Tinjauan terhadap Penerapan Distinction Principle dalam Konflik Bersenjata: Studi Kasus Prosecutor v. Stanislav Galić (ICTY) dan Prosecutor v. Fofana Kondewa (SCSL) 1. Kurniawan Arif Wicaksono 2. Hikmahanto Juwana 3. Hadi Rahmat Purnama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia Abstrak Skripsi ini membahas mengenai pengaturan masalah distinction principle dalam hukum humaniter internasional, berikut perkembangan dan kedudukannya serta penerapannya dalam dua bentuk konflik bersenjata yang terjadi, yakni konflik bersenjata internasional dan noninternasional. Analisis akan dilakukan dengan menggunakan studi kasus atas perkara Prosecutor v. Stanislav Galić (ICTY) dan perkara Prosecutor v. Fofana Kondewa (SCSL). Dalam dua kasus tersebut, masing-masing pihak tergugat dituntut telah melakukan pelanggaran terhadap distinction principle, yaitu tindakan kekerasan dengan tujuan menyebarkan teror kepada penduduk sipil. Metode pendekatan kualitatif digunakan untuk mengumpulkan bahan-bahan dalam penulisan skripsi ini. Pada akhirnya, skripsi ini berusaha menganalisis pentingnya perlindungan terhadap penduduk sipil saat konflik bersenjata terjadi dan bahwa segala bentuk serangan atau ancaman yang dilakukan terhadap penduduk sipil merupakan pelanggaran terhadap distinction principle karena tidak dilakukan pembedaan antara combatant dan penduduk sipil. Kata kunci
: combatant; distinction principle; Fofana Kondewa; Galić; konflik bersenjata
Abstract This thesis studies the provisions of distinction principle in international humanitarian law, including its development, influence, and application in the two forms of armed conflict, namely international and non-international armed conflict. The analysis will be conducted with regard to the case of Prosecutor v. Stanislav Galić (ICTY) and Prosecutor v. Fofana Kondewa (SCSL). On the two mentioned cases the accused are charged with a violation of distinction principle by acts of violence which is purposed in spreading terror to civilian populations. Qualitative approach is used to gather resources in writing this thesis. In conclusion, this thesis attempts to underline the importance of protection of civilians in armed conflict and any form of violence that harm civilians is considered a violation of distinction principle since it shows no distinction made between combatant and civilians. Keywords 1.
: armed conflict; combatant; distinction principle; Fofana Kondewa; Galić
Pendahuluan Sejarah umat manusia tidak dapat dipisahkan dari peperangan atau konflik
bersenjata1. Suatu kenyataan menyedihkan dalam sejarah manusia menyebutkan bahwa 1
Jean S. Pictet berpendapat bahwa istilah “konflik bersenjata” (armed conflict) seharusnya lebih digunakan daripada istilah “perang” (war), karena istilah “konflik bersenjata” lebih umum dan dapat pula
1 Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
Universitas Indonesia
2
selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun masa damai.2 Sejarah juga mencatat hingga Abad XX telah terjadi dua kali perang dunia. Selain perang dunia tersebut, terdapat pula perang-perang lain yang memiliki dampak signifikan seperti Perang Vietnam, Perang Korea, dan Perang Teluk. Inti dari peperangan adalah menaklukan lawan dan lawan hanya akan takluk ketika terbunuh, sehingga peperangan pada hakikatnya adalah suatu pembunuhan besar-besaran yang merupakan perwujudan dari naluri mempertahankan diri.3 Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila peperangan selalu menimbulkan korban dalam jumlah yang banyak dan berujung pada penderitaan, baik pada pihak yang bertikai maupun pihak-pihak yang tidak ikut berperang namun terkena dampak dari peperangan tersebut. Menengok catatan sejarah pada tahun 1988 misalnya, diperkirakan terdapat sekitar tiga juta korban dari dua puluh lima perang yang terjadi di seluruh dunia pada waktu tersebut.4 Empat perlima dari korban-koban tersebut adalah penduduk sipil.5 Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan terhadap penduduk sipil pada waktu tersebut sangatlah kejam.6 Timbulnya korban-korban dari penduduk sipil tersebut menimbulkan suatu keprihatinan tersendiri. Peperangan tanpa mengenal batas yang berlandaskan pada pepatah kuno “segalanya sah dilakukan dalam perang” mulai mendapatkan kritik ketika kerugian dan penderitaan lain yang ditimbulkan dirasa terlalu melebihi batas-batas kemanusiaan.7 Atas kerugian-kerugian dalam peperangan yang pernah terjadi, timbullah suatu kesadaran untuk
mencakup perang. Lihat Jean S. Pictet, ed., Commentary to the Fourth Geneva Convention Relative to the Protection of Civilian Persons in Time of War (Jenewa: International Committee of the Red Cross, 1958), hlm. 20. 2
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949 (Bandung: PT Alumni, 2002), hlm.
3
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, hlm. 11.
7
4
Judith Gail Gardam, Non-Combatant Immunity as a Norm of International Humanitarian Law (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1993), hlm. 1 5
Ibid.
6
Pelaksanaan perang dalam beberapa abad telah banyak dibahas dan terdokumentasikan dengan baik oleh beberapa penulis. Sebagai contohnya, lihat Leon Friedman, ed., The Law of War – A Documentary History, (New York: Random House, 1972), hlm. 3; Montross, ed., War Through The Ages, cet.3, (New York: Harper Press, 1960); Wright, ed.,A Study of War, cet.2, (Chicago: Univerity of Chicago Press, 1971) dan Best, Humanity in Warfare (London: Weidenfeld & Nicolson, 1980). 7
Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
3
menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur segala jenis konflik bersenjata. Hal ini kemudian menjadi cikal bakal bagi lahirnya hukum humaniter.8 Salah satu ketentuan penting dalam hukum humaniter internasional adalah adanya prinsip pembedaan (distinction principle) yang harus diterapkan manakala konflik bersenjata terjadi. Berdasarkan prinsip tersebut, setiap pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata harus melakukan pembedaan antara penduduk sipil (civilian) di satu pihak dengan combatant serta antara objek sipil di satu pihak dengan objek militer di lain pihak pada saat terjadi perang atau konflik bersenjata. Berdasarkan prinsip ini hanya combatant dan objek militer (military objectives) yang sah dan legal untuk dijadikan target serangan.9 Seiring dengan perkembangan zaman, distinction principle juga mengalami perkembangannya dalam hukum humaniter internasional. Perkembangan tersebut mencakup berbagai aspek, mulai dari segi pengaturannya dalam perjanjian-perjanjian dan konvensikonvensi internasional, perkembangan sebagai hukum kebiasaan internasional yang diterima secara umum oleh dunia internasional, hingga perkembangannya dalam hal bentuk-bentuk tindakan yang dikategorikan pelanggaran terhadap distinction principle itu sendiri saat terjadi konflik bersenjata.10 Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, tulisan ini akan membahas mengenai kaitan antara perkembangan yang terjadi dalam konflik bersenjata pada masa kini dengan distinction principle sebagai asas fundamental dalam hukum humaniter internasional. Dengan mengambil studi kasus dalam perkara Prosecutor v. Stanislav Galic (ICTY) dan Prosecutor v. Fofana Kondewa (SCSL), tulisan ini bertujuan untuk mengetahui penerapan distinction principle dalam konflik bersenjata yang terjadi di era modern. 2.
Pembahasan
2.1
Pengertian dan Unsur-Unsur Distinction Principle Pengertian distinction principle dapat dijumpai pada salah satu definisi yang diberikan
Heike Spieker yang menyebutkan [a] technical term in the laws of armed conflict intended to protect civilian persons and objects. Under this principle, parties to an armed conflict must always 8
Ibid., hlm. 12.
9
Frederic de Mullinen, Handbook on the Law of the War for Armed Force (Jenewa: International Committee of the Red Cross, 1987), hlm. 2. 10
Trevor A. Keck, Not All Civilians are Created Equal: The Principle of Distinction, the Question of Direct Participation in Hostilities and Evolving Restraints on the Use of Force in Warfare (Somerville: Selected Works, 2011), hlm. 2
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
4
distinguish between civilians and civilian objects on the one hand, and combatants and military targets on the other.11 Prinsip tersebut saat ini termuat dalam Pasal 48 Protokol Tambahan I 1977. Sebagai akibat dari diadakannya pembedaan demikian, perjanjian internasional tersebut melarang penduduk sipil dan objek-objek sipil dijadikan sebagai target serangan dalam konflik bersenjata.12 Berkaitan dengan pengertian yang disebutkan di atas, distinction principle mempunyai beberapa unsur yang harus diperhatikan: 1. Pembedaan Civilian dan Combatant Pengertian civilian terdapat dalam Pasal 50 Protokol Tambahan I
yang
menyebutkan bahwa “a civilian is any person who does not belong to one of the categories of persons referred to in Article 4 A (1), (2), (3) and (6) of the Third Convention and in Article 43 of this Protocol.”13 Ketentuan-ketentuan yang dirujuk dalam pasal tersebut ialah mereka yang termasuk: (1) anggota dari angkatan bersenjata dari pihak yang bersengketa; (2) anggota dari milisi-milisi yang lain atau pasukan sukarela, termasuk gerakan-gerakan perlawanan yang terorganisasi, dari salah satu pihak yang bersengkata dan beroperasi baik di dalam maupun di luar wilayahnya walaupun wilayah tersebut diokupasi, yang membuktikan bahwa golongan-golongan tersebut memenuhi keempat syarat untuk dikategorikan sebagai combatant; dan (3) levées en masses. Dengan demikian, civilian adalah kategori residual: siapapun yang tidak memenuhi syarat sebagai combatant harus dikategorikan sebagai civilian.14 Pengertian yang lebih mudah didapatkan untuk menentukan orang-orang yang dikategorikan sebagai combatant. Semua anggota angkatan bersenjata dari suatu pihak yang bersengketa adalah combatant, kecuali personil medis dan religius.15 Pasal 43 (2) Protokol Tambahan II menyebutkan “[m]embers of the armed forces of a Party 11
Heike Spieker, “Civilian Immunity”dalam Crime of War (Roy Gutman & David Rieff eds. 1999),
hlm. 84. 12
Protokol Tambahan I ps. 51 (1) dan (2).
13
Protokol Tambahan I, ps. 50 (1).
14
Avril McDonald, “The Challenge to International Humanitarian Law and the Principle of Distinction and Protection from the Increased Participation of Civilians in Hostilities,” http://www.asser.nl/default.aspx?site_id=9&level1=13337&level2=13379#_Toc158269146, diun-duh tanggal 26 April 2013. 15
Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck, eds., Customary International Humanitarian LawVol. I: Rules(Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 11. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
5
to a conflict (other than medical personnel and chaplains covered by Article 33 of the Third Convention) are combatants, that is to say, they have the right to participate in hostilities.16 2.
Pembedaan Civilian Objects dan Military Objectives Pengertian military objectives dapat dilihat dalam Pasal 52 (2) Protokol Tambahan I yang berbunyi …military objectives are limited to those objects which by their nature, location, purpose or use make an effective contribution to military action and whose total or partial destruction, capture or neutralization, in the circumstances ruling at the time, offers a definite military of advantage.17 Berdasarkan pengertian di atas, hanya objek-objek material dan berwujud nyata yang dapat dijadikan target.18 Selain itu, suatu objek harus memenuhi dua kriteria untuk dapat dikategorikan military objectives.19 Pertama, objek tersebut harus memberikan kontribusi efektif untuk tindakan militer dari angkatan bersenjata. Hal ini digambarkan melalui pernyataan objek “nature, location, purpose or use” yang mengklarifikasi bahwa bukan hanya objek yang karena sifatnya maka ia dikategorikan military objectives. Kedua, yaitu kerusakan, penguasaan, atau netralisasi objek tersebut memberikan keuntungan militer yang pasti pada pihak lain. Syarat pertama dan kedua harus terpenuhi secara kumulatif “in the circumstances ruling at the time”. Tanpa adanya pembatasan atas keadaan aktual yang terjadi pada waktu tertentu, pembedaan ini tidak akan bisa dilakukan. Hal ini disebabkan karena setiap objek mempunyai kemungkinan untuk dikembangkan di masa yang akan datang dalam bentuk lain.20 Pengertian civilian objects didefinisikan secara negatif. Pasal 52 (1) Protokol Tambahan I menyebutkan bahwa civilian objects yaitu “…all objects which are not
16
Protokol Tambahan I, ps. 43(2).
17
Protokol Tambahan I, ps. 52 (2).
18
Yves Sandoz, Christopher Swinarski & Bruno Zimmermann (eds.), Commentary on the Additional Protocols of 8 June 1977 to the Geneva Conventions of 12 August 1949 (Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1987); Yorman Dinstein, “Legitimate Military Objective Under the Current Jus In Bello” dalam Andru E. Wall, ed, Legal and Ethical Lesson of NATO’s Kosovo Campaign, Volume 78, US Naval War College’s International Law Studies, 2002 hlm. 142 19
Marco Sasoli dan Antonie A. Bouvier, How Does Law Protect in War? (Jenewa: International Committee of the Red Cross, 1999), hlm. 5. 20
Ibid, hlm. 3. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
6
military objective”.21 Praktik-praktik oleh negara-negara turut menyebutkan wilayah penduduk sipil, perkotaan, pedesaan, perumahan, sekolah-sekolah, alat transportasi publik, rumah sakit, bangunan dan unit-unit medis, bangunan bersejarah, tempat ibadah, benda-benda peninggalan budaya, dan lingkungan alam sebagai civilian objects sepanjang tidak digunakan untuk tujuan lain yang dapat mengubah statusnya menjadi military objectives.22 2.2
Bentuk-Bentuk Pelanggaran terhadap Distinction Principle Pelanggaran distinction principle dapat dilakukan dalam berbagai cara dan bentuk.
Mulai dari pelanggaran yang paling mendasar, yakni melakukan penyerangan langsung kepada penduduk sipil hingga bentuk-bentuk pelanggaran lain yang berkaitan dengan ketidakmampuan untuk menerapkan unsur-unsur distinction principle dengan baik. Berikut akan dibahas lebih rinci mengenai bentuk-bentuk pelanggaran tertentu dari distinction principle yang secara khusus diatur dalam perjanjian internasional. 1.
Indiscriminate Attack Larangan mengenai indiscriminate attack tercantum dalam Pasal 51 (4) Protokol Tambahan I yang mengatur mengenai konflik bersenjata internasional.23 Sedangkan pengertian dari indiscriminate attack disebutkan dalam kalimat yang tercantum setelahnya, yang menyatakan bahwa indiscriminate attack ialah (a) (b) (c)
Those which are not directed at a specific military objective Those which employ a method or means of combat which cannot be directed at a specific military objective; or Those which employs a method or means of combat the effects of which cannot be limited as required by this Protocol; and consequently, in each such case, are ot a nature to strike military objecctives and civilians or civilian objects without distinction.24
Pengertian dari indiscriminate attack di atas sangat mencermikan konsep dasar dari distinction principle. Pengertian dalam subparagraf (a) merupakan penerapan dari larangan untuk mengarahkan serangan terhadap civilians dan civilian objects. Ketentuan dalam subparagraf (b) juga mengandung penerapan serupa, dengan tambahan bahwa berdasarkan ketentuan ini maka penggunaan senjata yang tidak 21
Protokol Tambahan I, ps. 52 (1).
22
Henckaerts dan Doswald-Beck, Customary International Humanitarian LawVol. I: Rules, hlm. 32.
23
Protokol Tambahan I, ps. 51 (4).
24
Ibid. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
7
dapat diarahkan pada target spesifik karena sifat dari senjata tersebut juga akan dilarang. Selanjutnya, ketentuan dalam subparagraf (c) didasarakan pada argumen logis bahwa alat-alat atau metode-metode peperangan yang dampaknya tidak dapat dibatasi adalah dilarang. Penggunaan senjata biologis merupakan salah satu contoh yang dilarang dipergunakan karena sifat dari senjata tersebut yang dapat menimbulkan dampak berbahaya tidak hanya untuk target yang dikenai sasaran, tetapi juga sekelilingnya. 2.
Violence Aimed at Spreading Terror among Civilian Population Suatu bentuk pelanggaran lain terhadap distinction principle adalah tindakan maupun ancaman kekerasan yang tujuan utamanya untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil. Pengaturan mengenai hal ini tercantum dalam Pasal 51 (2) Protokol Tambahan I yang berbunyi “…acts or threats of violence the primary purpose of which is to spread terror among the civilian population are prohibited.”25 Agar suatu tindakan dapat dikatakan sebagai pelanggaran yang bertujuan menyebarkan teror kepada penduduk sipil, ada dua unsur yang harus dipenuhi. Unsur pertama mengenai actus reus, yaitu tindakan yang dilakukan harus merupakan pelanggaran yang ditujukan kepada penduduk sipil, dan unsur kedua berkaitan dengan mens rea, yakni tindakan pelanggaran tersebut dimaksudkan untuk menimbulkan teror dan menyebarkannya kepada penduduk sipil.26 Beberapa contoh tindakan kekerasan yang menyebabkan teror terhadap penduduk sipil di antaranya meliputi tembakan bombardir di wilayah tempat tinggal penduduk sipil, penyiksaan, pelecehan termasuk pemerkosaan terhadap perempuan serta dan anak-anak, serta pembunuhan masal.
2.3
Perkembangan Pengaturan Distinction Principle dalam Hukum Humaniter Interasional Masalah pengaturan distinction principle dalam hukum humaniter internasional telah
melalui serangkaian proses panjang hingga menjadi salah satu prinsip yang diterima dan memperkuat kedudukannya sebagai hukum kebiasaan internasional yang berlaku. Berikut ini akan dibahas satu per satu perihal pengaturan distinction principle baik dari segi hard law27, 25
Protokol Tambahan I, ps. 57 (2).
26
Chris Jochnick dan Roger Norman, “The Legitimation of Violence: A Critical History of the Law of War”, Harvard Int’L J. 49 (1994), hlm. 69. 27
Hard law secara sederhana didefinisikan oleh sebagain besar ahli sebagai ketentuan, peraturan atau hukum yang mempunyi kekuatan mengikat. Akan tetapi, beberapa ahli hukum terutama dari aliran hukum tertentu tidak sepakat dengan pembagian hukum berdasarkan kekuatan mengikatnya seperti ini. Untuk melihat Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
8
khususnya dalam perjanjian internasional sejak pertama kali dicantumkan, dan dari segi soft law28, yakni melalui pengaturan yang tercantum melalui resolusi-resolusi organisasi internasional yang berkaitan. 1.
Pengaturan dalam Perjanjian Internasional a)
Deklarasi St. Petersburg 1868 Pengaturan yang berkaitan dengan distinction principle antara combatant dan
penduduk sipil dalam perjanjian internasional multilateral pertama kali dicantumkan dalam Deklarasi St. Petersburg29. Adanya ketentuan mengenai distinction principle dapat dilihat dalam bagian pembukaannya yang menyebutkan bahwa “the only legitimate object which States should endeavour to accomplish during war is to weaken the military forces of the enemy”.30 Ketentuan di atas memang tidak menyebutkan distinction principle secara eksplisit. Akan tetapi, adanya ketentuan seperti itu akan menimbulkan kewajiban bagi tiap pihak dalam suatu konflik bersenjata untuk membedakan objek yang akan dijadikan target serangan. b)
Hague Regulations Penerapan atas distinction principle secara implisit akan dapat ditemui dalam
salah satu dari Konvensi Den Haag 1907, yakni dalam Konvensi Den Haag IV yang mengatur mengenai hukum dan kebiasaaan perang di darat. Konvensi Den Haag IV yang terdiri dari sembilan artikel ini dilampiri sebuah annex tersendiri yang diberi judul Regulations Respecting Laws and Customs of War atau biasa disebut Hague Regulations.31 Dalam Hague Regulations inilah termuat suatu ketentuan mengenai siapa saja yang boleh diperangi saat konflik bersenjata terjadi. Sebagaimana ketentuan yang termuat dalam pembukaan Deklarasi St. Petersburg, dicantumkannya ketentuan lebih jauh mengenai hal ini, lihat Gregory C. Shaffer dan Mark A. Pollack, “Hard vs. Soft Law: Alternatives, Complements, and Antagonist in International Governance”, Minesota Law Review, Vol. 94 (2010), hlm. 712. 28 Dengan mengacu pada pembagian hukum berdasarkan kekuatan mengikatnya, yang dimaksud dengan soft law adalah segala ketentuan/aturan hukum yang kurang mempunyai daya ikat kuat. Ibid. 29 Nama resmi dari konvensi ini adalah Declaration of St. Petersburg of 1868 to The Effect of Prohibiting the Use of Certain Projectiles in Wartime. Guna mempermudah penyebutan, selanjutnya akan disebut dengan Deklarasi St. Petersburg. 30
The Declaration of St. Petersburg 1868, The American Journal of International Law Vol. 1 No. 2, (April, 1907), hlm. 95-96. 31
Hague Regulations memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap penting bagi kalangan angkatan bersenjata. Oleh karena itu, Hague Regulations sering juga disebut sebagai soldier’s vadamecum. Lihat Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 61. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
9
seperti ini juga mengandung arti bahwa terdapat pihak-pihak yang tidak boleh dijadikan target sasaran selama konflik bersenjata terjadi. Melalui sudut pandang demikian, dapat dipahami bahwa dalam Hague Regulations juga termuat ketentuan yang mencerminkan penerapan atas distinction principle.32 Ketentuan tersebut terdapat dalam dua pasal pertama dari Hague Regulations. Pasal 1 menyebutkan bahwa [t]he laws, rights and duties of war apply not only to armies, but also to militia and volunteer corps fulfilling the four conditions: 1. To be commanded by a person responsible for his subordinates; 2. To have a fixed distinctive emblem recognizable at a distance; 3. To carry arms openly; and 4. To conduct their operations in accordance with the laws and customs of war. In countries where militia or volunteer corps constitute the army, or form part of it, they are included under the denomination “army”.33 Ketentuan mengenai siapa saja yang boleh diperangi selama konflik bersenjata terjadi diperluas dengan ditambahkannya suatu golongan yang disebut levées en masses yang terdapat dalam Pasal 2 Hague Regulations. Ketentuan dalam pasal tersebut menyebutkan levées en masses adalah [t]he inhabitants of territory which has not been occupied, who, on the approach of the enemy, spontaneously take up arms to resist the invading troops without having had the time to organize themselves in accordance with Article I … if they carry arms openly and if they respect the laws and customs of war.34 Hal lain yang perlu untuk diperhatikan sehubungan dengan Hague Regulations adalah ketentuan dalam Pasal 3 yang memuat istilah non-combatants. Pasal tersebut menyebutkan “[t]he armed forces of belligerent parties may consist of combatants and non-combatants. In the case of capture by the enemy, both have a right to be treated as a prisoners of war.”35 Dalam pasal tersebut, yang dimaksud dengan non 32
McDonald, “The Challenge to International Humanitarian Law and the Principle of Distinction…”.
33
Lihat Regulations respecting Laws and Customs of War [selanjutnya disebut Hague Regulations], ps.
1.
34
Hague Regulations, ps. 2.
35
Hague Regulations, ps. 3 Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
10
combatants bukanlah penduduk sipil (civilians), melainkan bagian dari angkatan bersenjata yang tidak turut bertempur seperti dokter militer dan rohaniawan.36 Berdasarkan uraian di atas, ketentuan mengenai distinction principle yang diatur dalam Hague Regulations ialah dicantumkannya jenis-jenis golongan yang boleh untuk diserang dan dijadikan target serangan selama konflik bersenjata. Apabila dibandingkan dengan Deklarasi St. Petersburg, ketentuan yang terdapat dalam Hague Regulations tersebut merupakan perkembangan atas pengaturan yang berkaitan dengan distinction principle dalam perjanjian internasional. Selain itu, Hague Regulations juga telah mengadakan pembedaan istilah untuk non-combatants, meskipun istilah tersebut hanya ditujukan untuk anggota dari angkatan bersenjata yang karena tugas dan jabatannya memang tidak ditujukan untuk turut bertempur.37 c)
Konvensi Jenewa 1949 Seperti yang telah diketahui, Konvensi Jenewa 1949 merupakan kumpulan
perjanjian internasional yang terdiri dari empat konvensi. Dari keempat konvensi tersebut, ketentuan dalam Konvensi Jenewa 1949 yang berhubungan dengan distinction principle dapat ditemukan dalam Pasal 13 Konvensi Jenewa I dan II 1949 serta Pasal 4 Konvensi Jenewa III 1949.38 Ketiga pasal tersebut sebagian besar berisi ketentuan yang sama, yaitu perihal kategori orang-orang yang mendapat perlindungan saat terjadi konflik bersenjata. Khusus dalam Pasal 4 Konvensi Jenewa III 1949, selain berisi ketentuan yang disebutkan di atas, terdapat juga ketentuan tambahan dalam Pasal 4 (b) yang menyatakan bahwa orang-orang dalam kategori tersebut mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang bila jatuh ke pihak lawan. Adanya ketentuan-ketentuan yang disebutkan di atas pada dasarnya dimaksudkan untuk diberlakukan bagi combatant, meskipun dalam Pasal 13 Konvensi Jenewa I dan II 1949 serta Pasal 4 Konvensi Jenewa III 1949 tidak dengan tegas disebutkan adanya penyebutan combatants dan civilians.39 Hal tersebut juga dapat disimpulkan dari ketentuan bahwa mereka yang termasuk dalam kategori orang-orang 36
Jann K. Kleffner, “From ‘Belligerent’ to ‘Fighters’ and Civilians Directly Participating in Hostilities – on the Principle of Distinction in Non-International Armed Conflicts One Hundred Years After the Second Hague Peace Conference”, Netherland International Law Review (2007), hlm. 319. 37
Ibid.
38
Kleffner, “From ‘Belligerent’ to ‘Fighters’...”, hlm. 320.
39
Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
11
yang mendapat perlindungan dalam Konvensi Jenewa 1949 harus dibedakan dengan penduduk sipil.40 Dari segi perkembangan pengaturan yang berkaitan dengan distinction principle, hal tersebut dapat dilihat dari adanya pengkategorian orang-orang yang mendapat perlindungan dan berhak atas status tawanan perang. 41 Selain itu, Konvensi Jenewa 1949 juga menambahkan satu golongan baru sebagai combatant yang tidak terdapat dalam Hague Regulations, yakni organized resistance movement. Berbeda dengan levées en masses, organized resistance movement dapat beroperasi baik di dalam maupun di luar wilayah mereka sekalipun wilayah tersebut telah diduduki.42 d)
Protokol Tambahan I Sebagai sebuah penyempurnaan baik terhadap Konvensi Den Haag 1907,
khususnya Hague Regulations, maupun Konvensi Jenewa 1949, pengaturan mengenai distinction principle mengalami perkembangan signifikan dalam Protokol Tambahan I.43 Protokol yang mengatur mengenai konflik bersenjata internasional ini memuat ketentuan baik penyebutan istilah maupun pengertian yang baru terhadap combatant dalam hukum humaniter internasional. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Protokol Tambahan I secara tegas menyebutkan bahwa yang dapat digolongkan sebagai combatant adalah mereka yang termasuk ke dalam bagian angkatan bersenjata suatu negara, kecuali dokter militer dan rohaniawan. Berkaitan dengan angkatan bersenjata itu sendiri, Protokol Tambahan I memberikan definisi baru dalam Pasal 43 (1) yang berbunyi [t]he armed force of a Party to a conflict consist of all organized armed forced forces, groups and units which are under a command responsible to that Party for the conduct of its subordinates, even if that Party is represented by a government or an authority not recognized by an adverse Party, … subject to an internal disciplinary system which, inter alia, shall enforce compliances with the rules of international law applicable in armed conflict.44
40
Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, hlm. 82.
41
Keck, Not All Civilians are Created Equal: The Principle of Distinction…, hlm. 23.
42
Lihat Konvensi Jenewa I, ps. 13 (2).
43
Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter.
44
Protokol Tambahan I, ps. 43 (1). Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
12
Ketentuan di atas menghapuskan ketentuan yang telah ada sebelumnya yang membagi angkatan bersenjata ke dalam regular forces dan irregular force menjadi satu kategori angkatan bersenjata sepanjang memenuhi kriteria: 1) terorganisasi; 2) di bawah suatu komando yang bertanggung-jawab; dan 3) tunduk kepada suatu peraturan disiplin tentara.45 Bila dibandingkan lebih jauh lagi dengan ketentuan sebelumnya, perbedaan yang paling menonjol ialah bahwa ketentuan untuk menggunakan seragam dan mengangkat senjata secara terbuka selama peperangan juga dihapuskan dalam Protokol Tambahan I.46 Sebagai gantinya, combatant diwajibkan untuk membedakan dirinya dengan penduduk sipil “while they are engaged in an attack or in a military operation preparatory to an attack”.47 Adanya kewajiban yang dikenakan terhadap combatant seperti yang telah disebutkan di atas menjadi elemen penting bagi pengaturan distinction principle dalam Protokol Tambahan I. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 48 Protokol Tambahan I yang menyebutkan bahwa [i]n order to ensure respect for and protection of the civilian population and civilian objects, the Parties to the conflict shall at all times distinguish between the civilian population and combatants and between civilian objects and military objectives and accordingly shall direct their operations only against military objectives.48 Ketentuan yang dimuat dalam pasal di atas inilah yang menandai pengaturan distinction principle dalam Protokol Tambahan I.49 Melihat berbagai aturan dalam Protokol Tambahan I yang telah disebutkan sebelumnya, tampak dengan jelas bahwa protokol ini merupakan perjanjian internasional pertama yang memuat pengertian dari distinction principle.50 Lebih dari itu, Protokol Tambahan I juga mencantumkan berbagai istilah dan definisi yang 45
Kleffner, “From ‘Belligerent’ to ‘Fighters’...”, hlm. 320.
46
Untuk info lebih detail mengenai perubahan peraturan dan perbedaan-perbedaanya antara berbagai perjanjian internasional, lihat C. Greenwood, “International Humanitarian Law (Laws of War) – Revised Report for the Centennial Commemoration of the First Hague Conferences 1899”, dalam Kalshoven, The Centennial of the First International Peace Conference 1899 – Reports & Conclusions, hlm. 217-242. 47 Protokol Tambahan I, ps. 44 (3). 48 Protokol Tambahan I, ps. 48. 49
Henckaerts dan Doswald-Beck, Customary International Humanitarian LawVol. I: Rules, hlm. 11.
50
Ibid. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
13
merupakan unsur-unsur distinction principle seperti combatant, civilians, military objectives dan civilian objects. c)
Protokol Tambahan II Dimuatnya ketentuan mengenai distinction principle dalam Protokol
Tambahan I juga diikuti dengan dimuatnya ketentuan tersebut dalam Protokol Tambahan II. Hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan yang termuat dalam Pasal 13 (2) Protokol Tambahan II yang berbunyi “[t]he civilian population as such, as well as individual civilians, shall not be the object of attack”.51 Protokol Tambahan II sendiri tidak memberikan definisi tersendiri ataupun penyebutan istilah distinction principle secara khusus. Namun, ketentuan yang termuat dalam Pasal 13 (2) Protokol Tambahan II seperti yang disebutkan di atas mencerminkan adanya penerimaan dan penerapan distinction principle.52 Perlu diingat bahwa Protokol Tambahan II ini memuat ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk konflik bersenjata non-internasional. Sehingga, dimuatnya suatu aturan yang merupakan penerapan atas distinction principle dalam protokol ini membawa satu tahapan baru atas diberlakukannya distinction principle baik dalam konflik bersenjata internasional maupun non-internasional.53 2.
Pengaturan dalam Resolusi-Resolusi Organisasi Internasional a)
Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/2444 (XXIII) Resolusi Majelis Umum PBB yang pertama kali memuat ketentuan yang
berkaitan dengan distinction principle terdapat dalam Resolusi A/RES/2444 (XIII) yang diadopsi pada tahun 1968.54 Dalam resolusi tersebut, Majelis Umum PBB mengesahkan Resolution XXVIII of the 20th International Conference of the Red Cross yang berisi tiga prinsip humaniter dasar yang berlaku dalam segala konflik bersenjata, termasuk ketentuan bahwa “it is prohibited to launch attacks on civilian population” dan “distinction must be made at all times between persons taking part in the hostilities and members of the civilian population to the effect that the latter be sparred as much as possible”.55 51
Protokol Tambahan II, ps. 13 (2).
52
Henckaerts dan Doswald-Beck, Customary International Humanitarian LawVol. I: Rules, hlm. 5.
53
Kleffner, “From ‘Belligerent’ to ‘Fighters’...”, hlm. 324.
54
Jean-Marie Henckaerts dan Louise Doswald-Beck, eds., Customary International Humanitarian Law Vol. 3: Practice (Cambridge: Cambridge University Press, 2005), hlm. 19.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
14
b)
Resolusi Majelis Umum PBB A/RES/2675 (XXV) Diawali dalam bagian pembukaannya, Resolusi A/RES/2675 (XXV) mengacu
pada Konvensi Jenewa 1949 dan secara khusus menyebutkan Konvensi Jenewa IV 1949 yang mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil dalam konflik bersenjata.56 Ketentuan mengenai distinction principle yang diatur dalam Resolusi A/RES/2675 (XXV) menyebutkan sebagai berikut 2. 3.
4. 5. 6. 7.
In the conduct of military operations during armed conflict, a distinction must be made at all times between persons actively taking part in the hostilities and civilian populations In the conduct of military operations, every effort should be made to spare civilian populations from the ravage of war, and all necessary precaution should be taken to avoid injury, loss or damage to civilian populations Civilian populations as such should not be the object of military operations Dwelling and other installations that are used only by civilian populations should not be the object of military operations Places or areas designated for the sole protection of civilians, such as hospital zones or similar refuge, should not be object of military operations Civilian populations, or individual members thereof, should not be object of reprisals, forcible transfers or other assaults on their integrity.57
Ketentuan-ketetentuan di atas menggambarkan cakupan yang lebih luas dan detail mengenai distinction principle dibandingkan dengan ketentuan yang terdapat dalam resolusi Majelis Umum PBB sebelumnya. c)
Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1674 (2006) Masalah distinction principle khususnya mengenai perlindungan terhadap
penduduk sipil dalam konflik bersenjata secara khusus juga menjadi perhatian Dewan Keamanan PBB. Pembahasan hal tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan diadopsinya Resolusi S/RES/1674 oleh Dewan Keamanan PBB pada tanggal 28 April 2006. Resolusi ini berisi beberapa ketentuan mengenai distinction principle yang berbunyi sebagai berikut
55
Majelis Umum PBB, Res. A/RES/2444 (XIII).
56
Majelis Umum PBB, Res. A/RES/2675 (XXV).
57
Ibid.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
15
3.
4. 5. 11.
19.
Recalls that deliberately targeting civilians and other protected persons as such in situations of armed conflict is a flagrant violation of international humanitarian law, reiterates its condemnation in the strongest terms of such practices, and demands that all parties immediately put an end to such practices; Reaffirms the provisions of … the responsibility to protect populations from genocide, war crimes, ethnic cleansing and crimes against humanity; Reaffirms also its condemnation in the strongest terms of all acts of violence or abuse committed against civilians in situations of armed conflict … Calls upon all parties concerned to ensure that all peace processes, peace agreements and post-conflict recovery and reconstruction planning have regard for the special needs of women and children and include specific measures for the protection of civilians including (i) the cessation of attacks on civilians … Condemns in the strongest terms all sexual and other forms of violence committed against civilians in armed conflict.58
Dengan dicantumkannya ketentuan mengenai distinction principle dalam resolusi Dewan Keamanan PBB, maka semua negara anggota PBB harus menaati ketentuan tersebut. Hal ini disebabkan oleh karena resolusi Dewan Keamanan PBB mempunyai kekuatan mengikat, berbeda dengan resolusi Majelis Umum PBB yang hanya bersifat memberikan rekomendasi. d)
Resolusi Dewan Keamanan PBB S/RES/1894 (2009) Ketentuan mengenai distinction principle yang dimuat dalam Resolusi
S/RES/1894 (2009) selain memuat apa yang telah diatur dalam Resolusi S/RES/1674 (2006), juga memuat penambahan ketentuan baru yang antara lain meliputi 1. 2.
3. 8.
Demands that parties to armed conflict comply strictly with the obligations applicable to them … to take all required measures to respect and protect the civilian population and meet its basic needs; Reiterates its condemnation in the strongest terms of attacks in situations of armed conflict directed against civilians as such and other protected persons or objects as well as indiscriminate or disproportionate attacks and the utilization of the presence of civilians to render certain points, areas or military forces immune from military operations, as flagrant violations of international humanitarian law and demands that all parties immediately put an end to such practices; Notes that the deliberate targeting of civilians as such and other protected persons … may constitute a threat to international peace and security … Emphasize the importance of addressing in its country specific deliberations the compliance of parties to armed conflict … for
58
Dewan Keamanan PBB, Res. S/RES/1674 (2006). Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
16
34.
gathering information on alleged violations of applicable international law relating to the protection of civilians … Stresses the importance of consultation and cooperation between the United Nations, the International Committee of the Red Cross and other relevant organizations including regional organizations to improve the protection of civilians in armed conflict.59
Hal yang perlu menjadi perhatian dari ketentuan-ketentuan di atas yaitu resolusi ini menyatakan bahwa pelanggaran atas distinction principle dapat dianggap sebagai suatu ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional. Selain itu, negaranegara juga diwajibkan untuk mengumpulkan dan memberikan data mengenai pelanggaran atas distinction principle manakala terjadi suatu konflik bersenjata. Selain itu, resolusi ini juga menekankan pentingnya kerjasama ICRC dan organisasi regional lainnya yang relevan guna meningkatkan perlindungan terhadap penduduk sipil dalam konflik bersenjata. 2.4
Permasalahan Distinctinction Principle dalam Kasus Prosecutor v. Galić (ICTY) Beberapa saat setelah Bosnia dan Herzegovina diakui sebagai negara merdeka pada
tanggal 6 April 1992, konflik bersenjata terjadi di daerah Sarajevo. Pasukan Serbia Romanja Korps (SRK) di bawah komando Galić selama empat puluh empat bulan menerapkan strategi militer berupa shelling (pengeboman) dan sniping (serangan oleh penembak-penembak jitu) untuk membunuh, melukai dan melakukan teror terhadap penduduk yang tinggal di Sarajevo.60 Serangan-serangan yang dilakukan ini seringkali tidak berhubungan dengan tindakan militer dan hanya didesain agar para penduduk berada dalam ketakutan terusmenerus.61 Atas hal tersebut, Galić dituntut telah melakukan pelanggaran terhadap distinction principle dengan melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan menyebarkan teror terhadap penduduk sipil (violence aimed at spreading terror among civilian population). Suatu tindakan untuk dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional harus memenuhi unsur-unsur berikut: 1.
tindakan yang dilakukan harus merupakan pelanggaran terhadap suatu aturan dalam hukum humaniter internasional;
59
Ibid.
60
ICTY, “Prosecutor v. Stanislav Galić”, Judgement of 5 December 2003 [selanjutnya disebut Galić Trial Judgement], para. 3. 61
ICTY, Case Information Sheet Stanislav Galić (IT-98-29) [selanjutnya disebut Galić Case Information Sheet], hlm. 3. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
17
2.
aturan tersebut harus merupakan suatu kebiasaan internasional atau tercantum dalam suatu perjanjian internasional dan memenuhi syarat-syarat yang tercantum dalam pasal tersebut;
3.
tindakan yang dilakukan harus merupakan pelanggaran serius, yakni pelanggaran atas suatu aturan yang mengandung nilai-nilai penting dan berdampak signifikan terhadap para korban;
4.
pelanggaran yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan secara individual kepada seseorang berdasarkan hukum kebiasaaan internasional atau suatu perjanjian internasional.62 Dua syarat pertama telah terpenuhi dengan jelas karena tindakan teror terhadap
penduduk sipil merupakan hal yang dilarang dalam hukum humaniter internasional dan tercantum dalam Pasal 51 (2) Protokol Tambahan I dan Pasal 13 (2) Protokol Tambahan II, yang keduanya merupakan perjanjian internasional. Berkaitan dengan syarat ketiga, yaitu tindakan yang dilakukan merupakan suatu pelanggaran serius, tindakan yang dilakukan oleh Galić dalam melakukan pengeboman dan serangan oleh penembak-penembak jitu terhadap penduduk Sarajevo yang mengakibatkan korban-korban meninggal dan luka-luka serta rusaknya objek-obek sipil tidak dapat dipungkiri merupakan suatu pelanggaran serius terhadap aturan dasar dalam hukum humaniter internasional. Syarat keempat merupakan unsur penting untuk menentukan apakah Galić bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukan. Galić yang berkedudukan sebagai komandan SRK saat serangan dilakukan ke Kota Sarajevo sejak September 1992 hingga Agustus 1994 memegang kendali penuh atas seluruh pasukan yang berada di bawah komandonya. Bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan menunjukkan bahwa rantai komando dalam pasukan SRK berjalan baik dan Galić tetap menerima laporan serta memberikan perintah-perintah kepada pasukannya baik secara langsung maupun melalui pemimpin regu dari pasukan di bawah kendalinya.63 Oleh karena itu, Galić juga memiliki tanggung jawab atas operasi shelling dan sniping yang menyebabkan teror terhadap penduduk sipil di Sarajevo karena kapasitasnya sebagai komandan SRK. Selanjutnya, agar seseorang dapat dikatakan bersalah melakukan tindakan teror sebagaimana tertera dalam Pasal 51 (2) Protokol Tambahan I maka harus memenuhi unsur 62
Henckaerts dan Doswald-Beck, Customary International Humanitarian Law Vol. 3: Practice, hlm.
3611. 63
Galić Trial Judgement, para. 733. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
18
unsurnya. Berkaitan dengan hal tersebut, Galić memenuhi dua unsure pelanggaran tersebut dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Actus reus Actus reus dari pelanggaran yang bertujuan menyebarkan teror adalah adanya tindakan-tindakan atau pelanggaran yang dilakukan dengan menjadikan penduduk sipil sebagai target serangan baik langsung maupun tidak langsung. Berdasarakan bukti-bukti dan fakta-fakta dalam persidangan, majelis hakim menyatakan bahwa tidak ada keraguan sedikitpun mengenai dijadikannya penduduk sipil di Sarajevo sebagai objek serangan yang dilakukan oleh pasukan SRK. Terlebih lagi serangan tersebut dilakukan saat siang hari dan bukan merupakan respon atas suatu ancaman militer tertentu, sehingga para pelaku serangan dapat melihat dengan jelas target yang diserang dan menghapuskan kemungkinan adanya salah sasaran atau kecelakaan lain yang mungkin ditimbulkan dari suatu operasi militer. 2. Mens rea Unsur mens rea dari pelanggaran ini ialah adanya niatan atau tujuan oleh pelaku serangan untuk menyebarkan teror. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa tidak perlu teror yang ditujukan tersebut benar-benar terjadi. Sepanjang cukup dengan dibuktikan adanya niatan untuk melakukan teror tersebut, maka unsur ini dapat terpenuhi. Sehubungan dengan bukti dan fakta yang ditemukan di persidangan, majelis hakim berkesimpulan bahwa Galić memang terbukti memiliki niatan untuk menyebarkan teror terhadap penduduk sipil di Sarajevo. Hal tersebut ditunjukkan salah satunya dengan fakta bahwa Stanislav Galić memegang kendali penuh atas serangan-serangan yang dilakukan pasukan SRK dan juga mengatur ritme serta skala serangan yang dilakukan agar penduduk sipil di Sarajevo selalu berada dalam keadaan terteror.64 Terbuktinya Stanislav Galić dalam melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan menyebabkan teror dalam konflik bersenjata yang terjadi di Sarajevo sejak tanggal 10 September 1992 hingga 10 Agustus 1994 menunjukkan bahwa Galić tidak menerapkan distinction principle sebagaimana yang seharusnya. Sebaliknya, Galić justru dengan sengaja memerintahkan operasi shelling dan sniping kepada penduduk sipil yang tinggal di dalam Kota Sarajevo. 64
ICTY, “Prosecutor v. Stanislav Galić”, Appeal Judgement of 30 November 2006 [selanjutnya disebut Galić Appeal Judgment]., para. 629 dan 637. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
19
2.5
Permasalahan Distinction Principle dalam Kasus Prosecutor v. Fofana Kondewa (SCSL) Kasus ini bermula dengan adanya perang sipil yang terjadi di Sierra Leone pada tahun
1991. Pada saat itu, pihak militer meminta bantuan sekelompok orang yang dikenal dengan sebutan Kamajor65 sebagai pasukan bantuan yang bertugas memantau wilayah.66 Pada pertengahan tahun 1996, terdapat ketidakpuasan dalam angkatan bersenjata Sierra Leone yang diakibatkan oleh minimnya nasi yang mereka terima.67 Hal tersebut memicu adanya kudeta militer terhadap Presiden Ahmad Tejan Kabbah yang berhasil dijatuhkan pada tanggal 25 Mei 1997. Atas adanya kejadian ini para Kamajor kemudian mengamankan diri dan bersembunyi di wilayah mereka agar tidak menjadi target serangan militer yang mengkudeta Presiden Kabbah.68 Setibanya di tempat pengasingan pasca kudeta militer yang dilakukan, Presiden Kabbah membentuk Civil Defence Forces (CDF) untuk mengembalikan kekuasaan di Sierra Leone kepada pemerintahan Presiden Kabbah. CDF ini sendiri merupakan pasukan keamanan yang sebagian besar berisi para Kamajor yang terlibat dalam konflik di Sierra Leone sejak November 1992 hingga Desember 1996.69 Guna mewujudkan misi CDF, Presiden Kabbah menunjuk Norman, Fofana, dan Kondewa sebagai pemimpin-pemimpin CDF. Dalam menjalankan tugasnya mereka bertiga menggunakan segala cara yang diperlukan untuk dapat mengalahkan pasukan RUC/AFRC dan memperoleh kontrol penuh atas seluruh wilayah Sierra Leone. Salah satu dari taktik yang digunakan yaitu dengan mengusai seluruh penduduk Sierra Leone dan pembersihan total RUC/AFRC, termasuk para pendukung, simpatisan, dan siapapun yang tidak berusaha secara aktif mencegah penguasaan yang dilakukan AFRC.70 Penduduk sipil tersebut, termasuk perempuan dan anak-anak, yang dicurigai mendukung, bersimpati atau dinilai tidak berperan aktif dalam mencegah pasukan 65
Istilah “Kamajor” ditujukan bagi laki-laki dari suku Mende di Sierra Leone yang memiliki pengetahuan tentang hutan dan penggunaan obat-obatan alamiah dari rerumputan. Kamajor tidak hanya bertugas mencari daging, tetapi juga dipercaya melindungi komunitas dari ancaman natural dan supranatural yang datang dari luar wilayah desa. Suku-suku lain mempunyai penyebutan berbeda untuk Kamajors sesuai dengan bahasa dan dialek daerah masing-masing. SCSL, “Prosecutor v. Fofana Kondewa”,Judgement of 2 August 2007 [selanjutnya disebut CDF Trial Jugdement], para. 60. 66
CDF Trial Judgment, para. 62.
67
Ibid., para. 65, 67.
68
Ibid., para. 72, 73.
69
Ibid., para. 2.
70
Ibid., para. 19. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
20
RUC/AFRC diberikan label khusus sebagai “Collaborators” dan secara spesifik dijadikan target serangan oleh CDF.71 Atas tindakan-tindakan dan operasi militer yang dilakukan oleh CDF, Norman, Fofana, dan Kondewa dituntut sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai pelanggaran dan kejahatan yang terjadi, khususnya tindakan-tindakan yang menyebarkan teror pada penduduk sipil. Pada mulanya tuntuan hanya diajukan terhadap Fofana dan Kondewa dan telah diterima SCSL pada tanggal 24 Juni 2003. Namun, dalam proses selanjutnya tuntutan terhadap Norman juga diajukan dan diterima pada tanggal 5 Februari 2004. Meskipun demikian, Norman meninggal pada tanggal 22 Februari 2007 sebelum putusan dijatuhkan sehingga majelis hakim pada tanggal 21 Mei 2007 menetapkan bahwa proses pengadilan terhadap Norman dihentikan dan menjatuhkan putusan kepada Fofana dan Kondewa berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan oleh semua pihak.72 Majelis hakim baik pada tingkat persidangan pertama maupun tingkat banding memberikan interpretasi yang sama terhadap pasal yang digunakan untuk menentukan tindakan teror yang dituntut kepada Fofana dan Kondewa. Pertimbangan utama yang digunakan oleh majelis hakim adalah adanya kesamaan dan relevansi kejahatan yang dituduhkan dalam perkara Galić yang telah disidangkan dalam tingkat pertama di hadapan ICTY.73 Berdasarkan hal tersebut, majelis hakim menginterpretasikan tuntutan mengenai tindakan teror yang dilakukan Fofana dan Kondewa dengan merujuk pada tindakan teror yang dimaksudkan dalam Pasal 13 (2) Protokol Tambahan II.74 Dalam menentukan apakah Fofana dan Kondewa bersalah melakukan tindakantindakan teror seperti yang dituduhkan, keduanya harus memenuhi unsur-unsur tindakan yang bertujuan menyebarkan teror yang tercantum dalam Pasal 13 (2) Protokol Tambahan II. Hal tersbut akan diuraikan sebagai berikut: 1. Actus reus Berdasarkan bukti-bukti dan fakta-fakta yang didapatkan dalam proses persidangan baik tingkat pertama maupun tingkat banding, majelis hakim pada dua tingkat persidangan memiliki kesimpulan yang sama bahwa Fofana dan Kondewa 71
Ibid., para. 23.
72
CDF Trial Judgement, para. 5.
73
SCSL, “Prosecutor v. Fofana Kondewa”, Appeal Judgement of 28 May 2008 [selanjutnya disebut CDF Appeal Judgement], para. 349. 74
Ibid. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
21
memenuhi unsur kejahatan pertama dari tindakan teror yang dimuat dalam Pasal 13 (2) Protokol Tambahan II. Beberapa bukti yang pelanggaran yang dilakukan oleh CDF ialah pembunuhan dan mutilasi terhadap penduduk sipil di daerah Limba75, pembunuhan dan mutilasi terhadap Kepala Suku Kafala76, penganiayaan tidak berperikemanusiaan terhadap dua perempuan hingga meninggal serta memakan isi perut mereka di Koribodo77, pembantaian seratus lima puluh orang dari suku Loko, Lomba, dan Temme di Talama78 serta pembunuhan enam puluh empat penduduk sipil di Kamboma79. 2. Mens rea Putusan majelis hakim yang menyatakan bahwa Fofana dan Kondewa tidak bersalah atas tuntutan terhadap tindakan teror yang ditujukan kepada penduduk sipil didasarkan karena tidak terpenuhinya unsur mens rea dari pelanggaran yang dimaksud. Majelis hakim menyatakan bahwa Fofana dan Kondewa tidak terbukti memiliki niatan untuk menimbulkan teror terhadap penduduk sipil. Tindakantindakan pelanggaran yang dilakukan oleh pasukan CDF, yang sebagian besar adalah para Kamajor, merupakan tindakan di luar perintah Fofana dan Kondewa. Pada kasus Fofana dan Kondewa, keduanya tidak terbukti melakukan tindakan teror karena unsur mens rea tidak terpenuhi. Akan tetapi, perlu diingat bahwa unsur actus reus dari tindakan teror itu sendiri tetap terpenuhi dan terbukti dalam proses persidangan. Fofana dan Kondewa terbukti melakukan serangan-serangan yang ditujukan kepada penduduk sipil dalam operasi militer yang dilakukan pasukan CDF pada beberapa wilayah di Sierra Leone. Tindakan tersebut menunjukkan bahwa Fofana dan Kondewa sebagai pemimpin pasukan CDF tidak melakukan pembedaan antara combatant dan penduduk sipil Sierra Leone dalam operasi militer yang dilakukan. 3.
Penutup Untuk mengakhiri pembahasan yang telah dilakukan sebelumnya, Penulis akan
memberikan kesimpulan berkaitan dengan pokok-pokok permasalahan yang telah disebutkan di bagian awal tulisan ini. Pertama, distinction principle adalah suatu prinsip dan aturan yang 75
CDF Trial Judgement, para. 786 (i) dan (ii).
76
Ibid., para. 786 (iv).
77
Ibid., para. 423-424.
78
Ibid., 750 (ii).
79
Ibid., 750 (vii). Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
22
mengharuskan diadakannya pembedaan antara penduduk sipil (civilian) dengan combatant di satu pihak dan antara objek sipil dengan objek militer di lain pihak saat konflik bersenjata terjadi. Pengertian mengenai distinction principle tersebut saat ini telah tercantum dalam Pasal 48 Protokol Tambahan I. Berdasarkan prinsip tersebut hanya combatant dan objekobjek militer yang sah dan legal untuk dijadikan sasaran dalam suatu serangan. Oleh karena itu, suatu serangan membabi buta atau serangan yang dilakukan tanpa membedakan target yang akan diserang (indiscriminate attack) jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap distinction principle. Bahkan, sekadar usaha-usaha untuk menimbulkan teror dan menyebarkannya kepada penduduk sipil juga dinilai sebagai pelanggaran terhadap prinsip tersebut. Kedua, perkembangan pengaturan mengenai distinction principle secara umum dapat dilihat baik melalui hard law maupun soft law yang terdapat dalam hukum humaniter internasional. Dari segi hard law, pengaturan berkenaan dengan distinction principle diawali dengan dicantumkannya prinsip tersebut sebagai salah satu landasan dalam pembukaan dari perjanjian internasional yang ada. Pada awal pencantumannya, distinction principle belum disebutkan secara eksplisit baik istilah maupun definisinya. Seiring dengan perkembangan dalam hukum humaniter internasional, perlahan-lahan ketentuan mengenai prinsip ini semakin jelas dan luas hingga akhirnya segala aturan yang komprehensif berkaitan dengan distinction principle termuat secara spesifik dalam perjanjian internasional yang khusus mengatur mengenai konflik bersenjata. Ketentuan distinction principle yang termuat di atas semakin dipertegas melalui soft law yang terdapat dalam resolusi organisasi internasional, salah satunya melalui resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB. Ketiga, dua kasus yang dibahas dalam skripsi ini merupakan contoh untuk melihat keberlakuan distinction principle dalam dua bentuk konflik bersenjata yang berbeda. Pada kasus Prosecutor v. Stanislav Galić yang diadili di hadapan ICTY, bentuk konflik bersenjata yang terjadi adalah konflik bersenjata internasional. Sedangkan pada kasus Prosecutor v. Fofana Kondewa yang diadili di hadapan SCSL, bentuk konflik bersenjata yang terjadi merupakan konflik bersenjata non-internasional. Distinction principle yang telah menjadi ketentuan yang berlaku dalam segala bentuk konflik bersenjata justru tidak diterapkan oleh Stanislav Galić dan Fofana serta Kondewa karena tidak mengadakan pembedaan antara combatant dan penduduk sipil saat memimpin operasi militer oleh pasukan di bawah komando mereka. Bahkan, penduduk sipil secara sengaja dijadikan target serangan langsung dalam konflik bersenjata yang terjadi pada dua kasus tersebut. Stanislav Galić secara spesifik Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
23
memerintahkan serangan terhadap penduduk sipil di Sarajevo dengan tujuan menyebarkan teror sebagaimana telah dibuktikan dalam persidangan. Sedangkan Fofana dan Kondewa meski tidak terbukti melakukan tindakan teror seperti yang dituntutkan, namun penduduk sipil di Sierra Leone banyak yang meninggal dan terluka akibat serangan yang diperintakan oleh mereka berdua. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa pelanggaran atas distinction principle tidak sebatas pada tindakan atau ancaman yang bertujuan menyebabkan teror terhadap penduduk sipil. Sepanjang penduduk sipil dijadikan target serangan dan tidak diadakan pembedaan antara combatant dan penduduk sipil dalam konflik bersenjata, maka distinction principle telah dilanggar. Daftar Pustaka I.
Buku
Best. Humanity in Warfare. London: Weidenfeld & Nicolson, 1980. de Mullinen, Frederic. Handbook on the Law of the War for Armed Force. Jenewa: International Committee of the Red Cross, 1987. Friedman, Leon. Ed. The Law of War – A Documentary History. New York: Random House, 1972. Gardam, Judith Gail. Non-Combatant Immunity as a Norm of International Humanitarian Law. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, 1993. Henckaerts, Jean-Marie dan Louise Doswald-Beck. Eds. Customary International Humanitarian Law Vol. 1: Rules. Cambridge: Cambridge University Press, 2005. _____. Customary International Humanitarian Law Vol. 3: Practice. Cambridge: Cambridge University Press, 2005. Haryomataram. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007. Keck, Trevor. A. Not All Civilians are Created Equal: The Principle of Distinction Principle, the Question of Direct Participation in Hostilities and Evolving Restraints on the Use of Force in Warfare. Somerville: Selected Works, 2011. Kalshoven, Frits. Ed. The Centennial of the First International Peace Conference 1899 – Reports & Conclusions. Den Haag: Kluwer Law International, 2000. Kusumaatmadja, Mochtar. Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949. Bandung: P.T. Alumni, 2002. Montross. Ed. War Through The Ages. Cet. 3. New York: Harper Press, 1960. Pictet, Jean S. Ed. Commentary to the Fourth Geneva Convention Relative to the Protection of Civillian Persons in Time of War. Jenewa: International Committee of the Red Cross, 1958. Sandoz, Yevs, Christopher Swinarski dan Bruni Zimmermann. Eds. Commentary on the Additional Protocol of 8 June 1977 to the Geneva Conventions of 12 August 1949. Dordrecht: Martinus Nijhoff Publisher, 1987. Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
24
Sassoli, Marco dan Antonie A. Bouvier. How Does Law Protect in War? Jenewa: International Committee of the Red Cross, 1999. Spieker, Heike. “Civilian Immunity”. Dalam Gutman, Roy dan David Rieffs. Eds. Crime of War. 1999. Wright. Ed. A Study of War. Cet. 2. Chicago: University of Chicago Press, 1971. II.
Artikel/Jurnal
Dienstein, Yoram. “Legitimate Military Objective under the Current Jus in Bello”. Dalam Wall, Andru E. Ed. Legal and ethical Lesson of NATOS’s Kosovo Campaign Volume 78 (US Naval War College’s International Law Studies, 2002). Hlm. 103-142. Jochnick, Chris dan Roger Normand. “The Legitimation of Violence: A Critical History of the Law of War”. Harvard Int’L J. 49 (1994). Hlm. 46-72. Kleffner, Jean K. “From ‘Belligerent’ to ‘Fighters’ and Civilians Directly Participating in Hostilities – on the Principle of Distinction in Non-International Armed Conflicts One Hundred Years After the Second Hague Peace Conference”. Netherland International Law Review (2007). Hlm. 315-336. McDonald, Avril. “The Challenge to International Humanitarian Law and the Principle of Distinction and Protection from the Increased participation of Civilians in Hostilities”. Http://www.asser.nl/default.aspx?site_id=9&level1=13337&level2=13379#_Toc1582 69146. Diunduh tanggal 26 April 2013. Shaffer, Gregory C. dan Mark A. Pollack. “Hard vs. Soft Law: Alternatives, Complements, and Antagonist in International Governance”. Minesota Law Review Vol. 94 (2010). Hlm. 706-799. _____.“The Declaration of St. Petersburg 1868”. The American Journal of International Law Vol. 1 No. 2 (April, 1970). Hlm. 69-103. III.
Peraturan/Perjanjian Internasional/Dokumen Lain
Declaration of St. Petersburg of 1868 to the Effect of Prohibiting the Use of Certain Projectiles in Wartime Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the Field Geneva Convention Relative to the Treatment of Prisoners of War Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict Regulations Respecting Laws and Customs of War United Nations General Assembly. Resolution A/RES/2444 (XIII). United Nations General Assembly. Resolution A/RES/2675 (XXVV). United Nations Security Counsel. Resolution S/RES/1674 (2006). United Nations Security Counsel. Resolution S/RES/1894 (2009). Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.
25
IV.
Kasus
International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia. “Prosecutor v. Stanislav Galić”. Judgement of 5 December 2003. _____. “Prosecutor v. Stanislav Galić”. Appeal Judgement of 30 November 2006. Spesial Court for Sierra Leone. “Prosecutor v. Fofana Kondewa”.Judgement of 2 August 2007. _____. “Prosecutor v. Fofana Kondewa”. Appeal Judgement of 28 May 2008.
Universitas Indonesia
Tinjauan terhadap..., Kurniawan Arif Wicaksono, FH UI, 2013.