuat di sejumlah media itu jelas merugikan keluarga besar warga Madura di Yogayakarta. Selain KMY, sejumlah organisasi primordial asal Madura juga ikut bersama-sama mengeluarkan pernyataan sikap. Dari KMY, yang menyatakan sang ketua langsung: Drs. KH Fadli Zaini. Ada Irwan Hayat, Ketua Forum Silaturrahmi Keluarga Mahasiswa Madura Yogyakarta (Fs-KMMY), dan H. Huddin Hasbullah, Ketua Umum Forum Silaturrahmi Keluarga Niagawan Madura Yogyakarta (Fs-KNMY). Para pemimpin organisasi ini mengaku marah dan kecewa dengan aksi FPI. “Kami marah, sebab rasa aman terancam; kami marah, sebab marwah atau kehormatan H. Abd Kowi MA (Cak Kowi) dan Keluarga Madura Yogyakarta (KMY) dilecehkan; kami marah, sebab peran Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) sebagai penegak hukum telah diambil-alih oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan ‘polisi Tuhan’ dengan cara-cara biadab-barbarian; kami marah, sebab hukum dicederai; dan
kami marah, sebab budaya berkeadaban Yogyakarta dicoreng oleh FPI,” Kutip pers release itu. Mereka juga mendesak FPI Yogyakarta sekaligus Bambang Td sebagai Ketua meminta maaf secara terbuka kepada H. Abd Kowi MA dan Kelurga Madura Yogyakarta (KMY) dalam tempo paling lambat 2X24 Jam. Jika imbauan ini tak dipenuhi, mereka mengatakan tak bertanggung jawab atas tindakan-tindakan di luar koordinasi. Mereka mendesak Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan pemerintah segera membubarkan Front Pembela Islam (FPI) hingga ke akar-akarnya demi stabilitas keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam berbangsa dan tegaknya Islam yang rahmatan li al-‘alamîn (Berislam tanpa kekerasan). Tak hanya membuat release, Keluarga Madura menggelar unjuk rasa ke Polda DIY pada Rabu (26/8), yang salah satunya dipimpin Ketua Fs-KMMY, Irwan Hidayat. Seperti pernyataan mereka sebelumnya, para pengunjuk rasa meminta polisi membubarkan FPI. Beberapa hari setelah itu, sesepuh masyarakat Madura di Yogyakarta, KH. Malik Madani MA., sempat pula diwawancarai media massa terkait dengan tindakan FPI. Dalam wawancara itu, seperti Kedulatan Rakyat (28/9) Kiai Malik Madani meminta agar FPI introspeksi dan orang-orang Madura tidak melakukan tindakan sendirisendiri. Tokoh agama ini juga menyebutkan jika untuk menghadapi FPI ini perlu menggunakan kaidah izâlatu an-najîs laisa bi al-baul (menghilangkan najis tidak perlu dengan menggunakan air kencing). Sumber: VHR Media (26/08) Kedaulatan Rakyat (27/08 & 28/08). M
Formajo Tolak Fatwa Haram Mengemis Nur Khalik Ridwan
B
erita dari Madura soal fatwa haram mengemis, direspon Forum Komunikasi Mahasiswa Jogjakarta. Tak kurang dari 30-an mahasiswa, forum ini menggelar aksi damai pada Jumat sore di Tugu Yogyakarta (28/8). Mereka menolak fatwa. Setelah berorasi selama kurang lebih 10 menit, dari Tugu mereka bergerak
10
enuju perempatan besar kantor pos di m selatan Jalan Malioboro. Fatwa haram mengemis semula dikeluarkan MUI Sumenep, Madura, Jawa Ti mur. Setelah itu, fatwa haram mengemis didukung pemerintah melalui Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang menetapkan fatwa tersebut dengan alasan
pengemis dan gelandangan memalukan agama, serta mengganggu ketertiban lingkungan. Kepada media, koordinator aksi Arko Acung berargumen. “Dengan mengharam kan mengemis, sebenarnya negara telah melanggar Undang-undang Dasar 1945 pasal 34 yang menyebutkan dengan jelas
The WAHID Institute
n Monthly Report on Religious Issues, Edisi XXIII, Oktober 2009 bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara,” katanya seperti dikutip Antara (29/8). Beberapa media mengutip Arko Acung dengan Arko Ujun.
“Dengan mengharamkan mengemis, sebenarnya negara telah melanggar Undang-undang Dasar 1945 pasal 34 yang menyebutkan dengan jelas bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara,” Arko juga menambahkan, jika keseng saraan yang meluas di masyarakat adalah imbas dari derasnya isu-isu politik yang semakin mengaburkan masalah kerakya-
tan, seperti busung lapar, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya upah buruh, penggusuran pedagang kaki lima, perampasan tanah petani, serta tidak tersedianya lapangan kerja. Padahal, lanjutnya, dari Sabang hingga Merauke masih banyak orang miskin dan anak-anak menjadi gelandangan dan pengemis, terutama di pusat-pusat kota. Fatwa itu, tambahnya, tak pantas keluar. “Ini sangat penting untuk dipertanyakan kembali atas tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan rakyat khususnya fakir miskin. Negara harus berfikir lebih jeli sebelum ikut menetapkan atau memberi dukungan terhadap fatwa tersebut.” Dengan alasan itu pihaknya menyerukan kepada seluruh elemen masyarakat
Yogyakarta dan kalangan intelektual untuk menolak fatwa haram mengemis, sembari mendesakan agar negara bisa memfasilitasi terbukanya lapangan kerja seluas-luasnya bagi rakyat miskin, termasuk memberi pendidikan dan layanan kesehatan gratis kepada rakyat. Ketimbang fatwa itu, yang lebih pen ting justru memikirkan bagaimana agar harga bahan pokok bisa turun di tengah meningkatnya harga menjelang Hari Raya. Kelompok ini juga menggelar aksi teatrikal yang menggambarkan kesewenangwenangan penguasa terhadap fakir miskin dan anak terlantar yang menjalani hidup sebagai gelandangan dan pengemis. Sumber: Kedaulatan Rakyat, (29/08) Antara, (29/08). M
Ormas Islam Demo Jawa Pos Noor Rohman
P
uluhan massa yang mengklaim representasi beberapa elemen organisasi massa Islam Jawa Timur, melakukan aksi demo di kantor Jawa Pos di Jalan A Yani Surabaya, Rabu (2/9). Aksi ini memprotes beberapa pemberitaan Jawa Pos yang dinilai vulgar dan dianggap membela komunis. Secara spesifik protes tersebut dialamatkan pada pemberitaan seputar Miss Universe dan liputan tentang komunisme edisi hari kemerdekaan.
Ekspresi penolakan massa ini merupakan implikasi dari ampuhnya stigma miring tentang PKI yang ditanamkan pemerintah orde baru. Sehingga eks PKI beserta keturunannya masih diperlakukan sebagai musuh dan tersegregasi dari dunia sosialnya. Aksi massa ini dipicu oleh liputan Jawa Pos tentang finalis Miss Universe asal Indonesia dengan pakaian renang two piece (dua potong) yang menjadi headline koran tersebut. Massa menilai liputan tersebut mendukung pornografi dan menuding bahwa Jawa Pos telah melanggar UndangUndang dan mencederai Pancasila karena UU Pornografi telah disahkan “Jawa Pos menunjukkan perangai tidak baik dengan pemberitaan kontestan Miss Universe yang menggunakan pakaian seronok,” ujar Abdurrahman Aziz, Ketua MUI Bidang Infor
The WAHID Institute
masi dan Komunikasi seperti dikutip hida yatullah.com (03/ 09). Massa juga mengecam tulisan bos Jawa Pos, Dahlan Iskan berjudul “Soemarsono Pejuang Kemerdekaan” yang dimunculkan selama tiga edisi berturut-turut, dimulai hari Ahad (9/08). Beritanya antara lain tentang kunjungan Soemarsono ke keluarga korban pembantaian PKI pada 22 Agustus 2009 di Pesantren Sabil Muttaqin, Takeran, Magetan. Tulisan Dahlan dinilai kental dukungan terhadap PKI, khususnya sosok Soemarsono, yang kini menjadi warga negara Australia. “Itu berarti Pak Dahlan Iskan memberi angin kepada komunisme di Indonesia, dan kunjungan itu sendiri seolaholah ada rekonsiliasi dengan komunis,” tegas Ketua CICS, Arukat Djaswadi seperti dikutip erabaru.net, Rabu (02/ 09). Soemarsono yang sempat menjadi Gubernur Militer PKI itu merupakan generasi ketiga PKI, setelah Muso dan Amir Syarifuddin, dianggap orang yang mesti bertanggung jawab terhadap aksi pembantaian warga Magetan dan Madiun. Prof. Aminuddin Kasdi, dosen Sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unesa), menyebutkan bahwa Soemarsono merupakan sosok jahat. Selain dianggap telah membunuh para kiai, banyak umat Islam yang telah ia bantai di sumur Soco di Magetan. Ia juga dalang di balik kematian Gubernur Ngawi, Suryo. Aksi ini juga dilakukan dengan membakar karya Soemarsono, Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah. Aksi itu kemudian diprotes ratusan penggiat buku dari berbagai kalangan, mulai dari jurnalis, aktivis NGO, hingga akademisi. “Kami pri-
hatin dengan pembakaran buku itu kendati kami belum tentu sepenuhnya setuju dengan isi buku tersebut. Tapi kebebasan berpendapat, baik lisan maupun tulisan, dijamin oleh UUD 1945. Pembakaran buku Soemarsono mengulang kembali aksi fasisme Nazi,” demikian salah satu bunyi keprihatinan pamflet pernyataan sikap itu seperti dikutip indonesiabuku.com (08/9). Massa peserta aksi yang menyebut dirinya juga sebagai Front Anti-Komunis (FAK) itu di antaranya berasal dari Centre of Indonesia Community Studies (CICS), Front Pemuda Islam Surabaya (FPIS), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Front Pembela Islam (FPI) Surabaya, Front Ukhuwah Islamiyah (FUI), Pelajar Islam Indonesia (PII), Forum Madura Bersatu (Formabes). Awalnya mereka tidak dapat masuk ke gedung Graha Pena, karena dihadang polisi. Namun, akhirnya belasan perwakilan massa diterima pimpinan Jawa Pos, di antaranya Leak Koestiya dan Imam Syafii dari Grup Jawa Pos. Menurut salah seorang pimpinan FPI Surabaya H Imam Hambali, manajemen Jawa Pos akhirnya bersedia memberi peluang kepada FAK untuk menulis aspirasi yang membantah pernyataan Soemarsono, guna dimuat Jawa Pos seperti dilansir erabaru.net. Ekspresi penolakan massa ini merupakan implikasi dari ampuhnya stigma miring tentang PKI yang ditanamkan pemerintah orde baru. Sehingga eks PKI beserta keturunannya masih diperlakukan sebagai musuh dan tersegregasi dari dunia sosialnya. Pada hal banyak pembelokan sejarah mengenai PKI yang akhirnya mulai diungkap pascareformasi. M
11
ANALISIS 1.
2.
3.
Pro-kontra pengesahan Qanun Hukum Jinayah dan Hukum Acara Jinayah yang disahkan delapan fraksi DPR Aceh di ujung masa pensiunnya memberi sebuah pelajaran berarti: tak mudah memang meletakkan hubungan agama-negara dalam konteks negara Pancasila. Sebagian mengatakan, penerapan hukum Islam adalah bagian dari kebebasan menjalankan agama, termasuk penerjemahan konteks “kekhususan” Aceh melalui UU No. 11 Tahun 2006. Apalagi sebelumnya, peraturan senada nyatanya sudah berlaku dan berjalan seperti Qanun No. 13 Tahun 2003 tentang Perjudian yang salah satunya berisi hukum cambuk. Tapi kelompok yang menolak Qanun beralasan jika hukum rajam hingga mati bertentangan dengan HAM dan KUHP yang ada, termasuk melanggar prinsip-prinsip pembuatan peraturan perundang-undangan. “Kekhususan” Aceh jelas tak boleh melanggar hukum yang lebih tinggi, apalagi sebagian muatan qanun berada di luar konteks kebebasan beragama. Untuk itu diperlukan kajian dan langkah-langkah konkret untuk menyelesaikan perbedaan pandang ini. Langkah-langkah itu bisa dilakukan melalui langkah hukum yang tersedia, termasuk langkah kultural agar syariat Islam sejalan dengan semangat zaman. Sikap mengutuk keras dan melawan segala bentuk ideologi terorisme tentu sangat dibenarkan dan mesti didukung seluruh elemen bangsa ini, dari agama dan suku apapun. Namun, pengejewantahan sikap perlawanan yang berlebihan dan tak proporsional semestinya juga dihindari. Meski bisa dipahami, penolakan penguburan tiga jenazah tersangka teroris (Urwah, Susilo, dan Mistam) beberapa waktu lalu sepertinya kurang proporsional. Apalagi jika sikap itu justru dipertontonkan pihak aparat keamanan yang seharusnya bersikap netral, bahkan semestinya memfasilitasi agar proses penguburan, sebagai hak keluarga almarhum sebagai warga negara, berjalan lancar. Penolakan hanya bisa dengan alasan melindungi kesehatan, moral, ketertiban, keselamatan publik, dan hak dasar orang lain. Apapun alasannya, aksi perusakan dan pembakaran seperti terjadi terhadap padepokan milik Syahrudin di Desa Sekong Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, tak bisa dibenarkan. Ini perbuatan kriminal yang mesti ditindak. Perbedaan pandangan, tudingan sesat, harus bisa diselesaikan dengan dialog bahkan debat yang sehat. Jika ada dugaan pidana, seperti tudingan pencabulan misalnya, juga harus diselesaikan dengan jalur hukum. Di sini sebetulnya tugas aparat, agamawan, dan tokoh masyarakat untuk memberi penyadaran pentingnya penegakan hukum.
REKOMENDASI 1.
2.
3.
Penolakan kelompok masyarakat sipil terhadap Qanun Jinayat dan Hukum Acara Jinayat karena alasan bertentangan de ngan prinsip HAM dan UU No. 5 tahun 2005, atau UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah (pasal 10 ayat 3) bisa ditindaklanjuti dengan melakukan judicial review. Kepada pemerintah juga bisa didesak untuk melakukan uji materiil oleh Mahkamah Agung. Sementara itu dari sisi kultural, perlu upaya dan kajian yang terus menerus dan mendalam untuk mendialogkan konsep syariat Islam dan konteks negara hukum Indonesia. Bagaimanapun konsep syariat dalam sejarahnya bukanlah konsep baku. Bahkan ada pandangan, apa dianggap sebagai “murni” hukum Islam seperti hukum cambuk dan rajam itu sesungguhnya juga peninggalan masa pra-Islam yang kemudian diadopsi Islam. Dengan begitu, bisa juga dipahami menerima atau menolak qanun ini tak berarti soal Islam dan bukan Islam, atau lebih sempurna (kaffah) atau tidak sempurna. Boleh jadi ini sekedar proses politik hukum. Karenanya kajian dan dialog tentang syariat penting untuk terus dikembangkan. Menghimbau masyarakat luas agar cerdas dan proporsional bersikap dalam menolak segala bentuk aksi dan ideologi terorisme. Cara itu bisa dipraktikan dengan sikap lebih waspada terhadap orang-orang yang mencurigakan dan melaporkannya kepada aparat terkait; tidak melakukan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan; mendukung ide dan dakwah-dakwah yang menyejukan dan penuh toleransi. Kasus penolakan jenazah ini tidak juga dijadikan sebagai preseden untuk melakukan hal yang sama terhadap kasus-kasus lain seperti orang yang diduga melakukan praktik aliran sesat. Kepada pemerintah, wajib memfasilitasi penguburan sebagaimana keyakinan para keluarga yang ditinggalkan. Penolakan hanya bisa dilakukan keran alasan melindungi kesehatan, moral, ketertiban, keselamatan publik, dan hak dasar orang lain. Penolakan ���������� pemerintah atas terorisme juga bisa dilakukan dengan pengetatan pembuatan KTP. Menghimbau masyarakat untuk tidak mudah menyelesaikan perbedaan pandangan dengan aksi-aksi kekerasan. Aparat yang menyelidiki kasus pembakaran padepokan sebaiknya berhati-hati untuk menggunakan pasal karet penodaan yang biasanya merujuk pada fatwa MUI dan Bakorpakem. Dalam praktiknya hampir jarang mereka yang diduga sesat itu lolos dari jerat vonis kedua lembaga tersebut. Seringpula dikesankan bahwa komunikasi yang dilakukan kedua pihak, orang yang diduga sesat dengan MUI atau Bakopakem, bukan komunikasi dan debat yang terbuka, melainkan komunikasi satu arah. Sekali lagi, keyakinan tak bisa diadili. Seperti kasus-kasus dugaan penodaan, mereka yang diduga sesat itu selalu menjadi korban ganda: korban kekerasan dari massa dan tersangka penodaan agama itu sendiri. Dalam kasus Syahrudin aparat sebaiknya berpegang pada dakwaan yang lebih jelas, misalnya kasus pencabulan seperti tuduhan masyarakat yang melakukan aksi kekerasan itu. Jika terbukti, Syahrdin harus dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Jika tidak, ia harus dilepas dan dipulihkan nama baiknya.