KEPEMIMPINAN INDONESIA DALAM ASEAN: DARI SOEHARTO SAMPAI SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Agung Setiyo Wibowo1 Abstract This paper analyzes the dynamic of Indonesia's leadership within the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN). What Indonesia shown to ASEAN at the time of its birth was something that gave ASEAN weight, strength and direction, something indeed that made ASEAN is possible. By virtue of its size, location, history, principled behavior, and rich culture, Indonesia is named to a leadership role in the region. To analyze the leadership of Indonesia seeks to play in ASEAN, it is important to analyze Indonesia's foreign policy context, including a brief history of its involvement with ASEAN and its dynamic from President Soeharto to Susilo Bambang Yudhoyono. Key Words: Indonesia, ASEAN, leadership
Pendahuluan ASEAN dapat disebut sebagai organisasi kawasan paling stabil dan dinamis pada tataran Dunia Ketiga di dunia. Walaupun memiliki heterogenitas yang tinggi, organisasi yang memiliki sepuluh negara ini mampu bertahan. Semua itu tidak terlepas dari peran dan kepemimpinan Presiden Soeharto sebagai pemimpin alamiah (natural leader). Dengan prinsip ASEAN Way yang bersendikan ketahanan kawasan (regional resilience), Soeharto mampu merangkul semua negara tetangganya baik di kawasan maritim maupun daratan Asia Tenggara (Indochina). Oleh karena itu, dunia mengakui bahwa ASEAN telah berhasil dalam menjaga keamanan dengan pencegahan “Balkanisasi” di kawasan (Djani, 2008). Akan tetapi, krisis moneter 1997 telah berdampak besar pada kawasan. Indonesia amat terpukul baik secara politik maupun ekonomi (krisis multidimensi) dan berakhir dengan tumbangnya Rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Sejalan dengan hal ini, kapasitas Indonesia dalam memainkan peranan yang lebih besar menjadi dipertanyakan. Dengan kata lain, belum ada figur yang mampu menggantikan atau meneruskan kepemimpinan Soeharto. Seiring dengan anggapan dunia internasional yang meragukan keberlanjutan kepemimpinan Indonesia di kawasan, proses demokratisasi dan penegakan HAM di negara terbesar ini menguat. Ketidakberpihakan BJ Habibie dan Abdurrahman Wachid kepada ASEAN dipatahkan Megawati Soekarno Putri yang menyatakan untuk mengembalikan posisi kepemimpinan Indonesia saat menjadi tuan rumah ASEAN Summit 2003. Kepemimpinan Indonesia dinilai kembali menguat dengan tampilnya Susilo Bambang Yudhoyono. Pada masa pemerintahan pertamanya berbagai prestasi telah diukir, seperti kontribusi Indonesia pada pilar ASEAN 1
Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, Universitas Paramadina, Jakarta
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Political Security Community dalam ASEAN Community 2015, ASEAN Charter, ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), menjadi salah satu anggota G-20 dan seterusnya. Secara rinci permasalahan yang akan dijawab dalam paper ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana pengaruh kepemimpinan Soeharto dalam ASEAN? (2) Apakah Susilo Bambang Yudhoyono mempunyai peluang meneruskan kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN? Landasan Teori Berakhirnya Perang Dingin memunculkan isu-isu baru yang secara signifikan telah mengubah wajah dunia seperti konflik etnis, terorisme internasional, mengemukanya globalisasi dengan segala aspeknya, regionalisasi di berbagai penjuru dunia dan kecenderungan internasionalisasi isu-isu lokal. Fenomena tersebut tentunya membawa konsekuensi baru terhadap interaksi global, sehingga tidaklah berlebihan apabila Stanley Hoffman (1998) menyatakan “our world becomes more and more complex.” Menganalisa ASEAN sebagai suatu organisasi kawasan dapat dipandang dengan paradigma idealis yang bersifat normatif. Dengan kata lain, apa yang seharusnya terjadi, pentingnya prinsip-prinsip, hukum, organisasi internasional, dan adanya pengaruh opini publik yang mengedepankan perdamaian, bercita-cita membentuk world government. Sehingga, dapat dikatakan bahwa negara-negara saling bekerjasama untuk mencapai tujuan global dan kemanusiaan (Perwita dan Yanyan, 2005). Keinginan Indonesia pada khususnya dan sembilan negara lain pada umumnya untuk bergabung dalam organisasi kawasan seseuai dengan paham liberalisme. Paham ini mempunyai sifat dasar sistem internasional yang tertib dalam anarkisme dan didukung oleh aturan-aturan dan hukum internasional. Beberapa asumsi dasar liberalisme adalah: (1) bersikap optimis dan positif: Sifat manusia pada dasarnya adalah baik, rasional, & mampu bekerja sama, (2) manusia lebih memilih damai daripada konflik, (3) mendorong kemajuan IPTEK, dan modernisasi, 4) didasarkan pada legalistik-moralistik, (5) memandang perang sebagai kecelakaan dan dosa, (6) demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik, dan (7) cara menghindari perang adalah dengan membentuk organisasi internasional (Perwita dan Yanyan, 2005). Barry Buzan (1991) mendefinisikan kawasan sebagai perangkat analisa yang menghubungkan sistem internasional dan peringkat analisa negara. Beberapa ilmuwan lain mengklasifikasikan suatu kawasan dalam lima karakteristik. Pertama, negara-negara yang tergabung dalam suatu kawasan memiliki kedekatan geografis. Kedua, mereka memiliki pula kemiripan sosiokultural. Ketiga, terdapatnya kemiripan sikap dan tindakan politik seperti tercermin dalam organisasi internasional. Keempat, kesamaan keanggotaan dalam organisasi internasional. Kelima, adanya
102
Agung Setiyo Wibowo Kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN: Dari Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono
ketergantungan ekonomi yang diukur dari perdagangan luar negeri sebagai bagian dari proporsi pendapatan nasional. Sedangkan Adler dan Bannet (1998) mendefinisikan komunitas sebagai sharing, participation, and fellowship. Suatu komunitas terdiri dari tiga karakteristik. Pertama, para anggota suatu komunitas berbagi identitas, nilai, dan pengertian. Kedua, mereka yang berada di dalam komunitas memiliki berbagai sisi dan hubungan langsung; interaksi terjadi bukan secara tidak langsung dan pada domain-domain khusus serta terisolasi, melainkan melalui hubungan-hubungan tatap muka dalam berbagai keadaan atau tata cara. Ketiga, komunitas menunjukkan suatu resiprositas yang mengekspresikan derajat tertentu kepentingan jangka panjang dan mungkin bahkan altruisme (mementingkan orang lain); kepentingan jangka panjang didorong oleh pengetahuan dengan siapa seseorang berinteraksi, dan altruisme dapat dipahami sebagai suatu rasa kewajiban dan tanggungjawab (a sense of obligation and responsibility). Peranan berarti bagian dari tugas utama yang harus dijalankan, sedangkan peran adalah adalah seperangkat tingkat yang diharapkan dimiliki seseorang/lembaga yang berkedudukan dalam suatu komunitas (Soekanto, 2001). Terkait dengan hal itu, pengaruh merupakan kemampuan perilaku politik untuk mempengaruhi tingkah laku orang dalam cara yang dikehendaki oleh perilaku tersebut. Konsep pengaruh adalah salah satu aspek kekuasaan yang pada dasarnya merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan (Holsti, 1988). Pengaruh dinyatakan secara tidak langsung oleh kemampuan untuk mempengaruhi pembuat keputusan yang menentukan outcomes (Daniel, 1988). Konteks Politik Luar Negeri Indonesia Politik “Bebas Aktif” pertama kali dinyatakan oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta yang berarti Non-Blok (Non-Alignment) dan tidak mendekat diantara kekuatan mana pun (Hatta, 1953). Kebijakan ini merupakan inti dari politik luar negeri Soeharto melawan neo-kolonialisasi melalui perdagangan internasional. Munculnya Soeharto sebagai pemimpin pada 1966 menandai perubahan politik luar negeri, akan tetapi tidak mempengaruhi perannya di kawasan. Baik Soekarno maupun Soeharto berusaha untuk menebarkan pengaruh di kawasan dan global tetapi dengan cara berbeda. Secara umum, Soeharto mengembangkan tiga pengaruh. Pertama, Barat untuk perdagangan, investasi dan jaringan bantuan. Hal ini sesuai dengan kebijakannya yaitu stabilitas keamanan dan politik untuk kemajuan ekonomi. Kedua, pengaruh dengan negara-negara berkembang, terutama GNB (Gerakan Non Blok) yang telah digawangi Soekarno melalui Konferensi Asia Afrika di Bandung pada 1955. Ketiga, pengaruh di Asia Tenggara dan ASEAN. Naiknya Soeharto dalam tampuk kepemimpinan Indonesia merevitalisasi hubungan bilateral dengan banyak negara di kawasan. Dalam konteks ini adalah normalisasi hubungan dengan Malaysia dan mengakhiri “Konfrontasi”. Dengan kata lain, politik luar negeri 103
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Indonesia tidak lain adalah “non-komunis” dan “anti-komunis”. Untuk itu organisasi kawasan amat diperlukan untuk menjamin kepemimpinan Indonesia (Djafar, 2006). Upaya lebih awal untuk mengembangkan organisasi kawasan diantara Thailand, Malaysia dan Filipina yang bernama Association of Southeast Asia (ASA) gagal karena konflik Malaysia-Filipina atas Sabah. Organisasi lain yang sempat muncul adalah Maphilindo diantara Malaysia, Filipina dan Indonesia yang gagal karena Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Di tengah Perang Indochina yang memuncak pada akhir 1960-an; pemberontakan komunis menyebar di seluruh pelosok Asia Tenggara, stabilitas internal dan ketahanan nasional menjadi tujuan substansial. Dalam pandangan Indonesia, Asia Tenggara menjadi tidak percaya lagi dengan kekuatan eksternal atas isu keamanan. Maka dari itu, Indonesia berniat mengembangkan organisasi kawasan dengan tiga alasan: (1) keinginan normalisasi hubungan dengan negara-negara non-komunis di Asia Tenggara, (2) kebutuhan akan stabilitas domestik, dan (3) tidak mengandalkan kekuatan eksternal dalam keamanan kawasan (Wanandi, 2001). Tahap pertama politik luar negeri Orde Baru ditandai oleh tujuan rendah hati dengan membina hubungan dengan negara-negara nonkomunis di kawasan sebagai cermin pertengahan. Sehingga menempatkan ASEAN sebagai soko guru politik luar negeri Indonesia khususnya pada dua dekade pertama kepemimpinan Orde Baru. Meskipun Filipina, Malaysia, Singapura dan Thailand juga menjadi anggota pendiri ASEAN pada 8 Agustus 1967, Indonesia berhasil menunjukkan bahwa politik Non-Blok dan keinginan menghapus kompetisi pengaruh negara-negara besar dari kawasan masih relevan. Ditambah lagi dengan asas musyawarah-mufakat dalam pengambilan keputusan memberi peluang lebih besar kepada Indonesia untuk mendikte dinamika ASEAN. Soeharto menjadi negarawan paling dihormati pada Pertemuan Puncak ASEAN IV di Singapura tahun 1992 dan menjadi satu-satunya pemimpin pendiri ASEAN yang masih bertahan (USA Library Congress, 2010). Jatuhnya Soeharto pada 1998 menimbulkan berbagai pertanyaan akan masa depan ASEAN. Hal ini sejalan dengan pengaruhnya yang diakui sebagai “Pemimpin Tunggal ASEAN.” Hampir semua pengamat studi Asia Tenggara mengakui bahwa apa yang selama ini diberikan Indonesia sejak 1967 membuat ASEAN lebih kuat, besar dan terarah. Indonesia dan ASEAN Way Dalam kenyataannya, prinsip musyawarah dan mufakat dalam pengambilan keputusan yang diusung Indonesia tetap menjadi pilihan di kawasan. Model pengambilan keputusan lainnya akan sulit diterapkan dan bahkan tidak mungkin untuk ASEAN. Prinsip ini dikenal dengan “ASEAN Way” yang mengedepankan perdamaian, kerukunan, dan stabilitas kawasan. Falsasah ASEAN Way adalah menghormati otoritas kedaulatan dan menghindari penggunaan kekerasan. Sedangkan pendekatan 104
Agung Setiyo Wibowo Kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN: Dari Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono
implementasinya adalah diplomasi informal dimana tiada pihak yang menang ataupun kalah tetapi menerima hasil keputusan dengan tidak memecah kerukunan dan stabilitas kawasan. Pengaruh Indonesia yang dipakai pada prinsip itu adalah “empat mata” (four eyes) dengan mengedepankan saling menghormati dan mempercayai. Prinsip “empat mata” dalam ASEAN Way dirintis oleh Soeharto yang dianggap sebagai figur konsiliator (pihak ketiga) untuk campur tangan dalam masalah bilateral negara-negara ASEAN tanpa terlihat ikut campur tangan (Weatherbee, 2005). Konsep ketahanan nasional dan regional Indonesia memperkuat keyakinan ASEAN akan hubungan erat antara stabilitas politik dan pembangunan ekonomi. Sejalan dengan tuntutan pembangunan, lima negara pendiri menekankan ekonomi dalam kebijakan domestik dan eksternal. Atas dasar kebijakan ekonomi, liberalisasi perdagangan digulirkan, keterbukaan terhadap investasi asing, dan aktif dalam mendapatkan bantuan dan pinjaman luar negeri. Negara-negara anggota ASEAN mementingkan keamanan kawasan sebagaimana pentingnya keamanan nasional dengan mengedepankan hubungan konstruktif antar sesama anggota dan dengan seluruh negara-bangsa di dunia. Mereka sepakat untuk mengutamakan solidaritas kawasan dan menutup diri atas konflik bilateral satu sama lain. Mereka mendapatkan kemajuan ekonomi dan stabilitas politik melalui kerjasama ini (Sopiee, 1992). Itu semua merupakan pengaruh Indonesia yang tertanam sejak pendirian ASEAN dan sejalan dengan beberapa norma dasar yang tumbuh dalam proses evolusi ASEAN selaku organisasi kawasan yaitu: (1) menentang pengunaan kekerasan dan mengutamakan solusi damai, (2) otonomi regional, (3) prinsip tidak mencampuri urusan negara lain (noninterference) dan (4) menolak pembentukan aliansi militer dan menekankan kerjasama pertahanan bilateral (Acharya, 2001). Bahkan, keempat norma tersebut sejalan dengan landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang tertuang dalam maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno yaitu Maklumat Politik Pemerintah tangal 1 November 1945 yang diantaranya memuat: (1) politik damai dan hidup berdampingan secara damai, (2) politik tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain, (3) politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik, dan lain-lain, (4) politik berdasarkan Piagam PBB (Habib, 1990). Soeharto: Pemimpin Alamiah ASEAN Dunia mengakui bahwa Indonesia adalah pemimpin alamiah (natural leader) di ASEAN. Menjadi negara terbesar di kawasan baik secara geografis dan populasi, menempatkannya pada posisi utama dalam hubungan dengan negara-negara tetangga. Bagaimanapun juga, faktor sejarah menjadi faktor penentu posisi signifikan tersebut. Pada waktu ASEAN berdiri, kawasan belum bebas dari potensi pemberontakan dari 105
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
beberapa negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam Utara yang masih mempertahankan gaya revolusioner. Sebagai contoh ancaman tersebut adalah Partai Komunis China, yang menjadi alasan untuk memperkuat kawasan melalui pendekatan keamanan komprehensif (Soesastro, 2005). Pendekatan keamanan komprehensif merupakan jembatan untuk meningkatkan keamanan dan perdamaian kawasan serta ekonomi dan sosial. Sejak awal pendiriannya, ASEAN bukan sebuah pakta militer. Meskipun negara-negara anggota ASEAN adalah anti-komunis dalam orientasi kebijakannya, mereka menyatakan diri dalam arena internasional sebagai badan non-blok yang didorong kuat oleh Indonesia. Jatuhnya Vietnam Selatan membuat ASEAN meningkatkan ketahanan kawasan yang diusulkan Indonesia dengan membuka ruang komunikasi dengan Hanoi selama Perang Indochina. Ketika Vietnam menginvasi Kamboja dan kemudian Thailand, kebijakan ASEAN adalah mendukung Thailand melawan Vietnam yang tidak lain dipimpin Indonesia. Bagaimanapun juga, Indonesia percaya untuk meneruskan dialog dengan Hanoi. Kebijakan ini awalnya ditentang, akan tetapi akhirnya berhasil dalam menyelesaikan konflik politis (Cipto, 2007). Kepemimpinan Soeharto dalam ranah politik tidak diikuti dalam ranah ekonomi. Dalam kurun waktu 25 tahun sejak 1967, banyak kerjasama ekonomi yang mengecewakan. Para pemimpin ASEAN pada waktu itu menyepakati rencana integrasi ekonomi kawasan melalui ASEAN Free Trade Area (AFTA). Awalnya, Indonesia selalu menolak rencana tersebut dan dijuluki “Mr.No” (karena selalu mengatakan “tidak” dalam segala upaya integrasi ekonomi), hingga akhirnya mengubah kebijakannya dan dijuluki “Mr.Go” melalui AFTA 1992. Ketika perekonomian Indonesia mencapai puncaknya pada pertengahan 1990-an, Soeharto berpartisipasi lebih aktif dalam kerjasama ekonomi di ASEAN dan APEC (Soesastro, 2005). Dalam kurun waktu yang cukup lama, Indonesia dan mantan Presiden Soeharto dianggap sebagai pemimpin atau big brother ASEAN. Pada masa itu, dalam setiap persidangan yang digelar ASEAN, maka sikap yang diambil Indonesia pada umumnya kemudian diadopsi menjadi sikap bersama ASEAN. Indonesia kemudian menjadi negara yang paling berpengaruh di kawasan, sehingga tercatat dalam sejarah lahirnya APEC. Hal ini membuat Indonesia menjadi penentu keberlangsungan gagasan pembentukan organisasi kerjasama perdagangan bebas di kawasan Asia Pasifik tersebut. APEC lahir setelah Indonesia secara eksplisit menyatakan dukungannya, yang kemudian diikuti oleh semua negara anggota ASEAN lain (Dahlan, 2007). Peran itu melemah seiring terjadinya hantaman badai krisis moneter 1997/1998 yang menjatuhkan perekonomian Indonesia dan diikuti oleh lengsernya Soeharto sebagai presiden. Pada masa-masa itu, Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yeuw adalah pemimpin ASEAN yang sering secara tandem beriringan dengan Soeharto dalam mewarnai keputusankeputusan yang diambil ASEAN. Tercatat kemudian Perdana Menteri 106
Agung Setiyo Wibowo Kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN: Dari Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono
Malaysia, Mahatir Muhammad mengambil alih peran itu. Dengan gaya dan kemasan yang sangat berbeda dari Soeharto, Mahatir untuk beberapa waktu lamanya telah mencuri perhatian (steal the show), bukan saja di tingkat kawasan Asia Tenggara, melainkan juga bahkan dianggap mewakili Asia dan dunia Islam. Persamaan di antara ketiga pemimpin ASEAN tersebut dapat dilihat dari lamanya durasi mereka memegang tampuk kepemimpinan di negaranya masing-masing (Ahmad, 2007). Kepemimpinan Indonesia Pasca Soeharto Harus diakui bahwa keutuhan ASEAN merupakan pengaruh kesuksesan Indonesia mengatur heterogenitas dan pluralitas masyarakatnya. Hanya dengan stabilnya politik dan ekonomi Indonesia, mampu mempertahankan kepemimpinan dalam ASEAN. Bagaimana Indonesia membina hubungan militer-masyarakat sipil dan peranan militer dalam politik dapat juga mempengaruhi kawasan. Bagaimana Indonesia mengelola keberagaman dan menampung aspirasi etnis dan kepentingan kawasan dalam ekonomi dan politik nasional tak pelak lagi berpengaruh. Bagaimana Indonesia menangani isu HAM dan partisipasi politik juga mempengaruhi stabilitas kawasan. Rezim Orde Baru yang berkuasa tidak kurang dari 32 tahun berakhir pada 1998. Kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN digantikan oleh pemerintahan transisi Bachrudin Jusuf Habibie yang tidak tertarik pada ASEAN. Dilanjutkan dengan Abdurrahman Wachid yang lebih mengangkat Western Pasific Forum yang melibatkan Indonesia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste dan Australia, daripada mengurusi ASEAN. Megawati Soekarno Putri awalnya juga tidak tertarik dengan ASEAN. Namun, sejak Indonesia menjadi tuan rumah pada ASEAN Summit 2003, beliau menegaskan bahwa Indonesia harus menjadi pemimpin kembali di ASEAN dan dibuktikan dengan kunjungan resminya ke sembilan ibukota negaranegara anggota ASEAN (Soverino, 2004). Di tengah perubahan arsitektur kerjasama global dan pertarungan gagasan, Indonesia telah berupaya memainkan peran dan daya tawar yang dapat dilihat dari berbagai hal. Anggapan bahwa peran dan kepemimpinan Indonesia melemah pasca Orde Baru dan krisis ekonomi yang berkepanjangan memang mencuat. Meskipun demikian, pelan tapi pasti, Indonesia mulai menunjukkan taringnya kembali dengan berbagai prestasi yang diraih. Dalam ranah politik dan keamanan, Indonesia menjadi negara yang memimpin sembilan negara anggota ASEAN lainnya dalam mengimplementasikan demokrasi pasca reformasi. Indonesia juga menempatkan diri dalam posisi terhormat akan penegakan hak asasi manusia. Kesuksesan Susilo Bambang Yudhoyono Jilid I menjalankan pemerintahan demokratis menempatkannya Indonesia menjadi negara demokrasi terbesar ke empat di dunia. Dalam bidang hak asasi manusia, Indonesia adalah negara pertama di ASEAN yang memiliki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Utomo, 2010). 107
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Dalam ranah ekonomi, Indonesia mulai menunjukkan stabilitas pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya bertahan dalam krisis keuangan global tahun 2008. Jika pada tahun 1997 krisis ekonomi hanya berpengaruh pada negara-negara di Asia, pada tahun 2008 hampir semua negara di dunia mengalaminya. Prestasi tersebut ditunjukkan dengan masuknya Indonesia menjadi salah satu negara anggota G-20 (Antara News, 2009). Indonesia juga tengah berjuang menjalankan demokratisasi dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menegakkan kerjasama politik dan keamanan ketika isu pembuatan Piagam ASEAN baru bergulir. Untuk menunjukkan daya tawar Indonesia dalam ASEAN, dapat dibuktikan dengan perjuangan keras Indonesia dalam memasukkan elemen demokratisasi dan hak asasi manusia yang ditentang oleh semua negara anggota ASEAN lainnya. Namun, dengan argumen yang didukung pengalaman berdemokrasi dan penegakan hak asasi manusia, akhirnya elemen tersebut dimasukkan dalam piagam. Indonesia dan ASEAN Political Security Community Komunitas Politik Keamanan ASEAN (ASEAN Political Security Community) yang merupakan satu dari tiga pilar lain (Komunitas Ekonomi dan Komunitas Sosial-Budaya) adalah produk kepemimpinan Indonesia; memelopori penyusunan Rencana Aksi Komunitas Politik Keamanan ASEAN, yang disahkan pada KTT ke-10 ASEAN di Vientiane, Lao PDR, November 2004. Dalam Rencana Aksi Komunitas Politik Keamanan ASEAN, telah ditetapkan rencana kegiatan untuk mewujudkan Komunitas Politik Keamanan ASEAN yang terdiri atas 6 komponen: Political Development, Shaping and Sharing of Norms, Conflict Prevention, Conflict Resolution, Post-Conflict Peace Building, dan Implementing Mechanism. Rencana Aksi tersebut telah diintegrasikan ke dalam Program Aksi Vientiane (Vientiane Action Programme/VAP) yang ditandatangani para Kepala Negara ASEAN dalam KTT ke-10 ASEAN (Djani, 2008). ASEAN SOM Working Group (SOM WG) membahas mengenai draft ASEAN Political Security Community (APSC) Blueprint, telah sepakat membagi menjadi 3 karakteristik yaitu: a) a Rules-based Community of Shared Values and Norms; (b) a Cohesive, Peaceful, and Resilient Region which Shared Responsibility for Comprehensive Security, dan (c) a Dynamic and Outward Looking Region in a Globalized World. Dalam kaitan ini, berbagai usulan Indonesia telah dapat diterima seperti antara lain (ASEAN Secretariat, 2009): 1. Mendorong voluntary electoral observations; 2. Pembentukan Komisi Pemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak; 3. Memasukkan elemen memerangi korupsi dan pemajuan prinsip demokrasi; 4. Gagasan pembentukan ASEAN Institute for Peace and Reconciliation; 108
Agung Setiyo Wibowo Kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN: Dari Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono
5. Gagasan tentang pembentukan ASEAN Maritime Forum; 6. Kerjasama penanganan illegal fishing; 7. Penyusunan instrumen ASEAN tentang Hak Pekerja Migran. Indonesia dan Penegakan Hak Asasi Manusia Pada 9 Mei 2006, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memilih Indonesia disamping 46 negara lainnya dalam Badan HAM PBB. Hal ini berlawanan dengan Orde Baru dimana Konferensi Komisi HAM PBB selalu melaporkan berbagai pelanggaran HAM Indonesia seperti Timor Timur, Papua, pemasungan politik, penyiksaan, pemerkosaan, dan kebrutalan TNI. Pada waktu bersamaan, Soeharto meratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC) pada 1990 dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) pada 1994. Berdirinya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 1993 merupakan titik awal upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia (Pratoomraj, 2006). Pada era reformasi sejumlah undang-undang hak asasi manusia internasional kembali diadopsi yaitu Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (CAT), dan Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (CERD) pada 1999. Pada masa pemerintahan SBY, Indonesia meratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR). Sehingga, sekarang ini Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang telah meratifikasi keenam undang-undang hak asasi manusia utama internasional (Sarawut, 2006). Menurut Mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Indonesia adalah negara yang mendorong ASEAN (Association of South East Asian Nations) menjadi komunitas yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia (HAM). Di bawah kepemimpinan Indonesia tahun 2003 untuk pertama kalinya ASEAN meningkatkan kerja sama dari asosiasi yang longgar ke arah komunitas. Walaupun upaya Indonesia dalam mendorong kesepakatan ASEAN untuk menjadikan ASEAN demokratis dan menghormati hak-hak asasi manusia diragukan banyak kalangan (negaranegara seperti Myanmar dan Laos khawatir dengan konsep itu), namun bagi Indonesia itu adalah keniscayaan yang perlu didorong dan diperkuat dengan diterimanya komunitas politik-keamanan dalam ASEAN Community 2015 (Santi, 2006). Selama beberapa dekade, ASEAN dikenal sebagai perhimpunan negara-negara konservatif dan tidak demokratis dalam masalah HAM. Ketidakberanian melakukan tekanan terhadap Myanmar dan sikap cultural relativism negara-negara ASEAN membuat banyak kalangan meragukan terbentuknya Badan HAM ASEAN. Sebaliknya, pendekatan minimalis melihat hal ini sebagai langkah besar ASEAN yang sebelumnya tidak
109
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
pernah memasukkan masalah HAM dan demokrasi sebagai salah satu unsur regionalisme ASEAN yang terbuka. ASEAN tidak dapat mengelak akan pembahasan HAM. Pertama, dorongan dari dalam ASEAN amat besar, terutama karena demokratisasi di Indonesia (terlepas dengan kerumitannya, demokratisasi adalah prestasi terbesar Indonesia). Indonesia dinilai mempunyai bobot (leverage) lebih besar saat membahas HAM dan demokrasi. Pejabat pemerintah, LSM, peneliti, dan akademisi Indonesia tampak lebih lugas dalam menyuarakan demokrasi dan HAM dalam interaksinya dengan negara dan masyarakat ASEAN. Kedua, tumbuhnya kesadaran kuat di ASEAN bahwa pelanggaran HAM di suatu negara bisa menimbulkan ancaman keamanan bagi negara lain dan kawasan. Masalah HAM di Myanmar adalah contoh tentang pengaruh situasi HAM di suatu negara terhadap interaksi di dalam dan di luar kawasan. ASEAN sering harus membela posisinya dalam masalah HAM di Myanmar saat berhadapan dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat. Secara substansi, hal ini merupakan ujian bagi komunitas ASEAN yang bersifat people-oriented. Sementara itu, secara simbolik masalah HAM adalah taruhan reputasi ASEAN di dunia internasional yang telah mengumandangkan pembangunan ekonomi, HAM, dan keamanan sebagai tiga pilar perdamaian internasional (Prasetyono, 2009). Setelah melalui proses yang panjang, pada 23 Oktober 2009 dalam KTT ASEAN XV di Hua hin Thailand, lahir ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) atau Badan HAM Antarpemerintah ASEAN. Badan ini berada di bawah Sekretariat Jenderal ASEAN. Dibentuknya AICHR merupakan implementasi dari Pasal 14 Piagam ASEAN yang mengamanatkan dibentuknya sebuah Badan HAM di kawasan (Ratna, 2009). Namun, sebagai pendorong penegakan HAM di kawasan, Indonesia kecewa akan kerangka acuan (term of references) AICHR karena pada proses perumusannya, gagasan Indonesia dalam memasukkan prinsip perlindungan (protection) ditolak oleh sembilan negara lain yang hanya memasukkan prinsip pemajuan (promotion). Dengan kata lain, standar HAM ASEAN lebih rendah daripada standar Komisi Nasional HAM Indonesia dan PBB. Bahkan Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia Hasan Wirajuda mengatakan bahwa AICHR berprinsip “asal ada dulu” (promotion first, protection later). Pemerintah Indonesia memaklumi hasil ini karena standar HAM di setiap negara ASEAN berbeda-beda dan baru empat dari sepuluh negara anggotanya yang memiliki badan hak asasi manusia nasional yaitu Indonesia, Thailand, Filipina dan Malaysia (Kompas, 2009). Indonesia dan G-20 Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam Antara News (2009) mengatakan bahwa ASEAN telah meminta Indonesia untuk berperan aktif dalam G-20 guna memastikan pencegahan gejala proteksionisme dalam perdagangan dunia. Hal ini disebabkan, Indonesia adalah satu-satunya 110
Agung Setiyo Wibowo Kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN: Dari Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono
negara ASEAN yang menjadi anggota dalam forum G-20 yang saat ini diandalkan dunia untuk menjadi lembaga yang mencari solusi masalah finansial dan keuangan global. Beliau menambahkan bahwa peran Indonesia dalam G-20 dan ASEAN bisa saling melengkapi karena peran kuat Indonesia di ASEAN sebenarnya dapat memberi pijakan dan fondasi yang berpengaruh di forum G-20 dan demikian pula sebaliknya. Masuknya Indonesia pada forum G-20 bukan semata-mata karena kekuatan kebenaran moral dan power of argument, namun karena Indonesia pantas berada di sana sesuai dengan kekuatan-kekuatan baru yang dimiliki, yaitu kekuatan ekonomi, kekuatan demokrasi dan kekuatan baru lainnya. Oleh karena itu, dengan pelbagai perubahan yang terjadi baik di dalam maupun di luar negeri perlu dirumuskan apa yang menjadi kepentingan nasional di tengahtengah arsitektur dunia di tingkat regional dan global. Bagi Indonesia, G-20 dinilai akan menyuarakan emerging market dan berpartisipasi dalam arsitektur ekonomi dan finansial global sesuai dengan kepentingan nasional. Secara umum, di G-20 Indonesia memiliki posisi strategis yang tidak hanya membawa kepentingan Indonesia sebagai emerging market, tetapi juga kepentingan ASEAN dan negara berkembang lainnya termasuk Low Income Countries. Sedangkan manfaat G-20 tidak hanya untuk mendongkrak posisi di antara negara berkembang lainnya, tetapi terlebih karena Indonesia bisa secara langsung berpartisipasi dalam merumuskan arsitektur ekonomi dan finansial global sesuai dengan kepentingan nasional, G-20 diarahkan untuk menggantikan fungsi dari G-8 sebagai pemerintahan bayangan dari sistem ekonomi dan finansial global. Singkatnya, fokus Indonesia sendiri di G-20 adalah untuk: (i) memitigasi dampak krisis terhadap Indonesia dan negara berkembang yang telah secara tidak adil terkena dampak dari krisis yang bermula di negara maju melalui penurunan aliran modal ke negara berkembang yang menghambat proses pembangunan dan pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDGs); (ii) mengamankan posisi Indonesia dan negara berkembang di dalam sistem ekonomi dan finansial global yang baru dengan mencegah terbentuknya standar regulasi yang berpotensi merugikan perkembangan sektor keuangan dan sebaliknya justru mengupayakan agar sistem yang baru mendukung pengembangannya; (iii) mendorong dilakukannya reformasi lembaga keuangan internasional melalui peningkatan keterwakilan negara berkembang dalam proses pemerintahan (Anggito, 2009). Sebagai implementasi, Indonesia secara konsisten memperjuangkan dibuatnya instrumen pendanaan yang murah, bersifat tanpa persyaratan dan percepatan pencairan yang diperuntukkan bagi negara Dunia Ketiga dengan kerangka kebijakan dan fundamental yang baik seperti Indonesia. Proposal tersebut dikenal dengan Global Expenditure Support Financing (GESF) yang telah disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Washington Summit tahun sebelumnya. Sebagai wujud penghargaan terhadap proposal, Indonesia dan Perancis ditunjuk oleh G-20 untuk 111
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
mengetuai WG4 mengenai reformasi MDBs yang salah satu pembahasannya adalah mengenai instrumen itu. Terkait dengan reformasi IMF, Indonesia juga memegang peranan penting di G-20 karena Menteri Keuangan RI sebagai salah satu figur internasional yang kerap menyuarakan urgensi reformasi IMF merupakan anggota independent panel of experts on IMF reform (yang dikenal sebagai Manuel Commission) yang hasil rekomendasinya menjadi salah satu acuan bagi pembahasan di G-20 (Kompas, 2009). Buah keaktifan di G-20, Indonesia telah berhasil memetik beberapa keuntungan nyata, antara lain: (i) Indonesia masuk sebagai anggota baru Financial Stability Forum (FSF) yang merupakan standard setting body bagi sistem keuangan; (ii) Indonesia telah mendapatkan Deferred Drawdown Option (DDO) dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Jepang, dan Australia bagi program pengentasan masyarakat dari kemiskinan dan infrastruktur yang kemudian menjadi model bagi GESF; (iii) G-20 yang merupakan pemegang saham terbesar di ADB berkomitmen untuk meningkatkan permodalan ADB guna mendorong pembangunan di kawasan Asia; dan (iv) negara maju berkomitmen untuk memberikan peningkatan kapasitas bagi pengembangan sektor keuangan di negara berkembang. Terdapat juga manfaat nonkeuangan, seperti komitmen G-20 untuk menjamin dan melindungi hak pekerja migran (Abimanyu, 2009). SBY: Pemimpin Masa Depan ASEAN? “Kita bangga menjadi bangsa Indonesia dengan kemerdekaan dan persatuan nasional. Kita adalah negara dengan jumlah penduduk keempat terbanyak di dunia. Kita adalah negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kita adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Kita juga menjadi sebuah negara dimana demokrasi, Islam dan modernitas dapat berjalan beriringan” (Yudhoyono, 2005).
Dalam proses demokratisasi, semakin sulit bagi seorang pemimpin suatu negara untuk bertahan lama di pucuk pimpinan. Maka dari itu, dibutuhkan kriteria baru dalam merumuskan kepemimpinan kawasan. Kriteria yang umumnya dipakai guna mengukur tingkat kepemimpinan adalah pertumbuhan ekonomi. Dalam hal itu, Singapura seharusnya negara yang paling tepat untuk meraih tonggak kepemimpinan baru ASEAN pasca Soeharto. Sayangnya, aspek teresebut tidak didukung oleh aspek lain, seperti besaran demografi dan geografis Singapura, serta gaya kepimpinan Perdana Menteri Lee Hsien Long yang tidak sekharismatis Perdana Menteri Lee Kuan Yeuw. Begitu juga Thailand dengan Perdana Menteri Thaksin Sinawartra, awalnya dianggap akan muncul sebagai pemimpin baru di ASEAN; namun karena terjadi banyak kudeta pada September 2006, peluang Thaksin hilang dan reputasi Thailand sebagai negara ASEAN yang paling cepat pulih dari krisis moneter tertutupi oleh peristiwa kudeta tersebut, dan untuk sementara menjadi "negara pinggiran" di ASEAN (Dahlan, 2007). 112
Agung Setiyo Wibowo Kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN: Dari Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono
Realita tersebut melahirkan anggapan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mampu meraih kepemimpinan ASEAN kembali. Indonesia dengan modal komposisi demografis dan geografisnya saja, sesungguhnya sudah secara alami akan tampil sebagai pemimpin kawasan. Panjangnya garis pantai sebagai penanda luasnya wilayah teritorial, membuat Indonesia satu-satunya negara yang memiliki perbatasan langsung maupun tidak langsung dengan seluruh negara anggota di kawasan. Sayangnya, berlarutnya pemulihan dari keterpurukan ekonomi pascakrisis moneter, membuat Indonesia terkesan "berat" untuk tampil kembali dalam tampuk kepemimpinan ASEAN. Walaupun demikian, terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan sinyal kembalinya Indonesia sebagai pemimpin ASEAN. Pertama, Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden pertama yang dipilih secara langsung, SBY adalah presiden dengan legitimasi paling solid di kawasan. Perpaduan latar belakang militer (sebagaimana Soeharto) dan intelektual (sebagaimana Habibie) melengkapi gaya pembawaan dan perilaku kepresidenan, serta kelihaiannya dalam berkomunikasi dengan bahasa internasional, menjadikan SBY figur yang paling tepat untuk tampil sebagai pemimpin ASEAN. Kedua, Indonesia selaku salah satu negara pendiri ASEAN (founding countries) telah muncul dengan serangkaian inisiatif baru yang memacu dinamika ASEAN menuju kematangan sebuah organisasi kawasan. Gagasan ASEAN Community yang secara monumental dicanangkan pada KTT Bali 2003, secara tidak langsung mentasbihkan Indonesia kembali pada driving seat ASEAN. Indonesia tercatat selaku negara yang menggagas terbentuknya pilar terpenting dalam ASEAN Community yaitu ASEAN Political-Security Community. Pengaruh Indonesia makin meningkat dalam proses penyusunan Piagam ASEAN (ASEAN Charter) yang kelak menjadikan ASEAN sebuah organisasi kawasan yang lebih solid dan memiliki konstitusi sebagai landasan aturan main dalam berorganisasi. Ketiga, kedudukan kantor sektretariat ASEAN menjadikan Jakarta secara langsung menjadi tempat dilahirkannya keputusan-keputusan strategis, sebagaimana dengan New York sebagai kota tempat Sekretariat PBB berada. Tiga hal diatas tentunya adalah modal yang nantinya akan meningkatkan daya tawar di mata dunia, yang secara tidak langsung membuat Indonesia menjadi negara dihormati dalam pergaulan intenasional. Penutup Politik luar negeri Indonesia menjalankan pendekatan strategis lingkaran-lingkaran konsentrik yang menegaskan kedekatan geografis dan lingkup pengaruh lingkungan eksternal dapat memberikan dampak terhadap Indonesia. Pendekatan strategis lingkaran-lingkaran konsentris tersebut menentukan perumusan kebijakan dalam pelaksanaan polugri terutama jika dikaitkan dengan isu-isu utama global. 113
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Dalam kaitan ini, Asia Tenggara merupakan lingkaran konsentris pertama kawasan terdekat Indonesia. Oleh karena itu Indonesia telah menetapkan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) sebagai soko guru atau salah satu pilar utama dalam pelaksanaan politik luar negerinya. Kawasan Asia Tenggara yang stabil, aman, damai dan kondusif merupakan modal dasar yang penting untuk pembangunan nasional Indonesia. Kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN telah bergeser sejak ambruknya Rezim Orde Baru. Mengingat Soeharto dianggap sebagai “big brother” yang sekaligus menjadi “natural leader of ASEAN”, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus mampu menunjukkan perannya. Terlebih lagi pada KTT ASEAN ke-16 di Ha Noi tanggal 8-9 April 2010, Indonesia kembali menjadi Ketua ASEAN pada tahun 2011. Posisi tersebut membawa konsekuensi logis bahwa Indonesia harus siap dalam memanfaatkan momentum strategis ini untuk kepentingan nasional, kemajuan kawasan dan evolusi tatanan regional di kawasan Asia Tenggara, Asia Timur dan Pasifik serta perjalanan ASEAN menuju Komunitas ASEAN di tahun 2015. Untuk itu, posisi tersebut dapat menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia dalam memperkuat kemampuan diplomasi dan meningkatkan kualitas kepemimpinannya di kawasan. Kondisi politik, keamanan, ekonomi dan sosial kawasan yang dinamis menjadi satu tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk menyelaraskannya dengan tujuan ASEAN dalam pembentukan Komunitas ASEAN 2015 serta dalam memenuhi kepentingan nasional. Akhirnya, momentum itu harus dapat dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Indonesia untuk mengembalikan posisi sebagai “natural leader” di kawasan. ___________ Daftar Pustaka Buku Acharya, Amitav. 2001. Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order. London and New York: Routledge, hal.45. Adler, Emmanuet and Michael Barnett. 1998. “A framework for the study of security communities” dalam Adler and Barnett, Security Communities. Cambridge: University Press, hal.31. Buzan, Barry. 1991. People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era. Hempstead: Harvester Wheatsheaf, hal.74-80. Cipto, Bambang. 2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara: Teropong Terhadap Dinamika, Realitas dan Masa Depan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.9-33.
114
Agung Setiyo Wibowo Kepemimpinan Indonesia dalam ASEAN: Dari Soeharto sampai Susilo Bambang Yudhoyono
Djafar, Zainuddin. 2006. Rethinking the Indonesian Crisis. Bandung: Pustaka Jaya, hal.162. Djani, Dian Triansyah. 2008. ASEAN Selayang Pandang. Jakarta: Direktur Jenderal Kerjasama ASEAN Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, hal.23-27 Habib, A.Hasnan. 1990. Kapita Selekta: Strategi dan Hubungan Internasional. Jakarta: CSIS, hal. 395. Hatta, Mohammad. 1953. “Indonesian Foreign Policy”. Foreign Affairs (Pre-1986), hal.444. Hoffman, Stanley. 1998. “A World of Complexity” dalam Douglas J.Muray dan Paul Viotti. The Defense Policies of Nations: A Comparative Study. Lexington: Lexington Books, hal.25. Holsti, K.J. 1988. International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey: Prentice Hall, hal.159. Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya, hal.25. Saap, Daniel S. 1988. Contemporary International Relations: A Framework for Understanding. New York: McMillan Publishing Co., hal.365. Soekanto, Sarjono. 2001. Sosiologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal.268. Soesastro, Hadi. Indonesia’s Role in ASEAN and Its Impact on US-Indonesia Economic Relationship. Testimony at a Hearing of the Senate Foreign Relations Subcommittee on East Asia and the Pacific, U.S. Senate, September 15, 2005. Wanandi, Jusuf. 2001. “ASEAN’s Past and the Challenges Ahead: Aspect of Politics and Security” dalam Reinventing ASEAN. Singapura: ISEAS, hal.25. Weatherbee, Donald E. 2005. International Relations in Southeast Asia: The Struggle for Autonomy. Oxford: Rowman & Littlefield Publishers Inc., hal.121. Yudhoyono, Susilo Bambang Yudhoyono. 2005. Transforming Indonesia: Selected International Speeches. Jakarta: Office of the Special Staff of the President for International Affairs in cooperation with PT Buana Ilmu Komputer, hal.390. Jurnal Severino, Rodolfo.”Toward an ASEAN Security Community”. ISEAS: Trends in Southeast Asia Series, No.8 (2004).
115
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 7 No. 2, Juni 2010: Edisi Khusus
Sopiee, Noordin. 1994. “ASEAN into the Second Generation: Potensials and Proposals in the Political and Security Dimension.” ASEAN-ISIS Monitor, No.5 (October/December):18-22. Surat Kabar/Koran Abimanyu, Anggito. Manfaatnya Bagi Indonesia. Kompas, Selasa, 31 Maret 2009. Badan HAM ASEAN Jauh di Bawah Standar, Kompas, Minggu, 9 Agustus 2009. Dahlan, Ahmad. Kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Suara Merdeka, Rabu, 24 Oktober 2007. Prasetyono, Edi. Jalan Panjang Badan HAM ASEAN. Harian Kompas, Rabu 11 Januari 2010. Santi, Natalia. Indonesia Dorong ASEAN Menjadi Komunitas yang Demokratis. Harian Umum Sore Sinar Harapan, Selasa, 22 Agustus 2006. Website ASEAN Apresiasi Sikap Indonesia Dalam G20 dalam www.antaranews.com/ berita/1256401674/asean-apresiasi-sikap-indonesia-dalam-g20 diakses pada 23 April 2010 pukul 13.34 WIB. ASEAN Secretariat. “Annual Report 2008-2009”.Implementing the Roadmap for an ASEAN Community 2015 dalam http://www.aseansec.org/publications/ AR09. pdf diakses pasa 24 April 2010 pukul 08.15 WIB. Government and Politic of Indonesia, USA Library Congress dalam http://countrystudies.us/indonesia/ diakses pada 19 April 2010 pukul 21.45 WIB. Maret 2009 dalam http://www.ahmadheryawan.com/opini-media/hukum/2333-jalanpanjang-badan-ham-asean.pdf diakses pada 25 April 2010 pukul 09.06 WIB. Pratoomraj, Sarawut. 2006. Indonesia’s Role in UN Human Rights Council dalam http://www.indonesiamatters.com/396/indonesias-role-in-un-human-rightscouncil/ diakses pada 23 April 2010 pukul 21.43 WIB. Ratna, Heppy. 2009. AICHR dan Penguatan Perlindungan HAM di ASEAN dalam http://news.antara.co.id/berita/1256362459/aichr-dan-penguatanperlindungan-ham-di-asean diakses pada 24 April 2010 pukul 08.58 WIB. Utomo, Aris Heru .Peran Indonesia di ASEAN. “Blog Diplomatik Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia” dalam http://blog.deplu.go.id/post/2010/ 01/11/tes.aspx diakses pada 25 April 2010 pukul 07.39 WIB. http://www.yipd.or.id/berita_agenda/index.php?act=detail&p_id=12434&p_cat=
116