Kata Pengantar
S
egala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena terselesaikannya, Referat yang berjudul “Arthritis Reumatoid”. Referat ini disusun sebagai sarana diskusi dan pembelajaran, serta diajukan guna memenuhi persyaratan
penilaian di Kepaniteraan Klinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus. Penghargaan dan rasa terima kasih disampaikan kepada dr. Bambang Adi, Sp.PD yang telah memberikan dorongan, bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan referat ini. Penyusun juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan referat ini. Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih jauh dari sempurna, baik mengenai isi, susunan bahasa, maupun kadar ilmiahnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengalaman dari penyusun dalam mengerjakan penyusunan referat ini. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Kudus, 11 November 2013
Penyusun
1
DAFTAR ISI Kata pengantar...................................................................................................................1 Daftar isi............................................................................................................................2 Pendahuluan.......................................................................................................................3 Etiologi...........................................................................................................................3-5 Patofisiologi...................................................................................................................5-7 Manifestasi klinis...........................................................................................................7-9 Kriteria diagnostik AR..................................................................................................9-11 Konsep pengobatan AR..............................................................................................12-14 Daftar pustaka..................................................................................................................15
2
1.
Pendahuluan Artritis reumatoid (AR) merupakan suatu penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua kelompok ras dan etnik di dunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya sinovitis erosif simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan persendian, seringkali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif yang menyebabkan disabilitis bahkan kematian dini. Walaupun faktor genetik, hormon seks, infeksi dan umur telah diketahui berpengaruh kuat dalam menentukan pola morbiditas penyakit ini, hingga AR yang sebenarnya tetap belum dapat diketahui dengan pasti.1
2.
Etiologi Walaupun faktor penyebab mauun patogenesis AR yang sebenarnya hingga kini tetap belum diketahui dengan pasti, faktor genetik seperti produksi kompleks histokompatibilitas utama kelas II (HLA-DR) dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kompleks histokompatibilitas utama kelas II Telah lama diketahui bahwa AR lebih sering dijumpai pada kembar monozygotic dibandingkan dengan kembar dizygotic. Akan tetapi bukti terkuat yang menunjukkan AR memiliki predeposisi genetik diketahui dari terdapatnya hubungan antara produksi kompleks histokompatibilitas utama kelas II (MHC class II determinants), khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Dari data beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang mengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini.2 Hubungan hormon sex dengan artritis reumatoid Berbagai observasi telah menimbulkan dugaan bahwa hormon sex merupakan salah satu faktor predeposisi penyakit ini. Sebagai contoh, prevalensi AR diketahui 3 kali lebih banyak diderita kaum wanita dibanding kaum pria. Rasio ini dapat mencapai 5:1 pada wanita dalam usia subur. Demikian pula remisi seringkali dijumpai pada pasien AR yang 3
sedang hamil. Akan tetapi, walaupun masih banyak kontroversi dalam hal ini, beberapa observasi telah menunjukkan bahwa penggunaan kontrasepsi oral atau penggunaan peparat estrogen ekternal bagi wanita yang telah mengalami menopause menimbulkan kesan terjadinya penurunan insidens penyakit ini. Walaupun demikian, dari meta-analisis yang dilakukan oleh Romieu dan kawan-kawan telah dapat disimpulkan bahwa walaupun penggunaan kontraseptif oral mengesankan adanya suatu efek protektif terhadap terjadinya AR, secara statistik hal ini tidak bermakna.2 Faktor infeksi sebagai penyebab artritis reumatoid Sejak tahun 1930, faktor infeksi telah diduga menjadi penyebab AR.. Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Dengan demikian timbul dengan kuat bahwa penyakit ini sangat mungkin disebabkan oleh tercetusnya suatu proses autoimun oleh suatu antigen tunggal atau beberapa antigen tertentu saja. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab AR antara lain adalah bakteri, mycoplasma atau virus. Walaupun hingga saat ini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganise dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen petidoglika atau endotoksin mikro organisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR.2 Pada percobaan binatang telah terbukti bahwa Mycoplasma arthridis dapat menimbulkan gejala artritis pada kelinci dan virus HTLV-1 dapat menimbulkan artropi inflamasi pada tikus. Pada manusia, gejala artritis dapat pula dijumpai pada pasien hepatitis B atau demam reumatik.2 Akhir-akhir ini virus Epstein Barr (EBV) telah banyak menarik perhatian para ahli. Pada pasien yang mengalami infeksi EBV, seringkali dijumpai gejala artralgia, walaupun jarang dijumpai gejala artritis yang jelas. Akan tetapi karena pada beberapa penelitian dijumpai titer antibodi terhadap EBV yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dari kelompok kontrol dan secara in vitro dan telah terbukti bahwa tranformasi limfosit terjadi lebih cepat setelah dilakukan pemaparan terhadap EBV, timbul dugaan kuat bahwa EBV merupakan salah satu faktor penyebab AR. Dari fakta ini dapat disimpulkan bahwa
4
walaupun EBV bukan merupakan penyebab langsung dari timbulnya AR, kemungkinan bahwa EBV menyebabkan terjadinya perubahan respons imun terhadap antigen eksogen atau endogen lain belum dapat disingkirkan.2 Infeksi virus rubella dapat pula menimbulkan berbagai manifestasi artikular, yang walaupun jarang dapat pula menimbulkan gejala poliartritis simetris kronik. Walaupun demikian hingga kini belum terbukti bahwa virus rubella merupakan salah satu faktor penyebab timbulnya AR.2 3.
Patofisiologi Patogenesis AR dimulai dengan terdapatnya suatu antigen yang berada pada membran sinovial. Pada membran sinovial tersebut, antigen tersebut akan diproses oleh antigen presenting cells (APC) yang terdiri dari berbagai jenis sel seperti sel synoviocyte A, sel denritik atau makrofag dan semuanya yang mengekspresi determinan HLA-DR pada membran selnya. Antigen yang telah diproses oleh APC selanjutnya dilekatkan pada CD4+, suatu subset sel T sehingga terjadi aktivasi sel tersebut. Untuk memungkinkan terjadinya aktivasi CD4+, sel tersebut harus mengenali antigen dan determinan HLA-DR yang terdapat pada permukaan membran APC. Proses aktivasi CD4+ ini juga dibantu oleh interleukin-1 (IL-1) yang disekresi oleh monosit atau makrofag. Pada tahap selanjutnya, antigen, determinan HLS-DR yang terdapat pada permukaan membran APC dan CD4+ akan membentuk suatu kompleks antigen trimolukar. Kompleks antigen trimolekular tersebut akan mengekspresi reseptor interleukin-2 (IL-2) pada permukaan CD4+. IL-2 yang disekresi oleh CD4+ akan mengikatkan diri pada reseptornya dan menyebabkan terjadinya mitosis dan proliferasi sel tersebut. Proliferasi CD4+ ini akan berlangsung terus selama antigen tetap berada dalam lingkungan tersebut.1-4 Selain IL-2, CD4+ yang telah teraktivasi juga mensekresi berbagai limfokin lain seperti Ä-interferon, tumor necrosis factor β (TNF-β), IL-3, IL-4 (B-cell differentiating factor), granulocyte/macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) serta beberapa mediator lain yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang terjadinya proliferasi serta aktivasi sel B utnuk memproduksi antibodi. Produksi antibodi oleh sel B ini juga dibantu oleh IL-1, IL-2 dan IL-4 yang
5
disekresi oleh sel CD4+ yang telah teraktivasi. Setelah berikatan dengan antigen yang sesuai, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan berdifusi secara bebas ke dalam ruang sendi. Pengendapan kompleks imun pada membran sinovial akan menyebabkan aktivasi sistem komplemen dan membebaskan komplemen C5a. Komplemen C5a merupakan faktor kemotatik yang selain meningkatkan permeabilitas vaskular juga menarik lebih banyak sel PMN yang memfagositir kompleks imun tersebut sehingga mengakibatkan degranulasi mast cell dan pembebasan radikal oksigen, leukotrien, enzim lisosomal, prostaglandin, collagenase dan stromelysin yang semuanya bertanggung jawab atas terjadinya inflamasi dan kerusakan jaringan seperti erosi rawan sendi dan tulang.1-4 Radikal oksigen dapat menyebabkan terjadinya depolimerisasi hyaluronate sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas cairan sendi serta juga merusak jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi. Walaupun leukotrien LTB 4 diketahui menyebabkan terjadinya migrasi dan agregasi netrofil yang kuat, akan tetapi peranan LTB 4 pada patogenesis AR belum dapat dijelaskan dengan pasti. Prostaglandin E 2 (PGE 2) memiliki efek vasodilator yang kuat dan dapat merangsang terjadinya resorpsi tulang osteoklastik dengan bantuan Il-1 dan TNF-β. Akan tetapi karena PGE2 juga menghambat sekresi IL-2 dan Ä-interferon, PGE2 juga memiliki efekanti inflamasi.1-4 Pengendapan kompleks imun juga menybabkan masuknya sel T kedalam membran sinovial dan akan merangsang terbentuknya pannus yang merupakan elemen yang paling bersifat destruktif pada patogenesis AR. Pannus merupakan jaringan granulasi yang terdiri dari makrofag yang teraktivasi, sel fibroblast yang berproliferasi dan jaringan mikrovaskular. Pannus dapat menginvasi jaringan kolagen dan proteoglikan rawan sendi serta tulang sehingga dapat menghancurkan struktur persendian. Jika proses pembentukan pannus tidak berhenti baik karena pengobatan atau terjadinya remisi spontan, proses ini akan menyababkan terjadinya ankilosis. Pembentukan pannus juga mengakibatkan terjadinya peningkatan ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang merupakan tempat perlekatan sel mononukleus pada sel endotel mikrovaskuler. Ekspresi ICAM-1 pada sel endotel kapiler sinovial mengakibatkan terjadinya perningkatan adhesi sel mononukleus pada endhotel kapiler. Walaupun pada AR terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan
6
peningkatan adhesi sel mononuklear, tidak semua subsel sel T mengalami migrasi dari kapiler sinovial. Hanya fenotip sel T tertentu saja yang keluar dari kapiler sinovial yaitu subset CD+4, CD45RO dan CD29 bright.1-4 Peristiwa di atas menunjukkan bahwa pengenalan antigen AR terjadi setelah subset sel T tersebut meninggalkan thymus. Terdapatnya reseptor MHC Class II seperti HLA-DR, DQ dan DP pada permukaan sel T bersama dengan adanya very late antigen type 1 (VLA-1) menunjukkan bahwa aktivitas dan proliferasi sel T terjadi secara lokal. Dari penemuan ini dapat disimpulkan bahwa aktivitas sel T mungkin dicetuskan oleh suatu antigen yang tidak diketahui, APC atau kompleks peptida trimolekuler dalam ruang sendi yang mengakibatkan terjadinya sinovitis pada AR.1-4 Rantai peristiwa imunologis ini umumnya akan terhenti bila antigen penyebab dapat dihilangkan dari lingkungan tersebut. Akan tetapi padda AR, antigen atau komponennya umumnya akan menetap pada struktur persendian sehingga proses destruksi persendian pada AR kemungkinan juga disebabkan karena terbentuknya faktor reumatoid. Faktor reumatoid adalah suatu autoantibodi terhadap epitope fraksi Fc IgG yang dijumpai pada 70 sampai 90& pasien AR. Bagaimana suatu imunoglobulin dapat berubah sifatnya menjadi antigen, hal ini belum dapat diterangkan dengan jelas. Faktor reumatoid juga dapat berikatan dengan komplemen atau mengalami agregasi sendiri, sehingga proses peradangan akan berjalan terus. Terbentuknya autoantibodi terhadap collagen type II baik yang bersifat native ataupun yang telah mengalami denaturasi dapat pula mengekalkan terjadinya peradangan dengan mekanisme yang sama.1-4 Lamanya AR berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus . 1-4
4.
Manifestasi klinis Gejala umum AR datang dan pergi, tergantung pada tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, 7
penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali.4-6 Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis AR sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis. Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia.4-6 Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah : mulai pada persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Secara progresif mengenai persendian, lutut, bahu, pinggul, siku, pergelangan kaki, tulang belakang serviks, dan temporomandibular. Awitan biasanya akut, bilateral dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit. Deformitas tangan dan kaki adalah hal yang umum.4-6 Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu :4-6 Stadium sinovitis Pada stadium ini terjadi perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan. Stadium destruksi Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon. Stadium deformitas
8
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap. Keterbatasan fungsi sendi dapat terjadi sekalipun stadium pada penyakit yang dini sebelum terjadi perubahan tulang dan ketika terdapat reaksi inflamasi yang akut pada sendisendi tersebut. Persendian yang teraba panas, membengkak, tidak mudah digerakkan dan pasien cendrung menjaga atau melinddungi sendi tersebut dengan imobilisasi. Imobilisasi dalam waktu yang lama dapat menimbulkan kontraktur sehingga terjadi deformitas jaringan lunak. Deformitas dapat disebabkan oleh ketidaksejajajran sendi yang terjadi ketika sebuah tulang tergeser terhadap lainnya dan menghilangkan rongga sendi.5 Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut usia menurut Buffer, yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.2,3
5. Kriteria diagnostik AR Kriteria diagnostik AR disusun untuk pertama kalinya oleh suatu komite khusus dari American Rheumatism Association (ARA) pada tahun 1956. Karena kriteria tersebut dianggap tidak spesifik dan terlalu rumit untuk digunakan dalam klinik, komite tersebut melakukan peninjauan kembali terhadap klasifikasi AR tersebut pada tahun 1958.2,3,5 Dengan kriteria tahun 1958 ini seseorang dikatakan menderita AR klasik jika memenuhi 7 dari 11 kriteria yang ditetapkan, definit jika memenuhi 5 kriteria, probable jika memenuhi 3 kriteria dan possible jika hanya memenuhi 2 kriteria saja. Walaupun kriteria tahun 1958 ini telah digunakan selama hampir 30 tahun, akan tetapi dengan terjadinya perkembangan pengetahuan yang pesat mengenai AR, ternyata diketahui bahwa dengan menggunakan kriteria tersebut banyak dijumpai kesalahan diagnosis atau dapat memasukkan jenis artritis lain seperti spondyloarthropathy seronegatif, penyakit pseudorheumatoid akibat deposit calcium pyrophosphate dihydrate, lupus eritematosus sistemik, polymyalgia rheumatica, penyakit lyme dan berbagai jenis artritis lainnya sebagai AR.2,4 9
Pembagian AR sebagai classic, definite, probable dan possible, secara klinis juga dianggap tidak relevan lagi. Hal ini disebabkan karena dalam praktek sehari-hari, tidak perlu dibedakan penatalaksanaan AR yang classic dari AR definite. Selain itu seringkali pasien yang didiagnosis sebagai menderita AR probable ternyata menderita jenis artritis yang lain. Walaupun peranan faktor reumatoid dalam patogenesis AR belum dapat diketahui dengan jelas, dahulu dianggap penting untuk memisahkan kelompok pasien seropositif dari seronegatif. Akan tetapi pada faktanya, faktor reumatoid seringkali tidak dapat dijumpai pada stadium dini penyakit atau pembentukannya dapat ditekan oleh disease modifying antirheumatic drugs (DMARD). Selain itu spesifikasi faktor reumatoid ternyata tidak dapat diandalkan karena dapat pula dijumpai pada beberapa penyakit lain. Dua kriteria tahun 1958 yang lain sepert analisis bekuan musin dan biopsi membran sinovial memerlukan prosedur invasif sehingga tidak praktis untuk digunakan dalam diagnosis rutin.2,6 Dengan menggabungkan variabel yang paling sensitif dan spesifik pada 262 pasien AR dan 262 pasien kontrol, pada 1987 ARA berhasil dilakukan revisi susunan kriteria klasifikasi AR dalam format tradisional yang baru. Susunan kriteria tersebut adalah sebagai berikut:2,-4 Kaku pagi Artritis pada 3 daerah persendian atau lebih Artritis pada persendian tangan Artritis simetris Nodul reumatoid Faktor reumatoid serum positif Perubahan gambaran radiologis Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang-kurangnya kriteria 1 sampai 4 yang diderita sekurang-kurangnya 6 minggu.
10
Tabel 1. Kriteria ARA untuk AR, revisi tahun 1987.2 No. 1.
Kriteria Kaku pagi hari
Definisi Kekakuan pada pagi hari pada persendian dan sekitarnya, sekurangnya selama 1 jam sebelum pebaikan maksimal
2.
Artritis pada 3 daerah
Pembengkakan jaringan lunak atau persendian atau lebih
persendiaan atau lebih
efusi (bukan pertumbuhan tulang) pada sekurangkurangnya 3 sendi secara bersamaan yang diobservasi oleh seorang dokter
3.
4.
Artritis pada
Sekurang-kurangnya terjadi pembengkakan satu
persendian tangan
persendiaan tangan seperti yang tertera di atas
Artritis simetris
Keterlibatan sendi yang sama (seperti yang tertera pada kriteria 2 pada kedua belah sisi (keterlibatan PIP, MCP atau MTP bilateral dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris)
5.
Nodul reumatoid
Nodul subkutan pada penonjolan tulang atau pembukaan ekstensor atau daerah juksta artikuler yang diobservsi oleh seorang dokter
6.
Faktor reumatoid
Terdapat titer abnormal faktor reumatoid serum yang
serum positif
diperiksa dengan cara yang memberikan hasil positif < 5% kelompok kontrol yang diperiksa
7.
Perubahan gambar
Perubahan gambar radiologis yang khas bagi AR pada
radiologis
pemeriksaan sinar -x tangan posterior atau pergelangan tangan yang harus menunjukkan adanya erosi atau dekalsifikasi tulang yang berlokasi pada sendi atau daerah yang berdekatan dengan sendi (perubahan akibat osteoartritis saja tidak memnuhi persyaratan)
11
6.
Konsep pengobatan AR Walaupun hingga kini belum berhasil didapatkan suatu cara pencegahan dan pengobatan AR yang sempurna, saat ini pengobatan AR ditujukan untuk:2,5,7 Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik. Mencegah terjadinya destruksi jaringan. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar tetap dalam keadaan baik. Mengembalikan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar sedapat mungkin menjadi normal. Terapi
di
mulai
dengan
pendidikan
pasien
mengenai
penyakitnya
dan
penatalaksanaan yang akan dilakukan sehingga terjalin hubungan baik antara pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Tanpa hubungan yang baik akan sukar untuk dapat memelihara ketaatan pasien untuk tetap berobat dalam suatu jangka waktu yang lama.2,5,7 Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) umumnya diberikan pada pasien AR sejak masa dini penyakit yang dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi sinovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, OAINS juga memberikan efek analgesik yang sangat baik.2,5 OAINS terutama bekerja dengan menghambat enzim siklo-oxygenase sehingga menekan sintesis prostaglandin. Masih belum jelas apakah hambatan lipooxygenase juga berperab dalam hal ini, akan tetapi jelas bahwa OAINS bekerja dengan cara:1,2 Memungkinkan stabilisasi membran lisosomal. Menghambat pembebasan dan aktivitas mediator inflamasi (histamin, serotonin, enzim lisosomal dan enzim lainnya).
12
Menghambat migrasi sel ke tempat peradangan. Menghambat proliferasi selular. Menetralisasi radikal oksigen. Menekan rasa nyeri. Selama ini telah terbukti bahwa OAINS dapat sangat berguna dalam pengobatan AR, walaupun OAINS bukanlah merupakan satu-satunya obat yang dibutuhkan dalam pengobatan AR. Hal ini disebabkan karena golongan OAINS tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat AR. Untuk mengatasi proses destruksi tersebut diperlukan obat-obatan lain yang termasuk dalam golongan DMARD (diseases-modifying antirheumatic drug).2 Terdapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan pasien AR. Cara pertama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa destruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini penyakit. Brook dan Corbett, pada penelitiannya menemukan bahwa 90% pasien AR telah menunjukkan gambaran erosi secara radiologis pada dua tahun pertama setelah menderita penyakit. Hasil pengobatan jangka panjang yang buruk pada sebagian besar penelitian sangat mungkin disebabkan karena pengobatan baru dimulai setalah masa kritis ini dilampaui.2 Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau secara siklik seperti penggunaan obat-obatan imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. Sebenarnya tidak terdapat suatu batasan yang tegas mengenai kapan kita harus menggunakan DMARD. Hal ini disebabkan karena hingga kini belum terdapat suatu cara yang tepat untuk dapat mengukur beratnya sinovitis atau destruksi tulang rawan pada pasien AR. Dengan demikian, keputusan menggunakan DMARD pada seorang pasien AR akan sepenuhnya bergantung pada pertimbangan dokter yang mengobatinya. Umumnya pada pasien yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan pasti, OAINS harus diberikan dengan segera. Pada pasien yang tersangka menderita AR yang tidak menunjukkan respons
13
terhadap OAINS yang cukup baik dalam beberapa minggu, DMARD dapat mulai diberikan untuk mengontrol progresivitas penyakitnya.2,7 Saat ini DMARD yang popular digunakan adalah methotrexate (MTX), sulazalazine, siklosporin-A dan beberapa jenis DMARD baru seperti leflunomide. Selain itu saat ini telah tersedia pula modilator inflamasi biologis dan inhibitor TNF-α seperti etanercept (suatu human recombinant reseptor TNF-α yang larut dan terkonjugasi pada reseptor Fc IgG1) dan infliximab (antibodi monoclonal terhadap TNF-α).2,7 Menjaga supaya rematik tidak terlalu mengganggu aktivitas sehari-hari, sebaiknya digunakan air hangat bila mandi pada pagi hari. Dengan air hangat pergerakan sendi menjadi lebih mudah bergerak. Selain mengobati, kita juga bisa mencegah datangnya penyakit ini, seperti: tidak melakukan olahraga secara berlebihan, menjaga berat badan tetap stabil, menjaga asupan makanan selalu seimbang sesuai dengan kebutuhan tubuh, terutama banyak memakan ikan laut. Mengkonsumsi suplemen bisa menjadi pilihan, terutama yang mengandung Omega 3. Didalam omega 3 terdapat zat yang sangat efektif untuk memelihara persendian agar tetap lentur. 2,7
Daftar Pustaka
14
1.
Rudolf M, Deighton C, Bosworth A, Hall J, Hammond A, Hennell S, et al. National clinical guideline for management and treatment in adults: rheumatoid arthritis. London: Royal College of Physicians; 2009.
2.
Daud R. Artritis reumatoid. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S [editor]. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. Edisi kelima. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam; 2009.h.1184-91.
3.
Lipsky PE. Rheumatoid Arthritis. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braundwald E Hauser S, Jameson JL [editor]. Harrison's Principles of Internal Medicine. 16 th edition. New York: McGraw Hill Companies; 2007.p.1968-76.
4.
Michet CJ, Moder KG, Ginsburg WW. Rheumatology. In: Habermann TM, Ghosh AK [editor]. Mayo clinic internal medicine concise book. USA: Mayo Clinic And Scientific Press; 2007.
5.
Aletaha D, Neogi T, Silman AJ, Funovits J, Felson DT, Bingham CO, et al. Arthritis & rheumatism: 2010 rheumatoid arthritis classification criteria. Vol. 62, No. 9, September 2010.
An
Official
Journal
of
the
American
College
of
Rheumatology,
www.arthritisrheum.org and www.interscience.wiley.com. 6.
Imboden JB. Hellman DB, Stone JH. Current diagnosis & treatment in rheumatology: rheumatoid arthritis. Second edition. New York: McGraw Hill Companies; 2007.
7.
Warrell DA, Cox TM, Firth JD, Benz EJ. Oxford textbook of medicine : rheumatology. Volume 1. Fourth edition. UK: Oxford University Press; 2003.
15