BAB II LANDASAN TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA Dalam menjawab suatu penelitian, di perlukan landasan teori dan kerangka konseptual agar dalam perjalanan penelitian ini tidak menjadi melebar dan oleh karena itu perlu dibatasi. Teori adalah proposisi atau keterangan yang saling berhubungan dalam sistem deduksi yang menggunakan suatu penjelasan atau suatu gejala. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris, sehingga teori tentang ilmu merupakan suatu penejelasan rasional yang sesuai dengan objek penelitian, dijelaskan dan untuk mendapat verifikasi, maka harus didukung oleh data empiris yang mampu mengungkap kebenaran.1
A.
Landasan Teori
1.
Teori Bekerjanya Hukum Secara umum, efektivitas suatu hal diartikan keberhasilan dalam pencapaian target atau
tujuan yang telah ditetapkan. Efektivitas memiliki beragam jenis, salah satunya adalah efektivitas organisasi. Sama halnya dengan teori efektivitas secara umum, para ahli pun memiliki beragam pandangan terkait dengan konsep efektivitas organisasi. Mengutip Ensiklopedia administrasi Efektivitas adalah suatu keadaan yang mengandung pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki, kalau seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud tertentu yang memang dikehendaki. Maka orang itu dikatakan efektif kalau menimbulkan atau mempunyai maksud sebagaimana yang dikehendaki. Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu hal dapat dikatakan efektif apabila hal tersebut sesuai dengan yang dikehendaki. Artinya pencapaian hal yang dimaksud merupakan pencapaian tujuan dilakukannya tindakan-tindakan untuk mencapai hal tersebut. Efektivitas dapat diartikan sebagai suatu proses pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu usaha atau kegiatan dapat dikatakan efektif apabila usaha atau kegiatan tersebut telah mencapai tujuannya. Apabila tujuan yang dimaksud adalah tujuan suatu instasi maka proses pencapaian tujuan tersebut merupakan
1
Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, Pussaka Media, Bandung, 2011, hlm. 53
keberhasilan dalam melaksanakan program atau kegiatan menurut wewenang, tugas dan fungsi instansi tersebut.2 Achmad Ali mengatakan bahwa, apabila ingin melihat efektivitas dalam bidang hukum, maka kita pertama-tama harus dapat mengukur “sejauh mana aturan hukum itu ditaati atau tidak ditaati”. Lebih lanjut Achmad Ali pun mengemukakan bahwa pada umumnya faktor yang banyak memperngaruhi efektivitas suatu perundang-undangan adalah professional dan terlaksananya pelaksanaan peran, wewenang dan fungsi dari para penegak hukum, baik di dalam menjelaskan tugas yang dibebankan terhadap diri mereka maupun dalam menegakkan perundang-undangan tersebut. Menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu:3 1. 2. 3. 4. 5.
Faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupn menerapkan hukum. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung dari aturan hukum itu sendiri. Menurut Soerjono Soekanto ukuran efekvitas pada faktor hukumnya sendiri (Undang-Undang) adalah:4 1. 2. 3. 4.
Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis. Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, Secara hierarki dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi. Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada. Pada elemen kedua yang menentukan efektif atau tidaknya kinerja hukum tertulis adalah
aparat penegak hukum. Dalam hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut dapat melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan professional dan mempunyai mental yang baik. Kehandalan dalam kaitannya disini adalah meliputi keterampilan professional dan mempunyai mental yang baik. 2
Ray Pratama Siadari, Teori Efektifitas Hukum, http://www.academia.edu/9568999/Teori_Efektifitas_Hukum di akses tanggal 19 Oktober 2015 Jam 15.14 Wib 3 Ibid 4 Ibid
Menurut Soerjono Soekanto bahwa masalah yang berpengaruh terhadap efektivitas hukum tertulis ditinjau dari segi aparat akan tergantung pada hal berikut:5 1. 2. 3. 4.
Sampai sejauh mana petugas terikat oleh peraturan-peraturan yang ada. Sampai batas mana petugas diperkenankan memberikan kebijaksanaan. Teladan macam apa yang sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat. Sampai sejauh mana derajat sinkronisasi penugasan-penugasan yang diberikan kepada petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada wewenangnya. Pada elemen ketiga, tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan prasarana bagi aparat
pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan prasana yang dikatakan dengan istilah fasilitas ini, Soerjono Soekanto memprediksi patokan efektivitas elemen-elemen tertentu dari prasarana, dimana prasarana tersebut harus secara jelas memang menjadi bagian yang memberikan kontribusi untuk kelancaran tugas-tugas aparat di tempat atau lokasi kerjanya. Adapun elemen-elemen tersebut adalah:6 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Prasarana yang telah ada apakah telah terpelihara dengan baik Prasarana yang belum ada perlu diadakan dengan memperhitungkan angka waktu pengadaannya. Prasarana yang kurang perlu segera dilengkapi Prasarana yang rusak perlu segera diperbaiki. Prasarana yang macet perlu segera dilancarkan fungsinya. Prasarana yang mengalami kemunduran fungsi perlu ditingkatkan lagi fungsinya. Dari faktor kondisi masyarakat, elemen pengukur efektivitasnya adalah yang tergantung
dari:7 1. 2. 3.
Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan yang baik. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa. Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas atau aparat berwibawa serta fasilitas mencukupi. Elemen tersebut di atas memberikan pemahaman bahwa disiplin dan kepatuhan
masyarakat tergantung dari motivasi yang secara internal muncul. Internalisasi faktor ini ada pada tiap individu yang menjadi elemen terkecil dari komunitas social. Dalam hal ini, derajat kepatuhan hukum masyarakat menjadi salah satu parameter tentang efektif atau tidaknya hukum itu diberlakukan sedangkan kepatuhan masyarakat tersebut dapat di motivasi oleh berbagai penyebab, baik yang ditimbulkan oleh kondisi internal maupun eksternal. Teori yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita yang mengatakan bahwa, faktor-faktor yang menghambat
5
Ibid Ibid 7 Ibid 6
efektivitas penegakan hukum tidak hanya terletak pada sikap mental aparatur penegak hukum (hakim, jaksa, polisi dan penasihat hukum) akan tetapi juga terletak pada faktor sosialisasi hukum yang sering diabaikan. Menurut Soerjono Soekanto efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.8 Senada dengan Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Lawrence M. Friedman dalam bukunya The Legal System A Social Science Prespective mengatakan bahwa bekerjanya hukum tidak terlepas dari struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.9 Menurut William J. Chambliss dan Robert B Seidman bahwa pembentukan hukum dan implementasinya tidak akan lepas dari pengaruh terdapat diluar hukum, seperti faktor ekonomi, politik, budaya, pendidikan, kepentingan dan semua kekuatan dari individu dan masyarakat yan terdapat di luar proses.10 William J. Chambliss dan Robert B Seidman menggambarkan teori bekerjanya hukum dalam bagan dibawah ini:
8
Ibid Lawrence M. Friedman, The Legal System A Social Science Prespective, Russel Sage Foundation, New York, 1975, hlm. 14 10 Robert B. Siedman and William J. Chamblis, Law, order and power, Adition Publishing Company Wesley Reading Massachusett, 1972, hlm. 9-13 dalam Hartiwiningsih, Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Kebijakan Hukum Pidana, Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2008, hlm. 17 9
Faktor-faktor sosial dan personal Lembaga pembuat peraturan Umpan balik
Umpan balik
Norma
Norma Lembaga penerap peraturan
Pemegang peran
Aktivitas penerapan sanksi
Faktor-faktor sosial dan personal
Faktor-faktor sosial dan personal
Dapat terlihat bahwa, dari bagan bekerjanya hukum tersebut William J. Chambliss dan Robert B Seidman dirumuskan beberapa pernyataan teoritis sebagai berikut:11 1. 2.
3.
4.
Setiap peraturan hukum itu menunjukkan aturan-aturan tentang bagaimana seseorang pemegang peran diharapkan untuk bertindak. Tindakan apa yang akan diambil oleh seseorang pemegang peran sebagai respon terhadap peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dari aktivitas pelaksanaannya, serta dari seluruh kompleks kekuataan sosial, politik, dan lain sebagainya yang bekerja atas dirinya. Tindakan apa yang akan diambil oleh lembaga pelaksana sebagai respon terhadap peraturan-peraturan hukum, sangat tergantung dan dikendalikan oleh peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dan dari seluruh kompleks kekuataan sosial, politik, dan lain sebagainya serta umpan balik yang dating dari pemegang peran dan birokrasi. Tindakan apa yang akan diambil oleh pembuat undang-undang sebagai respon terhadap peraturan hukum sangat tergantung dan dikendalikan oleh berfungsinya peraturan hukum yang berlaku, dari sanksi-sanksinya, dan dari seluruh kompleks kekuataan sosial, politik, dan lain sebagainya serta umpan balik yang dating dari pemegang peran dan birokrasi. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa, ada banyak faktor yang mempengaruhi
bekerjanya hukum. Oleh karena, pembahasan rumusan masalah pertama penulis menggunakan teori William J. Chambliss dan Robert B Seidman untuk menjawab faktor-faktor apa saja yang
11
Op.Cit, Robert B. Siedman and William J. Chamblis, hlm. 21
mempengaruhi tidak terlaksananya perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang.
2.
Teori Pilihan Rasional Cornish dan Clarke memandang bahwa orang bukanlah “wadah kosong” saat mereka
menghadapi suatu situasi dimana kejahatan bisa dilakukan. Namun pada akhirnya, kejahatan bukan hanya disebabkan oleh motivasi dasar, kejahatan juga melibatkan pilihan konkret atau sederet pilihan yang harus diambil agar motivasi tersebut menghasilkan tindakan kriminal aktual. Pilihan rasional mengkaji secara serius bagaimana pelaku pelanggaran berpikir, guna memprediksi kapan suatu tindak kejahatan terjadi. Isu utama pilihan rasional mencakup keputusan untuk melakukan tipe kejahatan tertentu, bagaimana memilih suatu area untuk melakukan tindak kejahatan, bagaimana memilih “target” atau korban, dan bagaimana pelaku pelanggaran memutuskan untuk mengulangi tindak kejahatannya.12 Untuk itu, Clarke dan Cornish mengatakan bahwa, pijakan dari teori pilihan rasional adalah, Pertama, Keputusan yang diambil pelaku pelanggaran itu “memiliki tujuan” (purposive). Kedua, cara terbaik untuk mereduksi kejahatan yaitu bagaimana para pelaku pelanggaran mengambil keputusan untuk merealisasikan kejahatan.13 Dari teori tersebut terlihat bahwa, setiap pelaku kejahatan dipastikan mempunyai tujuan. Cara terbaik untuk mereduksi kejahatan tersebut dengan mengubah model yang saat ini tidak lagi bisa mereduksi kejahatan transaksi keuangan yang mencurigakan. Untuk menjawab rumusan masalah kedua, penulis menggunakan teori pilihan rasional.
B.
Kajian Pustaka
1.
Perbandingan perampasan asset kejahatan pencucian uang
a.
Sejarah perampasan asset Di Negara-Negara yang menganut sistem common law, Non Conviction Based (NCB)
asset forfeiture sudah lazim diterapkan sebagai alat untuk menyita dan mengambil asset yang berasal, berkaitan atau merupakan hasil dari kejahatan. Akar dari prinsip NCB asset forfeiture
12 13
Jhon Robert Lilley dkk, Teori Kriminologi, Konteks dan Konsekwensi, Kencana, Jakarta, 2015, hlm. Ibid, hlm.
pertama kali ditemukan pada abad pertengahan di Inggris ketika kerajaan Inggris menyita barang-barang yang dianggap sebagai instrument of a death atau yang sering disebut deodant.14 Munculnya era industrialisasi di Inggris kemudian memaksa parlemen untuk menghapuskan deodand setelah meningkatkanya kecelakaan yang terjadi sehingga menyebabkan asset yang disita. Kendati dalam peraktiknya NCB asset forfeiture sering kali dianggap bersifat opresif dan tidak adil, namun kongres pertama di Amerika Serikat tetap mempertahankan penggunaannya dihukum perkapalan dengan mengeluarkan peraturan yang memberi kewenangan kepada pemerintah federal untuk menyita kapal. Supreme court kemudian juga mendukung penggunaan NCB asset forfeiture di Amerika Serikat dalam kasus the palmyra yang terjadi di tahun 1827 yang mana pengadilan menolak argumen pengacara dari si pemilik kapal yang mengatakan bahwa penyitaan dan pengambil alihan kapalnya adalah illegal karena tanpa adanya sebuah putusan yang menyatakan pemiliknya bersalah. Kasus inilah yang menjadi dasar dari penggunaan NCB asset forfeiture di Amerika Serikat.15 Bagi Negara berkembang yang tingkat korupsinya tinggi, NCB asset forfeiture adalah alat penting dalam pengembalian asset (asset recovery) khususnya dalam mengungkap kekayaan yang tidak wajar. Di beberapa yurisdiksi, NCB asset forfeiture ini juga disebut sebagai “civil forfeiture”, “in rem forfeiture”, atau “objektif forfeiture”, adalah tindakan melawan asset itu sendiri dan bukan terhadap individu (in personam). NCB asset forfeiture ini adalah tindakan yang terpisah dari proses pidana, dan membutuhkan bukti bahwa suatu property itu “tercemar” (ternodai) oleh tindak pidana. Secara umum, NCB asset forfeiture harus ditetapkan pada keseimbangan probabilitas beban pembuktian. Hal ini memudahkan beban pemerintah (otoritas) untuk bertindak dan itu berarti bahwa dimungkinkan untuk merampas asset apabila ada bukti yang cukup untuk mendukung keyakinan bahwa asset yang dimaksud merupakan hasil tindak pidana (kejahatan) mengingat tindakan tersebut tidak melawan individu melainkan terhadap property. Pemilik property tersebut adalah pihak ketiga yang memiliki hak untuk mempertahankan property yang akan dilakukan tindakan perampasan.16
14
Muhammad Yusuf, Merampas Asset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta, 2013, hlm. 107 15 Ibid, hlm. 108 16 Ibid, hlm. 104-105
David Scott Romantz17 mengatakan bahwa NCB asset forfeiture adalah penyitaan dan pengambil alihan suatu asset melalui gugatan in rem atau gugatan terhadap asset. Konsep civil forfeiture didasarkan pada “taint doctrine” dimana sebuah tindak pidana dianggap taint (menodai) sebuah asset yang dipakai atau merupakan hasil tindak pidana tersebut. Walaupun mempunya tujuan yang sama yaitu untuk menyita dan mengambil alih asset hasil kejahatan. NCB asset forfeiture berbeda dengan criminal forfeiture yang menggunakan gugatan in rem personam (gugatan terhadap orang) untuk menyita dan mengambil alih suatu asset.18 Perampasan non-pidana dapat disebut juga sebagai “perampasan perdata”, “perampasan in rem” atau beberapa sistem hukum yang dikenal sebagai perampasan objektif merupakan tindakan yang ditujukan terhadap asset itu sendiri dan bukan terhadap individu (orang) dan tindakan ini terpisah dan bukan merupakan bagian dalam proses pidana dan dalam mekanismenya membutuhkan bukti bahwa asset/property itu berindikasi berasal dari hasil kejahatan. Linda M. Samuel mengatakan bahwa tujuan dari sistem perampasan tanpa penuntutan/ NCB asset forfeiture adalah untuk menangani kejahatan asalnya (predicate crime), sekaligus merampas asset yang diperoleh atau digunakan untuk suatu tindak pidana.19 Namun demikian Linda M Samuel dan Muhammad Yusuf, tidak menjelaskan bagaimana merampas asset transaksi keuangan yang mencurigakan. Padahal transaksi keuangan yang mencurigakan jika tidak segera dirampas tentunya melalui hasil analisis terlebih dahulu, uang dari hasil transaksi keuangan yang mencurigakan bisa saja digunakan untuk kejahatan lainnya. Hal ini guna untuk melakukan pencegahan secara dini terhadap apa yang terjadi kedepannya. Untuk itu perlu dilakukan upaya perampasan asset guna mewujudkan asset recovery dari hasil kejahatan pencucian uang. Praktik asset recovery di Amerika Serikat terdiri dari dua jenis. Pertama, conviction based or criminal “in personal” forfeiture, dimana penuntutan dilakukan terhadap orangnya. Kedua, non conviction based (NCB) atau Civil “in rem” forfeiture, dimana perampasan ditujukan terhadap barang yang diperoleh secara illegal atau digunakan secara illegal, sehingga
17
David Scott Romantz, “Civel Forfeiture and The Constitutions: A Legislative Abrogation of Right and The Judicial Response: The Guide of The Res”, 28 Suffolk University Law Review, 1994, hlm. 390 dalam Muhammad Yusuf, Merampas Asset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Buku Kompas, Jakarta, 2013, hlm. 105 18 Ibid, hlm 105 19 Ibid, hlm. 105-106
yang menjadi tergugat adalah assetnya tersebut. Perampasan non-pidana pada penerapannya memiliki beberapa kegunaan, diantaranya:20 1) 2) 3) 4) 5)
6)
Pelaku tindak pidana adalah buron atau dalam pelarian, dalam hal ini peradilan pidana tidak dapat memutuskan sanksi pidana tanpa kehadiran pelaku. Terpidana meninggal dunia sebelum adanya putusan pidana terhadapnya. Pelaku tindak pidana kebal hukum. Pelaku tindak pidana begitu kuat dan berkuasa sehingga penyelidikan pidana atau penuntutan tidak realistis atau tidak mungkin dilakukan. Pelaku tidak pidana tidak diketahui dari asset yang ditemukan. Jika asset berasal dari kejahatan, seseorang pemilik atau pelanggar mungkin tidak mau mengakui karena akan menyebabkan tuntutan pidana. Ketidakpastian ini membuat penuntutan pidana terhadap pelanggar sangat sulit dan mustahil. Asset yang dialihkan kepada pihak ketiga yang tidak ikut serta dalam tindak pidana, tetapi sadar atau sengaja terhadap fakta bahwa asset tersebut berasal dari hasil kejahatan. Perampasan asset secara pidana tidak akan dapat dilakukan dikarenakan ada hak-hak yang dimiliki oleh pihak ketiga. Implikasi terhadap asset tersebut yang tidak dapat dilanggar, sedangkan perampasan asset secara in rem dapat mengambil alih asset dari pihak ketiga tanpa melakukan pelanggaran hak-hak pihak ketiga. Dalam pelaksanaanya, NCB asset forfeiture memerlukan peraturan dan pembuktian serta
prosedur yang sangat rinci. Dalam upaya perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang, penting untuk memilki peraturan perundangundangan yang cukup jelas dan fleksibel agar dapat mengikuti perubahan zaman. Adapun undang-undang, peraturan administrasi serta peraturan prosedur dalam NCB asset forfeiture secara karaktersitik harus mencakup hal-hal sebagai berikut:21 1. 2. 3.
4.
Inventigasi, termasuk metode untuk memperoleh bukti-bukti Penelurusan yang diperlukan oleh pemerintah untuk memperkuat fakta-fakta pada khususnya. Penahanan dan perampasan asset, termasuk jangka waktu dari penahanan dan perampasan serta kemampuan mengupayakan perpanjagan waktu yang disetujui secara yudisial. Perampasan asset termasuk: a. Persyaratan dasar fakta dan dasar hukum memerintah perampasan; b. Pihak yang berkepntingan yakni kepentingan pihak ketiga, status buronan, pihak yang telah meninggal dunia dan pejabat dengan imunitas; c. Pihak yang berhak untuk memberitahu dan bagaimana cara memberlakukannya; d. Batas waktu untuk pengumpulan dan pertanggungjawaban untuk perampasan asset. e. Peraturan, jika ada yang melindungi pada saat pemberatan hukumpada saat proses peradilan pidana berdasarkan hasil wawancara yang diadakan untuk proses peradilan NCB. f. Pembelaan yang diberlakukan. 20 21
Ibid, hlm. 106-107 Ibid, hlm. 114-115
g.
Bukti yang dimiliki Pemerintah (sebagai contoh, informasi yang didengar dari pihak lain dan dokumen ringkasan lainnya). h. Kemampuan untuk meminta ke pengadilan untuk dapat memberikan satu atau lebih tuntutan tanpa perlu melanjutkan persidangan. i. Kemampuan untuk meminta alasan keputusan yang rinci atas dasar fakta dan dasar hukum, yang juga harus merupakan sebuah dokumen publik. j. Apakah pembayaran sebagai pengganti dari perampasan diperbolehkan. k. Apakah harta benda asli yang telah tercampur dapat dipulihkan (asset pengganti). l. Pengelolaan asset. m. Kerja sama internasional, apakah termasuk kriminalitas ganda. Namun tidak ada penjelasan bagaimana tentang perampasan asset dari transaksi keuangan yang mencurigakan dan prosedurnya. Karena itu perlu kiranya melihat praktek di beberapa Negara dalam rangka perampasan asset. Karena dengan studi perbandingan dengan melihat ke beberapa Negara akan tampak perbedaan masing-masing Negara dalam mermpas asset, terlebih lagi merampas asset dari transaksi keuangan yang mencurigakan guna mewujudkan asset recovery hasil kejahatan pencucian uang.
b.
Perbandingan perampasan asset di berbagai Negara Dari sejarah dapat diketahui bahwa orang Yunanilah yang pertama kali melakukan
kegiatan perbandingan hukum. Plato membuat perbandingan hukum antara Negara kota di Yunani. Kemudian, Aristoteles juga menyelidi konstitusi tidak kurang dari 153 negara kota, tetapi, yang berhasil ditemukan hanya mengenai Negara kota Athena. Hal ini merupakan spekulasi filosofis perbandingan hukum. sebaliknya, orang Romawi kurang perhatian mengenai perbandingan hukum karena merasa mempunyai superioritas sistem hukum dan politik dibanding dengan hukum asing. Cicero menantang semua hukum non-Romawi sebagai membingungkan san sesuatu yang bukan-bukan (absurd).22 Pendapat tersebut diatas oleh Erhmann dikatakan bukanlah sudut pandang yang baru, dan jejaknya dapat ditelusuri kembali ke zaman yunani dan romawi kuno. Proses hukum komparatif diyakini dimulai sejak zaman kuno, ketika beberapa kota di Yunani mengadopsi hukum dari negara lain, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Alasan rasional dari tindakan ini adalah bahwa hukum atau institusi hukum dari negara lain dianggap lebih superior, atau lebih maju
22
Andi Hamzah, Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara Edisi Ketiga, Penerbit Sinar Grafika Cetakan Kedua, Jakarta, 2009, hlm. 1 dalam Muhammad Nurul Huda, Tesis, Perbandingan Politik Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2011, hlm. 39
ataupun sofiskasi, dan oleh sebab itu harus diadopsi atau ditiru secara sengaja. Akan ada kesan bahwa peniruan ini tidak dianggap sebagai pengadopsian sebuah hukum yang lebih baik daripada hukum negara itu sendiri. Proses ini mungkin saja terulang dalam berbagai tahapan dunia kuno.23 Sebenarnya, sumber-sumber, seperti Twelve Tables (meja dua belas) yang terkenal merupakan sumber hukum tertua bangsa romawi yang pernah ditemukan, mengindikasikan bahwa pengaruh Yunani pada budaya dan peradaban Romawi tak dapat disangkal lagi. Baik tulisan Cicero maupun Gaius menunjukkan bahwa mereka percaya pada legenda yang nyata bahwa sebuah komite legislatif telah dikirimkan ke Atena dalam rangka mempelajari hukum dan institusi hukum dari bangsa Yunani ketika hukum Romawi sedang dirancang24. Tetapi, baru pada zaman klasik hukum Romawi mengalami perkembangan lebih jauh dari jus gentium (hukum dari suatu bangsa) menjadi hukum yang terpengaruh oleh penelitian-penelitian komparatif, dan oleh sebab itu didenasionalisasikan, serta berubah menjadi sebuah bentuk „hukum global‟; hal ini disempurnakan dengan sebuah „kombinasi yurisprudensi kompartif dan pemikiran rasional‟. Selanjutnya Sherman mengatakan bahwa, Pada waktu itu sepertinya hanya ada satu usaha komparatif untuk mengumpulkan berbagai hukum berbeda menjadi satu sejak masa imperial kekasairan Romawi berikutnya, yang dikenal sebagai Lex Dei (hukum tuhan). Ini adalah sesuatu pada hakikatnya merupakan sebuah kombinasi antara hukum Romawi dan prinsip-prinsip ajaran Musa (hukum musa), dan juga dikenal sebagai collation legume mosaicarum et Romanarum (penyatuan hukum musa di Romawi), yang tertanggal sejak 400 tahun setelah masehi. Lex dei kemudian menjadi salah satu penyelenggaraan hukum komparatif tertua yang pernah diakui25. Memasuki abad pertengahan perkembangan hukum komparatif, dikatakan oleh Peter de Cruz setelah kejatuhan Kekaisaran Romawi, prinsip „hukum personalitas‟ diterapkan di Eropa Barat, yang berarti setiap individu ditundukkan terhadap hukum secara unik menurut bangsa atau sukunya. Oleh sebab itu, hukum bangsa Romawi dan Jerman diberlakukan dalam wilayah yang sama. Koeksistensi yang unik dari beberapa hukum berbeda ini menunjukkan bahwa hal semacam ini merupakan sesuatu yang sudah biasa naik dalam hukum Jerman maupun Romawi, meskipun hal ini tidak berpengaruh terhadap „common law‟ atau sistematika studi-studi hukum komparatif yang tercipta. Ketika pembelajaran mulai bangkit kembali pada tahun 900, aliran 23
Peter de Cruz, 2010, Perbandingan Sistem Hukum Common Law, Civil Law Dan Socialist Law, Penerbit Nusa Media Cetakan I Penerjemah Narulita Yusron, Bandung, hlm. 16 dalam Muhammad Nurul Huda, Tesis, Perbandingan… Ibid 24 Muhammad Nurul Huda, Tesis, Perbandingan…, Ibid, hlm. 39-40 25 Ibid, hlm. 40
Lombard adalah kelompok secular pertama melakukan studi ilmiah didasarkan pada kegiatan komparatif. Hukum Feodal, dan hukum gereja, yang sudah merupakan bagian dari „common law‟ Eropa Barat, mulai dipelajari, bersama-sama dengan beberapa bagian dari hukum Romawi versi pra-Justinian. Para ahli zaman pertengahan ini, oleh sebab itu, berusaha memperluas pengetahuan mereka keseluruhan sistem hukum utama pada zaman dan peardaban mereka, tetapi baru pada masa Glossators (Penafsir) dan para penerusnya, renaissance besar bagi hukum Romawi dapat dimunculkan dan kemudian menyebar kebanyak negara melalui Bologna.26 Baru kemudian sekira abad ke-16, beberapa studi komparatif mulai dilakukan. Yaitu dengan menyederhanakan adat istiadat bangsa Perancis. Kemudian juga Hukum Romawi dan Jerman diperbandingkan di negara-negara seperti spanyol dan, kemudian, Jerman. Pada abad ke17 dan 18, meski tidak ada praktik hukum komparatif yang objektif dan sistematik, yang jelas selama abad ke-17, sejumlah tokoh terkemuka seperti Bacon menekankan pentingnya bagi praktisi hukum untuk membebaskan diri mereka dari vincula (belenggu) dari sistem nasional mereka, agar dapat membuat penilaian yang sesungguhanya tentang kelayakannya. Leibniz mengusulkan sebuah rancangan bagi „panggung hukum‟ yang dapat menunjukkan gambaran tentang semua orang, tempat, waktu berdasarkan kajian komparatif. Pada abad ke-19 terjadi pengaruh rasionalisme dari abad ke-18 yang secara logis mengarahan ke sebuah kodifikasi hukum, sehingga penyatuan dan penyederhanaan hukum menjadi slogan pada masa itu. Berbagai tautan hukum nasional pun dirancang, yang melahirkan sebutan bagi masa itu sebagai era „Kodifikasi Besar‟ dan, mau tak mau para ahli hukum mengubah perhatian utama mereka pada interpretasi dan anlisis terhadap tatanan hukum ini. terlepas dari semua kodifikasiini, ketertarikan terhadap hukum kompratif dan hukum asing pada akhirnya tumbuh di Jerman, Prancis, Inggris, dan Amerika.27 Dibagian lain, Rene David mengatakan bahwa, perbandingan hukum merupakan ilmu yang setua ilmu hukum itu sendiri, namun perkembangannya sebagai ilmu pengetahuan baru pada abad-abad terakhir ini. demikian pula Adolf F. Schnitzer mengemukakan, bahwa baru pada abad ke-19 perbandingan itu berkembang sebagai cabang khusus dari ilmu hukum28. Dalam perjalanannya, perkembangan pada abad ke-19 itu terutama terjadi di Eropa (khususnya Jerman, 26
Ibid, hlm. 40-41 Ibid, hlm. 41 28 Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana Edisi Revisi, Penerbit RajaGrafindo Persada, Cetakan Ke-8, Jakarta, 2010, hlm. 1 dalam Muhammad Nurul Huda, Tesis, Perbandingan…, Ibid, hlm. 42 27
Prancis, Inggris) dan Amerika. Pada mulanya minat terhadap studi perbandingan hukum bersifat perseorangan, seperti dilakukan oleh:29 1. 2. 3.
Montesqieu (Prancis); Mansfield (Inggris), dan Von Feuerbach, Thibaut dan Gans (di Jerman). Setelah diminati oleh perseorangan ternyata, kemudian berkembang dalam bentuk
kelembagaan. Di Prancis misalnya: 30 1. 2.
Tahun 1932 berdiri Institute Perbandingan Hukum di College de France; dan Tahun 1846 berdiri Institute Perbandingan Hukum di University of Paris. Di Inggris, pada 1846, sebuah panitia pendidikan hukum (dibawah pengawasan House of
Common) mengajukan rekomendasi agar di Perguruan-perguruan Tinggi di Inggris dibentuk Institut tentang perbandingan hukum. usul ini berhubungan erat dengan perkembangan kerajaan Inggris yang menghadapi berbagai sistem hukum asing di Negara-negara jajahan (misal hukum Hindu di India). Usul tersebut baru terwujud pada 1869 dengan terbentuknya badan/lembaga Historical and Comparative Jurisprudence di Oxford dengan ketuanya Sir Hendry Maine. Tokoh terkenal dari Cambridge University ialah Prof. Gutteridge yang mengajarkan hukum Hindu, Hukum Islam, dan Hukum Romawi. Menurut Gutteridge, Bapak (Pelopor) dari Comparative Law ialah Montesquieu karena dialah yang pertama kali menyadari bahwa “the rule of law tidak boleh dipandang sebagai sesuatu yang abstrak, tetapi harus dipandang sebagai sesuatu latar belakang histories dari lingkungan di mana hukum itu berfugsi”.31 Sejak permulaan abad ke-20 perbandingan hukum berkembang sangat pesat. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dunia pada abad ke-19 dan permulaan abad ke-20, khusunya di Eropa. Pada waktu itu terjadi konferensi-konferensi internasional di den Haag mengenai hukum internasional yang menhasilkan traktat-traktat di lapangan transfor kereta api, pos, hak cipta, hak milik industri, dan sebagainya. Pekerjaan-pekerjaan itu dimungkinkan dan dipersiapkan oleh studi perbandingan hukum. oleh karena itu, studi ini dianggap sedemikian penting sehingga ditarik kesimpulan, bahwa perbandingan hukum merupakan suatu ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sehubungan dengan hal ini Rene David menyatakan, bahwa saat ini studi mengenai perbandingan hukum telah diakui sebagai bagian yang sangat
29
Ibid Ibid 31 Ibid, hlm. 42-43 30
penting/diperlukan dari ilmu hukum dan pendidikan hukum (“today comparative law studies are admitted to be a necessary part of any legal science and training”).32 Khusus perbandingan hukum pidana yang pertama muncul adalah karya orang Jerman yang terdiri atas 15 jilid yang berjudul Vergleichende Darstellung des deutschen und des auslandischen strafrechts (1905-1909). Dua tahun kemudian, Wolfgang Mittermaier, Helger, dan Kohlrauch menyusun KUHP Jerman (Enwurf eines Algemeiner Deutschen Strafgesetzbuchs 1927). Setelah melihat sejarah singkat perbandingan hukum dan perbandingan hukum pidana, akan lebih baik dibicarakan lagi mencari istilah dan pengertian perbandingan hukum pidana. Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum ini, antara lain,: Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreign Law (istilah inggris); Droit Compare (istilah Prancis); Rechtsvergelijking (istilah Belanda) dan Rechtsvergleichung atau Vergleichende Rechlehre (istilah Jerman). Ada pendapat yang membedakan antara Comparative Law dengan Foreign Law, yaitu:33 1. 2.
Comparative Law : Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya. Foreign Law: Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem hukum yang lain. Di dalam Black‟s Law Dictionary dikemukakan, dikemukakan bahwa Comparative
Jurisprudence ialah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum (the study of principles of legal science by the comparison of various system of law). W. EWALD mengemukakan bahwa, perbandingan hukum pada hakikatnya merupakan kegiatan yang bersifat filosofis (Comparative Law is an essentially philophical activity). Perbandingan hukum adalah suatu studi atau kajian perbandingan mengenai konsepsi-konsepsi intelektual (intellectual conceptions) yang ada dibalik institusi/lembaga hukum yang pokok dari satu atau beberapa sistem hukum. Defenisi lain juga diberikan oleh Jaakko Husa, membedakan antara: “macro-comparative law” dan micro-comparative law”. Perbandingan hukum makro, lebih focus pada masalah-masalah atau tema-tema besar/luas, seperti masalah sistematika, penggolongan dan pengklasifikasian sistem hukum; sedangkan perbandingan hukum mikro, berkaitan dengan aturan-aturan hukum, kasus-kasus, dan lembagalembaga yang bersifat khusus/aktual. Dalam menjelaskan perbandingan sistem hukum (legal 32 33
Ibid, hlm. 43 Ibid, hlm. 43-44
system), Jaakko Husa mengemukakan, bahwa “legal system” dapat dilihat dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit “legal system” adalah sistem hukum formal dari berbagai Negara. Dalam arti luas, “legal system” tidak hanya mencakup aturan, lemabaga, jurisprudensi, dan doktrindoktrin hukum, tetapi juga mencakup berbagai unsur hubungan sosial, faktor sejarah, ideology, budaya dan tradisi.34 Dari berbagai pengertian diatas sangatlah jelas, bahwa perbandingan hukum sangat penting dan diperlukan dalam memahami ilmu hukum. R.H.S. Tur mengemukakan bahwa, ilmu hukum umum (general jurisprudence) dan perbandingan hukum (comparative law) merupakan dua sisi yang berbeda dari mata uang yang sama ( a different sides of the same coin). Ilmu hukum umum (general jurisprudence) tanpa perbandingan adalah kosong dan formal (empty and formal); sebaliknya perbandingan hukum tanpa ilmu hukum umum adalah buta dan tidak dapat membedabedakan (blind and non-discriminating). Michael Bogdan mengatakan hukum komparatif memenag sulit untuk didefenisikan, sebagian besar karena fakta bahwa ide-ide tentang makna konsep itu amat luas, akan tetapi hukum komparatif mencakup:35 1. 2.
3.
Membandingkan sistem-sistem hukum yang berbeda-beda dengan tujuan menegaskan persamaan dan perbedaan masing-masing. Bekerja dengan menggunakan persamaan dan perbedaan-perbedaan yang telah ditegaskan itu, misalnya, menjelaskan asal-usulnya, mengevaluasi solusi-solusi yang dipergunakan dalam sistem-sistem hukum yang berbeda, mengelompokkan sistem-sistem hukum menjadi keluarga-keluaga hukum, atau mencari kesamaan inti dalam sistemsistem hukum tersebut; dan Menguraikan masalah-masalah metodelogis yang muncul sehubungan dengan tugastugas ini, termasuk masalah-masalah metode logis yang terkait dengan studi hukum luar negeri. Demikian juga, Alan Watson mendefenisikan hukum komparatif sebagai: “… studi tentang
hubungan antara berbagai sistem hukum atau antara berbagai peraturan di dalam lebih dari satu sistem…dalam konteks hubungan historis…(sebuah studi tentang) hakikat hukum dan hakikat perkembangan hukum. G. Guitens-Bourguis mengatakan bahwa, “perbandingan hukum adalah metode perbandingan yang diterapkan pada ilmu hukum. perbandingan hukum bukanlah ilmu hukum, melainkan hanyalah metode studi, suatu metode untuk meneliti sesuatu, suatu cara kerja, yakni perbandingan. Apabila hukum itu terdiri atas seperangkat peraturan, maka jelaslah bahwa
34
Ibid, hlm. 44 Michael Bogdan, 2010, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Penerbit Nusa Media Cetakan I Penerjemah Derta Sri Widowatie, Bandung, hlm. 4 dalam Muhammad Nurul Huda, Tesis, Perbandingan…. Ibid, hlm. 45-46 35
“hukum perbandingan” (vergelijkende recht) itu tidak ada. Metode untuk membandingbandingkan aturan hukum dari berbagai sistem hukum tidak mengakibatkan perumusanperumusan aturan-aturan yang berdiri sendiri: tidak ada aturan hukum perbandingan. Perbandingan hukum sebagai suatu metode mengandung arti, bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan untuk lebih memahami suatu objek atau masalah yang diteliti.36 Seiring digunakannya istilah metode perbandingan hukum. Perbandingan sebagai suatu metode dikemukakan pula oleh Sunaryati Hartono bahwa, “perbandingan hukum bukanlah suatu bidang hukum tertentu seperti misalnya hukum tanah, hukum perburuhan atau hukum acara, akan tetapi sekedar merupakan cara penyelidikan suatu metode untuk membahas suatu persoalan hukum, dalam bidanag manapun juga. Jika hendak membahas persoalan-persoalan yang terletak dalam bidang hukum perdata, atau hukum pidana, atau hukum tata Negara, … mau tidak mau terlebih dahulu membahas persoalan-persoalan umum secara perbandingan hukum yang merupakan dasar dari keseluruhan sistem hukum dan ilmu hukum itu.” Sedangkan menurut van Apeldoorn, perbandingan hukum adalah “Objek ilmu hukum adalah sebagai gejala kemasyarakatan. Ilmu hukum tidak hanya menjelaskan apa yang menjadi ruang lingkup dari hukum itu sendiri, tetapi juga menjelaskan hubungan antara gejala-gejala hukum dengan gejalagejala sosial lainnya. Untuk mencapai tujuannya itu, maka digunakan metode sosiologis, sejarah, dan perbandingan hukum.37 Sehubungan dengan yang dikemukakan Apeldoorn di atas, Soerjono Soekanto mengemukakan, bahwa ketiga metode tersebut saling berkaitan dan hanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisah-pisahkan, hal ini dikarekan:38 a.
b. c.
Metode sosiologis tidak dapat diterapkan tanpa metode sejarah, karena hubungan antara hukum dengan gejala-gejala soosial lainnya merupakan hasil dari suatu perkembangan (dari zaman dahulu); metode perbandingan hukum juga tidak boleh diabaikan karena hukum merupakan gejala dunia Metode sejarah juga memerlukan bantuan dari metode sosiologis, karena perlu diteliti faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perkembangan hukum Metode perbandingan tidak akan membatasi diri pada perbandingan yang bersifat deskriftif; tetapi juga diperlukan data tentang fungsinya atau efektifitas hukum sehingga diperlukan metode sosiologis. Juga diperlukan metode sejarah untuk mengetahu perkembangan dari hukum yang diperbandingkan.
36
Ibid, hlm. 46-47 Ibid, hlm. 47-48 38 Ibid, hlm. 48 37
Nampaknya perbandingan hukum mempunyai keeratan hubungannya dengan sejarah hukum dan sosiologi hukum, hal ini ditandai oleh beberapa pendapat sarjana hukum dibawah ini: 39
1. 2. 3. 4.
Van der Velden: Perbandingan hukum sulit dibedakan dari sejarah hukum. membedakan perbandingan hukum dari sosiologi hukum lebih sulit lagi. Sir Frederick Pollock (1903): Tidak ada perbedaan antara (ilmu) sejarah hukum dan (ilmu) perbandingan hukum: kedua-keduanya berarti sejarah umum dari hukum. Joseph Kuhler: Istilah “sejarah hukum universal” (universale Rechtsgeschichte) sama dengan “perbandingan hukum” (vergeliechende Rechtswissenschaf) Max Rheinstein: Dalam bukunya yang berjudul Einfuhrung in die Rechtsvergleichung (pengantar perbandingan hukum) ia mengemukakan, bahwa bukunya itu bisa digunakan sebagai pengantar sosiologi hukum. Apabila perbandingan hukum itu tidak hanya berusaha atau bermaksud untuk memahami hukumnya sendiri, melainkan mencari kejelasan tentang fungsi sosial dari hukum pada umumnya, maka itu sebenarnya adalah sosiologi hukum. perbandingan hukum yang bersifat empiris ini terutama menggunakan metode fungsional, dan mencari hukum-hukum (menurut statistik) sehubungan dengan asal mula, pertumbuhan, jatuhanya, maksud, bentuk dan perwujudan hukum sebagai gejala sosial budaya. Setelah membahas sekilas tentang perbandingan hukum. Untuk itu, maka akan dilihat
bagaiamana perbandingan Negara-negara dalam melakukan perampasan asset dari hasil kejahatan pencucian uang. Adapaun Negara-negara tersebut adalah: 1)
Amerika Serikat Criminal forfeiture dan NCB asset forfeiture di Amerika serikat telah cukup lama
digunakan untuk mengembalikan asset hasil tindak pidana. Pada awalnya, NCB Asset forfeiture diterapkan dalam skala domestik, yaitu mengajukan gugatan perdata untuk menyita atau mengambil alih asset-asset hasil kejahatan yang berada dalam negeri, beberapa Negara yang menggunakan domestik NCB asset forfeiture mengaplikasikan secara ekstra teritorialitas. Sebagai Negara common law, penggunaan NCB asset forfeiture di Amerika Serikat juga diawali dari konsep attainter dan deodand. Prinsip deadand menjadi fundamen bagi terbentuknya rezim NCB asset forfeiture di Amerika serikat dan bertahannya konsep fiksi hukum guilty object. Di Inggris pada abad ke-19 deodand sendiri dihapus karena tidak bisa dianggap sebagai punitive measure karena tidak ada orang yang dinyatakan bersalah. Selanjutnya konsep deodand berkembang dalam hukum perkapalan (admiralty law) dan membentuk perkembangan hukum penyitaan di Amerika Serikat. Berdasarkan hukum perkapalan yang berlaku pada saat itu, pengadilan-pengadilan maritim kolonial lebih memilih untuk melakukan gugatan in rem atas 39
Ibid, hlm. 48-49
kapal dibandingkan gugatan in rem dibandingkan gugatan in personom atas pemilik kapal. Kapal yang “tidak bersalah” bisa ditahan dan diambil atas nama pemerintah, dan hukum memberlakukan dengan sangkaan bahwa, kapal tersebut disamakan dengan orang yang bersalah.40 Dalam kasus-kasus dimana pelanggaran hukum mengenai bea dan cukai, pemilik kapal tidak diketahui atau tidak bisa dijumpai, atau di luar yurisdiksi pengadilan, pengadilan bisa langsung mengajukan NCB asset forfeiture terhadap kapal itu sendiri. Selain itu juga, berlaku asas pembuktian terbalik bagi pemilik kapal yang mempertahankan kapalnya, dan bahkan kapal bisa diambil alih karena tindakan illegal awak kapal, meskipun tindakan tersebut tanpa sepengetahuan pemilik. Penggunaan NCB asset forfeiture kemudian berkembang pesat ke bidang-bidang lainnya setelah keluarnya putusan dalam kasus J.W. Goldsmith, JR-Grant v. United States dimana Mahkamah Agung Amerika Serikat (supreme Court) secara eksplisit mengadopsi fiksi personifikasi dan menolak claim process dari seorang innocent owner. Meningkatnya organized crime di tahun 1970-an juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan berkembangnya instrument ini. NCB asset forfeiture sering digunakan oleh pemerintah Federal Amerika Serikat untuk menyita asset-asset yang berhubungan dengan organized crime untuk jalur uang dan financial support dari kejahatan seperti perdagangan obatobatan terlarang atau perjudian illegal. Kemudian rezim NCB Asset forfeiture berkembang lagi pada tahun 2000 dengan diberikannya civil asset forfeiture reform act (CAFRA) Yang mengadopsi apa yang disebut dengan fugitive disentitlement doctrine atau doktrin pencabutan hak buronan. Doktrin ini secara garis besar menyatakan bahwa seseorang yang didakwa dalam kasus pidana dapat melakukan perlawanan terhadap penyitaan perdata (NCB asset forfeiture) atas harta bendanya hanya apabila ia menyerahkan dirinya untuk menghadapi dakwaan pidana. 41 Disini pemilik harta diberikan kesempatan bisa kembali menjadi warga Negara, akan tetapi diwajibkan untuk mengikuti sidang atas harta kekayaannya. Sebelum berlakunya 18 USC $ 981 (K) bank-bank asing dilindungi oleh undang-undang penyitaan di Amerika Serikat sebagai “innocent owner” atau pemilik yang tidak bersalah sehingga pemerintah Amerika Serikat tidak dapat melakukan penyitaan terhadap dana dalam rekening koresponden milik bank asing tersebut. Adanya perlindungan ini menjadi rekening
40 41
Ibid, hlm. 126-127 Ibid, 127-128
koreponden bank asing di Amerika Serikat sering disalahgunakan oleh pelaku kejahatan untuk menyimpan uang hasil kejahatannya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut pemerintah Amerika Serikat memberlakukan 18 USC $ 981 (k) dimana dengan menunjukkan bukti-bukti yang akurat dan kuat, pemerintah dapat melakukan penyitaan langsung terhadap sejumlah yang dituntut. Ketentuan ini juga kemudian menghilangkan hak bank asing untuk mengajukan keberatan atas penyitaan yang dilakukan karena hanya pemilik rekening yang dapat mengajukan keberatan ke pengadilan. Bank asing tersebut hanya mempunyai hak untuk mendebit sejumlah uang yang disita dari rekening responden sebagai pengganti dana yang telah disita pemerintah Amerika Serikat dari rekening korespondennya.42 Adanya berbagai perubahan pada konsep NCB asset forfeiture ini pada gilirannya membawa perubahan positif bagi penyitaan dan pengembalian asset di Amerika Serikat pada tahun 2006. Amerika Serikat berhasil mengambil alih asset-asset yang berasal atau berhubungan dengan sebuah tindak pidana sebesar 1,2 miliar Dollar AS. Departemen Kehakiman Amerika Serikat bahkan memperhatikan jumlah asset yang akan diambil-alih di tahun 2007 akan meningkatkan jumlahanya menjadi 1,6 milliar dollar AS. Di Amerika Serikat ada dua opsi dalam penanganan awal kasus asset forfeiture. Opsi Pertama mendapatkan surat penyitaan dari hakim, sesuai dengan ketentuan yang diataur dalam 8 USC §981 (b), atau opsi Kedua, yaitu menunggu sampai kasus tersebut diajukan dan kemudian mendapat surat penangkapan in rem dari pengadilan. Contoh kasus dan penerapan dalam praktik perampasan asset menurut NCB di Amerika Serikat bisa dilihat dalam perkara United States of Amerika Serikat, plaintif-appelllee V. one 1985 Mercedes, defendant and kenneh Robert Glen, Intervenor-Appellant. No 88-2490, perkara United States of Amerika, plaintif V. one silicon Valley bank Account, 3300355711, in the Ammont of one Hundred thirteen thousand Nice Hundred fity-two and 62/100 Dollars ($113,952,62). Defendat, united states of America, plaintif, V.kristika L.kotlarz Watson, a/k/a “kris kotlarz” and paul Nathan wrigth, a/k/a “Jacob might”, “p.nathan wright”, “nate wirght”. Defendanst, Nos. 1:05-CV-295, 1:06-CR-290, 31 March 2008 dan perkara pemohon Ursery sebagai pemohon vs USD 405,089,23.43
42 43
Ibid, hlm. 130 Ibid, 130-138
Perkara United States of Amerika Serikat, plaintif-appelllee V. one 1985 Mercedes, defendant and kenneh Robert Glen, Intervenor-Appellant. No 88-2490, dimulai 16 Agustus 1989 dan diputuskan pada tanggal 25 Oktober 1990. Adapun posisi kasusnya ialah:44 a.
b.
c.
d.
e.
Perkara United States, plaintif-appelllee V. one 1985 Mercedes, defendant and Kenneth Robert Glen, Intervenor-Appellant. No 88-2490 dilatarbelakangi ditangkapnya pelaku Kenneth Robert Glenn pada bulan April 1989 oleh agen FBI ketika Kenneth Robert Glenn keluar dari mobilnya Mercedesnya. Agen FBI tersebut menggeledah Glend dan menemukan sejumlah kokain senilai $57.00 didalam dompetnya. Kemudian agen FBI menyita mobil Mercedes milik Glen berdasarkan 21 U.S.c § 782. Pada bulan Juli 1986, pemerintah mengajukan gugatan perdata ke pengadilan Negeri AS di Distrik Utara California guna merampas mobil Mercedes milik Glen yang bernilai sekitar $45.000. Dalam berkas perkara pidana, Glen diadili dan didakwa di Rhode Island atas tuntutan yang mengarah kepada penahanan dirinya. Pada bulan September 1987, the United states court of Appeals for the first circuit menjatuhkan vonis terhadap Glenn dan memerintah dakwaan atas dirinya dihilangkan atas prasangka. Lihat United States v. Glenn, 828 F.2d 855 (1st Cir. 1987). Akan tetapi, pemerintah tetap mengupayakan perampasan atas kendaraan Mercedes milik Glenn meski adanya penolakan. Setalah pembatasan tuntutan pidanaya, Glenn mengajukan serangkaian pertanyaan kepada pemerintah mengenai perampasan asset. Introgasi tersebut bertujuan mendapatkan informasi mengenai kebijakan telah diformulasikan oleh aparat penegak hukum federal untuk memandu penetuan perampasan yang akan mereka lakukan. Secara spesifik, Glenn meminta keterangan mengenai (1) kebijakan yang mengatur penyitaan awal kendaraan untuk dirampas, (2) kebijakan mengenai disposisi poperti yang disita, (3) bagaimana kebijakan di Distrik Utara California dikelola untuk periode dua tahun, dan (4) kebijakan yang menggaris bawahi kondisi yang mengharuskan pengambilan property yang telah disita kepada pemilik-pemohon. Glenn menyatakan bahwa pemerintah telah gagal untuk merespon pertanyaannya meskipun faktanya telah mencoba mendapatkan voluntary compliance melalui discovery request permintaan temuan hingga beberapa kali. Pada tanggal 11 Januari 1988, pemerintah akhirnya melayangkan surat kepada Glenn dan menyatakan bahwa surat dari Glenn tidak berisikan pertanyaan, kemudian pemerintah meminta fotocopy dari surat tersebut, pada tanggal 14 Januari, pemerintah kembali mendapatkan fotocopy dari pertanyaan Glenn. Akan tetapi, pemerintah tidak membalas discovery request dari Glenn, namun mengajukannya untuk mendapatkan pertimbangan hukum (summary judgement), “pengadilan negeri” memutuskan bahwa Glenn gagal untuk menujukkan bukti materil karena pertimbangannya tidak mengutip otoritas untuk dalil proposisi yang dibuat Glenn, atau dalam bahasa hukumnya “hak konstitusional untuk meminta pemerintah bertindak secara konstitusi dalam pelaksanaan diskresi penuntutan” (prosecutorial discretion). Contoh kasus berikutnya ialah perkara United States of Amerika, plaintif V. one silicon
Valley bank Account, 3300355711, in the Ammont of one Hundred thirteen thousand nice hundred fity-two and 62/100 Dollars ($113,952,62).defendat, United States of America, plaintif, 44
Ibid, hlm. 130-132
V.kristika L.kotlarz Watson, a/k/a “kris kotlarz” and paul Nathan wrigth, a/k/a “Jacob might”, “p.nathan wright”, “nate wirght”. Defendanst, Nos. 1:05-CV-295, 1:06-CR-290, 31 March 2008. Adapun posisi kasusnya sebagai berikut:45 a.
b.
c.
d.
e.
f.
Kasus berawal dari pengoperasian cyberNET. Cybernet sendiri terdiri dari beberapa anak perusahaan termasuk juga cybernet engineering, cyberco holding dan cybernet. Untuk selanjutnya seluruh perusahaan tersebut disebut sebagai cyberNET. Cybernet membeli atau menyewa kantor serta peralatanya dan perlengkapan komputer dari perusahaan shell fiktif. Para pemasok fiktif adalah Teleservice Group (“teleservice”), T-Resource, dan corporate property associates, cybernet memporoleh pembiayaan dari beberapa pemberi pinjaman untuk menyewa atau membeli peralatan dari perusahaan shell fiktif. Pemberi pinjaman akan membayar pemasok fiktif untuk peralatan kantor atau peralatan komputer, tetapi pemasok, fiktif tidak benar-benar memberikan peralatan kantor atau peralatan komputer untuk cybernet setelah proses sewa atau pembelian terlaksana, dana dari pemberian pinjaman yang diberikan kepada pemasok fiktif akan dialihkan ke cybernet. Para pemimpin cybernet membentuk sistem yang rumit seperti nomor telpon palsu, alamat surat palsu, fakta palsu, dan bahkan pusat data untuk membuat seluruh transaksi tampak sah. Hasil dari penipuan kemudian digunakan untuk memperkaya secara pribadi pimpinan cybernet dalam kurun waktu 2002-2004 dan menghasilkan lebih dari $100.000.000 secara illegal. Pada bulan November 2004, FBI dan IRS menyita sekitar $4.000.000 dari asset cybernet berdasarkan serangkaian surat perintah. FBI dan IRS awalnya berusaha untuk mencari cara secara administratif terhadap asset yang disita, namun beberapa lembaga keuangan yang telah meminjamkan uang untuk cybernet mengajukan klaim kepemilikan yang sebenarnya, sehingga FBI dan IRS tidak dapat melanjutkan dengan penyitaan admintrasi terhadap asset tersebut. Sebagai konsekuensi dari pengajuan oleh lembaga keuangan, Amerika Serikat mengkalim hanya bisa berusaha untuk menyita asset yang disita melalui pengajuan gugatan penyitaan perdata atau pidana. 18.U.C.§ 983 (a) (3). Pada bulan juni 2005 ketika Amerika Serikat dihadapkan dengan keputusan ini, kantor Jaksa Amerika Serikat belum siap untuk mengajukan dakwaan kriminal yang mencakup jumlah penyitaan terhadap individu yang bertanggung jawab untuk cybernet. Pada tanggal 21 April 2005, pemerintah mengajukan permohonan perampasan asset tanpa tuntutan pidana (in rem) di Amerika Serikat melawan rekening Silicon Valley Bank Nomor 3300355711. Pemerintah mencari cara dengan melakukan penyitaan perdata berdasarkan 18 USC.§ 981 (a) (1) (A), (a) (1) (C) dan 28 USC § 2461. Pada tanggal 20 juni 2005, Bank Midwest NA (“Bank Midwest”) mengajukan pernyataan verifled interest and right. Pada tanggal 24 juni 2005. Solarcom Inc (“Solarcom”) mengajukan pernyataan “verified interest and right”. 15 November 2006, Bank Midwest dan Solarcom bersama-sama mengajukan summary judgment pada saat sebelum peradilan dimulai. Bank Midwest dan solarcom berpendapat bahwa berdasarkan 950 18 USC§983 (d)(1), mereka adalah pemilik yang tidak bersalah atas dana dalam rekening Bank Sillicon Valley sebesar $113.440.23 dalam proses contructive of a trust. Kasus ini adalah perampasan perdata in rem terhadap $113.952.62 dalam rekening Bank Silicon Valley. Sedangkan Bank Midwest dan solarcom berpendapat bahwa mereka 45
Ibid, hlm. 134-137
g. h.
i.
j.
adalah beneficiary of a constructive sebesar $113.440.23, hal tersebut dari selisih antara saldo rekening yang ditransfer ke rekening Bank silicon Valley. Dana dalam rekening Silicon Valley Bank dibuat atas nama Teleservices. Transaksi diantara teleservices dana cybernet adalah penipuan (froud), karena tidak ada peralatan komputer yang diberikan kepada cybernet oleh teleservices. Meskipun rekening Silicon Valley berpusat di California, lokasi Bank Midwest dan Solarcom bertempat di Missouri dan Georgia, namun pusat dari semua interaksi ini adalah cybernet, yang di operasikan dari Michiga. Dengan demikian, menerapkan §6 dan §145 dengan cara restatement, bagaimana Bank Midwest dan solarcom adalah beneficiary of a constructive trus, itu semua diatur oleh hukum Michigan dan dibawah hukum Michigan” constructive trust is strictly not a trust at all, but merely a remedy administered in certain fraudulent breaches of trust” Kesimpulannya adalah hukum yang berlaku adalah hukum di Michigan, Bank Midwest and Solarcom adalah bukan “beneficiary of a contructive trust” Pada tanggal 21 November 2006 pemerintah bergerak untuk tetap melanjutkan semua proses penyitaan perdata dan mengizinkan pemerintah untuk melakukan penyelidikan kriminal yang terkait. Pada tanggal 30 November 2006, majelis hakim mendakwa Krista I. Kotlarz Watson, Gerladin Watson, dan Paul Nathan Wright. Pada tanggal 25 Januari 2007, pemerintah melakukan pembatalan untuk summary judgment sebagaimana telah diajukan oleh Bank Midwest dan Solarcom. Pada tanggal 26 Februari 2007, Geraldin Watson mengaku bersalah untuk pembuktian pernyataan palsu ke firearms dealer. Tanggal 5 Juni 2007, pengadilan menjatuhkan hukuman kepada Geraldine Watson selama 2 tahun masa percobaan dan penyitaan uang sebesar $100.000.000 dan biaya khusus lainnya $100. Pada tanggal 31 Agustus 2007, Krista I. Kotlarz Watson mengaku bersalah telah berkonspirasi melakukaan fround, mail fround dan money laundering dan pengelolaan pajak (tax evasion). Terakhir, Pada tanggal 11 Desember 2007, pengadilan menjatuhkan pidana kepada Krista I.Kotlarz Watson hingga 60 bulan untuk dakwaan konspirasi dan 24 bulan untuk penggelapan pajak dan memutuskan pengembalian ganti rugi sebesar $72,872,719,74. Serta penyitaan uang yang telah berkembang sebesar $100.000.000 dan biaya khusus lainnya sebesar $200. Kasus terakhir yang menjadi contoh pengembalian asset dengan menggunakan NCB asset
forfeiture yaitu kasus pemohon Ursery sebagai pemohon vs USD 405,089,23. Adapun posisi kasusnya sebagai berikut: MA USA berpendapat tanggal 17 April 1996 dimana putusan akhirnya tanggal 24 Juni 1996. Pemerintah melakukan penyitaan terhadap property yang diduga untuk memproduksi marijuana (ganja) dan selanjutnya melakukan penunutan pidana. Terdakwa dinyatakan bersalah memproduksi marijuana di pengadilan negeri US di wilayah timur Michigan dan terhadap hal tersebut yang bersangkutan mengajukan banding. Namun dibatalkan dengan alasan ne bis in idem. Pemerintah mulai memproses secara terpisah property terdakwa yang telah didakwa dengan permufakatan jahat narkoba dan pencucian uang. “Pengadilan Negeri” A. Wallace Tashima, diberikan summary judgment/ringkasan penilaian untuk pemerintah. Pengadilan Banding membatalkan, karena menemukan adanya ne bis in idem. Hakim Mahkamah
Agung. Chief Justice Rehnquist, berpendapat bahwa civil in rem forfeiture bukan merupakan “hukuman” untuk tujuan klausula ne bis in idem.46
2)
Irlandia Irlandia memilki sistem hukum yang maju dalam persoalan perampasan harta kekayaan
dari hasil tindak pidana. Hal itu termasuk sistem perampasan dengan ketentuan pidana maupun NCB asset forfeiture. Irlandia mengatur mengenai perintah perampasan asset hasil tindak pidana terhadap orang-orang yang dihukum karena perdangangan obat-obat terlarang dan kejahatan serius lainnya dalam the Criminal Justice Act 1994. Undang-undang ini mengandung sejumlah ketentuan dan merupakan alat yang kuat untuk memerangi tindak pidana. Dalam perkembangannya, muncul tekanan politik yang meminta untuk diundangkannya ketentuan lain yang lebih ambisius untuk menghadapi perdaganan obat-obat terlarang dan kejahatan terorganiasi serta munculnya pembunuhan kelas kakap. Peraturan perundang-undanagan yang diundangkan kemudian mencakup the criminal Asset Bureau Act 1996 dan proceds of crime Act 1996. Paket perundang-undangan tersebut mengatur hal-hal sebagai berikut:47 a. b. c. d.
Penciptaan NCB asset forfeiture model. Pendirian lembaga independen dengan menggunakan konsep multi-disiplin, dibebani dengan tanggung jawab untuk mengejar dan merampas hasil tindak pidana. Penggunaan the Tax Code dalam pengumpulan hasil-hasil tindak pidana; Ketentuan khusus yang mengizinkan penyampaian informasi rahasia. The proceeds of crime menerapkan konsep hukum perdata atas harta kekayaan dari hasil
tindak pidana. Dalam hal ini, apabila the Criminal Asset Bureau dapat meyakinkan dengan kesimbangan probabilitas bahwa harta kekayaan tertentu adalah hasil tindak pidana. Pengadilan akan mengeluarkan putusan sela atas harta kekayaan tersebut untuk mencegah siapa pun memindahkan harta kekayaan tersebut untuk mencegah siapa pun memindahkan harta kekayaan tersebut. Beberapa karakteristik khusus dari the proceeds of crime Act terkait dengan NCB asset forfeiture antara lain sebagai berikut:48 a. b.
Undang-undang tersebut berlaku atas property yang bernilai tidak kurang dari $ 16.700 dollar yang secara langsung maupun tidak langsung merupakan hasil tindak pidana. Undang-undang tersebut merupakan upaya hukum perdata berdasarkan prosedur hukum perdata di pengadilan tinggi.
46
Ibid, hlm. 138 Ibid, hlm, 141-142 48 Ibid, hlm. 142-143 47
c.
d.
e.
f.
g. h.
i.
Pengadilan tinggi dapat mengeluarkan perintah ex parte interim dan suatu harta kekayaan berdasarkan permohonan dari anggota the national police service dengan pangkat tidak lebih rendah dari chef superintendent. Pengadilan dapat mengeluarkan putusan sela atas permohonan dari pihak-pihak yang berkepentingan dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari jika muncul dalam persidangan pengadilan bahwa asset baik secara langsung maupun tidak langsung merupakan hasil tindak pidana dan pemberitahuan telah diberikan. Pengadilan diberikan kewenangan untuk mengubah perintah (order) untuk tujuan pelepasan dana-dana untuk biaya hidup, biaya hukum, dan bisnis. Namun demikian, permohonan untuk pelepasan dana-dana untuk tujuan-tujuan tersebut sebab pemohonan harus meyakinkan pengadilan bahwa pengubahan atas perintah pengadilan tersebut sangat penting. Undang-undang juga mengatur mengenai penunjukkan receiver untuk mengelola harta benda, untuk menjual dan sekaligus meyimpan hasil penjualan di bank untuk mendapatkan bunga sambil menunggu perintah pengadilan selanjutnya. Pada umumnya, receiver yang ditunjuk adalah seorang lawyer atau pegawai biro hukum. Undang-undang mengatur bahwa keyakinan seorang anggota the national police service bukan di bawah chief superintendent akan menjadi bukti. Pengadilan dapat mengeluarkan perintah yang memerintahkan responden untuk membuat mengenai pendapatannya selama enam tahun sebelumnya dan menjelaskan mengenai asset –assetnya. Pengadilan diberi kewenangan untuk mengeluarkan perintah terkait pemberian kompensasi kepada responden apabila terdapat suatu perintah pengadilan yang dibuat berdasarkan the criminal Assets Bureau Act 1996 dan proceds of crime Act 1996 apabila dirasakan tidak adil. Secara umum perbedaan antara perampasan pidana (criminal forefeiture) dengan NCB
asset forfeiture di Irlandia dapat diuraikan sebagai berikut:49 a. b.
c. d.
Perampasan pidana memerlukan suatu pemidanaan. Perampasan pidana bertindak in personam terhadap seorang pelaku tindak pidana sedangkan NCB asset forfeiture bertindak in rem atas property yang merupakan hasil tindak pidana. Perampasan pidana bekerja atas keuntungan sedangkan NCB asset forfeiture bekerja atas harta kekayaan Perampasan pidana timbul karena adanya suatu proses hukum pidana sedangkan NCB asset forfeiture bekerja sendiri dari proses hukum tersebut. Dalam perjalannya, penerapan NCB asset forfeiture berdasarkan the procedus of crime
ditentang oleh sejumlah responden (pihak-pihak yang terkena dampak perampasan asset) khususnya terkait dengan validitas konstitusional undang-undang tersebut dimana seharusnya NCB asset forfeiture
harus berdasarkan konvensi Eropa mengenai hak azasi manusia dan
kebebasan fundamental jika saja konvensi tersebut merupakan bagian dari peraturan domestik Irlandia. Hal ini sebagaimana terlihat dalam argument-argumen yang disampaikan oleh 49
Ibid, hlm. 143
responden pada kasus-kasus Gilligin v. Irlandia, Jaksa Agung. Biro asset kriminal dan putusan dari the supreme court terkait dengan penerapan NCB Asset Forfeiture antara lain sebagai berikut:50 a.
b.
c.
d.
e.
3)
The proceeds of crime Act (the Act) melanggar Pasal 38 dari Konstitusi, karena the Act merupakan prosedur pidana nama lain dan prosedur perdata yang diterapkan yang tidak menjamin perlindungan-perlindungan dalam proses hukum seperti asas praduga tidak bersalah, standar pembuktian pidana “beyond reasonable doubt” dan hak bagi jury untuk menggelar proses peradilan. Terkait dengan argument tersebut, the supreme court memutuskan bahwa prosedur perampasan adalah proses perdata bukan proses pidana. Tidak ada ketentuan untuk penangkapan atau penahanan seseorang, hukum penjara bagi seseorang karena tidak membayar denda, pemanggilan atau tuduhan untuk dimulainya suatu bentuk pengadilan pidana. Perampasan bukan merupakan hukuman dan pelaksanaanya tidak memerlukan prosedur –prosedur pidana dengan demikian, perlindungan berdasarkan Pasal 38 Konstitusi tidak berlaku karena proses hukum perampasan bersifat perdata dan bukan pidana. The Act merupakan sebuah pembalikan beban pembuktian yang standar. The supreme court memutuskan bahwa pembalikan beban pembuktian hanya berlaku setelah pengadilan menentukan isu-isu tertentu telah dipastikan. The Act dalam pelaksanaanya melanggar hak milik pribadi. Terkait dengan argument tersebut, the supreme court memutuskan bahwa the Act menetapkan berbagai denda yang berat dan berjangkauan luas serta perampasan, namun hal ini langsung berkaitan dengan pembuktian secara memuaskan bagi pengadilan bahwa kekayaan yang berat dan berjangkauan luas serta perampasan namun hal ini langsung berkaitan dengan pembuktian secara memuaskan bagi pengadilan bahwa kekayaan yang bersangkutan secara langsung maupun tidak langsung berasal dari tindak pidana. Negara memilki kepentingan yang sah dalam perampasan hasil tindak pidana. The Act melanggar Pasal 15 (5) dari kontribusi karena berlaku mundur. Terkait dengan argument tersebut, the supreme court memutuskan bahwa akuisisi asset yang diperoleh dari tindak pidana adalah kegiatan illegal sebelum adanya the Act dan tidak menjadi kegiatan illegal karena the Act. Perintah pembekuan tidak boleh melanggar prinsip “comity of sistym‟. Prinsip ini menyatakan bahwa sebuah Negara tidak akan bertindak yang secara jelas melanggar kedaulatan Negara lainnya. Terkait dengan hal tersebut, the supreme court memutuskan bahwa tidak ada pelanggaran “comity of sistym” karena perintah pembekuan berlaku in personam. Swiss Swiss menerapkan secara baik perampasan asset tanpa tuntutan pidana (NCB) maupun
perampasan asset dengan pemidanaan. Hal tersebut di atur dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 12 the Criminal Code of Switzeland dan prosedur yang digunakan dalam kedua mekanisme perampasan asset. Pasal 70 ayat (1) the Criminal Code of Switzeland mengatur bahwa hakim 50
Ibid, hlm. 143-145
akan memerintahkan perampasan asset yang dihasilkan dari tindak pidana atau yang dimaksudkan untuk membujuk atau memberi hadiah kepada pelaku tindak pidana dengan ketentuan bahwa harta yang dirampas tersebut tidak harus dikembalikan kepada pihak yang dirugikan dalam rangka memulihkan hak-haknya. Dengan demikian perampasan terjadi tanpa adanya pemidanaan. Swiss menerapkan standar pembuktian kriminal dalam semua kasus-kasus perampasan asset. Hal ini berbeda dengan penerapan pembuktian di Negara-Negara common law yang cendrung lebih menerapkan metode standar pembuktian civil balance probalities.51 Sebelum dilakukannya perampasan asset, proses penuntutan harus membuktikan terlebih dahulu bahwa telah terjadi tindak pidana dan bahwa asset merupakan hasil tindak pidana. Dalam hal ini, asset diartikan secara luas yaitu dapat berupa objek atau nilai atau setiap keuntungan ekonomis yang dapat diprediksi baik berupa kenaikan asset ataupun penurunan hutang. Seluruh asset yang diperoleh dari hasil tindak pidana sepanjang tercantum dalam the Criminal Code of Switzeland dan perundang-undangan lainnya dapat dirampas. Asset tersebut harus merupakan hasil langsung dari tindak pidana atau asset yang telah dibeli dari hasil tindak pidana. Untuk melakukan perampasan asset, the Swiss Criminal Justice Authority harus memiliki kewenagan yurisdiksi dalam menuntut suatu tindak pidana, kecuali atas harta kekayaan dari hasil tindak pidana narkotika. Yurisdiksi the Swiss Criminal Justice Authority ditentukan ketika tindak pidana dilakukan sebagian atau seluruhanya di wilayah territorial Swiss atau apabila tindak pidana atau korban merupakan warga Negara Swiss. Perampasan asset tersebut merupakan standar in rem dan oleh karena perampasan asset dapat dilakukan tanpa mempertimbangan pemilik asset sebenarnya sekalipun pemilik asset tidak terlibat dalam tindak pidana.52 Dalam hal asset telah dialihkan kepada pihak ketiga, dapat dikenakan perampasan atau diperintahkan untuk membayar sejumlah kompensasi kecuali apabila pihak ketiga tersebut memproleh assetnya tanpa mengetahui fakta-fakta yang dapat menjustifikasi perampasan asset tersebut atau selama pihak ketiga telah membayar nilai yang cukup. Tidak ada NCB asset forfeiture berdasarkan hukum perdata dimana penuntutan akan bertindak seperti warga sipil dan menyatakan klaim atau gugatan atas suatu asset. Untuk dilakukannya NCB Asset forfeiture wajib memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana diatur dalam the Criminal Code of Switzeland. Sistem perampasan pidana di Swiss tidak memerlukan sebuah pemidanaan untuk merampas
51 52
Ibid, hlm. 139 Ibid, hlm. 139-140
hasil-hasil kejahatan. Demikian pula, otoritas yang berwenang di Swiss tidak mensyaratkan adanya pemidanaan untuk membantu pihak asing. Terkait dengan kerja sama internasional dalam perkara pidana tetapi harus berpedoman pada prinsip timbal balik, kriminalitas ganda, spesialitas dan proporsionalitas dalam pemenuhan setiap permintaan Mutual Legal Assistance (MLA). Dalam pelaksanaanya, operasional MLA mengacu pada tiga rezim, yaitu konvensi internasional, perjanjian bilateral, dan hukum nasional. Prosedur MLA untuk NCB non conviction diatur dalam the Federal Act on International Mutual Assistance in Criminal Matters (IMAC53).54 Atas permintaan dari otoritas asing dapat menyerahkan atau mengembalikan asset yang disita kepada pihak ketiga yang berhak dalam rangka pelaksanaan putusan pengadilan asing. Asset yang dapat diserahkan adalah asset-asset dari hasil tindak pidana, nilai penggantian atas asset-asset atau asset-asset yang memberikan kontribusi dalam tindak pidana yang dilakukan. Dalam hal ini tidak ada persyaratan bahwa untuk pengambilan asset, pemilik asset tersebut akhirnya dipidana di Negara yang meminta bantuan atau dimanapun. Suatu harta kekayan dapat disita di Swiss apabila memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: 55 a. b. c.
d.
Korban bertempat tinggal di Swiss dan asset harus dikembalikan kepada korban. Suatu otoritas menyatakan haknya atas asset tersebut. Seorang yang tidak terlibat dalam tindak pidana dan gugatannya tidak dijamin oleh Negara yang meminta menunjukkan bahwa orang tersebut telah memperoleh hak atas asset tersebut dengan itikad baik di Swiss atau jika orang tersebut tinggal di Swiss atau di Negara asing. Apabila asset yang diperlukan, tetapi asset tersebut dalam dalam proses peradilan yang sedang berlangsung di Swiss, maka asset tersebut tunduk pada perampasan di Swiss. Dalam sistem perampasan menurut hukum pidana Swiss tidak memerlukan adanya
penuntutan terlebih dahulu untuk menyita hasil tindak pidana. Swiss tidak mensyratkan adanya penuntutan kepada Negara asing yang meminta MLA dalam rangka merampas asset yang berada di Swiss. Namun demikian kerja sama yuridis terkait dengan hukum pidana hanya dapat diberikan kepada Negara peminta yang sedang menangani prosedur pidana. Hal ini tidak berarti harus ada putusan terlebih dahulu, namun minimal telah ada prosess investigasi kriminal yang sedang berlangsung. Kerjasama yuridis terkait hukum pidana tidak dapat digunakan untuk kasuskasus perdata.56
53
IMAC otoritas yang berwenang di Negara Swiss dalam rangka perampasan asset. Ibid, hlm. 140 55 Ibid, hlm. 140 56 Ibid, hlm. 141 54
4)
Perampasan asset menurut UNCAC (United Nation Convention Anti-Corruption) Pada sidang majelis umum, PBB menerima dan mengesahkan UNCAC melalui konferensi
tingkat tinggi tanggal 9-11 Desember 2013 di Merida, Meksiko. Berdasarkan Resolusi Nomor 57/169 tentang United Nation on Drugs and Crime (UNDOC) tercatat ada 140 Negara telah menandatangani konvensi, dan 159 di antaranya telah meratifikasi pada hukum positif yang berlaku di masing-masing Negara. Secara terpisah, mantan sekretaris jendral PBB, Kofi Annan, mengungkapkan kebahagiannya terhadap pengesahan UNCAC, karena UNCAC mengirimkan pesan yang jelas bahwa masyarakat internasional sungguh-sungguh bertekad untuk mencegah dan mengendalikan korupsi. Hal ini memberi peringatan kepada mereka yang melakukan korupsi bahwa, korupsi merupakan penghianatan terhadap kepercayaan masyarakat dan tidak akan lagi ditoleransi dan hal ini akan menegaskan kembali pentingnya mempertahankan dan menerapkan nilai-nilai inti seperti kejujuran, menghormati supremasi hukum, akuntabilitas, dan tranparansi dalam memajukan pembangunan menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik bagi semua. Salah satu mekanisme yang dapat dilakukan oleh Negara peserta adalah Negara berhak melakukan NCB asset forfeiture untuk merampas asset hasil korupsi (termasuk transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan) disemua yurisdiksi.57 Dalam hal pembekuan, penyitaan, dan perampasan asset hasil tidak pidana, UNCAC menyepakati agar setiap Negara pihak wajib mengambil:58 1.
2. 3.
Tindakan-tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan hukum nasionalnya guna memungkinkan perampasan atas: a. Hasil-hasil kejahatan yang berasal dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan sesuai dengan konvensi ini termasuk kekayaan yang diperoleh dari kejahatan tersebut; b. Kekayaan atau sarana lainnya yang digunakan atau digunakan untuk kejahatankejahatan yang dilakukan sesuai dengan konvensi ini. Tindakan-tindakan untuk memungkinkan dilakukannya identifikasi, pelacakan, pembekuan atau penyitaan barang apapun, dengan tujuan kemungkinan penyitaan. Sesuai dengan hukum nasional-nya, tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang dianggap perlu untuk mengatur administrasi oleh lembaga yang berwenang atas kekayaan yang telah dibekukan, disita atau dirampas berdasarkan konvensi. Apabila hasil-hasil kejahatan tersebut telah diubah atau dikonversi, sebagian atau
seluruhanya, kedalam kekayaan lain, maka kekayaan tersebut wajib dikenai tanggung jawab berupa tindakan-tindakan sebagai ganti dari hasil –hasil tersebut. Apabila hasil-hasil yang disita atau dirampas telah dicampurkan dengan kekayaan yang diperoleh dari sumber-sumber yang sah, 57 58
Ibid, hlm. 108-109 Ibid, hlm. 109
kekayaan tersebut wajib, tanpa mengabaikan kekuasan manapun yang berkaitan dengan pembekuan atau penyitaan, dikenai tanggungjawab terhadap perampasan sampai sejumlah yang terhitung dari hasil-hasil yang dicampurkan tersebut. Keuntungan atau manfaat lainnya yang berasal dari hasil-hasil kejahatan tersebut atau telah diubah atau dikonversi atau dari kekayaan dengan mana hasil-hasil kejahatan tersebut telah dicampurkan wajib juga dikenai tanggungjawab berupa
tindakan-tindakan
penyitaan
dan
perampasan.59
Negara–Negara
pihak
dapat
mempertimbangkan kemungkinan untuk mensyaratkan bahwa seorang pelaku memperlihatkan asal-usul yang sah dari hasil-hasil kejahatan yang disangka atau kekayaan lain yang dikenai tanggungjawab terhadap perampasan, sepanjang persyaratan tersebut sesuai dengan prinsipprinsip dasar hukum nasional dan dengan sifat proses pengadilan dan proses lainnya. Upaya pengambilan asset hasil korupsi dengan pendekatan NCB Asset forfeiture dapat diterapkan oleh baik oleh Negara yang menganut sistem common law maupun civil law. Dasarnya adalah Pasal 54 Ayat 1 huruf c UNCAC yang mengharuskan semua Negara pihak untuk mempertimbangkan mengambil tinddakan-tindakan yang dianggap perlu sehingga perampasan asset hasil korupsi dimungkinkan tanpa proses pidana dalam kasus-kasus di mana pelanggar tidak dapat dituntut dengan alasan kematian, pelarian atau tidak ditemukan atau dalam kasus-kasus yang lainnya.60 NCB asset forfeiture adalah alat penting untuk mengembalikan hasil korupsi, hal tersebut merupakan mekanisme hukum yang menyediakan kewenangan untuk pengadilan, penyitaan dan untuk perampasan asset tanpa harus menunggu tuduhan pidana. Pada dasarnya keberhasilan NCB asset forfeiture adalah ketika pelanggar telah meninggal, telah melarikan diri dari jeratan hukum atau kebal dari penyelidikan dan penuntutan atau juga terlalu kuat untuk diadili, namun Negara dapat mengambil kepemilikannya. Menyadari adanya permasalahan korupsi yang sangat berat dan
perlu
adanya
mekanisme
yang
harus
ditingkatkan,
komunikasi
internasional
memperkenalkan kerangka kerja yang baru, guna memudahkan penelurusan, pembekuan, perampasan, dan pememulihan asset illegal melalui praktik NCB Asset forfeiture. UNCAC pada tahun 2005 telah memperkenalkan kerangka kerja yang inovatif pada dua aspek. Pertama untuk referensi pemulihan asset illegal sebagai prioritas dalam perang melawan korupsi. Kedua¸
59 60
Ibid, hlm. 109-110 Ibid, hlm. 110
UNCAC juga menyediakan kerangka multilateral yang universal untuk bantuan hukum timbal balik dalam tindak pidana korupsi.61 Pengambalian asset dikenal sebagai suatu pokok yang mendasar pada UNCAC dan Negara pihak untuk dapat saling bekerja sama dan membantu selua-luasnya. Dalam hal ini agar dapat melaksanakan pokok tersebut, UNCAC menjabarkan mekanisme-mekanisme untuk asset recovery yang diperoleh secara tidak sah dan kerja sama internasional mengenai penelurusan, perampasan, dan pemulihan asset-asset yang dirampas, termasuk:62 1.
2.
3.
4.
Tata-laksana untuk memastikan bahwa lembaga-lembaga financial menaruh perhatian khusus kepada setiap kegiatan yang mencurigakan yang melibatkan rekening bank pribadi pejabat publik yang terkenal beserta para anggota keluarga dan dan orang-orang yang dekat dengannya. Prosedur yang mengizinkan turut sertanya Negara lain dalam proses pengadilan di Negara pihak lainnya. Mengizinkan Negara tersebut untuk memulihkan hasil tindak korupsi sebagai pihak penggugat yang bertindak sebagai pihak dalam proses peradilan perampasan, atau sebagai pihak korban untuk maksud restitusi beradasarkan perintah pengadilan. Undang-undang Negara setempat yang memungkinkan sebuah Negara untuk menerima perintah perampasan asing dan untuk membekukan dan menyita asset yang diperoleh dari korupsi di Negara asing melalui investigasinya sendiri. Melakukan langkah-langkah untuk mengizinkan adanya NCB asset forfeiture, terutama dalam hal tersangka mengalami kematian, melarikan diri atau hal-hal lainnya. UNCAC memperkenalkan juga bagaimana melakukan model pembuktian yang berbeda
dengan pembuktian konvensional, yaitu dengan pembuktian terbalik. Model beban pembuktian terbaik dalam Pasal 31 ayat 8 konvensi PBB anti-korupsi telah dilengkapi dengan model penyitaan/perampasan asset harta kekayaan melalui jalur non-pidana atau tanpa penuntutan melainkan dengan cara keperdataan atau civil based yang dicantumkan dalam Pasal 54 Ayat (1) huruf c. Kedua model pembuktian tersebut di khususkan untuk pengembalian asset yang berasal dari tindakan pidana korupsi. Dimana model pembuktian terbalim merupakan perkembangan hukum pidana abad ke-21 dan mencerminkan bahwa penyelesaian perkara pidana dengan hasil kejahatannya, bukan semata monopoli hukum pidana an sich, melainkan dapat digunakan melalaui cara penuntutan keperdataan.63 Konvensi PBB anti-korupsi tahun 2013 membedakan dua bentuk penyetiaan, yaitu (a) penyitaan terhadap hasil tindak pidana, dan (b) penyitaan terhadap sarana untuk melakukan
61
Ibid, hlm. 111 Ibid 63 Ibid, hlm. 116 62
tindak pidana termasuk harta benda, perlengkapan atau sarana lainnya. Kebijakan penyitaan (perampasan) sesuai dengan huruf (a) adalah objective confiscation; dan value confiscation, perbedaan kedua model perampasan ini berkaitan dengan object confiscation menimbulkan transfer harta kekayaan Negara; sedangkan value confiscation hanya kewajiban membayar sejumlah uang yang setara dengan “keuntungan yang seharusnya tidak dinikmati pelaku” (undue advantage) dari tindak pidana. Perbedaan lain, yaitu object confiscation membentuk hubungan erat antara tindak pidana dan harta kekayaan, sedangkan value confiscation semata-mata hanya didasarkan atas prinsip crime should not pray oleh karena itu, hanya berisikan perintah untuk membayar dari pengadilan atau setara dengan uang yang telah dinikmati tersangka/terdakwa. 64 Dalam kasus seperti itu, maka pemilik harta kekayaan di asumsikan sebagai pencuri harta kekayaan Negara sehingga Negara melalui pihak kejaksaan dapat melakukan perampasan harta kekayaan Negara dari pelaku yang menguasai melalui cara perampasan dengan dasar hukum keperdataan. Di Indonesia ketentuan mengenai cara pembalikan beban pembuktian dan perampasan asset korupsi ini telah dicantumkan dalam Pasal 37 c Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Model penuntutan perdata dalam Undang-undang tersebut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi dapat dilakukan oleh pihak kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Bidang Keperdataan dan Tata Usaha Negara. Untuk memperkuat pengambalian asset hasil korupsi melalui acara keperdataan, maka Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi untuk menampung implementasi ketentuan Pasal 37 ayat B dan pada Pasal 54 Ayat 1 huruf c konvensi PBB Antikorupsi.65 Sebagai instrumen internasional dalam upaya pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi yang semakin hari semakin bersifat multidimensi dan kompleksitas yang semakin rumit. UNCAC memberikan dasar/acuan pada Pasal 54 (1) yang mewajibkan semua pihak untuk mempertimbangkan perampasan hasil tindak kejahatan tanpa melalui pemidananan, dalam hal ini UNCAC tidak berfokus pada satu tradisi hukum yang berlaku ataupun memberi usulan bahwa perbedaan mendasar dapat menghambat pelaksanaanya. Diantara pedoman-pedoman (guidelines) yang ada terkait dari UNCAC yang dibuat oleh PBB, salah satunya adalah “Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative”. Secara singkat StAR initiative adalah program yang digagas oleh
64 65
Ibid, hlm. 117 Ibid, hlm. 116
bank dunia dan PBB yang menyediakan bantuan teknis dan dana untuk pelacakan serta pengembalian asset. Lebih lanjut secara substansi, PBB dan Bank Dunia menerbitkan sebua litelature yang ditujukan sebagai buku panduan atau pedoman (guideilines) yang disusun secara ilmiah dan berdasarkan penelitian–penelitian yang dilakukan secara kolaborasi dari bebarapa yang terkait dan memiliki kemampuan dalam masalah mekanisme asset recovery hasil kejahatan. Pedoman tersebut diberi judul stolen asset recovery: a good practices guide for non-convetion bassed asset forfeiture yang disusun Theodore dan Greenberg, Linda M. Samuel, Wingate grant, dan Larissa Gray.66 Pedoman disusun berdasarkan keahlian dan tim ahli yang telah melakukan profesionalnya terhadap perampasan asset pidana dan perampasan in rem atau keduanya setiap harinya. Secara metodologi literature pedoman ini memberikan pendekatan dalam bentuk 36 konsep utama (key concept), yang merupakan rekomendasi dari tim ahli yang telah melakukan penelaahan dan penelitian pada bidangnya masing-masing. Kunci-kunci konsep (keys concept) inilah yang menjadi dasar acuan dan petunjuk bagi Negara-Negara yang telah melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan pengembalian asset tindak pidana korupsi. Ketiga puluh konsep tersebut disusun dalam delapan section ti tle sebagai penggolongan ruang lingkup pengunaan konsepnya. Yaitu prime impretives (acuan utama) terdiri dari empat konsep kunci: dening Asset and ofenes subject NCB asset forfoiture (mendefenisikan aktiva dan pelanggaran berdasarkan perampasan asset tanpa putusan pidana) terdiri dari lima konsep kunci: measure for investigation and Evidentiary concepts (langkah-langkah untuk penyelidikan dan pengelolaan asset) terdiri dari tiga konsep kunci: procedural and Evidentiary Concepts (konsep prosedural dan pembuktian) terdiri dari lima konsep kunci: parties to proceedings and notice Requirements (para pihak yang dapat turut-serta dalam proses dan pengajuan persyaratan) terdiri dari lima konsep kunci: judgment proceedings (prosedur putusan) terdiri dari empat konsep kunci organizational considerations and asset management (beberapa pertimbangan terkait organisasi dan pengelolaan asset) terdiri dari empat konsep kunci: dan international cooperation and Asset recovery (kerjasama internasional dan pemulihan asset) terdiri dari enam konsep kunci.67 Menurut guideline StAR tersebut, tindakan perampasan asset adalah dimana pemerintah mengambil harta secara permanen dari pemiliknya, tanpa membayar kompensasi yang adil,
66 67
Ibid, hlm. 118 Ibid, hlm. 119-120
meskipun telah ada dan mengalami perkembangan dalam sistem asset maupun metodenya dalam beberapa tahun terakhir. Secara prinsip, guideline StAR memberikan tindakan perampasan dengan dua jenis perampasan. Pertama, perampasan in rem (tanpa tuntutan pidana) dan Kedua, perampasan pidana. Tujuannya sama, yaitu perampasan oleh Negara dari hasil kejahatan. Keduanya memiliki kesamaan dalam dua hal, Pertama, mereka yang melakukan kegiatan melanggar hukum seharusnya tidak diperbolehkan untuk mendapatkan keuntungan dari kejahatan mereka. Kedua, merupakan upaya efek jera terhadap siapa saja yang melanggar hukum. Tindakan perampasan dilakukan untuk memastikan bahwa asset tersebut tidak digunakan untuk tujuan kriminal lebih lanjut dan berfungsi sebagai pencegah secara konsepsi dalam perampasannya. Perampasan in rem merupakan upaya yang dilakukan untuk menutupi kelemahan dan bahkan kekurangannya yang terjadi dalam tindakan perampasan pidana terhadap upaya pemberantasan tindak pidana.68 Dalam membangun sebuah sistem perampasan, Guideline StAR menyatakan bahwa, yurisdiksi perlu mempertimbangkan apakah perampasan asset in rem dapat dimasukkan ke dalam hukum yang berlaku (lex genarlis)
atau dibuat Undang-undang yang terpisah (lex
specialis). Yurisdiksi juga perlu mempertimbangkan sejauh mana prosedur yang ada dapat dirujuk dan dimasukkan dan sejauh mana mereka harus membuat prosedur secara konsepsi. Guidelines StAR memberikan kunci-kunci dasar konsep dalam hal Negara-Negara melakukan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara khususnya dan tindak pidana lainnya yang dapat merugikan kekayaan Negara maupun perekonomian Negara pada umunya, kunci-kunci konsep tersebut adalah:69 1.
2.
3.
4.
Perampasan in rem (tanpa putusan pidana) seharusnya menjadi pengganti tuntutan pidana (non-conviction based Asset forfeiture should never be a substitute for criminal prosecution) Hubungan antara perkara dan perampasan asset in rem dan perampasan pidana apapun, termasuk penyelidikan yang tertunda, harus dijelaskan (the relationship between an NCB Asset forfeiture case anda any criminal proceeding, including a pending investigation, should be defined) Perampasan asset in rem harus tersedia bila tuntutan pidana tidak tersedia atau tidak berhasil (NCB asset forfeiture should be available when criminal prosecution is unsuccessful) Peraturan atas bukti dan prosedur yang berlaku harus diberikan secara jelas dan mendetail (applicable evidentiary and procedural rules should be as specific as possible) 68 69
Ibid, hlm. 120 Ibid, hlm. 120-125
5.
6. 7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Asset yang berasal dari pelanggaran kriminal dalam lingkup yang luas harus tunduk pada perampasan asset (in rem assets Derived from the widest range of criminal offenses should be subject to NCB Asset forfeiture) Kategori asset harus bersifat luas dan tunduk terhadap aturan perampasan (the broadest categories of assets should be subject to forfeiture). Defenisi asset dalam lingkungan perampasan harus diartikan luas untuk mencakup bentuk-bentuk nilai yang baru atau yang akan datang (the definition of assets subject to forfeiture should be brood enough to concompass new forms of value) Asset yang tercemar yang diperoleh sebelum berlakunya Undang-undang perampasan asset in rem dapat dilakukan perampasan terhadapnya (tainted Assets acquired prior to the enactment o an NCB Asset forfeiture law should be subject to forfeiture) Pemerintah harus memiliki kewenangan untuk menetapkan batas-batas dalam menentukan kebijakan sesuai dengan pedoman dalam tindakan perampasan (the government should have discretion to set appropriate thresholds and policy guidelines for forfeiture): Langkah-langkah pemerintah harus spesifik dalam tindakannya untuk melakukan penundaan penyelidikan dan pengelolaan asset harus ditentukan sebelum asset dirampas (the specifle measures the government may emplay to investigate and preserve Assets pending forfeiture should be designated) Langkah yang diambil dalam pananggulangan dan investigasi dapat dilakukan tanpa harus melakukan pemberitahuan kepada pemegang asset dan selama proses prajudikasi berjalan untuk mengadili kasus yang terkait terhadap tuntutan perampasan asset (preservation and investigative measures taken without notice to the Asset holder should be authorized when notice could prejudice the ability of the jurisdiction to prosecute the forfeiture case) Harus ada suatu mekanisme untuk mengubah perintah pengawasan, pemantauan dan pencarian bukti serta untuk mendapatkan apapun dan pihak yang berkuasa atau pemerintah atau permohonan peninjauan kembali dapat menempatkan tindakan merampas property di luar jangkauan pengadilan (there should be a mechanism to modify orders for preservation, monitoring, and production of evidence and to obtain a stay of any rulling advers to the government pending reconsideration or appeal of any order that could place forfeitable property beuond the reach of the court); Terhadap tuntutan, prosedur dan unsur persyaratan pemerintah harus diperjelas secara detail (the procedural and content reuqrements for both the government‟s application and the claimaint‟s response should be specified) Konsep dasar seperti standar (beban) dari penggunaan bukti dan pembuktian terbalik harus dijabarkan dengan undang-undang (fundamental concepts such as the standard (burden) of proof and use of rebuttable presumptions should be delineated by statute); Apabila pembelaan secara afirmatif digunakan, pembelaan untuk perampasan harus dijelaskan, demikian juga dengan elemen-elemen dari pembelaan tersebut dan beban bukti (wheare affirmative defenses are used, defenses to forfeiture should be specified, along with the elements of the thoses and the burden of proof); Pemerintah harus memberi kewenangan dalam hal pembuktian dengan berdasarkan atas dugaan dan laporan/aduan (the government should be authorized to offer proof by circumstantial evidence and hear say).
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26. 27.
28.
Memberlakukan Undang-undang tentang pembatasan (rekomendasi) yang harus dirancang untuk memungkinkan terlaksananya perampasan asset NCB secara maksimal (applicable statutes of limitations (perescription) should be drafted to permit maximum enforceability of NCB Asset forfeiture). Setiap orang yang memilki kepentingan hukum sebagai subjek property yang dirampas berhak mendapatkan pemberitahuan tentang proses pelaksanaanya (those with a potential legal interest in the property subject to forfeiture are entitled to notice o the proceding). Seorang jaksa atau lembaga pemerintah harus diberi wewenang untuk mengenali kreditur tanpa meminta mereka untuk mengajukan klaim formal (a prosecutor or government agency should be authorized to recorgnize secured creditors without requiring them to file formal claim). Seorang buronan yang menolak untuk kembali ke yurisdiksi untuk menghadapi tuntutan pidana yang telah ditetapkan seharusnya tidak diizinkan untuk menggunakan proses perampasan asset in rem (a fugitive who refuses to return to the jurisdiction to face outstanding criminal chargers should not be permitted to contest NCB Asset forfeiture proceedings). Pemerintah harus diberi wewenang untuk membatalkan transfer jika property telah ditransfer kepada orang dalam atau kepada siapa pun dengan pengetahuan yang mendasari tindakan illegal (the government should authorized to void transfer if property has been transferred to insiders or to anyone with knowledge of the underling illegal conduct). Penuntutan untuk melakukan klaim asset yang akan dirampas dapat digunakan untuk tujuan agar tersangka menerima tindakan perampasan atau untuk biaya hidup harus ditetapkan (the extent to which a claimant to forfeitable assets may use those Assets for purproses of contesting the forfeiture action or for living expenses should be specified). Pertimbangan otoritas yang memberikan penilaian keliru ketika tentang peryataan yang telah diberikan dan asset tersebut tetap tidak dapat diklaim dengan sendirinya (consider authorizing default judgment proceedings when proper notice has been given and the asset remain unclaiment). Pertimbangan tentang kemungkinan para pihak untuk menyetujui tindakan perampasan tanpa pengadilan dan kewenangan pengadilan untuk memasukkan perampasan ditetapkan dari putusan ketika para pihak setuju untuk menjalani prosedur tersebut (consider permitting the parties to consent to forfeiture without a trial and outhorizing the to enter a stipulated judgment of forfeiture when the parties agree to such procedure). Tentukan semua solusi yang tersedia, apabila pemerintah gagal melakukan atau menerapkan tuntutan/putusan perampasan (specify any remedies that are available to the claimant in the event the government fails to secure a judgment of forfeiture) Putusan akhir dari perampasan asset in rem harus dinyatakan secara tertulis (the final judgement of NCB asset forfeiture should be in writing) Menetapkan lembaga yang memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki dan menuntut hal perampasan (specify which agencies have jurisdiction to investigate and prosecute forfeiture matters). Pertimbangan tugas hakim dan jaksa dengan keahlian khusus atau pelatihan dalam perampasan untuk menangani kegagalan perampasan asset in rem (consider the assignment of judges and prosecutors with special expertise or training in forfeiture to handle NCB Asset forfeiture).
29.
30.
31.
32. 33. 34.
35. 36.
5)
Harus ada sistem untuk perancanan pra-penyitaan, pengelolaan dan mengakusisi asset secara cepat dan efisien (there should be a system for pre-seizure planning, maintaining, and disposing of Assets in a prompt and efficient manner). Menetapkan mekanisme untuk menjamin perkiraan, melanjutkan, dan pendanaan yang menandai untuk pengoperasian program perampasan agar efektif dan adanya batas campur tangan politik dalam kegiatan perampasan asset (establish mechanisms to ensure predictable, continued, and adequate financing for the operation of an effective forfeiture program and limit political interference in Asset forfeiture activities). Terminology yang benar-benar harus digunakan, terutama jika ada kerja sama internasional (corret terminology should be used, particularly when international cooperation is involved). Ekstrateritorial yurisdiksi harus diberikan ke pengadilan (extraterritorial jurisdiction should be granted to the courts). Negara-Negara harus memiliki kewenangan untuk menegakkan permohonan pihak luar (countries should have the authority to enforce foreign provisional orders) Negara-Negara harus memilki kewenangan untuk menegakkan permintaan perampasan dari pihak luar dan harus membuat undang-undang yang memaksimalkan terlaksananya putusan yang berada di luar negeri (countries should have the aouthority to enforce foreign forfeiture orders and should enact legislation that maximizes the enforceability of their judgments in foreign jurisdictions) Perampasan asset in rem harus digunakan untuk membalikkan harta kekayaan kepada korban (NCB Asset forfeiture should be used to restore propery to victims). Pemerintah harus diberi wewenang untuk berbagi asset atau mengembalikan asset guna untuk bekerja sama dalam yuriskdiksi (the government should be authorized to share Assets with or retruen Assets to cooperating). Perampasan asset menurut FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering on Mpney Laundering) Pada dasarnya FATF tidak memberikan panduan secara spesipik tentang tatacara
perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan. FATF hanya memberikan petunjuk mengenai pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan. Hal ini diatur di bagian pelaporan transaksi mencurigakan dan kepatuhan. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 15 dan Pasal 16 FATF yang menyatakan bahwa:70 1.
2.
Jika lembaga keuangan memiliki alasan terhadap tersangka atau memiliki alasan untuk mencurigai bahwa dana hasil aktivitas kriminal atau terkait dengan pendanaan teroris, itu harus diminta, secara langsung oleh hukum atau peraturan, untuk melaporkan segera kecurigaan kepada FIU.71 Lembaga keuangan, direktur, pejabat dan karyawan harus: a) Dilindungi oleh ketentuan hukum dari tanggungjawab pidana dan perdata untuk pelanggaran pembatasan pada pengungkapan informasi yang diberlakukan oleh 70 71
Ibid, hlm. 120-125 Pasal 15 Financial Action Task Force on Money Laundering on Mpney Laundering
b)
2.
kontrak atau oleh ketentuan, peraturan legislatif atau administratif, jika mereka melaporkan kecurigaan dengan itikad baik kepada FIU, bahkan jika mereka tidak tahu persis apa kegiatan kriminal yang mendasari dan terlepas dari apakah kegiatan illegal benar-benar terjadi. Dilarang oleh hukum mengungkapkan fakta bahwa laporan transaksi yang mencurigakan atau informasi terkait sedang dilaporkan kepada FIU.
Sistem peradilan perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang di Indonesia
a.
Pengertian sistem peradilan Kekuasaan lembaga peradilan yang independen merupakan pilar dari Negara hukum.
Kekuasaan lembaga peradilan yang independen dimaksudkan untuk tidak adanya campur tangan lembaga-lembaga diluar peradilan, terutama kekuasaan eksekutif dan yudikatif terhadap pelaksanaan fungsi peradilan. Namun demikian, koridor hukum berupa pengaturan undangundang bagi pelaksanaan fungsi peradilan perlu dilakukan agar dapat dicegah pelaksanaan kekuasaan lembaga peradilan yang tidak terbatas. Cerminan pembatasan pelaksanaan fungsi peradilan terlihat pada pengaturan kompetensi peradilan dan wilayah yuridiksi peradilan, yang dilakukan untuk epentingan perlindungan hak-hak terdakwa atau para pencari keadilan. Dalam konteks pembatasan tersebut diatas, A.V. Diecy kemudian menyatakan bahwa lembaga peradilan tidak memiliki posisi independen yang sempurna.72 Paradigma Negara hukum modern menurut Satjipto Rahardjo adalah Negara harus membagi-bagi dan memilah-milah tugasnya secara rasional pula, sehingga timbul pembagian kerja rasional. Rasionalisasi tersebut menghasilkan pembagian ke alam bagian tugas dan peran
72
hlm. 52
Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap Di Indonesia, Refika Aditama, Cetakan Pertama, bandung, 2007,
khusus, yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif. Alexis de Tocqueville memberikan tiga ciri bagi pelaksana kekuasaan lembaga peradilan yang independen. Pertama, kekuasaan lembaga peradilan di semua Negara merupakan pelaksanaan fungsi pengadilan, dimana lembaga peradilan hanya bekerja kalau ada pelanggaran hukum atau hak warga Negara tanpa ada satu kekuasaan lainnya dapat melakukan intervensi. Kedua, fungsi lembaga peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus pelanggaran hukum yang khusus. Ketiga, kekuasaan lembaga peradilan hanya berfungsi jika diperlukan dalam hal adanya sangketa yang diatur dalam hukum. Demikian juga halnya, jika hakim memutuskan adanya pelanggaran, maka ia dapat memutuskan hukuman denda bagi pelakunya.73 Independensi lembaga peradilan bukanlah sesuatu yang otomatis terjadi begitu saja, karena kekuasaan-kekuasaan diluar lembaga peradilan memiliki potensi mencampuri pelaksanaan fungsi lembaga peradilan. Hal itu bisa dilihat pada pemerintahan di Perancis sebelum revolusi Perancis 1789, di mana peradilan merupakan bagian dari kekuasaan absolut. Peradilan yang tidak independen sangat berbahaya, karena proses peradilan secara mudah akan dimanipulasi untuk mencegah lembaga peradilan mempertanyakan legalitas tindakan-tindakan illegal atau tidak semena-mena oleh para pelaksana kekuasaan Negara. Apabila ada kekuasaan lembaga peradilan yang independen, maka diyakini lembaga peradilan akan menjadi suatu mekanisme yang sangat kuat untuk mempertahankan konstitusi dan keadilan. Uraian tersebut tampak adanya korelasi antara fungsi lembaga peradilan dan proses demokratisasi, dimana pembentukan dan jaminan independensi kekuasaan lembaga peradilan seharusnya diciptakan secara aktif oleh para sarjana hukum dan para politisi sebagai keharusan, terutama bagi NegaraNegara yang sedang dalam tahap proses demokratisasi.74 Independensi lembaga peradilan dapat diuji melalui dua hal, Pertama, ketidakberpihakan (impartiality) dan Kedua, keterputusan relasi dengan para aktor politik (political insualarity). Imparsialitas hakim terlihat pada gagasan bahwa para hakim akan mendasarkan putusannya pada hukum dan fakta-fakta di persidangan, bukan atas dasar keterkaitan dengan salah satu pihak yang berperkara. Imparsialitas hakim memang bukan sesuatu yang mudah dideteksi, dimana hal itu hanya dapat dilacak dari prilakunya selama menjadi hakim vis-a-vis keterkaitannya dengan pihak berperkara dalam kontek hubungan sosial ataupun hubungan politik. Imprasialitas proses
73 74
Ibid, hlm. 53 Ibid
peradilan hanya dapat dilakukan jika hakim dapat melepaskan dari konflik kepentingan atau faktor semangat pertemanan (collegial) dengan pihak yang berperkara. Karenanya, hakim harus mengundurkan diri dari proses persidangan jika melihat adanya potensi imprasialitas. Dalam konteks sistem hukum Indonesia, hakim harus mengundurkan diri jika dirinya memiliki hubungan dengan salah satu pihak yang berperkara atau diperiksa di muka pengadilan. 75 Negeri Belanda, aspek administrasi kekuasaan lembaga peradilan dilaksanakan oleh kementrian kehakiman, sedang Mahkamah Agung memegang aspek teknis pelaksanaan peradilan. Keterlibatan menteri kehakiman terutama berkaitan dengan pengisian posisi hakim yang lowong, pengangkatan hakim bermasa kerja tertentu dan pegawai pengadilan. Pegawai pengadilan tersebut berkerja berdasarkan ketentuan yang dikeluarkan oleh menteri kehakiman. Pegawai pengadilan tersebut bertanggungjawab untuk tugas-tugas administrasi peradilan dan membuat catatan sidang. Sekalipun ada keterlibatan pemerintah dalam hal administrasi peradilan, independensi peradilan dijamin dalam konstitusi dan dilaksanakan secara konsisten. Meskipun demikian upaya membebaskan pemerintah dari mengelola urusan administrasi tetap dilakukan, yakni dibentuk badan khusus yang dinamakan “road voor de rechtspraak” yaitu badan semacam Komisi Yudisial di Indonesia. Jadi urusan administrasi tidak ditandatangani oleh lembaga peradilan (seperti di Indonesia). Komisi yudisial di Belanda adalah sebuah badan independen yang bertanggungjawab atas aspek-aspek administrasi, keuangan dan organisasi pengadilan termasuk menilai kinerja hakim. Untuk sementara, komisi ini hanya mengeola urusan keorganisasian, keadministrasian, dan keuangan pengadilan tingkat pertama dan banding, Mahkamah Agung (hoogrraad) tetap mengelola sendiri hal-hal yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan keuangannya. Sistem Belanda ini dikembangkan dengan 2 (dua) tujuan, Pertama, melepaskan hubungan keorganisaian, administrasi dan keuangan pengadilan dengan pemerintah. Kedua, pengalihan itu tidak boleh memberatkan pengadilan di luar urusan-urusan atau fungsi peradilan (fungsi yustisial). Menurut sistem Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kekuasaan lembaga peradilan merupakan salah satu badan penyelenggara Negara, di samping MPR, Presiden, DPR dan BPK. Sebagai badan penyelenggaraan Negara, susunan kekuasaan lembaga peradilan berbeda dengan susunan badan penyelenggaraan Negara lain. Kekuasaan lembaga peradilan terdiri dari kekuasaan lembaga peradilan tinggi dan kekuasaan lembaga 75
Ibid, hlm. 53-54
peradilan tingkat lebih rendah. Kekuasaan lembaga peradilan tertinggi dijalankan oleh MA yang bersama-sama badan penyelenggaraan Negara yang lain disebut “Lembaga Negara”. Kekuasaan kehakiman lainnya meskipun termasuk sebagai badan penyelenggaraan Negara, namun keberadaannya bukan termasuk atau tidak merupakan lembaga Negara. Pasal 24 (2) UUD 1945 menyatakan bahwa, Kekuasaaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang berada dibawahanya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.76 Asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka harus diterima sebagai salah satu sendi penyelenggaraan yang merdeka, sehingga asas ini selalu tercantum dalam berbagai Undangundang yang mengatur kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka tersebut tidak dapat dipisahkan dari asas bahwa Negara Indonesia adalah Negara berdasarkan konstitusi dan Negara berdasarkan atas hukum. Pemahaman tentang asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka tidak terlepas dari ajaran Montesquieu mengenai tujuan dan perlunnya “pemisahaan” kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksannya kebebasan politik (political liberty) anggota masyarakat Negara. Montesquieu mengatakan bahwa kebebasan politik adalah “atranquility of mind arising from the opinion each person has of his safety in order to have this liberty is requistie the government be so constituted as on man need not be afraid of another”. Kebebasan politik ditandai adanya rasa tentram, karena setiap orang merasa dijamin keamanannya atau keselamatannya. Untuk mewujudkan kebebasan politik tersebut maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa agar orang tidak merasa takut padannya, seperti halnya setiap orang tidak merasa takut terhadap orang lain di sekitarnya. Penataan badan Negara atau pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut, menurut Montesquieu dilakukan dengan cara memilah-milah badan pemerintahan kedalam berbagai cabang. Tanpa pemilahan itu, maka tidak akan ada kebebasan.77 Apabila kekuasaan lembaga pengadilan digabungkan dengan kekuasaan legislatif maka kehidupan dan kebebasan seeorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Pada lain pihak, jika kekuasaan lembaga peradilan bersatu dengan kekuasaan eksekutif, mungkin hakim akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Jadi, ditinjau dari
76 77
Ibid, hlm. 54-58 Ibid, hlm. 58
ajaran pemisahan kekuasaan Negara, kekusaan lembaga peradilan yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasaan dan mencegah kesewenang-wenangan. Menurut perkembangannya ajaran pemisahaan kekuasaan berbagai ajaran seperti ajaran pembagian kekuasaan (distribution of powers) menekankan pada pembagian fungsi dan bukan pada organ dan ajaran “checks and balances” yang menekankan mengenai pentingnya ada hubungan saling mengendalikan antara berbagai cabang penyelenggaraan Negara, tetapi asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka tetap dipertahankan. Modifikasi ajaran pemisahaan kekuasaan tidak dimaksudkan untuk menghilangkan esensi tujuan ajaran tersebut.78 Prinsip kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka tetap dipandang sebagai suatu pilar untuk mencegah penyelenggaraan Negara atau pemerintahaan secara sewenang-wenang dan menjamin kebebasan anggota masyarakat Negara. Bahkan dalam Negara-Negara yang bersistem pemerintahan parlementer, dimana terdapat fusi antara fungsi eksekutif dan legislatif. Kekuasaan kehakiman tetap berdiri sendiri terpisah dari kekuasaan eksekutif dan legislatif. Pemisahan ini telah pula diisi dengan dimensi-dimensi lain yang berkaitan dengan upya mencegah tindakan pemerintah yang sewenang-wenang dan menjamin kebebasaan sebagaimana dikehendaki Montesquieu. Menurut Hamilton, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka sangat esensial dalam kaitannya dengan pembatasan-pembatasan yang diatur dalam konstitusi. Hanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat mencegah pelanggaran atas pembatasan tersebut yaitu dengan cara menyatakan batal semua peraturan yang bertentangan dengan UUD. Tanpa kewenangan ini maka, berbagai hak yang dijamin atau hendak dilindungi berdasarkan konstitusi menjadi tidak berarti. Karena pembatasan yang diatur dalam UUD harus dipertahankan dengan cara memberi kewenangan kepada kekusaan lembaga peradilan untuk menyatakan batal peraturan yang bertentangan dengan UUD, maka pandangan Hamilton dapat pula dilihat dari sudut ajaran tentang hak menguji secara yustisial (yudicial review).79 Terkait dengan hak menguji secara yustisial (yudicial review), kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka diperlukan untuk memungkinkan hakim menguji peraturan undangundang atau tindakan pemerintah yang bertentangan dengan UUD atau peraturan perundangundangan lain secara berjenjang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau tindakan pemerintah yang diuji. Dimensi lain yang menuntut kehadiran kekuasaan lembaga
78 79
Ibid, hlm 58-59 Ibid, hlm. 59
peradilan yang merdeka adalah ajaran Negara berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat). Pemisahaan kekuasaan (machtenscheiding) atau pembagian kekuasaan (machtenverdeling) di antara badan-badan penyelenggara Negara merupakan salah satu ciri umum Negara berdasarkan ciri Negara hukum berdasarkan atas hukum (klassike rechtsstaat). Dalam rangka pemisahan atau pembagian kekuasaan tersebut, selalu pula ditegaskan mengenai kekuasaan kehakiman yang merdeka, seperti yang ditegaskan antara lain oleh Van Der Pot-Donner bahwa ahli-ahli lain tidak jarang menempatkan kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka sebagai ciri yang berdiri sendiri sebagai sebuah Negara yang berdasarkan atas hukum disamping ciri pemisahaan atau pembagian kekuasaan. M. Scheltema menyebutkan bahwa setiap Negara berdasarkan atas hukum mempunyai empat asas utama, yaitu:80 a. b. c. d.
Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel); Asas persamaan (het gelijkheidsbeginsel); Asas demokrasi (het democratischebeginsel); dan Asas bahwa pemerintahan dibentuk untuk melakukan pelayanan terhadap masyarakat (the beginsel van de dienende overhead, government for the people). Penyelesaian suatu sangketa hukum oleh suatu kekuasaan lembaga peradilan yang
merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintahan akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itulah kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka bebas memutus suatu perkara. Keterkaitan kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka dengan penyelenggaraan pemerintah. Fungsi kontrol ini berupa kewenangan kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka untuk menilai keabsahan secara hukum tindakan atau perbuatan penyelenggaraan pemerintaan. Menurut Bagir Manan, sistem UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasan (machtenscheiding) seperti dikehendaki Montesquieu, yang berlaku adalah pembagian kekuasaan (mechtenverdeling). Dalam ajaran pembagian kekuasaan, kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka tetap harus ditegakan baik sebagai asas dalam Negara berdasarkan atas hukum maupun untuk memungkinkan kekuasaan lembaga peradilan menjamin agar pemerintahan tidak terlaksana secara sewenang-wenang atau menindas. Dengan demikian kehadiran kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan atau pembagian kekuasaan, tetapi sebagai suatu “conditio sine qua non” bagi
80
Ibid, hlm. 59-60
terwujudnya Negara berdasarkan atas hukum, terjaminnya kebebasan, serta pengendalian atas jalannya pemerintah Negara.81 Pokok-pokok aturan yang menunjukan asas Negara berdasarkan atas hukum, pemberian jaminan kebebasan warga Negara dan pencegahan kemungkinan penyelenggaraan pemerintah secara sewenang-wenang, telah terdapat dalam UUD 1945. Dengan demikian kehadiran kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sitem UUD 1945, karena UUD 1945 hanya memuat asas-asas umum bagi kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka dan penegasanya hanya dimuat dalam undang-undang dibawahanya. Asas kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka menurut Bagir Manan terkandung 3 (tiga) unsur pengertian, Pertama, Kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka adalah kebebasaan dalam urusan peradilan atau kebebasan menyelenggarakan fungsi peradilan (fungsi yustisial). Kedua, Kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka mengandung makna larangan bagi kekuasaan ekstra yustisial mencampuri prores penyelenggaraan peradilan. Ketiga, Kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka diadakan dalam rangka terselenggarakan Negara berdasarkan atas hukum (de rechtsstaat).82 Kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka yang berwujud kebebasaan hakim dalam memutus
perkara tidaklah tanpa
resiko.
Menurut pandngan
Bagir
Manan dengan
mengatasnamakan kebebasaan, hakim dapat menyalahgunakan kekuasaannya dan bertindak sewenang-wenang. Untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan tersebut, harus diciptakan batasan-batasan tertentu tanpa mengorbankan prinsip kebebasan sebagai hakikat kekuasaan kehakiman. Pembatasan-pembatasan tersebut berlaku dalam bentuk, Pertama, hakim memutus menurut hukum. Kedua, hakim memutus semata-mata untuk memberi keadilan. Ketiga, dalam melaksanakan penafsiran, konstruksi atau menemukan hukum, hakim harus tetap berpegangan teguh pada asas-asas umum hukum (general principle of law) dan asas keadilan yang umum (the general principles of natural justice). Keempat, harus diciptakan suatu mekanisme yang memungkinkan kebebasannya.
menindak
hakim
yang
sewenang-wenang
atau
menyalahgunakan
83
Sebagaimana diketahui, Pengadilan adalah sebuah forum publik, resmi, dimana kekuasaan publik ditetapkan oleh otoritas hukum untuk menyelesaikan perselisihan dan 81
Ibid, hlm. 60-61 Ibid, hlm. 61 83 Ibid, hlm. 62-63 82
pencarian keadilan dalam permasalahan sipil, buruh, administratif dan kriminal di bawah hukum. Dalam Negara dengan sistem common law pengadilan merupakan cara utama untuk penyelesaian perselisihan dan umumnya dimengerti bahwa semua orang memiliki hak untuk membawa klaimnya ke pengadilan. Dan juga, pihak tertuduh kejahatan memiliki hak untuk meminta perlindungan di pengadilan.84 Sistem peradilan Indonesia dapat diartikan sebagai “suatu susunan yang teratur dan saling berhubungan, yang berkaitan dengan kegiatan pemeriksaan dan pemutusan perkara yang dilakukan oleh pengadilan, baik itu pengadilan yang berada di lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, maupun peradilan tata usaha Negara, yang didasari oleh pandangan, teori dan asas-asas di bidang peradilan yang berlaku di Indonesia”.85 Dalam kepustakaan sering disebut bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.86 Menurut Joan Miller, sistem peradilan pidana mulai dari pembentukan Undang-undang pidana di DPR sampai pada pembinaan narapidana hingga keluar dari lembaga pemasyarakatan. Andi Hamzah mengatakan hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.87 Sistem peradilan pidana disebut juga sebagai “Criminal Justice Process” yang dimulai dari penangkapan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan dimuka pengadilan serta di akhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan.88 Sistem peradilan pidana pertamakali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana dan para ahli hukum dalam “Criminal justice System” di Amerika Serikat sejalan dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja apartur penegak hukum dan institusi penegak hukum. Ketidakpuasaan ini terbukti dari meningkatnya kriminalitas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Pada masa itu pendekatan yang dipergunakan dalam penegakan hukum adalah hukum dan ketertiban (law and order approach) dan penegakan hukum dalam konteks pendekatan tersebut dikenal dengan istilah “law emporcement”. Istilah tersebut menunjukkan bahwa aspek hukum dan penanggulangan kejahatan dikedepankan dengan
84
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengadilan, 17/12/13 Jam 23.30 Wib http://annida.harid.web.id/?p=352, 17/12/13 Jam 23.50 Wib 86 Zulkarnain, Praktik Peradilan Pidana, Penerbit Setara Press, Malang, 2013, hlm. 3 87 Andi Hamzah, HukumAcara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 385
4
88
Romli Atmasmita, Sistem Peradilan Pidana, Putra Bardin, Jakarta, 1996, hlm. 33
kepolisian sebagai pendukung utama. Keberhasilan penanggulangan kejahatan pada masa itu sangat bergantung pada efektifitas dan efisiensi kerja organisasi kepolisian.89 Frank Remington adalah orang pertama di Amerika Serikat yang memperkenalkan rekayasa administrasi peradilan pidana melalui pendekatan sistem (system approach) dan gagasan mengenai sistem ini terdapat pada laporan pilot proyek tahun 1958. Gagasan ini kemudian diletakkan pada mekanisme administrasi peradilan pidana yang diberi nama “Criminal Justice System”. Istilah ini kemudian disebarkaluaskan oleh “The Presiden‟s Crime Commission”. Dalam kurun waktu akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970, Criminal Justice sebagai disiplin studi tersendiri telah muncul menggantikan istilah “law emporcement” atau Police Studies”. Istilah “Criminal Justice System” atau Sistem Peradilan Pidana saat ini telah menjadi istilah yang menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar pendekatan sistem.90 Dalam peradilan pidana seperti yang dikemukan oleh Romli Atmasasmita, sistem tersebut mempunyai ciri:91 1. 2. 3. 4.
Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (Kepoisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan). Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh kompenen peradilan pidana. Efektivitas penanggulangan kejahatan lebih utama dari efeisiensi penyelesaian perkara. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memantapkan The administration of justice. Dalam hal ini, Remington dan Ohlin mengemukan bahwa92 Criminal Justice Sistym dapat
diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administratif peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil suatu interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya. Sedangkan Mardjono Reksodipoetra, memberikan batasan terhadap SPP adalah sistem penegendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan,
89
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponan, & Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum Di Indonesia), Widya Padjajaran,bandung, 2009, hlm. 33 90 Ibid, hlm. 33-34 91 Ibid, hlm. 34 92 Ibid, hlm. 35
pengadilan dan pemasyarakatan terpidana. Beranjak dari defenisi yang dikemukakan Mardjono diatas, tujuan dari SPP, adalah:93 1. 2. 3.
Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak menanggulangi kejahatannya. Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat komponen
dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerjasama dan membentuk suatu Integrated Criminal Justice System. Apabila keterpaduan sistem tidak dilakukan, akan diperkirakan terdapat tiga kerugian sebagai berikut:94 1. 2. 3.
Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub-sistem dari sistem peradilan pidana) Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari sistem peradilan pidana. Hagan membedakan pengertian antara “criminal justice proses” dan “criminal justice
system”. “Criminal justice proses” adalah setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada ketentuan pidana baginya. Sedangkan“criminal justice system” adalah interkoneksi antara setiap keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam sistem peradilan pidana. Muladi menegaskan bahwa, sistem peradilan merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang merupakan hukum pidana materil, hukum pidana formil merupakan pelaksaan pidana. Namun kelembagaan ini harus dilihat konteks sosial. Sifat yang terlalu formal jika dilandasi hanya kepentingan hukum saja akan membawa bencana bagi keadilan.95 Oleh karena itu, Muladi menegaskan bahwa makna “integrated criminal justice system”adalah sinkronisasi atau kesempatan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam:96 1. 2.
Sinkronisasi struktural (structural synchronization) adalah kesesuaian dan keselarasan dalam kerangka hubungan antara lembaga penegak hukum. Sinkronisasi substansi hukum (substancial synchronization) adalah keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif. 93
Ibid, hlm. 34 Ibid, hlm. 34-35 95 Ibid, hlm. 36-37 96 Muladi, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Citabaru, Jakarta, 1994, hlm. 30 94
3.
Sinkronisasi kultural (cultural synchronization) adalah kesesuaian dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan suatu open
sistem. Suatu sistem yang didalam geraknya mencapai tujuan baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka menengah dan tujuan jangka panjang sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia, maka sistem peradilan pidana (interaksi, interkoneksi dan interdepensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat subsistemsubsistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri (subsistem of criminal justice system).97 Karena itu, sistem peradilan pidana tergantung pula tingkat pemahaman penegak hukum pada masing-masing komponen pada hukum-hukum materiil dan formil. Selain itu juga dibutuhkan kesadaran masyarakat akan upayanya untuk menghormati dan memahami seluruh proses yang ada dalam sistem peradilan pidana. Sebagaimana diketahui, Pemahaman tentang model penyelenggaran peradilan pidana, khususnya di Amerika Serikat, diperkenalkan oleh Herbert L Packer berdasarkan pengamatannya. Packer mengatakan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana di Amerika Serikat, diperkenalkan dua model yaitu Due Process Model dan Crime Control Model. The Crime Control Model didasarkan atas anggapan bahwa penyelenggaraan peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas pelaku criminal (criminal conduct) dan ini adalah tujuan utama dari proses peradilan pidana. Sebab dalam hal ini yang diutamakan adalah ketertiban umum (public order) dan efisiensi. Dalam seperti ini berlaku “sarana cepat” dalam rangka pemberantasan kejahatan dan berlaku apa yang disebut sebegai “Presumption of Guilty”, kelemahan dalam model ini adalah seringkali terjadi pelanggaran hak-hak asasi manusia demi efisiensi.98 Nilai-nilai yang melandasi dari Crime Control Model sebagaimana dikatakan oleh Romli Atmassmita sebagaimana yang dikutip oleh Yesmil Anwar dan Adang adalah: 99 1. 2.
Tindakan represif terhadap suatu tindakan criminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan. Perhatian utama harus ditunjukkan kepada efisiensi dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilannya.
97
Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit, Sistem Peradilan… hlm. 38 Ibid, hlm. 40-41 99 Ibid, hlm. 41-42 98
3.
4. 5.
Proses criminal penegakan hukum harus berlandaskan prinsip cepat (speddy) dan tuntas (finality) dan model yang mendukung adalah model administratif yang menyerupai model manajerial. Asas praduga tak bersalah “presumption of guilty” akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien. Proses penegakan hukum harus menitik beratkan kepada kualitas temuan-temuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut akan membawa ke arah pembebasan seorang tersangka dari penuntutan atau kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah atau “plead of guilty”. Due Process Model adalah konsep perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dan
pembatasan kekuasaan pada peradilan pidana. Jadi dalam model ini proses criminal harus dapat dikendalikan untuk penyalahgunaan kekuasaan, dan sifat otoriter dalam rangka maksimum efisiensi.
Dalam model ini diberlakukan apa yang dinamakan dengan “Presumption of
Innocence”. Menurut Romli Atmasasmita, model ini dilandasi oleh nilai-nilai:100 1.
2. 3.
4.
5. 6.
Adanya faktor kelalaian yang sifatnya manusiawi, maka dalam hal ini, tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak atau diperiksa setelah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk mengajukan pembelaannya. Pencegahan (preventive measure) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan. Menempatkan individu secara utuh dan utama di dalam proses peradilan dan konsep pembatasan wewenang formal sangat memperhatikan kombinasi stigma dan kehilangan kemerdekaan yang dianggap merupakan pencabutan hak asasi seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh Negara. Proses peradilannya dipandang sebagai Coersive (menekan), Restricting (membatasi) dan (Demeaning) merendahkan martabat. Proses peradilan seperti ini harus dapat dikendalikan. Model ini memegang teguh doktrin, seorang dianggap bersalah apabila penetapannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki tugas tersebut dan terkandung asas “Presumption of Innocence”. Persamaan di muka hukum “Equality before the law”. Lebih mementingkan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana. Menurut Muladi, baik Crime Control Model dan Due Process Model mengandung
kelemahan yaitu, dalam Crime Control Model tidak cocok karena model ini berpandangan tindakan yang bersifat represif dalam melaksanakan proses peradilan pidana. Sedangkan Due Process Model tidak sepenuhanya menguntungkan karena bersifat “anti-authoritarian values”. Oleh karena itu, Model yang cocok bagi Indonesia menurut Muladi adalah model yang mengacu pada “daad-dader strafrecht” yang disebut dengan model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistis yaitu yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan 100
Ibid, hlm. 42-43
individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan 101 serta kepentingan hukum pidana adat (yang masih diakui). Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, sistem peradilan pidana Indonesia dilandaskan pada Het Herziene Inlandsch Reglement (Stbl. 1941 No. 44). Setelah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diundangkan, maka Het Herziene Inlandsch Reglement satu-satunya landasan proses hukum penyelesaian perkara pidana di Indonesia telah di cabut. Seperti yang diketahui, Het Herziene Inlandsch Reglement merupakan pembaharuan dari Inlands Reglement atau IR. Isinya dari memuat Inlands Reglement ketentuan:102 1. 2. 3. 4.
Tugas pencegahan atau kepolisian; Tugas penyidikan atau kepolisian represif; Acara perdata; dan Acara pidana. Pada awal kemerdekaan tidak ada perubahan dalam hukum acara pidana. Kebijakan yang
berlaku pada masa pendudukan Jepang diteruskan oleh pemerintah Indonesia. Ketika sebagian wilayah Indonesia diduduki Belanda, Raad van Justitie sebegai peradilan digunakan lagi, tetapi diadakan “Landrechter” untuk semua orang dan “Appelraad” untuk tingkat banding dari perkara-perkara yang diputuskan Pengadilan Negeri di daerah-daerah yang selama maupun sesudah agresi militer Belanda pertama maupun kedua di duduki oleh pemerintah Belanda. Terhadap putusan Landrechter tidak ada upaya banding. Di daerah juga masih dipertahankan eksistensi Pengadilan Kabupaten dan Pengadilan Kawedanan selain masih juga juga terdapat Mahkamah Islam Tinggi maupun rapat agama. Dalam kurun waktu tahun 1945 sampai 1950 tidak ada perubahan mendasar dalam acara pidana selain lahirnya Undang-Undang Nomor 21 tahun 1947 tentang Pemeriksaan Perkara Pidana Di Luar Hadirnya Terdakwa. Kemudian, di bawah pemerintahan Republik Indonesia Serikat pada tanggal 18 April 1950 lahir UndangUndang Nomor 18 tahun 1950 tentang Penghapusan Landrecht dan Apppelraad diganti dengan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi (di Jakarta), di daerah lain tidak ada penggantian karena merupakan kewenangan daerah (Konstitusi Republik Indonesia Serikat Pasal 155).103 Sistem peradilan pidana Indonesia sendiri menganut sistem campuran dan meninggal sistem
101
Ibid, hlm. 46 Moh. Hatta, Menyongsong Penegakan HukumResponsif Sistem Peradilan Pidana (Dalam Konsepsi dan Implementasi), Galangpress, Cetakan I, Yogyakarta, 2008, hlm. 15 103 Ibid, hlm. 19 102
lama yang kurang memperhatikan hak-hak tersangka dalam proses penyelesaian perkara pidana. Saat
ini
hak-hak
tersangka
dilindungi
oleh
KUHAP
dan
menempatkan
sesorang
tersangka/terdakwa sama kedudukannya dengan pihak-pihak dalam proses peradilan pidana. Untuk mendukung setiap proses peradilan pidana, maka dalam hukum acara dibatasi dengan asas-asas yang harus tetap di hormati dan dihargai sebagai sebuah penghormatan terhadap sebuah forum untuk mencari keadilan di ruang pengadilan. Tanpa asas, maka diibarat sebagai jasad tanpa roh. Karena itu, asas-asas hukum acara pidana antara lain: a)
Asas legalitas Asas atau prinsip legalitas dengan tegas disebut dalam konsideran KUHAP seperti yang
didapat pada huruf a, yang berbunyi: “Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukumyang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga Negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Jelaslah, KUHAP sebagai hukum acara pidana adalah UndangUndang yang asas hukumnya berlandaskan asas legalitas. Pelaksanaan penerapan KUHAP harus bersumber pada titik tolak the rule of law. Semua tindakan penegakan hukum harus:104 1. 2.
Berdasarkan ketentuan hukum dan Undang-undang Menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segala-galanya sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat bangsa yang takluk dibawah “supremasi hukum” yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia. Jadi arti the rule of law dan supremasi hukum, menguji dan meletakkan setiap tindakan penegakan hukumtakluk di bawah konstitusi, Undang-undang dan rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah kesadaran masyarakat. Memaksakan atau menegakkan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat bangsa lain, tidak dapat disebut rule of law, bahkan mungkin berupa penindasan. Lebih lanjut M. Yahya Harahap mengatakan bahwa, dengan asas legalitas yang berlandaskan the rule of law dan supremasi hukum, jajaran aparat penegak hukum tidak dibenarkan:105 1. 2.
Bertindak di luar ketentuan hukum (undue to law) maupun undue process, Bertindak sewenang-wenang (abuse of power).
b)
Asas keseimbangan
104
M. Yahya Harapahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Revisi), Cetakan ketiga belas, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 36 105 Ibid
Asas ini dijumpai dalam konsideran huruf c KUHAP yang menegaskan bahwa dalam setiap penegakan hukumharus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara: 106 1. 2.
Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia dengan, Perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat. Lebih lanjut M. Yahya Harahap mengatakan bahwa, dengan asas keseimbangan terjalin
perlindungan harkat dan martabat manusia dengan perlindungan kepentingan ketertiban masyarakat, KUHAP telah menonjolkan tema human dignity (martabat kemanusiaan) dalam pelaksanaan tindakan penegakan hukum di bumi Indonesia. Tema ini selama HIR, jarang atau barangkali tidak pernah digubris dan dipertanyakan kepada rakyat Indonesia. Jika begitu, dalam setiap upaya tindakan penegakan hukum semestinya mempergunakan cara-cara pendekatan yang manusiawi yang berlandaskan pada kesadaran filosofis sila ketuhanan yang maha esa dan kemanusiaan yang adil dan beradab.107 c)
Asas praduga tak bersalah Asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dijumpai dalam penjelasan umum
KUHAP butir 3 huruf c. Di camtumkannya asas praduga tak bersalah dalam penjelasan KUHAP dapat disimpulkan bahwa, pembuat Undang-undang telah menetapkannya sebagai asas hukum yang melandasi KUHAP dan penegakan hukum (law emporcement). Asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusatur” atau accusatory procedure (accusatorial system). Prinsip akusatur menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan:108 1.
2.
Adalah subjek; bukan sebagai objek pemeriksaaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat martabat harga diri, Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusatur adalah “kesalahan” (tindakan pidana), yang dilakukan tersangka/terdakwa. Ke arah itulah pemeriksaan dilakukan. Pada dasarnya, asas praduga tidak bersalah yang dianut KUHAP, memberikan pedoman
kepada penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusatur dalam setiap tingkat pemeriksaan. Aparat penegak hukum menjauhkan diri dari cara-cara pemeriksaan yang “inkusatuir” atau inquisitorial system yang menempatkan tersangka/terdakwa
dalam
pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan sewenang-wenang. Prinsip inkuisatur ini dahulunya dijadikan landasan pemeriksaan dalam priode HIR, sama sekali tidak memberi hak 106
Ibid, hlm. 38 Ibid, hlm. 39 108 Ibid, hlm. 40 107
dan kesempatan yang wajar bagi tersangka/terdakwa untuk membela diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya, sebab sejak semula aparat penegak hukum:109 1. 2.
Sudah apriori menganggap tersangka/terdakwa bersalah. Seolah-olah tersangka sudah divonis sejak saat pertama diperiksa di hadapan penyidik, Tersangka/terdakwa dianggap dan dijadikan sebagai objek tanpa memperdulikan hak-hak asasi manusia dan haknya untuk membela dan mempertahankan martabat serta kebenaran yang dimilikinya. Akibatnya, sering terjadi dalam praktek, seorang yang benar-benar tidak bersalah terpaksa menerima nasib sial, meringkuk dalam penjara. Masih ingat kasus Karta dan Sengkon, yang di penjara dan menjalani hukuman beberapa tahun, tetapi pembunuhan yang dihukumkan kepadanya ternyata pelakunya adalah orang lain. Apa jaminan asas praduga tak bersalah dan prinsip pemeriksaan akusatur ditegakkan
dalam segala tingkat pemeriksaan?. Untuk menopang asas praduga tak bersalah dan prinsip akusatur dalam penegakan hukum, KUHAP telah memberi perisai kepada tersangka/terdakwa berupa seperangkat hak-hak kemanusiaan yang wajib dihormati dan dilindungi pihak aparat penegak hukum. Dengan prisai hak-hak yang diakui hukum, secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/terdakwa sudah mempunyai “posisi yang setaraf” dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakukan yang digariskan KUHAP seperti yang dapat dilihat dalam Bab VI, yaitu:110 1. 2. 3.
4.
5. 6.
7. 8. 9.
Segera mendapat “pemeriksaan oleh penyidik” dan selanjutnya diajukan kepada penuntut umum (Pasal 50 ayat 1), Segera diajukan ke pengadilan dan “segera diadili” oleh pengadilan (Pasal 50 ayat (2) dan (3)), Tersangka berhak untuk “diberitahu dengan jelas” dengan bahasa yang dimengerti olehanya tentang “apa yang disangkakan” kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat (1)), Berhak untuk “diberitahukan dengan jelas” dalam bahasa yang dimengerti olehanya tentang apa yang “didakwakan” kepadanya “(Pasal 51 ayat (2)). Tujuan kedua hak ini, untuk memberi kesempatan kepadanya untuk menyiapkan pembelaan, Berhak memberi keterangan “secara bebas” baik kepada penyidik pada taraf penyidikan maupun kepada hakim pada proses pemeriksaan di pengadilan (Pasal 52), Berhak untuk setiap waktu “mendapat bantuan” juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan, jika tersangka atau terdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia (Pasal 53 ayat (1) jo. Pasal 177 ayat (1)), Berhak mendapat “bantuan hukum” dari seorang atau lebih penasehat hukum selama waktu dan pada setiap pemeriksaan (Pasal 54), Berhak memilih sendiri penasehat hukum yang disukainya (Pasal 55), Berhak mengungjungi dan “dikunjungi dokter” pribadinya selama tersangka/terdakwa dalam tahanan (Pasal 58),
109 110
Ibid, hlm. 40-41 Ibid, hlm. 41-42
10.
11.
12.
13. 14.
15. 16.
17. 18.
d)
Berhak untuk “diberitahukan kepada keluarganya” atau orang yang serumah dengan dia atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan itu dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan (Pasal 59), Berhak menghubungi dan “menerima kunjungan” dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau orang lain, guna mendapatkan jaminan penangguhan penahanan atau bantuan hukum (Pasal 60), Berhak secara langsung atau dengan perantara penasehat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan sana keluarga, sekalipun hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan kepentingan tersangka/terdakwa (Pasal 61), Berhak “mengirim surat” dan “menerima surat” setiap kali diperlakukannya yaitu kepada dan dari penasehat hukumnya atau sanak keluarganya (Pasal 62 ayat (1)) Surat menyurat ini “tidak boleh diperiksa” oleh aparat penegak hukum, kecuali terdapat cukup alasan untuk menduga adanya penyalahgunaan surat-menyurat tersebut (Pasal 62 ayat (2)), Terdakwa berhak diadili dalam sidang pengadilan yang “terbuka untuk umum” (Pasal 64), Berhak untuk mengusahakan dan “mengajukan” saksi dan/atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (saksi a de charge Pasal 65), Tersangka atau terdakwa “tidak dibebani kewajiban pembuktian” (Pasal 66), Berhak “menuntut ganti rugi” dan “rehabilitasi” atas setiap tindakan dan perlakuan penangkapan, penahanan, dan penuntutan yang tidak sah atau yang bertentangan dengan hukum (Pasal 68). Asas ganti rugi dan rehabilitasi Lama sebelum KUHAP diundangkan, ketentuan ganti rugi dan rehabilitasi sudah
dituangkan dalam ketentuan hukum pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sejak diundangkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut, sering pencari keadilan mencoba menuntut ganti rugi ke pengadilan. Namun selalu kandas di pengadilan atas argumentasi bahwa Pasal 9 UndangUndang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman belum mengatur tata cara pelaksanaannya. Akan tetapi pada tanggal 1 Agustus 1983 telah dikeluarkan peraturan pelaksanaan untuk mengatur teknis pelaksaan ganti rugi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 95 KUHAP. Peraturan pelaksanaan tersebut terdapat di Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1983 Bab IV. Dengan PP 27 tahun 1983 ditegaskan, ganti rugi dibebankan kepada Negara c.q Departemen Keuangan dan tata cara pembayaran, Menteri Keuangan pada tanggal 31 Desember 1983 telah mengeluarkan Keputusan menteri Keuangan Nomor 983/KMK.
01/1983.111 Adapun alasan yang dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi adalah:112 1.
Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum,
2. 3.
Penangkapan atau penahanan dilakukan tidak berdasarkan Undang-undang, Penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum, Apabila penangkapan atau penahanan dilakukan tidak mengenai orangnya (disqualification in person). Artinya orang yang ditangkap/ditahan terdapat kekeliriuan dan yang bersangkutan telah menjelaskan bahwa orang yang hendak ditangkap/ditahan, bukan dia. Namun demikian tetap juga orang tersebut ditahan dan kemudian benar-benar ternyata akan kekeliruan penangkapan/penahanan itu, Tindakan memasuki rumah secara tidak sah menurut hukum (tanpa perintah dan surat izin dari Ketua Pengadilan).
4.
5.
e)
Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan Betapa sengsara seorang tersangka/terdakwa yang diombang-ambing oleh rasa
ketidakpastian yang berlarut-larut, disebabkan sangkaan atau dakwaan yang dituduhkan kepadanya berkelamaan menghantui dirinya tanpa suatu penyelesaian akhir. Sudah sekian puluh kali atau bahkan ratusan kali mondar-mandir dari instansi yang satu menuju instansi yang lain, namun tak kunjung diperoleh penyelesaian113. Karena itu, KUHAP memberikan panduan dan garis agar aparat penegak hukum agar segera menjalankan apa yang telah ditetapkan oleh KUHAP. Salahsatunya ialah memuat asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Ketentuan KUHAP sebagai penjabaran dari asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yaitu:114 1. 2. 3. 4. 5.
6. 7.
Segera mendapat pemeriksaan dari penyidik, Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik, Segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum, Berhak segera diadili oleh pengadilan, Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa, Banding tidak dapat diminta terhadap putusan dalam “acara cepat”, Pembatasan penahanan dalam setiap tingkatan pemeriksaan.
111
Ibid, hlm. 44-45 Ibid, hlm. 45 113 Ibid, hlm. 52 114 Ibid, hlm. 53 112
f)
Asas peradilan terbuka untuk umum Asas peradilan terbuka untuk umum dilandasi dengan makna agar tindakan penegakan
hukum di Indonesia harus dilandasi oleh “keterbukaan” dan “persamaan” dalam proses penegakan hukum, serta penerapan suatu informasi tentang kemajuan suatu perkara yang sedang ditangani oleh pengadilan. Hal ini berguna agar pengadilan dalam memeriksa, mengadili dan memutuskan tidak dengan kekuasaan semata, tetapi dengan suatu alat bukti serta keyakinan hakim. Tanpa itu, suatu proses persidangan akan menjadi tidak mendapatkan arah penyelesaian yang adil dan benar. Namun, tidak semua peradilan dibuka untuk umum, dalam kasus-kasus tertentu, seperti dalam kasus asusila dan tindak pidana anak tidak dibuka untuk umum. Tidak dibukanya sidang asusila untuk umum karena untuk melindungi korban dari trauma mental dan psikis yang telah dilakukan oleh terdakwa. Karenanya, untuk menutupi dan bertambah beratnya psikis yang dialami oleh korban asusila dan untuk menutupi dampak lainnya seperti merasa malu tidak punya harga diri, tidak merasa dihormati sebagai manusia, oleh karena itu sidang dibuka tetapi ditutup untuk umum. Terkait dengan tindak anak juga begitu, apabila persidangan tindak pidana anak dibuka dan terbuka untuk umum, maka akan menimbulkan trauma bagi anak sebagai pelaku maupun anak sebagai korban. Sistem peradilan pidana dalam rangka perampasan asset tindak pidana pencucian uang sedikit berbeda dengan sistem peradilan pidana konvensional. Hal ini dikarenakan pihak penyidik sekaligus sebagai “penuntut” untuk memutuskan apakah hasil dari analisis dari PPATK dapat dibawa ke pengadilan atau tidak. Komponen dalam sistem peradilan pidana kaitannya dengan perampasan asset terdiri dari, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Sebagai Penyelidik. Kepolisian, Kejaksaan, Badan Narkotika Nasional (BNN), Direktoral Jendral Bea Cukai dan Direktoral Jendral Pajak Kementerian Keuangan, Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) sebagai penyidik segaligus penuntut dan Pengadilan sebagai lembaga yang memeriksa dan memutus terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan dikembalikan kepada yang berhak atau Negara atau pihak ketiga yang berkepentingan. Untuk lebih jelasnya penulis uraikan mulai dari lembaga penyelidikan, lembaga penyelidikan serta lembaga peradilan perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang dibawah ini.
e.
Lembaga penyelidikan transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang PPATK mempunyai tugas mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang.115
dalam melaksanakan tugas pencegahan tersebut, PPATK mempunyai fungsi:116 a. b. c. d.
Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; Pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor; dan Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian
uang, PPATK berwenang:117 a.
b. c. d. e. f.
Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu; Menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan, mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait; Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang; Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti-pencucian uang; dan Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan data dan informasi PPATK berwenang
menyelenggarakan sistem informasi.118 Kemudian, dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor PPATK berwenang:119 a. b. c.
Menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi pihak pelapor; Menetapkan kategori pengguna jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana pencucian uang; Melakukan audit kepatuhan atau audit khusus;
115
Pasal 39 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 116 Pasal 40 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 117 Pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 118 Pasal 42 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 119 Pasal 43 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
d. e. f. g.
Menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pihak pelapor; Memberikan peringatan kepada pihak pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan; Merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha pihak pelapor; dan Menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa bagi pihak pelapor yang tidak memiliki lembaga pengawas dan pengatur. Selanjutnya, dalam melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi
sebagaimana dimaksud, PPATK dapat:120 a. b. c. d. e. f. g. h.
i. j. k. l.
Meminta dan menerima laporan dan informasi dari pihak pelapor; Meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait; Meminta informasi kepada pihak pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK; Meminta informasi kepada pihak pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri; Meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun diluar negeri; Menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana pencucian uang; Meminta keterangan kepada pihak pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang; Merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana; Meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang; Mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan Undang-Undang pencucian uang; dan Meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik. Ketentuan lain yang sangat menarik yakni, PPATK dalam melaksanakan
kewenangannya tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur kerahasiaan.121 Itu tentu saja merupakan suatu ketentuan yang menyimpang, apabila ketentuan ini tidak ada pada institusi PPATK bisa dipastikan, akan banyak yang melakukan gugatan ataupun laporan pidana. Hal ini dikarenakan, PPATK dalam melakukan pekerjaan berkaitan dengan harta seseorang yang bersifat privat. Dalam rangka menjamin prinsip akuntabilitas, PPATK membuat dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas, fungsi, dan 120
Pasal 44 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 121 Pasal 45 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
wewenangnya secara berkala setiap 6 (enam) bulan.122 Laporan disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).123 Dalam rangka menentukan transaksi keuangan yang mencurigakan, PPATK memuat identifikasi transaksi keuangan yang mencurigakan bagi penyedia jasa keuangan. Pedoman identifikasi tersebut tertuang dalam Keputusan Kepala PPATK No. 2/4/KEP.PPATK/2013. Sesuai Pedoman II, Unsur-unsur dan indikator transaksi keuangan yang mencurigakan, berdasarkan prinsip Pasal 1 angka 6 UU TPPU memiliki unsur-unsur:124 a.
b. c.
Transaksi yang menyimpang dari: i. Profil; ii. Karakteristik; iii. Kebiasaan pola transaksi. Transaksi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan yang wajib dilakukan oleh PJK Transaksi keuangan yang dananya diduga berasal dari hasil kejahatan. Indikator transaksi keuangan yang mencurigakan apakah suatu transaksi memenuhi satu
atau lebih dari unsur-unsur transaksi keuangan yang mencurigakan antara lain:125 a. 1)
2)
Transaksi Tunai i. Transaksi yang dilakukan secara tunai dalam jumlah di luar kebiasaan yang dilakukan nasabah. ii. Transaksi yang dilakukan dalam jumlah relatif kecil namun dalam frekuensi yang tinggi (structuring). iii. Transaksi yang dilakukan dengan menggunakan beberapa rekening atas nama individu yang berbeda-beda untuk kepentingan satu orang tertentu (smurfing). iv. Pertukaran atau pembelian mata uang asing dalam jumlah relatif besar. v. Pembelian travellers checks secara tunai dalam jumlah relatif besar. vi. Pembelian secara tunai beberapa produk asuransi dalam jangka waktu berdekatan atau bersamaan dengan pembayaran premi sekaligus dalam jumlah besar yang diikuti pencairan polis sebelum jatuh tempo. vii. Pembelian efek dengan menggunakan uang tunai, transfer atau cek atas nama orang lain. Transaksi yang tidak rasional secara ekonomis i. Transaksi-transaksi yang tidak sesuai dengan tujuan pembukaan rekening. ii. Transaksi yang tidak ada hubungannya dengan usaha nasabah. 122
Pasal 47 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 123 Pasal 47 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 124 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 125 Lampiran Keputusan Kepala PPATK No. 2/4/KEP.PPATK/2013 tentang Pedoaman Identifikasi Transaksi Keuangan Yang Mencurigakan Bagi Penyedia Jasa Keuangan
3)
b. i. ii. iii. iv. v. vi.
iii. Jumlah dan frekuensi transaksi diluar kebiasaan yang normal. Transfer dana i. Transfer dana untuk dan dari offshore financial centre yang berisiko tinggi (high risk) tanpa alasan usaha yang jelas. ii. Penerimaan transfer dana dalam beberapa tahap dan setelah mencapai akumulasi jumlah tertentu yang cukup besar kemudian ditransfer ke luar secara sekaligus. iii. Penerimaan dan pengiriman dana dalam jumlah yang sama atau hampir sama serta dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat (pass-by). iv. Pembayaran dana dari atau ke Negara yang tergolong berisiko tinggi (high risk). v. Transfer dana dari atau ke pihak yang tergolong berisiko tinggi (high risk). vi. Penerimaan/pembayaran dana dengan menggunakan lebih dari 1 (satu) rekening baik atas nama yang sama atas nama yang berbeda. vii. Transfer dana dengan menggunakan rekening atas nama pegawai PJK dalam jumlah diluar kewajaran. Perilaku nasabah Perilaku nasabah yang tidak wajar pada saat melakukan transaksi (gugup, tergesa-gesa, rasa kurang percaya diri). Nasabah/calon nasabah memberikan informasi yang tidak benar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan identitas, sumber penghasilan atau usahanya. Nasabah/calon nasabah menggunakan dokumen identitas yang diragukan kebenarannya atau diduga palsu seperti tandatangan yang berbeda atau foto yang tidak sama. Nasabah/calon nasabah enggan atau menolak memberikan informasi/dokumen yang diminta oleh petugas PJK tanpa alasan yang jelas. Nasabah atau kuasanya mencoba mempengaruhi petugas PJK untuk tidak melaporkan transaksi keuangan yang mencurigakan dengan berbagai cara. Nasabah membuka rekening hanya untuk jangka pendek. Nasabah tidak bersedia memberikan informasi yang benar atau segera memutuskan hubungan usaha/menutup rekening pasa saat petugas PJK meminta informasi atas transaksi yang dilakukannya. PPATK juga memuat identifikasi transaksi keuangan yang mencurigakan bagi valuta
asing dan jasa pengiriman uang. Indikator apakah transaksi keuangan transaksi keuangan yang mencurigakan bagi valuta asing dan jasa pengiriman uang antara lain:126 i. a. i. ii. iii. iv. v. vi. vii.
Transaksi Transaksi jual beli valuta asing Transaksi yang dilakukan dalam jumlah diluar kebiasaan pengguna jasa (untuk pengguna jasa yang sering kali melakukan transaksi dengan PVA yang sama) Transaksi yang dilakukan dalam jumlah relatif kecil namun dengan frekuensi yang tinggi. Transaksi yang digunakan dengan menggunakan beberapa nama individu yang berbedabeda untuk kepentingan seseorang tertentu. Penjualan dan pembelian mata uang asing dalam jumlah yang relatif besar. Pengguna jasa menjual travellers chekcs dalam jumlah yang relatif besar. Transaksi yang tidak ada hubungannya dengan usaha pengguna jasa. Pengguna jasa meminta pembayaran hasil penjualan valas dengan menggunakan cek. 126
Lampiran Keputusan Kepala PPATK No. 2/5/KEP.PPATK/2013 tentang Pedoman Indentifikasi Transaksi Keuangan Yang Mencurigakan Bagi Pedagang Valuta Asing dan Usaha Jasa Pengiriman Uang
viii. ix. x. xi. b. i. ii. iii. iv. v. vi. ii. i. ii. iii. iv. v.
f.
Pengguna jasa meminta pembayaran hasil penjualan/pembelian valas ditransfer ke rekening bank yang bersangkutan atau pihak lain. Pengguna jasa meminta agar pembayaran hasil penjualan/pembelian valas diserahkan ke pihak lain. Pengguna jasa meminta pembayaran hasil penjualan/pembelian hasil valas dengan pecahan besar. Pengguna jasa bersedia dikenai nilai tukar yang lebih rendah dari nilai tukar yang berlaku. Transaksi pengiriman dan penerimaan uang. Pengiriman dan atau penerimaan uang ke dan dari offshore financial centre yang berisiko tinggi (high risk) tanpa alasan usaha yang jelas. Pengiriman dan atau penerimaan uang yang dilakukan dalam jumlah relatif kecil namun dalam frekuensi yang tinggi Pengiriman dan atau penerimaan uang beberapa tahap dalam jumlah yang besar. Pengiriman dan atau penerimaan uang dalam jumlah yang sama atau hampir sama serta dilakukan dalam jangka waktu yang singkat. Pengiriman dan atau penerimaan uang ke dan dari Negara yang tergolong berisiko tinggi (high risk countries). Pengiriman dan atau penerimaan uang ke dan dari pihak yang tergolong berisiko tinggi (high risk costumers). Perilaku pengguna jasa PVA dan UJPU. Perilaku pengguna jasa yang tidak wajar pada saat melakukan transaksi (gugup, tergesagesa, rasa kurang percaya diri). Pengguna jasa memberikan informasi yang tidak benar mengenai hal-hal yang berkaitan dengan identitas dirinya. Pengguna jasa menggunakan dokumen identitas yang diragukan kebenarannya atau diduga palsu seperti tandatangan yang berbeda atau foto yang tidak sama. Pengguna jasa enggan atau menolak memberikan informasi/dokumen yang diminta oleh petugas PVA dan UJPU tanpa alasan yang jelas. Pengguna jasa mencoba mempengaruhi petugas PVA dan UJPU untuk tidak melaporkan sebagai transaksi keuangan yang mencurigakan. Lembaga penyidikan transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang Sebelum mengurai lembaga penyidikan transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil
kejahatan pencucian uang, ada baiknya terlebih dahulu mengenai apa itu penyidik dan penyidikan. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.127 Selain penyidik, dalam KUHAP juga dikenal pula penyidik pembantu. Penyidik pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang karena diberi wewenang 127
Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
tertentu dapat melakukan tugas penyidikan.128 Yang dimaksud penyidik pembantu berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian adalah pejabat kepolisian yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia berdasarkan kepangkatan dan diberi wewenang tertentu dalam melaksanakan tugas penyidikan.129 Sedangkan yang dimaksud dengan penyidik pegawai negeri sipil contohanya adalah pejabat bea cukai, pejabat imigrasi, pejabat kehutannan yang melakukan tugas penyidikan sesuai dengan wewenang khusus yang diberikan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.130 Menurut Andi Hamzah, pemberian wewenang kepada penyidik (termasuk juga penyidik pembantu) bukan semata-mata didasarkan atas kekuasaan, tetapi berdasarkan atas pendekatan kewajiban dan tanggungjawab yang diembannya. Dengan demikian, kewenangan yang diberikan disesuaikan dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta berat ringannya kewajiban dan tanggungjawab penyidik.131 Sedangkan yang dimaksud dengan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.132 Ketentuan Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana termuat makna sebagaimana dikatakan oleh Andi Hamzah bahwa:
1.
2.
133
Penyidikan hanya dapat dilakukan berdasarkan Undang-undang, hal ini dapat disimpulkan dari kata-kata “… menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini. Ketentuan ini dapat dibandingkan dengan Pasal 1 Ned.Sv yang berbunyi “strafvordering heft alleen wet voorzien” (hukum acara pidana dijalankan hanya berdasarkan Undangundang). Acara pidana dijalankan jika terjadi tindak pidana. Hal ini dapat disimpulkan dari kata membuat terang tindak pidana yang terjadi. Hal inilah yang tidak disetujui oleh van Bemmelen karena, mungkin saja acara pidana berjalan tanpa terjadi delik. Contoh klasik yang dikemukan ialah kasus Jean Calas di Prancis yang menyangkut seorang ayah dituduh membunuh anaknya, padahal itu tidak terjadi namun proses pidananya sudah berjalan. Sebenarnya penyidikan itu merupakan suatu istilah yang sejajar dengan pengertian
opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris). Menurut De Pinto sebagaimana yang dikutip oleh Andi Hamzah, menyidik berarti pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu 128
Pasal 1 angka 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 Butir 12 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian 130 Penjelasan Pasal 7 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 131 Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit, hlm. 78-79 132 Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana 133 Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit, hlm. 79-80 129
ditunjuk oleh Undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar bahwa ada terjadi suatu pelanggaran hukum. Buchari Said mengatakan bahwa penyidikan merupakan aktifitas yuridis. Maksud dari aktivitas yuridis tersebut adalah aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan-aturan hukum positif sebagai hasil dari tindakan tersebut harus dapat di pertanggungjawabkan secara yuridis pula, karena kata yuridis menunjuk kepada adanya suatu peraturan hukum yang menjadi dasar (basic) bagi dilakukannya suatu tindakan dan peraturan yang dimaksud tiada lain peraturan-peraturan mengenai hukum acara pidana.134 Perlu diketahui bahwa, yang dimaksudkan penyidikan dalam perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang tidak hanya terbatas seperti yang dimaksudkan dalam KUHAP. Tetapi penyidik sekaligus melakukan penyidikan serta melakukan penuntutan terhadap transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang. Hal ini dikarenakan apabila transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang dibiarkan berlarut-larut dikhawatirkan transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang digunakan untuk tindak pidana lainnya. Penyidik yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang adalah, penyidik dari Kepolisian, Kejaksaan, Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisi Pemberantasan Korupsi, Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan.
1).
Kepolisian Polisi akan menjadi harapan masyarakat manakala keberadaan dan penyelenggaraan
tugasnya menimbulkan rasa aman, menyenangkan dan bermanfaat. Pada saat mampu mewujudkan itu semua, polisi akan mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat termasuk dari pemangku kepentingan lainnya.135 Polisi yang sebenarnya adalah polisi yang mampu menenangkan setiap pergulatan melawan penjahat dan kejahatan dan hanya itu tugas Kepolisian. Dipihak pemerintah dan para pengemban sistem peradilan pidana menganggap upaya ini menyerap dana besar dan yang penting beranggapan bahwa keadaan seperti itu akan
134
Ibid, hlm. 80 Chrysnanda DL, Pokoknya Anda Saya Tilang, Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, Pekanbaru, 2011, hlm. 3 135
menyebabkan berbagai kewenangan, otoritas atau kekuasaan mereka akan terpenetrasi, terkurangi dan mengaburkan posisi siapa yang mengatur dan diatur.136 Untuk mewujudkan itu semua, dibutuhkan suatu kepemimpinan ditubuh Kepolisian, tanpa itu semua akan sulit menjadi polisi yang akan mendapatkan kepercayaan dan dukungan dari masyarakat, termasuk dari pemangku kepentingan. Alex Bambang Riatmodjo mengatakan juga bahwa, keberhasilan organisasi kepolisian dalam menjalani misinya, sangat ditentukan oleh kualitas kepemimpinan Kepolisian.137 Karena itu, dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang berpandangan luas dan jauh kedepan, peluang dan pradigma baru itu dapat diwujudkan cukup terbuka dan dipermudah.138 Sebut saja misalnya, dikalangan masyarakat masih saja terjadi sebuah mitos yang mengatakan bahwa, polisi tidak mencegah kejahatan. David H. Bayley mengatakan bahwa, Polisi tidak mencegah kejahatan. Ini salahsatu rahasia terbesar dalam kehidupan modern. Para ahli mengetahuinya tetapi masyarakat belum mengetahuinya. Tetapi polisi berpura-pura mereka adalah pelindung masyarakat dari kejahatan dan selalu menyatakan jika diberi lebih banyak sumber daya, terutama personil, mereka akan bisa melindungi masyarakat dari kejahatan. Ini hanya sebuah dongeng saja. Apa bukti dari pernyataan memfitnah dan merisaukan ini? Pertama, analisa yang dilakukan berulang kali selalu tidak dapat menemukan antara jumlah personil Kepolisian dengan kejahatan. Kedua, strategi utama yang digunakan Kepolisian modern menunjukkan bahwa pengaruhanya terhadap kejahatan hanya sedikit atau sama sekali tidak ada.139 Oleh karena itu, kebijakan Kepolisian tradisional yang bersifat reaktif tidak membawa dampak yang berarti terhadap kecemasan terhadap kejahatan. Tidak dapat disangkal, tanggapan polisi tidak terlalu mempengaruhi rasa aman masyarakat terhadap kejahatan jalanan dan tindak kekerasan.140 Keadaan tersebut juga bertambah rumit, apabila perilaku organisasi kepolisian tidak diubah dengan cepat. Oleh sebab itu, para pemimpin dijajaran Kepolisian harus mengintegrasikan semua individu sebagai anggota organisasi ke dalam proses menajerial
136
Mark Findlay and Ugljesa Zvekic, Alternative Policing Sttyles Cross-Cultural Perspectives, Cipta Manunggal, Penerjemah, Kunarto, Jakarta, 1998, hlm. vii 137 S.A Soehardi, Polisi dan Kepemimpinan, PD PP POLRI, Cetakan I, Semarang, 2010, hlm. iii 138 Mark Findlay and Ugljesa Zvekic, Op.Cit, hlm. vii 139 David H Bayley, Police For The Future, Cipta Manunggal, Penerjemah Kunarto dkk, 1998, hlm. 3 140 Robert R. Friedman, Community Policing Comparative Perspective and Prospects, Cipta Manunggal, Penerjemah Kunarto dan Ardian Syamsudin, Jakarta, 1998, hlm. 41
organisasi sehingga organisasi memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang terjadi diluar organisasi.141 Tanpa pengetatan terhadap perilaku organisasi kepolisian baik didalam organisai dan diluar organisasi, Mardjono Reksodiputro mengatakan bahwa, polisi memang “rawan” menyalahgunakan “kekuataan Kepolisiannya” (police power), melanggar kode etik sampai melanggar hak asasi manusia.142 Untuk menanggapi terjadinya “penyelewengan” tugas yang dilakukan oleh polisi. Diperlukan upaya untuk memperbaiki organisasi Kepolisian. Samuel Walker mengatakan bahwa, memecat atau menghukum beberapa petugas mungkin memberikan citra keadilan simbolis, namun dalam jangka panjang hal itu tidak mengubah berbagai kondisi yang menoleransi dan bahkan mendorong penyelewengan mereka. Tantangan pertanggungjawaban polisi bukanlah bagaimana menangkap beberapa petugas yang buruk, melainkan bagaimana memperbaiki organisasi.143 Organisasi menurut Bakke adalah suatu alat rasional untuk mencapai tujuan yang ditetapkan sebelumnya, sebagai kesatuan yang dinamis dan operasional. 144 Karena itu, tindakan kepolisian merupakan bagian dari tindak pemerintahan dalam rangka mewujudkan pemerintahan, tujuan pemerintahan dimaksud antara lain meliputi, membuat dan mempertahankan hukum atau menjaga ketertiban dan ketentraman (orde en trust) dan merealisasi kehendak Negara dan menyelenggarakan kepentingan umum (public service).145 Peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebelum Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian berlaku adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 81, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3710) sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara (Lembaran Negara Tahun 1961 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2289). Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia telah memuat pokok-pokok mengenai tujuan, kedudukan, peranan dan tugas serta pembinaan profesionalisme kepolisian, tetapi rumusan ketentuan yang tercantum 141
Rycko Amelza Dahniel dan Surya Dharma, Perilaku Organisasi Kepolisian, Pustaka Pelajar, Cetakan I, Yogyakarta, 2014, hlm. vi 142 Chrysnanda DL, Polisi Penjaga Kehidupan, Yayasan Pengembangan Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2009, hlm, xii 143 Samuel Walker, Police Accountability the Role of Citezen Oversight, PTIK Press, Jakarta, 2006, hlm. 5 144 Kunarto, Perilaku Organisasi POLRI, Cipta Manunggal, Jakarta, 1997, hlm. 1 145 Sadjijono, HukumKepolisian: Perspektif Kedudukan dan Hubungannya Dalam HukumAdministrasi, LaksBang Pressindo, Cetakan 1 Edisi ke-1, Yogyakarta, 2006, hlm. 149
didalamnya masih mengacu kepada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang KetentuanKetentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 (LembaranNegara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368), dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3369) sehingga watak militernya masih terasa sangat dominan yang pada gilirannya berpengaruh pula kepada sikap perilaku pejabat kepolisian dalam pelaksanaan tugasnya di lapangan. Seiring dengan perkembangan kemajuan masyarakat yang cukup pesat dan merebaknya fenomena supremasi hukum, hak asasi manusia, globalisasi, demokratisasi, desentralisasi, transparansi, dan akuntabilitas, telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam melihat tujuan, tugas, fungsi, wewenang dan tanggung jawab Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhanya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya. Sejak ditetapkannya Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, maka secara konstitusional telah terjadi perubahan yang menegaskan rumusan tugas, fungsi, dan peran Kepolisian Negara Republik Indonesia serta pemisahan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian telah didasarkan kepada paradigma baru sehingga diharapkan dapat lebih memantapkan kedudukan dan peranan serta pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai bagian integral dari reformasi menyeluruh segenap tatanan kehidupan bangsa dan Negara dalam mewujudkan masyarakat madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Perubahan Kedua, Ketetapan MPR RI No. VI/MPR/2000 dan Ketetapan MPR RI No.VII/MPR/2000, keamanan dalam negeri dirumuskan sebagai format tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan secara konsisten dinyatakan dalam perincian tugas pokok yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Namun dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara fungsional dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa melalui pengembangan asas subsidaritas dan asas partisipasi. Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian mengatur pula pembinaan profesi dan kode etik profesi agar tindakan pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dipertanggungjawabkan, baik secara hukum, moral, maupun secara teknik profesi dan terutama hak asasi manusia. Begitu pentingnya perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia karena menyangkut harkat dan martabat manusia. Sebagaimana diketahui bahwa, Negara Republik Indonesia telah membentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib mempedomani dan menaati ketentuan Undang-Undang di atas. Di samping memperhatikan hak asasi manusia dalam setiap melaksanakan tugas dan wewenangnya, setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib pula memperhatikan perundang-undangan yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya, antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, ketentuan perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus, seperti Provinsi Nanggro Aceh Darussalam dan Provinsi Papua serta peraturan perundang-undangan lainnya yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas dan wewenang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian menampung pula pengaturan tentang keanggotaan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara tahun 1999 Nomor 169, tambahan Lembaran Negara Nomor 3890) yang meliputi pengaturan tertentu mengenai hak anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia baik hak kepegawaian, maupun hak politik, dan kewajibannya tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Substansi lain yang baru dalam UndangUndang ini adalah diaturnya lembaga Kepolisian nasional yang tugasnya memberikan saran kepada Presiden tentang arah kebijakan Kepolisian dan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri sesuai amanat Ketetapan MPR RI No. VII/MPR/2000, selain terkandung pula fungsi pengawasan fungsional terhadap kinerja Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga kemandirian dan profesionalisme Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat terjamin. Dengan landasan dan pertimbangan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, dalam kebulatannya yang utuh serta menyeluruh, diadakan penggantian atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang tidak hanya memuat susunan dan kedudukan, fungsi, tugas dan wewenang serta peranan kepolisian, tetapi juga mengatur tentang keanggotaan, pembinaan profesi, lembaga kepolisian nasional, bantuan dan hubungan serta kerja sama dengan berbagai pihak, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Meskipun demikian, penerapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian akan ditentukan oleh komitmen para pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap pelaksanaan tugasnya dan juga komitmen masyarakat untuk secara aktif berpartisipasi dalam mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mandiri, profesional, dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam rangka mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mandiri, profesional dan memenuhi harapan masyarakat, Kepolisian berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian diberikan tugas dan wewenang. Adapun tugas dari Kepolisian yaitu tugas pokok dan tugas umum. Tugas pokok kepolisian adalah:146 a. b. c.
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; Menegakkan hukum; dan Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 146
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:147 a. b. c.
d. e. f. g. h. i.
j. k. l.
Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas di jalan; Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundangundangan; Turut serta dalam pembinaan hukum nasional; Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum; Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa; Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia; Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; serta Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka rmewujudkan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mandiri,
kepolisian diberi wewenang, antara lain:148 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Menerima laporan dan/atau pengaduan; Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; Mencegah dan menanggulangi tumbuhanya penyakit masyarakat; Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian; Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan; Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang; Mencari keterangan dan barang bukti; Menyelenggarakan pusat informasi kriminal nasional; Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; 147 148
Pasal 14 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
l. m.
Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat; Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya, Kepolisian Negara Republik
Indonesia juga berwenang:149 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya; Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik; Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak dan senjata tajam; Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha dibidang jasa pengamanan; Memberikan petunjuk, mendidik dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian; Melakukan kerja sama dengan kepolisian Negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional; Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang beradadi wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional; Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian. Dalam proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia juga diberikan wewenang
untuk:150 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
k.
l.
Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan; Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri; Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; Mengadakan penghentian penyidikan; Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana; Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. 149 150
Pasal 15 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:151 a. b. c. d. e.
Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; Harus patut, masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; Pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan Menghormati hak asasi manusia. Selanjutnya, Kepolisian juga diberikan tugas dan wewenang tambahan antara lain sebagai
berikut: a.
Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.152 Dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundangundangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.153
b.
Senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia.154
c.
Mengutamakan tindakan pencegahan.155
2).
Kejaksaan Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan
dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sejalan dengan perubahan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan beberapa undang-undang yang baru, serta berdasarkan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dilakukan perubahan secara komprehensif dengan membentuk undangundang yang baru. Perubahan Undang-undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai
lembaga Negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang 151
Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian 153 Pasal 18 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian 154 Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian 155 Pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian 152
penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kejaksaan juga harus mampu terlibat sepenuhanya dalam proses pembangunan antara lain turut menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta berkewajiban untuk turut menjaga dan menegakkan kewibawaan pemerintah dan Negara serta melindungi kepentingan masyarakat. Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan Negara dibidang penuntutan dilaksanakan secara merdeka. Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Tugas dan wewenang kejaksaan dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan di bidang pidana yaitu:156 1. 2. 3. 4. 5.
Melakukan penuntutan; Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas bersyarat; Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Tugas dan wewenang kejaksaan dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan di bidang perdata dan tata usaha Negara yaitu dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintah. 157 Selain tugas kejaksaan di bidang pidana dan perdata serta usaha Negara, kejaksaan juga mempunyai
156 157
Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Pasal 30 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan
tugas dan wewenang dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, yaitu kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan antara lain:158 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Peningkatan kesadaran hukum masyarakat; Pengamanan kebijakan penegakan hukum; Pengawasan peredaran barang cetakan; Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara; Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal. Tugas dan wewenang kejaksaan dalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan juga dapat: 1.
Meminta kepada hakim untuk menempatkan seorang terdakwa di rumah sakit, tempat perawatan jiwa atau tempat lain yang layak karena yang bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri.159
2.
Diserahi tugas dan wewenag lain berdasarkan undang-undang.160
3.
Membina hubungan kerja sama dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan Negara atau instansi lainya.161
4.
Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum kepada instansi pemerintah lainnya.162 Secara khusus, ada tugas dan wewenang yang tidak dipunyai oleh Jaksa, tetapi hanya
dipunyai oleh Jaksa Agung, adapun tugas dan wewenang secara khsusus yang dimliki oleh Jaksa Agung tersebut adalah: 1.
Menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
2.
Mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang-undang;
3.
Mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
4.
Mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha Negara;
5.
Dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
158
Pasal 30 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan 160 Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan 161 Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan 162 Pasal 34 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan 159
6.
Mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.163
7.
Memberikan izin kepada tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan dirumah sakit dalam negeri, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilakukan perawatan di luar negeri.164
8.
Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani165 dan Pertanggungjawaban tersebut disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan rakyat sesuai dengan akuntabilitas.166
3).
Badan Narkotika Nasional (BNN) Sejarah penanggulangan bahaya Narkotika dan kelembagaannya di Indonesia dimulai
tahun 1971 pada saat dikeluarkannya Instruksi Presiden Republik Indonesia (Inpres) Nomor 6 Tahun 1971
kepada Kepala Badan Koordinasi Intellijen Nasional (BAKIN) untuk
menanggulangi 6 (enam) permasalahan nasional yang menonjol, yaitu pemberantasan uang palsu,
penanggulangan
penyalahgunaan
narkoba,
penanggulangan
penyelundupan,
penanggulangan kenakalan remaja, penanggulangan subversi, pengawasan orang asing. Berdasarkan Inpres Nomor 6 Tahun 1971 Kepala BAKIN membentuk Bakolak Inpres Tahun 1971 yang salah satu tugas dan fungsinya adalah menanggulangi bahaya narkoba. Bakolak Inpres adalah sebuah badan koordinasi kecil yang beranggotakan wakil-wakil dari Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, Departemen Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan lain-lain yang berada di bawah komando dan bertanggung jawab kepada Kepala BAKIN. Badan ini tidak mempunyai wewenang operasional dan tidak mendapat alokasi anggaran sendiri dari ABPN melainkan disediakan berdasarkan kebijakan internal BAKIN.167 Pada masa itu, permasalahan narkoba di Indonesia masih merupakan permasalahan kecil dan Pemerintah orde baru terus memandang dan berkeyakinan bahwa permasalahan narkoba di Indonesia tidak akan berkembang karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-Pancasila dan 163
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan 165 Pasal 37 ayat 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan 166 Pasal 37 ayat 2 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan 167 Badan Narokotika Nasional, http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnnpusat/profil/8005/sejarah-bnn di Akses tanggal 19 Mei 2015 Jam 18.54 164
agamis. Pandangan ini ternyata membuat pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia lengah terhadap ancaman bahaya narkoba, sehingga pada saat permasalahan narkoba meledak dengan dibarengi krisis mata uang regional pada pertengahan tahun 1997, pemerintah dan bangsa Indonesia seakan tidak siap untuk menghadapinya, berbeda dengan Singapura, Malaysia dan Thailand yang sejak tahun 1970 secara konsisten dan terus menerus memerangi bahaya narkoba. Menghadapi permasalahan narkoba yang berkecenderungan terus meningkat, Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, Pemerintah (Presiden Abdurahman Wahid) membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN) dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang beranggotakan 25 Instansi Pemerintah terkait.168 BKNN diketuai oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) secara ex-officio. Sampai tahun 2002 BKNN tidak mempunyai personil dan alokasi anggaran sendiri. Anggaran BKNN diperoleh dan dialokasikan dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri), sehingga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara maksimal. BKNN sebagai badan koordinasi dirasakan tidak memadai lagi untuk menghadapi ancaman bahaya narkoba yang semakin serius. Oleh karenanya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional, BKNN diganti dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN sebagai sebuah lembaga forum dengan tugas mengoordinasikan 25 instansi pemerintah terkait dan ditambah dengan kewenangan operasional, mempunyai tugas dan fungsi:169 1. 2.
Mengkoordinasikan instansi pemerintah terkait dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba; dan Mengoordinasikan pelaksanaan kebijakan nasional penanggulangan narkoba. Pada tahun 2013 BNN kemudian mendapatkan alokasi anggaran dari APBN. Dengan
alokasi anggaran APBN tersebut, BNN terus berupaya meningkatkan kinerjanya bersama-sama dengan BNP dan BNK. Namun karena tanpa struktur kelembagaan yang memilki jalur komando yang tegas dan hanya bersifat koordinatif (kesamaan fungsional semata), maka BNN dinilai tidak dapat bekerja terlaksananya dan tidak akan mampu menghadapi permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius. Oleh karena itu pemegang otoritas dalam hal ini segera
168 169
Ibid Ibid
menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika Provinsi (BNP) dan Badan Narkotika Kabupaten/Kota (BNK), yang memiliki kewenangan operasional melalui kewenangan Anggota BNN terkait dalam satuan tugas, yang mana BNN-BNP-BNKab/Kota merupakan mitra kerja pada tingkat nasional, Provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing bertanggung jawab kepada Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota dan yang masing-masing (BNP dan BN Kab/Kota) tidak mempunyai hubungan struktural-vertikal dengan BNN. Merespon perkembangan permasalahan narkoba yang terus meningkat dan makin serius, maka Ketetapan MPR-RI Nomor VI/MPR/2002 melalui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) Tahun 2002 telah merekomendasikan kepada DPR-RI dan Presiden RI untuk melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Pemerintah dan DPR-RI kemudian mengesahkan dan mengundangkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tersebut, BNN diberikan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.170 Berdasarkan undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, status kelembagaan BNN menjadi Lembaga Pemerintah Non-Kementrian (LPNK) dengan struktur vertikal ke Provinsi dan kabupaten/kota. Di Provinsi dibentuk BNN Provinsi dan di Kabupaten/Kota dibentuk BNN Kabupaten/Kota. BNN dipimpin oleh seorang Kepala BNN yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. BNN berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Kepala BNN dibantu oleh seorang Sekretaris Utama, Inspektur Utama dan 5 (lima) Deputi. Deputi tersebut yaitu Deputi Pencegahan, Deputi Pemberdayaan Masyarakat, Deputi Rehabilitasi, Deputi Pemberantasan, dan Deputi Hukum dan Kerja Sama.171 Badan Narkotika Nasional bertugas untuk:172 1. 2.
Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan prekursor narkotika; Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika;
170 171 172
Ibid Ibid
Badan Narokotika Nasional http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnnpusat/profil/8007/tujuan-pokok-dan-fungsi di Akses tanggal 19 Mei 2015 Jam 19.00 Wib
3.
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
12.
Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat; Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; Memantau, mengarahkan dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan psikotropika narkotika; Melalui kerja sama bilateral dan multiteral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika narkotika; Mengembangkan laboratorium narkotika dan prekursor narkotika; Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.173 Dalam menjalankan tugas, Badan Narkotika Nasional juga mempunyai fungsi:174 Penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN. Penyusunan, perumusan dan penetapan norma, standar, kriteria dan prosedur P4GN. Penyusunan perencanaan, program dan anggaran BNN. Penyusunan dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerjasama di bidang P4GN. Pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakna teknis P4GN di bidang pencegahan, pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukumdan kerjasama. Pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal di lingkungan BNN. Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat dalam rangka penyusunan dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan BNN. Pelaksanaan fasilitasi dan pengkoordinasian wadah peran serta masyarakat. Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika. Pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. Pengoordinasian instansi pemerintah terkait maupun komponen masarakat dalam pelaksanaan rehabilitasi dan penyatuan kembali ke dalam masyarakat serta perawatan lanjutan bagi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol di tingkat pusat dan daerah. 173
Badan Narokotika Nasional http://www.bnn.go.id/portal/index.php/konten/detail/bnnpusat/profil/8007/tujuan-pokok-dan-fungsi di Akses tanggal 19 Mei 2015 Jam 19.00 Wib 174 Ibid
13.
14.
15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Pengkoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. Peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah teruji keberhasilannya. Pelaksanaan penyusunan, pengkajian dan perumusan peraturan perundang-undangan serta pemberian bantuan hukum di bidang P4GN. Pelaksanaan kerjasama nasional, regional dan internasional di bidang P4GN. Pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di lingkungan BNN. Pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat di bidang P4GN. Pelaksanaan penegakan disiplin, kode etik pegawai BNN dan kode etik profesi penyidik BNN. Pelaksanaan pendataan dan informasi nasional penelitian dan pengembangan serta pendidikan dan pelatihan di bidang P4GN. Pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. Pengembangan laboratorium uji narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang P4GN. Dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang, Badan Narkotika Nasional termasuk penyidik tindak pidana pencucian uang, hal tersebut dapat dilihat dari penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang mengatakan bahwa “Yang dimaksud dengan "penyidik tindak pidana asal" adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.175 Sehingga dalam rangka perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan, BNN berwenang membawa LHA dari PPATK terkait transaksi keuangan yang mencurigakan ke Pengadilan.
4).
Direktorat Jendral Pajak dan Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kementerian Keuangan
a.
Direktorat Jendral Pajak
175
Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Tugas DJP sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/ PMK.01/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan adalah merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang perpajakan. Dalam mengemban tugas tersebut, DJP menyelenggarakan fungsi:176 1. 2. 3. 4. 5.
Perumusan kebijakan di bidang perpajakan; Pelaksanaan kebijakan di bidang perpajakan; Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang perpajakan; Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang perpajakan; dan Pelaksanaan administrasi DJP. Organisasi DJP terbagi atas unit kantor pusat dan unit kantor operasional. Kantor pusat
terdiri atas Sekretariat Direktorat Jenderal, direktorat, dan jabatan tenaga pengkaji. Unit kantor operasional terdiri atas kantor wilayah DJP (Kanwil DJP), Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan, Penyuluhan, dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dan Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan (PPDDP). Organisasi DJP dengan jumlah kantor operasional lebih dari 500 unit dan jumlah pegawai lebih dari 32.000 orang yang tersebar di seluruh penjuru nusantara merupakan salah satu organisasi besar yang ada dalam lingkungan Kementerian Keuangan. Segenap sumber daya yang ada tersebut diberdayakan untuk melaksanakan pengamanan penerimaan pajak yang beban setiap tahunnya semakin berat. Adapun tugas dari DJP adalah:177 1. 2.
3.
4. 5. 6. 7.
Sekretariat Direktorat Jenderal melaksanakan koordinasi pelaksanaan tugas serta pembinaan dan pemberian dukungan administrasi kepada semua unsur di DJP. Direktorat peraturan perpajakan I merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang peraturan KUP, penagihan pajak dengan surat paksa, PPN dan PPnBM, serta PTLL, PBB dan BPATB. Direktorat peraturan perpajakan II merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang peraturan PPh, perjanjian dan kerjasama perpajakan internasional, bantuan hukum, pemberian bimbingan dan pelaksanaan bantuan hukum, dan harmonisasi peraturan perpajakan. Direktorat pemeriksaan dan penagihan merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang pemeriksaan dan penagihan pajak. Direktorat intelijen dan penyidikan merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang intelijen dan penyidikan pajak. Direktorat ekstensifikasi dan penilaian merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang ekstensifikasi dan penilaian perpajakan. Direktorat keberatan dan banding merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang keberatan dan banding.
176
Direktorat Jenderal Pajak, http://www.pajak.go.id/content/selayang-pandang di akses Tanggal 20 Mei 2015 Jam 18.45 Wib 177 Ibid
8. 9.
10. 11.
12.
13. 14.
15.
16.
17.
Direktorat potensi, kepatuhan dan penerimaan merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang potensi, kepatuhan dan penerimaan. Direktorat penyuluhan, pelayanan dan hubungan masyarakat merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang penyuluhan, pelayanan dan hubungan masyarakat. Direktorat teknologi informasi perpajakan merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang teknologi informasi perpajakan. Direktorat kepatuhan internal dan transformasi sumber daya aparatur merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang kepatuhan internal dan transformasi sumber daya aparatur. Direktorat transformasi teknologi komunikasi dan informasi merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang transformasi teknologi komunikasi dan informasi. Direktorat transformasi proses bisnis merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang transformasi proses bisnis. Tenaga pengkaji bidang ekstensifikasi dan intensifikasi pajak mengkaji dan menelaah masalah di bidang ekstensifikasi dan intensifikasi pajak, serta memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian. Tenaga pengkaji bidang pengawasan dan penegakan hukum perpajakan Mengkaji dan menelaah masalah di bidang pengawasan dan penegakan hukumperpajakan, serta memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian. Tenaga pengkaji bidang pembinaan dan penertiban sumber daya manusia mengkaji dan menelaah masalah di bidang pembinaan dan penertiban sumber daya manusia, serta memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian. Tenaga pengkaji bidang pelayanan perpajakan mengkaji dan menelaah masalah di bidang pelayanan perpajakan, serta memberikan penalaran pemecahan konsepsional secara keahlian. Tugas unit Kanwil DJP adalah melaksanakan koordinasi, bimbingan, pengendalian,
analisis, dan evaluasi atas pelaksanaan tugas KPP, serta penjabaran kebijakan dari kantor pusat. Unit ini dapat dibedakan atas:178 1. 2.
Kanwil DJP wajib pajak besar dan Kanwil DJP Jakarta khusus yang berlokasi di Jakarta; dan Kanwil DJP selain Kanwil DJP wajib pajak besar dan Kanwil DJP Jakarta khusus yang lokasinya tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah Kanwil DJP sebanyak 31 unit. Unit KPP mempunyai tugas melaksanakan penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan
kepada wajib pajak. Unit ini dapat dibedakan berdasarkan segmentasi wajib pajak yang di administrasikan dengan:179 1.
KPP wajib pajak besar, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar nasional;
178 179
Ibid Ibid
2.
3.
KPP madya, khusus mengadministrasikan wajib pajak besar regional dan wajib pajak besar khusus yang meliputi badan dan orang asing, penanaman modal asing serta perusahaan yang masuk bursa; dan KPP Pratama, menangani wajib pajak lokasi. Jumlah KPP wajib pajak besar sebanyak 4 unit, KPP Madya 28 unit, KPP Pratama 299
unit. Untuk menjangkau masyarakat yang tinggal di daerah-daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh KPP maka pelaksanaan pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan dilaksanakan
oleh
unit
KP2KP.
Jumlah KP2KP sebanyak 207 unit. Satu-satunya unit pelaksana teknis (UPT) DJP saat ini adalah PPDDP. Unit yang berlokasi di Jakarta ini mempunyai tugas melaksanakan penerimaan, pemindaian, perekaman, dan penyimpanan dokumen perpajakan dengan memanfaatkan teknologi informasi perpajakan. Dalam rangka merampas asset transaksi keuangan yang mencurigakan, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia untuk membawa LHA transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang terkait dengan kejahatan pajak ke Pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang mengatakan bahwa “Yang dimaksud dengan "penyidik tindak pidana asal" adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.180
b.
Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Perkembangan perdagangan internasional baik yang menyangkut kegiatan di bidang
impor maupun ekspor mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pesatnya kemajuan di bidang kegiatan di bidang impor maupun ekspor tersebut ternyata menuntut diadakannya suatu sistem dan prosedur kepabeanan yang lebih efektif dan efisien serta mampu meningkatkan kelancaran arus barang dan dokumen. Dengan kata lain, masalah birokrasi di bidang kepabeanan yang 180
Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
berbelit-belit merupakan permasalahan yang nantinya akan semakin tidak populer. Adanya kondisi tersebut, tentunya tidak terlepas dari pentingnya pemerintah untuk terus melakukan berbagai kebijaksanaan dibidang ekonomi terutama dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian nasional. Apalagi dengan adanya berbagai prakarsa bilateral, regional dan multilateral dibidang perdagangan yang semakin diwarnai oleh arus liberalisasi dan globalisasi perdagangan dan investasi. Sudah barang tentu permasalahan yang timbul di bidang perdagangan akan semakin kompleks pula.181 Perubahan-perubahan pada pola perdagangan internasional yang menggejala dewasa ini pada akhirnya akan memberikan peluang yang lebih besar bagi Negara maju untuk memenangkan persaingan pasar. Disamping itu, pola perdagangan juga akan berubah pada konteks borderless world atau paling tidak pada nuansa liberalisasi perdagangan dan investasi dimana barriers atas perdagangan menjadi semakin tabu. Untuk itu, kebijaksanaan Pemerintah dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan yang telah berlaku secara efektif tanggal 1 April 1997 yang telah direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan, jelas merupakan langkah antisipatif yang menyentuh dimensi strategis, substantif dan essensial di bidang perdangangan, serta diharapkan mampu menghadapi tantangan-tantangan di era perdagangan bebas yang sudah diambang pintu. Pemberlakuan Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan juga telah memberikan konsekuensi logis bagi DJBC berupa kewenangan yang semakin besar sebagai institusi Pemerintah untuk dapat memainkan perannya sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diemban, dimana kewenangan yang semakin besar ini pada dasarnya adalah keinginan dari para pengguna jasa internasional (termasuk dengan tidak diberlakukannya lagi pemeriksaan prapengapalan atau pre-shipment inspection oleh PT. Surveyor Indonesia dan sepenuhanya dikembalikan kepada DJBC), yang nota bene bahwa kewenangan tersebut adalah kewenangan Customs yang universal serta merupakan konsekuensi logis atas keikutsertaan Indonesia dalam meratifikasi GATT Agreement maupun AFTA, APEC dan lain-lain.182 Berbagai langkah persiapan telah dan terus dilakukan dengan tetap mempertimbangkan kerangka acuan yang diinginkan oleh ICC yang pada dasarnya mengajukan kriteria-kriteria yang sebaiknya dimiliki oleh Customs yang sifatnya modern. Dengan beralihanya fungsi dan misi dari 181
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai http://www.beacukai.go.id/index.html?page=about, di akses 20 Mei 2015 jam 19.09 Wib 182 Ibid
Tax Collector menjadi Trade Facilitator, maka sebagai institusi global, DJBC masa kini dan masa depan harus mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat umum yang bercirikan save time, save cost, sefety, dan simple. Semua ciri tersebut harus menjadi bagian yang integral dari sistem dan prosedur kepabeanan. Jika DJBC ingin berperan dalam upaya pembangunan ekonomi secara umum dalam era persaingan yang semakin tajam, era liberalisasi perdagangan dan investasi serta globalisasi dalam arti seluas-luasnya. Sejalan dengan itu, semakin beragamnya sentra-sentra pelayanan baik dari segi perlindungan terhadap Intellectual Property Rights, anti dumping, anti subsidi, self assessment, maka secara ringkas DJBC diharapkan dapat do more with less (berbuat lebih banyak dengan biaya lebih rendah). DJBC juga dituntut untuk melakukan pelayanan yang time sensitive, predictable, available (saat dibutuhkan) dan adjustable.183 Totalitas pelayanan merupakan kerangka dasar yang bersumber pada fenomena speed dan flexibility sebagai formula penting. Hal yang terpenting adalah bagaimana mengubah visi masa lalu yang amat dominan bahwa revenue collection dan law enforcement akan selalu mengakibatkan terhambatnya arus barang sehingga akan menimbulkan high cost economy yang pada konsekuensi selanjutnya mengakibatkan produk-produk dalam negeri tidak mampu bersaing di area perdagangan internasional. Selain itu, perlu juga diketahui bahwa bussiness operation akan semakin tergantung pada performance Customs dimanapun. Efisiensi usaha juga tergantung pada mutu dan kecepatan pelayanan Customs. Kegagalan Customs dalam menekan high cost economy tidak saja akan mengakibatkan kegagalan ekonomi Indonesia untuk menjerat oppotunity, mengubah keuntungan komparatif menjadi keuntungan kompetitif, tetapi juga secara substansial dapat mengakibatkan larinya para investor yang semula akan melakukan investasinya di Indonesia dengan segala implikasi ekonomis negatif lainnya.184 Keinginan dan tuntutan dari para pengguna jasa internasional tersebut adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi, dan sudah menjadi kewajiban moral bagi DJBC untuk melakukan berbagai perubahan yang cukup mendasar, baik dari segi penyempurnaan organisasi dan tatalaksana DJBC, simplifikasi dan sekaligus transparansi sistem dan prosedur Kepabeanan, serta pengembangan kualitas sumber daya manusia, sehingga diharapkan nantinya terdapat suatu keselarasan dengan jiwa dan kepentingan dari UU Kepabeanan itu sendiri. Sebagai produk
183 184
Ibid Ibid
hukum nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, maka bentuk UU Kepabeanan yang bersifat proaktif dan antisipatif ini sangatlah sederhana namun memiliki jangkauan yang lebih luas dalam mengantisipasi terhadap perkembangan perdagangan internasional. Hal-hal baru berupa kemudahan di bidang kepabeanan juga diatur, seperti penerapan sistem self Assessment dan post entry Audit yang merupakan back-up sistem atas sistem self Assessment. Pos audit yang tidak lain bertujuan untuk mengetahui tingkat kepatuhan dari para pengguna jasa, ternyata juga mampu berperan ganda yaitu mengterlaksananyakan penerimaan Negara dan meningkatkan kelancaran arus barang. Customs dimana pun di dunia ini adalah suatu organisasi yang keberadaannya amat essensial bagi suatu Negara, demikian pula dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah suatu instansi yang memiliki peran yang cukup penting dari Negara dalam melakukan tugas dan fungsinya untuk:185 1. 2. 3. 4. 5.
Melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang berbahaya; Melindungi industri tertentu di dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat dengan industri sejenis dari luar negeri; Memberantas penyelundupan; Melaksanakan tugas titipan dari instansi-instansi lain yang berkepentingan dengan lalu lintas barang yang melampaui batas-batas Negara; Memungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor secara maksimal untuk kepentingan penerimaan keuangan Negara. Dalam rangka merampasa asset transaksi keuangan yang mencurigakan, Undang-Undang
Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia berwenang membawa LHA dari PPATK terkait transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian di bidang bea dan cukai ke Pengadilan. Hal ini dapat dilihat dari dari penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang mengatakan bahwa “Yang dimaksud dengan "penyidik tindak pidana asal" adalah pejabat dari instansi yang oleh undangundang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional
185
Ibid
(BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.186
5).
Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga Negara yang bersifat independen
yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya yang bebas dari kekuasaan manapun. Pimpinan KPK terdiri dari 5 (lima) orang yang merangkap sebagai anggota yang semuanya adalah pejabat Negara. Pimpinan KPK tersebut terdiri atas unsur pemerintah dan unsur masyarakat sehingga sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap kinerja KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi tetap melekat pada KPK. Untuk menjamin penguatan pelaksanaan tugas dan wewenangnya, KPK dapat mengangkat tim penasihat yang berasal dari berbagai bidang kepakaran yang bertugas memberikan nasihat atau pertimbangan kepada KPK. Dari aspek kelembagaan, ketentuan mengenai struktur organisasi KPK diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan masyarakat luas tetap dapat ikut berpartisipasi dalam aktivitas dan langkah-langkah yang dilakukan oleh KPK, serta pelaksanaan program kampanye publik dapat dilakukan secara sistematis dan konsisten, sehingga kinerja KPK dapat diawasi oleh masyarakat luas. Dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK mempunyai tugas:187 1. 2. 3. 4. 5.
Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; Melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara. Dalam melaksanakan tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, KPK berwenang:188 1. 2.
Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi; Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi;
186
Penjelasan Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian 187 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 188 Pasal 7 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
3. 4. 5.
Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Dalam melaksanakan tugas supervisi, Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai
wewenang: 1.
Melakukan pengawasan, penelitian atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik.189
2.
Mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.190 Pengambilalihan penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang
sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan dilalukan dengan alasan: 1.
Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
2.
Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
3.
Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhanya;
4.
Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
5.
Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif atau legislatif; atau
6.
Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.191 dan,
7.
Memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum atas pengambilalihan perkara korupsi tersebut.192 KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:193 189
Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 191 Pasal 9 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 192 Pasal 10 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 193 Pasal 11 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 190
1.
2. 3.
Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara Negara; Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Terkait pelaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak
pidana korupsi berwenang, KPK juga berwenang:194 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
8. 9.
Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa atau pihak lain yang terkait; Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; Menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa; Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum Negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan dan penyitaan barang bukti di luar negeri; Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Dalam bidang pencegahan, KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya
pencegahan, antara lain:195 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara Negara; Menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi; Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; Melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Terakhir, dalam melaksanakan tugas monitor Komisi Pemberantasan Korupsi
berwenang:196 194
Pasal 12 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 196 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 195
a. b.
c.
3.
Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga Negara dan pemerintah; Memberi saran kepada pimpinan lembaga Negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran KPK mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.
Penanggulangan Kejahatan Pencucian Uang Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah “politik
criminal” sudah barang tentu tidak hanya menggunakan sarana hukum pidana (penal), tetapi dapat juga melalui sarana-sarana diluar hukum pidana (non-penal). Secara garis besar kedua sarana tersebut memiliki bentuk kerja yang berbeda. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat “refressive” (penindasan/pemberantasan/ penumpasan) sesudah terjadinya kejahatan. Sedangkan jalur non-penal lebih berorientasi pada sifat “preventive” (pencegahan/ penangkalan/ pengendalian) sebelum terjadinya kejahatan.197 Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik criminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.198 Dilihat dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup formulasi/legislasi, aplikasi/yudikasi dan pelasanaan/eksekusi. 197 198
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan HukumPidana, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 40 Ibid
a.
Pendekatan Kebijakan dan Pendekatan Nilai Dalam Kebijakan Hukum Pidana Dalam rangka menuju hukumpidana yang beradab, selayaknya harus dilihat dari berbagai
aspek kebijakan dalam hukumhukumpidana. Karena dengan melihat berbagai kebijakan dalam hukumpidana, maka akan didapat suatu gambaran tentang permasalahan yang sedang dihadapi. Untuk itu, masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:199 1. 2.
Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Mengenai perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana pencucian sudah dirumuskan
secara jelas dan tegas dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantaan Tindak pidana pencucian uang, bahkan sanksi yang ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana pencucian uang maksimal 20 (dua puluh) tahun dan denda maksimal hingga Rp. 10 Milliar bagi perorangan yang melakukan tindak pidana sedangkan korporasi yang melakukan pencucian uang dendanya maksimal Rp. 100 Milliar200. Tentu denda yang cukup tinggi sepadan dengan dampaknya bagi pembangunan ekonomi bangsa. Sudarto berpendapat bahwa dalam menghadapi masalah sentral yang pertama diatas, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang pada intinya sebagai berikut:201 1.
2.
3. 4.
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan hukum nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan pengurangan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materil dan atau spiritual) atas warga masyarakat. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principle). Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada melampaui beban tugas (overbelasting). 199
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan ke III, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 29 200 Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantaan Tindak pidana pencucian uang mengatakan bahwa, pidana denda pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda sebanyak Rp. 100.000.000.000,00 (seratus milliar) 201 Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hlm. 29-30
Menarik apa yang dikatakan oleh Sudarto, mengingat bahwa begitu banyaknya transaksi keuangan mencurigakan seharusnya dirampas untuk Negara guna mewujudkan masyakarat adil dan makmur. Akan tetapi dalam pelaksanaannya ternyata merampas transaksi keuangan mencurigakan banyak mengalami kendala. Hal ini dikarenakan belum sepahamnya aparatur penegak hukum dalam merampas asset yang diduga merupakan dari hasil kejahatan pencucian uang. Karena, apabila merampas asset transaksi keuangan dengan berpedoman pada prinsip konvensional yaitu menemukan subjek hukum terlebih dahulu bisa dikatakan memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Selain itu juga, seperti yang dikatakan oleh Sudarto, Pembangunan hukum pidana harus sesuai dengan kapasitas. Kapasitas penyidik dan adanya alur keterputusan untuk membawa transaksi keuangan mencurigakan ke pengadilan menjadi semakin rumit, mengingat, penyelidik berada di PPATK sedangkan penyidik berada di Institusi lain. Oleh karena itu diperlukan suatu pembagian secara terbatas untuk membawa ke pengadilan transaksi keuangan mencurigakan gunakan merampas asset kejahatan pencucian uang dilakukan oleh penyelidik asal. Akan tetapi ini menjadi semakin sedikit rumit, mengingat belum tentu penyidik dari kepolisian dan kejaksaan bersedia untuk memberikan wewenang tersebut. Namun demikian, karena ini merupakan kerja Negara dan kerja seluruh anak bangsa untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat perlu dipikirkan kembali tentang tujuan dirampasnya asset transaksi keuangan yang mencurigakan. Setidaknya ada dua opsi dalam rangka merampas asset transaksi keuangan mencurigakan guna mewujudkan asset recovery kejahatan pencucian uang, yaitu: a. b.
Mewajibkan kepada penyidik untuk membawa ke pengadilan terhadap hasil analisis transaksi keuangan yang mencurigakan dari kejahatan pencucian uang, atau Membuat institusi baru khusus untuk merampas transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang. Untuk itu, apabila membawa transaksi keuangan mencurigakan dapat dibawa ke
pengadilan selain dapat memberikan keuntungan berupa pemasukan terhadap keuangan Negara, juga berguna sebagai alat pencegah ekonomis. Ted Honderich berpendapat bahwa, suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:202 a.
Pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya/merugikan daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan; 202
Barda Nawawi Arief, Op.Cit, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,, 2005, hlm. 29
b.
Tidak ada pidana lain yang dapat mencegah secara efektif dengan bahaya/kerugian yang lebih kecil. Namun hukum pidana jangan dijadikan sebagai primum remidium dalam merampas
transaksi keuangan yang mencurigakan. Karena, ideologi hukum pidana, seperti yang dikatakan Andrew Halpin hanya untuk memastikan bahwa hanya perilaku-prilaku bersalah akan ditentukan dengan asas actus non facit reum nisi mens rea, dan hukuman yang akan dijatuhkan harus sesuai dengan asas nulla poena sine lege.203 Ini artinya, dalam transaksi keuangan yang mencurigakan harus mengedepankan pengejaran uang hasil kejahatan daripada pidana badan bagi pelaku transaksi keuangan yang mencurigakan.
b.
Upaya Non-Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Kaitannya Perampasan Asset Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “non-penal” lebih bersifat
tindakan pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain, berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan kejahatan. Beberapa masalah dan kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi semata-mata dengan “penal”. Kebijakan sosial pada dasarnya adalah kebijakan atau upaya-upaya rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi identik dengan kebijakan atau perencanaan pembangunan nasional yang meliputi yang cukup luas dari pembangunan. Penanganan atau kebijakan berbagai aspek pembangunan ini sangat penting, karena disinyalir dalam berbagai kongres PBB (mengenai the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), bahwa pembangunan itu sendiri dapat bersifat “kriminogen” apabila pembangunan itu:204 a. b. c.
Tidak direncanakan secara rasional (it was not rationally planned); atau direncanakan secara timpang, tidak memadai/tidak seimbang (unbalanced/inadequately planned); Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral (disregarded cultural and moral values); dan Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruh/integral (did not include integrated social defense strategies).
203
Andrew and Dorit Halpin, Definition in the Criminal Law, Hart Publishing c/o International Specialized Book Services, Portland USA, 2004, hlm. 188 204 Barda Mawawi Arief, Op.Cit, hlm. 44-45
Selain itu juga, salah satu aspek kebijakan sosial sosial yang kiranya patut mendapat perhatian ialah penggarapan masalah kesehatan jiwa masyarakat (social hygiene), baik secara individual sebagai anggota masyarakat mapupun kesehatan/kesejahteraan keluarga (termasuk masalah kesejahteraan anak dan remaja) serta masyarakat pada umumnya. Penggarapan masalah kesehatan jiwa/rohani sebagai bagian integral dari strategi penanggulangan kesehatan juga menjadi pusat perhatian Kongres PBB. Dalam pertimbangan Resolusi No. 3 Kongres ke-6 tahun 1980, mengenai “Effective Measures to Prevent Crime” antara lain, dinyatakan:205 a. b.
Bahwa pencegahan kejahatan bergantung pada pribadi manusia itu sendiri. Bahwa strategi pencegahan kejahatan harus didasarkan pada usaha membangkitkan/menaikkan semangat atau jiwa manusia dan usaha memperkuat kembali keyakinan akan kemampuannya untuk berbuat baik. Terhadap kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, Brent Fisse dan Jhon Braithwaite
mengatakan bahwa, pencegahan kejahatan korporasi harus dilakukan dengan:206 1. 2.
3. 4.
Pencegahan tidak berarti hukuman yang harus diarahkan pada aktor individu. Ketidakpastian mengenai sifat dari aksi korporasi tidak memiliki kebijakan implikasinya bahwa hukuman jera harus dibatasi untuk aktor individu, tetapi sepenuhanya konsisten dengan strategi sanksi yang berfokus pada perusahaan serta aktor individu. Pencegahan dan reformasi organisasi saling melengkapi bukan saling sarana eksklusif mengendalikan perilaku perusahaan. Kapasitas penjeraan dari tanggungjawab pidana individual dibatasi oleh berbagai faktor, yaitu: penegakan berlebihan; garis tanggungjawab (sesuai aturan internal perusahaan), akuntabilitas; tanggungjawab akhir individu dalam organisasi; pemisahan tanggungjawab perusahaan terhadap pelanggaran masalalu guna untuk mencegah pelanggaran masa yang akan datang dan perusahaan tidak menyembunyikan tersangka yang bersifat individu. Brantingham & Faust mengatakan bahwa, pencegahan kejahatan bisa dilakukan dengan
menggunakan epidemiologi medis. Ada tiga cara pendekatan pencegahan kejahatan yaitu “… primary, secondary, and tertiary prevention. who identified the site of primary preventio as the general public or environment; the site of secondary prevention as those regarded as being “at risk” of offending or criminal victimization; and the site of tertiary prevention as those who have already succumbed to either criminality or criminal victimization”.207 seperti yang dikatakan oleh Brantingham & Faust misalnya, Dari aspek primer pencegahan perlu dilakukan perlunya mengidentifikasi di ruang publik atau ditempat umum. Dari aspek skunder misalnya, perlunya mengidentifikasi korban yang berisiko dari pelaku kriminal. Dan terakhir dari aspek tersier yaitu 205
Ibid, hlm. 45 Brent Fisse and John Braithwaite, Corporations, Crime and Accountability, Cambridge University Press, Cambridge, 1993, hlm. 133 207 Daniel Gilling, Crime prevention: Theory, policy and politics, University College London Press, 1993, hlm. 15 206
dengan mengidentifikasi mereka yang telah “bertobat” melakukan kejahatan atau mereka yang menjadi korban kejahatan.
4.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik Hukum yang ada sekarang ini sebagaimana yang terdapat di Negara-negara di dunia saat
ini, tidak jauh dan tidak lepas dari hukum modern. Kapan hukum di dunia itu dikatakan modern sebagai hukum modern. Hukum modern menurut Boaventura de Sousa Santos muncul karena dibidani kemunculannya oleh paradigm positivism dalam ilmu-ilmu social abad ke-18 hingga abad akhir ke-19. Hal ini ditandai dengan adanya saintifikasi hukum modern. Negitu kuatnya paradigm psotisme tersebut membuat tatanan hukum modern mulai membebaskan diri dari tatanan hukum kuno (tertuma pengaruh ideologi), sehingga hukum menjadi sangat rasional. Pengaruh postivisme dalam hukum ini melahirkan aliran hukum legal formalism atau conceptualism. Pada dasarnya, aliran legal formalism merupakan suatu aliran hukum ositif yang membangun prinsip-prinsip hukum, proposisi dan juctificatory structure yang komperehnsif dan ketat yang dapat dihasilkan dari praktek-praktek hukum dengan cara memakai ilmu alam yang deduktif-logis.208 Pemakaian cara ilmu alam dengan menggunakan deduktif-logis disebabkan karena dalam kehidupan dan peradaban modern, hukum jauh mengungguli bentuk-bentuk manifestasi tatanan yang lain. Oleh karena itu, ketajaman dan kejelasan serta kemampuan untuk memaksa dipatuhi.
208
Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 150-151
Dalam hal ini, hukum merupakan bentuk tatanan masyarakat par exelent, disebabkan karena bentuknya yang tajam dan penetratif.209 Dampak yang sangat jelas digunakan daripada hukum modern ini adalah bahwa pengaruh ketuhanan tidak lagi logis untuk mengatur dalam kehidupan manusia. Pada sistem hukum modern ini juga, keadilan sudah dianggap diberikan dengan membuat hukum positif. Dengan kata lain, keadilan akan ditegakkan dan ditentukan melalui hukum positif. Semua hubungan kemasyarakatan dan pemerintahan didasarkan pada peraturan dan prosedur yang sifatnya impersonal dan impartial. Hukum dalam bentuknya yang modern sebagaimana dikatakan oleh Sadjipto Rahardjo mempunyai ciri-ciri:210 a. b. c.
Mempunyai bentuknya yang tertulis, Hukum itu berlaku untuk seluruh wilayah Negara. Hukum merupakan instrument yang dipakai secara sadar untuk membuat keputusankeputusan politik. Sementara itu Marc Galanter mengatakan bahwa, karakteristik dari hukum modern itu
tercermin dari:211 a.
b.
c.
d.
e.
f.
Hukum uniform terdiri dari peraturan-peratauran yang uniform dan tidak berbeda dengan penerapannya. Penerapan hukum lebih bersifat territorial daripada personal. Artinya, peraturan-peraturan yang sama boleh diterapkan bagi umat segala agama, warga semua suku bangsa, daerah, kasta atau golongan. Perbedaan diantara pribadi-pribadi yang diakui oleh hukum bukanlah perbedaan dalam makna intrinsic atau kualitas, tetapi perbedaan fungsi, kondisi dan prestasi dalam tuntutan duniawi. Hukum transaksional lebih cenderung membagi hak dan kewajiban yang timbul dari transaksi pihak-pihak yang bersangkutan daripada mengumpulkannya di dalam himpunan yang tak berubah, yang disebabkan oleh hal-hal menentukan diluar transaksi tertentu. Himpunan status hak dan kewajiban sebagaimana yang ada, lebih banyak didasarkan atas fungsi atau kondisi duniawi daripada atas perbedaan kepatuhan atau kehormatan sekremental inheren. Hukum universal dalam hal ini khusus dibuat untuk memberikan contoh tentang suatu patokan penerapan secara umum daripada untuk menunjukkan sifatnya yang unik dan intuitif. Dengan demikian penerapan hukum itu dapat diulang kembali. Hierarti terdapatnya suatu jaringan tingkat banding dan telaah tingkat ulang yang teratur untuk menjamin tindakan-tindakan local sejalan dengan patokan-patokan nasional. Hal ini memungkinkan hukum menjadi uniform dan dapat berlaku. Adanya sistem birokrasi untuk menjamin uniformitas sistem tersebut. Sistem tersebut harus berlaku secara impersonal, dengan mengikuti prosedur tertulis untuk masingmasing kasus untuk memutuskan suatu perkara. Rasionalitas berarti peraturan tersebut harus masuk akal dan dipastikan dapat dipelajari. 209
Ibid, hlm. 151 Ibid, hlm. 151-152 211 Ibid, hlm. 152-153 210
g. h. i.
Profesionalisme berarti sistem hukum modern dalam hal ini harus dikelola menurut persyaratan yang telah ditentukan serta dapat diuji implementasinya. Perantara berarti adanya mahkama agung, pengadilan, pengacara dan jaksa. Dapat diralat berarti adanya pengawasan politik serta pembedaan tugas. Untuk itu, hukum modern dalam setiap aturan hukum dalam artian formal dalam
pembuatannya haruslah memenuhi pembentukannya sesuai dengan peruntukkannya. Apabila pembentukan peraturan perundang-undangan tidak sesuai dengan kaidah-kaidah hukumyang baik, bisa dipastikan peraturan tertulis tersebut sulit untuk dijalankan, karena mengandung kelemahan bawaannya sendiri. Untuk itu, agar peraturan perundang-undangan yang baik tersebut dapat berdaya guna dan berdaya hasil, I.C. van der Vlies mengemukakan peraturan perundangundangan yang baik harus memenuhi syarat-syarat formal dan materiil. Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dari segi formal menurut I.C. van der Vlies, ialah:212 i. ii. iii. iv. v.
Asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling); Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ); Asas perlunya pengaturan (het noodzalijkeheids beginsel); Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoerbaarheid); Asas consensus (het beginsel van consensus). Sedangkan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dari segi materiil
menurut I.C. van der Vlies, ialah:213 1. 2. 3. 4. 5.
Asas terminology dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke terminology en duidelijke systematiek); Asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid); Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkeheids-beginsel); Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel); Asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuale rechtsbedeling). Seperti yang diketahui bahwa, suatu peraturan perundang-undangan mempunyai
kekuatan berlaku harus memenuhi persyaratan secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Dasar suatu peraturan perundang-undangan harus memenuhi kekuatan secara yuridis, sosiologis dan filosofis bertujuan agar setiap orang mengetahui peraturan perundang-undangan tersebut. Konsekuensinya adalah ketika seseorang melanggar ketentuan hukum tidak boleh beralasan bahwa ketentuan hukum itu tidak diketahuinya. Artinya apabila suatu ketentuan perundang-
254 228
212
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 1, Kanisius, Cetakan ke-18, Yogyakarta, 2007, hlm.
213
Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-Undangan 2, Kanisius, Cetakan ke-19, Yogyakarta, 2007, hlm.
undangan itu sudah diberlakukan (diundangkan) maka dianggap (difiksikan) bahwa semua orang telah mengetahuinya dan untuk itu harus ditaati.214 Dasar kekuatan berlaku secara yuridis menurut Agus Hariyanto pada prinsipnya harus menunjukan:215 a. b.
c.
d.
Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan, dalam arti harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi yang diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat. Keharusan mengikuti tatacara tertentu, seperti pengundaangan atau penggumuman setiap Undang-undang harus dalam Lembar Negara, atau peraturan daerah harus mendapatkan persetujuan dari DPRD bersangkutan. Keharusan bahwa tidak bertentangan dengan perraturan peerundang-undangn yang lebih tinggi tingkatannya. Selanjutnya, suatu peraturan perundang-undangan mempunyai kekuatan berlaku
sosiologis artinya
suatu peraturan perundang-undangan harus mencerminkan kenyataan
penerimaan dalam masyarakat.216 Menurut Sadjipto Rahardjo bahwa ukuran sosiologi dalam pembuatan undang-undang harus memperhatikan:217 j. k. l. m. n. o. p.
Asal-usul Undang-undang, Mengungkap motif di belakang pembuat Undang-undang, Melihat pembuatan Undang-undang sebagai endapan konflik kekuatan dan kepentingan dalam masyarakat, Susunan dari badan pembuatan Undang-undang dan implikasi sosiologisnya, Membahas hubungan antara kualitas dan jumlah Undang-undang yang dibuat dengan lingkungan social dalam suatu priode tertentu, Sasaran perilaku yang ingin diatur atau diubah, Akibat-akibat baik yang dikehendaki maupun tidak. Terakhir, kekuatan keberlakuan peraturan perundang-undangan secara filosofis artinya
adalah menyangkut pandangn mengenai inti atau hakikat dari kaidah hukum itu, yaitu apa yang menjadi cita hukum yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum, misalnya untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya.218 Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan mengatakan bahwa dalam
214
Agus Hariyanto, http://agushariyantosukses.blogspot.co.id/2012/05/syarat-berlakunya-undangundang.html di akses tanggal 20 January 2016 Jam 19.25 Wib 215 Ibid, 216 Ibid 217 Yesmil Anwar dan Adang, Op.Cit, Pengantar Sosiologi …., hlm. 207 218 Agus Hariyanto, Op.Cit, http://agushariyantosukses.blogspot.co.id/2012/05/syarat-berlakunyaundang-undang.html
membentuk peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang meliputi:219 a. b. c. d. e. f. g.
Kejelasan tujuan; Kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; Kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan; Dapat dilaksanakan Kedayagunaan dan kehasilgunaan; Kejelasan rumusan; dan Keterbukaan. Selain itu, dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang
pembentukan peraturan perundang-undangan mengatakan bahwa, materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas:220 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
Pengayoman; Kemanusiaan; Kebangsaan; Kekeluargaan; Kenusantaraan; Bhinneka tunggal ika; Keadilan; Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau Keseimbangan, keserasian dan keselarasan. Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia terdiri atas:221 a. b. c. d. e. f. g.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Materi yang boleh diatur dalam suatu Undang-undang dibatasi dengan ketentuan yang
berisi:222
219 220
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
221
Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan
222
undangan
Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
a. b. c. d. e.
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; Pengesahan perjanjian internasional tertentu; Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
5.
Tinjauan umum tentang hukum pembuktian
a.
Urgensi beban pembuktian Hukum sebagai sistem formal yang modern dirancang secara sentral nasional hadir dalam
budaya lokal dan yang informal khas lokal. Rancangan pembangunan hukum nasional yang berporos pada politik kodifikasi dan unifikasi telah berhasil menerapkan pembangunan hukum yang modern.223 Hukum menurut Akhmad Ali merupakan suatu perangkat norma, baik yang benar maupun yang salah, yang dibuat atau diakui eksistensinya oleh pemerintah, yang dituangkan secara tertulis maupun tidak tertulis, yang mengikat dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat secara keseluruhan, serta ancaman sanksi bagi para pelanggar aturan, sehingga
223
Bernard L. Tanya, Hukum Dalam Ruang Sosial, Genta Publishing, Yogyakarta, 2010, hlm. 1-2
hukum bukan hanya menjadi undang-undang dan tidak harus diciptakan oleh pemerintah, tetapi cukup diakui dan meliputi perkembangan dari berbagai konvensi internasional.224 Hukum selalu berkaitan erat dengan kepastian dan keadilan sebagai dua poros yang selalu berlawanan.225 Hukum bukanlah suatu yang dipilih dan dipertimbangkan sebelum dianut oleh negara, tetapi sistem tersebut, berevolusi bersama dengan masyarakat dari negara itu sendiri. Dalam sistem hukum yang dianut oleh suatu negara, terutama negara jajahan, sering ditentukan dalam beberapa hal yang kurang sesuai dengan kebiasaan dan nilai-nilai tradisional masyarakat setempat. Praktik hukum dalam setiap negara mengembangkan suatu sistem peradilan pidananya sendiri, yang ditentukan oleh perkembangan kepercayaan, agama, kebiasaan, budaya, tradisi, pengalaman sejarah bangsa, struktur ekonomi, dan organisasi politik negara tersebut.226 Banyaknya berbagai pengaruh dalam praktik hukum, hal yang harus dihindari oleh penegak hukum adalah dengan tidak berprilaku over acting yang bersikap congkak akan kekuasaan atau memanisfetasikan sikap kesewenangan serta melakukan perbuatan tercela dengan menyalahgunakan kekuasaan untuk mengejar kepentingan pribadi. Penjernihan pada tugas masing-masing perlu dilakukan. Dalam hukum acara perkara pidana, perdata, tata usaha negara, peradilan mahkamah konstitusi maupun hukum islam, hakim memerlukan pembuktian sebagai suatu alasan yang dipergunakannya untuk memutuskan sengketa yang menjadi tugas dan beban yang sangat mulia sekaligus kontroversial atas tugas dan fungsinya. Oleh sebab itu, putusan hakim harus berdasarkan bukti-bukti yang sah dan hakim dapat berkeyakinan untuk menjatuhkan hukuman.227 Pembuktian dalam praktik hukum merupakan bagian yang kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya semakin rumit, karena pembuktian tersebut berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masalalu sebagai suatu kebenaran. Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses perdata, bukan berarti bersifat absolut, tetapi bersifat relatif, atau bahkan cukup bersifat kemungkinan. Namun untuk mencari
224
Akhmad Ali, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom dan Artikel Pilihan Dakam Bidang Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 1-2 225 Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian Dalam Praktik Peradilan Pidana, Total Media, Jakarta, 2009, hlm. 1 226 O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak asasi Tersangka Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung, 2006, hlm. 3 227 Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan, Gramata Publishing, Depok, 2012, hlm. 6-7
kebenaranpun. Harus tetap menghadapi kesulitan yang disebabkan beberapa faktor. Adapun faktor-fakktor tersebut adalah:228 1. Adanya sistem adversial yang berkewajiban memberi hak yang sama kepada para pihak berperkara untuk saling mengajukan kebenaran mereka masing-masing, serta mempunyai hak untuk saling membantah kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses adversial. 2. Pada prinsipnya kedudukan hakim dalam proses pembuktian adalah lemah dan pasif, yakni tidak dapat mencari dan menemukan kebenaran dari apa yang diajukan dan disampaikan para pihak dalam persidangan. 3. Mencari dan menemukan kebenaran semakin lemah dan sulit disebabkan fakta dan bukti yang diajukan para pihak tidak dianalisis dan dinilai oleh para ahli. terkadang bukti dan keterangan yang disampikan saksi penuh emosi dan prasangka yang berlebihan. Bahkan kenyataannya, kebenaran yang dikemukakan dalam alat bukti mengandung dugaan dan prasangka bohong dan kepalsuan. Pembuktian dalam arti yuridis, menurut Sudikno Mertokusumo hanya berlaku bagi pihak yang berperkara atau yang memperoleh hak dari mereka, dengan demikian pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju pada kebenaran mutlak, karena ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian atau bukti tertulis itu tidak benar atau dipalsukan, maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.229 Pembuktian merupakan sesuatu yang fundamental dalam praktik pengadilan. Setidaknya ada empat konsep pembuktian secara teoritik. Pertama, suatu bukti haruslah relevan dengan sengketa atau perkara yang sedang ditangani. Artinya bukti tersebut berkaitan dengan fakta-fakta yang menunjuk pada suatu kebenaran suatu peristiwa. Kedua, suatu bukti haruslah dapat diterima atau admissible. Biasanya suatu bukti yang diterima dengan sendirinya akan relevan. Sebaliknya suatu bukti yang tidak relevan tidak akan dapat diterima. Ketiga, tidak diakuinya bukti secara melawan hukum. Tegasnya, peraturan yang mensyaratkan bahwa bukti yang diperoleh secara illegal tidak dapat diterima. Terlebih dalam konteks hukum pidana, kendatipun suatu bukti relevan dan dapat diterima dari sudut pandang penuntut umum, bukti tersebut dapat dikesampingkan oleh hakim bilamana perolehan alat bukti tersebut dilakukan tidak sesuai dengan aturan. Keempat, dalam konteks pengadilan, setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim.230 Terkait empat konsep pembuktian tersebut, yaitu relevant, admissible, exclusionary rules dan weight of the evidence, Max Houck menyatakan ada dua tipe bukti yang tidak dapat 228
Ibid, hlm. 7-8 Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, Pustaka Pelajar, Cetakan I, Yogyakarta, 2004, hlm. 28 230 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta, 2012, hlm. 11-12 229
memperkuat suatu kasus. Pertama, jika terjadi pertentangan bukti antara satu dengan yang lain yang mana bukti-bukti tersebut berasal dari sumber yang berbeda dan tidak dapat dirujuk. Kedua, bukti yang tidak dapat digunakan karena diperoleh secara ilegal yang disebut dengan tainted evidence (bukti yang ternodai). Termasuk dalam tainted evidence adalah derivative evidence atau bukti yang tidak orisinil.231 Begitu pentingnya bukti dalam suatu perkara hukum, sehingga tanpa ada bukti atau alat bukti yang cukup, hakim tidak akan dapat memutus suatu perkara yang dilimpahkan kepadanya. Dengan perkataan lain, untuk menjawab keadilan hakim harus tunduk pada bukti-bukti yang ada padanya sebelum hakim membuat putusan-putusan yang bernilai keadilan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan kepada Tuhan Yang Maha Esa. b.
Parameter pembuktian alat-alat bukti Alat bukti merupakan jantung dari pembuktian benar atau tidaknya seseorang melakukan
perbuatan yang dituduhkan. Perbuatan tersebut harus melalui mekanisme pembuktian yang telah ditentukan oleh suatu perundang-undangan. Pembuktian menurut R. Soepomo mempunyai dua arti. Pertama, dalam arti luas, pembuktian membenarkan hubungan hukum. Kedua, dalam arti yang terbatas, pembuktian hanya diperlukan apabila hal yang dikemukakan oleh seseorang dibantah. Sementara hal yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan. Pembuktian terkait erat dengan membuktikan. Menurut Sudikno Mertokkusumo, membuktikan mempunyai beberapa pengertian, yaitu arti logis, konvensional dan yuridis. Pertama, membuktikan dalam arti logis adalah memberikan kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Kedua, pembuktian dalam arti konvensional adalah memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif. Memberikan kepastian dalam bentuk nisbi menjadi dua, yakni kepastian dalam bentuk persangkaan belaka atau kepastian yang bersifat intuitif yang disebut conviction intime dan kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal yang biasa disebut conviction raisonance. Ketiga, membuktikan dalam arti yuridis adalah memberikan dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.232 Pembuktian juga merupakan mencari kebenaran atas suatu peristiwa. Dalam konteks hukum, arti penting pembuktian adalah mencari kebenaran suatu peristiwa hukum. Dalam
231 232
Ibid, hlm. 12 Ibid, hlm. 6
konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti persidangan perkaran pidana, karena yang dicari dalam hukum pidana adalah kebenaran materiil. Kendatipun demikian, pembuktian dalam perkara pidana sudah dimulai sejak tahap penyelidikan untuk mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Pada tahap ini sudah terjadi pembuktian, dengan perbuatan penyidik mencari bukti. Dengan demikian dalam perspektif hukum acara pidana, ketentuan yang membatasi siding pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran, baik oleh hakim, penuntut umum, terdajwa maupun penasihat hukum, semuanya terikat pada ketentuan dan tata cara, serta penilaian alat bukti yang ditentukan dalam Undang-undang. Tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan yang leluasa sendiri dalam menilai alat bukti dan tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang. Terdakwa tidak diperkenankan mempertahankan sesuatu yang dianggap benar di luar ketentuan yang ditentukan dalam Undang-Undang.233 Perlu diketahui bahwa, ada empat hal terkait empat konsep pembuktian. Pertama, suatu bukti haruslah relevan dengan sengketa atau perkara yang sedang di proses. Artinya bukti tersebut berkaitan dengan fakta-fakta yang menunjuk pada suatu kebenaran suatu peristiwa. Kedua, suatu bukti harus dapat diterima atau admissible. Biasanya suatu bukti yang diterima dengan sendirinya relevan. Kendatipun demikian, dapat saja suatu bukti relevan, tetapi tidak dapat diterima. Misalnya testimony de auditu atau hearsay yakni mendengar suatu kesaksian dari orang lain. Ketiga, exclusionary rules atau exclusionary discretion. Phyllis B. Gerstenfeld mengatakan bahwa exclusionary rules merupakan prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara melawan hukum. Tegasnya, peraturan yang mensyaratkan bahwa bukti yang diperoleh secara illegal tidak dapat diterima di pengadilan. Terlebih dalam konteks hukum pidana, kendatipun suatu bukti relevan dan dapat diterima dari sudut pandang penuntut umum, bukti tersebut dapat dikesampingkan oleh hakim, bilamana perolehan bukti tersebut dilakukan tidak sesuai dengan aturan. exclusionary rule membolehkan seorang terdakwa mencegah penuntut umum mengajukan bukti di pengadilan sebagai bukti yang dapat diterima karena diperoleh secara inkonstitusional. Exclusionary rule juga dapat menolak bukti probative dengan konsekkuensi meniadakan tuntutan jaksa. Namun biasanya setiap sistem hukum
233
Ibid, hlm. 7-8
mengesampingkan bukti yang telah dipertmbangkan jika bukti tersebut tidak relevan atau tidak dapat dipercaya.234 Keempat, dalam konteks pengadilan. Setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim. Dalam konteks yang demikian, setiap orang telah masuk apa yang dinamakan dengan kekuatan pembuktian (bewijskracht). Disini hakim akan menilai setiap alat bukti yang diajukan ke pengadilan, kesesuaian antara bukti bukti yang satu dengan bukti yang lain, kemudian akan menjadikan bukti-bukti tersebut sebagai dasar pertimbangan hakim dalam mengambil keputusan. Tekait empat konsep pembuktian tersebut, Max M. Houck menyatakan ada dua tipe bukti yang tidak dapat memperkuat suatu kasus. Pertama, jika terjadi pertentangan bukti antara satu dengan yang lain yang mana bukti-bukti tersebut berasal dari sumber yang berbeda dan tidak dapat dirujuk. Kedua, bukti yang tidak dapat digunakan karena diperoleh secara illegal yang disebut dengan tainted evidence. Termasuk dalam tainted evidence adalah derivative evidence atau bukti yang tidak orisinil.235 Konsekwensi lebih lanjut dengan menggunakan exclusionary rules, hakim dapat mengesampingkan bukti tersebut sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat (weight of the evidence). Tainted evidence berkaitan erat dengan bewijsvoering, yakni cara mengumpulkan, memperoleh dan menyampaikan bukti ke pengadilan. Terkait dengan itu, menurut William R. Bell, faktor-faktor yang berkaitan dengan pembuktian adalah sebagai berikut:236 1.
2. 3. 4. 5.
Bukti harus relevan atau berhubungan. Oleh karena itu, dalam konteks perkara pidana, ketika menyidik suatu kasus biasanya polisi mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apa unsur-unsur kejahatan yang disangkakan, apa kesalahan tersangka, yang harus dibuktikan, fakta-fakta mana yang harus dibuktikan. Bukti harus dapat dipercaya (reliable). Dengan kata lain, bukti tersebut dapat diandalkan sehingga untuk memperkuat suatu bukti harus didukung bukti-bukti lainnya. Bukti tidak boleh didasarkan atas persangkaan yang tidak semestinya. Artinya, bukti tersebut bersifat objektif dalam memberikan informasi mengenai suatu fakta. Dasar pembuktian haruslah berdasarkan alat-alat bukti yang sah. Berkaitan dengan cara mencari dan mengumpulkan bukti, harus dilakukan dengan caracara yang sesuai dengan hukum. Dalam konteks hukum pembuktian, ada parameter yang ditentukan dalam hukum
pembuktian. Parameter tersebut adalah:237
234
Ibid, hlm. 10-11 Ibid, hlm. 12 236 Ibid, hlm. 12-13 237 Ibid, hlm. 15-26 235
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bewijstheori yaitu pembuktian yang dipakai sebagai dasar pembuktian oleh hakim di pengadilan. Bewijsmiddelen yaitu alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan terjadinya suatu peristiwa hukum. Bewijsvoering yaitu cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Bewijslast atau burden of proof yaitu pembagian pembuktian yang diwajibkan oleh Undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa hukum. Bewijskracht yaitu kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan. Bewijs minimmum yaitu bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim. Terkait dengan parameter hukum pembuktian, wujud bukti dapat beranega ragam seperti
saksi mata, ahli, dokumen, sidik jari, DNA dan lain sebagainya. Larry E. Sullivan dan Marie Simonetti Rosen membagi bukti dalam tiga kategori yaitu, Pertama, bukti langsung yaitu bukti yang membentuk unsur kejahatan melalui penuturan saksi mata, pengakuan atau apapun yang diamati termasuk tulisan dan suara, video atau rekaman digital lainnya. Kedua, bukti tidak langsung yang didasarkan pada perkataan dan analisis yang masuk akal. Misalnya, sebuah senjata yang baru ditembakkan dan dihubungkan dengan tubuh mayat yang berada disebelahanya. Ketiga, bukti fisik yang dihasilkan dari penyidikan criminal untuk menentukan adanya kejahatan yang dihubungkan antara suatu barang, korban dan pelakunya. lebih lanjut Larry E. Sullivan dan Marie Simonetti Rosen mengatakan bahwa, kendatipun bukti dapat dibagi dalam tiga kategori, bukti dapat tumpang tindih antara satu dengan yang lain. Misalnya, isi pengakuan tertulis adalah barang bukti langsung, tetapi adanya fakta bahwa pengakuan itu ditawarkan tanpa paksaan pada pihak penulis yang di ambang maut menjadikannya bukti tidak langsung dan catatan aktual atau rekaman seperti kertas dan tinta atau tape audio akan dianggap sebagai bukti fisik.238
c.
Beban pembuktian dalam peradilan pidana
1)
Pembuktian dan asas legalitas Gagasan dasar asas legalitas terhadap terdapat dalam„Habeas Corpus Act‟ yang dibuat di
inggris pada tahun 1679. Habeas Corpus Act (1679) merupakan aturan hukum tentang “for the better securing the liberty of the subject, and for prevention of imprisonments beyond the seas‟. Pada prinsipnya, Habeas Corpus Act (1679) mengatur tentang perlindungan terhadap kebebasan 238
Ibid, hlm. 53-54
warga Negara Inggris dan pencegahan pemidanaan yang sewenang-wenang. Habeas Corpus Act (1679) lebih menegaskan tentang jaminan pelindungan hak-hak warga Negara, dengan cara membatasi kekuasaan raja dan kewenangan hakim, serta mengaturnya dalam tatanan Undangundang.239 Setelah Revolusi Prancis, asas legalitas telah menjadi pondasi hukum pidana dan peradilan pidana, dimana hukum pidana dan peradilan pidana harus didasarkan pada undangundang pidana. Hukum pidana dan peradilan yang didasarkan pada undang-undang pidana selalu dalam konteks perlindungan kepentingan warga Negara dengan membatasi kekuasaan penguasa dan hakim. Hukum pidana yang tadinya bersumber pada hukum kebiasaan (costomary law) berubah menjadi hukum pidana yang bersumber pada perundang-undangan (statute law). Terjadi perubahan doktrin tentang kewenangan untuk mengkualifikasi perbuatan pidana, dari doktrin “arbitrum judicis”, dimana hakim berwenang mengkualifikasikan perbutan pidana menjadi doktrin “hanya undang-undang (dalam hal ini pembuat undang-undang) yang berwenang mengkualifikasikan perbuatan pidana” (only law can defines the crimes). Hal ini berakibat pada perubahannya peradilan pidana “arbitrium judicis” menjadi peradilan pidana berdasarkan Undang-undang pidana.240 Asas legalitas dalam bahasa latin dikenal dengan, nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang berarti tidak ada perbuatan pidana atau tidak ada pidana tanpa Undang-undang pidana sebelumnya adalah salah satu prinsipat dalam hukum pidana yang dikenal dengan asas legalitas. Menurut sejarahanya, asas ini merupakan produk aliran klasik dalam hukum pidana yang bertujuan melindungi kepentingan individu dari kesewenangwenangan negara dan bukan untuk melindungi masyarakat dan Negara dari kejahatan sebagaimana tujuan hukum pidana modern. Paling tidak ada empat makna asas legalitas. Pertama terhadap ketentuan pidana, tidak berlaku surut (non retroaktif atau nullum crimen null apoena sine lege scriptaa tau lexs cripta). Ketiga, rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege certa atau lex certa). Keempat, ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi (nullum crimen nulla poena sine lege scripta atau lex stricta).241 239
Deny Setyo Yuherawan, Dekonstruksi Asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah Asas Legalitas dan gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, Setara Press, Malang, 2014, hlm. 26 240 Ibid, hlm. 66 241 Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, Teori dan …., hlm. 34-35
Hal yang selalu menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah asas legalitas dalam hukum pidana hanya berlaku dalam hukum pidana materiil ataukah juga dalam hukum pidana formil? Kiranya untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita kembalikan kepada rumusan awal sebagaimana yang dikemukakan Anselm Von Feurbach. Nullum delictum nulla poena sine pravia lege poenali, bila diuraikan dalam frasa yang dikemukakan Feurbach, akan menjadi:242 a. b. c.
Nullapoena sine lege yang berarti tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang; Nulla poena sine crimen yang berarti tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana; Nullum crimen sine poena legali yang berarti tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang. Berdasarkan ketiga frasa tersebut, asas ini mempunyai dua fungsi yaitu, Pertama, fungsi
melindungi yang berarti undang-undang pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang. Kedua, fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan. Fungsi melindungi lebih pada hukum pidana materil yang mengacu pada frase pertama (nulla poena sine lege) dan kedua (nulla poena sine crimene). Sementara itu, fungsi instrumentasi lebih pada hukum pidana formil yang mengacu pada frase ketiga (nullum crimen sine poena legali). Bila dicermati, frase ketiga nullum crimen sine pona legali yang berarti “tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang” adalah suatu kalimat negatif. Jika kalimat tersebut dipositifkan, bunyinya, “semua perbuatan pidana harus dipidana menurut undang-undang”. Dengan demikian, asas legalitas dalam hukum pidana meliputi hukum pidana materil dan formil.9 Dalam hukum pidana materil, asas legalitas berarti tidak ada yang dapat dipidana, kecuali atas perbuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. sementara itu, dalam hukum pidana formil asas legalitas berarti setiap perbuatan pidana harus dituntut.243 Asas legalitas dalam hukum acara pidana hanya mengandung tiga makna, Pertama, lex scripta yang berarti bahwa penuntutan dalam hukum acara pidana harus bersifat tertulis. Kedua, lex certa yang berarti hukum acara pidana harus memuat ketentuan yang jelas. Ketiga, lexs cricta yang berarti bahwa hukum acara pidana harus ditafsirkan secara ketat. Tegasnya, kalaupun dilakukan penafsiran dalam hukum acara pidana, penafsiran tersebut bersifat restriktif. Hal ini dapat dipahami mengingat sifat keresmian dalam hukum acara pidana dan karakter hukum acara 242 243
Ibid, hlm. 35 Ibid, hlm. 36
pidana yang sedikit-lebih banyak mengekang hak asasi manusia. Legalisme yang berarti berpegang teguh pada peraturan, tata cara atau penalaran hukum12 menjadi sangat penting dalam hukum acara pidana, kendatipun legalisme itu sendiri menurut Philippe Nonet cenderung membuat frustasi pada tujuan hukum itu sendiri. Dalam konteks hukum acara pidana, legalisme itu sendiri cenderung mengesampingkan kebenaran materiil suatu tindak pidana. Dalam konteks pembuktian, rumusan delik dalam suatu undang-undang, selain merupakan perwujudan asas legalitas, juga memiliki fungsi unjuk bukti. Artinya, yang harus dibuktikan oleh jaksa penuntut umum di pengadilan adalah unsur-unsur dalam suatu rumusan delik yang didakwakan kepada tersangka.244
2)
Beban pembuktian dalam KUHAP
i.
Convivtion in-time (keyakinan pada waktunya) Sistem pembuktian Convivtion in-time merupakan sistem yang menentukan kesalahan
terdakwa semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim dengan menarik keyakinannya atas kesimpulan dari alat bukti yang di periksanya dalam sidang pengadilan. Alat bukti dapat saja diabaikan olehanya dan menarik kesimpulan dari keterangan terdakwa. Kelemahan sistem ini adalah putusan hakim berdasarkan pada keyakinan belaka dapat menentukan putusan kepada terdakwa dari tindakan pidana secara bebas tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup, meski kesalahan terdakwa telah terbukti. Bila bertumpu pada keyakinan semata-mata tanpa didukung alat bukti yang sah, maka telah cukup untuk membuktikan kasusu sebenarnya terhadap terdakwa, sehingga dapat menyerahkan sepenuhanya kepada hakim atas nasib terdakwa. Oleh sebab itu, keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian.245 ii.
Conviction La Raisonee Sistem conviction la raisonee dikenal juga sebagai sistem pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim atas alasan yang logis. Hakim memegang peranan penting dalam menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa, tetapi faktor keyakinan haki dibatasi dengan dukungandukungan dan alasan yang jelas.Hakim berkewajiban untuk menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya yang dapat diterima secara akal dan bersifat yuridis. Sistem ini disebut oleh Andi Hamzah sebagai sistem yang bebas karena hakim dapat menyebut
244 245
Ibid Syaiful Bakhri, Op.Cit, Hukum Pembuktian …, hlm. 29
alasan-alasan keyakinannya secara bebas (vrije bewijstheorie), atau disebut juga sebagai jalan tengah berdasarkan keyakina hakim sampai batas tertentu. Sistem tersebut terpecah menjadi dua jurusan, yang pertama adalah berdasarkan keyakinan hakim (conviction in time) dan yang kedua adalah teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheorie). Persamaan dari keduanya adalah sama sama berdasarkan atas keyakina hakim. Dengan kata lain, terdakwa tidak mungkin tanpa adanya keyakinan hakim bahwa terdakwa dinyatakan bersalah. Menurut undang-undang, keyakinan hakim harus berdasarkan suatu ketentuan dan kesimpulan (conclusive) yang logis, yakni berdasarkan ilmu pengetahuan hakim terhadap alat bukti yang dipergunakannya sehingga dapat ditentukan secara limitatif. Sistem ini berpangkal pada keyakinan hakim terhadap sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif.246 iii.
Pembuktian menurut Undang-Undang secara positif Pembuktian tersebut adalah suatu pembuktian yang bertolak belakang dengan sistem
pembuktian menurut keyakinan semata-mata (conviction in time). Keyakinan hakim tidak berarti berpedoman pada hati nuraninya, seolah-olah dia adalah robot dari pelaksanaan undang-undang yang tidak berhati nurani. Kelebihan sistem ini adalah hakim berkewajiban untuk mencari dan menemukan kebenaran sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan dari berbagai alat bukti yang sah oleh undang-undang. Dengan demikian, hakim dapat mengeyampingkan faktor keyakinan semata-mata dan menegakan nilai pembuktian objektif tanpa memperhatikan subjektivitas sejak awal persidangan. Sistem ini lebih pantas disebut sebagai penghukuman berdasar hukum.247 Penghukuman dengan sistem ini berdasarkan asas kewenangan undang-undang bahwa terdakwa akan dijatuhkan hukuman dengan bukti unsur-unsur yang sah menurut undang-undang, Andi Hamzah mengutip pernyataan D. Simons yang mengemukakan bahwa sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif dan sistem tersebut berusaha untuk menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketata menurut peraturan-peraturan pembuktian yang keras. Sistem berdasarkan undang-undang secara positif dianut di Eropa pada waktu berlakunya asas inkusitoir (inquisitoir) dalam acara peradilan pidana. Namun, teori ini sudah tidak dianut lagi karena mengandalkan pembuktian berdasarkan undang-
246 247
Ibid, hlm. 51 Ibid, hlm. 52
undang. Hal ini telah ditolak oleh Wirjono Prodjodikuro karena keyakinan hakim yang mungkin jujur dan berpengalaman sekali adalah hal sesuai dengan keyakinan masyarakat. Sistem pembuktian menurut positef wettelijk adalah tersedianya jenis-jenis dan banyaknya alat-alat bukti yang ditentukan oleh Undang-undang, yang akan memaksa hakim untuk menyatakan suatu dakwaan sebagai bukti yang sah.248 iv.
Pembuktian menurut Undang-undang secara negatif Pembuktian menurut Undang-undang secara negatif menggabungkan secara terpadu
dengan rumusan yang telah dikenal. Bersalah atau tidaknya terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasari oleh cara menilai alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Dengan bertitik tolak pandang tersebut, maka dapat diketahui bahwa pembuktian harus dilakukan dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Keyakinan hakim tersebut harus juga didasari oleh hal demikian sehingga terjadi keterpaduan unsur subjektif dan objektif dalam menentukan kesalahan. Dalam praktik peradilan, sistem conviction in time akan mudah mengalami penyimpangan, terutama pada hakim yang tidak tegar, tidak terpuji, demi keuntungan pribadi, atau terselubung unsur keyakinan belaka dalam keputusannya. Hal tersebut akan mempengaruhi faktor keteguhan dan kesempurnaan prinsip diri hakim masih berperan dalam tugasnya sebagai pemutus hukum berdasarkan keadilan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Andi Hamzah, mengemukakan dengan mengutip pernyataan Wirjono Prodjodikuro bahwa sistem pembuktian berdasar Undang-undang secara negatif (negatief wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan:249 1. 2.
Memang sudah seharusnya ada keyakinan hakim yang kuat dalam menentukan kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan pemidanaan. Janganlah hakim menjatuhkan pidana karena ketidakyakinannya terhadap kesalahan terdakwa. Berfaedah jika ada aturan hukum yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya. Hal tersebut bertujuan agar ada patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh hakim dalam melaksanan peradilan. Seperti yang diketahui, Sistem pembuktian yang terdapat keyakinan hakim dalam
memutuskan perkara ada dalam Pasal 183 KUHAP, yakni kesalahan terdakwa harus berdasarkan pada kesalahan yang terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Hakim dapat memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang melakukannya. Sistem ini ditujukan untuk membuktikan suatu ketentuan yang setidaknya dapat 248 249
Ibid, hlm. 52-53 Ibid, hlm. 53-54
menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum. Dengan demikian, sistem ini telah dianggap tepat dalam penegakan hukum, yakni tentang penerapan dan kecenderungan sistem pembuktian yang bertumpu menurut KUHAP. Beberapa kealpaan dan kekeliruan hakim dalam menerapkan putusannya dapat diperbaiki sehingga terjadi saling kontrol oleh hakim pada tingkatan peradilan berikutnya. Hakim ditentukan secara normatif mengenai prinsip batas minimum pembuktian, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.250 Menurut sistem pembuktian yang berdasarkan pada KUHAP, penilaian atas kekuatan pembuktian yang dianut adalah kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti yang diajukan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum dan sepenuhanya diserahkan kepada majelis hakim. Maka, penilaian itu harus berdasarkan pola pikir yang logis dan wajar. Alat bukti dalam sistem pembuktian ini dimaknai sebagai alat bukti yang sah, yakni memperoleh keyakinan bahwa unsur tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum telah dipenuhi oleh terdakwa dan ternyata telah dipenuhi oleh terdakwa dengan benar. Dalam menjatuhkan pemidanaan, keputusan hakim harus didukung setidaknya oleh dua alat bukti yang sah. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan seorang ahli, surat, mapun petunjuk dengan ketentuan penjumlahan kedua alat bukti tersebut, maka harus “saling menguatkan”, dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Penjumlahan dua alat bukti itu juga dapat dijadikan keterangan dari dua orang saksi yang saling bersesuaian dan saling menguatkan, atau penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan terdakwa selama keterangan terdakwa jelas dapat saling menyesuaikan.251
3)
Alat-alat bukti dalam hukum acara pidana
a)
Keterangan saksi Titik barat pemeriksaan saksi sebagai alat bukti ditujukan kepada permasalahan yang
berhubungan dengan pembuktian, yaitu syarat sahanya keterangan saksi. Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam pemeriksaan pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua pembuktian perkara pidana, selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi. Disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian sekurang-kurangnya dengan
250 251
Ibid, hlm. 54 Ibid, hlm. 54-55
alat bukti keterangan saksi. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of evidence”, keterangan saksi mempunyai nilai kekuatan pembuktian. Beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian sebagai berikut:252 1.
2.
3.
Harus mengucapkan sumpah atau janji. Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 160 ayat (4) memberi kemungkinan untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Berikut ini tentang pengucapan saat sumpah atau janji. Pertama, pada prinsipnya wajib diucapkan “sebelum”saksi memberi keterangan. Kedua, dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau janji dapat diucapkan “sesudah” saksi memberi keterangan; mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji sudah diterapkan, yakni terhadap saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji sudah diterapkan, yakni terhadap saksi yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah: a).dapat dikenakan sandera; b). penyanderaan dilakukan berdasar “penetapan” hakim ketua sidang; c). penyanderaan hal seperti ini paling lama 14 hari (Pasal 161). Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti. Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP: dihubungkan dengan bunyi penjelasan Pasal 18 ayat (1), sehingga dapat ditarik kesimpulan. Pertama, setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihat atau dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan diluar pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu peristiwa pidana yang terjadi, “tidak dapat dijadikan dan dinilai sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai kekuatan nilai pembuktian. Kedua, “testimonium de auditu” atau keterangan saksi yang ia peroleh sebagai hasil pendengaran dari orang lain “tidak mempunyai nilai sebagain alat bukti”. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang didengarkannya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti. “Pendapat” atau “ rekaan” yang saksi peroleh dari hasil pemikiran bukan merupakan keterangan saksi, ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5). Oleh sebab itu, setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat pendapat dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Hal seperti ini dapat dilihat dalam putusan MARI tanggal 1 maret 1984 Reg. No. 20 PK/Pid/1983. Dalam keputusan ini, ditegaskan bahwa: “orang tua terdakwa, polisi, dan jaksa hanya menduga, tapi dugaan itu semua hanya merupakan kesimpulan sendiri-sendiri yang tidak didasarkan pada alat-alat bukti yang sah”. Tentang kebenaran keterangan saksi, dan hakim harus sungguh-sungguh memperhatikan persesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lainnya dengan alat bukti yang sah. Alasan yang mungkin dipergunakan saksi untuk memberikan keterangan tertentu, serta cara hidup kesusilaan saksi serta segala sesuatu, yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dapat dipercaya. 252
Ibid, hlm. 58-61
4.
5.
b)
Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan. Hal tersebut, bertujuan agar saksi dapat diniali sebagai alat bukti dan keterangan itu harus yang ”dinyatakan” disidang pengadilan. Hal ini sesuai dengan penegasan Pasal 185 ayat (1). Keterangan saksi yang berisi penjelasaan tentang apa yang didengar, dilihat, atau dialaminya sendiri mengenai suatu peristiwa pidana baru dapat dinilai sebagai alat bukti apabila keterangan saksi dikemukakan disidang pengadilan. Keterangan yang dinyatakan diluar sidang pengadilan. (outside the court) bukan alat bukti dan tidak dapat dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan saksi saja tidak dianggap cukup. Prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183, bahwa agar keterangan saksi dapat dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Oleh sebab itu, bertitik tolak dari ketentuan Pasal 18 ayat (2), yakni keterangan seorang saksi saja belum dianggap cukup sebagai alat bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa atau “unus testis nullus testis” jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya sendiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang lain, “kesaksian tunggal” yang seperti ini tidak dapat dinilai sebgai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Berbeda halnya dengan terdakwa membrikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya. Keterangan ahli Sebagai alat bukti yang sah, keterangan ahli merupakan suatu kemajuan dalam perkara
disidang pengadilan. Pembuat undang-undang dapat menyadari bahwa pentingnya menyatukan perkembangan ilmu pengetahuan dengan teknologi, sehingga keterangan ahli sangat memegang peranan penting dalam peradilan pidana. Adapun tata cara menilai keterangan ahli, yakni untuk kepentingan penyidikan. Oleh sebab itu, penyidik berhak mengajukan permintaan keterangan seorang ahli. Dalam Pasal 186 dan Pasal 133 dijelaskan bahwa penyidik dapat membuat sebuah keterangan atau laporan terhadap ahli kedokteran kehakiman ataupun ahli lainya yang sesuai dengan kehendak penyidik tersebut. Setelah itu, keterangan atau laporan itu dimasukkan kedalam berita acara penyidikan sebagaimana Pasal, atau dapat juga disampaikan dalam sidang pengadilan. Beberapa jenis dan tata pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah, yaitu:253 a) b)
Diminta dan diberikannya keterangan terhadap ahli saat pemeriksaan penyidikan; Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan dapat mebuat laporan atau visum et revertum yang bernilai sebagai alat bukti yang sah menurut Undang-undang. Keterangan ahli yang diminta tersebut dapat disampaikan pada sidang pengadilan yang
diajukan secara lisan oleh penuntut umum, penasehat hukum, dan keterangan ahli. Lalu, 253
Ibid, hlm. 70
keterangan tersebut langsung dicatat oleh panitera dalam berita acara dan akan diberi sumpah atau janji sebgaia alat bukti yang sah menurut undang-undang. Keterangan ahli tersebut merupakan salah satu ciri khas dari perkembangan hukum acara pidana modern, sehingga sangat berguna untuk menjelaskan suatu tindak pidana yang terjadi. Pengertian keterangan ahli adalah sebagai alat bukti, hal ini telah diatur dalam KUHAP Pasal 186, Pasal 1 Nomor 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180, dan Pasal 186. Namun bila keterangan ahli berkaitan dengan tanda tangan dan tulisan, maka keterangan tersebut akan diperiksa di Laboratorium Forensik Mabes Polri (Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia) atau laboratorium kriminal Pom ABRI (Polisi Militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) secara autentik.254 c)
Surat Dalam Pasal 186 KUHAP dijelaskan bahwa, surat yang dibuat dapat berdasarkan atas
sumpah jabatan. Hal tersebut dapat dianggap sebagai bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti, yakni suatu berita acara yang membuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialaminya, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keteranganya. Surat yang berberntuk ketentuan perundang-undangan dibuat oleh penjabat yang berwenang, surat keterangan ahli atau surat lainnnya bersifat resmi. Nilai kekuatan pembuktian surat dari segi formal adalah sebagai alat bukti yang sempurna. Dari aspek materil, nilai surat keterangan mempunyai kekuatan yang mengikat dan hakim bebas untuk melakukan penilaian atas subtansi surat tersebut dengan azas keyakinan hakim dan azas batas minimum pembuktian. Alat bukti surat telah dijelaskan sebagaimana yang telah ditentukan menurut Pasal 187. Alat bukti bukanlah sesuatu yang mengikat, tetapi bernilai sebagai pembuktian yang bersifat bebas. Bila surat keterangan dijadikan dijadikan sebagai bagian dari alat bukti dalam pembuktian, maka perkembangan alat bukti surat ini akan berkembang sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal tersebut dapat terjadi dengan diterimanya beberapa alat bukti seperti surat elektronik, email, sms, dan sebagainya. Hal yang penting dalam perkara tindak pidana korupsi dan sebagainya. Hal yang penting dalam tindak pidana korupsi adalah surat resmi dari instansi atau lembaga tinggi Negara seperti Badan Pemeriksaaan Keuangan Negara (BPK), maupun pusat pelaporan transaksi keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP), atau
254
Ibid, hlm. 71
Inspektorat Jendral Hasil Audit Independent serta laporan masyarakat lainnya di berbagai departemen.255 Alat bukti surat baru mendapat kekuatan sebagai alat pembuktian jika dibuat atas kekuatan sumpah jabatan atau surat yang dikualifikasikan dengan sumpah, yakni berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh kewenangan penjabat umum. Surat tersebut dapat dibuat dengan membuat
tentang keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai alasan keterangan yang jelas dan tegas. Surat yang dibuat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
atau yang dibuat berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan atau yang dibuat oleh penjabat mengenai hal yang termasuk kedalam tata laksana sehingga menjadi tanggung jawabnya. Hal demikian
akan
diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan. Surat keterangan harus dari seorang ahli yang dapat membuat pendapat tentang keahliannya, yakni mengenai suatu hal yang sesuai dengan keadaan berdasarkan keahliannya. Namun, surat lain hanya berlaku jika ada kaitanya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.256 d)
Petunjuk Dalam praktik persidangan, penerapan alat bukti petunjuk hakim digunakan dengan
sangat hati-hati karena sangat dekat dengan sifat sewenang-wenangan yang berdimanasi oleh penilaian subjektif. Oleh sebab itu, hakim harus penuh dengan kearifan, bijaksana, dan penuh kecermatan berdasarkan hati nuraninya dalam menggunakan alat bukti petunjuk, seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 188 (3). Dengan demikian, hakim dapat menghindari pengunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, sehingga alat bukti yang sangat penting untuk dipergunakan dapat didesakan saja. Selalu terdapat kelemahan pembuktian didalam praktik peradilan karena aparat penyidik mengumpulkan pembuktian dengan kurang sempurna. Bahkan, sulit sekali untuk dipahami dalam berita acara pemeriksaan dan praktik peradilannya. Hal tersebut telah dikemukakan dalam keputusan MARI tanggal 27 juni 1983, No.185K/Pid/1982, bahwa hukuman pidana dari Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi telah dijatuhkan terhadap terdakwa. Penjatuhan hukuman tersebut hanya berdasarkan alat bukti petunjuk yang ditarik dan diperoleh hakim dari pengakuan terdakwa diluar sidang. Dengan
255 256
Ibid, hlm. 74-75 Ibid, hlm. 75
demikian, keputusan tersebut akan dibatalkan oleh MARI. Dalam memperoleh alat bukti petunjuk secara limitative telah ditentukan dalam Pasal 188.257
e)
Keterangan terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 ayat (1).
Penempatanya pada urutan terakhir inilah yang menjadi salah satu alasan untuk menempatkan proses pemeriksaaan keterangan terdakwa yang dilakukan sesudah pemeriksaan keterangan saksi. Dalam HIR, alat bukti ini disebut “pengakuan tertuduh”. Istilah ini tisak dipakai lagi dalam KUHAP dan tertukar dengan sebutan “keterangan terdakwa”. Yakni tidak diperoleh keterangan dalam penjelasan KUHAP. Istilah
keterangan terdakwa lebih simpatik dan
manusiawi. Ditinjau dari segi yuridis, keterangan terdakwa lebih simpatik dan lebih manusiawi jika dibandingkah dengan istilah pengakuan terdakwa yang dirumuskan dalam HIR. Istilah pengakuan terdakwa sekan-akan terdapat unsur “paksaan” kepada terdakwa untuk mengakui kesalahannya saja.258 Perkataaan pengakuan sekurang-kurangnya mengandung keleluasaan untuk megutarakan segala sesuatu yang diperbuat, dilihat dan dialami sendiri oleh terdakwa. Hal ini bertedensi/berkecenderungan bahwa pemeriksaan itu semata-mata hanya mengejar pengakuan terdakwa walaupun sesuai dengan iklim dan system pemeriksaan yang dianut pada zaman kolonial, yakni pada zaman yang masih diwarnai cara “inkuisitur”. Sistem pemeriksaan yang sifatnya lebih cenderung menyudutkan terdakwa pada posisi seolah-olah diperiksa. Sebenarnya, terdakwa tersebut sudah dianggap bersalah sejak semula. Metode pemeriksan terdakwa yang dianut atau sejalan dengan pengakuan KUHAP terhadap hak asasi terdakwa harus secara manusiawi. Sikap dan pendekatan hakim dalam pemeriksaan persidangan wajib mencerminkan persamaan hak dan kedudukan antara terdakwa dengan penuntut umum. Pemeriksaan sidang pengadilan benar-benar berdasarkan asas praduga tak bersalah, yakni untuk memahami pengertian keterangan terdakwa sebagai alat bukti.259
d.
Beban pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang 257
Ibid, hlm. 76-77 Ibid, hlm. 77-78 259 Ibid, hlm. 78 258
Seperti yang diketahui, beban pembuktian dalam acara pidana adalah sama, yaitu pembuktian dibebankan kepada jaksa untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukan oleh oleh tersangka/terdakwa adalah benar adanya telah melakukan tindak pidana. Namun demikian, dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, beban pembuktian tersebut dibebankan juga kepada tersangka/terdakwa. Hal ini dapat dilihat dari Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 77 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang mengatakan bahwa “Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Ini artinya bahwa, apabila terdakwa tidak mampu membuktikan sebaliknya sangkaan yang dituduhkan oleh Jaksa, maka semua harta kekayaan dirampas untuk negara. Dengan perkataan lain, terdakwa secara diam-diam mengakui bahwa harta tersebut berasal dari kejahatan pencucian uang. tetapi dengan syarat bahwa, Jaksa harus tetap melakukan dakwaan yang jelas serta logis terhadap sangkaan yang dituduhkan kepada terdakwa. Hal ini dilakukan guna menghindari peradilan yang sewenang-wenang atau tanpa dasar yang kuat dan menghormati hak-hak terdakwa untuk melakukan pembelaan serta menghormati hak asasi manusia untuk mempertahankan harta kekayaannya sepanjang dapat dibuktikan.
6.
Tinjauan umum tentang tindak pidana pencucian uang Pemahaman kejahatan pada masa lampau seringkali kehilangan maknanya karena
melepaskan dirinya dari konsep masyarakat sebagai suatu totalitas yakni dari tempat kejadian dan pemahaman kejahatan itu, sedangkan kejahatan sebagai gejala sosial selalu merupakan kejahatan dalam masyarakat yang merupakan keseluruhan proses-proses sosial, budaya, politik,
ekonomi dan struktur yang ada di dalamnya, yang kesemuanya merupakan hasil dari sejarah hubungan antara manusia, yang selanjutnya ikut mempengaruhi hubungan antar manusia. Istilah kejahatan seringkali dibedakan antara konsep yuridis, yaitu sebagai perbuatan yang dilarang oleh undang-undang pidana, dan sebagai konsep sosiologis dan/atau psikologis yang sering disebut adalah perilaku menyimpang.260 Indah Sri Utami mengatakan bahwa kejahatan ialah ukuran menyimpang atau tidaknya suatu perbuatan ditentukan bukan oleh nilai-nilai dan norma-norma yang dianggap sah oleh mereka yang duduk pada posisi-posisi kekuasaan atau kewibawaan, melainkan oleh besar kecilnya kerugian atau penderitaan sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut dan dikaji dalam konteks ketidaktentraman, ketidakmerataan kekuasaan dan kesejahteraan masyarakat.261 Kejahatan dalam perspektif konvensional menurut B. Mardjono Reksodiputro dianggap mendahului hukum. Oleh karena perbuatan yang dinilai merugikan dianggap sudah sejak dulu sehingga lalu muncul hukum pidana untuk melindungi kepentingan masyarakat yang telah dan akan dirugikan oleh perbuatan tertentu. Sebaliknya dalam perspektif kritis, kejahatan disebut sebagai akibat yang sudah dinyatakan dalam hukum sebagai kejahatan. Hukumlah yang mendahului kejahatan, sehingga hukum pidana sesuai analisis perspektif kritis, belum tentu melindungi kepentingan masyarakat secara keseluruhan. Khususnya dalam menghadapi kejahatan korporasi (corporate crime), maupun kejahatan kerah putih (white collar crime) yang diam-diam lebih merugikan masyarakat.262 Kejahatan juga, diartikan sebagai suatu perbuatan yang oleh masyarakat dipandang sebagai perbuatan yang tercela (terlarang), dan terhadap pelakunya dikenakan suatu hukuman (pidana).263 Kejahatan menurut hukum pidana adalah setiap tindakan yang dilakukan melanggar rumusan kaidah hukum pidana, dalam arti memenuhi unsur delik,264 sehingga perbuatan tersebut dapat dihukum265atau perbuatan yang dilarang dan diancam pidana barangsiapa melanggar larangan tersebut.266
260
I.S. Susanto, Statistik Kriminal Sebagai Konstruksi Sosial Penyusunan Penggunaan dan Penyebarannya Suatu Studi Kriminologi, Genta Publishing, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2011, hlm. 1 261 Indah Sri Utari, Aliran-Aliran Dalam Kriminologi, Thafa Media, Cetakan I, Yogyakarta, 2012, hlm. 45 262 Ibid, hlm. 47-48 263 Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi kajian Relevansi Sanksi Tindakan Bagi Penanggulangan Kejahatan Korporasi, Penerbit Arti Bumi Intaran, Cetakan I, Yogyakarta, 2008, hlm. 16 264 Soedjono Dirdjosisworo, Ruang Lingkup Kriminologi, Remadja Karya, Bandung, hlm. 12 265 Laden Marpaung, Asas-Teori-Praktik HukumPidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 9-10 266 Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1962, hlm. 12
Sementara Utrech mengatakan bahwa peristiwa pidana sama dengan konsep kejahatan dalam arti yuridis yang diartikan sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkan hukuman.267 Romli Atmasasmita mengatakan bahwa kejahatan dalam konsep yuridis juga berarti tingkah laku manusia yang dapat dihukum berdasar hukum pidana.268 Sahetapy mengatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu, merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif) yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.269 Paul Moedikno merumuskan perilaku kejahatan yang anti sosial ini dengan kata-kata yang merugikan, menjengkelkan dan tidak dapat dibiarkan berlangsung. Sebab, apabila dibiarkan berlangsung akan mengakibatkan masyarakat menderita sesuatu yang tidak diinginkan. Maka dilihat dari sudut ini jelaslah bahwa rumusan-rumusan kriminologi dalam memberi arti terhadap perilaku tertentu yang anti sosial, sebenarnya akan sangat bermanfaat bagi badan pembuat undang-undang dalam upayanya tidak saja merumuskan undang-undang pidana baru, juga dalam hal penyempurnaan dan pembaharuan undang-undang pidana, kearah terbentuknya undangundang pidana yang terwanai oleh penelitian kriminologis, sehingga dengan demikian dapat dihindarkan deskrepansi antara undang-undang pidana dan citra masyarakat yang gandrung akan tertanggulanginya perbuatan anti sosial.270 W. A. Bonger mengatakan kejahatan merupakan perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari Negara berupa pemberian penderitaan (hukuman atau tindakan).271 Arif Gosita menyatakan mengatakan bahwa, kejahatan adalah hasil interaksi karena adanya interrelasi antara fenomena yang ada dan yang saling mempengaruhi. Kejahatan yang dimaksud adalah kejahatan dalam arti luas, artinya tidak saja kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang hukum pidana saja melainkan juga tindakan-tindakan yang menimbulkan penderitaan dan tidak dapat dibenarkan serta dianggap jahat. Tidak atau belum dirumuskan
267
Utrech, HukumPidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986, hlm. 253 Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 31 269 Soedjono Dirdjosisworo, Ibid, hlm. 14 270 Ibid, hlm. 15 271 W. A. Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, Pembangunan, Penerjemah R. A. Koesnoen, Jakarta, 1982, hlm. 23 268
dalam undang-undang dikarenakan situasi dan kondisi tertentu.272 Dipandang dari sudut formil (menurut hukum) kejahatan adalah suatu perbuatan, yang oleh masyarakat (dalam hal ini Negara) diberi pidana. Hukum pidana semacam itu tidak bertujuan melindungi masyarakat, tetapi memperkuat alasan untuk menentang perbuatan sewenang-wenang dari penguasa. Lebih jauh lagi kejahatan merupakan sebagian dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. Bahkan di Negara modern hampir tiap perbuatan yang di cap sebagai kejahatan oleh hampir semua penduduknya dirasakan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan.273 Kejahatan dapat dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, secara subjektif dilihat dari orangnya, yaitu perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. Kedua, secara objektif berarti kejahatan dari sudut kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat kejahatan yang terjadi.274 Jika dilihat dari segi subjektif, transaksi keuangan yang mencurigakan diduga hasil tindak pidana bukan hanya melanggar kesusilaan, tetapi juga melanggar peradaban yang berkelanjutan. Peradaban yang berkelanjutan dimaksudkan disini ialah adanya kesatuan tingkah laku manusia yang bergeser kearah tidak “fair”nya dalam lapangan pencarian harta kekayaan. Karena itu, perbuatan yang memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dengan hasil tindak pidana dengan model transaksi keuangan yang profilnya jauh dari wajar, patut diduga perbuatan tersebut harus dicegah dan ditindak secara tegas. Untuk mencegah perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian, perlu diketahui tentang apa yang dimasud dengan tindak pidana pencucian uang. Berikut penulis sajikan beberapa defenisi tindak pidana pencucian uang menurut beberapa pakar hukum. Moneylaundering is difficult to measure. However, there is the implicit assumption among the regulatory authorities that amounts involved are huge; posing a significant threat to the
integrity
of
the
financial
system
and
the
reputation
of
domestic
financial
institutions275(“Pencucuian uang sulit diukur. Namun, ada asumsi implisit antara otoritas pengawas yang terlibat dalam jumlah sangat besar, memunculkan ancaman yang signifikan terhadap integritas sistem keuangan dan reputasi lembaga keuangan”). Money laundering occurs when secret deposits of illicit funds move through a series of deceptive transactions designed to 272
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta, hlm. 99 W. A. Bonger, Op.Cit, hlm. 19-20 274 Ibid, hlm. 23 275 Jackey Harvey, Just how Effective is Money Laundering Legislation, Security Journal 21.3 (July 2008) : p. 189(23). (10391 words) COPYRIGHT 2008 Palgrave Macmillan, a Division of Macmillan Publishers Ltd., http://find.galegroup.com/http://perpustakaan.uns.ac.id/, 13 Mei 2011 273
disguise the source of the funds and make them reappear in the market in a legitimate form, without a trace of their origin276 (“pencucian uang terjadi ketika deposito rahasia memindahkan dana illegal melalkukan serangkaian penipuan yang dirangkai untuk menyamarkan sumber dana dan membuat mereka muncul kembali ke pasar dalam bentuk yang sah tanpa jejak asal perbuatan tersebut”) Tujuan utama dilakukan pencucian uang ini yaitu untuk menghasilkan keuntungan, baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan pencucian uang tersebut. Karena itu, seperti yang dikatakan oleh Jhon Wiley bahwa pencucian uang bukan masalah sendiri, tetapi masalah semua orang.277 Money laundering is difficult to measure. However, there is the implicit assumption among the regulatory authorities that amounts involved are huge; posing a significant threat to the integrity
of
the
financial
system
and
the
reputation
of
domestic
financial
institutions278(“Pencucuian uang sulit diukur. Namun, ada asumsi implisit antara otoritas pengawas yang terlibat dalam jumlah sangat besar, memunculkan ancaman yang signifikan terhadap integritas sistem keuangan dan reputasi lembaga keuangan”). Money laundering occurs when secret deposits of illicit funds move through a series of deceptive transactions designed to disguise the source of the funds and make them reappear in the market in a legitimate form, without a trace of their origin279 (“pencucian uang terjadi ketika deposito rahasia memindahkan dana illegal melakukan serangkaian penipuan yang dirangkai untuk menyamarkan sumber dana dan membuat mereka muncul kembali ke pasar dalam bentuk yang sah tanpa jejak asal perbuatan tersebut”) Tujuan utama dilakukan pencucian uang ini yaitu untuk menghasilkan keuntungan, baik bagi individu maupun kelompok yang melakukan kejahatan pencucian uang tersebut. Untuk
276
Barbara Crutchfield George & Kathleen, Cracdown on Money laundering : A Comparative Analysis of the Feasilibility and Effectiveness of Domestic and Multilateral Policy Reform,Northwestern Journal of International Law & Business, Vol. 23, No. 2, 2013California State University, Long Beach - College of Business Administration and California State University, Long Beach College of Business Administration, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1431264, 27 Mei 2011 277 Jhon Wiley, Anti-Money Laundering: International Law and Practice, Jhon Wiley&Sons Ltd, West Sussex England, 2007, hlm. 1 278 Jackey Harvey, Just how Effective is Money Laundering Legislation, Security Journal 21.3 (July 2008) : p. 189(23). (10391 words) COPYRIGHT 2008 Palgrave Macmillan, a Division of Macmillan Publishers Ltd., http://find.galegroup.com/http://perpustakaan.uns.ac.id/, 13 Mei 2011 279 Barbara Crutchfield George & Kathleen, Cracdown on Money laundering : A Comparative Analysis of the Feasilibility and Effectiveness of Domestic and Multilateral Policy Reform,Northwestern Journal of International Law & Business, Vol. 23, No. 2, 2013California State University, Long Beach - College of Business Administration and California State University, Long Beach College of Business Administration, http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=1431264, 27 Mei 2011
lebih jelasnya, penulis akan sajikan defenisi Money Laundering menurut beberapa pakar sebagai berikut: 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Money laundering is "the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and disguises that income to make it appear legitimate280. (“pencucian uang adalah proses di mana menyembunyikan satu keberadaan, sumber ilegal, atau aplikasi pendapat ilegal, dan penyamaran penghasilan untuk mebuatnya tampak sah). Xinwei Deng, V. Roshan Joseph, Agus Sudjianto dan C. F. Jeff Wu mengatakan Money laundering is a process designed to conceal the true origin of funds that were originally derived from illegal activities281. (“pencucian uang adalah proses yang dirancang untuk menyembunyikan asal usul sebenarnya dana yang awalnya berasal dari kegiatan ilegal”). Patrick mengatakan pencucian uang adalah Money laundering or the metaphorical „cleaning of money‟, with regard to appearances in law, is the practice of engaging in specific financial transactions in order to hide the identity, source and/or destination of money, and is a key operation of underground economy282. (“Pencucian uang atau 'membersihkan uang' metaforis, sehubungan dengan penampilan dalam hukum, adalah praktek terlibat dalam transaksi keuangan tertentu untuk menyembunyikan identitas, sumber dan/atau tujuan uang, dan merupakan operasi kunci ekonomi bawah tanah”). Peter Alldridge mengatakan pencucian uang adalah is the process of transforming the proceeds of illegal activities into legitimate capital.283R.C.H. Alexander: Money laundering is concerned with the processing of property which derives from a criminal offence.284James R. Richards: money laundering is the act of converting funds derived from illegal activities into a spendable or consumable form.285 Fraser berpendapat, bahwa pencucuian uang adalah sebuah proses yang sungguh sederhana dimana uang kotor diproses atau dicuci melalui sumber yang sah atau bersih sehingga orang dapat menikmati keuntungan tidak halal itu dengan aman286. N.H.T. Siahaan mengatakan bahwa money laundering adalah perbuatan yang bertujuan mengubah suatu perolehan dana secara tidak sah supaya terlihat diperoleh dari dana atau modal yang sah287. 280
Emin Akopyan, Money Laundering. (Twenty-Fifth Edition of the Annual Survey of White Collar Crime), American Criminal Law Review 47.2 (Spring 2010) : p. 821 (25). (14715 words) COPYRIGHT 2010 Georgetown University Law Center. http://find.galegroup.com/http://perpustakaan.uns.ac.id/, 25 April 2011 281 Xinwei Deng, V. Roshan Joseph, Agus Sudjianto dan C. F. Jeff Wu, Active Learning Thorugh Sequental Deseign, With Aplication to Detection of Money Laundering, Abstrac, Journal of the Amercan Statistical Association 104.487 (Sep 2009) : p.969(13), http://find.galegroup.com/http://perpustakaan.uns.ac.id/, 13 Mei 2011 282 Patrick Kim Cheng Low, ‘Anti-Money Laundering + Knowing Your Customer = Plain Business Sense’,Leadership & Organizational Management Journal, Volume 2010 Issue 3, p. 76 – 84. Hlm. 2 http://ssrn.com, 18 Mei 2011 283 Peter Alldridge, Money Laundering Law: Forfeiture, Confiscation, Civil Recovery, Criminal Laundering and taxation of the Proceeds of Crime, Hart Publishing, Portland, Oregon USA, 2013, hlm. 2 284 R.C.H. Alexander, Insider Dealing and Money Laundering in the EU: law and regulation, Ashgate Publishing Limited, Hampshire England, 2007, hlm. 23 285 James R. Richards, Transnational Criminal Organizations, Cybercrime, and Money Laundering, CRC Press, Florida, USA, 2000, hlm. 41 286 Harmadi, Kejahatan Pencucian Uang Modus-Modus Pencucian Uang di Indonesia (Money Laundering), Cetakan Pertama, Setara Press, Malang, 2011, hlm. 25-26
7.
8.
9.
10.
Adrian Sutedi mengatakan pencucian uang adalah suatu proses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau Harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang kemudian diubah menjadi Harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah288. David Fraser mengemukakan bahwa pencucian uang adalah suatu proses dimana uang yang didapat dari hasil kejahatan kemudian dicuci melalui sarana yang sah sehingga uang tersebut menjadi bersih dan dapat digunakan dengan aman walaupun sebenarnya uang tersebut didapat dari keuntungan yang tidak halal289. Ivan Yustiavandana, Arman Nevi, Adiwarman mengatakan bahwa pencucian uang adalah upaya untuk menyembunyikan asal usul uang yang merupakan hasil kejahatan melalui berbagai cara dengan memasukkannya kedalam sistem keuangan dengan tujuan melagalkan uang tersebut290. Iman Sjahputra mengatakan bahwa money laundering adalah kejahatan yang berupa upaya untuk menyembunyikan asal usul uang sehingga dapat dipergunakan sebagai uang yang diperoleh secara legal291 Beberapa defenisi lain terkait dengan pencucian uang dari beberapa pakar sebagaimana
yang dikutip oleh Bambang Edhy Supriyanto yaitu sebagai berikut:292 a.
b.
c.
Welling mengatakan bahwa, money laundering is the process by which one conceals the existence, illegal source, or illegal application of income, and than disguises that income to make it appear legitimate (pencucian uang adalah suatu proses dimana, seseorang menyembunyikan keberadaan uangnya dari sumber yang tidak sah, atau mengubah uang yang tidak sah tersebut dengan menjadikannya seolah-olah uang tersebut bersal dari pendapatan yang sah). Menurut Pamela H. Busy dalam bukunya yang berjudul “white collar crime, cases and materials”, menyatakan money laundering is the concealment of the existence, nature or illegal source of illicit fund in such a manner that the funds will appear legitimate of discovered ( pencucian uang adalah suatu perbuatan merahasiakan atau menyembunyikan atau menyimpan uang dari sumber yang tidak sah, dalam hal ini uang kotor, sehingga uang kotor tersebut dijadikan seolah-olah berasal dari sumber yang sah). Chaikin memberikan defenisi pencucian uang sebagai The process by wich conceals or disguises that true nature, source, disposil ion, movement or ownerships of money for whatever reason ( pencucian uang adalah suatu proses dimana perbuatan merahasiakan atau menyembunyikan baik dalam hal asal usul, sumber, pergerakan, maupun kepemilikan uang dengan cara ataupun alasan yang dibuat sedemikian rupa untuk menghilangkan jejak uang tersebut). 287
N.H.T. Siahaan, Money Laundering & Kejahatan Perbankan Edisi Revisi, Cetakan Ketiga, Jala, Jakarta, 2008, hlm. 8 288 Adrian Sutedi, HukumPerbankan Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Merger, Likuidasi, dan Kepailitan, Cetakan Ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 19 289 Erman Rajagukguk, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering), Peraturan PerundangUndangan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi, Jakarta, 2004, hlm. 28 290 Ivan Yustiavandana, Arman Nevi, Adiwarman, Tindak Pidana Pencucian Uang di Pasar Modal, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010, hlm. 11 291 Iman Sjahputra, 2007, Money Laundering (Suatu Pengantar), Penerbit Harvarindo, Jakarta, hlm. 2 292 Bambang Edhy Supriyanto, Op.Cit, hlm. 52-58
d.
e.
f.
g.
Finacial Action Task Force on Money Laundering atau FATF yang dibentuk oleh G-7 Summit di Paris tahun 1982 juga tidak memberikan defenisi pencucian uang, akan tetapi memberikan uraian mengenai pencucian uang sebagai The goal of the large number of criminal act is to generate of profil for the individual or group that carries out the act. Money laundering is the processing, of this criminals proceeds to disguise their illegal origin. This process is of critical importance, as it enables that criminals to enjoy this profits whitout the joepardissing their course. Illegal arm sales, smugling, and the activities of organized crime induding for example drug trafficking and prostition rings can generate huge sums. Embezzlement, insider trading, bribery, and computer fraud schems can also produce large profits and create the intensive to legitimate the ill‟gotten through money laundering (pencucian uang adalah suatu proses yang merupakan perbuatan atau aktivitas menyembunyikan atau merahasiakan, atau menyimpan hasil dari sebagian besar tindak kejahatan, dengan menyembunyikan sumber ataupun asal usul uang kotor atau tidak sah, adanya perdagangan gelap, penyelundupan, ataupun tindak kejahatan terorganisasi lainnya seperti halnya penjualan dan peredaran narkoba, jaringan prostitusi, sehingga memang dapat menghasilkan sejumlah uang yang sangat besar dari kegiatan tersebut). Dalam Darft from Europen Communities (EC) Directive bulan Maret 1990 memberikan defenisi pencucian uang sebagai The conversions or trnsfer of proferty knowing that such property is derived from serious crime, for the purpose of concealing or disguising the illicit origin of the property or of property or of assisting any persons who involved in commiting such on offences to evade the legal consequences of this action, and the concealment or disguise of the true nature source, lovation, disposition, movement, right, with respect ownership or properties derived from scious crime ( pencucian uang adalah suatu proses dimana terjadi penyerahan atau perpindahan sejumlah harta, diamana diketahui bahwa harta tersebut bersal dari kejahatan atau tindak pidana, baik dengan menggunakan metode merahasiakan, menyembunyikan asal usul harta atau uang gelap tersebut, disamping adanya pelibatan yang memang tidak terdeteksi oleh Undang-Undang karena telah disamarkan baik sumber ataupun asal usul uang gelap tersebut, serta adanya penempatan, dan pergerakan ataupun perpindahan uang hasil tindak kejahatan tersebut). Menurut Jeffrey Robinson bahwa money laundering is called what it is because the perfectly describes what take place illegal, or dirty, money is put through a cycle of transaction or washed, so that it come out the other end as legal, or clean money. In other word, the source of illegally obtained fund is obscured thorugh a succession of transfer and deals in order that those same some fund can eventually be made to reapper as legitimate income (pencucian uang dipakai sebagai istilah dikarenakan bahwa uang hasil dari kejahatan tersebut memang benar-benar terurai menjadi seolah-olah berasal dari perbuatan yang bersih. Bisa juga dikatakan sebagai perbauatan menguraikan atau memproses uang yang tidak sah atau kotor, dimana uang kotor tersebut dilibatkan dalam suatu transaksi ataupun perputaran, sehingga setelah terdeteksi oleh Undang-Undang dianggap sebagai uang yang bersih. Di luar negeri sumber atau asal usul uang gelap tersebut digelapkan melalui suatu rangkaian perpindahan atau transaksi sehingga menjadi seolah-olah benar-benar sebagai uang yang bersih). Departemen Kehakiman Kanada menyatakan Money laundering is the conversion of transfer of property knowing that such property is derived from criminal activity for the purpose of concealing the illicit nature and origin of the property from govemment
h.
i.
j.
authorities (pencucian uang merupakan suatu kegiatan berupa upaya perpindahan ataupun perputaran uang atau Harta di mana diketahui Harta tersebut diperoleh dari tindak kejahatan, baik dengan cara merahasiakan sumber asal usul uang tersebut oleh pejabat Negara). Sedangkan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, The United Nation Convention Against Illicit Trafic in Narcotics, Drugs, and Psychotropic Substances of 1988 mengartikan tindak pidana pencucian uang sebagai The convention or transfer of property, knowing that such property is derived from any serious offence or offences, or from act of participation in such offence or offces, for the purpose of concealing or disguising the illicit of the property or of assisting any person who is involved in the commission of such and offence or offences to evade the legal consequences of his action, or the concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement, right with respect to or ownership or property, knowning that such property is derived from a serious (indictable) offence or offences or from an act of participation in such and offence or offences (pencucian uang adalah suatu proses penyerahan maupun perpindahan Harta kekayaan, dimana diketahui bahwa Harta kekayaan tersebut didapatkan dari tindak kejahatan ataupun dalam hal ini diperoleh dari keikutsertaan dalam tindak kejahatan tersebut, dengan tujuan untuk merahasiakan atau menyembunyikan baik sumber ataupun pihak-pihak yang terlibat dari adanya konsekuensi atas Undang-Undang atas tindakannya itu, maupun dengan cara penyamaran dari sumber aslinya, asal usul, dengan penempatan, pergerakan yang berkenaan dengan Harta kekayaan tersebut, dengan diketahui sebelumnya bahwa Harta kekayaan tersebut diperoleh dari tindak kejahatan, maupun keikutsertaan dalam tindak kejahatan tersebut). Menurut Black‟s Law Dictionary, money laundering is term used to describe invesement or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction and other illegal sources into legitimate channels so that its originals source can not be traced ( pencucian uang adalah istilah yang digunakan dalam menjelaskan aktivitas, dalam hal menguraikan atau memindahkan asal usul uang yang tidak sah menjadi seolah-olah sah, sehingga sumber asalnya tidak dapat diusut ataupun dideteksi). Hal demikian berbeda dengan Undang-Undang Pencucian Uang Malaysia atau Anti Money Laundering Act of 2001, yang menyebutkan bahwa money laundering means the act of a person who : 1) Engages, directly or indirectly, in a transaction that involves proceedsof any unlawful activity (melakukan/terlibat (langsung/tidak) dalam suatu transaksi harta kekayaan yang bersal dari perbuatan melawan hukum); 1) Acquires, receives, possesses, disquises, transfers, converts, exchanges, carries, disposes, uses, removes from or brings into Malaysia proceeds of any unlawful activity; (memperoleh, menerima, memiliki, menyembunyikan, mentransfer, mengubah, menukar, membawa, menyimpan, menggunakan, memindahkan dari atau membawa ke Malaysia, harta kekayaan yang bersal dari perbuatan yang melawan hukum); or 2) Conceals, disquises or impedes the establisment of the true nature, origin, location, movement, disposition, title of, rights with respect to, or ownership of, proceeds of any unlawful activity (menyembunyikan, menyamarkan atau merintangi penentuan asal usul, tempat, penyaluran, penempatan, hak-hak yang terkait dengan atau kepemilikan dari harta kekayaan yang berasal dari perbuatan yang melawan hukum).
Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pengertian pencucian uang dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Sedangkan, Penulis sendiri berpendapat bahwa pencucian uang ialah suatu proses dimana uang Illegal dirubah menjadi uang legal dengan menggunakan berbagai cara agar dapat dinikmati kembali. Cakupan yang termasuk tindak pidana pencucian uang ialah perolehan harta kekayaan dari tindak pidana, hal ini dapat dijumpai dalam Pasal 2 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: 293 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s. t. u. v. w. x. y. z.
Korupsi; Penyuapan; Narkotika; Psikotropika; Penyelundupan tenaga kerja; Penyelundupan migran; Di bidang perbankan; Di bidang pasar modal; Di bidang perasuransian; Kepabeanan; Cukai; Perdagangan orang; Perdagangan senjata gelap; Terorisme; Penculikan; Pencurian; Penggelapan; Penipuan; Pemalsuan uang; Perjudian; Prostitusi; Di bidang perpajakan; Di bidang kehutanan; Di bidang linglungan hidup; Di bidang kelautan dan perikanan; atau Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. 293
dalam Pasal 2 angka (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Munculnya istilah pencucian uang pertama kali semenjak Al Capone salah satu pengusaha mafia terbesar di Amerika Serikat memulai bisnisnya pada tahun 1920-an yaitu jenis usaha Laundromats (tempat cuci otomatis). Al Capone memilih bisnis ini adalah untuk mengelabui Negara dan publik agar bisnisnya dianggap normal dan halal. Karena dalam model bisnis tersebut menggunakan uang tunai yang dapat memepercepat proses pencucian uang, meskipun asal muasal dari uang tunai tersebut berasal dari bisnis hasil pemerasan, perjudian, penyelundupan, prostitusi, minuman keras dan kejahatan-kejahatan lainnya. David Chaikin dan J.C Sharman mengatakan bahwa, money laundering refers to the process of obscuring the illicit origins of money derived for crime. Aside from the general metaphor of taking illegal “dirty” money and “cleaning” it to look legitimate, the term more directly derives from the (possibly apocryphal) story of Al Capone‟s strategy of using Laundromats and other small businesses to disguise profits from bootlegged alcohol during the prohibition era.294Namun demikian tindakan Al Capone disaat itu dianggap bukan sebuah kejahatan bahkan Alcapone dipidana penjara karena melakukan penggelapan pajak.295 Sedangkan cakupan kejahatan pencucian uang 1970-1990 sebagaimana dikatakan oleh Edward Elgar yaitu tentang Narkoba.296 Dalam perjalanannya, pencucian uang menurut pelakunya, adalah merupakan hal yang wajar, karena semuanya dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh perbankan (sebagai salah satu lembaga keuangan). Disamping itu, perbuatan tersebut hanya merupakan hubungan keperdataan antara nasabah (penyimpan dana) dengan pihak bank. Menurut pandangan para pemerhati, perbuatan menyimpan uang di bank itu tidak lagi dapat dilihat atau dipandang sebagai hubungan keperdataan, sebagai mana lazimnya dalam dunia perbankan. Hal itu dilakukan karena penyimpan dana merupakan upaya untuk mengaburkan asal-usul uang yang disimpan. Oleh karena itu perbuatan tersebut perlu ditindak karena perbuatan tersebut merupakan kejahatan dan perlu diberantas.297 Pembicaraan yang serius terkait dengan kejahatan global dan yang menjadi tema konferensi PBB yaitu dengan tema crime and justice, meeting the challenges of the 21 st century. 294
David Chaikin and J.C Sharman, Corruption and Money Laundering: A Symbiotic Relationship, Palgrave macmillan, Ney York, 2009, hlm. 14 295 Muhammad Nurul Huda, Tesis: Perbandingan Politik HukumTindak Pidana Pencucian Uang, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2011, hlm. 58 296 Edward Elgar, A Comparative Guide to Anti-Money Laundering: A Critical Analysis of System In Singapore, Witzerland, the UK and the USA, Edward Elgard Publishing Limited, Northampton Massachusetts, USA, 2004, hlm. 3 297 Muhammad Nurul Huda, Op.Cit, Tesis… hlm. 58-59
Selanjutnya dalam kongres PBB ke-5 tentang the prevention of crime and the treatment of offendrs yang diselenggarakan di Jenewa mulai tangal 1 sampai tanggal 12 september 1975 telah memfokuskan pembicaraan mengenai crime as business at the national and transnational levels yang meliputi organized crime, white collar crime, dan corruption. Crime as business itu diakui sebagai ancaman yang serius terhadap masyarakat dan ekonomi nasional dibandingkan dengan bentuk kejahatan tradisional. Dalam kongres berikutnya, kongres PBB ke-6 tentang the prevention of crime and the treatment of offenders yang dilaksanakan di Caracas mulai tanggal 25 Agustus sampai tanggal 5 September 1980, telah membicarakan crime in abuse of power itu menempati beberapa bidang, baik bidang politik, ekonomi, maupun sosial dan semua bidang tersebut saling terkait satu sama lainnya. Pada dasarnya, apa yang telah dibicarakan dalam kongres tersebut merupakan respon atas perkembangan kejahatan, baik dalam skala nasional maupun internasional, termasuk kejahatan Money laundering sebagai salah satu kejahatan ekonomi yang menjadikan bank atau non-bank sebagai sarana untuk melakukan kejahatan pencucian uang. Sebagai kejahatan yang bersifat global, kejahatan pencucian uang tersebut telah masuk dalam kelompok-kelompok kegiatan organisasi-organisasi kejahatan transnasional (activities of transnational criminal organizations) yang meliputi the drug, trafficking industry, smunggling of illegal migrants, arms trafficking, trafficking in nuclear material, transnational criminal organizations and terrorism, trafficking in women children, trafficking in body parts, thef and smuggling of vihecles, Money Laundering, dan jenis kejahatan lainnya298 dan kejahatan tersebut sangat memprihatinkan dunia. Disamping itu juga, karena kejahatan money laundering ini bersifat internasional, ada baiknya juga dilakukan identifikasi terhadap ancamannya dalam berbagai bidang dan manifestasinya, yang meliputi: the threat to sovereignty; the thereat to societes, the thereat to individuals, the thereat to nasional stability and state control, the thereat to nasional economies, the thereat to financials institutions, the thereat to democratization and privatization, the thereat to development, and the thereat to global rezimes and codes of conduct 299. Tidak hanya menjadi
298
Dokumen PBB No. E/CONF.88/2 tanggal 18 Agustus 1994 dan telah dibicarakan dalam Word Ministerial Conference on Organized Transnational Crime di Naples, 21-23 November 1994 dengan tema Problem and Dangers Posed by Organized Transnational Crime in the Various Regions of the Word, untu disampaikan dalam kongres PBB ke-9 tentang the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders di Kairo, 29 April – 8 Mei 1995, hlm. 17-22 Sebagaimana Muhammad Nurul Huda, Tesis: Perbandingan Politik Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2011, hlm. 59-60 299 Ibid, hlm, 24-28
perhatian menarik di dalam perbincangan internasional berkaitan dengan masalah pencucian uang. Pencucian uang juga telah menjadi permasalahan yang menarik bagi Dewan Eropa (Council of Europe) yang merupakan organisasi pertama, dalam rekomendasi para menteri dari tahun 1980 telah mengingatkan masyarakat internasional akan bahaya-bahayanya terhadap Democracy and Rule of Law. Dalam rekomendasi Dewan Eropa juga dinyatakan, bahwa transfer dana hasil kejahatan dari Negara satu ke Negara lainnya dan proses pencucian uang kotor melalui penempatan dalam sistem ekonomi telah meningkatkan permasalahan serius, baik dalam skala nasional maupun dalam skala internasional. Namun demikian hampir satu dekade rekomendasi tersebut tidak menarik bagi bahan masyarakat internasional. Setelah meledaknya perdagangan narkotika pada tahun 1980-an, baru kemudian masyarakat internasional sadar bahwa pencucian uang telah menjadi ancaman terhadap seluruh sistem keuangan dan pada akhirnya dapat menimbulkan permasalahan serius terhadap stabilitas Democracy and Rule of Law. Kejahatan pencucian uang merupakan proses yang cukup rumit dan sulit untuk dideteksi secara hukum konvensional, karena pencucian uang menggunakan beberapa tahap dalam rangka memuluskan aksinya. Adapun tahap dari pencucian uang menurut Sutan Remy Sjahdeini Yaitu300, Pertama,
Placement tahap pertama pencucian pang adalah menempatkan
(mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan. Kedua, Layering, dalam tahap ini pencuci uang berusaha untuk memutuskan hubungan hasil kejahatan itu dari sumbernya. Ketiga, Integration, pada tahap ini uang yang telah dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang bersih, bahkan merupakan objek pajak (tax-able). Doug Hopton mengatakan ada tiga tahap pencucuian yaitu:301 1. 2.
3.
Placement: placing the criminal funds into the financial system directly or indirectly. Layering: the process of separating criminal proceeds from their source by using complex layers of financial transactions designed to hide the audit and provide anonymity. Integration: if the layering process succeeds, integration schemes place the laundered proceeds back into the legitimate economy in such a way that they appear to be normal business funds. The Egmount Group membagi tipologi pencucian uang ke dalam lima tipe, yaitu:302 300
Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme, Cetakan II, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2007, hlm. 33-37 301 Doug Hopton, Money Laundering: A Concise Guide For All Business, Gower Publishing Company, Burlington, USA, 2006, hlm. 2 302 Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit, hlm. 123
1. 2. 3. 4. 5.
Penyembunyian ke dalam struktur bisnis (Concealment Within Business Structure) Penyalahgunaan bisnis yang sah (Misuse of Legitimate Businesses) Penggunaan identitas palsu, dokumen palsu, atau perantara (Use of False Identities, Document‟s, or Straw Men) Pengekploitasian masalah-masalah yang menyangkut yurisdiksi internasional (Exploiting International Jurisdictional Issue) Penggunaan tipe-tipe harta kekayaan tanpa nama (Use of Anonymous Asset Types). Menanggapi keprihatinan yang meningkat terhadap pencucian uang, Tugas Financial
Action Force on Money Laundering (FATF) didirikan oleh KTT G-7 yang digelar di Paris pada tahun 1989. Menyadari ancaman yang ditimbulkan ke sistem perbankan dan lembaga keuangan, Kepala Negara G-7 atau Pemerintah dan Presiden Komisi Eropa menyelenggarakan gugus kerja dari Negara anggota G-7, Komisi Eropa dan delapan Negara lainnya. FATF diberi tanggungjawab memeriksa teknik pencucian uang dan tren, meninjau tindakan yang sudah diambil di tingkat nasional atau internasional, dan menetapkan langkah-langkah yang masih harus diambil untuk memerangi pencucian uang. Pada bulan April 1990, kurang dari satu tahun setelah pembentukannya, FATF mengeluarkan laporan yang berisi satu “set” empat puluh rekomendasi, yang menyediakan rencana komprehensif tindakan yang diperlukan untuk melawan pencucian uang. FATF adalah badan antar-pemerintah yang tujuannya adalah pengembangan dan promosi kebijakan, baik di tingkat nasional dan internasional, untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris. Satuan tersebut bertugas untuk melakukan "pembuatan kebijakan" dan bekerja untuk menghasilkan kemauan politik yang diperlukan dan membawa reformasi legislatif dan peraturan nasional di daerah-daerah. Sejak pembentukannya, FATF telah mempelopori upaya untuk mengadopsi dan menerapkan langkah-langkah yang dirancang untuk melawan penggunaan sistem keuangan yang digunakan oleh penjahat. Serangkaian rekomendasi yang dibuat pada tahun 1990, kemudian di revisi pada 1996 dan terakhir direvisi kembali pada tahun 2013 untuk memastikan bahwa mereka tetap up to date dan relevan dengan ancaman yang berkembang pencucian uang, yang menetapkan kerangka dasar untuk anti-pencucian uang dan upaya dimaksudkan untuk menjadi aplikasi universal. FATF saat ini terdiri dari 34 anggota yurisdiksi dan 2 organisasi regional, yang mewakili pusat-pusat keuangan yang paling utama di semua bagian dunia. 34 anggota yurisdiksi dan 2 organisasi regional adalah Argentina, Australia, Austria, Belgium, Brazil, Canada, China, Denmark, European Commission, Finland, France, Germany, Greece, Gulf Co-operation
Council, Hong Kong, China, Iceland, India, Ireland, Italy, Japan, Kingdom of the Netherlands, Luxembourg, Mexico, New Zealand, Norway, Portugal, Republic of Korea, Russian Federation, Singapore, South Africa, Spain, Sweden, Switzerland, Turkey, United Kingdom, United States.303 Untuk wilayah Asia anggota FATF yang terdaftar yaitu, Afghanistan, Australia, Bangladesh, Brunei Darussalam, Cambodia, Canada, China, People's Republic of Cook, Islands, Fiji, Islands, Hong Kong, China, India, Indonesia, Korea Utara, Jepang, Macau, China, Malaysia, Maldives, The Marshall Islands, Mongolia,Myanmar,Nauru, Nepal, New Zealand, Niue, Pakistan, Palau Papua New Guinea, Philipina, Samoa, Singapore, Solomon Islands, Sri Lanka, Chinese Taipei, Thailand, Timor Leste, Tonga, Amerika Serikat, Vanuatu dan Vietnam.304 Para anggota FATF melakukan monitor 'kemajuan dalam menerapkan tindakan yang diperlukan, review pencucian uang dan teknik pendanaan teroris dan kontra-tindakan, dan mempromosikan adopsi dan implementasi tindakan yang tepat secara global. Dalam melakukan kegiatan review pencucian uang dan teknik pendanaan teroris dan kontra-tindakan, FATF berkolaborasi dengan badan-badan insternasional lain yang terlibat dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme.305 Dalam pengantar pembukaan 40 rekomendasinya, FATF mengatakan
bahwa,
metode
pencucian
uang
dan
teknik
perubahan
respon
untuk
mengembangkan langkah-langkah balasan. Dalam beberapa tahun terakhir, FATF telah mencatat kombinasi semakin canggihanya teknik pencucian uang, seperti peningkatan penggunaan badan hukum untuk menyamarkan kepemilikan yang legal dan kontrol hasil illegal, dan peningkatan penggunaan profesional untuk memberikan nasihat dan bantuan dalam pencucian dana kriminal. Faktor-faktor ini dikombinasikan dengan pengalaman yang diperoleh melalui "FATFs nonNegara koperasi dan proses wilayah”, dan sejumlah inisiatif nasional dan internasional. FATF juga memimpin untuk meninjau dan merevisi empat puluh rekomendasi yang menjadi kerangka kerja komprehensif kekinian untuk memerangi pencucian uang dan pembiayaan teroris. Saat ini, FATF menyerukan kepada semua Negara untuk mengambil langkah yang diperlukan untuk membawa sistem nasional mereka memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris. Sesuai dengan rekomendasi FATF yang baru, secara efektif menerapkan negara-negara harus secara 303
http://www.fatf-gafi.org/document/52/0,3746,en_32250379_32236869_34027188_1_1_1_1,00.html, diakses tanggal 09/10/2011 Jam 4.20 Wib Surakarta. 304 http://www.fatf-gafi.org/document/19/0,3746,en_32250379_32236869_34354899_1_1_1_1,00.html, diakses Jam 4.21 Wib, Tanggal 8 Oktober 2011, Surakarta 305 http://www.fatf-gafi.org/pages/0,3417,en_32250379_32236836_1_1_1_1_1,00.html, diakses Jam 5.38 Wib, Tanggal 8 Oktober 2011, Surakarta
efektif menerapkan langkah-langkah rekomendasi. Proses ulasan untuk merevisi empat puluh rekomendasi adalah salah satu yang luas, terbuka untuk anggota FATF, non-anggota, pengamat, sektor yang terkena dampak keuangan dan pihak yang berkepentingan. Proses konsultasi yang disediakan berbagai masukan, semua yang dipertimbangkan dalam proses peninjauan. Rekomendasi empat puluh yang direvisi saat ini berlaku tidak hanya untuk pencucian uang tetapi juga untuk pendanaan teroris, dan ketika dikombinasikan dengan delapan rekomendasi khusus pembiayaan teroris menyediakan kerangka kerja agar tetap ditingkatkan, komprehensif dan langkah-langkah yang konsisten untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris. FATF mengakui bahwa, setiap Negara memiliki sistem hukum dan keuangan yang beragam, sehingga tidak semua bisa mengambil tindakan yang sama untuk mencapai tujuan bersama, khususnya atas hal-hal detail. Rekomendasi ini menetapkan standar minimum untuk setiap Negara-negara dalam menerapkan keadaan khusus dan konstitusional secara detail. Rekomendasi empat puluh juga mencakup semua tindakan bahwa, sistem nasional harus berada dalam peradilan pidana dan sistem peraturan. Serta, lembaga keuangan, bisnis dan profesi tertentu lainnya dan kerjasama internasional harus mengambil langkah-langkah pencegahan tindak pidana pencucian uang. Empat puluh rekomendasi FATF aslinya disusun pada tahun 1990 sebagai sebuah inisiatif untuk memerangi penyalahgunaan sistem keuangan untuk penjahat pencucian uang di bidang narkotika. Pada tahun 1996 rekomendasi direvisi untuk pertama kalinya sebagai tanggapan atas berkembangnya tipologi pencucian uang. Empat puluh rekomendasi tahun 1996 telah didukung lebih dari 130 Negara dan merupakan standar anti pencucian uang internasional. Pada bulan Oktober 2001, FATF memperluas mandatnya untuk menangani masalah pembiayaan terorisme, dan mengambil langkah penting untuk menciptakan delapan rekomendasi khusus pembiayaan teroris. Rekomendasi ini berisi satu paket tindakan yang bertujuan memerangi pendanaan teroris dan organisasi teroris, dan melengkapi empat puluh rekomendasi. Elemen kunci dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan terorisme adalah kebutuhan agar setiap Negara menerapkan sistem standar yang telah ditetapkan FATF yang kemudian akan dipantau serta dievaluasi. Evaluasi bersama yang dilakukan oleh badan-badan regional FATF, serta penilaian yang dilakukan oleh IMF dan Bank Dunia, adalah mekanisme penting untuk memastikan bahwa Rekomendasi FATF secara efektif telah diimplementasikan oleh semua Negara. Adapaun 40
(empat puluh) rekomendasi dari FATF tersebut adalah:306 1.
2. a)
b)
3.
Negara-negara harus mengkriminalisasi pencucian uang berdasarkan Konvensi PBB melawan Lalu Lintas Gelap di Narkotika dan Psikotropika, 1988 (Konvensi Wina) dan Konvensi PBB melawan Kejahatan Transnasional yang Terorganisir, 2000 (Konvensi Palermo). Negara-negara harus menerapkan tindak pidana pencucian uang untuk semua pelanggaran yang serius, dengan maksud untuk termasuk jangkauan terluas tindak pidana asal. Predikat pelanggaran dapat dijelaskan dengan mengacu pada semua pelanggaran, atau ambang terkait baik ke kategori pelanggaran serius atau hukuman penjara yang berlaku untuk tindak pidana asal (pendekatan threshold), atau ke daftar tindak pidana asal, atau kombinasi pendekatan ini. negara-negara menerapkan pendekatan ambang batas, tindak pidana asal harus minimal terdiri dari semua pelanggaran yang termasuk dalam kategori pelanggaran serius di bawah hukum nasional mereka atau harus mencakup tindak pidana yang diancam dengan hukuman maksimal lebih dari satu tahun penjara atau bagi mereka negara-negara yang memiliki ambang batas minimum untuk pelanggaran dalam sistem hukum mereka, tindak pidana asal harus terdiri dari semua pelanggaran, yang dihukum dengan hukuman minimum lebih dari enam bulan penjara. Apapun pendekatan yang diadopsi, setiap negara harus minimal mencakup berbagai pelanggaran dalam setiap kategori yang ditunjuk tindak pidana asal. Predikat tindak pidana pencucian uang harus diperluas untuk melakukan yang terjadi di negara lain, yang merupakan suatu pelanggaran di negara itu, dan yang akan merupakan tindak pidana predikat memilikinya terjadi dalam negeri. Negara-negara dapat menyediakan bahwa satunya persyaratan bahwa melakukan itu akan merupakan tindak pidana predikat memilikinya terjadi dalam negeri. Negara dapat menetapkan bahwa pelanggaran pencucian uang tidak berlaku untuk orang-orang yang melakukan tindak pidana asal, jika diperlukan oleh prinsip-prinsip dasar hukum Negara peserta. Negara-negara harus menjamin bahwa: Maksud dan pengetahuan yang diperlukan untuk membuktikan kejahatan pencucian uang konsisten dengan standar yang ditetapkan dalam Konvensi Wina dan Palermo, termasuk konsep bahwa kondisi mental tersebut dapat disimpulkan dari keadaan nyata dan obyektif. Tanggung jawab Pidana, tanggung jawab perdata atau administratif, harus berlaku untuk badan hukum. Hal ini seharusnya tidak menghalangi proses yang berhubungan antara perbuatan pidana, perdata atau administratif. Negara-negara harus mengadopsi langkah-langkah serupa dengan yang diatur dalam Konvensi Wina dan Palermo, termasuk langkah-langkah legislatif, untuk memungkinkan pihak berwenang untuk menyita properti mereka dicuci, hasil dari pencucian uang atau tindak pidana asal, sarana-sarana yang digunakan dalam atau dimaksudkan untuk digunakan dalam komisi ini pelanggaran, atau properti nilai yang sesuai, tanpa merugikan hak-hak pihak ketiga bonafit. Tindakan tersebut harus termasuk kewenangan untuk: (a) mengidentifikasi, melacak dan mengevaluasi harta yang dikenakan perampasan, (b) melaksanakan langkah-langkah sementara, seperti pembekuan dan merebut, untuk mencegah transaksi, transfer atau pembuangan properti tersebut; (c) mengambil langkahlangkah yang akan mencegah atau membatalkan tindakan yang merugikan Negara kemampuan untuk memulihkan properti yang tunduk pada penyitaan; dan (d) mengambil 306
Ibid, hlm. 123-140
4. 5.
6. a) b) c) 7.
a)
b) c) d) e)
8.
9.
a)
langkah-langkah investigasi yang tepat. Negara-negara dapat mempertimbangkan mengadopsi langkah-langkah yang memungkinkan hasil-hasil tersebut atau sarana-sarana yang akan disita tanpa memerlukan penghukuman pidana, atau yang membutuhkan pelaku untuk menunjukkan asal-usul yang sah dari properti diduga dikenakan penyitaan, sejauh bahwa persyaratan tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip hukum nasional mereka. Negara-negara peserta harus memastikan bahwa undang-undang kerahasiaan lembaga keuangan tidak menghambat pelaksanaan rekomendasi FATF. Lembaga keuangan tidak boleh menyimpan rekening anonim atau rekening dalam nama jelas fiktif. Lembaga keuangan harus melakukan pengecekan profil nasabah, termasuk mengidentifikasi dan memverifikasi identitas pelanggan mereka, ketika membangun hubungan bisnis. Lembaga keuangan harus melakukan tindakan pemeriksaan menyeluruh yang normal dalam kaitannya dengan orang-orang politik dengan cara: Memiliki sistem manajemen risiko yang tepat untuk menentukan apakah pelanggan adalah orang secara politis terbuka. Memperoleh persetujuan manajemen senior untuk membangun hubungan bisnis dengan pelanggan tersebut. Mengambil langkah-langkah yang wajar untuk menetapkan sumber kekayaan dan sumber dana.Melakukan pemantauan ditingkatkan dari hubungan bisnis. Lembaga keuangan harus, dalam kaitannya dengan lintas perbatasan dan hubungan perbankan koresponden serupa lainnya, di samping melakukan tindakan pemeriksaan menyeluruh yang normal: Mengumpulkan informasi yang memadai tentang lembaga responden untuk memahami sepenuhanya sifat dari bisnis "responden dan untuk menentukan dari informasi publik yang tersedia reputasi lembaga dan kualitas pengawasan, termasuk apakah telah dikenakan pencucian uang atau teroris pembiayaan investigasi atau tindakan regulasi. Menilai responden lembaga anti-pencucian uang dan kontrol pendanaan teroris. Memperoleh persetujuan dari manajemen senior sebelum menjalin hubungan koresponden baru. Dokumen tanggung jawab masing-masing lembaga. Sehubungan dengan "hutang-melalui rekening", diyakinkan bahwa bank responden telah diverifikasi identitas dan dilakukan terus-menerus pemeriksaan menyeluruh pada pelanggan yang memiliki akses langsung ke rekening koresponden dan bahwa ia mampu menyediakan pelanggan yang relevan identifikasi data atas permintaan kepada bank koresponden. Lembaga keuangan harus memberikan perhatian khusus untuk setiap ancaman pencucian uang yang mungkin timbul dari teknologi baru atau anonimitas dan mengambil tindakan, jika diperlukan, untuk mencegah penggunaannya dalam skema pencucian uang. Secara khusus, lembaga keuangan harus memiliki kebijakan dan prosedur untuk menangani risiko spesifik yang terkait dengan hubungan bisnis atau transaksi. Negara dapat mengizinkan lembaga keuangan untuk bergantung pihak ketiga lainnya untuk melaksanakan elemen 8 atau untuk memperkenalkan bisnis, asalkan kriteria di bawah ini terpenuhi. Kriteria yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: Lembaga keuangan yang mengandalkan pihak ketiga harus segera memperoleh informasi yang diperlukan.
b) c)
10.
11. 12.
a) b) c) d) 1. 2. 3. 4. 5. e) 13.
14. a. b. 15. 16.
Lembaga keuangan harus memenuhi sendiri bahwa pihak ketiga diatur dan diawasi untuk dan memiliki langkah-langkah yang sesuai dengan rrekomendasi 5 dan 10. Diserahkan kepada masing-masing negara untuk menentukan di negara mana pihak ketiga yang memenuhi kondisi dapat didasarkan, dengan memperhatikan informasi yang tersedia di negara-negara yang tidak atau tidak cukup menerapkan Rekomendasi FATF. Lembaga keuangan harus mempertahankan, setidaknya selama lima tahun, semua catatan yang diperlukan pada transaksi, baik domestik atau internasional, untuk memungkinkan permintaan dari pihak yang berwenang. Catatan tersebut harus cukup untuk memungkinkan rekonstruksi transaksi individu (termasuk jumlah dan jenis mata uang yang terlibat jika ada) sehingga memberikan, jika perlu, bukti untuk penuntutan dari kegiatan kriminal. Lembaga keuangan harus memberikan perhatian khusus transaksi yang kompleks yang besar yang tidak biasa, dan semua pola transaksi, yang tidak memiliki tujuan yang sah. Nasabah dan pencatatan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam rekomendasi 5, 6, dan 8 sampai 11 berlaku untuk penyedia jasa non perbankan dan profesi dalam situasi berikut: Ketika Nasabah kasino melakukan transaksi keuangan sama dengan atau di atas ambang batas yang berlaku. Ketika agen real estate dank lien terlibat dalam transaksi mengenai pembelian dan penjualan real estate. Penjual logam mulia dan penjual batu mulia dalam setiap transaksi tunai. Ketika pengacara, notaris, professional hukum lainnya dan akuntan dalam mempersiapkan atau melakukan transaksi untuk klien mengenai kegiatan-kegiatan: Pembelian dan penjualan real estate; Mengelola efek uang klien, atau asset lainnya; Manajemen bank, tabungan atau rekening surat berharga; · organisasi kontribusi untuk operasi, penciptaan atau manajemen perusahaan; Pembuatan, operasi atau pengelolaan badan hukum atau pengaturan, dan membeli dan Penjualan badan usaha. Perusahaan penyedia layanan dalam mempersiapkan atau melakukan transaksi untuk klien tentang kegiatan yang tercantum dalam kode alamat. Jika lembaga keuangan memiliki alasan terhadap tersangka atau memiliki alasan untuk mencurigai bahwa dana hasil aktivitas kriminal, atau terkait dengan pendanaan teroris, itu harus diminta, secara langsung oleh hukum atau peraturan, untuk melaporkan segera kecurigaan kepada unit intelijen keuangan. Lembaga keuangan, direktur, pejabat dan karyawan harus: Dilindungi oleh ketentuan hukum dari tanggung jawab pidana dan perdata. Mengungkapkan fakta bahwa laporan transaksi yang mencurigakan atau informasi terkait yang sedang dilaporkan kepada FIU. Lembaga keuangan harus mengembangkan program-program terhadap pencucian uang dan pendanaan teroris. Persyaratan yang diatur dalam Rekomendasi 13 sampai 15, dan 21 berlaku untuk semua bisnis non-finansial. Pengacara, notaris, profesi hukum mandiri lainnya, dan akuntan yang bertindak sebagai profesional hukum independen, tidak diwajibkan untuk melaporkan kecurigaan mereka jika informasi yang relevan diperoleh dalam keadaan dimana mereka tunduk pada kerahasiaan profesional atau hak istimewa profesi hukum.
17. 18.
19.
20. 21. 22. 23. 24. 25.
26.
27. 28.
29.
30. 31.
Negara-negara harus menjamin sanksi yang efektif proporsional. Negara-negara seharusnya tidak menyetujui pendirian atau menerima melanjutkan operasi bank shell. Lembaga keuangan harus menolak untuk masuk ke dalam atau melanjutkan, hubungan perbankan dengan bank-bank koresponden. Lembaga keuangan juga harus waspada terhadap hubungan dengan lembaga keuangan asing responden yang memungkinkan rekening mereka untuk digunakan oleh bank. Negara harus mempertimbangkan kelayakan dan utilitas dari sistem dimana bank-bank dan lembaga keuangan lain dan perantara akan melaporkan semua transaksi mata uang domestik dan internasional diatas jumlah yang tetap, kepada badan pusat dengan database terkomputerisasi. Negara harus mempertimbangkan penerapan rekomendasi FATF dalam hal bisnis dan profesi. Lembaga keuangan harus memberikan perhatian khusus pada hubungan bisnis dan transaksi dengan orang, termasuk perusahaan dan lembaga keuangan. Lembaga keuangan yang memiliki cabang dan anak perusahaan di luar negeri harus memastikan prinsip-prinsip yang berlaku di Negara peserta. Negara-negara harus menjamin bahwa lembaga-lembaga keuangan tunduk pada peraturan dan pengawasan yang memadai dan secara efektif menerapkan rekomendasi FATF. Lembaga keuangan non-profit dan profesi harus tunduk pada langkah-langkah pengaturan dan pengawasan. Pihak yang berwenang harus menetapkan pedoman dan memberikan umpan balik yang akan membantu lembaga keuangan dan non finansial yang ditunjuk dalam menerapkan langkah-langkah untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris dan khususnya dalam mendeteksi dan melaporkan transaksi yang mencurigakan. Negara harus membentuk FIU yang berfungsi sebagai pusat untuk analisis, menerima penyebaran STR dan informasi lainnya tentang pencucian uang potensial atau pendanaan teroris. FIU harus memiliki akses, langsung atau tidak langsung secara tepat waktu dengan informasi penegakan keuangan, administratif dan hukum untuk melaksanakan fungsi-fungsi, termasuk analisis STR. Negara-negara harus menjamin bahwa pihak berwenang yang ditunjuk memiliki tanggung jawab untuk penyelidikan pencucian uang dan pendanaan teroris penyelidikan. Ketika melakukan investigasi pencucian uang dan tindak pidana asal pihak yang berwenang harus dapat memperoleh dokumen dan informasi untuk digunakan dalam investigasi, penuntutan dan tindakan yang terkait. Pengawas harus memiliki wewenang yang memadai untuk memonitor dan memastikan kepatuhan lembaga keuangan dengan persyaratan untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris, termasuk wewenang untuk melakukan inspeksi dan pihak pengawas memiliki wewenang untuk pemantauan kepatuhan dan untuk menerapkan sanksi administratif yang memadai untuk terhadap lembaga keuangan yang gagal menerapkan syarat-syarat-syarat yang telah ditentukan. Negara harus memberikan otoritas yang kompeten dalam memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris dengan sumber daya keuangan, manusia dan teknis yang memadai. Negara-negara harus menjamin bahwa pembuat kebijakan, FIU, penegak hukum dan pengawas memiliki mekanisme yang efektif untuk bekerja sama dan koordinasi satu sama lain mengenai pengembangan dan implementasi kebijakan dan kegiatan untuk memerangi pencucian uang dan pembiayaan teroris.
32.
33.
34.
35. 36.
37. 38.
39. 40.
Negara-negara harus menjamin bahwa pihak berwenang dapat meninjau efektivitas sistem mereka untuk memerangi pencucian uang dan pendanaan teroris dengan mempertahankan statistik komprehensif tentang hal-hal yang relevan. Ini harus mencakup investigasi, penuntutan dan bantuan hukum timbal balik. Negara harus mengambil tindakan untuk mencegah pencucian uang. Negara-negara harus menjamin bahwa terdapat informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu yang bisa diperoleh atau diakses secara tepat waktu oleh otoritas yang kompeten. Negara-negara dapat mempertimbangkan langkah-langkah untuk memfasilitasi akses ke kepemilikan dan informasi untuk lembaga keuangan dalam melakukan persyaratan yang diatur dalam rekomendasi 5. Negara harus mengambil tindakan untuk mencegah penggunaan yang tidak sah dari pengaturan hukum Negara harus cepat, konstruktif dan efektif memberikan jangkauan terluas untuk bantuan hukum timbal balik dalam hubungannya dengan investigasi pencucian uang dan pendanaan teroris, penuntutan dan proses terkait. Negara peserta sejauh mungkin (harus) memberikan bantuan hukum timbal balik meskipun tidak adanya kriminalitas ganda. Setiap Negara peserta harus ada kewenangan mengambil tindakan cepat dalam menanggapi permintaan untuk mengidentifikasi, membekukan, menyita dan menyita properti dicuci, hasil dari pencucian uang atau tindak pidana asal, sarana-sarana yang digunakan. Negara harus mengakui kejahatan pencucian uang sebagai kejahatan yang bisa diekstradisi. Negara peserta harus menjamin bahwa pihak berwenang memberikan jangkauan terluas untuk melakukan kerjasama internasional. Tidak hanya FATF yang konsen memerangi dan mencegah tindak pidana pencucian
uang. Lembaga lain yang berperan dalam rangka pencegahan dan pemberantasan pencucian uang (termasuk transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang), yaitu:
a.
Egmount Group Tujuan utama dibentuknya Egmont Group untuk menciptakan jaringan FIU secara global
guna untuk memfasilitasi kerjasama internasional yang menyangkut hal-hal tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme. Walaupun beroperasi secara berbeda, Egmont Group akan tetap melakukan pertukaran informasi dengan persyaratan tertentu yang akan/telah disepakati. Pertukaran informasi tersebut dapat menyangkut masalah transaksi baik yang dianggap mencurigakan atau yang tidak lazim/tidak biasa diperoleh dari lembaga-lembaga keuangan maupun data yang berasal dari catatan administrasi pemerintah serta catatan publik yang terkumpul. Egmont Group menjamin bahwa sistem komunikasi komputer memungkinkan para anggota untuk berkomunikasi lainnya melalui e-mail secara aman untuk mencatat dan
memperoleh informasi tentang kecendrungannya, perangkat analisa yang dipergunakan serta perkembangan teknologi.307 Adanya Egmont Group dilandasi karena dua hal penting yang dengan permasalahan: 1)
Penegakan hukum Kebanyakan dari Negara peserta FATF telah mengimplementasikan undang-undang,
peraturan tentang anti pencucian uang sejalan dengan berjalannya sistem penegakan hukum yang sudah ada dimasing-masing Negara. Berhubung karena adanya perbedaan besar dan tingkat kesulitan yang dihadapi dalam melakukan investigasi maka dirasakan perlunya semacam “clearing hause” bagi lembaga keuangan. Badan yang dibentuk dimaksudkan untuk mendukung upaya penegakan hukum secara bersamaan diantara otoritas peradilan dengan cara persaingan atau kompetisi. 2)
Metode dan cara deteksi. Melalui rekomendasi FATF 40+9 yang menyangkut tentang pengungkapan transaksi
mencurigakan menjadi bagian standar deteksi kegiatan pencucian uang. Pengungkapan transaksi dilakukan memusatkan sistem dan cara untuk menerima, meneliti dan memproses laporan didalam suatu atap atau tempat tinggal sepanjang mengenai pengungkapan data serta informasi yang diperlukan untuk mengadakan pendekatan dengan lembaga yang mengungkap, maka dengan itu beberapa FIU pada gilirannya akan menjadi penunjang penting dengan sektor swasta dalam mencegah kegiatan pencucian uang.308 Lazimnya untuk mengatasi pendeteksian kegiatan pencucian uang, Negara-Negara akan memilih bentuk atau model dasar yang dipergunakan dalam menyusun struktur FIU, adapun model dasar tersebut ialah:309 1) 2) 3)
Model badan administratif yang menjadi bagian dari otoritas pengawasan yaitu seperti lembaga bank sentral atau kementrian keuangan atau otoritas yang independen. Model yang melakukan penegakan hukum dimana badan tersebut disatukan dengan suatu lembaga seperti kepolisian sebagai lembaga umum atau khusus. Model lembaga penuntut dimana badan tersebut merupakan afiliasi dari kantor penuntut umum yang merupakan bagian dari otoritas peradilan. Egmont Group juga menawarkan pilihan model selain yang diatas, yaitu dengan
memperhatikan berbagai kelebihan dan kekurangan. Sejumlah persyaratan yang dianggap cukup sebagai model FIU antara lain:310 307
Ibid, hlm. 143-144 Ibid, hlm. 144 309 Ibid, hlm. 145 308
1) 2) 3)
4)
5)
Memiliki cukup tenaga ahli yang diperlukan terutama dibidang keuangan untuk menunjang kegiatan operasinya. Memiliki hubungan baik terutama dengan lembaga-lembaga keuangan didalam negeri sebagai mitra kerjanya. Memiliki kultur yang kondusip dalam aspek perlindungan kerahasian terutama yang terkait dengan masalah informasi keuangan serta mampu memberi proteksi terhadap hakhak individu. Memiliki landasan hukum yang kuat sebagai otoritas, serta memiliki kemampuan dan kapasitas tehnik yang memadai, dan pengalaman yang cukup dalam kerja sama dan hubungan internasional. Memiliki peraturan dasar yang melandasinya yang memungkinkan FIU yang akan dibentuk dapat melaksanakan fungsi secara baik, bekerja efisien, cepat, spontan atau atas dasar permintaan berbagai bentuk pertukaran informasi terutama tentang transaksi keuangan mencurigakan dan sebagainya. Sejalan dengan itu, FIU pada dasarnya mempunyai fungsi-fungsi yang saling berkaitan
erat satu dengan lainnya, adapun fungsi-fungsi tersebut ialah sebagai berikut:311 1) 2) 3) 4)
Fungsi dasar, yaitu fungsi yang dipergunakan FATF dalam 40+9 rekomendasi Fungsi penegakan hukum Fungsi konsultasi dan pelatihan, Fungsi lain. Begitu kuatnya FIU dalam menekan kegiatan pencucian uang, sebelum negara-negara
diakui sebagai anggota. Sejumlah persyaratan yang wajib dipenuhi calon anggota minimal telah memenuhi persyaratan sesuai defenisi yang digariskan oleh Egmont Legal Working Group, seperti:312 1)
2)
3) 4)
Memahami tugas operasional. Calon anggota wajib memahami mengenai tugas operasional yang akan dikerjakan oleh lembaga ini dan negara calon peserta yang bersangkutan wajib menyediakan informasi yang cukup mengenai identitasnya mengenai, nama, alamat dan pihak yang dapat dihubungi, organisasi dari badan tersebut serta peraturan hukum yang melandasinya. Kelengakapan informasi. Kelengkapan administrasi yaitu disampaikan kepada ketua Working Wroup (semacam ketua harian) yang selanjutnya akan diputuskan untuk melalui surat formal. Pemenuhan persyaratan. Penunjukan sponsor. Terakhir Egmont Group “mewajibkan” berbagi informasi dilevel internasional harus
dilakukan secara langsung dengan otoritas kompoten diluar negeri dan dengan sistem
310
Ibid Ibid, hlm. 146 312 Ibid 311
komunikasi yang terjamin keamanan serta akurasinya. Pertukaran informasi tersebut mencakup:313 1) 2) 3) 4) 5)
Kerangka umum (saling percaya, mencari dan mengumpulkan informasi, standar hukum dan tidak melanggar indormasi pribadi dan pertukaran informasi wajib diakui). Prinsip pertukaran informasi. Kondisi terciptanya pertukaran. Izin penggunaan informasi. Perlindungan hak pribadi.
b.
Basel Committee On Banking Supervision Pada dasarnya perbankan yakin dan percaya bahwa kondisi dan stabilitas serta kesehatan
sistem perbankan hanya dapat terlaksana apabila perbankan secara timbal balik memiliki persepsi serupa dalam menghadapi tindak kejahatan. Akan tetapi perbankan juga merupakan salah satu alat yang ampuh dalam melakukan kegiatan pencucian uang. Karena itu, komite Basel percaya bahwa salah satu cara untuk mencapai tujuan untuk mencegah perbankan dari kegiatan pencucian uang, maka diperlukan adanya kesepakatan internasional berupa suatu Statement of Principles dimana diharapkan kepada Bank dan lembaga keuangan bersedia, menjalankan dan mematuhinya. Dengan diterimanya Statement of Principles tersebut oleh Negara-Negara yang menyetujuinya, maka komite Basel merekomendasikan untuk melaksanakan:314 1)
2)
1.
2.
Prinsip-Prinsip Pernyataan a. Tujuan. b. Pengenalan nasabah. c. Patuh terhadap hukum. d. Kerjasama dengan penegak hukum. e. Kepedulian terhadap pernyataan. Prinsip dasar supervisi bank. a. Pra kondisi effektifitas supervisi. Sistem supervisi yang effektif wajib memiliki tanggungjawab dan tujuan yang jelas untuk setiap pihak yang terkait dengan kegiatan supervisi. b. Perizinan dan struktur. Suatu lembaga yang telah memperoleh izin pendirian wajib diawasi dan lembaga bank harus secara jelas diberi aturan batasannya apa yang dimaksud dan apabila telah menggunakan nama/kata dan menyebut dirinya dengan “bank” maka perlu dilakukan pengawasan terhadap kegiatan. Otoritas yang mengeluarkan perizinan harus mempunyai hak untuk menetapkan kriteria atau ukuran yang dapat menolak permohonan aplikasi untuk mendirikan standar persyaratan yang ditetapkan. 313 314
Ibid, hlm. 146-147 Ibid, hlm. 147-154
3.
4.
c. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Pengawas bank harus memiliki kewenangan untuk melakukan review dan menolak setiap permohonan atau proposal untuk memindahkan kepemilikan utama/mayoritas atau kewenangan pengawasan terhadap lembaga bank yang sudah ada atau sedang berjalan. Pengawas bank harus memiliki kewenangan menetapkan kriteria untuk melakukan review tentang adanya apek akuisi mayoritas atau pemasukan atau penanaman investasi modal pihak lain dan menjamin bahwa perusahaan afiliasi atau organ yang terdapat didalam struktur organisasi bank tidak akan mengambil resiko atau mengganggu terlaksananya pengawasan secara effektif. Ketentuan kehatian-kehatian. Otoritas pengawas wajib menetapkan minimum modal yang diperlukan sebagai manifestasi dari resiko yang dihadapi dan wajib menetapkan komponen modal yang bersangkutan yaitu dalam hal terjadi kerugian. Aspek penting dalam setiap sistem pengawasan bank adalah perlunya suatu evaluasi yang independen terhadap kebijakan bank, yang terkait dengan pelaksanaan dalam kegiatan operasionalnya serta prosedur yang berhubungan dengan kegiatan pemberian kredit dan penempatan dana/investasi serta bagaimana pengelolaan terhadap porto folio pinjaman dan penempatan dana. Otoritas pengawas harus merasa yakin bahwa bank telah menetapkan dan memperhatikan atau peduli terhadap kelengkapan berbagai kebijakan, pelaksanaan peraturannya dalam praktek serta prosedur yang diperlukan untuk menilai kwalitas dari aktiva serta kecukupan pencandangan dalam hal terjadi kerugian. Otoritas pengawas harus merasa yakin bahwa bank memiliki menajemen informasi yang memungkinkan jajaran manajemen mengetahui susunan atau konsentrasi dalam porto folio kegiatan operasinya dan pengawas wajib menetapkan batasan/limit untuk membatasi agar bank tidak memusatkan kepada pinjaman/debitur tunggal atau kelompok/grup yang terkait. Untuk mencegah penyalahgunaan yang timbul karena adanya hubungan dalam pemberian pinjaman, pengawas bank wajib menetapkan persyaratan bahwa pemberian pinjaman yang terkait dengan suatu perusahaan atau individu dalam suatu kelompok terkait, maka pemberian/alokasi kredit wajib secara effektif dilakukan monitoring atau dengan langkah-langkah lain yang diperlukan untuk menghindari timbulnya resiko. Otoritas pengawasan wajib menyakini bahwa bank memiliki kebijakan dan prosedur yang memadai untuk melakukan identifikasi, memonitor dan melakukan kontrol terhadap resiko suatu Negara (country risk) dan resiko transfer/pemindahan dana terhadap kegiatan pinjaman dan investasi internasional dan perlu menyediakan atau mengalokasikan pencadangan terhadap kemungkinan resiko. Otoritas pengawasan wajib menyakini bahwa bank telah memiliki sistem peraturan yang akurat, untuk melakukan monitoring serta memiliki sistem kontrol yang memadai untuk mengawasi resiko pasar. Para pengawas harus memiliki kewenangan untuk menetapkan limit dan atau suatu beban khusus bagi permodalan bank untuk menghadapi resiko pasar. Otoritas pengawasan wajib menyakini bahwa bank telah melaksanakan proses menajemen resiko secara komprehensif untuk melakukan tugas identifikasi, mengambil langkah-langkah, memonitor dan melakukan kontrol terhadap semua resiko yang cukup signifikan/material dimana langkah-langkah yang diperlukan untuk menyediakan serta menyisihkan modal dalam mengahadapi resiko.
9.
Otoritas pengawasan wajib menetapkan bahwa bank memiliki unit pengawasan internal yang cukup untuk menjamin terlaksananya sistem pengawasan sesuai dengan kelaziman dalam kegiatan bisnis perbankan. 10. Otoritas pengawasan wajib menetapkan bahwa bank memiliki kebijakan, prosedur dan langkah-langkah praktis termasuk di dalamnya ketentuan yang jelas mengenai “know your costumer” yang dapat meningkatkan standar etika dan profesionalitas sektor keuangan dan dapat menghindarkan bank baik secara nyata atau tidak oleh elemenelemen kriminal. d. Metode supervisi. 1. Effektifitas dari sistem supervisi perbankan harus terdiri atau terlihat dalam dua bentuk yaitu on side dan off side supervision atau supervisi setempat atau diluar itu. 2. Otoritas pengawasan wajib melakukan kontak secara reguler atau berkala dengan menajemen bank melalui unti-unit operasional yang memahami kegiatan operasi bank. 3. Otoritas pengawasan harus memiliki alat untuk mengumpulkan, menerima dan menganalisa terhadap laporan tindakan atau sikap kehati-hatian serta data statistik yang diterima bank baik atas dasar laporan tunggal maupun yang bersifat konsolidasi. 4. Otoritas pengawasan wajib memiliki alat independen yang valid atas hasil pengawasan baik yang berasal dari hasil penelitian atau ekseminasi setempat atau melalui auditor eksternal. 5. Elemen penting dalam supervisi perbankan adalah kemampuan dari pengawas untuk melakukan supervisi organisasi dalam posisi konsolidasi. e. Keperluaan informasi. Otoritas pengawasan harus yakin bahwa setiap bank telah memelihara catatan yang memadai. f. Kewenangan pengawas. Otoritas pengawasan harus memiliki koreksi apabila bank tersebut dinyatakan gagal dalam memenuhi persyaratan tentang sikap kehati-hatian. g. Cross border banking. 1. Otoritas pengawasan wajib melakukan konsolidasi monitoring hasil pengawasan secara memadai dan menerapkan norma-norma prudensial yang tepat terhadap semua aspek bisnis yang dilakukan oleh organisasi bank secara keseluruhan terutama terhadap cabang-cabangnya diluar negeri dan kantor subsidiarinya. 2. Komponen penting dalam konsolidasi supervisi adalah menciptakan hubungan/kontak dan tukar menukar informasi serta mengaplikasikan dengan semua pengawas lainnya yang terkait, terutama dengan aparat atau otoritas supervisi Negara asal. 3. Otoritas pengawasan wajib meminta kegiatan operasi local dari bank-bank asing suatu persyaratan yang sama dengan LK lokal dan wajib memiliki kewenangan untuk berbagai informasi yang diperlukan dengan pemerintah setempat untuk tujuan melakukan konsolidasi hasil supervisi. 3) Pra kondisi supervisi effektif. Supervisi bank hanya merupakan bagian dari keseluruhan cara pendekatan yang diperlukan untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan yang intinya meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Perlunya didukung oleh kebijakan makro ekonomi yang sehat dan stabil. 2. Infrastruktur publik yang menunjang dan berkembang maju yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi ketidak stabilan sistem keuangan, antara lain, yaitu: a. Sistem hukum perusahaan termasuk peraturan tentang kepailitan, perjanjian atau kontrak, perlindungan konsumen, dan undang-undang hak milik. b. Prinsip-prinsip dan aturan akuntansi yang komprehensif.
c. d.
4)
5)
6) 7)
8) c.
Sistem audit yang independen terhadap perusahaan-perusahaan. Supervisi bank harus mengatur sendiri kegiatan supervisi dan sistem pembayaran. 3. Disiplin pasar yang efektif. 4. Kewenangan yang pleksibel dan tidak kaku, tidak jarang diperlukan guna memberi pengaruh terhadap solusi yang baik dalam menghadapi problem perbankan. 5. Mekanisme dalam menyediakan proteksi sistemik bagi jaringan pengamanan publik. Resiko Perbankan Beberapa bentuk resiko yang dihapi lembaga bank, yaitu: a. Resiko kredit 1. Membuat penilaian terhadap kemampuan calon peminjam. 2. Resiko baik terduga/ dapat diperhitungkan. 3. Resiko tidak hanya pada pinjaman, tetapi pada porto folio baik yang on balance sheet maupun yang off balance sheet seperti jaminan bank, surat askep atau investasi pada sekuritas. 4. Penyediaan cadangan terhadap resiko. i. Resiko transaksi antar Negara. ii. Resiko pasar. iii. Resiko suku bunga. Resiko suku bunga tercermin pada hal-hal: repricing risk (perbedaan waktu jatuh tempo), yield curve (resiko yang timbul saat posisi slope dan shape), resiko dasar (penyesuaian terhadap bunga), dan aktifa dan pasiva pada porto folio. iv. Resiko likuiditas. v. Resiko operasi. vi. Resiko hukum. vii. Resiko reputasi. Regulasi kehati-hatian. a. Kecukupan modal. b. Menajemen resiko kredit. 1. Audit independen terhadap kebijakan bank. 2. Cadangan terhadap kebijakan, pelaksanaan serta prosedur. 3. Sistem informasi menajemen yang baik. 4. Menghindarkan terhadap penyalahgunaan pinajaman. 5. Menetapkan kebijakan, kontrol dan prosedur untuk melakukan identifikasi, monitoring terhadap risiko transfer. Menajemen resiko pasar Menajemen resiko lain yang harus dilakukan yaitu melakukan tindakan: a. Menajemen resiko suku bunga. b. Menajemen likuiditas. c. Menajemen resiko operasi. Menajemen kontrol internal. Internatinal Associationof Insurance supervisor (IAIS) Internatinal Associationof Insurance supervisor (Asosiasi Internasional Pengawas
Asuransi-IAIS) didirikan pada tahun 1994. IAIS mewakili regulator asuransi dan pengawas di
190 yurisdiksi negara peserta. Sejak tahun 1999, IAIS telah menyambut profesional asuransi sebagai pengamat. Saat ini lebih dari 120 pengamat yang mewakili asosiasi industri, asosiasi profesi, asuransi dan reasuransi, konsultan dan lembaga keuangan internasional. Isu-isu IAIS terkait dengan prinsip asuransi global, standar saran, memberikan pelatihan dan dukungan yang terkait dengan masalah pengawasan asuransi dan mengatur pertemuan dan seminar bagi pengawas asuransi. IAIS bekerja secara sungguh-sungguh dengan badan-badan sektor keuangan dengan menetapkan standar dan organisasi internasional untuk mempromosikan stabilitas keuangan. IAIS setiap tahunnya mengadakan konferensi dimana pengawas, perwakilan industri dan profesional lainnya membahas perkembangan di sektor asuransi dan topik yang mempengaruhi peraturan asuransi. Dalam menjalankan tugasnya, IAIS dibantu sebuah Kepala Komite Eksekutif yang anggotanya mewakili wilayah geografis yang berbeda. Hal ini didukung oleh tiga komite utama yaitu, Komite Teknis, Komite Pelaksanaan dan Komite Anggaran. Komite Teknis, Komite Pelaksanaan dan Komite Anggaran dibantu oleh subkomite dan pihak kerja (kelompok kerja, gugus tugas dan kelompok) untuk mencapai tujuan mereka.315
d.
International Organization of Securities Commissioners (IOASCO) International Organization of Securities Commissioners (IOASCO) dibentuk bertujuan:316
a.
b.
c.
Untuk bekerja sama dalam mengembangkan, melaksanakan dan mempromosikan kepatuhan terhadap standar internasional.. IOASCO diakui dan konsisten terhadap regulasi, pengawasan dan penegakan hukum guna untuk melindungi investor, menjaga pasar yang adil, efisien dan transparan, dan berusaha untuk mengatasi risiko sistemik; Untuk meningkatkan perlindungan investor dan mempromosikan kepercayaan investor dalam integritas pasar sekuritas, ini diperkuat melalui pertukaran informasi dan kerjasama dalam penegakan hukum terhadap kesalahan dan pengawasan pasar dan perantara pasar; dan Untuk pertukaran informasi baik di tingkat global dan regional tentang pengalaman masing-masing dalam rangka untuk membantu pengembangan pasar, memperkuat infrastruktur pasar dan menerapkan regulasi yang sesuai. Jika dilihat transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang
dalam perspektif objektif menurut W.A. Bonger, maka akibat dari kejahatan pencucian uang 315
http://www.iaisweb.org/About-the-IAIS-28, diakses jam 09.02 Wib, Tanggal 7 Oktober 2011, Surakarta. Terjamahan oleh penulis karena aslinya adalah bahasa inggris. 316 http://www.iosco.org/about/, diakses jam 09.08 Wib, Tanggal 7 Oktober 2011, Surakarta. Terjamahan oleh penulis karena aslinya adalah bahasa inggris.
tentu masyarakatlah yang dirugikan. Kerugian akibat kejahatan pencucian uang dari transaksi keuangan yang mencurigakan ini tidak hanya terhambatnya pembangunan ekonomi masyarakat yang berkeadilan, tetapi juga membuat ruang-ruang keadilan yang tadinya bisa saling bersaing dengan cara yang sehat, menjadi tidak sehat. Oleh karena itu, merampas asset dari transaksi keuangan yang mencurigakan guna mewujudkan asset recovery hasil kejahatan pencucian uang sangat tepat untuk terciptanya pembangunan hukum dan penegakan hukum yang berkeadilan. Karena itu, proses-proses dari perampasan asset harusnya tidak lagi bersifat legalitas-formalistik, tetapi harus menjamin terciptanya perampasan asset dari transaksi keuangan yang berkeadilan. Adanya transaksi keuangan yang mencurigakan yang jauh dari profil ini tidak terlepas dari adanya keinginanan mencapai kesuksesan secara instan. Hal ini sesuai dengan teori anatomi317 yang diungkapkan oleh Durkheim sebagaimana yang telah dikembangkan oleh Merton. Merton menjelaskan bahwa, di masyarakat telah melembaga suatu cita-cita (goals) untuk mengejar kesuksesan semaksimal mungkin, dan pada umumnya diukur dari harta kekayaan yang dimiliki seseorang. Untuk mencapai sukses dimaksud, masyarakat sudah menetapkan cara-cara (means) tertentu yang diakui dan dibenarkan yang harus ditempuh oleh seseorang. Dalam kenyataannya, tidak semua orang dapat mencapai cita-cita tersebut melalui cara-cara yang dibenarkan. Oleh karena itu, terdapat individu yang berusaha mencapai cita-cita tersebut melalui cara-cara yang melanggar undang-undang (illegitimate means). Permasalahan tersebut menurut Merton dikarenakan struktur masyarakat yang demikian adalah anomistis. Menurut Merton juga, masalah sesungguhanya tidak diciptakan oleh sudden social change (perubahan sosial yang cepat) tetapi oleh social structure (struktur sosial) yang menawarkan tujuan-tujuan yang sama untuk semua anggota tanpa memberi sarana yang merata untuk mencapainya. Kekurangan apa yang diminta oleh budaya (yang mendorong kesuksesan) dengan apa yang diperbolehkan oleh struktur (yang mencegahanya memperoleh kekuasaan), dapat menyebabkan norma-norma runtuh karena tidak lagi efektif membimbing tingkah laku.318
317
Teori Anomie dari Emile Durkheim mengatakan bahwa, jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju masyarakat yang modern dan kota maka kedekatan (intimasy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan satu set norma-norma (a common set of rules) akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisahterpisah, dan dalam aturan-aturan umum, tindakan-tindakan dan harapan-harapan orang di satu sector mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain. Dengan tidak dapat di prediksinya perilaku, sistem tersebut secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam kondisi anomie. Dalam Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan HukumTerhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 2010, hlm. 94-95 318 Ibid, hlm. 96-97
Dampak dari tidak kuatnya masyarakat untuk menerima perubahan sosial yang cepat, dapat terlihat dari adanya transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang. Ini tidak terlepas dari tidak seimbangnya suatu masyarakat yang stabil. Suatu masyarakat yang stabil sebagaimana dikatakan oleh Merton adalah suatu masyarakat dimana unsur cultural aspiration atau culture goals yang diyakini berharga diperjuangkan dan institutionalized means atau acceped ways tidak lagi terintegrasi.
7.
Penelitian yang relevan dan kebaruan penelitian
1).
Disertasi Yenti Ganarsih Yenti Ganarsi dalam Disertasinya menyimpulkan bahwa penegakan hukum terhadap
kasus dugaan pencucian uang relatif sedikit yang sampai ke pengadilan. Dari sisi penegakan hukum Indonesia masih banyak mengalami kendala, misalnya antara PPATK dan kepolisian nampaknya belum bisa bekerjasama secara simultan. Dalam prakteknya dilapangan sering terjadi ketidakharmonisan dalam menjalankan masing-masing peran sehingga dapat merugikan penegakan UU TPPU itu sendiri. Misalnya belum ada kesamaan persepsi antara PPATK dan Polisi tentang transaksi yang mencurigakan, kemudian antara polisi dan jaksapun nampaknya masih muncul persepsi yang berbeda sehubungan telah terjadinya tindak pidana pencucian uang. Contohanya ialah suatu perkara sudah cukup bukti, akan tetapi jaksa memandang tidak cukup bukti.319
319
Sabar Slamet, Prolematika Penegakan HukumTindak Pidana Pencucian Uang Di Indonesia, Artikel Pada Jurnal HukumYustisia, Edisi 76 Januari-April 2009, hlm. 98
Kendala terbesar nampaknya muncul dari sudut pembuktian yang harus dilakukan oleh jaksa. Kendala lain yang pasti akan muncul antara lain belum diaturnya mekanisme dan kerja sama yang langsung mengatur dalam hal bagaimana apabila terjadi korupsi yang ditangani KPK yang juga terlibat pencucian uang. Dalam hal ini ada kekosongan hukum, karena KPK tidak berwenang menangani masalah pencucian uang, seharusnya antara korupsi dan pencucian uang disidang secara bersamaan dengan dakwaan komulatif.320
2).
Disertasi Muhammad Yusuf Muhammad Yusuf dalam disertainya mengenai “Merampas Asset Koruptor Solusi
Pemberantasan Korupsi Di Indonesia” menawarkan bahwa konsep pembuktian perampasan asset tanpa tuntutan pidana (Non Conviction Asset Forfeiture) yang bersifat in rem forfeiture. Pelaksanaan perampasan asset tanpa tuntutan pidana tersebut dapat dilakukan apabila:321 1. 2.
Tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, atau tidak diketahui keberadaan nya, atau Terdakwanya diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Lebih lanjut, Muhammad Yusuf mengatakan, teori pembuktian terbalik secara negatif
tidak mampu mengembalikan asset Negara yang di korupsi dan memberikan peluang kejahatan transnasional dengan leluasa meluaskan jaringan aktivitasnya ke seluruh dunia sehingga menimbulkan dampak kemiskinan dunia. Muhammad Yusuf mengajukan alternatif pembuktian terbalik terbaru, yaitu teori keseimbangan kemungkinan pembuktian.322 Sistem pembuktian terbaru yang ditawarkan Muhammad Yusuf kepada pembaca apakah sistem ini diberlakukan di Indonesia atau ini sistem pembuktian yang memang-memang baru. Karena, Muhammad Yusuf sendiri mengatakan, Teori keseimbangan kemungkinan pembuktian dibuat atau dikonsep oleh Oliver Stolpe. Hal ini menjadi aneh, satu sisi mengatakan pembuktian baru dan disatu sisi menawarkan konsep pembuktian baru. Mungkin yang dimaksudkan oleh Muhammad Yusuf adalah menawarkan konsep pembuktian keseimbangan kemungkinan pembuktian dari Oliver Stolpe untuk diterapkan di Indonesia.
3).
Disertasi Go Lisanawati
320
Ibid Muhammad Yusuf, Merampas Asset Koruptor Solusi Pemberantasan Korupsi Di Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2012, hlm. 245 322 Ibid, hlm. 249 321
Dalam disertasi Go Lisanawati yang berjudul "Kebijakan Formulasi Transfer Dana Elektronik Sebagai Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang di Indonesia", mengatakan bahwa, volume dan nilai transfer dana di Indonesia baik melalui Real Time Gross Settlement (RTGS) maupun Kliring mencapai volume dan nilai yang sangat besar. Belum lagi perkembangan jenis instrument pembayaran yang juga melaksanakan kegiatan transfer dana melalui pemakaian kartu ATM, kartu debet, kartu plastik, kartu pintar, phone banking, alternative remittance system, dan lain-lain juga pesat. Namun di Indonesia terjadi kekosongan hukum (normless). Pengaturan mengenai RTGS, kliring, dan berbagai instrument pembayaran tersebut hanya diatur dengan suatu Peraturan Bank Indonesia (PBI). Menurut Lisanawati, kasus-kasus transfer dana di Indonesia juga tidak dapat diabaikan keberadaannya. Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa pengaturan aktivitas transfer dana ini menjadi sesuatu yang mutlak diperlukan dalam rangka menjamin terciptanya kepastian hukum, keadilan hukum, dan kemanfaatan hukum. Hal tersebut terkait pula dengan adanya kebutuhan untuk menciptakan suatu aturan hukum yang dapat dijadikan landasan hukum bagi masyarakat di dalam melaksanakan kegiatan transfer dana elektronik. Pada dasarnya kebijakan formulasi transfer dana elektronik dilaksanakan sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana yang di dalamnya terkandung kriminalisasi. Kriminalisasi didalam hukum pidana yang memfokuskan pada dua hal, yaitu masalah perumusan bentuk-bentuk tindak pidana dan jenisjenis sanksi pidana yang tepat dijatuhkan bagi pelaku kejahatan, harus diciptakan dan ditentukan dengan pendekatan yang tepat agar tidak menciptakan suatu keadaan yang bersifat over crimicalization. Untuk itu secara teoritik harus tetap dilandaskan pada sifat keluwesan kriminalisasi yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, baik dalam lingkup internasional maupun lokal, tetapi dengan tetap tidak mengabaikan nilai-nilai kultural bangsa sendiri yang sangat unik dan khas. Kriminalisasi harus tetap dilandaskan pada tujuan pemidanaan yang di dasarkan pada filsafati pemidanaan. Dengan demikian diharapkan mampu menciptakan suatu keadilan bagi semua pihak. Oleh karena itu dikembangkan konsep baru yang disebut dengan Inter-Inner Cultural Omnipresence Electronic Funds Transfer Criminalization yang memiliki makna keberlakuan secara internal dan eksternal. Selain itu dilakukan formulasi hukum transfer dana elektronik sebagai sarana pencegahan tindak pidana pencucuian uang. Mengenai bentuk-bentuk penyimpangan transfer dana elektronik, maka diperlukan indikator-indikator apakah suatu perbuatan tersebut dapat dimaksudkan sebagai tindak pidana
pencucian uang ataukah tidak. Mengenai jenis sanksi pidana yang relevan dijatuhkan adalah berupa jenis sanksi pidana penjara, denda, ganti kerugian, dan administratiuf. Terkait dengan tindak pidana pencucian uang, maka jenis sanksi yang dapat dipilih adalah adanya asset recovery (baik yang berupa criminal confiscation ataukah civil forfeiture) dan juga mediasi penal. Stelsel pemidanaan yang tepat adalah dengan perumusan stelsel alternatif-kumulatif dengan tetap disesuaikan pada jenis kejahatan yang melingkupi pelanggaran transfer dana elektronik ini, yang dapat berupa kejahatan korporasi, kejahatan terorganisasi, kejahatan trans-organized, kejahatan kerah putih dan kejahatan bisnis. Terkait dengan formulasi hukumatas penyimpangan transfer dana elektronik yang tepat guna mempermudah penanggulangan tindak pidana pencucian uang, maka sebaiknya dilakukan formulasi di dalam suatu undang-undang tentang transfer dana elektronik yang akan menjadi payung hukum bagi pelaksanaan kegiatan transfer dana di Indonesia, dan yang dapat digunakan untuk menanggulangi tindak pidana pencucian uang. 323
4).
Disertasi Johanis Hehamony Johanis Hehamony dalam disertasi yang berjudul "Kebijakan Formulasi Perampasan
Asset Hasil Kejahatan Yang Merugikan Keuangan Negara Dalam Hukum Pidana di Indonesia". Dalam disertasinya, Johanis Hehamony mendukung dibuatnya rancangan undang-undang perampasan asset di Indonesia. Sebagaimana undang-undang perampasan asset yang telah diberlakukan di Serbia, Inggris, New South Wales, Victoria, Queensland, Australia Selatan, dan Amerika Serikat. Selain mengajukan agar permapasan asset hasil kejahatan diundangkan tersendiri, Johanis juga mengajukan agar item ini menjadi tindak pidana pokok. Perampasan asset hasil kejahatan ini disarankannya diterapkan pada kejahatan yang diatur dalam undangundang khusus seperti tindak pidana korupsi, pencucian uang, narkotika, perpajakan, kehutanan, perikanan, perdagangan orang, dan tindak pidana terorisme. Alasannya karena tindak pidana tersebut lebih banyak bertujuan mendapatkan keuntungan finansial untuk mendapat kekayaan secara melawan hukum.324 Selain itu Johanis Hehamony juga mengajukan agar perampasan asset hasil kejahatan berkaitan dengan kejahatan asal dan kejahatan yang merugikan Negara kadangkala mengikuti 323
http://prassetya.ub.ac.id/berita/Disertasi-Go-Lisanawati-Kebijakan-Formulasi-Transfer-DanaElektronik--Penanggulangan-Tindak-Pencucian-Uang-334-id.html, 16 Mei 2014 Jam 20.40 Wib 324 http://prassetya.ub.ac.id/berita/Perampasan-Asset-Hasil-Kejahatan-di-Indonesia-11216-id.html Tanggal 24 mei 2014 Jam 13.02 Wib
perkara pokok, kadang kala berdiri sendiri. Secara sosiologis pemisahan antara perampasan dengan mengikuti perkara pokok dengan yang berdiri sendiri, tidak membingungkan masyarakat pencari keadilan sebab ada aturan yang jelas dan masyarakat mengetahui secara pasti bahwa perampasan yang mengikuti perkara pokok adalah kejahatan-kejahatan konvensional yang prosedur dan mekanisme perampasan diatur dalam hhkum acara yaitu KUHAP. Perampasan yang berdiri sendiri seperti kejahatan-kejahatan korupsi, pencucian uang, narkotika, perpajakan, perikanan, perdagangan orang dan tindak pidana terorisme. Terakhir, konsep yang diajukannya adalah tujuan penggunaan asset yang dirampas. Dari analisis Johanis Hehamony terhadap undang-undang perampasan asset yang sudah ada di Negara lain, banyak Negara tidak menyebut tujuan perampasan asset. Secara global, Amerika Serikat menyebut asset dirampas untuk Negara sama dengan Indonesia. Di Indonesia, selain itu tujuan umum perampasan yaitu untuk dimusnahkan. Namun Johanis mengajukan usulan agar asset yang dirampas selain digunakan untuk Negara, hasil rampasan diperuntukkan membayar biaya proses hukum terhadap pelaku kejahatan.325 Kebaruan penelitian ini dari penelitian yang sebelumnya bahwa dalam rangka perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang diperlukan badan baru untuk melakukan langkah perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan. Penyidik dari badan pemulihan asset ini wajib membawa seluruh hasil analisis dari PPATK ke pengadilan. Hasil dari perampasan asset transaksi keuangan yang mencurigakan dari hasil kejahatan pencucian uang yang dilakukan badan ini dipergunakan untuk membantu meningkatkan pengetahuan penegak hukum khususnya kompetensi penegak hukum di bidang kejahatan pencucian uang.
325
Ibid
8.
Kerangka Berpikir Transaksi Keuangan Yang Mencurigakan
UU No. 8 thn 2010
Penyelidik Penyidik
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Terlaksana
1. 2.
Model Perampasan Asset Transaksi Keuangan Yang Mencurigakan Dari Hasil Kejahatan Pencucian Uang
Tidak terlaksana
Teori-teori: Teori bekerjanya hukum Teori pilihan rasional
Hakikatnya setiap orang boleh memiliki kekayaan sebanyak apapun, sepanjang cara mendapatkan kekayaan tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Artinya bahwa, setiap manusia dimanapun juga, termasuk manusia Indonesia dibenarkan memiliki kekayaan sebanyak apapun sepanjang cara mendapatkannya sesuai dengan konstitusi dan hukum yang berlaku disuatu Negara. Untuk itu juga, apabila dalam suatu Negara ada seseorang yang memiliki kekayaan secara tidak wajar perlu dicurigai darimana asal harta tersebut didapatkan. Hal ini berlaku untuk seluruh Negara yang beradab termasuk Negara Indonesia. Negara Indonesia sebagai salahsatu anggota komunitas internasional telah mengakui bahwa, tindak pidana pencucian uang sangat berbahaya bagi suatu bangsa yang berdaulat. Indonesia melalui keanggotannya di FATF telah melakukan berbagai cara untuk mencegah dan menanggulanggi tindak pidana pencucian uang. Salahsatu pencegahan dan penanggulangan yang dilakukan oleh Negara Indonesia dalam pencegahan dan penanggulangan yaitu merampas assetasset yang diduga dari transaksi keuangan yang mencurigakan sebagaimana yang telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Aturan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan kemungkinan untuk melakukan perampasan asset transaksi keuangan dari hasil kejahatan pencucian uang terhadap setiap transaksi keuangan yang tidak sesuai dengan pola atau profil atau tujuan atau penggunaan atau transaksi yang tidak dilaporkan atau transaksi yang tidak dilaporkan ke PPATK. PPATK selaku badan yang independen diberikan tugas penyelidikan. Salahsatu hasil dari penyelidikan PPATK yaitu melahirkan apa yang dinamakan dengan hasil analisis transaksi keuangan dari hasil kejahatan pencucian uang. Hasil analisis tersebut diberikan kepada penyidik untuk ditindaklanjuti apakah asset tersebut dibawakan ke pengadilan atau tidak. Namun demikian, hasil analisis dari PPATK sejak tahun 2003-2013 sebanyak 2451 HA tidak pernah dibawa penyidik ke pengadilan untuk dirampas dan dikembalikan kepada yang berhak. Tidak pernahanya dibawanya ke pengadilan terhadap hasil analisis dari PPATK oleh penyidik tersebut karena banyak faktor yang mempengaruhinya. Terlalu banyaknya faktor yang mempengaruhi tidak terlaksananya perampasan asset transaksi keuangan tersebut, maka perlu dibuat model baru agar perampasan asset transaksi keuangan dari hasil kejahatan pencucian uang dapat terlaksana sebagaimana yang diharapkan yaitu merampas setia asset yang menyimpang dari pola atau profil atau tujuan atau penggunaan atau transaksi yang tidak dilaporkan atau transaksi yang tidak dilaporkan ke PPATK.