Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Dengan kemajuan ilmu dan teknologi sejak abad ke20 laut membawa manfaat tidak hanya di bidang perikanan dan pelayaran,1 tetapi juga sebagai sumber kekayaan alam terutama minyak dan gas bumi yang dapat dikelola melalui penggunaan teknologi instalasi lepas pantai. Dalam beberapa dasawarsa terakhir dapat disaksikan suatu perubahan besar dalam kegiatan-kegiatan di laut karena selama berabad-abad kegiatan-kegiatan ini umumnya hanya terbatas pada aktivitas penangkapan ikan serta pelayaran.2 Negara-negara yang memiliki dan menguasai teknologi kelautan khususnya teknologi instalasi lepas pantai (offshore installation technology) dapat memanfaatkannya bagi aktivitas eksplorasi dan eksploitasi di lokasi-lokasi laut yang semakin lama semakin dalam dan tidak lagi terbatas pada lokasi-lokasi laut
yang
dangkal.3
Terkait
dengan
hal
ini
tidaklah
Hasjim Djalal, “Perjuangan Indonesia di bidang Hukum Laut”, 1979, Binacipta Bandung, Hlm.1; Mochtar Kusumaatmadja, “Bunga Rampai Hukum Laut”. 1978, Binacipta Bandung, Hlm.171 – 173. 1
Jean-Dominique Wahiche, “Artificial Structures and Installations, Uses of the Sea: The Field of Conflict”, Marine Policy, Volume 7 Number 1, 1983, Hlm.37. 2
M. Daud Silalahi, “Pengaturan Hukum Lingkungan Laut Indonesia dan Beberapa Implikasinya secara Regional”, Suatu Disertasi yang dipertahankan dalam Rapat Senat Guru Besar Universitas Padjadjaran tahun 1984, Hlm. 315. 3
1
2
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
mengherankan
apabila
perusahaan-perusahaan
negara-negara besar
yang
tersebut
dimiliki,
serta
baik
oleh
pemerintahnya maupun oleh warganegaranya yang sudah mendapatkan eksploitasi
izin
dalam
untuk
melakukan
wilayah
eksplorasi
kedaulatan
dan
dan
wilayah
yurisdiksinya, dan di luar wilayah seperti ini sudah mulai membangun instalasi dan bangunan lepas pantai pada bagian-bagain laut yang semakin dalam. Dewasa ini terdapat lebih dari 6.000 instalasi lepas pantai di seluruh dunia sehingga berbagai negara dan organisasi internasional pada awal tahun 1980-an makin memberikan perhatian terhadap masalah-masalah, baik yang bersifat teknis maupun yuridis yang berkaitan dengan instalasi dan bangunan di laut.4 Salah satu masalah yang menimbulkan keprihatinan adalah masalah pembongkaran dan pemindahan instalasi lepas pantai ketika instalasi seperti ini ditinggalkan karena tidak digunakan lagi. Kalau masalah seperti ini dibiarkan begitu saja, tentu saja dapat membawa pengaruh
terhadap
berbagai
terutama
tindakan
pembiaran
gangguan
terhadap
macam itu
keselamatan
aktivitas
dapat
di
laut,
menimbulkan
pelayaran
(safety
of
navigation). Hal ini berarti bahwa masalah pemindahan atau pembongkaran instalasi memerlukan perhatian dari negaraM. Nauke, “Requirements for the Removal and Disposal of Offshore Installations and Platforms”, Seminar on the Removal and Disposal of Obselete Offshore Installations and Structures in the Exclusive Economic Zone and on the Continental Shelf, 25 – 26 May 1992, Jakarta, Hlm. 1 4
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
negara, khususnya negara-negara yang memiliki ataupun mengizinkan pembangunan dan pemanfaatan instalasi dan bangunan lepas pantai sehingga masalah tersebut perlu mendapatkan pengaturan sebagaimana mestinya baik secara internasional maupun nasional. Empat konvensi tentang hukum laut yang dihasilkan melalui konferensi Geneva tahun 1958 adalah 1)
Konvensi
mengenai Laut Wilayah dan Jalur Tambahan (Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone); 2)
Konvensi
mengenai Laut Bebas (Convention on the High Seas); 3) Konvensi mengenai Perikanan dan Pelestarian sumber daya hayati
dari
laut
bebas
(Convention
on
Fishing
and
Conservationa of the Living Resources of the High Seas); 4) Konvensi mengenai Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf). Akan tetapi dalam beberapa tahun saja konvensi tersebut dirasakan kekurangan-kekurangannya. Kekurangan dan kelemahan mendasar dari konvensi tersebut tentu saja menyangkut masalah lebar laut teritorial setiap negara pantai yang tidak ditetapkan secara tegas, sehingga dalam praktek negara-negara pantai pada waktu itu penetapannya diserahkan kepada masing-masing negara. Namun
pada umumnya negara-negara pantai menetapkan
sampai 12 mil laut sebagai batas atau lebar maksimal laut wilayahnya yang diukur dari garis pangkal karena penetapan sampai batas 12 mil dianggap sebagai sesuatu yang dapat memenuhi rasa keadilan bagi negara-negara pantai yang
3
4
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
sebagian besar adalah merupakan negara-negara berkembang. Dikaitkan dengan pembongkaran instalasi lepas pantai, maka dalam beberapa tahun saja sejak berlakunya Konvensi Geneva tahun 1958 ketentuan-ketentuan yang dimaksud dirasakan sudah tidak sesuai dengan kebutuhan pengaturan hukum dalam bidang hukum laut internasional, sebab masalah pembongkaran ataupun pemindahan instalasi bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan terkait dengan berbagai aspek khususnya aspek keselamatan pelayaran (safety of navigation). Menurut Brown sisa instalasi, dalam arti instalasi yang sudah tidak terpakai dapat menimbulkan gangguan terhadap aktivitas navigasi, penangkapan ikan dan perlindungan lingkungan laut.5 Ketika konferensi hukum laut PBB I diselenggarakan, maka fokus perhatian negara-negara dapat dikatakan tertuju pada pengaturan mengenai pembangunan instalasi yang diperlukan untuk kepentingan eksploitasi sumber
daya
keselamatan
alam
tanpa
(pelayaran).
mengabaikan
Pada
waktu
pertimbangan
yang
bersamaan
masalah pembongkaran terhadap instalasi yang sudah tidak digunakan lagi pengaturannya dilakukan dan dirumuskan secara sangat sederhana. Rumusannya yang begitu sederhana menyangkut pembongkaran instalasi, tampak dari kata-kata Paul Peters, A.H.A. Soons and Lucie A. Zima, “Removal of Installation in the Exclusive Economic Zone”, Nederlands Yearbook of International Law, Volume XV, 1984, Martinus Nihhoff Publishers, Hlm.173 5
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
“entirely removed” yang mempunyai makna bahwa instalasi yang sudah tidak digunakan lagi harus dibongkar secara keseluruhan. Pengaturan soal pembongkaran ataupun pemindahan instalasi lepas pantai dari perspektif Konvensi Geneva 1958, adalah sedemikian sederhana sehingga ketentuannya praktis tidak dapat dilaksanakan oleh negara-negara, setidaktidaknya sulit untuk dijalankan, atau dengan kata lain ketentuan konvensi mengenai pembongkaran instalasi merupakan huruf mati. Sejalan
dengan
perkembangan
teknologi
yang
menyebabkan meluasnya kegiatan pembangunan instalasi hingga dapat mencapai perairan dalam (deep waters) yang berlangsung dalam beberapa dasawarsa terakhir, di mana hal ini belum diantisipasi oleh negara-negara peserta perjanjian hukum laut tahun 1958 sehingga pembongkaran terhadap instalasi yang berada pada perairan dalam sulit dijalankan sebagai akibat adanya kendala teknologi dan pembiayaan (technological and financial handicap).6 Dengan suksesnya konferensi hukum laut PBB ke-III merumuskan sebuah konvensi, merupakan peristiwa bersejarah bagi masyarakat internasional, karena konvensi yang dihasilkannya bersifat komprehensif dalam pengertian mengatur hampir semua masalah hukum laut, termasuk masalah pembongkaran instalasi yang tidak lagi digunakan dan kemudian ditinggalGeir Ulfstein, Peder Andersen and Robin Churchill, “The Regulation of Fisheries : Legal, Economic and Social Aspects”, 1987, Division for Higher Education and Research, Strasbourg, Hlm. 190. 6
5
6
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
kan dan bahkan ditelantarkan (abandoned) oleh pemiliknya tanpa
mengindahkan
kepentingan
para
pemakai
laut
khususnya kepentingan keselamatan pelayaran. Secara umum jaminan keselamatan pelayaran di wilayah kedaulatan dan wilayah yurisdiksi sesungguhnya memiliki ruang lingkup yang luas, karena keselamatan pelayaran yang didambakan dan menjadi tujuan bagi para pemakai laut ditentukan oleh berbagai macam faktor, baik yang menyangkut pengaturan mengenai kelayakan kapal untuk berlayar di laut, pengaturan tentang alur-alur laut, maupun pengaturan tentang instalasi dan bangunan lepas pantai,
termasuk
pembongkarannya
ketika sudah tidak
beroperasi atau tidak digunakan lagi untuk eksplorasi dan eksploitasi. Keselamatan dan keamanan berlayar bagi kapal dalam segala jenisnya mensyaratkan kapal tersebut berlayar secara tertib dan teratur. Terkait dengan kewajiban kapal untuk
berlayar
diperhatikan
secara
adanya
tertib
dan
sekumpulan
teratur,
maka
perlu
aturan-aturan
yang
bertujuan untuk mencegah tubrukan di laut, baik dari segi hukum internasional maupun hukum nasional Indonesia. Di dalam
wilayah
kedaulatan
Indonesia
sebagai
negara
kepulauan (Archipelagic State), seperti perairan kepulauan dan
laut
teritorialnya
yang
dapat
dimanfaatkan
bagi
kepentingan navigasi baik berdasarkan hak lintas alur-alur laut kepulauan (the right of archipelagic sea lanes passage),
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
maupun hak
lintas damai (the right of
innocent passage),
maka kepentingan seperti ini harus dapat diakomodasi oleh Indonesia dalam statusnya sebagai negara kepulauan melalui pelaksanaan penetapan alur-alur laut kepulauan, maupun alur-alur laut yang antara lain berfungsi untuk menghindari bahaya tubrukan, termasuk bahaya tubrukan oleh kapal terhadap instalasi lepas pantai yang sudah tidak digunakan lagi ataupun sudah ditinggalkan oleh pemiliknya.7 Meningkatnya
pembangunan
dan
pemanfaatan
instalasi lepas pantai berpotensi bagi timbulnya konflik penggunaan laut. Konflik seperti ini dapat terjadi antara hak negara pantai dalam mengatur pembangunan dan pemanfaatan instalasi lepas pantai pada umumnya dan pembongkaran instalasi yang sudah tidak digunakan lagi pada satu pihak, dan hak negara lain untuk melakukan kegiatan navigasi baik melalui wilayah kedaulatan maupun wilayah yurisdiksi dari negara kepulauan Indonesia. Oleh karena itu pengaturan tentang pembongkaran instalasi
lepas
pantai ketika
instalasi
ini
sudah
tidak
beroperasi, dan selanjutnya ditinggalkan oleh pemiliknya, perlu mendapat perhatian yang terutama dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana suatu instalasi lepas pantai harus dibongkar dalam rangka menjamin serta mengamankan berbagai kepentingan, seperti kepentingan perikanan dan pelestarian 7
lingkungan
laut
di
sekitar
Jean-Dominique Wahiche, op.cit., Hlm. 51
instalasi
yang
7
8
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
bersangkutan maupun kepentingan keselama-tan pelayaran Terkait dengan kepentingan konservasi lingkungan laut di sekitar instalasi, maka dalam Santa Barbara Case, bencana sebuah anjungan di “Santa Barbara”, California, Amerika Serikat 28 Januari 1969, pengadilan California antara lain menyatakan bahwa pada laut yang cukup dalam, maka instalasi yang menyebabkan pencemaran di bawah 100 ppm dapat menimbulkan nutrient.8 Konvensi hukum laut tahun 1982 menetapkan adanya hak dan kewajiban yang bersifat khusus bagi negara pantai, maupun bagi negara-negara lain. Namun demikian konvensi ini sering hanya merumuskan pedoman-pedoman dasar (guiding principles) yang penerapan atau implementasinya diserahkan kepada masing-masing negara, maupun kepada organisasi internasional guna menindaklanjuti pedomanpedoman dasar seperti itu. Salah satu ketentuan di antara berbagai macam ketentuan Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang dikategorikan sebagai “guiding principles” adalah ketentuan
tentang
digunakan
lagi
pelaksanaan
dan
pembongkaran kemudian
ketentuan
seperti
instalasi
yang
ditelantarkan, itu
di
ditindaklanjuti
tidak mana dan
diterjemahkan oleh sebuah organisasi internasional yang berwenang.
Komar Kantaatmadja, “Gantirugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut”, 1981, Penerbit Alumni, Bandung, Hlm. 104 8
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Dalam hal ini organisasi yang dimaksud adalah Organisasi Maritime Internasional (Internationmal Maritime Organization) yang menetapkan standar-standar internasional yang dapat dijadikan sebagai pedoman bagi negara-negara pantai dalam merumuskan dan menetapkan ketentuanketentuan mengenai pembongkaran instalasi lepas pantai yang sudah tidak digunakan lagi. Hal ini berarti bahwa setiap negara pantai yang membangun instalasi ataupun mengizinkan pembangunan serta pemanfaatannya bagi siapapun, perlu membuat peraturan-peraturan bukan hanya menyangkut pembangunan, pemanfaatan dan perizinannya, tetapi juga menyangkut pembongkaran instalasi lepas pantai, karena bagaimanapun juga instalasi tersebut berfungsi bukan tanpa batas waktu tertentu sehingga tidak mungkin bisa beroperasi secara terus menerus. Masalah
pengaturan
mengenai
pembongkaran
instalasi lepas pantai memiliki arti dan peranan penting bagi Indonesia
dalam
kedudukannya
sebagai
suatu
negara
kepulauan (atau meminjam istilah B.J. Habibie, Indonesia sebagai Negara Benua Maritim) yang menghormati kepentingan negara lain, khususnya dalam bidang navigasi di perairan nusantara dan zona ekonomi eksklusifnya. Arti dan peranan penting dari soal pengaturan pembongkaran instalasi dapat
diklarifikasi
dengan
memperhatikan
keadaan-keadaan sebagai berikut.
hal-hal
atau
9
10
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Keadaan
geografis
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia sebagian besar terdiri dari lautan dan dikategorikan sebagai negara kepulauan atau negara benua maritim, yang menunjukkan wilayah Indonesia dilihat sebagai sebuah benua maritim yang di atasnya bertebaran pulau-pulau baik besar maupun kecil. Secara fisik Indonesia terdiri dari beribu-ribu pulau besar dan kecil. Hasil penelitian terakhir hingga tahun 2000 mengungkapkan jumlah pulau di seluruh wilayah kepulauan Indonesia sudah mencapai 17.508 pulau. Dari jumlah ini ada 5.707 pulau yang sudah mempunyai nama dan 11.801 pulau yang belum mempunyai nama. Sedangkan luas wilayah darat dan air dewasa ini adalah 5.193.250 kilometer persegi yang terdiri dari 2.027.080 kilometer persegi berupa wilayah darat dan 3.166.170 kilometer persegi berupa wilayah perairan. Selain kondisi geografis seperti itu, maka letak dari wilayah kepulauan atau wilayah nusantara Indonesia yang berada dalam suatu posisi silang di antara dua samudera dan dua benua, sehingga merupakan salah satu pusat lalu lintas internasional bagi kapal-kapal asing dalam segala jenisnya.9 Banyak
lokasi
perairan
baik
yang
merupakan
wilayah
kedaulatan maupun wilayah yurisdiksi Indonesia selain menjadi daerah lintasan ataupun daerah transit bagi kapalkapal, juga secara faktual menjadi lokasi pembangunan instalasi 9
lepas
pantai
untuk
keperluan
Komar Kantaatmadja, op.cit., Hlm.3
eksplorasi
dan
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
eksploitasi sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya. Sebagai negara kepulauan Indonesia dibebani dengan kewajiban serta tanggungjawab untuk menjamin keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal asing dalam wilayah perairannya dan mengumumkan dengan sewajarnya adanya bahayabahaya yang terdapat di sana, terutama keberadaan
suatu
instalasi
lepas
titik-titik lokasi
pantai
yang
sudah
ditinggalkan karena sudah tidak lagi digunakan. Dengan demikian masalah pembongkaran instalasi pada masa mendatang adalah sesuatu yang tidak dapat dihindarkan, dan pengaturan atas masalah seperti ini memiliki urgensi yang jelas sehingga pengaturannya sudah seharusnya menjadi bagian integral dan tak terpisahkan dari perjanjian, atau kontrak antara Indonesia dengan pihak lain, apakah pihak lain adalah pemerintah negara lain, ataukah pihak lain adalah perusahaan atau korporasi milik swasta, baik nasional maupun asing, yang diberikan perizinan untuk melakukan eksplorasi dan eksplotasi minyak dan gas bumi pada suatu lokasi tertentu dalam wilayah perairan nasional kita. Menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Departemen Pertambangan dan Energi (sekarang dinamakan Kementerian Energi dan Suumber Daya Mineral), sejak produksi komersial pertama di daerah lepas pantai sampai sekarang ini, Indonesia telah memiliki kurang lebih 370 buah anjungan atau instalasi minyak yang tersebar di laut Jawa,
11
12
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
lepas pantai Kalimantan, lepas pantai kepulauan Natuna dan Selat Malaka. Sekitar 30 persen dari keseluruhan produksi minyak dan gas bumi Indonesia dewasa ini dihasilkan dan berasal dari daerah lepas pantai tersebut, yang kebanyakan berada pada bagian-bagian perairan dangkal dengan variasi kedalaman antara 10 sampai 300 kaki. Sebagian anjungan atau instalasi tersebut sudah tidak digunakan lagi dan pelu dibongkar atau dipindahkan guna menjamin keselamatan pelayaran. Pertimbangan lain yang melandasi pentingnya dibahas masalah pembongkaran instalasi, adalah bahwa pada tahun 1989 Komisi Sosial Ekonomi untuk Kawasan Asia Pasifik (Economic and Social Commission for Asia and the Pacific) telah menyelenggarakan sebuah seminar di Bangkok (Thailand) yang mengkaji berbagai isu yang berkaitan dengan instalasi dan bangunan lepas pantai di zona ekonomi eksklusif.10 Seminar yang juga dihadiri oleh delegasi dari Indonesia, menampilkan berbagai makalah yang dipresentasikan oleh wakil-wakil dari negara-negara dari kawasan Asia Pasifik. Hasil-hasil seminar tersebut
kemudian dituangkan
dalam sebuah laporan yang antara lain menyatakan bahwa perundang-undangan nasional dari negara-negara yang mengatur tentang persoalan instansi lepas pantai yang ditinggalkan dan ditelantarkan (abandonment). Instalasi seperti ini Report of the Seminar on Issues Associated with Offshore Installations and Structures in the Exclusive Economic Zone, Bangkok, 6 – 10 February 1989, NP/14013/Rep.24 March 1989. 10
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
harus dibongkar oleh negara pantai yang bersangkutan sebab dapat membahayakan atau setidak-tidaknya mengganggu keselamatan pelayaran bagi kapal-kapal asing yang melintasi perairan di sekitar instalasi seperti itu. Dari segi hukum internasional, pengaturan tentang pembongkaran instalasi yang melibatkan berbagai macam aspek, khususnya aspek keselamatan pelayaran sudah berhasil dirumuskan atas inisiatif atau prakarsa dari suatu badan khusus PBB yang mengurus bidang kemaritiman (maritime affairs), dalam hal ini Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization atau disingkat IMO). Sesuai dengan tugas dan kewenangannya, IMO telah berhasil menciptakan sebuah resolusi yang secara yuridis dapat menjadi solusi dan jalan keluar atas permasalahan mengenai sejauh mana, atau sampai di mana suatu instalasi yang berlokasi dalam wilayah kedaulatan ataupun wilayah yurisdiksi nasional perlu dilakukan pembongkaran atau pemindahan demi menjamin keselamatan pelayaran. Tentu saja disertai catatan instalasi yang dimaksud adalah instalasi yang sudah tidak digunakan lagi dan ditelantarkan oleh pemiliknya sehingga negara pantai yang bersangkutan harus bertanggungjawab dalam hal terjadi gangguan atas keselamatan pelayaran akibat instalasi yang ditelantarkan. Dapat dikatakan, pengaturan internasional mengenai pembongkaran instalasi relatif sudah memadai, tetapi efektivitas pelaksanaan kewajiban negara pantai terkait dengan
13
14
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
masalah ini sangat tergantung pada kepentingannya dalam mengimplementasikan dan menindaklanjuti ketentuan-ketentuan dasar dari Konvensi Hukum Laut 1982, serta peraturanperaturan yang sifatnya implementatif yang mengatur soal pembongkaran instalasi lepas pantai yang sudah tidak digunakan. Dalam kaitan ini Indonesia sebagai salah satu negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982, dan juga sebagai anggota pada Organisasi Maritim Internasional, mempunyai kepentingan dalam menerapkan ketentuan-ketentuan dasar dari konvensi, serta menindaklanjuti aturan-aturan dari organisasi terkait dengan pembongkaran instalasi lepas pantai, sebab banyak instalasi lepas pantai di seluruh wilayah perairan nasional yang seharusnya dibongkar dan dipindahkan, ternyata dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya. Usaha pengaturannya dalam hukum nasional Indonesia harus memperhatikan berbagai kepentingan, seperti kepentingan pemeliharaan atau pelestarian lingkungan, kepentingan pertambangan, perikanan dan terutama kepentingan keselamatan pelayaran. Keselamatan pelayaran bukan, hanya menjadi tujuan dari pembongkaran instalasi lepas pantai, melainkan juga menjadi tujuan dari berbagai pengaturan dalam bidang kelautan, seperti pengaturan tentang keselamatan kapal, pengaturan tentang alur-alur laut, dan pengaturan bidang kemaritiman lainnya. Namun demikian, masalah yang akan menjadi obyek pembahasan ini adalah pengaturan mengenai pembongkaran instalasi, terutama sejauh mana
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
suatu instalasi perlu dibongkar dan dipindahkan dalam rangka menjamin keselamatan pelayaran. Dengan
kemajuan
teknologi,
termasuk
teknologi
pembangunan instalasi lepas pantai, maka sejak beberapa dekade terakhir, sudah banyak diciptakan instalasi lepas pantai yang mempunyai kemampuan untuk terapung (floating installation) serta dapat bergerak atau digerakkan (movable) dari satu lokasi ke lokasi lainnya di laut. Teknologi anjungan modern sudah dikembangkan secara luas oleh sebagian besar perusahaan minyak yang mengembangkan dan memanfaatkan instalasi atau anjungan yang dinamakan “free-floating platforms”, anjungan yang tidak mempunyai kaki dan tidak perlu ditancapkan ke dalam dasar laut.11 Namun demikian karena instalasi terapung dan dapat bergerak, umumnya tidak menimbulkan permasalahan dari sudut keselamatan pelayaran, maka instalasi yang dimaksudkan dalam pembahasan ini hanya dititikberatkan dan dibatasi pada instalasi lepas pantai yang memiliki sifat permanen (fixed installation) yang dibangun dan digunakan untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam, khususnya minyak dan gas bumi. Hal ini disebabkan karena instalasi seperti itu yang dapat mengganggu dan bahkan membahayakan keselamatan pelayaran apabila sudah tidak Mr. Keith, “Floating Cities : A New Challenges for Transnational Law”, Marine Policy, Volume 1, Number 3, July 1977, p.190; juga dapat dilihat Lewis M. Alexander, “The Law of the Sea”, January 1971, University of Rhode Island, p. 264 – 267 11
15
16
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
digunakan lagi dan dibiarkan atau ditelantarkan oleh pemiliknya sehingga dapat membawa implikasi berupa tanggung jawab negara. B. Rumusan Masalah Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kiranya dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan berikut ini : 1) Sejauh mana hukum internasional mengatur tentang pembongkaran
instalasi
lepas
pantai
(offshore
installation) terkait dengan keselamatan pelayaran, baik berdasarkan Konvensi Geneva 1958 maupun Konvensi Hukum Laut 1982 ? 2) Sejauh mana ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 tentang pembongkaran instalasi, sudah ditindaklanjuti oleh Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization) dalam usaha merumuskan internasional
dan
menetapkan
standar-standar
yang harus diperhatikan oleh negara
pantai dalam melakukan pembongkaran instalasi guna menjamin keselamatan pelayaran ? 3) Sejauh mana hukum nasional Indonesia mengatur tentang pembongkaran instalasi lepas pantai guna menjamin keselamatan pelayaran ? 4) Bagaimanakah pengaturan mengenai pembongkaran instalasi lepas pantai, sebagaimana ditetapkan dalam berbagai kontrak kerjasama, khususnya kontrak bagi hasil
(production
sharing
contract)
antara
pihak
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Pemerintah Republik Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Pertamina dengan pihak kontraktor bagi hasil ? 5) Sejauh mana Pemerintah Republik Indonesia bertanggungjawab kepada negara lain yang warganya mengalami kerugian akibat tidak dibongkarnya suatu instalasi lepas pantai yang sudah ditinggalkan ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1) Menemukan ketentuan-ketentuan hukum internasional baik yang bersumber dari konvensi internasional, maupun yang bukan konvensi internasional, yang mengatur
masalah
pembongkaran
instalasi
yang
berada di dalam wilayah kedaulatan ataupun wilayah yurisdiksi negara pantai. 2) Menemukan
ketentuan-ketentuan
Maritim Internasional, menjabarkan
dari
Organisasi
yang menindaklanjuti dan
ketentuan-ketentuan
dari
Konvensi
Hukum Laut 1982, dalam usaha menetapkan standarstandar internasional yang harus diperhatikan oleh negara
pantai,
dalam
melakukan
pembongkaran
instalasi lepas pantai guna menjamin keselamatan pelayaran. 3) Menemukan ketentuan-ketentuan hukum nasional Indonesia baik berupa peraturan perundang-undangan maupun di luar peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembongkaran instalasi.
17
18
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
4) Menemukan ketentuan-ketentuan mengenai masalah tanggungjawab dalam pembongkaran instalasi yang terdapat
dalam
berbagai
kontrak
kerjasama,
khususnya kontrak bagi hasil (production sharing contract)
yang
diadakan
antara
Pemerintah
RI
/Pertamina dengan pihak kontraktor asing. 5) Menemukan dan mengetahui bagaimana tanggung jawab Pemerintah Indonesia terhadap negara lain yang warganegaranya mengalami kerugian akibat kelalaian pejabat terkait dalam melaksanakan kewajibannya untuk membongkar instalasi yang sudah tidak digunakan lagi. Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah sebagai suatu sumbangan pemikiran ke arah pembentukan, dan perumusan peraturan perundang-undangan nasional Indonesia, serta turut
memberikan
kontribusi
bagi
perkembangan
ilmu
pengetahuan hukum, terutama hukum mengenai pembongkaran
instalasi
lepas
pantai
(the
removal
of
offshore
installation). D. Kerangka Pemikiran Terwujudnya keselamatan pelayaran ditentukan oleh berbagai macam pengaturan hukum, seperti pengaturan tentang keselamatan atau keamanan kapal, pengaturan tentang alur-alur laut dan pengaturan tentang instalasi, termasuk tentang pembongkaran instalasi lepas pantai yang sudah ditelantarkan.
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Pengaturan tentang keselamatan kapal, dapat ditemukan dalam beberapa perjanjian internasional, seperti Pasal 10 Konvensi Geneva 1958 tentang Laut Lepas, Pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982 dan konvensi-konvensi IMO mengenai keselamatan pelayaran. Namun demikian, karena pengertian keselamatan pelayaran itu sendiri lebih dititikberatkan pada aspek
eksternalitasnya
ketimbang
aspek
internalitasnya,
maka yang paling penting di antara Konvensi-konvensi IMO adalah Konvensi “COLREG” yang antara lain mengatur tentang kewajiban menghindari tubrukan, melalui penetapan skema pemisah lalu lintas (traffic sepatayion scheme) yang juga
diatur
dalam
Konvensi
Hukum
Laut
1982
yang
mewajibkan kapal-kapal yang berlayar dengan rezim hukum hak lintas damai di laut territorial, atau dengan rezim hukum hak lintas transit di selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, ataupun dengan rezim hukum hak lintas aluralur laut kepulauan di laut teritorial dan perairan kepulauan. Kapal-kapal tersebut diharuskan untuk mematuhi ketentuan-ketentuan dari “COLREG” tersebut
tanpa memper-
hatikan apakah negara bendera (flag state) atau negara pantai (coastal state) adalah negara peserta Konvensi tahun 1972 (COLREG) atau bukan. Konvensi-konvensi IMO itu adalah “International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) tahun 1960 telah diratifikasi oleh Pemerintah RI dengan Keputusan Presiden (Keppres) No. 203 Tahun 1966, kemudian konvensi ini diganti dengan “SOLAS Convention” pada tahun
19
20
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
1974, yang juga telah diratifikasi dengan
Keppres
No. 65
Tahun 1980. Selanjutnya
ada “Convention on the International
Regulations for Preventing Collisions at Sea” yang dikenal dengan sebutan “COLREG” 1960 telah diratifikasi oleh Pemerintah RI dengan Keppres No. 107 Tahun
1968;
Sedangkan “COLREG” 1972 diratifikasi dengan Keppres No. 50 Tahun 1979.12 Pengaturan keselamatan kapal dan segala isinya, adalah sesuatu yang penting dan perlu mendapat perhatian, dikaitkan dengan instalasi lepas pantai yang banyak bertebaran dalam wilayah perairan dari negara-negara pantai. Instalasi-instalasi yang masih beroperasi maupun terutama yang sudah tidak beroperasi harus diwaspadai oleh para pemakai laut, dengan mematuhi ketentuan-ketentuan dari Konvensi-konvensi IMO tersebut, seperti pelbagai aspek kelayakan kapal untuk berlayar dan kemampuan kapal untuk menghindari terjadinya tubrukan, termasuk tubrukan atas instalasi yang tidak digunakan lagi dalam rangka mewujudkan keselamatan berlayar. Pengaturan mengenai alur-alur laut dalam kaitan dengan keselamatan pelayaran, didasarkan atas ketentuan Pasal 22, Pasal 41, dan Pasal 53 Konvensi Hukum Laut 1982 yang
pada
prinsipnya
mewajibkan
kapal
asing
untuk
mempergunakan alur-alur laut (sea lanes) dan skema pemisah lalu lintas yang ditetapkan oleh negara pantai, ataupun 12
Atje Misbach, hlm. 303-305.
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
negara
kepulauan
Apabila
alur-alur
laut
kepulauan
(archipelagic sea lanes passage) belum ditentukan, maka hak lintas alur laut kepulauan dapat dilaksanakan melalui ruterute
laut
yang
biasanya
digunakan
untuk
pelayaran
internasional. Pengaturan alur-alur laut, dan alur-alur laut kepulauan, yang menitikberatkan terwujudnya keselamatan pelayaran memiliki relevansi, mengingat di dalam alur-alur laut dan alur-alur laut kepulauan sering terdapat berbagai instalasi lepas pantai, baik yang masih operasional maupun yang
sudah
tidak
operasional,
sehingga
pembongkaran
instalasi yang disebut terakhir, tidak dapat dilepaskan dari kewajiban dan tanggungjawab dari negara pantai atau negara kepulauan. Pengaturan
mengenai pembongkaran instalasi lepas
pantai yang berada dalam wilayah kedaulatan (laut teritorial dan perairan kepulauan) terletak pada kebijaksanaan dari negara kepulauan. Namun di zona ekonomi eksklusif dan landas
kontinennya,
sesuai
dengan
hak-hak
berdaulat
(souvereign rights) yang dimiliki oleh negara kepulauan, pengaturan mengenai pembongkaran instalasi lepas pantai dinyatakan secara tegas dalam Pasal 60 Konvensi Hukum Laut 1982. Negara kepulauan mempunyai hak-hak dan yurisdiksi eksklusif atas setiap instalasi untuk keperluan apapun, di mana hal ini sesungguhnya didasarkan atas usul Mr. Van Der Essen (Belgia) yang tertuang dalam kertas kerjanya mengenai “Artificial Island and Installation” yang
21
22
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
disampaikan kepada “the Seabed Committee” pada tahun 1973. Usul seperti ini pada dasarnya menentukan bahwa pulau-pulau buatan yang dibangun di landas kontinen dapat ditundukkan pada yurisdiksi negara pantai ataupun yurisdiksi dari negara yang mengizinkan pembangunannya.13 Dalam hubungan ini Pasal 5 Konvensi Geneva 1958 mengenai Landas Kontinen memberikan hak kepada negara pantai untuk membangun instalasi buatan bagi keperluan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dilandas kontinen (permanent installation) serta menempatkan instalasi itu di bawah yurisdiksi dari negara pantai semata-mata. Negara pantai juga dapat menjalankan yurisdiksinya atas setiap instalasi dan bangunan, yang dapat mengganggu pelaksanaan
hak-hak
negara
pantai
di
zona
ekonomi
eksklusif, ataupun pada landas kontinennya. Ketentuan seperti ini berasal dari prinsip yang terdapat dalam putusan pengadilan AS terkait dengan timbulnya kasus “United States v. Ray”.14 Dalam kasus ini, para pejabat AS sebenarnya telah melarang dan menghentikan pembangunan pembangunan pulau buatan, atau instalasi untuk keperluan yang tidak Shigeru Oda, “The Law of the Sea in our Time – II, The United Nations Seabed Committee”, 1968 – 1973, Sijhoff Publishers on Ocean Development, Volume 4, 1977, hlm. 320. Juga Nikos Papadakis, “The International Legal Regime of Artificial Islands”, Sijhoff, Leyden, 1977, hlm. 150. Juga Renate Platzoder, “Third United Nations Conference on the Law of the Sea: Documents, Volume V, 1984, Ocean Publications, Inc. Dobbs Ferry, New York, hlm.414 13
14
Shigeru Oda, hlm. 75
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
berkaitan dengan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam. Larangan pembangunan serta perintah penghentian pembangunan instalasi tersebut didasarkan atas kewenangan dari Menteri Angkatan Bersenjata untuk mencegah gangguan terhadap kepentingan keamanan nasional AS dan kepentingan pelayaran. Sesungguhnya Konvensi Hukum Laut 1982 melarang pembangunan instalasi dan bangunan lepas pantai apabila menimbulkan gangguan terhadap penggunaan alur-alur laut yang diakui esensial bagi pelayaran internasional.15 Konvensi yang sama juga memberikan jaminan-jaminan lain, demi menjamin kepentingan keselamatan pelayaran. Pembangunan instalasi dan bangunan lepas pantai harus diumumkan dengan sepatutnya, dan sarana permanen untuk memberikan peringatan mengenai kehadirannya harus tetap dipelihara. Instalasi dan bangunan yang ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi, harus dibongkar atau dipindahkan untuk menjamin keselamatan pelayaran. Apabila diperlukan, negara pantai dapat menetapkan zona-zona keselamatan (safety zones) yang wajar di sekeliling instalasi dan bangunan, di mana negara pantai dapat mengambil tindakan-tindakan yang tepat, dengan tujuan untuk menjamin keamanan atau keselamatan dari instalasi dan bangunan tersebut maupun untuk menjamin keselamatan pelayaran.
David Joseph Attard, “The Exclusive Economic Zone in International Law”, Clarendon Press-Oxford, 1987, hlm. 90 – 91 15
23
24
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Luas
daripada
zona-zona
keselamatan
yang
ditetapkan oleh negara pantai, harus diumumkan dengan sepatutnya. Konvensi Hukum Laut 1982 tidak menentukan secara tegas tindakan-tindakan seperti apa yang boleh diambil oleh negara pantai sehubungan dengan penetapan zona-zona keselamatan. Oleh karena itu, dalam praktiknya negara-negara
dapat
membebankan
berbagai
macam,
pembatasan terhadap kegiatan pelayaran, termasuk menetapkan rute-rute pelayaran (sea routes) bagi kapal-kapal yang akan melewati perairan di sekitar instalasi.16 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1973 menetapkan adanya daerah-daerah terlarang (prohibited zones), yang lebarnya tidak melebihi 500 meter, terhitung dari setiap titik terluar pada instalasi di landas kontinen, di mana orang, kapal, pesawat terbang dan lain-lain sejenisnya, yang tidak berkepentingan dilarang untuk memasukinya. Di samping itu ada juga yang dinamakan daerah-daerah terbatas (restricted zones or areas) yang lebarnya tidak melebihi 1.250 meter, terhitung dari setiap titik terluar dari daerah terlarang itu, di mana kapal-kapal pihak ketiga tidak boleh membuang atau membongkar sauh. Suatu instalasi atau bangunan lepas pantai, perlu dilakukan tindakan pembongkaran atau pemindahan, karena berbagai alasan. Mungkin instalasi atau bangunan itu telah ditelantarkan atau sudah tidak digunakan lagi, disebabkan 16
Shigeru Oda: 1979, p. 101 – 103
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
karena sumber kekayaan alam, khususnya deposit minyak dan gas bumi sudah sangat berkurang, atau bahkan sudah habis dieksploitasi sehingga kegiatan eksplorasi dan eksploitasi melalui pemanfaatan instalasi, sudah tidak memberikan keuntungan ekonomis. Di samping itu kendati instalasi tersebut mungkin masih menguntungkan dari segi ekonomi, pembongkaran dan pemindahan instalasi itu perlu dilakukan, terutama apabila instalasi tersebut dapat mengganggu serta membahayakan keselamatan pelayaran. Sejauh mana suatu instalasi lepas pantai yang sudah tidak ekonomis dan kemudian ditelantarkan ataupun instalasi seperti itu mengganggu dan membahayakan keselamatan pelayaran, perlu dilakukan tindakan pembongkaran, maka dalam hubungan ini harus dilihat ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dalam ketentuan Pasal 5 ayat (5) Konvensi Geneva 1958 tentang Landas Kontinen menetapkan bahwa setiap instalasi yang ditinggalkan (abandoned) atau sudah tidak digunakan lagi (disused) harus dibongkar secara keseluruhan (entirely removed). Ketentuan seperti itu, pada umumnya tidak dapat dilaksanakan dalam praktik negara-negara, sehingga dapat dikatakan ketentuan Pasal 5 ayat (5) Konvensi Geneva 1958 merupakan huruf mati. Hal ini disebabkan karena adanya kendala atau hambatan dalam bidang teknologi dan keuangan dalam melakukan hal-hal bagi keperluan eksplorasi dan eksploitasi. Dengan latar belakang seperti itu maka konferensi
25
26
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
hukum laut PBB ke III telah merubah dan mengganti ketentuan Pasal 5 ayat (5) Konvensi Geneva1958 tentang Landas Kontinen, dan menciptakan serta merumuskan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982. Ketentuan yang disebut
terakhir
ini,
merupakan
ketentuan
luas
yang
menetapkan kewajiban negara pantai dalam mengatur pembongkaran dan pemindahan instalasi, ketika instalasi ini ditinggalkan
karena
sudah
tidak
lagi
digunakan
bagi
keperluan eksplorasi dan eksploitasi. Walaupun suatu instalasi sudah tidak digunakan lagi, hal ini tidak berarti instalasi seperti itu harus selalu dibongkar. Dalam keadaan-keadaan tertentu, instalasi tersebut sama sekali tidak perlu dibongkar atau kalau harus dibongkar, pembongkarannya cukup sebagian saja. Ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 memperkenankan negara pantai melakukan pembongkaran sebagian (partial removal) atas instalasi yang ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi. Hal seperti ini yang justru membedakan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 dengan Pasal 5 ayat (5) Konvensi Geneva 1958 tentang Landas Kontinen.17 Selain perbedaan seperti itu, perbedaan lain antara kedua ketentuan tersebut terletak pada V.I. Andrianov, “The Role of the International Maritime Organization in Implementing the 1982 UNCLOS”, Marine Policy, Volume 14, Number 2, March 1990, hlm.123. Lihat juga John M. van Dyke, Lewis M. Alexander, Joseph R. Morgan, “International Navigation : Rocks and Shoals Ahead”, The Law of the Sea Institute, Honolulu, Hawaii, 1986, hlm. 242 17
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
cara negara pantai dalam memenuhi kewajibannya, terkait kegiatan pembongkaran instalasi lepas pantai. Pembongkaran instalasi berdasarkan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 harus dilakukan sesuai sengan standar-standar internasional yang ditetapkan oleh sebuah organisasi internasional yang berwenang. Ketika negara pantai mengambil keputusan terkait dengan instalasi yang ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi, maka negara yang bersangkutan harus memperhatikan standar-standar internasional, sebagaimana ditetapkankan di dalam suatu Resolusi yang dibuat oleh organisasi
maritime
internasional
(International
Maritime
Organization atau disingkat IMO) tahun 1989. Resolusi yang dimaksud adalah “IMO Guidelines and Standards for the Removal of Offshore Installations and Structures on the Continental Shelf and in the Exclusive Economic Zone” yang ketentuan-ketentuannya dirumuskan dan dikembangkan dari aspek keselamatan pelayaran. Pedoman dan standar seperti itu yang biasanya juga disebut dengan istilah “the IMO Guidelines and Standards” diciptakan semata-mata dengan maksud untuk membantu negara-negara dalam menyusun dan merumuskan peraturanperaturan hukumnya sendiri, perihal meninggalkan dan membongkar instalasi sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing.18 Hal ini juga berarti bahwa “the IMO Guidelines and Standards” memperkenankan negara-negara 18
Laporan Seminar dari Bangkok tahun 1989, hlm. 8
27
28
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
untuk bersikap luwes dalam menafsirkan dan mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya. Dengan keluwesan tersebut, maka pendekatan yang dapat dijalankan oleh negara pantai, dalam hubungan dengan instalasi lepas pantai yang ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi, adalah pendekatan yang sifatnya kasuistis, sehingga negara yang bersangkutan perlu melakukan evaluasi terhadap
berbagai
hal,
termasuk
akibat-akibatnya
bagi
keselamatan pelayaran baik di permukaan laut maupun di bawahnya. Sesuai dengan standar-standar yang telah ditetapkan, maka meskipun terdapat ketentuan yang antara lain menyatakan bahwa semua instalasi, atau bangunan yang ditinggalkan, atau sudah tidak digunakan lagi yang berdiri pada kedalaman air kurang dari 75 meter, dan di ruang udara berat dari instalasi tersebut kurang dari 4000 ton, kecuali geladak dan bangunan super (superstructure) harus dibongkar secara keseluruhan. Namun dalam keadaan-keadaan tertentu instalasi dan bangunan tersebut dapat dibongkar hanya untuk sebagiannya saja (partially) ataupun dibiarkan saja tetap berada di lokasinya (non-removal). Kalau instalasi tersebut hanya dibongkar sebagian (partial removal), maka harus diusahakan adanya semacam kolom air (water column) sekurang-kurangnya 55 meter antara ujung dan bagian atas instalasi yang tertinggal, dan tersisa di dasar laut dengan permukaan laut. Tersedianya kolom air
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
minimal 55 meter yang terbentuk akibat instalasi yang dibongkar dan dipotong hanya sebagian saja (partial removal), dapat memberikan manfaat bagi para pemakai laut berupa keselamatan pelayaran, baik di permukaan laut maupun di bawahnya. Keselamatan berlayar bagi kapal-kapal dalam segala jenisnya, baik di atas pada permukaan laut maupun di bawahnyanya merupakan tujuan utama yang mendasari kewajiban negara pantai dalam melakukan
pembongkaran
melalui pemotongan sebagian instalasi yang sudah tidak dipergunakan lagi. Instalasi atau bangunan lepas pantai harus dibongkar secara keseluruhan (total removal), apabila sarana seperti itu sudah tidak dapat membantu tercapainya tujuan utama, sebagaimana dimaksud pada awal pendirian atau pembangunan instalasi tersebut. Di samping itu apabila instalasi tersebut berada di selat yang dikategorikan sebagai selat yang digunakan untuk pelayaran internasional (straits used for international navigation), ataupun apabila lokasi dari instalasi yang bersangkutan berdekatan dengan selat seperti itu, maka negara pantai mempunyai kewajiban untuk membongkar instalasi tersebut secara menyeluruh. Demikian juga apabila instalasi itu berada di dalam alur-alur laut kepulauan (archipelagic sealanes), atau di dalam alur-alur laut yang biasanya sangat padat dilewati kapal-kapal (customary deepdraught sealanes).19 19
Resolution A. 672 (16), 19 Oktober 1989
29
30
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Instalasi yang sudah tidak operasional dan ditinggalkan atau ditelantarkan yang berlokasi dalam wilayah kedaulatan ataupun wilayah yurisdiksi, merupakan kewajiban negara pantai untuk membongkarnya secara menyeluruh (total removal),
sebab
hal
ini menyangkut keselamatan
pelayaran. Suatu instalasi yang masih operasional, tetapi berada di selat yang digunakan untuk pelayaran internasional juga menjadi dasar yang mewajibkan negara pantai untuk melakukan pembongkaran instalasi tersebut secara keseluruhan. Instalasi yang masih operasional, tetapi berada dalam alur-alur laut kepulauan ataupun alur-alur laut yang padat juga menjadi dasar yang mengharuskan negara pantai yang bersangkutan untuk membongkarnya secara keseluruhan, sebab apa yang dinamakan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, alur-alur laut kepulauan serta aluralur laut yang berada di luar alur-alur laut kepulauan, ditetapkan untuk menjamin keselamatan pelayaran. Negara pantai harus menjamin agar posisi, kedalaman dan dimensi dari setiap instalasi, atau bangunan yang tidak seluruhnya dibongkar di dasar laut, harus ditunjukkan dan dinyatakan melalui peta-peta laut. Di samping itu, apabila perlu, setiap bekas instalasi atau bangunan, diberikan tanda sebagaimana
mestinya
dengan
sarana-sarana
Instalasi permanen harus diberikan
pelayaran.
tanda-tanda sesuai
rekomendasi dari IALA (International Association of Lighthouse Authorities). Sedangkan instalasi terapung (floating islands)
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
harus
diberikan
tanda-tanda
atau
lampu-lampu
sesuai
dengan ketentuan Konvensi COLREG. Negara pantai harus menjamin siapa yang berhak atas instalasi dan bangunan yang tidak seluruhnya dibongkar dari dasar laut, siapa yang bertanggungjawab atas pemeliharaannya serta memikul tanggungjawab finansial atas kerugian yang terjadi akibat instalasi, ataupun bekas-bekas instalasi tersebut
pada
masa
mendatang.
Pelanggaran
terhadap
ketentuan-ketentuan tersebut di atas menyebabkan negara pantai yang bersangkutan harus bertanggungjawab secara internasional, dan berkewajiban untuk membayar gantirugi atas kerugian yang diderita negara lain.20 Keselamatan melalui
pelayaran
pengaturan
tentang
ditentukan instalasi,
tidak
hanya
termasuk
aspek
pembongkarannya, karena seperti sudah dikemukakan di atas bahwa ketentuan-ketentuan mengenai keselamatan kapal yang terdapat di dalam Konvensi-konvensi “SOLAS” dan “COLREG” memberi pula kontribusi bagi efektivitas keselamatan pelayaran. Namun demikian karena “SOLAS” dan “COLREG” permanen
tidak
berisi
(permanent
ketentuan
installation),
mengenai maka
instalasi
pedoman
dan
standar pembongkaran instalasi yang tercantum dalam “IMO Guidelines and Standards” harus mendapat perhatian, sebab semangatnya berfokus pada keselamatan pelayaran dan mem-
F.V. Garcia Amador, “The Changing Law of International Claims”, Volume 3, Oceana Publications, Inc., New York, 1984, hlm. 89 20
31
32
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
punyai tujuan untuk mencegah dan mengatasi adanya gangguan yang berasal dari instalasi atau bekas instalasi. Dalam hukum nasional Indonesia, pengaturan mengenai pembongkaran instalasi terkait dengan keselamatan pelayaran dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 1974, yaitu Peraturan Pemerintah tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai.21 Sejauh mana suatu instalasi pertambangan perlu dibongkar, baik secara keseluruhan (total removal), dibongkar sebagian saja (partial removal), ataupun sama sekali tidak perlu dibongkar (non removal), masih merupakan sebuah permasalahan, sebab ketentuan Pasal 21 dari Peraturan Pemerintah tidak mengatur hal seperti itu secara tegas. Akan tetapi pada tanggal 7 Januari 2011, terbit sebuah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pedoman Teknis Pembongkaran Instalasi Lepas Pantai Minyak dan Gas Bumi yang dapat dianggap sebagai peraturan pelaksanaan dari berbagai peraturan perundangundangan, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974
tentang
Pengawasan
Pelaksanaan
Eksplorasi
dan
Eksploitasi Minyak dan Gas Bumi di Daerah Lepas Pantai. Pasal 2 dari peraturan menteri tersebut, menegaskan bahwa pembongkaran instalasi lepas pantai, dilakukan dalam hal instalasi lepas pantai sudah tidak dipergunakan lagi atau 21
L.N. Nomor 20 Tahun 1974; T.L.N. Nomor 3031
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
akan digunakan kembali untuk kegiatan eksplorasi dan atau eksploitasi minyak dan gas bumi pada tempat lain. Sedang tujuan
dari
pengaturan
pedoman
teknis
pembongkaran
instalasi lepas pantai, antara lain adalah menjaga keselamatan pelayaran. Pelaksanaan pembongkaran instalasi lepas pantai dilakukan oleh Kontraktor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 5). Pembongkaran instalasi lepas pantai dilaksanakan oleh Kontraktor setelah mendapatkan persetujuan dari Direktur Jenderal terkait permohonan
yang
diajukan
bersangkutan
(Pasal
6
persetujuan,
maka
ayat
oleh 1).
Kontraktor
kontraktor
Setelah
yang
mendapatkan
bertanggungjawab
atas
keberadaan instalasi lepas pantai tersebut (Pasal 7 ayat 6), dan berkewajiban untuk antara lain memotong konduktor 5 (lima) meter di bawah garis lumpur (mudline), atau sejajar dengan dasar laut dalam hal jarak antara garis lumpur (mudline) dan dasar laut kurang dari 5 (lima) meter, yang semuanya
ini
bertujuan
untuk
menjamin
keselamatan
pelayaran yang memberikan manfaat bagi para pemakai laut, sehingga terhindar dari gangguan instalasi yang sudah tidak digunakan lagi.
33
34
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
BAB II PENGATURAN INTERNASIONAL MENGENAI KESELAMATAN PELAYARAN Peranan Organisasi Maritim Internasiona1 sangat besar, dalam hal pengaturan yang berkaitan dengan keselamatan pelayaran di laut, karena dapat memprakarsai dibentuknya konvensi-konvensi atau perjanian-perjanjian internasional tentang masalah-masalah kelautan.22 Organisasi ini dibentuk dengan nama organisasi konsultasi antarpemerintah mengenai masalah-masalah kelautan (The Inter-Governmental Maritime Consultative Organization), berdasarkan suatu perjanjian yang telah disetujui pada tanggal 6 Maret 1948 dalam suatu konperensi maritim Internasional yang di selenggarakan oleh Dewan Ekonomi dan Sosial (The Economic and Social Council) PBB di Jenewa. Setelah diratifikasi oleh 21 negara, maka perjanjian atau konverisi tersebut berlaku pada tanggal
Apabila Konvensi yang dibuat atas prakarsa IMO yang diratifikasi oleh 15 negara yang secara bersama menguasai atau mengawasi 50 persen tonase kapal yang terdaftar di seluruh dunia, maka Konvensi itu mulai berlaku. Bilamana suatu negara meratifikasi Konven si tersebut, maka negara tersebut harus menjamin bahwa peraturan - peraturan hukum nasionalnya adalah sesuai dengan Konvensi tersebut, Lihat Mochtar Kusumaatmadja, "Bunga Rampai Hukum Laut ". Binacipta. Bandung. 1978, hl m. 212. 22
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
17 Maret 1958 dan pada tanggal 13 Januari 1959 IMCO menjadi badan istimewa PBB.23 Konvensi
tahun 1948 menetapkan bahwa IMCO
adalah sebuah badan konsultasi dan penasehat yang memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut :24 1. Menentukan mekanisme kerjasama antarpemerintah dalam membuat pengaturan dan praktek yang berkaitan dengan pelayaran (shipping) dalam perdagangan internasional, serta mendorong diterimanya standar-standar ke se1amatan dan pelayaran efisien yang sangat praktis; 2. Mempertimbangkan setiap hal yang berkaitan dengan pelayaran yang disampaikan kepada organisasi ini oleh setiap badan istimewa PBB; 3. Mengadakan tukar menukar informasi antarpemerintah menyangkut masalah-masaiah yang menjadi wewenang organisasi. Berdasarkan
amandemen-amandemen
yang
telah
diterima oleh Majelis daripada IMCO pada bulan November 1975, maka diputuskan untuk mengganti nama organisasi dari IMCO menjadi IMO, di mana keputusannya berlaku sejak Mei 1982. Beberapa Konvensi yang telah dibuat atas prakarsa IMO antara lain adalah Konvensi-Konvensi yang mengatur Henry W. Degenhardt, "Maritime Affairs-A World Handbook", Longman Group Limited. United Kingdom, 1985, hlm. 17. 24 Ibid. 23
35
36
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
tentang keselamatan kapal, seperti Safety of Life at Sea Convention 1974, International Convention for Preventing Collisions at Sea 1972, The International Convention on Facilitation International
of
International
Convention
on
Maritime the
Traffic
1965,
The
Lines
1966,
The
Load
International Convention on Tonnage Measurement of Ships 1969.25 A. Pengaturan tentang Keselamatan Kapal Dalam bidang keselamatan pelayaran yang memerlukan jaminan keselamatan terhadap kapal, maka dibutuhkan
peraturan-peraturan
hukum
yang
dapat
menjamin
pelaksanaan hak-hak tersebut secara tertib dan aman. Peraturan-peraturan atau standar-standar bagi keselamatan pelayaran menjadi suatu kebutuhan nyata sejak akhir tahun 1980-an karena berbagai faktor.26 Dalam hubungan ini, Konvensi Jenewa tentang laut lepas menetapkan bahwa setiap negara harus mengambil tindakan-tindakan keselamatan bagi Kapal-kapal yang mengibarkan benderanya, apabila hal ini diperlukan untuk menjamin keselamatan di laut, antara lain 25
Mochochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, hlm. 213-216.
Faktor-faktor itu antara lain adalah adanya peningkatan luar biasa dalam jumlah kapal yang menimbulkan masalah lintas pelayaran terutama di wilayah perairan yang sangat ramai. Di samping itu meningkatnya ukuran kapal secara pesat sehingga mengurangi kemampuannya untuk melakukan manuver, di mana pemilik kapal, pelaut dan konsumen merasa berkepentingan agar pengangkutan orang dan barang melalui kapal dapat berjalan aman, setidak-tidaknya dapat dikurangi kecelakaan di laut, seperti tenggelamnya kapal, tubrukan kapal. Lihat R.R Churchill and A.V.Lowe, "The Law of the Sea", Manchester University Press, Manchester, 1983, hlm. 181-182. 26
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
mengenai penggunaan tanda-tanda pemeliharaan komunikasi dan pencegahan tubrukan; syarat-syarat penempatan awak kapal (crew conditions), dan konstruksi, perlengkapan serta kelayakan kapal untuk berlayar (seaworthiness of ships). Tindakan-tindakan yang diambil itu harus sesuai dengan standar-standar internasiona1 yang di terima secara umum. Konvensi Hukum Laut 1982 memuat pendekatan yang pada dasarnya sama dengan ketentuan Pasal 10 Konvensi Jenewa 1958 tentang laut lepas, tetapi lebih menjelaskan kewajiban
dari
negara
bendera,
misalnya
kewajiban
memeriksa secara teratur kelaikan kapal.27 Pengaturan
tentang
kelaikan
kapal
dapat
pula
ditemukan dalam Konvensi "SOLAS", tahun 1974 (The 1974 International Convention for the Safety of Life at Sea)28 yang untuk pertama kalinya diilhami oleh peristiwa tenggelamnya Kapal Titanic.29 Konvensi ini memuat seperangkat aturan27
Lihat pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982.
Tentang Konvensi-konvensi IMCO (kini IMO) yang telah diratifikasi Indonesia dapat dibaca juga Mochtar Kusuma atmadja, Op.Cit, hlm. 217. 28
Musibah tenggelamnya kapal Titanic 14 April 1912 di Selatan Grand Bunke 2.570 km sebelah Timur Laut New York City setelah menabrak gunung es telah membawa korban jiwa 1.513 orang. Sebenarnya Titanic sudah diperingatkan tentang adanya gunung es yang membahayakan pelayaran, tetapi nakhodanya meremehkan hal itu karena menganggap Titanic hampir tidak mungkin tenggelam. Kapal dengan jumlah penumpang 2.227 orang hanya membawa sekoci yang dapat memuat 1.178 penumpang, tetapi hanya 705 wanita dan anakanak yang berhasil diselamatkan dengan sekoci, sisanya hilang atau tewas. Kaitan peristiwa ini dengan hukum keselamatan pelayaran adalah bahwa sebagai akibat kecelakaan itu, maka tahun 1913 di 29
37
38
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
aturan yang berhubungan dengan konstruksi kapal, aturanaturan
keselamatan
dari
bahaya
kebakaran
(fire-safety
measures) dan aspek-aspek lain dari keselamatan pelayaran.30 Selain dari pada SOLAS Convention. maka ada beberapa Konvensi lain yang dibuat oleh IMO yang mengatur soal kelaikan kapal, antara lain "Convention on the Load Lines" tahun 1966 yang mengatur kapasitas muat dari kapal yang melarang adanya kelebihan muatan sebab hal ini sering menjadi penyebab timbulnya kecelakaan kapal, setidaktidaknya membahayakan keselamatan kapal. London diadakan Konvensi Internasional untuk keselamatan hidup di laut yang menetapkan bahwa setiap kapal harus mempunyai ruang sekoci yang cukup untuk semua penumpang; latihan penggunaan sekoci harus dilakukan dalam setiap pelayaran; setiap kapal harus menghidupkan radionya 24 jam sehari (Lihat Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 16 PT. Cipta Adi Pustaka, Jakarta 1991, hlm.352. Musibah laut yang paling besar dalam sejarah terjadi di perairan sebelah selatan Manila Ketika terjadi peristiwa tabrakan antara kapal Feri Filipina "Dona Paz" (2.215 ton) dan Tanker Filipina "Victor" (629 ton) pada tanggal 20 Desember 1987. Tabrakan tersebut telah menimbulkan ledakan dahsyat yang segera diikuti kobaran api yang merambat cepat membuat penumpang panik sehingga tanpa ada yang memberi perintah para penumpang ramai-ramai terjun ke laut tanpa memakai pelampung. Apalagi tempat penyimpanan pelampung terkunci rapat pada waktu itu yang akhirnya menenggelamkan kedua kapal itu dan membawa korban jiwa sebanyak 1.540 orang yang bahkan melebihi jumlah korban dalam peristiwa Titanic dengan 1.513 korban jiwa. Penyebab terjadinya musibah tabrakan kapal Feri adalah bahwa ketika tabrakan berlangsung tidak satupun yang membunyikan sirene walaupun sistem penerangannya baik. Kedua musibah laut tersebut di atas menelan jumlah korban yang hampir sama (peristiwa Titanic dengan 1.513 jiwa, sedang tabrakan Feri dengan 1.540 jiwa) yang keduanya disebabkan oleh kelalaian nakhoda. Pelaksanaan aturan itu sebagian besar terletak pada negara bendera (Flag State), tetapi negara pelabuhan (Port State) dapat melakukan pengawasan terbatas. 30
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Dalam hubungan keselamatan kapal. maka yang paling penting di antara konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh IMO adalah "Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea" tahun 1972 atau yang lazim luga disebut Konvensi "COLREG" yang lebih menekankan segi eksternal
dari
pada
keselamatan
pelayaran,31
karena
ketentuan-ketentuannya menyangkut tindakan atau gerakan kapal dalam hubungan dengan kapal-kapal lain dalam rangka mencegah tubrukan kapal, terutama bilamana jarak atau kemampuan penglihatan (visibility) daripada kapal dalam keadaan
remang-remang.
ketentuan
COLREG
Di
samping
bersangkut-paut
itu
ketentuan-
dengan
penetapan
standar-standar dalam kaitan dengan tanda bunyi-bunyian maupun berupa lampu-lampu.32 Berdasarkan Konvensi kapal
dibebani
dengan
“COLREG"
kewajiban
tersebut, Kapal-
untuk
menghindari
terjadinya tubrukan kapal dengan cara menggunakan skema pemisah lalu lintas pelayaran yang juga diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982, yang mengharuskan kapal-kapal untuk
mematuhi
ketentuan-ketentuan
dari
"COLREG"
tersebut tanpa memperhatikan apakah negara bendera atau
31 32
Atje Misbach, Loc.Cit. R.R.Churchill and A.V.Lowe, Op.Cit, hlm. 186.
39
40
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
negara pantai itu telah menjadi peserta pada Konvensi Hukum Laut 1982 atau bukan.33 Bilamana diadakan perbandingan antara Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982 serta konvensikonvensi IMO yang mengatur keselamatan pelayaran, maka dapat dikemukakan bahwa Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982 jelas mengatur pula soal keselamatan pelayaran. Akan tetapi bagaimana aturan-aturan keselamatan itu akan dilaksanakan secara teknis tidak diatur dalam kedua konvensi tersebut. Pengaturannya secara teknis menunjuk kepada ketentuan-ketentuan hukum internasional seperti yang terdapat dalam Konvensi "SOLAS" tahun 1974 yang telah diratifiKasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 65 tahun 1980 serta Konvensi "COLREG" tahun 1972
yang
juga
telah
diratifiKasi
oleh
Pemerintah
RI
berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 tahun 1979. Namun demikian
Konvensi
“SOLAS"
maupun
“COLREG"
tidak
mengatur secara khusus tentang instalasi baik yang bersifat permanen
maupun
terapung.
Akan
tetapi
ketentuan
ketentuan dari Konvensi "COLREG" itu dapat diterapkan pada instalasi terapung, di mana instalasi ini, sebagaimana halnya dengan kapal-kapal, harus diberikan tanda-tanda baik yang Hukum keselamatan pelayaran mengandung dua aspek, baik yang menyangkut hal -hal yang me]ekat pada kapal itu sendiri (aspek internal) maupun hal -hal yang berada di luar kapal tersebut (aspek eksternal) seperti ketentuan tentang alat bantu navigasi, masalah penentuan rute yang aman (misalnya zona -zona keselamatan di sekeliling instalasi)...Ibid. 33
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
dapat didengar maupun dapat dilihat guna menghindari torjadinya tubrukan di laut.34 Selain dari pada pengaturan mengenai keselamatan kapal, maka dalam rangka keselamatan pelayaran perlu juga dikemukakan pengaturan tentang alur-alur laut dan hal-hal yang berkaitan dengannya. B. Pengaturan tentang Alur-Alur Laut Pengaturan tentang alur-alur Laut (sea lanes) di perairan yang tunduk di bawah kedaulatan dan yurisdiksi nasional negara pantai perlu dikemukakan karena selain perairan nasional seperti laut teritorial, selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional
(straits
used
for
international
navigation) dan perairan kepulauan (archipelagic waters) berbatasan atau berdekatan dengan perairan zona ekonomi eksklusif di mana instalasi tersebut didirikan, juga terutama karena
pengaturan
alur-alur
laut
ditetapkan
untuk
melindungi keselamatan pelayaran. Selanjutnya jika dikaitkan dengan obyek penelitian ini, yaitu mengenai pengaturan instalasi,
khususnya
pengaturan
tentang
pembongkaran
Untuk mengurangi risiko tubrukan kapal. maka kapal dianjurkan berlayar melalui jalur satu arah (one-way-only lanes) dalam jalur pemisah lalu lintas (traffic separation scheme), walaupun penggunaan jalur satu arah terutama dalam perairan yang ramai. Disamping itu perlu pula diperhatikan standar awak kapal yang memadai yaitu awak kapal yang terlatih dan berpendidikan (crewing standards) sesuai dengan ketentuan Konvensi "SOLAS" walaupun berdasarkan Konvensi "ILO" No. 147 tahun 1976 tentang standar minimum atau minimum standards in Merchant Ships setiap negara peserta harus menjamin bahwa pelaut dari kapal yang terdaftar di wilayahnya harus siap pakai. Lihat R.R Churchill and A.V.Lowe, Op.Cit., hlm. 185. 34
41
42
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
instalasi, maka prinsip-prinsip pengaturan yang berlaku di zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen mempunyai kemungkinan untuk diterapkan oleh negara pantai pada perairan nasionalnya. Hal ini disebabkan Karena tidak sedikit instalasi dan bangunan lepas pantai yang didirikan dalam wilayah perairan yang sepenuhnya tunduk pada kedaulatan dan yurisdiksi negara pantai, sedangkan di perairan nasional negara pantai mempunyai kewenangan untuk menetapkan alur-alur laut bagi kepentingan pelayaran. Ketentuan
Pasal
21
Konvensi
Hukum
Laut
1982
menetapkan bahwa negara pantai dapat membuat undangundang dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan lintas damai (innocent passage) antara lain menyangkut keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu lintas maritim. Oleh karena itu dalam Pasal 22 Konvensi Hukum Laut 1982 diatur mengenai alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas, di mana negara pantai apabila perlu dengan memperhatikan keselamatan pelayaran, dapat mewajibkan kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorialnya untuk mempergunakan alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas. Khususnya kapal tangker, kapal bertenaga nuklir, dan kapal yang mengangkut nuklir dan bahan berbahaya, atau beracun dapat diharuskan untuk membatasi lintasnya pada alur-alur demikian. Namun demikian penetapan aluralur laut dan skema pemisah lalu lintas oleh negara pantai
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
perlu
memperhatikan
rekomendasi
yang
diberikan
oleh
organisasi internasional.35 Selanjutnya berdasarkan Pasal 41 Konvensi Hukum Laut 1982, negara-negara tepi (States Bordering Straits) mempunyai kewenangan untuk menetapkan alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas pada selat yang digunakan untuk pelayaran
internasional
dengan
persyaratan-persyaratan
sebagai berikut :36 1. Harus sesuai dengan peraturan internasional yang di terima secara umum; 2. Setiap penentuan atau penggantian alur-alur laut dan skema
pemisah
penerimaan
oleh
lalu
lintas
organisasi
harus
berdasarkan
Internasional
yang
berwenang dan disepakati bersama dengannya; 3. Harus mencantumkannya secara jelas pada peta yang diumumkan sebagaimana mestinya. Negara tepi juga berwenang untuk membuat undangundang dan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan
Mengenai alur-alur laut atau alur-alur pelayaran di perairan teritorial Indonesia, dapat dibaca Mochtar Kusumaatmadja, “Hukum Laut Internasional”, Bina Cipta, Bandung, 1983, hlm. 196-197. 35
Etty R. Agoes, Op.Cit., hlm. 199. Penetapan alur laut dan skema pemisah lalu lintas untuk pelaksanaan hak lintas transit mewajibkan negara pantai untuk meminta persetujuan dari organisasi internasional yang berwenang (meskipun pada akhirnya kedua belah pihak harus bersama-sama). Sedang untuk penetapan alur-alur laut dalam melaksanakan hak lintas damai tidak diperlukan persetujuan dari organisasi internasional. Namun rekomendasi organisasi tersebut perlu diperhatikan oleh negara pantai. 36
43
44
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
pengaturan lalu lintas maritim dalam rangka keselamatan pelayaran di selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. Untuk melindungi keamanan pelayaran di perairan kepulauan, maka negara kepulauan dapat menentukan aluralur laut kepulauan di dalam perairan kepulauan dan laut teritorial yang berdekatan dengannya.37 Di samping itu skema pemisah lalu Iintas dapat ditetapkan oleh negara tersebut agar kapal-kapal dapat berlayar secara aman melalui terusan sempit yang terdapat di dalam alur-alur laut kepulauan, Penetapan alur-alur laut kepulauan dan skema pemisah lalu lintas harus sesuai dengan peraturan internasional yang diterima
secara
umum
(generally
accepted
international
regulations) dan oleh karena itu, negara kepulauan harus menyampaikan usulnya tentang hal ini kepada organisasi internasional yang berwenang guna memperoleh persetujuannya. Apabila
tercapai
suatu
persetujuan
antara
negara
kepulauan dan organisasi tersebut, maka negara kepulauan dapat menetapkannya. Dengan demikian alur-alur laut kepulauan dan skema pemmisah lalu lintas yang akan berlaku didasarkan atas suatu kesepakatan antara negara kepulauan serta organisasi internasional yang berwenang, selama aluralur kepulauan belum ditetapkan maka kapal-kapal asing yang mempunyai hak untuk mengadakan lintas alur laut
37
Ibid, hlm. 216.
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
kepulauan harus mempergunakan rute-rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional.38 Bagaimanapun alur-alur laut kepulauan yang ditetapkan oleh negara pantai setelah ada persetujuan dari organisasi internasional tidak terlepas dari tujuan untuk melindungi kepentingan negara tersebut maupun menjamin keselamatan pelayaran bagi negara-negara lain. Indonesia
sebagai
suatu
negara
kepulauan
telah
mengundangkan Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan "United Nations Convention on the Law of the Sea" yang berarti Indonesia telah menyatakan diri terikat pada ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982, namun selama ini belum ditentukan di bagian-bagian perairan mana saja dari perairan kepulauan Indonesia yang dinyatakan sebagai alur laut kepulauan. Akan tetapi pada bulan Agustus 1991 Forum Strategi Angkatan Laut berhasil menetapkan tiga alur laut kepulauan yang mudah dilayari, ekonomis dan aman di sekitar Selat Malaka dan Selat Karimata, Selat Lombok dan Selat Makassar, serta Laut Banda dan Laut Maluku. Dengan adanya penetapan alur laut kepulauan itu, maka Indonesia
telah
mengambil
langkah
pengimplementasian
terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 khususnya
mengenai
alur-alur
laut
kepulauan
dalam
menjamin kelancaran lalu lintas pelayaran internasional.
38
Lihat Pasal 53 ayat (12) Konvensi Hukum Laut 1982.
45
46
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
C. Pengaturan tentang Alat Bantu Navigasi Jaminan keselamatan pelayaran selain bergantung pada alur-alur laut dan skema pemisah lalu lintas di perairan nasional negara pantai, juga bergantung pada keamanan dari keselamatan navigasi39 melalui penetapan alat bantu navigasi seperti mercusuar (Light Houses), kapal suar (Light Ships), pelampung
(Buoys)
dan
rambu-rambu
radar
(Radar
Beacons).40 Konvensi "SOLAS" menetapkan kewajiban bagi nega-ranegara peserta untuk mengatur pengadaan dan pemeliharaan alat bantu navigasi yang meliputi suar radio (Radio Beacons) dan alat bantu elektronis karena menurut pendirian negara-negara peserta volume lalu lintas maupun tingkat risiko mengharuskan mereka untuk itu. Di samping kewajiban untuk mengatur pengadaan dan pemeliharaan alat bantu navigasi, negara-negara peserta juga diwajibkan untuk mengatur informasi yang berkaitan dengari alat bantu navigasi yang cocok bagi semua pihak yang berkepentingan. Selanjutnya perlu dikemukakan bahwa ber-
Pengembangan Hukum Maritim Nasional (Makalah Ditjen Perla yang disampaikan pada seminar hukum nasional ke V yang diselenggarakan oleh BPHN di Jakarta 7-10 Naret 1990), V.C.2.(2), hlm. 4. 39
40
R.R. Churchill and A.V. Lowe, Op.Cit, hlm. 189
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
dasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (2) Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan.41 Demikian pula Pasal 24 ayat (2) Konvensi Hukum Laut 1982,42 setiap negara pantai berkewajiban untuk mengumumkan dengan sepatutnya setiap bahaya pelayaran dalam laut teritorial, di mana bahaya demikian telah diketahuinya, termasuk dalam mana bahaya demikian telah diketahuinya, termasuk dalam hal ini bahaya yang ditimbu1kan oleh instalasi atau bekas instalasi di laut teritorial. Dalam kaitan dengan alat bantu navigasi atau sarana bantu pelayaran, Pasal 44 dan Pasal 54 Konvensi 1982 menetapkan bahwa negara tepi harus bekerjasama dengan negara pemakai (user state) dengan mengadakan persetujuan Pasal 15 ayat 2 Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan berbunyi sebagai berikut : 1. The Coastal State must not hamper innocent passage through the territorial sea. 2. The Coastal State is required to give appropriate publicity to any dangers to navigation of which it has kno wledge within its teritorial sea. 41
42
Pasal 24 Konvensi Hukum Laut 1982 berbunyi sebagai berikut : 1. The Coastal State shall not hamper the innocent passage of foreign ships through its teritorial sea except in accordance with this convention. In particular in the application of this convention or of any laws or regulations adopted in conformity with this convention, the coastal state shall not: a. impose requiremens on foreign ships which have the practical effect of the denying or impairing the right of innocent passage; or b. discriminate in form or in fact against the ships of any state or against ships carrying cargoes to, from or on behalf of any state. 2. The Coastal State shall give appropriate publicity to any danger to navigation of which it has knowledge within its teritorial sea.
47
48
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
dalam hal pengadaan dan pemeliharaan sarana bantu navigasi dan keselamatan yarig diperlukan atau pengembangan sarana bantu pelayaran internasional. Menurut R.R. Churchill dan A.V. Lowe, biaya-biaya pendirian serta pemeliharaan sarana bantu navigasi biasanya ditanggung oleh negara pantai atau negara tepi, sehingga negara tersebut tidak berhak menuntut kontribusi dari kapal. hal mana sejalan dengan ketentuan Pasal 18 Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan serta Pasal 26 Konvensi Hukum Laut 1982. Namun demikian dalam praktiknya biayabiaya pengadaan dan pemeliharaan sarana bantu navigasi (aids to navigation) dapat diperjanjikan antara negara tepi dan negara
pemakai
pelayaran
dalam
misalnya
"the
rangka 1962
menjamin International
keselamatan Agreement
Regarding the Maintenance of Certain Rights in the Red Sea".43 Demikian pula biaya-biaya bagi pengadaan dan pemeliharaan sarana bantu navigasi di Selat Malaka diberikan oleh para pemilik kapal dari Jepang, karena sebagian besar kapal-kapal yang melewati Selat Malaka berasal dari Jepang. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mewajibkan negara tepi dan negara pemakai untuk bekerja sama dalam membuat dan memelihara alat bantu navigasi dan keselamatan yang diperlukan di selat yang digunakan untuk pe1ayaran internasional, meskipun tidak Persetujuan Internasional tahun 1962 tentang pemeliharaan lampu-lampu tertentu di laut merah. Lihat R.R. Churchill and A.V. Lowe, Op.Cit. hlm.189. 43
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
dikemukakan bagaimana biaya-biaya tersebut harus ditanggung. D. Pengaturan
Internasional
Mengenai
Instalasi
dan
kedaulatan
dan
Bangunan Lepas Pantai Karena
negara
pantai
mempunyai
yurisdiksi penuh terhadap perairan kepulauan, laut teritorial dan selat yang digunakan untuk pelayaran internasional. pengaturan tentang instalasi dan bangunan yang didirikan serta
digunakan
sepenuhnya
pada
di
perairan-perairan
kebijaksanaan
tersebut
nasional
tunduk
negara
yang
bersangkutan untuk mengatur dan menetapkannya, khususnya pengaturan instalasi dari segi keselamatan pelayaran. Akan tetapi di zona ekonomi eksklusif negara pantai hanya mempunyai hak-hak berdaulat (souvereign rights) terhadap sumber kekayaan alam baik hayati maupun non hayati serta yurisdiksi yang berkenaan antara lain dengan pendirian dan pemanfaatan pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan di zona ekonomi eksklusif, atas dasar hak-hak berdaulat sesuai dengan ketentuan Pasal 60 Konvensi Hukum Laut 1982. Negara pantai mempunyai hak-hak eksklusif untuk membangun, menguasakan dan mengatur pembangunan, operasi dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasiinstalasi dan bangunan-bangunan yang dibangun untuk tujuan ekonomi, dan instalasi serta bangunan yang dapat mengganggu pelaksanaan hak-hak negara pantai dalam zona
49
50
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
tersebut.44 Yurisdiksi negara pantai atas semua bangunan yang didirikan di zona ekonomi eksklusif atau pada landas kontinen didasarkan pada rancangan yang diajukan oleh wakil Belgia, yaitu Mr. Van Der Essen pada "The Sea-Bed Committee pada tahun 1973. Pada prinsipnya rancangan tersebut tidak mencakup "floating island" yang karena secara teoritis sifatnya bergerak dapat diperlakukan sebagai kapal, tetapi hanya mencakup "permanent island" yang tertanam di dasar laut.45 Selanjutnya negara pantai juga mempunyai yurisdiksi atas setiap instalasi dan bangunan yang dapat mengganggu pelaksanaan
hak-hak
negara
pantai
di
zona
ekonomi
eksklusif, di mana ketentuan demikian ini didasarkan atas prinsip yang berasal dari putusan pihak berwenang di A.S. sehubungan dengan timbulnya kasus "United States v. Ray".46 Para
pejabat
A.S.
telah
melarang
dan
menghentikan
pembangunan pulau-pulau buatan yang tidak digunakan Perbedaan pulau-pulau buatan itu adalah usaha untuk menjembatani atau kompromi antara mereka yang menghendaki perbedaan mutlak antara pulau buatan untuk tujuan ekonomi dengan yang bukan, untuk tujuan ekonomi di satu pihak dengan pihak lain yang tidak menghendaki perbedaan itu... Lihat Barbara Kwiatkowska, Op.Cit., hlm.107. 44
45
Supra, hlm. 17.
Dalam kasus ini pemerintah A.S. menggugat dua perusahaan yang membangun pulau buatan di lepas pantai Florida. Pertama, kedua perusahaan itu dianggap telah melanggar dan menyalahgunakan wilayah pemerintah. Kedua, membangun pulau buatan tanpa izin pihak berwenang. Pengadilan Florida menolak tuduhan pertama, tetapi membenarkan tuduhan atau anggapan kedua. Lihat Nikos Papadakis, Op.Cit., hlm. 74 46
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
untuk keperluan penambangan, dimana hal ini dilakukan dengan
maksud
selain
untuk
menghindari
timbulnya
gangguan terhadap kepentingan vital A.S. di landas kontinen, juga untuk melindungi kepentingan pelayaran.47 Karena negara pantai mempunyai hak-hak eksklusif, maka negara tersebut mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau buatan, instalasi dan bangunan, termasuk yurisdiksi
yang
bertalian
dengan
peraturan
perundang-
undangan di bidang-bidang bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan
dan
imigrasi,
sebagaimana
diatur
dalam
ketentuan Pasal 60 Konvensi Hukum Laut 1982. Berdasarkan Pasal 80 konvensi ini, maka ketentuan Pasal 60 berlaku mutatis mutandis pada instalasi dan bangunan di landas kontinen. Perairan
di
atas
landas
kontinen
memungkinkan
kebebasan laut lepas khususnya kebebasan untuk berlayar. Dengan demikian apabila negara pantai membangun instalasi dan bangunan di perairan tersebut. maka negara pantai mempunyai kewajiban untuk memberitahukan sebagaimana mestinya pembangunan instalasi dan bangunan tersebut, serta
kewajiban
untuk
memelihara
sarana-sarana
tetap
seperti rambu-rambu dan alat-alat navigasi yang berfungsi
Bernard H.Oxman, "An Analysis of the Exclusive Economic Zone as formulated in the Informal Composite Negotiating text" dalam Law of the Sea : State Practice in Zones of Special Jurisdiction, edited by Thomas A. Clingan, Jr, Mexico City, Mexico, 1979, hlm. 74. Lihat juga Nikos Papadakis, Loc.Cit. 47
51
52
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
sebagai pemberitahuan mengenai kehadirannya.48 Instalasi atau bangunan tidak boleh didirikan apabila menimbulkan gangguan terhadap penggunaan alur-alur laut yang diakui esensial bagi pelayaran internasional. Meskipun instalasi dan bangunan tidak mempunyai laut teritorial, namun Konvensi Hukum Laut 1982 mempertahankan konsep zona-zona keselamatan yang lebarnya maksimal 500 meter yang diukur dari setiap titik terluar dari instalasi atau bangunan. Kecuali apabila diizinkan oleh standar internasional yang diterima secara umum atau direkomendasikan
oleh
organisasi
internasional
yang
berwenang. Akan tetapi lebar zona-zona keselamatan di sekeliling instalasi riset ilmiah bagaimanapun tidak boleh melampaui jarak 500 meter.49 Di dalam zona-zona keselamatan negara pantai dapat mengambil tindakan-tindakan yang tepat untuk menjamin selain keselamatan instalasi dan bangunan, juga terutama menjamin keselamatan pelayaran. Tindakan-tindakan apa yang dapat diambil oleh negara pantai di dalam zona-zona
Pemberitahuan sebagaimana mestinya oleh negara pantai adalah suatu tindakan unilateral dan tidak dapat ditafsirkan sebagai kesempatan bagi pihak ketiga untuk menentang dan menggagalkan rencana pembangunan instalasi dan bangunan itu. Hal ini disebabkan karena pemberitahuan tersebut (due notice) harus dianggap lebih sebagai tindakan keselamatan (safety measure) yang sifatnya memaksa sehingga tidak memberi hak apa pun kepada pihak ketiga untuk melakukan perlawanan. Lihat Jean-Dominique Wahiche, Op.Cit, hlm. 43. 48
49
Pasal 260 Konvensi Hukum Laut 1962.
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
keselamatan? Hal ini tidak ditentukan dalam Pasal 60 Konvensi Hukum Laut 1982, sehingga dengan demikian harus dilihat bagaimana praktik negara, dalam hal ini negara pantai dapat mengambil tindakan-tindakan, antara lain dengan melarang kapal-kapal asing memasuki zona-zona keselamatan. Larangan membuang jangkar atau menjala ikan di zona tersebut, penetapan rute-rute navigasi, pembatasan jenis dan ukuran kapal yang dapat melewati zona tersebut.50 Semua kapal
harus
menghormati
zona-zona
keselamatan
dan
memenuhi standar internasional yang diterima secara umum berkenaan
dengan
pelayaran
di
sekitar
instalasi
dan
bangunan serta zona-zona keselamatan. Dalam hal instalasi-instalasi atau bangunan-bangunan ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi, maka negara pantai
yang
mempunyai
yurisdiksi
atas
instalasi
atau
bangunan tersebut mempunyai kewajiban untuk membongkar dan memindahkannya demi menjamin keselamatan pelayaran sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa masalah pengaturan tentang instalasi dan bangunan lepas pantai memuat tiga prinsip utama pengaturan tentang masalah tersebut. Ketiga prinsip pengaturan
tersebut
adalah
adanya
kewajiban
untuk
Shigeru Oda, Op.Cit, hlm. 102. Juga David Joseph Attard, Op.Cit., hlm. 89-91. 50
53
54
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
melakukan pemberitahuan mengenai pembangunan instalasi dan bangunan lepas pantai dan kewajiban untuk memasang dan memelihara sarana-sarana permanen sebagai tanda peringatan bagi keberadaan atau kehadiran dari instalasi dan bangunan tersebut. Inilah yang disebut dengan prinsip "due notice of constructions" and "warning signals". Selanjutnya adalah prinsip penetapan zona-zona keselamatan (safety zones) di sekeliling instalasi dan bangunan dan terakhir adalah
prinsip
"removal
duty"
yaitu
kewajiban
untuk
membongkar dan memindahkan instalasi yang ditelantarkan atau sudah tidak digunakan lagi berdasarkan standar-standar internasional
yang
berlaku.
Dalam
hal
instalasi
atau
bangunan dibongkar atau dipindahkan, tetapi tidak secara keseluruhan, maka posisi kedalaman dan dimensi dari instalasi tersebut harus diumumkan dengan sepatutnya. Ketiga prinsip pengaturan tersebut mempunyai tujuan untuk menjamin keselamatan pelayaran baik di permukaan laut maupun di bawahnya dengan tetap memperhatikan serta mempertimbangkan berbagai kepentingan lain, baik kepentingan penangkapan ikan, lingkungan, maupun kepentingankepentingan lain. Namun demikian kepentingan keselamatan pelayaran
tetap
menempati
kedudukan
utama
dalam
menetapkan prinsip-prinsip pengaturan mengenai instalasi dan bangunan lepas pantai. Sesungguhnya masalah keselamatan pelayaran mempunyai ruang lingkup luas sebab masalah ini menyangkut
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
hal-hal yang melekat dan tidak terpisahkan dari kapal itu sendiri maupun hal-hal yang terdapat di luarnya. Dengan kata lain, masalah keselamatan pelayaran mengandung dua aspek, baik aspek internal maupun eksternal sebagaimana diatur dalam konvensi-konvensi internasiona1, khususnya konvensi “SOLAS" dan "COLREG". "SOLAS" dan "COLREG" sendiri masing-masing mengatur segi internal dan eksternal dari pada keselamatan pelayaran, terutama keselamatan kapal, namun tidak mengatur tentang instalasi dan bangunan lepas pantai walaupun Konvensi "SOLAS" mengatur pula tentang sarana navigasi (aids to navigation).51 Pengaturan instalasi yang dapat membawa implikasi bagi keselamatan pelayaran dilakukan melalui Konvensi Jenewa 1958 dan Konvensi Hukum Laut 1982 walaupun harus diakui Konvensi "COLREG" berlaku pada instalasi terapung dan bukan pada instalasi permanen maupun pada instalasi yang dapat bergerak dari satu lokasi ke lokasi lain yang kemudian dapat ditancapkan di dasar laut pada waktu melakukan kegiatan eksploitasi. Sebagaimana halnya dengan kapal-kapal„ instalasi terapung harus diberikan tanda-tanda atau lampu-lampu sesuai dengan ketentuan-ketentuan Konvensi COLREG guna mencegah tubrukan kapal.52 Karena “SOLAS" dan "COLREG" pada dasarnya tidak menampung soal instalasi permanen, maka untuk mencapai 51
Nikos Papadakis, Op.Cit., hlm. 260.
52
Jean-Dominique Wihiche, Op.Cit., hlm. 47.
55
56
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
efektivitas keselamatan pelayaran sebagai tujuan utama pengaturan
instalasi
khususnya
pengaturan
mengenai
pembongkaran dan pemindahan instalasi, maka ketentuan dari Konvensi Hukum Laut 1982 dan tindak lanjutnya perlu mendapat perhatian dari negara-negara.
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
BAB III PENGATURAN INTERNASIONAL MENGENAI PEMBONGKARAN INSTALASI A. Istilah “Pembongkaran” dan “Instalasi Bangunan Lepas Pantai” Kata pembongkaran yang dipakai di dalam penulisan ini sebenarnya merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris "removal", sementara istilah "removal" sendiri mempunyai beberapa pengertian. Dalam kamus "Black's Law Dictionary" (cetakan kelima) istilah "removal" berarti pemindahan (transfer) suatu barang dari satu tempat ke tempat lain. Menurut John M. Echols dan Hassan
Shadily53
istilah
"removal"
antara
lain
berarti
pembersihan, pembuangan„ pemotongan, pemindahan dan lain-lain . Seminar yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 25 Mei 1992 atas kerja sama Komisi Ekonomi dan Sosial Asia Pasifik (EHSCAP)54 dengan Komisi Koordinasi Pemanfaatan Sumber
Daya
Mineral
di
lepas
pantai
Asia
(CCOP)55
John M.Echols dan Hassan Shadily, " Kamus InggrisIndonesia", Cornell University. London, 1975, h lm. 477. 53
ESCAP adalah singkatan dari Economic and Social Commision f or Asia and the Pacif ic . Organisasi ini sebenarnya terbentuk berdasarkan Resolusi dari Majelis Umum PBB No.3539 A (XXX), pada tanggal 17 Desember 1975, yang kemudian diperbaiki melalui resolusi 31/207 A tang gal 2 2 Desember 1976. 54
CCOP singkatan dari Committee for Co-ordination of Joint Prospecting for Mineral Resources in Asian Offshore Areas. Lihat Peter I 55
57
58
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
menggunakan beberapa istilah, seperti pembersihan, pemindahan, penghapusan maupun pembongkaran instalasi, di mana hal ini tampak antara lain dari tema seminar itu sendiri yaitu
Seminar
Pemindahan
dan
Penghapusan
Berbagai
Instalasi Perminyakan yang tidak terpakai lagi di Kawasan Perairan Lepas Pantai. Dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang hukum laut56 dipergunakan istilah pembongkaran instalasi sebagai terjemahan untuk "Removal of Installations", sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 yang menyatakan antara lain bahwa setiap instalasi atau bangunan yang ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi harus dibongkar untuk menjamin keselamatan pelayaran. Walaupun istilah "Removal of Installations" sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 diterjemahkan oleh Departemen Luar Negeri Indonesia (yang kini bernama Kementerian Luar Negeri RI) sebagai pembongkaran instalasi, namun hal ini tidak boleh diartikan secara kaku dan sempit, sebab jika istilah tersebut diberi pengertian sempit dan kaku semata-mata, maka maksud dan tujuan sebenarnya yang ingin dicapai melalui kegiatan pembongHajnal, "Guide To United Nations Organization", New York 1978, hlm. 55. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (terjemahan Departemen Luar Negeri Rl, Direktorat Perjanjian Internasional) 56
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
karan tersebut mungkin tidak tercapai. Maka demi tercapainya maksud tersebut perlu dipergunakan pengertian yang luas dengan cara sedemikian rupa sehingga suatu instalasi yang ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi tidak dibongkar semata-mata, tetapi juga instalasi tersebut dapat dibersihkan atau dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain dengan
tujuan
terutama
untuk
menjamin
keselamatan
pelayaran tanpa mengabaikan berbagai kepentingan lain yang dapat dicapai melalui kegiatan pemindahan, pembersihan atau pembongkaran instalasi tersebut. termasuk adanya kemungkinan pemanfaatan baru dari pada bekas instalasi. Dengan demikian istilah pembongkaran yang dipakai dalam
penulisan
ini,
di
mana
istilah
ini
merupakan
terjemahan dari istilah "Removal" mempunyai pengertian luas karena istilah yang digunakan ini tidak hanya menunjukkan bahwa instalasi tersebut harus dibongkar setelah ditinggalkan. tetapi juga harus dipindahkan sesudah dibongkar. Walaupun sebenarnya istilah yang tepat digunakan adalah pembongkaran/pemindahan.
namun
demi
pertimbangan
efisiensi tetap saja digunakan istilah pembongkaran. Baik Konvensi Jenewa 1958 maupun Konvensi Hukum Laut
1982
tidak
memberikan
definisi
atau
pengertian
mengenai apa yang disebut dengan instalasi dan bangunan lepas pantai. Karena hal ini tidak diatur dalam kedua konvensi tersebut. maka perlu dilihat pendapat dari para ahli (doktrina) dalam hal ini.
59
60
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Menurut Bernard H. Oxman.57 satu pertanyaan yang menarik yang bisa timbul dari ketentuari Pasal 60 Konvensi Hukum Laut 1982 adalah apakah yang dimaksud dengan instalasi atau bangunan? Jawaban atas pertanyaan ini bergantung pada hubungan antara Pasal 56 dan Pasal 58 Konvensi Hukum Laut 1982 karena Pasal 60 sebenarnya merupakan penjabaran dari Pasal 56, yang menentukan apa yang
tidak
termasuk
kebebasan-kebebasan
instalasi dan
atau
bangunan
pemanfaatannya
sebab
sebagaimana
dinyatakan dalam ketentuari Pasal 58 Konvensi Hukum Laut 1982 tidak tunduk pada yurisdiksi negara pantai. Dengan demikian harus dikesampingkan golongan benda-benda yang digunakan untuk melaksanakan kebebasan dan hak dari semua negara yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 58 tersebut. Hal ini berarti bahwa kapal, pesawat udara, kabelkabel dan saluran pipa bawah laut bukan merupakan instalasi atau bangunan dalam pengertian Pasal 56 atau Pasal 60 Konvensi Hukum Laut 1982, Demikian pula misalnya peralatan yang terkait (related equipment) seperti jangkar kapal
atau
peralatan
yang
sementara
dipakai
untuk
memperbaiki sebuah kapal juga tidak termasuk instalasi atau bangunan dalam pengertian Pasal 56 dan Pasal 60. Menurut Barbara Kwiatkowska. Kedua istilah tersebut (instalasi dan bangunan) dapat dimasukkan ke dalam istilah Thomas A. Clingan, Jr. (Editor), "Law .. of the Sea: State Practice in Zones of Special Jurisdiction”, the Law of the Sea Institute, 1982, hlm. 75. 57
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
pulau-pulau buatan (artificial islands) di mana istilah terakhir ini pengertiannya dapat dianggap mencakup semua jenis pulau-pulau buatan baik untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi maupun di luar keperluan tersebut.58 Derek W. Bowett mengemukakan bahwa istilah instalasi (Installation)
menunjuk
pada
bangunan-bangunan
yang
didirikan di dasar laut dengan memakai pilar (Piles) atau pipa yang dipancangkan ke dasar laut.59 Demikian pula Paul Peters dan kawan-kawan mengemukakan bahwa istilah instalasi menunjuk pada bangunanbangunan (Constructions) yang terletak di dasar laut dengan menggunakan pilar-pilar (Piles) atau pipa-pipa (Tubes) yang ditanam di dasar laut sehingga merupakan bangunan yang konkrit dan nyata.60 Walaupun
berbagai
ahli
mengemukakan
pendapat
sehubungan dengan instalasi dan bangunan lepas pantai baik dari segi penggunaan istilah maupun definisinya, namun sebagai pegangan yang kiranya dapat disimpulkan dari pendapat para ahli istilah instalasi dan bangunan lepas pantai (Offshore Installation and Structure) disamping dapat di pergunakan secara bersamaan, juga dapat dipakai istilah instalasi lepas pantai (Offshore Installation) yang mempunyai arti sebagai setiap instalasi atau bangunan yang didirikan di 58
Barbara Kwiatkowska, Op.Cit., hlm. 107
59
D.W. Bowett, Op.Cit., hlm. 115
60
Paul Peters c.s., Op.Cit., hlm. 196
61
62
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
dasar laut dengan cara sedemikian rupa sehingga menjadi instalasi atau bangunan yang bersifat permanen, di mana instalasi ini jika dibandingkan dengan instalasi terapung pada umumnya menimbulkan permasalahan bagi keselamatan pelayaran. Hal ini disebabkan karena instalasi terapung mudah dibongkar dan dipindahkan dari satu lokasi ke lokasi lain, sementara membongkar dan memindahkan instalasi yang bersifat permanen bukan suatu pekerjaan mudah baik dilihat dari segi keuangan maupun teknologi. B. Pengaturan Internasional Menurut Konvensi Hukum Laut 1. Konvensi Jenewa 1958 Konvensi Jenewa 1958 tentang landas kontinen yang diterima pada tahun 1958 dan berlaku pada tahun 1964 mengatur secara tegas tentang instalasi lepas pantai yang sudah tidak di gunakan lagi (the decomissioning of offshore structure). Menurut Pasal 5 ayat (1) Konvensi Jenewa 1958 tentang landas kontinen eksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam dari landas kontinen tidak boleh menimbulkan gangguan yang tidak beralasan terhadap pelayaran, perikanan, dan pelestarian sumber kekayaan hayati laut. Selanjutnya Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen dalam Pasal 5 ayat (5) menetapkan bahwa pendirian setiap instalasi harus diumumkan dengan sepatutnya dan sarana-sarana yang bersifat permanen harus dipelihara dalam usaha memberi peringatan mengenai kehadiran instalasi
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
tersebut. Setiap instalasi yang ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi harus dibongkar atau dipindahkan secara keseluruhan. Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang disahkan melalui konperensi hukum laut PBB I pada tahun 1958 didasarkan atas rancangan pasal-pasal hukum laut yang
dipersiapkan
oleh
Komisi
Hukum
Internasional
(International Law Commission) pada tahun 1956 setelah melalui sejumlah persidangan (1951-1956) yang membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan landas kontinen. Meskipun Komisi Hukum Internasional telah membahas secara
panjang
lebar
masalah-masalah
pembangunan
instalasi di landas kontinen dan masalah pembongkaran instalasi
disinggung
secara
singkat,
namun
ketentuan
mengenai pembongkaran instalasi tidak dituangkan ke dalam rancangan pasal-pasal yang disusun oleh komisi ter sebut.61 Pasal 71 ayat 4 dari rancangan pasal-pasal Komisi Hukum Internasional yang pada akhirnya menjadi Pasal 5 ayat (5) Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen hanya menyatakan bahwa setiap instalasi yang dibangun harus diumumkan dengan se1ayaknya dan sarana-sarana permanen untuk memberi peringatan mengenai kehadiran instalasi tersebut harus tetap dipelihara.62
61
Paul Peters, A.H.A. Soons and Lucie A. Zima, Op.Cit., hlm. 169.
62
Ibid., hlm. 170
63
64
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Dalam komentarnya atas Pasal 71 Komisi Hukum Internasional membicarakan antara lain masalah “due notice" atau
pemberitahuan
sebagaimana
mestinya
mengenai
instalasi yang akan didirikan dan kemudian ditambahkan suatu kalimat tentang pembongkaran instalasi. Menurut Komisi Hukum Internasional pada prinsipnya tidak ada kewajiban mengungkapkan rencana pembangunan instalasi. Namun bilamana pembangunan instalasi yang sebenarnya hanya bersifat sementara dapat mengganggu pelayaran, maka sarana-sarana
peringatan
yang
layak
harus
dipelihara
sebagaimana halnya dengan instalasi permanen, serta harus diumumkan pada waktunya. Jika instalasi ditinggalkan atau sudah tidak di gunakan lagi maka harus dibongkar secara keseluruhan. Dalam komite ke-4 dari konperensi hukum laut PBB I, delegasi
Inggris
mengusuIkan
agar
dimasukkan
suatu
ketentuan khusus tentang pembongkaran instalasi apabila instalasi tersebut ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi, di mana dinyatakan :63 “Any installations which are abandoned or disused should be entirely removed”. Menurut delegasi tersebut instalasi yang ditinggalkan sangat berbahaya bagi pelayaran. Usul yang merupakan amandemen tersebut ternyata mendapat dukungan dari delegasi-delegasi
A.S.
dan
Pakistan
walaupun
delegasi
Pakistan mengusulkan untuk merigganti kata "should" dengan 63
Ibid.
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
"must". Akhirnya Inggris menarik amandemennya berdasarkan amandemen dari Pakistan dan amandemen terakhir inilah yang ternyata diterima dengan 41 suara setuju, tidak ada negara yang menentang dan 13 abstain. Ditinjau dari pekerjaan persiapan konperensi (travaux preparatoires) jelaslah bahwa ketentuan mengenai pembongkaran insta1asi tidak di pertimbangkan dengan matang terutama mengenai konsekuensi dari adanya ketentuan tersebut.
Hal
ini
tidak
mengherankan karena
kegiatan
penambangan minyak lepas pantai pada waktu Itu masih berada dalam tahap awal perkembangannya yang memusatkan perhatian hanya pada masalah pembangunan instalasi yang memang sangat diperlukan dalam rangka eksploitasi minyak. sementara masalah "removal" dalam hal instalasi tidak digunakan .lagi belurn terpikirkan dengan baik pada waktu itu. Di samping itu menurut para perancang konvensi kegiatan-kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai umumnya dilakukan di wilayah perairan yang relatif dangkal
dengan
kedalaman
maksimal
200
meter
dari
permukaan 1aut sehingga pembongkaran insta1asi tidak menjadi masalah sebab pekerjaan ini dapat dilakukan dengan mudah
tanpa
kendala-kendala
baik
yang
rnenyangkut
keuangan maupun teknologi. Ketentuan Pasal 5 ayat (5) Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen menentukan bahwa setiap instalasi
65
66
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
harus
dibongkar
secara
keseluruhan.
Implikasi
dari
ketentuan ini adalah bahwa apabila instalasi tersebut tidak dibongkar seluruhnya, jadi hanya sebagian saja, maka bekas instalasi tersebut dianggap dapat mengganggu penggunaan laut lainnya, seperti perikanan, per1indungan lingkungan laut dan terutama kepentingan pelayaran.64 Dalam waktu 30 tahun terakhir (setelah berlakunya Konvensi Jenewa 1958) eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai menjadi suatu ciri khas dalam kancah energi internasional. Pada umumnya deposit minyak di laut belum banyak diketahui ketika Konvensi Jenewa dibuat pada tahun 1958, Bagi negara-negara peserta yang mendirikan instalasi di perairan dalam65 ketentuan Pasal 5 ayat (5) Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen perlu ditinjau kembali karena apabila
ketentuan
menimbulkan
ini
diikuti
biaya-biaya
yang
dan
dijalankan
sangat
tinggi
dapat untuk
pemindahannya.66 Sebaliknya apabila ketentuan tersebut tidak dipatuhi, maka dapat membawa implikasi baik atas lingkungan laut, perikanan maupun terutama keselamatan pelayaran.
64
Ibid., hlm. 171
Olay Fjelsa, "decomissioning of offshore structures in the North Seminar on Removal and Disposal of Obsolete Offshore Installations and Structures in the Exclusive Economic Zone and on the Continental Shelf, Jakarta, 25-28 May, 1992, hlm. 3. 65
Sea”,
M. Nauke, Op.Cit., hlm. 1. Suatu instalasi di laut Utara dengan kedalarnan air 40-55 meter biaya pembongkarannya secara keseluruhan -80 juta US dollar. 66
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
2. Konvensi Hukum Laut 1982 Dalam
konperensi hukum laut PBB III ketentuan
mengenai pembongkaran instalasi untuk pertama kalinya dimuat di dalam "Main Trends" pada tahun 1974 yang menetapkan :67 "Due notice must be given of the construction of any such installation, and permanent means for giving warning of their presence must be maintained. Any installations which are abandoned or disused must be entirely removed". Sesungguhnya
prinsip
pemindahan
instalasi
secara
keseluruhan (total removal) sebagaimana diatur berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (5) Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen mendasari rancangan Konperensi Hukum Laut PBB ke III yang menyangkut masalah pembongkaran instalasi, dan keadaan ini berlangsung hingga tahun 1981 melalui proses ISNT, ICNT dan seterusnya.68 Keadaan demikian mengakibatkan timbulnya permasalahan bagi negara-negara pantai maupun pengusaha industry perminyakan khususnya permasalahan yang berhubungan Doc.A/Conf.62/18/Rev.1, Annex II, Appendix I, dated 17 October 1974. 67
ISNT (1975) dalam P asal 48 ayat (3) berbunyi sebagai berikut : "Any installations or structures which are abandoned or disused must be entirely removed ". Juga Pasal 66 dari ISNT memberlakukan Pasal 48 tersebut secara mutatis mutandis pada landas kontinen. Nas kah yang sama diterapkan dalam Pasal 60 ayat 4 dan 80 dari IC NT (1977), juga dalam Revision 1 dari ICNT, Revision 2 serta Revision 3 dari ICNT mempertahankan teks tersebut...Lihat Soons, Op.Cit., hlm. 183. 68
67
68
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
dengan biaya serta teknologi dalam melaksanakan pekerjaan pemindahan tersebut.69 Para delegasi terpaksa mempertimbangkan amandemen atas ketentutan mengenai pembongkaran instalasi dan mengadakan penafsiran terhadap ketentuan tersebut dengan menambahkan kata-kata yang menunjukkan pengertian
bahwa
kewajiban
membongkar
instalasi
(the
removal obligation) hanya dapat berlaku bilamana instalasi tersebut mengancam kelestarian lingkungan laut dan keselamatan pelayaran. Dalam memperbaiki ketentuan tersebut di atas delegasi Inggris pada tanggal 26 Maret 1981 mengajukan sebuah usul informal yang mendapat dukungan luas dari negara-negara peserta, Usul tersebut menyatakan :70 . . . "Any installations or structures which are abandoned or disused must be removed so as to ensure safe navigation of ships. Due regard shall also be had to fishing and other lawful uses of the sea. The coastal state shall give appropriate publicity to the depth and position of any installations or structures not entirely removed". Kemudian Inggris pada tanggal 10 April 1981 mengajukan suatu teks atau naskah yang menyatakan sebagai berikut :71 "Any installations or structures which are abandoned or disused shall be removed as necessary to ensure the safe 69
Ibid., hlm. 184
Ibid. Juga Third United Nations Conference on the Law of the Sea; Document. Vol. IX, 1987, hlm. 576 70
71
Ibid.. hlm. 185
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
navigation of ships, in accordance with general1y accepted intemational standards established by the competent international organi zation. Such removal shall also have due regard to fishing, the protection of the marine environment and the rights and duties of other states. Appropriate publicity shall be given to the depth and position of any installation not entirely removed”. Akhirnya pada tanggal 16 Maret 1982 Inggris melakukan modifikasi terhadap usul yang diajukan sebelumnya sehingga berbunyi sebagai berikut :72 "Any installations or structures which are abandoned or disused shall be removed to ensure safety of navigation, taking into account of any generally accepted international standards established in this regard by the competent international organization. Such removal shall also have due regard to fishing, the protection of marine environment and the rights and duties of other states. Appropriate publicity shall be given to the depth, position and dimension of any installations or structures not entirely removed". Usul yang mendapat dukungan luas tersebut (Denmar, Netherlands, menunjukkan
Filipina, bahwa
Islandia,
Equador,
keselamatan
Jerman
pelayaran
Barat) adalah
merupakan pertimbangan dan tujuan utama dalam mengatur masalah
pemindahan
instalasi,
sedangkan
tujuan
atau
kepentingan lain yang terkait hanya memainkan peran tambahan semata-mata. Perancis menyatakan bahwa jika Pasal 60 ayat (3) benarbenar dapat diterima, maka perlu ditentukan secara khusus ketinggian maksimum dari setiap bagian instalasi yang 72
Ibid., hlm. 186
69
70
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
direncanakan tidak akan dibongkar. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk mengurangi baik risiko kerugian terhadap alat penangkap
ikan
maupun
bahaya
atas
kepentingan
pelayaran.73 Usul Perancis berbunyi sebagai berikut : "Any instalal1ations or structures which are abandoned or disused shall be removed in order to ensure the safety of navigation and to take into account of fishing, the protection of the marine environment and the rights and duties of other states". Dengan demikian instalasi dan bangunan tersebut harus :74 - dibongkar
sama
sekali
jika
dasar
laut
tempat
berdirinya instalasi berada pada kedalarnan air 60 meter atau kurang dari 60 meter; - dibongkar dengan cara sedemikian rupa sehingga instalasi
atau
bangunan
yang
tidak
seluruhnya
dibongkar itu tidak melebihi ketinggian 10 meter dari dasar laut, jika dasar lautnya berada pada kedalaman air antara 60 dan 610 meter dari permuakaan laut; - dibongkar dari permukaan laut hingga kedalaman 500 meter, jika dasar laut tempat bangunan itu didirikan berada pada kedalaman air lebih dari 510 meter. Tanda-tanda bahaya atau peringatan pada instalasi dan bangunan harus tetap terpelihara dengan sebaik-baiknya sampai selesainya pekerjaan pemindahan tersebut. Kemajuan 73
Paul Peters, A.H.A. Soons and Lucie A. Zima, Op.Cit., hlm. 186.
74
Ibid.
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
pekerjaan tersebut harus diumumkan dengan sepatutnya. Posisi kadalaman dan dimensi dari setiap instalasi atau bangunan yang tidak seluruhnya dibongkar harus dinyatakan oleh negara pantai melalui peta-peta menurut skala yang tepat yang kemudian harus diumumkan pada waktunya. Meskipun amandemen Prancis kemudian ditarik kembali, namun amandemen ini menunjukkan bahwa pembongkaran instalasi yang sudah tidak digunakan lagi terutama dimaksudkan untuk menjamin keselamatan pelayaran baik di atas permukaan laut maupun di bawahnya.75 Ketika Konvensi Hukum Laut 1982 diterima pada tanggal 30 April 1982 dengan 130 suara setuju, 4 yang menentang
dan
amandemen
17
yang
abstain,76
diajukan
maka
oleh
dapat
delegasi
dikatakan
Inggris
atas
ketentuan Pasal 60 ayat (3) adalah merupakan satu-satunya perubahan penting yang terjadi di dalam proses penyusunan konvensi sehubungan dengan kewajiban negara pantai untuk memindahkan
setiap
instalasi
atau
bangunan
yang
ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi. Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 dalam hal instalasi ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi tidak mutlak harus selalu dipindahkan seluruhnya (complete removal), sebab dalam halhal tertentu instalasi atau bangunan itu dapat dibongkar dan 75
Ibid., hlm. 187
76
Ibid.
71
72
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
dipindahkan sebagian saja, bahkan dapat pula samasekali tidak perlu dibongkar terutama bilamana instalasi tersebut tidak membahayakan keselamatan pelayaran.77 Dalam melaksanakan kewajiban bertalian dengan instalasi yang sudah tidak digunakan lagi, maka negara pantai mempunyai kewajiban untuk tidak hanya memperhatikan kepentingan perikanan dan perlindungan lingkungan laut tetapi
juga
keselamatan
pelayaran.
Namun
demikian
tercapainya keselamatan pelayaran tetap menjadi ukuran utama dalam hal ini. Kewajiban negara pantai dalam hal pemindahan instalasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 60 ayat (3), Konvensi Hukum Laut 1982 mencerminkan suatu pendekatan yang luwes
dalam
pelaksanaannya,
Hal
Ini
berbeda
dengan
ketentuan Pasal 5 ayat (5) Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen yang mewajibkan negara pantai untuk membongkar instalasi atau bangunan secara keseluruhan atau "complete removal", apabila instalasi atau bangunan itu ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi. Pasal 60 ayat (3) Draft Convention yang kemudian menjadi Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 berbunyi sebagai berikut "Any Installations or Structures which are abandoned or disused shall be removed to ensure safety of navigation, taking into account of any generally accepted international standards established in this regard by the competent international organization. Such removal shall also have due regard to fishing, the protection of the marine environment and the rights and duties of other states. Appropriate publicity shall be given to the depth, position and dimensions of any installations or structures not entirely removed”. Lihat Paul Peters, c.s, Loc.Cit. Lihat juga Third United Nations Conference on the Law of the Sea; Document, volume XI, 1987 Oceana Publucations, Inc. Dobbs Ferry, New York. hlm. 576. 77
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Sedangkan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan kemungkinan untuk melaksanakan pemindahan Instalasi secara sebagian (partial removal) dan dengan
syarat-syarat
tertentu
memungkinkan
untuk
membiarkan instalasi tersebut tetap berada di tempatnya (non- removal) terutama apabila instalasi tersebut samasekali tidak membahayakan keselamatan pelayaran. Sejauhmana suatu instalasi yang telah ditinggalkan dan sudah
tidak
digunakan
lagi
perlu
dibongkar
dan
di-
pindahkan agar supaya tidak mengganggu keselamatan pelayaran, memang tidak ditegaskan di dalam Pasal 60 ayat (3) tersebut sebab ketentuan-ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 pada prinsipnya hanya Merupakan pedomanpedoman dasar saja (guiding principles), Dalam kaitan ini perlu dibahas ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam "IMO Guidelines and Standards" karena melalui ketentuanketentuan tersebut dapat diketahui pemecahan dan jawaban atas masalah tersebut di atas. C. Pengaturan Internasional menurut “IMO Guidelines and Standards” 1. Peranan
Organisasi
Maritim
Internasional
dalam
pengimplementasian ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982. Sesuai dengan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 yang menyatakan bahwa :
73
74
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
"Any installations or structures which are abandoned or disused shall be removed to ensure safety of navigation, taking into account of any generally accepted international standards established in this regard .by the competent international organization". Dikemukakan adanya suatu organisasi internasional yang
mempunyai
kewenangan
untuk
menetapkan
dan
mengembangkan standar-standar internasional sebagai pedoman bagi negara pantai khususnya yang telah menjadi peserta konvensi. Standar-standar ini dapat digunakan oleh negara
pantai
dalam
menetapkan
kebijaksanaan
serta
pengaturan mengenai pemindahan instalasi yang sudah tidak digunakan lagi.78 Penetapan dalam bentuk standar-standar internasional menyangkut pembongkaran dari pemindahan instalasi atau bangunan lepas pantai terutama mempunyai tujuan untuk menjamin keselamatan pelayaran di perairan zona eksklusif atau
landas
kontinen.
di
mana
penetapan
demikian
menimbulkan pertanyaan mengenai organisasi manakah yang berwenang menetapkan standar-standar internasional tersebut? Menurut V.I. Andrianov :79 "The I MO it self on the basis of studying the convention provision, has confirmed the view of the majority of delegates to the Third United Nations Conference on the E.D.Brown, R.R.Churchill, "The UN Convention on the Law of the Sea; Impact and Implementation" , The Law of the Sea Institute, University of Hawai, hlm. 595. 78
79
V.I. Andrianov, Op.Cit.., hlm. 120
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Law of the Sea that when the term "competent international organization' is used in the singu lar in the Convention's provisions relating to international regulations and rules applicable to navigation, it referred to the International Maritime Organization, which is the agency of the United Nations with a global mandate to adopt international standards in matters concerning maritime safety . . . .”. Selanjutnya C.P. Srivastava (mantan Sekretaris Jenderal IMO) mengemukakan antara lain :80 "the Convention gives legal and political confirmation to the regulatory regimes developed by IMO and it implicitly recognizes IMO as the legitimated international form in which States are expected to develop new international standards and regulations . . .”. Dari hal-hal yang telah dinyatakan oleh kedua ahli hukum tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa organisasi internasional berwenang yang sesungguhnya dimaksudkan dalam Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 tidak lain daripada organisasi maritim internasional, di mana organisasi ini berwenang menetapkan dan mengembangkan standar-standar internasiona1 menyangkut pembongkaran instalasi dalam usaha mengimplementasikan ketentuan Pasal 60 ayat (3) tersebut. Dari sudut lain dengan adanya
penetapan
standar-standar
demikian,
maka
diharapkan negara-negara pantai dapat menggunakannya sebagai pedoman dalam membuat pengaturan sehubungan dengan
instalasi
yang
sudah
tidak
digunakan
lagi
John M. van Dyke, Lewis M. Alexander, Joseph R. Norgan, Op.Cit., hlm. 2 3 7 . Juga dapat dilihat M. Nauke. O p .Cit.. hlm. 3 . 80
75
76
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
berdasarkan standar-standar yang telah ditentukan oleh organisasi tersebut. Namun demikian apakah organisasi maritim internasional merupakan satu-satunya organisasi yang mempunyai kewenangan demikian? Pembongkaran instalasi dan bangunan lepas pantai tidak hanya berkaitan dengan kepentingan pelayaran sematasemata, tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek lain seperti perikanan serta perlindungan lingkungan laut, sementara dengan
kedua
aspek
terakhir
ini
organisasi
maritim
internasiona1 tidak berkepentingan. Dahulu organisasi maritim internasional dan anggotaanggotanya enggan memikul kewajiban yang tidak berkaitan dengan masalah pelayaran. Namun demikian jika organisasi itu sendiri atau bersama dengan organisasi internasional lain yang berwenang, dapat menyusun standar-standar pemindahan instalasi berdasarkan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982, maka sebenarnya keselamatan pelayaran menempati prioritas utama dibandingkan dengan kepentingan-kepentingan lainnya.81 Menurut Pasal 16i dari Konvensi IMCO 1948 (IMCO Convention),82 membuat 81
organisasi
rekomendasi
ini bagi
diberi
kepercayaan
untuk
anggota-anggotanya
dalam
V.I. Andrianov, Op.C it., hlm. 122.
Fungsi dari Majelis IMCO berdasarkan ketentuan Pasal 16i Konvensi IMCO 1948 atau Pasal 16j amandemen Konvensi IMCO tahun 1975 antara lain adalah “To recommend to Members for adoption of regulations and guidelines concerning maritime safety...” 82
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
menyusun
aturan-aturan
terutama
yang
menyangkut
keselamatan pelayaran di laut. Namun demikian, konvensi yang sama dalam Pasal 59 juga menetapkan bahwa organisasi tersebut
dapat
mengambil
alih
dari
setiap
organisasi
internasional lainnya fungsi-fungsi lain yang tidak menyangkut keselamatan pelayaran bilamana fungsi-fungsi tersebut (seperti
perikanan
dialihkan
kepada
dan
perlindungan
organisasi
lingkungan
maritim
laut)
Internasional.83
Pengalihan tersebut dapat dilakukan melalui persetujuan internasional atau perjanjian antarpejabat yang berwenang dari masing-masing organisasi internasional.84 Berdasarkan ketentuan Pasal 59 Konvensi IMO, maka organisasi ini diharapkan dapat menjadi sebuah badan tunggal yang berwenang menetapkan standar-standar pemindahan
secara
internasional
dalam
hal
suatu
instalasi
ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi. Bilamana organisasi tersebut tidak merupakan badan tunggal sehingga harus ada kerjasama antara organisasi tersebut dengan organisasi internasional lain, maka penyusunan standar pembongkaran instalasi dapat menjadi rumit serta berlarutlarut dengan segala konsekuensinya. Dengan ketentuan-ketentuan dari Konvensi IMO tersebut dimaksudkan untuk mengimplementasikan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 karena ketentuPaul Peters, c.s., Op.Cit., hlm. 202. Juga V.I. Andrianov, Op.Cit., hlm. 122. 84 Ibid. 83
77
78
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
an Pasal 60 ayat (3) hanya merupakan ketentuan-ketentuan pokok saja (the guiding principles) yang menghendaki pengaturan lebih lanjut demi tercapainya ketertiban dan kepastian hukum di antara negara-negara.85 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa berdasarkan pasal-pasal 16i dan 59 dari Konvensi IMO, Organisasi Maritim Internasional menjadi sebuah badan tunggal yang dapat menetapkan standar-standar pemindahan instalasi secara internasional. Dalam kaitan ini Komite Keselamatan Maritim dari IMO bulan Januari 1986 memutuskan untuk mengembangkan "Guidelines and Standards for the Removal of Offshore Installations arid Structures”.86 Dalam sidang ke-33 "the Sub Committee on Safety of Navigation" mempersiapkan "a preliminary draft text of guidelines and standards" ditinjau dari segi keselamatan pelayaran. Dalam sidang ke-55 pada bulan April 1988, Komite Keselamatan Maritim akhirnya menyetujui perbaikan naskah (revised text) yang setelah dibahas oleh FAO (Food and Agriculture Organization), UNEP (United Nations Environmental Programme), dan negara-negara peserta "the London Dumping
Ketentuan-ketentuan dari Konvensi IMO yang digunakan sebagai dasar bagi organisasi ini untuk mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 60 ayat (3) dan dengan demikian produk hukum yang dihasilkannya tidak dapat dibatalkan oleh Konvensi Hukum Laut 1982 sesuai dengan Pasal 311 dari Konvensi 1982. 86 R.H. Henshaw, "Conflicting Uses of the Sea- Shipping Interests", ESCAP/CCOP Seminar on Removal and Disposal of Obsolete Offshore Installations and Structures in the Exclusive Economic Zone and on the Continental Shelf, Jakarta, 25-28 May, 1992, hm. 5 85
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Convention", kemudian diajukan kepada Majelis dari IMO pada
sidang ke-16
tahun
1989
Guidelines and Standards for
yang
mensahkan
the Removal
of
"the
Offshore
Installations and Structures" menjadi sebuah resolusi. 2. Resolusi
IMO
menaenai
Pedoman
dan
Standar
Pembongkaran Instalasi dan Banaunan Lepas Pantai. "IMO Guidelines and Standards" yang dituangkan dalam bentuk
resolusi adalah serangkaian peraturan-peraturan
internasional pertama yang disahkan pada tanggal 19 Oktober 1989 dengan tujuan untuk mengatur masa1ah-masa1ah pembongkaran atau pemindahan instalasi minyak lepas pantai. “IMO
Guidelines and Standards" menentukan suatu
persyaratan umum, yaitu bahwa instalasi atau bangunan yang ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi harus dibongkar kecuali "non-removal" atau "partial removal" adalah sesuai dengan pedoman dan standar yang ada. Pada akhirnya semua anjungan atau instalasi yang terletak di perairan dangkal harus dibongkar secara keseluruhan apabila sudah ditinggalkan. Instalasi di perairan dalam dapat dibongkar sebagian tetapi harus dipertimbangkan atas dasar kasus demi kasus. Untuk itu negara pantai perlu memperhatikan "IMO Guidelines and Standards" yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam mengevaluasi secara kasuis-
79
80
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
tis apakah instalasi atau bangunan atau bagian-bagiannya bisa dibiarkan tetap berada di dasar laut.87 Da1am mengadakan evaluasi mengenai kemungkinan suatu instalasi atau bagian tertentu dari instalasi tersebut tetap berada di dasar laut, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut : - setiap
akibat
keselamatan
yang
mungkin
pelayaran
baik
timbul
di
terhadap
permukaan
laut
maupun di bawahnya atau terhadap keselamatan penggunaan laut yang lain; - tingkat kemerosotan material dan akibatnya sekarang dan
mungkin
pada
waktu
mendatang
terhadap
lingkungan laut; - akibat
potensial
bagi
lingkungan
laut
termasuk
sumber-sumber kekayaan hayati; - risiko bergesernya material tersebut dari posisinya pada suatu saat; - biaya-biaya pelaksanaan pembongkaran dari segi teknis serta risiko kerugian terhadap personil dalam hubungan
dengan
pembongkaran
instalasi
atau
bangunan; - penentuan pemanfaatan baru atau alasan lain yang dapat membenarkan instalasi atau bagian-bagiannya tetap tinggal di dasar laut.
87
M. Nauke, Op.Cit., hlm. 4.
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Selanjutnya standar-standar yang harus diperhatikan dalam membongkar instalasi adalah sebagai berikut :88 - semua instalasi atau bangunan yang ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi yang berdiri pada kedalaman air kurang dari 75 meter dan beratnya kurang dari 4.000 metrik ton harus dibongkar secara keseluruhan
kecuali
"deck"
dan
"superstructure".
Mulai 1 Januari 1998 syarat tersebut akan diterapkan dan berlaku bagi semua instalasi yang berdiri pada kedalaman kurang dari 100 meter dan beratnya kurang dari 4.000 metrik ton serta ditempatkan di dasar laut pada 1 Januari 1998 maupun sesudahnya kecuali "deck" dari "superstructure"; - pembongkaran harus dilakukan sedemikian rupa sehingga
mencegah
timbulnya
terhadap
lingkungan
laut
kerugian
maupun
besar
keselamatan
pelayaran; - terhitung mulai 1 Januari 1998 tiada instalasi atau bangunan yang dapat didirikan di landas kontinen atau zona ekonomi eksklusif kecuali design dan konstruksinya
ada1ah
sedemikian
rupa
sehingga
pembongkaran secara menyeluruh dapat dilaksanakan setelah instalasi atau bangunan itu ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi seterusnya.
88
Ibid.
81
82
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Pembongkaran
harus
dilakukan
sedemikian
rupa
sehingga tidak membawa kerugian baik terhadap lingkungan laut maupun pelayaran. Selama berlangsungnya pembongkaran baik secara keseluruhan maupun sebagian, maka instalasi tersebut harus tetap diberi tanda-tanda peringatan sesuai
dengan
rekomendasi
dari
IALA
(International
Association of Lighthouses Authorities).89 Bilamana masih terdapat bekas-bekas instalasi setelah pekerjaan dilaksanakan, maka harus segera disampaikan kepada pejabat negara yang berwenang dan salah satu Badan Hidrografi Pemetaan Dunia (The World Charting Hydrographic Authorities) baik menyangkut posisi maupun dimensi dari bekas-bekas insta1asi tersebut. Instalasi atau bangunan harus dibongkar secara keseluruhan (total removal) bilamana : 1)
instalasi
atau
membantu
bangunan
tercapainya
itu
tujuan
tidak utama
dapat
lagi
pendirian
instalasi atau bangunan sebagaimana dimaksudkan sejak awal;
Beberapa ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 mengenai soal pemberitahuan khususnya " warning signals "... menghendaki keterlibatan IHO, misalnya P asal 261 menentukan bahwa penempatan dan penggunaan instalasi riset ilmiah atau peralatan tidak boleh menghalangi rute pelayaran internasional. Instalasi atau peralatan tersebut harus dibubuhi... dan mempunyai tanda -tanda bahaya yang disepakati secara in ternasional untuk menjamin keselamat an di laut... Li hat John M. van Dyke, c.s.,Op.Cit., hlm. 256. 89
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
2)
instalasi atau bangunan tersebut berada dekat atau di dalam
selat
yang
digunakan
untuk
pelayaran
internasional atau alur-alur kepulauan, alur-alur laut yang biasanya sangat padat, atau di dalam jaringan jalari (routeing systems) yang telah diterima oleh organisasi. Keadaan demikian mewajibkan negara pantai untuk membongkar atau memindahkan instalasi tersebut secara keseluruhan dan sama sekali tidak boleh dikecualikan sebab jika dikecualikan (dalam pengertian hanya dibongkar sebagian atau
samasekali
penggunaan pelayaran.
laut Namun
tidak lainnya
dibongkar,
dapat
khususnya
demikian
jika
bagi
negara
mengganggu kepentingan pantai
ingin
menerapkan kriteria yang lebih keras, maka "IMO Guidelines" tidak
menghalanginya
sebab
"IMO
Guidelines"
memang
mengandung pendekatan yang luwes. Meskipun instalasi atau bangunan (termasuk yang berada pada kedalaman air kurang dari 75 meter atau pada kedalaman air kurang dari 100 meter setelah tanggal 1 Januari 1998) tidak dapat lagi menunjang tercapainya tujuan utama daripada pendirian instalasi atau bangunan tersebut, namun bilamana dapat memberikan manfaat baru dalam usaha mengembangkan sumber kekayaan hayati90 dan sama sekali tidak menimbulkan gangguan terhadap pemanfaatan laut lainnya khususnya bagi kepentingan pelayaran, maka 90
Resolution A.672 (16), 19 October 1939, hlm. 4
83
84
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
kewajiban untuk membongkar instalasi secara keseluruhan (total removal atau complete removal) dapat dikesampingkan dalam arti prinsip "complete removal" tidak berlaku lagi. Dengan demikian instalasi atau bangunan tadi tidak perlu dibongkar atau pembongkarannya hanya sebagian saja.91 Kalau instalasi tersebut samasekali tidak dibongkar karena dapat memberikan manfaat baru, misalnya sebagai karang buatan (artificial reef creation),92 maka instalasi tersebut dapat dirobohkan (toppling down) asal saja ditempatkan dengan sebaik-baiknya serta jauh dari alur-alur lalu lintas yang ramai (customary traffic lanes) sesuai dengan pedoman dan standar yang berlaku, di mana ketentuan demikian bermuara kepada tujuan keselamatan pelayaran. Dalam keadaan demikian setiap instalasi atau bangunan yang menonjol di atas permukaan laut harus diupayakan sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan runtuhnya instalasi atau bangunan tersebut. Untuk itu perlu adanya pengawasan dan pemantauan secara berkala. Dalam hal pembongkaran yang dilakukan secara sebagian (partial removal), maka perlu diusahakan adanya kolom air sekurang-kurangnya 55 meter antara bagian atas bekas instalasi atau bangunan dengan bagian permukaan laut. Meskipun syarat-syarat dari paragraf 3.1. dan 3.2. yang antara lain menentukan "total removal" terhadap instalasi yang berdiri pada kedalaman kurang dari 75 meter, ect. . . . namun bilamana ada kendala teknis dan finansial, atau membawa risiko terhadap tenaga kerja atau lingkungan laut, maka instalasi itu tak perlu dibongkar seluruhnya. 92 M. Nauke. Op.Cit., hlm. 5-6. 91
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Posisi, kedalaman dan dimensi dari instalasi atau bekas instalasi tersebut harus dinyatakan oleh negara pantai melalui peta-peta laut dan apabila perlu, setiap bekas instalasi diberi tanda-tanda peringatan mengenai kehadirannya agar supaya kapal-kapal dapat berlayar dengan aman (aids to navigation). Sebelum memutuskan dan menyetujui pembongkaran sebagian (partial removal), negara pantai harus benar-benar mendapat keyakinan bahwa setiap bekas instalasi atau bangunan akan selalu berada di lokasinya dan tidak bergerak akibat pengaruh gelombang, arus, badai atau pun sebabsebab alamiah lainnya yang dapat membahayakan keselamatan pelayaran. Negara
pantai
harus
mengidentifikasi
pihak
yang
bertanggungjawab atas pemeliharaan sarana-sarana pelayaran yang dipasang pada bekas instalasi atau bangunan, jika dianggap perlu menandai setiap gangguan pelayaran, karena itu negara pantai juga harus mengidentifikasi pihak yang bertanggungjawab dalam memantau kondisi bekas bangunan. Sebagaimana telah dikemukakan, karena
“
IMO Guide-
lines and Standards" menganut pendekatan yang luwes, maka kebijaksanaan pengaturan pembongkaran instalasi terlatak pada negara pantai yang pada akhirnya akan memutuskan sejauh mana suatu instalasi yang sudah tidak digunakan lagi harus dibongkar. Apakah dibongkar seluruhnya (complete
85
86
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
removal), dibongkar sebagian (partial removal) atau sama sekali tidak perlu dibongkar dan dipindahkan (non removal). Dari sisi lain "IMO Guidelines and Standards" dapat digunakan sebagai pedoman atau refenrensi oleh negara pantai sebab di dalamnya terkandung prinsip~prinsip yang baik
dalam
instalasi
mengatur
dengan
pembongkaran
memperhatikan
dan
pemindahan
berbagai
implikasi
pengaturannya baik dari segi lirigkungan, perikanan maupun terutama keselamatan pelayaran. Ketentuan yang terdapat di dalamnya seperti soal lokasi daripada instalasi di alur-alur pelayaran internasional, soal pemetaan, pemantauan atas bekas instalasi, kolom air sekurang-kurangnya 55 meter yang lazimnya juga disebut "navigation clearance" pada prinsipnya mempunyai arah dan tujuan yang jelas bagi terwujudnya keselamatan pelayaran secara efektif. Namun demikian efektifitas pelaksanaan keselamatan pelayaran tidak merupakan monopoli daripada pengaturan instalasi
pada
umumnya
serta
pembongkaran
instalasi
khususnya sebab pada akhirnya keselamatan pelayaran itu harus dinikmati oleh para pemakai laut yang bagaimanapun juga harus menempatkan faktor keselamatan kapal sebagai prioritas utama dalam rangka keselamatan pelayaran baik dari segi internal maupun eksternal, seperti masalah kelaikan kapal (seaworthiness of ships), tubrukan kapal dan trayek kapal (collision avoidance and ships routeing), standar
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
awak kapal (crewing standards) dan penetapan sarana navigasi (the establishments of navigational aids) sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam “SOLAS” dan “COLREG”. Dengan kata lain, tercapainya keselamatan pelayaran yang menyangkut keselamatan kapal adalah merupakan prinsip utama dari Konvensi “SOLAS” dan “”COLREG”. Namun demikian “SOLAS” dan “”COLREG” sendiri tidak memuat
ketentuan-ketentuan
mengenai
instalasi
pada
umumnya serta pembongkaran instalasi pada khususnya sekalipun kedua konvensi tersebut, khususnya Konvensi “COLREG” (floating
juga dapat berlaku pada instalasi terapung
installation),
mempunya
lampu
dimana dan
instalasi
tanda-tanda
demikian
harus
bahaya
yang
dimaksudkan untuk mencegah tubrukan kapal. Akan tetapi masalah
permanen,
masalah
pembongkaran
dan
pemindahannya sama sekali tidak disinggung oleh konvensi tersebut, melainkan masalah ini diatur secara rinci dalam Konvensi Hukum Laut 1982 dan “IMO Guidelines” sebagai penggati
dari
menyangkut
Konvensi masalah
Hukum
Laut
pembongkaran
1958 dan
sepanjang
pemindahan
instalasi demi keselamatan pelayaran. D. Pengaturan Internasional di Luar Konvensi Hukum Laut Walaupun konvensi-konvensi mengenai “Dumping” tidak bertujuan untuk mengatur masalah pembongkaran instalasi, namun memuat beberapa ketentuan yang relevan mengenai masalah ini, antara lain adalah “the Oslo Convention on the
87
88
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Control of Marine Polution by Dumping from Ships and Aircraft” yang dibuat di Oslo pada 15 Februari 1972 (selanjutnya disebut “Oslo Convention” atau Konvensi Oslo) dan “the London Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter" yang dibuat di London pada 29 Desember 1972 (selanjutnya disebut Konvensi London)93 Konvensi
Oslo
pada
dasarnya
berlaku
dalam
hal
pembuangan (dumping) yang dilakukan oleh kapal (atau pesawat udara) dan bukan dalam hal terjadi pembuangan instalasi. Namun demikian di dalam Konvensi ini terdapat beberapa ketentuan yang berlaku secara umum, misalnya pasal-pasal 1, 6 dan 19 dari Konvensi Oslo. Pasal
1
menyatakan
bahwa
negara-negara
peserta
berikrar untuk mengambil semua tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah pencemaran laut yang disebabkan oleh substansi-substansi yang dapat merusak fasilitas maupun mengganggu penggunaan laut lainnya yang sah.94 Ketentuan Pasal 6 dari konvensi yang sama menetapkan bahwa buangan atau limbah yang mengandung zat-zat dan bahan-bahan berbahaya tidak boleh dibuang tanpa izin dari pejabat negara yang berwenang. Annex II menyebut secara rinci bahan-bahan yang terdiri dari besi tua (scrap James Barros and Douglas M. Johnston, "The International Law of Pollution". 1974, hlm. 242. 93
94
Ibid.
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
metal) serta buangan-buangan lain dalam jumlah besar yang dapat
menimbulkan
rintangan
hebat
terhadap
kegiatan
penangkapan ikan maupun pelayaran. Apabila dianggap perlu menyimpan
dan
meletakkan
buangan-buangan
tersebut,
maka seharusnya dilakukan pada kedalaman air tidak kurang dari 2000 meter serta jaraknya dari daratan tidak kurang dari 150 mil laut. Pasal
19
dari
Konvensi
Olso
menyatakan
bahwa
"Dumping" adalah setiap pernbuangan zat-zat dan bahanbahan yang dilakukan dengan sengaja ke dalam laut oleh ataupun dari kapal-kapal . . . . kecuali pembuangan yang bersifat insidentil bagi atau yang berasal dari pengoperasian kapal-kapal yang bersifat normal . . . dan peralatannya. Walaupun pernbuangan instalasi lepas pantai tidak ditegaskan dalam Konvensi Oslo, namun dengan adanya Ketentuan 1imbah dalam jumlah besar (bulky wastes) dapat dianggap mencakup pula pengertian pembuangan instalasi.95 Akan tetapi pembuangan instalasi yang dimaksudkan di sini adalah pernbuangan instalasi di perairan dalam (deep water provision) dan bukan pembuangan instalasi dalam pengertian meningga1kan insta1asi (abandonment) maupun merebahkannya di tempat (toppling down).96 95
M. Nauke, Op.Cit., hlm. 8-9.
Mr. Alte B. Fretheim, " The Legal Framework ofRemoval andDisposal od Disued Offshore Platforms; the 1972 London Dumping Convention and the 1972 Oslo Dumping Convention” Seminar on Removal and Disposal of of Obsolete offshore 96
89
90
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Meskipun ketentuan-ketentuan Konvensi Oslo tidak dianggap
berlaku
dalam
hal
meninggalkan
maupun
merebahkan suatu instalasi di tempatnya serta hanya berlaku pada kegiatan-kegiatan pembuangan (dumping) yang bersifat normal (misalnya membawa instalasi serta menenggelamkannya), namun negara-negara peserta Konvensi Oslo dalam sidang Komisi Oslo pada bulan Juni 1991 sepakat untuk menerapkan pedoman-pedoman baru juga pada pembuangan instalasi di tempat baik dalam pengertian "abandonment" maupun "toppling down”.97 Dengan demikian pembuangan instalasi baik dengan cara membuangnya ke perairan dalam maupun dengan cara "abandonment" serta "toppling down" sudah
merupakan
larangan
bagi
negara-negara
peserta
Konvensi Oslo, walaupun kedua cara terakhir (abandonment dan toppling down) tidak mempunyai kekuatan mengikat karena hanya didasarkan atas "Guidelines". Di dalam "Guidelines" tersebut antara lain dikemukakan bahwa pada prinsipnya alternatif-alternatif (options) yang bisa dilakukan apabila suatu instalasi permanen sudah tidak digunakan
lagi
adalah
meninggalkan
dan
membiarkan
instalasi tersebut di lokasinya (leaving In place) atau pun memborigkar dan memindahkannya secara keseluruhan atau Installations and Structures in the Exclusive Economic Zone and on the Continental Shelf . Jakarta. 25-28 May 1992. hlm. 9 Pedoman baru yang dimaksud adalah " The Oslo Commission Guidelines f or the Disposal of offshore Installation at Sea”. Ibid, hlm, 10. 97
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
sebagian (complete or partial removal). Apabila instalasi tersebut dibongkar dan dipindahkan, maka kemungkinankemungkinan yang bisa dilakukan adalah instalasi tersebut dapat digunakan kembali atau diskraping di daratan (reuse or scrapping on land).
Kemungkinan
lain
adalah instalasi
tersebut dibuang di tempatnya (disposal in situ) maupun membuangnya ke tempat lain di laut (disposal at sea elsewhere).98 “IMO
Guidelines and Standards" berlaku dan mengatur
setiap alternatif tersebut di atas. sementara "Guidelines" dari Komisi
Oslo
hanya
berlaku
dan
mengatur
masalah
pembuangan instalasi di laut (disposal at sea) dan dengan demikian dapat meniadi pelengkap bagi “IMO Guidelines" yang menghendaki supaya setiap alternatif yang diambil terhadap instalasi
yang
ditingalkan,
instalasi
senantiasa
tetap
khususnya mengutamakan
pembongkaran keselamatan
pelayaran. Konvensi London atau "the London Dumping Convention" mengatur 1arangan pembuangan (dumping) bahan-bahan yang berasal dari bangunan maupun pembuangan bangunanbangunan demikian di mana hal ini berlaku pada lautan di seluruh dunia kecuali perairan pedalaman. Menurut
Pasal
III
(a)
dari
“the
London
Dumping
Convention", "Dumping" berarti :
Annex III (Oslo Commission Guidelines f or the Disposal of Offshore Installations at Sea ). 98
91
92
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
i. any deliberate disposal at sea of wastes or other matter from vessels, aircraft, platforms or other man-made structurs at sea; ii. any deliberate disposal of vessels, aircraft, platforms or other man-made structures at sea: Excluded from this definition is :99 i. the disposal at sea of wastes or other matter incidental to or derived form the normal operations of vessels, aircraft; platforms or other man-made structures at sea and their-equipment, other than wastes or other matter transported by or to vessels, aircraft, platforms or other man-made sturctures at sea, operating for the purpose of disposal of such wastes or other matter on such vessels, aircraft, platforms or structures; ii. placement of matter for a purpose other than the mere disposal thereof, provided that such placement is not contrary to the aims of this Convention. Berdasarkan definisi ini, semua negara peserta sepakat bahwa
pembuangan
Instalasi
maupun
bagian-bagiannya
dengan menggunakan kapal yang dilengkapi secara khusus untuk memotong kaki-kaki bangunan atau Instalasi dan membuangnya di laut jauh dari lokasinya jelas tercakup oleh ketentuan-ketentuan Konvensi London. Akan tetapi apakah meninggalkan suatu instalasi yang sudah tidak digunakan lagi, memotong kaki-kaki instalasi dan merebahkan bagian 99
Artikel III (b) dari Konvensi London
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
atasnya pada lokasinya .juga dianggap sebagai "dumping" adalah merupakan masalah kontroversial selama bertahuntahun. Namun masalah ini telah diselesaikan oleh negaranegara pesertanya dalam sidang konsultasi ke 13 pada bulan November
1990,
di
rnana
meninggalkan
instalasi
dan
merebahkannya dengan tujuan untuk membuangnya sematamata harus dianggap sebagai "dumping" dalam pengertian Konvensi London. Kebanyakan delegasi berpendapat bahwa meninggalkan instalasi (abandonment) dianggap sama dengan "leaving in place", yang artinya membiarkan instalasi yang sudah tidak digunakan lagi tetap berada di lokasinya, di mana negara-negara pesertanya dilarang melakukannya. Dengan demikian negara-negara peserta mempunyai kewajiban untuk tidak meninggalkan instalasi (abandonment), merebahkan (toppling
down)
sebab
kedua-duanya
dianggap
sebagai
"dumping"100 yang dilarang oleh Konvensi London mengingat tindakan-tindakan
tadi
dapat
membawa
implikasi
baik
terhadap lingkungan laut maupun keselamatan pelayaran. Akan tetapi penempatan instalasi di dasar laut dengan tujuan bukan untuk melakukan pembuangan (disposal) sematamata. misalnya memanfaatkan instalasi tersebut sebagai karang buatan (artificial reef) tidak merupakan
“dumping"
sebab hal ini tidak bertentangan dengan tujuan-tujuan konvensi.101 100
Mr. Atle B. Fretheim, Op.Cit., hlm. 5
101
M. Nauke, Op.Cit., hlm. 12
93
94
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Dengan demikian Konvensi London maupun Konvensi Oslo dikemukakan dalam hubungan dengan pengaturan internasional
pembongkaran
instalasi
didasarkan
atas
kenyataan bahwa ketentuan-ketentuan dalam kedua konvensi ini mempunyai relevansi dengan masalah pembongkaran instalasi, di mana limbah yang berasal dari instalasi setelah kegiatan pembongkaran dapat menimbulkan bukan hanya bahaya terhadap lingkungan laut tetapi juga dan terutama terhadap keselamatan pelayaran. Di samping itu relevansinya juga dapat dilihat ketika negara-negara peserta Konvensi London (the London Dumping Convention) juga turut memperoleh kesempatan yang diberikan oleh Organisasi Maritim Internasional untuk memberikan komentar atas rancangan resolusi dari organisasi tersebut, yaitu mengenai Pedoman dan Standar Pembongkaran Instalasi dan Bangunan Lepas Pantai (IMO Guidelines and Standards) yang telah disahkan menjadi resolusi oleh Majelis pada tahun 1989.102
Resolution A. 672 (16), Adopted on 19 October 1939, Agenda item 10. 102
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
BAB IV PENGATURAN HUKUM NASIONAL MENGENAI PEMBONGKARAN INSTALASI DALAM KAITAN DENGAN KESELAMATAN PELAYARAN A. Pembongkaran Instalasi Berdasarkan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1974. Pembongkaran dan pemindahan instalasi lepas pantai banyak disoroti secara internasional. Namun. Berbagai negara masih mencari ketentuan dan prosedur mana yang dapat digunakan
dalam
memindahkan
instalasi
tersebut.103
Walaupun Sekien PBB tidak dapat menerima ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi Jenewa 1958 tentang Landas Kontinen berdasarkan Undang-Undang No.19 Tahun 1961, namun Pemerintah tetap mengundangkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen. Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No. l Tahun 1973 menetapkan bahwa : "Untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi sibagaimana dimaksud dalam pasal 4 undang-undang ini dapat dibangun dipelihara dan dipergunakan instalasi-instalasi...” Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang tersebut menyatakan :
Suyitno Patmosukismo, “Opening Addres to the ESCAP/CCOP Seminar on Removal and Disposal of Obsolete Offshore Installation and Structure in the Exclusive Economic Zone and on the Continental Shelf”, Jakarta, May 25, 1992, hlm. 2 103
95
96
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
"Untuk melindungi instalasi-instalasi, kapal-kapal, dan/atau alat-alat lainnya tersebut pada ayat (1) pasal ini terhadap gangguan pihak ketiga. Pemerintah dapat menetapkan suatu daerah terlarang (prohibited zone) yang lebarnya tidak melebihi 500 meter, dihitung dari setiap titik terluar pada instalasi-instalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya disekeli1ing Instalasiinstalasi, kapal-kapal dan/atau alat-alat lainnya yang terdapat di landas kontinen dan/atau di atasnya." Daerah terlarang (prohibited zone) adalah daerah dimana orang, kapal, pesawat terbang dan lain-lain sejenisnya yang tidak
berkepentingan
dilarang
untuk
memasukinya.104
Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (3) dinyatakan bahwa di samping daerah terlarang yang disebut pada ayat (2) di atas Pemerintah dapat guga menetapkan suatu daerah terbatas (restricted area) yang lebarnya tidak melebihi 1250 meter terhitung dari titik-titik terluar dari daerah terlarang itu, di mana kapal-kapal pihak ketiga dilarang membuang atau membongkar sauh. Syarat-syarat pembangunan,
dan
ketentuan-ketentuan
perlindungan
dan
penggunaan
mengenai instalasi
dan/atau alat-alat termaksud dalam Pasal 6 undang-undang Untuk menjamin keselamatan perhubungan laut serta fasilitas lepas pantai, maka Pemerintah menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai "prohibited area" dan "restricted area". "Prohibited area" adalah daerah di mana tidak boleh dilakukan kegiatan pelayaran serta perikanan. Daerah ini mencakup daerah sejauh 500 meter dari seluruh sisi luar instalasi lepas pantai. "Restricted area" adalah daerah yang sama sekali tertutup bagi lalu lintas lautf tetapi masih terbuka bagi perikanan tradisional. Lihat Suyitno Patmosukismo, "offshore, Oil and Gas Development in Indonesia", 1991, h1m. 9. Bandingkan dengan Shigeru Oda, Op.Cit., hlm. 102. 104
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
ini (yaitu Undang-Undang No. l Tahun 1973) akan diatur 1ebih 1anjut dengan Peraturan Pemerintah.105 Sebagai tindak lanjut daripada ketentuan Pasal 7 Undang-Undang No. l Tahun 1973 tersebut, maka pada tanggal 18 Maret 1974 Pemerintah Republik Indonesia telah mengundangkan sebuah Peraturan Pemerintah mengenai pengawasan pelaksanaan eksplorasi dan ekploitasi minyak dari gas bumi di daerah lepas pantai, yaitu Peraturan Pemerintah No.17 Tahun 1974.106 Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1974 berbunyi sebagai berikut : (1)
Suatu instalasi pertambangan yang tidak dipakai lagi harus dibongkar seluruhnya dalarn jangka waktu yang
ditetapkan
Direktur
Jenderal,
dengan
melakukan tindakan-tindakan yang layak untuk men jamin keamanan pekerjaan dan alur palayaran. (2)
Pengusaha
diwajibkan
memberitahukan
secara
tertulis kepada Direktur Jenderal selambat-1ambatnya da1am
jangka
waktu
7
(tujuh)
hari
sebelum
dilakukannya pembongkaran instalasi pertambangan dengan menjelaskan hal-hal sebagai berikut :
105
Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen.
Lembaran Negara R.I. No. 20 Tahun 1974. Tambahan Lembaran Negara tentang L andas Kontinen Indonesia Tahun 1974. Tambahan Lembaran Negara RI, No. 3031, Lihat supra, hlm 27-28. 106
97
98
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
a.
letak tempat di mana instalasi pertambangan di tempatkan dinyatakan dalam koordinat geografis;
b.
tanggal
dimulainya
pekerjaan
pembongkaran
termaksud. (3)
Pengusaha
diwajibkan
melaporkan
penyelesaian
pembongkaran dengan mencantumkan hal-hal yang telah dibongkar dan hal-hal yang tidak
dapat
dibongkar, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah selesai pekerjaan tersebut. Berdasarkan
ketentuan
Pasal
21
Peraturan
Pemerintah tersebut, semua instalasi penambangan minyak dan gas bumi (migas) termasuk pula sumur minyak yang tidak dapat dimanfaatkan lagi di daerah lepas pantai harus dibongkar samasekali dalam waktu yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Mlnyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas). Hal ini
dimaksudkan
baik
untuk
menjamin
keselamatan
pekerjaan maupun mengamankan permukaan perairan untuk kepentingan pelayaran. Meskipun ketentuan Pasal 21 tadi berbunyi demikian, namun sebenarnya sejauh ini belum ada ketentuan rinci yang mengatur tentang pembongkaran dan pemindahan instalasi perrninyakan di wilayah lepas pantai Indonesia, Sejauhmana instalasi tersebut perlu dibongkar, baik secara keseluruhan (total removal), sebagian (partial removal) atau pun samasekali tidak
perlu
dibongkar
(non-removal)
masih
belum
jelas
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
mengingat ketentuan Pasal 21 tadi tidak mengaturnya secara tegas dan bahkan hingga saat ini belum ada pengaturan lebih lanjut dari Pasal 21 ini, padahal pengaturan tersebut penting dalam rangka menjamin berbagai kepentingan khususnya kepentingan pelayaran. Namun demikian dalam usaha mengatasi permasalahan tersebut, pernah diadakan semacam surat menyurat pada tahun 1985 antara Ditjen Perla dan Ditjen Migas dalam hubungan dengan masalah kekosongan hukum atau tiadanya peraturan mengenai sampai di mana suatu instalasi pertambangan perlu dipindahkan. Berdasarkan surat menyurat tersebut, maka Kepala Inspeksi Tambang dari Ditjen Migas menerbitkan sebuah surat yang pada prinsipnya memuat ketentuan teknis tentang masalah tersebut.
99
100
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Efektivitas keselamatan pelayaran di samping menjadi tujuan daripada pengaturan tentang alur-alur laut dan keselamatan kapal berdasarkan Konvensi-konvensi Hukum laut serta "SOLAS” dan "COLREG", juga menjadi tujuan yang mau
dicapai
melalui
pengaturan
tentang
instalasi
dan
bangunan lepas pantai, khususnya pengaturan mengenai pembongkaran dan pemindahan instalasi sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (5) Konvensi Jenewa 1958 dan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982. Karena ketentuan Pasal 5 ayat (5) Konvensi Jenewa 1958 tentang landas kontinen yang menentukan kewajiban negara
pantai
pemindahan
untuk
instalasi
melakukan secara
pembongkaran
menyeluruh
tidak
dan dapat
dilaksanakan dalam praktik negara-negara, maka ketentuan ini telah mengalami perubahan yang cukup prinsipil setelah konperensi Hukum Laut PBB III berhasil merumuskan suatu Konvensi yang bersifat komprehensif, yaitu dalam hal ini Konvensi Hukum Laut 1982 yang di dalamnya memuat pengaturan tentang pembongkaran dan pemindahan instalasi di mana pengaturannya mengandung suatu pendekatan yang luwes.
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
Keluwesan atau fleksibilitas pendekatan yang terdapat di didalam Konvensi Hukum Laut 1982 dapat disimpulkan terutama dari ketentuan-ketentuannya yang memungkinkan negara pantai untuk memilih beberapa alternatif baik yang menyangkut "total removal", "partial removal" maupun “nonremoval" terhadap suatu instalasi yang telah ditinggalkan atau sudah tidak digunakan lagi. Karena Konvensi
adanya
Jenewa
1958
perbedaan tentang
pendekatan
Landas
antara
Kontinen
dan
Konvensi Hukum Laut 1982 dalam masalah pembongkaran dan pemindahan instalasi khususnya tentang sejauh mana suatu instalasi perlu dibongkar dan dipindahkan dalam rangka menjamin keselamatan pelayaran, maka jelaslah bahwa antara kedua konvensi tersebut terdapat kesenjangan (gap) pengaturan tentang masalah tersebut. Karena Konvensi Hukum Laut 1982 pada umumnya serta Pasal 60 ayat (3) konvensi ini pada khususnya hanya merupakan pedoman dasar (guiding principles) yang masih memerlukan tindak lanjut pengaturan terutama mengenai sejauh
mana
instalasi
tersebut
perlu
dibongkar
dan
dipindahkan dalam usaha melindungi keselamatan pelayaran, maka perlu diperhatikan sebuah resolusi yang telah disahkan oleh Majelis dari Organisasi Maritim Internasional pada tahun 1989, yaitu tentang “Guidelines and Standards", mengingat ketentuan-ketentuannya memberi petunjuk dan pedoman dalam membuat pengaturan hukum mengenai pembongkaran
101
102
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
dan
pemindahan
instalasi
dalam
rangka
keselamatan
pelayaran. Sebagai suatu resolusi, maka "IMO Guidelines and Standards"
atau
rekomendasi
standarisasi.
guna
membantu
IMO-nya
sekedar
negara-negara
berisi
khususnya
negara-negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 dalam merumuskan aturan-aturan hukum nasionalnya berkenaan dengan masalah tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dengan melihat isi dan substansi yang terdapat dalam standarisasi IMO yang dikembangkan terutama dari sudut keselamatan pelayaran, maka jelas1ah bahwa ketentuanketentuannya mengandung pendekatan yang luwes yang memungkinkan memilih berbagai alternatif terhadap suatu instalasi yang sudah tidak digunakan lagi dengan cara mempertimbangkan dan menilai secara kasuistis berbagai aspek atau implikasi yang bisa timbul dalam pengambilan keputusan,
baik
yang
berhubungan
dengan
masalah
lingkungan laut, perikanan maupun keselamatan pelayaran. Meskipun standarisasi IMO memberi perhatian atas berbagai implikasi yang bisa terjadi dalam hubungan dengan masalah pembongkaran serta pemindahan instalasi, namun implikasi atau aspek yang menonjol dalam hal ini adalah masalah
keselamatan
pelayaran.
Menonjolnya.
aspek
keselamatan pelayaran dalam hal pengaturan pembongkaran dan pemindahan instalasi dapat dilihat dari ketentuanketentuan
dari
"IMO
Guidelines
and
Standards"
yang
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
mengatur
antara
lain
tentang
"total
removal"
terhadap
instalasi yang terletak pada alur-alur pelayaran internasional. seperti di selat yang digunakan untuk pelayaran interriasional alur-alur laut kepulauan dan alur-alur laut yang biasanya sangat ramai. Demikian pula persyaratan kolom air sekitar 55 meter (navigation clearance), masalah pemberitahuan dan pemetaan terhadap instalasi atau bekas instalasi semuanya membuktikan atau menunjukkan betapa menonjolnya aspek keselamatan pe1ayaran da1am masa1ah pengaturan tentang pembongkaran dan pemindahan instalasi, namun tanpa mengabaikan dan mengurangi aspak-aspek lainnya, seperti perlindungan lingkungan laut, perikanan, dan lain -lain. Di Indonesia be1um ada suatu pengaturan hukum yang
sifatnya komprehensif
pemindahan
instalasi
mengakomodasi
tentang
yang
berbagai
pembongkaran dan
dapat
kepentingan
menampung di
laut,
dan baik
kepentingan pelayaran, lingkungan, perikanan, pertambangan dan hankam. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa pengaturan
mengenai
pembongkaran
dan
pemindahan
instalasi dan bangunan lepas pantai didasarkan semata-mata pada ketentuan Pasal 21 dari Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1974. Namun demikian ketentuan pasal ini tidak tegas mengatur tentang sejauh mana instalasi pertambangan harus dibongkar, sementara masalah ini perlu segera diatur selain untuk menjamin ketertiban dan kepastian hukum dalam masalah,
juga
terutama
dimaksudkan
untuk
mencegah
103
104
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
timbulnya berbagai implikasi terhadap pelbagai kepentingan di laut, khususnya kepentingan pelayarari. Walaupun masalalh tadi untuk sementara dapat diatasi melalui Surat dari Kepala Inspeksi Tambang yang menetapkan persyaratan kolom air sebesar 40 meter dalam hal instalasi pertambangan hanya dibongkar sebagian, namun hal ini tidak mempunyai kekuatan mengikat sebab bentuk yuridisnya yang samasekali tidak dikenal dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Indonesia berdasarkan TAP MPRS No - XX Tahun 1966. Terlepas dari kekuatan mengikatnya Surat Kepala Inspeksi
Tarnbang
pengaturan
tersebut,
mengenai
maka
sebenarnya
pembongkaran
dan
prinsip
pemindahan
instalasi pertambangan sebagaimana diatur di dalam Surat Kepala
Inspeksi
Tambang
relatif
sudah
sesuai
dengan
Standarisasi IMO sejauh rnenyangkut ketentuan mengenai kolom air (navigation c1earance) bagi kepentingan pe1ayaran. Di samping pengaturan berdasarkan Surat Kepala Inspeksi
Tambang,
maka
Kontrak
"Production
Sharing"
memuat suatu ketentuan atau klausula mengenai instalasi pertambangan
yang
dengan
sendirlnya
merijadi
milik
Pertamina setelah berakhirnya Kontrak "Production Sharing". Klausula demikian tentu dapat membawa implikasi yang merugikan
dilihat
dari
berbagai
aspek,
khususnya
keselamatan pelayaran karena pada umumnya instalasi tadi sudah tidak dapat memberi manfaat setelah masa kontrak
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
"Production
Sharing"
berakhir.
Kenyataan
menunjukkan
bahwa setelah kontrak tersebut berakhir instalasi tersebut tidak segera dibongkar atau dipindahkan sehingga dapat membawa implikasi bagi berbagai kepentingan khususnya kepentingan pelayaran di dalam perairan yang berada di bawah yurisdiksi nasional Indonesia. Dengan adanya beberapa pengaturan oleh pelbagai instansi di Indonesia, di samping pendapat maupun pendirian yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan satu sama lain menyangkut masalah pembongkaran dan pemindahan instalasi, maka dapat dikatakan bahwa mengenai masalah tersebut Indonesia belum mempunyai suatu pengaturan hukum yang baik, yaitu yang bersifat komprehensif dan terpadu yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan yang bersangkut paut dengan masalah tersebut, seperti perikanan. pertambangan, Hankam, perlindungan lingkungan laut serta keselamatan pelayaran walaupun sudah ada usaha untuk membentuk suatu keputusan bersama antara Menteri Pertambangan
dan
Energi
dan
Menteri
Perhubungan
berdasarkan keputusan Menteri Pertambangan dan Energi tahun 1990 yang membentuk Tim Penyusun yang bertugas mengumpulkan
dan
mengadakan
evaluasi
data
dan
permasalahan tentang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi termasuk permasalahan instalasi yang tidak digunakan lagi. Keadaan demikian dapat diatasi apabila Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 ber-
105
106
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
dasarkan Undang-Undang No. 17 tahun 1985 melakukan peninjauan
kembali
terhadap
ketentuan
Pasal
21
dari
Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1974 untuk kemudian disesuaikan dengan ketentuan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 yang menjadi dasar dari "IMO Guidelines and Standards", karena ketentuan Pasal 21 tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum internasional yang ada. B. Saran-Saran Karena
pentingnya
masalah
pembongkaran
dan
pemindahan instalasi yang sudah tidak digunakan lagi bagi Indonesia sebagai suatu negara pantai dan sekaligus negara kepulauan, mengingat masalah ini dapat membawa implikasi khususnya terhadap keselamatan pelayaran, maka masalah ini perlu diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan nasional yang dapat mengakomodasi antara kepentingan masyarakat internasiona1 da1am bidang Iingkungan dan keselamatan pelayaran dengan kepentingan nasional dalam bidang perikanan, pertambangan serta hankam sehingga perlu ada kerjasama terpadu antar-instansi terkait Dalam merumuskan peraturan perundang-undangan mengenai pembongkaran dan pemindahan instalasi, maka sebaiknya Indonesia berpedoman pada ketentuan-ketentuan dari "IMO Guidelines and Standards" karena produk hukum yang dihasilkan IMO ini menganut pendekatan yang luwes sehingga dapat ditafsirkan dan diimplememtasikan sesuai
Pembongkaran Instalasi dan Keselamatan Pelayaran di Indonesia
dengan kepentingan nasional Indonesia. Hal ini juga berarti bahwa
berhubung
karena
Indonesia
telah
meratifikasi
Konvensi Hukum laut 1982 maka ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1974 harus ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan hukum internasional dewasa ini, yaitu dengan Pasal 60 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982 yang menjadi dasar dari “IMO Guidelines”.
107