1 SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Salah satu keinginan saya sejak kecil adalah bisa bertemu dengan Presiden RI. Mengingat saya lahir dan besar di era Orde Baru, tentu saja saat itu saya ingin sekali bertemu dengan Presiden Soeharto atau yang akrab dipanggil Pak Harto. Seingat saya, dulu sewaktu masih sekolah di TK Al Azhar Kemang Jakarta, saya dan teman-teman kelas lainnya saat itu diundang untuk mengikuti acara Hari Anak Nasional di Senayan yang juga dihadiri oleh Pak Harto. Kalau tidak salah saat itu kami diminta untuk tampil dalam rangkaian parade pawai bersama anakanak dari sekolah lainnya. Tentu saja sebagai anak
kecil, merupakan suatu kebanggaan bisa tampil di hadapan Presiden RI. Bahkan pihak sekolah sampai mengajak kami untuk mengikuti latihan parade di Senayan selama beberapa hari sebagai persiapan untuk acara tersebut. Sayangnya, pada hari H yang sudah ditentukan saya justru tidak bisa ikut karena sakit. Seumur hidup saya hanya sekali melihat langsung sosok Pak Harto dengan mata kepala saya sendiri, yakni saat melihat dari dekat rombongan Pak Harto yang melintas di Jl. TB. Simatupang, Jakarta sekitar tahun 1996 atau 1997. Selebihnya saya hanya melihat sosok Pak Harto di TV, koran dan majalah serta buku sejarah. Saat itu Pak Harto tampak duduk di kursi paling depan sebelah kiri mobil jenis minibus semacam VW Caravelle yang membawanya pulang dari rumah orangtua mantan istri Tommy Soeharto, Tata di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Saat itu saya sedang berdiri di pinggir jalan untuk menanti bus sepulang dari sekolah. Kebetulan mobil yang membawa Pak Harto tersebut berjalan tidak terlalu kencang saat melewati perempatan jalan, kacanya cukup bening sehingga saya bisa melihat wajah Pak Harto dengan senyumnya yang khas serta rambutnya yang memutih. Sesekali Pak Harto tampak melambaikan tangannya kepada masyarakat yang berdiri di sepanjang jalan yang dilewatinya. Setelah Pak Harto menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Presiden RI pada tanggal 21 Mei 1998, berulang kali saya mencoba menyurati beliau dengan maksud ingin bersilaturahmi ke kediamannya 2
di Jl. Cendana No. 8 Menteng, Jakarta sayang tidak pernah ada tanggapan. Pernah sekali saya mendapat balasan surat dari Pak Harto, yakni saat Pak Harto mengucapkan terima kasih atas ucapan selamat ulang tahun yang saya sampaikan kepada beliau melalui surat pada tanggal 8 Juni 2007. Meski saya gagal bertemu langsung dengan Pak Harto hingga beliau wafat, namun saya selalu berkeinginan untuk dapat bertemu dengan seorang Presiden RI, siapapun itu. Akhirnya pada tahun 2006 saya berhasil mewujudkan keinginan masa kecil tersebut ketika berhasil bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mengingat saya bukanlah pejabat tinggi pemerintahan atau orang penting di negeri ini serta juga bukan atlet atau warga negara yang berjasa dan meraih prestasi dunia, maka saya bertemu dengan Presiden RI dengan cara mengikuti acara Open House yang rutin digelar setiap Hari Raya Idul Fitri. Acara Open House sendiri konon sudah diadakan pihak istana kepresidenan sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto. Tujuan acara ini adalah untuk mempererat silaturahmi Presiden RI dan keluarganya dengan seluruh masyarakat Indonesia di hari kemenangan umat Islam sedunia tersebut. Meski sudah lama digelar, namun saya sendiri baru pertama kali mengikuti Open House pada tanggal 24 Oktober 2006 atau dalam kalender Islam adalah 1 Syawal 1427 Hijriyah.
3
Saya sudah datang di halaman Sekretariat Negara, tempat berkumpulnya masyarakat yang ingin mengikuti Open House sejak pukul 11.45 WIB. Pihak Istana sudah menyiapkan tenda besar beserta kursi bagi para peserta Open House untuk menunggu. Mereka yang datang langsung menjalani pemeriksaan melalui detektor logam untuk mencegah pengunjung membawa senjata atau barang berbahaya lainnya saat bertemu dengan Presiden. Untuk bertemu dengan Presiden, pengunjung harus menitipkan semua barang bawaan di tempat penitipan yang sudah disediakan. Barang seperti tas, handphone dan kamera tidak boleh dibawa masuk ke dalam Istana Negara demi alasan keamanan Presiden. Pihak Istana kemudian membagikan kartu antrian khusus dengan warna yang berbeda-beda kepada setiap pengunjung. Nantinya pihak panitia akan mengumumkan warna tertentu, dimana pemegang warna tersebut berkesempatan untuk bertemu dengan Presiden, sementara mereka yang warnanya belum disebutkan harus menunggu giliran hingga dipanggil warnanya. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya penumpukan pengunjung yang berdesakan saat hendak bersalaman dengan Presiden. Berhubung saat itu saya datang sendirian, maka saya hanya duduk dan menunggu hingga acara dimulai. Rencananya menurut jadwal resmi, Presiden beserta keluarganya baru akan menerima masyarakat pada pukul 15.00 WIB karena sebelumnya harus bersilaturahmi dan menerima kunjungan dari Wakil Presiden, anggota kabinet dan pejabat tinggi negara, 4
mantan pejabat hingga para Duta Besar dari berbagai negara sahabat. Menjelang pukul 14.00 WIB, pengunjung mulai tampak banyak yang berdatangan. Penampilan pengunjung pun bermacam-macam, mulai dari yang mengenakan setelan jas resmi, batik, kebaya, hingga ada yang mengenakan baju tradisional khas orang Arab. Pengunjungnya pun tidak hanya warga biasa, para tunanetra pun tampak banyak yang datang berkelompok dan terlihat di berbagai sudut halaman Sekretariat Negara tempat mereka menunggu. Selain itu banyak pula warga masyarakat kurang mampu yang antusias menghadiri acara yang digelar setahun sekali tersebut. Mungkin merupakan sebuah kebanggaan bagi mereka dapat bertemu dengan seorang Presiden RI walau hanya berjabat tangan sebentar, meskipun dari pembicaraan yang saya dengar dari peserta Open House lainnya bahwa ada sebagian warga kurang mampu sengaja rutin mengikuti acara tersebut setiap tahunnya dengan harapan mendapatkan uang dari Presiden. Akhirnya tepat pukul 15.00 WIB, pihak panitia mulai mengumumkan warna kartu yang boleh masuk menemui Presiden terlebih dahulu. Begitu diumumkan, langsung saja pemilik kartu dengan warna yang disebutkan tadi berebutan masuk ke dalam jalur antrian yang sudah dipersiapkan panitia. Sayangnya sebagian pengunjung yang hadir tidak mau bersabar, padahal pihak panitia berulang kali menjanjikan kepada semua pengunjung bahwa mereka mendapatkan kesempatan yang sama untuk 5
bertemu dan bersalaman dengan Presiden. Saya sendiri harus menunggu sekitar 45 menit sebelum panitia mengumumkan warna kartu saya. Karena tidak terburu-buru, maka ketika warna saya diumumkan saya memilih berdiri di barisan paling belakang dari kelompok warna saya. Tidak lama setelah saya berdiri di barisan paling belakang, mendadak muncul dua orang anggota Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) berseragam hitam dan bersenjata lengkap tepat di belakang saya. Rupanya mereka memastikan agar di setiap akhir barisan kelompok warna yang sudah diumumkan tersebut aman dari gangguan dan ancaman keamanan lainnya. Tadinya saya mengira ketika warna kartu diumumkan maka kelompok pemegang kartu warna tersebut akan langsung masuk ke dalam Istana Negara dan bertemu dengan Presiden tapi ternyata tidak. Kami semua diarahkan masuk ke dalam sebuah bangunan pos penjagaan untuk kembali menjalani pemeriksaan detektor logam. Di dalam pos tersebut anggota Paspampres memeriksa dengan teliti dan cermat setiap pengunjung. Tentunya kita harus menyadari bahwa keamanan dan keselamatan bagi Presiden RI dan keluarganya merupakan prioritas utama bagi mereka. Seusai menjalani pemeriksaan, kami pun keluar dan melewati halaman depan Istana Negara dimana sudah disediakan sebuah tenda besar berikut kursi sebagai tempat kami menunggu giliran masuk ke Istana Negara. Pengunjung yang sudah memasuki 6
area ini kemudian mendapatkan makanan ringan yang dibagikan oleh panitia secara gratis. Panitia juga menyediakan sebuah panggung kecil yang diisi oleh beberapa musisi untuk menghibur pengunjung. Mengingat acara Open House digelar pada Hari Raya Idul Fitri, maka musik yang ditampilkan pun merupakan musik yang bernuansa Islami. Oiya, perlu saya jelaskan bahwa meskipun keduanya berada dalam satu kawasan dan sama-sama merupakan Istana Kepresidenan RI, namun Istana Negara berbeda dengan Istana Merdeka. Istana Merdeka adalah tempat kita biasa menyaksikan berlangsungnya upacara kenegaraan peringatan kemerdekaan setiap tanggal 17 Agustus dan tempat Presiden menerima kunjungan dari tamu negara seperti pemimpin negara asing. Sementara Istana Negara terletak tepat di bagian belakang Istana Merdeka. Biasanya Istana Negara digunakan untuk melantik anggota kabinet maupun pejabat tinggi negara lainnya, serta untuk mengadakan berbagai acara resmi kenegaraan. Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Istana Negara juga dijadikan sebagai kediaman resmi beliau. Setelah menunggu sekitar 15 menit sembari menikmati hiburan musik, akhirnya saya diizinkan masuk ke dalam Istana Negara. Untuk memasuki Istana Negara, sebelumnya kami harus menaiki anak tangga terlebih dahulu. Setibanya di teras Istana Negara, kembali kami harus melewati detektor logam untuk pemeriksaan keamanan yang terakhir. Perasaan 7
saya saat itu begitu tegang karena sebentar lagi saya akan bertatap muka secara langsung dengan orang nomer satu di Indonesia. Memasuki pintu Istana Negara, saya disambut hamparan karpet merah serta sebuah foto Presiden beserta Ibu Negara Ani Yudhoyono dengan medali kehormatan lengkap yang dibingkai dengan ukuran yang cukup besar. Dalam foto tersebut baik Presiden maupun Ibu Negara tampak tersenyum dan begitu berwibawa. Udara di dalam Istana Negara pun cukup dingin dan sejuk, lampu kristal yang menggantung di langit-langit atap Istana Negara juga menyinari ruangan tersebut dengan indahnya. Sementara di sekeliling saya berdiri para anggota Paspampres yang dengan seksama mengawasi gerak-gerik setiap pengunjung. Belum habis saya mengagumi secara singkat keindahan Istana Negara, mendadak di hadapan saya berdiri Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden RI keenam! Presiden Yudhoyono saat itu mengenakan baju batik coklat dengan motif yang sama seperti dikenakan oleh kedua putranya. Sementara Ibu Ani Yudhoyono mengenakan kebaya berwarna hitam yang juga dikenakan oleh menantunya, Annisa Pohan. Saking terkejutnya saya karena di depan saya berdiri seorang Presiden RI maka saya secara spontan menyalami beliau sambil sedikit membungkuk. “Selamat yaa…” begitu ucapan singkat Presiden Yudhoyono saat menyalami saya. Kesan pertama saya terhadap Presiden Yudhoyono adalah sosok 8
fisiknya yang tinggi besar, bahkan saat bersalaman dengan beliau saya langsung berkata dalam hati “Wah Pak Presiden badannya besar banget yach..” Kemudian saya sekilas mencoba memandangi wajahnya, tampak terlihat rasa lelah di wajah sang Presiden karena sudah menyalami ribuan orang sejak pagi namun beliau berusaha tidak menunjukkan lelahnya dan tetap berusaha menyapa dan tersenyum kepada setiap masyarakat yang datang ke Istana Negara. Setelah menyalami Presiden, kemudian saya menyalami Ibu Ani Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhoyono, Annisa Pohan dan terakhir sang putra bungsu Presiden, Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab disapa Ibas. Senang rasanya bisa bertemu dengan Presiden RI sekeluarga. Selanjutnya petugas mengarahkan saya ke pintu keluar. Sebelum meninggalkan kawasan Istana Negara, kembali petugas memberikan bingkisan makanan kecil yang dikemas dalam bungkusan kotak. Petugas yang lain memberikan secarik kertas kecil berisi nomer telepon kepada setiap pengunjung yang mau mencetak fotonya saat bersalaman dengan Presiden. Setelah itu saya keluar dan melewati samping area tenda besar tempat saya pertama kali menunggu acara ini. Setahun kemudian pada hari Sabtu, 13 Oktober 2007 bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1428 Hijriyah, saya kembali mengikuti acara Open House di Istana Negara. Berbeda dengan pertemuan saya dengan Presiden Yudhoyono setahun sebelumnya, kali ini saya sudah tidak terlalu kaku 9
dalam mengikuti peraturan protokoler istana, terlebih kali ini saya datang didampingi oleh teman saya, David. Perbedaan lainnya adalah dalam acara Open House kali ini tidak dihadiri oleh putra pertama Presiden Yudhoyono, yakni Lettu (Inf) Agus Harimurti Yudhoyono yang saat itu sedang bertugas menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon. Saya terakhir bertemu Presiden Yudhoyono pada Open House tahun 2008. Tidak seperti tahuntahun sebelumnya, pengunjung Open House kali ini bisa dibilang cukup membludak bahkan hingga pukul 17.30 WIB terdapat kurang lebih sekitar 2000 orang yang masih mengantri dan menunggu giliran untuk bersalaman dengan Presiden. Suasananya pun sudah mulai gelap dan lampu-lampu di sekitar halaman Istana juga mulai dinyalakan. Saya yang datang berdua dengan teman saya, Wahyu Agung nyaris putus asa ketika juru bicara kepresidenan saat itu, Andi Malaranggeng mendadak keluar dan mengumumkan bahwa acara Open House hari itu akan dihentikan mengingat waktu sholat Magrib segera tiba dan Presiden sudah letih bersalaman dengan ribuan orang sejak pagi. Spontan masyarakat yang masih menunggu di halaman Istana Negara saat itu segera berteriak “Huuuuu…..” Melihat tingkah laku masyarakat yang kecewa, Andi Malaranggeng hanya tersenyum saja. Mendadak tanpa diduga Presiden Yudhoyono beserta keluarganya keluar dari Istana Negara dengan 10
dikawal beberapa anggota Paspampres dan menemui pengunjung yang berkerumun menunggu di luar halaman Istana Negara. Awalnya Presiden Yudhoyono menawarkan kepada masyarakat untuk melakukan Open House kembali besok paginya di Istana Negara atau di Cikeas, kediaman pribadi beliau. Namun karena desakan dan kekompakan masyarakat saat itu yang mendesak Open House tetap dilaksanakan hari itu juga, akhirnya beliau bersedia melanjutkan malam itu juga hingga selesai namun setelah sholat Magrib. Mengetahui acara kembali dilanjutkan, tanpa dikomando saat itu terdengar teriakan “Hidup SBY!”, “Hidup Presiden SBY!” dari para pengunjung yang begitu kegirangan. Lucunya, saat Presiden mengatakan Open House akan dilanjutkan, reaksi Ibu Ani Yudhoyono tampak kaget dan seolah tidak menduga bahwa sang suami tercinta akhirnya memutuskan melanjutkan acara tersebut. Mungkin Ibu Ani Yudhoyono awalnya mengira acara tersebut akan segera diakhiri. Meski saya tidak lagi mengikuti Open House dan bertemu dengan Presiden Yudhoyono sejak saat itu, namun beberapa waktu lalu saya sempat mengirimkan sepucuk surat kepada beliau yang berisi permohonan izin untuk dapat bertemu langsung dan menunjukkan koleksi tanda tangan pemimpin dunia yang saya miliki kepada beliau. Sayang hingga saat ini belum ada respon atau balasan dari surat tersebut.
11