Pertimbangan dan Saran tentang Isu-Isu Krusial dan Langkah Strategis Penegakan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia, khususnya terkait Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia
Disampaikan kepada
Presiden Republik Indonesia Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono
Disampaikan oleh
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Jakarta, 3 Maret 2011 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) adalah lembaga independen yang dibentuk negara melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998 dan diperkuat dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005. Komnas Perempuan dibentuk pasca kerusuhan Mei 1998 sebagai wujud pertanggungjawaban negara, atas desakan masyarakat sipil, terhadap berbagai kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, yang terjadi di Jakarta dan berbagai daerah lainnya di seluruh nusantara. Komnas Perempuan merupakan salah satu mekanisme nasional penegakan hak asasi manusia yang memiliki mandat khusus untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan penegakan hak-hak asasi manusia perempuan di Indonesia, untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dan perlindungan hak-hak asasi manusia Perempuan. Dalam rangka mewujudkan mandatnya, Komnas Perempuan memiliki tugas untuk a) menyebarluaskan pemahaman atas segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia dan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan serta penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan; b) melaksanakan pengkajian dan penelitian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku serta berbagai instrumen internasional yang relevan bagi perlindungan hak-hak asasi manusia perempuan; c) melaksanakan pemantauan, term]asuk pencarian fakta dan pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi manusia perempuan serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah-langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan; d) memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah, lembaga legislatif dan yudikatif serta organisasiorganisasi masyarakat guna mendorong penyusunan dan pengesahan kerangka hukum dan kebijakan yang mendukung upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan; e) mengembangkan kerja sama regional dan internasional guna meningkatkan upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan Indonesia serta perlindungan, penegakan dan pemajuan hak-hak asasi manusia perempuan.
Pertimbangan dan Saran tentang Isu-Isu Krusial dan Langkah Strategis Penegakan Hak-Hak Konstitusional Warga Negara Indonesia, khususnya terkait Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengidentifikasi 4 isu krusial yang mengurangi, mengabaikan maupun melanggar hak-hak konstitusional perempuan, sebagaimana diakui dan dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Adapun keempat isu strategis tersebut adalah: 1. diskriminasi dan kekerasan (terhadap perempuan) atas nama agama dan moralitas 2. penanganan parsial kekerasan terhadap perempuan dalam situasi konflik dan pelanggaran HAM masa lalu 3. diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks migrasi 4. penguatan lembaga penegakan hak asasi manusia perempuan Berhadapan dengan isu-isu krusial di atas, Komnas Perempuan merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia untuk: Terkait isu diskriminasi dan kekerasan atas nama agama dan moralitas 1. Memastikan adanya penindakan hukum secara tegas kepada pelaku kekerasan, baik secara individual maupun organisasional, atas nama agama dan moralitas 2. Memerintahkan kepada jajaran eksekutif di tingkat nasional maupun daerah untuk tidak mengeluarkan pernyataan, dan kebijakan, yang turut memperkuat siar kebencian atas nama agama, yang karenanya jelas bertentangan dengan konstitusi; serta memberikan teguran dan sanksi tegas kepada pelanggar sesuai dengan aturan hukum yang ada 3. Memerintahkan kepada semua penyelenggara negara di seluruh tingkatan pemerintahan untuk, sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi, memberikan perlindungan dan upaya pemulihan kepada setiap warga negara, dengan perhatian khusus kepada perempuan dan anak, yang menjadi sasaran kekerasan dan kebencian atas nama agama 4. Membatalkan seluruh kebijakan daerah yang diskriminatif atas nama agama dan moralitas, termasuk kebijakan di Aceh, yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 5. Mengembangkan kerangka kebijakan dan program pembangunan yang merawat semangat penghormatan pada kebhinnekaan masyarakat Indonesia dan penghormatan pada hak-hak konstitusional warga negara, termasuk hak beragama yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apa pun. Terkait isu penanganan parsial kekerasan terhadap perempuan dalam situasi konflik dan konteks pelanggaran HAM masa lalu 1. Memastikan perbaikan sistem hukum, termasuk perubahan atas Undang-Undang tentang hukum pidana, hukum acara pidana, hak asasi manusia, pengadilan HAM, pengadilan militer dan perumusan undang-undang tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi, reformasi sektor pertahanan dan keamanan, dan perlindungan bagi pembela HAM, memuat perspektif keadilan gender dalam penegakan hak asasi manusia, ketidakberulangan kekerasan di masa mendatang, dan reparasi bagi korban dan keluarga korban. 2. Memastikan adanya penegakan hukum untuk memutus impunitas pelaku, secara individual, komando, maupun institusional, guna menghadirkan keadilan bagi korban dan mewujudkan
Hal. 2 dari 10 halaman
3.
4.
5. 6.
tanggung jawab negara pada pemenuhan hak-hak korban dan masa depan bangsa. Mengembangkan langkah-langkah khusus untuk korban kekerasan seksual, dan keluarga korban, agar dapat mengakses bantuan untuk layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan pengembangan ekonomi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemulihan korban Memastikan reformasi sektor keamanan dan pertahanan berangkat dari pembelajaran masalah keamanan dan pertahanan masa lalu yang telah banyak menimbulkan korban khususnya perempuan dan karenanya, arah reformasi sector keamanan dan pertahanan mengacu pada upaya pemenuhan hak asasi warga negara, termasuk hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Segera mengintegrasikan pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai peristiwa penting perjalanan bangsa Indonesia dalam pendidikan sejarah nasional Menyelesaikan masalah Papua sesuai dengan prinsip-prinsip penghormatan hak konstitusional warga Negara, sebagaimana dilindungi Konstitusi negara RI, dan dengan pendekatan yang bermartabat, termasuk dengan: a. mendengarkan suara masyarakat asli Papua dan mengintegrasikannya kedalam perencanaan pembangunan Papua ke depan, b. memastikan keterlibatan perempuan pemimpin dalam seluruh proses penyelesaian masalah Papua di semua tingkatan. c. melindungi masyarakat dan pengungsi dari dampak operasi keamanan di wilayah Puncak Jaya, serta memastikan pemenuhan hak-hak dasar mereka, seperti makanan, tempat tinggal, kesehatan, dll.
Terkait isu diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks migrasi 1. Memprioritaskan isu perlindungan tenaga kerja Indonesia di luar negeri, khususnya perempuan, dengan kerangka kebijakan yang komprehensif pada seluruh proses migrasi 2. Memastikan ratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Migran dan Keluarganya tahun 1990 dan merevisi Undang-Undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. 3. Memastikan ada pengawasan yang akuntabel pada praktik rekrutmen, persiapan, penempatan dan pemulangan tenaga kerja Indonesia, dengan perhatian khusus pada tenaga kerja perempuan yang bekerja di sektor domestik 4. Mengintegrasikan upaya pemulihan bagi korban kekerasan dalam kerangka kebijakan komprehensif pengelolaan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Terkait penguatan lembaga penegakan HAM perempuan 1. Menegaskan kembali dukungan bagi Komnas Perempuan agar dapat menjalankan mandatnya sebagai lembaga penegakan HAM perempuan secara independen dan akuntabel. 2. Memastikan agenda reformasi birokrasi dilakukan secara transparan, partisipatif, demokratis, dengan memperhatikan mandat konstitusi untuk penegakan HAM dan demokrasi. Dalam konteks ini, keberadaan Komnas Perempuan secara mandiri, tidak lebur dengan pihak eksekutif maupun dengan komisi HAM lainnya, merupakan sebuah keniscayaan dan sebagai bagian tidak terpisahkan dari upaya untuk merawat demokrasi dan melaksanakan tanggung jawab negara pada pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak asasi perempuan. 3. Mengembangkan sistem pengelolaan adminstrasi dan keuangan negara, melalui pelaksanaan agenda reformasi birokrasi, yang akomodatif pada kerja-kerja institusi penegakan HAM, khususnya untuk menjamin terpenuhinya prinsip perlindungan saksi dan korban, serta independensi lembaga penegakan HAM.
Hal. 3 dari 10 halaman
Penjabaran Isu-Isu Krusial 1. Diskriminasi dan Kekerasan terhadap perempuan atas nama agama dan moralitas Komnas Perempuan mencatat bahwa sejak tahun 1999 sampai akhir tahun 2010 terdapat 189 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas, yang dikeluarkan dari pusat hingga desa oleh pihak eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sebanyak 80 dari 189 kebijakan daerah tersebut secara langsung diskriminatif terhadap perempuan melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi (23 kebijakan mengatur cara berpakaian), pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena mengkriminalkan perempuan (52 kebijakan tentang prostitusi dan pornografi), penghapusan hak atas perlindungan dan kepastian hukum (1 kebijakan tentang larangan khalwat/mesum), dan pengabaian hak atas perlindungan (4 kebijakan tentang buruh migran). Ada pula 11 kebijakan diskriminatif yang secara khusus memberangus hak kebebasan beragama bagi kelompok Ahmadiyah. Selebihnya, 98 kebijakan terkait agama sesuai dengan intepretasi tunggal agama mayoritas yang mengakibatkan pengucilan kelompok minoritas agama. Kebijakan diskriminatif tersebut menjadi pembenar berbagai tindak kekerasan terhadap kelompok minoritas dan perempuan. Semua hak yang dibatasi atau dikurangi oleh kebijakan-kebijakan diskriminatif atas nama moralitas dan agama merupakan hak-hak konstitusional yang dijamin bagi setiap warga negara Indonesia tanpa kecuali, terutama hak atas kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 28D Ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945), hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani (Pasal 28E Ayat 2 dan Pasal 28I Ayat 1), hak beragama (Pasal 29 Ayat 2, Pasal 28E Ayat 1, 28 I Ayat 1), hak atas perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi (Pasal 28G Ayat 1), hak bebas dari perlakuan diskriminatif (Pasal 28I Ayat 2), dan hak atas kepastian hukum (Pasal 28D Ayat 1). Kemunculan kebijakan diskriminatif adalah hasil dari praktik politik hari ini yang menggugulkan politik pencitraan dan politik identitas untuk memenangkan pertarungan kuasa dan ketidaksempurnaan sistem otonomi daerah, serta bermuara pada lima lapisan persoalan konseptual yang penting diurai dalam menguatkan pondasi tata kelola negara bangsa Indonesia, yaitu (a) hubungan negara dengan agama, (b) hubungan antara mayoritas dan minoritas, (c) hubungan pusat dengan daerah, (d) relasi negara dengan masyarakat, dan (e) relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kerangka kesetaraan akses dan manfaat penikmatan hak asasinya sebagai manusia. Akibatnya, konsekuensi kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas tidak hanya terbatas pada pelanggaran hak-hak konstitusioal warga negara, khususnya perempuan dan kelompok minoritas. Terlebih-lebih lagi, kebijakan diskriminatif menyebabkan pengeroposan kewibawaan hukum, dan bahkan mengancam integrasi negara bangsa Indonesia. 1.1. Kriminalisasi perempuan Sepanjang tahun 2009 dan 2010, Komnas Perempuan mencatat dua kasus kriminalisasi perempuan dengan menggunakan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yaitu terhadap empat perempuan korban trafficking yang disuruh menari striptease dan seorang perempuan memvideokan hubungan seksual dengan pacarnya agar diperbolehkan orangtuanya menikah dengan pasangannya itu. UU Pornografi disahkan legislatif nasional, dan dikukuhkan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi, di tengah kecaman masyarakat luas tentang adanya upaya penyeragaman standar moralitas masyarakat Indonesia yang majemuk dan potensi kriminalisasi terhadap seksualitas, khususnya perempuan. Kriminalisasi terhadap perempuan juga terjadi melalui kebijakan tentang prostitusi. Komnas Perempuan mencatat lebih dari 20 kasus salah tangkap, dimana perempuan ditangkap dan ditahan Hal. 4 dari 10 halaman
karena cara berbusana, gerak tubuh, keberadaannya pada waktu dan tempat tertentu menimbulkan dugaan ia adalah pekerja seks. Penting untuk dicatat bahwa pelaksanaan kebijakan ini telah menelan korban jiwa. Lilis Lisdawati, seorang pramusaji, menjadi korban salah tangkap di Kabupaten Tangerang. Nama baiknya tidak pernah dipulihkan. Akibat salah tangkap, Lilis mengalami pemiskinan. Ia terlilit hutang sejak kehilangan pekerjaan dan suaminya yang seorang guru meninggalkan pekerjaannya karena tertekan dengan adanya stigma menjadi suami pekerja seks. Lilis juga mengalami keguguran. Dalam kondisi depresi berkepanjangan, Lilis meninggal dunia di penghujung tahun 2008. Sampai saat ini, kebijakan itu tetap berlaku setelah Mahkamah Agung menolak melakukan judicial review terhadap Perda tersebut dengan alasan bahwa proses pembuatan kebijakan telah memenuhi syarat prosedural yang benar. 1.2. Serangan pada Komunitas Ahmadiyah Komnas Perempuan prihatin pada intensitas kebencian dan kekerasan yang terus meningkat yang diarahkan kepada komunitas Ahmadiyah. Komnas Perempuan terus memantau kondisi perempuan dan anak Ahmadiyah sejak 2005, yaitu ketika terjadi serangan di Cianjur dan di Lombok Barat. Pemantauan dilakukan, antara lain, dengan mengumpulkan fakta di lokasi, berkonsultasi dengan berbagai pihak, dan mengkaji upaya penanganan aparat keamanan, termasuk mengkaji perkembangan situasi pasca-penyerangan Cikeusik tanggal 6 Februari 2011. Komnas Perempuan mencatat bahwa perempuan rentan mengalami ancaman perkosaan, pelecehan seksual, dan intimidasi bernuansa seksual lainnya pada saat serangan terjadi. Stigmatisasi pada komunitas Ahmadiyah di Cikeusik menyebabkan kerentanan ini juga dialami perempuan Ahmadiyah di berbagai wilayah pada masa sebelum dan sesudah serangan itu. Trauma akibat serangan dapat menyebabkan perempuan mengalami depresi berkepanjangan dan gangguan kesehatan reproduksi hingga keguguran. Perempuan juga menanggung beban psikologis karena menyaksikan anak-anak mereka mengalami diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari baik di sekolah maupun di tengah masyarakat. Sejumlah anak perempuan kemudian dihadapkan pada ketiadaan pilihan kecuali putus sekolah dan menikah pada usia dini sebagai cara untuk melanjutkan kehidupannya di tengah intimidasi dan keterbatasan di tempat pengungsian. Dalam kasus Cikeusik, isteri korban meninggal harus menjadi orang tua tunggal yang menanggung sendiri beban hidup anak-anak mereka. Komnas Perempuan berpendapat bahwa persoalan Ahmadiyah tidak dapat dipisahkan dari dinamika sosial politik Indonesia yang mewarnai proses demokratisasi Indonesia di tingkat nasional maupun daerah. Data berbagai organisasi yang mengamati isu keberagaman menunjukkan bahwa lebih sepertiga dari peristiwa itu diarahkan pada komunitas Ahmadiyah. Peristiwa penyerangan terhadap komunitas Ahmadiyah di Indonesia dalam lima tahun terakhir sedikitnya 276 tindak pelanggaran hak asasi manusia.1 Intensitas kekerasan yang dialami komunitas Ahmadiyah semakin meningkat justru setelah diterbitkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Peningkatan intensitas kekerasan tersebut berarti pelipatgandaan kerentanan perempuan dan anak atas kekerasan dan diskriminasi. Komnas Perempuan menilai bahwa SKB secara intrinsik mengandung muatan yang bertentangan dengan mandat konstitusi untuk memberikan jaminan kemerdekaan setiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (Pasal 29
1
Salah satunya lihat laporan Setara Institute, “Pelanggaran Kebebasan Beragama/Berkeyakinan 2007-2010”, dapat diunduh di http://www.setara-institute.org/id
Hal. 5 dari 10 halaman
Ayat 2 dan Pasal 28 E Ayat 1 dan Ayat 2) dan jaminan hak beragama tidak dikurangi dalam keadaan apapun (Pasal 28 I Ayat 1). Komnas Perempuan berpendapat bahwa ketegasan Pemerintah dalam hal menjamin rasa aman dan perlindungan dari perlakuan diskriminatif dalam menyikapi persoalan kekerasan dan diskriminasi terhadap Ahmadiyah adalah tanggung jawab negara dalam menjalankan mandat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang tidak dapat ditawar lagi, khususnya hak untuk hidup (Pasal 28A, Pasal 28I (1)); hak atas kemerdekaan pikiran, keyakinan dan beragama (Pasal 28E (1 dan 2), Pasal 28I (1)); hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi (Pasal 28G (2)); hak untuk bebas dari ancaman, diskriminasi dan kekerasan (Pasal 28B (2), Pasal 28I (2)); hak mendapatkan perlindungan (Pasal 28G (1)); hak perempuan atas kesehatan reproduksi (Pasal 28B (2), Pasal 28H (1), 28I (2)); dan hak anak atas pendidikan (Pasal 28C (1), Pasal 31 (1)).
1.3. Kebebasan Beragama Komnas Perempuan prihatin dengan berbagai tindak intoleransi agama yang terjadi dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, termasuk serangan terhadap kelompok agama minoritas. Komnas Perempuan menerima laporan tentang intimidasi terhadap seorang pendeta perempuan dari jemaat HKBP (komunitas etnis Batak beragama Kristen) oleh kelompok masyarakat tertentu. Pendeta perempuan ini kemudian menjadi korban pemukulan dalam sebuah penyerangan saat sedang beribadah. Proses hukum terhadap pelaku penyerangan masih berlangsung hingga sekarang dan belum ada kepastian dimana jemaat dapat melaksanakan ibadahnya. Putusan pengadilan yang hanya memberikan pidana selama 5.5 bulan kepada pelaku tindak kekerasan terkait serangan ke gereja tersebut menguatkan keraguan masyarakat akan komitmen pemerintah dalam menegakkan jaminan hak beragama sebagaimana dimandatkan oleh Konstitusi. 1.4. Aceh Salah satu cara politik yang ditempuh pemerintah nasional untuk penyelesaian konflik Aceh adalah dengan memberikan kewenangan untuk pelaksanaan Syariat Islam. Kebijakan ini disambut dengan tindak pemaksaan busana (jilbab) pada perempuan, yang berakibat pada berbagai tindak kekerasan seperti digunting rambut, disiram cat, digunting celana dan pelecehan seksual verbal maupun fisik (Komnas Perempuan: 2000). Tindak pemaksaan busana berlangsung hingga sekarang, bahkan ada Kepala Daerah yang melarang perempuan menggunakan celana panjang. Komnas Perempuan prihatin bahwa Aceh tetap memberlakukan penghukuman yang merendahkan martabat manusia dalam bentuk cambuk dan membiarkan aturan yang mengkriminalisasikan relasi sosial antar laki-laki dan perempuan yang tidak memiliki hubungan kekerabatan atas alasan moralitas semata (larangan khalwat/mesum). Sampai akhir tahun 2010, menurut data yang dihimpun Kontras Aceh, terdapat 97 kasus eksekusi cambuk dimana 37 di antaranya dilakukan oleh masyarakat sendiri dan lebih 30% korban cambuk adalah perempuan. Eksekusi cambuk juga dilakukan terhadap 2 orang perempuan yang dituduh melanggar larangan berjualan di masa puasa (Ramadhan). Selain cambuk, Komnas Perempuan mencatat kasus penelanjangan, pengarakan, dimandikan dengan air comberan dan pemaksaan kawin terhadap pasangan yang dituduh melakukan khalwat (mesum) dan zina. Pada akhir tahun 2009, seorang perempuan muda yang dituduh khalwat ditahan dan diperkosa oleh empat aparat wilayatul hisbah (satuan keamanan pelaksana Syariat Islam). Tiga dari pelaku telah dihukum penjara 8 tahun, dan satu pelaku masih buron. Di penghujung kepemimpinan pemerintahan periode 2004-2009, legislatif provinsi Aceh bahkan mengeluarkan kebijakan daerah yang mengukuhkan larangan khalwat, dan memperkenalkan bentuk penghukuman rajam kepada pelaku zina. Aturan ini sampai hari ini tidak diberlakukan karena belum disetujui oleh pihak eksekutif.
Hal. 6 dari 10 halaman
2. Penanganan parsial kekerasan terhadap perempuan di wilayah konflik dan dalam konteks pelanggaran HAM masa lalu Presiden Republik Indonesia dan berbagai institusi negara yang relevan telah menerima laporan hasil pemantauan Komnas Perempuan tentang berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan dalam konteks konflik, antara lain di Aceh, Papua, Timor Timur, Maluku, Poso, dan Manggarai (NTT), serta dalam konteks Kerusuhan Mei 1998 dan Peristiwa 1965. Menyikapi laporan tersebut, di Jakarta pada 30 November 2009 dalam kesempatan peringatan 10 Tahun Komnas Perempuan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyampaikan bahwa: “Kita tidak boleh melupakan masa lalu. Pertama, yang menjadi korban kita berikan keadilan untuk masa kini dan masa depan, dan jangan terjadi lagi kasus-kasus pelanggaran HAM, kesalahan serupa di masa datang.” Menindaklanjuti komitmen Presiden untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM masa lalu, Komnas Perempuan pada awal 2010 pernah dimintai data dan masukan dalam kegiatan rapat lintas kementerian terkait dengan upaya yang sudah dan perlu dilakukan dalam kerangka perlindungan perempuan. Pertemuan tersebut difasilitasi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Informasi yang disampaikan digunakan untuk menyusun kerangka kerja yang lebih komprehensif demi terpenuhinya hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Berdasarkan hasil konsultasi Komnas Perempuan dengan komunitas korban pelanggaran HAM masa lalu diketahui bahwa pelaksanaan langkah-langkah yang direkomendasikan itu masih terlalu lamban sehingga menghambat proses pemulihan perempuan korban. Integrasi pengetahuan tentang kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai peristiwa penting perjalanan bangsa Indonesia belum menjadi bagian dari pendidikan sejarah nasional. Stigmatisasi terhadap perempuan korban menyebabkan perempuan tidak dapat mengakses bantuan yang disediakan. Sebagai contoh perempuan korban perkosaan di Aceh tidak bisa mendapat bantuan karena dianggap tidak bisa membuktikan diri sebagai korban dan derajat kekerasan yang ia alami dianggap kurang berat dibandingkan pembunuhan dan penyiksaan. Bagi perempuan korban terkait Peristiwa 1965, cap sebagai Gerwani menyebabkan mereka kesulitan mengakses bantuan medis maupun kesejahteraan yang diberikan pemerintah kepada lansia maupun kelompok masyarakat miskin. Contoh lainn, seperti terjadi pada perempuan korban kekerasan seksual terkait kerusuhan Mei 1998. Upaya mencari keadilan masih terbentur pada sistem hukum yang berubah, yaitu yang membebani korban dalam membuktikan tindak perkosaan, definisi perkosaan yang terbatas, dan stigma sebagai aib bagi keluarga dan bangsa Indonesia. Impunitas bagi pelaku kekerasan di ranah negara, yaitu yang dilakukan oleh aparat keamanan, menyebabkan perempuan rentan menjadi korban kekerasan berlapis. Sebuah contoh terjadi di Papuadimana perempuan korban kekerasan oleh aparat keamanan malah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh anggota masyarkat, bahkan oleh anggota keluarganya sendiri. Hasil pemantauan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa dalam konteks konflik perempuan rentan menjadi korban kekerasan, tidak saja pada saat kontak senjata tetapi juga sebagai dampak dari situasi konflik tersebut. Komnas Perempuan menghimpun data tentang perpemuan yang menjadi korban perkosaan, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, dan eksploitasi seksual yang dilakukan oleh aparat keamanan. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan sektor keamanan yang tidak memperlakukan persoalan kekerasan terhadap perempuan sebagai pelanggaran HAM. Kekerasan terhadap perempuan dalam situasi konflik bahkan dianggap hal yang lumrah. Akibatnya, penyelesaian yang diambil untuk kasus-kasus tersebut hanyalah berupa penindakan disiplin, atau menggunakan mekanisme adat setempat seperti mengawini korban ataupun membayar denda, yang biasanya tidak didasarkan pada kepentingan korban.
Hal. 7 dari 10 halaman
Meski sudah berjalan 12 tahun, pergulatan wacana reformasi sektor pertahanan dan keamanan hingga saat ini belum juga mengintegrasikan perspektif keadilan gender dalam penegakan HAM. Hal ini mencemaskan karena tanpa upaya sistemik untuk mencegah dan menangani kekerasan terhadap perempuan, penempatan aparat keamanan dalam jumlah besar di tengah-tengah masyarakat berpotensi menyebabkan kekerasan kembali terjadi dan mengukuhkan impunitas. Sebagai contoh, pemantauan di Papua menemukan adanya perempuan korban yang berulang kali menjadi korban kekerasan seksual oleh aparat keamanan yang berasal dari satuan-satuan yang berbeda, dan ada pula pelaku yang melakukan kekerasan seksual terhadap lebih dari satu perempuan korban. Situasi serupa ini, dalam konteks Papua, meningkatkan rasa ketidakadilan di dalam masyarakat dan menguatkan keinginan untuk berpisah dari Indonesia. 3. Diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dalam konteks migrasi Berbagai hasil pemantauan tentng kondisi tenaga kerja Indonesia di luar negeri menunjukkan b hawa perempuan, khususnya yang bekerja di sektor domestik, adalah yang paling rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi. Aturan terkait perburuhan yang tersedia baik di Indonesia maupun di negara tujuan tidak menjangkau sektor tersebut. Berbagai bentuk kekerasan yang terdokumentasi mencakup penganiayan bahkan sampai pembunuhan, perkosaan dan berbagai bentuk kekerasan seksual lain, serta eksploitasi tenaga dengan tidak ada waktu libur, jam kerja setiap hari panjang, gaji yang dibayarkan sebagian atau tidak dibayar sama sekali, dan kondisi hidup yang tidak layak bagi kemanusiaan, misalnya tidak diberi makan yang cukup dan tempat tidur yang layak, serta pelanggaran hak-hak sipilnya seperti perampasan dokumen dan memutus komunikasi dengan keluarga. Komnas Perempuan juga mencatat bahwa dalam proses penanganan kasus kekerasan terhadap tenaga kerja perempuan, korban kerap tidak mendapatkan bantuan hukum dan dituduh sebagai pelaku kekerasan sehingga harus menjalani masa hukuman di negara tujuan, bahkan diancam dengan hukuman mati. Kekerasan yang dialami seperti telah dijelaskan berakar pada carut-marut tata kelola tenaga kerja migran Indonesia dari sejak proses rekrutmen hingga pemulangannya. Karena miskin dan berpendidikan rendah, perempuan calon tenaga kerja migran bersedia mengambil resiko apapun dengan bekerja di luar negeri semata-mata untuk memperbaiki kehidupannya. Kondisi ini justru digunakan oleh banyak pihak untuk mengeksploitasi mereka di seluruh proses migrasi, yaitu sejak awal rekrutmen hingga kepulangannya. Demi memperoleh dokumen perjalanan, apalagi dengan identitas palsu, para calon tenaga migran harus membayar mahal kepada agen sehingga terlilit hutang. Pada proses persiapan, banyak dari mereka yang disekap dan tidak mendapat pelatihan ketrampilan yang dibutuhkan untuk bekerja di negara tujuan. Selama bekerja, selain berhadapan dengan resiko kekerasan dan diskriminasi di tempat kerja sebagaimana dijelaskan di atas, perempuan tidak memiliki akses untuk mengontrol penggunaan uang yang ia hasilkan: ada sejumlah kasus dimana uang yang dikirimkan itu bahkan digunakan oleh suaminya untuk menikah lagi. Di beberapa masyarakat, sikap suami seperti ini justru dibenarkan karena istri dianggap bersalah meninggalkan rumah terlalu lama. Saat kembali, mereka menjadi target pemerasan di terminal IV yang disediakan khusus bagi para “Pahlawan Devisa.” Dalam seluruh rangkaian ini, aparat penyelenggara negara terlibat, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu dengna membiarkan, dalam tindak kekerasan yang menimpa para perempuan tenaga kerja migran itu. Bukannya memberikan perlindungan dan jaminan rasa aman, serta mengambil tanggung jawab untuk memperbaiki sistem pengelolaan tenaga kerja migran, sejumlah banyak aparat negara justru mencemooh dan menyalahkan perempuan tenaga kerja migran yang menjadi korban kekerasan. Baru-baru ini ada pejabat negara yang justru menganggap pahlawan devisa tersebut sebagai
Hal. 8 dari 10 halaman
pencoreng nama baik negara. Penyikapan pada kasus kekerasan dilakukan secara parsial dan teknis semata, yang tidak menyasar pada akar masalah dan konsekuensi dari tata kelola tenaga kerja, baik di dalam maupun luar negeri. 4. Penguatan Lembaga Penegakan HAM perempuan Komnas Perempuan berbangga hati atas penghargaan dan dukungan Presiden pada peran dan hasil kerja Komnas Perempuan sebagai salah satu mekanisme penting dalam merawat demokrasi dan menjalankan mandat konstitusi untuk penegakan HAM, khususnya dalam upaya penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan. Dukungan ini antara lain disampaikan oleh Presiden dengan kehadirannya pada perayaan peringatan 10 Tahun Komnas Perempuan, tanggal 30 November 2009, menggunakan laporan Komnas Perempuan dalam berbagai kesempatan untuk mendorong peningkatan upaya perlindungan bagi perempuan korban kekerasan, dan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2011 yang memperkuat lembaga Komnas Perempuan. Dukungan Presiden tersebut memiliki peran penting dalam memastikan tindak lanjut rekomendasi Komnas Perempuan oleh berbagai pihak di lingkungan eksekutif, baik di tingkat nasional maupun daerah. Dukungan ini pula yang mendorong pihak-pihak legislatif dan judikatif di berbagai tingkat pemerintahan ikut melaksanakan rekomendasi-rekomendasi tersebut. Saat ini, Komnas Perempuan membangun koordinasi yang rekat dengan berbagai kementerian, antara lain Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM, Kementarian Dalam Negeri, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara, Kementerian Keuangan dan Kementerian Sekretariat Negara, dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah, khususnya kaukus perempuan, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, dan Kepolisan Republik Indonesia. Meskipun Presiden telah menunjukkan dukungannya kepada Komnas Perempuan secara terbuka di hadapan publik, ada sejumlah pejabat negara yang berpendapat bahwa Komnas Perempuan sebaiknya dileburkan dengan komisi lain atau dengan badan eksekutif. Dari informasi yang kami himpun, usulan ini disampaikan terkait agenda reformasi birokrasi. Sayangnya usulan tersebut tidak didasarkan pada pengetahuan dan kajian mendalam tentang peran dan kinerja masing-masing institusi yang disorot, yaitu yang dikategorikan sebagai Lembaga Negara Non Struktural (LNS). Kami memahami situasi ini sebagai cerminan bahwa isu hak asasi manusia perempuan masih belum dianggap sebagai isu penting, dan/atau keberadaan institusi penegakan hak asasi manusia untuk isuisu khusus, seperti penghapusan segala bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan, masih asing bagi kalangan pengambil kebijakan. Komnas Perempuan secara prinsip mendukung agenda reformasi birokrasi yang digulirkan oleh pemerintah dalam rangka memperkuat tata kelola pemerintahan yang demokratis, efektif, efisien, dan akuntabel. Hanya saja, dalam pelaksanaannya perlu mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk pentingnya keberadaan institusi penegakan HAM perempuan. Keberadaan institusi HAM, secara umum, adalah pilar penting dalam tatanan negara demokratis. Sebagai badan independen, institusi HAM menjadi instrumen vital untuk memastikan berlangsungnya checks and balances dalam sistem tata pemerintahan. Institusi HAM juga menjadi penyambung komunikasi antara negara dan rakyat karena ia berada di tengah-tengah kedua pihak itu. Selain itu, institusi HAM yang khusus dibutuhkan untuk memperkuat sistem penegakan HAM secara keseluruhan. Kompleksitas persoalan kekerasan terhadap perempuan, akar masalah kekerasan terhadap perempuan yang menyebabkan tindak kekerasan sering kali tidak diakui, diabaikan dan dipinggirkan, serta konsekuensi yang sangat khas bagi perempuan karena identitas diri dan sosialnya sebagai perempuan menyebabkan keberadaan institusi HAM yang khusus memfokuskan diri pada isu tersebut, dalam hal ini Komnas Perempuan, adalah sebuah kebutuhan nyata untuk memastikan isu pencegahan dan penangan
Hal. 9 dari 10 halaman
kekerasan terhadap perempuan menjadi bagian tidak terpisahkan dari upaya pemenuhan hak asasi manusia. Keberadaan Komnas Perempuan tidak hanya dirasakan penting di dalam negeri, tetapi juga di tingkat internasional. Keberadaan Komnas Perempuan menempatkan Indonesia sebagai role model bagi komunitas internasional tentang perwujudan komitmen negara pada penegakan HAM, khususnya bagi perempuan. Hal ini disampaikan oleh sejumlah peserta dalam forum pertemuan Komisi HAM dan Komisi Perempuan tingkat Asia Pasifik dan diakui oleh para ahli hak asasi manusia yang berkarya di mekanisme-mekanisme HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan di tingkat ASEAN, misalnya Pelapor Khusus PBB untuk Perlindungan Hak Migran dan Keluarganya, Pelapor Khusus PBB untuk Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan, Perwakilan Khusus PBB tentang Pembela HAM, dan perwakilan Komisi HAM Korea Selatan.
***
Hal. 10 dari 10 halaman