Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
1|Prosiding
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
ISBN : 978-979-3145-36-5 DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM
PROSIDING
EKSPOSE/ DISKUSI Hasil-hasil penelitian Balai penelitian dan pengembangan Kehutanan NTT Dan Nusa Tenggara
Kupang, 12 Desember 2006
2|Prosiding
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan karunia-Nya Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan NTT dan Nusa Tenggara telah berhasil menyelenggarakan Ekspose/Diskusi hasil-hasil penelitian Kehutanan pada tanggal 12 Desember 2006 di Kupang. Ekspose yang membahas makalah utama ini dihadiri oleh jajaran Litbang Kehutanan, Dinas kehutanan NTT, kalangan perguruan tinggi, peneliti, penyuluh, LSM, dan Pengusaha Hasil Hutan Bukan Kayu.
Prosiding ini berisi makalah-makalah ekspose yang telah disempurnakan berdasarkan saran dan kritik selama ekspose berlangsung, serta memuat perumusan dari makalah yang dibahas tersebut. Penerbitan prosiding ini dimaksudkan sebagai media penyebarluasan informasi ilmiah hasil kegiatan penelitian yang diharpkan dapat menunjang pelaksanaan pembangunan hutan dan kehutanan, khususnya di wilayah pelayanan Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan NTT dan Nusa Tenggara.
Kepada semua pihak yang telah membantu baik dalam penyelenggaraan ekspose maupun penerbitan prosiding ini, kami mengucap[kan terima kasih dan penghargaaan setinggi-tingginya. Semoga prosiding ini bermanfaaat.
Bogor, 12 September 2007 Kepala Pusat
Ir. Anwar, M.Sc.
3|Prosiding
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tim Penyusun Koordinator Ketua Anggota
Sekretariat
4|Prosiding
: Ir. Sulistyo A. Siran, M.Sc : Ir. Tigor Butar-butar, M.Sc : Dr. A. Ngaloken Ginting Ir. Chairil Anwar, M.Sc Prof. Dr. Hendi Suhaendi Dr. Pratiwi Ir. Djoko Wahjono, M.S Ir. I Komang Surata : Drs. Haryono Ir. Sigit Bhaktya Prabawa, M.Sc Mardiah
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
DAFTAR ISI
Kata Pengantar…………………………………….…………………………. Daftar isi……………………………………………………………………… Laporan Ketua Panitia Penyelenggara………………………………………… Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan ………………………………… Sambutan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur…………………………. Rumusan……………………………………………………………………… MAKALAH UTAMA 1. Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Cendana di NTT Lefa Rafael Levis……………………………………………………… 2. Pengembangan Budidaya Cendana (Santalum album Lin.) di Musim Kering I Komang Surata………………………………………………. 3. Prospek Pengembangan Penangkaran Rusa Timor Oleh Masyarakat Kayat dan Mariana Takandjandji………………………………………………… 4. Evaluasi Uji Perolehan Genetik Melaleuca cajuputi Sampai Umur satu tahun di Lapangan Sumardi……………………………………………. 5. Teknik Budidaya dan Produksi Gaharu I Komang Surata……………………………………………………… 6. Potensi Pengembangan Industri Lebah Madu Hutan di NTT Dennis Nitte dan Budiyanto Dwi Prasetyo ……………………………….. 7. Ancaman Degradasi Lahan pada Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina di Timor Barat. Gerson ND. Njurumana…………………………………….. 8. Teknologi Budidaya dan Pengolahan Rotan dan Bambu Karnita Yuniarti……………………………………………………………. 9. Teknologi Pengolahan dan Budidaya Minyak Atsiri Ina Winarni……………………………………………………………. 10. Kajian Peningkatan Nilai Tambah dan Diversifikasi Produk Kemiri di Kabupaten Ende (Rahman Kurniadi)……………………………………. MAKALAH PENUNJANG 1. Tehnik Penanaman tananaman inang kutu lak di Sumba Timur Sujarwo Sujatmoko………………………………………………………. 2. Studi Keberhasilan pertumbuhan tanaman jarak pagar (Jatropha curcas linn) pada pola tanam campuran Ida Rachmawati…………………………………………………………… 3. Penyebaran permudaan dan potensi jenis ulin (Eusideroxylon zwageri T. et B) di Kalimantan Timur Mawazin………………………………………………………………….. 4. Beberapa alternative manajemen kesuburan tanah di kebun percobaan pada beberapa tapak di Pulau Timor Barat. Tigor Butarbutar dan Siswadi ……………………………………………… 5. Kajian penanaman Shorea Leprosula dalam system silvikultur TPTJ di Kalimantan Tengah Mawazin……………………………………………………………………. 6. Status penelitian silvikultyur duabanga (Duabanga Molucana) di Balai Litbang Kehutanan NTT dan Nusa Tenggara I Komang Surata…………………………………………………………. 7. Beberapa alternative peningkatan taraf hidup masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional Manupeu Tanahdaru, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur Tigor Butarbutar……………………………………………………………. 5|Prosiding
Hal i v vii ix xi xv
1 7 21 31 39 59 73 89 105 123
137
145
155
163
171
181
197
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
8.
Pengaruh perlakuan pendahuluan dan ukuran benih terhadap perkecambahan surian bawang (Melia excels Jack) Mawazin …………………………………………………………………… 9. Status Kesuburan tanah pada beberapa kawsan di Nusa Tenggara M. Hidayatullah dan Tigor Butarbutar……………………………………. 10. Rehabilitasi lahan melalui pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan di Nusa Tenggara Timur. M.Hidayatullah dan Gerson Njurumana …………………………………… Lampiran Jadwal Acara Daftar Peserta Diskusi
6|Prosiding
207 215
225 223 235 237
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
’ Laporan Panitia Penyelenggara Pada Ekspose/Diskusi Hasil-hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan NTT-Nusa Tenggara Kupang, 12 Desember 2006
Selamat pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua Yang Terhormat: •
Bapak Kepala Dinas Kehutanan Propvinsi NTT atau yang mewakili
•
Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan
•
Bapak Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten se-NTT
•
Bapak-Bapak Kepala Kepala UPT Lingkup Dephut Propinsi NTT
•
Hadirin yang berbahagia
Pertama-tama perkenankan kami, memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkatnya kita bersama-sama hadir pada acara ini dalam keadaan sehat walafiat. Yang kedua kami ucapkan terima kasih kepada : 1. Bapak Gubernur dan jajaran pemerintah Provinsi NTT atas perkenan dan ijin beliau sehingga Ekspose/diskusi hasil penelitian ini dapat terselenggara. 2. Bapak Kepala Dinas Kehutanan Propinsi NTT dan jajaran staf serta semua pihak yang telah membatu hingga terselenggaranya Ekspose/diskusi hasil penelitian Selanjutnya perkenankan kami menyampaikan laporan penyelenggaraan acara ini.
Latar Belakang dan Dasar Pelaksanaan Salah satu tugas pokok dan fungsi Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan NTT dan Nusa Tenggara (BP2KBNT) adalah menyebarluaskan hasil-hasil penelitian. Ekspose/diskusi hasil penelitianini merupakan sarana pelaksanaan dan pertanggung jawaban dari tugas dan fungsi tersebut.
yang diselenggarakan karena adanya keinginan yang kuat dari BP2KBNT untuk
memberikan kontribusi dan pemikiran dalam pelaksanaan pembangunan hutan tanaman cendana di NTT sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Selain peneliti dari Balai Litbang Kehutanan Bali-Nusa Tenggara, makalah yang disajikan dalam acara ini juga berasal dari rekan-rekan dari Universitas Nusa Cendana, BPPT, kalangan swasta dan Pusat Litbang Hasil Hutan Bogor.
Maksud dan Tujuan Ekspose/diskusi hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mendukung pemantapan desentralisasi kehutanan, sekaligus sebagai langkah sosialisasi awal terhadap hasil-hasil litbang yang sudah ada dan identifikasi kebutuhan penelitian kehutanan dimasa mendatang. Tujuannya adalah : 1. Menggalang dan membangun kesamaan presepsi dan visi berbagai pihak (Pemerintah, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi dalam rangka penajaman arah penelitian dan pemanfaatan hasil litbang. 7|Prosiding
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2. Menyajikan hasil hasil litbang cendana di wilayah Propinsi NTT dan sekitarnya yang dipandang relevan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan kehutanan khususnya di Pulau Timor Barat serta menggali tanggapan untuk penyempurnaan dan penerapannya dilapangan.
Luaran : 1. IPTEK untuk mendukung pemantapan pengelolaan Hasil Hutan bukan kayu 2. IPTEK yang mendukung pengembangan komoditi hasil hutan yang prospektif untuk yang memberdayakan ekonomi masyarakat disekitar hutan.
Waktu dan Tempat Ekspose/ diskusi ini dilaksanakan pada hari Selasa tangal 12 Desember 2006 di Hotel Kristal Kupang.
Peserta Jumlah peserta yang diundang sebanyak 100 orang, terdiri dari: Jajaran litbang kehutanan, BPPT, Dinas Kehutanan Provinsi NTT, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota se-Timor Barat, Muspida Provinsi NTT, perguruan tinggi, UPT Kehutanan di Provinsi NTT, peneliti, penyuluh, LSM, dan kalangan swasta
Sumber Dana Pembiayaan dalam pelaksanaan ekspose/diskusi hasil ini bersumber dari DIPA Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan NTT dan Nusa Tenggara Tahun 2006.
Demikian Laporan kami sampaikan dan kami mohon kepada Asisten IV untuk membuka acara ekspose/diskusi ini. Terima Kasih
Kepala Balai,
Ir. Tigor Butar Butar, MSc. NIP. 710006094
8|Prosiding
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan Pada Ekspose/Diskusi Hasil-hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan NTT dan Nusa Tenggara Kupang, 12 Desember 2006
Assalamu’alaikum Wr. Wb Selamat pagi dan Salam Sejahtera bagi kita semua. Ibu-ibu dan Bapa-bapak yang berbahagia, Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, bahwa pada pagi hari ini kita dapat berkumpul bersama di ruangan ini untuk mengikuti acara ekspose/diskusi hasil-hasil penelitian dan pengembangan kehutanan. Saya menyambut baik acara ini karena merupakan media/wadah komunikasi bagi para peneliti dan para pengambil kebijakan serta praktisi untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman dalam rangka peningkatan kinerja msingmasing dan peningkatan kinerja pembangunan kehutanan di Propinsi NTT.
Hadirin yang saya hormati, Harapan saya, forum ini dapat menciptakan suatu sinergi di antara para peneliti, pengguna, praktisi dan penentu kebijakan pembangunan kehutanan di Propinsi NTT Saya sangat optimis akan hal ini, karena penyaji makalah bukan hanya dari peneliti litbang kehutanan NTT Nusa Tenggara tetapi juga dari BPPT, Universitas Nusa Cendana, Dinas Kehutanan Propinsi NTT, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan dan kalangan swasta. Kita menyadari betapapun akuratnya hasil penelitian kalau tidak dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan oleh para pelaku pembangunan kehutanan, belumlah memberikan arti apaapa. Hasil penelitian harus mampu meningkatkan kinerja pembangunan kehutanan umumnya dan khususnya di propinsi NTT. Peran litbang kehutanan NTT dan Nusa Tenggara akan lebih ditingkatkan, hal ini telah dimulai dengan adanya perubahan organisasi dari Balai Litbang Kehutanan NTT dan Nusa Tenggara dengan wilayah kerja
meliputi Propinsi NTT, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur menjadi Balai Penelitian Kehutanan Kupang dengan wilayah kerja yang lebih khusus untuk Propinsi NTT dan Kabupaten Maluku Tenggara. dan Balai Litbang Kehutanan Mataram dengan wilayah kerja NTT dan Nusa Tenggara Barat.
Saudara-saudara sekalian Ekosistem
wilayah
Propinsi NTT mempunyai kekhasan dominan yang tersendiri, karena
mempunyai keanekaragaman yang bervariasi, mulai dari ekosistem semi arid, denganc urah hujan yang cukup rendah. Kondisi hutan saat ini cukup mendapat tekanan dari berbagai kepentingan, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan. Berdasarkan kondisi tersebut prioritas litbang perlu dititikberatkan pada teknologi rehabilitasi lahan kritis. Ekspose/diskusi ini lebih difokuskan kepada iptek yang berkaitan dengan hasil-hasil hutan bukan kayu yang berbasis masyarakat di sekitar hutan, penyediaan paket-paket iptek/kebijakan atau model pemanfaatan jasa hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
9|Prosiding
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Hadirin yang terhormat, Saya berharap agar ekspose ini dapat menghasilkan rumusan yang konkrit, komprehensif dan aplikatif sehingga dapat digunakan sebagai salah satu input dalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan hutan yang berbasis pada masyarakat sekitar hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di Propinsi NTT. Akhirnya saya ucapkan selamat berdiskusi dan berkarya diforum ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan lindungan dan petunjuk-NYA, sehingga acara ini dapat berlangsung dengan baik dan lancar. Terima kasih.
Kepala Badan,
Ir. Wahjudi Wardojo, M.Sc
10 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sambutan Gubernur Nusa Tenggara Timur Pada Ekspose/Diskusi Hasil-hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan NTT dan Nusa Tenggara Kupang, 12 Desember 2006
Yang terhormat ; Pimpinan DPRD Propinsi NTT Pimpinan Daerah Nusa Tenggara Timur Pejabat Sipil, TNI dan POLRI Saudara Kepala Badan Litbang Kehutanan Bapak/ibu peserta, Undangan dan hadirin sekalian yang saya hormati
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya kepada kita semua sehingga dapat hadir di sini pada acara ekspose/diskusi hasil-hasil penelitian dalam keadaan sehat walafiat. Saya menyambut baik acara gelar teknologi ini karena merupakan media komunikasi bagi para peneliti dan pengambil kebijakan serta praktisi untuk saling mengkomunikasikan pikiran dan pengalaman dalam rangka meningkatkan kapasitas masing-masing dalam mendukung pelayanan terhadap masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Hadirin yang saya hormati, Harapan saya dari forum ini diciptakan suatu komunikasi, hubungan kerjasama yang harmonis sehingga terjalin hubungan yang erat antara para peneliti, pengguna, praktisi dan penentu kebijakan pembangunan khususnya di Nusa Tenggara Timur. Betapapun akuratnya hasil-hasil penelitian yang dihasilkan oleh para peneliti tidak akan bermakna bila tidak disosialisasikan
kepada para pengguna. Hemat saya, hasil-hasil penelitian harus mampu
mendukung setiap program pembangunan yang dilaksanakan termasuk memberikan terobosan alternatip dalam meningkatkan keberhasilan pembangunan, khususnya di sektor kehutanan. Karena itu, penyelenggaraan gelar teknologi hasil-hasil penelitian kehutanan merupakan momentum strategis dan memiliki urgensi yang tinggi dengan beberapa pertimbangan : 1. Masalah degradasi hutan dan lahan di NTT telah mencapai tingkatan yang sangat memprihatinkan, sehingga menyebabkan terjadinya bencana alam banjir, tanah longsor, erosi, kekeringan dan penyimpangan iklim yang membawa kerugian materi maupun non materi yang tidak ternilai bagi pemerintah dan masyarakat. 2. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan pada kenyataannya tidaklah mungkin dilaksanakan dengan pendekatan sektoral oleh pemerintah, melainkan memerlukan dukungan peran serta masyarakat dan segenap komponen bangsa termasuk lembaga yang bergerak di bidang riset dan pengembangan.
11 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
3. Potensi sumberdaya hutan kayu di Nusa Tenggara Timur sangat terbatas, sehingga memerlukan dukungan teknologi untuk mengembangkan potensi hasil hutan non kayu seperti madu, seedlak dan gaharu. 4. Bencana alam yang dirasakan oleh sebagian besar wilayah Indonesia merupakan cerminan perlunya revitalisasi konsep pembangunan yang berbasis pada azas kelestarian sumberdaya hutan dan lahan. Dalam hal ini lembaga riset memiliki peran strategis dalam mengawal, memandu dan mendorong proses pembangunan yang sedang berjalan di Nusa Tenggara Timur. Saudara-saudara para hadirin yang berbahagia Masalah kerusakan hutan dan lahan di Nusa Tenggara Timur sesungguhnya telah berlangsung sejak lama dengan indikasi makin besarnya angka laju kerusakan hutan. Dampak krisis moneter dan ekonomi, euforia reformasi dan tuntutan otonomi daerah telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap laju deforestasi. Menilik laju deforestasi tersebut di atas, kiranya dapat dikemukakan beberapa faktor pendorong degradasi hutan dan lahan yaitu : a)
terjadinya illegal logging;
b) perambahan hutan; c)
perladangan berpindah;
d) penebangan hutan yang tidak terkendali; e)
perumputan yang tidak terkendali;
f)
pemanfaatan hutan yang berlebihan (penambangan, industri, pemukiman, pertanian, perkebunan, dll) dan
g) Pemanfaatan lahan tanpa memperhatikan metode konservasi tanah dan air secara bijaksana. Saudara-saudara sekalian yang saya hormati Berbagai upaya pemerintah dalam mengendalikan lahan kritis dan kerusakan hutan telah dilaksanakan, tetapi di sadari tingkat keberhasilannya tidak pernah dapat mengimbangi laju kerusakan yang terjadi pada setiap periode waktu tertentu. Kenyataan ini sangat memprihatinkan bahkan kontraproduktif, terlebih jika diamati kecenderungan deviasi yang terjadi antara laju rehabilitasi dengan laju deforestasi yang makin lama makin membesar. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa upaya terobosan yang serius untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan, maka masa depan hutan di NTT akan segera habis. Komitmen pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah untuk melaksanakan lima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan di era rehabilitasi dan konservasi merupakan salah satu indikator penentu keberhasilan pembangunan sektor kehutanan. Lima kebijakan prioritas kehutanan meliputi : •
pemberantasan illegal logging;
•
penanggulangan kebakaran hutan;
12 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
•
restrukturisasi sektor kehutanan;
•
rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan;
•
penguatan desentralisasi kehutanan;
Tanpa keselarasan, sinkronisasi dan keharmonisan dalam implementasi kebijakan pada tataran operasional antara unit kerja di pusat dan daerah, tujuan kita untuk melestarikan hutan tidak akan tercapai. Hadirin yang saya hormati, Pemerintah sangat menaruh perhatian terhadap pembangunan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar wilayahnya beriklim kering (semi arid). Perkembangan degradasi lahan di Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu indikasi meningkatnya tekanan terhadap lahan. Luas wilayah NTT mencapai 4.735.000 ha dengan luas kawasan hutan sebesar 1.808.990 ha (38.21 % dari luas daratan). Sampai saat ini luas lahan kritis di NTT telah mencapai 2.109.496 ha (44.55 % dari luas daratan). Luas lahan kritis dalam kawasan hutan 661.680 ha dan di luar kawasan hutan 1.447.816 ha. Laju lahan kritis selama 20 tahun terakhir seluas 15.163 ha per tahunnya, sedangkan luas tanaman RHL selama 20 tahun terakhir 3.615 ha, sehingga perbandingan antara laju degradasi dengan upaya penanaman adalah 4 : 1. Karena itu, dukungan iptek dalam rangka meningkatkan keberhasilan rehabilitasi melalui pengembangan jenis hasil hutan bukan kayu menjadi pilihan paling bijaksana untuk menghasilkan ramuan teknologi yang lebih sesuai dengan kondisi biofisik dan karakteristik wilayah semi arid. Kita paham bahwa peran iptek memegang peranan penting dalam mendukung pembangunan di segala bidang. Tidak dapat dipungkiri, banyak bangsa-bangsa lain menjadi bangsa yang maju dan kuat karena penguasaan terhadap iptek sekalipun sumberdaya alamnya sangat terbatas. Penguasaan iptek sangat bergantung pula pada ketajaman dan kemampuan lembaga riset melakukan analisis dan mengaitkan program penelitian yang berbasis pada kepentingan pengguna (user). Karena itu, dalam mendukung pembangunan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur, Pemerintah Daerah mendorong lembaga-lembaga penelitian untuk meningkatkan kajian-kajian yang berkaitan dengan teknologi pengembangan hasil hutan bukan kayu unggulan seperti lebah madu, kemiri, lak, asam dan jenis potensial lainnya yang dapat bermanfaat ganda untuk kepentingan ekonomi dan rehabilitasi hutan dan lahan. mendukung hal tersebut,
Guna
forum ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk saling
membagi pengalaman dan melakukan sinkronisasi kegiatan, sehingga para peneliti dapat merumuskan program-program penelitian yang tepat sasaran, tepat guna dan mampu memberikan solusi yang efektif dan efisien terhadap berbagai persoalan sektor kehutanan dalam pengembangan hasil hutan bukan kayu di Nusa Tenggara Timur. Hadirin sekalian, Pemerintah daerah menyadari bahwa pembangunan memerlukan dukungan riset dan pengembangan untuk merancang pendekatan pembangunan. Karena itu, pembagunan sektor kehutanan di NTT membutuhkan dukungan riset dan pengembangan yang mampu memberikan solusi terhadap seluruh aspek sosial budaya dan teknis yang berkaitan dengan sektor kehutanan. 13 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Di masa yang akan datang, Pemerintah Provinsi NTT akan mendukung kebijakan pembangunan yang berbasis pada hasil Penelitian dan Pengembangan. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Lembaga riset harus pro aktif memberikan masukan terhadap berbagai kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan. Kegiatan gelar teknologi hasil-hasil Litbang Kehutanan seperti ini belum cukup untuk mendorong pembangunan di NTT tanpa adanya dukungan kebijakan dari pemerintah daerah untuk menerapkan hasil-hasil penelitian pada setiap pelaksanaan pembangunan pada instansi teknis terkait. Karena itu, Pemerintah Daerah mendorong lembaga riset yang berada di NTT untuk meningkatkan fungsi koordinasinya, sehingga tercipta keterpaduan, sinkronisasi dan penajaman program riset yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan di NTT serta mampu menemukan solusi penyelesaian persoalan pengembangan hasil hutan bukan kayu. Hadirin yang saya hormati, Saya berharap diskusi ini mampu menghasilkan rumusan yang komprehensif dan integratif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan penyempurnaan kebijakan pembangunan sektor kehutanan khususnya di Nusa Tenggara Timur.
Akhirnya saya
mengucapkan selamat berdiskusi dan berkarya di forum ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan lindungan dan petunjuk-Nya sehingga acara ini dapat berjalan dengan lancar. Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dan memohon tuntunan-Nya saya nyatakan “ Ekspose/Diskusi Hasil-Hasil Penelitian dengan Thema : Melalui Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu, Masyarakat Sejahtera dan Hutan Lestari” secara resmi dibuka. Semoga Tuhan selalu memberkati kita semua.
Gubernur Nusa Tenggara Timur,
Piet Alexander Tallo, SH
14 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Rumusan Ekspose/Diskusi Hasil-hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Bali Nusa Tenggara Timur Kupang, 12 Desember 2006
Mengacu pada arahan Kepala Badan litbnag Kehutanan dan Arahan Asisten IV Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur, substansi makalah-makalah yang dipresentasikan serta diskusi yang berkembang pada persidangan, maka dihasilkan beberapa butir rumusan sebagai berikut : 1. Kondisi sumberdaya hutan diwilayah Propinsi NTT umumnya belum mantap untuk difungsikan sebagai pengahsil kayu pada skala komersial. Keberadaan hutan diwilayah Provinsi NTT sangat vital dan strategis perananya sebagai penopang system hidroorologi wilayah, system produksi pertanian dan kualitas lingkungan hidup. Dalam keadaan demikian pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang diyakini menimbulkan resiko lebih kecil terhadap degradasi kawasan hutan, memberikan prosepek yang lebih baik dan perlu terus direvitalisasi untuk berperan optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Revitalisasi kehutanan Provinsi NTT diarahkan pada pemanfaatan dan pengembangan HHBK juga dapat diharapkan sebagai insentif social ekonomi bagi partisipasi masyarakat, baik dalam upaya-upaya rehabilitasi hutan dan lahan, maupun dalam mengurangi berbagai tekanan dan gangguan yang mengarah kepada degradasi hutan. 2. Badan Litbang Kehutanan akan mengupayakan dukungan iptek bagi revitalisasi pengembangan dan pemanfaatan HHBK, dan berupaya mensosialisasikannya kedalam bentuk yang komprehensif, aplikatif dan koordinatif melalui jajaran kegiatan komunikasi hasil-hasil penelitian lintas jajaran. Jajaran pemerintah Provinsi NTT akan selalu mendukung dan memfailitasi upaya-upaya koordinatif kegiatan dan sosialisasi hasil-hasil litbang kehutanan dalam rangka mempertinggi efektivitas dan percepatan pengentasan permasalahan-permasalahan pengelolaan sumberdaya hutan di wilayah provinsi ini. Beberapa hasil litbang HHBK yang disosialisasikan pada ekspose/diskusi ini mencakup: tanaman ajrak pagar, gaharu, cendana, lebah madu, minyak atsiri dan tanaman minyak kayu putih a. Jarak Pagar . Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) telah ditetapkan melalui kebijakan pemerintah secara nasional untuk dikembangkan sebagai penghasil biodiesel untuk bahan enegri alternative dalam mengatasi krisi energi. Sector kehutanan memandang jarak pagar sebagai salah satu tanaman HHBK dan dapat menyediakan lahan (kawasan hutan) bagi pengembangan tanaman ini. Pengembangan penanaman jarak pagar melalui system tumpangsari dengan tanaman jangka pendek setempat. Keuntungan lain yang dapat diharapkan dari pengembangan tanaman ajrak pagar bagi masyarakat antara lain adalah menyediakan lapangan kerja (800 orang atau 200 KK per 1.000.000 ha); peningkatan pendapatan petani (Rp. 2 juta/bulan/5 ha lahan); penurunan emisi (polusi udara) gas sox, nox dan CO; dapat memperbaiki kualitas tanah; serta 15 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
secara fleksibel dapat menyediakan bahan bakar secara local/diwilayah produksi minyak jarak skala industry adalah sekitar Rp. 2.200,-perliter dan harga jual sekitar Rp. 3.500, per liter yang sekitar 43 % merupakan penghasilan bagi petani/penanaman jarak pagar.Namun demikian masih diperlukan kepastian harga dan dukungan kebijakan yang mendukung penggunaan biofuel. b. Madu : Potensi produk madu hutan (dari lebah liar) di NTT sangat besar, karena didukung oleh luasnya daerah jelajah dan pakan lebah. Namun produksi riil/pemanfaatan masih rendah. Selain itu potensi pemasaran madu asal NTT cukup baik dengan menitikberatkan pada image yang didukung oleh kondisi lingkungan (jenis pakan, musim) yang khas. Upaya yang masih perlu dilakukan dalam memasarkan madu NTT adalah meningkatkan dan menjaga kualitas supaya stabil. Kelemahan yang ada adalah pada sumberdaya manusia dalam wujud belum adanya motivasi untuk menjaga mutu dan berorientasi usaha secara jangka panjang. Hal ini dapat diatasi dengan mengusahakan proses produksi dan pengolahan madu secara professional. c. Minyak atsiri : Posisi dan reputasi Indoensia dalam perdagangan minyak atsisri internasional memberikan peluang yang baik bagi pengembangan pemanfaatan dan pemasaran jenis-jenis HHBK penghasil minyak atsiri. Pengembangan pemanfaatan minyak atsiri membutuhkan kombinasi ketersediaan dan kualitas bahan baku yang didukung oleh tehnik budidaya dan pemilihan jenis teknologi penyulinganbya. Mutu minyak atsiri dipengaruhi oleh beberapa factor yaitu: pengadaan bahan baku, penanganan pasca panen, proses produksi, tata niaga, dan bentuk pengusahaan. Pemanfaatan minyak atsiri dan tanaman penghasilannya antara lain adalah sebagai bahan parfum dan obat-obatan. Nilai atau mutu minyak atsiri ditentukan oleh kadar dan jenis komponen kimia utamanya yang menghasilkan senyawa flavor
yang
rendemenya
sangat
dipengaruhi
oleh
proses
penyulingan/ekstraksinya. Pemilihan jenis teknologi tergantung dari karakteristiknya jenis dan bagian bahan baku (tanaman) yang akan disuling, yang berkaitan dengan titik didihnya. Sedangkan kebutuhan teknologi budidaya tanaman penghasil minyak atsiri bersifat spesifik sesuai dengan jenis tanaman berkaitan dengan tempat/lahan pengusahaannya. d. Gaharu : Jenis tanaman inang penghasil gaharu yang ada diwilayah NTT adalah dari species Grynops verstegii dan Wikstromia androsalmifolia. Tehnik budidaya tanaman inang gaharu dari tanaman inang Grynops verstegii yang telah diketahui adalah persemaian dengan generative/biji dan cabutan dengan penambahan zat perangsang tumbuh Rootone-F dan penanungan pada penanaman dilapangan dengan penanung pohon alami dan system tumpangsari dengan tanaman kakao. Teknologi pembentukan gaharu pada pohon inang dapat dilakukan dengan cara alami, yaitu hanya diperlakuan perlukaan terhadap batang dan cabang pohon yang 16 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
sudah mati. Sedangkan pembentukan gaharu secara buatan adakah dengan inokulasi penyakit dari jenis jamur Fusarium sp. Produksi gaharu secara buatan umumnya masih relative rendah dan dengan kualitas yang masih rendah pula. Dari beberapa pengalaman, kualitas gaharu yang dihasilkan secara alami memiliki kualitas yang lebih baik. e. Cendana: Salah satu permasalahan dalam pembudidayaan cendana di wilayah NTT pada musim hujan adalah kematian tanaman yang tinggi karena curah hujan, kualitas bibit yang rendah dan tapak tanaman. Untuk mengatasi permasalahan ini maka salah satu alternative penanaman cendana dapat dilakukan pada awal musim kering yang diikuti dengan penyiraman dengan tehnik irigasi tetes. Aplikasi teknologi ini dapat diterapkan dalam penanaman cendana skala kecil dna dilakukan di dekat mata air sumber air dan dekat dengan pemukiman penduduk. Permasalahan yang cukup dominan yang perlu segera ditangani dalam menumbuhkembangkan dan memacu minat masyarakat dalam membudidatakan dan mengelola hutan tanaman cendana adalah perlunya sosialisasi aturan pengelolaan dan tehnik budidaya cendana dalam rangka peningkatan kapasitas pemberdayaan masyarakat. f. Kemiri adalah salah satu tanaman HHBK introduksi yang sudah cukup berhasil dikembangkan diwilayah NTT. Pemanfaatan dan nilai ekonomi kemiri sudah cukup tepat telah berperanana positif bagi upaya konservasi kawasan hutan. namun demikian, dari studi kasus dikabupaten Ende, diketahui bahwa pengembangan
pemanfaatannya
cenderung
statis,
yaitu
dalam
bentuk
perdagangan biji kemiri utuh dan meiri isi (tanpa kulit) serta pada kondisi tertentu untuk pemanfaatan kayunya. Peluang untuk meningkatkan nilai tambah dan diversifikasi pemanfaatannya kemiri masih terbuka, dengan teknologi yang cukup terjangkau bagi masyarakat. Pemanfaatan tersebut dapat memberikan nilai tambah dalam pemanfaatan kulit/cangkang sebagai arang, briket arang dan arang aktif dengan hasil sampingan berupa destilat, yangs emuanya mempunyai nilai ekonomi/pasar. Pengembangan pemanfaatan buiji kemiri melalui diversifikasi antara lain adalah pembuatan minyak kemiri yang secara analisis ekonomi dari studi kasus di kabupaten Ende cukup prospektif untuk dijajagi.Kendala yang masih dihadapi dalam pengembangan pemanfaatan dan peningkatan nilai tambah komoditi kemiri antara lain adalah penyebaran populasi dan areal produksi, kurangnya minat pengusaha untuk mengambil resiko dan belum diketahuinya pasar minyak kemiri. Untuk itu masih diperlukan koordinasi dalam mencari informasi dan peluang ekonomi/pasar. g. Rusa merupakan sumberdaya satwa liar yang memiliki prospek baik untuk dikembangkan oleh masyarakat melalui kegiatan penangkaran. Hal ini dilandasi oleh kemudahan rusa dalam beradaptasi dengan lingkungan dan keragaman jenis pakan dan nilai ekonomi yang cukup baik. Kegiatan penangkaran rusa dapat 17 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
mengurangi tekanan terhadap populasinya dialam dan dapat menjadi sumber potensi hewani bagi masyarakat. h. Tanaman kayu putih adalah HHBK yang potensial sebagai pengahsil minyak kayu putih di NTT, meskipun pengembangannya belum dilakukan. Prospek pengenbambangan industry kayu putih di NTT sedang dikaji, didukung oleh pengembangan bibit unggul (peningkatan mutu genetic) yang telah dilahasilkan dari serangakaian penelitian di Pusat Litbang Hutan Tanaman Yogyakarta (sekarang di Bogor). Prospek pengembangan industri kayu putih cukup baik terutamma karena peluang pasar/permintaan terhadap minyak kayu putih domestic masih cukup tinggi. Dari hasil evaluasi penanaman bibit kayu putih jenis ungul di daerah Timor Tengah Utara (TTU) diperoleh hasil pertumbuhan yang cukup baik dari perlakuan pemupukan NPK untuk melakukan uji pengembangan selanjutnya. i. Bambu dan rotan dalah HHBK yang sudah cukup dikenal pemanfaatannya dan perdagangannya, baik domestic maupun internasionla. Namun demikian. Bahan baku bamboo dan rotan masih sebagian besar diperoleh dari tegakan almi. Teknologi
budidaya
bamboo
sudah
cukup
berkembang dan
teknologi
pengolahannya juga cukup tersedia. Tingkat pemanfaatan dan penerapan teknologi budidaya dan pengolahan bamboo dan rotan tinggal tergantung dari adanya peluang usaha dan permintaan pasar yang menguntungkan. j. Degradasi lahan pada Daerah aliran Sungai Benain Noelmina sudah sangat tinggi akibat tekanan penduduk terhadap lahan dan terjadinya kebakaran yang berdampak negative terhadap lingkungan dan produktivitas lahan serta peningkatan luasan lahan kritis. Untuk mengatasi masalah ini, upaya rehabilitasi dengan menggunakan jenis-jenis HHBK dan pendekatan kepada masyarakat melalui akomodasi nilai-nilai kearifan local adalah salah satu langkah yang cukup strategis. Tim Perumus : 1. Ir. Ciprianus Nugroho, M.Sc 2. Ir. I Made Widnyana 3. Ir. I Komang Surata
18 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
MAKALAH UTAMA
19 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PENGEMBANGAN CENDANA BERBASIS MASYARAKAT Oleh Leta Rafael Levis
ABSTRAK Pengembangan tanaman cendana berbasis masyarakat bukanlah suatu pemikiran baru. Namun sejauh ini, pemikiran tersebut tidak dapat diimplementasikan. Masalah lemahya keterlibatan masyarakat tetap menjadi kendala utama sebab masyarakat tidak memiliki tanaman cendana sekalipun tumbuh dihalaman rumah mereka. Kondisi ini sepatutnya diubah dalam konteks operasional di lapangan dalam bentuk revitalisasi dan reorientasi strategi, pendekatan dan pola penanaman. Lembaga Penelitian Undana bekerjasama dengan Badan litbang Kehutanan BaliNusa Tenggara dan Dinas Kehutanan sedang menerapkan strategi pengembangan cendana melalui penanaman di lahan milik petani, baik dipekarangan maupun tanah hamparan. Untuk melaksanakan strategi tersebut telah dilakukan pendekatan multisteps yaitu pendekatan agroklimat, sosio-antropologis, administrasi, pola tanam, pembentukan tanaman. Pola tanam yaitu: tanaman cendana dijadikan tanaman sampingan sedangkan tanaman pangan dan horti dijadikan tanaman utama. Hasilnya, para petani di dea Ponain Kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang telah menyiapkan tanah hamparan seluas 46 Ha untuk ditanami cendana. Sedangkan tanah pekarangan disiapkan oleh masyarakat Desa Ponain dan Desa Tesbatan. Kata Kunci : Cendana, berbasis masyarakat, pola tanam. I. PENDAHULUAN Sampai akhir era 70-an, NTT masih dikenal sebagai provinsi cendana karena secara ekonomis, sumbangan hasil cendana terhadap PDRB NTT masih tinggi. Namun dikahir 90-an komoditi yang bernilai ekonomi tinggi serta sering dijuluki” si putri cantik nan harum dari Timor” mulai mengalami kemunduran secara tajam, baik dalam jumlah pohon maupun dalam sumbangan terhadap PDRB NTT (Sinu, 2006). Untuk mengembalikan Pulau Timor sebagai penghasil cendana, terlalu banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah khususnya jajaran kehutanan di daerah. Hasilnya ?? boleh dikatakan tidak berhasil. Mengapa? Berbagai telaahan yang dilakukan menyimpulkan beberapa point kritis yang sama-sama perluka mendapat perhatian, yaitu: 1.) penebangan secara liar dan tidak tanggung jawab, 2.) terjadi pembakaran oleh masyarakat khususnya pada lokasi-lokasi hutan lindung, 3.) masyarakat tidak merasa memiliki cendana, 4.) para petani yang menanam cendana secara ekonomis tidak memperoleh apa-apa karena pohon cendana berumur panjang. Penanaman cendana didalam kawasan-kawasan hutan lindung umumnya mati karena terbakarnya hutan setiap tahun, baik sengaja maupun tidak sengaja dibakar dan tidak adanya upaya pemeliharaan dan perawatan. Ditempat-tempat tertentu mungkin pengembangan cendana ini berhasil tapi prosentasenya sangat sedikit. Kendala teknis seperti penanaman cendana melalui pendekatan proyek dimana anakan cendana disiapkan kemudian dicari lokasi dan masyarakat agar anakan cendana tersebut dapat di drop dan di tanam. Kemudian setelah ditanam tanaman tersebut dibiarkan saja tanpa ada pemeliharaan dan perawatan oleh masyarakat sekitarnya. Desa-desa di sekitar kawasan hutan Profesor Dr. Johannes di Amarasi khususnya di desa Ponain dan desa Tesbatan I merupakan kawasan lama, yang telah lama dikenal sebagi daerah cendana. Pengembangan cendana yang melibatkan masyarakat diskeitar kawasan tersebut merupakan pemikiran lama dan berulang. Tetapi degradasi hutan disekitar kawasan tersebut biasanya 20 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
disebabkan oleh salah satu faktor kritis yakni perilaku masyarakat sekitar yang cenderung berperilaku negatif dalam mengeksploitasi hutan di kawasan tersebut. Oleh karena itu pengembangan cendan berbasis masyarakat mungkin merupakan konsep lama tetapi Lembaga Penelitian Undana memandang bahwa konsep pemikiran tersebut tetap relevan dan harus dibuat modifikasi pendekatan teknis lapangan agar kelemahan operasionalisasi lapangan konsep lama tersebut sedikit ter-eleminir dan bila perlu ditiadakan. Untuk maksud itulah, Undana membangun kerjasama dengan Litbang Kehutanan Bali dan Nusra, melakukan upaya pemberdayaan masyarakat melalui penanaman cendana disekitar kawasan hutan Prof. Dr Yohanes di kecamatan Amarasi Kabupaten Kupang.
II. DASAR DAN STRATEGI PENGEMBANGAN CENDANA BERBASIS MASYARAKAT. Masyarakat yang hidup disekitar kawasan adalah masyarakat agraris yang hampir keseluruhan hidupnya tergantung pada sektor ini.Pertama, sektor riil pertanian dan usaha tani dilokasi ini adalah pertanian dan usaha tani lahan kering yang senantiasa dimotori oleh semangat subsistem yang kuat. Karena mereka bergantung pada sektor pertanian khususnya untuk memenuhi kebutuhan usaha pangan maka usaha untuk untuk memenuhi kebutuhan pangan menjadi prioritas utama dalam pengembangan cendana didaerah ini. Kedua, bagi masyarakat setempat cendana disamakan dengan gadis cantik yang harum wangi yang artinya butuh pemeliharaan dan perwatan dan ketika dia tumbuh besar banyak yang berminat untuk memilikinya. Implikasinya bahwa tanaman ini harus ditanam pada lahan-lahan milik masyarakat atau lahan dalam kawasan tetapi
yang mudah dijangkau oleh masyarakat untuk
pemeliharaan,perawatan dan pengamannanya. Atas dasar tersebut, maka untuk kepentingan jangka pendek dan menengah, kami memandang bahwa pengembangan cendana dalam lahan-lahan milik petani, baik pekarangan maupun tanah hamparan disekitar kawasan hutan Prof Johannes merupakan salah satu strategi terbaik untuk mengembangkan cendana berbasis masyarakat di kawasan ini.
III. REVIEW PEMBERDAYAAN MASYARAKAT. Dari berbagai pengalaman munjukkan bahwa program pengembangan cendana senantiasa mengalami kegagalan. Sebab utama kegagalan tersebuat adalah petani tidak merasa memiliki tanaman cendana dan belum menyadari sepenuhnya keunggulan lokal yang dimiliki. Keunggulan lokal yang dimilik masyarakat petani seperti aspek agroklimat, sosial budaya maupun aspek teknis budidaya cendana harus disadari sepenuhnya oleh para petani agar mereka tahu kemampuannya. Mengetahui kemampuan diri sendiri akan membangkitkan semangat untuk berusaha memanfaatkan kemampuan yang ada. Proses penyadaran memegang peranan strategis untuk mengatasi keengganan petani memelihara cendana. Proses penyadaran bertujuan agar mereka menyadari bahwa sebenarnya cendana adalah jalan menuju kehidupan yang lebih baik khususnya untuk anak cucu. Masyarakat harus disadarkan bahwa kehidupan anak-anak dan cucu mereka harus lebih baik dari apa yang mereka alami saat ini. (Levis, 2006).
21 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Masyarakat khususnya petani harus disadarkan bahwa perlu perbaikan orientasi pola penanaman cendana, yaitu : dari orientasi tanaman pokok ke orientasi tanaman sampingan. Hal itu berarti kebiasaan para petani setempat yang menanam tanaman kacang-kacangan, jagung, ubi, lombok, lamtoro dan mangga tetap menjadi prioritas dalam pengembangan usaha cendana. Sedangkan tanaman cendana diarahkan hanya sebagai tanaman sampingan. Keuntunggannya adalah ketika para petani membersihkan tanaman pangan dan horti pada saat yang sama tanaman cendana akan terawat. Dasar dari perubahan orientasi ini adalah tanaman cendana tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi yang menanam sekarang padahal mereka butuh makan. Dengan demikian, proses pemberdayaan petani dalam pengembangan cendana tidak bermaksud menghilangkan cara-cara tradisional (karena dianggap kuno oleh banyak kalangan yaitu penggalangan penananaman tanaman pangan dan horti unggul lokal), akan tetapi lebih kepada peningkatan efisiensi bertani melalui perbaikan tata cara manajemen lahan dengan berbagai input yang lebih rasional (Levis, 2006).
IV. MODEL PENDEKATAN PENGEMBANGAN CENDANA BERBASIS MASYARAKAT Undana dalam mengembangan cendana berbasis masyarakat membuat satu model pengembangan cendana dan masyarakat yang tertuang dalam pendekatan kegiatan sebagai berikut : 1. Pendekatan ekologis/agroklimat. Sebelum tim menentukan lokasi pengembangan cendana,
tim
mengawalinya
dengan
telaahan
kepustakaan
terhadap
kondisi
agroekologi/agroklimat dari desa-desa disekitar kawasan hutan Prof Dr. Johanner. Hasilnnya menunjukkan bahwa Desa Ponain dan Desa Terbatan I layak secara agroklimat untuk budidaya tanaman cendana (Kasim, 2006). 2. Pendekatan adiministrasi. Setelah mengetahui bahwa lokasi diskeitar kawasan htan Prof.Dr. Johannes cocok untuk tanaman cendana, tim melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupaten Kupang melalui surat permohonan izin lokasi yang ditujukan kepada Bupati Kabupaten Kupang. Dan tembusannya kepada Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Kupang, Camat Amarasi dan Kepala Desa Ponain dan Kepala Desa Tesbatan. 3. Pendekatan sosial antropologis. Setelah mengetahui bahwa lokasi di atas cocok untuk tanaman cendana (baik secara historis maupun fakta aktual) dan berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten Kupang, tim melakukan pendekatan kepada tokoh masyarakat (Kepala desa, Tokoh adat) dan kemudian masyarakat. Setelah dijelaskan maksud tim untuk melakukan pemberdayaan masyarakat melalui penanaman cendana (menanam berbasis) masyarakat, termasuk dijelaskan isi Perda tentang cendana kepada masyarakat maka disepakati hal-hal sebagai berikut : a.Kepala desa dan masyarakat Ponain (103 KK, khususnya didusun III) menyatakan siap mendukung dan menyukseskan penanaman cendana dengan ketentuan penanaman pada tanah pekarangan dan hamparan milik masayarakat seluas 46 ha.
22 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
b.Kepala desa Tesbatan I dan masyarakat Tesbatan I (310 KK) menyatakan siap mendukung dan menyukseskan penanaman cendana didesanya dengan menyiapkan lahan pekarangan berukuran 25 m x 50 m untuk ditanami cendana. 4. Pendekatan pola tanam. Masyarakat akan diarahkan untuk mengikuti pola tanam deng penanaman tanaman prioritas I adalah tanaman kacang-kacangan, hortikultura dan tanaman inang yang merakyat (lamtoro, mangga, nangka) sedangkan cendana diarahkan menjadi tanaman sampingan. Maksudnya agar masyarakat termotivasi untuk menanam, merawat dan memelihata tanaman yang dapat memebrikan keuntungan dalam waktu singkat dan menengah tetapi pada saat bersamaan mereka juga merwat dan menjaga cendana karena cendana dijadikan tanaman investasi bagi anak dan cucu. Pola penanaman seoerti dikemukan ini bermaksud mengeliminir persoalan perawatan, pemeliharaan, pembakaran dan tebang liar. 5. Pendekatan Kelompok. Masyarakat di kedua desa telah membentuk kelompoknya masing-masing. Sifat kelompok tersebut ada yang baru tetapi banyak pula yang memperkuat kelompok masyarakat yang terbentuk sebelumnya. Tim telah melakukann pembentukan kelompok sebanyak 11 kelompok didesa Ponain dan 16 kelompok di desa Tesbatan I. 6. Pendekatan pendampingan. Semua aktivitas pengembangan cendana berbasis masyarakat yang terhimpun dalam bentuk kelompok akan dilakukan penguatan-penguatan kelompok secara berkala seperti pendampingan, pelatihan dinamika kelompok serta pembentukan pelatihan bagi penyuluh swakarsa (fasilitator desa) yang ditunjuk berdasarkan kriteria sebagai tokoh masyarakat dalam hal bertani termasuk sudah menanam cendana 7. Pendekatan Monev (monitoring dan evaluasi) akan dilaksanakan oleh Undana secara berkesinambungan. 8. Pendekatan kerjasama kelembagaan. Pengembangan kerjasama kelembagaan , yaitu: Undana sebagai Lembaga Perguruan Tinggi bertanggungjawab pada pengembangan dan pendampingan masyarakat, khususnya persiapan masyarakat dan persiapan lahan. Litbang Kehutanan Nusra bertanggungjawab pada penyediaan bibit dan Dinas Kehutanan Kabupaten Kupang bertanggungjawab pada penyediaan dana untuk penanaman, pemeliharaan dan perawatan.
V.
PENUTUP Demikian beberapa pokok pikiran yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh Tim Undana
bersama Litbang Kehutanan Nusra dan Dinas Kehutanan dalam rangka menjadikan Kabupaten Kupang
sebagai
pusat
cendana
dimasa
yang
akan
datang.
Tekad kami adalah menjadikan Amarasi khususnya Desa Ponain dan Desa Tesbatan I dapat menjadi pusat ekowisata cendana dan sebagai laboratorium lapangan bagi Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali-Nusra (sesuai kesepakatan bersama masyarakat, Undana dan Litbang Kehutanan Bali-Nusra). Masyarakat sudah siap lahan dan tenaga, Undana siap tenaga dan pikiran, Litbang siap bibit. Kami berharap Dinas Kehutanan pun siap biaya penanaman, perawatan dan pemeliharaan. 23 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Semoga kerjasama yang kita bangun sekarang menajdi embrio bertumbuh dan berkembangnya cendana di bumi Timor. Marilah kita menyatukan misi yaitu cendana harus tumbuh dan berkembang kembali di pulau ini.
24 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
DAFTAR PUSTAKA Kasim, M. 2006. Tinjauan Aspek Agroklimat kawasan di sekitar hutan rakyat Prof Dr. Johanne, Amarasi. Lemlit Undana Kupang Levis, LR. 2006. Proses Penyadaran Kunci Keberhasilan Pemberdayaan Masyarakat. Pos kupang, 22 Mei 2006. Sinu, B. 2006. Telaah Historis Amarasi sebagai salah satu Pusat Cendana di Timor. Lemlit Undana, Kupang.
25 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PENGEMBANGAN BUDIDAYA CENDANA (Santalum album Lin.) DI MUSIM KERING 1) Oleh : I Komang Surata.2) ABSTRAK Cendana (Santalum album Lin,) yang mempunyai nama perdagangan Sandalwood, adalah salah satu hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai sifat khas yang disebabkan adanya bau wangi. Kayu cendana digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio, dupa, minyak, sebagai obat tradisional, dan untuk barang-barang kerajinan seperti ukiran, patung, tasbih, bolpoint dan kipas yang banyak diperdagangkan di dalam maupun di luar negeri. Produksi kayu cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai saat ini hanya mengandalkan pohon yang tumbuh secara alami. Dewasa ini jumlah populasinya sudah sangat menurun karena eksploitasi yang dilakukan secara berlebihan, pencurian, gangguan ternak, kebakaran, dan belum banyak dilakukan penanaman. Oleh karena itu salah satu strategi yang perlu dilakukan untuk meningkatkan dan menyelamatkan populasi cendana adalah dengan melakukan penanaman. Dewasa ini kegiatan penanaman cendana hanya dilakukan di musim hujan, namun tingkat keberhasilan tumbuhnya dinilai masih rendah (20-40%) dan sangat dipengaruhi oleh kwalitas bibit, tapak tanaman dan curah hujan. Tingkat kematian bibit yang kurang baik dengan peryaratan tersebut di atas dinilai banyak menimbulkan kematian. Untuk mengatasi permasalahan ini maka salah satu alternatif penanaman cendana dapat dilakukan pada awal musim kering dengan dibantu teknik irigasi tetes. Dalam makalah ini akan dikemukakan paket teknologi berupa hasil-hasil penelitian teknik budidaya cendana dimusim kering, permasalahan dan startegi pengembangannya. Kata kunci: cendana , budidaya, irigas tetesi, musim kering.
I. PENDAHULUAN. Cendana (Santalum album Lin.) merupakan hasil hutan bukan kayu yang tergolong sangat penting di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) karena mempunyai nilai ekonomi tinggi dan merupakan jenis yang terbaik di dunia. Jenis cendana di NTT mempunyai keunggulan kadar minyak dan produksi kayu teras yang tinggi. Kayu cendana menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang harum dan banyak digemari konsumen, sehingga mempunyai nilai pasar yang cukup baik Kayu cendana digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio, dupa, minyak, sebagai obat tradisional, dan untuk barang-barang kerajinan seperti ukuiran, patung, tasbih dan kipas. Pemasaran kayu cendana selama ini dilakukan dalam bentuk batangan atau telah diolah dalam bentuk olahan seperti minyak cendana dan hasil
industri kerajinan. Hasil dari
perdagangan kayu cendana merupakan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang sejak tahun 1986/1987-1990/1991 memberikan kontribusi sebesar 28,2 – 47,6 persen (Suripto,1992). Dengan demikian kayu cendana merupakan suatu modal dasar yang memegang peranan yang sangat penting untuk menunjang kegiatan pembangunan di Propinsi NTT.
26 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Perkembangan cendana saat ini menunjukkan bahwa berdasarkan data inventarisasi 1987/1988–1997/1998 (Dinas Kehutanan 1998, Darmokusumo, 2001) telah terjadi penurunan produksi sebesar 53,95 %, dan pada tahun 1999 penebangan dihentikan. Penurunan ini karena penetapan target tebangan tahunan yang tinggi, tingginya pencurian, gangguan kebakaran dan ternak serta kurang diimbangi dengan keberhasilan regenerasi baik melalui regenerasi hutan tanaman maupun alam karena masih dijumpai berbagai masalah. Oleh karena itu untuk pengembangan cendana perlu upaya pelestarian melalui teknik budidaya. Untuk mewujudkan upaya tersebut sebagaimana yang diharapkan dukungan teknologi sangat diharapkan. Selama ini penanaman cendana hanya dilakukan di musim hujan dengan tingkat keberhasilan masih rendah (20-40 %) dan berfluktuasi tergantung dari kwalitas bibit yang ditanam, tapak tanaman, curah hujan, dan pola tanam yang diterapkan. (Surata dan Idris, 2001). Kawlitas bibit yang baik untuk cendana yaitu tinggi 25-35 cm yang sangat sulit dicapai saat ini karena masalah pendanaan yang turun tidak tepat waktu dan musim buah tidak tepat. Tapak tanaman yang cukup berhasil dikembangkan cendana saat ini adalah pada tanah-tanah sarang dan berbatu, sedangkan pada tanah-tanah liat perlu dibantu dengan pengolahan tanah. Disamping itu curah hujan yang tinggi kadang-kadang sulit untuk dikendalikan dan hal ini yang banyak menimbulkan kematian bibit di lapangan, demikian juga dengan curah hujan yang terlalu rendah pada awal penanaman juga menimbulkan kematian bibit yang tinggi. Sedangkan pola tumpang sari cukup baik diterapkan dengan keberhasilan tumbuh 60 % (Surata dan Idris, 2001). Akan tetapi teknik ini terbatas dilakukan karena tanah di NTT kebanyakan berbatu dan hanya dapat dilakukan di lahan petani. Untuk mengatasi permasalahan ini sebagai alternatif penaman cendana dapat dilakukan di musim kering Untuk aplikasi penanaman cendana di musim kering perlu dibantu dengan pengairan (irigasi). Teknik pengairan akan membantu memenuhi kebutuhan air tanaman sehingga akan meningkatkan pemanfaatan unsur hara tanah, mengurangi tekanan atau mempercepat adaptabilitas bibit, serta akan meningkatkan keberhasilan tumbuh tanaman. Masalah kekurangan air akibat curah hujan yang rendah dan waktunya yang pendek, dan turunnya tidak teratur di NTT, adalah salah satu masalah krusial yang dihadapi untuk penerapan teknologi ini. Untuk mengatasi masalah ini maka dapat memanfaatkan sumber-sumber mata air seperti embung,mata air dan sungai yang sudah ada pada calon lokasi penanaman atau bila tidak memungkinkan maka pada musim hujan membuat teknik pemanenan air hujan bila air kurang mencukupi. Disamping itu untuk aplikasi irigasi di lapangan dapat mempertimbangkan asfek:penghematan penggunaan air yaitu dengan teknik pengairan secara konvensional dengan irigasi tetes. agar tanaman cepat beradaptasi dengan lingkungan dan pertumbuhannya meningkat. Pemanfaatan irigasi tetes dengan menggunakan wadah yang murah dan mudah didapat di lokasi penanaman seperti bambu, bekas botol air mineral ,dan pot tanah perlu mendapatkan pertimbangan. Berkenaan dengan permasalahn tersebut di atas maka dalam makalah ini akan dikemukakan hasil-hasil penelitian dan informasi prospek pengembangan cendana di musim kering lewat teknik pengairan (irigasi tetes) sebagai salah satu alternatif
teknologi
pengembangan cendana serta permasalahan dan strategi pengembangannya di NTT. 27 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
II. IRIGASI PADA TANAMAN CENDANA Air merupakan faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman dan produksi cendana. Pemberian air yang tepat akan meningkatkan pertumbuhan vegetatif seperti tinggi tanaman, diameter dan jumlah daun dan pertumbuhan generatif seperti jumlah bunga, dan jumlah buah. Kebutuhan air untuk budidaya tanaman cendana tidak banyak namun tanaman tidak boleh kekurangan air (Hamzah,1976) Kekurangan air dan kelebihan air bagi tanaman cendana menyebabkan tanaman sulit melangsungkan hidupnya dengan baik dan juga tidak boleh kelebihan air karena akan mengganggu pertumbuhannya terutama merangsang pertumbuhan jamur dan bakteri busuk akar (Surata,1992). A. Beberapa Teknik Pengairan Tanaman . Pemberian air atau pengairan tanaman di lahan kering dapat dilakukan dengan irigasi. Irigasi adalah teknik penambahan kekurangan air pada tanah. (Sosrodarsono dan Takeda,1999). Irigasi untuk pengembagan tanaman cendana di musim kering sudah diterapkan di Kununara, Australia Barat untuk mengembangkan kebun benih cendana dan menghasilkan keberhasilan tumbuh 75 %. (Radomiljac, 1995) . Menurut Wahyono dan Kusnandar (2004) teknik irigasi pada lahan kering ada berbagai cara yaitu: (1) dengan menggenangi lahan tanaman atau antar bedengan (air tergenang dan tanah jenuh dengan air ) dan (2) pengairan terbatas (pengairan hanya terkonsentrasi di sekitar perakaran tanaman sampai batas kapasitas lapang). Teknik pengairan terbatas meliputi : (1) irigasi tetes modern, yaitu air dialirkan dengan pipa pipa kapiler yang disertai lubang tetes dengan menggunakan dripper atau ro-drip ke setiap tanaman. Tenaga untuk mengalirlan air ini dengan mengunakan daya tekanan air dari mesin atau ketinggian tempat. (2) irigasi tetes secara konvensional, air dialirkan menetes perlahan lahan melalui lubang tetes. (3) penyiraman dengan menggunakan gembor. Teknik pengairan terbatas dengan irigasi tetes konvensional adalah pemberian air yang dilakukan secara terbatas dengan menggunakan tube (wadah) sebagai alat penampung air sementara yang desertai lubang tetes di bawahnya . Air akan keluar secara perlahan lahan dalam bentuk tetesan ke tanah yang secara terbatas membasahi tanah, Lubang tetes air dapat diatur sedemikian rupa sehingga air cukup hanya membasasi tanah di sekitar perakaran. Pemberian air melalui irigasi tetes diperlukan untuk efisiensi penggunaan air sehingga mengurangi kehilangan air yang begitu cepat akibat penguapan dan infiltrasi (Surata,2005 a). B. Manfaat Irigasi Tetes Irigasi tetes adalah teknik penambahan kekurangan air pada tanah yang dilakukan secara terbatas dengan menggunakan tube (wadah) sebagai alat penampung air yang disertai lubang tetes di bawahnya. Air akan keluar secara perlahan -lahan dalam bentuk tetesan ke tanah yang secara terbatas membasahi tanah, Lubang tetes air dapat diatur sedemikian rupa sehingga air cukup hanya membasasi tanah di sekitar perakaran (Surta, 2005 b.). Adapun manfaat dari irigasi tetes adalah :
28 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
(1) Untuk menghemat penggunaan air tanamn. (2) Mengurangi kehilangan air yang begitu cepat akibat penguapan dan infiltrasi (3) Membantu memenuhi kebutuhan air tanaman pada awal penanaman sehingga juga akan meningkatkan pemanfaatan unsur hara tanah oleh tanaman. (4) Mengurangi stresing atau mempercepat adaptabilitas bibit sehingga meningkatkan keberhasilan tumbuh tanaman. (5) Melakukan pemanenan air hujan lewat wadah irigasi tetes secara terbatas sehingga dapat digunakan tanaman . Teknik pemberian air melalui irigasi tetes akan membantu memenuhi kebutuhan air dan meningkatkan pemanfaatan unsur hara tanah oleh tanaman pada awal penanaman sehingga dapat mengurangi stresing atau mempercepat adaptabilitas bibit sehingga meningkatkan keberhasilan tumbuh tanaman.
III. PENGEMBANGAN TANAMAN CENDANA DENGAN IRIGASI TETES A. Tahapan kegiatan irigasi tetes Beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam kegiatan irigasi tetes cendana adalah sebagai berikut a. Tahap pertama adalah penyiapan bibit di persemaian dengan menggunakan kantung plastik ukuran 15 cm x 20 cm yang diisi dengan media tanaman berupa campuran tanah ( top soil) :pasir 4:1. b. Penyemaian cendana yang dilakukan dengan penanaman biji secara langsung dengan terlebih dahulu direndam dalam air biasa selama 24 jam dan ditanam 3 biji/polibag ke dalam kantung plastik ukuran 15 cm x 20 cm, dengan kedalaman tanam 0,5 cm. c. Setelah biji cendana tumbuh ditinggalkan 1 tanaman yang disertai penanaman inang sekunder Alternantera sp yang dilakukan dalam satu polibag dengan cendana dalam bentuk stek pucuk (panjang stek 3 cm). d. Anakan cendana dibiarkan 1 pohon per pot. Tajuk tanaman inang dipangkas bila menaungi anakan cendana, pada umur 8 bulan dilakukan seleksi bibit dan ditanam di lapangan. e. Penanaman dilakukan pada awal musim penghujan pada lahan yang telah dibersihkan dari rumput dan semak, dengan jarak tanam 3mx3m pada lubang tanam 30 cmx30 cmx30 cm. f. Pada saat penanaman dilakukan pemasangan wadah irigasi tetes, jarak 5 cm dari batang bawah tanaman . g. Wadah untuk irigasi tetes dapat berupa pot tanah, botol plastik, pot bambu dengan volume air 0.5-1 l. dilubangi satu lubang dengan diameter lubang 2 mm. h. Wadah diikat dengan kawat di ajir dan lubang tetes menghadap ke bawah dan ditimbun dengan tanah sedalam 3 cm.
29 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
i.
Pengairan dilakukan dengan memberikan air ke dalam wadah sebanyak 0,5-1 l l yang dilakukan setiap hari bila hari sebelumnya tidak turun hujan sampai tanaman sehat .
j. Bila air dalam wadah terlalu cepat habis maka lubang tetesannya diatur dengan memberikan tanah pada lubang tetes sehingga air bisa bertahan sampai 1 hari. k. Wadah untuk irigasi tetes dapat berupa pot tanah,botol plastik, pot bambu dengan volume air 0.5-1 l. dilubangi satu lubang dengan diameter lubang 2 mm. l. Wadah diikat dengan kawat di ajir dan lubang tetes menghadap ke bawah dan ditimbun dengan tanah sedalam 3 cm. m. Pengairan dilakukan dengan memberikan air ke dalam wadah sebanyak 0,5-1 l l yang dilakukan setiap hari bila hari sebelumnya tidak turun hujan sampai tanaman sehat. B. Hasil Pengujian Irigasi Tetes a. Penggunaan Wadah Irigasi Tetes Hasil pengembangan
penanaman cendana dengan penggunaan wadah irigasi tetes
disajikan pada Table 1. Penggunaan irigasi tetes dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter dan persen hidup tanaman . Urutan rangking pertumbuhan yang terbaik–terendah adalah perlakuan pengairan dengan menggunakan pot tanah, botol plastik,pot bambu, tanpa wadah dan terakhir kontrol (tanpa penyiraman) dengan persen hidup tanaman masing-masing :89,43; 88,89; 73,86; 60,10;15,52 % . Tabel 1. Pertumbuhan tanaman cendana umur 1 tahun setelah tanam di lapangan. ditanam bulan April. No
Perlakuan
Tinggi (cm)
Diameter (cm)
Hidup (%)
1
Kontrol
37,43 a
0,30 a
15,52 a
2
Pot tanah
60,19 c
0,46 b
89,43 b
3
Botol plastik
43,02 b
0,47 b
88,89 b
4
Bambu
40,92 b
0,42 c
73,86 c
5
Tanpa Wadah
40,82 b
0,29 a
60,10 d
Keterangan : Angka-angka rata-rata yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata ( Sumber: Surata, 2005 a)) Hasil dari perlakuan pengairan dengan irigasi tetes disamping meningkatkan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman juga menekan kematian bibit di lapangan. Hal ini karena pengairan mempercepat adaptasi bibit di lapangan terutama untuk menambah ketersedian air tanah, sehingga bisa meningkatkan ketahanan bibit dari sengatan sinar matahari. Penampilan tanaman cendana di lapangan yang ditanam dengan menggunakan irigasi tetes dengan wadah pot tanah menunjukkan pertumbuhan cukup baik dimana pertumbuhan tinggi, diameter dan persen hidup tanaman cendana lebih baik bila menggunakan irigasi tetes. Disamping itu vigor tanaman kelihatannya lebih sehat antara lain daun lebih hijau, jumlah daun lebih banyak dan kondisi tajuk lebih sehat, sedangkan tanaman cendana yang ditanam tanpa pengairan menunjukkan vigor pertumbuhan yang lebih merana dimana daun kekuning-kuningan 30 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dan tajuk tanaman kurang sehat. Hal ini disebabkan karena peranan air akan memberikan kondisi lebih baik pada tanaman terutama dalam mencukupi kebutuhan air dan meningkatkan ketersediaan unsur hara. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rahayu et al. (2002) yang mengatakan bahwa semai cendana pada awal penanaman tidak tahan terhadap kekeringan untuk itu perlu dilakukan penyiraman secara teratur. Berdasarkan pertimbangan harga bahan di pasaran maka prioritas tertinggi-terendah berturut turut adalah sebagai berikut: botol plastik (Rp 150,-), pot bambu (Rp 500,-), dan terakhir pot tanah (Rp 5000,-) Dari kemampuan biaya penyiraman perlu disesuaikan dengan harga dan ketersediaan tenaga. b. Penanaman pada Beberapa Tapak Hasil pengamatan data pertumbuhan tanaman cendana pada beberapa tapak tanaman dengan perlakuan penanaman irigasi tetes dimusim kemarau yang meliputi pertumbuhan tinggi,diameter dan persen hidup tanaman disajikan pada Tabel 2. Hasil penelitian menunjukan bahwa tinggi, diameter dan persen tumbuh tanaman yang terbaik dihasilkan pada penanaman tapak tanah Grumusol dan Kompleks yang mempunyai kandungan liat yang lebih tinggi dan tanah lebih subur , bila dibandingkan dengan tanah mediteran dengan batuan tua dan kandungan krikilnya tinggi.
Hal ini berkaitan dengan
kasarangan tanah dalam menahan air dan juga tingkat kesuburan tanahnya. Tabel 2. Rata-rata pertumbuhan tinggi, diameter dan persen hidup tanaman cendana pada perlakuan irigasi tetes dimusim kemarau No. Jenis tanah Tinggi Diameter Hidup (cm) 1.
Grumusol
(
(cm)
(%)
0,44 a
88,56 a
(Grumusol+ 37,32 a
0,43 a
86,77 a
(batuan 28,23 b
0,38 a
37,25 b
tanah
liat 37,47 a
tinggi dan berwarna hitam) 2
Kompleks mediteran)
3
Mediteran tua,tanah
berbatu
krikil
merah) Keterangan :Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji LSD 0,05 % (Sumber:Surata,2005 b) c. Periode Waktu Tanam Irigasi Tetes Hasil pengamatan data pertumbuhan tanaman cendana pada perlakuan penanaman irigasi tetes pada beberapa periode waktu tanam mulai dari musim hujan sampai musim kemarau yang meliputi parameter pertumbuhan tinggi,diameter dan persen hidup tanaman
disajikan pada
Tabel 3. Hasil penelitian menunjukan bahwa tinggi yang terbaik dihasilkan pada perlakuan penanaman bulan Juni dan Juli (musim kemarau), diameter terbaik pada penanaman bulan Juni dan Juli, serta persen hidup tanaman yang terbaik pada bulan Juni dan Juli. Urutan berikut hasil penanaman pada bulan Agustus. Sedangkan yang ditanam pada bulan Nopember,Desember
31 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pertumbuhannya paling rendah. Kematian yang tinggi pada penanaman musim kemarau (bulan Agustus)
karena
penanaman
pada
bulan
tersebut
suhunya
terlalu
panas
sehingga
evavpotranspirasi tinggi..
Tabel 3. Rata-rata pertumbuhan tinggi,diameter dan persen hidup tanaman cendana pada perlauan irigasi tetes dimusim kemarau dan hujan No. Waktu Penanaman Tinggi Diameter Hidup Irigasi Tetes (bulan)
(cm)
(cm)
(%)
1.
Juni 2005
38,80 a
0,56 a
87,56 a
2
Juli 2005
38,45 a
0,55 a
82,30 a
2
Agustus 2005
21,81 b
0,30 b
67,31 b
3
Nopember 2005
16,55 c
0,19 c
45,34 b
4
Desember 2005
13,05 c
0,16 c
46,92 b
Keterangan :Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji LSD 0,05 % (Sumber :Surata,2005 b) Penanaman pada musim hujan mengalami kematian yang tinggi karena penanaman pada waktu musim hujan cendana kelebihan air sehinga mematikan tanaman. Cendana hanya membutuhkan air cukup pada kapasitas lapang saja Pemberian air yang berlebihan pada tanaman cendana dapat menyebabkan tanaman kurang mampu menyerap zat-zat hara, dan kelembaban tanah berlebihan dapat menyebabkan tanaman mudah terserang penyakit layu, busuk leher akar. (Baret ,1989, Radomiljac,1995), Kelebihan air akan menyebabkan kelembaban yang tinggi mendorong tumbuhnya cendawan dan bakteri. Yang mempercepat infeksi. Disamping itu matinya akar dapat juga disebabkan oleh akumulasi nitrit dan zat-zat beracun lainnya hasil aktifitas anaerob dalam tanah yang selalu lembab. Dengan demikian pemberian air yang berlebihan akan menyebabkan kelayuan dan kematian tanaman. Disamping itu kelebihan air di dalam tanah juga menyebabkan sirkulasi udara (aerasi) di dalam tanah kurang baik sehingga oksigen di dalam tanah berkurang dan tanah menjadi anaerob yang menyebabkan proses oksidasi berubah menjadi proses reduksi.. Keadaan ini menyebabkan tanaman mati keracunan. Pemberian air yang kurang juga pada tanaman cendana, menyulitkan tanaman melangsungkan hidupnya dengan baik, Tanaman cendana yang kekurangan air akan tumbuh lambat. Bila kekurangan air dalam keadaan berat dapat menyebabkan tajuk layu. d. Pertumbuhan cendana pada perlakuan irigasi tetes dan tanpa Irigasi tetes Hasil pengamatan data pertumbuhan tanaman cendana pada perlakuan irigasi tetes di musim kemarau, dan tanpa perlakuan irigasi tetes yang ditanam pada naungan lamtoro dan tanpa naungan lamtoro yang meliputi pertumbuhan tinggi, diameter dan persen hidup disajikan pada Tabel 4 . Hasil penelitian menunjukan bahwa pada perlakuan irigasi tetes yang menggunaan perlakuan wadah bambu menunjukan rata rata tinggi tinggi 174,5 cm ,diameter 2,022 cm dengan persen hidup tanaman 73,15 %. Sedangan pada penanaman pada naungan lamtoro tanpa irigasi tetes tinggi 82,11 cm,diameter 0,936 cm dan persen tumbuh 53,41 % dan pertumbuhan tanaman tanpa irigasi tetes dan di tanam pada musim hujan menghasilkan pertumbuhan tinggi 32 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
64,52 cm,diameter 0,565 cm dan hidup 17,62 %. Dengandemikian pertumbuhan tanaman dengan nirigasi tetes yang dilakukan pada musim kemarau menghasilkan pertumbuhan yang terbaik dibandingkan yang ditanam pada musim hujan tanpa irigasi tetes.
Tabel 4. Rata-rata pertumbuhan tinggi,diameter dan persen hidup tanaman cendana pada perlakuan irigasi tetes dimusim kemarau umur 18 bulan setelah tanam. No. Perlakuan dan waktu Tinggi Diameter Jumlah Hidup Penanaman
(cm)
(cm)
Tanaman
(%)
hidup (ph) 1.
Penanaman penanaman
di
174,5
2,022
158
73,15
82,11
0,936
125
53,41
64,52
1,565
238
17,62
musim kering (dengan irigasi tetes) 2
Pemanfatan
jalur
naungan
tegakan lamtoro, penanaman di musim hujan (tanpa irigasi tetes) 3
Penanaman dengan kompos dan
pengolahan
lahan.,
dimusim hujan (Tanpa irigasi tets) Sumber: Surata (2005 b.) Pemberian air lewat irigasi tetes akan meningkatkan pertumbuhan tanaman karena air adalah salah satu zat yang paling dibutuhkan oleh tanaman
untuk menopang kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan air bagi tanaman merupakan faktor penentu pertumbuhan dan produktivitas, terutama jika air tersebut dikaitkankan dengan sifat fisiologis tanaman. Kecukupan kebutuhan air pada awal pemindahan tanaman ke lapangan sangat menentukan keberhasilan tumbuh tanaman dan akan mempercepat tanaman beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Menurut Gardener et al. (1985) air sangat dibutuhkan oleh tanaman antara lain: sebagai bahan pelarut untuk reaksi kimia, medium untuk transpor zat terlarut organik dan anorganik, medium yang memberikan turgor pada sel tanaman, hidrasi dan netralisasi muatan pada molekul-molekul koloid, bahan baku untuk fotosintesis, evaporasi air (transpirasi) dan sebagainya. Dalam keadaan kering aliran air akan terus menerus terjadi dari tanah melalui tumbuhan ke atmosfer. Setiap hari 1-10 kali jumlah air yang tertahan dalam jaringan tumbuhan. Oleh karena itu aliran utama yang dilalui air adalah dari tanah ke daun untuk mengganti kehilangan air karena transpirasi.
IV. PERMASALAHAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN A. Ketersediaan Air Permasahan penerapan irigasi tetes pada tanaman cendana di musim kering adalah masalah kekurangan air. Untuk mengatasi permasalahan ini penanaman cendana diusahakan dilakukan pada daerah yang dekat sumber airnya. Sumber-sumber mata air seperti embung,
33 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
mata air dan sungai yang sudah ada pada calon lokasi penanaman dapat dimanfaatkan sebagai sumber air untuk irigasi tetes. Atau bila tidak memungkinkan pada musim hujan membuat teknik pemanenan air hujan bila air kurang mencukupi. Penanaman cendana dengan irigasi tetes dimusim kering diharapkan dapat memberikan solusi untuk pengembangan cendana di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Untuk berhasil dengan baik teknologi ini perlu memperhatikan adanya ketersedian air. Mengingat untuk pemberian air supaya efisien dan efektif perlu memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut : 1.
Fase adaptabilitas tanaman. Kebutuhan air untuk pertumbuhan vegetatif tanaman agar mampu beradaptabilitas dengan baik. Dengan memperhatikan strata awal sampai mencapai fase adaptabilitas pemberian air bisa dihemat. Teknik pemberian air dilakukan pada sore hari , pemberian air bisa dilakukan pada tidak setiap hari,
2.
Keadaan tanah . Pada tanah tanah yang tergolong tanah sarang perlu dilakukan pemberian air lebih sering karena tanah ini adalah porous (daya serap air tinggi), sehingga untuk mencapa pai kapasitas lapang memerlukan air yang banyak.
3.
Keadaan iklim. Pada cuaca dengan suhu udara tinggi maka laju penguapan air tanah , air dan tanaman (evapotranspirasi) akan tinggi . Akibatnya banyak tanah dan tanaman akan kehilangan air. Pada kondisi ini kebutuhan tanaman akan lebih tinggi sehigga pengairan harus lebih sering dilakukan.. Pada saat hujan maka cadangan air tanah akan banyak sehingga pengairan tidak perlu sering dilakukan.
4.
Teknik budidaya. Pada budidaya cendana yang menggunakan mulsa ,pengairan atau penyiraman tidak perlu sering dilakukan . Hal ini disebabkan karena mulsa menahan penguapan air.
5.
Waktu pengairan. Pengairan yang baik adalah pada sore hari, karena pada waktu itu terik matahari dan waktu ketersediaan air untuk tanaman pada malam hari akan lebih panjang.
6.
Kualitas air. Air yang baik untuk pengairan tanaman adalah air yang tidak mengandung zat-zat beracun atau kuman-kuman penyakit. Air yang sehat adalah air yang berasal dari air hujan,air sungai, mata air, air dari sumur.
7.
Sistem pemberian air. Untuk menghemat efektifitas dan efisiensi pemberian air dapat dilakukan dengan irigasi tetes. Hal ini mempertimbangkan kondisi NTT yang kekurangan air saat musim kemarau..
B. Lokasi dan Luasan Pengembangan. Permasalahan kemanan areal penanaman baik dari pencurian maupun gangguan dari bahaya kebakaran perlu mendapatkan perhatian perhatian yang serius.. Pencurian adalah hal yang paling krusial dihadapi dalam pengembangan cendana dan kepunahan cendana pada akhir akhir ini lebih banyak disebabkan karena masalah pencurian. Bahkan pohon-pohon muda yang belum banyak membentuk teras sudah ditebang oleh pencuri. Dengan demikian untuk keamanan dan keberhasilan penanaman sebaiknya strategi pengembangan cendana dilakukan di lahan masyarakat dan di dalam kawasan dengan pengawasan yang intensif. 1. Di lahan masyarakat
34 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pengembangan cendana di lahan masyarakat dilakukan dengan penanaman luasan yang kecil, yang dilakukan di ladang petani dengan pola tanam sedikit tapi banyak. Para petani hanya menanaman 20 pohon
yang
dilakukan oleh banyak petani. yang dirogramkan secara
berkesinambungan dalam jangka 50 tahun, yang ditanam di sekitar pagar atau berdekatan dengan rumah mereka untuk keamanan areal. Pemerintah menyediakan anakan cendana. Dengan metode penanaman ini kesulitan masalah biaya penyiraman dan masalah kebutuhan air dapat teratasi. Pemer4intah nantinya akan menikmati dari retribusi sebesar 10 %. Pengembangan cendana di masyarakat dapat dilakukan dengan system tumpangsari . Dengan demikian kegiatan penanaman akan lebih intensif mengingat persayaratan tumbuh cendana memerlukan intensifikasi, dapat mengatasi persaingan dengan rumput, mengatasi permasalahan aerasi tanah karena cendana tidak bisa hidup kelebihan air ,dan memerlukan penaung pada awal masa pertumbuhannya (Surata,2001). 2. Di dalam Kawasan Hutan Penanaman cendana dilakukan pada lahan yang terkonsentarsi dalam satu areal dan penanamannya dilakukan berkesinambungan dan melalui penjagaan yang ketat . Penanaman dilakukan selama 50 tahun. Dan tidak dilakukan secara berpindah . Luasan penanaman setiap tahun hanya 10 ha. Per kabupaten yang ada lokasi cendananya. Bila diasumsikan 10 kabupaten yang mengikuti maka dalam jangka waktu 50 tahun dan per ha ada 200 pohon akahir maka pada tahun ke 50 sudah memiliki pohon cendana 20.000 pohon, dengan teras pohon rata rata 50 kg/ha (Susila et. al.,1993)
C. Ketersedian Bahan Tanaman Beberapa permasalahan teknologi yang cukup dominan dan perlu segera ditangani adalah masalah bahan tanaman untuk pengembangan tanaman cendana yaitu benih. Benih tanaman dapat berasal dari biji dan juga dari kultur jaringan . Cendana yang berasal dari biji dewasa ini masih menghadapi masalah terutama jumlahnya sudah semakin terbatas disamping juga kualitasnya semakin menurun karena pohon cendana di alam sudah semakin punah, disamping itu perlu disiapkan peralatan untuk menyimpan biji karena tanpa penyimpanan yang baik persen tumbuh cendana menurun. Oleh karena itu perlu disiapkan ketersedian benih dan disamping pengembangannya dalam sekala kecil kecilan dan terbatas.
Untuk jangka panjang perlu
dilakukan perlindungan terhadap pohon-pohon cendana yang masih ada sehingga program jangka panjang bisa terus berjalan. Bahan tanaman bisa juga berasal dari kultur jaringan, akan tetapi permasalahannya dibutuhkan laboratorium dan teknologi yang memadai, dan dari hasil pengembangan di Jogjakarta. Menurut Herawan (2003) harga per bibit hasil kultur jaringan per pohon masih cukup mahal yaitu Rp 15.000/pohon, sedangkan kalau dari biji bisa lebih mudah dan murah dengan biaya Rp 3.000- Rp 5000 per pohon. Untuk jangka panjang perlu dilakukan pembangunan kebun benih yang berasal dari pohon plus dan hasil uji keturunan didukung kwalitas bibit yang baik
D. Perencanaan hutan tanaman cendana 35 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Dalam penyusunan rencana pembuatan hutan tanaman perlu ditunjang oleh sistem perencanaan yang dapat mengakomodir teknik budidaya yang akan diterapkan. Perlu diketahui bahwa cendana memerlukan 3 jenis inang : inang jangka pendek, menengah dan jangka panjang, kematian bibit yang lebih tinggi di persemaian karena pengaruh hujan . Rata rata persen jadi bibit 60 %, persen jadi tanaman cendana yang masih rendah sehingga diperlukan biaya penyulaman dan juga teknik yang diterapkan apakah irigasi tetes atau yang lainnya, dan pendanaan yang tepat waktu hal ini menyangkut umur bibit yang siap tanam.
E. Menumbuhkan minat masyarakat dan dunia usaha. Permasalahan yang cukup dominan dan perlu ditangani segera untuk menumbuhkan kembangkan dan memacu minat budidaya cendana dan minat kelola hutan tanaman cendana oleh masyarakat dan dunia usaha adalah : (1) belum ada kebijakan dan program dari instansi terkait untuk mewajibkan jenis pohon lokal cendana sebagai hutan tanaman untuk rehabilitasi lahan contoh kuata 5-10 %, pada hal kondisi cendana di NTT sudah hampir punah. (2) kesadaran masyarakat lokal akan manfaat cendana sangat tinggi tetapi minat membudidayakan belum memadai diperlukan sosialisasi terhadap kesalahan kebijakan cendana di masa lalu (3) Minat dunia usaha untuk berinventasi ke hutan tanaman cendana masih sangat kurang. Pada hal dulu seharusnya industri cendana seperti minyak cendana harus punya lahan pengembangan cendana untuk kelangsungan produksi mereka. (4) Pertumbuhan dan riap pohon cendana yang rendah sehingga merupakan investasi jangka panjang yang secara ekonomis kurang menguntungkan sehingga perlu penerapan agroforestry untuk mendapatkan pendapatan sampingan untuk jangka pendek
F. Kebijakan dari Pemerintah. Untuk memacu pengembangan cendana di NTT harus ada kebijakan dari pemerintah pusat maupun daerah. Dalam setiap program rehabilitasi lahan diwajibkan untuk pengembangan cendana sebesar 5-10 persen dari total luasan dan harus dikembangkan di lahan masyarakat dan kawasan hutan. Dengan demikian program ini akan berkesinambungan dan dalam jangka panjang hasilnya akan dapat di rasakan oleh pemerintah daerah.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Cendana merupakan tanaman yang mempunyai kedudukan yang sangat penting di NTT baik sebagai sumber ekonomi
tanaman dan
identitas daerah NTT .Namun
saat ini kita
dihadapkan pada masalah kepunahan dan perlu segera mendapatkan penanganan berupa pembudidayaan. Pengembangan cendana dimusim kering dengan teknologi irigasi tetes adalah salah satu alternatif yang perlu diterapkan untuk mengatasi permasalahan umur bibit yang terlalu muda yang dipaksakan ditanam dimusim hujan karena terikat periode waktu anggaran pemerintah, kondisi tanah liat tinggi dan curah hujan yang terlalu tinggi.
36 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Beberapa hasil penelitian pengembangan cendana dimusim kering menunjukkan bahwa wadah irigasi tetes dapat digunakan periuk tanah, bambu, bekas botol air mineral yang diberi lubang di bawahnya dan waktu penanaman dilakukan pada awal musim kemarau yaitu dari bulan April-Juli. Hasilnya akan lebih baik bila dilakukan penanaman pada tanah yang subur. Untuk mengatasi masalah dan strategi pengembanganan irigasi tetes cendana
perlu
memperhatikan atara lain: ketersediaan air, lokasi dan luasan areal penanaman, bahan tanaman, perencanaan yang memperhatikan asfek silvikultur, kebijakan dari pemerintah , dan menumbuhkan minat masyarakat serta dunia usaha. Dengan memperhatikan asfek teknis penanaman cendana yang memerlukan perlakuan khusus, akan membawa implikasi tentang perlunya standar biaya yang lebih besar dalam pembuatan hutan tanaman cendana. B. Saran Penanaman cendana
yang dilakukan dimusim kering dengan teknik irigasi tetes
mempunyai prosfek yang baik untuk dikembangkan. Akan tetapi teknik ini biayanya lebih mahal. Untuk menekan biaya agar lebih murah dan mudah penerapannya
dan terjamin
keselamatannya maka perlu dilakukan di lahan masyarakat dalam luasan yang kecil yang mempunyai cukup sumber air. Teknik ini juga dapat dikembangkan untuk membangun sumber benih cendana di masyarakat dengan peryaratan 20 pohon setiap yang menyatu dalam satu hamparan lahan dalam rangka membangun sumber benih cendana di NTT. DAFTAR PUSTAKA
Barret, D.R. 1989. Santalum album (Indian Sandalwood) literature review, Mulga Research Centre. Western Australian Institute of Technology. Darmokusumo,S.. 2001. Upaya memperluas kawasan ekonomi cendana di Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi Edisi Khusus Vol 5 .No.5. Pusat Penelitian Biologi LIPI Dinas Kehutanan Propinsi NTT. 1998. Laporan inventarisasi cendana (Santalum album L.) di Pulau Timor. Dinas Kehutanan NTT. Gardener,F.P., R.B. Peace, and R.L.Mitchell.1985. Physiology of Crop Plants. The Iowa State University Press. Hamzah, Z. 1976. Sifat silvika dan silvikultur cendana (Santalum album L.) di Pulau Timor. Laporan No.227. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor. Herawan,T. 2003.Teknik Perkembangan Vegetatif Cendana Melalui Kultur Jaringan. Makalah disampaikan pada promosi hasil-hasil penelitian dan temukarya cendana di Kupang ,13 Desember 2003. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.1993. Peta Tanah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Radomiljac,AM. 1995.Research Trends for Santalum Species an Emphasis on Germplasm Conservation and Plantation Establisment. In Sandalwood Seed Nursery and Plantation Technology, Proceeding of a Regional Workshop for Facific Island Countries,1-11 August 1994, Noumea, New Caledonia. Rahayu, S.,A. H. Wawo, M. Van Noordwijk dan K. Harirah. 2002. Cendana , Deregulasi dan Strategi Pengembangannya. Word Agroforestry Centre-ICRAF, Bogor. Sosrodarsono,S., dan K.Takeda.1999. Hidrologi untuk Pengairan. PT Pradnya Paramita.Jakarta. Surata, I.K. and J.E.D. Fox. 2000. Goverment initiatives to encaurage land holders to participate in planting sandalwood in East Nusa Tenggara. Paper presented on the IUFRO working group meeting at Cairns, Queensland, Australia, 7-12 January 2000. Wahyono,E.,dan Koesnandar.2004. Mengebunkan Lidah Buaya Secara Intensif. Kerjasama BPPT dengan Agromedia Pustaka. Jakarta.
37 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Susila ,I Wayan Widhiana; A.J. Luanlaka dan M.L.Nalle.1993. Perkembangan potensi kayu cendana. Proceeding seminar pemantapan upaya pelestarian cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kehutanan Propinsi Dati I Nusa Tenggara Timur. Surata, I. K. 1992. Perkembangan penelitian pembibitan dan penanaman cendana di Nusa Tenggara Timur. Makalah disampaikan pada seminar nasional tentang status silvikultur di Indonesia saat ini. Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta. Surata, I.K. dan M.M. Idris. 2001. Status Penelitian Cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi Edisi Khusus Vol 5 .No.5. Pusat Penelitian Biologi LIPI Surata, I. K. 2005 a. Pemanfaatan Irigasi Tetes Untuk Penanaman Cendana (Santalum Album L.) di Lahan Kritis, Banamblaat, Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan Teknis intern. (Tidak dipublikasikan) Surata. I.K. 2005 b. Laporan Penelitian Budidaya Cendana, Laporan Proyek Penelitian Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. (Tidak dipublikasikan) Suripto, J. 1992. Pemulihan potensi cendana di NTT. Makalah disampaikan pada seminar hari bhakti Departemen Kehutanan Propinsi NTT, Kupang. PROSPEK PENGEMBANGAN PENANGKARAN RUSA TIMOR OLEH MASYARAKAT 1
OLEH : K a y a t dan Mariana Takandjandji
ABSTRAK Rusa Timor hasil penangkaran dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tetapi tetap tidak mengabaikan pelestariannya. Diharapkan melalui pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat, dapat mengurangi ketergantungannya pada potensi rusa yang masih tersisa di alam. Selain itu, hasil penangkaran diharapkan pula dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Rusa Timor cepat beradaptasi dengan lingkungan di luar habitat aslinya. Hal mana ditunjukkan dari jenis pakan yang diberikan, dimana dalam mengkonsumsi pakan, rusa tidak memilih-milih. Makanan utama rusa adalah hijauan/rumput-rumputan. Selain mengkonsumsi hijauan yang berada di sekitar lokasi, rusa juga cenderung mengkonsumsi aneka ragam pakan, seperti dedak padi, jagung, buah-buahan, sayur-sayuran, limbah pertanian secara mudah. Umumnya bahanbahan yang digunakan untuk membuat kandang rusa di masyarakat dipilih dari bahan yang tersedia di sekitar lokasi, murah dan kuat. Apapun bahan yang digunakan untuk membuat sebuah kandang rusa, bukanlah masalah. Yang penting kandang tersebut dapat berfungsi sebagai tempat untuk berlindung baik di waktu musim hujan maupun panas. Rusa memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi baik daging maupun hasil ikutan lainnya. Daging, kulit, dan tanduk (muda dan tua/keras) merupakan komoditas yang bernilai mahal. Dari aspek hukum, sekarang sudah ada aturan hukum yang mendukung kegiatan penangkaran rusa timor di masyarakat. Salah satu aturan hukum tersebut adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/MenhutII/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, yang merupakan aturan pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan Bab III Pasal 7 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Kata Kunci
I.
: Rusa Timor, penangkaran, masyarakat, pakan, kandang, nilai ekonomi, aturan hukum
PENDAHULUAN Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara telah melakukan
penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis timorensis) sejak tahun 1989 di Stasiun Penangkaran Oilsonbai, Kodya
Kupang.
Hasil dari penangkaran tersebut selain telah
dikembangkan dalam bentuk mini ranch di Bu’at, SoE Kabupaten TTS sejak tahun 2000, juga telah diberikan kepada masyarakat untuk dilestarikan. Hasil penelitian yang telah diperoleh 1
38 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
berupa aspek feeding, breeding, dan management di Oilsonbai, diterapkan dan dikembangkan di dalam mini ranch dan oleh masyarakat. Rusa hasil penangkaran dapat juga dimanfaatkan oleh masyarakat tetapi tetap tidak mengabaikan pelestariannya. Pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat di Nusa Tenggara Timur (NTT) selama ini masih tergantung pada potensi yang berada di alam, belum mengarah ke penangkaran (pelestarian).
Padahal rusa memiliki potensi ekonomi yang cukup tinggi.
Diharapkan melalui pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat, dapat mengurangi ketergantungannya pada potensi rusa yang masih tersisa di alam. Selain itu, hasil penangkaran diharapkan pula dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Oleh karena itu, diperlukan suatu minat dan kesadaran yang tinggi dalam membudidayakan rusa agar populasinya semakin meningkat. Dalam rangka mengantisipasi kepunahan jenis rusa di NTT dan untuk lebih memasyarakatkan kegiatan penangkaran sekaligus untuk memanfaatkan hasil penangkaran, perlu didukung oleh penelitian yang lebih mengarah pada teknik budidaya untuk tujuan komersial karena rusa mempunyai potensi secara ekonomi.
II.
PROSPEK PENGEMBANGAN PENANGKARAN RUSA TIMOR OLEH MASYARAKAT
A. PROSPEK PENGEMBANGAN Jenis rusa yang terdapat di Indonesia, baru sebagian kecil saja yang telah dibudidayakan secara intensif, sedangkan yang lainnya belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu upaya pelestarian yang telah dilakukan, antara lain adalah budidaya yang bertujuan untuk meningkatkan populasi dan produktivitas serta memenuhi preferensi konsumen. Oleh karena itu, upaya untuk membudidayakan rusa merupakan cara yang tepat apabila ditinjau dari sudut pelestarian sumberdaya alam dan peningkatan manfaatnya bagi masyarakat dalam rangka penganekaragaman sumber protein hewani. Situasi sekarang ini, sudah memungkinkan untuk mengubah status rusa dari satwa yang dilindungi menjadi hewan piaraan atau ternak (domesticated) seperti halnya ternak konvensional (sapi, kambing, domba, dan lain-lain). Untuk mencukupi kebutuhan protein hewani sesuai dengan permintaan, perlu dilakukan upaya budidaya rusa yang berpedoman pada prinsip kelestarian sebab keseimbangan pemanfaatan dan potensi sumberdaya alam harus tetap dipertahankan. Pemanfaatan yang tidak terkontrol akan mengakibatkan punahnya sumberdaya alam yang ada, sehingga akhirnya dapat membahayakan kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, upaya membudidayakan rusa tidak boleh hanya melihat dari segi ekonominya saja tetapi yang paling penting adalah bagaimana agar pembudidayaan tersebut, dapat meningkatkan populasi dan produktivitas rusa. Dipandang dari kepentingan hidup manusia, satwa disebut bermanfaat apabila secara langsung dapat memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia, yakni dapat dijadikan sebagai bahan penyedia pangan dan sandang atau dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan lainnya.
39 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sehubungan dengan itu, untuk memasyarakatkan, mengembangkan dan memanfaatkan hasil penangkaran Rusa Timor, Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara telah memberikan rusa kepada masyarakat. Anggota masyarakat yang ditunjuk untuk memelihara rusa, dipilih sesuai persyaratan sebagai berikut : a. Harus memiliki kandang yang memenuhi standar kesehatan b. Harus memiliki areal pakan yang cukup atau mampu menyediakan pakan untuk kebutuhan rusa, baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau c. Mempunyai minat yang tinggi untuk melakukan pemeliharaan d. Menandatangani Surat Perjanjian Kerjasama yang telah dibuat dan bertanggung jawab atas akibatnya e. Membuat pernyataan bahwa akan memenuhi peraturan yang berlaku. Ujicoba pemeliharaan yang dilakukan oleh masyarakat ini diharapkan dapat menunjang program pelestarian sumberdaya alam melalui peningkatan populasi dan produktivitas Rusa Timor di NTT. Di samping itu, dapat pula menunjang program diversifikasi protein hewani melalui pemenuhan kebutuhan daging dalam keluarga dan mengurangi ketergantungan pada potensi sumberdaya alam yang masih tersisa di alam.
Ujicoba ini diharapkan juga dapat
dimanfaatkan sebagai wahana penelitian, serta dapat menciptakan peluang usaha baru bagi masyarakat.
Gambar 1. Pemeliharaan rusa jantan oleh masyarakat Gambar 2.Pemeliharaan rusa oleh di Kesetnana So’e masyarakat Fatukoa
1.Pakan Rusa Timor cepat beradaptasi dengan lingkungan di luar habitat aslinya. Hal mana ditunjukkan dari jenis pakan yang diberikan, dimana dalam mengkonsumsi pakan, rusa tidak memilih-milih. Dalam pengembangan penangkaran, pakan merupakan hal yang paling penting untuk
diperhatikan.
Makanan
utama
rusa
adalah
hijauan/rumput-rumputan.
Selain
mengkonsumsi hijauan yang berada di sekitar lokasi, rusa juga cenderung mengkonsumsi aneka ragam pakan, seperti dedak padi, jagung, buah-buahan, sayur-sayuran, limbah pertanian secara mudah. 2.Kandang 40 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Rusa Timor ternyata dapat dipelihara seperti kambing dimana dapat diikat, dikandang dan dilepas. Namun masyarakat yang menangkarkan rusa, semuanya melakukan dengan cara dikandangkan. Bentuk kandang rusa yang dimiliki oleh masyarakat Fatukoa bukan permanen tetapi hanya berupa dinding batu karang yang disusun, ditambah dengan beberapa batang kayu gelondongan dan dikuatkan dengan kawat duri. Luas kandang yang dimiliki berukuran 4m x 5m, namun untuk pengembangan selanjutnya masih memungkinkan karena lahannya cukup luas. Kandang terletak agak jauh ke belakang dan berada di tempat yang lebih rendah sehingga aktivitas manusia hampir tidak mempengaruhi rusa.
Rusa lebih tenang dan aman dalam
mengkonsumsi pakan, istrahat serta pada saat melahirkan. Kandang rusa disekat menjadi 2 bagian sehingga apabila melahirkan, induk rusa betina dan anaknya tidak disatukan dengan pejantan. Hal ini untuk menghindari terjadi persaingan dalam mengkonsumsi pakan, dan terinjaknya sang anak oleh pejantan.
Tetapi pemeliharaan ini mempunyai masalah dalam
pembuatan kandang ini dimana pagarnya terbuat dari kawat duri. Kandang yang dikelilingi oleh kawat duri, akan menyebabkan rusa jantan yang mempunyai tanduk lengkap dan keras, dimana pada musim kawin sering menanduk dan merusakkan kawat. Apabila kawatnya terdiri dari kawat duri, akan berakibat fatal karena lehernya terjerat. Seperti yang terjadi pada tanggal 28 Maret 2004, rusa jantan mati akibat lehernya terjerat kawat berduri. Kandang rusa di masyarakat Desa Kesetnana dibuat seperti kandang kambing berukuran 3,5m x 6,5m, berlantai semen. Lantai kandang rusa sebaiknya tidak diberi semen karena akan berpengaruh pada kuku rusa. Biasanya rusa menapak di atas tanah sehingga kukunya tertancap di tanah. Apabila menapak di lantai akan menyebabkan kuku rusa menadi sakit dan lama kelamaan akan rusak. Apabila kukunya sakit, tentu akan mempengaruhi terhadap konsumsi pakan dan reproduksi.
Oleh karena itu, kandang rusa yang berlantai semen kurang baik dan tidak
disarankan. Umumnya bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kandang rusa di masyarakat dipilih dari bahan yang tersedia di sekitar lokasi, murah dan kuat. Bahan-bahan tersebut antara lain batu karang berukuran sedang yang disusun, balok, bambu, papan, kayu gelondongan, pelepah pohon gewang/lontar yang sudah kering (be’bak) dan kawat ram/harmonika. Atap kandang terdiri dari seng, daun rumbia dan alang-alang yang sudah kering. Apapun bahan yang digunakan untuk membuat sebuah kandang rusa, bukanlah masalah. Yang penting kandang tersebut dapat berfungsi sebagai tempat untuk berlindung baik di waktu musim hujan maupun panas. Luas kandang rusa di masyarakat umumnya belum memenuhi persyaratan karena idealnya bagi seekor rusa membutuhkan luas kandang 2m x 2m. Apabila rusa sudah bertambah banyak, kandang rusa harus diperluas lagi. Kandang juga sebaiknya sisekat menjadi beberapa petak sesuai dengan status fisiologis sehingga dapat mengurangi persaingan serta menghindari perkawinan dini dan sedarah. 3.Reproduksi
41 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pengalaman pemeliharaan rusa oleh masyarakat di Kelurahan Fatukoa, rata-rata selang/interval beranak pada induk rusa betina adalah 12,0 bulan.
Jadi induk rusa betina
melahirkan satu ekor anak rusa dalam satu tahun. Ratio antara jantan dan betina dari anak yang dilahirkan adalah 1 : 2 terdiri dari 1 ekor jantan dan 2 ekor betina. Anak rusa pertama dan kedua berjenis kelamin betina, sedangkan yang ketiga berjenis kelamin jantan, berumur 8 bulan tetapi belum terlihat adanya tanda-tanda pertumbuhan tanduk. Biasanya pertumbuhan tanduk pertama pada rusa jantan di penangkaran Oilsonbai terjadi pada umur 10,48 bulan (Takandjandji, dkk., 2004). 4.Tenaga Kerja Hasil penelitian Takandjandji (2005) menunjukkan bahwa faktor tenaga kerja sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan tata laksana penangkaran (Dayan, 1994). Semakin banyak jumlah tenaga kerja yang terlibat, akan meningkatkan pula keberhasilan tatalaksana pemberian pakan dan reproduksi rusa.
Hal ini karena sebagian besar waktu tenaga kerja
keluarga yang terlibat, dicurahkan untuk mencari pakan yang umumnya dikerjakan setelah bekerja dan/atau sambil bekerja di lahan pertanian (sawah/ladang). Tingkat pendidikan akan berkaitan dengan ilmu yang ditransferkan dalam penangkaran.
Semakin tinggi tingkat
pendidikan yang dimiliki, tatalaksana pemeliharaan akan menjadi lebih baik karena adopsi inovasi baru dalam teknik penangkaran serta cara berpikir dalam memecahkan masalah akan lebih matang. Hal ini dapat dilihat pada hasil penangkaran yang diperoleh, baik berat badan maupun ukuran linier tubuh.
B. NILAI EKONOMI Rusa merupakan salah satu sumberdaya alam yang pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Pemanfaatan rusa di NTT masih mengandalkan potensi di alam dan masih terbatas hanya untuk pemenuhan kebutuhan keluarga akan daging. Padahal rusa memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi baik daging maupun hasil ikutan lainnya. Daging, kulit, dan tanduk (muda dan tua/keras) merupakan komoditas yang bernilai mahal.
Daging rusa (venison) mempunyai tekstur lembut, dan berwarna merah, kolesterol
rendah sehingga sangat digemari orang. Produktivitas rusa lebih unggul dibandingkan dengan ternak sapi, kambing, dan domba karena prosentase karkas yang dihasilkan relatif lebih tinggi. Produk hasil rusa yang juga memiliki keunggulan antara lain kulit, dan tanduk. Produk ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi dan dapat diproduksi tanpa harus menyembelih rusa. Dalam dunia pengobatan, tanduk yang masih muda (velvet) dapat digunakan orang sebagai ramuan obat-obatan. Menurut Chaniago (1989), harga tanduk muda (velvet) tahun 1981 di pasaran international adalah $ 90/kg. Berat tanduk muda rata-rata 1,0 – 2,5 kg tergantung pada umur jantan. Tanduk digunakan sebagai bahan obat-obatan tradisional Cina karena mengandung macam-macam mineral dan hormon terutama hormon testoteron. Tanduk dipotong pada umur 50 – 70 hari dan dilakukan setelah rusa dibius, kemudian tanduk tersebut didinginkan, dikeringkan, dan dieksport. 42 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Takandjandji dan Garsetiasih (2002) mengatakan, Rusa Timor dewasa di penangkaran NTT mempunyai berat hidup rata-rata 50 – 70 kg, dengan rata-rata berat karkas sebesar 20,0 31,0 kg atau 44,3 – 62,0 % dari berat hidup. Karkas adalah berat daging tanpa kepala, kaki, dan jeroan dan berat karkas tersebut dipengaruhi oleh pakan, umur, jenis kelamin, dan lingkungan. Rusa dewasa umur 12 – 15 bulan cocok sebagai bibit atau induk rusa karena telah siap kawin.
Perbandingan jantan dan betina yang ideal adalah 1 : 4 atau 1 ekor jantan dan 4 ekor
betina. Waktu yang dibutuhkan sampai menghasilkan keturunan untuk kemudian dijual yakni ± 30 bulan (2,5 tahun). Umur yang tepat untuk dijual adalah 18 bulan karena pada umur tersebut, bobot badan rusa stabil. Penjualan rusa di bawah umur, akan rugi karena harganya rendah dan kesempatan untuk memanfaatkan kecepatan pertumbuhan badan yang optimal akan hilang. Sedang apabila penjualan di atas umur, akan rugi karena biaya pemeliharaan terus berjalan dan pertambahan berat badan tidak ada. Waktu yang tepat untuk penjualan rusa yakni pada saat musim kemarau dimana pakan segar sulit dijumpai. Takandjandji (2004) melakukan analisis finansial terhadap penangkaran rusa timor untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun, dan menghasilkan nilai-nilai Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate Ratio (IRR), masing-masing 77.000; 2,960 dan 38.767. Kondisi ini menggambarkan bahwa usaha penangkaran Rusa Timor di NTT layak untuk dilaksanakan. Kegiatan penangkaran rusa cukup menguntungkan walaupun pada awalnya memerlukan biaya dan investasi yang lebih besar. Usaha ini memerlukan luas lahan yang lebih kecil, akan tetapi dapat memberikan keuntungan yang jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan ternak-ternak yang sudah umum dikenal.
C. ASPEK HUKUM Hingga saat ini ada kecenderungan bahwa masyarakat memelihara rusa hanya sebatas hobi saja. Hal ini karena masih dibatasi oleh aturan yang berlaku bahwa rusa yang dipelihara tidak dapat diperjualbelikan. Namun sekarang ada aturan hukum yang mendukung kegiatan penangkaran rusa timor di masyarakat. Salah satu aturan hukum tersebut adalah Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar, yang merupakan aturan pelaksanaan lebih lanjut dari ketentuan Bab III Pasal 7 sampai dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar. Di dalam Peraturan Menteri Kehutanan tersebut (Bab II), ada 2 (dua) bentuk penangkaran satwa liar yaitu berupa (1) pengembangbiakan satwa dan (2) pembesaran satwa. Pengembangbiakan satwa terdiri dari (1) pengembangbiakan satwa dalam lingkungan terkontrol (Captive breeding) dan (2) pengembangan populasi berbasis alam (Wild based population management). Pengembangbiakan
satwa
dalam
lingkungan
terkontrol
merupakan
kegiatan
memperbanyak individu anakan melalui cara-cara reproduksi dari spesimen induk di dalam lingkungan terkontrol, baik berupa kandang, kolam dan sangkar maupun lingkungan semi alami.
43 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Untuk jenis rusa dapat berupa kandang, dengan syarat antara lain : (1) Adanya fasilitas yng berbeda untuk penempatan induk dan keturunannya serta penempatan spesimen yang sakit, (2) Adanya pembuangan limbah, fasilitas kesehatan, perlindungan dari predator dan penyediaan pakan, (3) Memberikan kenyamanan, keamanan dan kebersihan lingkungan sesuai dengan kebutuhan spesimen yng ditangkarkan. 1. Pengadaan dan Legalitas Asal Induk Induk satwa untuk keperluan pengembangbiakan dapat diperoleh dari : (1) Penangkapan satwa dari alam (tetapi perolehan induknya diatur dengan Peraturan Menteri Kehutanan tersendiri) dan (2) Sumber-sumber lain yang sah (hasil penangkaran, luar negeri, rampasan, penyerahan dari masyarakat, temuan dan lembaga konservasi). Perolehan induk satwa dari hasil penangkaran generasi pertama (F1) untuk jenis yang dilindungi dan atau Appendiks-I CITES dilakukan dengan izin dari Menteri dan untuk generasi kedua (F2) izin dari Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA). Sedangkan perolehan induk satwa untuk jenis yang tidak dilindungi dan atau termasuk Appendiks-II, III dan atau non Appendiks CITES dengan izin Kepala Balai Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA). 2.Pelaksanaan Pengembangbiakan Dalam rangka menjamin kemudahan kontrol hasil pengembangbiakan, maka setiap anakan harus dipisahkan dari induk-induknya. Pemisahan anakan dari induknya harus dapat dilakukan untuk membedakan antar generasi dimana generasi pertama (F1) harus dapat dibedakan dengan generasi-generasi berikutnya. 3.Pemanfaatan Hasil Pengembangbiakan Hasil pengembangbiakan genarasi pertama (F1) bagi jenis-jenis tidak dilindungi yang tidak termasuk dalam Appendiks-I CITES dapat diperjualbelikan dan atau diekspor. Spesimen hasil pengembangbiakan satwa liar generasi pertama (F1) dari jenis yang dilindungi dapat ditransfer atau dipindahtangankan kepada unit usaha penangkaran lain untuk dimanfaatkan sebagai induk penangkaran dengan izin Direktur Jenderal PHKA. 4.Penandaan dan Sertifikasi Penandaan pada hasil penangkaran merupakan pemberian tanda yang bersifat permanen pada bagian tubuh dengan menggunakan teknik tagging/banding, cap (marking), transponder, pemotongan bagian tubuh, tattoo dan label yang mempunyai kode berupa nomor, huruf atau gabungan nomor dan huruf. Penandaan bertujuan untuk membedakan antara induk dengan induk lainnya, antara induk dengan anakan dan antara anakan dengan anakan lainnya serta antara spesimen hasil penangkaran dengan spesimen dari alam. Tanda untuk jenis mamalia hidup dapat berbentuk eartag (tanda di telinga) atau tattoo atau cap pada bagian tubuh lainnya. Pemasangan tanda dilakukan oleh Balai KSDA. Pemegang izin penangkaran melakukan pemasangan tanda berdasarkan persetujuan Kepala Balai KSDA dan atas pengawasan petugas Balai KSDA.
Pemegang izin penangkaran yang akan melakukan pemasangan mengajukan
permohonan pemasangan tanda kepada Kepala Balai KSDA. Kemudian Kepala Balai dapat
44 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
menunjuk pejabat di lingkungan Balai KSDA untuk melakukan pengawasan pemasangan tanda. Pemasangan tanda dapat dilakukan oleh pemegang izin penangkaran atau petugas dari Balai KSDA, kemudian wajib membuat Berita Acara Pemasangan tanda. Sertifikasi hasil penangkaran dilaksanakan oleh unit penangkaran dan disahkan oleh Kepala Balai KSDA atau oleh pejabat yang ditunjuk. Sertifikasi hasil penangkaran meliputi kegiatan : pemeriksaan asal usul, pemeriksaan identitas diri individu spesimen dan pendokumentasian dalam setifikat. 5.Pengembalian ke Habitat Alam (Restocking) Setiap penangkar yang melakukan penangkaran wajib melakukan pengembalian ke habitat alamnya spesimen satwa hasil penangkaran dari jenis yang dilindungi yang telah memenuhi standar kualifikasi penangkaran sedikitnya 10% (sepuluh persen) dari hasil penangkaran. Dalam rangka mengetahui keberhasilan restocking, Kepala Balai KSDA bersama-sama unit penangkaran melakukan program pemantauan. 6.Izin Penangkaran Izin penangkaran satwa liar dapat diberikan kepada : perorangan, koperasi, badan hukum, dan lembaga konservasi. Izin penangkaran dalam bentuk pengembangan satwa dalam lingkungan terkontrol untuk jenis yang dilindungi diterbitkan oleh Direktur Jenderal PHKA, sedangkan untuk jenis yang tidak dilindungi yang termasuk dalam Appendiks CITES diterbitkan oleh Kepala Balai KSDA. Untuk jenis yang tidak dilindungi yang tidak termasuk dalam Appendiks CITES diterbitkan oleh Kepala Dinas di tingkat propinsi, yang menangani konservasi tumbuhan dan satwa liar.
III. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pelestarian rusa yang dilakukan oleh masyarakat dapat mengurangi ketergantungannya pada potensi yang ada di alam. Hasil penangkaran dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan protein hewani. Hasil penangkaran mepunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. 2. Rusa Timor cepat beradaptasi dengan lingkungan di luar habitat aslinya. Hal mana ditunjukkan dari jenis pakan yang diberikan, dimana dalam mengkonsumsi pakan, rusa tidak memilih-milih. Umumnya bahan-bahan yang digunakan untuk membuat kandang rusa di masyarakat dipilih dari bahan yang tersedia di sekitar lokasi, murah dan kuat. 3. Dari aspek hukum sudah ada peraturan yang mendukung kegiatan penangkaran. B. Saran Pengembangan penangkaran Rusa Timor di NTT yang telah dilakukan, perlu dikembangkan sesuai dengan model pengembangan yang terarah. Karena melalui penangkaran rusa, secara tidak langsung pelestarian sumberdaya plasma nutfah lokal dapat terjaga, sekaligus upaya pemanfaatan potensi unggulan lokal dapat dikembangkan. Proses peningkatan status rusa dari satwaliar menjadi satwa penangkaran dan pada akhirnya menjadi satwa ternak, ternyata 45 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
tidak dapat dilakukan secara sendiri tetapi harus melalui proses pengembangan yang dilakukan oleh banyak pihak, baik dari lingkup lembaga teknis maupun lembaga penelitian dan pendidikan. Perlu sosialisasi peraturan yang ada kepada masyarakat luas agar lebih diketahui dan dipahami.
DAFTAR PUSTAKA Basuni, S. 1987. Manajemen perkembangbiakan dalam usaha penangkaran Rusa (Cervus spp) ditinjau dari aspek perilaku. Media Konservasi. Volume I No. 4. Bogor Biro Hukum dan Organisasi. 2005. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut-II/2005 Tentang Penangkaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta Ismail, D. 1998. Manajemen Pemeliharaan Rusa. Topik Khusus. Program Pasca Sarjana. Universitas Padjadjaran. Bandung Jacoeb, T.N., dan S.D. Wiryosuhanto. 1994. Prospek budidaya ternak Rusa. Penerbit Kanisius, Jakarta. Kayat., dan M. Takandjandji. 2003. Analisis Vegetasi dan Produktivitas Pakan pada Areal Mini Ranch Rusa Timor (Cervus timorensis timorensis) di Bu’at, kabupaten Timor Tengah Selatan. Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang Schroder, T.O. 1976. Deer in Indonesia. Nature Conservation Department. Wageningen, Netherland Semiadi, G dan R. Taufiq P. Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor Takandjandji, M. 1993. Pengaruh perbedaan manajemen terhadap pertumbuhan Rusa Timor (Cervus timorensis) di Oilsonbai dan Camplong, NTT. Santalum 12. BPK Kupang. Takandjandji, M; N. Ramdhani; dan M. Sinaga. 1998. Penampilan Reproduksi Rusa Timor (Cervus timorensis) di Penangkaran. Buletin Penelitian Kehutanan. Vol. 3 No. 1. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang Takandjandji, M dan Cecep Handoko. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Tanduk Rusa Timor di Penangkaran Oilsonbai. Belum diterbitkan. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang Takandjandji, M; Edy Sutrisno; dan Kayat. 2005. Pengembangan Penangkaran Rusa Timor dan Pelestarian oleh Masyarakat. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang Takandjandji, M dan R. Garsetiasih. 2002. Pengembangan penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis) dan permasalahannya di NTT. Prosiding Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata. PSIH-IPB; Puslit Biologi; Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Bogor Wodzicka-Tomaszewska, Manika; I.K. Sutama; I.G. Putu; dan Thamrin D. Chaniago, 1991. Reproduksi, tingkah laku, dan produksi ternak di Indonesia. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
46 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
EVALUASI UJI PEROLEHAN GENETIK MELALEUCA CAJUPUTI SAMPAI UMUR 1 TAHUN DI LAPANGAN2 Oleh : Sumardi3
ABSTRAK Telah dilakukan penelitian evaluasi uji perolehan genetik Melaleuca cajuputi sampai dengan umur 1 tahun dengan perlakuan pemupukan di Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian dilakukan dengan 3 perlakuan yaitu sumber benih, pemberian pupuk NPK pada lubang tanam dan pemberian pupuk organik pada tanaman. Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 2 ulangan, masing-masing ulangan pada masing-masing perlakuan terdiri dari 20 contoh tanaman. Berdasarkan peneltian yang dilakukan diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada ketiga perlakuan tersebut terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter, kecuali pada pertumbuhan diameter dengan perlakuan pemberian pupuk organik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Perlakuan terbaik terhadap pertumbuhan tinggi tanaman M. cajuputi adalah penggunaan sumber benih dari pohon plus nomor 6 dengan laju pertumbuhan 7,76 cm, pemberian NPK pada lubang tanam dosis 30 g dengan laju pertumbuhan 7,21 cm dan pemberian pupuk organik dosis 0 kg dengan laju pertumbuhan 6,91 cm. Perlakuan terbaik terhadap pertumbuhan diameter tanaman M. cajuputi adalah penggunaan sumber benih dari pohon plus nomor 6 dengan laju pertumbuhan 0,137 cm, pemberian NPK pada lubang tanam dosis 20 g dengan laju pertumbuhan 0,138 cm dan pemberian pupuk organik dosis 1 kg dengan laju pertumbuhan 0,134 cm. Kata kunci : evaluasi, perolehan genetik, pertumbuhan, Melaleuca cajuputi. I. PENDAHULUAN Tanaman kayu putih (melaleuca cajuputi) merupakan andalan dari tanaman hutan bukan kayu sebagai penghasil hasil hutan bukan kayu, karena daunnya yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan minyak kayu putih. Jenis tanaman ini mampu bertahan hidup pada tanahtanah yang memiliki drainase jelek maupun baik, memiliki resistensi terhadap kebakaran, toleran pada tempat-tempat terbuka serta kadar garam tinggi maupun pada tanah asam (Kartikawati dan Susanto, 2003). Untuk melakukan perbanyakan jenis tanaman ini dapat dilakukan dengan menggunakan biji/benih (generatif) maupun stek, grafting dan cangkok (vegetatif). Di Indonesia, sebagai sumber bahan baku industri pembuatan minyak kayu putih berasal dari dua sumber bahan baku utama, yaitu tagakan alam kayu putih di Kepulauan Maluku dan tanaman kayu putih di Jawa (Rimbawanto, 2000). Jenis ini pada umumnya dijumpai sebagai tegakan murni dan tumbuh pada dataran rendah sampai dataran tinggi, perbedaan lokasi tempat tumbuh dan kondisi geografis mempengaruhi pertumbuhannya. Pada tahun 2003, telah dihasilkan benih unggul tanaman kayu putih dari kebun benih di Paliyan Gunungkidul untuk menghasilkan tanaman kayu putih dengan produksi daun yang memiliki rendemen dan kadar 1,8 cineol yang tinggi. Berdasarkan analisis kadar minyak dan rendemennya, sumber benih tersebut berpotensi menghasilkan tanaman dengan kadar minyak 1,8 cineol sebesar 65 % dan rendemen sebesar 2,05 %, dan sebagai gambaran bahwa tanaman kayu putih di Pulau Jawa saat ini hanya memberikan rendemen antara 0,8 – 1,0 % dengan kadar 1,8 cineol 50 – 60 % (Anonimous, 2004).
47 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pada saat ini telah dilakukan tahap awal uji perolehan genetik tanaman kayu putih yang menggunakan benih unggul dari kebun benih Paliyan Gunungkidul di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang telah dimulai pada tahun 2005. Untuk mengetahui tingkat pertumbuhan tanaman kayu putih sebagai langkah awal uji perolehan genetik di NTT maka penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi uji perolehan genetik tanaman kayu putih sampai dengan umur 1 tahun di lapangan.
II. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian uji perolehan genetik kayu putih dilaksanakan di Banamlaat Kecamatan Kefamenanu Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi Nusa Tenggara Timur pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2006. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman Melaleuca cajuputi subsp cajuputi di lapangan sampai dengan umur 1 tahun, pupuk NPK, pupuk organik, sedangkan peralatan yang digunakan antara lain besi gali, timbangan analitik, timbangan kapasitas 10 kg, sendok, ember, label, kaliper, blangko pengamatan dan alat tulis. Kegiatan penelitian di Kefamenanu dilakukan dengan 3 faktor perlakuan yang melibatkan 3 pohon plus yang berada di kebun benih Paliyan Gunungkidul (F5 = sumber benih dari pohon plus nomor 5 yang berasal dari provenan Pulau Seram; F6 = sumber benih dari pohon plus nomor 6 berasal dari provenan Pulau Seram namun berbeda famili dengan F5; dan F8 = sumber benih dari pohon plus nomor 8 berasal dari provenan Ambon), 5 perlakuan pemberian NPK pada lubang tanam (L0=0g; L1=10g; L2=20g; L3=30g; dan L4=40g) dan 3 perlakuan pemberian pupuk organik pada tanaman setelah berumur 2 bulan di lapangan (O0=0kg; O1=0,5kg; dan O2=1kg) yang akan diujikan dengan 2 ulangan. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 20 contoh setiap ulangan pada masing-masing perlakuan. Data hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan Analisis Sidik Ragam (ANOVA), apabila terdapat perbedaan nyata antara perlakuan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (LSD). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis varians tinggi dan diameter M. cajuputi sampai dengan umur 1 tahun di Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi Nusa Tenggara Timur disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis varians tinggi dan diameter M. cajuputi sampai dengan umur 1 tahun di Kabupaten Timor Tengah Utara Propinsi Nusa Tenggara Timur Sumber keragaman d.b Kuadrat Tengah Signifikansi TINGGI Replikasi 1 230.441 0.002* 0.000* Pohon plus 2 725.592 Pupuk NPK 4 198.282 0.000* Pupuk Organik 2 137.210 0.003* Error 1489 23.138 DIAMETER Replikasi 1 0.007 0.033* Pohon plus 2 0.013 0.000* Pupuk NPK 4 0.019 0.000* Pupuk Organik 2 0.004 0.076 Error 1486 0.002 48 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Keterangan : d.b : derajat bebas Berdasarkan hasil analisis varians pada Tabel 1 terlihat bahwa sampai dengan umur 1 tahun keragaman pertumbuhan antar pohon plus sebagai sumber benih menunjukkan perbedaan nyata untuk sifat tinggi maupun diameter. Hal tersebut menunjukkan kinerja masing-masing pohon plus sudah mulai nampak dan faktor genetik sudah berperan dalam pertumbuhan tanaman. Dengan menggunakan uji lanjut perbedaan nyata nampak antara ketiga pohon plus (pohon plus nomor 5, 6 dan 8) pada sifat diameternya. Laju pertumbuhan terbesar nampak pada tanaman dengan menggunakan sumber benih dari pohon plus nomor 6 yaitu sebesar 0,137 cm, kemudian disusul pohon plus nomor 8 dan 5 masing-masing sebesar 0,132 cm dan 0,127 cm. Pada sifat tinggi perbedaan nyata terlihat pada pohon plus nomor 6 dengan pohon plus nomor 5 dan 8, sedangkan antara pohon plus nomor 5 dengan 8 tidak terlihat perbedaan yang nyata. Laju pertumbuhan tinggi terbesar nampak pada tanaman dengan menggunakan sumber benih dari pohon plus nomor 6 yaitu sebesar 7,76 cm, kemudian disusul pohon plus nomor 8 dan 5 masing-masing sebesar 5,79 cm dan 5,63 cm. Hal tersebut terjadi karena diduga walaupun kinerja masing-masing pohon plus telah nampak namun belum stabil. Sebagai pendukung hasil analisis varians terhadap tanaman kayu putih umur 1 tahun yang di laksanakan Kartikawati dan Susanto, 2003 menunjukkan bahwa keragaman pertumbuhan antar provenans menunjukkan perbedaan nyata pula, baik pada sifat tinggi maupun diameternya. Keragaman pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman kayu putih dengan perlakuan pemberian NPK dosis 0 g, 10 g, 20 g, 30 g dan 40 g nampak berbeda nyata berdasarkan pada Tabel 1. Hal ini menunjukkan kinerja pupuk sebagai pemacu dan pendorong pertumbuhan tanaman telah terjadi. Dengan perlakuan pemberian pupuk organik dosis 0 kg, 0,5 kg dan 1 kg nampak terdapat perbedaan nyata pada keragaman pertumbuhan tinggi namun tidak demikian pada keragaman diameter tanaman. Pada Gambar 1 disajikan grafik pertumbuhan tinggi M. cajuputi di lokasi penelitian dengan perlakuan pupuk NPK pada lubang tanam dengan dosis yang berbeda yaitu 0 g, 10 g, 20 g, 30 g dan 40 g. Grafik Pertumbuhan Tinggi M. cajuputi di NTT (cm) 7,0
6,5
6,
5,5
0g
10 g
20 g
30 g
40g
DOSIS NPK
Gambar 1. Grafik Pertumbuhan tinggi M. cajuputi dengan perlakuan pemberian NPK pada lubang tanam
49 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Dari Gambar 1 terlihat terdapat perbedaan yang nyata pada pertumbuhan tinggi M. cajuputi dengan perlakuan pemberian NPK pada lubang tanam, dimana perbedaan nyata terlihat antara perlakuan pemberian NPK dosis 0 g (kontrol) dan 40 g dengan pemberian NPK dosis 10 g, 20 g, dan 30 g. Sementara itu, tidak terdapat perbedaan nyata antara perlakuan pemberian NPK 0 g dengan 40 g. Hal ini terjadi karena diduga pemberian pupuk NPK dengan dosis 40 g dirasa kurang optimal untuk menunjang peningkatan pertumbuhan tinggi M. cajuputi pada tahap awal pertumbuhan di lapangan. Perlakuan pemberian NPK dosis 10 g, 20 g, dan 30 g tidak berbeda nyata diantara ketiganya dengan pengaruh yang lebih baik dari perlakuan pemberian NPK dosis 40 g. Sehingga pemberian NPK untuk mendukung pertumbuhan tinggi relatif paling optimal menggunakan dosis 30 g, 20 g atau 10 g. Pada Gambar 2 disajikan grafik pertumbuhan diameter M. cajuputi di lokasi penelitian dengan perlakuan pemberian NPK dengan dosis yang berbeda. Grafik Pertumbuhan Diameter M. cajuputi di NTT (cm) 0.1375 0.1350 0.1325 0.1300 0.1275 0.125 0.1225 0.1200 0.1175 0g
10 g
20 g DOSIS NPK
30 g
40 g
Gambar 2. Grafik Pertumbuhan diameter M. cajuputi dengan perlakuan pemberian NPK pada lubang tanam Dari Gambar 2 tersebut terlihat adanya perbedaan yang nyata pengaruh perlakuan pemberian NPK antara perlakuan pemberian NPK dengan dosis 10 g, 20 g, 30 g, dan 40 g dengan tanpa pemberian NPK (kontrol). Terdapat perbedaan pengaruh pertumbuhan tinggi dan diameter dari perlakuan pemberian NPK dosis 40 g, yaitu pada pertumbuhan tinggi tidak berbeda nyata dengan kontrol sementara pada pertumbuhan diameter berbeda nyata, namun dari Gambar 2 terlihat pengaruhnya semakin menurun jika dibanding dengan pengaruh NPK dosis 30 g, 20 g dan 10 g. Hal tersebut diduga pengaruh pemberian NPK dosis 40 g belum stabil. Pada Gambar 3 disajikan grafik pertumbuhan tinggi M. cajuputi dengan perlakuan pemberian pupuk organik dengan dosis yang berbeda. Grafik Pertumbuhan Tinggi M. cajuputi di NTT (cm) 6.80 6.60 6.40 6.20 6.00 5.80 5.60 0 kg
0,5 kg 1 kg DOSIS PUPUK ORGANIK
Gambar 3. Grafik pertumbuhan tinggi M. cajuputi dengan perlakuan pemberian pupuk organik dengan dosis yang berbeda. 50 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Dari Gambar 3 terlihat perbedaan nyata pertumbuhan tinggi M. cajuputi antara perlakuan pemberian pupuk organik dosis 0,5 kg dengan perlakuan pemberian pupuk organik dosis 0 kg dan 1 kg, dimana perlakuan pemberian pupuk organik dosis 0,5 kg memiliki peningkatan pertumbuhan yang lebih rendah dari kedua dosis perlakuan yang lain. Hal ini terjadi diduga karena proses fisiologis tanaman yang terganggu akibat adanya pengaruh naungan, dimana pada lokasi perlakuan pemberian pupuk organik 0,5 kg terdapat beberapa pohon Eucalyptus alba sehingga intensitas dan lama waktu penyinaran pada perlakuan ini relarif lebih rendah dibanding kedua perlakuan yang lain. Tanaman kayu putih membutuhkan temperatur atau suhu udara yang panas sehingga membutuhkan sinar matahari penuh pada siang hari. Oleh karena itu, tanaman ini dapat tumbuh baik jika tidak ternaungi oleh pohon-pohon lainnya (Sunanto, 2003). Seperti diungkapkan juga oleh Daniel et al, 1987 bahwa pengaruh lama penyinaran karena akumulasi waktu pertumbuhan terbuka terhadap cahaya sangat menentukan jumlah total karbohidrat yang di produksi. Dengan penurunan produksi total karbohidrat pada tanaman menyebabkan pertumbuhan tinggi tanaman kurang optimal. Pada Gambar 4 disajikan grafik perumbuhan diameter M. cajuputi dengan perlakuan pemberian pupuk organik dengan dosis yang berbeda yaitu 0 kg, 0,5 kg dan 1 kg. (cm)
Grafik Pertumbuhan Diameter M. cajuputi di NTT
0.136
0.134
0.132
0.130
0.128 0 kg
0,5 kg
1 kg
DOSIS PUPUK ORGANIK
Gambar 4. Grafik pertumbuhan diameter M. cajuputi dengan perlakuan pemberian pupuk organik dengan dosis yang berbeda. Dari Gambar 4 tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan diameter antara perlakuan pemberian pupuk organik 0 kg, 0,5 kg dan 1 kg. Namun demikian pengaruh naungan terhadap proses fisiologi tanaman yang terjadi pada lokasi penanaman dengan perlakuan pemberian pupuk 0,5 kg masih menunjukkan pertumbuhan diameter yang lebih rendah dibanding dengan kedua perlakuan dosis pemupukan yang lain, walaupun tidak berbeda nyata. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh intensitas dan lama penyinaran terhadap pertumbuhan diameter tanaman kayu putih sebagai akibat terganggunya proses fisiologi tanaman. Pada pertumbuhan diameter kinerja pupuk organik sudah mulai nampak namun belum stabil seperti terlihat bahwa pertumbuhan diameter dengan perlakuan pemberian pupuk organik dosis 1 kg lebih tinggi dari kontrol. Perbedaan pertumbuhan tinggi antara perlakuan pemberian pupuk organik belum nampak adanya perbedaan yant nyata tersebut diduga karena kinerja atau pengaruh pupuk yang diberikan belum stabil atau optimal.
IV.KESIMPULAN 51 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Perlakuan penggunaan sumber benih dari pohon plus yang berbeda, perlakuan pemberian NPK dan pupuk organik mengakibatkan keragaman pertumbuhan tinggi dan diameter yang berbeda nyata, kecuali keragaman pertumbuhan diameter dengan perlakuan pemberian pupuk organik yang tidak menunjukkan perbedaan nyata. Dari hasil dan pembahasan tersebut maka pengembangan tanaman kayu putih di NTT untuk sementara dapat menggunakan sumber benih dari pohon plus nomor 6, dengan perlakuan pemberian NPK dosis 30 g pada lubang tanam dan pemberian pupuk organik dosis 1 kg pada tanaman kayu putih.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2004. Hasil Pemuliaan Kayu Putih Aset Yang Belum Dimanfaatkan. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Daniel, T.W., Helms, J.A., Baker F.S. 1987. Prinsip Prinsip Silvikultur (diterjemahkan oleh Marsono, D.). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Kartikawati, N.K. dan Susanto, M. 2003. Evaluasi Kombinasi Uji Provenans dan Progeni Melaleuca cajuputi sampai dengan Umur 2 Tahun di Lapangan. Jurna Pemuliaan Tanaman Hutan Vol. 1 No.3, hal : 119-129. Pusat Litbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Rimbawanto, A. 2000. Pemuliaan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi) di Jawa. Duta Rimba. 243/xxiv-September, hal : 19-21. Sunanto, H. 2003. Budidaya dan Penyulingan Kayu Putih. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
52 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
TEKNIK BUDIDAYA DAN PRODUKSI GAHARU1) Oleh: I Komang Surata
2)
ABSTRAK Gaharu yang mempunyai nama perdagangan agarwood, eaglewood atau aloewood adalah salah satu hasil hutan bukan kayu yang bernilai ekonomi tinggi dan mempunyai sifat khas yang disebabkan adanya bau wangi yang dihasilkan dari senyawa pendamaran akibat infeksi oleh jamur pada pohon penghasil gaharu. Gaharu digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio, dupa, minyak, dan sebagai obat tradisional yang banyak diekspor ke Negara –Negara Arab , China, dan Singapura. Produksi gaharu Indonesia masih rendah dan hanya mengandalkan pohon yang tumbuh secara alami. Dewasa ini jumlah populasi dan mutu produksinya sudah sangat menurun akibat eksploitasi yang dilakukan secara berlebihan, teknik pemanenan yang tidak tepat, proses penularan masih secara alami, dan belum banyak dilakukan regenerasi. Untuk mengatasi permasalahan ini maka perlu segera dilakukani regenerasi baik melalui permudaan alam maupun buatan, dengan menerapkan teknik budidaya dan produksi yang tepat. Dalam makalah ini akan dikemukakan paket teknologi berupa hasil-hasil penelitian dan informasi tentang jenis-jenis pohon penghasil gaharu, teknik budidaya, dan teknik produksi gaharu. Paket teknologi ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam rangka membantu pengembangan gaharu di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kata kunci: gaharu, budidaya, produksi, regerasi, penularan. I. PENDAHULUAN Gaharu merupakan salah satu jenis hasil hutan bukan kayu yang sangat potensial dan bernilai ekonomi tinggi. Gaharu yang selama ini dikenal karena memiliki sifat khas dan nilai ekonomi tinggi disebabkan oleh adanya bau wangi dari pendamaran (senyawa minyak atsiri) pada bagian tertentu dari kayu pohon penghasil gaharu akibat infeksi oleh jamur atau bakteri. Gaharu banyak digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, pewangi ruangan, hio, dupa, minyak wangi, dan sebagai obat tradisional. Bentuk perdagangan gaharu beragam mulai dari kayu bongkahan, chip, serbuk, dan minyak gaharu. Gaharu banyak diekspor ke NegaraNegara Arab, Singapura, dan China. Gaharu yang dihasilkan dapat berupa damar gaharu, gubal, dan kemedangan. Damar gaharu adalah kayu karas yang mengandung akumulasi damar wangi dengan konsentrasi tinggi, gubal gaharu bagian kayu karas yang mengandung akumulasi damar wangi dengan konsentrasi lebih rendah, dan kemedangan adalah hasil akumulasi damar wangi tahap awal pada kayu karas yang terbentuk secara perlahan-lahan dalam bentuk garis-garis coklat putih (Asosiasi Pengusaha Gaharu Indonesia, 2001). Pohon yang mengandung gaharu sulit dikenali secara pasti tentang tingkatan kandungan dan kualitas gaharunya. Oleh karena ketidak pastian yang tinggi , masyarakat pencari gaharu umumnya mengadakan pengumpulan gaharu dengan cara mencoba-coba menebang pohon– pohon yang mereka duga menghasilkan gaharu. Kadang kala sering dilakukan oleh orang yang tidak berpengalaman dan dilakukan secara besar-besaran dan terus menerus tanpa terkendali. Hal ini banyak mempercepat kerusakan dan penurunan populasi pohon penghasil gaharu.
53 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Dewasa ini masyarakat pencari gaharu sangat kesulitan untuk mendapatkan pohon yang mengandung gaharu, dengan demikian mereka melakukan penebangan pohon-pohon muda yang belum banyak mengandung gaharu, karena pohon-pohon tua sudah semakin langka. Mereka menggunakan cara tradisional yaitu dengan cara menyakiti pohon (menakik batang pohon) untuk mempercepat proses pembentukan gaharu. Widnyana dan Sinaga (1997) melaporkan bahwa hampir kebanyakan pohon penghasil gaharu yang diidentifikasi di Nai Aij, Kecamatan Ampoang Utara, Kabupaten Kupang kondisinya batangnya cacat akibat bekas-bekas perlukaan (torehan, takikan, potongan, pengupasan kulit dan pemangkasan cabang) dan banyak ditemukan sisa-sisa tugak bekas tebangan, batang kayu yang bergelimpangan, serta sangat sulit untuk mendapatkan gaharu. Secara nasional produksi gaharu di Indonesia dari tahun ke tahun menurun. Menurut Biro Pusat Statistik (2000) export gaharu Indonesia pada tahun 1995 sebesar 400 ton, tahun 1996 sebesar 300 ton, tahun 1997 sebesar 270 ton dan pada tahun 1998 sebesar 150 ton. Dewasa ini lokasi pengambilan gaharu telah jauh ke dalam hutan dan waktu yang dibutuhkan untuk pengambilan gaharu semakin lama. Bahkan untuk mencari bibit gaharu untuk penanaman sudah semakin sulit dan harus jauh masuk ke dalam hutan. Dengan makin menipisnya persediaan gaharu maka atas usulan India dalam sidang CITES ke IX di Florida Amerika Serikat tahun 1994 diputuskan bahwa jenis gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk,) dimasukkan dalam daftar Apependix II CITES (Suhartono,2001). Akan tetapi sistem ini belum bisa melindungi inang gaharu dari kepunahan karena produk gaharu terdiri dari banyak jenis dan sulit membedakan asal usul hasil gaharu yang dijual berasal dari jenis mana apa lagi yang sudah berbentuk minyak, dan juga tergantung persetujuan pedagang dari negera penjual dan pembeli. Untuk menanggulangi penurunan populasi pohon gaharu maka perlu secepatnya dilakuan pelestarian baik in situ mapun ek situ. Salah satunya melalui pembudidayaan. Sampai saat ini budidaya gaharu belum mendapatkan perhatian yang memadai baik oleh pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Disamping itu untuk meningkatkan jumlah dan mutu produksi gaharu perlu diterapkan teknik produksi berupa penularan dan cara pemanenan yang tepat. Berkenaan dengan permasalahn tersebut di atas maka dalam makalah ini akan dikemukakan hasil-hasil penelitian dan informasi yang berasal dari makalah-makalah
dan
literature-literatur yang mencakup aspek: jenis-jenis pohon penghasil gaharu, teknik budidaya dan produksi gaharu.
II. JENIS, SEBARAN DAN PERSYARATAN TEMPAT TUMBUH 1. Jenis Jenis Pohon Penghasil Gaharu Gaharu dapat dihasilkan oleh jenis-jenis tanaman tertentu. Tidak setiap individu pohon dari jenis yang sama dapat menghasilkan gaharu dan hal ini sangat tergantung dari intensitas infeksinya. Sampai saat ini telah dilaporkan ada 17 jenis (species) tanaman yang dapat menghasilkan gaharu (Sidiyasa,1986; Suhartono dan Newton, 2000; Zich dan Camton, 2001), yang disajikan pada Tabel 1.
54 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 Tabel 1. Jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu di Indonesia
Suku
Marga
Jenis
Thymelea ceae
Actoxylon
Actoxylon sympetalum Pohon tinggi 15-16 m,diameter Kalimantan (Steen Drake) batang 25-75 cm,kulit batang Barat Airy Shaw berwarna kelabu atau kelabu kehitam-hitaman sedikit bergetah putih
Aquilaria
Aquilaria hirta Ridley A. malaccencis Lamk A. microcarpa Baill
Kalimantan Barat
-
A. Cumingiani
-
Gonystylus
Gonystylus bancanus( Miq) Kurz
Wikstromia Wikstromia androsalmifolia Decne
55 | P r o s i d i n g
Sumatra, Kalimantan
A. beccariana Van Tiegh
Enklea malaccencis Griff
Dalbergia
Sumatra
Pohon berukuran tinggi bias Papua mencapai 17 m, diamater batang bias mencapai 50 cm
G. macrophyllus (Miq) Airy Show
Legumino sae
Pohon kecil .,tinggi sampai 15 m, diameter batang 17 cm,permukaan batang keputih putihan,agak licin.v Pohon dapat mencapai tinggi 40 cm,diameter batang 17 cm,permukaan batang keputih putihan, agak licin Tinggi pohon dapat mencapai 40 m dan diameter batang 80 cm
Sebaran
A. filarial (Oke) Merr
Enklea
Gyrinops
Ciri-ciri
Sumatra ,Kalimantan
Sumatra, Kalimantan Lina, panjang sampai 30 Sumatra m,diameter batang sampai 10 cm, ,Kalimantan berwarna kemerah merahan, ranting seperti alat pengkait Pohon besar,tinggi 40-45 cm,diameter batang 30-120 cm,tidak berbanir,tajuk tipis mempunyai akar napas Pohon besar tinggi sampai 45 m, diameter batang sampai 100 cm
Sumatra, Kalimantan
Sumatra, Kalimantan
Brbentu pohon kecil ,diamter Jawa, batang 4 cm. Kalimantan, Sulawesi, NTT,Papua
W. polyantha Merr
Semak atau pohon kecil tinggi Seluruh sampai 7 m, diameter batang 7,5 Indonesia cm, ranting kemerah-merahan atau coklat kehitaman
W tenuiramis Miq
Pohon perdu dan kecil,tinggi Sumatra, sampai 10 cm,ranting coklat kalimantan terang sampai coklat tua, dahan licin,coklat kemerah merahan.
Gyrinops versteegii (Gilg) Domke
tinggi pohon hingga 21 m, diameter hingga 30 cm, permukaan batang licin, biasanya lurus berwarna keputihan
Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua
G. cumingiani
-
Sumatra
Dalbergia pavirfolia Roxb
Berbentuk tumbuhan pemanjat Saumatra, atau liana Kalimantan
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Eurphobia Exoecaria Tinggi pohon 10-20 m, dengan Jawa Excoecaria ceae diameter batang 40 cm ,Kalimantan agallocha L Sumber: Sidiyasa (1986), Suhartono dan Newton (2000), Zich dan Camton (2002)
Jenis-jenis pohon tersebut terdiri dari tiga suku yaitu: Thymeleaceae, Euporbiacea, dan Leguminosae, dan delapan marga yaitu: Actocylon, Aquilaria, Enklea, Gonystylus, Wikstromia, Gyrinops, Dalbergia, Excoecaria, serta 17 jenis (species) yaitu: Actoxylon sympetalum (Steen Drake) Airy Shaw, Aquilaria hirta Ridley, A. malaccencis Lamk, A. microcarpa Baill, A. filaria (Oke) Merr, A. beccariana Van Tiegh, A. Cumingiani, Enklea malaccencis Griff, Gonystylus bancanus Miq, G. macrophyllus Airy Show, Wikstromia androsalmifolia Decne, W. polyantha Merr, W. tenuiramis Miq, Gyrinops verstegii (Gilg) Domke, G. cumingiani . Dari semua jenis pohon penghasil gaharu jenis Aquilaria spp. tergolong jenis potensial yang dikenal karena memiliki keragaman jenis dan mutu yang paling tinggi dan paling luas dikenal dalam dunia perdagangan. Di Propinsi NTT diketahui 2 jenis tumbuhan yang potensial sebagai penghasil gaharu antara lain Gyrinops verstegii (Gig) Domke dan Wikstromia androsalmifolia Decne (Balai Penelitian Kehutanan Kupang, 1990) yang penyebarannya di laporkan di pulau Flores, Sumba dan Timor, dan juga tumbuh secara alami di Pulau Lombok, Sumbawa (Surata,2004). Jenis Gyrinops verstegii (Gig) Domke populasinya lebih banyak dan ukuran pohonnya lebih tinggi, sedangkan sedangkan jenis Wikstromia androsalmifolia Decne jarang ditemukan dan memiliki pertumbuhan pohon yang pendek.
2. Penyebaran .Penyebaran jenis inang gaharu terdapat di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Srilangka, Myanmar, Laos, Vietnam, Thailand, Kamboja, Cina Selatan, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Di Indonesia tumbuh di Pulau Sumatra (10 jenis), pulau Kalimantan (12 jenis), kemudian dalam jumlah terbatas tumbuh di kepulauan Nusa Tenggara (2 jenis), pulau Papua (2 jenis), pulau Sulawesi 2 jenis, pulau jawa (2 jenis) dan kepulauan Maluku (1 jenis) (Tabel 1).
3. Persyaratan Tempat Tumbuh Kondisi ekologis tempat tumbuh inang gaharu sebagai berikut, suhu udara 24°C – 32°C. kelembaban udara 80-90 % dan curah hujan 1500-2500 mm per tahun pada ketinggian yang bervariasi untuk setiap jenis berkisar 10-1600 m dpl.. Khusus untuk jenis Gyrinops versteegii (Gig) Domke di daerah Nusa Tenggara yang beriklim kering tumbuh pada ketinggian 10 – 900 m dpl, topografi dataran rendah sampai pegunungan, pada jenis tanah bervasiasi dengan sifat struktur tanah lempung atau liat, berpasir, pada tanah marginal. jenis tanah regosol cokklat kelabu, mediteran haplik, dan kambisol eutrik (Pusat Penelitian Tanah,1993) dan pada curah hujan 1500-2000 mm per tahun atau pada tipe iklim C (Schmidt dan Ferguson,1951). III. TEKNIK BUDIDAYA A. Penanganan Benih dan Persemaian
56 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pengadaan bibit gaharu sementara dapat memanfaatakn potensi tegakan alam gaharu yang masih tersedia sebagai pohon tegakan benih (seed stand). Dalam jangka panjang perlu dibina ketersediaan pohon induk (seed orchard) yang berperan sebagai sumber bahan tanaman dalam membina budidaya serta sekaligus upaya pelestarian sumberdaya genetik jenis gaharu. Pengadaan bibit gaharu dapat berasal dari biji, anakan cabutan alam, dan stump. Pengunduhan biji dapat dilakukan dari pohon induk. Anakan alam diperoleh dari hasil cabutan yaitu dengan cara mengambil bibit cabutan alam yang memiliki tinggi 15-20 cm, daun lebih dari 6 helai, dan di persemaian akarnya diberi perlakuan hormon tumbuh Rootone –F sebesar 200 ppm dan dipelihara di persemaian sampai umur 4 bulan. Bibit dengan stump bisa diperoleh dari anakan alam maupun lewat persemaian dengan membuat potongan stump dengan panjang batang atas 5 cm dan panjang bagian bawah (akar)10 cm yang diikuti pemotongan akar serabut dan diberi perlakuan Rootone- F sebesar 200 ppm sebelum ditanam di lapangan. Pengadaan benih gaharu yang berasal dari biji bisa dilakukan dengan pemungutan buah yang telah masak fisiologis. Buah masak jenis Gyrinops verstegii (Gig) Domke terbanyak terjadi pada bulan Januari-Februari dan di luar bulan tersebut gaharu berbuah sangat sedikit. Buah bentuknya bulat lonjong sebesar biji kacang tanah yang telah dikupas, dengan ukuran tinggi 1 cm dan lebar 0,5 cm. Buah tua dicirikan kulit berwarna hijau kekuningan- kuning dan cangkang buah belum merekah. Pemungutan buah dilakukan dengan cara memanjat pohon dan menjatuhkan buah dengan galah berkait agar nuah dapat berjatuhan dan selanjutnya biji dikeluarkan dari buah masak dan segera diderkan di bedeng tabur, karena biji gaharu tidak tahan lama dalam penyimapanan ( bersifat recasiltran). Setiap buah mengandung 3- 4 biji dan. Dalam 1 kg biji gaharu terdapat 3.000 biji dengan daya kecambah 65 %. Pemakaian rootone-F dalam perkecambahan biji dapat meningkatkan persen kecambah sampai 85 % (Surata, 2004). Selanjutnya penyapihan dilakukan di bedeng sapih dengan menggunakan polibag 15 cm x 20 cm, media semai tanah : kompos 4 :1. Persemaian di bedeng sapih dapat menggunakan persemaian permanen (shade house) dan persemaian konvensional. Setelah penyapihan maka dilakukan penyiram setiap hari.
Bibit gaharu memerlukan umur > 6 bulan di persemaian
sebelum ditanam di lapangan. Sebelum pemindahan bibit ke lapangan maka perlu dilakukan pemotongan akar yang tembus polybag dan hardening of (aklimatisasi) yang dilakukan sebulan sebelum penanaman.
B. Teknik Penanaman. Sesuai dengan sifat fisiologis pohon gaharu yang mempunyai sifat toleran ( memerlukan naungan) pada awal pertumbuhannya (vegetaif growth), maka persiapan lahan tanaman perlu diiringi persiapan pohon penaung. Letak tanaman ditata dalam jalur berjarak 3 atau 6 m yang dibersihkan secara jalur sekitar 1 m dan pohon atau semak di sekitarnya dibiarkan sebagai penaung. Jarak tanam dalam jalur 3 m atau 6 m, lubang tanam 30 x 30 x 30 cm, Modifikasi jarak tanam ini dapat dilakukan sesuai dengan kondisi tapak setempat jenis pohon penaung yang sudah ada dengan pengaturan pohon penaung sebesar 50 %. Sebaiknya gaharu ditanam pada awal musim hujan, agar bibit yang ditanam mempunyai waktu yang cukup panjang untuk tumbuh dan berkembang, sehingga pada musim kemarau 57 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pertama tanaman sudah cukup kuat untuk menghadapi keadaan cuaca yang kering dan panas di lapangan.
C. Pola Tanam. Pola tanam budidaya gaharu disesuaikan dengan sifat fisiologis tumbuhan yang inang gaharu yang memerlukan pohon penaung. Beberapa teknik alternatif yang dapat diterapakan antara lain dengan memanfaatkan pohon penaung yang sudah ada (sistem perkayaan jalur) dan pembutan hutan tanaman dengan menanam pohon penaung jenis jenis cepat tumbuh (pola hutan campuran) baik pada hutan produksi maupun hutan rakyat. Pola penaung pada hutan alami (sistem perkayaan) dapat diterapkan dengan membebaskan tajuk pohon penaung yang sudah ada. Menurut Surata (2002) pertumbuhan inang gaharu jenis Gyrinops verstegii (Gig) Dom di Pusuk pulau Lombok, paling baik bilamana ditanam di bawah naungan pohon hutan alam 50 % (Tabel 2). Penggunaan naungan ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau pertumbuhan tinggi, diameter, dan persen tumbuh lebih baik serta warna daun lebih hijau, jumlah daun lebih banyak, dan kondisi vigor tajuk tajuk tanaman lebih sehat demikian sebaliknya yang dengan tanpa penaung pertumbuhannya tanaman lebih rendah. Penggunaan pohon penaung mempengaruhi iklim mikro seperti meningkatkan kelembaban udara, serta menurunkan intensitas penyinaran, temperatur udara dan temperatur tanah pada musim kemarau dan hal ini sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan gaharu di daerah kering Nusa Tenggara. yang mempunyai iklim kering yang agak panjang (8 bulan).
Tabel 2. Rata-rata tinggi, diameter, persen hidup tanaman inang gaharu umur 2 tahun setelah tanam pada perlakuan penaung hutan alam. No Perlakuan Tinggi (cm) Diameter (cm) Hidup (%) 1
Naungan 0 %
67,27
1,123
33,46
2
Naungan 50 %
110,80
1,686
61,37
3
Naungan 90 %
94,90
1,555
43,67
Sumber :Surata (2002) Yuliansyah (2004). melaporkan bahwa perlakuan lebar jalur memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman gaharu jenis Aquilaria malaccensi Lamk. Pertumbuhan tanaman inang gaharu yang ditanam pada lebar jalur 2 m lebih baik dibandingkan dengan 1,5 m dan 1 m. Dengan demikian penaungan yang terlalu rapat akan menekan pertumbuhan pohon . Pembuatan tanaman inang gaharu pada tanah kosong perlu dilakukan penanaman pohon penaung atau dengan pola tanam campuran tumpangsari. dengan memanfaatkan pohon perkebunan. Sistem tumpang sari dapat dilaksanakan pada lahan yang relatif subur, topografi ringan (kemiringan lereng kurang dari 15 %), vegetasi semak/belukar dan adanya kebutuhan lahan pertanian yang cukup tinggi serta adanya peminat dari masyarakat di sekitarnya. Menurut Surata (2005) penggunaan pohon penaung tumpang sari dengan tanaman kakao (coklat) menghasilkan pertumbuhan tinggi, diameter dan persen tumbuh tanaman yang yang paling baik dibandingkan dengan jenis singkong, padi/jaging, dan tempat terbuka (kontrol). Dengan menggunakan pelindung tanaman kakao dapat meningkatkan tinggi 23 %, diameter 55 % dan persen hidup 70 % (Tabel 3). 58 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
59 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 3. Rata-rata tinggi, diameter, persen hidup pertumbuhan tanaman gaharu pada perlakuan tumpang sari umur 8 tahun setelah tanam. Nomor
Perlakuan
Tinggi (m)
Diameter (cm)
Hidup (%)
1
Tempat Terbuka
4,86
3,71
16,48
2
Singkong
4,30
5,35
36,62
3
Kakao
6,30
8,23
54,78
4
Padi lading dan jagung
3,19
4,93
23,25
Sumber : Surata (2005) D.Pemeliharaan Pemeliharaan akan sangat menentukan produksi gaharu pada saat tegakan masih muda. Pemeliharaan terdiri dari pemeliharan
tanaman muda, pemeliharaan tegakan lanjutan, dan
perlindungan tanaman. Pemeliharaan tanaman muda dilakukan sejak bibit ditanam di lapangan sampai terbentuknya tegakan hutan
yaitu pada saat tajuk hutan
mulai menutup meliputi
penyulaman, penyiangan dan pendangiran. Penyulaman dilakukan dua kali yaitu pada tahun tanam berjalan, dan umur satu tahun sampai tercapainya persen tumbuh 80 %. Penyiangan dilakukan 2 kali setahun atau disesuaikan dengan keadaan pertumbuhan gulma dan pendangiran dilakukan setahun sekali. Pemeliharaan tegakan lanjutan dilakukan sejak tajuk hutan menutup dengan pohon penaung sampai tegakan mencapai umur panen gaharu dengan melakukan pemangkasan dan penjarangan pohon penaung yang ditujukan untuk memberi kesempatan tumbuh yang sebaikbaiknya pada setiap pohon inang gaharu. Pemeliharaan tegakan juga dilakukan pada inang gaharu yang terlalu rapat, dilakukan untuk mengurangi terjadinya persaingan antar pohon dalam rangka meningkatkan kesehatan, kualitas dan nilai tegakan. Penjarangan pohon inang gaharu bisa juga didahului dengan mempercepat mengadakan penularan secara intensif pada pohon pohon yang akan dijarangi selagi pohon masih muda, sehingga apabila pohon tersebut dipotong hasil penjarangan bisa dimanfaatkan.
F. Riap Hutan Tanaman Penerapan sistem budidaya intensif dalam pengusahaan inang gaharu sebetulnya diarahkan untuk mencapai tingkat produksi optimal. Oleh karena itu membahas sistem dan teknik budidaya inang gaharu tanpa mengemukakan riap tidaklah lengkap. Hasil penelitian penanaman inang gaharu di Rarung Pulau.Lombok pada plot coba 2 ha menunjukkan bahwa pertumbuhan hidup tanaman cukup baik dengan jarak tanam awal 3x3 m, pada umur 8 tahun jarak tanam menjadi 6x6 m dan masih belum perlu dilakukan penjarangan lanjutan untuk mengurangi persaingan..
60 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 4. Riap rata-rata tinggi,diameter inang gaharu di Rarung pulau Lombok sampai umur 8 tahun No
Tinggi (m)
Diameter (cm)
Hidup (%)
1
Umur (tahun) 2
63,89
Riap tinggi (m/th) 0,59
Riap diameter (cm/th) 0,99
1,19
1,98
2
4
3,76
3,91
60,53
0,94
0,97
3
8
6,30
8,23
54,78
0,98
1,028
Sumber ( Surata,2004). Pada umur 8 tahun riap rata-rata tahunan tinggi 0,98 m/th dan diameter 1,028 cm /tahun lebih baik dari pada umur 4 dan 2 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhannya tanaman belum optimal dan masih terus berjalan.
IV. TEKNIK PRODUKSI A.Pembentukan gaharu. Penyebab timbulnya infeksi yang menghasilkan gaharu pada pohon penghasil gaharu hanya terjadi pada tingkat umur tertentu. Pembentukan gaharu terjadi secara sporadis dan bervariasi, sehingga menyebabkan terbentuk gaharu serpihan, lempengan, bongkahan, dan bahkan potongan utuh dari batang, akar dan cabang inang gaharu. Gaharu dapat terbentuk pada bagian teras atau gubal batang. Menurut Oetomo (1995) pembentukan gaharu terjadi akibat infeksi bakteri atau jamur pada inang gaharu yang terluka, sehingga menimbulkan kelainan dalam zat-zat ekstraksi, terjadi penumpukan zat yang berlebihan sehingga terjadi penyumbatan dalam saluran makanan. Dalam keadaan tersebut pohon mengadakan reaksi
yang ditandai
dengan diproduksinya cairan yang berbau wangi, akan tetapi tidak keluar dari batang/gubal dan mengendap menjadi satu dalam batang. Secara teori kemungkinan mekanisme pembentukan gaharu adalah terjadinya penyimpangan fisiologis tanaman inang gaharu yang diakibatkan oleh aktifitas enzimatis jamur patogen. Bau harum yang terjadi disebabkan oleh terbentuknya senyawa-senyawa atrsiri (zat polatile) yang khas sesuai dengan karakteristik zat ekstraktif tanaman inang akibat proses di atas. Namun sampai saat ini zat-zat ekstraktif tersebut belum diketahui secara pasti. Proses pembentukan gaharu disebabkan batang pohon jenis penghasil terbentuk damar yang berwarna coklat-hitam akibat infeksi jamur. Jenis-jenis jamur yang telah ditemukan dalam infeksi pembentukan gaharu antara lain : Diplodia sp., Penicillium, dan Fusarium soloni (Suharti dan Sidiyasa, 1987), Aspergillus, Penicillium dan Fusarium sp. (Tunstal dalam Beniwal ,1989), Fusarium lateritum (Parman,1999), Phytium spp, Lasio diplodia spp., Lebetela sp, Tricoderma sp., Secytalidium sp dan Thielaviopsis sp (Santoso,Turjaman ,dan Sumarna, 2003). B. Teknik Penularan Proses pembentukan gaharu harus didahului oleh adanya luka pada pohon selanjutnya baru terjadi infeksi oleh jamur atau bakteri. Infeksi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, oleh karena itu untuk mempercepat dan meningkatkan pembentukan gaharu diperlukan teknik penularan dengan jenis jamur/bakteri yang sudah tumbuh dan beradaptrasi di daerah tersebut. Jamur atau bakteri yang menginfeksi luka batang inang gaharu selanjutnya mengubah pentasan 61 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
atau sellulosa pada kayu menjadi resin atau damar. Resin hasil kinerja penyakit tersebut terkumpul di dalam rongga sel yang dikenal sebagai gaharu (Burkill,1966 dalam Santoso dan Sumadiwangsa,1997). Teknik buatan untuk mempercepat pembentukan gaharu pada tahun 1980-an masih dilakukan dengan menyuntikkan campuran gula dan oli, namun tingkat keberhasilannya masih rendah. Dewasa ini telah dikembangkan metode penyuntikan inokulasi gaharu dengan teknik penularan dengan jamur. Adapun teknik penularan gaharu yang selama ini diterapkan adalah sebagai berikut : 1. Penularan secara alami. Penularan atau infeksi gaharu terjadi secara alami lewat ranting kering yang patah karena terjadi pemangksan batang secara lami, patah karena angin atau terluka akibat gangguan hewan. Disamping itu penularan secara alami terjadi karena perlukaan secara sengaja oleh para pencari gaharu dengan cara menakik batang pohon,.selanjutnya terjadi infeksi secara alami oleh jamur atau bakteri dari lingkungan sekitarnya. Umumnya pembentukan gaharu mulai terjadi pada umur 1 tahun. Menurut Parman ( 2001) pada umur 2 bulan sudah mulai terjadi proses pembentukan gaharu. 2. Penularan secara buatan Teknik ini dilakukan dengan memasukkan inolulan jamur (padat atau cair) ke dalam batang pohon, untuk mempercepat pembentukan gaharu. Menurut Santoso et al (2003) beberapa tahapan kegitan yang dilakukan dalam inokulasi gaharu dengan inokulan jamur antara lain. a. Melakukan isolasi jenis jamur pembentuk gaharu dari pohon penghasil gaharu sesuai daerah sebaran tumbuh alami dan selanjutnya dilakukan identifikasi dan pemurnian yang dihasilkan isolat. b. Isolat murni yang ditemukan selanjutnya dapat disimpan dan dikembangkan sebagai sumber inokulum untuk menginfeksi pohon inang gaharu. c. Secara fisik limit diameter, batang pohon yang siap diberikan perlakuan inokulasi gaharu adalah pada kisaran umur lebih dari 5-6 tahun, diameter lebih dari 8 cm, dengan tanda fisiologis pohon telah mulai berbuah, sehingga diharapkan dalam kurun waktu hingga pohon sudah berumur 10 tahun secara total pohon telah terinfeksi dan menghasilkan gaharu. d. Tenik penularan dapat dilakukan sebagai berikut: pengeboran dilakukan pada batang dengan diameter lebih dari 8 cm, bagian cabang dan batang dengan jarak 20 cm di bor, dan lubang bor dibuat melingkar secara spiral dengan ke dalaman optimal 3-4 cm, selanjutnya dimasukkan inokulan
yang sesuai yang berbentuk padat atau cair, dan
selanjutnya lubang bor ditutup dengan lilin untuk menghindari masuknya air hujan atau mikroba lain. e. Penularan dapat juga dilakukan dengan teknik infus, dimana pohon inang gaharu setelah batangnya di bor dimasuki selang infus. Pada bagian atas selang dilengkapi dengan botol infus. Cairan infus akan mengalir secara perlahan melalui selang yang berisi cairan inokulan. Penutupan lubang bor dilakuan dengan lilin. Pengaturan cairan infus diatur secara berkala. Teknik produksi dengan cara menginfus batang, diharapkan infeksi 62 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
penyakit akan berlangsung sesuai mekanisme fisiologi pertumbuhan pohon, sesuai dengan pola produksi gaharu memerlukan waktu yang lama, akan tetapi dihasilkan satuan volume produksi gaharu yang bersifat total. Hasil penelitian rekayasa pembentukan gaharu dengan penyuntikan Fusarium sp. pada jenis Aquilaria microcarpa dalam bentuk inokulan padat atau cair yang dilakukan di hutan tanaman maupun alam, keberhasilan terbentuknya gaharu mencapai 80 %. dan pembentukan terjadi pada umur 4-6 tahun (Siran, Ngatiman, Yuliansah, 2005). Sadgopal (1960) mengidentifikasikan bahwa
gaharu terbaik dihasilkan dalam pohon terinfeksi yang telah
berumur lebih dari 50 tahun.
C.Teknik Pemanenan Karena tidak semua tumbuhan penghasil gaharu berisi gaharu, maka pengetahuan cara pendugaan kandungan gaharu perlu diketahui terutama untuk pemungut pemula sehingga tidak terjadi salah tebang pada pohon yang tidak berisi gaharu. Untuk menentukan pohon inang gaharu yang dapat dipanen dan siap masak tebang dari pohon yang sudah membentuk gaharu, para petani pencari gaharu menggunakan tanda-tanda sebagai berikut: (a) pohon inang gaharu kelihatan meranggas/hampir mati, (b) dilihat dari banyak dan sedikitnya daun pohon inang gaharu yang rontok dan kuning, semakin banyak daun yang rontok makin banyak gubal yang terjadi dan sebaliknya (c) dengan menarik kulit pohon gaharu, apabila kulitnya ditarik terputus-putus maka sudah ada gubalnya dan sebaliknya kalau kulitnya ditarik dari ujung pangkal tidak putus maka belum terbentuk gubal gaharu, (d) banyak cabang yang patah, (e) banyak ada benjolan dan lekukan sepanjang batang, (f) tajuk pohon kecil dan tipis dan kelihatan meranggas, (g) terdapat bekas rumah serangga atau rayap. Wiyino dkk. (2000) menggunaan alat pembor untuk menentukan pohon inang gaharu yang masak tebang dengan menentukan jaringan yang diduga telah mengandung gaharu. Alat ini praktis untuk menduga seberadaan gaharu yang terbentuk di pohon secara total atau sporadis untuk menentukan teknik pemanenan sehingga mengurangi risiko penebangan pohon yang ternyata tidak mengandung gaharu. Santoso et. al. (2003) menyatakan bahwa dalam pemanenan gaharu untuk mengurangi banyanya kayu yang terbuang dapat dilakukan panen sebagai berikut: a. Panen berkala, yaitu pemanenan yang dilakukan secara berkala dengan cara mengupas/mengeruk bagian jaringan gaharu yang sudah terbentuk gaharu, pada pohon yang ditandai oleh terbentuknya warna coklat,coklat hitam, hitam, juga dapat dinilai dengan cara membakar dan apabila telah berbau harum tanda ada gaharu. Untuk selanjutnya lubang bor diinokulasi ulang. Hingga dalam umur tertententu pohon akan mati. b. Panen total, yaitu pemanenan dilakukan dengan dengan menebang pohon ,dengan memperhatikan tanda tanda fisiologis dan fisik pohon yang terinokulasi gaharu yakni: daun menguning dan luruh, cabang dan ranting mongering, kulit batang mudah terkupas dan mengering, kupasan batang bila dibakar berbau harum.
63 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Secara sederhana pemanenan total gaharu di alam yang dilakukan oleh para petani gaharu yaitu dengan cara menebang pohon dan menggali akar pohon yang telah menghasilkan gaharu. Penebangan dilakukan dengan kapak atau parang pada bagian batang yang diduga ada gaharu, kemudian ditakik bila ada muncul warna hitam-coklat, dites dengan dibakar untuk mengetahui pengeluaran bau khas wangi gaharu. Selanjutnya dilakukan penebangan, batang dibelah dan dipotong bagian yang mengandung gaharu, dibersihkan dari kulit, cabang/ranting dan dipisahkan bagian batang/akar yang berwarna putih dan coklat-hitam (damar gaharu). Batang pohon yang terbentuk gaharu dibersihkan dari kotoran dan dimasukkan ke dalam wadah/karung. Hasil pengumpulan gaharu kemudian dijemur selama 5-6 hari untuk menurunan kadar airnya sampai 7-9 %, selanjutnya disortir menurut kelas-kelas gaharu dan dimasukkan ke dalam kantung plastik atau karung kain.
D. Produksi dan Kualitas. Jumlah produksi gaharu
tidak sama untuk setiap pohon, tergantung dari tingkat
infeksinya, karena tidak semua bagian batang dan akar gaharu yang mati mengandung damar wangi. Hasil pengamatan yang dilakukan Wiyono (1998) di Riau, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Timur menemukan bahwa para petani pengumpul gaharu hanya menghasilkan 18 kg gaharu dari berat pohon skitar 2,5 ton atau sekitar 0,72 persen. Soehartono (2001) menemukan bahwa penduduk Kayan di Kalimantan mengumpulkan gaharu dari pohon di hutan alam yang berdiameter di bawah 20 cm dan memperoleh gubal berkisar 0,1-0,18 kg/pohon dan kemedangan 0,19-3,00 kg/pohon. Dengan demikian untuk memenuhi kuota panen gaharu diperlukan target jumlah pohon yang ditebang cukup besar sehingga akan mempercepat degradasi pohon inang gaharu. Hasil panen gaharu dari hutan tanaman dengan menggunakan penyuntikan inokulan padat dari alam setelah umur 6 bulan menghasilkan rata-rata 14,7 gram gaharu /lubang ( Siran,Ngatiman, Yuliansah ,2005). Untuk membedakan mutu/kelas gaharu tidak mudah dan penggolongannya sangat rumit dan memerlukan banyak latihan dan pengalaman. Seseorang yang belum terlatih
atau
berpengalaman akan sulit membedakan kualitas kelas gaharu karena semuanya berbentuk chip atau kayu bongkahan kecil yang memiliki
warna yang hampir sama. Kesulitan ini akan
diperburuk karena masih ada perbedan klasifikasi antara pedagang pengumpul dan biasanya bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Penentuan kualitas gaharu sifatnya subyektif sekali dan tidak seragam, sehingga kualitas gaharu yang dihasilkan tergantung dari orang yang menentukannya. Untuk mengatasi permasalahan ini Wiyono, Santoso dan Angraeni (1996) mengusulkan parameter penentuan kualitas gaharu secara kuantitatif dengan menggunakan parameter warna, kadar resin, kadar minyak, bilangan ester, ukuran, dan bentuk serpih. Gaharu yang mempunyai kelas yang tinggi akan mengandung warna hitam, kadar resin, kadar minyak dan bilangan ester yang tinggi. Dengan demikian lebih objektif dan kualitas gaharu dapat ditrentukan lebih tepat. Akan tetapi teknik ini masih mahal dan belum familiar diterapkan oleh para pedagang. Dengan demikian penentuan klasifikasi gaharu masih oleh para pedagang pengumpul gaharu masih menggunakan kriteria dari Asosiasi Pengusaha Gaharu Indonesia (ASGARIN) (2001), Para pengumpul gaharu 64 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
di lapangan hanya menggunakan 6 kelas yaitu : Kelas super A, AB, BC, C1 dan C2, dan cincangan. 1. Kelas super (A): berwarna hitam pekat, padat,karas, mengkilap dan sangat berbau,tidak ada campuran dengan serat kayu, berupa bongkahan atau butiran berukuran besar bagian dalam tidak berlubang. 2. Kelas Tanggung (AB): Gaharu berwarna hitam dan coklat, padat keras, bagian dalam kadang-kadang berlubang, bercampur serat kayu dan tanggung 3. Kacangan (BC): Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu sebesar butiran-butiran biji kacang atau berdiameter kurang lebih 2 mm. 4. Teri (C1): Gaharu berwarna hitam terkadang bercampur coklat, bercampur kayu, berupa butiran-butiran lebih kecil dari biji kacang dan lebih tipis atau berdiameter sekitar 1 mm. 5. Kemedangan: Kayu yang hanya mengandung getah gaharu. 6. Cincangan (C2) ; Potongan kecil dari pemisahan gaharu.. Tabel 5. Klasifikasi mutu gaharu menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-5009.1-1999). No
Klasifikasi
Keselarasan
mutu
dengan mutu di
Warna
Kandungan damar
Bau/aroma
wangi
Dibakar
pasaran A
Gubal
1
Mutu utama
Super
Hitam merata
Tinggi
Kuat
2
Mutu I
Super AB
Hitam kecoklatan
Cukup
Kuat
3
Mutu II
Sabah super
Hitam kecoklatan
Sedang
Agak uat
B
Kemedangan
1
Mutu 1
Tanggung A
Coklat Kehitaman
Tinggi
Agak kuat
2
Mutu II
Sabah 1
Coklat bergaris hitam
Cukup
Agak kuat
3
Mutu III
Tanggung AB
Coklat
tipis Sedang
Agak kuat
bergaris Sedang
Agak kuat
bergaris Sedang
Agak kuat
bergaris
putih 4
Mutu IV
Tanggung C
Kecoklatan putih tipis
5
Mutu V
Kemedangan I
Kecoklatan putih lebar
6
Mutu VI
Emedangan II
Putih keabuabuan garis Kurang
Kurang kuat
hitam tipis 7
Mutu VII
C
Abu gaharu
1
Mutu utama
65 | P r o s i d i n g
Kemedangan III
Putih keabuabuan
kurang
Kurang kuat
Cincangan
Hitam
Tinggi
Kuat
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2
Mutu I
Sedang
Sedang Kurang
3
Mutu II
Kurang
Sumber: Badan Standar Nasional (1998).
Kualitas mutu gaharu juga telah ditetapkan berdasarkan Standar Nasional SNI 01-50091-1999. SNI menetapkan dalam 13 kualitas mutu, akan.tetapi pada kenyataannya sangat sulit diterapkan ditingkat pedagang, dan cendrung bervariasi dari satu tempat ke tempat lain karena semuanya berbentuk chip,bongkahan yang memiliki warna yang hampir sama. Kesulitan ini diperburuk karena masih ada perbedaan antara pedagang dan SNI. Dalam standar SNI sfesikasi dan klasifikasi mutu gaharu yang terdiri dari gubal gaharu, kemedangan, dan abu gaharu. Setiap kelas selanjutnya dibedakan lagi menjadi sub kelas berdasarkan ukuran, warna, kandungan damar wangi, serat, bobot dan aroma setelah dibakar yang disajikan pada Tabel 5.
V. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Gaharu adalah salah satu hasil hutan bukan kayu
yang bernilai ekonomi tinggi dan
mempunyai sifat khas yang disebabkan adanya bau wangi yang dihasilkan dari senyawa pendamaran akibat infeksi oleh jamur atau bakteri pada pohon penghasil gaharu. 2. Produksi gaharu di Indonesia masih rendah dan hanya mengandalkan pohon yang tumbuh secara alami. Dewasa ini populasi dan mutu produksinya sudah menurun akibat: eksploitasi yang dilakukan secara terus menerus dan berlebihan, teknik pemanenan yang tidak tepat, proses penularan masih secara alami, dan belum banyak dilakukan regenerasi . 3. Untuk meningkatkan produksi gaharu perlu dukungan teknologi mulai dari informasi tentang jenis-jenis pohon penghasil gaharu, teknik budidaya dan teknik produksi. 4. Gaharu dapat dihasilkan oleh jenis-jenis tanaman tertentu, dan tidak setiap individu pohon dari jenis yang sama
dapat membentuk gaharu dan sangat tergantung dari intensitas
infeksinya. Sampai saat ini telah dilaporkan ada 17 jenis (species), tanaman yang dapat menghasilkan gaharu yang termasuk dalam 3 suku dan 8 marga. 5. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur diketahui 2 jenis tumbuhan yang potensial sebagai penghasil gaharu adalah Gyrinops verstegii (Gig) Domke dan Wikstromia androsalmifolia Decne yang penyebarannya ada di Pulau Timor, Sumba dan Flores. 6. Pembuatan hutan tanaman penghasil gaharu memerlukan dukungan teknik budidaya yang intensif. Teknik budidaya inang gaharu perlu memperhatikan benih yang bersifat recasiltran, penanaman perlu pohon penaung 50 %. Penggunaan teknik budidaya tumpangsari dengan tanaman kakao terbukti paling baik meningkatkan keberhasilan tumbuh inang gaharu. Model tumpang sari dapat dikembangkan melalui kegiatan pembuatan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. 7. Proses pembentukan gaharu disebabkan batang pohon jenis penghasil gaharu terluka, terinfeksi dan selanjutnya terbentuk gumpalan yang berwarna coklat-hitam. Infeksi disebabkan oleh serangan penyakit (seranga jamur dan bakteri).
66 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
8. Selama ini pembentukan gaharu masih terjadi secara alami, namun kualitas produksi dan kecepatan pembentukan gaharu rendah. Untuk meningkatkan pembentukan gaharu maka perlu dilakukan teknik penularan dengan menyuntikkan inokulan jamur yang sudah tumbuh dan beradaptrasi dengan baik di daerah tersebut. 9. Untuk mengurangi banyaknya kayu yang terbuang pada sistem pemanenan gaharu dapat dilakukan panen dengan sistem berkala, kecuali pada pohon-pohon yang terbentuk gaharu secara total bisa dilakukan pemanenan secara total. 10. Penentuan kualitas gaharu sifatnya subyektif sekali dan tidak seragam, sehingga kualitas gaharu yang dihasilkan tergantung dari para pedagang. Dewasa ini sudah dikembangkan klasifikasi gaharu menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), akan tetapi para pedagang gaharu belum menerapkan dan mereka lebih suka menerapkan sistem yang dibuat Asosiasi Pengusaha Gaharu Indonesia (ASGARIN).
DAFTAR PUSTAKA Asosiasi Pengusaha Eksportir Gaharu Indonesia. 2001. Masalah/kendala dalam Pengusaan Kayu Gaharu. Prosiding Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu, RLPS, Departemen Kehutanan, Jakarta. Mataram 4-5 September 2001. Badan Standarisasi Nasional (BSN). 1998. Standar Nasional untuk Gaharu. (SNI,01-5009.11999). BPS. 1990-2000. Statistik Indonesia 1990-2000. Biro Pusat Statistik Indonesia. Jakarta. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. 1990. Identifikasi Inang Penghasil Gaharu.Laporan Teknis Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Beniwal, B.S. 1989. Silvica Characteristics of Aquilaria agallocha Rob. Indian Forester. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Oetomo, H.H. 1995. Tinjauan Terhadap Pemasaran Komoditi Gaharu Indonesia di Perdagangan Internasional. Lokakarya Pengusahaan Hasil Hutan Non Kayu. Indonesia-ODA-UK. Tropical Forest Management Program, Surabaya 31 Juli-1 Agustus 1995. Parman, S. dan T. Mulyaningsih. 2001. Teknologi Pembudidayaan Tanaman Gaharu. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu. Ditjen RLPS, Departemen Kehutanan, Jakarta, Mataram 4-5 September 2001. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.1993. Peta Tanah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Bogor. Sadgopal. 1960. Exploratory studies in the development of essential oil and their constituent in aromatic plants. Part 1. Oil agarwood, soap, ferfumery and cosmetics,London 33 (1): 4146. Santoso, E., M. Turjaman, Y. Sumarna. 2003. Pengembangan Budidaya Gaharu dalam Menunjang Keberhasilan GNRHL di Nusa Tenggara Timur. Proseeding Hasil Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang 13 Desember 2003. Santoso, E. dan S. Sumadiwangsa. 1977. Pembentukan gaharu melalui inokulasi, Sylvatropica No.7. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Schmidt, F.G.and J.H.A. Ferguson .1951. Rainfall types based on wet and dry period ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verhand 42. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Djakarta. Sidiyasa, K. 1986. Jenis-Jenis Tumbuhan Penghasil Gaharu. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bogor 2 (1):7-16 Siran, S. A, Ngatiman dan Yuliansyah. 2006. Gaharu, Komoditi HHBK Andalan Kalimantan Timur. Proseding Gelar dan Dialog Teknologi. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Mataram 29-30 Juni 2005. Suhartono, T. and Newton, 2000. Conservation and Sustainable of Tropical Tree in The Genus Aquilaria II. Status and Distribution in Indonesia. Biological Conservation. 67 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Suhartono,T. 2001. Gaharu, Kegunaan dan Pemanfatannya. Makalah Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Tanaman Gaharu. Ditjen RLPS, Departemen Kehutanan., Mataram 4-5 September 2001. Surata, I.K. dan I.M. Widnyana.2001. Teknik Budidaya Gaharu (Gyrinops verstigii).. Aisuli 14 (1) 1-24. Surata, I K. 2002. Pengaruh Pohon Penaung Hutan Alam Terhadap Pertumbuhan Inang Gaharu (Gyrinops verstigii) di Pusuk Pulau Lombok. Buletin Penelitian Kehutanan .. l6 (.2 1-9) _______. 2004. Laporan Penelitian Teknik Budidaya Gaharu. Laporan Penelitian Proyek. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. (Tidak Dipublikasikan). _______. 2005. Pertumbuhan Tanaman Gaharu ( Gyrinops verstegii) pada Pola Tanam Sistem Tumpang Sari di Rarung, Pulau Lombok. Laporan Teknis Intern. Balai Penelitian Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. (Tidak dipublikasian) Widnyana, I.M. dan M.Sinaga1998. Kajian Pengusaan Gaharu di NTT. Studi Kasus di Daerah Ampoang Utara. Proseding Hasil Hasil Penelitian,Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Kupang 6 Oktober 1997. Wiyono,B.,E. Santoso dan I. Anggraeni.1996. Studi Pendahuluan Penentuan Parameter Persyaratan Kualitas Gaharu Informasi Hasil hutan Bogor. Wiyono,B. 1998. Penelitian Teknik Pendugaan Gaharu. Makalah Penunjang Diskusi Hasil Hutan Bukan Kayu. Pusat Litbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan .Bogor. Wiradinata, H. 1995.Gaharu, Aquilaria spp. Perkembangan dan Pemanfaatan yang Berkelanjutan. Lokakarya Pengusahaan Hasil Hutan Non Kayu. Indonesia-ODA-UK. Tropical Forest Management Program, Surabaya 31 Juli-1 Agustus 1995. Yuliansyah, M. 2004. Gaharu Komoditi Masa depan yang Menjanjikan. Proseding Ekspose Hasil Hasil Penelitian. Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Samarinda 7 Desember 2004. Zich, F. and J. Camton. 2001. Agarwood (Gaharu) Harvest and Trade in Papua New Guinea: A Preliminari Assessment. TRAFFIC Oceania.
68 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
POTENSI PENGEMBANGAN INDUTRI MADU HUTAN DI NTT Oleh Dennis Nite ST dan Budiyanto Dwi Prasetyo ABSTRAK Madu lebah terkenal kemanisan rasanya, memiliki kandungan zat makanan, serta bisa digunakan sebagai obat tradisional. Sebenarnya potensi madu lebah masih belum dieksplorasi sepenuhnya. Minat terhadap potensi industri lebah madus semakin meningkat disebabkan banyak kawasan yang mempunyai tumbuhan berbunga, terutama dihutan-hutan. Perkembangan dan pengusahaan madu di NTT hingga kini masih tertumpu pada pemanfaatan madu liar yang banyak terdapat dihutan-hutan. Hal itu terkait dengan kondisi iklim dan lingkungan NTT yang memungkinkan bagi lebah-lebah liar untuk dapat hidup dan menghasilkan madu liar dengan kualitas baik. Lebah amdu tropis modern hidup sehat pada suhu antara 31-34 C agar bisa melakukan aktivitas metabolisme vital. Suhu tersbeut merupakan temperatur paling baik bagi tanaman-tanaman bunga yang kaya akan nektar. Madu hutan di NTT sangat berpotensi dikembangkan menjadi industri madu hutan. Kualitasnya baik dna terjaga karena didukung oleh keadaan iklim semi arid (panas dan kering dengan suhu 31-34 C) serta ketersediaan tanaman penghasil nektar yang memadai. Kondisi masyarakat di NTT yang mata pencarian utamanya sebagian besar petani ladng dan peternak membuat keberadaan madi hutan tetap lestari. Kata kunci: Potensi industri, lebah madu hutan, Nusa Tenggara Timur I.PENDAHULUAN Sejak awal peradaban manusia, madu merupakan produk lebah yang penggunaannya paling ppopuler. Manusia telah memanfaatakan madu sebagai makanan, bumbu penyedap, obat dan perawatan kecantikan. Karena khasiat madu ynag hebat, dimana dan dalam madu mengandung beragam unsur seperti kalsium, natrium, kalium, besi klorida, fosfor, sulfur, yodium, mengaan silikon, krom, nikel, za vitamin (A, B kompleks, C, D,E, K, H dan lain-lain) serta asam-asam organik seperti asalam laktat, asam oksalat, asam sitrat, asam tratat, asam malat, asam amino yang esensial, karbohidrat dan gula. Madu juga mengandung antibiotik karena mengandung zat stimulatot dalam menumbuhkan jaringan, menyeterilkan luka infeksi maupun luka bakar. Madu memiliki pula keunggulan zat bersifat biogenetik stimulan, yang dapat merangsang keaktifan pertumbuhan jaringan tubuh manusia. Secara umum madu mengandung 3,150 kilokalori. Berdasarkan fakta tersbeut ditunjang pula oleh kebutuhan dunia akan madu semakin meningkat dari tahun ke tahun mas depan usaha madu semakin cerah. Sebagi upaya menjawab kebutuhan konsumen madu dunia, negara-negara penghasil sudah menggalakkan sistem produksi dengan cara beternak madu juga melakukan sistem budidaya beternak madu untuk menjawab pasar domestik dan dunia. Meski demikian usaha madu dari hutan hutan liar terus pula digiatkan. Sejarah perlebahan di Indonesia telah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu. Tercatat beberape peristiwa penting. Tahun 1884. Dr. D.Horst menulis tentang kegiatan ternak lebah Apis ceranata. Pada tahun 1877, Rijkens mendatang lebah Apis mellifera sebanyak 14 koloni. Pada saat bersamaan dilakukan pula pembangunan pusat percontohan lebah modern lebah Apis Cerana oleh Mr. M. Kutsche di Nongkojajarm Jawa Tengah oleh Depertemen Pertanian serta Departemen Industri dan Perdagangan di Kutowinangun di Jawa Tengah. Tahun 1904 Mr. AC. Oudemans menemukan hama parasit lebah lokal Apis Cerana yang dikenal dengan nama Varroa jacobsoni. Upaya intensifikasi ternak lebah di Indonesia baru dimulai tahun 1960 yang dilaksanakan di desa Antiga. Karang Asem, Bali. Tahun 1973. Presiden Soeharto membuka 69 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pusat Perlebahan (Apriari) Pramuka tahun 1986 dibentuk Badan Pembinaan Perlebahan oleh Departemen Kehutanan dengan tujuan mengembangkan, memperluas dan memodernisasikan perlebahan serta menggali kekayaan alam (madu) yang masih belum termanfaatkan secara optimalkan. Di Indonesia lebah telah lama dikenal oleh masyarakat terutama di pedesaan. Lebah dalam bahasa daerah, misalnya nyiruan (Sunda); tawon (Jawa), nyawan (Bali), labah (Minang), loba (Tapanuli), fanik (Timor), dan lain sebagainya. Perkembangan dan pengusahaan madu di NTT hingga kini masih bertumpu pada pemanfaatan amdu liar yang banyak trdapat di hutan-hutan. Hal ini terkait dengan kondisi lingkungan dan iklim yang memungkinkan bagi lebah-lebah liar untuk dapat hidup dan menghasilkan madu liar dnegan kualitas baik. Kualitas madu hutan di NTT tidak terlepas dari keadaan iklim semi arida (Panas dan kering) serta ketersediaan tanaman penghasil nektar yang memadai. Kondisi masyarakat NTT yang mata pencarian utamanya sebagian besar petani ladang dan peternak membuat keberadaan madu hutan tetap lestari.
II. JENIS JENIS LEBAH MADU Terdapat beberapa jenis lebah madu yang dapat dibudidayakan dan belum dapat dibudidayakan. Lebah yang dapat dibudidayakan antara lain Apis konschevnikofi berwarna merah yang banyak terdapat di Kalimantan dan Sumatera Barat. Jenis ini diperoduksi madunya cukup besar. Apis Mellifera , paling banyak dibudidayakan di hampir semua negara termasuk di Indonesia. Apis Mellifera terbagi dalam tiga sub species, yaitu A. Mellifera ligusta, A. Mellifera caucasia dan A. Mellifera carnica. Terakhir adalah apis Cerana yang merupakan lebah asli Asia dan Banyak dijumpai di Afganistan, China, Jepang dan Indonesia Sedangkan lebah yang belum dapat dibudidayakan adalah Jenis apis Dorsata. Jenis ini termasuk liar dan hanya berkembang didaeah sub tropis dan tropis Asia, seperti Indonesia dan Philipina. Produksi lebah ini sangat terkenal di Asia. Apis dorsata banyak terdapat di Kalimantan, Sulawesi, Papua dan pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Tumur (NTT). Apis andreniformis, jenis ini merupakan lebah asli Indonesia dan hidup di bukit-bukit batu terjal dan pada ketinggian 500 m dari permukaan laut. Terakhir adalah Apis Florea, jenis lebah ini ukuran tubuhnya paling kecil dari jenis lebah lainnya. Namun jenisnya dapat hidup berdampingan dengan lainnya seperti Apis Dorsata dan Apis Cerana. Tim Redaksi Trubus (1999) mengelompokkan berbagai jenis lebah penghasil lebah sebagai berikut : 1. Apis Mellifera, meliputi 5 sub jenis yakni A. Mellifera ligusta (lebah madu Italia), A. Mellifera caucasia (lebah madu Kaukasia) dan A. Mellifera carnica (Lebah madu Karniolan), A. Mellifera Lehzeni (Lebah madu Skandivania) dan A. Mellifera mellifera (Lebah madu Belanda). 2. Apis mellifera adansoni terdiri dari 3 sub jenis yakni A. Mellifera fasciata (lebah madu Mesir), A. Mellifera Intermissa (lebah madu Malta), A.Mellifera unicolor (labah Madu Madagaskar) 3. Apis mellifera Indica (lebah madu India, termasuk Indonesia). 70 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
4. Apis Florea 5. Apis Dorsata. 6. Apis Cerana Lebah madu memiliki banyak jenis. Pada kesmepatan ini hanya akan dijelaskan empat jenis lebah madu yang paling sering dibicarakan kerana memiliki keunggulan tersendiri dalam menghasilkan madu-madunya. Keempat jenis lebah madu itu adalah Apis Mellifera, Apis Florea, Apis Dorsata, Apis Cerana A. Apis Mellifera Apis Mellifera berasal dari Eropa dan sudah mempunyai sejarah panjang sebagai hewan ternak yang menguntungkan. Dan bersamaan dengan kolonisasi ke berbagaii penjuru dunia, orang eropa membanwanya ke Amerika Utara dan Selatan, bahkan sampai ke Australia. Mellifera ligustica atau lebah madu Italia, pada tida segmen (ruas) punggung terdapat sabuk kuning. Rambut tipis berwarna merah. Warna ratu bermacam-macam, meski pada umumnya bisa dikatakan berwarna kuning kecoklatan. Lebah jantan berwarna lebih muda (terang) dan sangat aktif geraknya. Jenis ini tergolong “jinak’ dan betah dirumah (sala ruangan masih luas). Lebah madu inilah kemudian masuk ke Indonesia sebagai lebah unggul dari Australia dan banyak yang menyebutnya Apis mellifeta. Ia dikenal sebagai penghasil madu nomor satu baik jumlah maupun mutu. Mellifera carnica atau lebah madu Karniolan , terkenal di Amerika Serikat. Warna gelap tetapi rambut bagian perut agak berwarna muda. Meski cukup rajin menghasilkan madu, sayangnya jenis ini suka berpindah rumah. Kalau dikandangkan dalam stup lebah ini suka pergi. A. mellifera caucasia atau lebah madu Kaukasia dari pegunungan Kaukausus di Rusia, bersifat halus, sebagian besar berwarna gelap sementara yang lain berwarna kuning dan jingga di bagian perutnya. B. Apis Florea Apis florea berasal dari Asia. Begitu kecilnya hingga satu koloni tidak hanya mampu membuat sarang yang garis tengahnya hanya 10 cm dengan madu 61 gram. Lebah ini membuat sarang minimnya menggantung di cabang-cabang pohon. Jenis Apis florea tersebar mulai dari Oman, Iran terus kedaratan India dan sampai ke Indonesia. Daerah yang banyak dijumpai lebih jenis ini biasanya mulai daratan rendah sampai ketinggian 1.500 meter dari permukaan air laut. Ukuran tubuh apis florea lebih kecil dari species lainnya (Apis mellifera, Apis cerana dan apis dorsata). Sarangnya dibangun dnegan hanya satu sisiran saja. Ukruan sarangnya termasuk sedang, karena lebarnya sekitar 35 cm dan tinggi 27 cm. Seperti species lainnya. Lebah apis florea membangun sarang dirongga-rongga pohon kering, pada dahan-dahan, pda lubang-lubang atau celah-celah tebing. Bentuk bagian atas sarang menyerupai punggun dan sel-selnya dipenuhi madu atau polen. Sedangkan dibawah pungung sarang terdapat jalur-jalur sel polen dan daerah sel tempat telur. Biasanya lebah ratu meletakkan telurnya dimulai dari sel yang berada ditengah-tengah sarang dan makin lama menuji ke tepi. 71 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Jika anggota kelompoknya dalam satu sarang cukup banyak biasanya mereka melakukan pemisahan. Tapi tak jarang mereka yang meninggalkan kelompoknya lalu membangun sarang garu yang tak jauh dari sarang sebelumnya. Pemisahan dari kelompok dilakukan antara bulan Maret –April. Kadang-kadang berlangsungnya pada bulan September-Oktober. Sifat apis florea bisa galak dan bisa juga jinak. Menurut mereka yang tengah berpengalaman dalam beternak apis florea untuk menjinakkan lebah jenis ini harus diasapi terlebih dahulu. Oleh sebab itu hampir setiap peternak modern selalu menyediakan alat pengasap dan dipakai ketika hendak memetik sarang. C. Apis Dorsata Apis dorsata paling besar dan liar , hingga belum pernah ada yang mencoba menterakkannya dalam stup. Kehebatan sengatnya sangat menakutkan bagi masyarakat pedesaaan yang tinggal dipinggir hutann. Sarang itu bisa sepanjang 2 meter dengan kedalaman 1 meter, menggantung atau menggelembung apda dahan pohon besar dihutan. Sekali panen atau lebih tepatnya dieksploitasi manusia, jumlah madunya bisa mencapai 20 kg. Mengambil madu apis dorsata merupakan pekerjaan berbahaya yang tidak sembarang orang berani melakukannya. Apis dorsata merupakan species lebah yang memiliki ukuran tubuh paling besar dibandingkan species lebha lainnya. Sejak jaman purba orang memburu sarangnya untuk didapat madunya. Dikawasan Asia, madu hasil lebah jenis ini dikenal sebagai madu lebah hutan. Daerah penyebarannya kebanyakan didaerah sub tropis dan tropis Asia, seperti Indonesia, Philipina dan pulau-pulau lainnya. Sebenarnya di Indonesia didominasi oleh Apis dorsata. Penyebarannya hampir merata. Daerah penyebarannya meliputi: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian, pulau-pulau di Nusa Tenggara Barat maupun Nusa Tenggara Timur. Tetapi di Pulau Jawa jenis ini sudah jarang ditemukan. Apis Dorsata di Pulau Jawa disebut tawon gung, karena sarangnya yang besar diibaratkan gong. Koloninya beranggotakan sampai ratusan ribu ekor yang sanggup terbang mencari nektar bunga jauh sekali dari sarangnya. Masyarakay Sumatera Barat menamakan labah gadang, labah gantuang, labah kabau, labah jawi dan sebagainya. Sementara di tapanuli disebut harinuan, di Manggarai Kalimantan disebut wani, serta di Jawa Barat khususnya orang Sunda menyebutnya tawon odeng. Dialam bebas jenis lebah ini membuat sarang pada dahan-dahan, dinding-dinding tebing yang curam atau dirongga kayu keirng. Sisiran sarangnya dibangun secara menggantung, Ukurannya bervariasi bergantung jumlah anggota kelompoknya. Semakin banyak anggota dalam kelompoknya, semakin besar sarang yang dibangun. Lebah apis dorsata memiliki sifat agresif dan kuat. Jika dirasa ada yang hendak mengganggu ketenanggan kelompoknya (misalnya hewan atau manusia), maka lebah ini tidak segan menyerang. Keistimewaannya, seekor lebah mamu memberi komunikasi kepada 500 ekor lebah seklaigus. Sehingga jika ada sesuatu yang dianggap mencurigakan, mereka segera mengetahuinya. Selama ini jenis lebah ini sulit dibudidayakan. Orang hanya memburu sarang dan memetiknya lalu diperas madunya dan dijual. Lebah apis dorsata memang terkenal galak sehingga jarang orang yang berhasil memindahkan ke dalam glodok atau stup (tempat lebah diternakkan). 72 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
D. Apis Cerana Apis cerana diduga berasal dari daratan Asia dan menyebar sampai Afganistan, China maupun Jepang. Menurut Marhiyanto (1199). Apis cerana terdiri dari berbagai jenis, diantaranya Apis cerana indica yang diteliti di India. Bentuk tubuhnya hampir sperti apis mellifera tetapi ukuran tubunya lebih kecil. Sifat suka berpindah-pindah tempat dan memiliki kemampuan bedapatasi terahdap lingkungannya. Meskipun terjadi perubahan iklim mendadak, jenis lebah ini masih mampu bertahan. Tetapi ketika musim semi, para lebah jenis apis cerana sangat rajin mencari nektar sepanjang hari. Penyebarannya hampir merata disleuruh dunia dan semenjak 200 tahun lalu sudah dibudidayakan, khususnya di Jepang, China dan India. Tetapi waktu itu peternak setempat amsih melakukan pembudidayaan besirfat sederhana dan tradisional. Di China disamping terdapat lebah jenis apis mellifera juga terdapat jenis Apis cerana (Istilahnya apis cerana lokal) yang dibudidayakan. Banyak dijumpai pada daerah-daerah perbukitan yang banyak etrdapat sumber nektar dan pengganggu alami yang relatif sedikit. Saat ini perkembangan budidaya lebah jenis Apis Cerana dilakukan secara modern. Sementara di Afganistan jenis Apis cerana lokal hanya dijumpai didaerah-daerah tertentu, khususnya di provinsi bagian Timur. Lebah disana pada umumnya hidup liar dihutan-hutan dan membangun sarang pada rongga kayu kering, Meskipun demikian, sebagian kecil masyarakat
sudah
melakukan
pembudidayaan.
Mereka
beternak
dengan
cara
menggantungkan media gentong keramik atau pot yang digantungkan. Di Banglades, apis cerana disebut apis cerana Bangladesh. Hidupnya juga liar, namun sebagian dipelihara penduduk. Sedangkan di Filipina, jenis apis cerana diminati sejak awal athun 1971-an. Sbeelumnya para peternak lebih cenderung memilih jenis lebah apis mellifera. Tetapi ketika itu lebah-lebah mereka diserang tungau dan burung predator. Akhirnya peternakan lebah menjadi gagal sama sekali. Baru kemudian mereka mencoba untuk membudidayakan jenis apis cerana. Di Jepang, apis cerana terkenal sebagai lebah yang sangat menarik, baik daris egi biologisnya maupun tingkah lakunya. Disana lebah jenis ini dikenal sebagai lebah ternak yang tangguh sebab tahan terhadap serangan tungau Varroa. Di Korea jenis lebah juga dibudidayakan. Tetapi para peternak disana (binaan PerhutaniI lebih cenderung memilih jenis Apis mellifera. Saat ini negeri itu memiliki sekitar 400.000 koloni yang diantaranya 30 % jenis apis cerana indica dan 70 % merupakan jenis lebah Apis mellifera. Di Pakistan jenis apis cerana dikenal sebagia lebah gunung karena banyak dijumpai didataran tinggi atau perbukitan. Pada tahun 1985 jenis lebah ini mulai dibudidayakan dengan cara modern. Sedangkan di negeri Nepal, para peternak memelihara apis verana di goa-goa atai dicelah-celah kayu. Jika menjumpai lebah membangun sarang, maka mereka memelihara dan menjaganya. Pada saat panen, sisiran sarang penuh madu dipotong dan diperas. Adapun di Indonesia, jenis lebah ini dinamakan apis cerana javanica. Jenis ini mampu menarik para ahli dan peternak lebah. Alasannya karena apis cerana javanica lebih tahan terhadap serangan penyakit terutama tungua perusak. Lebih dari itu, apis cerana javanica mampu bertahan dan menyesuaikan diri pada iklim tinggi dilingkungan hidupnya. Tetapi 73 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
kadang-kadang peternak juga merasa kesulitan karena sifat lebah jenis ini suka berpindah tempat. Maka akhir-kahir ini ada usaha dari dinas peternakan untuk menyilangkan lebah jenis Apis cerana javanica dengan apis mellifera.
III. Tanaman Penghasil Nektar Adapun jenis tanaman yang dapat menghasilkan nektar menurut penelusuran Tim Trubus (1999) antara lain sebagai berikut: a.
Tanaman perkebunan: Kopi (coffe arabica, C. Robusta, C.Liberi-ca), matahari (Hellianthus anuus), kapas (Gossypium acuminatum), Kapuk randu (Ceiba petandra), kelapa (Cocos nucifera), Kelapa sawit (Elaeis guineensis), kayu putih (Eucalyptus alba), teh (Thea sinensis), Rosela (Hibiscus Sabdariffa), jarak (Ricinus communis), wijen (sesanum indicum), Rami (Boehmeria nivea).
b.
Tanaman buah: jeruk (semua jenis citrus), lengkeng (Euphoria longana), anggur (vitis vinifera), rambutan (Niphelium lappaceum), Durian (Durio zibethinus), Belimbing manis (Averhoa carambola), mangga (mangifera indica),pisang (musa paradisiaca), apel (malus sylvestris), alpukat (Persea Americana), Jambu air (semua jenis eugenia).
c.
Tanaman pangan: jagung (zea mys), padi (oryza zativa), kacang tanah (arachis hypogea), kedelai (Glycine soya), sorgum (Sorghum vulgare).
d.
Tanaman sayuran: Wortel (daucus carota), kol telur (Brassica oletacea), kol bunga (B.botytis), kol tunas (B.acephala),sawi hijau (B. Juncea), cabai (Capsocum annum), cabai rawit (capsicum frutescens), Adas (Foeniculum vulgare), labu sien (Sechium edule), parea (momoridica charantia) dan masih banyak lagi yang lain.
Madu hutan NTT diolah dengan menggunakan saripati madu hutan yang hidup liar dikawasan hutan Pulau Timor (Barat), NTT. Madu Hutan Amfoang Jaya, bukan merupakan hasil dari peternakan lebah, Jenis bungan yang dimakan pun sangat beragam, yaitu vanili, mangga, asam, kenari, ekaliputus, nagka, kpi, kesambi, gaharu, cendana dan melinjo. Itulah sebabnya madu NTT memiliki rasa dan kualitas yang baik.
IV. FUNGSI DAN KEGUNAAN LEBAH MADU. Madu memang berkhasiat tinggi dengan tiga macam gula sebagai komponen utama yaitu fruktosa 41%, glukosa 35 % dan sukrosa 1,9 %. Lalu sisanya berupa dekstrin 1,5 %, mineral 0,1 %, bermacam zat lain yang sedikit jumlahnya, namun secara kesleuruhan meliputi 3,5 %, serta air 17 %. Mineral yang penting saja antara lain natrium, kalsium,magnesium ,tembaga, mangaan, besi kalium, fosfor yang tersusun dengan kadar yang hampir mendekati kandungan darah manusia. Masih ada lagi protein dan vitamin B1, B2, K, C dan enzim yang mempermudah pencernaan. Lebah madu jauh dari sifat merusak tetapi malah membantu menaikkan produksi. Kenaikan produksi akibat penyerbukan lebah di suatu areal perkebunan. Paling sedikit mencapai 15 %. Bahkan ada yang bisa 70 %. Dahulu pernah diuji di Bogor melalui penggembalaan tawon madu dikebun mentimun. Ternyata hasil timun perhektar menajdi 19,5 ton dari sebelumnya yang hanya 12 ton dengan tanpa bantuan lebah. 74 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Menurut Yahya (2005) yang telah melakukan penelitian mendalam tentang khasiat madu, madu tersusun atas beberapa molekul gula seperti glukosa dan fruktosa serta sejumlah mineral seperti kalsium, natrium, kalium, besi klorida, fosfor, sulfur, besi dan sulfat, Madu juga mengandung vitamin (A, B kompleks, C, D,E, K, H dan lain-lain) yang komposisinya berubah-ubah menurut kualitas madu bunga dan serbuk sari yang dikonsumsi lebah. Disamping itu didalam madu terdapat juga tembaga, yodium dan seng dalam jumlah kecil juga beberapa jenis hormon. Sebagaimana firman Tuhan, madu adalah obat yang menyembuhkan bagi manusia. Fakta ilmiah ini telah dibenarkan oleh para ilmuwan yang bertemu pada Konferensi Apikultur Sedunia (World Apiculture Conference) yang diselenggarakan pada tanggal 20-26 September 2003 di Cina. Dalam konferensi tersebut didiskusikan pengobatan dengan menggunakan ramuan yang berasal dari madu. Para ilmuwan Amerika mengatakan bahwa royal jelly, serbuk sari dan propolis (getah lebah) dapat mengobati berbagai penyakit. Soerang dokter asal Rumania mengatakan bahwa ia mencoba menggunakan madu untuk mengobati pasien katarak dan 2.002 dari 2.094 pasiennya sembuh sama sekali. Para dokter asal Polandia juga mengatakan dalam konferensi tersebut bahwa getah lebah (bee resin) dapat membantu menyembuhkan berbagai penyakit seperti bawasir, penyakit kuliy, penyakit ginekologis dan berbagai penyakit lainnya. Dr. Susan Percival , ahli nutrisi manusia dan sains makanan di Universitas Florida, Amerika Serikat memaparkan hasil penelitiannya bahwa madu lebah mengandung mineral dan vitamin seperti Bethiamin, miacin, ribotlorina dan acid ponthohenic. Juga mengandung zat-zat seperti kalsium, zat besi, kuprum, magnesium mangan fosfor, potassium, sodium dan zink. Madu juga berperan sebagai antioksidan dalam badan manusia yang mampu menghapuskan bahan radikal penyebab utama penyakit-penyakit kronis (Encik Ruslan Masran, 2006). Dalam satu kajian lain, pakar mikrobiologi Amreika Richard D Stier menemukan komposisi unik kandungan madu lebah yaitu sejenis zat anti mikrobial yang bisa digunakan untuk merawat kulit yang cedera akibat kebakaran atau luka. Anti mikrobial itu juga mampu menghindari jangkitan infeksi yang diakibatkan oleh bakteri (Encik Ruslan Masran, 2006).
Madu lebah terkenal karena kemanisan rasanya, memiliki kandungan zat makanan, serta untuk bisa digunakan sebagai obat tradisional. Sebenarnya potensi madu lebah masih dieksplorasi sepenuhnya, Minat terhadap potensi indutri lebah madu semakin meningkat disebabkan banyak dikawasan yang mempunyai tumbuhan berbunga dan wujudnya lebah tempatan. CV Amfoang Jaya, yang merupakan perusahaan pengusahaan madu hutan di NTT menyebutkan bahwa madu beserta lebahnya memiliki keistimewaan tersendiri seperti disebutkan sebagai berikut: i.
Lebah : dari tubuh lebah terdapat racun yang dapat bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia yaitu: Sengatan lebah (bee venoom)/apitoksin (apitherapy) Propolis (getah lebah/resin) air liur lebah.
ii.
Madu: dari susunan pada sarang lebah terdapat tiga unsur penting yang memiliki 2 fungsi utama yaitu sebagai obat dan food suplement
iii.
Bee Pollen (tepung sari bunga)
75 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
iv.
Royal jelly (pencampuran antara poln dna madu)
v.
Madu (cairan yang disimpan dalam mangkok heksagonal) di dalamnya tergantung multivitamin
Nusa Tenggara Timur (NTT) sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki salah satu produk unggulan yaitu madu hutan liat (bukan ternakan) yang sangat baik kualitas, aroma, rasa yang khas serta antibiotik yang baik. Lebah madu tropis modern hidup sehat pada suhu antara 31-34 C agar bisa melakukan aktivitas metabolisme vital (kompas, 24 November 2004). Suhu diatas juga merupakan temperatur paling baik bagi tanaman-tanaman bunga kaya nektar.
IV.DASAR PENDIRIAN USAHA MADU HUTAN TIMOR AMFOANG CV Amfoang Jaya telah berdiri pada tahun 2004 didirikan dengan alasan dan dasar yaitu: Peluang bisnis madu mempunyai prospek pasar yang menjanjikan dan sangat luas. Belum adanya suatu manajemen usaha yang mengelola masu secara profesional, sesuai dengan standar nasional di NTT. Lebih menjamin masyarakat sebagai konsumen dalam memahami fungsi dan kegunaan madu dari aspek kesehatan. Membantu mengangkat taraf hidup masyarakat petani madu dengan salah satu penekanan pada aspek sumberdaya manusia. Menciptakan suatu produk unggulan, yaitu amdu hutan bagi provinsi NTT yang dapat bersaing di pasar nasional dan internasional CV Amfoang Jaya mempunyai visi dan misi yang terisnpirasi ayat-ayat firman Tuhan yang secara jelas tertulis dalam kitab-kitab dan sejarah ilmu pengetahuan tentang madu, yaitu Visi
: Memindahkan zat dan unsur-unsur gizi yang ada bersama madu kedalam tubuh
manusia. Misi
: Mendukung program pemerintah dalam bidang kesehatan lewat roduk “Madu
hitam” Alamiah tanpa menimbulkan efek samping.
V. GAMBARAN LOKASI POTENSI MADU DI NTT Lokasi yang berpotensi menjadi daerah penghasil madu di NTT yang berhasil didata oleh CV Amfoang Jaya adalah seperti dalam proyeksi pengumpulan dan produksi madu hutan seperti pada tabel 1. Dari proyeksi jumlah madu yang ada pada KUB Binaan CV Amfoang Jaya tersebut IKM Amfoang Jaya baru bisa menampung 5.000-6.000 liter dalam satu tahun berjalan.
VI. MUSIM PANEN DAN MUSIM PACEKLIK Musim panen madu dalam setahun terjadi 3 kali yaitu pad abulan April-Mei, Juli- agustus, Oktober-November. Sedangkan paceklik terjadi mulai bulan Desember-Maret
76 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 1. Proyeksi pengumpulan dan produksi madu hutan Merek Timor Amfoang No.
Nama KUB
Wilayah
Jumlah
1
Kub Honuk
Kab. Kupang
10.000 ltr
2
Kub Barate
Kab. Kupang
9.000 ltr
3
Kub Netemmanu
Kab. Kupang
4.000 ltr
4
Kub Oe Aem
Kab. Kupang
6.000 ltr
5
Kub Lelogama
Kab. Kupang
9.000 ltr
6
Kub Fatumonas
Kab. Kupang
5.000 ltr
7
Kub Boen
Kab. Kupang
5.000 ltr
8
Kub Nifu
Kab. Kupang
15.000 ltr
9
Kub siu Mate
Kab. Kupang
4.000 ltr
10
Kub Noe Besi
Kab. Kupang
4.000 ltr
11
Kub Mutis 1
Kab. Kupang
10.000 ltr
12
Kub Mutis 2
Kab. Kupang
15.000 Ltr
13
Kub Kau Niki
Kab. Kupang
9.000 ltr
14
Kub Desa Benu
Kab. Kupang
11.000 ltr
15
Kub Semau
Kab. Kupang
12.000 ltr
16
Kub Pariti
Kab. Kupang
9.000 ltr
17
Kub Molo
Kab. Kupang
5.000 ltr
18
Kub Wini
Kab. TTS
5.000 ltr
19
Kub Polen
Kab. TTU
15.000 ltr
20
Kub Alor
Kab. Alor
20.000 ltr
21
Kub Rote Ndao
Kab. Rote Ndao
15.000 ltr
Total
197.000 ltr
VII. SASARAN PENGEMBANGAN INDUSTRI MADU HUTAN DI NTT Sasaran dari upaya pengembangan industri madu hutan di NTT yang tengah dilakukan CV Amfoang adalah sebagai berikut: Kepastian pengumpulan, penyimpanan dna pengolahan serta pemasaran Kepastian penyediaan madu hutan yang berkualitas dalam jumlah yang memadai untuk menjawab pasar lokal maupun nasional. Menyajikan produk madu hutan bagi masyarakat konsumen lokal maupun nasional, madu yang berkualitas dikemas, disegel, higienies yang sudah melalu proses standarisasi nasional secara berkelanjutan. Peningkatan mutu produk dan perluasan pasar. Pemberdayaan petani madu dikabupaten-kabupaten provinsi di NTT. Perluasan lapangan kerja, karena kapasitas produksi semakin besar. Peningkatan nilai tambah ekonomi masyarakat petani madu melalui dukungan penampungan madu seluruh KUB binaan.
77 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Membangun produk madu hutan NTT yang handal melalui industri madu di Nusa Tenggara Timur. Budidaya dan pelesatarian lebah bagi petani karena kebutuhan madu di pasar meningkat.
VIII.
KENDALA
Masih ditemukannya kendala khas dalam upaya penerapan informasi dan teknologi yaitu tradisi kelompok masyarakat yang masih mengacu pada tradisi lama/belum bisa menerima ide baru. Petani madu di NTT kebanyakan masih menggunakan proses pengolahan secara tradisional tanpa memperhatikan efek dan aspek kesehatan antara lain disebabkan oleh: •
Keterbatasan informasi dan penyediaan teknologi tepat guna yang mampu memberikan nilai tambah yang signifikan dan siap digunakan. Hal ini berdampak pada rendahnya produktivitas efisiensi dan pendapatan dan pendapatan petani madu.
•
Belum ada dukungan pemerintah lewatbantuan penguatan modal dan peralatan bagi para petani amdu dan industri madu hutan dalam mensiasati mudism paceklik (stok bahan baku) dan peningkatan kapasitas produksi.
IX. STRATEGI PENGEMBANGAN Kondisi tersebut memungkinkan untuk merumuskan beberapa strategi pengembangan produksi madu hutan di NTT. Strategi tersbeut antara lain: 1. Pembentukan KUB (Kelompok Usaha Bersama) binaan di kabupaten-kabupaten se NTT untk mendukung kegiatan pengembangan industri madu hutan tentunya dnegan memfasilitasi bantuan peralatan dan teklnologi tepat guna guna menunjang proses pengolahan dan penyimpanan secara baik dan benar terarah serta terkontrol sehingga dapat menciptakan petani mencipta petani madu yang handal. 2. Menerapkan ijin-ijin prinsip dan standarisasi industri madu dalam upaya menghadapi persaingan pasar. 3. Melakukan promosi melalui pameran ditingkat lokal, nasional maupun internasional. 4. Melakukan penyebaran informasi lewat media elektronik, iklan koran, leaflet, brosur, banner dan lain-lain. 5. Mengadakan pelatihan dan pembinaan kepada masyarakat petani madu tentang sistem pengolahan madu. Mulai dari pengambilan sampai penyimpanan secara berkelanjutan. Tentunya dengan melibatkan pemerintah, sebagai fasilitator, lembaga swasta dan perguruan tinggi. 6. Pemberian bantuan modal dan perlatan ateknologi tepatguna dan tepat sasaran Strategi tersebut dapat dijelaskan dalam bagan sebagaimana gambar 1.
78 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
KUB
KUB
KUB
Seleksi water terster, kepastian keaslian madu,
Penyaringan dan penyimpanan pada gentong tamping sementara
Vacum room Proses pemurnian madu standar SNI Penyaringan akhir penyimpanan siap isi Lokal Pengisian, labeling, segel, control kualitas
Penjualan ke pasar/ Konsumen
Nasional Ekspor
Gambar 1. Mekanisme bagan alir proses madu hutan Timor Amforang (Kelompok Usaha Bersama (KUB) Madu Hutan Timor Amfoang) X.KESIMPULAN Tidak bisa dielakkan lagi bahwa kerjasamaantara pemerintah, industri madu hutan, masyarakat petani madu, lembaga swasat dan perguruan tinggu perlu dijalin melalui tindak lanjut untuk mencapai hubungan kerjasama dan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) satu sama lainnya.
DAFTAR PUSTAKA --.2006. Lebah madu selamat dari kepunahan. Pikiran Rakyat. Edisi Kamis, 27 Juli 2006. --. 2004. Sains dan Teknologi: Lebah Madu Selamat Dari Kepunahan Masa Dinosaurus? Kompas cyber media. Edisi Rabu, 24 November 2004. Marhiyanto.1999. Peluang Bisnis Beternak Madu. Gita Media Press. Surabaya. Masran, Encik Roslan.2006. Industri Lebah Madu di Sabah berpotensi.Korporasi Pembangunan Desa. Jakarta. Tim Redaksi Trubus. 1999. Beternak Lebah Madu. Penebar swadaya. Jakarta Yahya. H. 2005. Keajaiban Lebah Madu.www.harunyahya.com 2005 diterjemahkan dari for men undestanding, by Harun Yahya,. TAHA Publisher UK 1999. www.amfoangjaya.com spesialis madu hutan
79 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
ANCAMAN DEGRADASI LAHAN PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI BENAIN NOELMINA DI TIMOR BARAT4 Oleh : Gerson ND. Njurumana5 ABSTRAK Ancaman degradasi lahan pada Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina sudah sangat tinggi akibat tekanan lahan dan kebakaran, sehingga berdampak negatif terhadap produksi pertanian, peternakan dan jasa lingkungan yang dihasilkannya. Laju degradasi lahan dapat dilihat dari perbandingan data lahan kritis tahun 1981 dan tahun 2003, bahwa selama 22 tahun terakhir terjadi peningkatan lahan kritis sebesar 11.635 ha/tahun di DAS Benain dan 2300 ha/tahun di DAS Noelmina. Peluang degradasi lahan dan konflik kepentingan diproyeksikan meningkat. Karena itu, kolaborasi pengelolaan, insentif jasa lingkungan, revitalisasi kearifan lokal dan pengembangan jenis tanaman alternatif seperti jarak pagar (Jatropha curcas) diharapkan dapat mengurangi tekanan dalam mengendalikan lahan kritis. Alasan ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong meningkatnya tekanan terhadap lahan, sehingga upaya rehabilitasi lahan menjadi bagian integral dari pemberdayaan ekonomi masyarakat. Kata kunci : Tekanan lahan, lahan kritis, kolaborasi dan jasa lingkungan
I. PENDAHULUAN Daerah Aliran Sungai merupakan salah satu sumberdaya dan indikator pembangunan. DAS berfungsi sebagai wilayah tangkapan dan aliran air dengan batasan pemisah topografi yang menerima hujan, menampung dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau dan laut serta mengisi air bawah tanah. Pengertian DAS dikemukakan oleh Asdak (1995;2002) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung
yang
menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Bila curah hujan dipandang sebagai unsur masukan dalam ekosistem DAS, maka luaran yang dihasilkan adalah debit air sungai, penambahan air tanah dan limpasan sedimentasi sedangkan komponen lain seperti tanah, vegetasi dan sungai dalam hal ini bertindak sebagai prosessor (Suripin,2002). Degradasi DAS di Indonesia makin meningkat, pada tahun 1984 terdapat 22 DAS kritis, tahun 1992 menjadi 39 DAS kritis dan tahun 1998
menjadi 59 DAS kritis, dan saat ini
diperkirakan sedikitnya terdapat 70 DAS kritis. Pengelolaan DAS telah menjadi perhatian publik dalam beberapa dekade terakhir sebagai dampak dari banjir, kekeringan dan krisis air bersih akibat perubahan tataguna lahan dan fungsi DAS. Propinsi Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah kepulauan, sehingga terdapat 306 DAS dengan luas sebanyak 4.735.000 ha yang terbagi dalam 6 Satuan Wilayah Pengelolaan DAS yaitu SWP DAS Timor (1.512.079) ha, SWP DAS Rote (128.011) ha, SWP DAS Alor (286.470) ha, SWP DAS Lembata (126.638) ha, SWP DAS Flores (1.576.562) ha dan SWP DAS Sumba (1.105.240) ha. Untuk SWP Timor Barat, terdiri dari 65 DAS, dan DAS Benain merupakan DAS terbesar dengan luas 384.330 ha dengan panjang sungai 132 km dan lebar rata-rata 110 meter yang melintasi tiga wilayah administrasi yaitu
80 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kabupaten Timor Tengah Selatan (hulu), Timor Tengah Utara (tengah) dan Belu (hilir) dengan perkiraan debit andalan 0,31 m3/detik, (Kimpraswil,1996 dalam Prastowo,et al.,2006). Konservasi DAS terutama pada wilayah semi arid seperti di Timor Barat sangat bermakna dalam meningkatkan manfaat jasa lingkungan DAS Benain Noelmina sebagai salah satu komponen pembangunan. Salah satu upaya pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan memperbesar manfaat lingkungan ekosistem DAS dalam mendukung irigasi pertanian, karena sedikitnya 70% masyarakat menggantungkan hidup pada sektor pertanian, sehingga kerusakan dan penurunan fungsi DAS berpengaruh langsung terhadap produktivitas dan pendapatan masyarakat. Dalam kaitannya dengan aspek sumberdaya lahan, persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan DAS Benain Noelmina saat ini adalah masalah tataguna lahan dan tata ruang yang tumpang tindih antar sektor dan wilayah administrasi termasuk wilayah adat.
Konflik
kepentingan dan sektoralisasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan masih tinggi, sehingga keterpaduan dalam upaya rehabilitasi dan konservasi tanah dan air sulit dilakukan karena perbedaan kriteria dan indikator pengelolaan setiap sektor, sehingga menimbulkan benturan kepentingan dan tidak efisien dalam pemanfaatan sumberdaya dan energi pembangunan. Berdasarkan persolan di atas, tulisan ini memberikan gambaran dan informasi faktor-faktor pendorong degradasi lahan pada wilayah DAS Benain Noelmina dan strategi pendekatan pengelolaan di masa mendatang. II.METODOLOGI PENELITIAN Penelitian dilaksanakan pada wilayah DAS Benain Noelmina meliputi Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara Belu dan Kabupaten Kupang pada bulan April sampai bulan Juli tahun 2006. Bahan dan peralatan yang digunakan adalah tally sheet, kamera, alat tulis menulis, perangkat komputer, peta administrasi, peta penutupan lahan, peta jenis tanah, peta kelas lereng, peta curah hujan, peta lahan kritis dan peta tingkat bahaya erosi pada DAS Benain Noelmina. Metode penelitian ini adalah secara deskriptif dengan teknik observasi, tabulasi dan valuasi data. Kajian terhadap aspek sumberdaya lahan difokuskan pada konsistensi dan sinkronisasi tataguna lahan terhadap perubahan penutupan/pemanfaatan lahan dengan mengacu pada rencana tata ruang yang telah ada. Konsistensi pemanfaatan sumberdaya lahan di DAS Benain Noelmina diarahkan untuk mengetahui terjadinya perubahan tataguna lahan dan faktorfaktor penyebab termasuk review hasil-hasil penelitian terkait dengan erosi, sedimentasi, longsor dan lahan kritis. Data yang dikumpulkan terdiri atas data sekunder, meliputi data dan informasi tentang isu dan kerusakan lingkungan yang diperoleh melalui pengumpulan data citra satelit, data statistik, hasil pengukuran, pengamatan dan penelitian dari instansi terkait. Data yang dikumpulkan berkaitan dengan kondisi dan isu kerusakan sumberdaya lahan pada DAS Benain Noelmina meliputi aspek lahan dan sumberdaya mineral, pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan dan sumberdaya air. Data-data tersebut diperoleh dari instansi terkait diantaranya adalah kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Bappeda dan Bapedalda. Analisis data dilakukan dengan pendekatan analisis spasial (sistem informasi geografis - SIG), analisis citra satelit, analisis data kuantitatif (tabulasi silang) dan analisis data kualitatif (analisis deskriptif).
81 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
III.HASIL DAN PEMBAHASAN A.Penutupan dan Tekanan Lahan Penutupan lahan pada DAS Benain didominasi oleh semak/belukar seluas 233,434 ha (60,74%), pertanian lahan kering campur seluas 73,914 ha (19,23%), hutan lahan kering sekunder seluas 41,520 ha (10,80%), savana seluas 25,224 ha (6,56%), hutan mangrove primer seluas 3,631 ha (0,94%), tubuh air seluas 2,588 ha (0,67%), hutan mangrove primer seluas 1,293 ha (0,34%), tanah terbuka seluas 1,240 ha (0,32%), belukar rawa seluas 628 ha (0,16%), pemukiman seluas 482 ha (0,13%) dan pertanian lahan kering seluas 261 ha (0,07%). Penutupan lahan pada DAS Noelmina didominasi oleh semak/belukar seluas 153,846 ha (71,35%), hutan lahan kering sekunder seluas 22,232 ha (10,31%), savana seluas 14,728 ha (6,83%), pertanian lahan kering campur seluas 10,735 ha (4,98%), pertanian lahan kering seluas 7,210 ha (3,34%), tubuh air seluas 2,441 ha (1,13%), tanah terbuka seluas 1,825 ha (0,85%), hutan mangrove sekunder seluas 1,227 ha (0,57%), pemukiman seluas 467 ha (0,22%), hutan mangrove primer seluas 435 ha (0,20%), sawah seluas 323 ha (0,15%) dan belukar rawa seluas 154 ha (0,07%), Anonimous (2005). Kerentanan terhadap ancaman kebakaran lahan di DAS Benain Noelmina sangat tinggi karena akumulasi penutupan lahan yang didominasi oleh semak belukar dan savana cukup besar. Ekosistem lahan kering di wilayah DAS Benain Noelmina dengan musim kemarau yang panjang sangat rentan terhadap kebakaran, terutama kejadian kebakaran lahan yang disebabkan oleh aktivitas manusia dalam membersihkan dan mempersiapkan lahan pertanian menghadapi musim hujan. Studi yang dilakukan Riwu Kaho (2005) pada savana eucalyptus di daerah hulu DAS Benain Noelmina melaporkan bahwa kebakaran lahan didominasi oleh faktor manusia dengan beragam alasan untuk memelihara daerah permukiman, membersihkan lingkungan, berburu, membuka lahan dan memelihara padang penggembalaan. Alasan yang dikemukakan oleh masyarakat dalam membakar lahan merupakan manifetasi dari apa yang dinyatakan oleh Poerwanto (2005) bahwa petani tradisional mengalami dua macam sindroma, yaitu sindroma kemiskinan dan inersia. Selanjutnya ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan budaya masyarakat, aktivitas membakar lahan yang dilakukan mengarah pada substitusi tenaga kerja dan pupuk yang sudah menyatu dengan perilaku budaya turun temurun. Interaksi timbal balik diantara kedua sindroma tersebut memposisikan petani sulit untuk keluar dari replikasi situasi dan kondisi yang sama pada waktu yang berbeda, sehingga berpotensi menjadi ancaman terhadap peningkatan lahan kritis. Perilaku membakar lahan berkorelasi dengan kehidupan masyarakat sebagai peternak baik ternak besar, sedang maupun kecil. Masyarakat tidak hanya menempatkan ternak sebagai sumber pendapatan, tetapi juga memiliki prestise sosial, sehingga tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Penelitian yang dilakukan Riwu Kaho (2005) menunjukkan bahwa di Desa Ekateta dan Desa Oemasi, 100% peternak menggunakan api sebagai satu-satunya sarana untuk pemeliharaan padang rumput. Dalam tradisi bertani masyarakat, api memiliki peran yang sangat penting dan merupakan satu-satunya bentuk input teknologi, energi dan materi yang nyata dalam
82 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
ekosistem savana di pulau Timor, (Nuningsih, 1990; Ataupah, 2000; dan Riwu Kaho, 2005). Usaha pertanian lahan basah sangat sedikit dijumpai, sehingga mengandalkan pertanian lahan kering campuran. Ngatiman, et al., (2006) memberikan gambaran bahwa kerapatan populasi yang meningkat menyebabkan menyempitnya daerah berladang, sehingga masa bera lebih pendek dan beresiko terhadap kebakaran dan kerusakan hutan. Model pertanian lahan kering campuran merupakan salah satu
model pemanfaatan lahan yang ramah lingkungan seperti
mamar di Timor dan kaliwu di Sumba yang cukup banyak diterapkan oleh masyarakat serta memiliki nilai stabilitas dan keberlanjutan yang cukup tinggi (Njurumana, 2004; 2006). Karena itu, apresiasi dan pengembangan terhadap model-model pertanian ramah lingkungan yang diterapkan oleh masyarakat lokal seperti mamar merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan rehabilitasi dan konservasi pada wilayah DAS Benain Noelmina. Tekanan penduduk terhadap lahan yang dilalui DAS Benain Noelmina diproyeksikan mengalami peningkatan, sehingga dikuatirkan daya dukung lahan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan manusia. Tekanan penduduk terhadap sumber-sumber agraria di DAS Benain sampai dengan Tahun 2004 dapat pula ditelaah dari kepadatan agraris. Kepadatan agraris lahan basah/sawah di DAS Benain sebanyak 97,9 jiwa/Ha. Kepadatan agraris di wilayah hulu sebesar 80 jiwa/ha jauh lebih besar dibandingkan dengan kepadatan agraris pada wilayah hilir sebanyak 51 jiwa/Ha. Nilai tersebut menunjukkan bahwa sampai dengan Tahun 2004 proyeksi tekanan penduduk terhadap sumber-sumber agraria khususnya di sektor pertanian untuk persawahan cenderung meningkat. Sekalipun demikian, kepadatan agraris lahan kering di DAS Benain jauh lebih kecil dibandingkan dengan lahan basah yaitu sebesar 6,9 jiwa/Ha.
Apabila ditelaah
berdasarkan pewilayahan di DAS Benain, dapat diidentifikasi bahwa kepadatan agraris di wilayah hilir (sebesar 4,4 jiwa/Ha) relatif sama dengan wilayah hulu yaitu sebesar 4.6 jiwa/Ha, sehingga kepadatan agraris lahan basah/sawah lebih tinggi dibandingkan dengan kepadatan lahan kering. Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk mengusahakan kegiatan di sektor pertanian lahan kering di DAS Benain lebih besar, mengingat alokasi lahan yang tersedia lebih besar dengan jumlah penduduk yang lebih kecil. Tekanan penduduk di DAS Noelmina terhadap sumber-sumber agraria, sampai dengan Tahun 2004, bahwa kepadatan agraris lahan basah/sawah di DAS Noelmina 10 jiwa/Ha. Apabila ditelaah menurut pewilayahan di DAS Noelmina, kepadatan agraris di wilayah hilir sebesar 28,4 jiwa/Ha jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah hulu yaitu sebesar 6.2 jiwa/Ha. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan tekanan penduduk terhadap sumber-sumber agraria khususnya di sektor pertanian untuk persawahan cenderung relatif kuat. Kepadatan agraris lahan kering di DAS Noelmina sebesar 3,2 jiwa/Ha, sedangkan kepadatan
agraris di Kabupaten
Kupang sebesar 2.9 jiwa/Ha relatif sedikit lebih rendah dibanding dengan Kabupaten TTS yaitu sebesar 3.5 jiwa/Ha. Data tersebut menunjukkan bahwa kepadatan agraris lahan basah wilayah hilir hampir lima kali lebih padat dibanding wilayah hulu. Sedangkan dilihat dari luas area ada perbandingan sebesar 5 : 1 antara luas hulu dan hilir. Fenomena ini merupakan kebalikan dari kondisi penduduk di lahan kering. Dengan kata lain, fakta di atas
83 | P r o s i d i n g
menunjukkan bahwa
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pemanfaatan lahan di DAS Noelmina lebih banyak digunakan untuk sektor pertanian lahan kering, seperti kacang-kacangan dan umbi-umbian. Selain tekanan penduduk, tekanan lahan akibat penggembalaan ternak juga menjadi salah satu faktor pendorong degradasi lahan. Jenis ternak besar yang dominan di DAS Benain Noelmina adalah sapi, sedangkan ternak kecil dan ternak unggas yang dominan adalah babi dan ayam kampung seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Perubahan populasi ternak pada DAS Benain Noelmina DAS
Ternak Besar (Ekor) Tahun Sapi Kerbau Kuda Benain 1988 104.961 3.055 13.208 2005 114.625 1.793 4.617 Noelmina 1988 96.488 2.112 11.730 2005 44.582 938 2.530
Ternak Kecil (Ekor) Unggas (Ekor) Total Babi Kambing Ayam Itik 119.054 32.398 170.904 5.938 449.518 150.556 24.426 680.084 17.507 993.608 58.007 18.872 96.547 4006 287.762 70.575 19.989 428.439 4421 571.474
Sumber : Anonimous 1988;2005 Kepadatan ternak di DAS Benain saat ini untuk ternak besar adalah 0,31 ekor/ha; ternak kecil 0,46 ekor/ha dan unggas 1,82 ekor/ha. Bila dibandingkan dengan data
potensi desa
1987/1988 dan Statistik Kabupaten 1985/1986 dengan data tahun 2003 terlihat kecenderungan perubahan populasi ternak selama 17 tahun terakhir yaitu untuk ternak besar seperti ternak sapi terjadi peningkatan populasi 9,21%, sedangkan ternak kerbau dan kuda terjadi penurunan populasi masing-masing 41,31% dan 65,04%. Demikian juga dengan ternak kecil seperti kambing terjadi penurunan populasi 24,61% dan sebaliknya untuk ternak babi mengalami peningkatan 26,46%, sedangkan ternak unggas yaitu ayam dan itik mengalami peningkatan populasi yang tinggi masing-masing mencapai 297,93% dan 194,43%. Kepadatan ternak di DAS Noelmina untuk ternak besar adalah 0,22 ekor/ha, ternak kecil 0,42 ekor/ha dan unggas 2,01 ekor/ha. Rata-rata kepadatan ternak di DAS Noelmina adalah 2,65 ekor/ha. Bila dibandingkan dengan data potensi Desa 1985/1986, Bangdes Prov. Nusa Tenggara Timur 1985/1986 dan Statistik Kabupaten 1985/1986 dengan data tahun 2003 terlihat kecenderungan perubahan jumlah ternak di DAS Noelmina selama 17 tahun terakhir yaitu untuk ternak sapi terjadi penurunan jumlah sebanyak 53,80%. Ternak kerbau dan kuda mengalami penurunan masing masing mencapai 55,59% dan 78,43%. Ternak kecil seperti kambing dan babi mengalami peningkatan populasi mencapai 5,92% dan 21,67%. Ternak ayam mengalami peningkatan populasi yang tinggi mencapai 343,76%, sedangkan ternak itik meningkat sebesar 10,36%. Penurunan populasi ternak besar diharapkan berdampak positif terhadap menurunnya tekanan terhadap lahan untuk penggembalaan, pemadatan dan erosi. Peningkatan populasi ternak unggas diharapkan tidak berdampak negatif karena penambahan populasi tidak berdampak langsung terhadap perubahan penutupan vegetasi dan tataguna lahan. Dugaan penurunan populasi ternak besar menunjukkan penurunan daya dukung lahan dan ketersediaan pakan, sedangkan peningkatan populasi ternak kecil dan unggas diduga berkaitan erat dengan alternatif usaha masyarakat untuk meningkatkan pendapatan dalam 84 | P r o s i d i n g
jangka pendek. Kecenderungan
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
peningkatan usaha ternak kecil dan unggas
dapat mengurangi tekanan terhadap lahan,
mempercepat pendapatan masyarakat karena regenerasi dan pemeliharaan lebih mudah dilakukan dibandingkan ternak besar. B.Lahan Kritis dan Tingkat Bahaya Erosi Tekanan lahan pada wilayah DAS Benain Noelmina mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir yang ditunjukkan oleh meningkatnya laju lahan kritis seperti terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Kondisi lahan kritis di DAS Benain Noelmina
No. 1 2
DAS Benain % Noelmina %
Tidak Kritis 2.994 0,78 242 0,11
Potensial Kritis 2.912 0,76 4.211 1,95
Lahan Kritis (Ha) Agak Kritis Kritis 91.780 275.138 23,88 71,59 31.997 151.129 14,84 70,09
Sangat Kritis 8.918 2,32 25.602 11,87
Tubuh Jumlah Air 2.587 384.330 0,67 100 2.440 215.622 1,13 100
Sumber : Anonimous,2005 Jumlah lahan kritis di DAS Benain sudah sangat tinggi mencapai 71,59%, sedangkan DAS Noelmina sudah mencapai 81,96%. Kondisi ini akan berpengaruh langsung terhadap daya dukung kawasan dalam mendukung berbagai manfaat sosial, ekonomi dan jasa lingkungan yang dihasilkan. Mengacu pada data hasil intrepretasi photo udara tahun 1981, luas lahan kritis mencapai 119.876 ha, sedangkan data terbaru hasil citra landsat tahun 2003 meningkat menjadi 375.836 ha. Terjadi peningkatan jumlah lahan kritis dalam jangka waktu 22 tahun di DAS Benain sebanyak 255.960 ha, dengan rata-rata peningkatan lahan kritis mencapai 11.635 ha/tahun. Bila kondisi tersebut berlangsung terus, maka penutupan lahan di DAS Benain sudah dalam keadaan kritis. Demikian halnya pada DAS Noelmina, data intrepretasi photo udara tahun 1981 memperlihatkan luas lahan kritis mencapai 158.125 ha, sedangkan data tahun terbaru hasil citra landsat tahun 2003 mengalami peningkatan menjadi 208.728 ha, terjadi percepatan penambahan lahan kritis dalam 22 tahun sebanyak 50.603 ha, dengan rata-rata mencapai 2300 ha/tahun, sehingga diperkirakan hutan yang masih ada di DAS Noelmina seluas 22.460 ha akan habis pada tahun 2013. Prediksi laju peningkatan lahan kritis di DAS Benain Noelmina sejalan dengan informasi yang dilaporkan oleh Hutabarat (2006), bahwa rata-rata laju peningkatan lahan kritis di NTT selama 20 tahun terakhir mencapai 15.163,65 ha/tahun, sedangkan kemampuan rehabilitasi hanya mencapai 3.615 ha/tahun, sehingga perbandingan antara laju degradasi dengan upaya penanaman adalah 4 : 1. Informasi tersebut juga sejalan dengan data yang dilaporkan oleh Suriamihardja (1990) bahwa kegiatan pembakaran vegetasi
di NTT mencapai 1.000.000
ha/tahun padang rumput dan 100.000 ha/tahun hutan sekunder. Peningkatan lahan kritis juga disebabkan oleh tingkat kebutuhan kayu terutama kayu bakar yang cukup tinggi. Kenaikan harga bahan bakar minyak akan berpengaruh langsung terhadap meningkatnya tekanan terhadap hutan untuk pemenuhan kayu bakar. Hasil survei yang dilakukan Riwu Kaho (2005) menggambarkan tingkat kebutuhan kayu bakar penduduk antara 73 m3/kk/tahun – 730 m3/kk/tahun dengan rata-
85 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
rata 142 m3/kk/tahun.
Jumlah kepala keluarga di DAS Noelmina mencapai 521,655 KK,
sehingga bila dihitung kebutuhan terhadap kayu bakar adalah 142 m3/kk/tahun x 521,655 KK =74.075,01 m3/tahun. Demikian pula kebutuhan kayu untuk model pagar kebun di Timor yang sangat rapat memerlukan kayu antara 1500-1800 batang/ha. Demikian halnya dengan kebutuhan bahan bangunan, penebangan pohon/dahan/ranting untuk pakan ternak, sehingga perubahan tutupan lahan menjadi tinggi dan dikuatirkan berdampak langsung terhadap tingkat bahaya erosi. Peningkatan lahan kritis akan berdampak langsung terhadap tingkat bahaya erosi. Berdasarkan intrepretasi data citra landsat Tahun 2003, tingkat bahaya erosi (TBE) DAS Benain tergolong sangat berat (85.52%) yang tersebar di semua sub DAS. Hampir semua wilayah Sub DAS pada kondisi TBE sangat berat (> 65%) kecuali sub DAS Kutun (31.54%). Sub DAS Laku seluruh wilayahnya sudah dalam kondisi TBE sangat berat (100%). Demikian juga tingkat bahaya erosi (TBE) pada DAS Noelmina termasuk kategori sangat berat (80.99%), hampir sebanding dengan jumlah lahan kritis sebesar 81.96% yang tersebar di semua Sub DAS. Dengan tingkat TBE dan luas lahan kritis yang tinggi maka sangat diperlukan prioritas tataguna lahan untuk menekan laju erosi, sedimentasi dan pendangkalan sungai. C.Kolaborasi Multipihak Rehabilitasi lahan kritis di DAS Noelmina memerlukan perhatian serius semua pihak untuk menghindari berbagai krisis lingkungan yang akan terjadi. Dalam rangka rehabilitasi lahan kritis, Idris (2001) menyarankan untuk melaksanakan rehabilitasi lahan dengan memperhatikan karakteristik biofisik wilayah dengan memperhatikan tiga pilar sebagai acuan yaitu: a) pemahaman terhadap aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dalam pemanfaatan dan rehabilitasi lahan, b) optimalisasi fungsi, nilai dan manfaat hutan dan lahan melalui perbaikan teknik penanaman dan konservasi tanah dan air, serta c) pemanfaatan teknologi untuk peningkatan keberhasilan rehabilitasi lahan kritis, produktivitas lahan dan pemasaran hasilnya. Serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Njurumana, (2004) memperlihatkan bahwa secara umum masyarakat di Nusa Tenggara Timur memiliki bentuk-bentuk kearifan lokal dalam pemanfaatan hutan, tanah dan air. Persoalan yang dihadapi dalam pemanfaatan kearifan lokal adalah tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak budaya masyarakat dalam kaitannya dengan hak ulayat dan wilayah adat. Bentuk-bentuk pertanian campuran lahan kering seperti sistem mamar dan sistem amarasi yang dijumpai pada wilayah DAS Benain Noelmina tidak dapat berkembang karena minimnya pengetahuan masyarakat dalam hal budidaya serta lemahnya dukungan pemerintah. Mengingat potensi pertanian lahan kering cukup tinggi, maka perlu diversifikasi komoditas dengan memperhatikan persaingan dan permintaan pasar. Sunderlin et al., (2000) merekomendasikan tersedianya program bimbingan bagi petani dalam melakukan diversifikasi komoditi untuk keamanan pangan dan pendapatan, termasuk antisipasi perubahan harga komoditi di pasaran, sehingga mengurangi tekanan terhadap sumberdaya lahan dan hutan akibat ketidakstabilan ekonomi. Mengacu pada pembahasan sebelumnya mengenai faktor penyebab degradasi lahan dapat disimpulkan bahwa faktor kemiskinan merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan, 86 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
disamping karena faktor alam. Tidak ada alternatif lain yang dapat digunakan selain membebaskan masyarakat dari tekanan kemiskinan. Masyarakat yang miskin akan cenderung memiskinkan lingkungannya, dan lingkungan yang dibuat dan menjadi miskin akan terus membiarkan manusia bergelut dengan kemiskinannya. Upaya rehabilitasi yang dilakukan secara besar-besaran tidak akan memberikan manfaat selama masyarakat masih terbelenggu dengan kemiskinan. Strategi yang dapat dilakukan dalam rangka rehabilitasi lahan kritis dan pengelolaan DAS Benain Noelmina secara menyeluruh adalah membangun kolaborasi pengelolaan lintas wilayah administratif. Mengingat DAS merupakan ruang hidup, maka kolaborasi pengelolaan sangat diperlukan atas kesadaran bahwa kesehatan ekosistem DAS Benain Noelmina menjadi prasyarat mutlak keberlangsungan sumberdaya pembangunan dan jasa lingkungan yang dihasilkannya. Kolaborasi pengelolaan dapat diawali dengan membangun kesamaan persepsi dan visi, sehingga setiap sektor memberikan kontribusi untuk mencapai visi bersama. Sektoralisasi pengelolaan selama ini banyak salah kaprahnya, cakupan sektor dipersempit ibarat lapangan bola kaki sehingga hanya dinikmati oleh mereka yang punya akses untuk bermain, sedangkan yang lain dikondisikan menjadi penonton. Sinkronisasi dan tata ruang dan tataguna lahan cenderung tumpang tindih antar sektor, paduserasi antara TGHK dan RTRWP tidak digunakan sebagai pedoman yang pasti, (Kartodihardjo, et al., 2000). Kolaborasi pengelolaan juga mencakup keadilan ekonomi atas produk jasa lingkungan DAS Benain Noelmina, dalam hal ini disparitas ekonomi yang tinggi antara masyarakat hulu dan hilir dapat dijembatani dengan pendekatan ekosistem yang saling hidup dan menghidupi, Njurumana (2006a). Guna mendukung kolaborasi, sangat diperlukan tersedianya data dan informasi potensi sumberdaya DAS secara keseluruhan. Janz dan Persson, (2002) menegaskan bahwa dalam pembangunan kebijakan kehutanan sangat diperlukan tersedianya data dan informasi kuantitatif menyangkut potensi sumberdaya lahan dan hutan, sehingga tercipta keseimbangan untuk memenuhi kebutuhan pasar dan upaya rehabilitasi. Pengelolaan berbasis database merupakan alternatif terbaik, sehingga dapat memprediksi kemungkinan perubahan yang akan terjadi serta memiliki dasar rasional dalam kampanye pelestarian dan dukungan legitimasi hukum. D.Rehabilitasi dengan jarak pagar Dari aspek sosial-ekologi, tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) merupakan salah satu jenis tanaman yang sangat familiar dengan masyarakat pada wilayah DAS Benain Noelmina dan masyarakat NTT pada umumnya. Pemanfaatan sederhana yang dilakukan selama ini adalah sebagai tanaman pelindung (pagar) kebun yang mampu tumbuh pada lahan-lahan marginal dan kritis, sehingga membantu konservasi tanah dan air, sumber energi untuk kayu bakar dan sumber biji yang menghasilkan minyak. Dari aspek ekonomi, tanaman jarak pagar merupakan sumber energi alternatip. Minyak tanaman jarak pagar merupakan salah satu alternatif yang menjanjikan sebagai sumber energi biodisel untuk mengganti energi dari petrodiesel yang makin berkurang. Tanaman ini cepat menghasilkan secara ekonomi karena kemampuan berkecambah yang baik dan tumbuh cepat sekalipun pada lahan marginal. Tanaman jarak pagar memiliki 87 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
produktivitas biji antara 5 – 25 ton/ha/tahun,
sangat ditentukan oleh kondisi tapak, umur
tanaman, kesuburan tanah dan input curah hujan, (Rachmawati,2004). Kehidupan manusia diseluruh dunia tidak terlepas dari kebutuhan energi listrik dan bahan bakar. Pemanfaatan bahan bakar untuk transportasi, energi listrik, industri akan meningkatkan efek gas rumah kaca di atmosfir. Dunia saat ini sedang menuju krisis bahan bakar, karena cadangan bahan bakar fosil yang ada makin menipis. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengkonsumsi energi cukup besar di Asia. Dalam dua belas dekade terakhir, permintaan energi Indonesia mencapai 4 kali lipat atau 174 juta setara barel minyak (BOE = Barrel of Oil Equipment) pada tahun 1980 dan meningkat menjadi 666 juta BOE pada tahun 2000 (DJLPE, 2002). Dengan cadangan terbukti sekitar 5 milyar barel dan tingkat produksi sekitar 500 juta barel, diperkirakan pada tahun 2013 minyak bumi di Indonesia sudah habis (Meiviani, A. et al., 2004).
Upaya menemukan alternatip pengganti bahan bakar fosil
harus segera dilakukan
melalui riset-riset unggulan dan terpadu untuk segera mengantisipasi dampak kemerosotan bahan bakar. Menurut Soerawidjaja (2001), ada sekitar 50 spesies pohon penghasil minyak nabati sebagai bahan baku pembuatan bio-disel, diantaranya adalah tanaman jarak pagar (Jatropha curcas), kemiri (Aleurites moluccana) dan kapok randu (Ceiba petandra). Peluang alternatif pengembangan jarak pagar pada sebagian
besar lahan kritis DAS Benain Noelmina dapat
dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian tapak serta dukungan masyarakat yang mengenal tanaman jarak pagar dalam kesehariannya. Keterbatasan daya dukung lahan dalam menunjang pertanian dan aspek lingkungan (tata air, erosi, perubahan iklim, dll) mengindikasikan perlunya alternatif pemanfaatan lain yang bernilai ekonomi dan ramah lingkungan, Njurumana (2005). Tanaman jarak pagar mempunyai potensi besar untuk dikembangkan pada lahan terdegradasi melalui pendekatan vegetatif, sehingga memberikan nilai positif bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat dan perbaikan kualitas lingkungan. Dari dimensi ekologi, beberapa pertimbangan pemanfaatan tanaman jarak pagar pagar dalam rehabilitasi lahan kritis seperti dikemukakan oleh Rachmawati, (2004) adalah (a), tanaman jarak pagar mampu beradaptasi terhadap kekeringan, (b) mampu tumbuh pada jenis tanah yang berbeda dengan kondisi tektur berpasir, berbatu, sampai pada tanah masam, (c), mampu tumbuh pada kondisi tanah dengan tingkat kesuburan rendah, tanah terdegradasi bahkan pada tanah limbah, (d), memiliki pertumbuhan dan produksi yang cepat, (e), bagian tanaman seperti daun, batang, ranting sangat kaya akan kandungan nitrogen, phospor, dan kalium sehingga baik digunakan sebagai sumber bahan organik, (e), mampu mengontrol erosi angin dan erosi air melalui sistem perakaran yang mampu mengikat tanah sekaligus berfungsi sebagai penstabil agregat tanah sehingga air dapat mengalir kelapisan tanah lebih dalam (infiltrasi) dan menambah pasokan air tanah, (f), mudah diperbanyak baik melalui biji, anakan maupun secara vegetatif (stek, sambung, kultur jaringan, dll), (g), mampu menyerap karbon di udara dan disimpan pada jaringan tanaman yang pada akhirnya dikembalikan ketanah sebagai sumber karbon, sehingga ramah lingkungan, (h), teknologi budidayanya sangat sederhana, sehingga bisa dilakukan oleh semua orang.
88 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Jenis tanaman hasil hutan bukan kayu yang dapat dikembangkan dalam rangka rehabilitasi lahan pada DAS Benain Noelmina diantaranya adalah kemiri (Aleurites moluccana), asam (Tamarindus indica), nangka (Artocarpus integra), kesambi (Schleichera oleosa). Upaya pengembangan jenis tanaman tersebut dapat diintegrasikan dalam bentuk kebun campuran seperti model mamar. keragaman komponen vegetasi yang dijumpai pada sistem mamar masih tinggi. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, beberapa jenis tanaman yang dijumpai pada model mamar meliputi tiga kelompok besar yaitu yaitu a). tanaman kehutanan seperti : mahoni (Swietenia mahagony), lamtoro (Leucaena leucochepala), beringin (Ficus benjamina), nangka (Artocarpus integra), asam (Tamarindus indica), kaliandra (Caliandra sp.), bambu (Bamboo sp.), kesambi (Schleichera oleosa), neke (Cassapinus heptaphyla), Timo (Timonius sericeus), pulai (Alstonia scholaris) dan tanaman kayu-kayuan lain. b). tanaman perkebunan meliputi : Mangga (Mangifera indica), kemiri (Aleurites moluccana), kelapa (Cocos nucifera), alvokat (Persia americana), kedondong (Spondias dulcis), pisang (Musa parasidica), pinang (Arenga catechu), sirih (Piper battle) dan jenis lain, serta c) tanaman pertanian yaitu : jagung (Zea mays), umbi-umbian hutan (Dioscorea sp) dan kacang-kacangan (Arachis sp).
E.Database dan jasa lingkungan Salah satu kelemahan dalam pengelolaan DAS Benain Noelmina adalah belum tersedianya data dan informasi mengenai sumberdaya DAS secara menyeluruh termasuk nilai ekologi dan jasa lingkungannya. Degradasi sumberdaya lahan juga didorong oleh terbatasnya data dan informasi mengenai nilai jasa dan ekonomi dari satuan sumberdaya DAS sebagai ekosistem, sehingga berimplikasi terhadap menurunnya dukungan legitimasi hukum dalam menegakkan aturan mengenai pengelolaan ekosistem DAS secara berkelanjutan, serta belum tersedianya landasan data ilmiah yang dapat dimanfaatkan sebagai referensi dalam kampanye pelestariannya. Dalam hal ini, perlu revitalisasi konsep dalam pemanfaatan ekosistem DAS dengan menempatkan kelestarian ekosistem sebagai prioritas utama untuk mendukung manfaat yang dihasilkan yang dapat menghidupi berbagai sektor pembangunan. Dengan demikian, kelestarian fungsi DAS merupakan salah satu indikator keberlanjutan sektor-sektor pembangunan yang terkait seperti pertanian, pariwisata, peternakan dan industri. Proses pembangunan ekonomi pada wilayah DAS Benain Noelmina dapat dilakukan secara berkelanjutan bila komponen ekosistemnya terjaga dan berfungsi secara berkelanjutan. Pada pihak lain, belum tersedianya informasi mengenai jasa lingkungan dari ekosistem DAS Benain Noelmina. Pemahaman secara menyeluruh menyangkut potensi ekonomi sumberdaya lahan dan sumberdaya alam sangat diperlukan untuk memberikan dukungan rasional dalam upaya kampanye pelestarian dan pemanfaatannya termasuk dalam merancang pendekatan pengelolaannya. Kuantifikasi yang sudah dilakukan masih terbatas pada dampak kerusakan ekosistem DAS terhadap tingkat kejadian banjir, sedimentasi dan penurunan debit dalam beberapa tahun terakhir. Kuantifikasi secara menyeluruh terhadap seluruh komponen dan potensi nilai ekonomi ekosistem DAS Benain baik yang langsung maupun tidak langsung belum dilakukan. Bila data kuantifikasi nilai ekonomi DAS Benain sudah tersedia, akan sangat
89 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
membantu dalam merancang perencanaan pengelolaan serta dukungan legitimasi hukum tentang nilai penting konservasi dan rehabilitasi di masa mendatang. Upaya pengembangan insentif jasa lingkungan dapat dilakukan lintas kabupaten yang berkepentingan terhadap kelestarian fungsi ekologi DAS Benain Noelmina mulai dari hulu sampai hilir. Pendekatan ekologi merupakan salah satu alternatif prioritas yang harus dipikirkan bersama oleh pemerintah kabupaten di Timor Barat. Karena Mutis merupakan daerah hulu dari DAS Benain Noelmina, maka perlu adanya kesepakatan diantara para pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) di Timor Barat untuk melakukan pendekatan pembangunan yang lebih spesifik pada masyarakat yang berada di wilayah Mutis. Perlakuan khusus diperlukan karena daya dukung lahan berdasarkan kepadatan agraris pada wilayah hulu sangat terancam, sehingga perlu adanya alternatif ekonomi yang dapat menurunkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap praktek pertanian lahan kering dengan sistem tebas bakar, Njurumana (2006). Mengacu pada pendekatan ekologi, maka kawasan Mutis merupakan asset bersama seluruh wilayah kabupaten yang ada di Timor Barat, sekalipun secara administrasi ada di wilayah kabupaten TTS. Oleh karena itu, perlu dibangun kesepakatan-kesepakatan untuk menemukan alternatif pengelolaan, salah satunya insentif jasa lingkungan yang dapat digunakan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat di hulu. F.Revitalisasi kearifan lokal Masyarakat yang bermukim disekitar Gunung Mutis memiliki cukup banyak kearifan lokal dalam pemanfaatan hutan, tanah dan air. Beberapa konsep lokal dalam pemaduserasian kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan adalah konsep segitiga kehidupan yang disebut “Mansian Muit Nasi Nabua”, yang bermakna bahwa manusia, hutan dan ternak merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain dan memiliki saling ketergantungan, manusia mengambil manfaat dari ternak, ternak mencari makan di hutan dan hutan dijaga kelestariannya oleh manusia. Konsep segitiga kehidupan lahir sebagai kristalisasi dari pengalaman interakasi yang saling hidup dan menghidupkan antara kehadiran manusia yang menghormati keberadaan sumberdaya alam beserta hak-hak budayanya terhadap hutan tanah dan air termasuk ternak yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari pola sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal. Demikian pula nilai penting keberadaan hutan bagi masyarakat, tidak saja dari aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial budaya dan sejarah perjalanan leluhur. Setiap marga atau suku memiliki Faut Kanaf-Oe kanaf (batu nama, air nama) yang merupakan situs mula-mula pendahulunya, sehingga secara berkala masyarakat melakukan ritual adat pada tempat tersebut. Selain itu, dijumpai konsep Nais-Tala’ (hutan larangan umum) dimana pengambilan hasil hutan berupa madu, hewan buru, kayu, pangan dan lain lain dilakukan secara berkala dengan memperhatikan mekanisme dan ketentuan yang sudah ditetapkan bersama. Pihak yang melakukan pelanggaran mendapatkan sanksi adat yang ditentukan atas dasar kesepakatan. Pola-pola seperti ini seharusnya perlu diakomodir dalam penerapan perencanaan dan penerapan kebijakan pengelolaan menjadi kekuatan alternatip untuk mengelola hutan bersama masyarakat. Upaya revitalisasi dapat dilakukan dengan rekontruksi kelembagaan dan akses terhadap situs-situs 90 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
budaya masyarakat yang terkait dengan aspek konservasi dan hak-hak budayanya terhadap sumberdaya alam. IV.KESIMPULAN Kesehatan ekosistem DAS Benain Noelmina makin menurun akibat tingginya tekanan lahan dan perubahan tataguna lahan. Pertimbangan ekonomi merupakan salah satu pendorong meningkatnya tekanan terhadap sumberdaya lahan, sehingga upaya pemulihannya melalui rehabilitasi menjadi bagian integral dari pemberdayaan ekonomi masyarakat. Selanjutnya, kolaborasi pengelolaan merupakan salah satu alternatif pendekatan untuk menghindari konflik kepentingan terhadap sumberdaya alam pada DAS Benain Noelmina. Hal ini sangat penting mengingat ruang lingkup DAS Benain Noelmina melintasi empat wilayah kabupaten, sehingga diperlukan keterpaduan dan kesamaan persepsi lintas wilayah dan lintas sektor untuk menata keteraturan diantara saling keterkaitan dan ketergantungan terhadap sumberdaya lahan pada DAS Benain Noelmina. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1981. Pola Rehabilitasi Lahan Kritis di DAS Benain Noelmina. Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dan Air. Denpasar Anonimous. 2005. Laporan Penyusunan Data Base dan Informasi DAS di wilayah BPDAS Benain Noelmina Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005. Kerjasama Balai Pengelolaan DAS Benain Noelmina dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Nusa Cendana. Kupang. Asdak, Chay. 1995, 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press Ataupah, H. 2000. Fire, Traditional Knowledge and Culture Perspective in East Nusa Tenggara. In Russel Smith, J. Hill, G., Djoeroemana, S., Myers, B.A.. Ed. Proceeding of International Workshop, NTU Darwin Australia. 13-15 April 1999. ACIAR Proceeding, 91:69-79. Australia. Campbell, B.M., S. Jeffrey, W. Kozanayi, M. Luckert, M. Mutamba dan C. Zindi. 2002. Household Livelihoods in Semi-Arid Regions. Options and Constrains. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Hutabarat, S. 2006. Model Forest : Alternatif Pengelolaan Hutan di Nusa Tenggara Timur. Makalah Utama pada Kegiatan Sosialisasi Hasil Hasil Penelitian dan pengembangan Kehutanan. Kerjasama antara Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, Badan Litbang Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Universitas Nusa Cendana. 14 Februari 2006. Kupang Idris, M.M. 2001. Gambaran degradasi lahan dan permasalahannya di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Lokakarya Rancangan Kesepakatan Politik Nasional Bidang Kehutanan Regional Nusa Tenggara. Kupang 27-28 Nopember 2001; 81-92. Badan Planologi Kehutanan dan Dinas Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta. Jans K., dan R. Persson. 2002. How to Know More about Forests ?. Supply and Use of Information for Forestry Policy. Occasional Paper No. 36. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Kartodihardjo, H. dan Agus Supriono. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan degradasi Hutan Alam. Kasus pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. Occasional Paper No.26(I). Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Nuningsih, R. 1994. Usaha Pertanian Sistem tebas Bakar di Timor NTT. Pusat Penelitian Universitas Nusa Cendana. Kupang. Njurumana, G. ND. 2004. Nilai Penting Kearifan Lokal dalam Rehabilitasi Lahan. Sebuah Artikel. Diterbitkan oleh Harian Pagi Timor Express. Desember, 2004.
91 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Njurumana, G. ND. 2005. Mengubah Lahan Kritis Menjadi Lahan Berkat. Sebuah Artikel. Diterbitkan oleh Harian Pagi Timor Express. 28 Maret 2005. Njurumana, G. ND., T. Butar-Butar, Harisetijono dan Oskar K.O. 2005. Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Mendukung Rehabilitasi Lahan di Wilayah Semi Arid. Prosiding Ekspose/Diskusi Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Kerjasama Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Nusa Cendana dan Pemda Tk. II Sumba Timur. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Bogor Njurumana, G. ND. 2006. Pendekatan Rehabilitasi Lahan Kritis Melalui Pengembangan Mamar (Studi Kasus Mamar di Kabupaten TTS). Makalah Utama pada Kegiatan Sosialisasi Hasil Hasil Penelitian dan pengembangan Kehutanan. Kerjasama antara Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, Badan Litbang Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Universitas Nusa Cendana. 14 Februari 2006. Kupang Njurumana, G. ND. 2006. Timor Menyongsong Bencana. Sebuah Artikel. Diterbitkan oleh Harian Pagi Pos Kupang. 24 November 2006. Njurumana, G. ND. 2006a. Mutis Sebagai Indikator Pembangunan di Timor Barat. Sebuah Artikel. Diterbitkan oleh Majalah Kehutanan Indonesia (MKI). Pusat Informasi Kehutanan. Departemen Kehutanan. November 2006. Jakarta. Ngatiman, Chandra, B., Maming, I. dan Rahimahyuni, F.N. 2006. Kebakaran Penyebab Degradasi Hutan di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda. Poerwanto, H. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar, Jogyakarta. Prastowo, L.M. Riwu Kaho, G.ND. Njurumana, Bayu A.V., A. Nalle, A. Bria, Lenny M., J. F. Nomeni, P. C. Tengko, G. Enga., 2006. Laporan Penyusunan Konsep Terpadu Pengelolaan DAS Benain Noelmina. Kerjasama WWF Indonesia Nusa Tenggara Program, Forum Daerah Aliran Sungai Nusa Tenggara Timur dan Pemda Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang Rachmawati, I. 2004. Potensi dan Pengembangan Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas) di Lahan Kering Nusa Tenggara Timur. Prosiding Ekspose/Diskusi Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Kerjasama Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Nusa Cendana dan Pemda Tk. II Sumba Timur. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Bogor Riwu Kaho, L. M. 2005. Api Dalam Ekosistem Savana: Kemungkinan Pengelolaanya Melalui Pengaturan Waktu Membakar (Studi Pada Savana Eucalyptus Timor Barat). Disertasi pada PPS UGM, Jogjakarta Bidang Ilmu Kehutanan, Jogjakarta. Suriamihardja, S. 1990. Nilai Penting Litbang Kehutanan Pada Zona Kepulauan Kering di Indonesia Bagian Timur. Savana No. 5/1990. Sunderlin, D.W., I.A.P. Resosudarmo, E. Rianto dan A. Angelsen. 2000. Dampak Krisis Ekonomi Indonesia terhadap Petani Kecil dan Tutupan Hutan Alam di Luar Jawa. Occasional Paper No. 28(I). Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta. Penerbit Andi
92 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
TEKNOLOGI BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN ROTAN DAN BAMBU Oleh Karnita Yuniarti6
ABSTRAK Rotan dan bambu merupakan beberapa jenis hasil hutan bukan kayu yang cukup marak dikembangkan. Untuk pengembangan lebih lanjut di tingkat industri, sumber daya rotan dan bambu sudah seyogyanya tidak lagi tergantung pada alam. Proses budidaya rotan dan bambu perlu dikembangkan. Selain itu, informasi mengenai teknologi pengolahan rotan dan bambu juga penting untuk peningkatan kualitas produk olahan kedua jenis hasil hutan bukan kayu tersebut. Kata Kunci: Budidaya, pengolahan, rotan, bambu
I. PENDAHULUAN Hutan Indonesia memiliki potensi hasil hutan bukan kayu yang cukup tinggi. Walaupun demikian, hasil hutan bukan kayu (HHBK) masih kurang optimal dimanfaatkan karena pengusahaan hutan selama ini cenderung terorientasi pada hasil hutan kayu. Di sisi lain, produk HHBK merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif disamping paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan, serta telah terbukti dapat memberikan dampak pada peningkatan penghasilan masyarakat sekitar hutan dan memberikan kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa negara (Sumadiwangsa dan Setyawan, 2001). Tercatat jenis-jenis HHBK yang memiliki potensi untuk dikembangkan antara lain resin, minyak atsiri, minyak lemak, tanin, getah, tanaman obat, tanaman hias, hasil hewan, jasa hutan hingga rotan dan bambu. Sampai dengan saat ini, rotan dan bambu merupakan jenis-jenis HHBK yang memiliki prospek cukup tinggi untuk dikembangkan. Secara khusus, rotan bahkan dikenal sebagai primadona HHBK asal Indonesia yang mampu memberikan sumbangan cukup berarti terhadap devisa negara (Januminro, 2000). Di Indonesia terdapat 8 genera rotan yang terdiri atas 306 jenis (Jasni dkk, 2000). Walaupun demikian, hanya 51 jenis dari 306 jenis tersebut yang telah dimanfaatkan (Jasni dkk, 2000). Ke-8 genera rotan yang terdapat adalah Calamus, Daemonorops, Khorthalsia, Plectocomia, Plectocomiopsis, Calopspatha, Bejaudia dan Ceratolobus (Dransfield 1974, Menon 1979 dalam Alrasjid, 1989). Dari 8 genus tersebut hanya rotan dari genus Calamus dan Daemonorops yang memiliki nilai komersial tinggi (Jasni dkk, 2000). Bambu merupakan jenis HHBK yang cukup dikenal dalam kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia. Sutiyono (2004) dalam Novriyanti dan Nurrohman (2005) memperkirakan terdapat sekitar 76 spesies bambu di Indonesia. Umumnya pemanfaatan bambu oleh masyarakat adalah untuk bahan konstruksi dan barang kerajinan. Di Cina, bambu bahkan telah lama digunakan sebagai bahan baku kertas (Krisdianto dkk, 2000).
Untuk pengembangan lebih lanjut, terutama pada tingkat industri dan bernilai komersial, sumberdaya rotan dan bambu selayaknya tidak lagi tergantung pada hutan alam. Proses budidaya 6
93 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
ke-2 jenis HHBK ini perlu dikembangkan, terutama untuk jenis-jenis yang memang dibutuhkan industri dalam jumlah besar. Selain itu, teknik pengolahan juga seyogyanya mendapat perhatian tersendiri dalam rangka peningkatan kualitas produk olahan dari kedua jenis HHBK tersebut. Makalah ini menyajikan hasil review mengenai teknik-teknik budidaya serta pengolahan rotan dan bambu yang dapat diterapkan untuk pengembangan lebih lanjut dari kedua jenis HHBK tersebut.
II.BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN ROTAN A. Budidaya Tidak semua jenis rotan disarankan untuk dibudidayakan. Beberapa faktor pertimbangan dalam pemilihan jenis-jenis rotan untuk dibudidayakan antara lain memiliki nilai ekonomi tinggi serta menghasilkan batang berkualitas tinggi (Anonim, 2003). Beberapa jenis rotan yang dianggap memenuhi persyaratan tersebut serta layak dibudidayakan antara lain rotan manau (Calamus manan), rotan sega (Calamus caesius), rotan irit (Calamus trachyvoleus), rotan semambu (Calamus scipionum), rotan tohiti (Calamus inop) dan rotan batang (Calamus zolingeri/D.robustus). Secara umum, budidaya tanaman dapat dilakukan secara generatif dan vegetatif. Teknik budidaya tanaman secara generatif dilakukan dengan menggunakan biji, sedangkan budidaya tanaman secara vegetatif umumnya dilakukan dengan menggunakan bagian-bagian tanaman seperti pucuk daun, akar, serta batang yang kemudian dikembangkan dengan teknik-teknik khusus seperti stek, cangkok, okulasi dan kultur jaringan. Sampai dengan saat ini, budidaya rotan yang telah dilakukan adalah dengan menggunakan biji (teknik generatif). Langkah-langkah budidaya rotan dengan teknik ini adalah sebagai berikut (Anonim, 2003): 1. Pengadaan biji Dalam proses pengadaan biji, diperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Pengumpulan buah Buah rotan masak pada umumnya memiliki warna hijau kekuning-kuningan, kemerahmerahan (rotan irit) dan coklat kehitaman (rotan manau). Biji yang sudah tua berwarna coklat kehitaman dan keras. Selain itu akan banyak dijumpai sisa kulit buah di bawah pohon induk. Musim buah rotan masak pada umumnya adalah di awal musim kemarau, akan tetapi berbeda-beda untuk setiap jenis rotan dan tempat tumbuh. b. Penanganan buah Buah yang telah dipetik dimasukkan ke dalam karung goni basah. Di lokasi pembibitan, buah kemudian direndam hingga kulit dan daging buah membusuk. Kulit dan daging buah ini kemudian dibuang. Biji/benih rotan umumnya tidak dapat disimpan lama sehingga biji yang sudah bersih sebaiknya langsung disemai di bedeng tabur atau ditanamkan pada kantong plastik yang telah diisi media tanam.
94 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2. Persiapan persemaian Lokasi untuk persemaian disarankan berada di lapangan datar atau miring dengan derajat kemiringan maksimum 5%, bebas dari genangan air serta hama penyakit dan dekat dengan sumber air. 3. Pembuatan bibit Pembuatan bibit dapat dilakukan dalam 3 cara berikut: - Biji rotan dapat dikecambahkan dalam keranjang, disimpan di tempat yang lembab dan disiram setiap hari. Setelah kecambah berumur 1 bulan, ditanam di bedeng pembibitan dengan jarak tanam 20 x 20 cm. - Biji rotan dikecambahkan di bedeng penaburan. Untuk biji besar (seperti rotan manau), biji ditanam dalam larikan dengan jarak 2 x 4 cm; sedangkan untuk biji kecil (seperti rotan sega/irit) dapat ditabur biasa. Setelah biji berkecambah, sebelum daun pertama mengembang, langsung dipindah ke kantong plastik yang telah dilubangi di bagian pinggir bawah dan medianya disiram terlebih dahulu. Kantong-kantong plastik ini kemudian diletakkan di pelataran bedeng sapih dan di bawah atap. Bibit dirawat di persemaian sampai dengan umur 8-12 bulan. - Biji rotan langsung dikecambahkan dalam kantong plastik yang telah diberi lobang di bagian pinggir bawah dan diisi media tanam yang telah disiram terlebih dahulu. Bibit dirawat di persemaian sampai dengan umur 8-12 bulan.
4. Penanaman Penanaman dilakukan pada waktu pagi hari, sore hari atau saat cuaca mendung/berawan. Waktu penanaman sebaiknya pada saat curah hujan sudah cukup banyak dan merata.
5. Pemeliharaan Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan antara lain sebagai berikut : a. Penyiangan Penyiangan dilakukan dengan membersihkan jalur/sekeliling rumpun tanaman selebar 1 meter, membebaskan tanaman dari tumbuhan pengganggu serta memangkas/menebang pohon yang memberi naungan terlalu berat atau pohon yang telah tua. Penyiangan dilakukan secara teratur, setiap 3 bulan sampai tanaman berumur 3 tahun.
b. Penyulaman Penyulaman dilakukan di areal penanaman yang persentase tumbuhnya di bawah minimum yang dipersyaratkan. Biasanya dilakukan di musim hujan dengan menggunakan bibit yang ada di persemaian.
c. Perlindungan/pemberantasan terhadap serangan hama penyakit Beberapa jenis rotan (seperti manau, sega, dan irit) rentan terhadap serangan hama, larva kumbang, belalang, maupun ulat dan jamur. Serangan jamur Rhizoctonia solani pada 95 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
leher anakan rotan manau di persemaian dapat diberantas dengan captafol 4,5 gr/liter atau capan 1,8 gr/liter.
d. Perlindungan terhadap kebakaran Untuk mencegah bahaya kebakaran dapat dilakukan dengan membuat jalur kuning yang dikombinasikan dengan jalur hijau. Jalur kuning dibuat dengan membersihkan rumput dan sisa-sisa kayu yang bisa terbakar, lebar jalur 2-50 m (disesuaikan dengan kondisi lapangan) dan dibangun mengelilingi blok tanaman. Jalur hijau dibuat dengan menanam pohon tahan api (sekat bakar). Selain pembuatan jalur hijau dan kuning, untuk memudahkan pengawasan terhadap bahaya kebakaran juga dapat dibuat menara api di tempat yang tinggi dan strategis serta dilengkapi dengan perlengkapan tanda bahaya seperti kentongan.
B. Pengolahan
Jasni dkk (2000) mendefinisikan pengolahan rotan sebagai suatu kegiatan pengerjaan lanjutan terhadap bahan baku rotan bulat (rotan asalan) menjadi barang setengah jadi dan barang jadi serta siap dipakai dan dijual. Proses pengolahan rotan dimulai sejak rotan tersebut dipanen. Tahapan pengolahan rotan dibedakan atas penanganan rotan paska panen di hutan dan di industri. Selain itu, tergantung ukuran rotan, pengolahan rotan juga berbeda untuk rotan besar dan rotan kecil. Rachman dan Hermawan (2005) mengklasifikasikan rotan kecil adalah rotan dengan diameter <16 mm dan rotan besar adalah rotan dengan diameter >16 mm. Contoh rotan kecil adalah rotan sega, irit, jermasin, pulut, dll, sedangkan contoh rotan besar adalah rotan manau, tohiti, semambu, batang dan lain-lain.
1. Penanganan rotan paska panen di hutan Menurut Rachman dkk (2000), rotan dikatakan masak tebang apabila lebih dari tiga perempat pelepah yang menempel pada batang telah mengelupas dan meluruh ke tanah dan sebagian duri berwarna kehitaman serta telah rontok. Rotan besar umumnya masak tebang pada kisaran umur 15-20 tahun dengan panjang batang berkisar antara 30-60 meter, sedangkan rotan kecil dapat ditebang pada umur 7 tahun dengan kisaran panjang batang antara 20-30 meter (Rachman dkk, 2000). Setelah ditebas dan ditarik, rotan segera dibersihkan dari pelepah dan duri dengan menggunakan parang/golok secara hati-hati agar tidak merusak kulit rotan (Rachman dkk, 2000).
Lebih lanjut, Rachman dkk (2000) menjelaskan perlakuan yang diberikan kepada rotan berukuran diameter besar sebagai berikut : setelah dibersihkan, rotan yang berdiameter besar kemudian dipotong-potong sesuai ukuran panjang (sekitar 2,5 meter atau lebih) dan dipisahkan dari bagian pangkal rotan yang terlalu keras maupun bagian ujung yang masih muda. Potongan-potongan rotan ini kemudian diluruskan dengan cara menjepitkanya pada 2 batang pohon yang berdekatan atau cagak pohon sambil ditekan hati-hati agar rotan tidak 96 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
patah. Potong-potongan rotan tersebut kemudian diikat dengan tali bambu/rotan kecil menjadi bundelan-bundelan yang masing-masing berisi 25-60 potong. Bundelan-bundelan ini kemudian diangkut ke tepi hutan dan diletakkan di tempat yang teduh di lokasi penampungan sementara dengan diberi ganjal di bagian bawahnya agar tidak langsung berhubungan dengan tanah. Apabila rotan tidak langsung dibawa ke industri/tempat penggorengan dalam jangka waktu 5 hari setelah diangkut dari hutan, disarankan agar rotan sebaiknya diawetkan terlebih dahulu untuk mencegah serangan jamur biru, penggerek basah dan kumbang ambrosia. Secara sederhana, pengawetan dapat dilakukan dengan merendam rotan dalam larutan bahan pengawet selama 2-4 jam. Tabel 1 menyajikan macam bahan pengawet yang dapat digunakan.
Tabel 1. Macam bahan pengawet yang dapat digunakan untuk mencegah serangan jamur biru dan kumbang ambrosia terhadap rotan (Rachman dkk, 2000) Bahan Pengawet Untuk mencegah jamur biru : Enblue Microcide Basiblue Celbrite Defence Borik Asam Untuk mencegah kumbang ambrosia : Brash Cislin Enborer Dragnet Demone
Konsentrasi (%)
Pelarut
1.5 1.5 2.0 2.0 2.0 10.0
Air Air Air Air Air Air
1.0 0.5 0.5 0.5 0.5
Air Air Air Air Air
Untuk rotan yang berukuran diameter kecil, setelah dipanen dan dibersihkan dari daun dan duri, menurut Rachman dkk (2000), rotan yang memiliki lapisan silika dibersihkan dahulu dengan menggunakan alat runti. Setelah itu, rotan dapat dipotong-potong dengan panjang sesuai permintaan dan dipisahkan dari bagian pangkal yang keras maupun bagian ujung yang lunak. Selanjutnya, rotan dicuci dalam air mengalir dan digosok dengan karung goni yang diberi pasir atau sabut kelapa sampai rotan bersih dari kotoran. Rotan kemudian disusun ke arah memanjang sebanyak 35-70 potong dan kemudian ditekuk menjadi setengahnya serta diikat dengan tali bambu atau belahan rotan. Apabila rotan terlambat diangkut ke industri pengolahan, sebaiknya rotan juga diawetkan dengan prosedur yang sama dengan rotan besar (Rachman dkk, 2000).
2. Pengolahan rotan di industri Sebagaimana halnya dengan penanganan rotan paska panen di hutan, terdapat sedikit perbedaan dalam pengolahan awal untuk rotan dengan ukuran diameter besar dengan rotan berdiameter kecil. Dibandingkan dengan rotan besar, proses pengolahan awal rotan kecil lebih sederhana. Pada umumnya, rotan kecil tidak perlu digoreng sebagaimana halnya rotan besar karena dapat mengering lebih cepat (Rachman dkk, 2000). Walaupun demikian, Rachman dan Hermawan (2005) menyatakan bahwa beberapa rotan kecil dapat pula digoreng dan dalam proses penggorengan tersebut harus dipisahkan dari rotan besar. 97 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Beberapa langkah yang dilakukan dalam proses pengolahan awal rotan adalah adalah sebagai berikut : 1. Persiapan Tahapan persiapan terdiri atas kegiatan penumpukan rotan segar, pembersihan dan sortasi (Rachman dkk, 2000). Rotan yang diterima di tempat penumpukan adalah rotan yang berkualitas baik dan sudah cukup tua dengan ciri-ciri diameter silindris, cukup keras, tidak ada tanda-tanda keriput dan mengandung lebih banyak warna hijau tua (Rachman dan Hermawan, 2005). Penumpukan rotan dilakukan dengan menggunakan ganjal. Sebelum digoreng, sisa kelopak dan kotoran yang masih menempel pada batang rotan dibersihkan dengan cara digosok dengan kain perca, sabut kelapa atau karung goni (Rachman dan Hermawan, 2005). Bersama-sama dengan proses pembersihan, dilakukan pula proses sortasi dengan cara memisahkan rotan yang akan diolah lebih lanjut dari rotan yang telah pecah atau belah (Rachman dkk, 2000).
2. Penggorengan Menurut Rachman dan Hermawan (2005) tujuan penggorengan rotan adalah untuk menurunkan kadar air rotan dan mengeluarkan bahan-bahan larut minyak yang umumnya terdapat dibagian kulit (epidermis) rotan serta dapat menghalangi proses keluarnya air dari dalam rotan. Dengan melakukan penggorengan, waktu penjemuran rotan di lapangan dapat lebih singkat, sekitar 1-2 minggu sehingga dapat mengurangi kemungkinan serangan jamur atau serangga perusak rotan (Rachman dan Hermawan, 2005). Selain itu, warna rotan yang digoreng menjadi lebih cerah (Rachman dan Hermawan, 2005).
Peralatan yang dibutuhkan untuk penggorengan rotan terdiri atas wajan penggorengan dengan bentuk bak memanjang dan panjang minimal 3.0 meter; kompor; besi pengait untuk mengangkat rotan yang telah digoreng, ayakan kawat bertangkai untuk mengambil sisa kotoran setelah penggorengan; jerigen penampung minyak goreng, pemberat untuk menindih rotan saat digoreng, sarung tangan tahan panas, karung goni bekas serta alat pemadam kebakaran (Rachman dkk, 2000). Untuk menggoreng biasanya digunakan minyak tanah, minyak solar, atau campuran keduanya (Rachman dan Hermawan, 2005).
Penggorengan diawali dengan memasukkan minyak penggoreng ke dalam wajan penggorengan dan dipanaskan hingga mencapai suhu sekitar 800C (Rachman dan Hermawan, 2005). Tergantung kapasitas wajan penggoreng, jumlah potongan rotan yang dapat dimasukkan untuk setiap kali penggorengan dapat mencapai 200-300 potong (Rachman dan Hermawan, 2005). Konsumsi minyak goreng untuk setiap potong rotan adalah sekitar 1/10 – 1/8 liter (Rachman dan Hermawan, 2005). Penggorengan dilakukan selama + 10-30 menit (Rachman dkk, 2000). Rotan yang telah digoreng kemudian ditiriskan.
98 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
3. Penggosokan dan pencucian Penggosokan dilakukan pada rotan yang telah digoreng dan ditiriskan dengan menggunakan kain perca, sabut kelapa atau karung goni yang dicampurkan dengan pasir halus atau serbuk gergaji (Jasni dkk 2000). Penggosokan dilakukan berulang-ulang agar sisa kotoran terutama getah yang masih menempel pada kulit rotan dapat dilepaskan sehingga kulit rotan menjadi bersih dan dapat diperoleh rotan dengan warna yang cerah dan mengkilap (Rachman dan Hermawan, 2005). Bersama-sama dengan penggosokan, rotan juga dapat dicuci untuk membersihkan rotan secara sempurna (Rachman 1984).
4. Peruntian Peruntian dilakukan untuk membuang lapisan silika yang melekat pada kulit beberapa jenis rotan kecil (Januminro, 2000). Beberapa jenis rotan yang umumnya memiliki lapisan silika pada kulit adalah rotan sega dan taman (Rachman dkk, 2000). Peruntian rotan dapat dilakukan dengan menggunakan alat khusus disebut runti jala atau dengan menarik rotan bolak balik melalui lubang pada sepotong bambu yang diikat berdiri pada sebatang pohon (Januminro, 2000).
5. Pengeringan Pengeringan rotan dilakukan di lapangan terbuka agar rotan langsung terkena paparan sinar matahari. Lantai tempat pengeringan bisa berupa tanah kering atau pelataran semen dengan drainase baik (Rachman dan Hermawan, 2005). Rotan besar dikeringkan dengan cara disusun berdiri secara silang menyilang hampir tegak lurus pada sandaran yang terbuat dari kayu atau bambu (Rachman dan Hermawan, 2005). Untuk mendapatkan hasil pengeringan yang merata dan warna yang cerah, rotan harus sewaktu-waktu dibalik (Rachman dan Hermawan, 2005). Waktu pengeringan di musim kemarau hanya sekitar 1 minggu dan di musim penghujan dapat mencapai 2-3 minggu untuk sampai pada kondisi kering udara dengan kadar air sekitar 15-18% (Rachman dan Hermawan, 2005).
Penjemuran untuk rotan kecil dapat dilakukan dengan menghamparkan rotan diatas parapara setinggi pusar atau sekitar 50 cm dari tanah (Rachman dan Hermawan, 2005). Selama penjemuran, rotan dibolak-balik untuk memperoleh hasil yang baik. Apabila turun hujan, maka permukaan rotan ditutup dengan plastik atau terpal. Waktu pengeringan bervariasi untuk setiap jenis rotan, tapi umumnya antara 1-2 minggu pada saat cuaca cerah (Rachman dkk, 2000).
Pengeringan rotan juga dapat dilakukan dalam bangunan pengeringan tenaga surya yang dikombinasikan dengan tungku bakar untuk suplai panasnya. Bagan suhu yang dapat digunakan adalah 400C – 650C. Dengan bagan tersebut, rotan balukbuk, batang, manau, semambu dan tohiti dapat dikeringkan sampai kadar air akhir 12% selama + 3 hari dengan kualitas cukup baik (kecuali untuk rotan tohiti) (Yuniarti dan Basri, 2005).
99 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
6. Pengasapan Untuk memperoleh rotan bulat kualitas WS (washed and sulphurized) yang banyak diminta dalam dunia perdagangan, perlu dilakukan pengasapan terhadap rotan yang telah dijemur/dikeringkan. Pengasapan bertujuan untuk memutihkan warna kulit rotan, dengan proses pengelantangan (bleaching) menggunakan asap belerang (gas SO2) (Rachman dan Hermawan, 2005). Selain itu, pengasapan juga bertujuan untuk memasukkan asap belerang ke dalam pori-pori rotan untuk meningkatkan ketahanannya terhadap serangan hama dan penyakit apabila disimpan cukup lama dalam gudang (Januminro, 2000).
Pengasapan dilakukan dalam rumah asap berbentuk kubah yang terbuat dari tembok dan balok kayu dengan sumber asap berasal dari belerang yang dibakar diatas wadah anti bakar dan disalurkan ke dalam rumah asap tersebut. Rotan disusun berlapis-lapis dengan menggunakan ganjal agar asap dapat bergerak bebas diantara lapisan. Waktu pengasapan adalah 12 jam dan akan menghabiskan sekitar 7,5 kg belerang atau 1,8 gr/potong rotan (Rachman dan Hermawan, 2005).
Selain langkah-langkah tersebut diatas, terdapat beberapa proses pengolahan lainnya yang dapat diterapkan terhadap rotan dan disesuaikan dengan kebutuhan atau permintaan. Beberapa proses lain tersebut antara lain : 1. Pelurusan Pelurusan biasanya dilakukan untuk rotan-rotan berdiameter besar yang secara alamiah memang tidak lurus (Januminro, 2000) atau yang mengalami pembengkokan selama proses pengeringan akibat terjadinya berbagai tegangan dalam rotan (Rachman dkk, 2000). Proses pelurusan dilakukan sebelum pengasapan (Januminro, 2000) atau sesudah penjemuran (Rachman dkk, 2000). Pelurusan rotan dilakukan dengan menggunakan alat pelurus berupa tiang yang dipancangkan dan ujung atasnya diberi cagakan tempat memasukkan dan meluruskan rotan (Jauminro, 2000; Rachman dkk, 2000). Selain itu, pelurusan rotan dapat pula dilakukan dengan menggunakan 2 pohon yang berdekatan atau cagak pohon (Rachman dkk, 2000). Pelurusan rotan diawali dengan dengan memasukkan bagian rotan yang bengkok ke dalam cagak, lalu bagian lain ditarik atau didorong perlahan-lahan dengan hati-hati agar rotan tidak patah (Rachman dkk, 2000). 2. Pembengkokan/pelengkungan Pembengkokan/pelengkungan rotan acapkali dilakukan dengan tujuan untuk menambah nilai artistik produk rotan yang dihasilkan. Pelengkungan dapat dilakukan dengan cara melunakkan rotan terlebih dahulu dengan uap air panas dalam tabung kukus (Rachman, 1990), perendaman dalam larutan dimetil sulfoksida (Rachman dkk, 1997) atau memanaskan langsung bagian yang akan dilengkungkan di atas api (Jasni, 1992). Pelengkungan dengan cara pengukusan rotan terlebih dahulu pada umumnya dilakukan di industri besar dan menengah, sedangkan industri kecil umumnya memanaskan bagian yang akan dilengkungkan di atas api (Krisdianto dan Jasni, 2006). Pelengkungan rotan 100 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
sendiri dapat dilakukan secara manual (menggunakan tenaga manusia) dan menggunakan mesin (Krisdianto dan Jasni, 2006). 3. Pemutihan Pemutihan rotan bertujuan untuk menghilangkan silika, mengurangi kromofort (gugus penyebab warna) oksidasi terhadap struktur aromatik dari lignin dan karbohidrat (dalam kalium hipoklorit) (Jasni dkk, 2000). Tidak semua perusahaan melakukan pemutihan rotan karena hal ini tergantung permintaan konsumen.Bahan pemutih yang digunakan antara lain perhydrol, air kaca, NaOH dan asap belerang (Jasni, 1992). Pemutihan dapat dilakukan dengan cara mencelupkan rotan barang jadi atau barang setengah jadi dalam bak berisi zat pemutih seraya digosok-gosok dengan sikat ijuk dan/atau menyiramkan zat pemutih pada rotan (Jasni dkk, 2000). 4. Pengawetan Pengawetan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan ketahanan rotan terhadap serangan hama penyakit dan memperpanjang masa pakainya. Pengawetan dapat dilakukan pada saat rotan masih berdiri, sesaat setelah dipanen (pengawetan sementara/propilaktik) dan setelah kering (permanen) (Jasni dkk, 2000). Cara pengawetan untuk rotan kering yang dapat dilakukan antara lain dengan rendaman atau menggunakan teknik vakum tekan (Jasni dkk, 2000). Rachman dan Santoso (1996) menemukan bahwa apabila rotan dipolis terlebih dahulu, diawetkan dan kemudian baru dikeringkan, rotan akan mengering lebih cepat. III.BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN BAMBU A. Budidaya Usaha budidaya bambu mencakup hal-hal sebagai berikut : 1. Teknik pembibitan Teknik pembibitan bambu dapat dilakukan secara generatif (dengan biji) dan secara vegetatif (dengan bagian selain biji). Permasalahan dalam pembibitan bambu dari biji yang dijumpai di Indonesia adalah tidak ditemukannnya jenis bambu berbunga dan menghasilkan biji. Sampai saat ini, hanya ditemukan 2 jenis bambu yang diketahui menghasilkan bunga, akan tetapi tidak menghasilkan biji yaitu bambu andong) dan bambu batu. Selain itu, pembibitan dengan biji umumnya akan memerlukan waktu lebih dari 10 tahun untuk mencapai tingkat perumpunan normal (Sutiyono dkk, 1999). Teknik pembibitan dengan menggunakan stek dari bagian-bagian tanaman bambu seperti batang, cabang dan akar lebih banyak diteliti dan diterapkan. Menurut Sutiyono dkk (1999), penggunaan stek rimpang (akar-akar yang mampu memberikan pertumbuhan tunas sebagai calon tanaman muda) untuk pembibitan bambu sudah biasa dilakukan dibandingkan dengan stek batang atau cabang. Walaupun demikian, buku batang dan cabang merupakan sumber potensial untuk menghasilkan tunas dan akar sehingga dapat dimanfaatkan lebih jauh untuk proses budidaya tanaman bambu (Sutiyono dkk, 1999). Pembibitan dengan menggunakan stek rimpang adalah sebagai berikut (Sutiyono dkk, 1999):
101 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
-
Pemilihan batang bambu yang akan digunakan rimpangnya. Umumnya yang digunakan adalah batang bambu yang berusia + 2 tahun. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pengeringan di lapangan apabila bibit yang digunakan berasal dari tanaman muda.
-
Setelah batang yang akan digunakan rimpangnya ditentukan, dilakukan pemotongan pada buku ke 3-4 atau berukuran + 100 cm dari bawah. Selanjutnya dilakukan pembongkaran rimpang dan memisahkannya dari induk rimpang.
-
Stek rimpang yang diperoleh dibersihkan dari akar-akar serabut dengan cara dipotongi dan ditempatkan pada air mengalir untuk merangsang munculnya akar baru.
Pembibitan dengan menggunakan stek batang adalah sebagai berikut (Sutiyono, 1995; Sutiyono dkk, 1999) : -
Batang terpilih berusia sekitar 1-2 tahun
-
Batang kemudian dipotong-potong berukuran 10 cm dari bawah dan atas buku yang terdapat tunas atau calon tunas, dengan demikian panjang stek batang adalah + 20 cm.
-
Stek batang kemudian disemaikan dengan cara ditancapkan pada guludan sehingga bagian mata tunas atau tunas tertutup tanah.
Pembibitan dengan menggunakan stek cabang adalah sebagai berikut (Sutiyono dkk, 1999): -
Untuk pembuatan stek cabang, dipilih dari cabang yang menempel pada batang induk berumur + 3 tahun
-
Dari cabang yang dipotong tersebut, dipotong bagian ujung sehingga siperoleh panjang stek cabang + 75 cm
-
Stek kemudian ditancapkan di kantong plastik yang sudah disiapkan.
2. Teknik penanaman Sebagaimana halnya dengan proses pembibitan, kegiatan persiapan lahan tanam dan penanaman sebaiknya dilakukan pada musim hujan. Lubang tanam dibuat berukuran (30 x 30 x 30) cm atau (40 x 40 x 40) cm dan ditaburi pupuk kandang sebanyak 1 kg/lubang (Sutiyono dkk 1999). Sutiyono dkk (1999) menjelaskan lebih lanjut proses penanaman ini : -
Penanaman untuk bibit yang berasal dari stek cabang (dan biji) dilakukan dengan memasukkan bibit bersama kantong plastiknya ke dalam lubang tanam yang telah disiapkan, selanjutnya kantong plastik ini disobek pada bagian samping sampai terlepas.
-
Untuk bibit yang berasal dari stek batang dan rimpang, bibit ditempatkan pada posisi tunas atau anakan ke arah atas dan ditimbun tanah. Di sekitar leher bibit, tanahnya dipadatkan dan ditinggikan + 10 cm dari tanah sekitar agar tidak tergenang air hujan.
3. Teknik pemeliharaan Sutiyono dkk (1999) menjelaskan bahwa pemeliharaan tanaman bambu yang dilakukan terdiri atas 2 tahap yaitu pada tahap sebelum mencapai perumpunan normal dan setelah perumpunan normal. Bentuk pemeliharaan pada tahap pertama adalah penyiangan dan penggemburan tanah sekitar tanaman, dan pemeliharaan tahap kedua adalah berupa pemangkasan cabang-cabang bawah setinggi 2-3 meter serta penimbunan dasar rumpun dengan tanah (Sutiyono dkk,1999).
102 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
B. Pengolahan Bambu yang telah ditebang dapat ditingkatkan kualitasnya melalui penerapan beberapa teknologi pengolahan berikut (Krisdianto dkk, 2000):
1. Pengeringan Bambu perlu dikeringkan untuk menjaga stabilisasi dimensinya, perbaikan warna permukaan, pelindung terhadap serangan jamur, bubuk basah dan memudahkan dalam pengerjaan lebih lanjut. Pengeringan bambu dapat dilakukan secara alami, dengan pengasapan, dalam bangunan pengeringan tenaga surya (solar collector) dan dalam dapur pengering. Pengeringan bambu dengan metode pengasapan dilakukan dengan cara menempatkan potongan bambu pada posisi saling menyilang atau ditumpuk secara horisontal di atas tempat pembakaran. Untuk mempercepat pengeluaran air ditempatkan kipas angin di dekat bambubambu tersebut. Proses distribusi panas dalam bangunan pengeringan tenaga surya dilakukan dengan menggunakan inhaust fan dengan jumlah dan ukuran data disesuaikan dengan luas ruangan. Ruangan dengan kapasitas bambu basah 3 m3 memerlukan 2 buah kipas angin dengan daya masing-masing 1 PK (HP) dan putaran 1600 RPM. Suplai energi untuk malam hari atau pada saat cuaca mendung/berhujan dapat berasal dari tungku limbah kayu atau tungku bakar dengan bahan bakar minyak tanah/solar. 2. Pengawetan Pengawetan merupakan suatu cara untuk meningkatkan daya tahan bambu terhadap serangan hama penyakit dan memperpanjang masa pakainya. Secara tradisional, masyarakat telah lama melakukan pengawetan bambu dengan cara merendamnya di dalam air mengalir, air tergenang, lumpur atau di air laut dan/atau pelaburan dengan kapur atau kotoran sapi. Proses pengawetan dengan menggunakan bahan kimia dapat dilakukan dengan metode rendaman dingin dan metode boucheri. Dengan metode rendaman, bambu dapat diawetkan dengan cara disusun menghampar atau berdiri. Beberapa bahan kimia yang dapat dipakai untuk proses rendaman dingin antara lain pestisida, boron 3%, larutan asam borat dan boraks 10%, larutan Wolmanit CB 10%, Koppers F7 5%, dll. Batang bambu yang telah dibelah pada umumnya akan menyerap bahan pengawet lebih baik daripada bambu utuh. Bambu yang direndam dengan posisi tegak berdiri pada bagian pangkal batangnya dapat dikuliti sepanjang 10 cm untuk memperluas permukaan dan batang yang sudah dikuliti segera dimasukkan ke dalam larutan pengawet. Lama pengawetan bambu dengan metode rendaman umumnya berkisar antara 1-7 hari tergantung dari jenis bambu yang diolah dan apabila bambu diletakkan horisontal. Apabila bambu direndam dengan posisi vertikal, lama rendaman yang menghasilkan penetrasi tertinggi sekitar 4 minggu. Umumnya absorpsi bahan pengawet akan meningkat seiring dengan bertambahnya waktu rendaman. Metode pengawetan boucheri dilakukan dengan memberikan bahan pengawet pada bagian bawah batang bambu segar yang masih berdiri serta tidak memotong daun dan ranting 103 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
bambu. Dengan demikian, proses asimilasi dan penyerapan bahan makanan tetap berlangsung. Bahan pengawet yang digunakan antara lain boraks dengan konsentrasi 5%. Dengan cara boucheri, diperoleh informasi bahwa bambu andong lebih mudah diawetkan dibandingkan dengan bambu tali. 3. Stabilisasi warna Sesuai permintaan, kadang-kadang bambu perlu diputihkan atau dijaga agar warna hijau kulit bambu tetap bertahan lama. Untuk pemutihan warna kulit bambu, dapat digunakan larutan hidrogen peroksida (H2O2); sedangkan untuk mengawetkan warna hijau kulit bambu dapat digunakan campuran larutan terusi dan nikel sulfat serta dikeringkan selama 14-28 hari. Selain digunakan sebagai bahan konstruksi dan barang kerajinan, dari bambu dapat pula dihasilkan beberapa produk inovatif seperti bambu lamina dan pulp. Bambu lamina diperoleh dari belahan-belahan bambu yang direkat ke arah samping dan vertikal. Jenis bambu yang telah diteliti oleh Sulastiningsih dkk (1998) untuk pembuatan bambu lamina adalah bambu andong (Gigantochloa arundinaceae) dengan macam perekat yang digunakan adalah urea formaldehida. Menurut Sulastiningsih dkk (1996), kerapatan, keteguhan lentur dan keteguhan tekan bambu lamina dapat disejajarkan dengan kayu kelas kuat II. Menurut Krisdianto dkk (2000), bambu memiliki kandungan selulosa yang cocok untuk dijadikan bahan kertas dan rayon. Bambu yang dapat digunakan antara lain bambu duri, bambu paring, bambu popop dan bambu banoa. Dalam pemanfaatan bambu menjadi bahan kertas, kendala yang dihadapi adalah pengadaan bahan baku bambu sehingga dalam proses pembuatan pulp acapkali dicampur dengan jenis-jenis kayu seperti jabon dan kemiri (Krisdianto dkk 2000). IV. KESIMPULAN Budidaya tanaman rotan umumnya dilakukan secara generatif atau menggunakan biji. Di sisi lain, budidaya bambu justru umumnya dilakukan dengan menggunakan teknik vegetatif seperti stek rimpang, batang dan cabang. Pengolahan rotan cukup kompleks karena telah dilakukan mulai rotan dipanen di dalam hutan. Langkah-langkah utama dalam mengolah rotan di industri meliputi penggorengan, pencucian/penggosokan, penjemuran dan pengasapan untuk memperoleh rotan kualitas WS (washed and sulphurized). Pengawetan, pembengkokan, pelurusan maupun pemutihan merupakan kegiatan pengolahan yang umumnya dilakukan sesuai kebutuhan industri atau permintaan konsumen. Peningkatan kualitas bambu dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan pengeringan serta pengawetan. Stabilisasi warna bambu juga dapat dilakukan dengan memberikan perlakuan kimiawi. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Budidaya Rotan. Badan Litbang Kehutanan, Departemen Kehutanan. Jakarta. Januminro, CFM. 2000. Rotan Indonesia. Kanisius. Yogyakarta. Jasni, D.Martono dan N. Supriana. 2000. Sari Hasil Penelitian Rotan. Dalam Sari Hasil Penelitian Rotan dan Bambu. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Jasni. 1992. Cara Pengolahan Rotan dan Pencegahan Serangan Organisme pada Rotan di Semarang dan Sekitarnya. Prosiding Pengembangan Bioteknologi, LIPI. Bogor. 104 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Krisdianto, G. Sumarni dan A. Ismanto. 2000. Sari Hasil Penelitian Bambu. Dalam Sari Hasil Penelitian Rotan dan Bambu. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Krisdianto dan Jasni. 2006. Pelengkungan dalam Industri Pengolahan Rotan. Info Hasil Hutan Vol.12 No.1. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Novriyanti, E. dan E. Nurrohman. 2005. Pembuatan Stek Cabang Bambu dengan Penambahan Hormon Tumbuh. Info Hutan Vol.II, No.4. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Rachman, O. 1984. Pengaruh Kondisi Penggorengan Terhadap Kualitas Rotan Manau (Calamus manan). Jurnal Penelitian Hasil Hutan Vol.1 No.4. Rachman, O. 1990. Pedoman Penggorengan Rotan Vol.2 No.2. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Rachman, O. dan A. Santoso. 1996. Pengupasan dan Pengeringan Bahan Baku Rotan Segar. Laporan proyek penelitian. Puslitbang Hasil Hutan dan Sosial Ekonomi Kehutanan. Bogor. Rachman, O. dan H. Hermawan. 2005. Pedoman Penggorengan Rotan : Suatu Cara Menghasilkan Rotan Mutu Prima. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Rachman, O., E. Basri dan D. Martono. 2000. Pedoman Pengolahan Rotan Lepas Panen. Perum Perhutani. Jakarta. Rachman, O., S. Harjo dan M. Suwirman. 1997. Perbaikan Teknik Pelengkungan Rotan melalui Perendaman dengan Larutan Dimetil Sulfoksida. Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol.15, No.4. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Sulastiningsih, I.M., N. Hadjib dan P. Sutigno. 1996. Pengaruh Jumlah Lapisan terhadap Sifat Bambu Lamina. Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol.14 No.9. Sulastiningsih, I.M., A. Santoso dan T. Yuwono. 1998. Effect of Position Along The Culm and Number of Preservative Brushing on Physical and Mechanical Properties of Laminated Bamboo. The 4th Pacific Rim Bio-based Composites Symposium. Sumadiwangsa, S. dan D. Setyawan. 2001. Konsepsi Strategi Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu di Indonesia. Buletin Penelitian Hasil Hutan Vol.2, No.2. Sutiyono. 1995. Percobaan Stek Batang Enam Jenis Bambu Gigantochloa sebagai Bahan Tanaman. Buletin Penelitian Hutan No.596. Puslitbang Hutan. Bogor. Sutiyono, Hendromono, M. Wardani dan I. Sukardi. 1999. Teknik Budidaya Tanaman Bambu. Puslitbang Hutan. Bogor. Yuniarti, K. Dan E. Basri. 2005. Rekayasa Alat Kontrol Suhu dan Kelembaban untuk Bangunan Pengeringan Kombinasi Tenaga Surya dan Panas Tungku. Laporan Hasil Penelitian. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor.
105 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
TEKNOLOGI PENGOLAHAN DAN BUDIDAYA MINYAK ATSIRI Oleh : Ina Winarni ABSTRAK
Metode penyulingan yang digunakan tergantung dari bahan tanaman yang akan diambil minyak atsirinya, apakah termasuk bahan yang bertitik didih rendah atau tinggi. Sehingga akan meningkatkan efisiensi waktu dan biaya penyulingan dan meningkatkan rendemen dan mutu minyak atsiri yang dihasilkan. Budidaya tanaman penghasil minyak atsiri tergantung dari jenis tanaman itu sendiri. Setiap jenis tanaman memiliki budidaya yang berbeda-beda tergantung pula dari tempat tumbuh dan kondisi iklim serta jenis tanahnya. Kata kunci : Minyak atsiri, teknologi, Penyulingan, budidaya I. PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu produsen minyak atsiri dari sepuluh negara pengekspor minyak atsiri di dunia. Dari sekitar 70 jenis minyak atsiri yang telah dikenal dan diperdagangkan di pasaran dunia, 40 jenis diantaranya berasal dan tumbuh baik di Indonesia yang dikenal sebagai obat atau jamu-jamuan. Namun dari semuanya baru 11 jenis minyak yang telah dikomersialkan dan telah masuk perdagangan internasional, yaitu minyak nilam, cengkeh, akar wangi, serai wangi, kenanga, kayu putih, dll. Ditinjau dari sumber alami minyak atsiri, subtansi mudah menguap ini dapat dijadikan sebagai sidik jari atau ciri khas dari salah satu jenis tumbuhan, karena setiap tumbuhan menghasilkan minyak atsiri dengan aroma yang berbeda dan spesifik. Memang ada beberapa memiliki aroma yang mirip, tetapi tidak persis sama dan tergantung kepada komponen kimia penyusunnya. Yang perlu diingat adalah tidak semua tumbuhan memiliki minyak atsiri, hanya tumbuhan yang mempunyai sel glandula saja yang dapat menghasilkan minyak atsiri. Di Indonesia famili tumbuhan yang popular mengandung minyak atsiri diantaranya adalah : Lauraceae, Myrtaceae, Rutaceae, Myristicaceae, Asteracecae, Apocynaceae, Umbeliferae, Pinaceae, Rosaceae dan Labitae. Beberapa jenis tumbuhan yang menghasilkan minyak atsiri digunakan dalam pengobatan (adas, cengkeh dan pala). Ada pula yang harus disuling dahulu baru dijadikan sebagai obat (minyak kayu putih). Akan tetapi minyak atsiri yang telah disuling dan diestrak biasanya digunakan sebagai perancah (flavour) dan bahan dasar parfum. Selain itu, minyak atsiri banyak digunakan sebagai aroma terapi, obat nyamuk, antibakteri, dan juga ada yang bersifat psikoaktif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table 1 di bawah ini.
106 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 1. Beberapa jenis minyak atsiri yang digunakan sebagai perancah, formulasi parfum dan aromaterapi. Tumbuhan Cinnamomum camphora
Bagian tumbuhan Kayu
Rendemen Kandungan minyak (%) 1-3
Cinnamomum verum
Kulit batang
1-2
Daun
0.5-0.7
Eucalyptus citridora
Daun segar
15-20
Eucalyptus globules, Eucalyptus polybractea
Daun segar
1-3
Ruta graviolens
Seluruh bagian tumbuhan Daun batang
-
Santalum album
Kandungan utama (%) Kamfor (27-45) Sineol (4-21) Safrol (1-18) Sinamaldehida (70-80) Eugenol (1-13) Sinamil asetat (3-4) Eugenol (70-95) Sitronelal (65-85) Sineol (70-85) Α-pinena (14)
Metal non keton Metal antranila (90)
3-5
Santalol (90)
Kegunaan/khasiat Bahan pembuat sabun Perancah perancah Parfum Perancah, analgesic, antiseptic, deodorant, diuretic, antivirus, antijamur, antiinfeksi Perancah
Antiflogistik, antiseptic, insektisida, astringent,tonik
Sumber : Agusta (2000)
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mutu minyak atsiri, yaitu pengadaan bahan baku, penanganan pascapanen, proses produksi, tata niaga, dan bentuk pengusahaan. a. Pengadaan bahan baku Pengadaan bahan baku merupakan langkah paling awal yang perlu diperhatikan agar minyak atsiri yang diproduksi bermutu tinggi. Permasalahan yang berkaitan meliputi pemilihan lokasi untuk pembudidayaan, cara pengolahan lahan, pemakaian varietas, pelaksanaan budidaya, dan pemanenan. Pemilihan lokasi penanaman harus disesuaikan dengan persyaratan tumbuh tanaman, juga yang harus diperhatikan adalah kedalaman tanah yang akan ditanami dan pemberian pupuk. Teknik budidaya yang dilakukan harus sesuai dengan tanaman tersebut, begitu pula dalam hal pemeliharaan tanaman. Masalah pemanenan harus diperhatikan. Masih banyak produsen bahan baku minyak atsiri yang melakukan kesalahan dalam cara pemetikan, waktu panen tidak tepat dan lain sebagainya. Menurut Guenther (1949) menyebutkan bahwa rendemen dan mutu minyak nilam yang dihasilkan selain ditentukan oleh jenis, umur tanaman dan proses pengeringan, juga dipengaruhi oleh lama penyulingan. b. Penanganan pascapanen Penanganan pascapanen (perajangan dan pengeringan) akan mempengaruhi mutu dan rendemen minyak atsiri yang dihasilkan.
Penanganan pascapanen tidak sama pada setiap
tumbuhan. Misalnya bunga kenanga dan ylang-ylang harus langsung dilakukan penyulingan setelah pemanenan, hasil panen akar wangi dianjurkan tidak langsung diproses tetapi dibiarkan dahulu selama beberapa waktu (lebih dari satu bulan), daun nilam sebaiknya dikering-anginkan selama 2-3 hari. Cara dan ruang penyimpanan harus diperhatikan agar bahan yang akan disuling tidak rusak.
Kesalahaan penangan pascapanen bahan tanaman yang kan diambil minyak
atsirinya akan berakibat fatal terhadap mutu minyak maupun rendemennya. c. Proses produksi
107 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kesalahan didalam proses produksi dan pengolahan akan menimbulkan dampak negatif terhadap mutu dan rendemen minyak atsiri. Hal ini terletak pada kondisi peralatan yang digunakan atau karena factor lainnya. Sebagai contoh, bahan tanaman yang seharusnya diolah melalui model penyulingan dengan uap, ternyata diproses melalui penyulingan dengan air; lama waktu penyulingan yang seharusnya 24 jam, ternyata hanya disuling selam 18 jam. Penanganan terhadap minyak atsiri yang dihasilkan juga perlu diperhatikan. Misalnya minyak atsiri yang seharusnya dikemas dalam botol kaca, ternyata disimpan dalam wadah yang terbuat dari logam berkarat; kemasan yang dipakai seharusnya berwarna gelap, malah menggunakan kemasan berwarna terang atau tembus pandang. d. Tata Niaga Selama ini umumnya rantai tata niaga minyak atsiri sangat panjang. Padahal hal tersebut dapat mengakibatkan menurunnya kualitas mutu minyak atsiri dan harga jualnya menjadi rendah. Panjangnya rantai tata niaga ini juga berakibat terhadap ketidak seragaman mutu satu jenis minyak atsiri yang dihasilkan. e. Bentuk pengusahaan Hampir seluruh kegiatan produksi minyak atsiri di Indonesia berbentuk industri skala kecil. Hal ini mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sumber pendapatan bagi mereka yang terlibat. Namun, sebagian pengusahaan masih berjalan sendiri, padahal masih banyak memerlukan penyuluhan dan bimbingan dalam rangka perbaikan mutu dan harga. Untuk itu perlu adanya para pengrajin minyak atsiri yang tersebar dimana-mana membentuk kelompok usaha di masing-masing daerah, agar dapat meningkatkan usahanya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan petani itu sendiri.
II. TEKNOLOGI PENYULINGAN MINYAK ATSIRI Minyak atsiri dapat diproduksi melalui beberapa metode. Namun sebagian besar minyak atsiri diperoleh dengan menggunakan metode penyulingan atau hidrodestilasi. Cara lain yang dapat digunakan adalah metode ekstraksi yang menggunakan pelarut enflourasi (ekstraksi dengan lemak dingin) dan maserasi (ekstraksi dengan lemak panas) atau dengan metode pengempaan. Dalam skala industri proses ekstraksi dilakukan dengan berbagai tipe misalnya tipe Bonotto extractor, Kennedy extractor dan Garnier extractor.
Unit ekstraksi ini
membutuhkan biaya investasi dan operasi jauh lebih mahal. Selain itu dikenal pula ekstraksi dengan metode destilasi super kritis (Super Critical Distilation) pada suhu rendah menggunakan nitrogen cair dengan tekanan tinggi, sehingga sesuai untuk ekstraksi bahan bernilai tinggi seperti ekstraksi flavour dari buah-buahan. Metode ekstraksi dengan pelarut cocok digunakan untuk tanaman seperti bunga melati, sedap malam, jonquil, mimosa dan violet. Minyak atsiri ini kurang baik dihasilkan dengan cara penyulingan. Sedangkan metode ekstraksi dengan metode pengempaan tidak banyak dilakukan oleh para pengrajin. Metode ini biasanya dipakai untuk mendapatkan minyak jeruk seperti minyak lemon dan orange. Namun minyak atsiri yang dihasilkan masih mengandung unsureunsur tanaman lain yang terdapat di dalamnya sehingga harus dilakukan proses pemurnian.
108 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pengusahaan produksi minyak atsiri di Indonesia, dilakukan oleh dua golongan pengusaha, pengrajin kecil dan penyuling skala besar. Ketersediaan bahan baku para pengrajin, khususnya petani tergantung dari penanaman oleh petani itu sendiri. Penyulingan minyak atsiri oleh penyuling skala kecil umumnya dilakukan dengan metode kukus (penyulingan air dan uap) pada suhu sekitar 100°C dengan tekanan 1 atm.
Peralatan yang digunakan (ketel suling,
kondensor dan oil separator) terbuat dari besi, drum bekas, besi galvanis, paralon dan bambu, dengan bahan baker ampas sulingan, kayu bakar atau minyak tanah. Ada juga penyuling yang telah menggunakan bahan stainless steel. Hal tersebut akan mempengaruhi mutu dan rendemen yang dihasilkan. Penyulingan minyak atsiri yang dilakukan oleh penyuling skala besar umumnya menggunakan metode penyulingan dengan uap dengan kapasitas minimal 500 kg bahan per batch. Peralatan yang digunakan terbuat dari stainless steel. Namun sering terjadi pula kondisi penyulingan tidak optimum (penggunaan tekanan uap yang kurang tepat, ukuran rajangan belum optimum) yang dapat mengakibatkan mutu dan rendemen minyak tidak optimum. A. Model Penyulingan Metode penyulingan merupakan cara pengambilan minyak atsiri yang konvensional. Akan tetapi sampai saat ini metode penyulingan masih banyak dilakukan oleh pengrajin minyak atsiri, hal ini disebabkan karena peralatannya sederhana, pengoperasiaannya mudah, dan biaya pembuatannya pun relatif murah. Akan tetapi metode ini hanya cocok digunakan untuk minyak tanaman tertentu yang tidak rusak oleh panas uap air. Penyulingan dapat diartikan sebagai pemisahan komponen kimia yang mudah menguap berdasarkan perbedaan tekanan uap masing-masing komponen kimia yang terkandung di dalam bahan. Penyulingan dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu 1) penyulingan dengan air; 2) penyulingan langsung dengan uap; dan 3) penyulingan dengan uap dan air 1) Penyulingan dengan air Pada metode ini bahan tanaman mengalami kontak langsung dengan air mendidih atau dengan cara merebus bahan (kohobasi) sehingga sering dikatakan sebagai penyulingan langsung. Untuk bahan baku yang memiliki komponen minyak atsiri dominan fraksi ringan/titik didih rendah dapat menggunakan metode ini atau dua yang lainnya.
Namun bagi minyak yang
mempunyai kadar ester yang tinggi (misal kenanga, ylang-ylang) serta minyak yang mengandung komponen mudah larut dalam air tidak baik menggunakan cara rebus. Meskipun proses pengerjaannya sangat mudah, kekurangan penyulingan model langsung adalah dapat menyebabkan banyaknya rendemen minyak yang hilang (tidak tersuling) dan dapat terjadi penurunan mutu minyak karena adanya pengasaman (oksidasi) serta persenyawaan zat ester yang dikandung dengan air. 2) Penyulingan dengan uap Penyulingan ini biasa disebut penyulingan tidak langsung.
Pada prinsipnya metode
penyulingan ini sama dengan penyulingan langsung, tetapi air penghasil uap tidak diisi bersamasama bahan. Uap yang digunakan berupa uap jenuh atau uap yang kelewat panas dengan tekanan lebih dari 1 atm. Didalam proses penyulingan, uap dialirkan melalui pipa uap berlingkar
109 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
yang berpori dan berada di bawah bahan yang akan disuling. Kemudian uap akan bergerak menuju ke bagian atas melalui bahan yang disimpan di atas saringan. Bahan yang memiliki minyak bertitik didih tinggi atau fraksi berat yang lebih stabil terhadap panas seperti nilam, akar wangi, cendana dan pala sebaiknya menggunakan model penyulingan ini, karena penyulingan dengan tekanan uap bertahap dapat mempersingkat waktu penyulingan. Kelebihan penyulingan model ini antara lain sebuah ketel uap dapat melayani beberapa buah ketel penyulingan yang disusun secara seri sehingga proses produksi akan berlangsung lebih cepat. Namun struktur ketel harus yang lebih kuat, alat pengaman yang sempurna sehingga biaya yang dikeluarkan pun lebih besar. 3)Penyulingan dengan air dan uap Pada model penyulingan ini, bahan tanaman yang akan disuling diletakkan di atas rak-rak atau saringan yang berlubang. Kemudian ketel penyulingan diisi dengan air sampai permukaan tidak jauh dari bagian bawah saringan. Ciri khas model ini adalah uap selalu dalam keadaan basah, jenuh, dan tidak terlalu panas. Bahan tanaman yang akan disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan air panas. Dari segi komersial, penyulingan dengan air dan uap cukup ekonomis, sehingga model ini paling banyak digunakan oleh para petani minyak atsiri. Selain biaya yang dikeluarkan relatif murah, rendemen minyak atsiri yang diperoleh cukup tinggi, dan mutunya dapat diterima dengan baik oleh konsumen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Beberapa macam metode penyulingan minyak atsiri
110 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 2.
Metode penyulingan yang biasa dilakukan terhadap berbagai jenis minyak atsiri
No
Jenis minyak
Metode penyulingan air uap 1. Nilam + 2. Sereh wangi + 3. Kayu putih + 4. Cendana 5. Akar wangi + 6. Cengkeh + + 7. Kenanga + + 8. Pala + + 9. Kayu manis (kulit) + + Kayu manis (daun) + 10. Terpentin + Keterangan : (-) jarang dilakukan; (+) biasa dilakukan; (+ +) paling baik dilakukan. Sumber : Ketaren (2004)
Air + uap ++ + ++ + + + + ++ ++ + -
B. Peralatan Penyulingan Pada prinsipnya alat penyuling terdiri dari ketel uap, ketel daun, kondensor (pengembun, pendingin), penampung dan pemisah minyak. Ketel uap (boiler) berisi air dengan pemanasan bertindak sebagai sumber uap pembawa minyak atsiri.
Kondensor berfungsi untuk
mengembunkan uap (campuran uap air dan minyak atsiri) sehingga diperoleh campuran air dan minyak atsiri. Penampung minyak (flourentine flask) dapat memisahkan air dan minyak secara otomatis. 1) Ketel suling Ketel suling atau retort juga disebut tangki penyulingan berfungsi sebagai wadah air/uap untuk mengadakan kontak dengan bahan tanaman yang akan disuling serta untuk menguapkan minyak atsiri yang terdapat di dalam bahan. Ketel suling yang sederhana berbentuk silinder atau tangki berdiameter sama atau lebih kecil dari tinggi tangki. Ketel ini dilengkapi dengan tutup yang bisa dibuka dan dipasang pipa berbentuk leher angsa pada penampang atas tangki untuk mengalirkan uap ke kondensor. Bahan konstruksi terbaik adalah baja yang tahan karat, tetapi harganya cukup mahal, untuk menghemat para pengrajin minyak atsiri membuat sendiri ketelnya dari bahan besi plat biasa yang bisa tahan 2-3 tahun dengan ketebalan 3-5 mm. Untuk meningkatkan efisiesnsi kerja ketel, biasanya dilapisi dengan bahan isolasi untuk menghindari kontak langsung dengan udara dingin dan angin. Hal ini untuk menghindari waktu penyulingan yang lebih lama dan rendemen minyak yang dihasilkan lebih rendah. 2) Pendingin (Kondensor) Alat pendingin atau kondensor berfungsi untuk mengembunkan uap air dan uap minyak yang tersuling menjadi cairan kembali. Agar minyak dapat mengembun seluruhnya, pendingin harus diusahakan berfungsi dengan sempurna. Apabila pendingin kurang baik kerjanya maka akan menyebabkan hilangnya sebagian minyak karena penguapan kembali.
111 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Beberapa macam alat pendingin dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Berbagai bentuk pendingin (kondensor) Bentuk alat pendingin yang paling sederhana adalah bentuk pipa panjang. Sayangnya bentuk ini membutuhkan tempat yang cukup luas dan aliran air yang cukup untuk mendinginkan uap yang terdapat di dalamnya. Alat pendingin bentuk spiral agak lebih sukar dibuat, tetapi sangat menghemat tempat dan cukup murah biayanya. Alat pendingin bentuk kisis-kisi mudah dibuat, tetapi memerlukan bak air yang cukup. Alat pendingin bentuk tabung termasuk yang paling banayk digunakan, meskipun pembuatan lebih sukar, tetapi alat ini sangat efektif berperan sebagai kondensor dan cocok untukskala usaha besar. 3) Penampung hasil kondensasi Penampung hasil kondensasi adalah alat untuk menampung destilat yang keluar dari alat pendingin kemudian memisahkan minyak dari air suling. Jumlah air suling selalu lebih banyak dibandingkan jumlah minyak yang dihasilkan. Biasanya alat penampung ini terbuat dari gelas, sedangkan yang berukuran besar terbuat dari timah, tembaga berlapis timah, alumunium atau besi galvanis yang dapat menampung kurang lebih 15 liter kondensat. Bentuk alat pemisah minyak dan air ada 2 model, yaitu model Florentine dan persegi panjang yang dapat dilihat pada gambar 3.
112 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Gambar 3. Bentuk alat pemisah minyak dan air
4) Ketel uap Ketel uap ini khusus digunakan untuk penyulingan minyak atsiri dengan model penyulingan uap. Ukuran ketel sangat bergantung pada jumlah uap yang dibutuhkan selama penyulingan. Mengingat adanya resiko atau bahaya yang mungkin timbul dalam ketel uap, disarankan untuk membeli alat ini pada penyalur khusus atau dibuat oleh tenaga yang sudah mahir. Ketel uap selain terdiri dari kotak dan tabung pemanas, juga harus dilengkapi dengan alat pengukur jumlah air dan tekanan, katup pengaman pada tekanan tinggi, pompa atau injector untuk menyirkulasi air dan pipa yang dapat diawasi secara manual.
C. Proses Penyulingan Proses yang terjadi pada penyulingan terdiri dari 1) hidrofusi bahan; 2) hidrolisa komponen kimia minyak atsiri dan 3) dekomposisi oleh suhu penyulingan. Sebelum menuju proses penyulingan, yang harus diperhatikan adalah persiapan bahan tanaman yang akan disuling.
Bahan (terutama berupa bunga dan daun) selama disimpan, kandungan minyak
atsirinya akan menurun atau berubah wujud disebabkan proses penguapan, oksidasi, resinifikasi, fermentasi dan proses kimia atau biologis lainnya.
Sehingga selama menunggu proses
penyulingan, bahan tanaman ada yang harus dilayukan atau dikeringkan terlebih dahulu. Sebelum dimasukkan ke dalam ketel, bahan tanaman harus diperkecil ukurannya (dirajang, diiris atau digiling) sampai ukuran tertentu agar proses penyulingan dapat berjalan secara efisien. Ukuran bahan yang terlalu besar atau kecil dapat menyebabkan tidak seluruh minyak yang terkandung di dalam bahan sulit untuk habis tersuling. Ukuran bahan juga harus disesuaikan dengan metode penyulingan yang akan digunakan. 1) Proses hidrofusi bahan Sebagian minyak atsiri akan keluar ke permukaan bahan, kemudian karena kondisi panas, minyak atsiri akan menguap yang selanjutnya terbawa aliran uap air. Makin tinggi dan tekanan, makin tinggi pula proses difusi berlangsung.
113 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2) Hidrolisa komponen kimia minyak atsiri Hidrolisa adalah reaksi kimia antara air dan komponen kimia minyak atsiri. Sebagian dari komponen kimia minyak atsiri adalah ester. Pada suhu yang tinggi karena adanya air maka sebagian ester akan berubah menjadi asam dan alkohol. 3) Dekomposisi oleh suhu penyulingan Pada awal pemanasan. Terlebih dahulu akan menguap komponen kimia yang bertitik didih rendah, setelah komponen ini habis menguap secara bertahap, maka akan diikuti oleh komponen kimia yang bertitik didih sedikit lebih tinggi. Proses ini berlanjut sampai komponen titik didih tertinggi juga akan menguap bila kondisi suhu dan tekanan memadai. Karenanya untuk minyak atsiri dengan komponen titik didih tinggi seperti nilam dan kamedangan sebaiknya dilakukan dengan cara penyulingan langsung uap. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat rangkuman perbedaan cara penyulingan pada tabel 3. Tabel 3. Perbedaan metode penyulingan Kriteria Tipe alat Skala usaha Bahan tanaman
Air Sederhana, murah, mudah dipindah Usaha kecil Halus, tidak baik untuk bahan yang larut dalam air
Kondisi bahan
Bubuk halus
Pengisian bahan Difusi
Bahan terendam air Baik jika bahan bergerak bebas
Tekanan uap Suhu ketel Hidrolisa minyak
Sekitar 1 atm Sekitar 100ºC Hidrolisa ester
Efisiensi proses Rendemen
rendah Rendah dan komponen yang bertitik didih tinggi tidak tersuling Baik jika tidak ada kegosongan Sebaiknya dikembalikan ke ketel suling
Mutu minyak Air destilat
Metode Penyulingan Uap Rumit, mahal, susah dipindah besar Untuk biji, akar dan kayu dengan minyak bertitik didih tinggi Bahan seragam, tidak terlalu halus, kayu, akar dan biji Harus homogen Baik jika uap sedikit basah, tidak terlalu panas dan tekanan tidak terlalu tinggi 1-5 atm tergantung bahan Lebih dari 100ºC Hidrolisa relatif kecil
Air + Uap Sederhana, agak mahal, mudah dipindah Kecil-menengah Cocok untuk rerumputan dan dedaunan Bahan seragam, tidak terlalu halus, kayu, akar dan biji Harus homogen baik
tinggi Baik jika tidak terjadi pendinginan yang tinggi
Sekitar 1 atm Sekitar 100ºC Hidrolisa dihambat asal ketel tidak terlalu dingin Agak baik Baik jika bahan dirajang dan isi homogen
Baik jika dilakukan sesuai prosedur dibuang
Baik jika dilakukan sesuai prosedur Dapat dibuang
D. Pengujian Pengujian minyak atsiri perlu dilakukan karena harga minyak sangat bergantung dari mutu yang dihasilkan. Pengujian mencakup sifat fisiko-kimia, kadar bahan utama dan kadar kontaminan yang terdapat di dalam minyak. Penetapan sifat fisiko-kimia mencakup: kadar air, bobot jenis, putaran optik, indeks bias, kelarutan dlam alkohol, titik beku, titik cair, titik didih dan sisa penguapan. Penetapan sifat kimia mencakup : bilangan asam, bilangan ester, bilangan penyabunan, penetapan alkohol, aldehida, keton, fenol, sineol, askaridol, kamfer, metal antaranilat, alil isosianat, asam sianida, dan penetapan bilangan iod. Penetapan komponen utama: untuk minyak kayu putih dan minyak eukaliptus : kadar sineol, untuk minyak cendana kadar santalol; untuk
114 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
minyak nilam kadar patchoully alcohol. Sedangkan untuk minyak gaharu belum ada standar mutu yang dapat dianut. Selain itu, untuk minyak atsiri perlu dideteksi adanya bahan pemalsu yang dapat menambah berat tetapi akan merusak sifat minyak murni. Bahan pemalsu yang sering digunakan antara lain : minyak bumi, minyak lemak, resin, terpinil asetat, terpentin, etil alcohol, metal alcohol dan ester bertitik didih tinggi.
III. BUDIDAYA TANAMAN MINYAK ATSIRI Pembudidayaan tanaman merupakan langkah awal dari perkembangan tanaman. Secara garis besar budidaya tanaman dimulai dari persiapan lahan sampai dengan pemanenan hasil tanaman itu.
Selain itu, masalah budidaya tanaman berkaitan erat dengan jenis tanah,
cuaca/iklim dan curah hujan pada tempat tumbuh, sehingga budidaya tanaman yang satu berbeda dengan yang lainnya tergantung dari persyaratan tumbuh tanaman itu sendiri atau kondisi lingkungan yang spesifik. Budidaya tanaman secara garis besar terdiri dari tahap-tahap kegiatan : 1) pengadaan benih; 2) pengadaan bibit; 3) penanaman dan 4) pemeliharaan dan pemberantasan hama penyakit.
Di bawah ini akan disampaikan beberapa contoh budidaya tanaman yang
menghasilkan minyak atsiri.
A. Nilam Tanaman nilam merupakan salah satu jenis tanaman semak dari famili Labitae. Nilam merupakan tanaman perdu yang rendah dan bercabang-cabang dekat dengan permukaan tanah, tidak mempunyai batang yang tegak, dan termasuk jenis rerumputan. Nama latin jenis nilam yang digunakan dalam penelitian adalah Pogostemon cablin Benth. Tanaman nilam ini masuk ke Indonesia pada tahun 1895, disebut nilam Singapura untuk membedakan nilam yang ada di Jawa. Sampai sekarang jenis nilam ini paling banyak dibudidayakan dan dikenal dengan nilam Aceh (Heyne, 1927). Nilam termasuk dalam tanaman herba semusim .
Tumbuh tegak setinggi 0,5-1 m.
Percabangannya banyak dan bertingkat mengitari batang (3-5 cabang tiap tingkat), dan berbulu. Radius cabang melebar sekitar 60 cm. Batangnya berkayu dan berbentuk segiempat dengan diameter 10-20 cm, berwarna keungu-unguan.
Sedangkan daunnya hijau tersusun dalam
pasangan berlawanan. Berbentuk bulat lonjong, panjang 10 cm, lebar 8 cm, dengan ujung agak meruncing. Tangkai daun sekitar 4 cm berwarna hijau kemerahan. (Suyono, 2001). Sedangkan sifat minyak nilam adalah berat, kental berwarna kuning hingga cokelat tua, serta dapat disuling fraksional menjadi beberapa mutu (Manan, 2002). Untuk pertumbuhan optimal, nilam perlu cukup sinar matahari. Namun bisa tumbuh di tempat yang agak terlindung. Karena itu sangat baik untuk ditanam secara tumpangsari dengan tanaman lain. Kondisi tanah miring ataupun datar tidak menjadi masalah, yang penting tanah subur dan berdrainase baik. Tanaman nilam kurang baik tumbuh di tanah liat, berpasir, dan berkapur. Sedangkan apabila ditanam di tanah tergenang akan memudahkan tanaman nilam diserang cendawan phytoptora. Penyakit dan hama lain yang sering mengganggu diantaranya 115 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
adalah serangga perusak daun, nematoda, penyakit buduk, busuk batang, luka batang, dan gejala defisiensi. Juga terdapatnya ulat pemakan daun, ulat penggulung daun dan belalang (Suyono, 2001). Untuk menghasilkan daun nilam dengan konsentrasi minyak yang tinggi diperlukan sinar matahari yang jatuh secara langsung sekalipun daun nilam menjadi lebih kecil dan tebal, sehingga seakan berfungsi sebagai pelindung akan menghasilkan tanaman nilam yang berdaun hijau, lebar tipis namun kadar minyaknya lebih rendah. Persyaratan agroklimat nilam adalah sebagai berikut : •
Tanah: gembur, banyak mengandung bahan organik, tidak tergenang dan pH 6-7
•
Temperatur : 18-27° C
•
Ketinggian : 100-400 m
•
Curah hujan : 2.300-3.000 mm/tahun
•
Kelembaban : 60-70% Jenis tanaman nilam yang tersebar di Indonesia pada umumnya terdiri dari 3 jenis, yaitu :
1. Pogostemon cablin Benth. Jenis ini berasal dari Filipina, kemudian berkembang ke Malaysia, Madagaskar, Paraguay, Brazilia dan Indonesia. Di Indonesia jenis ini banyak terdapat di Aceh dan Sumatera Utara, sehingga dikenal juga dengan nilam Aceh. Diketahui nilam jenis ini jarang berbunga sehingga memiliki sifat yang diinginkan dalam perdagangan. 2. Pogostemon heyneanus. Jenis ini sering disebut nilam Jawa atau nilam hutan. Jenis ini berasal dari India, banyak dijumpai tumbuh liar di Pulau Jawa. Diketahui nilam ini sering berbunga, sehingga kandungan minyaknya relatif rendah, sehingga jenis ini kurang diminati dan kurang mendapat pasaran di perdagangan. 3. Pogostemon hortensis. Jenis ini sering disebut nilam sabun, karena dapat digunkan untuk mencuci pakaian. Jenis ini banyak dijumpai di Banten, mirip dengan nilam jawa tetapi tidak berbunga.
Kandungan minyak rendah sehingga kurang diminati serta kurang
mendapat pasaran dalam perdagangan.
Budidaya tanaman nilam tidak terlalu sulit. Agar menghasilkan hasil yang optimal, perlu dikelola secara intensif. Tetapi apabila tanaman nilam digunakan sebagai tanaman sela pada sistem tumpang sari, maka faktor yang perlu diperhatikan adalah pada waktu pembibitan, penanaman dan pemeliharaan. 1). Pembibitan dan Penanaman Untuk memperoleh bibit yang baik, dapat diambil dari cabang yang muda dan sudah berkayu serta mempunyai ruas yang pendek. Panjang stek antara 20-30 cm dan mempunyai 3-4 mata ruas. Potongan stek disemaikan pada lahan persemaian yang dekat dengan sumber air, dan tanaman pokok yang telah ditanam dapat berfungsi sebagai pelindung atau naungan (tumpangsari). Tanah persemaian adalah campuran tanah dan pasir dengan perbandingan 2 : 1. Tanah persemaian diberi pupuk kandang atau kompos secara merata. Jarak penanaman stek pada bedeng persemaian adalah 10 x 10 cm dengan posisi miring 45 derajat. Agar tunas muda dapat tumbuh dengan cepat dapat direndam dalam cairan hormon perangsang tumbuhnya akar sebelum 116 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
ditanam.
Pada umur 4-5 minggu tunas dan akar akan tumbuh secara merata dan siap
dipindahkan ke kebun. Untuk dapat memberikan hasil panen terus menerus maka perlu ada jadwal penanaman, sehingga kontinuitas panen dapat dikontrol dan berkesinambungan.
Gambar 1. Budidaya nilam di Ciamis tumpangsari dengan Pinus (Pinus merkusii)
2). Pemeliharaan Setelah 3 minggu kita harus mengecek apakah tunas telah tumbuh dengan baik, dan apabila ada stek yang kurang baik tumbuhnya, dapat diganti dengan menyisipkan stek yang berasal dari pertumbuhan yang baik, sehingga tumbuhnya merata. Pada masa pertumbuhan tanaman nilam membutuhkan air untuk kelembaban tanah terutama pada musim kemarau. Penyiangan diperlukan untuk menjaga kemampuan akar tanaman menyerap unsur hara berjalan secara optimal. Penyiangan gulma perlu dilakukan selain pemupukan dengan dua jenis pupuk (organik dan buatan). Dari hasil pengamatan lapangan gejala awal penyakit terjadi pada umur 30 hari untuk penyakit layu dan 125 hari untuk penyakit budog. Penanggulangan hama dapat dilakukan dengan racun kontak atau jaringan. Tindakan preventif dapat dilakukan dengan perbaikan kultur tekhnis. 3). Pemanenan Tanaman dianggap matang dan siap panen bila sudah berumur 6 bulan atau 5-8 bulan. Tiga bulan kemudian (bulan ke-9), cabang dan anakan baru dipanen kedua kalinya. Periode panen berikutnya setiap selang tiga bulan. Hasil panen dapat mencapai 3,5-4 on apabila kondisi tanah bagus. Pemanenan daun nilam sebaiknya dilakukan pada pagi hari, atau menjelang petang, ketika musim kering.
Maksudnya agar daun mengandung minyak atsiri tinggi (2,5-5%).
Pemetikan daun siang hari menyebabkan daun menjadi kurang elastis dan mudah robek. Juga transpirasi daun lebih cepat sehingga kadar minyak atsiri menjadi berkurang. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kualitas minyak yang ditanam secara tumpangsari tidak jauh berbeda (hampir sama) dengan kualitas minyak yang ditanam secara monokultur. Waktu penyulingan 4 jam telah memberikan kadar PA yang tinggi (34,82%), demikian pula rendemen minyak (daun) (4%).
117 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
B. Cendana Cendana (Santalum album Linn) merupakan spesies asli yang tumbuh di Indonesia, khususnya di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kayu cendana dimanfaatkan antara lain untuk kerajinan, kosmetik, obet-obatan dan digunakan untuk upacara adat atau keagamaan. Sederet multiguna dari cendana menempatkan cendana sebagai komoditi yang sangat mahal sehingga dalam perdagangan satuan yang dipakai adalah satuan berat/kg. Cendana dapat tumbuh pada ketinggian tempat 50-1200 mdpl dengan pertumbuhan yang optimum pada ketinggian 400-800 m, curah hujan 625-1625 mm/th (tipe D-E), dengan suhu 10º C – 35 º C, pada tipe tanah dengan kondisi tanah sarang, baik dengan batuan induk kapur atau vulkanik, warna tanah merah sampai coklat.
Cendana umumnya berbunga dua kali dalam
setahun pada bulai Mei-Juni dan Desember-Januari, sedangkan buah masak pada Maret-April dan September-Oktober dan berbunga pada umur 4 tahun. Benih yang baik diambil dari pohon dan kemudian biji direndam dengan air dingin, diremas-remas hingga daging buah terpisah dari biji, kemudian biji disimpan selama 4-5 hari sampai kadar air 5-8 persen, disimpan dalam wadah yang kedap udara pada suhu 4º C. dengan kondisi seperti itu sampai dengan 1 tahun benih masih bisa berkecambah di atas 50%. 1) Pembibitan dan penanaman Cendana dapat diperbanyak dengan dua cara, yaitu vegetatif dan generatif. Apabila dilakukan secara generatif, maka yang ditanam adalah biji cendana yang mengalami dormansi 1,5-2 bulan. Cara sederhana untuk mempecepat perkecambahan a biji dari dormansi yaitu dengan perendaman biji dalam air selama 12 jam. Kegiatan yang dilakukan dalam pengadaan bibit secara generatif adalah pembuatan persemaian, penaburan benih, penyapihan dan seleksi bibit. Bibit yang baik adalah bibit yang berumur 6-12 bulan, dengan tinggi minimal 30 cm, pangkal batang berwarna coklat sebagai tanda batang tersebut berkayu. Bedengan persemaian berukuran 1 x 5 meter dengan media semai campuran tanah : pasir = 3 : 1. Untuk menambah unsur hara dapat dilakukan pemupukan kandang 5%. Perbanyakan cendana dengan cara vegetatif adalah dengan menggunakan tunas akar dan teknik kultur jaringan. Tunas akar mempunyai tinggi 190 cm, dipotong dari induknya, kemudian dipindah ke polybag dan ditempatkan ke bedeng persemaian pemeliharaan. Hasil penelitian di Lab. Kultur jaringan P3BPTH Yogyakarta hasil rendaman kurang lebih 1 bulan sudah diperoleh trubusan 339 tunas dari 38 cabang yang direndam yang siap pakai sebagai eksplan dan 54% diantaranya sesuai untuk eksplan, bahkan dengan pemberian hormone NAA 0,01 mg/l dapat menginduksi eksplan sampai dengan 100%. Penanaman cendana sebaiknya dilakukan pada awal musim hujan.
Karena cendana
merupakan tanaman semi parasit, maka memerlukan umbuhan inang di lapangan. Tanaman inang yang biasa digunakan adalah Acacia villosa, Leucaena leucocephala, Seisbania grandiflora, Casia siamea, Casuarina junghuhniana, Paraserianthes falcataria. penanaman, cendana memerlukan naungan sampai dengan umur 2 tahun.
Pada awal
Cendana dapat
ditanam secara tumpang sari dengan tanaman pertanian seperti jagung dan kacang-kacangan sebagai tanaman sela. 118 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2) Pemeliharaan Pada umur tanaman 2 tahun, maka perlu dilakukan penyulaman. Pembebasan tanaman pokok dari pohon inang harus dilakukan apabila tajuk sudah saling bersinggungan dengan tanaman pokok. Selain itu harus diperhatikan pula pemberantasan hama penyakit yang biasa menyerang cendana, yaitu : kutu sisik, ulat daun, jamur jelaga dan ulat. 3) Pemanenan Cendana termasuk tumbuhan yang lambat pertumbuhannya. Riap keliling mencapai 1-5 cm per tahun. Pembentukkan kayu teras paling prima saat mencapai umur 30-60 tahun. Dengan daur 50-60 tahun, kayu teras yang terbentuk tiap pohon mencapai 50-60 kg dari batang dan cabang utama sedangkan dari akar mencapai 100 kg, atau 100-200 kg per pohon. Produksi kayu teras dengan daur 50 tahun, jarak tanam 3m x 3m (1 ha terdapat kurang lebih 1000 pohon, dimana 1 pohon menghasilkan kurang lebih 100 kg), potensi mencapai 100 ton/ha. Nilai ekonomi tertinggi dari tanaman cendana adalah pada kayu dan minyak atsirinya. Mutu kayu cendana sangat ditentukan oleh kandungan minyaknya.
Minyak cendana yang
beraroma sangat wangi terutama dihasilkan dari daun dan batang melalui proses penyulingan. Rendemen minyak atsiri yang dihasilkan berkisar antara 3-5% dari bahan baku. Didalam dunia perdagangan, minyak cendana yang dapat diterima di dalam perniagaan internasional adalah yang memiliki kandungan santalol lebih besar dari 90%. Patokan mutu yang direkomendasikan oleh EAO adalah sebagai berikut : •
warna, penampilan, bau : cairan agak pekat dengan warna kuning pucat, bau wangi kuat, tahan lama dan berciri ketimuran.
•
Berat jenis pada 25ºC : 0,965 – 0,980
•
Putaran optic : (-15) – (-20)ºC
•
Indeks refraksi pada 20ºC : 1,5 – 1,51
•
Kandungan santalol : min 90%
•
Kelarutan dalam alcohol 70% : larut dalam 5 volume.
Untuk menjaga mutunya, sebaiknya minyak cendana dikemas dalam botol kaca atau drum alumunium foil.
IV. PENUTUP Metode penyulingan yang digunakan tergantung dari bahan tanaman yang akan diambil minyak atsirinya, apakah termasuk bahan yang bertitik didih rendah atau tinggi. Sehingga akan meningkatkan efisiensi waktu dan biaya penyulingan dan meningkatkan rendemen dan mutu minyak atsiri yang dihasilkan. Budidaya tanaman penghasil minyak atsiri tergantung dari jenis tanaman itu sendiri. Setiap jenis tanaman memiliki budidaya yang berbeda-beda tergantung pula dari tempat tumbuh dan kondisi iklim serta jenis tanahnya.
DAFTAR PUSTAKA Andria, A. 2000. Minyak atsiri tumbuhan tropika Indonesia. Penerbit ITB. Bandung Anonim. 2003. Budidaya cendana. Badan Litbang kehutanan. Jakarta 119 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Guenther, E. 1949. The Essential Oils. D. Van Nostrand, New York. Ketaren, S. 2004. Kondisi minyak atsiri Indonesia saat ini dan pengembangannya ditinjau dari aspek teknologi. Makalah pada Seminar sehari minyak atsiri. Balai Besar Industri Agro. Bogor Lutony, TL dan Y. Rahmayati. 2002. Produksi dan perdagangan minyak atsiri. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Sumadiwangsa, E.S; E. Endriana dan E. Dahlian. 2006. Teknik penyulingan kemedangan. Makalah. Tidak dipublikasikan. Suyono, H.A. 2001. Nilam, Tanaman Semak Pencetak Dolar. Intisari, September 2001 Winarni, I dan Gusmailina. 2003. Pengolahan daun nilam (Pogostemon cablin Benth) Hasil Tumpangsari Tanaman Kehutanan Pinus (Pinus merkusii) di Ciamis. Prosiding Mapeki. Padang
120 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
DIVERSIFIKASI PRODUK KEMIRI DI KABUPATEN ENDE Oleh : Rahman Kurniadi
ABTRAK Tanaman kemiri (Aleurites moluccana Wild) disamping bermanfaat untuk lingkungan, juga menghasilkan berbagai produk yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Buah kemiri sangat bermanfaat untuk memperbaiki rasa makanan. Buah kemiri mngandung minyak yang sering digunakan untuk industri kosmetik dan makanan. Saat ini pengusahaan kemiri di Kabupaten Ende baru dalam bentuk kemiri utuh, kemiri isi, dan pemanfaatan kayu kemiri. Sedangkan produk-produk lainnya seperti minyak kemiri, arang, arang aktif, dan destilat belum diusahakan. Di Kabupaten Ende terdapat peluang untuk dilakukan diversifikasi produk kemiri yang dapat menghasilkan nilai tambah (Added value), memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Diversifikasi produk kemiri yang paling mungkin adalah pemecahan kemiri isi, pembuatan minyak kemiri, pembuatan arang dan pembuatan briket arang. Kata Kunci: Diversifikasi, kemiri, nilai tambah. I.PENDAHULUAN Kemiri merupakan hasil hutan non kayu yang sangat potensial dikembangkan di Kabupaten Ende. Pada tahun 2001 tercatat 1439 ha tanaman kemiri di Kabupaten Ende (Dinas kehutanan Kabupaten Ende ,2002). Tanaman Kemiri tersebut tersebar di kawasan hutan dan di lahan-lahan penduduk. Tanaman kemiri merupakan hasil budidaya masyarakat setempat. Tanaman kemiri menghasilkan buah kemiri . Buah kemiri sangat umum digunakan sebagai bumbu masak. Dari buah kemiri dapat dihasilkan minyak kemiri yang sangat berguna bagi industri kosmetik, shampo, dan makanan. Minyak kemiri mengandung senyawa yang dapat menyuburkan rambut dan memperbaiki rasa makanan. Adanya berbagai manfaat tersebut menyebabkan kemiri sangat disenangi penduduk setempat sebagai tanaman budidaya. Disamping itu pemerintah Daerah setempat juga pernah memanfaatkan tanaman kemiri sebagai tanaman penghijauan. Oleh karena itu tanaman kemiri tersebar di seluruh kecamatan di kabupaten Ende. Menurut Darmawan, 2006 manfaat kemiri dapat berupa : Arang (energi), Arang aktif, Perbaikan sifat tanah, Destilat (wood vinegar), Briket arang. Sesuai dengan teknologi yang dimilikinya, saat ini masyarakat Ende baru mengusahakan kemiri dalam bentuk kayu kemiri, kemiri utuh dan kemiri isi. Sedangkan
produk-produk
lainya seperti arang tempurung kemiri, arang aktif, dan minyak kemiri belum dapat diusahakan secara optimal.
Diversifikasi produk merupakan peluang bagi petani dan pengusaha untuk
memperoleh nilai tambah.
Apabila masyarakat Kabupaten Ende dapat memperoleh peluang
tersebut maka dapat diperoleh nilai tambah, memperluas lapangan kerja, dan memperbaiki kesejahteraan penduduk.
II.METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat eksploratif. Sebagian besar data diperoleh dari data sekunder dan hasilhasil penelitian sebelumnya. Data diolah secara deskriptif dengan mempertimbangkan semua peluang untuk memperoleh nilai tambah. 121 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
III. HASIL PENELITIAN A.
Deskripsi Kemiri Kemiri (Aleurites moluccana L. Wild) merupakan jenis pohon yang sudah cukup dikenal
baik oleh masyarakat umum maupun oleh kalangan kehutanan. Tanaman ini mudah ditanam, cepat tumbuh dan tidak begitu banyak menuntut persyaratan tumbuh sehingga dalam perkembangannya
tanaman
kemiri
sudah
direkomendasikan
sebagai
tanaman
penghijauan/roboisasi maupun sebagai jenis tanaman HTI. (Akhmad, 2000). Kemiri sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. tiap 100 gr Kemiri mengandung 20, 64 gr lemak, 8,6 gr karbohidrat, 3,5 gr abu, 86 gr kalsium, 2,5 gr pospor , 2,2 gr besi dan 0,06 gr thiamin. Dalam pengobatan cina, kemiri digunakan untuk obat perangsang, pencahar,dan penyegar. Kemiri juga digunakan untuk perlakuan pada penderita asma, luka, tumor dan maslah rahim. Juga dikembangkan untuk obat sariawan. Kemiri isi digunakan untuk demam, sakit kepala. Biji kemiri dibakar dan digabung dengan arang digunakan untuk pengobatan sembelit. Sedangkan minyaknya sering digunakan untuk pegal linu. (Parziale, Ernestina, 2005) Tanaman kemiri yang termasuk kedalam Dicotyledone mempunyai akar tunggang yang cukup jauh masuk kedalam tanah, disamping sistem perakarannya yang kompak yang terdiri dari akar cabang primer dan sekunder, akar lateral dan lain sebagainya. Dengan sistem perakaran tersebut tanaman ini dapat menjadi tahan terhadap kekeringan dan dapat tumbuh dengan baik pada daerah tandus disamping mempunyai pertumbuhan tajuk yang cepat sehingga cocok dijadikan tanaman pengendalian lahan kritis (Damanik, 1999) baik untuk reboisasi, penghijauan dan tempat berlindung ternak pada daerah penggembalaan. Jenis ini
dapat tumbuh mulai dari
dataran rendah hingga dataran tinggi/pegunungan (0 - 1.200 m dpl). (Darmawan, 2002) B.Keadaan Umum Kab. Ende
Kabupaten ende terletak di Pulau Flores. Tanahnya relatif subur yang disebabkan adanya pegunungan Kelimutu yang bersifat vulkanik. Ketinggian kabupaten Ende Bervariasi dari 0 sampai dengan 1000 m dpl. Ketinggian tempat Kabupaten Ende disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Ketinggian Kab. Ngada dan Ende (m dpl) No.
Ketinggian (m dpl)
1. 0 – 250 2. 251 – 500 3. 501 – 750 4. 751 – 1000 5. > 1000 Sumber : Darmawan, 2002
Ende (%) 30,72 34,84 15,86 10,75 7,83
Kabupaten Ende terletak pada daerah pengunungan dengan kemiringan lahan yang cukup terjal yaitu sebanyak 71,54 % daerahnya berada pada kemiringan lebih besar dari 40 %, 19,59 % pada kemiringan
12 – 40 %, 5,85 % pada kemiringan 3 – 12 % dan sebagian kecil saja pada
kemiringan 0 – 3 % yaitu sebesar 3,02 %. Luasnya daerah pada kemiringan lebih dari 40 % yang
122 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
merupakan suatu ancaman terhadap terjadinya bencana alam seperti tanah longsor disamping juga menyebabkan terbatasnya lahan untuk bertani. Sebagai langkah awal penyelamatan rawan bencana alam tersebut maka pemerintah dimulai dari tahun 1978 telah mencanangkan gerakan penghijauan atau reboisasi. Jenis tanaman pohon yang dominan ditanam adalah pohon kemiri sehingga keberadaannya hingga saat ini terapat dalam jumlah yang cukup besar dan tersebar bahkan disepanjang daratan Flores umumnya (Darmawan, 2002). Kabupaten Ende cocok untuk pengembangan kemiri.
Pada Tabel 2 disajikan
produktivitas kemiri . Tabel 2. Potensi kemiri di Kabupaten Ende per kecamatan tahun 2001 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Kecamatan Ende Ende Selatan Ndona Nangapanda Detusoko Wewaria Wolowaru Lio Timur Wolojita Kota Baru Maurole Maukaro P. Ende Jumlah
Luas (Ha) BM SM 71 462 23 124 165 587 269 596 493 1.005 20 54 86 804 167 116 27 21 24 232 68 662 26 51 0 0 1.439 4.714
Jumlah Pohon BM SM 7.049 46.227 2.300 12.401 16.544 58.696 26.885 59.578 49.252 100.485 2.030 5.377 8.612 80.415 16.682 11.577 2.650 2.110 2.413 23.234 6.843 66.237 2.616 5.103 0 0 143.876 471.440
Produksi (Ton) 335,15 89,91 425,55 431,94 728,52 38,98 583,01 83,93 15,30 168,45 480,22 37,00 0,00 3.417,94
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Ende, 2001
C.Pola pengusahaan kemiri di Kabupaten Ende Pengusahaan kemiri
sangat tergantung kepada modal dan teknologi yang dimiliki.
Kemiri dijual ke pasaran dapat dalam bentuk kemiri utuh atau kemiri isi. Petani dapat menjual langsung kemiri utuh ke pasar. Sementara itu sebagian petani lainnya lebih memilih menjual kemiri isi. Petani yang menjual kemiri isi memperoleh nilai tambah (added value) dari kegiatan pemecahan kemiri. Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar masyarakat di kabupaten Ende terfokus pada pengusahaan kemiri isi.
Kemiri isi dihasilkan dengan cara memecahkan
tempurung kemiri dan mengambil isinya. Umumnya pemecahan tempurung kemiri dilakukan secara tradisional dengan menggunakan palu. Para petani langsung menjual kemiri isi tersebut ke pasar atau ke pedagang perantara. Oleh para pedagang perantara kemiri isi tersebut dijual ke luar daerah. Umumnya tujuan utama penjualan kemiri isi ke Surabaya. Pada saat musim panen kemiri, para pedagang perantara berusaha memperoleh kemiri dengan cara mendatangi langsung kepada petani. Para pedagang perantara tersebut membeli kemiri isi.
Namun demikian tidak jarang mereka membeli kemiri utuh. Oleh karena itu para
petani tidak memperoleh nilai tambah.
D.Peluang memperoleh nilai tambah (added value) Nilai tambah
merupakan nilai ekonomi yang diperoleh dari kegiatan
pengubahan
produk. Nilai tambah dapat diperoleh dari :
123 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
°
Pemecahan kemiri
°
Pembuatan arang
°
Pembuatan arang aktif
°
Pembuatan destilat
°
Penjualan kayu kemiri
1.Pemecahan Kemiri Meskipun telah ditemukan teknologi untuk memperoleh nilai tambah, namun saat ini sebagian besar petani lebih suka menjual kemiri utuh atau kemiri isi kepedagang perantara. Padahal hanya dengan mengubah kemiri utauh menjadi kemiri isi, petani tersebut memperoleh nilai tambah. Nilai tambah yang diperoleh umumnya dalam bentuk penyerapan biaya tenaga kerja oleh masyarakat setempat. Menurut Darmawan (2006) harga kemiri utuk berkisar antara 10001500 per Kg, sedangkan harga kemiri isi
antara Rp.10.000 -15.000 per Kg.
Kegiatan
masyarakat yang mengubah kemiri utuh menjadi kemiri isi memberikan nilai tambah antara Rp.8500- 14.000 per kg. Pembuatan arang merupakan proses produksi sederhana yang dapat dilakukan oleh petani. Alat-alat pembuat arang dengan mudah dapat dibuat oleh petani. Umumnya petani tersebut telah mengetahui cara pembuatan arang. Namun demikian sampai saat ini masih banyak limbah tempurung kemiri yang dibuang. Pembuatan arang aktif memerlukan teknologi yang lebih kompleks. Arang aktif dibuat dari arang. Proses pembuatan arang aktif dilakukan dengan cara memperbesar luas permukaan arang dan membuang hidrokarbon di permukaan arang sehingga pori-porinya terbuka. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan bahan kimia dan uap panas. Teknologi pembuatan arang aktif belum ada di kabupaten Ende. Pembuatan arang aktif sering dilakukan di negara maju seperti Jepang. Selanjutnya negara tersebut menjualnya ke negara-negara lain.
Arang aktif sering digunakan untuk penjernih air, penjernih minyak,
penyerap gas, memperbaiki sifat tanah dan pembuatan kompos arang aktif. Negara pembuatan arang aktif tersebut memperoleh nilai tambah dari kegiatan tersebut. Sedangkan masyarakat Ende belum dapat memanfaatkan peluang tersebut. Pada saat pembuatan arang, dihasilkan asap yang mengandung komponen kimia yang berguna seperti asam asetat (cuka), methanol, fenol, gas hidrogen, metana dan sebagainya. Asap tersebut dapat dikumpulkan dan selanjutnya diembunkan dalam bentuk cair (destilat). Cairan tersebut dapat digunakan untuk membasmi bakteri tertentu (Pseudomonas solanacearum), jamur tertentu (Scierotium folsi) dan menyuburkan tanah (Roliendi et al, 2001 dalam Darmawan, 2006). Teknologi pembuatan destilat pada pembuatan arang belum dapat dilakukan oleh masyarakat Ende, bahkan di Indonesia pun jarang dilakukan.
2.Pembuatan Minyak kemiri Kemiri isi dapat diperas untuk menghasilkan minyak kemiri. Proses pembuatan minyak kemiri dapat dilakukan dengan mesin yang sangat sederhana maupun dengan mesin modern.
124 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Saat ini para petani di Kabupaten Ende belum mengusahakan minyak kemiri secara optimal.
Salah satu alasaanya adalah belum adanya pangsa pasar yang jelas untuk penjualan
minyak kemiri. Sementara itu dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar para pengusaha belum tertarik untuk mendirikan industri minyak kemiri di Kabupaten Ende. Disamping pangsa pasar minyak kemiri di ende belum jelas, para pengusaha tidak tertarik untuk mendirikan industri minyak kemiri karena tanaman kemiri di Kabupaten Ende tersebar secara sporadis sehingga diperlukan biaya angkutan cukup besar untuk mengumpulkan buah kemiri.
Berikut ini hasil analisis Finansial yang dilakukan oleh
Darmawan et al (2002).
Dengan berbagai asumsi yang ada pengusahaan minyak kemiri layak secara finansial. Perhitungan analisis finansial terdiri dari biaya-biaya investasi, biaya tetap, biaya variabel, pengembalian kredit dan hasil penjualan. Industri pembuatan minyak kemiri ini diasumsikan beroperasi selam 7 tahun dengan kapasitas produksi 400 kg/hari, rendemen 35% sesuai dengan spesifikasi mesin tipe mekanis ulir kontinyu. Harga kemiri isi Rp. 6.500,- per kg dan harga jual minyak kemiri Rp. 28.000,- per kg. Modal usaha pendirian industri minyak kemiri terdiri dari modal sendiri sebesar 35% dan pinjaman modal (kredit) 65% dengan bunga sebesar 16% dan jangka waktu pengembalian 7 tahun. Data-data mengenai biaya dan lain-lain secara lengkap disajikan pada Lampiran. Analisis finansial dinilai berdasarkan NPV, B/C, IRR dan payback period. Selanjutnya dilakukan analisis kepakaan terhadap keadaan normal yang tetah ditetapkan. Dalam kenyataannya dilapangan sering terjadi hal-hal yang berada diluar perhitungan seperti adanya kenaikan harga bahan baku, penurunan harga jual serta penurunan produksi.
Sehubungan
dengan hal tersebut maka akan dilakukan analisis kepekaan terhadap empat kemungkinan yaitu penurunan harga jual minyak kemiri sebesar 15%, kenaikan harga kemiri isi 25%, penurunan produksi menjadi 60% serta kombinasi penurunan harga jual minyak kemiri dan kenaikan harga kemiri ini masing-masing sebesar 10%. Tabel 3. Analisis Finansial Pengusahaan Minyak Kemiri No. Keadaan NPV B/C 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
IRR
Payback Priod 8 bln 2 thn 7 bln 3 thn 6 bln 1 thn 6 bln 3 thn 7 bln
Normal 1.827.392.985 1,210 62,88 Harga M. Kemiri turun 15% 248.461.785 1,029 37,14 Harga M. Kemiri turun 20% -277.848.615 0,968 Harga kemiri isi naik 25% 81.975842 1,008 24,94 Harga kemiri isi naik 30% - 267.107.586 0,975 Produsi turun menjadi 60% 652.391.591 1,115 50,95 76.605.328 1,008 Harga M. Kemiri turun 10% 24,41 Harga kemiri isi naik 10% Sumber : Darmawan, 2002 Berdasarkan hasil perhitungan seperti tercantum pada Tabel diatas memperlihatkan bahwa pengusahaan minyak kemiri dalam keaaan normal sangat menguntungkan begitu juga dengan beberapa analisis kepakaan dimana walaupun terjadi secera terpisah terjadi penurunan harga minyak kemiri sebesar 20%, kenaikan harga kemiri isi 25% dan produksi turun menjadi 60% masih tetap menguntungkan begitu pula dengan penurunan harga minyak kemiri dan 125 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
kenaikan kemiri isi secara bersamaan masih tetap menguntungkan. Namun pada hasil analisis kepekaan lainnya yaitu bila secara terpisah terjadi penurunan harga minyak kemiri sebesar 20% dan kenaikan kemiri isi 30%, pengusahaan minyak kemiri sudah tidak menguntungkan lagi. Namun kendala yang perlu segera ditangani adalah mencari pemasaran atau pembeli minyak kemiri sehingga produk yang dihasilkan dapat dijual secara kontinyu.
3.Pembuatan Arang Untuk menambah pendapatan para petani, dari tempurung kemiri dapat dibuat arang. Tempurung kemiri yang merupakan limbah hasil pemecahan buah kemiri dapat dijadikan arang. Arang dapat diproduksi dengan alat yang sangat sederhana. Para petani di desa-desa dapat menggunakan alat tersebut untuk pembuatan arang kemiri. Bahkan para petani dapat membuat sendiri alat pembuat arang.Arang dapat dengan mudah dibuat oleh para petani. Alat pembuatan arang cukup menggunakan drum. Tempurung buah kemiri sangat keras. Hal ini menunjukan adanya kadar lignin yang tinggi. Oleh karena itu tempurung kemiri sangat baik digunakan untuk pembuatan arang. Arang merupakan sumber energi alternatif yang dapat menggantikan minyak tanah untuk keperluan energi rumah tangga. Saat ini masyarakat telah mampu membuat arang dari tempurung kemiri. Baik secara tradisional maupun dengan menggunakan peralatan terbaru. Pada gambar 1 dan 2. Disajikan alat pembuat arang yang dikembangkan Badan Litbang Kehutanan. Alat ini merupakan modifikasi alat pembuat arang tradisional.
126 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Penutup lubang Tutup corong asap
30
Corong Penutup drum
Lubang Udara
90 cm
Lubang 10 – 15 cm
bawah drum (tipe II)
Penampang
Gambar 1. Alat Pembuat arang Tipe Kiln Drum Sumber : Darmawan, 2003
127 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
75
90
Ø 35 cm
Ø 55
70
Tinggi pengarangan
Luas pengarangan
125 cm 100
30 cm 150
cm
cm
Gambar 2. Alat Pembuat arang Tipe Kiln Sumber : Darmawan, 2003
4.Pembuatan Briket arang Untuk mengubah penampilan arang yang lebih baik, arang dapat dikempa dan dijadikan briket arang.
Dengan cara demikian penampilan arang lebih baik dan ukuranya menjadi
seragam. briket arang sangat cocok untuk masyarakat perkotaan yang memerlukan energi secara praktis. penampilan arang yang lebih baik tersebut menyebabkan briket arang dapat dijual di pasar swalayan. Penggunaaan briket arang sangat cocok untuk tungku hemat energi. saat ini telah ada tungku hemat energi yang bahan bakarnya briket arang. Sementara itu para ahli teknik terus berusaha untuk menyempurnakan tungku tersebut sehingga lebih praktis dan memmerlukan briket arang yang lebih sedikit. Harga briket arang pun diupayakan dapat bersaing dengan harga minyak tanah untuk jumlah energi kalor yang sama.
128 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Gambar 3. Tungku hemat energi Sumber : Darmawan, 2003 5.Pembuatan Arang aktif Arang aktif sering digunakan pada industri-industri modern sebagai penyaring produk industri atau sebagai bahan baku obat penyerap racun. Arang aktif digunakan untuk penjernih air, penjernih minyak, obat keracunan makanan, dan untuk memperbaiki sifat tanah. Arang aktif dapat dijual ke luar negeri yang membutuhkannya dalam jumlah besar seperti negara jepang. Arang aktif dapat dibuat dari arang tempurung kemiri.
Arang aktif dibuat dengan
bantuan bahan kimia dan uap panas yang bertujuan membersihkan permukaan arang dari hidrokarbon dan memperbesar luas permukaan arang sehingga daya serapnya tinggi. Adanya pasar arang aktif diatas merupakan peluang pemanfataan tempurung kemiri. Namun demikian petani di Kabupaten Ende saat ini belum dapat memanfaatkan peluang tersebut. Tempurung kemiri di daerah tersebut umumnya terbuang sebagai limbah.
6.Pembuatan Destilat Pada saat pembuatan arang, dihasilkan asapa yang mengandung komponen kimia yang begruna seperti asam asetat (cuka), methanol, fenol, gas hidrogen, metana dan sebagainya. Asap tersebut dikumpulkan dans elanjutnya diembunkan dalam bentuk cair (destilat). Cairan tersebut dapat digunakan untuk membasmi bakteri tertentu (Pseudomonas solanacearum), jamur tertentu (Scierotium folsi) dan menyuburkan tanah (Roliendi et,all, 2001 dalam Darmawan 2006). Teknologi pembuatan destilat pada pembuatan arang belum dapat dilakukan masyarakat Ende, bahkan di Indonesia [un jarang dilakukan. Alat untuk membuat destilat dari darang dapat dilakukan dengan sederhana denga cara memodifikasi alat pembuat arang Kiln Drum. Cerobong asapnya tidak diarahkan keudara bebas tapi disalurkan ke alat penyuling (destilasi). Dengan biaya kira0kira Rp. 5.000.000,- dapat dibuat alat pembuat arang sekaligus menghasilkan destilat. Bahan yang digunakan dapat berupa aluminium atau stainles stell yang dapat tahan hingga 5 tahun. Selama ini belum ada riset untuk
129 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
menjawab beberapa kg tempurung kemiri yang diperlukan untuk menghasilkan 1kg destilat arang sehingga belum dapat dihitung berapa nilai tambahnya, 7.Penjualan Kayu kemiri Dari Hasil pengamatan di Kabupaten Ende, masyarakat setempat telah memanfaatkan kayu kemiri. Kayu kemiri diperoleh dari hasil penebangan pohon kemiri yang sudah tua dan tidak lagi menghasilkan buah.
Kayu kemiri tersebut umumnya digunakan sebagai papan cor
bangunan. Para petani memnjualnya ke pedagang kayu. Para pedagang kayu menjualnya kepada konsumen dengan harga Rp. 10.000 untuk papan kemiri yang berukurang 400 cm X 20 cm X 2 cm. Adanya perdagangan kayu kemiri merupakan peluang bagi masyarakat untuk memnfaatkan tanman kemiri.
Perdagangan kayu tersebut menambah keuntungan bagi
masyarakat yang membudidayakan tanaman kemiri.
Keuntungan budidaya tanaman kemiri
dapat diperoleh dari buah dan kayunya.
E.Permasalahan diversifikasi produk kemiri 1.Minat pengusaha Para pengusaha di kabupaten Ende lebih suka menjadi penjual kemiri isi atau kemiri utuh daripada menjual minyak kemiri atau arang kemiri. Para pengusaha tidak mau mengambil risiko untuk mencoba menjual produk-produk lain yang dihasilkan dari kemiri.
Menurut para
pengusaha, menjual kemiri isi atau kemiri utuh jauh lebih mudah daripada menjual minyak kemiri. Keuntungannya pun dengan segera dapat diperoleh tanpa mengubah produk tersebut. Selain itu tidak ada lagi biaya yang harus dikeluarkan selain biaya angkutan untuk mencapai konsumen. Adanya minat pengusaha yang rendah untuk memasarkan produk lain dari kemiri menyebabkan perkembangan pengusahaan kemiri stagnasi.
Dari tahun ke tahun produk yang
dijual sebatas kemiri isi. Para pengusaha yang terlibat dalam bisnis tersebut pun terkesan tetap. Jarang terjadi adanya pemain-pemain baru dalam perdagangan buah kemiri.
2.Pasar domestik Produk-produk yang berasal dari buah kemiri umumnya dijual ke luar pulau. Permintaan buah kemiri untuk pasar domestik sangat rendah. Para petani yang menjual buah kemiri di pasar domestik umumnya dalam bentuk kemiri isi.
Hal tersebut dikarenakan konsumen pasar
domestik Kabupaten Ende umumnya para pedagang perantara. Para pedagang perantar tersebut membeli kemiri isi kepada petani dan menjualnya ke luar pulau. Sangat jarang para petani menjualnya kepada konsumen secara langsung. Pasar domestik umumnya hanya menerima kemiri isi. Sangat jarang permintaan untuk jenis-jenis produk lain seprti minyak kemiri dan arang. Oleh karena itu para petani tidak termotivasi untuk mengadakan diversifikasi produk kemiri.
130 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
3.Teknologi diversifikasi produk Produksi buah kemiri yang sangat terbatas di tiap lokasi, jarak yang berjauhan serta pola pengusahaan masyarakat yang sangat sederhana menyebabkan sulitnya mengembangkan teknologi yang cocok untuk masyarakat setempat.
Saat ini terdapat mesin-mesin yang
berkapasitas sangat besar sehingga tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Para petani lebih suka menggunakan alat -alat tradisonal daripada menggunakan mesin-mesin berteknologi tinggi. Pada skala kecil alat-alat tradisonal tersebut lebih efesien. Beberapa
teknologi diversifikasi produk kemiri hanya dimiliki negara-negara maju.
Produk tersebut umumnya arang aktif dan destilat. Masyarakat Kabupaten Ende belum dapat mengembangkan teknologi tersebut. Selain biayanya cukup tinggi, masyarakat setempat belum berpengalaman untuk memasarkan produk tersebut. F.Upaya Diversifikasi produk 1.Mencari pasar Para pengusaha yang berminat melakukan diversifikasi produk kemiri terlebih dahulu harus mencari pasar guna pemasaran produk tersebut. Produk yang belum banyak ditawarkan ke pasar antara lain :Arang; Briket arang; Arang aktif; Destilat; Minyak kemiri. Biaya pembuatan industri arang dan briket arang tidak terlalu besar. Sehingga risiko pengusaha untuk pembuatan arang dan briket arang sangat kecil. Oleh karena itu para pengusaha tinggal mencari pasar guna pemasaran produk mereka.
2.Mendirikan Industri Pasar yang terbuka lebar merupakan kesempatan bagi pengusaha untuk memasok kebutuhan pasar tersebut. Perhitungan matang sangat diperlukan sebelum membangun industri tersebut Untuk pembuatan arang dan briket arang dari tempurung kemiri biaya pembangunan industrinya cukup murah sehingga yang paling utama perlu dilakukan adalah mencari pasar guna pemasaran arang dan briket arang dari tempurung kemiri. Biaya pembangunan industri minyak kemiri cukup
besar.
Oleh karena itu perlu
perhitungan yang sangat cermat. Para pengusaha harus dapat memasarkan produk minyak kemiri yang akan mereka hasilkan. Apabila kelak para pengusaha dapat memasarkan minyak kemiri yang mereka hasilkan, maka pendirian industri minyak kemiri merupakan keputusan yang tepat.
III.KESIMPULAN Diversifikasi produk kemiri merupakan upaya untuk menambah keuntungan dari budidaya kemiri. Diversifikasi produk tersebut disamping menambah keuntungan (Added Value) juga menambah kesempatan kerja bagi masyarakat setempat. Kemiri memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi produk-produk tambahan. Produk yang berpeluang yang sangat besar untuk dikembangkan antara lain industri minyak kemiri, industri arang aktif, dan industri kayu kemiri. Ketiga industri tersebut dapat menyerap
131 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
tenaga kerja yang sangat besar.
Terobosan-terobosan baru sangat diperlukan untuk
mengembangkan industri tersebut yang saat ini belum ada kemajuan. Memperoleh nilai tambah dari produk kemiri merupakan tantangan bagi masyarakat Ende khususnya dan bagi masyarakat Indonesia umumnya. keberhasilan menghadapi
tantangan
tersebut cerminan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada pada masyarakat tersebut. DAFTAR PUSTAKA Akhmad, Choirul. 2000. Kajian pengembangan hutan kemiri rakyat di propinsi NTT. Balai Litbang Kehutanan Bali Dan Nusa Tenggara. Tidak diterbitkan Darmawan S. dan Rahman Kurniadi.2002. Studi pengusahaan kemiri di Flores, NTT dan lombok, NTB. Balai Litbang Kehutanan Bali Dan Nusa Tenggara. Tidak diterbitkan Darmawan,S., Gustan Pari, Djeni Hendra. 2002. Teknik pembuatan kiln, tungku dan briket arang. Balai Litbang kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang Darmawan, S. 2006. Ragam manfaat kemiri. Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi.Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Parziale, Ernestina. 2005. Candlenut. www.earthnoted. tripod.com
132 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
MAKALAH PENUNJANG
133 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
TEKNIK PENANAMAN TANAMAN INANG KUTU LAK DI SUMBA TIMUR7 Oleh : Sujarwo Sujatmoko8
Abstrak Penelitian teknik penanaman tanaman inang kutu lak di Sumba Timur Telah dilakukan untuk menemukan teknik penanaman tanaman inang kutu lak jenis kesambi (Schleichera oleosa Merr.) sebagai tanaman inang kutu lak yang terbaik. Tanaman inang kutu lak ditanam dengan mengaplikasikan perlakuan pemberian media absorber berupa batu pu’da dan perlakuan adaptasi pada bibit sebelum penanaman. Hasil penelitian menunjukan bahwa pada lokasi punggungan, tanaman yang diberikan bahan absorber memiliki persen tumbuh 90 % dan tinggi rata-rata 39.3 cm, sedangkan yang tidak diberikan absorber meiliki persen tumbuh 86% dan 47.4 cm. Tanaman yang diberikan perlakuan adaptasi memiliki persen tumbuh 91% dan tinggi rata-rata 38,5 cm. Sedangkan tanaman yang tidak diberi perlakuan adaptasi memiliki persen tumbuh 80% dan tinggi rata-rata 29,6 cm. Pada lokasi lereng bukit, tanaman yang diberikan media absorber memiliki persen tumbuh 80% dan tinggi rata-rata 39.6 cm, sedangkan tanaman yang tidak diberikan absorber memiliki persen tumbuh 77% dan tinggi rata-rata 42.4 cm. Tanaman yang diberikan perlakuan adaptasi memiliki persen tumbuh 91% dan tinggi rata-rata 38,5 cm, sedangkan tanaman yang tidak diberi perlakuan adaptasi memiliki persen tumbuh 82% dan tinggi rata-rata 28,6 cm. Kata kunci : Tanaman inang kutu lak, absorber, adaptasi,penanaman I.
PENDAHULUAN Hasil hutan non kayu merupakan komoditi yang memberikan kontribusi besar pada
pendapatan asli daerah Nusa Tenggara Timur. Lak merupakan salah satu komoditi hasil hutan non kayu yang tergolong komoditi lokal spesifik NTT yang memiliki peluang pemasaran cerah serta potensial untuk dikembangkan pengusahaannya. Budi daya kutu lak di daerah ini terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun. Di Kabupaten Sumba Timur misalnya, produksi lak sampai dengan bulan November tahun 2005 meningkat 3 kali lipat dibandingkan produksi lak tahun 2004 (Sujatmoko, 2005). Penanaman kutu lak terdiri dari dua kegiatan pokok yaitu penyiapan pohon inang dan pelaksanaan penanaman kutu lak itu sendiri. Kegiatan penyiapan pohon inang meliputi kegiatan dalam menyiapkan tanaman inang sebagai tempat hidup dan persediaan makanan kutu lak dan penanaman kutu lak itu sendiri (Wiyono,2002). Jenis pohon yang memenuhi persyaratan dan terbukti mampu ditulari dan tertulari oleh kutu lak di Sumba Timur adalah kesambi (Schleichera oleosa), Bidara atau disebut juga Kom (Zizypus jujuba) dan Beringin (Ficus sp). Selain itu masyarakat juga mulai melakukan budidaya kutu lak pada kaliandra merah dan kacang turis. Kesambi merupakan tanaman inang yang mampu memberikan produksi lak yang terbaik baik dari segi kualitas maupun kuantitas dibandingkan dengan jenis tanaman inang yang lain. Terdapat tiga jenis kesambi di Sumba Timur yaitu kesambi kebo, kesambi krikil dan kesambi campuran, Diantara ketiga jenis tersebut, kesambi kebo merupakan jenis kesambi yang paling baik untuk penanaman kutu lak karena memiliki kulit yang tebal dan cabang yang panjang (Rochayah, 2004).
8
134 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kelangsungan pengusahaan kutu lak di Sumba Timur akan terancam dengan semakin berkurangnya tanaman inang kutu lak yang bisa dipenanamankan. Pengusahaan lak oleh masyarakat masih mengandalkan tanaman inang yang berasal dari tegakan alam dan cenderung menghambat proses pemulihan pohon kesambi. Saat ini, masyarakat belum melakukan penanaman kesambi sebagai upaya regenerasi tanaman inang kutu lak dimasa yang akan datang. Dalam rangka mendorong perkembangan usaha penanaman kutu lak maka diperlukan adanya upaya penanaman terhadap tanaman inang kutu lak terutama kesambi (Schleichera oleosa Merr.) yang merupakan jenis terbaik untuk penanaman kutu lak. Hal ini sangat penting dilakukan terutama di daerah Sumba Timur yang memiliki iklim semi arid dengan kondisi lahan marginal yang menghambat proses regenerasi alami dan upaya penanaman tanaman inang kutu lak. Sebagai langkah awal, perlu dilakukan penelitian memperoleh teknik penanaman tanaman inang kutu lak berupa Kesambi (Schleichera oleosa Merr), pada lahan kering dataran rendah di Sumba Timur Dalam rangka menjamin keberhasilan penanaman tanaman inang kutu lak di Sumba Timur diaplikasikan penggunaan bibit yang telah terlebih dahulu diadaptasikan dengan kondisi lapangan penanaman dan penambahan media absorber berupa batu pu’da dalam lubang tanam untuk mengikat air lebih banyak bagi tanaman akan meningkatkan keberhasilan kegiatan penanaman tanaman inang kutu lak jenis kesambi.
II. METODE Benih kesambi yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari tegakan alam yang berada di kec. Waingapu Kota kab. Sumba Timur. Benih disemaikan pada bedeng tabur yang telah disterilkan dengan disanggrai. Media yang digunakan dalam pembibitan adalah top soil dan pasir dengan perbandingan 3 : 1 yang dimasukan dalam polybag dengan ukuran 15 x 20 cm. Bibit ditanam dalam lubang dengan ukuran 40x40x40 cm yang diisi dengan media berupa campuran top soil dan kompos/ pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1. Penanaman dilakukan pada lubang tanam dengan ukuran 40x40x40 cm yang diisi media tumbuh berupa campuran top soil dan kompos dengan perbandingan 1 : 1. . Lubang tanam dibuat tepat di larikan teras, sehingga akan mendapatkan jumlah air yang lebih pada saat hujan. Penanaman dilakukan pada pagi dan sore hari pada saat hujan sudah mulai turun dengan stabil. Pada kegiatan penanaman diujikan pemberian perlakuan pemberian media absorber berupa batu pu’da untuk mengikat air dan menurunkan suhu tanah didalam lubang tanam dan perlakuan adaptasi pada bibit berupa pembebasan bibit dari naungan persemaian sebelum penanaman. Percobaan dilakukan masing-masing dengan menggunakan rancangan acak lengkap pada dua lokasi yang berbeda yaitu pada punggungan dan lereng bukit. Parameter yang diamati dari percobaan diatas meliputi persen tumbuh dan tinggi. Data yang bersifat kualitatif diolah dengan cara tabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Data yang bersifat kuantitatif dianalisis dengan SPSS 12 menggunakan model anova dan analisis statistik deskriptif.
135 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
136 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh pemberian media absorber batu pu’da terhadap persen hidup tanaman kesambi ditampilkan pada gambar 1 berikut ini. 95
persen tumbuh (%)
90
85
80
punggungan lereng
75
70 M1
perlakuan
M2
Gambar 1. Diagram batang persen hidup tanaman pada perlakuan pemberian media absorber di punggungan dan lereng bukit
Ket :
M1 : Lubang tanam beri batu pu’da M2 : Tanpa pemberian batu pu’da
Dari gambar 1 diatas tampak bahwa di lokasi punggungan bukit, kelompok tanaman kesambi yang ditanam dengan media absorber batu pu’da memiliki persen hidup yang lebih tinggi baik pada punggungan (90%) dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi bahan absorber (86%). Di lereng bukit, tanaman kesambi yang ditanam dengan media absorber batu pu’da juga memiliki persen hidup yang lebih tinggi baik (80%) bila dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi bahan absorber (77%). Perbedaan persen tumbuh tersebut dipengaruhi oleh sifat bahan absorber batu pu’da yang mampu menurunkan suhu tanah dan menyimpan air lebih lama di sekitar lubang tanam. Hal tersebut memungkinkan tanaman mendapatkan kondisi yang lebih baik dalam proses adaptasi awal pasca kegiatan penanaman sebagai salah satu waktu kritis bagi kegiatan penanaman kesambi di wilayah semi arid dan lahan marginal Sumba Timur. Selain itu tampak bahwa tanaman pada daerah punggungan memiliki persen hidup yang lebih baik dibandingkan pada lereng bukit. Hal ini berkaitan dengan sifat intoleran pohon kesambi, yaitu pohon kesambi merupakan jenis yang tidak tahan naungan dan membutuhkan banyak cahaya. Pada daerah punggungan, tanaman memiliki kesempatan untuk memperoleh cahaya matahari lebih banyak dari pada daerah lereng. Hal inilah yang menyebabkan persen hidup tanaman kesambi pada daerah punggungan memiliki persen tumbuh yang lebih baik dari pada daerah lereng. Pengaruh pemberian bahan absorber batu pu,da terhadap tinggi tanaman ditampilkan pada gambar 2. berikut. 137 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
60
tinggi tanaman (cm)
50 40 30 20
punggungan lereng
10 0 M1
M2 perlakuan
Gambar 3. Diagram batang tinggi tanaman pada perlakuan pemberian media absorber di punggungan dan lereng bukit
Ket : M1 : Lubang tanam beri batu pu’da M2 : Tanpa pemberian batu pu’da Dari gambar 2. diatas tampak bahwa pemberian bahan absorber batu pu’da pada lubang tanam ternyata belum memberikan pengaruh yang nyata pada tinggi bibit yang ditanam baik pada tanaman yang ditanam di daerah punggungan maupun pada daerah lereng bukit. Secara kenampakan tampak bahwa pemberian bahan absorber bahkan cenderung memberikan pengaruh negatif pada tinggi tanaman. Kedua keadaan diatas terjadi karena dua kemungkinan yaitu : pertama, tanaman kesambi merupakan tanaman yang memiliki pertumbuhan yang lambat, sehingga pada umur 4 bulan setelah penanaman pengaruh perlakuan belum terlihat pada pertumbuhan kesambi. Kedua, bahan absorber berupa batu pu’da mengikat air tanah secara berlebihan sehingga merugikan tanaman itu sendiri. Selain itu batu pu’da yang berbahan dasar batu kapur mungkin memiliki derajat kebasaan yang berpengaruh negatif terhadap proses pertumbuhan kesambi. Pada gambar 3 ditampilkan pengaruh pemberian perlakuan adaptasi bibit sebelum penanaman dengan cara membebaskan bibit dari naungan persemaian terhadap persen hidup tanaman inang kutu lak jenis kesambi di punggungan dan lereng bukit.
92
persen tumbuh (%)
90 88 86 84 82 punggungan
80
lereng
78 76 74 N1
perlakuan
N2
Gambar 3. Diagram batang persen hidup tanaman pada perlakuan naungan di punggungan dan lereng bukit
138 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Ket :
N1 : Bibit setelah 4 bulan dibawa ke lapangan terbuka N2 : Bibit selama 6 bulan di persemaian dengan naungan 60 %
Dari gambar 3 tampak bahwa tanaman yang berasal dari bibit yang telah diadaptasikan memiliki kemampuan bertahan hidup lebih baik dari pada tanaman yang berasal dari bibit yang langsung diambil dari persemaian baik di punggungan (91%) maupun di lereng bukit (91%). Tanaman yang tidak mendapat perlakuan adaptasi hanya mempunyai persen tumbuh 80% di punggungan dan 82 % di lereng bukit. Pengaruh yang nyata dari pemberian perlakuan adaptasi disebabkan bibit yang telah diadaptasikan telah mengalami penyesuaian dengan kondisi lapangan penanaman. Penyesuaian tersebut terutama berkaitan dengan kondisi suhu udara, kecepatan angin, dan intensitas cahaya matahari yang ekstrim dilapangan. Pada gambar 4 ditampilkan grafik pengaruh pemberian perlakuan adaptasi pada bibit sebelum penanaman terhadap tinggi tanaman di punggungan dan lereng bukit. Dari gambar 4 tampak bahwa pemberian perlakuan adaptasi pada bibit sebelum ditanam dilapangan dengan cara melepaskannya dari naungan selama 1 bulan ternyata memberikan pengaruh yang positif dan nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman baik di punggungan maupun lereng bukit. Tanaman yang diberi perlakuan adaptasi meiliki tinggi rata-rata sebesar 38,5 cm dan 39,7 cm di lereng bukit, sedangkan tanaman yang tidak mendapat perlakuan adaptasi memiliki tinggi rata-rata 29,6 cm di punggungan dan 38,6 di lereng bukit. .
45
tinggi tanaman (cm)
40 35 30 25 20 15 10
punggungan lereng
5 0 N1
Perlakuan adaptasi
N2
Gambar 4. Diagram batang tinggi tanaman Pada Perlakuan adaptasi bibit di punggungan dan lereng bukit
Ket :
N1 : Bibit setelah 4 bulan dibawa ke lapangan terbuka N2 : Bibit selama 6 bulan di persemaian dengan naungan 60 %
Pengaruh yang positif ini disebabkan karena bibit yang sudah teradaptasi dengan iklim lokasi penanaman membutuhkan waktu yang singkat untuk melakukan penyesuaian dan menstabilkan perakarannya. Dengan demikian, tanaman memiliki kesempatan yang lebih cepat untuk memulai pertumbuhannya.Pertumbuhan yang cepat juga memungkinkan tanaman memiliki kenampakan morfologis yang lebih siap untuk menghadapi musim kemarau panjang di wilayah Sumba Timur yang beriklim semi arid
139 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Pemberian media absorber batu pu,da pada lubang tanam mampu meningkatkan persen tumbuh namun secara kenampakan justru menghambat pertumbuhan tinggi tanaman inang kutu lak jenis kesambi kebo. Sedangkan pemberian perlakuan adaptasi bibit sebelum ditanam dilapangan mampu meningkatkan persen tumbuh dan tinggi tanaman inang kutu lak jenis kesambi yang ditanam di Sumba Timur. Dalam rangka menghasilkan tanaman inang siap tular yang berkualitas perlu kiranya dilakukanan rekayasa pemeliharaan terhadap tanaman inang kutu lak jenis kesambi yang telah berhasil ditumbuhkan untuk mendapat pertumbuhan dan produksi cabang yang memuaskan. UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan proses penulisan artikel ini.
DAFTAR PUSTAKA Rochayah, S. 2005.Pengusahaan Lak di Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian. Kupang. Sujatmoko, S. 2005. Kajian Pengusahaan Lak di NTT. Makalah Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Kehutanan Kupang. Kupang. Wiyono, B. 2002. Pengusahaan Lak Cabang di Indonesia. Buletin Penelitian & Pengembangan Kehutanan. ISSN 1411-6529 Vol Vol 3 No. 1 Th 2002.
140 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
STUDI KEBERHASILAN PERTUMBUHAN TANAMAN JARAK PAGAR ( JATROPHA CURCAS LINN) PADA POLA TANAM CAMPURAN Oleh Ida Rachmawati ABSTRAK Konsumsi minyak bumi di dunia umumnya dan Indonesia cenderung terus meningkat, namun tidak diimbangi dengan ketersediaannya yang terus menurun setiap tahun, bahkan diprakirakan pada tahun 2015 jumlah cadangan minyak bumi akan menurun dratis dan bila tidak ada penggantinya akan menimbulkan masalah sosial yang pelik. Pencarian sumber energi terbarukan menjadi prioritas yang harus segera dipecahkan. Salah satu sumber energi terbarukan adalah tanaman jarak pagar (Jatropha curca Ls). Tanaman ini merupakan tanaman multiguna dan merupakan sumber biodisel yang cukup baik. Namun dari sejumlah studi menunjukkan bahwa tanaman ini umumnya tumbuh secara tunggal sebagai pagar kebun atau pagar pekarangan. Sangat sedikit informasi mengenai pola pertanaman jarak pagar dengan tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan untuk mengetahui interaksinya dengan tanaman pangan dengan model pola tanam tertentu. Pola tanam yang diteliti adalah jarak pagar monokultur, jarak pagar yang ditanam dengan jarak kastroli, jarak pagar dengan kombinasi kacang tanah dan kacang hijau, dan jarak pagar ditanam dengan kombinasi jarak kastroli, kacang tanah, dan kacang hijau. Jarak tanam jarak pagar dan jarak kastroli 2,5 x 2,5 meter dan jarak tanam kacang tanah dan kacang hijau 30 x 30 cm. Penelitian dirancang dalam Rancangan Acak Berblok dengan tiga ulangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rerata tanaman jarak pagar yang ditanam dengan kacang tanah dan kacang hijau mempunyai pertumbuhan dan perkembangan lebih baik dibandingkan dengan jarak pagar yang ditanam secara tunggal seperti ditunjukkan dengan perbedaan nyata dari tinggi tanaman dan diameter tanaman. Hasil ini menunjukkan bahwa tanaman kacang tanah dan kacang hijau nampaknya memberikan sumbangan Nitrogen (N) dan sumber organik bagi tanaman jarak pagar. Hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa sampai umur enam bulan pertumbuhan dan perkembangan tanaman kacang tanah dan kacang hijau tidak tertekan sebagai akibat kehadiran tanaman jarak pagar. Kata Kunci: energi terbarukan, jarak pagar, jarak kastroli, kacang tanah, kacang hijau
I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Konsumsi minyak solar di Indonesia menunjukkan laju kenaikan 6-14 % per tahun, sedang kemampuan penyediaannya semakin menurun karena semakin menipisnya cadangan potensi BBM. Keadaan ini dikhawatirkan akan menyebabkan kelangkaan pasokan solar di dalam negeri. Untuk itu perlu diupayakan segera langkah cara mengatasinya antara lain melalui aplikasi kebijakan energi nasional yaitu intensifikasi, konservasi dan diversifikasi energi. Upaya tersebut di bidang konservasi yaitu menghemat sebesar mungkin pemakaian BBM yang berasal dari minyak bumi karena sifatnya yang tidak dapat dipulihkan (non renewable), sebaliknya memacu penggunaan bahan bakar yang dapat dipulihkan antara lain yang berasal dari tanaman hutan. Di bidang intensifikasi, keterkaitanya ádalah dapat memanfaatkan areal hutan semaksimal mungkin secara intensif atau ekstensif untuk pengembangan tanaman hutan sebagai bahan baku energi seperti halnya penemuan bahan bakar solar dari minyak biji tanaman (biodisel) Mengacu pada hal tersebut maka, penelitian tentang pemanfaatan hutan tanaman untuk produk biodisel perlu dilakukan. Biodiesel ádalah BBM solar (sebagai bahan bakar mesin diesel, 141 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
mobil atau otomotive lainnya) yang dibuat dari bahan nabati berupa minyak. Sumber bahan nabati tersebut bersifat dapat dipulihkan dan dikembangkan pada areal kehutanan, pertanian, lahan rakyat dan lain-lain (Sudrajat, 2003). Selain itu, penelitian ini sekaligus juga bermaksud mempelajari jenis-jenis bahan baku nabati sebagai bahan baku pembuatan biodisel yang berasal dari areal hutan atau yang dapat dikembangkan pada areal hutan dan perhutanan sosial. Salah satu kegiatan yang menunjang ketersediaan bahan baku tersebut yaitu melakukan penelitian studi keberhasilan pertumbuhan tanaman jarak pagar dengan pola tanam campuran di wilayah semi arid, NTT. Tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L) merupakan jenis tanaman yang berasal dari Amerika Latin dan sekarang tersebar di daerah arid dan semi arid diseluruh dunia. Tanaman ini dapat dikembangbiakkan dengan biji, atau stek batang. Seperti kebanyakan species jatropha lainnya, jarak pagar juga menggugurkan daunnya pada musim kering. Tanaman jarak pagar sangat mudah ditanam dan dapat hidup pada daerah kering, lahan marginal dan lahan kritis. Tanaman ini mampu beradaptasi pada kondisi klimat yang yang ekstrem. Tanaman jarak pagar berfungsi sebagai tanaman pelindung karena tidak dimakan oleh ternak, konservasi tanah dan air, sumber kayu bakar, dan sumber biji yang diambil minyaknya. Minyak ini merupakan alternatif yang menjanjikan sebagai sumber energi sebagai biodisel. Mengacu pada beberapa karakteristik lebih dari tanaman jarak pagar ini baik secara teknis, ekonomis, dan sosial, seperti tidak dimakan hewan, sumber bahan organik, mampu menahan erosi, dan sumber minyak diesel, maka jenis tanaman ini mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan dilahan kritis. Namun sedikitnya atau bahkan tidak adanya informasi lebih detail tentang pengembangan tanaman jarak pagar ini di Indonesia, maka masih banyak diperlukan penelitian yang lebih detail tentang pengembangannya pada lahan-lahan di Indonesia umumnya dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan kondisi lingkungan semi ringkai (geofisik, biologi) yang dipadukan dengan kondisi sosial-ekonomi dan sosial budaya yang beragam. Diharapkan dengan penelitian tersebut akan dapat diketahui karakteristik yang tepat bagi tanaman jarak pada kondisi lingkungan tertentu sehingga pemanfaatanya dapat memberikan nilai guna yang tinggi dan berkelanjutan. Mengacu pada kondisi tersebut, maka Balai Penelitian Kehutanan Kupang telah melakukan penelitian awal tentang perkembangan dan pertumbuhan tanaman jarak pagar dengan pola tanaman campuran dengan jenis jarak kastroli, kacang tanah dan kacang hijau di stasiun Banamlaat, Kefamenanu. Penelitian ini merupakan penelitian awal yang harus dilanjutkan dalam bentuk penelitian multi year sehingga benar-benar diperoleh infoemasi yang akurat kemampuan jarak pagar tersebut berinteraksi dengan kondisi lingkungan tertentu. Penelitian inipun hendaknya dilakukan pada lokasi berbeda (multi lokasi) dengan komponen lingkungan yang terkait sehingga kesimpulan karakteristik secara luas dari jarak pagar ini dapat diperoleh. B. Tujuan dan Sasaran 1. Tujuan Penelitian •
Mengetahui keberhasilan pertumbuhan dan perkembangan jarak pagar yang ditanam dengan pola tanam yang berbeda
•
Mengetahui pola tanam yang sesuai bagi jarak pagar yang dikombinasikan dengan beberapa jenis tanaman
142 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2. Sasaran •
Mendapatkan data dasar bagi kemungkinan keberhasilan tanaman jarak pagar pada kondisi lingkungan tertentu
•
Mendapatkan data dasar pola tanam yang tepat bagi perkembangan jarak pagar dengan kombinasi jenis tanaman tertentu
II. METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian dilakukan mulai bulan Oktober pada tahun 2004 di stasiun penelitian plot coba Penelitian Kehutanan Kupang, di desa Banamlaat, Kefamenanu, Kabupaten Timor Tengah Utara.
B. Prosedur Penelitian 1. Pendekatan Penelitian ini merupakan penelitian intern terpadu Badan Litbang Kehutanan yang melibatkan hampir seluruh Pusat dan Balai di seluruh Indonesia. Setiap institusi melaksanakan jenis penelitian yang berbeda sesuai dengan spesifik wilayah kerjanya, bertindak sebagai koordinator ádalah pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan (P3THH) di Bogor. Balai Penelitian Kehutanan Kupang, bertugas melakukan penelitian perkembangan tanaman jarak pagar dengan pola tanam campuran di wilayah semi arid, yang disesuaikan dengan kondisi agroklimat setempat. Untuk meningkatkan produktifitas lahan dan konservasi tanah dapat melalui pengaturan pola tanam dengan pencampuran jenis tanaman. Dengan pola tanam dan pencampuran jenis tanaman maka diharapkan mampu memberikan manfaat ganda yaitu manfaat ekonomi dan manfaat lingkungan.
2. Bahan dan Peralatan Bahan dan peralatan yang diperlukan dalam penelitian ini antara lain : a. Alat tulis kantor b. Media tanam (tanah, pasir, pupuk kandang) c. Polybag d. Aluminium foil e. Bahan pembuatan rumah semai (atap bedeng semai, tiang/kayu, kawat, paku, label tanaman, seng licin, cat, thiner) f. Benih/bibit jenis jarak pagar (Jatropha curcas L), jarak kastroli (Ricinus communis), jenis tanaman semusim kacang tanah, kacang hijau. g. Bahan dan peralatan persemaian dan penanaman lapangan (besi gali, parang,penggaris, altimeter kompas, jangka sorong/kaliper, meter rol, gembor, ember plastik) h. Peralatan laboratorium untuk analisa fisik dan kimia tanah.
143 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
3. Pengumpulan Data
Penelitian ini dirancang dalam Rancangan Acak Berblok setiap perlakuan masing-masing diulang 3 kali. Model plot percobaan adalah segi empat dengan ukuran masing-masing petak 17,5 x 40 meter. Jarak tanam jarak pagar dan jarak kastroli adalah 2,5 x 2,5 m, sedangkan jarak tanam kacang tanah dan kacang hijau adalah 30 x 30 cm dalam 2 baris diantara tanaman jarak pagar (total keluasan penanaman kacang tanah dan kacang hijau dalam setiap petak 81 m2. Jumlah bibit monokultur jarak pagar 112 tanaman/petak dan 56 tanaman/ petak pada pola tanaman campuran. Komposisi jenis tanaman di lapangan ádalah jenis tanaman jarak pagar (Jatropha curcas L), jarak kastroli (Ricinus communis), tanaman semusim kacang tanah dan kacang hijau. Dengan pola tanam sbb : a). tanaman jarak pagar monokultur/tunggal, b). tanaman jarak pagar dan jarak kastroli, c). tanaman jarak pagar dengan kombinasi kacang tanah, kacang hijau, d). tanaman jarak pagar dengan kombinasi jarak kastroli, kacang tanah dan kacang hijau. Cara penanaman adalah sebagai berikut: sebelum bibit ditanam di lapangan, terlebih dahulu dilakukan pengukuran tinggi dan diameternya di persemaian. Persiapan lokasi penanaman ádalah berupa pembersihan rumput total dan gulma serta pembuatan lubang tanam ukuran 40x40x40 cm. Penanaman bibit di lapangan, dilakukan pada saat hujan pertama (awal musim hujan). Pemeliharaan tanaman yang dilakukan berupa penyiangan rumput setahun sekali pada akhir musim penghujan (bulan Mei) untuk mengurangi persaingan rumput dan menghindari terjadinya kebakaran. Pengumpulan data di lapangan dilakukan pada umur 1 dan 2 bulan di persemaian, kemudian 1,3, dan 6 bulan di lapangan dengan peubah pengukuran sebagai data primer adalah: 1. Persentase tumbuh jarak pagar, tinggi tanaman jarak pagar di ukur dari pangkal batang (permukaan tanah) sampai pucuk, sedangkan diameter diukur pada ketinggian 10 cm di atas permukaan tanah. 2. Produksi tanaman kacang tanah dan kacang hijau sebagai tanaman campuran (per 81 m2). Data sekunder yang dikumpulkan untuk mendukung penelitian ini adalah kondisi awal lahan plot uji coba dilakukan dengan pengamatan langsung kondisi fisiografi lahan, bentang lahan, jenis tanah, dan sifat fisik dan kimia tanah. 4. Pengolahan Data Data pengukuran di lapangan dianalisis dengan Analisis Varian yang dilanjutkan dengan menggunakan Uji Beda Nyata terkecil 5% (Yitnosumarno, 1990). Analisis perubahan terhadap sifat fisik dan kimia tanah dilakukan dengan analisa awal dan analisa akhir terhadap peubah N,P,K,C organik.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan di Persemaian Hasil pengukuran awal terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter bibit jarak pagar /Jatropha curcas dan jarak kastroli / Ricinos communis disajikan pada Tabel 1 dan 2. 144 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 1. Rerata pertumbuhan diameter dan tinggi tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas L) di persemaian No
Jenis Tanaman Jarak pagar (Jatropha curcas)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata-rata
Umur tanaman 1 bulan 2 bulan T(cm) D(cm) T(cm) D(cm) 10,50 0,63 16,20 0,70 12,30 0,55 18,30 0,70 12,40 0,65 18,50 0,70 11,30 0,60 17,40 0,75 14,50 0,65 19,00 0,80 13,40 0,60 18,60 0,82 12,00 0,50 17,50 0,60 13,50 0,58 18,00 0,82 10,10 0,60 16,00 0,72 10,20 0,50 16,40 0,63 10,00 0,60 16,50 0,68 11,50 0,50 16,50 0,69 12,60 0,65 18,60 0,80 11,60 0,65 17,20 0,79 10,40 0,45 17,50 0,50 12,50 0,50 18,00 0,53 10,60 0,60 18,00 0,75 14,70 0,65 21,50 0,81 10,50 0,60 17,50 0,69 12,30 0,55 18,40 0,83 12,40 0,60 18,60 0,69 11,40 0,65 17,50 0,70 11,50 0,65 17,40 0,80 13,80 0,60 20,50 0,70 12,50 0,50 17,60 0,75 11,94 0,58 17,88 0,71
Tabel 2. Rerata pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman Jarak kastroli (Ricinus communis) di persemaian No
Jenis Tanaman Jarak kastroli (Ricinus communis)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 Rata-rata
145 | P r o s i d i n g
Umur tanaman 1 bulan 2 bulan T(cm) D(cm) T(cm) D(cm) 11,50 0,23 26,50 0,47 13,20 0,35 20,20 0,43 11,40 0,25 19,50 0,50 11,30 0,20 17,00 0,35 13,50 0,25 19,00 0,35 13,00 0,20 18,60 0,30 12,60 0,25 18,50 0,35 13,70 0,25 21,00 0,33 11,50 0,20 19,00 0,37 10,50 0,20 16,50 0,35 13,00 0,20 19,50 0,35 11,50 0,25 18,00 0,35 13,00 0,25 23,50 0,38 12,00 0,25 23,00 0,39 11,00 0,20 20,50 0,35 13,50 0,25 25,00 0,40 11,00 0,20 18,00 0,35 14,00 0,25 27,50 0,45 11,50 0,25 22,50 0,37 12,50 0,26 18,40 0,34 13,00 0,20 19,60 0,32 12,50 0,25 23,50 0,38 12,00 0,25 19,40 0,35 14,00 0,28 22,50 0,35 13,50 0,20 23,00 0,31 12,41 0,23 20,78 0,38
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pada tabel 1 dan 2 terlihat bahwa rata-rata tanaman Jatropha curcasL dan Ricinus communis menunjukkan pertumbuhan yang cukup bagus dan cepat tumbuh, dan mempunyai kemampuan tumbuh dipersemaian yang mencapai 100%. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Heyne (1987) dan Henning (1996) bahwa jarak pagar adalah merupakan jenis tanaman yang mampu berkecambah dengan baik dan merupakan jenis tanaman yang cepat tumbuh pada tanah yang subur sampai tanah kurus.
B. Pertumbuhan tanaman di lapangan 3.2.1. Kondisi awal lahan Sebagai data pendukung kemampuan tumbuh dan berkembang bagi tanaman yang diteliti, maka dilakukan analisa awal kondisi fisik dan kimia lahan seperti tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Analisis fisik dan kimia tanah sebelum penelitian dilakukan No
Kimia tanah
Tekstur
P2O5 (ppm)
K2O % (me/100g) Pasir
% debu
% Liat
1
N Total C (%) organik (%) 0,18 0,90
19,20
0,71
45,88
34,17
19,93
2
0,14
1,38
16,50
0,60
46,30
39,05
14,64
3
0,11
0,69
16,50
0,90
44,46
39,66
15,86
4
0,18
0,55
16,50
0,69
47,27
41,42
11,29
5
0,14
0,80
24,70
0,52
37,38
43,84
8,76
6
0,11
0,66
27,50
0,95
47,15
45,01
7,82
Keterangan : Hasil analisa laboratorium tanah-tanaman BPTP, Naibonat 2005
Hasil analisis ini menunjukkan bahwa lahan di wilayah penelitian tergolong dengan tingkat kesuburan yang rendah, hal ini tampak bahwa rerata N total rendah, rerata C organik rendah, rerata P rendah sampai sedang, rerata K rendah. Tekstur tanah sebagian besar adalah lempung berliat. 3.2.2.Keberhasilan tanaman di lapangan Hasil pengamatan awal di lapang menunjukkan bahwa persentase tumbuh tanaman secara keseluruhan
rata-rata
95%
baik
pada
tanaman
Jatropha
curcas
maupun
Ricinus
communis,sedangkan 5% lainnya mati. Hasil ini menunjukkan bahwa kedua jenis tanaman jarak tersebut mampu beradaptasi cukup baik pada kondisi lahan dan komponen lingkungan terkait di wilayah penelitian. Matinya sebagian tanaman di lapangan diduga karena faktor teknik pengangkutan dari persemaian sampai dengan lokasi penanaman yang kurang hati-hati sehingga ada sebagian tanaman yang media tanamnya dalam polybag terganggu sebelum ditanam di lapangan. Tingginya persentase tumbuh di lapangan (95%) menunjukkan bahwa tanaman ini cukup baik untuk dikembangkan pada wilayah dengan kondisi yang relatif sama dengan kondisi di wilayah penelitian. Tanaman ini mempunyai potensi yang cukup baik untuk dikembangkan di lahan kritis. Disamping itu tanaman jarak pagar adalah merupakan tanaman pelindung karena tidak dimakan oleh ternak, konservasi, sumber kayu bakar, dan sumber biji yang diambil minyaknya. 146 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
3.2.3. Pertumbuhan tinggi tanaman di lapangan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata rerata tinggi tanaman jarak pagar yang ditanam, dengan pola tanam yang berbeda. Hasil uji lanjut BNT taraf 5% (Tabel 4) menunjukkan bahwa rerata jarak pagar tumbuh baik bila dikombinasikan dengan tanaman kacang tanah dan kacang hijau pada semua umur pengamatan. Hal ini diduga bahwa kondisi lahan menentukan tingkat pertumbuhan tanaman. Jarak pagar yang ditanam secara tunggal/monokultur mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan dengan penanaman dengan pola tanam campuran. Lahan yang ditanam dengan kombinasi tanaman kacangan diolah lebih dulu sedangkan lahan dengan tanaman jarak pagar tunggal tidak diolah. Hasil analisa awal sifat fisik dan kimia tanah pada lahan penanaman menunjukkan tingkat kesuburan yang rendah dengan tekstur tanah lempung berliat. Kondisi ini menyebabkab unsur hara menjadi tidak tersedia bagi tanaman terutama didaerah perakaran. Unsur hara tersebut (N,P,K,C organik) terjerap kuat sekali oleh koloid tanah. Ikatan ini menjadi melemah setelah lahan diolah, sehingga berpengaruh pada ketersediaan unsur hara tersebut di daerah perakaran (Sanchez, 1976) Tabel 4. Rerata tinggi tanaman (cm) jarak pagar (Jatropha curcas) Umur 1,3,dan 6 bulan di lapang Pola tanam Umur 1 bulan Jarak pagar monokultur 15,18 a Jarak pagar, jarak kastroli 16,37 a Jarak pagar,k tanah,k hijau 18.86 b Jarak pagar,jarak kastroli,k 18.83 b tanah, k hijau BNT 5% 2.20
Tinggi tanaman (cm) Umur 3 bulan Umur 6 bulan 16,23 a 16,41 a 17,07 ab 17,91 b 21,07 b 21,56 c 20,47 b 21,81 c 4.15
0,40
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%
Namun data tinggi tanaman tersebut sampai pengamatan umur 6 bulan menunjukkan pertumbuhan yang lambat bila dibandingkan dengan tinggi tanaman jarak pagar pada umur yang sama yang ditanam pada kondisi lahan yang di olah. Beberapa studi menunjukkan bahwa pada umur 6 bulan tanaman jarak pagar mencapai tinggi 50-75 cm (Soetedjo, 2004). Lambatnya pertumbuhan ini terutama disebabkan oleh rendahnya daya dukung lahan di satuan percobaan. Kondisi ini diperburuk oleh kecilnya sumbangan bahan organik dari vegetasi alami yang terdapat disekitar lokasi penelitian (rendahnya C organik) dan tingginya evapotranspirasi yang terjadi dilokasi penelitian. Pada pengamatan dilapang menunjukkan bahwa vegetasi dominan adalah pohon Eucalyptus alba dan semak rumput yang mempunyai tingkat penaungan yang rendah.
3.2.4. Pertumbuhan diameter tanaman di lapangan Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rerata diameter jarak pagar sampai pengamatan pada umur 6 bulan menunjukkan perbedaan yang nyata dari pola tanam yang berbeda. Analisis lanjut dengan Uji BNT taraf 5% (Tabel 5) menunjukkan pola yang sama dengan pengamatan
147 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
peubah pertumbuhan (tinggi tanaman) yaitu jarak pagar mempunyai diameter yang lebih besar bila ditanam dengan campuran tanaman pangan (kacang tanah dan kacang hijau). Tabel 5. Rerata dimeter (cm) tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) umur 1,3, dan 6 bulan di lapang Pola tanam
Diameter tanaman (cm) Umur 1 bulan
Umur 3 bulan
Umur 6 bulan
Jarak pagar monokultur
1,23 a
1.31 a
1,52 a
Jarak pagar, jarak kastroli
1,33 a
1.39 ab
1,55 a
Jarak pagar, k.tanah, k. hijau
1,29 a
1.76 b
1,84 b
Jarak pagar,jarak k.tanah, k. hijau BNT 5%
1,26 a
1.69 ab
1,86 b
0.17
0.41
0.25
kastroli,
Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama berarti tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%
Hasil ini tampaknya berkorelasi positif dengan pertumbuhan tanaman pada kondisi lahan yang sama. Lahan yang diolah untuk tanaman kacang-kacangan ternyata memberikan pengaruh positif terhadap ketersediaan unsur hara (N,P,K,C organik) disekitar perakaran tanaman. Kondisi lingkungan yang dipadukan dengan kondisi biologi (vegetasi) memberikan pengaruh secara langsung terhadap keberhasilan dan kemampuan tumbuh tanaman jarak pagar. Pada kondisi yang cukup ekstrem seperti di lokasi penelitian memerlukan perlakuan tertentu seperti pembersihan lahan disekitar tanaman, pengolahan tanah disekitar tanaman dll, sehingga lingkungan pertumbuhan memberikan kondisi yang cukup baik bagi tanaman untuk tumbuh. Penanaman tanaman pangan pada awal penelitian seperti jenis kacang-kacangan, jenis ubi-ubian diharapkan mampu meminimasikan ikatan koloid tanah yang kuat akan unsur hara. Pada Tabel 6 disajikan produksi awal tanaman kacang tanah, dan kacang hijau yang ditanam pada petak coba dengan pola tanam campuran. Produksi kacang tanah pada lokasi ini nampaknya rendah dibandingkan rerata produksi monokultur, hal ini ini disebabkan tingkat kesuburan lahan yang rendah.
Tabel 6. Produksi awal tanaman kacang tanah, kacang hijau yang ditanam secara campuran dengan tanaman jarak Produksi (kg)/81 m2
Pola tanam
1.Jarak pagar,kacang tanah,kacang hijau 2.Jarak pagar,jarak kastroli,kacang tanah,k hijau
Kacang tanah
Kacang hijau
4,43
4,60
4,93
5,30
Kondisi ini harus pula diimbangi dengan kondisi iklim yang mendukung seperti teraturnya curah hujan pada awal pertumbuhan, rendahnya tingkat evaporasi lahan, dan dukungan vegetasi lain yang mampu berfungsi sebagai penyedia bahan organik.
IV. KESIMPULAN
148 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman jarak pagar (Jatropha curcas) dan jarak kastroli (Ricinus communis) dipersemaian menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan yang cukup bagus dan cepat tumbuh. Tingginya kemampuan tumbuh kedua jenis tanaman tersebut di lapangan 95% menunjukkan bahwa tanaman ini cukup untuk dikembangkan pada wilayah dengan kondisi yang relatif sama dengan kondisi wilayah penelitian. Jarak pagar tumbuh baik di lapangan bila dikombinasikan dengan tanaman kacang tanah dan kacang hijau. Jarak pagar yang ditanam secara tunggal rerata mempunyai tingkat pertumbuhan yang lebih kecil dibandingkan dengan penanaman pola tanam campuran. Pertumbuhan diameter jarak pagar sampai pengamatan pada umur 6 bulan menunjukkan perbedaan yang nyata dari pola tanam yang berbeda. Lahan yang diolah untuk tanaman kacang tanah, kacang hijau ternyata memberikan pengaruh positif terhadap ketersediaan unsur hara disekitar perakaran tanaman. Kondisi lingkungan geofisik yang dipadukan dengan kondisi biologi (vegetasi) memberikan pengaruh secara langsung terhadap kemampuan tanaman jarak pagar untuk tumbuh dan berkembang. Pada kondisi yang cukup ekstrem seperti di lokasi penelitian memerlukan perlakuan yang sederhana sehingga lingkungan pertumbuhan memberikan kondisi yang cukup baik bagi tanaman untuk tumbuh dan berkembang.
DAFTAR PUSTAKA Hardjowigeno, S. 2003. klasifikasi tanah dan Pedogenesis. Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta Haryadi. 2005. Sitem Budidaya Tanaman Jarak Pagar (Jatropha curcas L). Diselenggarakan oleh pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi LPPM-IPB. Bogor Henning, R. 1996. The Jatropha Project in Mali. Rothkreuz 11, D-88138 Weissenberg, Germany Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Terjemahan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan. Vol 3. Jakarta Sanchez, P. A,. 1976. Properties and Management of Soils in the Tropics Sudrajad, R. Dan D. Setiawan. 2003. Teknologi Pembuatan Biodisel dari Minyak Biji Jarak Pagar. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan. Soetedjo, I.P. 2004. Pengelolaan Jarak Pagar Sebagai Sumber Energi Terbarukan. Fakultas Pertanian Universitas Nusa Cendana. Yitnosumarno, S. 1990. Percobaan, Perancangan, Analisis dan Interprestasinya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Universitas Brawijaya, Malang.
149 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PERSEBARAN PERMUDAAN DAN POTENSI JENIS ULIN (EUSIDEOXYLON ZWAGERI T. ET.B) DI KALIMANTAN TIMUR Oleh Mawazin ABSTRAK Ulin atau (Eusideoxylon zwageri T. Et.B) merupakan salah satu jenis pohon asli Kalimantan yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Penggunaan kayu ulin telah dimulai sejak berabad-bad lalu oleh masyarakat asli Kalimantan sebelum digunakan secara meluas dan intensif oleh masyarakat Modern untuk keperluan konstruksi ringan sampai berat. Karena selalu diburu seloah tak pernah berhenti, potensi kayu ulin telah mengalami penurunan yanga drastis. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penyebaran permudaan dan potensi ulin di areal konsesi hutan PT Intracaewood di Kalimantan Timur. Pola penarikan contoh yang digunakan adalah sistemtic liniear sampling dengan membuat jalut-jalur pengamatan selebar 20 m dan panjang 1000 m, tiap jalur dibuat plot-plot pengamatan dalam bentuk petak ukur 20 m x 20 m yang berkesinambungan (continous strip) untuk tingkat pohon, 10 m x 10 m untuk permudaan tingkat tiang dan 5 m x 5 m untuk permudaan pancang. Data yang diperoleh dianalisis lebih lanjut untuk memperoleh potensi dan penyebaran pohon dan permudaan. Hasil inventarisasi tegakan ulin di hutan Kalimantan Timur ditemukan permudaan tiang pancang sebanyak 49, 6 batang.ha dengan sebaran sebesar 10, 2%, sedangkan untuk tingkat tiang ditemukan sebanyak 6,2 batang/ha dengan sebaran sebasar 5,8 % dan untuk tegakan pohon ditemukan sebanyak 12,75 batang/ha dengan sebaran 31,4 %. Sedangkan potensi ulin keseluruhan baik tingkat pancang, tingkat tiang maupun pohon adalah 689,55 batang/ha dengan sebaran 36, 8 %. Dengan potensi tersebut diharapkan dapat dijadikan hutan ulin atau tegakan benih di Kalimantan Timur. Kata Kunci : Eusideoxylon zwageri T. Et.B, permudaan, potensi I. PENDAHULUAN Pohon ulin (Eusideoxylon zwageri) atau nama lain bulian adalah termasuk salah satu jenis dari suku : Lauraceae. Pohon ini terkenal karena kayunya sangat keras dan tahan air. Dalam dunia perdagangan kayunya disebut ulin atau kayu besi yang harganya relatif tinggi dibandingkan dengan kayu bangunan lainnya. Menurut Kartasujana dan Martawijaya (1979), kayu ulin termasuk golongan kelas awet I dan kelas kuat I dengan berat jenis rata-rata 1,04. Kayu ulin sangat baik untuk tiang-tiang dalam tanah, tiang-tiang dalam air, balok, bantalan kereta api sirap dan lain-lain Di Indonesia pohon ini tumbuh secara alami dengan daerah penyebaran di seluruh provinsi Riau, Sumatera Barat, Jambi, Kalimantan, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Menurut Sutisna et.all (1998) penyebaran ulin meliputi Sumatera bagian Timur dan selatan, Bangka Belintung, Kalimantan dan Kepulauan Sulu serta Palawan di Filipina. Penebangan kayu ini telah lama dilakukan oleh penduduk terutama untuk sirap sehingga dibeberapa tempat yang semula dikenal daerah ulin, kayu ini sudah sulit diketemukan atau letaknya sudah jauh dan sulit didatangi. Dalam rangka konservasi atau pelestarian ulin, pemerintah melalui SK Menteri Pertanian No. 54/Kpts/Um/2/72 telah melarang untuk menebang pohon ulin yang berdiameter batang kurang dari 60 cm. Karena tidak ada komitmen yang sama dari semua pihak maka pelaksanaan dilapangan adalah seolah-olah aturan (SK Menteri) tersebut tidak pernah ada. Penebangan ulin dibawah limit diameter terus berrlangsung, bahkan ulin dengan diameter batang kurang dari 20 cm un tetap ditebang (anonim, 2004).
150 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Mseki banyak orang berusaha mendapatkan kayu berharga ini di hutan alam. Meskipun sejak tahun 1972 dilarang menebang pohon ulin yang dimeter batangnya kurang dari 60 cm, namun kenyataannya banyak pohon diameter kecil ditebang. Untuk mencagah terjadinya kelangkaan jenis ulin ini perlu dilakukan tindakan pengkajian terhadap permudaan dan potensinya. Tujuan penelitian ini adalah menyediakan informasi mengenai penyebaran permudaan danpotensinya sebagai dasar untuk pembinaan tegakan ulin di Kalimantan Timur.
II. BAHAN DAN METODOLOGI A. Bahan Penelitian 1. Lokasi Penelitian Daerah penelitian terletak diareal konsesi PT. Intracawood Mfg yaitu : hutan daratan Malinau Kalimantan Timur. Secara geografis letak kelompok hutan ini berada diantara 2.048’27’-3.037’30” Lintang Utara dan 116’30’00”-117’11’44” Bujur Timur. Berdasarkan administrasi kehutanan termasuk wilayah unit pelaksana teknis daerah Bulungan, Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Timur. Sedangkan berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan termasuk Kecamatan Sesayap, Kabupaten Bulungan Provinsi Kalimantan Timur. 2. Topografi, Geologi dan Tanah Keadaan lapangan di kelompok hutan ini merupakan daerah yang berbukit-bukit dengan kelerengan umunya agak curam sampai curam. Menurut data Pemerintah Daerah Kalimantan Timur, jenis tanah daerah ini termasuk Pondsolik Merah Kuning dan Kompleks Latosol dan Litosol 3. Iklim Berdasrkan data iklim dari dua stasiun terdekat yakni stasiun pengamatan iklim Malinau dan Tarakan termasuk kedalam iklim tipe A (Schmidth dan Ferguson, 1951) dengan curah hujan rata-rata 4.263 mm/th diTarakan dan 3.898 mm/th di Malinau B. Metode Penelitian Pola penarikan contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah penarikan contoh linier sistematik (systematic linearc smapling). Penelitian dilakukan dengan membuat jalur-jalur pengamatan dnegan lebar 20 m dan panjang jalur 1.000 m. Tiap-tiap jalur dibuat pot pengamatan dalam bentuk petak ukur berukuran 20 mx 20 m yang berkesinambungan (continuous strip), sehingga dalam satu jalur terdapat 50 plot pengamatan (petak ukur). Selanjutnya pada petakpetak ukur ini dibuat petak pemrudaan yang berukuran 10 m x 10 m untuk tingkat tiang dan 5 mx 5 m untuk tingkat pancang. Letak petak permudaan tidak berkesinambungan. Jumlah jalur yang diamati sebanyak 10 jalur dan jarak antara jalur satu dengan jalur yang lain dibuat 100 meter. Untuk mengetahui komposisi, penyebaran dan potensi per hektar jenis ulin untuk tingkt pohon, tingkat tiang dan tingkat pancang dilakukan inventarisasi tegakan dan permudaan sebagai berikut:
151 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
1. Inventarisasi tingkat pohon-pohonyang mempunyai diameter 20 cm keatas. Pencacahan meliputi jumlah pohon dan diameter pohon setinggi dada (1.3 m diatas tanah). 2. Inventarisasi permudaan untuk tingkat pancang dilakukan terhadap pohon yang tingginya diatas 1,5 m dan diameternya kurang dari 10 cm, sedang untuk tingkat tiang dilakukan terhaap pohon-pohon yang mempunyai diameter 10 cm keatas dan kurang dari 20 cm. Pencacahan meliputi jumlah dan diamater permudaan setinggi dada (1,3 m diatas permukaan tanah). C. Analisis data Untuk mengetahui potensi dan penyebaran ulin dilakukan analisis sebagai berikut: Kerapatan
= Jumlah pohon dalam plot ukur Luas plot ukur seluruhnya
Penyebaranjenis
=Jumlah plot yang terisi suatu jenis x 100% Jumlah seluruh plot ukur
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Permudaan Tingkat Pancang Pengamatan permudaan tingkat pancang amsing-masing jalur dibuat 50 petak ukur, dan tiap-tiap dengan permudaan, tergantung potensi dan penyebarannya. Untuk mengetahui hasil inventarisasi, potensi dan penyebaran permudaan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Inventarisasi, Potensi Dan Penyebaran Permudaan No jalur Plot terisi Jumlah Batang N/ha Penyebaran (%) 1 9 12 69 18 2 3 3 24 6 3 4 4 32 8 4 3 3 24 6 5 6 10 80 12 6 4 5 40 8 7 3 4 32 6 8 6 7 56 12 9 6 6 48 12 10 7 8 64 14 Rata-rata 49,6 10,2 Berdasarkan analisis tabel 1, permudaan tingkat pancang potensinya berkisar antara 24 batang sampai 96 batang per hektar, sedang penyebarannya permudaanya berkisar antara 6% sampai 18%. 2.Permudaan Tingkat Tiang Pengamatan permudaan tingkat tiang masing-masing jalur dibuat 50 petak ukur, tiap-tiap petak petak berukuran 10 mx 10 m. Untuk mengetahui hasil inventarisasi, potensi dan penyebaran permudaan disajikan pada Tabel 2 Tabel 2. Hasil Inventarisasi, Potensi Dan Penyebaran Permudaan No jalur Plot terisi Jumlah Batang N/ha 1 2 2 4 2 3 3 6 3 1 1 2 4 2 2 4 5 4 5 10 6 4 4 8 7 2 2 4 152 | P r o s i d i n g
Penyebaran (%) 4 6 2 4 8 8 4
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
8 5 6 12 10 9 2 2 4 4 10 4 4 8 8 Rata-rata 6,2 5,8 Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah permudaan tingkat tiang agak kurang yakni berkisar antara 2 batang sampai 12 batang per ha dengan sebarannya berkisar antara 2% sampai `10 % (tabel 2). 3. Potensi Tegakan Pohon Pengamatan masing-masing jalur dibuat sejumlah 50 petak ukur. Tiap petak-petak berukuran 20 mx 20 m. Hasil inventarisir serta potensi penyebaran tegakan pohon disajikan pada tabel 3. Tabel 3. hasil inventarisasi, potensi dan penyebaran tegakan pohon No jalur Plot terisi Jumlah Batang N/ha Penyebaran (%) 1 17 20 10 34 2 19 25 12,5 38 3 17 19 9,5 34 4 20 31 15,5 40 5 17 28 24 34 6 17 28 24 34 7 14 22 11 28 8 8 9 4,5 16 9 11 13 6,5 22 10 17 20 10 34 Rata-rata 12,75 31,4 Tabel 3 menunjukkan bahwa potensi tegakan pohon berkisar antara 4.5 sampai 15,5 pohon per tegakan pohon dengan sebaran tegakan berkisar antara 16% sampai 40 %. B. Potensi dan penyebaran Tegakan Rata-rata potensi permudaan tingkat pancang sebesar 49,6 batang/ha dengan sebaran rata-rata adalah 10, 2% (tabel 1). Potensi permudaan tingkat pancang tersebut diharapkan dapat tumbuh dan menjadi pohon besar sebagai tegakan benih. Umumnya pertumbuhan permudaan tingkat pancang masih rawan terhadap kematian terutama disebabkan oleh pohon-pohon pesaing dan pohon yang menaunginya. Untuk menghindari agar tidak terjadi kematian dan untuk menjaga kualitasnya maka perlu dilakukan pemeliharaan dan perawatan. Pemeliharaan ini diarahkan untuk memperoleh sinar matahati yang cukup, membebaskannya permudaan dari liana dan menghilangkan pohon pesaing. Untuk mendapatkan pertumbuhan yang maksimal maka perlu dilakukan pembebasan yang tepat . Menurut Manan (1977) pemeliharaan yang terbaik adalah dengan melakukan pembebasan gabungan vertikal dan horizontal. Berdasarakan penyebaran, permudaan tingkat pancang tidak menyebar merata. Hal ini disebabkan buah ulin ini mempunyai berat yang cukup, sehingga buah yang jatuh hanya berada disekitar pohon induk. Oleh karena itu saat musim berbuah datang perlu dibuat pembibitan kemudian setelah menjadi bibit ditanam dilapangan terutama areal yang kosong dari ulin. Atau bisa juga dengan memindahkan anakan-anakan alam yang sudah ada. Kemudian dipindah keareal lain yang belum terisi pohon ulin. Untuk pembuatan tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai cara. Jenis ulin dapat dipermudakan dnegan menggunakan benih yang berasal dari biji sapihan, stumph maupun cabutan (Masano, 1984). Untuk permudaan ulin tingkat tiang ditemukan jumlah pohon sebesar 6,2 batang/ha (tabel 2). Jumlah ini sedikit dibanding dengan jumlah pohon maupun jumlah pancang. Hal ini terutama 153 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
disebabkan oleh naungan pohon lainnya yang menghalangi masuknya sinar matahari. Dengan berkurangnya cahaya matahari terutama permudaan tingkat pancang akan memperlambat pertumbuhannya, sehingga pertumbuhan ulin dari pancang akan tumbuh menjadi tiang terhambat Beekman (1954) mengemukakan bahwa kayu ulin pada waktu mudanya memerlukan naungan yang cukup dan untuk pertumbuhan selanjutnya perlu adannya pembukaan sedikit naungan sedikit demi sedikit agar pertumbuhannya lebih cepat. Inventarisasi terhadap tegakan tingkat pohon dilakukan untuk mengetahui potensi tegakan dan penyebarannya. Dengan mengetahui potensi dan penyebarannya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan areal sebagai tegakan benih. Areal yang diteliti ditemukan tegakan pohonm sebanyak 12, 75 batang per hektar (Tabel 3). Dengan jumlah 12,5 batang/ha diperklirakan setiap luasan 800 m2 (20 m x 40 m) terdapat satu pohon ulin berdiameter diatas 20 cm dengan tingkat sebaran 31,4 %. Meningat jenis ulin potensinya mengalami penurunan drastis dan keberadaanya semakin mengarah status sebagai jenis yang langka (Siran. Et.all, 2004), maka dengan jumlah 12,75 batang/ha, dengan tingkat sebesar 31,4 % dianggap layak untuk dijadikan sebagai tegakan benih. Disamping itu tegakan tersebut dapat digunakan untuk dikembangkan lebih lanjut. Pengembangan jenis ulin dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti biji sapihan, stump maupun cabutan anakan alam (Masano, 1983). Dengan diketemukannya tegakan ulin akan dapat diperoleh biji atau anakan alam. Jenis ulin dapat mempermudakan diri secara alami. Menurut Masano dan Omon (1983), permudaan alam jenis kayu ulin didaerah Senami cukup banyak jumlahnya akan tetapi penyebarannya kurang merata sehingga perlu adanya penanaman perkayaan. Dari pengamatan dilapangan
pohon ulin yang berada diareal penelitian dapat
menghasilkan buah, hal ini dapat dilihat dari buah yang jatuh pada sekitar pohon, sehingga anakan yang ada keberadaannya mengelompok. Untuk itu agar penyebarannya lebih merata dan tidak mengelompok, perlu adanya pengaturan jarak tanam dengan memindahkan anakan ketempat yang masih kosong. Hasil inventarisasi tegakan ulin secara keseluruhan mulai dari tingkat pancang, tiang dan pohon ditemukan jumlah pohon sebnayak 48,55 batang/ha dengan penyebaran 36,8% (lampirran 1). Dengan keberadaan tegakan hutan ulin seperyi ini jika dijaga dan dipelighara dengan sungguhsungguh, maka kelestarian jenis ulin akan dapat dipertahankan. Disamping itu tegakan hutan ulin ini dapat dijadikan untuk pengembangan jenis ulin didaerah lain.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Hasil inventarisasi tegakan ulin di Kalimantan Timur ditemukan permudaan tingkat pancang sebanyak 49, 6 batang/ha dengan sebaran sebesar 10,2%, sedangkan untuk tingkat tiang ditemukan sebanayak 6,2 batang/ha dengan sebaran sebesar 5,8 % dan untuk tegakan pohon ditemukan sebanyak 12, 75 batang/ha dengan sebaran sebesar 31,4 %.
2.
Potensi jenis ulin keseluruhan sebanyak 68, 55 batang/ha dan penyebaran
sebesar
36, 8%, diharapkan dapat dijadikan hutan ulin atau tegakan benih di Kalimantan Timur. 3.
Perlu dilakukan penelitian tentang keseluruhan jenis pohon yang ada didaerah hutan Kalimantan Timur.
154 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
4.
Perlu dilakukan pemeliharaan, penjagaan dan pembebasan gabungan pembebasan vertikal dan horizontal.
155 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Status Litbang Ulin (Eusideoxylon zwageri Teijmsm & Biinn). Balai Litbang Kehutanan Kalimantan, Samarinda Beekman. H.A Jm. 1954. Houttelt in Indonesia. H Veebnam Zobnen Wageningen Kartasujana, I dan A. Martawijaya. 1979. Kayu Perdangangan Indonesia: Sifat dan Kegunaannya. Penerbitan Ulang Gabungan Pengumuman No.3 Tahun 1973 dan no. 56 Tahun 1975. Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Manan, S. 1977. Penelitian Pembinaan Hutan dan Efisiensi Pemanfaatan Ruang Hutan. Kerjasama anatra Fakultas Kehutanan IPB dengan Proyek Pengembangan Efisiensi Pengunaan Sumber-sumber Kehutanan. Masano. 1984. Penanaman Perkayaan Jenis Ulin (Eusideoxylon zwageri Teijmsm & Biinn) di kompleks Hutan Senami, Jambi. Laporan 442. Pusat Litbang Hutan Bogor. Masano dan Omon. 1983. Pengamatan Permudaan Alam (Eusideoxylon zwageri Teijmsm & Biinn) kompleks Hutan Senami, Jambi. Laporan 410. Pusat Litbang Hutan Bogor Schmidt FH daan JHA Fergusin. 1951. Rainfaal Types Based On West and Dry Period Rations For Indonesia with western new guinea verhand 42. Djawatan meteorologi dan geofisika. Jakarta Siran. SA N Juliaty dan B Arti. 2004. Prosiidng Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Litbang Kehutanan Kalimantan. Samarinda. Sutisna, UT Kalima dan Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan Hutan di Indonesia. Yayasan Prosea dan Pusat diklat Pegawai dan SDM Kehutanan Bogor.
156 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Lampiran 1. Potensi pohon (N/ha) dan penyebaran jenis ulin dari tingkat pancang sampai tingkat pohon. No jalur Pancang Tiang Pohon Jumlah Petak Total pohon Penyebaran (N/ha) (n/ha) (N/ha) terisi (N/ha) (%) 1 96 4 10 23 110 46 2 24 6 12,5 13 42,5 26 3 32 2 9,5 21 43,5 42 4 24 4 15,524 15 43,5 30 5 80 10 24 21 114 42 6 40 8 24 15 72 30 7 32 4 11 18 47 36 8 56 12 4,5 18 72,5 36 9 48 4 6,5 18 58,2 36 10 62 8 10 22 82 44 Rata-rata 68,55 36,8
157 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
BEBERAPA ALTERNATIF MANAJEMEN KESUBURAN TANAH DI KEBUN PERCOBAAN PADA BEBERAPA TAPAK DI PULAU TIMOR BARAT Oleh Tigor Butarbutar, Siswandi ABSTRAK Pengetahuan tentang tingkat kesuburan tanah atau suatu unit lahan menjadi lahan menjadi sangat penting ketika melakukan jenis tanaman tertentu. Secara umum Pulau Timor memiliki iklim yang relatif kering, dimana pada periode yang cukup lama tanaman kekurangan air dalam jumlah yang besar, apabila tidak dialkukan antiipai yang baik sebelum dilakukan kegiatan penanaman. Pengetahuan tentang kondisi lahan akan menjadi dasar dalam pemilihan jenis yang akan dibudidayakan. Dengan mengetahui beberapa hal yang menajdi faktor pembatas kesuburan lahan ditentukan usaha-usaha perbaikan supaya produktivitas lahan akan menajdi lebih optimal. Kata kunci: Unsur hara, kimia tanah, tanaman alternatif, Timor Barat. II. PENDAHULUAN Peningkatan potensi daya dukung lahan sumber unit lahan bergantung pada faktor tanah, topografi/kemiringan, cuaca/iklim dan lingkungan lainnya lainnya seperti sosial budaya. Faktor manajemen terkait dengan cara kebiasaan yang akan dilakukan masyarakat mengelola tanah, topgrafi dan iklim. Faktor topografi dan iklim relatif tidak dapat dirubah, sedangkan sifat-sifat tanah seperti fisik, kimia dan komoditi/jenis tanaman yang akan diusahakan. Kesuburan tanah adalah kemampuan atau kualitas suatu tanah menyediakan unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan tanaman dalam bentuk senyawa yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman tersebut. Keseburan tanah dapat dibedakan menjadi potensi kesuburan fisik, kesuburan kimia tanah dan kesuburan biologi. Dengan mengetahui sifat-sifat fisik dan kimia tanah tertentu akan dapat ditentukan perlakuanperlakuan yang dibutuhkan supaya produksi dari unit lahan tersebut dapat optimal. Tanah produktif harus mempunyai kesuburan yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman, akan tetapi tanah yang subur tidak selalu produktif. Tanah produktif apabila dikeloadengan tepat dan menggunakan teknik pengelolaan yang baik serta penanaman dengan menggunakan jenis yang sesuai dengan kondisi tanah tersebut. Ini merupakan bukti bahwa arti produktivitas tanah tidak sama dengan kesuburan tanah. III.
LOKASI DAN METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi Penelitian dilakukan di Kebun percobaan Sikumana, Kebun percobaan Oilsonbai da Kawsan hutan dengan tujuan khusus (KHDTYK) Banamlaat, Kefamenanu. Ketiga lokasi tersebut terletak di Pulau Timor Barat
158 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
B. Metodologi Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan dnegan urutan sebagai berikut : 1. Penentuan lokasi pengambilan contoh tanah 2. Pengambilan contoh tanah dilapangan 3. Analisis contoh tanah dilaboratorium 4. Penilaian kesuburan fisik dan kimia berdasarkan unsur-unsur yang dianalisis. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis sifat fisik tanah dari Balai Penelitian Tanah Bogor dapar dilihat pada table 1. Tabel 1. Hasil analisis sifat fisik tanah dari lokasi petak coba di Pulau Timor Barat No
Lokasi
Lapisan (cm)
1
2
3
Sikumana
Oilsonbai
Banamlaat
Nama Tekstur
Tekstur Pasir
Debu
Liat
(%)
(%)
(%)
0-30
41
48
11
Debu Berlempung
30-60
27
61
12
Debu Berlempung
60-100
65
23
12
Lempung pasir
0-30
12
20
68
Liat
30-60
5
20
75
Liat
60-100
4
20
76
Liat
0-30
31
26
43
Liat berpasir
30-60
30
25
45
Liat
60-100
43
27
30
Liat berlempung
Berdasarkan Tabel 1 tersebut terlihat bahwa fraksi liat pada lapisan 1, lapisan 2, lapisan 3 terlihat lebh rendah (11%-12%) dibandingkan dengan fraksi pasir dan debu di Sikumana, sedangkan di stasiun Oilsonbai dan Stasiun Banamlaat fraksi pasir berkisar antara 30%-60% dilapisan 1, lapisan 2 dan lapisan 3 denganfraksi pasir. Hal ini menunjukkan bahwa tekstur tanah lebih berat di stasiun Oilsonbai dan Banamlaat dibandingkan dengan yang ada di Sikumana yang mempunyai kandungan liat rendah (tekstur lebih ringan). Selanjutnya kapasitas menyerap air tanah akan lebih tinggi pada tanah yang mempunyai tekstur liat seperti di Oilsonbai dan Banamlaat dibandingkan Sikumana. Hal ini dapat ditunjukkan oleh keberadaan aliran permukaan seperti pada musim hujan, sungai/anak sungai yang terdapat di oilsonbai dan Banamlaat, dibandingkan dengan Sikumana yang tidak mempunyai aliran air permukaan, karena kapasitas infiltrasi pada tanah dengan tekstur lapisan yang lebih tinggi. Dengan kondisi tanah seperti diatas, dari segi tekstur tindakan manajemen terhadap perbaiakan sifat fisik tanah dan jenis-jenis yang sesuai mudah ditanama dapat dilihat pada Tabel 2.
159 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 2. Tindakan ataupun perbaikan sifat fisik tanah yang diperlukan dan jenis jenis diusahakan untuk dikembangkan di tiga lokasi, Pulau Timor Barat. No Lokasi Perbaikan tekstur Kriteria jenis-jenis yang sesuai
1
Sikumana
Perbaikan bahan organic
Toleransi terhadap drainase/miring
2
Oilsonbai
Perbaikan bahan kasar//pasir
Toleran terhadap drainase/aerasi yang jelek
3
Banamlaat
Tidak perlu perbaikan bahan Toelran terhadap drainase/aerasi organic atau bahan kasar
yang jelek
Di stasiun Banamlaat karena fraksi pasir dan liat hampir berimbang, jadi tidak perlu diberi perbaikan untuk memperbaiki tekstur. Selanjutnya hasil analisis sifat kimia dapat dilihat pada lampiran 1. Kemasaman tanah pada ketiga lokasi umumnya termasuk tinggi yang disebabkan kation basa tanah yang tinggi seperti Ca yang dapat dipertukarkan yang termasuk sangat tinggi, berkisar antara 30,86 C mol/Kg-57,73 C mol.kg dan di Oilsonbai relatif lebih tinggi pada seluruh lapisan tanah dibandingkan dengan stasiun Sikumana atau Banamlaat. Nilai Ca tertukar ini juga mencirikan tekstur tanah yang lebih berat/liat di Sikumana. Selanjutnya potensi kesuburan kimia di tiga lokasi relatif subur. Hal ini terlihat dari nilai kejenuhan basa > 100% dan tingkat pelapukan yang relatif baik yang dilakukan nilai oleh C/N (9-15). IV. ANALISIS FAKTOR PENGHAMBAT DAN PELUANG PERBAIKANNYA A. Faktor Tanah Sifat-sifat kimia tanah yang daopat menjadi penghambat terhadap pertumbuhan tanaman adalah tekstur tanah berliat, kandungan Ca yang tinggi dan kation Na yang relatif tinggi yang dapat mengakibatkan tanah ter-akogulasi dan dapat menimbulkan kembang susut tanah yang sangat ekstrim. Pada musim kemarau menjadi retak-retak sehingga pertumbuhan akar tanaman dapat terganggu/putus. Kandungan kation Ca yang tinggi dapat mengurangi penyerapan Borium (bo) (Black, 1968). Kekurangan Bo dapat mengakibatkan kematian pucuk dan akar (Russel, 1961). Hal ini mungkin disebabkan bahwa bahan induk yang mengandung Ca lebih tinggi di Oilsonbai dibandingkan dengan Sikumana dan Banamlaat. Unsur Ca penting dalam menentukan kesuburan tanah hutan, mempengaruhi sifat fisik; kimia dan biologi. Tanah yang mempunyai Ca yang lebih tinggi umumnya lebih baik dibandingkan tanah dengan kandungan Ca lebih rendah. Hubungan kandungan Ca dengan kesuburan tanah atau unit lahan tidak hanya bergantung dari Ca. Ada faktor lain yang turut berpengaruh seperti tanah yang mempunyai air yang cukup sehingga tegakan akan lebih baik dibandingkan dnegan tanah yang kering walaupun dalam tanah kering banyak mengandung Ca (Lutz dan Chandler, 1965). B. Faktor lainnya 1.
Ketersediaan air
Secara umum tipe iklim di Pulau Timor Barat termasuk tipe E-G dengan jumlah curah hujan dan hari hujan yang relatif rendah, Mengingat iklim merupakan faktor yang relatif tetap maka sulit untuk merubah ketersediaan air dalam tanah dan juga kelembaban lingkungan tanah. Satusatunya usaha yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan air tanah atau mengikat uap air 160 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dari kelembapan lingkungan yang ada dengan berbagai bahan penyerap air yang dapat dicampurkan kedalam tanah. 2.
Jenis yang akan ditanam
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas unit lahan dilokasi-lokasi percobaan adalah dengan memilih jenis-jenis yang secara alami dapat tumbuh baik disekitar lokasi. Selanjutnya perlakuan perbaikan sifat fisik tanah terutama yang berkaitan dengan tekstur tanah dan ketersediaan air tanah merupakan peluang perlakuan yang dapat digunakan. Selanjutnya alternative jenis-jenis yang dapat dicoba untuk ditanam pada ketiga kebun percobaan dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Jenis-jenis tanaman yang dapat diujicoba di Kebun percobaan Sikumana, Oilsonbai dan Banamlaat. No Lokasi Jenis Tanaman 1
Sikumana
2
Oilsonbai
3
Banamlaat
Gamal (Gliricidae sepim), cendana(Santalum Album), jati (Tectona Grandis), turi (Sesbania Grandiflora), kayu putih (Melaleca Leucadendrom); Jabon (Anthocephalus Cadamba Miq); akasia (Acacia Auriculiformis) Pulai (Alstonia Sp), johar (Cassia Seamea), Gamal (Gliricidae Sepim), kayu putih (Melaleca Leucadendrom), tusam (Pinus Merkusii Jungh), ocoti pine (Pinus Oocarpai Shiede), jati (Tectona Grandis), turi (Sesbania Grandiflora), Kaliandra (Calliandra Calotyyrsus Meisan), cendana (Santalum Album), ampupu (Eucalyptus Urophylla), sonokeling (Dalbergia Latifolia). Cemara gunung (Casuarina Junghuniana Miq) Mahoni (sweitenia Macrophylla As), Akasia (Acacia Auriculiformis A. Cunn), Jabon (Anthocephalus Cadamba Miq), cendana (Santalum Album), jati (Tectona Grandis).
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Hasil analisis tanah menunjukkan bahwa tekstur tanah termasuk berat dengan kandungan liat yang tinggi. 2. Kandungan Ca tanah relatif tinggi pada ketiga lokasi penelitian.
B. Saran 1. Perbaikan kesuburan tanah/unit lahan dapat dilakukan dengan perbaikan tekstur/struktur supaya lebih sarang dan peningkatan kapasitas tanah untuk menyimpan air 2. Pemilihan jenis pohon dititik beratkan pada jenis-jenis yang toleran terhadap kekeringan dan terlalu berat. 3. Dapun jenis-jenis yang perlu diujicoba dimasing-masing lokasi antara lain: Di stasiun Sikumana : Gamal (Gliricidae sepim), cendana (Santalum Album), jati (Tectona Grandis), turi (Sesbania Grandiflora), kayu putih (Melaleca Leucadendrom); Jabon (Anthocephalus Cadamba Miq); akasia (Acacia Auriculiformis)
161 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
DAFTAR PUSTAKA Black, CA. 1968. Soil Plant Belationohipe. Jhon wiley & John. New York.London, Sidney. P. 2020-267. Lutz, HS and RF Chandler. 1065. Forest Soil. Jhon wiley & John. New York.London, Sidney. P181:198-267;338-376. Russel EW. 1961. Soil Condition and Plant Growth. The English Language Book Society and Longrans Green Co. Ltd. London Norwich. P. 92-114
162 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Lampiran 1. Hasil Analisis sifat kimia tanah pada ketiga stasiun penelitian di Pulau Timor Barat No Lokasi KTK PH Bahan organik Kapasitas Tukat kation C
(%)
Mol (+)/kg H2O 1
2
3
Sikumana
Hcl
C (%)
N %)
C/N
Ca
Mg
K
KB
Na
8,1
7,5
1,55
0,17
9
31,82
0,34
0,09 0,40
21,02 >100
8,3
7,8
0,90
0,10
9
38,21
0,310
0,04 0,13
11,12 >100
8,3
8,1
0,59
0,05
12
30,86
0,20
0,16 0,19
3,71
7,8
6,6
0,58
0,05
12
57,75
3,00
0,26 0,34
41,37 >100
6,7
5,3
0,35
0,03
12
48,52
2,88
0,22 0,47
46,18 >100
6,3
4,9
0,29
0,02
15
46,82
2,24
0,13 0,72
45,82 >100
Banamlaat 8,3
7,4
0,79
0,06
13
36,05
0,58
0,08 0,19
16,90 >100
8,4
7,4
0,40
0,03
13
43,00
0,50
0,12 0,19
17,84 >100
8,4
7,7
0,42
0,03
14
40,77
0,37
0,16 0,19
13,62 >100
Oilsonbai
163 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
>100
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
KAJIAN PENANAMAN Shorea leprosula DALAM SISTEM SILVIKULTUR TPTJ DI KALIMANTAN TENGAH Oleh Mawazin
ABSTRAK Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hutan alam adalah dengan melakukan penanaman jenis pohon cepat tumbuh dan melakukan pengaturan pohon. Umumnya jenis dari famili dipterocarpaceae memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan jenis famili lain, namun demikian tiap-tiap jenis mempunyai pertumbuhan yang berbeda-beda. Untuk itu pemilihan jenis pohon dan cara pemeliharaan yang tepat merupakan faktor yang penting. Shorea leprosula tergolong famili dipterocarpaceae yang mempunyai ketahanan terhadap cahaya dan pertumbuhannya cenderung meningkat apabila ditanam pada jalur yang lebar sedangkan pertumbuhan jenis ini termasuk sangat cepat. Penanaman dilakukan di areal ujicoba silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalur di HPH PT Sari Bumi Kusuma pada jalur tanam selebar 3mm sesuai petunjuk teknis TPTJ. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tinggi dan diameter jenis S. Leprosula di hutan alam bekas tebangan dengan penanaman sistem jalur, sehingga dapat dapat menjadi informasi dan bahan pertimbangan dalam pemilihan jenis untuk pengelolaan sistem silvikultur TPTJ. Hasil penelitian menunjukkan bahwa S. leprosula yang ditanam dalam jalur bersih selebar 3 m mempunyai pertumbuhan sangat cepat. Riap tinggi tanaman berkisar antara 148,2 cm-215,9 cm per tahun atau rata-rata 178. 3 cm sedangkan riap diameter berkisar antara 2,0 cm-2,7 cm pertahun atau rata-rata 2,2 cm. Jika riap diameter ini dapat dipertahankan selama pertumbuhannya maka 35 tahun yang akan dating diameter pohon S. leporsula akan mencapai 77, 6 cm yang siap ditebang. Kata Kunci : Shorea Leprosula, Riap Tinggi, Diap Diameter, TPTJ, Hutan Alam. I. PENDAHULUAN Sampai saat ini hutan hujan tropika basah masih menajdi tumpuan harapan untuk memenuhi kebutuhan kayu, baik kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan ekspor. Masalah penting dalam pengusahaan hutan alam adalah rendahnya produktivitas dan kualitas tegakan serta usaha membentyuk struktur tegakan bekas tebangan yang dapat menjamin kelestarian hutan dan produksi kayu. Indonesia merupakan salah satu negara tropika yang memiliki kawasan hutan cukup luas yang terdiri dari beberapa tipe hutan. Dipterocarceae merupakan penyusun utama hutan tersebut terutama pada pohon-pohon yang besar, sehingga sering disebut hutan dipterocarpa. (Marsono et.all, 1990). Jenis-jenis dari famili dipterocarpaceae memiliki rataan pertumbuhan yang bervariasi cukup besar. Pada tingkat semai dan pancang umumnya bersifat toleran yang memerlukan cahaya tidak penuh sehingga dapat menunjukkan rata-rata pertumbuhan yang cepat dan kondisi ini bertahan sampai 60 tahun. Dilain pihak, pada keadaan yang toleran pertumbuhan sangat lambat (Ashton, 1981). Umumnya jenis famili dipterocarpaceae memiliki pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan jenis dari famili lain. Namun demikian tiap-tiap jenis dari famili tersebut mempunyai pertumbuhan yang berbeda. Dan masing-masing jenis juga mempunyai persyaratan tumbuh yang tidak sama. Menurut Alder (1983), pertumbuhan diameter suatu jenis pohon tergantung dari beberapa parameter diantaranya tingkat populasi tegakan, faktor tempat tumbuh, umur pohon, persaingan, stratum tegakan pohon dan faktor genetik.
164 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hutan alam adalah dengan melakukan penanaman jenis-jenis pohon yang cepat tumbuh dan melakukan pengaturan pohon. Pertumbuhan jenis pohon hutan umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama faktor persaingan cahaya dan faktor hara yang diperlukan bagi pertumbuhannya. Pemilihan jenis pohon yang tepat terutama dari jenis yang cepat tumbuh dan dilakukan pemeliharaan intensif, merupakan cara yang baik. Salah satu usaha tersebut adalah dengan melakukan penanaman jenis Shorea leprosula. Jenis ini dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Menurut Hendromono dan Hajib (2001), S.Leprosula dapat tumbuh baik pada tanah latosol coklat kemerahan, sangat dalam (Darmaga) tanah podsolik merah kuning, dalam (Haurbentes) maupun pada tanah latosol coklat (Pasirhantap). Dibandingkan jenis meranti lainnya, S. Leprosula menunjukkan ketahanan terhadap cahaya dan diameternya menunjukkan kecenderungan peningkatan pada jalur yang lebar (Subiakto et,all, 2001). Disamping itu tanaman S Leprosula merupakan jenis Dipterocarpaceae yang pertumbuhannya sangat cepat, berbatang lurus dan batang bebas cabangnya tinggi baik di Indonesia maupun di Malaysia (Appanah Dan Weinlang, 1993). Dalam percobaan yang terbatas di beberapa hutan penelitian seperti Pasirhantap (Sukabumi), Darmaga (Bogor) dan Haurbentes (Jasinga) riap diameter S.Leprosula rata-ratanya berturut-turut adalah 1,13 cm/th, 1,9 cm/th dan 2,1 cm/th. Bahkan riap diameternya lebih tinggi dibandingkan dengan riap diameter Khaya Anthoteca dan Swietenia Machropylla (Hendromono dan Hajib (2001). Dengan pertimbangan diatas, maka jenis S.leprosula dijadikan sebagai salah satu jenis yang diprioritaskan untuk ditanam diareal hutan alam produksi dalam rangka uji coba sistem silvikultur Tebang Pilih dan Tanam Jalu (TPTJ) di HPH PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah karena jenis ni termasuk yang pertumbuhannya cukup cepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tinggi dan diameter jenis S. Leprosula di hutan bekas tebangan dalam rangka uji coba sistem silvikultur TPTJ. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi kepentingan pengelola hutan.
II.
METODOLOGI PENELITIAN
A.Keadaan Umum Lokasi Penelitian 1. Lokasi Kegiatan penelitian dilakukan di Kelompok Hutan Seruyan Hulu wilayah kerja HPH PT Sari Bumi Kusuma Kalimantan Tengah. Areal penelitian terletak diantara 11*30’-112*25’ BT dan 00*36’-01*10’ LS. Secara administrasi termasuk wilayah Kabupaten Kota Waringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah, sedangkan menurut administrasi Pemangkuan Hutan Termasuk BPKH Sampit, KPH Kota Waringin Timur Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah. 2.Topografi dan Tanah Topografi didaerah penelitian umumnya bergelombang ringan sampai sedang dengan kelerangan landai. Jenis tanah diwilayah ini didominasi tanah podsolik merah kuning.
165 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
3. Iklim Menurut klasifikasi Schimdt dan Ferguson (1951), wilayah ini termasuk iklim tipe A dengan curah hujan rata-rata 3.300mm/th. Suhu minimum berkisar antara 119,78C-20,8*C dan suhu maksimum 31,4*C-32,6*C C.Bahan dan Alat Areal yang digunakan dalam penelitian ini adalah areal ujicoba sistem silvikultur TPTJ. Jalurjalur tanaman dibuat selebar 3 m. Alat penelitian yang digunakan adalah pengukur tinggi, pengukur diameter, alat tulis menulis dan lain-lain. D.Metode Penelitian 1.
Pemilihan lokasi penelitian dengan menentukan jalur-jalur tanaman TPTJ yang dipilih secara sengaja (purposif) untuk mendapatkan areal yang memenuhi kondisi umum areal uji coba.
2.
Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanaman S.Leprosula yang ditanam bulan Agustus tahun 1999.
3.
Pengukuran pertama terhadap tinggi dan diameter tanaman dilakukan pada bulan Agustus 2000.
4.
Pengukuran kedua terhadap tinggi dan diameter tanaman dilakukan pada bulan Agustus 2001.
5.
Untuk kelengkapan data hasil penelitian dilakukan pula pengumpulan data sekunder yang erat kaitannya dengan penelitian seperti iklim, curah hujan, topografi lapangan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Riap tinggi Tanaman S.Leprosula yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai tinggi awal yang bervariasi berkisar antara 263-217,6 cm dengan rata-rata tingginya adalah 202,9 cm. Pada pengukuran kedua, tinggi tanaman dapat mencapai berkisar antara 330,9-433,5 cm dengan ratarata 382,6 cm. Untuk mengetahui pertumbuhan tinggi selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman pertahun pada berbagai jalur tanam Jalur Tanam
Tinggi awal (cm)
Tinggi akhir (cm)
Riap (cm)
I
200,4
376,8
176,4
II
190,1
338,3
148,2
III
217,6
433,5
215,9
IV
163,0
330,9
167,9
V
170,6
353,6
183,0
Rata-rata
179,8
Tabel 1 menunjukkan bahwa pada beberapa perlakuan jalur tanaman mempunyai rata-rata tinggi awal yang berbeda-beda. Rata-rata tertinggi adalah tanaman pada jalur III dengan tinggi awal rata-rata 217,6 cm. Dengan riap terbesar dibanding dengan riap tinggi pada jalur lain yaitu rataratanya adalah 215,9 cm. Umumnya untuk pohon-pohon muda terutama permudaan dengan diameter kurang dari 20 cm mempunyai pertumbuhan lebih cepat disbanding pohon yang sudah 166 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
tua. Menurut Masano (1981), pertumbuhan permudaan alam jenis jabon untuk tingkat tiang pancang riapnya adalah 2,73 m/th lebih tingggi dibandingkan dengan riap tinggi untuk tingkat semai rata-ratanya yaitu 1,54 m/th. Namun demikian pada jalur-jalur yang lain, tinggi rata-rata awal tidak signifikan terhadap riap tinggi tanaman. Untuk mengetahui hubungan awal tanaman dengan riap diameter disajikan dalam gambar 1. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan jalur tanaman terhadap riap tinggi dilakukan sidik ragam seperti tercantum pada table 2 (Stell and Torrie, 1960)
Tabel 2. Sidik ragam pengaruh perlakuan jalur tanaman terhadp pertumbuhan tinggi tanaman S.Leprosula db JK KT F hit Sumber variansi Jalur tanam
4
40923,7
10230,9
Galat
88
390064,9
4432,5
Total
92
3404593
2,3ns
Ns=tidak berbeda nyata Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jalur-jalur tanam tidak berpengaruh nyata terhadap riap tinggi tanaman. Tabel 1 menunjukkan bahwa jalur II mempunyai riap tinggi yang paling rendah, sedang riap yang paling tinggi dicapai oleh tanaman di jalur III. Pembuatan jalur-jalur tanaman adalah sesuai dengan petunjuk teknis TPTJ, sehingga tanaman pada jalur yang berbeda diharapkan pertumbuhan tingginya seragam. Walaupun perlakuan jalur tidak berbeda secara statistic, tetapi riap rata-rata tinggi tanaman bervariasi. Jika dilihat dari data tinggi awal tanaman pada jalur III mempunyai tinggi awal yang paling besar yaitu 217,6 cm diikuti oleh jalur I sebesar 200,4 cm, kemudian jalur II sebesar 190,1 cm, jalur V sebesar 170,6 cm dan jalur iV sebesar 163,0 cm. Riap tinggi yang dicapai berturut-turut adalah 215,9 cm/th, 16,4 cm/th, 148,22 cm./th, 183,0 cm/th dan 175,2 cm/th. Perbedaan riap tinggi ini kemungkinan lebih disebabkan oleh faktor tinggi awal yang berbeda. Pertumbuhan tinggi tanaman umunya dipengaruhi oleh cahaya matahari. Pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman akan mengarah kepda datangya matahari. Cahaya secara umum, baik dalam bentuk intensitas, kualitas maupun lamanya penyinaran sangat mempengaruhi proses fotosintesa tanaman berhijau daun. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman. Menurut Meyer dan Anderson (1953), dengan makin bertambahnya intensitas cahaya yang diberikan maikn bertambah pula pertumbhan memanjang dari batang, ketebalan atau kekerasan batang. Perbedaan riap tinggi jenis s. Leporsula pada lima jalur tanaman kemungkinan juga disebabkan oleh faktor penerimaan cahaya matahari yang tidak seragam. Pada jalur-jalur dalam penelitian ini posisinya diapit oleh jalurjalur antara yang dihuni tegakan tinggal, yang memberikan naungan terhadap jalur-jalur tanaman yang tidak merata tergantung pada kondisi tegakan tinggal yang berdekatan dengan jalur tanam masing-masing. Pengaruh naungan dari jalur antara yang berbeda ini kemungkinan juga menjadi penyebab perbedaan riap tinggi tanaman.
167 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
B. Riap diameter Data pertumbuhan diameter s.Leprosula diperoleh dengan melakukan pengukuran awal dan akhir. Selisih akhir dengan pengukuran awal adalah riap diameter. Tanaman yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai diameter awal yang bervariasi, karena tidak mungkin mendapatkan tanaman dengan diameter yang sama dalam jumlah yang banyak. Rata-rata diameter awal pada berbagai jalur berkisar antara 1,6-2,5 cm. Rata-rata diameter tanaman pada berbagai jalur tanam beserta riap diameternya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rata-rata diameter tanaman (cm) pada berbagai jalur tanaman. Jalur tanaman
Diameter tanaman (cm)
Riap (cm/th)
Agustus 2000
Agustus 2001
I
2,2
4,3
2,0
II
1,8
4,0
2,2
III
2,5
5,2
2,7
IV
1,6
3,6
2,0
V
1,6
3,7
2,1
Rata-rata
2,2
Penggunaan tanaman yang mempunyai diameter awal berbeda diperoleh riap diameter awal berbeda diperoleh riap diameter yang berbeda pula. Tabel 3 menunjukkan tanaman yang mempunyai diameter awal yang terkecil pada jalur IV dengan rata-rata sebesar 1,6 cm diperoleh riap diameter yang paling rendah yaitu 2,0 cm. Tanaman yang mempunyai diameter awal paling tiggi pada jalur III dengan rata-rata diameter sebesar 2,5 cm diperoleh riap diameter terbesar yaitu 2,7 cm/th. Dari data tersebut ada kecenderungan bahwa semakin besar diameter awal akan meningkatkan riap diameter tanaman. Untuk mengetahui hubungan diameter awal tanaman dengan riap diameter tercantum pada gambar 2. Hutan alam merupakan hutan yang dihuni oleh berbagai jenis pohon, yang mempunyai pertumbuhan yang berbeda-beda. Ada yang tumbuh cepat dan ada yang tumbuh lambat. Selama ini pertumbuhan diameter pohon hutan alam bekas tebangan relatif rendah. Marsono et.all (1990) menyatakan riap diameter tegakan tinggal jenis dipterocarpa yang tidak terpelihara untuk kelas diameter 10-19 cm; 20-34 cm dan 35 cm-up, berturut-turut adalah 0,6 cm, 0,7 cm dan 0,6 cm. Sedangkan jenis dipterocarp dengan pemeliharaan terbaik yaitu dengan menebang semua pohon berdiameter 50 cm-up dapat meningkatkan riap diameter menjadi berturut-turut 1,1 cm; 0,7cm; dan 0,9 cm. Anonim (1998). Menyatakan bahwa riap diameter meranti merah yang tidak terpelihara mempunyai riap diameter 0,8 cm/th, sedangkan pohon yang tidak terpelihara dengan bina pilih riapnya dapat meningkat menjadi 1,6 cm/th. Dari beberapa hasil penelitian sebelumnya diperoleh informasi bahwa tegakan hutan alam yang tidak dilakukan pemeliharaan akan cenderung menghasilkan riap diameter yang rendah. Oleh karena itu, untuk meningkatkan riapnya perlu dilakukan pemeliharaan pembebasan, hanya saja pelaksanaan pembebasan disamping pelaksaaannya agak rumit diperlukan keseriusan pengelola hutan juga pengawasan pelaksanaan pembebasan oleh pemerintah masih dirasa sulit karena belum ada standar baku. Untuk meningkatkan riap diameter pohon dihutan alam, penentuan jenis yang cepat tumbuh serta 168 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
bentuk pemeliharaan yang tepat merupakan faktor yang menentukan. Dengan diketemukannya jenis dan pemeliharaan yang tepat maka kualitas dan kuantitas tegakan htan dapat meningkat sehingga kelestarian hutan dapat tercapai. Hasil penelitian penanaman jenis S. leprosula diperoleh riap diameternya cukup tinggi dengan rata-rata riap diameter 2,2 cm/th. Apabila riap diameter yang dicapai ini dapat dipertahankan selama pertumbuhannya amka 35 tahun yang akan datang, diameter pohon akan mencapai 77,6 cm. Hal ini tidak mustahil jika selalu dipelihara secara tepat. Maka riap diameter yang diinginkan akan tercapai sehingga kelestarian produksi dapat terjamin. Ashton (1981) menyatakan jenisjenis dari famili dipetorcarpasea memiliki rataan pertumbuhan yang bervariasi cukup besar. Pada tingkat semai dan pancang umumnya bersifat toleran yang memerlukan cahaya tidak penuh sehingga dapat memberikan rata-rata pertumbuhan yang cepat dan kondisi ini bertaham sampai 60 tahun. Untuk mengetahui pengaruh jalur tanaman terhadap riap diameter dilakukan sidik ragam seperti tercantum dalam table 4. Tabel 4. Sidik ragam pengaruh jalur tanam terhadap pertumbuhan diameter S. Leprosula Sumber variansi
db
JK
KT
Jalur tanam
4
5,5
1,4
Galat
88
36,8
0,4
Total
92
F hit 3,26*
*: berbeda nyata pada taraf 0,05 Hasil analisa menujukkan bahwa jalur-jalur tanaman berpengaruh nyata terhadap riap diameter tanaman. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan jalur terhadap riap diameter dilakukan uji coba Scheffe, sebagai berikut (Stell and Torrie, 1960): I
IV
V
II
III
2,05
2,08
2,09
2,15
2,72
Keterangan : - - - - tidak berbeda nyata pada taraf 0,05 Hasil uji Scheffe menunjukkan bahwa jalur I, jalur IV dan jalur V dan jalur II secara statistic tidak menunjukkan adanya perbedaan, tetapi dari keempat jalur tadi berbeda secara statistic dengan riap diameter pada jalur III. Tabel 3 menunjukkan bahwa diameter awal tanaman pada berbagai jalur rata-rata bervariasi, yaitu untuk jalur I diameter awal sebesar 2,2 cm, untuk jalur IV diameter awal sebesar 1,6 cm, untuk jalur II diameter awal sebesar 2,5 cm. Tanaman pada jalur III dengan diameter yang tertinggi diperoleh riap diameter paling rendah yaitu: 2,0 cm. Pembuatan jalur-jalur tanam umumnya relatif sama sesuai petunjuk teknis TPTJ, sehingga perbedaan riap diameter pada berbagai jaluir kemungkinan disebabkan oleh besarnya diameter awal tanaman. Dari data rata-rata awal diameter dan pertumbuhan riap diameter ada kecenderungan bahwa semakin besar diameter awal tanaman akan meningkatkan pertumbuhan riap diameter tanaman. Pemilihan jenis S. leprosula untuk digunakan sebagai tanaman prioritas dalam sistem silvikultur TPTJ sangat tepat, terutama dilihat dari riap diameter yang cukup menjanjikan. Bahkan jenis ini pertumbuhannya dapat mengalahkan jenis-jenis hutan tanaman seperti Khaya dan Mahoni. Hendromono dan Hadjib (2001), menunjukkan bahwa penanaman S. leprosula 169 | P r o s i d i n g
di
Hutan
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
penelitian Pasirhantap (Sukabumi) mempunyai riap diameter S. leporsula (1,6 cm) lebih besar jika dibandingkan Khaya Anthotheca (1,1 cm) dan Swietenia Machrophylla (1,3 cm). Demikian juga penanaman s. Leprosula di Hutan penelitian Darmaga (Bogor) riap diameter S. leprosula sebesar 1,9 cm lebih besar dibandingkan K. anthoteca (1,7 cm) dan S. macrophylla (1,1 cm). Bahkan di hutan penelitian Haurbentes (Jasinga) riap diameter S. Leprosula mencapai 2,1 cm/tahun.
IV.KESIMPULAN DAN SARAN 1. S.Leprosula termasuk jenis yang tahan jika ditanam diareal yang terbuka, sehingga memungkinkan untuk penanaman dalam jalur tanam sistem silvikultur TPTJ maupun pada areal hutan yang relatif terbuka 2. Penanaman jenis S. leprosula dalam jalur sistem TPTJ memberikan prospek yang menjanjikan dengan riap tinggi rata-rata sebesar 179,8 cm/th dan riap diamter rata-rata sebesar 2,2 cm/thn. 3. Jika riap diameter yang dicapai dapat dipertahankankan selama pertumbuhan, maka 35 tahun yang akan adatang diameter pohon akan mencapai 77,6 cm yang siap ditebang. 4. Ukuran diameter dan tinggi awal tanaman berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Semakin besar diameter dan tinggi awal tanaman semakin besar riap diameter dan riap tingginya. 5. Hasil penanaman s.Leprosula dalam sistem jalur khususnya di areal penelitian mempunyai riap diameter yang tinggi, bahkan lebih besar di banding dengan Swietenia Macrophylla dan Khaya Anthotheca yang ditanam di Pasirhantap dan Darmaga (Jawa Barat).
DAFTAR PUSTAKA
Alder, D. 1983. Growth and Yield of Mixed Tropical Forest Part 2. Forecasting Techniques. FAO, Oxford. Anonim. 1998. Ringkasan: Ujicoba Sistem Silvikultur Binapilih Sebagai Modifikasi Sistem TPTI di Magole Timber Producer Unit I dan Unit III Kabupaten Maluku Utara. Fakultas Kehutanan Universitas Mulawarman Samarinda. Appanah, S and G. Weinlang. 1993. Planting Quality Timber Tress in Peninsulas Malaysia, A. Revieuw. Malayan Forester Record No. 38 Forest Researcher Institute Malaysia. Kuala Lumpur. Ashton, PS. 1981. Dipetrocarpaceae Spermatophyte. Flower rings plants vol. 9 part 2 Hendromono dan N Hajib. 2001. Prospek Pembangunan Hutan dan Pemanfaatan Kayu Jenis Khaya, Mahoni dan Meranti. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian : Pengembangan Jenis Tanaman Potensial (Khaya, Mohoni dan Meranti) Untuk Pembangunan Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor hal 29-40. Marsono, D.S. Sastrosumarto dan Soewarno HB. 1990. Riap dan Sebaran Diameter Pohon Pada Tegakan Tinggal TPI Setelah Pemeliharaan di PT. STUD Jambi. Buletin Penelitian Kehutanan 6 (1); 37-48. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar. Masano. 1985. Perkembangan Jenis Shorea Leprosula Miq dikebun Percobaan Haurbentes, Carita dan Pasirhantap. Bul. Pen. Hut 167: 12-35. Pusat Litbang Hutan Bogor Masano.1981.Pertumbuhan Permudaan Alam Jenis Jabon dan Sungkai pada Areal Bekas Tebangan di PT ITCI PT BFI dan PT Telaga Mas Kalimantan Timur. Proceeding Lokakarya Sistem Silvikultur TPT. Bogor. Hal 241-263 Mayer, B.S dan DB Anderson. 1853. Plants physiologi. D.Van Nostrand Company Inc. London 756 pp
170 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Schimdt FH adan JHA Ferguson. 1951. Rainfall Typpes Based on Wet and Dry Periods rations for Indonesia With Western New Guinea Verh No. 42 Djawatan Meteorologi dan geofisika. Jakarta. Stell RGD and JH Torrie. 1960. Principles and Procedures Of Statistics. Mc Graw Hill Book company, Inc. New York, Toronto, London. Subiakto, A.SN Hani, R. Bogidarmanti dan M.Suharti. 2001. Kajian Hutan Tanaman Campuran. Prosiding ekspose Hasil-hasil Penelitian : Pengembangan Jenis Tanaman Potensial (Khaya, Mahoni dan Meranti) Untuk Pembangunan Hutan Tanaman. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan KOnservasi Alam. Bogor. Hal 53-57
171 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
STATUS PENELITIAN SILVIKULTUR DUABANGA (Duabanga Moluccana Blume) DI BALAI LITBANG KEHUTANAN BALI DAN NUSA TENGGARA Oleh I Komang Surata ABSTRAK Duabanga (Duabanga Moluccana Blume) adalah species endemik dan hasil hutan kayu yang memegang peranan yang sangat penting di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang memberikan kontribusi yang sangat besar untuk sektor kehutanan di NTB. Namun dewasa ini populasi hutan alam sudah sangat menurun karena eksploitasi yang dilakukan berlebihan, illegal logging dan ketidak berhasilan rehabilitasi pada areal bekas tebangan dan belum banyak dilakukan penanaman karena keterbatasan teknologi. Oleh sebab itu dalam mengembalikan potensi dua banga sebagai primadona NTB perlu segera diikuti regenerasi, baik melalui permudaan alam maupun buatan. Untuk mewujudkan upaya tersebut sebagaimana yang diharapkan, dukungan teknologi sangat diperlukan. Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara yang berkedudukan didaerah inti produksi duabanga telah berupaya menyediakan teknologi yang dibutuhkan lewat kegiatan penelitian yang dilakukan sejak tahun 1993 dan juga pengumpulan informasi hasil penelitian yang sudag ada. Paket-paket teknologi hasil penelitian dan informasi duabanga yang disajikan dalam makalah ini meliputi deskripsi botani, sifat dasar kayu, sebaran dan persyaratan tempat tumbuh, pengelolaan permduaan hutan alam, pengelolaan hutan tanaman, serta uji provenansi. Paket-paket teknologi yang dihasilkan sudah siap untuk dikembangkan menjadi bahan kebijakan dalam rangka membantu pelestarian duabanga. Kata kunci: Species endemik, penurunan populasi, rehabilitasi, permudaan, riap, provenansi. I. PENDAHULUAN Duabanga (Duabanga Moluccana Blume) merupakan salahs atu jenis kayu yang sangata potensial di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Pohon ini termasuk jenis yang bernilai ekonomi tinggi (laku dipasaran dalam dan luar negeri), merupakan vegetasi pionir, jenis intoleran terhadap cahaya, cepat tumbuh, daur hidup pendek (30 tahun) serta riap dan produksinya tinggi. Duabanga selama ini dipakai sebagai bahan baku vinir kayu lapis, pertukangan yang ringan. Di Pulau Lombok dipakai sebagai kayu pertukangan yang ringan. Di Pulau Lombok dipakai sebagai kayu pertukangan yang ringan seperti kusen pintu, ususk untuk atap bangunan dan bahkan di Puluu Bali sudah mulai dipakai sebagai bahan baku kayu perpatungan. Disamping sebagai penghasil kayu, di Pulau Sumbawa duabanga juga dipakai sebagai pelindung tanaman kopi atau bawah tegakannya dapat ditanami talas (Surata, 2004). Eksploitasi hutan alam duabanga di Gunung tambora yang dikelola ole PT Veneer Products Indonesia sesuai SK Menterei Pertanian No. 3001/Kpts/V//m/1973 seluas 20.000 ha sudah dimulai sejak tahun 1870. Duabanga dikawasan ini populasinya homogen (85,50% duabanga) dengan rata-rata produksi 140-400 m3/ha, populasi 17, 56 ha dan hampir 90% pohon berdiameter 0,60 m-1,5 m (alrsyid, 1991). Selama ini pengelolaan hutan alam produksi duabanga yang dieksploitasi dengan sistem TPTI oleh Hak Pengusahaan Hutan di Propinsi Nusa Tenggara Barat dan belum diikuti keberhasilan perkayaan pada areal bekas tebangan, akibatnya dewasa ini terjadi penurunan potensi populasi dan penyusutan bahan baku industri. Oleh karena itu, dewasa ini eksploitasi hutan alam 172 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
duabanga dihentikan. Berdasarkan permasalahan tersebut maka upaya rehabilitasi melalui regenerasi perlu segera dilakukan terutama pada daerah-daerah habitat alaminya, sehingga dimasa mendatang kedudukan istimewa kayu duabanga bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan. Perlunya pemulihan kembali potensi kayu duabanga melalui kegiatan pelestarian dan penanaman telah banyak dikemukan berbagai pihak. Namun upaya penanaman duabanga dalam bentuk pengkayaan pada areal bekas tebangan HPH maupun dalam bentuk pembuatan hutan tanaman tingkat keberhasilannya masing rendah dibawah 20% (surata, 1995). Pengkayaan atau penanaman duabanga memerlukan teknologi yang spesifik mengingat duabanga merupakan jenis yang intoleran (jenis butuh cahaya), jenis yang membutuhkan banyak air karena jenis intoleran (jenis butuh cahaya), jenis yang membutuhkan banyak air karena jenis cepat tumbuh. Berdasarkan permaslahan tersebut maka sejak tahun 1993 Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara sudah berusaha mendapatkan teknologi budidaya duabanga melalui kegiatan penelitian dengan membangun plot uji coba seluas 5 ha akan tetapi hasilnya kurang menggembirakan. Kemudian pada tahun 1995/1996 dilakukan pembuatan demplot duabanga seluas 10 ha dengan pengelolaan yang intensif tumpangsari dan hasilnya cukup memuaskan. Dalam makalah ini dikemukakan hasil penelitian dan informasi duabnagn yang meliputi deskripsi botani, sifat dasar kayu, sebaran dan persyaratan tempat tumbuh, pengelolaan permudaan hutan alam, pengelolaann hutan tanaman, riap dan produksi hutan tanaman dan uji provenansi. IV. DESKRIPSI BOTANI, SIFAT DASAR PERSYARATAN TEMPAT TUMBUH
KAYU,
PENYEBARAN
DAN
1. Deskripsi Botani Pohon duabanga dikenal dengan nama lokal berbagai daerah antara lain: rajumas di Pulau Lombok, Kalanggo di Pulau Sumbawa, takir di Pulau jawa, gajawas di Maluku dan binuang laki di Kalimantan. Menurut Karta sujana (1977) Disamping binuang laki, sementasra ini ada juga yang dinamakan binuang bini adalah Octomeles sumatrana yang berbeda sukunya dengan binuang laki. Binuang laki termasuk Sonneratiaceae dan binuang bini teramsuk Distaceae. Duabanga termasuk kedalam famili Sonneraticeae. Jenis pohon besar, selalu hijau, tinggi hingga 25-35 m, diameter 70-120 cm, bebas cabang dapat lebih dari setengah tinggi pohon, kulit kasar, permukaan kulit batang tidak teratur, tetapi agak pecah dan bersisik. Ciri pohon yang agak tua, kulit bagian dalam berserat halus, getah berwaran kecoklatan dan pada bagian kambium sedikit berwarna kemerahan. Banir batang rendah yaitu 50 cm dari permukaan tanah, daun berbentuk bulat telur (ovate) dengan panjang 9-14 cm, lebar 4-8 cum, ujung daun runcing memanjang, dasar daun membulat. Tulang daun primer pada bagian bawah daun menonjol. Tulang daun sekunder terdiri dari 15-16 pasang dan membentuk sudut 60 * terhadap tulang daun primer. Tulang daun tersier terbentuk jala dan beralur, berwarna abuabu atau coklat. Bunga berwarna putih atau kemerahan (Heyne, 1987). 173 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2. Penyebaran. Penyebaran secara alami duabanga terdapat di Malaysia Barat (Semenanjung Malaya), Sumatera, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara Barat, Bali, Sulawesi, Maluku dan Papua (Heyne, 1987). Di propinsi Nusa Tenggara Barat duabanga menyebar dikawasan hutan Gunung Rinjani, kawasan hutan Gunung Tambora, dan pegunungan di Sumbawa Barat bagian Selatan. Khusus di Gunung Tambora duabangan tumbuh homogen Di calabai Gunung Tambora, duabanga tumbuh secara alami dideerah curah hujan agak tinggi yaitu > 2000 mm/thn dengan populasi 25-40 pohon/ha. Disamping itu terdapat juga hutan alam duabanga yang berupa campuran yang terdapat di Lunyk (Pulau Sumbawa) dan Mongga; (Pulua Lombok) dengan kerapatan populasi 1-5 pohon/ha (al Rsyid, 1991). 3. Sifat Dasar kayu Menurut Sutigno (1991) sifat dasar kayu duabanga termasuk kayu yang ringan, mempunyai kayu teras berwarna coklat dan kuning muda atau putih kuning, sedangkan kayu gubal berwarna lebih muda, tetapi tidak mempunyai batas yang jelas denga kayu terasnya sehingga kayu gubal sukar dibedakan dengan kayu terasnya. Tekstur kayu termasuk kasar denga arah serat lurus atau terpadu. Berat jenis 0.39 kelas kuat II-IV, eklas awet II (sedang). Serta kayu termasuk kelas II (sedang) dan mudah dikeringkan dengan cacat minimal. Sifat dasar kayu ini diatas sifat dasar sengon dan hampir sama dengan sifat dasar kayu meranti merah. Menurut penggolongan komponen kimia kayu di Indonesia ternyata sifat kimia kayu termasuk mempunyai kadar selulosa sedang (40-45%) kadar lignin tinggi (>21%), pentosan rendah (<13%), zat ekstraktif tinggi (>4%) dan abu sedang (1-6%). Kayu duabanga mudah dikeringkan dnegan cacat minimal. Sifat permesinannya juga baik sehingga sesuai untuk produk pengerjaan kayu. Kayu duabanga sesuai untuk bahan pembuat kayu lapis untuk bahan pembuat kayu lapis dan papan semen, pembuatan pulp yang dimasak dengan kaustik soda masih belum berhasil (Sutigno, 1991). 4. Persyaratan Tempat tumbuh a. Ketinggian tempat dan Topografi Menurut Soekotjo (1991) terdapat variasi geografik pertumbuhan duabanga di Gunung Tambora. Berdasarkan ketinggian tempat tumbuh dapat dikelompokkan kedalam 3 zona hutan sebagai berikut: 1.) Zona antara 300-750 m dpl. Luas + 8.000 ha, duabanga masih dominan. Namun masih dijumpai jenis-jenis lain antara lain Anthocephalus cadamba, alstonia scholaris, nauljea orientalis, buchaminnar barescens, eugenia grandis, michelia champara dna lain-laian. 2.) Zona ketinggian 750-1.000 m dpl. Luas + 12.000 ha. Dizona ini duabanga mendominir dan tapak seolah-olah merupakan hutan duabanga murni (hampir 85 % didominasi duabanga) 3.) Zona 1.000-1.200 m dpl, merupakan zona antara duabanga dan Casuarina junghiana. Diatas zona 1.200 m dpl tidak ada lagi dijumpai duabanga 174 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Berdasarkan hasil penelitian di Gunung Tambora (Surata, 1995) populais jenis pohon duabanga pada ketinggian 300 m dpl memiliki kerapatan tingkat pohon 38,67 batang/ha dengan luas bidang dasar 34,55 m2, serta tingkat tiang, sapling dan seedling tidak dijumpai. Pada ketinggian 500 m tingkat pohon memeliki rata-rata kerapatan 71, 46 batang/ha dengan luas bidang dasar 49,67 m,2,s erta tingkat tiang, sapling dan seedling tidak dijumpai. Sedangkan pada ketinggiam 700 m dpl tingkat pohon memiliki rata-rata kerapatan 98, 67 batang/ha dengan luas bidang dadar 28, 93 m2 serta tingkat tiang, sapling dan seedling tidak dijumpai. Topografi wilayah sebaran alami duabanga di Gunung Tambora adalah bergunung dengan kemiringan lereng antara 30-60%. Pada ketinggian 120 m dpl dengan topografi yang datar sekitar 5 km dari garis pantai dapat dijumpai tanaman duabanga hasil percobaan PT Veneer Products Indonesia dalam kondisi yang cukup baik (Santoso, 1991) b. Iklim dibagian barat Gunung Tambora dimana duabanga mempunyai sebaran yang cukup baik, wilayahnya termasuk kedalam tipe iklim B menurut Schmitt dan Fergusin (1951) dengan nilai Q=0, 143-0,33. Curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3.750 mm dengan rata-rata hujan 153,3 hari. Pada curah hujan dengan ketinggian ketinggian yang lebih rendah didaerah pantai, curah hujannya termasuk iklim E dnegan curah hujan 1.470 mm/thn dengan 79,5 haru hujan. Suhu udara pada siang hari berkisar antara 27-30* C dan pada malam hari 21-24*C, Kelembaban udara relatif pada musim hujan antara 75-95% dan pada musim kemarau 40% (Alrasyid, 1984). 5. c. Tanah 6. Sebagian besar profil tanah di Gunung Tambora belum menunjukkan secara jelas adanya diferensiasi horizon, tidaks eperti tanah-tanah lain yang sudah secara matang. Horizon A langsung kebahan induk tanah atau bahan-bahan lain (R) yang merupakan hasil erupsi Gunung Tambora. Apda lereng tengah dimana vegetasi lebih lebat maka diferesiansi profil terlihat sedikit lebih maju yang dicirikan oleh meningkatknya liat dan sudah terbentuk horison A, namun maish diklasifikasikan sebagai litosol (solum tipis 40-50 cm ). Pembentukan tanah lebih cepat dari pada altitude lebih tinggi karena curah hujan lebih tinggi. Menururt klasifikasi Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (1993), jenis tanah tempat pertumbuhan duabanga di Gunung Tambora adalah sebagai berikut: 1.) Kompleks Regosol coklat dan litosol. Jenis tanah ini mempunyai sebaran dikaki bawah Gunung Tambora sebelah timur. Jenis tanah ini berwarna coklat tua sehingga kelabu muda, bertekstur kasar hingga berkerikil, mempunyai konsistensi dengan permeabilitas dan drainase tinggi.
175 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2.) Kompleks Regosol Kelabu dan Lithosol. Penyebaran dilereng barat Gunung Tambora. Tanah berwarna coklat kelabu, berteksturs kasar, berkerikil, dengan struktur lepas, gembur dan permeabilitas tinggi. 3.) Kompleks regosol kelabu. Mempunyai sebaran sebaran dilereng tengah Gunung Tambora yang merupakan sebaran alam duabanga. Tanahnya termasuk tahap pelapukan juvenil yang berarti masih berumur sangat muda, sebagian bahan asli masih belum mengalami pelapukan. 4.) Sifat kimia tanah dibawah tegakan hutan alam di gunung Tambora mempunyai kisaran pH tanah 6,59-6,73. Kisaran tersebut termasuk pH sedang (netral) yang termasuk pH yang baik dan dapat menunjang ketersediaan berbagai unsur hara bagi tanaman. Bahan organik berkisar antara 0,46-1,09 yang termasuk kandungan yang rendah, kadar N 0,040,10% yang termasuk rendah sekali, kadar fosfor total 1,9-8,4 mg/100 g, serta akdar fosfor tersedia berkisar antar 10 mg/100 g yang termasuk rendah, kadar kalium tersedia 2,89-4,79 mg/100 g yang termasuk rendah, kation basa didalam kompleks jerapan rendah KTK 9,5-12,7 me/100 g termasuk rendah. Sedangkan sifat fisik tanah mempunyai porositas baik, drainase cepat, air tersedia baik, permeabilitas tinggi. V.
PENGELOLAAN PERMUDAAN HUTAN ALAM DUABANGA
A. Kondisi Permudaan Hutan Alam Pada areal hutan utuh (virgin forest) tidak dijumpai permudaan alam duabngan. Pada areal bekas tebangan apabila lingkugan tumbuhnya memungkinkan maka duabanga sangat mudah melakukan regenerasi alami. Umumnya tingkat permudaan alam seragam umurnya. Jumlah permudaan alam duabanga pada tingkat semai dan pancang diakawasan hutan Gunung Tambora pada hutan utuh tidak ada sedangkan pada areal bekas tebangan permudaan alamnya cukup banyak. Rata-rata permudaan alam tingkat semai 2183,3 batang/ha, pancang 146 pohon/ha dan pohon 35 batang/ha pada hutan alam duabanga setelah 2 tahun bekas tebangan. Kondisi permudaan alam duabanga di Gunung Tambora disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Rata-Rata Permudaan Alam Tingkat Semai, Pancang Dan Pohon Duabanga Pada Hutan Alam Duabanga di Gunung Tambora. No Jenis Permudaan Bekas Tebangan Hutan Utuh (N/ha) (N/ha) 1. Semai Umur tebangan 2 tahun 2183,3 Umur tebangan 5 tahun 2. Pancang Umur tebangan 2 tahun 146 Umur tebangan 5 tahun 35 3. Pohon 35 15,06 Sumber: Al Rasyid (1991)
176 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Menurut Susila dan Widnyana (1997), kondisi permudaan alam 2 tahun setelah tebanagan adalah 790 individu/ha tingkat anakan, 188 individu/ ha tingkat pancang dan persyaratan ini sudah sesuai dengan batas minimal untuk pemudaan alam sitem TPTI. Akan tetapi penyebaran alamnya tidak merata dan terkonsentrasi pada tempat yang tajuknya terbuka dan tanahnya terkelupas seperti pada bekas jalan sarad. Mengingat duabanga termasuk jenis intoleran dan pionir maka jenis ini butuh cahaya untuk permudaan alamnya. Oleh karena itu untuk kelestariannya masih diperlukan perkayaan yang merata. Permudaan alam duabanga semakin ketinggian semakin baik dan kematiannya rendah. Hal ini disebabkan karena semakun ketinggian curah hujannya semakin tinggi. B. Pengelolaan Permudaan Hutan Alam Pada tajuk yang terbuka lebar dan bebas gulma tumbuh permudaan alam duabngan yang kondisinya sangat rapat. Dengan kondisi seperti ini maka dibawah naungan yang rapat anakan duabanga akan mengalami kesulitan untuk tumbuh. Sementara ini hasil perkayaan oleh HPH PT Veneer Product Indonesia dengan sistem TPTI keberhasilannya perkayaannya sangat rendah < 20% dan permudaan alam yang tumbuh disekitar bekas tebangan tidak terpelihara dengan baik sehinga kematian pemudaan alam sangat tinggi. Berdasarkan permasalahan tersebut timbul kekhawatiran akan punah atau berkurangnya jenis duabanga pada rotasi setelah tebangan pada areal HPH dengan sistem TPTI dana akan digantikan oleh jenis lain mengingat jenis ini sangat spesifik. Oleh sebab itu untuk mengantisipasi permasalahan ini maka dalam pengelolaan hutan alam duabanga diperlukan sistem silvikultur yang tepat dan intensif. Perlu pula diketahui pada umumnya anakan duabanga pada tingkat semai kurang tahan terhadapa defisit air dan persaingan dengan gulma. Berdasarkan pengamatandilapangan dijumpai kematian anakan alam muda yang cukup tinggi sekitar 84,50 %. Kematian ini karena kekeringan dan rapatnya permudaan alam. Hal ini diduga akibat rendahnya kapasitas tanah di Gunung Tambora untuk meretensi air sebagaimana ditunjukkan oleh kadar air tersedia yang rendah (20%). Pada tempat dengan ketinggian yang cukup tinggi disamping terbentuknya struktur tanah yang sudah agak berkembang pada wilayah mendekati ketinggian 500-800 m dpl sebagaimana hasil pengamatan aprofil tanah dilapangan. Tabel 2. Rata-rata permudaan alam tingkat semai duabnag pada hutan alam bekas tebangan di Gunung Tambora No Jenis Lokasi
Jumlah Permudaan alam/ha (buah)
1
Bekas TPn
1654,9
2
Jalan sarad
1354,3
3
Bekas tebangan yang tidak terbuka
-
Sumber: Surata (1995) 177 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kematian anakan duabanga cukup tinggi mengingat penebangan hutan alam duabanga memacu pertumbuhan jenis lain yang lebih cepat, hal ini mengakibatkan kematian seedling duabanga cukup besar setelah penebangan bila tidak dilakukan pemeliharaan[ada tahun pertama dan kedua pada areal bekas tebangan . Oleh karena itu tindakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan permudaan pada areal bekas tebangan untuk meningkatkan regenerasi permudaan adalah (Surata, 1995; Surata dan Effendi, 1997): a. Pemeliharaan permudaan alam duabanga dilakukan sejak biji tumbuh pada tempat terbuka dan tanah terkelupas pada areal bekas tebangan dengan melakukan pembebasan pesaing sampai umur 2 tahun dalam bentuk penyiangan dan pendangiran. Penyiangan dilakukan 2 kali setahun atau disesuaikan dengan keadaan pertumbuhan gulmanya dan pendangiran dilakukan stahun sekali. b. Mengadakan penjarangan duabanga pada permudaan alam duabangan yang terlalu rapat. c. Melakukan perkayaan pada areal kosong secara jalur, dnegan cara melakukan pembukaan tajuk, pembersihan gulma dan penggemburan tanah disekitar penanaman. Kegiatan ini dilanjutkan dengan melakukan pendangiran secara rutin 1 kali setahun dan penyiangan 2 kali setahun sampai tajuk anakan terbebas dari semak. d. Mengingat areal perkayaan duabanga di Gunung Tambora tanahnya berpasir maka penanaman perlu dilakukan lebih awal dengan bibit yang berkualitas baik. Disamping itu perlu juga diperhatikan persyaratan jumlah dan enyebaran pohon induk duabanga yang memenuhi ketentuan. Pohon induk ini berfungsi sebagai sumber benih dan tidak dapat digantikan dari jenis pohon lain, sehingga dapat membantu penyebaran benih untuk permudaan alam pada areal bekas tebangan. VI. PENGELOLAAN HUTAN TANAMAN A. Penanganan Benih dan Persemaian Buah masak terbanyak duabanga terjadi pada bulan Juni-Agustus dan diluar bulan itu ada buah tapi jumlahnya terbatas. Buah tua dicirikan kapsul berwarna coklat dan belum pecah. Pemungutan buah dilakukan dengan cara memanjat pohon dan menjatuhkan buah dengan galah berkait agar benih dapat berjatuhan dan selanjutnya buah masak dipilih dan dijemur dnegan menggunakan terjal atau nampan. Buah dalam bentuk kapsul yang sudah dijemur setelah 3-4 hari akan pecah dan bijihnya akan terpisah dnegan cangkangnya. Selanjutnya biji dibersihkan dari cangkang dan kotorannya dengan cara pengayaan. Biji yang sudah bersih dikeirngkan sementara ditempat teduh sampai kadar air mencapai 5-8% dan siap didederkan dibedeng tabur. Dalam 1 kg biji duabanga terdapat 33.000 biji dnegan daya kecambah 45 % (surata, 2004). Kunci keberhasilan persemaian duabangan terletak pada keberhasilan pendenderan benih dibedneg tabur. Faktor yang menentukan dalam keberhasilan di bedeng tabur adalah
178 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
menghindari kerusakan dumping off. Cara mengatasi masalah ini adalah memberikan cahaya yang cukup dibedeng tabur diusahana terhindar dari embun di malam hari. Oleh karena itu tehnik pendederan dilakukan sebagaia berikut: a.
Penggunaan media semai yang steril perlu dilakukan yaitu dengan cara media bedeng tabur disangrai selama 15 menit sampai kering dan steril dari jamur.
b.
Supaya biji dapat melekat kuat atau terhindar dari kerusakan penyiraman dan goyangan maka digunakan campuran media semai tanah: pasir 1: 1.
c.
Pendederan dilakukan dalam sungkup plastik/rumah kaca untuk menghindari pengaruh embun dimalam hari. Mendapatkan penyiraman yang cukup dan menekan dumping off
d.
Penyiaraman harus dilakukan dengan hati-hati agar benih jangan terangkat. Bila menggunakan bak kecambah penyiraman dilakukan dengan mencelupkan dasar bak kecambah kealam air samapi media mencapai kapasitas lapang yang dilakukan setiap hari. Kalau mengunakan sprayer harus dilakukan secara hati-hati sehingga biji atau akar semai tidak terangkat.
e.
Segera dilakukan penyapihan kalau bibit sudah mencapai tinggi 1 cm atau emencapai 2-3 daun. Karena kalau terlambat dilakukan penyapihan maka banyak kecambah yang mati.
Selanjutnya penyapihan dilakukan dibedeng sapih dengan menggunakan polibag 15 cm x 20 cm, media semai tanah: kompos 4: 1. Persemaian di bedeng sapih dapat menggunakan persemaian permanen (shade house) dan persemaian sementara (atap alang-alang atau daun kelapa). Setelah penyapihan maka dilakukan penyiraman secara hati-hati setiap hari dan apabila semai sudah mencapai tinggi 3 cm maka perlu sinar matahari yang cukup karena mempercepat pertumbuhan semai. Bibit duabanga memerlukan umur > 6 bulan dipersemaian sebelum ditanam dilapangan. Sebelum pemindahan bibit ke lapangan perlu dilakukan pemotongan akar yang tembus polibag dan hardening of aklimatisasi) yang dilakukan sebulan sebelum penanaman. C. Tehnik Penanaman Pada umumnya lokasi yang cocok untuk penanaman duabanga adalah lokasi yang mempunyai curah hujan > 2000 mm/tahun (musim hujan> 5 bulan), ketinggian 150-1200 m dpl, jenis tanah regosol, litosol, mediteran dan latosol, pH tanah 5,5-7, solum tanah sedang-dalam. Duabanga lebih cepat tumbuh bila tanahnya subur dan solum tanah dalam (Surata, 2001). Pertumbuhan duabanga tergolong cepat, oleh karena itu memerlukan air dan unsur hara yang cukup. Sebaiknya duabanga ditanam pada awal musim penghujan dan agar bibit yang ditanam mempunyai waktu yang cukup panjang untuk tumbuh dan berkembang sehingga pada musim kemarau pertama tanamna sudah cukup kuat untuk menghadapi keadaan cuaca yang kering dan panas dilapangan
179 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Beberapa pertimbangan jarak tanam yang perlu diperhatikan adalah didaerah dengnan curah hujan agak tinggi gulma menjadi pembatas jarak tanam. Pertumbuhan gulma apda daerah curah hujan > 2000 mm/th akan cepat sehingga hal ini menjadi masalah untuk biaya penyiangan. Oleh karena itu jarak tanam pada kondisi itu harus lebih rapat, demikian sebaliknya. Jarak tanam lebar akan menyebabkan penutupan tajuk menjadi lambat, sehingga merangsang pertumbuhan gulma. Dari uraian diatas secara umum penanaman duabanga dengan jarak tanam awal 3 m x 3 m untuk produksi kayu adalah jarak yang tepat dan ideal. Modifikasi jarak tanam ini dapat dilakukan sesuai dengan kondisi tapak setempat. D. Sistem Penanaman. Tegakan monokultur biasanya rawan terahdaps erangan hama dan penyakit. Untuk mengurangi dampak negative ini, maka pada penanaman duabanga perlu ditanam pohon pencampur 15-20% yang ditanam di batas-batas areal tanaman (Batas petak tanaman , batas hutan). Dapat juga ditanam dalam bentuk pohon tepi misalnya jenis mahoni, sengon, kemiri atau eucalyptus urophylla. Penanaman duabanga dapat dilakukan dengan system tumpangsari atau system jalur. Sistem tumpangsari dapat dilaksanakan pada lahan yang relative subur, topografi ringan (kemiringan lereng kurang dari 15%), vegetasi semak, belukar dan adanya kebutuhan lahan pertanian yang cukup tinggi serta adanya peminat dari masyarakat disekitarnya. Jenis tanaman tumpangsari yang cukup baik untuk tanaman duabanga sampai umur 4 tahun adalah padi gogo, jagung, kacang tanh, cabe, tembakau serta jenis taas atau kopi pada tegakan umur > 4 tahun. Pertumbuhan tanaman duabanga yang ditumpangsarikan dapat tumbuh lebih baik dan dapat meningkatkan rata-rata riap tinggi 35% diameter 24% dan persen hidup 45 % daripada tanaman yang tidak ditumpangsarikan (Surata, 2004). Produksi tanaman tumpangsari duabanga di Rarung sebagai berikut: padi lading 762,7 kg/ha, jagung 1216,85 kg/ha, dan talas 1216,85 kg/ha. Berdasarkan hasil pendapatan pesanggem maka terjadi penurunan hasil pesanggem dimana produksi padi lading, jagung dan talas menurun. Penurunan ini karena terjadi penurunan intensitas cahaya akibat kerapatan tajuk dan kesuburan tanah. Dengan menanam talas atau kopi yang termasuk jenis yang membutuhkan naungan maka petani masih bisa untuk menggarap lahan mereka. Secara umum pesanggem hanya menanam jenis padi dan jagung pada awal pembukaan lahan sampai tahun kedua. Pada tahun ketiga hanya menanam jenis talas. Kondisi ini bisa dimaklumi karena hamper seluruh pesanggem menyadari bahwa pada tahun ketiga penutupan tajuk duabanga sudah sangat rapat. E. Pemeliharaan 180 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pemeliharaan akan sangat menentukan produksi kayu duabanga pada saat tegakan telah mencapai umur tebang. Tanpa usaha pemeliharaan yang memadai hasil panen yang tinggi pada saat umur tebang akan sulit untuk dicapai. Pemeliharaan terdiri dari pemeliharaan tanaman muda, pemeliharaan tegakan dan perlindungan hutan. Pemeliharaan tanaman muda dilakukan sejak bibt ditanam dilapangan sampai terbentuknya tegakan hutan yaitupada saat tajuk hutan mulai menutup meliputi penyulaman, penyiangan, dan pendangiran. Penyulaman dilakukan dua kali yaitu pada tahun tanam dan tahun kedua sampai tercapainya persen tumbuh 80 %. Penyiangan dilakukan 2 kali setahun atau disesuaikan dengan keadaan pertumbuhan gulmanya dan pendangiran dilakukan setahun sekali. Pemeliharaan tegakan dilakukan sejak tajuk hutan menutupi sampai tegakan mencapai umur tebang. Pemeliharaan tegakan ditujukan untuk memberi kesempatan tumbuh yang sebaikbaiknya pada setiap pohon duabanga. Pemeliharaan tegakan yang dilakukan meliputi penjarangan. Penjarangan dilakukan dengan pola dan waktu tertentu untuk mengurangi terjadinya persaingan antar pohon dalam rangka meningkatkan kesehatan, kualitas dan nilai tegakan. Dari kegiatan penjarangan dapat diperoleh kayu hasil penjarangan. Penjarangan yang dilakukan pada tanaman duabnga di Rarung umur 7 tahun setelah tanam meningkatkan riap pertumbuhan tinggi, diameter, dan produksi volume kayu atau antara umur 7-8 tahun (selama 1 tahun) terjadi peningkatan riap tinggi 18 %, diameter 29 % dan produksi 123,52 %. Hasil pengamatan terhadap produksi penjarangan pada tahun ke-7 adalah sebesar 48 m3/ha (Surata, 2004). Hasil plot uji coba penanaman duabanga sangat ditentukan oleh kualitas kayu yang dihasilkan, daur yang diperkenankan dan kayu yang dimanfaatakan. Kayu duabanga sudah bisa dipanen untuk kayu pertukangan atau pemanfaatam kayu untuk keperluan lain pada umur daur 30 tahun (sesuai umur daur minimal), hal ini berdasarkan hasil penelitian PT Veneer Products Indonesia di Calabai (Santoso, 1991) F. Riap Dan Produksi Hutan Tanaman 1. Uji coba Pengembangan Hutan Tanaman Penerapan system silvikultur dalam pengusahaan hutan alam duabnga sebetulnya diarahkan untuk mencapai tingkat produksi optimal pada saat tegakan sudah mencapai umur tebang. Oleh karena itu membahas system dan tehnik silvikultur duabanga tanpa mengemukakan riap dan produksinya tidaklah lengkap.
181 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 3. Riap tinggi, diameter, dan produksi kayu duabngan pada plot Pulau Lombok smapai umur 8 tahun Umur Pertumbuhan Pertumbuhan (th) Diameter Tinggi Produksi Diameter Tinggi (cm) (m) (m3/ha) (cm) (m) 1 1,81 1,02 1,81 1,02 4 7,04 2,03 6,28 1,76 1,78 7 19,95 13,71 48, 65 2,85 1,96 8 24,07 15, 06 79,78 3,63 1,79
coba 10 ha di Rarung Jumlah Produksi Pohon (ph) (m3/ha) 935 1,57 394 6,95 197 9,97 197
Sumber: Surata (2004) Hasil penelitian penanaman duabanga di Rarung Pulau Lombok Provinsi NTB pada plot coba 10 ha (Tabel 3) menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi, diameter, dan produksi pohon meningkat dengan bertambahnya umur pohon. Pada umur 7 tahun riap rata-rata tehunan diameter 2,85 cm/th, tinggi 1,96 m/th, dan produksi 6,95 m3/ha/th. Setelah umur 8 tahun ( 1tahun steelah penajrangan) maka riap rata-rata tahunan menjadi tinggi 1,79 m/th, diameter 3,63 cm/th dn produksi 9,97 m3/ha/th. Menurut Susila (2005), angka bentuk batang pohon duabanga umur 7 tahun diwana riset Rarung 0, 87 dan pendugaan volume batang pohon duabanga umur 7 tahun di Wanariset Rarung adalah: V (m3)=-0,503 + 0,0252 D + 0,000234 T; R=90,30%; Se=6,79 %. Dimana: V=volume batang pohon sampai pangkal tajuk. D=diameter T=tinggi pangkal tajuk R2=koefisien determinasi Se=galat baku Uji penanaman dalam skala kecil 0,2 ha dilakukan pula di Oelbubuk. Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada jenis tanah mediterania, pH tanah 5,5 curah hujan 1.900 mm/th, ketinggian 1.000 m dpl.Hasil pengamatan umur 7 tahun menunjukkan bahwa tinggi tanaman 4,9 m, diameter 13,2 cm dengan riap tahunan tinggi 1, 02 m/th dan riap tahunan diameter 1,98 cm/th. 2. Uji provenansi Provenansi adalah penyebaran geografis alami dari sumber benih. Penggunaan benih dari tempat asal yang geografis dan ekologis tepat adalah syarat pertama bagi berhasilnya upaya pembuatan tanaman duabanga.
182 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 4. Riap pertumbuhan duabanga pada uji provenansi umur 7 tahun Provenansi Tinggi (m) Diameter (cm) MAI tinggi (m/th) Monggal 12,60 22,92 1,80 Obel-obel 12,09 17,16 1,73 Rarung 12,75 20,98 1,82 Doropeti 16,85 21,25 2,11 Calabai 17,35 34,85 2,17 Pancasila 16,49 22,85 2,06 Sumber: surata (2004)
MAI diameter (cm/th) 3,28 2,45 3,00 2,66 4,36 2,86
Provenansi terbaik/terpilih berdasarkan hasil uji provenansi, dapat dijadikan sebagai sumber benih jangka pendek untuk memasok benih, yang kondisi ekologisnya serupa denganlokasi tempat uji diadakan. Disamping itu dapat juga dipakai sebagai populasi dasar untuk penerapan strategi pemuliaan dalam rangka memperoleh benih unggul secara genetik. Berbagai uji provenansi telah dibuat oleh Balai Penelitian Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara sejak tahun 1995/1996. Pengujian ditujukan untuk mendapatkan sumber benih yang cocok bagi upaya penanaman komersial disuatu kondisi lahan tertentu. Dalam tahap pertama pertama pengujian dilakukan terhadap 6 sumber/asal benih: Monggal. Obel-obel, Rarung (sekitar Gunung Rinjani Pulau Lombok), Doroperti, Calabai dan Pancasila (Gunung Tambora Pulau Sumbawa). Pohon yang dijadikan sumber benih adalah calon pohon plus. Penampilan tegakan asal benih kawasan hutan Calabai, Pulau Sumbawa lebih baik pada tegakan asal benih dari 6 provenan yang diuji. Riap rata-rata tahunan tegakan tahun tanam 1996/1997 sampai imur 7 tahun adalah tinggi 17,35 cm, diameter 34,85 cm. MAI-diameter= 4,36 cm dan MAI tinggi= 2,17 m (Surata, 2004).
V.KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Duabanga merupakan jenis tanaman endemik di Nusa Tenggara Barat yang merupakan species yang mempunyai nilai ekonomi tinggi namun kondisi nya saat ini sudah mengkhawatirkan karena telah terjadi penurunan jumplah populasi secara terus menerus. Oleh karena itu maka dalam pemanfaatan perlu segera diikuti upaya pelestarian dan penanaman.
2.
Lokasi pengembangan budidaya duabanga dapat dilakukan pada daerah penyebaran alaminya yaitu pada daerah yang mempunyai curah hujan > 2000 mm/thn pada ketinggiam 150-1200 m dpl dan berbagai jenis tanah (mediteran, regosol dan latosol), pH tanah 5,5-7.
3.
Untuk mewujudkan upaya pelestarian duabnga sebagaimana yang diharapkan perlu ditunjang oaker teknologi. Berkenaan dengan permasalahan hal tersebut Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara telah berusaha menyediakan paket teknologi yang dibutuhkan lewat serangkaian kegiatan penelitian.
4.
Tehnik pembuatan hutan tanaman duabanga yang sementara ini dihasilkan ditujukan untuk menunjang keberhasilan regenerasi permudaan alam dan pembuatan hutan tanaman.
5.
Unuk meningkatkan permudaan alam duabanga dapat dilakukan dengan menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk oermudaan alam yaitu dengan pembukaan tajuk dalam bentuk rumpang, menciptakan tanah terbuka, penjarangan permudaan alam dan pemebrsihan gulma.
183 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
6.
Pembuatan hutana tanaman memerlukan tehnik budidaya yang intensif. Penggunaan tehnik budidaya tumpangsari terbukti paling baik meningkatkan keberhasilan tumbuh duabanga. Model tumpangsari dapat dikembangkan melalui kegiatan pembuatan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan.
7.
Pengembangan duabanga dimasa mendatang mempunyai prospek yang baik. Hasil penelitian pada demplot duabanga di Rarung Pulau Lombok seluas 10 ha menghasilkan pertumbuhan yang cukup besar, di mana pada umur 8 tahun menghasilkan riap diameter 3,63 cm/thn riap tinggi 1,79 m/th dan produksi 79,78 m3/ha (jumlah populasi 197 pohon/ha).
8.
Untuk pengembangan penanaman duabanga di Rarung sumber benih asal Calabai Pulau Sumbawa pertumbuhannya paling baik.
9.
Untuk menunjang keberhasilan model silvikultur intensif budidaya duabanga di provinsi NTB dimasa mendatang hendaknya perlu didukung beberpa aspek antara lain dukungan kebijakan/peraturan, dukungan finansial, sosial budaya, kondisi biofisik, kesiapan teknologi dan manjemen yang intensif serta penyusunan perencanaan yang mantap.
DAFTAR PUSTAKA Alrsyid H. 1984. Aspek-Aspek Pembangunan Hutan Tanaman Industri Lokakarya Timber Estate. Kini Menanam Esok Memanen Fakultas Kehutanan IPB. Bogor --. 1991. Duabanga Moluccana CL dan Sistem permudaannya. Proceding Seminar sehari pengenalan dan pemecahan permasalahan dalam pengelolaan hutan alam duabanga moluccana Bl. Jakarta, 4 Juni 1991. HPH PT. Vener Products Indonesia, Jakarta Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Litbang Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta Kartasudjana, K. 1977. Struktur Anatomi Kayu Binnuang Laki (duabanga Mollucana BL). Lembaga Penelitian Hasil Hutan. Bogor Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.1993. Peta Tanah Propinsi Nusa Tenggara Barat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Bogor. Santoso, H, H. 1991. Pengalaman PT Veneer Product Indonesia dalam mengelola Hutan Alam dua banga. Proceding Seminar sehari pengenalan dan pemecahan permasalahan dalam pengelolaan hutan alam duabanga moluccana Bl. Jakarta, 4 Juni 1991. HPH PT. Vener Products Indonesia, Jakarta Schmidt, FG and JHA Fergusion. 1951. Rainfall Tyoes Based On Wet and Dry Period Rations for Indonesian with Western New Guinea Verhand 42. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Djakara Surata, IK. 1995. Laporan kegiatan Penelitian Tehnik Budidaya Duabanga (duabanga moluccana) di Nusa Tenggara Barat. Balai Penelitian Kehutanan Kupang (Tidak dipublikasikan). -- Dan M. Effendi. 1997. Perkembangan hasil-hasil penelitian silvikultur duabanga (duabanga moluccana) di Nusa Tenggara Barat. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Kehutanan. Kupang, 25 Maret 1997. Balai Penelitian Kehutanan Kupang --. 2001. Tehnik Penanaman duabanga (duabanga moluccana). Aisuli 12. Balai Penelitian Kehutanan Kupang --. 2004. Laporan kegiatan Penelitian Tehnik Budidaya duabanga (duabanga moluccana) di Nusa Tenggara Barat. Balai Penelitian Kehutanan Kupang (Tidak dipublikasikan). Susila. IW dan IM Widnyana. 1997. Kajian Potensi dan Keragaman Jenis Permudaan Alam pada sisa tebangan di hutan Tambora. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Kehutanan. Kupang, 25 Maret 1997. Balai Penelitian Kehutanan Kupang Susila. IW. 2005. Pendugaan volume pohon hutan tanaman duabanga di wanariset Rarung, Lombok Tengah. Laporan teknis Intern Balai Litbnag Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. (Tidak dipublikasikan). 184 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sutigno, P.1991. Sifat dan kegunaan kayu duabanga. Proceding Seminar sehari pengenalan dan pemecahan permasalahan dalam pengelolaan hutan alam duabanga moluccana Bl. Jakarta, 4 Juni 1991. HPH PT. Vener Products Indonesia, Jakarta Soekotjo, P. 1991. Beberapa butir permasalahan dalam rangka pembinaan hutan alam duabanga di areal HPH PT Veneer Product Indonesia. Proceding Seminar sehari pengenalan dan pemecahan permasalahan dalam pengelolaan hutan alam duabanga moluccana Bl. Jakarta, 4 Juni 1991. HPH PT. Vener Products Indonesia, Jakarta
185 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
BEBERAPA ALTERNATIF PENINGKATAN TARAF HIDUP MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL MANUPEU TANADARU, KABUPATEN SUMBA BARAT, NUSA TENGGARA TIMUR9 Oleh, Tigor Butar Butar10
ABSTRAK Taman Nasional Manupeu Tanadaru merupakan situs keanekaragaman hayati pulau Sumba yang memiliki keunikan dibandingkan dengan ekosistem hutan secara umum pada kawasan semi arid. Nilai tangible maupun intangible yang dimiliki kawasan tersebut mendorong para pihak memberikan perhatian yang serius terhadap pemberdayaan potensi sumberdaya alam dan masyarakat yang bermukim pada 32 desa disekitar kawasan Taman Nasional Manupeu Tanadaru. Oleh karena itu, pengelolaan Taman Nasional melalui peningkatan manfaat kawasan untuk mendukung perbaikan taraf hidup masyarakat merupakan salah satu prioritas pertimbangan yang harus dilakukan, sehingga manfaat konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat berjalan seimbang. Selanjutnya sangat diperlukan dukungan multipihak untuk mendorong pengembangan potensi sumberdaya alam untuk ekowisata, sehingga dapat mendukung pengelolaan kawasan sekaligus memberikan multi efek terhadap peningkatan arus kunjungan, promosi pariwisata daerah, penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Kata Kunci : Manupeu Tanadaru, Pengelolaan dan peningkatan taraf hidup masyarakat I. PENDAHULUAN Taman Nasional Manupeu Tanadaru ditetapkan dengan SK Menhutbun No.576/Kpts.II/1998 tanggal 3 Agustus 1998 dengan luas 87.984,09 ha atau 22% dari luas wilayah Sumba Barat. atau 8% dari luas pulau Sumba. Pertimbangan penetapan sebagai Taman Nasional karena secara ekologi kawasan ini merupakan salah satu sumber plasma nutfah yang unik di wilayah kepulauan Indonesia, sekaligus merupakan kawasan terluas hutan musim semi deciuos dataran rendah yang masih tersisa di pulau Sumba. Keunikan tersebut dicirikan oleh vegetasi hutan yang mempunyai tegakan dengan komposisi tajuk seperti hutan tropis, padahal berada pada wilayah kepulauan yang termasuk dalam ekosistem semi arid, merupakan habitat beberapa jenis fauna endemik seperti burung kakatua kecil jambul kuning, burung bayan sumba serta panorama (landscape) alam yang sangat indah yang umumnya mempunyai topografi berbukit-bukit dengan vegetasi savana pada beberapa tempat. Pada kawasan ini terdapat 62 jenis tumbuhan, 76 jenis burung, 9 diantaranya termasuk endemik yaitu Rangkong Sumba, Kakatua kecil jambul jingga, Walik rawamanu, Punai Sumba, Burung Madu Sumba, Myzomela kepala merah, Sikatan Sumba dan punguk wengi, Lele (2001). Dari segi sosial budaya, kawasan hutan pada Taman Nasional Manupeu Tanadaru merupakan habitat penduduk asli suku Sumba yang secara ekosistem sudah merupakan satu kesatuan kehidupan antara penduduk dengan seluruh ekosistem biofisik dari kawasan hutan pada Taman Nasional Manupeu Tanadaru. Pengelolaan kawasan hutan tersebut melalui Taman Nasional bertujuan untuk melestarikan keanekaragaman plasma nutfah yang dijumpai pada ekosistem hutan tersebut, melestarikan fungsi hidroorologisnya, mempertahankan keberadaan penduduk sekitar sambil meningkatkan
186 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
taraf hidup masyarakat. Peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar baik yang berada di dalam maupun yang berada disekitar kawasan hutan dapat dilakukan melalui pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa ekosistem dari Taman Nasional Manupeu Tanadaru.
II. KONDISI BIOFISIK Kondisi biofisik secara umum terdiri dari tipe geologis, jenis tanah, tipe vegetasi, bentang lahan, flora, fauna dan lingkungan spesifik lainnya. Beberapa jenis tanaman yang dibudidayakan masyarakat pada zona penyangga terdiri dari padi (Oryza sativa), ubi kayu (Manihot utilisima), talas, jagung, kacang tanah (Arachis sp.), tanaman buah seperti pepaya (Carica papaya), pisang (Musa parasidica), kelapa (Cococs nucifera), jambu mente (Anarcadium occidentale), dan pohon seperti mahoni (Swietenia macrophyla), kapuk randu (Ceiba petandra), dadap (Erytrina sp.), bambu (Bamboosa sp.), pinang (Arecha pinnata), kemiri (Aleurites moluccana), kopi (Coffea sp.), sirih (Piper battle) dan jenis jenis umbi-umbian lain seperti ubi manusia (luwa) dan kambili. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, disamping keragaman jenis tanaman yang dikembangkan seperti tersebut di atas, masyarakat sekitar juga melakukan pemeliharaan ternak seperti sapi, kerbau, kuda, kambing, babi, anjing dan ayam. A. Tipe Geologi Berdasarkan pengamatan di lapangan, tipe geologi terdiri dari continental fragment, batuan berkapur yang menghasilkan kondisi sifat fisik tanah seperti tekstur berliat, struktur lapisan atas butiran dengan batuan kecil sampai sedang merata di atas permukaan tanah, Monk, et.al, (1997). B. Tipe Iklim Tipe iklim di Sumba termasuk tipe E berdasarkan Oldeman dimana jumlah bulan basah tidak lebih dari tiga bulan, tetapi pada kawasan Taman Nasional Manupeu Tanadaru curah hujan lokal dapat terjadi hampir 6 bulan (curah hujan di atas 60 mm), Monk, et.al, (1997).
C. Tipe Vegetasi Jenis jenis pohon dominan yang terdapat didalam kawasan Taman Nasional Manupeu Tanadaru terdiri dari pulai (Alstonia scholaris), kesambi (Scheilera olease), Litsea, sp., dan jenis jenis lainnya (berdasarkan hasil pengamatan pada pinggir kawasan). D. Fauna Beberapa jenis fauna yang dijumpai pada saat kunjungan pada tanggal 9 Maret 2007 jam 09.00 pagi diantaranya burung Bayan Sumba, Kepodang dan burung dara.
III. Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Taman Nasional Manupeu Tanadaru dikelilingi sebanyak 32 desa yang berada disekitar kawasan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat secara umum didominasi oleh petani. Salah satu desa yang dikunjungi adalah desa Manurara yang merupakan desa binaan yang dilibatkan secara aktif dalam pelestarian Taman Nasional tersebut.
187 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Desa Manurara memiliki luas wilayah 2.504 ha dengan penduduk 996 jiwa dan 240 KK. Dari aspek sosiologis, seluruh masyarakat desa Manurara merupakan penduduk asli (suku Sumba) yang terbagi dalam dua kabisu/klon, yaitu kabisu Taopopu dan kabisu Wairasa. Tingkat pendidikan masyarakat sebagian besar masih rendah, hanya pada tingkat sekolah dasar. Aktivitas yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan dan lahan pada Taman Nasional tersebut adalah berupa padi sawah, padi ladang, bertanam ubi, jagung dan talas dan memelihara ternak serta pemukiman. Sebagian kecil bergerak dalam usaha dagang dan sektor jasa. Secara umum dapat digambarkan tipologi penggunaan lahan di Desa Manurara seperti : 1. Perkampungan di atas bukit yang dapat memandang ke segala arah. Terdapat beberapa rumah tradisional Sumba dengan kuburan megalitik yang berbentuk batu persegi panjang. Lokasi perkampungan dipagari dengan batu dengan satu pintu utama tempat keluar masuknya manusia dan ternak. 2. Pada bagian luar perkampungan dijumpai pola pengembangan kebun campuran yang menyerupai hutan. Dalam terminologi lokal, kebun campuran tersebut disebut “kaliwu”, dengan anekaragam tanaman yang dikembangkan didalamnya meliputi : tanaman kehutanan antara lain Mahoni (Swietenia macrophyla), Lamtoro (Leucena leucochepala), Johar (Casia siamea), Beringin (Ficus benyamina), Jati (Tectona grandis), Gamal (Gliricidea sp.), Durian (Durio zibetinus), Kemiri (Aleurites moluccana), Nangka (Artocarpus integra), Sukun (Artocarpus artilis), Kesambi (Scheilera olease), Asam (Tamarindus indica). Tanaman perkebunan antara lain Mangga (Mangifera indica), Kelapa (Cocos nucifera), Vanili (Vanilla planifolia), Kopi (Coffea Arabica), Jambu Mente (Anarcadium occidentale), Advokat (Persia americana), Kedondong (Spondias dulcis), Dadap (Eritrina sp.), Cengkeh (Eugenia aromatica), Coklat (Theobroma cacao), Srikaya (Anona muricata), Rambutan (Nephelium lappaceum), Pinang (Arecha cathecu), Salak (Zalacca
edulis), Pisang ( Musa parasidiaca), Jeruk (Citrus sinensis) dan tanaman
pertanian antara lain meliputi Jagung (Zea mays), Singkong (Manihot utilisima), Sirih (Piper battle), Kacang-Kacangan (Arachis sp.), Padi Ladang (Oriza sativa), Labuh (Endospermum spp.).
188 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Desa yang disampel
Gambar 1. Sketsa Desa-Desa disekitar kawasan TN. Manupeu Tanadaru. Sumber : Lele, 2001 3. Sawah yang dijumpai di desa Manurara bertingkat tingkat dengan landai dan sebagian besar merupakan jenis sawah tadah hujan. Ladang lebih banyak dimanfaatkan dengan mengembangkan tanaman padi ladang/padi gogo, jagung, ubi kayu, talas dan sayur mayur. 4. Terdapat situs situs budaya yang masih dikonservasi dan dikeramatkan oleh masyarakat lokal, diantaranya kawasan air terjun Matayangu, Laipopu, Praioru dan Waikatabu. Kekeramatan diatas sangat berkaitan dengan etika lingkungan, dimana ketika masyarakat berada pada situs-situs tersebut tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan yang tercela, karena lokasi tersebut diyakini sebagai tempat bersemayamnya arwah nenek moyang sesuai dengan keyakinan marapu yang dianut oleh 20% masyarakat di Desa Manurara. Dalam tataran operasinal, telah dibangun kesepakatan pelestarian alam desa (KPAD) yang terdokumentasi secara tertulis dengan substansi yang memuat komitmen, pembagian tugas dan peran semua pihak yang berada didalam desa.
IV. Beberapa Alternatif Peningkatan Produktivitas Pemanfaatan Lahan Pemanfaatan sumberdaya lahan pada daerah penyangga memerlukan kehati-hatian agar tidak berdampak negatif terhadap kerusakan kawasan hutan. Oleh karena itu, dalam rangka peningkatan produktivitas pemanfaatan lahan, beberapa alternatif yang ditawarkan dalam rangka
189 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
peningkatan taraf hidup masyarakat sekitar dibagi menjadi dua bagian besar yaitu intensifikasi pemanfaatan “daerah penyangga” dan pemanfaatan jasa hutan melalui ekowisata. 1. Intensifikasi pemanfaatan lahan / kawasan pada zona penyangga A. Berbagai Model Alternatif Pemanfaatan Lahan Dalam kaitan dengan intensifikasi pemanfaatan lahan, beberapa alternatif kegiatan yang dapat dilakukan dalam mendukung pemberdayaan pendapatan masyarakat sekaligus pengamanan kawasan Taman Nasional adalah sebagai berikut : a. Pergiliran Tanaman Pergiliran tanaman dapat dilakukan pada suatu areal/lahan yang relatip datar, antara lain seperti padi sawah pada musim hujan, kacang kacangan pada musim peralihan dan jenis jenis tanaman pangan yang relatip tahan terhadap musim kering seperti umbi-umbian. b. Agroforestry Agroforestry dapat dilakukan pada areal yang relatip mempunyai topografi sedang (8-15%) dengan jenis-jenis campuran antara tanaman pangan, tanaman buah, pohon dengan berbagai komposisi seperti jagung, pepaya, pisang, mahoni, alpukat, randu/kapuk dan kelapa. Komposisi jenis tersebut dapat diatur berdasarkan kontur sehingga fungsi hidroorologi-konservasi tanah dan air dapat berjalan dengan baik. c. Agrosylvopasture Konsep agrosylvopasture adalah perpaduan antara komoditi pertanian, kehutanan dengan peternakan. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan penanaman pakan ternak seperti rumput gajah pada kebun yang relatip kurang subur. Ternak dapat dilepaskan untuk mencari pakan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari atau dikandangkan secara permanen dengan pemberian pakan dari kebun pakan ternak secara teratur. d. Agrofishery Merupakan pemanfaatan lahan yang memadukan pemanfaatan lahan sawah untuk padi pada musim hujan dengan tambak ikan baik pada waktu bersamaan pada pinggiran tanaman padi maupun secara bergilir sebelum musim tanam dengan membudidayakan jenis ikan mas, ikan karpel, ikan gabus dan jenis-jenis ikan air tawar lainnya. e. Tanaman pekarangan. Pemanfaatan tanaman di pekarangan atau disekitar perkampungan dapat diusahakan dengan jenis tanaman sayur sayuran dan apotik hidup seperti : tomat, cabe, kunyit, asam, jeruk,, kangkung, ketela pohon,
dan tanaman rempah lainnya. Jenis tanaman lain yang dapat
dikembangkan adalah tanaman jarak, gaharu, cendana dan jenis tanaman serbaguna. B. Pemberdayaan masyarakat dalam pemanfaatan jasa hutan melalui ekowisata 1. Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat yang
berada di sekeliling Taman Nasional Manupeu Tanadaru
merupakan salah satu langkah strategis untuk meningkatkan pengelolaan kawasan berbasis 190 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
masyarakat. Persoalan yang muncul dari masyarakat adalah masih terbatasnya kesadaran dalam pengelolaan sumberdaya alam, tingkat pendidikan yang masih rendah, ketergantungan terhadap sumberdaya hutan yang masih tinggi, budaya tebas bakar dan kapasitas petani masih sedikit dalam pemanfaatan hasil hutan non kayu. Dalam upya mengatasi persoalan tersebut di atas, pemerintah Kabupaten Sumba Barat bersama para mitra sudah melakukan berbagai program dalam pemberdayaan masyarakat, diantaranya adalah : No. Mitra 1
Kegiatan
Yayasan Pakta
Program
pengembangan
partisipasi
masyarakat
dalam
pelestarian TN pada beberapa kelompok KSM melalui usaha ekonomi
berwawasan
lingkungan.
Anggota
kelompok
diberikan bantuan ternak dan kredit usaha tani. Kegiatan lain meliputi pelatihan, pendampingan dan membangun sarana dialog dan komunikasi dengan masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional tersebut 2
Yayasan
Mitra Program
Sejati
pengembangan
ekonomi
rakyat
melalui
pengembangan tanaman hortikultura, persemaian tanaman perdagangan dan tanaman lokal, pendampingan dalam pengembangan terasering pada kebun masyarakat.
3
Yayasan
Program
peningkatan
Wahana
pengembangan wanatani
ekonomi
masyarakat
melalui
Komunikasi Wanita 4
Pemda
Instruksi Bupati Sumba Barat mengenai pelarangan dan penertiban gergaji mesin (chain saw) Memberikan bantuan bibit tanaman kepada masyarakat untuk dikembangkan pada lahan masing-masing
5
Bird Life
Melaksanakan tata batas partisipatif, pelestarian burung-burung langka endemik pulau Sumba dan penguatan kelembagaan masyarakat
Konsep konsep tersebut di atas dapat diterapkan secara bersamaan pada kelompok masyarakat dengan melibatkan para mitra, atau adanya pembagian model berdasarkan kelompok dengan pertimbangan kondisi kesuburan lahan dan aksesibilitas dari pemukiman penduduk. Penentuan prioritas model atau campuran model yang akan diterapkan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : a. Pemetaan calon lokasi pemanfaatan berdasarkan kemiringan, kondisi kesuburan tanah, drainase/aerasi dan jarak dari pemukiman dan zona inti dari kawasan Taman Nasional.
191 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
b. Penentuan kriteria lahan berdasarkan kesesuaian jenis komoditi yang dikembangkan dalam bentuk campuran atau model lain yang sesuai dan dapat dipasarkan. Semakin banyak campuran jenis tanaman yang akan digunakan, memerlukan kriteria persyaratan kondisi fisik dan kimia lahan yang semakin tinggi. c. Penataan kesesuaian jenis-jenis tanaman yang dikembangkan mengacu pada potensi biofisik sumberdaya lahan. d. Sosialisasi hasil pemetaan tersebut kepada masyarakat e. Pengukuhan keputusan pemilihan model dengan pertimbangan akhir sampai proses pemasaran komoditi yang dihasilkan. f. Identifikasi input dan dukungan iptek yang dibutuhkan g. Pendampingan h. Ujicoba model yang disertai dengan pendampingan secara berkesinambungan
2. Pemanfaatan jasa hutan melalui ekowisata dan budaya Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanadaru memiliki potensi pengembangan wisata alam yang cukup menjanjikan, karena pemandangan alam (nature view) yang sangat beragam. Selain itu, dijumpai banyak situs situs budaya yang dianggap masih “keramat” oleh masyarakat lokal terkait dengan aspek
religius penganut kepercayaan “Marapu”. Oleh karena itu, potensi
ekowisata Taman Nasional Manupeu Tanadaru perlu dikembangkan dan dipromosikan sebagai alternatif pariwisata yang dapat dipasarkan antara lain : Air terjun Wisata gua Kampung tua Penangkaran burung burung langka Birds watching View watching Outbond Tarian tradisional Natural sounding Healing by natural
Untuk memaksimalkan pemanfaatan ekowisata, beberapa tahapan kegiatan yang diperlukan antara lain : Identifikasi lokasi potensi ekowisata Mapping lokasi potensial ekowisata Pembangunan sarana dan prasarana yang terkait dengan peningkatan aksesibilitas Pengumuman lokasi lokasi Pelatihan guide oleh masyarakat sekitar dan interpreter Pemasaran potensi ekowisata
192 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Selanjutnya, paket ekowisata tersebut harus diikutkan dengan paket ekowisata
lain secara
regional, nasional dan internasional dengan menggunakan berbagai media dan sarana pemasaran
V. PENUTUP Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil pengamatan tersebut di atas adalah : 1. Pengelolaan Taman Nasional Manupeu Tanadaru perlu dilakukan melalui peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar
dengan mengembangkan model intensifikasi
pemanfaatan lahan pada zona penyangga serta pemanfaatan jasa ekowisata 2. Intensifikasi pemanfaatan lahan dapat dilakukan dengan pergiliran tanaman, agroforestry, agrosylvopasture, agrofishery, tanaman pakan ternak dan model campuran lainnya, salah satunya kaliwu. 3. Pemanfaatan ekowisata perlu diprioritaskan pada identifikasi lokasi lokasi ekowisata dan peningkatan aksesibilitas secara terpadu dan nyaman.
DAFTAR PUSTAKA Lele, B. Frans., 2001. Kawasan Manupeu Tanadaru. Pengelolaan Kawasan di Nusa Tenggara, Menyelaraskan Kesejahteraan Masyarakat dengan Daya Dukung Lingkungan. Refleksi Pokja Konservasi Sumberdaya Alam. Konsorsium Pengembangan Masyarakat Dataran Nusa Tenggara. Studio Driya Media, 2001. Monk, K. A., Y. De Fretes, dan G. R. Lilley. 1997. The Ecology Of Indonesia Series Volume V : The Ecology Of Nusa Tenggara. Periplus Editions (Hk) Ltd. Singapore.
193 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PENGARUH PERLAKUAN PENDAHULUAN DAN UKURAN BENIH TERHADAP PERKECAMBAHAN SURIAN BAWANG (Melia excels Jack) Oleh Mawazin
ABSTRAK Surian Bawang (Melia excels Jack) adalah salah satu jenis asli yang berasal dari Kalimantan, yang termasuk jenis cepat tumbuhn. Jenis ini mempunyai banyak kegunaan, baik kayu, biji daun maupun bunganya. Penelitian ini bertujuan mendapatkan tehnik perkeccambahan dengan perlakuan pendahuluan yang tepat dalam rangka pengadaan bibit yang berkualitas. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan empat perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari 50 benih. Hasil penelitian menunjukkan dengan perlakuan pendahuluan, dapat mempercepat perkecambahan dan hanya dalam waktu enam hari benih sudah berkecambah. Kata kunci : Surian bawang, perlakuan pendahuluan, ukuran benih. I. PENDAHULUAN. Mutu benih suatu jenis tanaman dicerminkan oleh viabilitas benih tersebut. Untuk mengetahui mutu benih ada berbagai macam metoda pengujian viabilitas benih yang meliputi pengujian daya perkecambahan atau daya tumbuh. Pengujian daya berkecambah memberikan informasi tentang kemungkinan tanaman berproduksi normal dalam kondisi lapangan atau lingkungan yang optimum. Penilaian daya tumbuh dilakukan di bedengan persemaian, sedangkan penilaian daya berkecambah cukup dilakukan substrat kertas dilaboratorium (Sadjad, 1980). Perkecambahan benih selain dipengaruhi oleh faktor benih itu sendiri (internal), juga dipengaruhi oleh faktorfaktor luar (eksternal). Faktor luar terurtama dibutuhkan untuk mengaktifkan kembali proses pertumbhan pada proses embrio meliputi adanya air yang cukup untuk melembabkan biji, suhu yang cocok, cukup oksigen dan adanya cahaya (Kamil, 1979). Melia excels Jack termasuk famili Meliaceae yang merupakan jenis asli (indigenous) yang berasal dari Kalimantan dengan nama Azadirachta excels atau A.Intregifolia (Burgess, 1966) serta pulau-pulau Palawan dan Luzon di Filipina. Di Thailand dikenal dengan nama tiam atau sadatiam, di Malaysia daratan (sentang), di Serawak (ranggu atau sentang) dan di Filipina (Marango). Di Jawa sering dikenal dengan nama kayu Bawang. M.Excelsa sangat baik untuk dikembangkan karena termasuk jenis yang cepat tumbuh (fast growing), disamping itu menurut Kijkar dan Boontawee, 1995 pohonnya mempunyai banyak kegunaan antara lain: kayu (untuk konstruksi bangunan, pintu, meubel dan ukiran) biji (untuk minyak azadircahtin, sabun, farmasi, kosmetik); daun (untuk kontrasepsi) dan bunga (dapat dimakan dan untuk obat-obatan). Informasi tentang jenis ini terutama tentang silvikuturnya masih sedikit sehingga diperlukan adanya kegiatan penelitian guna pembudidayaan jenis ini. Untuk menunjang pembudidayaannya secara luas diperlukan adanya informasi yang lengkap sehingga hasilnya akan dapat sesuai dengan yang diharapkan. Secara umum berbagai cara perlakuan pendahuluan dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Bonners, 1990; Dien, 1986): 1. Pengurangan ketebalan kulit atau skarifikasi. 2. Perendaman dalam air. 3. Perlakuan dengan zat kimia. 4. Penyimpanan benih dalam kondisi lembab dengan suhu dingin atau hangat. 194 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang tehnik perkecambahan benih M.Excelsa yang dapat digunakan untuk pengadaan bibit bermutu agar keberhasilan penanaman akan lebih baik.
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan adalah benih M.Excelsa yang diperoleh dari Hutan Penelitian Dramaga, Bogor. Juga diperlukan air dingin, ember, bak semai dan rumah kaca. B. Metode Penelitian Penelitian dilaksanakan di persemaian Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Rancangan Percobaan yang digunakan adalah Rancangan acak lengkap dengan model percobaan sebagai berikut (Stell and Torrie, 1960). Model Umum : Yij=U+Ai+Eij U=Nilai Pengamatan umum Ai=Pengaruh perlakuan ke-i Eij=Galat sisa (Kesalahan percobaan) I = Perlakuan (1,2,3) J = Ulangan (1,2,3 Sebelum benih dikecambahkan terlebih dahulu dipisahkan antara biji yang berukuran kecil (panjang 5-7 cm) dan biji berukuran besar (panjang 7-9 cm). Setelah benih dipisahkan antara kelompok benih besar dan kelompok kecil kemudian dilakukan perlakuan perendaman sebagai berikut : A1B1=Biji besar direndam dengan air dingin 1 x 24 jam A1B2=Biji besar tanpa direndam (langsung ditanam) A2B1=Biji kecil direndam dengan air dingin 1 x 24 jam A2B2= Biji kecil tanpa direndam (langsung ditanam) Setelah benih dilakukan perendaman kemudian dikecambahkan dengan cara menabur di bedeng persemaian. Media yang digunakan adalah campuran media pasir + tanah dengan perbandingan 1:1 (dalam volume). Pola penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan, tiap-tiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Pada tiap perlakuan digunakan sebanyak 50 biji sehingga untuk keperluan penelitian dibutuhkan sebanyak 600 biji. Untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan digunakan uji beda Tuket (Stell and Torrie, 1960). Percobaan dilakukan sampai tidak ada benih yang berkecambah lagi yaitu: sekitar satu bulan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kecepatan perkecambahan Beberapa jenis tanaman mempunyai masa dormansi yang tidak hanya dapat dipecahkan secara fisik dan kimia (Ballard, 1973). Sehingga untuk mempercepat agar biji dapat berkecambah dalam waktu yang lebih singkat perlu adanya perlakuan pendahuluan. Menurut Syafii (1959) perlakuan
195 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
perendaman dengan air adalah yang paling efektif. Hasil ujicoba perlakuan pendahuluan terhadap waktu berkecambah benih M Excelsaa disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap waktu berkecambah benih M. Excelsa Perlakuan
Rata-rata
Ulangan (%) 1
2
3
A1B1
6
7
7
6,67
A1B2
10
10
13
11
A2B1
7
7
9
7,67
A2B2
13
13
13
13
Waktu yang diperlukan benih untuk mulai berkecambah berbeda-beda sesuai dengan perlakuan yang diberikan. Dari pengamatan pada berbagai perlakuan pendahuluan diperoleh informasi bahwa kecepatan berkecambah benih berkisar antara hari ke-6 sampai hari ke-13. Tabel 1 menunjukkan bahwa benih mulai berkecambah yang paling cepat terjadi pada perlakuan benih besar yang direndam selama 24 jam (A1B1), dimana benih sudah mulai berkecambah pada hari ke-6. Nurhabsyi (1997) menyatakan bahwa untuk mempercepat perkecambahan benih agathis, benih direndam selama 24 jam dalam air dingin sebelum dikecambahkan. Demikian juga Hartman dan Kester (1978) menyatakan bahwa perlakuan perendaman benih dalam air dilakukan untuk mengubah kondisi kulit benih yang keras, menghilangkan zat-zat penghambat, melunakkan benih dan mempercepat perkecambahan. Sedang benih yang paling lama baru mulai berkecambah terjadi pada perlakuan benih yang berukuran kecil dan tanpa perendaman (A2B2) yaitu pada hari ke-13 benih baru mulai berkecambah. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang berbeda terhadap awal daya berkecambah benih dilakukan sidik ragam (tabel 2). Tabel 2. Sidik ragam pengaruh perlakuan pendahuluan terahdap awal perkecambahan benih Excelsaa Sumber Derajat Bebas Jumlah Kuadrat F-Hitung keragaman
Kuadrat
tengah
Perlakuan
3
77,58
25,86
Galat
8
9,33
1,17
Jumlah
11
86,91
22,17**
** sangat nyata pada taraf 0,01 Hasil sidik ragam (Tabel 2) menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan dengan perendaman benih dalam air dingin berpengaruh sangat nyata terhadap awal berkecambah. Demikian juga faktor ukuran benih berpengaruh nyata terhadap awal berkecambah. Untuk mengetahui lebih lanjut perlakuan mana yang berpengaruh terhadap perbedaan hari berkecambah, dilakukan uji beda rata-rata dengan metode Turkey.
196 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 3. Rata-rata awal berekcambah benih M. Excelsa dari masing-masing perlakuan berdasarkan uji beda Tukey. A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 6,67
7,67
11,00
13,00
Uji tukey menunjukkan bahwa perlakuan perendaman benih M. Excelsa dapat mempercepat awal perkecambahan. Benih besar yang direndam mulai berkecambah 6,6 hari lebih cepat disbanding benih yang tidak direndam yaitu 11 hari. Begitu juga benih kecil yang direndam dalam air dingin 1 x 24 jam mulai berkecambah setelah 7,6 hari lebih cepat disbanding benih yang tidak direndam yaitu 13 hari (gambar 1). B. Daya Kecambah Persentase daya berkecambah tergantung dari berbagai faktor. Antara lain ksehatan benih, jenis benih dan lamanya penyimpanan. Benih yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih yang berasal dari pengunduhan tanpa melalui penyimpanan. Hasil perkecambahan rata-rata benih berdasarkan perlakuan tercantum pada table 4. Tabel 4. Persentase daya berkecambah benih M.Excelsa pada empat macam perlakuan pendahuluan. Ulangan (%) Perlakuan Rata-rata 1
2
3
A1B1
70
80
85
78,3
A1B2
90
95
100
95,0
A2B1
80
90
90
86,6
A2B2
90
100
90
93,3
Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata persentase perkecambahan untuk benih ukuran besar yang direndam dalam air dingin selama 24 jam besarnya 78,3 %, benih ukuran besar tanpa direndam adalah 95 %, benih kecil yang direndam dalam air dingin selama 24 jam besarnya 86,6 %; benih kecil yang tanpa direndam 93,3 %. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap persentase daya berkecambah benih dilakukan sidak ragam seperti pada table 5. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan pendahuluan yang diberikan berpengaruh nyata terhadap daya berkecambah benih. Untuk mengetahui perlakuan mana yang berpengaruh dilakukan uji beda Tukey sebagai berikut (Tabel 6). Tabel 5. Sidik ragam pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap persentase kecambah benih M.Excelsaa Sumber
Derajat Bebas
keragaman
Jumlah
Kuadrat tengah F-Hitung
Kuadrat
Perlakuan
3
516,66
172,22
Galat
8
300,00
37,50
Jumlah
11
816,66
197 | P r o s i d i n g
4,59*
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
*nyata pada taraf 0,05 Tabel 6. Hasil Uji Beda Tukey terhadap daya kecambah (%) untuk faktor perendaman benih. A1B1
A1B2
A2B1
A2B2
78,3
86,6
93,3
95,0
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh garis yang sama menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara satu dengan lainnya.
Dari hasil uji beda Tukey menunjukkan bahwa faktor ukuran benih tidak berbeda nyata, tetapi benih berukuran kecil mempunyai nilai daya kecambah yang lebih baik disbanding benih yang berukuran besar. Tetapi untuk benih yang tidak direndam, benih yang berukuran besar lebih baik dibandingkan dengan benih yang berukuran kecil. Namun secara stastistik ukuran benih tidak berbeda nyata (Gambar 2).
Gambar 2. Daya kecambah benih M Excelsaa pada berbagai perlakuan pendahuluan Perlakuan benih besar yang direndam dan benih kecil yang direndam air dingin selama 24 jam, tidak berbeda nyata terhadap persen daya kecambah benih. Demikian juga perlakuan benih besar yang tidak direndam dalam air dingin tidak berbeda nyata terhadap persentase daya berkecambah benih. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran benih tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya daya berkecambah benih. Sedangkan perlakuan benih yang direndam dalam air dingin mempunyai kecenderungan berpengaruh terhadap besarnya daya perkecambahan benih. Dari tabel 4 dan gambar 2 diperoleh informasi bahwa benih yang direndam dalam air dingin selama 24 jam mempunyai daya berkecambah rata-rata sebesar 80,3 %, sedang benih yang ditanam langsung (tidak direndam dalam air) mempunyai rata-rata daya perkecambahan sebesar 94,15%. Penurunan daya akecambah benih ini kemungkinan disebabkan akibat perendaman dalam air 198 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dingin terlalu lama, sehingga benih mengalami perubahan yang berlebihan. Hartman dan Kester (1978) menyatakan bahwa perlakuan perendaman benih dalam air dilakukan untuk mengubah kondisi kulit benih yang keras, menghilangkan zat-zat penghambat, melunakkan kulit benih dan mempercepat perkecambahan. Disamping itu untuk memperoleh perlakuan yang tepat perlu melakukan beberapa kali penelitian untuk mendapatkan waktu yang paling tepat. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Kecepatan berkecambah benih m. Excelsa yang paling singkat adalah benih yang berukuran besar (panjang 7-9 cm) yang direndam dalam air dingin selam 24 jam yaitu 6 hari, sedang benih yang paling lama berkecambah adalah perlakuan benih kecil (panjang 5-7 cm) yang tidak direndam dalam air dingin yaitu selama 13 hari.
2.
Perlakuan perendaman benih M.Excelsa dalam air dingin selama 24 jam dapat mempercepat awal perkecambahan benih.
3.
Perendaman benih dalam air terlalu lama dapat menyebabkan terjadinya penurunan daya kecambah benih.
4.
Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang lama waktu perendaman yang paling tepat.
DAFTAR PUSTAKA Ballard, E. 1973. Physical Barriers to Germination. Seed Science and Technology 9: 285-303. Bonners, FT.1990. Storage of seeds: Potensial and limitation for conservation fro ecol Manage. 35.35-43 Burgess,PF. 1966. Timber of Sabah. Sabah Forest Records No.6 Forest Department, Sabah Malaysia. Dien, PK Hero. 1986. PEngaruh beberapa cara ekstraksi dan perlakuan pendahuluan terhadap daya berkecambah benih rotan Mnau (Calamus Manan Miq). Laporan Uji COba BAlai Teknologi Perbenihan. Bogor (tidak dipublikasikan) Hartman, HT and DE Kester. 1978. Plant propagation : Principles and practices prentice hall international, Inc. Englewood Cliffs, New Jersey 4th. Edition Kamil, J.1979. Teknologi Benih. Angkasa Raya, Pdang, 227 hal. Kijkar S and B.Boontawee.1995. Azadiracha Excelsa. Rvieuw Paper no.3, ASEAN-Forest Tree Seed Centre Project, Muak Lwk, Sarabury Thailand. Nurhabsyi. 1997.Media perkecambahan dan cara penaburan benih agathis loranthifolia salisb.Buletin Teknologi PErbenihan 4(2): 11-20 Sadjad, S.1980. Pedoman Pembinaan Mutu Benih Tanaman Kehutanan diINdonesia> EKrjasama Ditjen Kehutanan dan institute Pertanian Bogor. 295.hal Syafii, I.1959. daftar Ihktisa Aturan Berkecambah, Penyimpanan dan Pengiriman Biji Dari Beberapa Jenis Pohon dan Pupuk Hijau. Lap. LPPK no.79.59 hal. Steel RGD and JH Torrie.1960. Principles and Procedures of Statistics. McGraw Hill Book Company, Inc, New York
199 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
STATUS KESUBURAN TANAH PADA BEBERAPA KAWASAN DI NUSA TENGGARA1) Oleh: M. Hidayatullah2) dan Tigor Butar Butar3) ABSTRAK Kondisi tapak suatu lokasi sangat ditentukan oleh proses pembentukan serta bahan pembentuk tanah tersebut. Tingkat penutupan lahan yang tinggi dapat memberikan hasil yang baik terhadap kualitas tanah. Informasi tapak suatu lokasi berguna untuk menentukan jenis perlakuan yang akan diberikan, pemanfaatan dan pengembangan selanjutnya sehingga diharapkan dapat memberikan hasil yang memuaskan untuk peningkatan pendapatan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang kondisi tanah pada beberapa lokasi pewakil di Nusa Tenggara. Kata kunci : Tapak, pembentukan tanah, perlakuan dan pemanfaatan.
I. PENDAHULUAN Wilayah Nusa Tenggara memiliki jenis tanah yang sangat beragam, penyebaran tipe tanahnya berasal dari bentukan bahan vulkanik muda dan endapan laut. Secara umum wilayah ini merupakan daerah dengan musim kemarau yang panjang dan wilayahnya adalah lahan dengan kandungan hara rendah bahkan kritis. Di Provinsi NTB ada beberapa jenis tanah yang mendominasi yaitu: regosol, grumosol, mediteran, alluvial dan rensina. Sedangkan di provinsi NTT sebaian besar dari jenis mediteran dan jenis kompleks dengan kedudukan tanah dangkal. Pengetahuan tentang kualitas tempat tumbuh (tapak) merupakan elemen penting di dalam perencanaan pemanfaatan suatu areal. Kualitas tempat tumbuh dipengaruhi oleh faktorfaktor seperti iklim, topografi, tanah, vegetasi dan faktor lingkungan lainnya. Memahami dasardasar dalam hal pendayagunaan tanah sebagai upaya untuk mencukupi kebutuhan hidup sangatlah penting, karena hal ini berkaitan dengan efisiensi dan efektifitas dalam kelancaran penggunaan lahan terutama pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang diusahakan. Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor tempat tumbuh, salah satunya adalah tanah, sehingga terdapat hubungan yang erat antara pertumbuhan tanaman dan perlakuan yang diberikan dengan sifat-sifat tanah, baik sifat fisika maupun sifat kimia tanah. Beberapa hal yang sangat berpengaruh terhadap kesuburan tanah adalah seperti: ketebalan topsoil yang merupakan lapisan tanah bagian atas, tebalnya antara 15-30 cm atau lebih. Lapisan ini terbentuk dari humus atau bahan-bahan organik serta variabel zat-zat hara mineral yang sangat diperlukan bagi tanaman yang ada pada tanah lapisan ini. Lapisan topsoil juga terbentuk dari mikro flora dan mikro fauna atau jasad renik biologis (bakteri, cacing tanah, serangga tanah) yang membantu menyuburkan tanah. Kelembaban tanah merupakan faktor yang ditentukan oleh kandungan air dalam tanah tergantung pada tekstur dan struktur tanah. Semakin halus liat tanah semakin besar air yang dapat diikat oleh tanah liat. Pengetahuan akan ketebalan tanah (solum) sangat penting terutama pada lahan-lahan yang memiliki kemiringan. Tekstur tanah terdiri dari: bahan padat (fraksi batu, kerikil, pasir dan debu), bahan cair, bahan gas dan jasad hidup (Kartasapoetra, dkk. 2000), juga sangat berperan dalam pertumbuhan tanaman. 200 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Semakin banyak vegetasi yang tumbuh pada suatu bidang tanah tertentu, secara fisik proses pembentukan tanah atau sifat-sifat fisika tanah daerah tersebut semakin baik. Perbedaan bahan induk akan menyebabkan perbedaan dalam sifat-sifat fisika dan kimia tanah. Dengan mengetahui sifat-sifat tanah dapat ditentukan berbagai pilihan jenis tanaman hutan dan perlakuan yang dibutuhkan supaya tanaman tersebut dapat tumbuh optimal, sesuai dengan tujuan pengusahaannya (kayu pertukangan, pulp, ukir-ukiran dan lain-lain). II. STATUS KESUBURAN TANAH PADA BEBERAPA LOKASI PEWAKIL 1. Sumba Barat Pulau Sumba terletak sekitar 96 km disebelah selatan Flores dan 295 km di sebelah barat daya Pulau Timor, sebagai pulau terbesar ketiga di Propinsi Nusa Tenggara Timur setelah Timor dan Flores. Pulau ini tersusun atas batuan vulkanik (gunung api), terutama tersusun dari batuan gamping/kapur.
Pulau sumba termasuk pulau kering, karena musim kemarau
berlangsung relatif panjang yang dapat mencapai 8 (delapan) bulan dari bulan April-November. Curah hujan tahunan disebagian besar pulau hanya 500 mm hingga sekitar 800 mm, namun dapat mencapai 2000 mm didaerah-daerah pegunungan yang umumnya dijumpai di bagian selatan. Jumlah curah hujan di bagian barat umumnya lebih besar dibandingkan dengan bagian timur, tetapi ketersediaan air tanah dan aliran sungai di bagian timur relatif lebih tinggi. Tekstur tanah di daerah ini termasuk liat berlempung sampai dengan lapisan II (27-62 cm). Tekstur ini mempunyai sifat aerasi dan drainase sedang, hal ini terlihat dari banyaknya liat pada lapisan atas dan kedua >30%. Tanah dengan drainase sedang, mempunyai keterbatasan dalam pertumbuhan perakaran tanaman terutama untuk jenis-jenis tanaman pertanian dan perkebunan. Selanjutnya pada lapisan bawah (62-100 cm) tekstur tanah termasuk liat berpasir, yang mempunyai sifat fisik (aerasi dan drainase) yang lebih baik dibandingkan dengan lapisan diatasnya. Kondisi ini akan mempermudah perakaran tanaman untuk tumbuh kearah vertikal (lapisan bawah). Tingkat kemasaman tanah pada lapisan tanah atas, tengah dan bawah berturut-turut: pH (H2O): 5,6;4,5 dan 4,6. Hal ini memperlihatkan bahwa tanah tersebut termasuk masam dan makin kebawah tingkat kemasamannya semakin tinggi. Kemasaman ini dapat disebabkan oleh tingkat pencairan tanah yang relatif tinggi. Dengan pH (KCL) < pH (H2O) menunjukkan bahwa tanah ini mempunyai kemasaman potensial yang disebabkan oleh adanya amonia atau bahan organik terutama pada lapisan II dan III. Tanah dengan kemasaman (pH) < 5 umumnya terdapat aluminium yang dapar dipertahankan dan dapat meracuni tanaman pada kadar tertentu. Sedangkan kandungan sifat kimia tanah yang terdiri dari Nilai Tukar Kation (Ca, Mg, K dan Na), KTK dan KB seperti terlihat pada Tabel 1 berikut:
201 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 1. Nilai Tukar Kation (Ca, Mg, K dan Na), Kapasitas Tukar Kation (KTK) dan Kejenuhan Basa (KB). Lapisan
Nilai Tukar Kation (cation exchangable
(layer) (cm) Ca
Mg
K
Jumlah
KTK (cation
KB (base
(total)
exchangable
saturation)
capasity/CEC)
(%)
Na Mc/100 g tanah 9soil)
I. 0-27
6,07
1,70
0,17
0,01
8,14
11,73
69
II. 27-62
0,84
0,28
0,09
0,06
1,27
5,36
23
III. 62-100
1,87
0,95
0,19
0,07
3,08
8,87
35
Sumber: Butar Butar, dkk. 2004a. Nilai Ca, Mg, K dan Na, KTK dan KB terlihat lebih tinggi pada lapisan atas dibandingkan pada lapisan II dan III. Hal ini berkaitan dengan nilai pH yang relatif lebih tinggi pada lapisan atas dibandingkan dengan lapisan II dan III. Tingkat kemasaman yang relatif lebih rendah (pH tinggi) menyebabkan komplek pertukaran kation mempunyai muatan posititf lebih banyak, karena unsur H+ yang mempengaruhi koloid relatif rendah dan sebaliknya. 2. Sumba Timur (Hambala) Data iklim tahun 1994-2004 dari Stasiun Meteorologi Sumba Timur diketahui bahwa daerah ini memiliki curah hujan 868,26 mm/tahun; jumlah hari hujan/tahun 90 hari; temperatur berkisar antara 22,730C-28,440C, kelembaban nisbi rata-rata 71,17%. Adapun bulan kering ratarata 7 bulan/tahun sedangkan jumlah bulan basah 4, dengan nilai Ø = 7/4 x 1000C = 175, termasuk dalam tipe F = kering (Schmidt dan Ferguson, 1951). Data ini menunjukkan adanya keterbatasan air sehingga jenis-jenis tanaman yang diusahakan harus tahan terhadap kekeringan atau yang mempunyai tingkat penguapan rendah. Menurut Butar Butar dkk, (2004b) bahwa perakaran tanaman yang ada di wilayah Sumba Timur khususnya di daerah KDHTK Penelitian Hambala masih dapat mencapai kedalaman ± 160 cm, hal ini menunjukkan bahwa suplai hara yang kurang dipermukaan mengakibatkan akar-akar tumbuh terus kebawah untuk mendapatkan zat hara yang memadai. Pada kelerangan 450 dengan vegetasi rumput diketahui bahwa di lokasi tersebut didominasi oleh debu berpasir dan batu-batuan kecil (Ø 0,5 cm– 3 cm) hal ini menunjukkan bahwa kondisi drainase tanah relatif baik. Untuk sifat kimia tanah pada beberapa contoh lapiisan yang dianalisa diketahui bahwa kandungan pasirnya rata-rata sekitar 58 % diikuti dengan debu 26,5 dan liat 15,5 % seperti terlihat pada Tabel 2 berikut:
202 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 2. Tekstur, pH dan bahan organik dari contoh tanah terganggu di KDHTK Hambala, Sumba Timur, NTT N o
Lapisan
Tekstur
Nama
1
AO
Pasir 51
Debu 25
Liat 24
2
AB
55
32
13
3
BC
59
27
4
C
67
22
pH
Bahan Organik
H2O 7,6
KCL 7,1
C (%) 2,54
M (%) 0,75
9
Lempung berpasir
7,9
7,3
0,41
0,04
10
14
Lempung berpasir
8,0
7,3
0,13
0,01
13
11
Lempung berpasir
7,9
7,4
0,13
0,01
13
Lempung
C/N
Sumber: Butar Butar dkk, 2004b. Dari tabel diatas diketahui bahwa tekstur tanah mulai dari lapisan atas termasuk lempung berpasir dan ada kecenderungan meningkat di lapisan bawah. Ini menunjukkan bahwa kondisi aerasi dan drainase tanah cukup baik. Sebaliknya kandungan liat menurun kelapisan bawah, hal ini disebabkan karena intensitas pelapukan kebawah semakin berkurang. Kondisi ini mendukung bahwa perakaran tanaman alam tumbuh baik pada tipe tekstur seperti diatas. Nilai pH termasuk netral, demikian juga kejenuhan basa > 100% hal ni berarti bahwa sifat kimia tanah bukan merupakan faktor pembatas bagi tanaman pada umumnya, seperti terlihat pada Tabel 3 berikut. Tabel 3. Nilai Kation Tukar, Jumlah Kapasitas tukar Kation dan kejenuhan Basa dari contoh tanah terganggu dari KDHTK Hambala, Sumba Timur, NTT Kation Tukar (mm/100 gr) Ca
Mg
K
Na
Jumlah
KTK
KB
33,93
0,46
0,35
0,08
35,00
23,08
> 100
40,60
0,30
0,11
0,13
41,14
12,33
> 100
42,68
0,23
0,09
0,13
43,13
14,74
> 100
4,18
0,31
0,09
0,16
44,74
13,96
> 100
Sumber: Butar Butar dkk, 2004. 3. Timor Tengah Utara (Nunmafo dan Leuram) Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang secara administratif termasuk Provinsi Nusa Tenggara Timur dan merupakan bagian dari Pulau Timor memiliki sejarah geologis yang berasal dari batuan karang endapan liat Bobonaro.
Secara umum Kabupaten TTU memiliki
suhu udara berkisar antara 220 -240C dengan kelembaban udara antara 69%-87% serta intensitas penyinaran sebesar 50-78%.
Sedangkan untuk kedalaman efektif tanah komposisi arealnya
antara 30-90 cm dan terdapat tiga jenis tanah yang mendominasi sebaran wilayah ini yaitu: tanah litosol, tanah kompleks dan tanah glumosol. Pada lokasi Peutana Kelurahan Nunmafo dan di Kuafeu Desa Leuram, memiliki kemiringan > 450, dengan bentuk unit lahan berbukit sampai bergunung, PH tanah di lokasi berkisar antara 7.07 – 7.38 untuk pH H2O dan 6.92 – 7.15 untuk pH KCl. Kelas tekstur tanah 203 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pada lokasi Peutana adalah liat sampai lempung berpasir, sedangkan Kuafeu adalah liat lempung berpasir. Kandungan bahan organik pada lokasi Peutana dan Kuafeu berkisar antara 2.07%11.08% sedangkan kandungan N totalnya berkisar antara 0.16%- 0.42%. Persentase batuan yang relatif tinggi pada permukaan maupun profil tanah menjadi pertimbangan dalam pengolahan tanah untuk tujuan penggunaan lain, karena kondisi ini akan menyulitkan untuk pengolahan tanah agar mendapatkan hasil pertumbuhan tanaman yang optimal. Jika dikaitkan dengan kondisi topografi yang termasuk curam, kegiatan pembukaan lahan akan mempercepat proses erosi tanah yang cukup besar dan pada akhirnya dapat menyebabkan bencana longsor. Dengan analisa pH tanah menggunakan H2O (pH H2O) dan KCl (pH KCl), terlihat bahwa pada setiap lokasi memiliki pH yang lebih besar dari 7, kecuali pH KCl pada lokasi II (Peutana), hal ini berarti secara umum lokasi pengamatan menunjukkan adanya karbonatkarbonat dari Ca dan Mg yang bebas dan proses pertukaran kation antara tanah dan tanaman lebih baik. Hasil analisa tanam pada dua lokasi tersebut terlihat pada tabel 4 berikut: Tabel 4. Keadaan umum dan hasil analisa tanah lokasi Peutana Kelurahan Nunmafo dan Kuafeu Desa Loeram. No. 1 2
Perihal
Peutana Lokasi I (1)
5
Topsoil Persentase batuan - Pada permukaan - Pada profil tanah PH : - H2O (angka) - KCl (angka) Tekstur : - Pasir (%) - Debu (%) - Liat (%) Kelas Tekstur
6 7 8 9
C-Organik (%) N (%) C/N (angka) Kadar air
3
4
Kuafeu Lokasi III
Lokasi I (2)
Lokasi II
> 70% > 70%
> 70% > 70%
> 70% > 70%
> 70% > 70%
7.38 7.07
7.33 7.15
7.07 6.92
7.32 7.07
42.37 8.1 49.5 Liat
76.1 8.7 15.1 Lempung berpasir 2.01 0.22 9.14 5.9
72.9 9.1 17.9 Lempung berpasir 5.83 0.42 13.88 14.7
61.1 10.1 28.6 Lempung liat berpasir 2.28 0.24 9.50 9.8
1.08 0.16 6.75 10.2
Keterangan : (1) : daerah satu, (2) : daerah dua Sumber: Sumardi dkk, 2005
4. Timor Tengah Selatan (TTS) Secara umum Kabupaten TTS beriklim torpis yang berubah tiap setengah tahun berganti dari musim kemarau dan musim penghujan.
Banyaknya hari hujan sebesar 83
hari/tahun, sedangkan jumlah curah hujan adalah 1807 mm/th. Berdasarkan data statistik tahun 1988-1989 kondisi tanah di Kabupaten ini adalah sebagai mana terlihat pada Tabel 5 berikut.
204 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 5. Kondisi sifat fisika tanah secara umum di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur No. 1
2
3
Perihal
Luas
Tekstur tanah Halus Sedang Kasar Erosi Ada erosi Tidak ada erosi Drainase Tergenang periodik Tergenang Pernah tergenang
21.666 Ha 22.142 Ha 35.089 Ha 95.819 Ha 289.881 Ha 8.053 Ha 386.647 Ha
Hasil analisa pada salah satu sample tanah pada Kebun percobaan Bu’at SoE dengan kemiringan 8-15% terlihat seperti pada Tabel 6 berikut: Tabel 6. Hasil Analisa Contoh Tanah di Kebun Percobaan Bu’at, Soe, NTT No
1. 2. 3. 4.
PH H2O
KCl
5.0 7.7 7.9 8.0
5.1 7.1 7.4 7.4
Pasir (%) (sand) 83 6 13 26
Tekstur Debu (%) (silt) 12 12 32 26
Liat (%) (Clay) 5 82 55 52
C (%)
N (%)
C/N
0.10 1.66 0.84 0.23
0.01 0.16 0.07 0.02
10 10 12 12
Sumber : Data analisa laboratorium
Berdasarkan Tabel 6 tersebut diatas diketahui bahwa tingkat kemasaman tanah dengan analisa pH tanah menggunakan H2O (pH H2O) dan KCl (pH KCl) yang dilakukan dengan cara ekstraksi dengan perbandingan 1 : 5, terlihat pada lapisan 1. pH KCl maupun pH H2O lebih kecil dari 7, masing-masing sebesar 5.1 dan 5.0, hal ini menunjukkan bahwa tanah mempunyai ion H+ (kation) lebih besar dari ion OH- maka tanah bersifat asam. Pada lapisan 2, 3 dan 4 pH KCl maupun pH H2O lebih besar dari 7, hal ini menunjukkan adanya karbonat-karbonat dari Ca dan Mg yang bebas dan proses pertukaran kation antara tanah dan tanaman lebih baik. Dari lapisan atas ke lapisan bawah terlihat pH tanah semakin meningkat (makin alkalis = makin basa) hal ini disebabkan adanya penguapan yang menyebabkan tertimbunnya unsur-unsur basa di permukaan tanah, karena penguapan (evaporasi) lebih besar daripada curah hujan (presipitasi) sehingga semakin lanjut usia tanah menyebabkan semakin tinggi pH-nya Tekstur hasil analisa menggunakan “Diagram Segitiga Tekstur Tanah dan Sebaran Besar Butir” (Hardjowigeno, 1993) pada masing-masing lapisan dengan komposisi pasir, debu dan liat dengan perbandingan dalam persen : lapisan 1. (83:12:5) termasuk dalam kelas tekstur kasar (pasir berlempung) dan kelas butir berpasir , lapisan 2. (6:12:82) termasuk dalam kelas tekstur halus (liat) dan kelas butir berliat (sangat halus), lapisan 3. (13:32:55) termasuk dalam kelas tekstur halus (liat) dan kelas butir berliat (halus), lapisan 4. (22:26:52) termasuk dalam kelas tekstur halus (liat) dan kelas butir berliat (halus). Analisa N dilakukan dengan metode Kjeldahl terhadap contoh tanah yang telah dikeringkan pada suhu 105oC, menunjukkan bahwa kandungan N total dari lapisan 1, 2, 3 dan 4 205 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
berturut-turut adalah 0.01%, 0.16 %, 0.07 % dan 0.02 %. N total tertinggi terletak pada lapisan 2. dan untuk nilai C/N. pada tiap lapisan adalah berturut-turut dari 1; 2; 3 dan 4 adalah sebesar 10; 10; 12; 12. Perbandingan C dan N yang lebih tinggi menunjukkan tingkat pelapukan yang lebih rendah. 5. Lombok Tengah (Rarung) Secara umum wilayah Rarung Kabupaten Lombok Tengah berada pada kelompok hutan Gunung Rinjani RTK I. Secara geografis terletak antara 1160 15‘ – 1160 16’ BT dan antara 080 30’ 00” - 080 30’ 36” LS dengan ketinggian 300 m dpl dan luas areal 306.60 Ha. Gambaran iklim di lokasi wanariset menunjukkan bahwa jumlah hari hujan tahunan rata-rata 125 hari, dengan jumlah hari hujan diatas 2000 mm/th. Pada salah satu bagian lokasi yang telah dilakukan analis tanah dengan vegetasi mahoni umur 5-15 tahun, diketahui bahwa hasil interpretasi lapangan berdasarkan deskripsi profil pewakil menunjukkan bahwa tanah tidak dapt menahan air, tetapi ruang perakaran dapat maksimal. Hasil analisa laboratorium terhadap contoh tanah dari masing-masing lapisan contoh terlihat seperti pada Tabel 7 berikut: Tabel 7. Analisa sifat fisik tanah dari contoh tanah terganggu No
Lapisan (cm)
Tekstur (%)
Nama
Pasir
Debu
Liat
1
0-10
72
24
4
Lempung berpasir
2
10-43/62
67
27
6
Lempung berpasir
3
43/62-63/94
64
32
4
Lempung berpasir
4
63/94-100/137
73
21
6
Lempung berpasir
5
100/137-150/176
65
31
4
Lempung berpasir
Berdasarkan uraian Tabel 7 di atas diketahui bahwa secara fisik pertumbuhan akar dapat mencapai sampai lapisan bawah dan tidak mengalami hambatan karena tekstur tanah disemua lapisan berpasir. Fraksi pasir disemua lapisan berkisar antara 64-73%, selanjutnya fraksi debu berkisar 21-32% dan fraksi liat hanya 4-6%. Ini menunjukkan bahwa tingkat pelapukan fraksi masih dalam tahap awal (masih termasuk tanah yang relatif muda). Tipe tekstur tanah di lokasi Rarung mempunyai sifat-sifat yang peka terhadap erosi.
206 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Hasil analisa kimia tanah di Rarung terlihat pada tabel 8 berikut: Tabel 8. Analisa sifat kimia tanah (tekstur) dari contoh terganggu No
Contoh lapisan
pH H2O
KCL
Bahan organik C
M
C/M
Kation Tanah Ca
Mg
K
KTK
KB
Na
1
A1
6,1
5,6
3,41
0,33
10
12,98 2,2
0,64 0,13
15,35 78
2
A2
6,0
5,4
2,18
0,23
9
9,95
1,70
0,31 0,13
12,09 72
3
B1C
6,0
4,6
0,12
0,01
12
5,23
1,62
0,79 0,31
7,94
89
4
C1
5,8
4,4
0,06
0,01
12
2,06
1,17
0,26 0,10
3,69
>100
5
B2C2
6,4
5,3
0,07
0,01
7
4, 67
0,53 0,13
7,41
>100
2,08
Tingkat kemasaman tanah termasuk agak masam, dengan pH dari lapisan atas ke bawah berkisar 5,8-6,4. Tingkat pelapukan bahan organik relatif baik. Nilai C/N berkisar antara 7-12, kandungan Ca dan Mg retlatif tingi; sedangkan nilai K relatif sedang, kapasitas tukar kation termasuk sedang, dengan nilai kejenuhan basa yang relatif tinggi (di lapisan bawah >100%). Hal ini menunjukkan bahwa adanya kation-kation bebas yang lain disamping yang dapat dipertukarkan.. Berdasarkan hasil analisa fisik-kimia tersebut diatas terlihat bahwa di lokasi pengamatan masih membutuhkan perlakuan penambahan bahan organik seperti pupuk kandang dan dilakukan tindakkan pencegahan terhadap bahaya erosi dan banjir. III. KEBUTUHAN RISET PADA BEBERAPA LOKASI PEWAKIL Berdasarkan hasil analisa fisik dan kimia dari beberapa lokasi pewakil diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar wilayah masih membutuhkan penelitian lanjutan selain untuk memaksimalkan daya dukung tanah terhadap pertumbuhan tanaman, juga untuk melakukan usaha konservasi tanah dan air. Untuk mempertahankan dan meningkatkan daya dukung tanah terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman, serta meningkatkan kualitas tanah maka dapat diberi beberapa perlakuan terhadap komponen seperti terlihat pada Tabel 9.
207 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 9. Kebutuhan riset peningkatan kualitas tanah pada beberapa profil pewakil di Nusa Tenggara. Jenis Perlakuan Terhadap
Sumba Barat
Sumba Timur (Hambala)
Lombok Tengah (Rarung)
Tekstur : Penambahan bahan organik pH : Pengapuran
√
√
√
√
Timor Tengah Selatan (SoE) √ (pada lapisan atas) √ (pada lapisan atas
Timor Tengah Utara (Nunmafo dan Loeram) √
Bahan Organik :
√
√
√
Penambahan Mikoriza Pupuk Kandang
√
√
√
√
√
√
Tebal Top Soil: Pembentukan Top Soil pada Lapisan Tanah Ca Tekstur: Pemberian Ca Mg Tekstur: Pemberian Mg K Kandungan: Pemberian K Lain-lain
√ √ √
Lubang Tanam : √
Sistematis
√
√ √
Acak Selektif Konservasi : √
Tanah dan Air Tanaman Kacangkacangan Kemiringan Tanah
√
√ √
√ √
√
Berdasarkan Tabel 9 tersebut diatas diketahui bahwa, pada beberapa lokasi secara umum masih perlu diberikan perlakuan berupa penambahan zat-zat tertentu yang berguna untuk sifat fisik dan kima tanah.
IV. KESIMPULAN Dengan diketahuinya jenis dan kualitas tanah pada suatu daerah akan menentukan arah pengembangan selajutnya, hal ini berkaitan dengan upaya pemberian perlakuan tertentu pada lokasi-lokasi yang membutuhkan, sehingga dapat memberikan hasil yang maksimal, baik secara ekonomis maupun secara ekologis dan konservatif tanah itu sendiri. DAFTAR PUSTAKA Butar Butar T, Jafar, A. dan Handoko, C., 2004a. Deskripsi Sifat-Sifat Tanah Di Wanariset Rarung, NTB. Proseding BP2KBNT 2004. Kupang. ............................ , 2004b. Beberapa Catatan Biofisik Dan Pengelolaan Kawasan Hutan Hambala Dengan Tujuan Khusus Penelitian di Pulau Sumba Nusa Tenggara Timur. Proseding BP2KBNT 2004. Kupang.
208 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
............................., 2005 Sifat-sifat Tanah Pada Tegakan Pinus merkusii di Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. BP2KBNT. Kupang. Belum dipublikasikan. Hardjowigeno, S.. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. Kartasapoetra, A.G, Kartasapoetra, G dan Sutedjo, M.M. 2000. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Penerbit Rhineka Cipta. Jakarta. Sumardi, M. Hidayatullah dan Butar Butar, T. 2005. Kualitas Tapak Pada Beberapa Lokasi Di Hutan Produksi Terbatas Kabupaten Timor Tengah Utara. Nusa Tenggara Timur. BP2KBNT. Kupang. Belum dipublikasikan.
209 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
REHABILITASI LAHAN MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SEKITAR KAWASAN HUTAN DI NUSATENGGARA TIMUR
Oleh: Muh. Hidayatullah dan Gerson ND. Njurumana ABSTRAK Sebaran lahan kritis yang cukup luas serta tingkat ekonomi yang rendah menyebabkan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sangat tinggi, terutama yang hidup berbatasan langsung dengan hutan. Hal ini menyebabkan laju degradasi lahan yang sangat tinggi, sementara itu kegiatan rehabilitasi lahan dan hutan 1 : 4 dengan degradasi lahan. Sehingga upaya rehabilitasi lahan dan hutan perlu segera dilakukan dengan melibatkan masyarakat sebagai partner kerja dan bukan sebagai objek. Dengan pelibatan masyarakat ini diharapkan mampu menigkatkan persen keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Kata kunci : rehabilitasi lahan dan pemberdayaan masyarakat
I. PENDAHULUAN Peningkatan jumlah penduduk berimplikasi terhadap meningkatnya kebutuhan lahan untuk berbagai kebutuhan seperti pemukiman, pertanian, industri, penggembalaan, sehingga pemicu berkurangnya luas hutan dan kawasan konservasi yang diindikasikan oleh bertambahnya persentase lahan kritis dari waktu ke waktu. Aktivitas masyarakat dalam kawasan maupun disekitar kawasan hutan masih banyak dijumpai di Nusa Tenggara Timur (NTT), bahkan dijumpai kegiatan yang saling tumpang tindih dalam pemanfaatan sumberdaya lahan terutama pada kawasan hutan, seperti pemukiman dan perladangan berpindah. Pola perladangan berpindah dengan menebas lahan dan selanjutnya dibakar membawa kerugian ekologi dan ekonomi yang tidak ternilai, terutama penurunan daya dukung lahan dalam pengelolaan secara intensif. Demikian halnya dengan praktek penggembalaan liar makin memperparah keadaan karena terjadinya pemadatan tanah yang mengakibatkan lahan terbuka dan vegetasi semakin sulit tumbuh. Faktor geografis dan morfologis wilayah NTT yang didominasi oleh berbukit dan bergunung (70%) dengan derajat kemiringan rata-rata 50%, sangat rentan terhadap kejadian erosi. Penutupan vegetasi yang sangat terbatas mendorong tingginya dampak negatif energi kinetik hujan dalam memecahkan permukaan tanah, sehingga mendorong peningkatan erosi, meningkatnya evaporasi yang semuanya mengarah pada percepatan laju degradasi lahan. Penambahan jumlah lahan kritis sampai dengan tahun 2004 telah mencapai 2.109.496 ha yang terdapat di dalam kawasan hutan 661.680 ha dan di luar kawasan hutan 1.447.816 ha. Dengan laju degradasi mencapai 15.613 ha/th (Hutabarat, 2006). Besarnya luasan daerah kritis ini, menyebabkan intensitas terjadinya bencana seperti tanah longsor, banjir bandang pada musim penghujan atau kekeringan yang berkepanjangan pada musim kemarau seperti fenomena yang sering terjadi akhir-akhir ini. Sementara itu diketahui bahwa luasan daerah Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) dalam 20 tahun terakhir hanya 3.615 Ha, sehingga perbandingan antara laju degradasi dan upaya penanaman adalah 4 : 1 (Hutabarat, 2006). Kondisi ini sangat memprihatinkan, sehingga upaya210 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
upaya konservasi dan rehabilitasi lahan sangat mendesak untuk segera dilakukan secara berkelanjutan dan tentunya pelibatan masyarakat harus menjadi perhatian utama mulai perencanaan, pelaksanaan sampai pada tahap evaluasi dengan tetap memperhatikan aspek-aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat setempat. Tulisan ini dibuat untuk mengetengahkan sejauh mana pelibatan dan peran masyarakat dalam kegiatan konservasi lahan. II. KONDISI UMUM NUSA TENGGARA TIMUR Secara geografis Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak dibelahan selatan Indonesia antara 90 - 120 LS dan 1180 - 1250 BT. NTT memiliki luas 47.349,5 km2 merupakan wilayah kepulauan yang terdiri dari 566 pulau dan hanya 42 pulau dihuni. Diantara pulau-pulau yang besar secara geografis ada yang terbentuk secara vulkanis dengan kondisi tanah relatif subur ( P. Komodo, Flores, Solor, Lembata, Pantar dan Alor), dan yang terbentuk dari terangkatnya dasar laut yang tanahnya berbatu karang (P. Sumba, Sawu, Rote, Semau dan Timor). Morfologis NTT sebagain besar berbukit sampai bergunung (70%) dengan derajat kemiringan rata-rata 50 % (Anonim, 1996).
Daerah yang berbukit sampai bergunung ini pada
umumnya mempunyai lapisan tanah yang sangat tipis karena pembentukan tanah berlangsung sangat lambat (Pratiwi, 2005). NTT pada umumnya beriklim kering (semi arid) dengan musim hujan sangat pendek (November-Maret) dan musim kemarau berlangsung sangat lama (April-Oktober) dengan curah hujan berkisar antara 500 – 3000 mm/th. Kelembaban mutlak terendah terjadi pada musim timur yaitu pada bulan Mei – Oktober dengan kecepatan angin 30 km/jam, sedangkan kelembaban maximal terjadi pada musim barat yaitu pada bulan November – Maret dengan kecepatan angin 11 – 19 km/jam. Sedangkan dalam (Anonim, 2004) dikatakan bahwa pada bulan Juni sampai September arus angin berasal dari Australia yang tidak banyak mengandung uap sehingga mengakibatkan terjadinya musim kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember – Maret arus angin banyak mengandung uap yang berasal dari Asia dan Samudra Pasifik sehingga terjadi musim hujan. Keadaan ini berganti tiap setengah tahun setelah mengalami peralihan pada bulan April – Mei dan Oktober – November, hal ini menyebabkan wilayah NTT secara umum tergolong dalam wilayah kering dengan musim kemarau selama 8 bulan dan musim penghujan 4 bulan. Sedangkan topografi (Peta topografi skala 1 : 100.000) wilayah NTT dibedakan atas 7 kelas kelerangan seperti terlihat pada tabel berikut. Tabel 1. Topografi wilayah NTT No
Satuan Bentuk Wilayah
1 2 3 4 5 6 7
Kelerengan (%)
Datar 0-2 Sangat landai 3-8 Landai 9-15 Agak curam 16-25 Curam 26-40 Sangat curam 41-60 Sangat curam sekali > 60 Jumlah Sumber: BPDAS Benain Noelmina tahun 2005 211 | P r o s i d i n g
Luas wilayah (Ha)
Persentase (%)
371.130 320.715 325.822 490.673 1.127.965 1.909.449 189.264 4.735.018
7.84 6.77 6.88 10.36 23.82 40.33 4 100
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Dengan komposisi lahan yang sangat curam hampir separoh dari selurah lahan yang ada di NTT, dengan demikian dalam pelaksanaa kegiatan rehabilitasi dan konservasi lahan membutuhkan perhatian yang ekstra dan dukungan teknologi yang memadai karena sedikit kesalahan dalam pelaksanaannya akan memberikan dampak yang sangat buruk. Sedangkan penggunaan lahan berdasarkan statistik kehutanan NTT tahun 2003 dapat dibedakan atas 12 jenis penggunaan yaitu: Tabel 2. penggunaan lahan NTT berdasarkan jenis penggunaannya No
Jenis penggunaan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Hutan negara Perkebunan rakyat Hutan negara Tegal/kebun Ladang/huma Ladang penggembalaan Kintal pekarangan Lahan tidur Kolam/empang Tambak Rawa Tanah kering lainnya Jumlah Sumber: Statistik Kehutanan NTT 2003
Luas (Ha)
Persentase (%)
585.038 354.514 369.191 460.098 321.523 783.533 189.543 763.852 1.935 2.929 4.028 898.821 4.735.005
12,36 7,49 7,80 9,72 6,79 16,55 4,00 16,13 0,04 0,06 0,09 18,98 100
Dari tabel tersebut diatas diketahui bahwa persentase padang penggembalaan ternak menduduki nilai tertinggi, ini mengindikasikan bahwa lahan yang tidak dimanfaatkan secara maksimal sangat besar ditambah lagi dengan sebaran tanah kering yang memang tidak mendukung dalam upaya rehabilitasi dan konservasi lahan karena sangat miskin akan unsur hara serta zat-zat lainnya. Pengendalian kerusakan hutan dan lingkungan merupakan faktor utama untuk mengendalikan dampak kekeringan di NTT.
Prioritas utama dalam rangka pemulihan
lingkungan saat ini adalah mengamankan blok-blok hutan yang masih tersisa maupun daerah tangkapan air dari berbagai ancaman melalui pendekatan law enforcement, pemberdayaan masyarakat beserta kearifannya serta dukungan multi pihak. Selanjutnya dilakukan rehabilitasi lahan terutama lahan – lahan kritis yang berada pada daerah tangkapan air. Upaya perbaikan lingkungan dan pemanfaatan sumber air di masa mendatang perlu mempertimbangkan kesinambungan jasa lingkungan, hutan dan vegetasi disekitar sumber air. Salah satu bentuknya adalah pemberian insentif bagi masyarakat yang mengelola lingkungan di sekitar sumber air yang melaksanakan tindakan rehabilitasi dan perlindungan. Sumber air yang berada pada lahanlahan milik masyarakat baik secara komunal maupun individu diberikan kompensasi, salah satunya berupa pembebasan atau pengurangan pajak bumi. Hal ini untuk meredam upaya konversi lahan kawasan tangkapan air pada peruntukkan lain. III. SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT Sampai dengan saat ini, propinsi NTT masih digolongkan dalam wilayah miskin di Indonesia. Pendapatan perkapita berdasarkan harga konstan yang berlaku pada tahun 2001
212 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
adalah sebesar Rp. 1.1811.696/th atau Rp. 150.975/bln (NTT dalam Angka, Th. 2001), dengan pertumbuhan penduduk 1.59 %/thn dimana pada tahun 1980 jumlah penduduk hanya 3.628.644 jiwa, maka pada tahun 2000 sudah mencapai 3.808.477 jiwa. Data terakhir menunjukkan bahwa pada tahun 2005 jumlah penduduk telah mencapai 4,188 juta jiwa. Dari total penduduk tersebut atau terdiri atas 952.104 keluarga, tahun 1999 jumlah penduduk miskin tercatat 1,78 juta jiwa. Setahun berikutnya turun menjadi 1,43 juta jiwa, bahkan tahun 2002 tersisa 1,21 juta jiwa tetapi tahun 2005 meningkat drastis mencapai 2,506 juta jiwa, (Kompas - Nusantara, jumat 16 Desember 2005) atau sekitar 28.89% dari total jumlah penduduk, jumlah yang sangat tinggi. Melihat jumlah ini, seharusnya pemerintah lebih kreatif dalam melakukan terobosan untuk menekan jumlah rakyat miskin. Salah satu cara yang dapat ditempuh pada sektor kehutanan adalah dengan pemberdayaan masyarakat secara aktif dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, dan dengan memotivasi serta mendorong masyarakat untuk menggali potensi sumber daya alam yang ada di NTT. Matapencaharian pada dasarnya bercorak agraris di sektor pertainan (75,2 %) dan sisanya di sektor industri (9,9 %) dan di sektor lain-lain (14,9 %). Kemiskinan yang melanda masyarakat ini menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya kerusakan hutan dan lingkungan. Kerusakan hutan dan lingkungan akan memicu terjadinya malapetaka dengan terjadinya banjir, gagal panen, dan kesulitan air sebagai akibat perubahan pola hujan dan iklim. Sampai saat ini, sedikitnya 40 % dari luas wilayah NTT sudah dalam keadaan lahan kritis, bahkan Pulau Sumba luas hutannya saat ini kurang dari 7 % dari total luas wilayah. Karenanya tidak berlebihan bila dikatakan bahwa NTT sedang menuju proses penggurunan (desertification), indikasi awal adalah terjadinya kekeringan setiap tahun (Nujurumana, 2005). Melihat pertambahan penduduk yang sangat pesat dan sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani, tentunya kebutuhan masyarakat akan sandang dan papan juga meningkat dengan sendirinya. Interaksi masyarakat dengan alam ini selain membawa nilai positif, juga banyak membawa dampak negatif. IV. POLA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pengaturan pemanfaatan hutan dalam rangka pemberdayaan masyarakat sebenarnya telah tertuang dalam UU kehutanan NO. 41/1999, dikatakan bahwa pemanfaatan hutan negara yang tujuan utamanya adalah untuk memberdayakan masyarakat atau yang disebut sebagai Hutan Kemasyarakatan (HKm).
HKm seharusnya meletakkan pemberdayaan masyarakat
sebagian tujuan akhir melalui kegiatan pemanfaatan hutan. Sistem seperti ini sangat mungkin untuk dikembangkan di wilayah NTT, seperti pada areal percontohan HKm yang pada awalnya direncanakan di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Kupang, akan tetapi karena adanya dualisme peraturan yaitu UU kehutanan NO 41/1999 dengan PP 34/2002 tentang pengaturan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan. Sampai dengan saat ini belum juga dikeluarkan surat keputusan penetapan lokasi, walaupun sudah merampungkan seluruh tahapan penyiapan masyarakat (identifikasi, inventarisasi, legalisasi dan pencadangan wilayah) (Pristiyanto, 2005). Hal ini juga terjadi pada 10 kabupaten/kota di Empat Propinsi yaitu Kabupaten Gunung Kidul 213 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dan Kulon Progo (DIY), Ogan Komering Ilir dan Ogan Komering Ulur (Sumatera Selatan), Lampung Tengah dan Lampung Timur (Lampung) dan Tanah Toraja (Sulawesi Selatan). Nusa Tenggara Timur mempunyai banyak kawasan konservasi/hutan wisata alam yang cukup potensial untuk dikembangkan menjadi objek wisata, akan tetapi pengelolaan sumber daya alam hutan belum dilaksanakan secara optimal karena selain terbatasnya dana dan sarana prasarana yang tersedia juga masih minimnya kegiatan pengamanan hutan terutama yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk dan peluang terjadinya penyerobotan kawasan sangat tinggi, hal ini terus mengancam kelestarian flora fauna. Kegiatan penyerobotan kawasan masih sering dijumpai di NTT ini. Penyerobotan kawasan ini, sebagian besar dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan rendahnya pemahaman mereka akan kedudukan dan fungsi kawasan bagi kelangsungan hidup seluruh komponen masyarakat manusia maupun masyarakat hewan dan tumbuhan. Permasalahan ini harus segera disikapi oleh pemerintah atau steakholders dan para pihak yang berkepentingan agar dapat menghindari atau minimal mengurangi terjadinya hal seperti diatas.
Salah cara yang dapat ditempuh adalah dengan
memberdayakan masyarakat pada kegiatan-kegiatan Rehabilitasi hutan dan lahan yang sampai dengan saat ini belum menunjukkan hasil yang maksimal karena begitu kompleksnya permasalahan yang dijumpai di lapangan, mulai dari masalah teknis pelaksanaan maupun masalah non teknis yang berhubungan dengan keterlibatan masyarakat setempat. Marginalisasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan kehutanan seperti Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) ini akan berimplikasi buruk pada pengelolaan dan pemeliharaan di lapangan, hal ini disebabkan karena masyarakat cenderung kurang proaktif dan bahkan apatis dalam kegiatan tersebut akibat dari kebijakan yang tidak mencerminkan keadilan bagi masyarakat, oleh karena itu pemberdayaan masyarakat pada kegiatan-kegiatan seperti ini akan mempermudah kegiatan. Pemberdayaan masyarakat ini dapat berupa memaksimalkan kelompok-kelompok tani yang sudah ada atau dapat berupa pembentukan kelompok pada tingkat ”akar rumput” sehingga terjadi penguatan organisasi lokal yang akan menjadi kontrol dalam pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan rehabilitasi lahan. Penguatan organisasi lokal ini perlu diimbangi dengan menawarkan teknologi tepat guna atau pelatihan-pelatihan yang mendukung kepada masyarakat sesuai dengan situasi dan kapasitas setempat.
Pelibatan masyarakat ini diharapkan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus mengurangi ketergantungan mereka terhadap hutan. Menurut Sallata dan Njurumana (2003), Setidaknya ada 4 keuntungan yang dapat diraih dengan pelibatan masyarakat secara total dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan hutan tanaman dan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yaitu (1). memperoleh dukungan dalam pelaksanaan, (2). Membangkitkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan dan konservasi tanah dan air, (3). Tergalinya keahlian-keahlian yang dimiliki kelompok masyarakat dalam pelestarian sumberdaya alam dan (4). Terbangunnya kemitraan yang mampu mengurangi konflik pengelolaan.
214 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pengalaman menunjukkan bahwa penyebab dari degradasi lahan dan hutan adalah selain karena kematangan dalam proses penyadaran yang diterima oleh masyarakat yang dilakukan oleh instansi-instansi pemerintah maupun oleh lembaga swadaya masyarakt (LSM), juga karena perilaku dan pola eksploitasi yang keliru dari masyarakat disekitar kawasan hutan, sehingga untuk mengembalikan dan melestarikan potensi sumber daya hutan tersebut maka masyarakat disekitar hutan perlu diberdayakan dengan mengoptimalkan lahan pertanian yang ada diantara pemukiman masyarakat dengan kawasan hutan. Ada beberapa aspek yang seharusnya dapat diberdayakan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan ini yaitu pemberdayaan ekonomi (taraf hidup), pemberdayaan dalam aspek keamanan, aspek kearifan lokal yang berkaitan dengan kegiatan konservasi, serta pembinaan. Beberapa cara yang dapat ditempuh adalah
Pertama : Pengembangan hutan
keluarga/marga dengan memanfaatkan lahan milik masyarakat yang disertai dengan pembinaan dan penyadaran secara intensif oleh pihak-pihak terkait (seperti Pemerintah atau LSM). Kedua : Pemaksimalan upaya masyarakat lokal untuk menurunkan laju degradasi dengan mekanisme pemberlakuan hukum adat pada kawasan-kawasan tertentu juga perlu mendapat perhatian. Mekanisme ini sangat erat kaitannya dengan kearifan masyarakat setempat dalam mempertahankan kelestarian lingkungannya.
Ketiga: Pengembangan jenis tanaman alternatif
yang menghasilkan buah seperti jarak pagar (Jathropha curcas) sekaligus dapat berfungsi sebagai tanaman rehabilitasi. Dengan cara seperti ini masyarakat melakukan dua hal yang berbeda dalam waktu yang bersamaan, selain dapat memanfaatkan buah dari tanaman ini untuk bahan biodesil yang bernilai ekonomis tinggi juga keberadaan pohon tersebut dapat berlaku sebagai bagian dari upaya rehabilitasi lahan dan hutan. Dari aspek ekonomi, manfaat tanaman jarak pagar adalah mampu menjadi sumber energi alternatif yang mendukung program pemenuhan energi nasional, sedangkan dari aspek lingkungan mampu merehabilitasi lahan kritis dan konservasi tanah dan air melalui produksi biomassa yang tinggi serta pengurangan emisi dan rosot karbon di udara.
V. KESIMPULAN Fakta menunjukkan bahwa dengan melibatkan masyarakat pada kegiatan-kegiatan seperti itu memberikan dampak yang positif terhadap tingkat keberhasilan kegiatan dilapangan. Tingkat keberhasilan dari kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan selain dilihat dari penampakan fisik tanaman di lapangan juga dapat dilihat dari adanya peningkatan aspek sosial ekonomi masyarakat yang terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1996. Kebijakan pengelolaan Sumber daya hutan di NTT. Ekspose hasil-hasil penelitian kehutanan BPK Kupang. Anonim, 2003. Statistik Kehutanan Propinsi NTT. Kupang Hutabarat, S. 2006. Model Forest: Alternatif Pengelolaan Hutan di NTT. Ekspose hasil-hasil penelitian kehutanan. BP2KBNT Kupang. Kompas-Nusantara, 2005. Jumlah Keluarga Miskin di NTT Mencapai 28,9 Persen. Tanggal 15 Desember 2005. 215 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Njurumana, G. ND. 2006. Kekeringan dan Proses Penggurunan (Refleksi dalam rangka Hari Air Sedunia). Sebuah Artikel. Diterbitkan oleh Harian Pagi Timor Express, Pratiwi, 2006. Rehabilitasi Lahan Kritis Di Wilayah Nusa Tenggara Timur. Ekspose hasil-hasil penelitian kehutanan. BP2KBNT Kupang. Pristiyanto, D. 2005. Analisis dan rekomendasi: Peraturan pelaksana mengenai pemanfaatan hutan dalam rangka pemberdayaan masyarakat. ”berita lingkungan Indonesia” Tanggal 21 Desember 2005. Sallata, M. K dan Njurumana, G. Nd, 2003. Pembentukan iklim mikro melalui komunitas pepohonan untuk kelestarian tata air berbasis masyarakat. Info hutan No. 158/2003. Pusat penelitian dan pengembangan hutan dan konservasi alam. Bogor.
216 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
JADWAL ACARA Selasa, 12 Desember 2006 08.00-08.30 08.30-09.45
09.45-10.00 Sesi I 10.00-10.15 10.15-10.30
10.30-10.45 10.45-11.00 11.00-11.15 11.15-11.30 11.30-12.30 12.30-13.30 Sesi II 13.30-13.45 13.45-14.00 14.00-14.15 14.15-14.30 14.30-14.45 14.45-15.45 15.45-16.15 16.15-16.30 16.30-17.00
217 | P r o s i d i n g
Pendaftaran Pembukaan Menyanikan Lagu Indonesia Raya Laporan Ketua Panitia Penyelenggara Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan Sambutan Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur Doa Rehat Teknologi Budidaya dan Pengolahan Rotan dan Bambu Karnita Yuniarti Dukungan Kebijakan dan Teknologi Pengembangan jarak pagar sebagai energy alternative di NTT Orylens Octavianus Lo (BPPT NTT) Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengembangan Cendana di NTT Lefa Rafael Levis Potensi Pengembangan Industri Lebah Madu Hutan di NTT Dennis Nitte dan Budiyanto Dwi Prasetyo Teknologi Pengolahan dan Budidaya Minyak Atsiri Ina Winarni Teknik Budidaya dan Produksi Gaharu I Komang Surata Diskusi Rehat dan Ramah tamah Diversifikasi Produk Kemiri di Kabupaten Ende Rahman Kurniadi Prospek Pengembangan Penangkaran Rusa Timor Oleh Masyarakat Kayat dan Mariana Takandjandji Ancaman Degradasi Lahan pada Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina di Timor Barat. Gerson ND. Njurumana Evaluasi Uji Perolehan Genetik Melaleuca cajuputi Sampai Umur satu tahun di Lapangan Sumardi Pengembangan Budidaya Cendana (Santalum album Lin.) di Musim Kering I Komang Surata Diskusi Rehat Rumusan Penutupan
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Daftar Peserta No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.
Nama Emanuel B. Eha Nur Masripatin Tony Herawan Silver Hutabarat Antonius Tisera Ben Polomaing Maria P. Widiyanti Yulius Patola Bezalial Nelson Meok M. Alexander A.B. Ora Sudariono Robert Lona Ory Oktavianus Umbu Randa R.H. Teguh Sem A. Haukas Tisera Antonius Karnita Yuniarti Ina Winarni Rudi M. R. lim B.M. I Made Widyana Bayu Adrian Victorino Merry D. Rattah Pinusa Antonius Patandianan S. Agung Sri R. Upik Pramuningdiyani Kayat C. Nugroho Kuwadi Liliek Harjanto R. Siburian Yos B. Rangga J.F. Dupe Timotius Natun Paul Isliko E. Leneng Ignas Simo I Komang Surata Dennis Nitte
218 | P r o s i d i n g
Instansi Asisten IV Gub. NTT P3HT Bogor P3HT Bogor Dinas Kehutanan NTT Dinas Kehutanan Belu Dinas Kehutanan Ngada Dishut Kab. Belu Dishut Kab. Belu PKA Kabupaten Kupang Dishut Belu BDK Kupang BKSDA NTT I Distanbunhut Kab. Kupang BPP Teknologi Ketua DPD LPLH NTT As. Intel. Kejati BAPEDALDA Dishut Belu P3HH Bogor P3HH Bogor Timex BPDAS BN BP2KBNT BPDAS BN BP2KBNT BP2KBNT BP DAS BN BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT P3HT Bogor P3HT Bogor P3HT Yogyakarta FST UNDANA BP DAS BN Distan NTT Pemerhati Lingkungan Mewakili Rektor UNDANA Reporter TVRI LEMLIT UNDANA BP2KBNT CV Amfoang Jaya
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
No 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83.
Nama Ch. Mone P. Ur Leonard Benu Mukiar I.M. Lenggu Rahman Kurniadi Bernandus Ndolu Fidrahman A. Siswadi Cornelia Faah Erlynda K. Budy Zet Mooy A. Muis Diana Sem N. Ida Rachmawati Eko Pujiono Nurhuda Adi Prasetiyo L.R. Levis Th. Tuekolis Wahyudi Fajar Lema Fidelis Klau Oskar K. Oematan Felipus Banani Kornelius Ame Sumardi Budyanto Dwi P. Edy Sutrisno Agung Arief Sujarwo Sujadmoko Dani Sulistiyo Hadi Ika Nurhayati Agis Nursyam S. M. Fanggi Gerson ND. Njurumana M. Hidayatullah Turbani Munda Marthen L. Hanas Geisberd Faah Hendrik A. Lewi Piring Yoseph Bria
219 | P r o s i d i n g
Instansi BP DAS BN UNDANA BP2KBNT LITBANGDA BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT BDK Kupang BDK Kupang Robe Ndao Pos Pos Kupang BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT UNDANA BDK Kupang BPDAS BN LPLH Faperta UNDANA BP2KBNT BP2KBNT KOMPAS BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT BDK Kupang BP2KBNT BP2KBNT BDK Kupang BP2KBNT BDK Kupang BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT BP2KBNT
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
DISKUSI Sesie I Pertanyaan/Saran/Masukan/Tanggapan Tanggapan atas makalah A. JARAK PAGAR 1. Perlunya sosialisasi kepada masyarakat luas dalam rangka budidaya dan informasi pemasaran hasil (Bezalial Nelson Meok) 2. Dengan dilakukannya penanaman jarak pagar dalam skala besar, dikhawatirkan sebagai sebuah euforia atau semangat yang hanya terjadi pada saat ini saja, tanpa diketahui arah dan prospeknya (Alex B. Ora) 3. Jenis-jenis bibit unggul dari jarak pagar yang berkualitas (Paul Isliko) 4. Keuntungan yang dapat diperoleh dari penanaman jarak pagar karena dikaetahui bahwa harga buah sebagai bahan baku biodesil hanya Rp. 500,-/gr ( Timotius Natun) B. MADU 1. 2.
Prosedur pengumpulan madu dari PT. Amfoang Jaya (Bezalial Nelson Meok) Uji kualitas madu perlu di sosialisasikan kemasyarakat (Bezalial Nelson Meok)
C. SOSIALISASI CENDANA 1. 2.
Teknis pelaksanaan sosialasasi dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka budidaya cendana (Umbu Randa) Diperlukan pembuatan demplot cendana di lingkungan kampus UNDANA sebagai laboratorium atau sebagai demplot percobaan (Budi Z Mooy).
D. Revitalisasi HHBK 1.
Bagaimana memaksimalkan potensi HHBK yang ada di wilayah NTT sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat terutama yang berada di sekitar kawasan hutan (( Timotius Natun).
Jawaban : 1. Pelaksanaan sosialisasi jarak pagar diperlukan dukungan berbagai pihak terumata dengan dinas-dinas terkait (dinas kehutanan, dinas pertanian). Pada saat sekarang, kegiatan ini sedang gencar dilakukan kepada masyarakat sehingga diharapkan kebutuhan bahan bakar yang semakin meningkat disatu sisi dan persediaan di alam yang semakin menipis dapat dicarikan alternatif yang murah dan ramah lingkungan. 2. pada tataran pemerintah pusat, semangat untuk melaksana budidaya tanaman jarak pagar dalam skala besar sudah jelas dengan dikleuarkannya Inpres dan Kepres yang dikeluarkan pada bulan januari tahun 2006. Sehingga sudah jelas arah dan prospeknya kedepan dimana pemerintah dalam hal ini akan menampung akan turut bertanggung jawab untuk menampung produksi dari petani dengan harga yang pantas. Selain itu, penanaman jarak pagar dapat menghasilkan minyak jarak 3,5-7 ton/thn yang bisa digunakan untuk substitusi bahan bakar. 3. dari aspek ekonomi dan sosial keuntungan yang dapat diperoleh dalam usaha ini adalah harga biji jarak mencapai Rp. 500,-/kg, dengan perumpamaan 1 keluarga diberikan hak untuk mengurus 5 ha lahan yang ditanami jarak, maka masyrakat dapat mengambil keuntungan sampingan yaitu 5 ha x 2500 x 4 kg x Rp. 5000,-/kg = Rp. 25 jt/tahun (2,5 juta/tahun), untuk sebuah hasil sampingan nominal ini merupakan sebuah hasil yang sanatg besar. 4. PT. Amfoang Jaya memilki 21 kelompok usaha bersama (KUB) yang berfungsi sebagai penyuplai madu yang tersebar di beberapa kabupaten (kab. Kupang, TU, TTS, Alor dan Rote Ndao) kemudian madu KUB ini selanjutnya di seleksi kepastian keaslian madu (mutu) dan seleksi water tester, kemudian dilakukan penyaringan dan penyimpanan pada gentong tampung sementara. 220 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Setelah itu, dimasukkan kedalam Vacum room untuk melakukan proses pemurnian madu sesuai dengan standart SNI, kemudian dilakukan penyaringan akhir dan penyimpanan siap isi. Setelah tahap ini dilakukan pengisisna , labeling, segel dan kontrol kualitas kemudian produk madu PT amfoang Jaya siap untuk dipasarkan. Pelaksanaan sosialisasi prosedur ini kepada masyarakat memerlukan waktu yang cukup lama, terkait dengan kebiasaan masyarakat yang menggunakan mekanisme atau metode lama dalam uji kualitas madu seperti menggunakan kertas koran atau dengan memasukkan kedalam air. Akan tetapi PT. Amfoang Jaya tetap berkomitmen dalam mensosialisasikan uji kualitas ini. 5. pendekatan yang dilakukan alam kegiatan sosialisasi ini adalah dengan memperhatikan faktor sosial-antropologis, ekologis-agroklimat, pendekatan kelompok dan pendampingan, pola tanam (dimana tanaman cendana yang akan dibagikan hanya dijadikan sebagai tanaman sampingan, sedangkan yang pokok adalah tanaman semusim atau tanaman pangan lainnya). Hal ini dilakukan mengingat cendana merupakan tanaman yang membutuhkan waktu yang relatif lama dalam memberikan nilai ekonomi kepada masyarakat. 6. Pelaksanaan sosialiasasi dan pemberdayaan masyarakat dalam rangka budidaya cendana merupakan kerjasama multi pihak yaitu Universitas Nusa Cendana, Dinas Kehutanan dan Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali Nusa Tenggara – Kupang yang menjadikan masyarakat sebagai partner dilapangan. Dinas kehutanan sebagai koordinator kehutanan dilungkup Propinsi NTT, balai Litbang kehutanan bali dan nusra sebagai penyedia bibit cendana sebanyak 50.000 bibit dan Undana sebagai pelaksana pendamping masyarakat dilapangan. Kegiatan ini dilakukan secara bertahap dalam menanam dilapangan sesuai dengan kemampuan dan kesiapan masyarakat di dua desa yaitu (desa Ponain dan desa Tesbatan kecamatan Amarasi – Kupang). Sehingga pada akhirnya diharapkan dapat mengembalikan kondisi kawasan tersebut yang pada awalnya merupakan kantongkantong cendana. Hal ini sesuai dengan harapan dari kegiatan ini yaitu menjadikan kawasan tersebut sebagai daerah wisata cendana. 7. Pembuatan demplot tanaman cendana di dalam kawasan Universitas Nusa Cendana memang menjadai harapan banyak pihak terumata pihak kampus sendiri dan hal ini sedang dilakukan tetapi masih dalam skala yang kecil.
8. Potensi HHBK yang dimiliki oleh NTT memang cukup banyak seperti minyak atsiri, asam, bambu dan lain-lain. Untuk memaksimalkan potensi ini membutuhkan kerjasama seluruh komponen masyarakat sebagai pelaksana dan pengusaha serta pemerintah sebagai pengambil kebijakan yang akan mendukung. Selain itu diperlukan koordinasi antara antara lembaga penelitian dengan masyarakat yang menjadi konsumsi maupun kebutuhan pasar.
Sesi II Pertanyaan/Saran/Masukan/Tanggapan Degradasi Lahan 1. Untuk menangani masalah degradasi sangat perlu dilakukan koordinasi, hal inilah yang paling sulit dilakukan. Kearifan lokal yang perlu dihidupkan kembali. Kayu Putih 1. Kayu putih sudah sejak lama ada (bukan barang baru) sangat berpotensi sekali untuk dikembangkan di Kupang (pengujian bibit dan sosialisasi budidaya dan manfaat ekonomi, informasi pasar) (Paulis Rico - Undana) 2. Kurangnya rendemen lebih disebabkan masalah penolhan, karena perilaku destilasi menyebabkan minyak mudah menguap. Untuk itu diperlukan zat pengikat misalnya lemak hewani atau nabati.
221 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pengelolaan Sumber Daya Alam 1.
Pengelolaan SDA tidak mengenal batas administrasi. Untuk itu diperlukan ada satu badan pengelola independen untuk menghindari konflik antar daerah administrasi.
Rotan/Bambu 1. Apakah Rotan merupakan produk potensial untuk dimebangkan di NTT (Nikson Undana) 2. Apakah NTT ini termasuk daerah gempa, apakah bisa bambu dioleh sebagai bahan bangunan pengganti beton sehingga tidak bahaya bagi keluarga (Nikson – Undana). 3. Bagaimana mendatangkan investor untuk mengolah bambu dan rotan Kemiri 6. Undana Nilai tambah yang diperoleh hanya dari pengolahan biji kemiri saja. 7. Jenis andalan Gerhan adalah Kemiri. Perlu dilakukan sosialisasi manfaat kemiri dengan menjelaskan secara detail hingga pada teknologi pemanfaatannya 3. Mohon penjelasannya yang lebih rinci tentang pemeliharaan oleh masyarakat. Apakah ada insentif Arang aktif 1. Lahan pembuatan arang aktif dapat kita laksanakan, tetapi permsalahannya adalah pasar. Jawaban 1. Pasar rotan sudah terbuka, untuk pengembangan bambu tergantung pada minat dan kebijakan pemerintah daerah. Untuk penelitian bambu sebagai bahan pengganti beton kemungkinan dapat dilakukan. 2. Sosialisasi tentang kemiri memang sebaiknya dijeaskan sampai ke ”bawah”. Sebenarnya yang harus lebih berperan adalah para penyuluh. 3. Arang kemiri dan tempurung kelapa memiliki sifat fisik yang sama. 4. Masalah pemasaran memerlukan keahlian tersendiri sehingga dapat diperoleh harga yang baik.
222 | P r o s i d i n g
Diskusi Hasil Penelitian. Kupang 12 Desember 2006