Kehadapan Yang Mulia Bapak Presiden Republik Indonesia Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono Di Jakarta Assalamu'alaikum Wr.Wb. Dengan hormat, Pertama sekali marilah bersama-sama memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmah dan hidayah-Nya sehingga atas ridho dan izin-Nya pula kita dapat melaksanakan tugas-tugas pokok dan kewenangan PPATK dengan sebaik-baiknya selama setahun ini dan tahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan UU TPPU, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 18, PPATK dalam melaksanakan tugas-tugasnya bersifat independen dan bertanggungjawab kepada Presiden Republik Indonesia. Sehubungan dengan itu, PPATK wajib membuat dan menyampaikan laporan secara berkala tentang kegiatannya kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan (Pasal 26 UU TPPU). Di samping itu, PPATK juga memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pelaksanaan kewenangan PPATK ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Pasal 27 UU TPPU), yang mana pasal tersebut juga mengatur adanya ketentuan lain yang tidak berlaku bagi PPATK seperti rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya. Maka dengan dasar hukum tersebut di atas, mohon kiranya kami diperkenankan menyampaikan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan PPATK selama tahun 2009 dalam bentuk Laporan Tahunan. Sehubungan dengan kewajiban pelaporan transaksi keuangan oleh Penyedia Jasa Keuangan untuk periode bulan Januari hingga Desember tahun 2009, PPATK telah menerima 23,520 Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) dan 786,022 Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) dari PJK (bank dan non-bank), serta 4,093 Laporan Pembawaan Uang Tunai (LPUT) dari Direktorat Bea dan Cukai Departemen Keuangan. Setelah melakukan analisis atas laporan-laporan tersebut, PPATK telah menyampaikan 484 kasus/hasil analisis kepada Penegak Hukum untuk ditindaklanjuti penangannya. Di antara kasus/hasil analisis yang telah disampaikan kepada Penyidik tersebut, sebanyak 168 hasil analisis merupakan permintaan (inquiry) dari Kepolisian dan Kejaksaan. Demikian surat ini disampaikan dan atas perhatian serta perkenan Bapak Presiden kami ucapkan terma kasih. Wassalamu'alaikum Wr.Wb. Jakarta, 15 Maret 2010 Hormat kami,
Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M Kepala PPATK
1
DAFTAR ISI
SURAT KEPALA PPATK KEPADA PRESIDEN RI .........................................
1
DAFTAR ISI ...................................................................................................
2
DAFTAR BAGAN, GRAFIK DAN TABEL .......................................................
3
SAMBUTAN KEPALA PPATK ........................................................................
4
I.
RINGKASAN EKSEKUTIF ....................................................................
10
II.
RISET DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN ...............................
15
1. 2.
RISET .......................................................................................... ANALISIS ....................................................................................
15 21
PENGAWASAN KEPATUHAN PIHAK PELAPOR ................................
15
1. 2. 3.
LAPORAN TRANSAKSI KEUANGAN MENCURIGAKAN ........... LAPORAN TRANSAKSI KEUANGAN TUNAI .............................. LAPORAN PEMBAWAAN UANG TUNAI .....................................
23 24 25
PEMBERDAYAAN HUKUM DAN REGULASI .......................................
27
1. 2. 3.
SOSIALISASI REZIM ANTI PENCUCIAN UANG ........................ ANALISIS HUKUM ....................................................................... PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN .................................
27 28 31
KERJASAMA DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI ...........................
44
1. 2. 3.
KERJASAMA DAN HUBUNGAN DALAM NEGERI ..................... KERJASAMA DAN HUBUNGAN LUAR NEGERI ........................ PERTUKARAN INFORMASI .......................................................
45 47 48
MANAJEMEN INTERNAL ....................................................................
50
1. 2. 3. 4. 5.
PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA .......................... PENYEMPURNAAN SISTEM TEKNOLOGI INFORMASI .......... ADMINISTRASI UMUM ............................................................... ANGGARAN BELANJA ............................................................... AUDIT INTERNAL .......................................................................
50 51 52 54 57
VII. PENUTUP .............................................................................................
58
INDEKS ..........................................................................................................
59
III.
IV.
V.
VI.
Laporan Tahunan
2
PPATK 2009
DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Rincian Jenis, Jumlah Pelapor dan LTKM ........................................................ Statistik LTKM yang Dilaporkan Bank Berdasarkan Kepemilikan..................... Data LTKM yang Diterima Periode 2001 - 2009 ............................................... Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) ..................................................... Perkembangan Jumlah Total LTKT Per Bulan Periode Januari - Desember 2009.................................................................................................................. Laporan Pembawaan Uang Tunai .................................................................... Jumlah Total LPUT Per Bulan Periode Januari - Desember 2009 ................... Putusan Perkara TPPU..................................................................................... Permintaan Pemberian Keterangan Terkait TPPU ........................................... Pertukaran Informasi dengan FIU Negara Lain ............................................... Statistik Pertukaran Informasi ke PPATK Tahun 2004 - 2009 .......................... Komposisi Personil (Pimpinan dan Pegawai) PPATK Per Desember 2009...... Daftar Kegiatan Humas PPATK ....................................................................... Program Stabilisasi Ekonomi dan Sektor Keuangan ........................................ Program Penerapan Kepemerintahan yang Baik ............................................. Realisasi Anggaran Program Stabilisasi Ekonomi dan Sektor Keuangan ........ Realisasi Anggaran Program Penerapan Kepemerintahan yang Baik .............
23 24 24 25 25 26 26 28 30 48 49 50 53 54 54 55 55
DAFTAR BAGAN 1. 2.
Sumber-sumber Informasi dalam Database PPATK ........................................ Proses Analisis oleh Analis PPATK...................................................................
21 23
DAFTAR GRAFIK 1. 2.
Hasil Analisis PPATK yang Disampaikan kepada Penegak Hukum ................. Pertukaran Informasi dengan FIU Negara Lain ................................................
22 48
3
SAMBUTAN KEPALA PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN
Assalamu'alaikum Wr.Wb. Salam sejahtera bagi kita semua. Pada kesempatan yang baik ini perkenankanlah kami memberikan Sambutan atas Laporan Tahunan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk tahun 2009, dimana sambutan ini lebih berfokus pada pentingnya Single Identity Number (SIN) bagi setiap warga negara sehubungan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dan tindak pidana lainnya di Indonesia. Setiap negara umumnya, termasuk Indonesia, memiliki data kependudukan untuk pemenuhan hak dan kewajiban warga negaranya. Dengan fungsinya yang demikian itu, maka data kependudukan berdampak sangat luas terhadap kehidupan kenegaraan di berbagai bidang atau sektor. Seperti di bidang politik misalnya pemilihan anggota dewan, kalau data kependudukan yang tersedia tidak valid akan menimbulkan masalah krusial seperti banyaknya warga negara yang kehilangan kesempatan untuk menggunakan hak pilihnya, sementara warga negara lainnya memiliki hak pilih ganda akibat pencatatan ganda, dan ada pula warga negara yang tidak cukup umur maupun sudah meninggal dunia justru tercatat sebagai pemilih. Di bidang lain seperti sosial kesejahteraan, munculnya persoalan tidak meratanya pemberian jaminan sosial dan pembagian bantuan langsung (ataupun hak-hak lainnya) adalah sebagian dari berbagai akibat yang timbul karena tidak rapihnya data kependudukan. Selain identitas kependudukan yang bersifat personal dalam bentuk Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Surat Izin Mengemudi (SIM), setiap individu di Indonesia juga memiliki beberapa identitas lain dengan spesifikasi dan keunikan tersendiri serta nomor identitas sendiri-sendiri seperti nomor rekening bank dan asuransi yang bersifat transaksional, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Selain itu ada lagi identitas yang bersifat spasial seperti sertifikat tanah, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan lain-lain. Sistem pembuatan data kependudukan seperti ini paling tidak akan menimbulkan dua persoalan mendasar. Pertama, akibat yang ditimbulkan oleh fenomena ”mudahnya” seseorang mendapatkan identitas personal yang lebih dari satu, yang dapat diperoleh di wilayah berbeda-beda. Kedua, adanya paradigma bahwa identitas kependudukan hanya diperlukan oleh masyarakat untuk mendapatkan pemenuhan haknya. Untuk itu, masyarakatlah yang tergerak untuk membuat data kependudukannya sendiri, bahkan tidak cukup hanya dengan satu dokumen untuk mempermudah akses pemenuhan haknya. Kemudahan yang diberikan untuk mendapatkan identitas kependudukan tersebut, seharusnya diimbangi pula dengan kesiapan aparat sampai level pelaksana untuk melakukan verifikasi kebenaran data. Akibat mudahnya memperoleh identitas personal seperti KTP misalnya, pada sisi lainnya akan membuka berbagai peluang
4
Laporan Tahunan
PPATK 2009
penyalahgunaannya di berbagai sektor termasuk penghindaran pajak dan tindak pidana lain yang merugikan negara dan masyarakat luas. Dengan memiliki identitas ”asli tapi palsu”, seseorang bisa saja menggunakannya dalam pembukaan rekening di bank, yang selanjutnya digunakan untuk melakukan transaksi, mengurus passport dan dokumen penting lainnya. Dalam kasus-kasus pencucian uang, para pelakunya kerap kali menggunakan identitas yang berbeda (“asli tapi palusu”) dalam proses pembukaan rekening bank, pembelian aset berharga ataupun pada saat penanaman investasi di pasar uang. Pada tahap pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang (TPPU), penggunaan identitas palsu tersebut dapat mengakibatkan kesulitan dalam pelacakan siapa pelakunya. Kalaupun misalnya TPPU diduga dilakukan seseorang atau korporasi berdasarkan laporan hasil analisis PPATK yang disampaikan kepada aparat penegak hukum, akan tetapi aparat penegak hukum sering kali masih mendapatkan kesulitan untuk menelusuri dan melakukan penindakan. Dalam upaya mencegah dan memberantas TPPU, pendekatan rezim anti pencucian uang merupakan sebuah paradigma baru dengan melakukan pemantauan terhadap pemanfaatan sistem keuangan dari suatu tindak pidana dan melakukan penelusuran terhadap hasil-hasil kejahatan. Penelusuran dan pengejaran terhadap hasil-hasil kejahatan (follow the money) adalah suatu langkah yang tepat dan strategis mengingat hasil-hasil kejahatan tersebut merupakan lifebloods of the crime, yaitu “darah” yang menghidupi kejahatan itu sendiri. Pendekatan follow the money ini juga dapat memperluas jangkauannya untuk menangkap para pelaku yang terlibat, tidak hanya pelaku di lapangan saja tetapi juga aktor intelektualnya, sehingga dirasakan lebih adil. Pendekatan anti pencucian uang pada dasarnya melengkapi upaya pendekatan konvensional guna meningkatkan efektifitas upaya pencegahan dan pemberantasan berbagai bentuk kejahatan. Karena dengan mengejar hasil-hasil kejahatan berarti kita menggempur lifeblood of the crime dan menghilangkan motivasi orang untuk melakukan kejahatan. Konstruksi rezim anti pencucian uang sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 (UU TPPU). Dalam hal ini, UU TPPU memberi kewenangan, hak dan kewajiban tertentu bagi institusi terkait, seperti aparat penegak hukum, penyedia jasa keuangan dan PPATK dalam mentrasir proses penyembunyian asal-usul dana hasil kejahatan sampai kepada tindakan penerapan UU TPPU bagi pelaku pencucian uang. PPATK dalam kontruksi UU TPPU ditempatkan sebagai national focal point, yang memiliki fungsi utama dalam menyediakan dan memberikan informasi intelijen keuangan kepada aparat penegak hukum tentang dugaan telah terjadinya TPPU dan/atau tindak pidana asal (predicate crime). Informasi intelijen keuangan dimaksud merupakan hasil analisis atas berbagai informasi yang diperoleh PPATK dari berbagai sumber, termasuk Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM), Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) yang diberikan oleh penyedia jasa keuangan (PJK) dan Laporan Pembawaan Uang Tunai (LPUT) yang disampaikan oleh Ditjen Bea dan Cukai, serta dari financial intelijent unit (FIU) negara lain. Selain itu PPATK juga menerima informasi dari instansi terkait di dalam negeri dengan dasar kerjasama dalam bentuk Nota Kesepahaman (MoU), serta informasi dari publik/media massa. Dalam rezim anti pencucian uang, bank dan non bank (LKNB) sebagai PJK merupakan ujung tombak (front liner). Dengan berbekal pengetahuan dan kemampuan untuk mendeteksi suatu transaksi keuangan yang tidak wajar atau
5
mencurigakan, sehingga patut diduga terkait dengan suatu tindak pidana, maka PJK wajib melaporkannya kepada PPATK. Salah satu instrumen penilaian kewajaran transaksi nasabah adalah kesesuaiannya dengan profil nasabah, yang diantaranya mencakup informasi yang berasal dari kartu identitas. Pada saat melakukan penerimaan nasabah, sesuai dengan penerapan prinsip mengenali nasabah (PMN), petugas PJK wajib meminta dokumen pendukung seperti KTP nasabah, atau identitas pihak lain apabila nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain. Petugas PJK memang diwajibkan untuk melakukan verifikasi kesahihan dokumen pendukung tersebut, namun demikian kemampuan dan jangkauan petugas PJK tidak sampai mengetahui kebenaran data dari suatu dokumen “asli tapi palsu”. Tidak jarang PJK tanpa sadar menerima nasabah yang menggunakan “identitas palsu” atau “asli tapi palsu”. Sifat ketidakhati-hatian petugas pada saat verifikasi dokumen dipengaruhi pula oleh adanya tendensi pada PJK untuk mengejar keuntungan dengan mendapat nasabah sebanyak-banyaknya. Apabila persetujuan penerimaan nasabah telah diberikan PJK, nasabah dapat melakukan berbagai bentuk transaksi dengan menggunakan rekeningnya. Verifikasi dokumen pendukung memang dapat dilakukan kembali apabila diduga telah terjadi suatu tindak pidana yang melibatkan suatu rekening nasabah. Seperti pada tahun 2008, tindak pidana penipuan dengan menggunakan identitas palsu pada saat pembukaan rekening banyak ditemukan, bahkan menjadi trend. Hal yang sama masih terjadi sepanjang tahun 2009, dimana jumlah penipuan yang ditemukan pada sistem keuangan mencapai 348 kasus (31,3 % dari jumlah seluruh hasil analisis PPATK), adalah kedua terbesar setelah kasus-kasus korupsi yang mencapai 449 kasus. Beberapa tipologi terhadap temuan kasus-kasus penipuan dengan menggunakan identitas palsu antara lain sebagai berikut: 1.
Pada sektor perbankan, pola pencucian uang yang sering dilakukan adalah penggunaan rekening dengan menggunakan nama palsu, atau dengan nama orang-orang atau kepentingan orang yang melakukan kegiatannya untuk pihak lain. Nama-nama yang biasa digunakan seperti nama-nama public figure, artis atau pejabat.
2.
Identitas aspal digunakan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan gadungan (vehicle company), kemudian membuat rekening atas nama perusahaan tersebut. Rekening-rekening tersebut digunakan untuk memfasilitasi penyimpanan dana-dana illegal. Mutual Evaluation oleh Asia Pasific Group (APG) pada bulan Juli 2008 mengamanatkan agar validnya daftar perusahaan, atau registrasi perusahaan-perusahaan oleh Departemen/ instansi berwenang.
3.
Bagi warga negara asing, seringkali membuka rekening di bank hanya dengan menggunakan dokumen passport tanpa disertai KIMS, KITAS atau KITAP. Oleh sebab itu, dana hasil penipuan dapat langsung ditarik tunai atau ditransfer/dipindahbukukan ke beberapa rekening via ATM.
4.
Penggunaan KTP “asli tapi palsu” sering ditemukan pula pada kasus-kasus penyuapan yang menggunakan traveller cheque (TC). Pada saat pembelian/pencairan TC biasanya pembeli/ penerima TC menggunakan identitas palsu sehingga menyulitkan penelusuran. TC pun dinilai sebagai produk berisiko tinggi karena pencairan bisa dilakukan oleh pihak ketiga seperti supir, anggota keluarga, ajudan, sekertaris, petugas bank atau asisten pribadi. Laporan Tahunan
6
5. PPATK 2009
Dokumen palsu lainnya dapat pula mereka gunakan untuk menunjang kegiatan pencucian uang, misalnya dengan membuat faktur palsu (false invoicing), tanda terima (receipt) palsu, ataupun dokumen perjalanan (travel documentation) palsu untuk membuktikan kebenaran mengenai dana yang disetorkan kepada lembaga keuangan bersangkutan.
Penggunaan dokumen-dokumen identitas palsu untuk membuka rekening ataupun untuk melaksanakan transaksi keuangan tersebut akan meniadakan hubungan antara aset kejahatan dengan pelakunya. Dalam kondisi lain, sekalipun pelakunya telah berhasil ditangkap dan dipenjarakan, akan tetapi aset hasil kejahatan tersebut masih dapat dinikmati pelaku setelah habis masa tahanannya. Pada tanggal 29 Desember 2006 Presiden Republik Indonesia telah mengundangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-undang ini merupakan dasar hukum bagi rangkaian kegiatan untuk melakukan penertiban dokumen dan data kependudukan, pengelolaan informasi administrasi kependudukan serta penggunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan sektor lainnya. Pasal 13 UU Administrasi Kependudukan menetapkan, bahwa setiap penduduk wajib memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang berlaku seumur hidup dan selamanya. NIK adalah nomor identitas penduduk yang bersifat unik atau khas, tunggal dan melekat pada seseorang yang terdaftar sebagai penduduk Indonesia. yang dalam hal ini, NIK dapat kita samakan dengan Single Identity Number (SIN). Berikutnya pada Ayat (3) disebutkan, bahwa NIK dicantumkan dalam setiap dokumen kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan passport, surat izin mengemudi, NPWP, polis asuransi, sertifikat hak atas tanah dan penertiban dokumen identitas lainnya. Dalam pengimplementasiannya, UU ini mengamanahkan pengelolaan informasi administrasi kependudukan kepada Menteri Dalam Negeri dan dilakukan melalui pembangunan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Dalam koordinasi dengan Departemen Dalam Negeri disebutkan bahwa pemberlakuan NIK nasional dicanangkan efektif pada tahun 2011. Untuk dapat mewujudkan amanat UU dimaksud, maka langkah yang ditempuh antara lain : 1.
Pembangunan database penduduk tingkat kabupaten/ kota propinsi dan pusat;
2.
Pemberlakukan NIK Nasional;
3.
Pemutakhiran data penduduk Kabupaten/Kota;
4.
Pemutihan KTP dalam rangka penerapan KTP berbasis NIK Nasional;
5.
Pengembangan data center dan jaringan komunikasi data SIAK di pusat dan daerah;
6.
Penataan sistem koneksitas NIK dengan Departemen/Lembaga terkait untuk kepentingan layanan publik.
Dorongan untuk pengefektifan pengaturan dan pengimplementasian SIN telah digelorakan oleh Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (Komite TPPU) sejak 7 Februari 2007, dengan pencantuman SIN dalam salah
7
satu Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU 2007-2011. Berdasarkan Stranas tersebut, instansi yang terlibat dalam pengimplementasian strategi terkait SIN adalah Departemen Dalam Negeri, Kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Departemen Hukum dan HAM, serta Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Dengan demikian kita semua berharap bahwa penerapan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 dapat segera diimplementasikan secara konsisten, namun dengan tetap mempertimbangkan aspek keamanan informasi. Penerapan SIN telah dilaksanakan dibeberapa negara seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Amerika Serikat dan Kanada. Di Amerika dan Kanada dikenal dengan nama Social Security Number. Penerapan SIN mempermudah berbagai urusan, seperti pemberian jaminan sosial, urusan keimigrasian dan perpajakan. Dengan dimilikinya satu identitas pribadi, diharapkan akan terbentuk suatu sistem yang tidak memungkinkan bagi individu untuk berhubungan dengan industri keuangan atau melakukan transaksi dengan menggunakan identitas “asli tapi palsu”. Dengan demikian penyalahgunaan identitas palsu dapat dieliminir seminimal mungkin untuk menghindarkan PJK dimanfaatkan sebagai sarana pencucian uang dan tindak pidana asalnya. Dalam hal upaya penelusuran aliran dana terkait kasus Bank Century, PPATK sedari awal telah membantu aparat penegak hukum dalam mengungkap tindak pidana yang terjadi di PT. Bank Century, Tbk. PPATK membantu pihak Kepolisian RI dalam penelusuran aliran dana kasus Bank Century dengan menyampaikan sebanyak 22 (dua puluh dua) hasil analisis terkait dengan kasus tersebut. Di samping itu, dalam rangka penelusuran aset-aset yang diduga terkait dengan PT. Bank Century Tbk, PPATK berperan serta secara aktif dan menjadi anggota Tim Bersama Penanganan Permasalahan PT. Bank Century Tbk. Dalam menelusuri aset-aset yang terkait kasus Century di luar negeri, PPATK telah melakukan komunikasi dengan counterpart di 11 (sebelas) yurisdiksi yang diduga terdapat kaitan transactional dengan Bank Century, yaitu: Jerman, Jersey, Bahrain, Singapura, Cyprus, Hong Kong, Bahamas, Mauritius, Bermuda, Inggris dan Guernsey Informasi-informasi yang diperoleh PPATK dari yurisdiksi-yurisdiksi tersebut di atas cukup signifikan dalam membantu penyidikan POLRI dan upaya-upaya yang dilakukan Tim Bersama, khususnya informasi yang berasal dari Hong Kong, Jersey, Inggris, Mauritius dan Guernsey yang disana dapat ditemukan beberapa aset yang dimiliki oleh “RT” dan afiliasinya (perusahaan yang dimiliki oleh “RT”, “HAW”, “RAR” dan perusahan yang dimiliki oleh HAW dan RAR). Secara umum besarnya aset yang ditemukan di 5 (lima) yurisdiksi tersebut adalah: a.
Di Hong Kong sebesar +/- USD 1.119,5 juta. Namun demikian informasiinformasi yang diterima tersebut sifatnya masih “mentah”, sehingga perlu bagi otoritas HK untuk melihat nilai yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan sebagian besar aset (lebih dari 80%) adalah dalam bentuk surat berharga, dimana real value-nya sudah pasti berbeda dengan face value-nya. Selain itu terdapat juga asset yang dijaminkan untuk pencairan pinjaman, sehingga perlu di-set off terlebih dahulu.
b.
Di Jersey sebesar +/- USD 16,5 juta.
c.
Di Inggris sebesar +/- USD 55 ribu. Laporan Tahunan
8
PPATK 2009
d.
Di Bermuda sebesar +/-USD300ribu.
e.
Di Guernsey, selama tahun 2006 s.d. 2008 terdapat beberapa transaksi dengan total sebesar +/- USD 14,8 juta.
Dengan demikian aset yang dimiliki ”RT” dan pihak afiliasinya yang sejauh ini ditemukan oleh PPATK di luar negeri adalah sebesar +/- USD1.151 juta. Namun jumlah tersebut harus memperhitungkan fluktuasi nilai pasar atas surat berharga yang jumlahnya mencapai 80% dari total aset tersebut. Berdasarkan informasi-informasi dari FIU tersebut di atas dan fakta-fakta yang ditemukan selama penyidikan, Tim Bersama telah menyusun permintaan Bantuan Hukum Timbal Balik (Mutua Legal Assistance request) kepada 13 (tiga belas) negara, yaitu: Hong Kong, Jersey, Inggris, Singapura, Australia, Bahrain, British Virgin Island (BVI), Mauritius, Bahamas, Swiss, Uni Emirat Arab (UEA), Arab Saudi dan Luxemburg. Akhirul kalam, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih atas perhatian dan dukungan sepenuhnya dari Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, Bank Indonesia dan Bapepam-LK, serta kerjasama semua pihak yang telah terjalin dan terbina dengan baik selama ini sehingga PPATK dapat mengemban tugas dan wewenangnya sebagaimana diamanatkan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Wassalamu'alaikum Wr.Wb. Jakarta, 15 Maret 2009
Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M
9
I.
RINGKASAN EKSEKUTIF
Para bijak bestari berujar: “Historia magistra vitae”, yang artinya “sejarah adalah guru kehidupan”. Dengan kata lain, sebuah perubahan tidak akan pernah bisa melupakan sejarah masa silam. Bagi sebuah institusi, masa lalu bisa menjadi cermin untuk melakukan evaluasi hingga berhasil ditemukan langkah-langkah cerdas dan strategis guna mewujudkan capaian kinerja yang jauh lebih baik lagi di masa berikutnya. Dalam rentang waktu selama setahun ini, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah melakukan berbagai jenis kegiatan yang terencana dan terarah agar perannya sebagai national focal point dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik. Langkah-langkah dan kebijakan yang telah diambil dan dilaksanakan selama tahun berjalan merupakan proses serta kelanjutan dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka hal-hal apa saja yang telah dilakukan pada tahun 2009 merupakan salah satu instrumen penting untuk mengukur tingkat keberhasilan yang diraih, sekaligus sebagai pijakan untuk dapat mewujudkan capaian yang jauh lebih baik lagi pada tahun-tahun mendatang. Dari sini terlihat nilai tambah dari kebijakan dan langkah-langkah yang telah dilaksanakan, dan sekaligus melakukan koreksi yang perlu diambil untuk kemudian menemukan strategi yang lebih efektif dan efisien dalam membangun dan mengelola PPATK sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rezim anti pencucian uang Indonesia. Lebih jauh, bahwa tujuan dan orientasi dari penyajian Laporan Tahunan 2009 ini dan laporan-laporan tahunan sebelumnya, bukanlah sekedar sebuah “Daftar Kegiatan” atau “Program Kerja” yang telah dilaksanakan, melainkan sebagai sarana pengingat dan identifikasi terhadap berbagai macam kendala dan kelemahan, dan sekaligus juga berbagai bentuk keberhasilan yang telah diraih dalam pelaksanan tugas dan kewenangan PPATK sebagai financial intelligence unit (FIU). Dengan demikian kebijakan dan langkah-langkah yang telah diambil dan dilaksanakan selama ini (2002-2009), adalah suatu proses panjang yang berkesinambungan secara estapet, yang seyogiyanya dari tahun ke tahun memperlihatkan kemajuan yang semakin baik dalam upaya mencegah dan memberantas TPPU di Indonesia.
Solo, 16 - 18 Oktober 2009: Rapat Kerja PPATK
10
Laporan Tahunan
PPATK 2009
Peraturan Kepala PPATK Nomor: PER-02/1.01/PPATK/01/10 menetapkan penyusunan Rencana Strategis (Renstra) PPATK Tahun 2010-2014 untuk pencapaian tujuan dan target dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional (RPJPMN). Renstra PPATK tersebut merupakan landasan sekaligus pedoman dalam menyusun Rencana Kerja PPATK selama kurun waktu 5 (lima) tahun (Pasal 1). Penyusunan Renstra PPATK Tahun 2010-2014 didasarkan atas ketentuan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, yang mengamanatkan bahwa Pimpinan Kementerian/Lembaga wajib melaksanakan penyiapan Rancangan Renstra-KL priode berikutnya untuk sektor yang menjadi tugas dan kewenangannya pada tahun terakhir pelaksanaan RPJMN yang sedang berjalan. Untuk itu, Renstra PPATK 2010-2014 disusun dengan memperhatikan fungsi, tugas dan wewenang dari seluruh unit organisasi di lingkungan PPATK, serta mempertimbangkan faktor lingkungan internal dan eksternal. Di samping itu, Restra PPATK juga memuat visi, misi, tujuan, arah kebijakan dan strategi, serta seluruh program dan kegiatan yang akan dilaksanakan berikut indikator dan target kinerja yang akan dicapai PPATK. Dengan demikian penyusunan Renstra PPATK 20102014 ini merupakan langkah awal untuk melakukan pengukuran kinerja PPATK selama 5 (lima) tahun ke depan. Dalam Renstra PPATK 2010-2014 telah dirumuskan Visi PPATK, yaitu “Menjadi lembaga independen di bidang informasi keuangan yang berperan aktif dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme”, dan agar Visi tersebut dapat diwujudkan PPATK menetapkan Misi yang merupakan rumusan upaya-upaya yang akan dilaksanakan mulai tahun 2010 hingga 2014 sebagai berikut: 1.
Meningkatkan kualitas pengaturan dan kepatuhan pihak pelapor.
2.
Meningkatkan efektivitas pengelolaan informasi dan kualitas hasil; analisis yang berbasis teknologi informasi.
Jakarta, 22 Januari 2009: PPATK menerima penghargaan dari BPK dengan predikat WTP.
11
3.
Meningkatkan efektivitas penyampaian dan pemantauan tindak lanjut laporan hasil analisis, pemberian nasihat dan bantuan hukum serta pemberian rekomendasi kepada pemerintah.
4.
Meningkatkan kerjasama dalam dan luar negeri di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme.
5.
Meningkatkan efektivitas pelaksanaan manajemen internal untuk mewujudkan good governance dengan memanfaatkan teknologi informasi secara efektif dan efisien.
Dengan memperhatikan faktor-faktor kunci keberhasilan berdasarkan hasil analisis SWOT, maka Visi dan Misi yang telah ditetapkan tersebut kemudian dirumuskan ke dalam bentuk yang lebih terarah dan operasional, yaitu tujuan dan sasatan strategis PPATK untuk 5 (lima) tahun ke depan, serta target kinerja sebagai ukuran pencapaian dari setiap tujuan dan sasaran strategis. Adapun tujuan dan sasaran strategis yang akan dicapai PPATK untuk tahun 2010-2014 sebagai berikut: 1.
Mewujudkan peraturan yang berkualitas mengenai mekanisme pelaporan yang efektif dan efisien serta peningkatan kepatuhan dan kemampuan PJK dan pihak pelapor lainnya dalam memenuhi kewajiban pelaporan kepada PPATK. Sasaran strategisnya adalah : a. Tersedianya peraturan dan pedoman tentang kewajiban pelaporan bagi Penyedia Jasa Keuangan dan Pihak Pelapor Lainnya. b. Meningkatnya jumlah pelaporan dari Penyedia Jasa Keuangan dan Pihak Pelapor Lainnya. c. Meningkatnya kualitas pelaporan dari Penyedia Jasa Keuangan dan Pihak Pelapor Lainnya. d. Terciptanya sistem pengawasan aktif dan pasif terhadap pelaksanaan kewajiban pelaporan.
Jakarta, 17 April 2009: Acara Pembukaan Ceramah Wishtle Blowing System di PPATK
12
Laporan Tahunan
PPATK 2009
Jakarta, 10 Nopember 2009: Upacara Perigatan Hari Pahlawan
2.
Mewujudkan pengelolaan informasi yang efektif dan efisien dalam rangka menghasilkan analisis yang berkualitas. Sasaran strategisnya adalah : a. Terwujudnya sistem pengelolaan data yang baik dan aman sesuai dengan bussines process. b. Terwujudnya hasil analisis yang berkualitas dan bermanfaat bagi penyidik dan instansi pengguna lainnya. c. Terciptanya laporan analisis strategis, tipologi, dan statistik yang berkualitas. d. Terlaksananya fungsi penyelidikan TPPU.
3.
Meningkatkan kualitas dan kuantitas kerjasana antara PPATK dengan aparat penegak hukum dan lembaga terkait lainnya baik dalam maupun luar negeri dalam rangka penguatan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Sasaran strategisnya adalah : a. Meningkatnya koordinasi dengan aparat penegak hukum dalam melakukan penanganan TPPU dan pendanaan terorisme. b. Meningkatnya efektivitas rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka pencegahan dan pemberantasan TPPU dan pendanaan terorisme.
4.
Mewujudkan efektivitas penyampaian dan pemantauan tindak lanjut laporan hasil analisis kepada aparat penegak hukum, pemberian nasihat dan bantuan hukum, serta rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka pencegahan dan pemberantasan TPPU dan pendanaan terorisme. Sasaran strategisnya adalah : a. Peningkatan dan perluasan kerjasama antara PPATK dengan lembaga terkait dan organisasi relevan lainnya di dalam negeri.
13
Jakarta, 10 Nopember 2009: Upacara Perigatan Hari Pahlawan
b. c.
5.
Peningkatan dan perluasan kerjasama antara PPATK dengan financial intelligence unit (FIU) negara lain dan lembaga internasional terkait lainnya. Peningkatan pemanfaatan jejaring informasi PPATK oleh aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya baik dalam maupun luar negeri dalam upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU dan pendanaan terorisme.
Mewujudkan good governance dalam pengelolaan sistem manajemen internal guna mendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi PPATK. Sasaran strategisnya adalah : a. Terwujudnya sistem perencanaan dan penganggaran, serta pelaksanaan perbendaharaan dan administrasi keuangan PPATK sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Terwujudnya sistem pengelolaan sarana dan prasarana kantor serta administrasi perkantoran yang efektif dan efisien guna menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi PPATK. c. Terwujudnya sistem pengelolaan sumber daya manusia PPATK yang berbasis meritokrasi sesuai ketentuan yang berlaku. d. Terwujudnya organisasi dan ketatalaksanaan PPATK yang efektif dan efisien. e. Terlaksananya pengawasan intern atas penyelenggaraan Tugas Pokok dan Fungsi PPATK.
Dengan tersusunnya Renstra PPATK Tahun 2010-2014 ini, ke depan PPATK diharapkan dapat melaksanakan tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya secara lebih baik dan terarah, sehingga dapat mewujudkan Visi dan Misi yang telah ditetapkan, serta mendorong tercapainya penerapan good governance di lingkungan PPATK, yang kesemuanya itu pada dasarnya bertujuan untuk lebih memaksimalkan peran PPATK dalam upaya mencegah dan memberantas TPPU dan pendanaan terorisme di Indonesia. Laporan Tahunan
14
II. RISET DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN PPATK 2009
Dalam kerangka pelaksanaan tugas PPATK sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 26 Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), Direktorat Riset dan Analisis (DRA) mengemban tugas untuk melaksanakan tugas utama PPATK yakni melakukan analisis terhadap Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang disampaikan oleh Penyedia Jasa Keuangan (PJK). Sesuai dengan tugas yang diemban tersebut, produk utama yang dihasilkan adalah berupa Hasil Analisis (HA) yang diharapkan dapat dijadikan dasar bagi aparat penegak hukum dalam melakukan proses penegakan hukum sesuai dengan tugas dan kewenangannya dan ketentuan yang berlaku. Direktorat Riset dan Analisis selalu berupaya meningkatkan kualitas dari setiap HA yang dihasilkan dan diharapkan HA yang disampaikan kepada aparat penegak hukum mampu memberikan informasi yang relevan atas kemungkinan terjadinya tindak pidana asal ataupun dilakukannya upaya penegakan hukum atas tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang diduga dilakukan oleh pihak terlapor. 1. Riset Meneruskan langkah yang telah diambil dalam kurun waktu 2008, selama tahun 2009, kegiatan riset lebih ditujukan pada pembuatan Standar Prosedur Operasi (SPO) bagi kepentingan Riset. Pada tahun 2009, telah berhasil dibuat SPO khusus Riset untuk menjadi dasar pelaksanaan tugas riset di bidang: a. b. c. d. e. f.
Pengolahan Data Mining; Input Data; Riset Tipologi; Analisis Strategis; Statistik; dan Manajemen Resiko.
Tahap berikutnya diharapkan dapat dihasilkan output berdasarkan SPO yang telah dibuat serta mampu memberikan kontribusi bagi penegakan hukum di bidang pencucian uang. Berdasarkan data yang diolah dari Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) yang diterima oleh PPATK selama periode Januari s/d Desember 2009 serta penelitian atas LTKM dan hasil analisis LTKM yang telah disampaikan oleh PPATK kepada aparat penegak hukum selama periode yang sama, diketahui bahwa kecenderungan tindak pidana asal (predicate crime) dapat dibagi dalam beberapa kategori sesuai trend masing-masing tindak pidana asal yang diketahui. Trend dimaksud adalah sebagai berikut: Trend meningkat Trend tindak pidana korupsi menunjukan peningkatan secara signifikan dibandingkan tindak pidana lainnya. Di samping meningkat, korupsi dan penipuan merupakan tindak pidana yang paling sering dilaporkan oleh PPATK. Tindak pidana narkotika dan penyuapan juga cenderung meningkat namun tidak sering terjadi apabila dibandingkan dengan korupsi dan penipuan. Trend yang berkelanjutan Berdasarkan atas peningkatan jumlah HA yang dilaporkan maka tindak pidana
15
korupsi, penipuan, narkotika dan penyuapan diperkirakan akan masih tetap banyak dilakukan. Pada tindak pidana korupsi, modus oparandi yang berkelanjutan adalah transaksi keuangan yang dilakukan oleh PEP dengan melibatkan pihak ketiga dan penyalahgunaan APBN/PBD oleh bendahara/pemegang kas di instansi-instansi pemerintah. Trend menurun Belum dapat diidentifikasi trend tindak pidana yang menurun. Trend baru muncul Terdapat trend yang baru muncul yaitu cuckoo smurfing. Dengan modus ini, pelaku tindak pidana menggunakan money remmitance untuk sarana pencucian uang hasil tindak pidana psikotropika. Dari kategorisasi tersebut di atas, juga dapat diketahui bahwa pengalihan transaksi keuangan kepada sistem non perbankan menjadi alternatif baru bagi pelaku tindak pidana. Hal ini terjadi khususnya pada industri asuransi dengan melakukan pembayaran premi asuransi bagi diri pribadi ataupun pihak keluarga. Pembayaran tunai menjadi pilihan yang dianggap paling menguntungkan karena akan mempersulit pelacakan aliran keuangan oleh aparat penegak hukum. Selain itu, terdapat beberapa indikasi adanya trend modus operandi TPPU yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, yaitu dengan melakukan pembelian barangbarang mewah ataupun menempatkan dana pada instrumen-instrumen investasi lainnya. Hal ini kemungkinan dipicu oleh semakin meningkatkan kesadaran PJK serta ketatnya penerapan prinsip mengenal nasabah (KYC) yang dilakukan oleh PJK. Trend berkelanjutan yang ditemukan oleh PPATK berdasarkan LTKM yang diterima dari PJK pada periode Januari hingga Desember 2009 menunjukkan maraknya penggunaan identitas palsu, nominee ataupun pengunaan dana-dana yang berasal dari Anggaran Belanja Pemerintah Daerah (APBD) oleh para pejabat Pemerintah Daerah baik di Tingkat I ataupun Tingkat II di seluruh Indonesia. Sesuai hasil analisis LTKM yang disampaikan oleh PPATK kepada pihak aparat penegak hukum, berikut ini adalah tipologi atau modus operandi dari pencucian uang yang telah terjadi dan dapat disusun dari berbagai kasus yang terjadi, seperti di bawah ini: Dalam kurun Waktu Januari hingga Desember 2009 PPATK menemukan beberapa tipologi kasus sebagai berikut: a.
Tindak pidana korupsi 1)
Penggunaan rekening pribadi bendaharawan Terdapat indikasi penggunaan dana milik Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi, serta adanya indikasi keterlibatan oknum Perusahaan Asuransi dan pihak lain dalam upaya pencucian uang hasil penyalahgunaan dana Pemerintah Daerah tersebut. Dana dari Rekening giro Kas Daerah di BPD dicairkan berdasarkan SP2D ke rekening bendaharawan rutin. Dana tersebut kemudian ditransfer ke rekening perusahaan asuransi dan ditarik tunai oleh pejabat daerah.
16
Laporan Tahunan
Dari rekening tersebut dana kemudian kembali ke rekening pejabat daerah tersebut melalui berbagai pihak dan selanjutnya pejabat tersebut melakukan tarik tunai kembali .
PPATK 2009
2)
Penggunaan rekening pribadi untuk menampung dana pemerintah A PNS Dinas Pertamanan melakukan pembelian tanah untuk kepentingan negara. Dari rekening Dinas Pertamanan A melakukan pencairan cek sebesar Rp 3.900.743.000,- yang kemudian dana tersebut dimasukkan ke rekening pribadi A di Bank X. Selanjutnya A melakukan pengambilan tunai Sebesar Rp3.000.000,00 dari rekening Aki di bank X tersebut. Diketahui juga terdapat transaksi pembelian tanah oleh Dinas Pertamanan kepada Ny. C yang dananya langsung ditransfer ke rek. Ny. C. Kemudian Ny. C melakukan pemindahan dana ke rekening anaknya dan ke rekening A di bank X. Pembayaran pembebasan tanah untuk keperluan negara tersebut tidak langsung dibayarkan dari rekening bendaharawan ke rekening pemilik tanah. Diduga telah terjadi mark up harga pembelian tanah oleh A.
3)
Terdapat indikasi penyaluran dana dari rekening bendaharawan ke rekening pejabat di sebuah kabupaten K, seorang Bupati, banyak menerima setoran dana dengan nilai yang signifikan (hingga miliaran rupiah per transaksi) dan sebagian diketahui berasal dari rekening milik Bendaharawan Pemda Kabupaten maupun dari pribadi Bendaharawan kabupaten. Selanjutnya dana tersebut oleh K dipindahkan ke berbagai rekening milik yang bersangkutan di berbagai bank serta beberapa pihak lainnya. Sebagian dana ditarik tunai oleh K. Pola transaksi rekening tersebut menunjukkan adanya indikasi tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
b.
Penggunaan KTP palsu Terdapat pengiriman dana dalam jumlah besar kepada rekening S, D dan E yang tidak sesuai dengan profil yang bersangkutan (tidak terdapat kaitan hubungan bisnis diantara keduanya). Dana yang telah disetorkan oleh PT AB, PT AA PT AC dan PT AD tersebut kemudian ditarik secara tunai dan ditransfer ke beberapa pihak lainnya dalam waktu yang berdekatan. Disamping itu juga terdapat setoran tunai yang bernilai cukup besar kepada K dan R. Selanjutnya dana tersebut oleh K dan R dipindahkan ke beberapa rekening pada waktu yang hampir bersamaan. Diduga Pelaku menggunakan data identitas palsu (fiktif) dan berusaha mengelabuhi beberapa pihak dengan mengatasnamakan pihak tertentu.
c.
Penjualan barang fiktif melalui internet Terdapat VI pelaku yang menawarkan barang melalui internet. Pelaku meminta korban mentransfer uang melalui remittance atas transaksi jual beli barang melalui internet tersebut. Setelah uang ditransfer, pelaku tidak mengirimkan barang ataupun menambahkan klausul ataupun mengubah spesifikasi sehingga pembeli meminta untuk pembatalan transaksi. Dana
17
yang masuk tidak dikembalikan kepada pembeli namun ditransfer ke beberapa rekening pihak terkait. Terindikasi penipuan melalui internet ini merupakan sebuah sindikat yang melibatkan beberapa orang. d.
Tindak pidana pencucian uang 1)
Pemalsuan Dokumen Tansaksi pembobolan rekening milik pemerintah diduga melibatkan oknum bank dan pejabat pemerintah dan pihak ketiga lainnya dengan menerbitkan bilyet deposito palsu. Transaksi berawal dari pencairan cek tunai sebesar Rp 220 Milyar oleh pejabat pemda untuk tujuan penerbitan deposito di Bank. Namun Deposito yang diterbitkan hanya berjumlah sekitar Rp200 milyar dan sebesar Rp 20 Milyar di pindahbukuan ke rekening sebuah perusahaan. Agar pemindahbukuaan ini tidak terlihat maka diterbitkan bilyet deposito fiktif sebesar Rp20 Milyar. Dana sebesar Rp 20 Milyar kemudian ditarik tunai dan ditansfer ke berbagai pihak. Deposito sebesar Rp200 Milyar kemudian dicairkan dan ditransfer ke rekening X. Dari rekening X dana kemudian ditransfer ke berbagai pihak. Untuk mengelabui pencairan deposito ini maka diterbitkan 6 bilyet deposito palsu sejumlah Rp200 Milyar.
2)
Penggunaan Deposito Seorang PNS bernama A melakukan penyetoran dana tunai berbentuk valuta asing sebesar USD500.000 (sekitar Rp 4,6 milyar) ke rekeningnya di Bank PMT cabang K. Rekening tersebut kemudian ditutup dan saldonya ditempatkan ke dalam Deposito. Deposito kemudian dicairkan dan sebesar Rp4 Milyar disetorkan ke rekeningnya yang baru. Melalui rekening ini dana kemudian ditransafer ke berbagai pihak dan ditarik tunai. Diketahui bahwa sumber asal dana awal Banknote adalah suap berkaitan dengan tugas dan wewenang Bapak A.
3)
Pemalsuan surat-surat berharga A adalah pemilik Bank Z dan sekuritas X. Nasabah Bank Z mulai bulan April 2007 ditawari produk investasi KPD (Kontrak Pengelolaan Dana) dengan tingkat hasil cukup tinggi. Produk investasi ini belum mendapat ijin dari pihak berwenang. Dana nasabah yang terkumpul sebesar Rp 1,4 Triliun. KPD ini dikelola oleh Sekuritas X. Bulan November 2008 Sekuritas X tidak bisa melunasi kewajibannya kepada para nasabah (default). Nasabah kemudian menuntut ganti rugi kepada Bank Z selaku agen penjual. Sementara saat itu Bank Z mengalami kerugian dan gagal kliring dengan jumlah sekitar Rp 1,1 Trilliun. Disamping itu, Bank Z terkena kredit macet atas kucuran kredit yang diberikan kepada Perusahaan C dan Perusahaan E (diduga perusahaan fiktif yang didirikan oleh A). Permintaan kredit oleh Perusahaan C adalah untuk kepentingan Sekuritas Y. Diketahui juga hasil pencairan kredit Perusahaan C ditransfer ke sekuritas X. Diduga dana nasabah sebesar Rp1,4 digunakan oleh A dan koleganya yaitu B dan C untuk kepentingan pribadi dan group perusahaanya (diduga ada penggelapan dana nasabah).
18
Laporan Tahunan
e. PPATK 2009
Tindak pidana psikotropika Penggunaan rekening TKI di Luar Negeri untuk transaksi narkotika melalui Kegiatan Usaha Pengiriman Uang (KUPU). Para pelaku menggunakan jasa pengiriman uang baik yang ada di luar negeri maupun dalam negeri yang diduga dimiliki oleh sindikasi. Proses diawali dengan adanya setoran dana oleh TKI-TKI di luar negeri untuk keluarga di dalam negeri. KUPU di luar negeri mngirimkan Email/surat ke KUPU dalam negeri yang berisi daftar nama dan nominal penerimaan kiriman dana dari luar negeri, sedangkan uang tidak dikirim. Disamping itu, sindikat di luar negeri diduga juga menginstruksikan ke sindikat dalam negeri untuk menyetorkan sejumlah uang (hasil psikotropika) ke KUPU dalam negeri (KUPU B). Dana tersebut oleh KUPU B dikirimkan ke keluarga TKI di Indonesia. Dana dari TKI di Hong Kong tetap berada di Hong Kong dan diserahkan kepada sindikat dari para pelaku tindak pidana yang berdomisili di Hong Kong. Dengan demikian tidak terdeteksi adanya aliran dana keluar/masuk ke/dari luar negeri. Dana dari hasil tindak pidana telah berhasil ”dicuci” dan seolah-olah telah bersih karena dikirimkan ke rekening pihak penerima dana di negara setempat. Pihak penerima dana tersebut tidak menyadari bahwa sebenarnya uang yang dikirimkan dari penyelenggara KUPU adalah uang dari setoran para pelaku tindak pidana. Dari hasil analisis rekening C teridentifikasi bahwa rekening tersebut pernah menerima aliran dana dalam jumlah total besar (sekitar Rp 40 M) dari 3 (tiga) bandar psikotropika (D, E dan F) yang selanjutnya dana tersebut selalu dikirimkan kembali ke banyak rekening pihak lain di duga sebagai rekening sanak keluarga para TKI di Hong Kong.
f.
Tindak pidana penggelapan Dana hasil penggelapan ditransfer dengan menggunakan perintah pemindahan dana fiktif. S menerima transfer dana melalui RTGS dari PT ILO yang diduga merupakan hasil penggelapan dan adanya instruksi fiktif untuk mengirimkan dana ke rekening S dari PT ILO. Dana yang masuk kemudian ditarik secara tunai dan ditransfer ke beberapa rekening. Terjadi pola pass by karena dana yang masuk kemudian ditarik maupun ditransfer dengan jumlah yang hampir sama dalam waktu yang bersamaan. Disamping itu, terdapat pula transfer yang dilakukan oleh U ke beberapa rekening komplotan Santi. Diduga U melakukan praktek yang sama dengan S dan merupakan satu komplotan dengan target korban yang berbeda. Pembukaan rekening para pelaku dilakukan dalam waktu yang saling berdekatan. Selain itu, terdapat indikasi penggunaan KTP palsu untuk membuka rekening oleh pelaku penggelapan.
19
g.
Tindak pidana penyuapan 1)
Penggunaan travel cheque X seorang PNS Kehutanan melakukan pencairan TC dengan jumlah yang tidak sesuai dengan profil yang bersangkutan. Diketahui TC tersebut dibeli oleh Santi di Bank J atas nama PT JAYA. PT JAYA dan PT SUKA terkait aktivitas illegal logging.
2)
Penyuapan melalui transaksi jual beli tanah X (PNS Kehutanan) telah ditahan disuatu lembaga pemasyarakatan atas tindak pidana korupsi yang telah dia lakukan. Terdapat aliran dana kepada 3 orang pihak terkait dengan X berjumlah milyaran rupiah. Dana yang masuk ke ketiga rekening tersebut sebagian besar kemudian digunakan untuk transaksi jual beli tanah ke beberapa pihak. Dari aliran dana untuk ”pembelian tanah” tersebut terdapat aliran dana kepada Sdr. AB, Kepala LP tempat X dipenjara. Patut diduga transaksi jual beli tanah hanya sebuah kedok atas TP Penyuapan kepada pejabat LP dan kemungkinan telah terjadi mark up harga tanah.
3)
Pembayaran pencairan premi asuransi kepada pihak ketiga JJ menjabat sebagai Direktur di sebuah departemen. JJ membeli 2 (dua) polis asuransi berpremi tunggal pada PT AJ XX bulan Februari 2008 dengan total premi sebesar Rp7 milyar. Dana untuk membayar premi asuransi berasal dari rekening ybs di Bank A. JJ mencairkan premi asuransi tersebut dimana hasil pencairannya ditransfer ke rekening pihak ketiga yaitu SS di Bank yang sama. Melalui rekening SS, JJ melakukan pembelian SBI dan repo saham dengan jumlah besar yaitu sekitar Rp16 milyar. Asal dana pada rekening JJ adalah beberapa setoran tunai dan RTGS masuk dalam jumlah yang cukup besar.
4)
Pembayaran premi asuransi oleh pihak ketiga H seorang pejabat di sebuah Deartemen memilki polis asuransi berpremi tunggal pada PT Asuransi Jiwa ZZ (AJZZ) dengan premi sebesar Rp1,5 milyar. H bertindak sebagai pemegang polis sekaligus tertanggung atas polispolis tersebut. Asal dana untuk membayar premi adalah rekening pihak ketiga atas nama W di Bank N. Asal dana pada rekening W adalah dari S di bank yang sama namun cabang berbeda. W adalah pengusaha yang merupakan rekanan dari Depatemen yang dipimpin oleh H.
Beberapa modus tersebut di atas adalah merupakan modus yang sama terjadi pada tahun sebelumnya (2008), namun masih dapat ditemukan dalam kurun waktu tahun 2009 ini. Sampai dengan akhir Semester II Tahun 2009, telah disampaikan sebanyak 1.112 HA kepada Kapolri dan Kejagung. Dari 1.112 HA yang disampaikan kepada aparat penegak hukum, dapat dikelompokkan berdasarkan kasus atau tindak pidana asal sebagai berikut:
20
Laporan Tahunan
a. b. c. d.
PPATK 2009
e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.
2.
Korupsi 449 kasus atau 40,4 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Penggelapan 32 kasus atau 2,9 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Penipuan 348 kasus atau 31,3 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Kejahatan Perbankan 40 kasus, atau 3,6 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Pemalsuan Dokumen 30 kasus atau 2,7 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Teroris 22 kasus atau 2 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Penggelapan Pajak 7 kasus atau 0,6 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Perjudian 13 kasus atau 1,2 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Penyuapan 26 kasus atau 2,3 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Narkotika 39 kasus atau 3,5 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Pornografi Anak 4 kasus atau 0,4 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Pemalsuan Uang Rupiah 5 kasus atau 0,4 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Pencurian 2 kasus atau 0,2 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Penyelundupan 9 Kasus atau 0,8 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Pembalakan Liar 6 kasus atau 0,5 % dari jumlah seluruh hasil analisis. Tidak teridentifikasi/dll 54 kasus. atau 7,2 % dari jumlah seluruh hasil analisis.
Analisis
Pelaksanaan tugas analisis oleh Direktorat Riset dan Analisis (DRA) dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber informasi yang ada, baik dikelola secara internal (swadaya) ataupun informasi lainnya, yang dapat diperoleh oleh PPATK melalui mekanisme kerjasama antar lembaga baik didalam maupun di luar negeri. Bagan di bawah ini mengambarkan sumber informasi yang terdapat dalam data base untuk membantu proses analisis oleh analis PPATK: Bagan 1 Sumber-sumber Informasi dalam Database PPATK
INFORMASI PUBLIK FIU NEGARA LAIN
LTKM (STR)
DATABASE PPATK
INQUIRY KE PJK
LTKT (CTR)
MEDIA MASSA
LPUT (CBCC)
21
Hingga akhir tahun 2009, DRA telah berhasil menyelesaikan sebanyak 1.112 HA yang telah diolah dari 2.269 LTKM yang telah disampaikan oleh PJK kepada PPATK yang keseluruhan telah disampaikan oleh PPATK kepada aparat penegak hukum, dengan rincian: a.
Sebanyak 1.026 HA disampaikan kepada Kepolisian dan Kejaksaan; dan
b.
Sebanyak 86 HA disampaikan hanya kepada Kejaksaan;
Di antara HA yang disampaikan kepada Penyidik, selama tahun 2009 terdapat sebanyak 168 HA yang merupakan permintaan (inquiry) baik dari Kepolisian maupun Kejaksaan. Adapun jumlah HA yang disampaikan kepada aparat penegak hukum ini sejak tahun 2003 adalah sebagai berikut: (i) Tahun 2003: 24 HA; (ii) Tahun 2004: 212 HA; (iii) Tahun 2005: 111 HA; (iv) Tahun 2006: 86 HA; (v) Tahun 2007: 91 HA; (vi) Tahun 2008: 104 HA; dan (vii) Tahun 2009 (31 Des 2009): 484 HA. Grafik 1 Hasil Analisis PPATK yang Disampaikan kepada Penegak Hukum 1 20 0 10 26 1 00 0
80 0 HA
60 0 48 4
LTK M
376
40 0
3 14 234
212 20 0
1 44 111
1 44 86
91
20 06
20 07
10 4
24 31 0 200 3
20 04
20 05
20 08
20 09
Seluruh proses analisis yang dilakukan oleh analis PPATK akan menghasilkan 2 (dua) jenis output sebagai berikut: a.
HA yang diserahkan kepada aparat penegak hukum. HA yang diserahkan kepada aparat penegak hukum adalah HA yang berisi petunjuk mengenai adanya dugaan transaksi keuangan mencurigakan yang berindikasi TPPU dan/atau tindak pidana lainnya berdasarkan ketentuan Pasal 26 dan Pasal 31 UU TPPU.
b.
HA yang dimasukkan ke dalam database PPATK. Dari HA terhadap LTKM yang diterima dari PJK tidak/belum ditemukan adanya indikasi tindak pidana tertentu baik TPPU maupun tindak pidana asal. maka HA tersebut akan disimpan dalam database PPATK sampai diperoleh adanya informasi terkait tindak pidana tertentu. Seluruh data yang berada pada database PPATK akan membantu proses analisis berikutnya dalam hal memiliki keterkaitan dengan data yang akan dan/atau sedang di analisis.
22
Laporan Tahunan
Bagan 2 Proses Analisis oleh Analis PPATK PPATK 2009
PPATK PJK DATABASE VISUAL LINK
ANALSIS
TRACES
KPK
INQUIRY PJK
YES
NO FIU LUAR NEGERI
INSTANSI TERKAIT
ETC
OUTPUT POLRI / JPU
PERADILAN
III. PENGAWASAN KEPATUHAN PIHAK PELAPOR 1.
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM)
LTKM yang disampaikan oleh PJK kepada PPATK melalui cara online ataupun offline. Total LTKM (offline dan online) yang diterima oleh PPATK pada tahun 2009 dalam kurun waktu sejak Januari hingga tanggal 31 Desember adalah sebanyak 23.520 LTKM. LTKM yang diperoleh pada tahun 2009 ini mengalami peningkatan sebesar 125% apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2008 yaitu sejumlah 10.432 LTKM. Dengan adanya peningkatan penerimaan LTKM yang cukup signifikan pada periode tahun 2009 ini, maka secara total jumlah keseluruhan LTKM yang diterima oleh PPATK hingga tanggal 31 Desember 2009 menjadi sebanyak 46.576 LTKM, dengan rincian sebagaimana tertera dalam beberapa tabel berikut. Tabel 1 Rincian Jenis, Jumlah Pelapor dan LTKM
23
Tabel 2 Statistik LTKM yang Dilaporkan Bank Berdasarkan Kepemilikan
Tabel 3 Data LTKM yang Diterima Periode 2001 - 2009
2.
Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT)
Jumlah total LTKT yang diterima PPATK secara keseluruhan hingga tanggal 31 Desember 2009 adalah sebesar 7.173.292 laporan. Jumlah ini mengalami peningkatan sebanyak 786.022 atau sebesar 12,3% apabila dibandingkan jumlah LTKT yang diterima oleh PPATK pada periode yang sama tahun 2008 yaitu sebanyak 6.387.270. Untuk jumlah PJK Pelapor LTKT pada tahun 2009 sebanyak 326 PJK tercatat telah melaporkan LTKT baik online ataupun manual (paper, disket dan CD). Jumlah ini mengalami peningkatan 62 PJK atau sebesar 23,5% dari jumlah PJK pelapor LTKT tahun 2008 yang hanya sebanyak 264 PJK.
Laporan Tahunan
24
Tabel 4 Laporan Ttransaksi Keuangan Tunai (LTKT) PPATK 2009
Tabel 5 Perkembangan Jumlah Total LTKT Per Bulan Periode Januari - Desember 2009
3.
Laporan Pembawaan Uang Tunai (LPUT)
Perkembangan jumlah LPUT secara keseluruhan hingga bulan Desember 2009 mengalami peningkatan sebanyak 1079 LPUT atau sebesar 35,8% apabila dibandingkan jumlah LPUT pada periode yang sama tahun 2008 yaitu sebanyak 3.014 LPUT.
25
Untuk jumlah pelabuhan yang melaporkan LPUT pada tahun 2009 terdapat penambahan 1 (satu) pelabuhan yang melaporkan LPUT, yaitu pelabuhan Teluk Nibung Medan. Tabel 6 Laporan Pembawaan Uang Tunai
Tabel 7 Jumlah Total LPUT Per Bulan Periode Januari - Desember 2009
Jakarta, 17 Juni 2009: Workshop Penyusunan Renstra PPATK 2010-2014
Laporan Tahunan
26
IV. PEMBERDAYAAN HUKUM DAN REGULASI PPATK 2009
Direktorat Hukum dan Regulasi (DHR) mempunyai tugas penelaahan dan penyusunan peraturan perundang-undangan dan pemberian nasehat hukum serta pengawasan serta urusan yang berkaitan dengan hukum dan peraturan dan perundang-undangan, baik mengenai tindak pidana pencucian uang maupun masalah lainnya yang terkait. Sehubungan dengan tugas dan fungsi DHR, maka di dalam rencana kerja tetap memasukkan kegiatan sosialisasi yang memiliki tujuan untuk menyamakan persepsi baik di kalangan aparat penegak hukum, PJK, new reporting parties, akademisi bahkan masyarakat umum (yang mana diwakilkan oleh Pemerintah Daerah setempat), akan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Sejalan dengan rencana kerja DHR tersebut, tahun 2009 sebenarnya diharapkan menjadi “tahun terakhir” untuk Rancangan Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (RUU PP-TPPU) berada di badan legislatif. Namun karena banyaknya hambatan yang timbul dalam pencapaian tujuan tersebut, sehingga sampai dengan akhir masa jabatan anggota DPR Tahun 2004-2009, RUU PP-TPPU masih belum dapat disahkan menjadi Undang-undang. Dalam hal ini, DHR yang diserahi tugas untuk ”mengawal” penyusunan RUU PP-TPPU tersebut telah melakukan berbagai usaha untuk mendorong pembahasan dan pengesahan RUU PP-TPPU tersebut oleh DPR periode Tahun 2004-2009. Di samping itu, Peraturan Pelaksanaan dari RUU PP-TPPU tersebut telah disusun dan demikian juga rancangannya sudah disempurnakan sehingga apabila RUU TPPU disahkan oleh DPR maka tidak memerlukan waktu yang lama untuk melakukan pembahasan Peraturan Pelaksanaan dari RUU PPTPPU dimaksud. Selain itu, DHR juga memfokuskan kegiatan pada penyusunan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) yang sangat erat kaitannya dengan upaya pencegahan dan pemberantasan TPPU. Dan maraknya penumpasan kegiatan terorisme di Indonesia oleh aparat penegak hukum, meskipun dari satu sisi dipandang telah cukup berhasil ditangani, akan tetapi di sisi lain masih ada yang perlu dibenahi terutama aspek pendanaan kegiatan terorisme. Untuk itu, PPATK telah mengajukan usulan kepada Pemerintah untuk menyusun Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (RUU TPPT). Sedangkan kegiatan lainnya diisi dengan aktivitas pemberian pendapat hukum (legal opinion), kajian hukum, pemberian keterangan ahli baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun pengadilan, serta penyelenggaraan workshop/seminar hukum. Adapun rincian kegiatan selama periode laporan tahun 2009 dapat diuraikan sebagai berikut : 1.
Sosialisasi Rezim Anti Pencucian Uang
Sosialisasi rezim anti pencucian uang terus menerus diselenggarakan di beberapa kota besar di Indonesia. Penentuan kota-kota tujuan sosialisasi dilihat dari kebutuhan informasi umum akan rezim anti pencucian uang dan implementasi UU
27
TPPU. Tujuan dari kegiatan ini agar adanya persamaan persepsi akan UU TPPU baik dikalangan aparat penegak hukum, PJK, new reporting parties, akademisi bahkan masyarakat umum. Kegiatan sosialisasi rezim anti pencucian uang bagi PJK, aparat penegak hukum, akademisi dan masyarakat telah diselenggarakan di kota Makassar, Kupang dan Bangka Belitung. Selain itu, dilaksanakan pula sosialisasi rezim anti pencucian uang kepada PJK sebagai hasil kerjsa sama antara PPATK dengan Bank Indonesia (BI) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Manado dan Banjarmasin. PPATK dalam melaksanakan sosialisasi rezim anti pencucian uang juga melakukan kerjasama dengan Bank Indonesia, Kehakiman, Kejaksaan, Kepolisian, Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, Pemerintah Daerah setempat dan juga universitas. Selain itu dilaksanakan pula workshop tentang Pengungkapan dan Pembuktian Perkara Pidana Melalui Penelusuran Hasil Kejahatan dan workshop tentang Penerapan Pasal 8 UU TPPU Terhadap Penyedia Jasa Keuangan. Kegiatan workshop ini menghasilkan rekomendasi untuk dapat diimplementasikan oleh instansi terkait. 2.
Analisis Hukum 2.1 Melakukan Anotasi Putusan Putusan terkait perkara TPPU sampai dengan akhir tahun 2009, berdasarkan inventarisasi yang telah dilakukan terdapat 26 (duapuluh enam) putusan sebagai berikut : Tabel 8 Putusan Perkara TPPU
Laporan Tahunan
28
PPATK 2009
Dari putusan-putusan tersebut di atas, telah dihasilkan 8 (delapan) anotasi putusan, yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h.
Kasus Anastasia Kusmiati Pranoto. Kasus Lukman Hakim. Kasus Tonny Chaidir Martawinata. Kasus Herry Robert. Kasus Jasmarwan. Kasus Ie Mien Sumardi. Kasus Hendri Susilo. Kasus Vincentius Amin Sutanto.
29
2.2 Memberikan Asistensi di Bidang TPPU Kegiatan ini pemberian asistensi dilakukan kepada berbagai pihak, yang dalam hal ini adalah aparat penegak hukum, PJK, profesi bahkan masyarakat umum, akan interpretasi suatu pasal yang terdapat dalam UU TPPU dan palaksanaanya di lapangan. 2.3 Memberikan Keterangan ahli Sampai dengan akhir tahun 2009, PPATK telah memberikan bantuan kepada aparat penegak hukum terkait dengan keterangan ahli. Jumlah permintaan pemberian keterangan ahli terkait TPPU meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun, yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan jumlah putusan pengadilan terkait TPPU. Adapun rincian pemberian keterangan ahli terkait TPPU kepada Kepolisian sebagai berikut: Tabel 9 Permintaan Pemberian Keterangan Terkait TPPU
Laporan Tahunan
30
3. PPATK 2009
Peraturan Perundang-undangan 3.1 Rancangan Amandemen Undang-undang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Penyusunan RUU Amandemen UU TPPU merupakan salah satu Program Legislasi Nasional DPR 2004-2009, bahkan RUU Amandemen UU TPPU merupakan RUU Prioritas Tahun 2005, 2006 dan 2007. RUU yang naskah awalnya disiapkan oleh PPATK tersebut telah disampaikan oleh Presiden ke DPR pada tanggal 10 Oktober 2006 dengan Surat Nomor R.89/Pres/10/2006. Setelah RUU tersebut disampaikan secara resmi ke DPR, PPATK terus mendorong dilakukannya pembahasan RUU Amandemen UU TPPU. Dalam rangka pembahasan RUU di DPR, PPATK terus melakukan kajian terhadap RUU Amandemen UU TPPU, salah satunya dengan melakukan “pemetaan” dan inventarisasi permasalahan-permasalahan krusial dalam RUU dan menyiapkan usul atau rekomendasi penyempurnaan RUU yang akan disampaikan dalam pembahasan RUU tersebut di DPR. Sehubungan dengan hal tersebut, berikut disampaikan tanggapan beberapa fraksi menyangkut isu-isu krusial dalam RUU Amandemen TPPU yaitu: Perluasan Reporting Parties. Penyelidikan oleh PPATK. Penyempurnaan rumusan kriminalisasi perbuatan pencucian uang dan TP lainnya yang berkaitan dengan TPPU. d) De-kriminalisasi pelanggaran pembawaan uang tunai terkait Sanksi Administrasi Pelanggaran pembawaan uang tunai. e) Pemberian kewenangan pada PJK untuk menunda Transaksi selama 5 hari atau memutuskan hubungan usaha dengan pengguna jasa. f) Multi investigator Money Laundering. g) Penanganan harta kekayaan (Asset Recovery). h) Asset Sharing. i) Perlindungan terhadap Pelapor dan Saksi TPPU. j) Pengusulan Kepala dan Wakil Kepala PPATK. k) Syarat untuk dapat diangkat menjadi Kepala dan Waka PPATK. l) Masa Jabatan Kepala dan Waka PPATK. m) Pimpinan sebagai Pejabat Negara. n) Kepala PPATK sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian. o) Organisasi dan Manajemen SDM PPATK. a) b) c)
Adapun catatan perjalanan RUU tersebut dapat dirinci sebagai berikut : a)
Amandemen UU TPPU merupakan salah satu Program Legislasi Nasional Tahun 2004-2009. Bahkan RUU Amandemen UU TPPU merupakan RUU Prioritas Tahun 2005, 2006 dan 2007.
b)
RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang naskah awalnya disiapkan oleh PPATK, telah disampaikan oleh Presiden ke DPR pada tanggal 10 Oktober 2006. Pada tanggal 27 Juni 2007 telah dilakukan rapat (Pembicaraan Tingkat I) membahas RUU PP- TPPU. Dalam rapat tersebut Menteri Hukum dan HAM menyampaikan Keterangan Pemerintah yang kemudian dikuti dengan penyampaian pandangan fraksi-fraksi (10 fraksi) di Komisi III DPR terhadap RUU PPTTPU yang merupakan inisiatif Pemerintah. Secara umum seluruh fraksi menyatakan dukungan dan kesiapan untuk membahas RUU dimaksud.
31
32
c)
Seiring dengan tersusunnya kompilasi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU PP-TPPU, pada tanggal 4 Mei 2009 telah dilakukan rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Menteri Hukum dan HAM guna membahas permasalahan yang cukup krusial dalam DIM yang disampaikan oleh fraksi-fraksi. Dalam rapat tanggal 4 Mei 2009 tersebut, juga disepakati untuk menyerahkan pembahasan RUU tersebut kepada Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk di Komisi III DPR.
d)
Meskipun Panja RUU telah melakukan studi banding ke Swiss dan Rusia, Panja “tidak sempat” mengagendakan dan mengundang Pemerintah (termasuk PPATK) untuk membahas DIM yang telah disusun oleh seluruh fraksi. Hingga berakhirnya masa tugas DPR Periode 2004-2009, RUU PP-TPPU ini tidak kunjung dibahas dan disahkan sehingga seluruh proses pembahasan RUU harus dimulai dari awal kembali seiring dengan telah dilantik dan terbentuknya alat kelengkapan DPR Periode 2009-2014.
e)
Dengan mengambil pelajaran dan hikmah dari kendala-kendala yang mucul dan menghambat pengesahan RUU PP-TPPU oleh DPR periode 2004-2009, PPATK menginisiasi dilakukannya evaluasi dan penyempurnaan sebelum RUU tersebut disampaikan kembali oleh Presiden kepada DPR yang baru. Wacana perlunya penyempurnaan RUU semakin menguat dengan adanya rekomendasi hasil APG (Asian Pasific Group on Money Laundering) ME (Mutual Evaluation) terhadap Indonesia yang diadopsi atau disahkan pada bulan Juli 2008, atau disahkan setelah RUU ada di DPR. Momentum penyempurnaan atau evaluasi terhadap RUU PP-TPPU dalam konteks ME APG ini perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dengan memasukkan beberapa point rekomendasi yang relevan, sehingga Undang-undang ini kelak akan memenuhi standar internasional. Di samping itu, evaluasi dan penyempurnaan RUU PP-TPPU perlu dilakukan untuk memastikan, bahwa UU ini kelak akan efektif dalam membantu mewujudkan stabilitas perekonomian, menjaga integritas lembaga keuangan dan mendukung upaya penegakan hukum.
f)
Inisiatif PPATK tersebut dapat diterima dan disambut baik oleh Menteri Hukum dan HAM serta instansi terkait lainnya seperti Bank Indonesia, BAPEPAM-LK dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, Departemen Luar Negeri, Sekretariat Negara, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, POLRI, dan Kementerian Negera Pendayagunaan Aparatur Negara. Sejak itu, mulailah dilakukan pembahasan untuk penyempurnaan RUU PP-TPPU.
g)
Pembahasan pertama dilakukan pada tanggal 23-25 November 2009 di Hotel Salak, sedangkan pembahasan kedua dilakukan pada tanggal 30 November sampai dengan 2 Desember 2009 yaitu di Hotel Sahira (Bogor). Sebagai penutup dari rangkaian kegiatan evaluasi dan penyempurnaan RUU ini, maka pada tanggal 7 Desember 2010 P PAT K m e n y e l e n g g a r a k a n S e m i n a r N a s i o n a l g u n a mensosialisasikan RUU PP-TPPU hasil pembahasan di Bogor tersebut.
h)
Lingkup penyempurnaan RUU yang terdiri atas aspek teknis penyusunan peraturan perundang-undangan (legal drafting) dan aspek materi atau substansi, antara lain:
Laporan Tahunan
1) PPATK 2009
2) 3) 4)
5)
Perluasan pengertian harta kekayaan terkait pendanaan terorisme hingga mencakup harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme; Penurunan batas minimun (threshold) pidana penjara yang dapat dijatuhkan, dari semula 5 (lima) atau 4 (empat) tahun menjadi 1 (satu) tahun; Penyesuaian “list reporting parties” seperti penghapusan profesi Kurator Kepailitan dari daftar profesi yang wajib menyampaikan kepada PPATK; Pengukuhan penerapan prinsip “Mengenali Pengguna Jasa”, yang dimaknai sebagai Customer Due Dilligence (CDD), dimana pihak pelapor wajib menerapkan prinsip CDD pada saat: (i) melakukan hubungan usaha dengan Pengguna jasa; (ii) terdapat transaksi dalam jumlah paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan/atau mata uang asing yang setara; (iii) terdapat Transaksi Keuangan Mencurigakan yang terkait tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan kegiatan teroris; atau (ii) Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Pengguna Jasa. Terkait pelaporan, PJK wajib menyampaikan laporan kepada PPATK, tidak hanya Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) dan Transaksi Keuangan Tunai (TKT) tetapi juga melaporkan transaksi transfer dana dari dan ke luar negeri.
Jakarta, 9 Juni 2009: Workshop Pengungkapan dan Pembuktian Perkara Pidana Melalui Penelusuran Hasil Kejahatan
33
6)
Penataan pengawasan atau audit kepatuhan, dimana pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelaporan bagi PJK dilakukan oleh Lembaga Pengawas dan Pengatur dan/atau PPATK. Lembaga Pengawas dan Pengatur lebih diutamakan untuk melakukan pengawasan kepatuhan atas kewajiban pelaporan Pihak Pelapor kepada PPATK. Namun karena dalam hal ini belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur dari Pihak Pelapor, maka pengawasan kepatuhan pelaporan dilakukan oleh PPATK. 7) Pemberian kewenangan kepada Pihak Pelapor untuk menunda mutasi atau pengalihan Harta Kekayaan dalam hal : (i) Pengguna Jasa melakukan transaksi yang patut diduga menggunakan Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana; (ii) memiliki rekening untuk menampung Harta Kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana; dan (iii) diketahui menggunakan dokumen palsu. 8) Perluasan pelaporan pembawaan uang tunai lintas batas negara (CBCC) hingga mencakup Bearer Negotiable Instrument (BNI); 9) Penyempurnaan rumusan mengenai hukum acara; dan 10) Penyempurnaan beberapa rumusan terkait kelembagaan PPATK seperti penghapusan Deputi kerena dinilai sudah include dalam pengertian jabatan struktural yang dinyatakan dalam RUU PPTPPU. Pencantuman Deputi dalam RUU ini hanya akan menimbulkan kendala penyusunan struktur organisasi PPATK berdasarkan UU ini kelak. i)
Penyempurnaan atau evaluasi terhadap RUU PP-TPPU dilakukan dengan memperhatikan perkembangan peraturan perundangundangan khususnya yang diundangkan setelah RUU PP-TPPU diserahkan oleh Presiden ke DPR pada tanggal 10 Oktober 2006, antara lain: 1)
2) 3) 4) 5)
6) j)
Secara umum, jangkauan atau arah pengaturan dalam RUU PP-TPPU mencakup 5 (lima) hal utama, yaitu: 1) 2)
34
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC), 2000 (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi, 2000); dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Memperluas deteksi TPPU; Menghindari keragaman penafsiran dan/atau menutup “celah hukum” (loopholes);
Laporan Tahunan
3) PPATK 2009
4) 5) k)
Memperluas jangkauan aparat penegak hukum dalam penanganan TPPU; Menata hubungan dan kewenangan dari pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan rezim anti pencucian uang; dan Memperkuat kelembagaan PPATK.
Adapun tujuan dari penyusunan RUU PP-TPPU sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5)
Memperkuat rezim anti pencucian uang di Indonesia; Mendukung dan meningkatkan efektifitas upaya penegakan hukum; Memberikan dasar yang kuat dan kemudahan dalam pentrasiran dan penyitaan aset hasil tindak pidana sehingga menimbulkan efek jera bagi pelakunya; Menyesuaikan dengan standar internasional yang telah mengalami perubahan dan selalu berupaya mengikuti international best practice; Meningkatkan kepercayaan masyarakat baik dalam maupun luar negeri terhadap penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam kasus-kasus TPPU.
l)
RUU PP-TPPU telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010- 2014 yang disahkan oleh DPR pada tanggal 1 Desember 2009. Bahkan RUU ini menjadi salah satu RUU Prioritas Tahun 2010 (No. 45). Harapan dilakukannya pembahasan dan Pengesahan RUU pada tahun 2010 semakin meningkat karena salah satu butir kesimpulan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan PPATK tanggal 2 Desember 2009 juga menyebutkan perlu segera dilakukannya perubahan terhadap UU TPPU.
m)
Pada bulan November dan Desember 2009, dalam tahap penyempurnaan RUU PP-TPPU tersebut, PPATK telah mengadakan rapat antar departemen antara lain dengan Departemen Keuangan (Dit. Jend Bea Cukai, BAPEPAM-LK, Biro Hukum), Bank Indonesia, Sekretariat Negara, Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Departemen Luar Negeri serta instansi terkait lainnya.
n)
Selain itu, untuk mendorong pengesahan RUU PP-TPPU, maka pada tanggal 7 Desember 2009, PPATK bekerjasama dengan National Legal Reform Program (NLRP) telah menyelenggarakan Seminar Nasional yang dihadiri oleh PJK, Aparat Penegak Hukum, Profesi, dan Akademisi. Paparan yang disampaikan oleh 7 (tujuh) orang pembicara/narasumber, yaitu: 1) Akademisi, Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Prof. Dr. M. Arief Amrullah dengan makalah berjudul “Politik Hukum Pidana Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang”; 2) Wakil Direktur Direktorat II Bareskrim Polri, Kombes Pol Heru Winarko yang dalah hal ini mewakili Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, dengan makalah berjudul “Proses Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang”; 3) Ketua Tim Pembaharuan Kejaksaan, Halius Hosein, dengan makalah berjudul “Tanggapan Terhadap RUU TPPU”;
35
Jakarta, 7 Desember 2009: Seminar Pembahasan dan Pengesahan RUU TPPU
4) Ketua Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI, Dr. Syarifudin dengan makalah berjudul “Kebijakan Penal Dalam Penanggulangan TPPU”; 5) Kepala Biro Perundang-undangan Bapepam-LK Departemen Keuangan, Robinson Simbolon yang dalam hal ini mewakili Ketua Bapepam-LK, dengan presentasi yang berjudul “Beberapa Catatan atas RUU PP TPPU”; 6) Kepala Biro Direktorat Pengawasan dan Pengaturan Bank Indonesia, Ibu Narni; serta 7) Direktur Kepatuhan BTPN, Anika Faisal dengan presentasi berjudul “Seminar Nasional RUU TPPU ”. Berdasarkan uraian pembicara/narasumber di atas, dan tanggapan serta saran dari para peserta, maka terhadap permasalahanpermasalahan yang diangkat dalam seminar ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Amandemen UU TPPU sangat diperlukan untuk memperkuat rezim anti pencucian uang di Indonesia; 2) RUU telah memenuhi standar internasional dan harapan yang melatarbelakangi penyusunan RUU. Namun demikian, perlu terus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang terkait;
36
Laporan Tahunan
PPATK 2009
3) Ketentuan Penyelidikan yang diatur dalam RUU, memberikan kewenangan penyelidikan kepada PPATK, dengan demikian diperlukan kesiapan SDM PPATK yang baik, serta sarana dan prasarana yang baik pula untuk dapat menunjang kewenangan penyelidikan dimaksud. 4) Pemberian kewenangan penyidikan TPPU kepada penyidik tindak pidana asal akan menciptakan multi-investigators system yang akan lebih mempermudah dalam mengkaitkan antara perkara TPPU itu sendiri dengan perkara pokok yang sedang disidik oleh instansi yang bersangkutan, sehingga koordinasi tidak memakan waktu yang lebih panjang dan sangat memudahkan Jaksa dalam melakukan pembuktian di Pengadilan. 5) Untuk mengejar hasil-hasil kejahatan pencucian uang seperti aset hasil korupsi, perlu diperkenalkan suatu aturan yang mengatur penyitaan aset secara perdata atau pidana dengan hukum acara khusus, misalnya dengan menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian mengenai Harta Kekayaan yang berasal dari tindak pidana korupsi atau pencucian uang kepada terdakwa. 6) Sistem dan mekanisme pembalikan beban pembuktian perlu dimuat dalam Penjelasan Pasal 84 RUU PP-TPPU, dimana merupakan kewajiban bagi terdakwa untuk membuktikan bahwa Harta Kekayaan bukan berasal dari kejahatan, dan penuntut umum tetap mempunyai kewajiban untuk membuktikan kebenaran dakwaannya.
Jakarta, 26 Februari 2009: Workshop Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Penyedia Jasa Keuangan (PJK) yang Tidak Patuh
37
7) Perihal Perlindungan Saksi dan Korban, dimana telah diatur dalam Pasal 92 dan Pasal 94, namun perlu satu pasal penghubung antara Undang-undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU (manakala sudah menjadi Undangundang) dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, agar terjadi harmonisasi. 8) Dalam RUU PP-TPPU belum mencantumkan perlindungan hukum terhadap korban nyata atau korban langsung. 9) Terhadap ketentuan mengenai Pembawaan Uang Tunai sudah disinkronkan dengan instansi terkait yaitu Bea Cukai dan Bank Indonesia. 10) Bagi PJK yang tidak/belum memiliki Lembaga Pengawas dan Pengatur, maka pengawasan dan pengaturan ada pada PPATK, dan diatur lebih lanjut dalam ketentuan PPATK. 11) Ketentuan mengenai penerapan prinsip mengenali pengguna jasa atau customer due diligence (CDD) perlu dikukuhkan pengaturannya dalam UU. Untuk itu, regulator dan industri/PJK telah mendukung mengukuhan prinsip mengenali pengguna jasa. l2) Penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (CDD) harus menyeluruh pada setiap PJK. Berdasarkan hasil diskusi kelompok yang terdiri atas: (i) Sesi Aparat Penegak Hukum dan (ii) Sesi PJK telah disepakati butir-butir rekomendasi seminar sebagai berikut: Aparat Penegak Hukum 1) Dalam RUU PP-TPPU agar mencantumkan perlindungan hukum terhadap korban nyata atau korban langsung, sebagai perlindungan terhadap masyarakat agar tidak menjadi korban, yang ditandai dengan ancaman pidana yang tinggi. 2) Perlu dipertimbangkan penjatuhan pidana denda yang dikumulatifkan dengan pidana penjara atau kurungan atau perampasan aset, sehingga akan menutup celah bagi pelaku untuk menghitung untung rugi. 3) Dalam RUU PP-TPPU perlu pula diatur kewenangan penyelidik tindak pidana asal terhadap TPPU. 4) Terkait Ahli, pemberian keterangan ahli ke depan dapat dilakukan oleh lembaga seperti Perguruan Tinggi, pakar-pakar hukum, dan lain-lain yang memiliki kualifikasi sebagai ahli. 5) Terkait jangka waktu dalam Undang-undang ini, akan disesuaikan. 6) Terkait ketentuan Pasal 83 RUU PP-TPPU, akan diatur lebih jelas mengenai penyerahan berkas perkara oleh Penuntut Umum ke Pengadilan. 7) Terkait ketentuan Pasal 86 RUU TPP, akan diatur lebih jelas dalam penjelasan, dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan. 8) Terkait ketentuan mengenai sistem dan mekanisme pembalikan beban pembuktian akan diatur lebih jelas sehingga tidak ada multitafsir. 9) Terkait ketentuan mengenai in absentia, akan disinkronkan dengan Undang-undang yang ada di Mahkamah Agung. 10) Terkait ketentuan mengenai Pembawaan Uang Tunai, sudah dilakukan sinkronisasi dengan instansi terkait yaitu Bea Cukai dan Bank Indonesia.
38
Laporan Tahunan
11) Diperlukan penambahan fungsi monitoring pada PPATK yang dibedakan dari fungsi pelaporan. PPATK 2009
Penyedia Jasa Keuangan Perlu segera disiapkan peraturan pelaksana, yang selanjutnya dibahas dengan melibatkan regulator dan industri/PJK. 3.2 Rancangan Undang-undang Perampasan Aset Sebagaimana diketahui, Indonesia pada saat ini sedang menyusun RUU Perampasan Aset. Penyusunan RUU tersebut dimaksudkan memperkuat sistem hukum yang memungkinkan dilakukannya pengembalian aset hasil tindak pidana tanpa putusan pengadilan dalam perkara pidana. Dengan mekanisme ini diharapkan terbuka kesempatan yang luas untuk merampas segala aset yang diduga merupakan hasil pidana (proceed of crimes) dan aset-aset lain yang patut diduga akan digunakan atau telah digunakan sebagai sarana (instrumentalities) untuk melakukan tindak pidana, khususnya yang termasuk dalam kejahatan lintas Negara yang terorganisir (transnational organized crime) maupun kejahatan-kejahatan yang ancaman pidana penjaranya 4 (empat) tahun atau lebih. Penyusunan RUU Perampasan Aset ini merupakan tindak lanjut dari ratifikasi konvensi internasional yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun 2003 (United Nation Convension Against Corruption/UNCAC, 2003) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006, dan Konvensi PBB Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisir (United Nations Convention Against Transnational Organized Crimes/UN-CATOC) yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2009. Kedua konvensi tersebut menekankan pentingnya negara pihak (state party) untuk mengatur secara khusus perampasan aset hasil kejahatan tanpa putusan pengadilan dalam perkara pidana. Penyusunan RUU tersebut sejalan dengan rekomendasi ke-3 Financial Action Task Force (FATF) atau Revised 40+9 Recommendations, yang merupakan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan TPPU. Di samping itu, penyusunan RUU tersebut juga sejalan dengan Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Tahun 2007-2011 yang peluncurannya dilakukan secara langsung oleh Presiden RI pada tanggal 17 April 2007. Strategi Nasional dengan tegas menyatakan perlunya pengefektifan penerapan penyitaan aset (asset forfeiture) dan pengembalian aset (asset recovery). Penyusunan RUU Perampasan Aset dilakukan oleh sebuah Panitia yang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM. Panitia tersebut beranggotakan wakil dari instansi-instansi terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan, KPK, PPATK, Deplu, Depkeu, Kantor Meneg PAN, Setneg, dan Depkumham sebagai ”focal point”. Dalam rangka penyusunan RUU tersebut, Panitia juga telah melakukan serangkaian diskusi di dalam negeri dengan pakar dari Amerika Serikat, Perancis, Colombia, Swiss, Inggris (UK) serta Expert dari StAR Inisiative World Bank. Hal-hal penting yang perlu diinformasikan sehubungan dengan penyusunan RUU Perampasan Aset dimaksud sebagai berikut:
39
Jakarta, 4 September 2009: Knowledge Sharing Indentifikasi Transaksi keuangan yang Mencurigakan
a.
40
Dalam rangka melaksanakan salah satu program (No.5) dari Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan TPPU Tahun 2007-2011, Panitia telah menyusun draft awal RUU tentang Perampasan Aset berikut konsep Naskah Akademiknya. PPATK kemudian mendorong pencantuman RUU tentang Perampasan Aset sebagai salah satu RUU Prioritas Prolegnas tahun 2008 dan disetujui oleh DPR pada tanggal 4 Oktober 2007. Sejauh ini Tim dibawah kepemimpinan Kepala PPATK belum melakukan studi komparatif ke negara lain. Namun dari serangkaian hasil diskusi dan studi literatur Tim mencoba mencari bentuk yang terbaik dan acceptable untuk diterapkan di Indonesia. Adapun garis besar RUU ini sebagai berikut: 1.
Perampasan asset menurut RUU ini hanya dapat dilakukan dalam hal penuntutan dan perampasan aset secara pidana tidak mungkin dilakukan baik karena tersangka/terdakwanya meninggal dunia, melarikan diri, sakit permanen, tidak diketahui keberadaannya, atau alasan lain atau gagal dilakukan baik karena putusan lepas dari tuntutan hukum atau di dalam putusannya tidak mencantumkan diktum merampas harta kekayaan yang menjadi objek perampasan aset.
2.
Permohonan perampasan aset tetap dapat dilakukan sekalipun dalam perkara pokoknya penyidikan dan atau penuntutannya dihentikan atau terdakwa dinyatakan bebas sepanjang Negara dalam gugatannya dapat mengajukan bukti yang cukup bahwa aset yang digugat merupakan objek perampasan asset sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Laporan Tahunan
3.
Beberapa ketentuan lain yang diatur dalam RUU Perampasan Aset antara lain mengenai : (i) objek perampasan aset yang cukup luas dan menjangkau berbagai tindak pidana serius dan TOC; (ii) ketentuan mengenai penelusuran aset; (iii) pemblokiran dan penyitaan dalam rangka perampasan aset; (iv) hak pihak ketiga yang beriktikad baik; (v) pembalikan beban pembuktian (reverse burden of proof); (vi) hukum acara dan sistem pembuktian; (vii) ketentuan berlaku surut (retroactive atau retrospective principle); dan (viii) untuk pelaksanaan pengelolaan aset akan dibentuk Lembaga Pengelola Aset.
4.
Dalam RUU ini juga perlu diatur ketentuan mengenai kerjasama internasional dan konsep bagi hasil (asset sharing) bagi instansi atau negara lain yang terlibat dalam proses asset recovery.
PPATK 2009
b.
c.
Status perkembangan terakhir penyusunan RUU Perampasan Aset sebagai berikut: 1.
RUU ini sudah 2 (dua) kali disosialisasikan kepada publik, yaitu pertama diadakan di Jakarta pada tanggal 3 Agustus 2009. Adapun yang menjadi pembahas adalah Feri Wibisono (Direktur Penuntutan KPK) dan Tyas Muharto (Kejaksaan Agung RI). Sedangkan Narasumber adalah Prof. Mardjono Reksodiputro (Guru Besar FH-UI dan Wakil Ketua Komisi Hukum Nasional). Sosialisasi kedua tanggal 28 Oktober 2009 di Hotel Bumi Surabaya, yang diselenggarakan atas kerjasama antara Depkumham dengan NLRP. Adapun yang menjadi pembahas adalah Prof. Dr. Didik Endro Purwoleksono, S.H.,M.H. (Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya) dan Prof. Masruhin Rubai, S.H.,M.S. (Guru Besar FH Univ. Brawijaya Malang). Sedangkan Narasumber adalah Djoko Sarwoko, (Ketua Muda MA Bidang Pidana Khusus).
2.
RUU tentang Perampasan Aset telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010-2014. RUU Perampasan Aset bukan merupakan RUU Prioritas Tahun 2010, dengan maksud memberikan kesempatan kepada Pemerintah untuk memperdalam dan melakukan studi komparatif mengenai praktik Non Conviction Based (NCB) Forfeiture yang efektif di negara lain.
3.
Pada bulan November 2009, PPATK juga telah mengadakan Expert Group Discussion, dengan menghadirkan Narasumber dari Amerika Serikat (Linda Samuel) dan Belanda (Prof. Peter Tak).
Dalam penyusunan RUU Perampasan Aset juga dilakukan kerjasama antara PPATK dan NLRP berupa: 1.
Melakukan pedalaman masalah NCB Forfeiture dan melakukan uji publik dengan menyelenggarakan seminar, diskusi atau workshop di Jakarta dan daerah dengan melibatkan perguruan tinggi; dan
2.
Memfasilitasi pelaksanaan “studi komparatif” ke Inggris dan Belanda dengan melibatkan instansi terkait.
41
3.3 Rancangan Undang-undang tentang Pencegahan dan Pendanaan Terorisme Penyusunan RUU tentang Pendanaan Terorisme dilatarbelakangi oleh realitas, bahwa upaya penanggulangan tindak pidana terorisme tidak akan optimal tanpa diikuti dengan upaya pencegahan dan pemberantasan terhadap pendanaan terorisme. Sebagai negara yang beberapa kali mengalami serangan terorisme, kita perlu memperluas jangkauan upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme dengan upaya memutus ”mata rantai” atau alur pendanaan terorisme disamping melakukan upaya-upaya untuk menangkap dan menghukum secara fisik para teroris. Penyusunan RUU Pendanaan Terorisme juga dilatarbelakangi oleh masih minimnya pemenuhan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan pendanaan kegiatan terorisme sebagaimana tercermin dalam laporan hasil APG Mutual Evaluations terhadap Indonesia yang disahkan (adopted) pada Pleno Sidang Tahunan APG tanggal 9 Juli 2008 di Bali. Dari 9 (sembilan) rekomendasi khusus (Special Recommendations) pendanaan terorisme yang dikeluarkan oleh FATF, Indonesia sama sekali tidak memperoleh LC (Largely Compliant) apalagi C (Compliant). Dalam laporan hasil APG ME disebutkan, bahwa ketentuan mengenai tindak pidana pendanaan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Anti Terorisme belum sejalan dengan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999 (International Convention for the Suppression of the Financing of Terorism, 1999) yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2006. Laporan hasil APG ME juga memuat rekomendasi antara lain:
42
a)
Undang-Undang Anti Terorisme harus diamandemen guna menghilangkan kesan adanya persyaratan bahwa tindak pidana pendanaan terorisme harus dikaitkan dengan aksi terorisme tertentu;
b)
Undang-Undang Anti Terorisme perlu diamandemen agar mencakup penjatuhan hukuman yang efektif, proporsional dan preventif, termasuk hukuman denda bagi subyek hukum perorangan dan hukuman administratif yang efektif bagi korporasi;
c)
Harus dipastikan bahwa ketimpangan yang terjadi terkait dengan ketentuan mengenai tanggung jawab pidana korporasi dapat diatasi;
d)
Pelaku tindak pidana pendanaan terorisme harus dimintakan pertanggunganjawabnya, dimana pihak yang berwenang dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi sebuah pendekatan dimana seluruh dakwaan tentang tindak pidana pendanaan terorisme ini harus berupa Dakwaan Kumulatif yang memerlukan satu putusan khusus untuk tindak pidana pendanaan terorisme; dan
e)
Pihak yang berwenang harus menerapkan tindak pidana pendanaan terorisme untuk menuntut dan menghukum pelaku pendanaan terorisme yang dilakukan oleh kelompok-kelompok teroris dan individu yang keberadaannya telah diidentifikasi di Indonesia.
Laporan Tahunan
PPATK 2009
Di samping memenuhi konvensi, standar intenasional dan rekomendasi laporan hasil APG ME sebagaimana tersebut di atas, penanganan masalah pendanaan terorisme sangat penting dan mendesak mengingat berbagai aksi terorisme yang terjadi di tanah air. Aksi-aksi terorisme tersebut terjadi karena adanya dukungan dana yang memadai baik untuk biaya pembuatan bom, biaya operasional ataupun biaya hidup anggota jaringan teroris. Karena itu Pemberantasan terorisme harus disertai juga dengan pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme dengan mengejar sumber uangnya (follow the money). Draft awal (initial draft) RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme telah disiapkan oleh Tim Antardep dari PPATK, Departemen Hukum dan HAM (dhi. Wakil dari BPHN dan Ditjen Peraturan Perundang-undangan), Kejaksaan Agung (Jampidsus dan Biro Hukum), Mabes POLRI (Densus 88 dan Divisi Hukum), Desk Anti Terrorism Kantor Menko Polhukam, Direktorat KIPS Ditjen Multilateral Deplu, dan perwakilan dari DPNP Bank Indonesia. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Kepala PPATK telah mengirim surat kepada Menkumham dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS guna mengusulkan penyusunan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme. Untuk itu, telah dilakukan penyusunan draft awal RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme pada tanggal 30 September s/d 1 Oktober 2009 di Hotel Novotel Bogor. Hal-hal penting terkait dengan penyusunan RUU dimaksud sebagai berikut : a)
Penyusunan RUU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme bertujuan untuk : 1) 2) 3)
b)
memberikan dasar hukum yang kuat dan kemudahan dalam pendeteksian, pembekuan, penyitaan dan perampasan pendanaan kegiataan terorisme; mendukung dan meningkatkan efektivitas upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme dan pendanaan kegiatan terorisme; menyesuaikan pengaturan mengenai pencegahan dan pemberantasan pendanaan kegiatan terorisme sehingga sejalan dengan konvensi yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dan standar internasional di bidang pencegahan dan pemberantasan pendanaan kegiatan terorisme.
Sasaran yang ingin dicapai dari penyusunan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Pendanaan terorisme, adalah : 1) 2) 3)
ikut memelihara dan menjaga stabilitas ekonomi, sosial budaya, dan keamanan dan ketertiban nasional; memutus alur pendanaan kegiatan terorisme sekaligus mencegah terjadinya lagi serangan atau aksi-aksi terorisme di seluruh tanah air; dan menunjukkan komitmen Indonesia yang kuat dan serius dalam pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme.
43
Selain itu, telah diadakan pelatihan di Hotel Grand Melia pada tanggal 19 November 2009. Pelatihan tersebut merupakan kegiatan kerjasama antara PPATK dengan Office of Overseas Prosecutorial Development, Assistance and Training (OPDAT), US DoJ. Pelatihan tersebut merupakan kesempatan yang sangat berharga untuk menimba ilmu dan wawasan mengenai investigasi dan penuntutan perkara pendanaan terorisme bagi para Hakim Pengadilan Negeri Bandung, Karawang, Depok, Semarang, Jepara, Tegal, Kediri, Surabaya, Bangil, Kota Agung, Blambangan Umpu, Menggala, DKI Jakarta, Kejaksaan Agung, Kejati DKI, Jabar, Lampung, Jawa Tengah maupun Jawa Timur, Mabes Polri dan NCB Interpol Indonesia, dengan penyampaian presentasi oleh para pakar internasional dalam forum pelatihan yang akan sangat bermanfaat bagi para peserta dalam membekali diri sehingga memudahkan dalam pelaksanaan tugas-tugas terkait penanganan masalah pendanaan terorisme di Indonesia.
Jakarta, 3 September 2009: Seminar E-Money
V. KERJASAMA DALAM NEGERI DAN LUAR NEGERI Tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme merupakan kejahatan lintas negara yang terorganisir (transnational organized crimes), sehingga dalam pencegahan dan penanganannya diperlukan kerjasama dan koordinasi yang baik dari semua pihak, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Penguatan kerjasama dan koordinasi dapat dilakukan dengan meningkatkan hubungan kerjasama dengan instansi-instansi lain di dalam negeri maupun luar negeri. Berdasarkan Pasal 25 Ayat 3 UU TPPU, bahwa PPATK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan TPPU dapat melakukan kerjasama dengan pihak yang terkait, baik nasional maupun internasional. Direktorat Kerjasama Antar Lembaga PPATK, yang merupakan direktorat yang diberikan tugas untuk melakukan kerjasama dan koordinasi dengan instansi-instansi terkait lain, telah melakukan berbagai kegiatan selama tahun 2009 dalam rangka peningkatan hubungan kerjasama dalam negeri dan luar negeri.
44
Laporan Tahunan
1. PPATK 2009
Kerjasama dan Hubungan Dalam Negeri
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai lembaga intelijen di bidang keuangan yang berperan sebagai national focal point dalam rezim anti pencucian uang di Indonesia, tetap berupaya untuk terus meningkatkan hubungan dan kerjasama yang baik dengan instansi-instansi terkait dalam negeri. Upaya tersebut dilakukan dalam rangka penguatan rezim anti pencucian uang di Indonesia. Untuk itu, selama tahun 2009 Direktorat Kerjasama Antar Lembaga telah melaksanakan berbagai kegiatan sebagai berikut : a)
b)
c)
Pertemuan Tim Kerja Komite TPPU pada tanggal 24 Februari 2009 dan pertemuan Komite TPPU (tingkat Menteri) pada tanggal 25 Maret 2009 yang membahas dan mengevaluasi : (i) perkembangan implementasi Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang; (ii) tindak lanjut pelaksanaan rekomendasi Mutual Evaluation Reports; (iii) pengusulan untuk dimasukkannya materi penanganan Non Profit Organization dan Counter Financing Terrorist di Indonesia dalam Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Sejalan dengan itu juga telah dilaksanakan pertemuan Tim Teknis Komite TPPU pada tanggal 21 April 2009, yang kemudian ditindaklanjuti pula dengan kegiatan Konsinyering Tim Teknis Komite TPPU pada hari Kamis-Jum'at tanggal 30 April - 1 Mei 2009 di Hotel Aston Marina, Jakarta Utara, dengan agenda penyusunan Final Action Plan atas Rekomendasi Mutual Evaluation APG. Kerjasama antara PPATK dengan Direktorat Jenderal Pajak telah dilaksanakan dalam bentuk kegiatan sosialisasi mengenai Ketentuan Pelaporan Pembawaan Uang Tunai di beberapa kota besar seperti Batam, Pontianak, Bali dan Jayapura. Peserta dari sosialisasi ini antara lain Petugas Bea Cukai, Petugas Pelabuhan dan Petugas di Bandara. Tujuan dari sosialisasi ini untuk mensosialisasikan ketentuan pembawaan uang tunai, sehingga dapat meningkatkan pemahaman para petugas di lapangan dalam menangani praktik pembawaan uang tunai keluar-masuk wilayah Indonesia. Selain kegiatan sosialisasi ketentuan pelaporan pembawaan uang tunai, PPATK juga telah melakukan kegiatan publikasi terkait ketentuan pelaporan pembawaan uang tunai, yaitu dengan melakukan serah terima alat-alat publikasi seperti spanduk dan banner kepada kantor-kantor cabang Bea dan Cukai di Pontianak, Jayapura dan Bali untuk dipublikasikan di lokasi-lokasi perbatasan, bandara serta pelabuhan terdekat. Memperluas kerjasama dengan instansi lain melalui penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) guna mendukung pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia, dimana kerjasama yang dijalin oleh PPATK tidak hanya dengan instansi-instansi pemerintah dan aparat penegak hukum saja tetapi juga dengan beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Tujuan dilakukannya perluasan kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi di Indonesia adalah dalam rangka mensosialisasikan rezim anti pencucian uang di Indonesia, dimana salah satu media sosialisasi adalah melalui pendidikan/edukasi. Selain itu tujuan dilakukannya kerjasama dengan perguruan tinggi adalah dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia. Beberapa perluasan kerjasama yang telah dilakukan oleh PPATK dengan beberapa instansi dan pergurian tinggi selama tahun 2009 sebagai berikut :
45
1)
Penandatanganan Nota Kesepahaman antara PPATK dengan Universitas Soedirman pada tanggal 23 Januari 2009 di Purwokerto; Universitas Andalas pada tanggal 18 Mei 2009 di Padang; Universitas Hasanuddin pada tanggal 23 Juni 2009 di Makassar; Universitas Diponegoro pada tanggal 12 Agustus 2009 di Semarang; Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tanggal 20 November 2009 di Solo; Universitas Indonesia dan Universitas Jember pada tanggal 7 Desember 2009 di Jakarta. Penandatanganan Nota Kesepahaman antara PPATK dengan sejumlah perguruan tingggi ini bertujuan untuk mewujudkan kerangka kerjasama dalam bentuk pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, serta pengabdian kepada masyarakat di bidang pencegahan dan pemberantasan TPPU. Demikian pula halnya dengan penandatanganan Nota Kesepahaman antara PPATK dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tanggal 25 Juni 2009 di Bandung, namun lebih khusus di bidang teknologi informasi.
2)
Penandatanganan Nota Kesepahaman antara PPATK dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada tanggal 17 April 2009 di Jakarta. Kerjasama melalui penandatanganan Nota Kesepahaman ini bertujuan untuk menetapkan upaya atau langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan TPPU dalam hal adanya keterkaitan antara penerbitan sertifikat hak atas tanah dan pengalihan hak atas tanah dengan TPPU.
3)
Penandatanganan Nota Kesepahaman antara PPATK dengan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi pada tanggal 12 Juni
Jakarta, 16 Maret 2009: Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara PPATK dengan Bangladesh
Laporan Tahunan
46
2009 di Jakarta. Kerjasama antara PPATK dan Ditjen Postel ini bertujuan untuk menetapkan upaya atau langkah-langkah yang akan diambil dalam rangka mencegah dan memberantas TPPU khususnya terkait dengan kegiatan bisnis PT Pos Indonesia dan penyelenggara jasa titipan.
PPATK 2009
2.
4)
Penandatanganan Nota Kesepahaman antara PPATK dengan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 17 November 2009 di Jakarta. Kerjasama melalui penandatanganan Nota Kesepahaman ini bertujuan untuk menetapkan upaya atau langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan TPPU dalam hal adanya keterkaitan antara kebijakan penyelesaian/penanganan bank gagal dengan TPPU.
5)
Penandatanganan Nota Kesepahaman antara PPATK dengan Sekretariat Jenderal Departemen Keuangan pada tanggal 3 Desember 2009 di Jakarta.
Kerjasama dan Hubunga Luar Negeri
Pada tahun 2009 PPATK secara konsisten tetap aktif berperan dalam berbagai fora internasional, antara lain forum Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) dan Financial Action Task Force (FATF). Dalam forum APG, PPATK menghadiri APG Annual Meeting yang diselenggarakan di Brisbane, Australia, APG Assessor Training Workshop yang diselenggarakan di Sydney, Australia, dan APG Typologies Workshop yang diselenggarakan di Siem Riep, Kamboja. Sedangkan melalui forum Egmont Group, PPATK mengirimkan wakilnya untuk mengikuti Egmont Working Group Meeting yang diselenggarakan di Malaysia dan Guatemala, serta berpartisipasi aktif dalam Egmont Annual Meeting yang diselenggarakan di Qatar. Selama tahun 2009, PPATK telah melakukan kerjasama bilateral yang dituangkan dalam bentuk Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan 5 (lima) FIU yaitu Anti Money Laundering Department of Bangladesh Bank, National Intelligence and Financial Processing Unit of Senegal, The Central Sri Lanka, Fiji Financial Intelligence Unit, dan Macau Financial Intelligence Ofiice. Dalam kerangka penandatanganan MoU sekaligus untuk melakukan studi banding terhadap rezim anti pencucian uang dan pendanaan terorisme di Indonesia, yang dalam hal ini, Anti Money Laundering Department of Bangladesh Bank dan National Intelligence and Financial Processing Unit of Senegal mengunjungi PPATK. Adapun dalam rangka implementasi ke-9 Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Pencucian Uang di Indonesia tahun 2007-2011 (Strategi Nasional), PPATK bekerjasama dengan United Kingdom Charity Commission menyelenggarakan Non Profit Organization (NPO) Domestic Review, yang pada dasarnya dimaksudkan sebagai langkah awal untuk menyusun road map yang dapat menggambarkan secara komprehensif kondisi NPO yang ada di Indonesia maupun instansi terkait yang meregulasi NPO. Sementara itu, kerjasama antara PPATK dengan pemerintah Australia tetap terjalin melalui PPATK-AUSTRAC Partnership Program (PAPP) yang tetap fokus pada penerapan prinsip mengenali nasabah (KYC) di sektor perbankan dan non-perbankan.
47
3.
Pertukaran Informasi a.
Antara PPATK dengan FIU Negara Lain Terkait dengan pertukaran informasi intelijen di bidang keuangan, untuk periode 2009 PPATK telah melakukan pertukaran informasi sebanyak 79 (tujuh puluh sembilan) kali dengan Financial Intelligence Unit (FIU) negara lain. Adapun rincian dari pertukaran informasi tersebut di antaranya adalah menerima permintaan informasi (incoming mutual request) sebanyak 42 kali, mengirimkan permintaan informasi (outgoing mutual request) sebanyak 21 kali, menerima informasi spontan (incoming sponteneous information) sebanyak 13 kali, dan mengirimkan informasi spontan (outgoing spontaneous information) sebanyak 3 kali. Hingga akhir tahun 2009, jumlah kumulatif pertukaran informasi dengan pihak FIU negara lain adalah 340 kali. Berikut adalah tabel rincian pertukaran informasi tersebut : Tabel 10 Pertukaran Informasi dengan FIU Negara Lain
Grafik 2 Pertukaran Informasi dengan FIU Negara Lain PERTUKARAN INFORMASI DENGAN FIU Total, 340 350 300 250 200 JUMLAH 150 100
2003
2004
2009 2005 2006 2007 2008
50 0 1 TAHUN
Laporan Tahunan
48
Pertukaran informasi tersebut dilaksanakan dengan FIU negara lain, seperti Malaysia, Amerika Serikat, Luxemburg, Inggris, Turki, Singapura, Jepang, Sri Lanka, Siprus, Venezuela, dan lain-lain. Sebagaimana tampak pada tabel di atas, pertukaran informasi intelijen keuangan tersebut dilakukan atas dasar permintaan (by request) dan sukarela (spontaneous).
PPATK 2009
b.
Antara PPATK dengan Instansi Domestik dan Program Asistensi Terkait dengan pertukaran informasi keuangan dengan instansi domestik, Kelompok Pemberdayaan Jejaring Informasi telah menindaklanjuti permintaan dari Kepolisian, KPK, Kejaksaan, dan instansi-instansi terkait lainnya. Adapun jumlah permintaan informasi sepanjang tahun 2009 yaitu dari: Polri sebanyak 184 permintaan, KPK sebanyak 25 permintaan; Kejaksaan sebanyak 7 permintaan; dan instansi terkait lainnya sebanyak 22 permintaan. Jumlah permintaan informasi kumulatif untuk instansiinstansi tersebut di atas dari tahun 2004 hingga Desember 2009 adalah: Polri sebanyak 526 permintaan, KPK sebanyak 244 permintaan, Kejaksaan sebanyak 69 permintaan, dan instansi lain-lain sebanyak 72 permintaan. Secara lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel statistik permintaan informasi ke PPATK, sebagai berikut: Tabel 11 Statistik Permintaan Informasi ke PPATK Tahun 2004 - 2009
Selain menindaklanjuti seluruh permintaan informasi, Kelompok Pemberdayaan Jejaring Informasi PPATK juga telah melaksanakan program asistensi ke sejumlah Polda di Indonesia. Untuk tahun 2009 ini telah dilaksanakan 7 (tujuh) program asistensi yaitu ke Polda Sumatera Utara, Polda Sumatera Barat, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Barat, Polda Kalimantan Barat, Polda Sulawesi Utara, dan Polda Kalimantan Selatan. Melalui program asistensi tersebut, PPATK berkesempatan untuk menjelaskan mekanisme permintaan informasi ke PPATK serta membantu pihak Polda dalam hal penanganan kasus TPPU.
49
VI. MANAJEMEN INTERNAL 1.
Pengembangan Sumber Daya Manusia
Saat ini terdapat 70 (tujuh puluh) orang pegawai yang berstatus sebagai CPNS dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang nantinya diharapkan akan menjadi pegawai tetap PPATK. Pada tahun 2009 ini diupayakan seluruh CPNS hasil rekrutmen tahun 2008 selesai mengikuti pelatihan Prajabatan sehingga dapat diangkat menjadi PNS pada awal tahun 2010. Meskipun telah ada tambahan pegawai baru, namun pegawai yang mengundurkan diri juga cukup banyak sehingga jumlah pegawai yang ada masih belum dapat memenuhi kebutuhan riil PPATK apabila dibandingkan dengan beban kerja yang ada. Untuk memenuhi kekurangan pegawai, PPATK pada tahun 2009 ini telah mengajukan kembali kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kementerian PAN) alokasi tambahan formasi CPNS sebanyak 30 orang, dimana hingga saat ini formasi PNS PPATK masih diwadahi oleh Kementerian PAN sampai dengan ditetapkannya perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil. Untuk mengatasi kekurangan pegawai PPATK mengatasinya dengan dua cara. Pertama, memperkerjakan pegawai instansi pemerintah terkait di PPATK misalnya dari Bapepam-LK Depkeu RI, Bank Indonesia, dan lainnya. Kedua, memberikan kesempatan kepada mahasiswa/i jurusan komputer melakukan kerja praktek sekaligus membantu PPATK dalam mengimplementasikan sistem komputer yang berskala kecil yang dapat diselesaikan dalam waktu 2 - 3 bulan untuk mengatasi kekurangan pegawai khususnya di bidang teknologi informasi. Sedangkan untuk melaksanakan tugas yang bersifat ketatausahaan dan kegiatan penunjang lainnya, PPATK masih mempekerjakan pegawai kontrak. Sedangkan untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas SDM, PPATK mengikutsertakan pegawainya dalam berbagai pendidikan dan pelatihan (Diklat), baik Diklat untuk memenuhi syarat jabatan maupun Diklat untuk meningkatkan kemampuan teknis. Di samping itu, pegawai PPATK juga diikutsertakan dalam berbagai seminar, workshop, forum diskusi, dan studi kebijakan. In house training juga dilakukan terutama sebagai sarana untuk berbagi pengetahuan di kalangan pegawai khususnya untuk pegawai yang baru selesai mengikuti training. Tabel berikut ini menggambarkan komposisi personil (pimpinan dan pegawai PPATK per 31 Desember 2009. Tabel 12 Komposisi Personil (Pimpinan dan Pegawai) PPATK Per 31 Desember 2009
Laporan Tahunan
50