Otopsi Jenazah Dalam Tinjauan Syar'i
“ Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mukmin yang sudah meninggal, sama seperti mematahkan tulangnya dikala hidupnya” (Riwayat Abu Dawud 2/69, Ibnu Majah 1/492, Ibnu Hibban 776, Ahmad 6/58, dari ‘Aisyah , dengan sanad shahih) Praktek yang dilakukan oleh fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk beluk organ tubuh manusia, agar bisa mendeteksi organ tubuh yang tidak normal dan terserang penyakit untuk mengobatinya sedini mungkin atau tujuan lainnya seperti untuk mengetahui penyebab kematiannya seiiring maraknya dunia kriminal saat ini, dengan membedah jasad mayat manusia. Dari hal diatas timbul sebuah pertanyaan besar; Apakah hal tersebut dibolehkan secara syar’i atau tidak, bila yang dibedah adalah mayat seorang muslim. Karena praktek seperti ini hampir dilakukan semua fakultas kedokteran. Berikut kami sampaikan risalah singkat mengenai hal ini. Kehormatan Seorang Muslim Terjaga Baik Semasa Hidupnya Maupun Setelah Mati Termasuk suatu perkara yang jelas dalam syari’at bahwa kehormatan seorang muslim terjaga semasa hidupnya maupun setelah mati. Maka tidak boleh kita membunuh, melukai, menyakitinya serta tidak boleh mematahkan tulangnya atau mencincang tubuhnya walaupun dia telah meninggal. Banyak dalil yang berhubungan dengan hal ini, diantaranya firman Alah :
! "# $%& '(" ) * +, # $%- ./ $(/ 0 / 1 .2 3 4 / ! $ $5 6 '% 7 ! (- ! “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya” (An Nisa’ : 93) Rasulullah J juga bersabda: “Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi 1
kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah (Riwayat Bukhari 1/70 dan Muslim 22, dari Ibnu Umar ) Juga Sabda Rasulullah SAW : “Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mukmin yang sudah meninggal, sama seperti mematahkan tulangnya dikala hidupnya” (Riwayat Abu Dawud 2/69, Ibnu Majah 1/492, Ibnu Hibban 776, Ahmad 6/58, dari ‘Aisyah , dengan sanad shahih) Al Hafidz Ibnu Hajar, dalam Fathul Bari’ berkata; “Hadits ini menunjukan bahwa kehormatan seorang muslim setelah ia meninggal, sama seperti tatkala masih hidup” Macam - Macam Tujuan Membedah Jenazah Di lihat dari tujuannya praktek bedah dan otopsi mayat ada beberapa macam, namun yang paling sering dilakukan adalah: Pertama, Untuk mengetahui penyebab kematiannya, saat terjadi tindakan kriminal. Untuk keperluan ini seorang dokter mengotopsi jenazah untuk mengetahui penyebab kematiaannya. Apakah mayat tersebut meninggal secara wajar atau karena tindak kriminal. Kedua, Untuk mengetahui penyebab kematian secara umum. Dengan otopsi ini seorang dokter dapat mengetahui penyakit yang menyebabkan kematian jenazah tersebut, sehingga kalau memang itu suatu wabah dan dikhawatirkan akan menyebar, bisa segera diambil tindakan preventif, demi kemashlahatan. Ketiga, otopsi untuk praktek ilmu kedokteran. Otopsi ini dilakukan oleh para mahasiswa fakultas kedokteran untuk mengetahui seluk beluk organ tubuh manusia. Ini sangat diperlukan untuk mengetahui adanya penyakit pada organ tubuh tertentu secara tepat. Secara umum hukum syar’i masalah ini adalah berangkat dari apakah otopsi jenazah seorang muslim tersebut memang terpaksa harus dilakukan atau tidak, karena pada dasarnya kita tidak boleh melukai, mematahkan tulang dan lainnya dari jasad seorang muslim berdasar hadits diatas, kecuali dalam keadaan darurat harus melakukan hal itu, maka boleh dilakukan berdasar firman Allah tentang makanan yang haram dimakan:
89 # ;: ! = < 5 ' ?> @ 4 # “...,Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya,...” (Al Baqarah: 173) Juga berdasar kaidah fiqih yang masyhur bahwa Keadaan darurat (terpaksa) bisa menghalalkan yang haram. 2
Namun untuk memprediksikan apakah ini sudah dalam keadaan darurat atau belum seringkali terjadi perbedaan diantara para ulama, sehingga hukum akhirnyapun akan berbeda. Membedah Mayat Wanita Untuk Menyelamatkan Bayi Yang Dikandungnya Bila ada seorang ibu yang meninggal dunia , sedang bayi yang dikandungnya masih hidup, para ulama berselisih, apakah harus dibedah perut ibu atau bagaimana? Imam Malik dan Ahmad mengatakan tidak boleh dibedah ibu meskipun bayi yang dalam kandungannya masih dikeluarkan dengan cara diambil dari jalan farji oleh (Lihat Syarh Mukhtashor Khalil Syaikh Ahmad Dirdir, Imam Mawardi 2/556, Kasyaful Qina’ 2/130)
perut seorang hidup, namun tenaga medis dan Al Inshof
Berkata Ibnu Qudamah; “Hal ini karena bayi itu belum pasti masih hidup, maka tidak boleh melanggar sesatu yang telah jelas keharamannya demi sesuatu yang belum jelas. Rasulullah J bersabda: “
Sesungguhnya
mematahkan tulang
seorang
mukmin yang
sudah
meninggal, sama seperti mematahkan tulangnya dikala hidupnya” Juga karena Rasulullah J melarang mencincang mayat”. Namun Imam Syafi’i, Ibnu Hazm, dan sebagian ‘Ulama Malikiyyah mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu demi keselamatan bayi dalam kandungannya (Lihat Majmu’ Syarh Muhadzab Imam Nawawi 5/301, Al Muhalla 5/166) Demikian pula pendapat yang dipilih oleh Syeikh Rasyid Ridha. Dan ini adalah pendapat yang Rajih Insya Allah. Berkata Syeikh Al Albani : Apa yang dipilih oleh Syeikh Rasyid Ridha adalah pendapat dari kalangan Syafi’iyyah sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi, dan beliau mengatakan bahwa ini adalah madzhab Abu Hanifah dan jumhur ‘Ulama, juga Ibnu Hazm. Dan ini adalah sesuatu yang benar, Insya Allah” (Ahkamul Janaiz, hal.297) Berkata Syeikh Ahmad Syakir, dalam Ta’liq Al Muhalla; “Adapun mengeluarkan bayi yang masih hidup dalam kandungan sang ibu, maka hal ini wajib dilakukan. Adapun mengenai caranya maka hal itu terserah kepada ahlinya, baik seorang dokter maupun dukun bayi”. Otopsi Jenazah Muslim Untuk Belajar Ilmu Kedokteran Islam sebagai agama yang telah disempurnakan oleh Allah telah menetapkan beberapa kaidah untuk menjawab permasalahan yang belum terjadi pada masa Rasulullah J. Diantara kaidah tersebut adalah ; 3
“Apabila berbenturan dua kemashlahatan maka dilakukan yang paling banyak mashlahatnya, juga apabila berbenturan dua mafsadat maka dilakukan yang paling ringan mafsadatnya” (Lihat Qowa’id Fiqhiyah Syeikh As Sa’di, hal. 45-48) Masalah otopsi dan bedah mayat seorang muslim dan dzimmi masuk dalam masalah ini, karena otopsi banyak mengandung faedah yang sangat besar seperti mengungkap tindak kriminalitas, mendeteksi sedini mungkin adanya wabah penyakit, sehingga bisa cepat diatasi, dan manfaat lainnya. Juga apa yang dilakukan oleh mahasiswa kedokteran untuk melakukan bedah mayat dalam rangka belajar, mengandung banyak manfaat bagi ummat. Semua ini kalau bertentangan dengan mashlahat demi menjaga kehormatan mayat, maka harus dilihat mana yang lebih kuat mashlahatnya sehingga bisa dihukumi boleh atau tidak. Kalau dilihat secara umum tentang keharusan menjaga kelangsungan hidup manusia maka praktek semacam ini boleh dilakukan. Wallahu A’lam. Jika ada yang berkata; “Mengapa tidak dilakukan dengan membedah binatang saja?” Maka jawabnya; Ada perbedaan yang sangat besar antara organ tubuh manusia dan organ tubuh hewan, yang dengannya tidak bisa dijadikan dasar dalam belajar ilmu kedokteran. Sebagaimana dengan sangat jelas bagi mahasiswa fakultas kedokteran. (Lihat secara lengkap pembahasan ini dalam Abhats Fatwa Hai’ah Kibarul ‘Ulama, hal 4867) Namun jika mayat yang dibedah itu mayat yang tidak ma’shum (Selain orang Islam dan Kafir Dzimmi), maka itulah yang lebih selamat. Berkata Syeikh Al Albani; “Dengan ini terjawablah pertanyaan yang sering dilintarkan para mahasiswa fakultas kedokteran yaitu; “Apakah boleh memecahkan tulang mayat untuk dijadikan bahan penelitian kedokteran? Jawabnya : “Tidak boleh dilakukan terhadap mayat muslim dan boleh terhadap lainnya” (Ahkamul Janaiz hal.299) Berikut kami sampaikan fatwa Hai’ah Kibarul Ulama’ No. 47 tanggal 20/08/1396H tentang pandangan Hai’ah terhadap praktek otopsi dan pembedahan mayat muslim untuk tujuan kemashlahatan medis. Jawab: Setelah ditelaah, ternyata masalah ini mengandung tiga unsur, yaitu; Pertama, Otopsi mayat untuk mengetahui sebab kematian saat terjadi tindak kriminalitas Kedua, Otopsi mayat untuk mengetahui adanya wabah penyakit, agar bisa diambil tindakan preventif secara dini. Ketiga, Otopsi mayat untuk belajar ilmu kedokteran. 4
Setelah dibahas dan saling mengutarakan pendapat, maka majelis memutuskan sebagai berikut; Untuk masalah pertama dan kedua, majelis berpendapat tentang dibolehkannya untuk mewujudkan banyak manfaat dalam bidang keamanan keadilan dan tindakan preventif dari wabah penyakit. Adapun mafsdat merusak kehormatan mayat yang di otopsi bisa tertutupi bila dibandingkan dengan kemashlahatannya yang banyak, maka majelis sepakat menetapkan diperbolehkannya melakukan otopsi untuk dua tujuan tersebut, baik mayat itu ma’shum atau tidak. Adapun yang ketiga, yang berhubungan dengan pendidikan medis, maka memandang bahwa syari’at Islam datang dengan membawa serta memperbanyak kemashlahatan dan mencegah serta memperkecil mafsadat dengan cara melakukan mafsadat yang paling ringan serta mashlahat yang paling besar. Juga karena tidak bisa diganti dengan membedah binatang, juga karena pembedahan ini banyak mengandung mashlahat seiring dengan perkembangan ilmu medis, maka majelis berpendapat, bahwa secara umum diperbolehkan membedah mayat muslim. Hanya saja karena memang Islam menghormati seorang muslim baik hidup maupun mati sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dari ‘Aisyah , bahwa Rasulullah J
bersabda: Sesungguhnya mematahkan tulang seorang mukmin yang sudah meninggal, sama seperti mematahkan tulangnya dikala hidupnya”. Juga karena melihat bahwa bedah itu bisa menghinakan kehormatan jenazah Muslim, padahal itu semua bisa dilakukan terhadap mayat yang tidak ma’shum, maka majelis berpendapat bahwa bedah tersebut hanya boleh dilakukan pada mayat yang tidak ma’shum, bukan terhadap mayat yang ma’shum. Wallahul Muwafiq. -------------------------------------------------Kontribusi: Mas Heru Yulias Wibowo – Redaktur Buletin Da’wah An Nashihah Cikarang Baru Bekasi, untuk berlangganan hubungi bag. Sirkulasi: Mas Arifin 08156094080 (A bu Laili)
5