1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menteri Luar Negeri RI tahun 1978-1988 yang juga Guru Besar Universitas Pajajaran Bandung, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa terjadinya hubungan antara satu negara dengan negara yang lain karena adanya rasa saling membutuhkan. Misalnya, hubungan perdagangan tercipta lantaran adanya pembagian kekayaan alam dan perkembangan industri yang tidak merata
di
dunia
sehingga
negara-negara
menjalin
hubungan
dengan
mempertukarkan hasil bumi dengan hasil industri. Selain di bidang perdagangan, saling membutuhkan juga terjadi di bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, sosial dan olah raga (Kusumaatmadja, 1982:12). Untuk memformalkan hubungan saling membutuhkan itulah kedua negara membuka hubungan diplomatik. Sejak Indonesia membuka perwakilan di Kairo pada tahun 1950 dan Mesir membuka perwakilan di Jakarta pada tahun 1951, hubungan kedua negara sampai tahun 2010 terlihat erat, harmonis, tidak ada ketegangan apalagi pemutusan hubungan diplomatik. Selama 50 tahun hubungan, Indonesia tidak pernah mempersona non grata-kan pejabat diplomatik Mesir dan juga sebaliknya, Mesir tidak pernah mendeportasi pejabat diplomatik Indonesia dari lembah sungai Nil. Akan tetapi, di balik keharmonisan tersebut sebenarnya terdapat ketimpangan, ketidakseimbangan dan kepincangan. Indonesia selalu memandang Mesir penting, sebaliknya Mesir hanya memandang Indonesia sebelah mata.
1
2
Ketimpangan tersebut bisa dilihat dari 2 (dua) aspek, yaitu kuantitas formasi perwakilan dan intensitas kunjungan pejabat negara. Pertama, menyangkut kuantitas formasi perwakilan, jika Indonesia menempatkan banyak diplomat di KBRI Cairo, Mesir hanya menempatkan beberapa diplomat di Kedutaan Mesir untuk Indonesia. Sebagai contoh pada tahun 2010, struktur KBRI Kairo terdiri dari Kepala Perwakilan, Wakil Kepala Perwakilan, Fungsi Politik, Fungsi Ekonomi, Fungsi Penerangan dan Sosial Budaya, Fungsi Protokol dan Konsuler, Atase Pertahanan, Atase Perdagangan, Atase Pendidikan Nasional, Unit Komunikasi, Bendahara dan Penata Kerumahtanggaan, serta Kepala Sekolah Indonesia Cairo (SIC). Karena itulah, jumlah pejabat diplomatik (home staff) di KBRI Kairo mencapai 18 orang dan didukung oleh 37 pegawai setempat (local staff). Sementara itu, Kedutaan Mesir di Jakarta pada tahun 2010 hanya terdiri dari Kepala Perwakilan, Wakil Kepala Perwakilan, Atase Perdagangan, Administrasi dan Keuangan. Karena itulah, jumlah pejabat diplomatik (home staff) Kedutaan Mesir di Jakarta hanya mencapai 10 orang, ditambah dengan beberapa pegawai setempat (local staff). Jumlah pejabat diplomatik yang dikirim suatu negara ke negara lain, sesungguhnya mampu menunjukkan besar atau kecilnya kepentingan Negara pengirim ke Negara tujuan. Indonesia menempatkan banyak pejabat diplomatik di Mesir, menunjukkan besarnya kepentingan Indonesia terhadap Mesir. Sebaliknya, minimnya jumlah pejabat Mesir yang bertugas di Kedutaan Mesir untuk Indonesia, bisa dipahami sebagai minimnya kepentingan Mesir terhadap Indonesia.
3
Kedua, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain, juga bisa digunakan sebagai indikator keharmonisan kerjasama antar dua negara. Jika dalam kurun waktu 1955 sampai dengan 1965 Presiden Soekarno telah berkunjung ke Mesir sebanyak 6 (enam) kali. Sebaliknya, Perdana Menteri/ Presiden Gamal Abdel Nasser hanya singgah satu kali di Indonesia. Kedatangannya pun dalam rangka menghadiri Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada tanggal 16-27 April 1955 (Kompas, 26/08/1997: 22). Setelah
itu,
Presiden
Soeharto,
Abdurrahman
Wahid,
Megawati
Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyuno selalu melakukan kunjungan ke Mesir. Hanya Presiden Habibie yang tidak sempat berkunjung ke Mesir karena singkatnya masa jabatannya dan situasi dalam negeri yang belum stabil pascapergantian kepemimpinan nasional. Sementara itu, Presiden Anwar Sadat sama sekali tidak pernah berkunjung ke Indonesia. Presiden Hosni Mubarak pun selama masa jabatannya hanya pernah sekali datang ke Indonesia pada tanggal 9-11 April 1983. Oleh karena itulah, pada saat menyerahkan credentials (surat-surat kepercayaan) kepada Presiden Mubarak pada tanggal 16 Juni 2008, peneliti menyampaikan bahwa rakyat Indonesia sudah lama merindukan kunjungan Presiden Mesir, yang kemudian dijawab dengan kata “Insya Allah”, namun sampai mengundurkan diri pada tahun 2011, ia tidak pernah datang lagi ke Indonesia. Selain kepala negara, kunjungan pejabat Indonesia, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, di tingkat pusat ataupun daerah, lebih tinggi jumlahnya dibandingkan pejabat Mesir ke Indonesia. Bahkan kunjungan untuk
4
kepentingan studi banding pun lebih sering dilakukan oleh pihak Indonesia, sehingga menimbulkan kesan akan banyaknya yang perlu dipelajari dari Mesir, sekalipun itu dalam bidang-bidang yang sebenarnya Indonesia lebih maju seperti halnya terkait demokrasi dan hak asasi manusia. Sementara itu, kunjungan pejabat Mesir betul-betul dibatasi hanya untuk kepentingan yang bersifat mission oriented. Kenyataan ini cukup membuktikan bahwa hubungan Indonesia-Mesir yang berlangsung selama ini tidak seimbang dan berat sebelah. Indonesia terlalu memandang penting Mesir namun tidak sebaliknya. Ketimpangan ini muncul justru pada saat Indonesia telah meraih hasil dari perjuangannya untuk mendapatkan pengakuan internasional sebagai syarat sahnya negara yang merdeka, dan Mesir tercatat sebagai negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Mesir pula negara pertama yang menandatangani perjanjian persahabatan dengan Indonesia yang diikuti dengan pembukaan perwakilan di Kairo dan di Jakarta pada tahun 1950/1951. Lebih dari itu, Mesir tercatat sebagai negara tempat menuntut ilmu bagi putra-putri Indonesia sejak sebelum abad 19 masehi. Hubungan Indonesia-Mesir yang sangat historis dan bahkan emosional, semestinya dijadikan modal penting bagi kedua negara untuk meningkatkan hubungan dan kerja sama kedua negara ke tingkat yang lebih strategis, sehingga hubungan menjadi lebih bermakna dan satu sama lain saling memandang penting. Dalam kondisi di atas, sebenarnya tidak sedikit dari pejabat dan pengamat hubungan internasional yang mengeluhkan hubungan Indonesia-Mesir, karena
5
kedua Negara belum mampu memanfaatkan potensi yang dimiliki masing-masing negara. Seorang pejabat Indonesia, Emil Salim pada Seminar Internasional Hubungan Indonesia-Timur Tengah di Jakarta pada hari Selasa, tanggal 27 Januari 1976, mengungkapkan keheranannya mengapa hubungan ekonomi antara Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah tidak bisa terjalin erat. Padahal menurutnya, hubungan di bidang politik kedua Negara berlangsung baik (Kompas, 28/1/1976:2). “Sekalipun antara Indonesia dan Timur Tengah telah terjalin kerja sama yang erat dalam bidang politik, namun adalah menarik bahwa kerja sama di bidang ekonomi tidak berkembang sebagaimana mestinya,” ujar Emil yang saat itu menjabat sebagai Menteri Perhubungan (Kompas, 28/1/1976:2).
Untuk memperkuat argument atas lemahnya hubungan ekonomi antar kedua Negara. Emil memaparkan sejumlah data. Misalnya, ekspor Indonesia ke negara-negara Timur Tengah selama tahun 1975 dan 1976, rata-rata hanya US$ 6 juta setahun. Menurutnya, ini rendah sekali, karena hanya merupakan 0,3 % saja dari jumlah ekspor (non-migas) Indonesia yang seluruhnya mencapai US$ 2 miliar setahun. Sebaliknya, ekspor Timur Tengah ke Indonesia kurang dari US$ 30 juta pada tahun 1974 dan hanya naik menjadi di bawah US$ 60 juta pada tahun 1975. Ini pun, masih menurut Emil, amat rendah karena nilai impor Indonesia seluruhnya berkisar US$ 4 miliar (Kompas, 28/1/1976:2). Soal perkreditan, Emil menambahkan bahwa kredit yang diterima Indonesia dari Timur Tengah terhitung kecil. Dari Mesir misalnya, hanya US$ 4,8 juta, dari Iran US$ 200 juta dan dari Arab Saudi US$ 120 juta. Emil menilai kecil jumlah tersebut jika dibandingkan dengan jumlah pinjaman yang diterima
6
Indonesia dari kelompok Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI) sejak tahun 1968, yaitu sebesar US$ 5,6 miliar (Kompas, 28/1/1976:2). Pengamat Timur Tengah, Riza Sihbudi dalam bukunya, Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek, mengatakan bahwa: “Meskipun secara tradisional hubungan Indonesia dengan negaranegara di kawasan Timur Tengah telah terjalin berabad-abad, namun hingga kini belum terdapat suatu bentuk hubungan yang melembaga... Begitu pula hubungan dengan Mesir, meskipun merupakan sesama negara pendiri GNB (Gerakan Non Blok), namun sampai saat ini hubungan itu tidak mendapat bentuk yang jelas. Hal ini antara lain terlihat dari tidak adanya kerja sama antara kedua negara dalam memecahkan berbagai permasalahan yang menyangkut kepentingan bersama, khususnya dalam Gerakan Non Blok (Sihbudi, 1997:34).”
Riza berharap, hubungan antara Indonesia dengan negara-negara di Timur Tengah bisa mencontoh hubungan antara Indonesia dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik dan Masyarakat Ekonomi Eropa. Dengan negara-negara Asia Pasifik, Indonesia mempunyai hubungan yang melembaga, yaitu dalam bentuk pertemuan tingkat menteri “ASEAN-Mitra Dialog”. Dalam forum ini Indonesia berkesempatan membahas dan merundingkan berbagai masalah politik dan ekonomi dengan Jepang, Korea Selatan, Australia, Selandia baru, Amerika Serikat, Kanada dan 12 negara Eropa yang tergabung dalam Masyarakat Eropa (Sihbudi, 1997:34-35). Hal yang sama disampaikan Riza saat tampil sebagai pembicara dalam seminar tentang “Persahabatan Masyarakat Indonesia-Arab” di Balai Sidang Universitas Indonesia, Depok pada tanggal 5 September 2000. Ia menegaskan bahwa sampai jatuhnya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998, hubungan Indonesia-Mesir tidak mendapat bentuk yang jelas. Hal ini
7
terlihat dari tidak adanya kerja sama antara kedua negara dalam memecahkan berbagai permasalahan yang menyangkut kepentingan bersama (Sihbudi, 2000). Pandangan serupa juga diakui oleh pihak Mesir. Mohammad Sayed Selim dalam tulisannya di Surat Kabar Al-Ahram, tanggal 17 Agustus 1997 menyoroti ketimpangan hubungan Indonesia-Mesir di bidang ekonomi. Menurut Selim yang saat itu menjabat Direktur Studi Asia Universitas Kairo, ketidakseimbangan perdagangan kedua negara perlu dicarikan jalan keluar guna meningkatkan dan menambah volume perdagangan sehingga tercapai keseimbangan. Lebih lanjut ia memaparkan bahwa pada tahun 1995 nilai perdagangan Indonesia-Mesir mencapai LE 282 juta, yang 95% di antaranya adalah ekspor Indonesia ke Mesir. Sedangkan pada tahun 1996 nilai perdagangan Indonesia-Mesir mencapai LE 346 juta, yang 99% di antaranya adalah ekspor Indonesia ke Mesir. Pada tahun 1996 itu ekspor Mesir ke Indonesia tidak lebih dari LE 1 juta. Selim berharap supaya pertemuan Komisi Bersama Indonesia-Mesir merumuskan dan mengambil langkah-langkah konkret bagaimana mewujudkan keseimbangan perdagangan. Kepada para eksportir Mesir juga diharapkan untuk melihat peluang pada pasar Indonesia yang luas (Al-Ahram, 1997:10). Tidak hanya itu, beberapa Kepala Perwakilan RI di Mesir mengeluhkan ketimpangan ini dan berharap supaya diakhiri. Pada seminar Hubungan IndonesiaMesir di Kairo, tanggal 21 Juli 1997, Duta Besar Boer Mauna mengatakan bahwa hubungan Indonesia-Mesir di bidang ekonomi tidak berkembang sesuai yang diharapkan. Perdagangan antara kedua negara (Indonesia-Mesir) ditandai dengan ketidakseimbangan. Ekspor Indonesia ke Mesir selama periode 1991-1996
8
mencapai LE. 272.75 juta per tahun, sedangkan impor Indonesia dari Mesir hanya LE. 8.46 juta per tahun. Pada 1996 Ekspor Indonesia ke Mesir mencapai 347.10 juta, sedangkan impor Indonesia dari Mesir hanya LE. 3.71 juta. Melalui seminar itu, Boer mengharapkan agar dicarikan kiat-kiat untuk meningkatkan hubungan perdagangan Indonesia-Mesir (Mauna, 1997). Duta Besar RI untuk Mesir tahun 1980-1982, Ferdy Selim yang ikut hadir dalam acara seminar itu mengatakan bahwa hubungan ekonomi Indonesia-Mesir belum sepenuhnya menggembirakan karena perbedaan dalam memberi prioritas. Fokus perdagangan Indonesia, menurutnya, terjalin dengan Jepang dan negaranegara Asia-Pasifik lainnya. Sementara itu, Mesir dan negara-negara Timur Tengah lainnya masih terbelenggu konflik militer dan politik hingga belum sepenuhnya dapat mengembangkan potensi ekonominya (Kompas, 1997:22). Menjelang kunjungan Presiden Soeharto pada Mei 1998, Duta Besar RI untuk Mesir, N Hassan Wirajuda menyatakan bahwa hubungan politik IndonesiaMesir selama ini cukup kuat, namun perlu diperbarui dan ditingkatkan, terutama karena hubungan baik yang sempat terjalin dulu, selama ini kurang mendapat perhatian (Kompas, 1998:3). Kepada wartawan Kompas di Jakarta, ia mengatakan bahwa: “Ada semacam kesenjangan dalam hubungan Indonesia dengan Timur Tengah, termasuk Mesir. Untuk kawasan Asia dan Pasifik, kita bisa melakukan konsultasi berkala dengan kawasan, melalui forum ASEAN, ARF, ataupun APEC. Sedang dengan kawasan Eropa, kita memiliki forum ASEM. Tapi dengan Timur Tengah, kita tidak mempunyai mekanisme. Bahkan untuk konsultasi sub-kawasan pun kita tidak punya mekanisme. Sepertinya ada rantai yang terputus (Kompas, 1998:3).”
9
Tak lama setelah kunjungan Presiden Megawati Soekarnoputri ke Kairo pada September 2002, Duta Besar RI untuk Mesir, Bachtiar Aly mengatakan bahwa hubungan Indonesia-Mesir kini perlu improvisasi, tidak cukup lagi mengandalkan semangat historis saja. “Kita harus lebih proaktif dalam mempromosikan Indonesia. Bagaimana kita menumbuhkan dan menggalang kepercayaan dunia terhadap integritas Indonesia, termasuk di antaranya mampu mendatangkan investor asing sebanyak mungkin ke Indonesia,” tegas Aly (Kompas, 2002:3). Hal yang sama juga peneliti rasakan saat masih bertugas sebagai kepala perwakilan RI di Mesir. Saat wawancara dengan wartawan Koran Shout Al-Azhar, peneliti menyampaikan bahwa Indonesia dan Mesir memiliki potensi besar. Namun, potensi besar itu kurang tergarap secara maksimal. Perdagangan kedua negara sangat lemah dan memerlukan dorongan kuat dari kedua belah pihak (Shout al-Azhar, 2010:14). Peneliti juga pernah menulis di Harian Kompas akan perlunya inovasi guna menggairahkan kembali pertalian emosional Indonesia-Mesir. Antara lain melalui sepakbola dan kesenian. Misalnya, juara Liga Indonesia membuat pertandingan persahabatan ke Mesir melawan juara Liga Mesir. Penyanyi terkenal Mesir, Amer Diab terbang dengan Garuda dan melantunkan lagu-lagu cintanya di Monas, Senayan City, dengan latar Borobudur, Prambanan, Tanah Lot dan Pantai Senggigi (Kompas, 2009:7). Dari latar belakang di atas, peneliti memandang bahwa persoalan ketimpangan hubungan Indonesia-Mesir perlu untuk diangkat dalam sebuah
10
penelitian komprehensif, sebab selain permasalahan ini sangat jarang diketahui oleh mayoritas masyarakat kedua Negara bahkan para pemerati politik luar negeri di kedua Negara pun mungkin belum banyak yang menyadari realitas di atas. Sebab, mayoritas masyarakat selama ini memandang bahwa hubungan kedua negara selalu dipandang normal. Hal terpenting lain yang mendasari pemilihan judul di atas adalah faktor signifikansi professional, yaitu profesi peneliti sebagai diplomat, yang pernah bertugas sebagai kepala perwakilan RI di Mesir.
1.2 Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang di atas, maka permasalahan yang diangkat dan diamati dalam penelitian ini berpusat pada pertanyaan mengapa hubungan Indonesia-Mesir sejak tahun 1950 sampai 2010 berlangsung timpang, tidak seimbang dan berat sebelah. Indonesia memandang penting Mesir, sebaliknya Mesir tidak memandang penting Indonesia, padahal jika ditilik dari faktor historis, Mesir adalah negara pertama di dunia yang mengakui kemerdekaan Indonesia dan Mesir pula tercatat sebagai negara pertama yang menandatangani perjanjian persahabatan dengan Indonesia. Hal tersebut dikuatkan dengan hubungan konsisten kedua negara yang erat, harmonis, tanpa konflik, dan memiliki persamaan
sejarah
sebagai
negara
bekas
jajahan,
dan
bersama-sama
memperjuangkan prinsip luar negeri non-aligned dan anti-kolonialisme, sekaligus sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam.
11
Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut dan untuk mempermudah dalam pembahasan nantinya, maka rumusan masalah yang peneliti rumuskan dalam tiga pertanyaan pokok, yaitu sebagai berikut. 1. Bagaimana politik luar negeri Indonesia terhadap Mesir sehingga Indonesia memandang penting Mesir, dan bagaimana politik luar negeri Mesir terhadap Indonesia sehingga Mesir tidak memperhitungkan posisi Indonesia ? 2. Faktor-faktor apakah yang mendasari ketimpangan hubungan IndonesiaMesir ? 3. Usaha-usaha apakah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki hubungan Indonesia-Mesir, agar ke depan Indonesia memiliki daya tawar yang menarik, sehingga dapat merubah paradigma hubungan kedua negara ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian jenis apapun, tentu mempunyai tujuan tertentu dan diharapkan juga hasil penelitian yang telah dilakukannya mempunyai manfaat tidak hanya bagi penelitinya sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, khusunya yang menaruh minat dan perhatian terhadap masalah kerjasama Indonesia-Mesir. Untuk itu, di bawah ini dikemukakan tujuan dan manfaat penelitian, yaitu sebagai berikut. 1.3.1 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
12
1. Mendeskripsikan politik luar negeri Indonesia terhadap Mesir sekaligus menjelaskan realitas ketimpangan hubungan Indonesia-Mesir. 2. Memahami
dan
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mendasari
ketimpangan hubungan kedua Negara. 3. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai rekomendasi atau usulan untuk memperbaiki hubungan Indonesia-Mesir. 1.3.2 Manfaat Penelitian Risalah disertasi ini diharapkan mempunyai manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan (teoretis) dan pembangunan negara (praktis). 1. Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan a. Mengembangkan Ilmu Hubungan Internasional dan Kajian Timur Tengah serta sebagai referensi untuk melakukan penelitian lanjutan yang lebih mendalam. b. Menambah khazanah pustaka di Tanah Air sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan. 2. Manfaat bagi pembangunan negara a. Memberikan
masukan
kepada
Pemerintah
Indonesia
dalam
pengambilan kebijakan terkait dengan politik luar negeri terhadap Mesir. b. Menghasilkan landasan bagi pelaksanaan hubungan luar negeri Indonesia pada masa-masa mendatang, khususnya hubungan dan kerjasama antara Indonesia dan Mesir dalam segala bidang, terutama di bidang perdagangan, pendidikan, kebudayaan, dan lain sebagainya.
13
1.4 Tinjauan Pustaka Sejauh penelusuran peneliti terhadap berbagai sumber pustaka, selama ini belum ada penelitian dengan judul “Ketimpangan Hubungan Indonesia-Mesir 1950-2010. Adapun pustaka yang ada hubungannya dengan penelitian disertasi ini adalah sebagai berikut. Pertama, buku berjudul Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir Tahun 1947, diterbitkan oleh Panitia Peringatan HUT Ke-32 Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir, diterbitkan di Jakarta, pada tahun 1978. Buku ini merupakan kumpulan tulisan dari beberapa tokoh yang menjadi saksi penandatanganan perjanjian persahabatan Indonesia-Mesir tahun 1947, seperti M. Rasyidi, AR. Baswedan dan M. Zein Hasan, serta tulisan dari beberapa tokoh yang mengetahui kedekatan hubungan Indonesia-Mesir, seperti Moh. Natsir (mantan perdana menteri), Achmad Subardjo (mantan menteri luar negeri), Mohammad Roem (mantan menteri luar negeri), Sunario (mantan menteri luar negeri), Roeslan Abdulghani (mantan menteri luar negeri) dan Saifuddin Zuhri (mantan menteri agama). Kedua, buku berjudul Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri karya M. Zein Hassan, diterbitkan oleh penerbit Bulan Bintang Jakarta, pada tahun 1980. Buku ini ditulis oleh pelaku sejarah, yang memimpin Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia di Mesir. Buku ini menguraikan secara lengkap aktivitas mahasiswa Indonesia di Mesir dalam memperjuangkan pengakuan Mesir secara khusus dan beberapa Negara di Timur Tengah atas kemerdekaan Indonesia. Dari buku ini tergambar dua hal: (1) dukungan Mesir terhadap perjuangan
14
kemerdekaan Indonesia; (2) kegigihan para mahasiswa Indonesia dalam melaksanakan diplomasi, sekalipun mereka bukan diplomat dan belum pernah mendapatkan pendidikan diplomasi. Ketiga, buku berjudul “Seminar on the Egyptian Indonesian Relations from Historic Perspective”, diterbitkan dalam rangka HUT ke-50 Kemerdekaan RI dan HUT ke-48, Penandatanganan Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir, diterbitkan di Jakarta, pada tahun 1995. Buku ini berisi laporan kegiatan Seminar Hubungan Indonesia-Mesir dari Perspektif Sejarah yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 26 Juli 1995, berisikan sambutan Menteri Luar Negeri Ali Alatas, makalah Emil Salim dan Juwono Sudarsono. Keempat, skripsi Peranan Mesir dalam Revolusi Indonesia Tahun 19451947 oleh Ekalantri Fitriani, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1996. Skripsi ini memaparkan peranan Mesir dalam memberikan dukungan kepada Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat sampai kedua negara menandatangani perjanjian persahabatan tahun 1947. Kelima, buku berjudul “Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek” karya Riza Sihbudi, terbitan Gema Insani Press, Jakarta, tahun 1997. Buku ini mengupas hubungan Indonesia dengan negara-negara Timur Tengah. Pada Bab I diuraikan hubungan Indonesia-Mesir. Di akhir Bab I, penulis berkesimpulan bahwa selama kurun waktu 1947-1961, hubungan kedua negara berjalan cukup baik, karena keduanya menjalankan garis kebijakan luar negeri yang pada prinsipnya sama dan keduanya memiliki persamaan persepsi terhadap masalah kolonialisme/imperalisme. Meskipun demikian, menurut penulis, terdapat
15
faktor-faktor yang menghambat bagi peningkatan hubungan kedua negara pada periode tersebut. Yaitu: terjadinya konflik dalam negeri baik di Indonesia maupun di Mesir, jauhnya jarak antara keduanya dan keterbatasan kemampuan ekonomi yang dimiliki kedua negara. Faktor-faktor ini tidak dieksplorasi secara mendalam oleh penulis, sehingga dengan itu menjadikan perlunya disertasi ini. Keenam, buku berjudul “Al-‘Alaaqat al-Mishriyyah al-Asiyawiyyah” (Hubungan Mesir-Asia) karya Muhammad Sayid Salim dan Ibrahim Arafat (Editor), terbitan Center for Asian Studies, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Politik, Cairo University, 2000. Buku ini membahas hubungan Mesir dengan negaranegara Asia. Khusus nya Bab X dibahas hubungan Mesir-Indonesia yang ditulis oleh Muhammad Sayid Salim. Tulisan Direktur Studi Asia Universitas Kairo ini tidak jauh beda dengan makalah yang ia sampaikan pada Seminar Hubungan Indonesia-Mesir di Kairo, tanggal 21 Juli 1997 dan artikel yang ia tulis di Surat Kabar Al-Ahram, tanggal 17 Agustus 1997. Intinya, ia menguraikan awal terjadinya hubungan antara Indonesia dan Mesir, lalu dukungan Mesir terhadap perjuangan Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan mendapatkan pengakuan internasional, era kemesraan Soekarno-Nasser dan terakhir membahas pengaruh krisis ekonomi Indonesia dan pergantian kepemimpinan nasional terhadap hubungan Indonesia-Mesir. Ketujuh, tesis Diplomasi Republik Indonesia di Mesir (1947-1948), Suranta Abd. Rahman, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003. Tesis ini menguraikan diplomasi RI pasca-keluarnya rekomendasi dari Liga Arab supaya negara-negara Arab mengakui Indonesia sebagai negara yang
16
merdeka dan berdaulat, yaitu pengakuan negara-negara Arab dan pembahasan masalah Indonesia di PBB. Delapan, buku Potret Hubungan Indonesia-Mesir yang diterbitkan KBRI Cairo, tahun 2009. Buku ini mendokumentasikan hubungan Indonesia-Mesir sejak pertama adanya kontak kedua bangsa, jauh sebelum kemerdekaan tahun 1945 sampai tahun 2008. Untuk saat ini, buku tersebut menjadi rujukan utama hubungan Indonesia-Mesir yang lengkap dengan sumber referensi yang kaya, baik dari Indonesia maupun Mesir. Karena ditulis dan diterbitkan oleh Pemerintah RI, dalam hal ini KBRI Cairo, maka buku ini hanya berisi data, rekaman, dokumentasi, tanpa disertai opini. Disertasi ini dimaksudkan untuk menganalisis dan mengembangkan sebagian data yang ada di buku tersebut. Sembilan, buku berjudul Abhãts Nadwat al-‘Alãqãt al-Indûnîsiyyah alMishriyyah yang diterbitkan KBRI Cairo bekerja sama dengan Fakultas Adab dan Humaniora Suez Canal University, tahun 2011. Buku ini merupakan kumpulan tulisan/makalah yang disampaikan saat seminar dalam rangka peringatan 63 tahun hubungan Indonesia-Mesir tanggal 6 Mei 2010. Di antara pemakalahnya adalah Dr. Amani Khudhair dan Dr. Salwa Farag yang menulis tentang hubungan Indonesia-Mesir dan Dr. Najwa Ali yang menulis tentang hubungan ekonomi Indonesia-Mesir. Dapat dikatakan bahwa buku ini menjadi tulisan terakhir yang mengupas tentang hubungan Indonesia-Mesir. Dari ke Sembilan buku yang membahas hubungan antara Indonesia dan Mesir, secara keseluruhan menyimpulkan bahwa hubungan antara Indonesia dan Mesir sudah terjalin cukup lama dan berlangsung jauh sebelum kemerdekaan.
17
Yang sampai saat ini hubungan kedua Negara berjalan dengan baik, tidak pernah ada masalah. Kalaupun ada yang mengeluhkan kurang maksimalnya hubungan Indonesia-Mesir itu dilakukan oleh Riza Sihbudi, namun dosen Universitas Indonesia itu tidak mengeksplorasi secara mendalam keluhan itu. Karena itulah, peneliti tertarik untuk menelitinya secara mendalam.
1.5 Kerangka Teori Mohtar Mas’oed dalam buku Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologimengatakan:berteori adalah pekerjaan penonton, yaitu pekerjaan mendeskripsikan apa yang terjadi, menjelaskan mengapa itu terjadi dan mungkin juga meramalkan kemungkinan berulangnya kejadian itu di masa depan. Yang dimaksud dengan teori, lanjutnya, adalah suatu bentuk pernyataan yang menjawab pertanyaan “mengapa”. Jadi, berteori adalah upaya memberi makna pada fenomena yang terjadi (Masoed, 194:185-186). Sementara itu, menurut William D. Coplin, teori merupakan sekumpulan proposisi yang bisa diterapkan ke dalam sekumpulan gejala yang bisa membantu para sarjana untuk menata dan mengakumulasikan ide-ide mereka (Coplin, 2003:11). Untuk menjawab pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah di atas, peneliti akan menggunakan teori resiprositas (theory of reciprocity) sebagai metode dalam menjelaskan fenomena ketimpangan hubungan Indonesia dan Mesiryang diperkuat dengan teori modern diplomacydan multitrack
18
diplomacysebagai pendekatan sekaligus jalan keluar mengatasi masalah ketimpangan tersebut. 1.5.1 Resiprositas Menurut Robert O. Keohane, resiprositas adalah terma yang ambigu karena muncul di banyak literatur yang berbeda. Masing-masing bidang pemikiran mendefinisikan resiprositas sesuai dengan tujuan teorinya (Keohane, 1986:3). Resiprositas juga sering digunakan di bidang psikologi sosial, matematika, antropologi budaya dan sosiologi. Jadi, hubungan internasional bukanlah satusatunya displin ilmu yang menggunakan istilah resiprositas. Resiprositas merupakan bahasa Latin dari kata “reciprocus” yang tersusun dari kata retro dan procus, yang artinya memberi dan menerima. Dalam istilah lain, arti yang pokok adalah saling tukar, mutual exchange (Bruni, 2008:1). Dalam kamus besar bahasa Indonesia, bentuk kata sifat dari resiprositas adalah resiprokal yang berarti saling berbalasan. Ini adalah hukum sebab dan akibat. Dalam Kamus Oxford, resiprositas diartikan sebagai, “the principle that one will treat someone in a particular way if one is so treated by them (Martin, 2002:40).” Sementara itu, dalam kamus hukum yang ditulis oleh PH Collin, resiprositas juga dapat berarti: “an arrangement which applies from one party to another and vice versa”(Collin, 2004:249). Jadi, resiprositas adalah sebuah strategi pembalasan, yaitu kebaikan dibalas dengan kebaikan dan kejahatan dibalas dengan kejahatan (tit for tat strategy). Resiprositas mengandung 2 (dua) makna, yaitu makna kontingensi dan ekuivalensi. Kontingensi artinya keadaan yang masih diliputi ketidakpastian
19
mengenai kemungkinan, yang akan terselesaikan dengan terjadi atau tidak terjadinya satu atau lebih peristiwa pada masa yang akan datang. Maksudnya, bahwa resiprositas menunjukkan aksi “tergantung” pada reaksi yang bermanfaat dari orang lain dan yang berhenti ketika reaksi yang diharapkan tidak datang. Perilaku resiprokal membalas keburukan terhadap aksi yang buruk atau membalas kebaikan terhadap aksi yang baik. Orang akan tersenyum jika ia diberi senyuman,sebaliknya ia akan berbohong jika dikhianati (Keohane, 1986:5-6). Adapun makna ekuivalensi adalah keadaan sebanding dan sepadan. Namun, bukan berarti dipahami secara ketat harus sepadan atau sebanding untungnya. Ekuivalensi bisa terjadi di antara pihak-pihak yang posisinya sederajat dan juga bisa terjadi di antara pihak-pihak yang tidak sederajat. Dalam konteks hubungan Indonesia Mesir, jika ditilik dari makna ekuivalensi, teori resiprositas peneliti manfaatkan sebagai cara untuk menimbang dan menganalisis keberimbangan hubungan kedua negara. Tujuannya sangatlah jelas, jika hubungan kedua negara seimbang, maka peneliti dapat memprediksi bahwa hubungan antara pemerintah Indonesia dan Mesir pada masa yang akan datang semakin harmonis. Namun sebaliknya, jika hubungan antara kedua negara terjadi ketimpangan, dikhawatirkan kedepan akan terjadi permasalahan dalam hubungan kedua negara. Pada titik inilah, makna kontingensi dalam teori resiprositas selanjutnya bisa dipahami. Bahwa jalinan hubungan kerjasama antar dua negara sebenarnya selalu berada pada keadaan yang tidak pasti. Situasi inilah yang perlu dipahami oleh setiap pemegang kebijakan luar negeri ataupun para pemerati hubungan antar
20
negara. Untuk itulah, segala kebijakan yang akan lahir bertujuan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Literatur tentang resiprositas dalam hubungan internasional ada yang mendefinisikannya sebagai kesetaraan manfaat. Ada juga yang mendefinisikan resiprositas sebagai persamaan konsesi. Namun yang jelas, dalam resiprositas, kedua belah pihak memerlukan setidaknya kesetaraan manfaat (Keohane, 1986:7). Walaupun tidak mungkin menentukan ekuivalensi secara tepat, semua sepakat bahwa ekuivalensi yang rata-rata adalah menjadi bagian dari arti resiprositas. Resiprositas berkenaan mengenai pertukaran dari nilai-nilai yang kira-kira ekuivalen, yang aksi dari tiap-tiap bagian bergantung kepada aksi sebelumnya dari pihak lain, sehingga kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan akan dibalas dengan keburukan. Untuk mempermudah menganalisis keberimbangan hubungan Indonesia dan Mesir. Peneliti akan menggunakan 3(tiga) indikator. Pertama, frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat-pejabat lain. Kedua, jumlah pejabat diplomatik yang ditugaskan di masing-masing negara. Ketiga, hubungan dan kerjasama ekonomi. Jika dikaitkan dengan teori resiprositas, makna kontingensi bisa diterjemahkan dalam indikator pertama, yaitu frekuensi kunjungan kepala negara dan pejabat pemerintah di kedua negara yang tidak berlangsung resiprokal. Sedangkan makna ekuivalensi peneliti gunakan untuk menjelaskan dua indikator lain yaitu ketimpangan jumlah pejabat diplomatik yang bertugas di masing-
21
masing perwakilan dan ketidak seimbangan hubungan dua negara dalam lingkup kerjasama perdagangan dan ekonomi. Walaupun Hukum Internasional tidak menentukan besar/kecilnya formasi perwakilan. Pasal 11 Konvensi Wina 1961 hanya menyatakan, “Jika tidak ada persetujuan khusus mengenai besarnya perwakilan, negara penerima dapat meminta agar besarnya suatu perwakilan selalu dalam batas-batas yang dianggap pantas dan wajar dengan mempertimbangkan keadaan dan kondisi di negara penerima dan kebutuhan dari suatu perwakilan. Selanjutnya negara penerima, dalam batas-batas yang sama dan atas dasar nondiskriminasi dapat menolak
untuk menerima pejabat-pejabat dari kategori tertentu” (Mauna,
2001:485-488). Dengan demikian, jumlah staf perwakilan tidak dipersoalkan kecuali jika terlalu banyak. Yang dianggap masalah bukan sedikitnya, tetapi malah banyaknya. Banyaknya jumlah pejabat diplomatik satu negara dikhawatirkan akan merugikan negara yang ditempati. Misalnya, pejabat-pejabat diplomatik dari negara asing itu melakukan mata-mata (spionase). Menurut pakar hukum internasional yang juga diplomat, Boer Mauna, pada dasarnya besarnya staf perwakilan bergantung kepada beberapa hal, diantaranya (1) Volume pekerjaan dan tingkat intensitas hubungan kedua negara, (2) Faktor kesanggupan negara pengirim (dana dan personil), dan (3) Pentingnya negara penerima di mata negara pengirim (Mauna, 2001:485-488). Resiprositas hubungan kedua negara itu dipengaruhi oleh pandangan satu negara kepada negara yang lain. Seberapa penting negara A bagi negara B.
22
Pertanyaannya, apa yang membuat suatu negara itu penting bagi negara yang lain? Coplin menyebutkan ada 3(tiga) faktor, yaitu letak geografis, hubungan ekonomi dan ikatan historis. Letak geografis menjadikan suatu negara penting bagi negara lain. Perbatasan atau wilayah perairan bersama menimbulkan situasi-situasi yang harus ditangani secara rutin. Dengan demikian, makin jauh jarak suatu negara dengan negara lain, makin sedikit pula interaksi rutinnya (Coplin, 2003:273). Selain itu, hubungan ekonomi memengaruhi jumlah dan jenis interaksi rutin. Perdagangan timbal balik yang padat menimbulkan kondisi-kondisi bagi interaksi rutin yang luas dan bervariasi bukan saja karena banyaknya tipe masalah administratif yang bisa ditimbulkan oleh volume perdagangan yang cukup besar, melainkan juga karena negara-negara yang terlibat banyak dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan ekonomi masing-masing (Coplin, 2003:273). Ikatan historis turut memperbesar jumlah interaksi rutin antarnegara. Negara yang memiliki ikatan historis dengan negara lain, akan melakukan interaksi rutin. Misalnya karena ikatan kolonial antara bekas negara penjajah dan negara jajahannya (Holsti, 1988:214). Contoh lainnya seperti negara yang berhutang jasa kepada negara lain karena pernah mendapatkan pengakuan kemerdekaan dan kedaulatan dari negara tersebut. Sementara itu, Morgenthau berpendapat bahwa suatu negara dipandang penting oleh negara lain, jika memiliki letak geografis, swasembada pangan, bahan baku dan produksi industri, kesiagaan militer, ukuran dan kualitas penduduk (Morgenthau, 2010:169). Intinya, suatu negara akan dipandang penting
23
oleh negara lain manakala negara tersebut mempunyai hal-hal yang menjadi target atau sasaran dari kepentingan nasional (national interest) negara lain. Jack C. Plano dan Roy Olton mendefinisikan kepentingan nasional adalah sebagai berikut. Kepentingan nasional adalah tujuan pokok yang paling penting yang menjadi pedoman para pembuat keputusan di suatu negara dalam membuat kebijakan politik. Negara akan mengedepankan apa yang paling penting kebutuhannya secara umum. Termasuk di dalamnya hak untuk mempertahankan diri, kemerdekaan, integritas wilayah, keamanan, serta kesejahteraan ekonomi (Plano dan Olton, 1980:9). Kepentingan nasional merupakan konsep yang paling populer dalam analisis hubungan internasional, baik untuk mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan, maupun menganjurkan perilaku internasional. Analisis sering menggunakan konsep kepentingan nasional sebagai dasar untuk menjelaskan perilaku suatu negara (Mas’oed, 1994:139). Meskipun demikian, suatu negara jangan dulu menepuk dada merasa penting selama hanya mengandalkan kekayaan alam, letak geografis, militer dan penduduk, tanpa diikuti keunggulan di bidang diplomasi. Tanpa diplomasi, menurut Morgenthau, semua kekuatan menjadi sia-sia. Diplomasi yang bermutu tinggi akan membawa keserasian antara tujuan dan sarana diplomasi luar negeri dengan sumber kekuatan nasional yang tersedia. Diplomasi bermutu tinggi akan menyadap sumber-sumber kekuatan nasional yang tersembunyi dan mengubah mereka sepenuhnya dan secara terjamin menjadi realitas politik (Morgenthau, 2010:169).
24
Negara-negara yang tidak mempunyai kekuatan sebagaimana disebutkan Morgenthau di atas tidak perlu berkecil hati. Masih ada harapan untuk bisa berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain dengan syarat ia memiliki ketangguhan diplomasi. Diplomasi yang berkualitas dapat bertindak sebagai katalisator untuk faktor yang berbeda-beda yang membentuk kekuatan (Morgenthau, 2010:169). Oleh karena itu, efektifitas diplomasi yang dilakukan Negara melalui perantara para diplomat dalam kondisi normal, harus sama artinya dengan siasat dan taktik militer para pemimpin militer dalam kondisi masa perang (Morgenthau, 2010:170). Morgenthau menyebutkan tiga fungsi dasar diplomat. Pertama, bertindak sebagai wakil simbolis negaranya. Ia berkewajian menghadiri jamuan makan kenegaraan, resepsi dan kegiatan lain yang diselenggarakan oleh negara, dimana dia ditugaskan. Sekaligus, ia berkewajiban menyampaikan dan menerima ucapan selamat dari negara tempat ia ditugaskan (Morgenthau, 2010:620-621). Kedua, diplomat bertindak sebagai wakil sah negaranya. Ia berhak membuat pernyataan yang bersifat mengikat, menandatangani kontrak-kontrak untuk dipatuhinya, seolah-olah ia korporasi. Ia diberi kuasa untuk menandatangani sebuah perjanjian atau meneruskan dan menerima dokumen-dokumen ratifikasi dari suatu perjanjian yang telah ditandatangani untuk dilaksanakan sesuai masa berlaku perjanjian tersebut. Ia berkewajiban memberikan perlindungan hukum bagi warga negaranya yang berada di negara tempat ia bertugas. Ia dapat mewakili negaranya pada konferensi atau dalam badan-badan PBB dan memberikan
25
suaranya
atas
nama
dan
berdasarkan
instruksi-instruksi
pemerintahnya
(Morgenthau, 2010:621-622). Ketiga, diplomat bersama kementerian luar negeri bertugas untuk menentukan arah politik luar negerinya. Jika kementerian luar negeri adalah pusat nadi politik luar negeri, maka para diplomat adalah urat-urat nadi yang jauh letaknya, yang memelihara lalu lintas dua arah antara pusat dan dunia luar. Para diplomat harus menilai tujuan-tujuan negara lain dan kekuatan sesungguhnya. Mereka harus mendapatkan informasi-informasi mengenai rencana pemerintah tempat mereka ditugaskan, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung kepada pejabat-pejabat pemerintah, pimpinan-pimpinan politik, melalui pengamatan secara teliti pada pers dan lain-lain. Selanjutnya, mereka harus mengevaluasi pengaruh yang tersembunyi pada kebijakan-kebijakan pemerintah yang berlawanan arah di dalam pemerintahan, partai-partai politik dan opini umum (Morgenthau, 2010:622). Selain urat nadi, fungsi para diplomat adalah mulut dan tangan sebuah Negara, sebagai media penyampai kepentingan Negara pengirim melalui kata-kata dan tindakan-tindakan. Mereka harus mampu “menjual” politik luar negeri ke negara tempat ditugaskan. Karena itu, daya tarik pribadi diplomat dan pemahamannya tentang psikologi rakyat negara setempat menjadi prasarat hakiki (Morgenthau, 2010:621-622). 1.5.2 Modern Diplomacy (R.P. Barston) Tiga fungsi utama diplomat yang dijelaskan Morgenthau adalah sebagai wakil simbolis negara, wakil sah negara, dan pemegang kebijakan politik luar
26
negeri bersama Kementerian Luar Negeri negara pengirim. Hal itu sebenarnya telah mewakili makna diplomasi modern yang dikemukakan oleh Barston dalam buku Modern Diplomacy, walaupun belum secara menyeluruh. Namun setidaknya pendapat ini telah merubah wacana klasik yang berkembang pada awal-awal lahirnya Ilmu Hubungan Internasional, bahwa tugas utama seorang diplomat hanyalah mereduksi potensi konflik dan menjaga keharmonisan hubungan antar negara, sehingga terciptalah perdamaian dunia (Barston, 1988:1). Dalam diplomasi modern, menurut Barston (1988:2) setidaknya ada enam tugas pokok seorang diplomat yang wajib diketahui dan dijalan kan, Yaitu: (1) Merepresentasikan Negara, (2) Memberikan Informasi terkait negara dimana dia ditugaskan/listening post, (3) Memberikan
masukan kepada Pemerintah
terkait kebijakan Luar Negeri yang akan dijalankan, (4) Mereduksi potensi konflik yang muncul dari kerjasama bilateral ataupun multilateral, (5) Menjalankan kebijakan Politik Luar Negeri, dan (6) Menyesuaikan diri dalam dinamika politik luar negeri yang dinamis. Penggunaan teori Modern Diplomasi dalam penelitian ini bertujuan untuk menjawab dan memberikan jalan keluar atas permasalahan ketimpangan yang peneliti rasakan dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Mesir. Sekaligus menguji teori ini, apakah teori diplomasi modern mampu menjawab tantangan permasalahan diplomasi saat ini atau tidak. Harapan selanjutnya, jika teori ini memang benar-benar mampu menjawab tantangan, maka peneliti berharap dapat merekomendasikannya, sebaliknya jika tidak, maka apa yang harus kita lakukan untuk menyelesaikan persoalan di atas.
27
Masih dalam buku Modern Diplomacy, Barston (1988:158) menjelaskan bahwa jalur ekonomi dan perdagangan sesungguhnya bisa digunakan sebagai instrumen untuk mempererat hubungan antar negara, selain penggunaan isu keamanan dan jalur politik tentunya (1988:184). 1.5.3 Multitrack Diplomacy (Dr. Louise Diamond & Ambassador John McDonald) Multi-Track Diplomasi adalah sistem yang bertujuan menciptakan perdamaian dalam hubungan Internasional. Sistem ini dikenal dengan multi-track disebabkan adanya beberapa unsur yang saling terkait antara satu dengan lainnya, unsur tersebut bisa meliputi (individu, kelompok, institusi ataupun komunitas). Untuk selanjutnya beberapa unsur ini saling bekerjasama dan saling menopang demi sebuah tujuan bersama, yaitu terciptanya kehidupan dunia yang harmonis. Singkatnya, konsep yang ditawarkan di dalam Multi Track Diplomacy adalah: dalam diplomasi diperlukan kesatuan antara aktor-aktor elit negara dengan aktor-aktor non-negara. Aktor-aktor negara adalah para diplomat yang dikirim khusus oleh pemerintahan sebuah negara, sedangkan aktor-aktor non-negara adalah semua elemen masyarakat sebuah negara yang memiliki kemampuan untuk melakukan interaksi dan komunikasi dengan pihak pemerintah negara lain ataupun pihak non pemerintah (Diamond & McDonald, 1996:1). Proses interaksi inilah yang kemudian memberikan kontribusi positif terhadap hubungan kedua negara, baik dirasakan secara langsung ataupun tidak. Penggunaan konsep multitrack diplomacy dalam penelitian ini berdasarkan keyakinan peneliti bahwasannya dalam proses diplomasi keberadaan aktor resmi negara haruslah mampu memanfaatkan potensi dan kemampuan aktor-aktor lain.
28
Penggunaan konsep ini juga bertujuan untuk melihat kerjasama Internasional antar negara, yang dalam hal ini Indonesia-Mesir sebagai aspek yang kompleks dengan aneka ragam aktor.
1.6 Hipotesis Jika melihat latar belakang masalah, rumusan masalah dan tujuan penelitian, untuk kemudian dianalisis dengan memanfaatkan teori resiprositas, maka hipotesis peneliti dalam disertasi ini adalah sebagai berikut. 1.
Hubungan Indonesia-Mesir tidak berlangsung resiprokal karena Indonesia lebih memandang penting Mesir, sedangkan Mesir belum memberikan perhatian yang serupa.
2.
Indonesia memandang penting Mesir karena Mesir memiliki posisi tawar yang lebih tinggi daripada Indonesia. Sementara itu, Mesir memandang sebelah mata Indonesia, karena Mesir tidak memiliki kepentingan yang berarti di Indonesia.
3.
Untuk memajukan hubungan bilateral dan meningkatkan kerja sama yang resiprokal, Indonesia perlu menunjukkan kelasnya sebagai negara yang patut diperhitungkan oleh Mesir.
1.7 Metodologi Penelitian Metodologi adalah ilmu tentang metode, sedangkan metode merupakan cara kerja dalam melakukan kegiatan penelitian. Karena itu, agar kegiatan penelitian dapat berjalan dengan lancar tanpa hambatan sedikit pun, diperlukan
29
ilmu yang berkaitan dengan metode dan juga diperlukan metodenya. Untuk tu, di bawah ini dikemukakan prinsip-prinsip dasar yang berkaitan dengan metodologi dan metode, yaitu yang dapat dijelaskan di bawah ini, yaitu sebagai berikut. 1.7.1 Metode Penelitian Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah deskriptif analitik, yaitu penelitian yang bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang realitas pada objek yang diteliti secara objektif dan komprehensif. Data-data yang diperoleh diklasifikasikan sesuai dengan bidangnya masing-masing dan dianalisis serta disajikan dengan menguraikan bagian-bagian masalah secara logis dan komprehensif. Objek penelitiannya pun diuraikan secara terperini, sistematis, dan runtut sesuai dengan identifikasi masalah yang
telah ditentukan di awal
penelitian. 1.7.2 Jangkauan Penelitian Penelitian ini berfokus pada hubungan dua negara, yaitu Indonesia dan Mesir, mencakup segala bidang, yaitu bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya, dan lain sebagainya. Sementara itu, untuk rentang waktu, peneliti membatasi fokus penelitian dimulai pada tahun 1950 hingga 2010. Alasan logis dipilihnya tahun 1950 sebagai titik awal penelitian karena pada tahun tersebut pemerintah Indonesia berhasil membuka perwakilan di Kairo, yang pada tahun berikutnya, 1951 diikuti oleh Mesir dengan membuka perwakilan di Jakarta. Alasan logis terkait pembatasan fokus penelitian sampai tahun 2010, karena pada tahun tersebut, Mesir mulai memasuki sejarah dan kondisi pemerintahan yang baru, yang ditandai dengan berakhirnya kekuasaan Presiden Hosni Mubarak.
30
1.7.3 Jenis dan Sumber Data Jika dilihat dari aspek data yang digunakan, penelitian ini termasuk kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian, yang terkaitan dengan perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan aspek lain secara holistik. Yang dideskripsikan dalam bentuk kata-kata, pada suatu konteks khusus yang alamiah dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleog, 2012:6). Menurut William D. Coplin, sumber data yang memungkinkan untuk dimiliki para sarjana politik internasional adalah (1) dokumen-dokumen tertulis yang dihasilkan dari tindakan pemerintah atau tindakan aktor-aktor lain yang berkaitan dengan peristiwa tertentu; (2) pernyataan-pernyataan politik publik atau perorangan dan tulisan-tulisan mereka yang berkaitan dengan perumusan kebijakan luar negeri; (3) publikasi dari lembaga-lembaga yang bertugas mencatat aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan masalah luar negeri; (4) pendapat atau komentar para ahli yang pengetahuan dan pemahamannya terhadap peristiwa atau proses tertentu dianggap sudah diakui (Coplin, 2003:19). Karena itu, data yang diperoleh selama penelitian berasal dari dua sumber utama, yaitu: a. Sumber Primer Sumber primer berupa data asli yang diperoleh langsung dari tangan pertama yaitu naskah perjanjian dan data yang didapatkan melalui observasi (pengamatan), pertemuan langsung saat berdiplomasi dan wawancara dengan tokoh-tokoh pelaku/saksi yang mengalami atau memiliki informasi.
31
b. Sumber Sekunder Sumber sekunder berupa data yang mengutip dari sumber lain, seperti laporan tahunan KBRI Kairo, naskah pidato, jurnal, koran, majalah, karya ilmiah, makalah, buku dan tulisan-tulisan lain yang relevan dengan topik bahasan. 1.7.4 Pengumpulan Data Ada beberapa cara yang dilakukan peneliti untuk mengumpulkan data yang akan disajikan dalam penelitian ini, yaitu: a. Observasi dan Pengamatan Langsung. Profesi peneliti sebagai diplomat, yang dipercaya menjadi Kepala Perwakilan RI (Duta Besar LB/BP) di Mesir, masa tugas 2007-2011 mempermudah peneliti untuk melakukan pengamatan yang mendalam terhadap dinamika hubungan Indonesia-Mesir. Pengamatan dilakukan di berbagai kesempatan, baik ketika berinteraksi dengan pejabat RI ataupun saat berhadapan dengan masyarakat Indonesia yang berdomisili di Mesir. Pengamatan juga dilakukan saat berinteraksi dengan pejabat dan masyarakat Mesir sendiri tentunya. b. Studi Kepustakaan Informasi yang bersumber dari pustaka, peneliti peroleh dari laporan tahunan KBRI Kairo, naskah perjanjian, naskah pidato, jurnal, koran, majalah, karya ilmiah, makalah, buku dan tulisan-tulisan lain yang relevan dengan topik bahasan. c. Wawancara Untuk memperkaya data penelitian, peneliti melakukan wawancara kepada beberapa tokoh. Wawancara ini diharapkan dapat melengkapi data yang ada, di
32
samping observasi dan studi pustaka. Wawancara ini juga dimaksudkan untuk menggali informasi lebih dalam, jujur dan obyektif untuk keperluan informasi. Para tokoh yang dipilih adalah mereka yang dianggap dapat memberikan informasi terkait dengan hubungan Indonesia-Mesir. Tokoh-tokoh yang berhasil dimintai pendapatnya antara lain beberapa mantan Menteri Luar Negeri RI yang masih hidup yaitu Dr. N. Hassan Wirajuda dan Prof. Dr. Alwi Shihab, dan beberapa mantan Kepala Perwakilan RI di Mesir yang masih hidup, seperti Dr. Boer Mauna, Dr. N. Hassan Wirajuda, Prof. Dr. Quraish Shihab dan Prof. Dr. Bachtiar Aly serta beberapa tokoh yang pernah tinggal di Mesir dan dipandang mengetahui hubungan Indonesia-Mesir, seperti KH. Musthofa Bisri dan Prof. Dr. Nabilah Lubis, ditambah lagi beberapa warga Mesir yang tinggal dan mengambil kuliah di Indonesia, seperti Dr. Mahmud Hamzawi. 1.7.5 Pengolahan dan Analisis Data Semua data yang terkumpul dalam penelitian ini disajikan dalam bentuk deskripsi kata-kata yang dilengkapi dengan analisis yang tajam. Dalam proses analisis data ini melalui beberapa tahap, yaitu meliputi: (1) klarifikasi dan kategorisasi data, (2) penyajian data, (3) interpretasi secara kualitatif untuk memperoleh temuan penelitian yang bermakna luas terkait ketimpangan hubungan Indonesia-Mesir. Analisis data dilakukan dengan menggunakan tipe analisis deskriptif, normatif dan preskriptif. William D. Coplin menjelaskan tipe analisis tersebut sebagai berikut (Coplin, 2003:3-4). Analisis deskriptif, yaitu analisis yang bertujuan untuk mendeskripsikan apa yang ada atau apa yang sudah ada. Analisis ini menyajikan suatu fotokopi dari
33
peristiwa tertentu atau menjelaskan apa yang telah terjadi. Analisis normatif yaitu analisis yang bertujuan untuk membuat penilaian (eksplisit atau implisit) terhadap apa yang dianggap eksis atau yang eksis berdasarkan nilai-nilai yang dimiliki. Sementara itu, analisis preskriptif yaitu analisis yang bertujuan untuk memunculkan saran atau anjuran tentang langkah atau tindakan apa yang harus diambil dalam merealisasi nilai-nilai.
1.8 Sistematika Penulisan Penelitian untuk disertasi ini disajikan dalam 5(lima) bab. Bab I Pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, hipotesis, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II membahas potensi Indonesia dan Mesir dalam kerjasama dua negara. Pembahasannya meliputi Letak Geografis Indonesia dan Mesir, Potensi Ekonomi Indonesia dan Mesir, Situasi Pertahanan dan Keamanan di Dua Negara, dan Sumber Daya Penduduk di Dua Negara. Sementara itu, pada bab III membahas Resiprositas Hubungan Diplomatik Indonesia-Mesir. Pembahasannya meliputi Latar Belakang Hubungan IndonesiaMesir, Interaksi Politik Indonesia-Mesir, Formasi Perwakilan Diplomatik dan Intensitas Kunjungan Kedua Negara, dan Hubungan Ekonomi dan Perdagangan. Bab IV membahas beberapa faktor penyebab ketimpangan hubungan IndonesiaMesir. Pembagasannya meliputi Identitas dan Citra Mesir, Sejarah Hubungan Masyarakat Dua Negara, dan Prioritas Politik Luar Negeri Indonesia dan Mesir. Bab V membahas usaha membuat hubungan Indonesia-Mesir berjalan resiprokal.
34
Pembahasannya meliputi Meninjau Kebijakan dan Strategi Hubungan dan Kerjasama Dua Negara dan Meningkatkan Kualitas Diplomasi. Adapun bab VI merupakan kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan.