1. Bapak, Mbak Mila, dan Kak Donna Sebelum bekerja di koran harian Magna sebagai penulis naskah iklan untuk halaman klasika, Bri sempat bekerja sebagai sekretaris manager, di sebuah perusahaan pupuk. Pak Direktur, Moyanez Soya, pengusaha pupuk dan juga pejabat di Kamar Dagang dan Industri, sebuah lembaga negara yang berfokus pada bidang industri. Orang-orang kantor menyebutnya dengan sebutan “Bapak”. Ia membawahi tiga perusahaan besar dalam naungan Soya Grup: perusahaan pembuatan album foto yang dikelola oleh istrinya, Dimar Soya, perusahaan plastik di Surabaya, yang dipegang oleh salah satu kerabatnya, dan perusahaan pupuk nasional, dipimpin oleh Bapak langsung. Keluarga ini juga memiliki hotel di kawasan Puncak, yang dikelola oleh kerabat Ibu Dimar. Bapak memiliki dua sekretaris. Satu untuk mengatur urusan di perusahaan sendiri, satu untuk urusan kantor pemerintahan. Meskipun bertugas untuk menangani pekerjaan yang berbeda, namun kedua sekretaris Bapak dituntut untuk mengetahui dan mengerti segala urusan di dua kantor tersebut. Putri Bapak, Lolita Soya, sepulang dari Boston, Amerika Serikat, turut mengembangkan perusahaan pupuk milik ayahnya, dan Bri, adalah sekretaris Lolita. Di lantai dua kantor itu, terdapat tiga ruangan yang masing-masing dilengkapi dengan meja kerja besar untuk tiga sekretaris, Kak Donna, Mbak Mila, dan Bri. Meja kerja Kak Donna dan Mbak Mila menempel dan berjejer membentuk huruf L. Sementara meja kerja Bri berseberangan dengan meja kerja mereka berdua, letaknya tepat di depan pintu ruang kerja Lolita. Kak Donna adalah sekretaris senior, usianya mendekati 35 tahun. Perawakannya tinggikurus. Wanita berkulit putih dan menarik ini selalu kelihatan modis. Dia juga smart. Mbak Mila, menginjak usia 30 tahun. Wajahnya manis, kulitnya kuning langsat, semampai dan berisi–semok–dan suka tampil seksi. Wangi parfumnya selalu merebak kemana-mana. Tanpa pewangi ruangan pun, aroma Mbak Mila sudah membuat ruangan wangi. Semua orang di kantor mengenali kehadirannya dari bau parfumnya. Dan dengar-dengar, gaji Mbak Mila paling tinggi dari semua karyawan Bapak. Selama bekerja di kantor itu, Bri belajar untuk membaca dan mengenali situasi. Ia mulai “mencatat” di benaknya beberapa hal yang “terbaca” di kantor itu. Karakter Kak Donna, Mbak Mila, Bapak, serta Lolita. Bri mengobservasi dan menyerap semuanya. Lolita, tampaknya tidak terlalu bersungguh-sungguh dengan posisinya itu. Kata Mbak Mila, sebetulnya dia kuliah di Boston tidak sampai selesai. Sifatnya pemalas. Kerjanya cuma shoping. Tidak heran, jika di kantor itu, seringnya, Bri malah bekerja sebagai sekretaris Bapak, bukan sebagai sekretaris Lolita. 1
Ternyata, bukan cuma berkas-berkas kerja dan menulis surat bisnis yang diurusi Bri, tapi ia juga musti belajar menahan diri, terhadap segala sesuatu yang ia lihat dan dengar di kantor itu. Salah satunya adalah, ketika suatu kali, Bri melihat Bapak keluar dari toilet. Gelagat itu terlihat aneh bagi Bri, pasalnya, tanpa risih sedikit pun, Bapak menutup resleting celananya di depan Mbak Mila, seolah-olah itu hal yang wajar. Bagi Bri, itu tak wajar. Itu seharusnya tidak dilakukan seorang direktur perusahaan yang notabene pejabat eselon pula, di hadapan siapa pun, kecuali istrinya. Bri juga mengamati, hubungan Kak Donna dan Mbak Mila begitu dingin, padahal meja kerja mereka berdekatan. Itu terlihat dari cara mereka bekerja dan bekerjasama. Mereka hampir tidak pernah berkomunikasi verbal. Pesan-pesan penting hanya ditulis di posteed yang ditempel di meja kerja masing-masing tanpa ada diskusi lebih lanjut. Kaku dan dingin. Rasanya bukan karena mereka saling bersaing untuk merebut hati Bapak, melainkan karena ada sesuatu di balik hubungan mereka yang dingin itu. Bri juga mengingat kejadian di suatu sore. Hari itu, Mbak Mila mengenakan blazer dan pantalon berwarna ungu muda, dengan dalaman blazer dari bahan silk yang berpotongan rendah. Saking rendahnya, buah dadanya hampir mengintip bahkan terlihat kalau dia sedang menungging. Dan, ya ampun, dia tidak memakai bra! Waktu itu, jam menunjukkan pukul setengah enam sore, ketika Bapak datang ke kantor, usai menghadiri pertemuan bisnis dengan para pengusaha ASEAN di Singapura. Ruangan di lantai dua memang sepi, karena hanya ada Bri dan Mbak Mila. Kak Donna sedang bertugas di kantor Kadin, dan Lolita hanya sewaktu-waktu saja ngantor. Sementara Bri sedang mempelajari arsip-arsip perdagangan ketika Bapak berjalan menaiki tangga. Bri mengenali langkahnya, karena mejanya berhadapan langsung dengan tangga. Saat itu, Mbak Mila baru saja selesai berias, melapisi bibirnya yang penuh dengan lipstik merah yang menggoda−berias usai jam kantor adalah kebiasaan Mbak Mila. Bapak berjalan menuju ruangannya, kemudian menutup pintu. Lima menit kemudian terdengar tombol meja Mbak Mila berbunyi. Yang unik di kantor ini, Bapak selalu memanggil sekretarisnya melalui tombol yang akan berbunyi di meja kerja masing-masing. Jarang sekali beliau memanggil lewat telepon interkom. Mbak Mila masuk ke ruangan Bapak, dan menutup pintu rapat-rapat. Sepi. Bri tidak mendengar satu pun percakapan dari dalam ruangan. Hati Bri agak bergemuruh, berprasangka yang bukan-bukan, tapi ia segera menepisnya. Pamali kalau sampai su'udzon dengan orang lain, hatinya mengingatkan. Setelah hampir empat puluh lima menit berada di dalam ruangan Bapak, akhirnya Mbak Mila keluar dengan tubuh yang terlihat agak lemas. Lipstik merah yang mengecat bibirnya barusan, mendadak pudar dan hanya menyisakan warna bibirnya yang merah muda. Habis 2
melumat sesuatu, atau dilumat sesuatu? Lagi-lagi pikiran nakal Bri gentayangan. Dan, ya ampun, rambutnya yang tadi tersanggul rapih kelihatan berantakan tidak karuan. Ya Tuhan, apa yang terjadi di dalam? Bri pura-pura buta, meskipun hatinya seperti menyimpulkan sesuatu. Ah, Mbak Mila mungkin masih menganggapnya remaja belia yang baru belajar kerja. Sikap itu terlihat dari caranya memperlakukan Bri. Pikirnya, Bri cuma penjaga meja Lolita yang menunggu dering telepon. Setelah itu, Bapak menyusul keluar. Terlihat gagah dan segar. Tak seperti tadi, tampak loyo waktu berjalan menaiki tangga. Tubuh pria berusia 60-an ini mendadak seperti baru mendapatkan energi tambahan. Sore yang aneh. Kejadian seperti itu berulangkali terjadi. Setidaknya sudah tiga atau empat kali sejak Bri memasuki bulan yang kedua bekerja di kantor itu. Pada akhirnya, Bri mengetahui apa yang tengah terjadi. Dan ternyata, semua orang di kantor itu sudah mengetahui apa yang sesungguhnya telah terjadi, tapi semua pura-pura buta. Termasuk istri Bapak, yang masih menjalani pengobatan diabetes dan harus bolak-balik Jakarta-Singapura untuk berobat. Kasihan. Ucapan Kak Donna pada suatu hari, seperti mengonfirmasi apa yang Bri tangkap sebagai “sesuatu” di kantor itu. “Bri, kalau kamu melihat sesuatu, anggap saja seperti angin lalu, ya?” “Maksudnya melihat sesuatu apa, Kak?” Bri balik bertanya. Ia mengerti arah pembicaraan dan maksud Kak Donna, tapi ia pura-pura tidak tahu. “Yah, kamu kan sudah hampir tiga bulan di sini, dan kamu sudah bisa baca situasinya, kan? Saya lihat kamu cukup smart mencermati semuanya.” Bri tersenyum, tanpa memberikan komentar. Bri juga kerap mendengar celotehan nakal para supir di lantai bawah. Malah kadangkadang, mereka meledek Bri dengan candaan yang menyindir “dua orang” di kantor itu. “Nggak lembur, Mbak Brita? Lembur dong, sampai jam satu malam kayak Mbak Mila. Bapak senang lho, kalo ditemani “pisang goreng””, ujar mereka sambil senyum-senyum penuh arti. ’Tahu kan “pisang goreng”?” tanya mereka nakal.
***
Hari berikutnya, Bri datang sangat pagi. Lebih pagi dari biasanya. Saat Iyan, petugas kebersihan masih membersihkan lantai dua.
3
Bri langsung menuju ruangan Bapak, untuk memeriksa berkas-berkas yang didisposisikan Bapak kepada semua sekretarisnya. Sesuai peraturan yang berlaku bagi para sekretaris, siapa yang lebih dulu tiba di kantor, maka dialah yang harus mendistribusikan berkas-berkas tersebut ke meja setiap sekretaris. Itu sebabnya ruang kerja Bapak dan Lolita tidak pernah dikunci. Biasanya, setelah dari pertemuan bisnis atau kantor Kadin, Bapak masih mampir ke kantor untuk memberikan disposisi kepada masing-masing sekretaris. Dan itu berupa intruksi mengenai apa yang harus dikerjakan keesokan harinya. Intruksi itu ditulis dengan tinta merah, ditujukan kepada setiap sekretaris dengan inisial yang Bapak tulis di setiap berkas. Bri mengecek meja kerja Bapak. Tidak ada disposisi yang ditujukan kepadanya. Tidak ada inisial namanya di atas kertas-kertas kerja itu, kecuali DN, berarti untuk Kak Donna, dan ML, berarti untuk Mbak Mila. Bri sendiri memiliki inisial BR. To DN, Hubungi Pak Ruby untuk sager menindaklanjuti dengan Kadin Singapore. ML, Atur meeting dengan Mr. Kojima di Restauran Shebuno.
Bri memegang berkas-berkas itu, dan untuk pertamakalinya menjelajah ruang kerja Bapak yang cukup besar. Ada sofa hitam yang berhadapan langsung dengan pintu masuk ruangan, lengkap dengan meja kaca berbentuk persegi. Di dinding sebelah kanan dari arah meja kerja Bapak, terdapat lemari kaca berisi plakat-plakat dan beragam suvenir dari luar negeri. Di sebelah lemari kaca, terdapat lemari kayu berukuran besar dengan deretan buku-buku tebal, dari yang berbahasa Latin sampai berbahasa Inggris yang berseri. Selebihnya, buku biografi tokoh-tokoh terkenal. Meja kerja Bapak penuh. Banyak tumpukan arsip, majalah, dan kertaskertas kerja serta bolpoin yang selalu berada di tempatnya. Foto Bapak bersama para pengusaha ASEAN terpajang di dinding sebelah kanan. Meja kerja Bapak yang berukuran besar itu berdiri di atas karpet beludru berwarna merah. Area itu masih meninggalkan ruang yang sangat lapang, kira-kira cukup untuk bisa dipakai tidur dua orang. Hm, Bri terpaku sejenak di situ. Pikirannya nakal membayangkan Mbak Mila dengan Bapak, dan kejadian sore itu―Ah, tak usah dibahas. Di belakang meja kerja, terdapat pintu yang tidak pernah ditutup. Ini sepertinya ruangan yang tidak pernah terpakai, karena hanya diisi dengan meja berbentuk persegi. Bri menyalakan lampu ruangan dan mencium bau yang khas. Seperti keringat bercampur wewangian. Pikirannya nakal kembali membayangkan Mbak Mila dan Bapak―Tak perlu dibahas! Di ujung ruangan itu, terdapat pintu menuju ruangan besar dengan meja panjang, dan satu televisi besar, serta sebuah pintu 4
lain yang tembus menuju meja kerja Kak Donna. Ruangan inilah yang sering dipakai untuk pertemuan bisnis. Di sinilah biasanya Bapak dan Lolita menerima tamu-tamu mereka. Bri mematikan lampu dan segera beranjak dari ruangan Bapak. Setelah beberapa waktu, Bri mulai berpikir ulang tentang pekerjaan dan keberadaannya di kantor itu. Juga tentang hal lain. Mungkin memang ada hubungan yang khusus antara Bapak dengan Mbak Mila. Tapi Bri tidak tertarik ingin tahu lebih jauh. Ia juga tak mungkin pura-pura buta terhadap situasi yang lambat laun ‘mengganggu’ itu. Bersikap biasa-biasa saja terhadap tingkah Mbak Mila yang kadang-kadang tidak profesional? Duh, Mbak Mila sering membiarkan telepon di mejanya berdering lama, dan asyik mengecat kukunya, sehingga Bri mau tak mau yang tengah sibuk menyiapkan surat bisnis, harus setengah berlari mengangkat telepon tersebut. Berada di tengah-tengah konflik internal antara Kak Donna dan Mbak Mila, lambat laun juga membuat Bri tak nyaman. Dan, hm, menjadi sekretaris eksekutif dari seorang Lolita, manager malas yang tidak mengajarinya sesuatu, bahkan tidak membuatnya belajar tentang hal-hal baru, rasanya cuma buang-buang waktu. Pernah suatu kali, Mbak Mila sepertinya kelepasan bicara tentang hubungan khususnya dengan Bapak, dan itu membuatnya mendadak merasa rikuh terhadap Bri selama berhari-hari. Bri menanggapinya santai, dan bersikap pura-pura tidak menyadarinya. Sore itu, sambil menatap meja-meja kosong di seberang meja kerja Bri, pikiran Bri tertuju kepada sosok-sosok yang setiap hari ia lihat bertengger di sana. Tidak sedikit wanita kantoran di luar sana, yang bersikap dan membawa diri seperti Mbak Mila, dan tidak sedikit pula alasan yang menyertainya, mengapa mereka melakukan itu: memiliki affair dengan bos. Begitu juga dengan Kak Donna. Ia wanita yang memendam tekanan besar, dan mengabaikan emosinya yang pedih. Namun ia menutupinya dengan cara berpenampilan ekslusif, cantik, memupuk hubungan dengan pejabat-pejabat negara, dan berbangga hati berada di lingkungan high class. Tapi sebetulnya, dia kesepian. Rapuh di dalam. Sesungguhnya, banyak orang yang tengah terluka di tengah masyarakat yang terluka ini. Sakit mereka tak terlihat oleh mata telanjang tetapi sebenarnya dapat dilihat dan dirasakan. Diam-diam, Bri menyiapkan surat pengunduran dirinya. Ia sudah menyimpan draft surat itu di komputernya. Tepat seminggu sebelum pengunduran dirinya, sesuatu terjadi. Kak Donna dan Mbak Mila bertengkar hebat sampai saling menjambak rambut! Itu terjadi di pagi hari, ketika Iyan, petugas kebersihan, akan menaruh tisu dan kamper di toilet lantai dua. Serta merta Iyan melaporkannya kepada Bu Erna, Kepala Personalia di lantai satu. Saat itu, Bri sedang berada di lantai satu. Melihat gelagat yang tak baik, Bri segera ikut naik 5
ke atas bersama- sama dengan Bu Erna. Suara-suara bentakan sudah terdengar dari tangga. Bri dan Bu Erna mempercepat langkahnya, dan melihat keduanya sedang saling berkacak pinggang. Masing-masing mengeluarkan celaan yang paling kasar yang pernah Bri dengar. “Daripada kamu, perek, pelacur, cuma bisa jual m***k!” Kata-kata Kak Donna melengking keras. “Eh, masih mending gue ya, daripada elo, nggak laku-laku. Dasar perawan tua!” ujar Mbak Mila tidak kalah sengit. Ya Tuhan, Bri pedih mendengarnya. Bri dan Bu Erna berhasil melerai. Beberapa hari setelah kejadian yang mengundang bisik-bisik semua orang di kantor, siang menjelang waktu istirahat, Bri menghadap Bu Erna untuk memberikan surat pengunduran dirinya. Ruang kerja karyawan di lantai bawah berada dalam suatu ruangan besar, dengan meja-meja kerja yang berjejer tanpa sekat. Meja kerja setiap Kepala Bagian sedikit lebih besar, dan letaknya juga agak berjarak dari para bawahannya. “Saya mengerti.” Bu Erna mengangguk mengerti. “Terima kasih untuk kesempatan bergabung di kantor ini. Maafkan, kalau saya tidak melanjutkannya setelah masa percobaan selesai.” “Saya mengerti Bri,” katanya sekali lagi. Sore menjelang usai jam kerja, dari meja kerjanya, Bri memanggil Mbak Mila. Mbak Mila hanya mengangkat wajahnya ke arah Bri. “Belum pulang?” tanya Bri seraya membereskan meja kerjanya. “Belum,” ujarnya singkat, dan datar. “Kok, loyo begitu? Biasanya ber-make-up.” Mbak Mila hanya diam saja. Bri menghampiri Mbak Mila, menarik satu kursi, kemudian duduk dekat Mbak Mila. “Ada apa, Bri?” tanyanya datar. “Nggak ada apa-apa. Cuma mau berpamitan. Aku resign per hari ini.” “Karena aku, ya? Karena kejadian itu?” tanya Mbak Mila yang terlihat tidak terlalu kaget dengan rencana pengunduran Bri. “Sebetulnya, nggak ada sangkut pautnya sih, sama Mbak Mila. Yang benar adalah, aku nggak enjoy dengan pekerjaanku. Kayaknya kok ini bukan aku banget.” Mereka mengobrol. Lambat laun, suasana menjadi lebih cair. Sebelum berpisah, Bri memberikan satu bingkisan buat Mbak Mila. Sebuah buku. Bri berdoa, semoga buku itu memberikan pencerahan bagi Mbak Mila. Nice to meet you, Mbak.” 6
Mbak Mila menarik nafas panjang. “Sampai ketemu lagi, Bri. Good luck ya. Terima kasih buat ini,” Mbak Mila mengacungkan bingkisan dari Bri. Tidak ada Kak Donna saat itu. Dia hampir selalu bertugas di kantor Kadin, dan jarang sekali kembali ke kantor induk. Tapi Bri sudah mengiriminya e-mail, dan akan menelponnya besok untuk berpamitan. Bapak dan Lolita tidak memberikan komentar apa pun ketika Bri menyampaikan pengunduran dirinya secara lisan beberapa hari lalu. Bri meninggalkan kantor itu. Dan ia tak akan pernah kembali lagi ke sana. Namun, Bri tak menyadari, bahwa tindakan sederhananya itu, memberi buku pada Mbak Mila, telah menuntun wanita berparas manis itu pada satu keputusan drastis dalam hidupnya kelak.
2. Sabtu Sore yang Berbeda Di bulan Maret tahun 2006, penginjil terkenal dari Amerika melakukan tour pelayanannya ke beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Evangelis itu memimpin Kebaktian Kebangunan Rohani, acara keagamaan bagi umat Kristiani di sebuah lapangan dekat pantai karnaval Ancol, Jakarta. Waktu itu, Bri sebetulnya tidak berniat untuk pergi ke sana. Tetapi kenyataannya, Bri bersama mama dan tantenya berada di sana pada Sabtu siang yang terik, bergabung dengan ribuan orang dari penjuru Jakarta dan sekitarnya. Menjelang petang, cuaca perlahan-lahan menjadi teduh dengan semilir angin yang berhembus pelan. Suara helikopter yang berputar-putar di atas menyipratkan sedikit air sehingga seperti gerimis yang menyerap panas. Bri merasa ada sesuatu yang menjalar di hatinya. Pelan dan lembut. Sesuatu yang tampak aneh, tidak terdeskripsikan, namun teduh, dan mendamaikan. Sejak berangkat dari rumah, hati kecilnya meyakini, ada sesuatu yang akan dia dapatkan pada kebaktian itu, tapi entah apa. Tepukan tangan dan sorak-sorai orang-orang makin menggemuruh, menyaksikan orang-orang yang sembuh dari sakitnya. Penginjil yang berbaju putih-putih itu merentangkan tangannya, berdoa, kemudian meminta setiap orang bergandengan tangan untuk menerima urapan berkat. “Tuhan akan memulihkan bangsa ini. Sekarang, bersiaplah agar Anda mendapatkan pengurapan dari Roh Kudus, untuk menjadi terang bagi bangsa ini. Berdoalah bagi bangsa Anda, agar dipulihkan.” Penginjil itu mengajak hadirin untuk bergandengan tangan satu sama lain. Sementara setiap orang berpegangan tangan, hati Bri bergemuruh oleh sesuatu. Kuat, tapi terasa damai. Setiap ujung jari kaki dan tangannya seperti tersengat listrik pelan-pelan.
7
Ketika Bri mulai berdoa, serta merta Bri seperti memasuki ruang bercahaya terang. Sangat terang, dan ia tak tahu di mana itu. Hanya ada cahaya. Dan saat itu, Bri melihat sesuatu. Sesuatu yang hanya dilihat oleh dirinya sendiri, seolah-olah penampakan itu hanya ditujukan kepadanya.
Dalam
penampakan
itu,
―orang-orang
kristen
sering
menyebutnya
penglihatan―ia melihat bulatan sebesar bola voli yang berputar-putar perlahan. Bola yang mirip globe itu, tak lain adalah bumi. Bumi yang sedang berputar di awang-awang, di langit, di antara taburan bintang. Bri melihat gambar hijau dan biru menghiasi permukaan globe itu. Kemudian, ia melihat rangkaian kepulauan yang membentang panjang, melekat di atas permukaan globe. Bri mengamatinya dari ujung ke ujung. Ia mengenali betul kepulauan itu. Kemudian cahaya itu perlahan redup dan menghilang, menyisakan kedamaian di hati Bri. Bri sadar akan apa yang dilihatnya. Air mata Bri mengalir. Bri memutuskan untuk tidak menceritakan apa yang dilihatnya tadi. Sesuatu yang akan menimpa bumi di masa depan. Sesuatu yang akan terjadi di kepulauan yang dilihatnya barusan. Peristiwa itu, telah menyentuh kesadarannya sebagai manusia, sebagai Bri, bahwa sesuatu yang besar sedang Tuhan rencanakan baginya. Juga bagi bangsanya. Jamahan itu telah memberikan Bri suatu karunia, yang terus mengiringinya. Bri, menjadi pelihat−karunia untuk dapat melihat hal-hal yang supranatural− sejak sore itu. Kata orang, indra keenam. Dan itu berfungsi dalam diri Bri.
3. Magna dan Sang Pecatur Meski agak “sakit” di dalam, namun koran harian Magna masih memiliki reputasi. Bri melamar sebagai jurnalis di koran ini, dan mengikuti tahap seleksi yang demikian ketat dan berat. Dan, tentu saja menantang. Itulah yang paling Bri sukai. Setelah melewati setiap tahap seleksi dengan baik dan mengikuti pelatihan jurnalistik selama enam bulan, Bri lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Itu semakin menegaskan bakat dan minatnya. Bri ditempatkan pada desk metro, meliput hal-hal yang bersifat humanis, untuk mengisi kolom feature, bertajuk “Catatan Pinggir Mag”. Bri menyukai tugasnya, karena itu membuatnya dekat dengan hal-hal yang tak tersentuh, yang tidak terlalu diperhatikan orang banyak, dekat dengan kehidupan masyarakat pinggiran, seperti para penjual sayur di Pasar Induk, anak-anak jalanan, petugas patroli rel kereta api, dan seribu satu hal lain yang membuatnya akrab dengan sisi kemanusiaan. Tampaknya, Bri membawa angin segar. Tulisannya banyak disukai orang, khususnya pembaca koran Magna. Banyak e-mail masuk ke redaksi untuk memberi komentar positif tentang kolom yang diasuhnya. Namun baru saja dua tahun berjalan Bri mengelola kolom tersebut, tiba-tiba muncul suatu kebijakan dan strategi 8
baru dari direktur komersial yang baru. Konsekuensinya adalah pemutasian beberapa jurnalis ke departemen iklan. Pasalnya, dalam kebijakan tersebut, dibuat suatu ketentuan bahwa departemen iklan mutlak harus memiliki suatu tim penulis yang akan mendukung para marketingnya. Sejak saat itu, Bri bertugas di departemen iklan koran Magna sebagai penulis naskah iklan. Tulisan-tulisan reflektif kemanusiaannya berubah menjadi tulisan yang berbau komersial untuk mendukung promosi produk perusahaan yang beriklan di koran Magna. Magna Media, sempat berjaya puluhan tahun lalu. Koran Magna selama beberapa dekade menempati urutan pertama dalam tiga besar jurnal nasional yang paling banyak dibaca dan dipercaya. Magna Media sendiri berada dalam naungan Grup Magna dengan empat anak perusahaan lainnya, Magna Publishing, Magna Percetakan, Magna Broadcast, dan Magna Catering Service. Bahkan dulu, kabarnya, Magna secara sukarela membagi-bagi “kue iklannya” kepada kompetitor tangguhnya, koran harian Comma. Kini, situasinya tengah terbalik. Comma makin berkibar, dan Magna berada di urutan beberapa tingkat di bawahnya. Survei dari lembaga survei yang digunakan manajemen untuk mereposisi Magna menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Hasil itu dibagikan kepada orang-orang tertentu dan menjadi rahasia internal. Saat meeting internal dengan Pak Direktur Komersial, kebisuan menyelimuti seluruh ruangan. Tak satu pun yang berkomentar terhadap hasil survei, kecuali menarik nafas dalam-dalam. Grafik memperlihatkan peringkat Magna yang semakin menurun di jajaran koran-koran nasional. Itu tergambar dari jumlah pembaca, oplah, iklan, opini publik, pelanggan, dan preferensi lainnya. Setiap account executive, terpaksa berbohong tentang berapa besar jumlah oplah, setiap kali mereka melakukan presentasi kepada para klien prospek. Menyedihkan! Benar-benar menyulut krisis percaya diri yang mematikan. Kejayaan masa lalu hanya tinggal cerita. Setiap orang di kantor itu yang pernah mengecap kejayaan masa lalu hanya bisa berkomentar “kalau dulu…kalau dulu…” Selalu begitu, cuma sampai di kata-kata “dulu”. Kinerja Magna menurun sejak kepergian Boedaya Susanto, Sang CEO, yang memiliki pengaruh kuat dan ketajaman visi. Ketika beliau wafat beberapa tahun lalu, kerajaan bisnis Magna berpindah kepada putra mahkota, Bhakti Susanto. Kepemimpinan ayah dan anak ini bagaikan langit dan bumi. Tanpa banyak pertimbangan, Bhakti Susanto menarik teman bisnisnya, seorang konglomerat properti yang berpengaruh, untuk menanamkan sahamnya pada tubuh Magna. Namun semuanya tak seperti yang diharapkan. Akibatnya, misi-misi yang mendukung kelanjutan visi mulai bergeser, dan tongkat kepemimpinan yang kini dipegang putra mahkota tidak menjadi pilar yang kuat bagi perusahaan. 9
Lalu, krisis global menghantam. Tidak ada cara lain untuk membuat Magna bertahan, dan menghindari PHK besar-besaran kecuali –sekali lagi– menerima suntikan dana besar dari sang konglomerat. Deal bisnisnya adalah, konglomerat terkenal itu, —orang-orang di kantor menjulukinya Sang Pecatur (SP), punya otoritas penuh untuk menempatkan orang-orangnya pada divisi-divisi paling vital di tubuh sebuah koran. Salah satunya adalah direktur komersial yang mengubah kebijakan dengan menarik beberapa jurnalis ke departemen iklan sebagai penulis naskah iklan. Pada awalnya ide ini dipandang baik, karena departemen iklan bagaimanapun juga akan jauh lebih baik jika memiliki tim penulis sendiri. Namun pada akhirnya, setiap orang mulai dibebani dengan target-target yang tidak realistis, dan menjurus pada pemaksaan kehendak. Para senior yang berada di kubu managemen lama, tidak begitu saja menerima keadaan. Mereka melawan, membangkang dan mempertahankan orisinalitas tubuh sebuah media. Para senior menilai, orang-orang ini, orang-orang yang dikeluarkan dari “kantong” SP sendiri, sebenarnya bukan orang-orang yang tahu menahu tentang dunia media. Mereka sok tahu tentang media, dan berlagak menjadi pemimpin redaksi, direktur ini dan itu, yang cuma bisa berfoto bareng presiden, demi sebuah pencitraan palsu. Deal lain yang juga tak kalah membahayakan bagi Magna adalah, SP boleh mengatur arah pemberitaan, sehingga lamakelamaan Magna dipakai sebagai corong bisnisnya semata. Merger bayangan yang dibuat antara SP dengan pihak managemen, mengundang reaksi orang-orang yang berusaha untuk bertahan dan mempertahankan Magna. Mereka “adu panko” dan sering terlibat “tarik tambang” untuk arah pemberitaan. Insting jurnalis Bri mencium gelagat yang tak baik itu.
***
Bri berdiri menatap dua pohon di hadapannya. Pohon yang satu sangat besar dan rindang, pohon yang lain, berukuran kecil dengan daun dan carang-carang yang panjang. Anehnya, seperti seakan-akan bernyawa nyata, carangcarang pohon yang kecil itu bergerak menyusup di antara rerimbunan pohon besar dan melilit carang-carang pohon besar, sehingga carang-carang kedua pohon itu saling menyilang. Dedaunan pada bagian kanan pohon yang besar itu, tampak bolong-bolong digerogoti ulat bulu yang gemuk-gemuk. Ada tiga ulat bulu gemuk yang Bri lihat melekat pada ranting kering di pohon besar. Bri berusaha memotong ranting yang dihinggapi ulat tersebut, namun ranting tersebut sulit dipatahkan. Batangnya terlalu keras. Harus ditebas dengan alat tebang pohon. Bri
10
menatap heran kepada dua pohon di hadapannya. Di sana, ada tiga hal yang tmpak penting: tiga ulat bulu, pohon besar dan pohon kecil, serta carang-carang yang bertabrakan. Tiba-tiba Bri terbangun dari tidurnya yang selama dua puluh menit itu, di sudut ruangan perpustakaan yang sepi. Ia mengusap matanya. Membenarkan posisi duduknya, diam sejenak mengingat mimpi barusan yang seolah-olah nyata, kemudian ke toilet untuk mencuci mukanya. Keesokan paginya, ketika Bri berjalan di pelataran parkir, sebuah daun besar jatuh menyentuh kepalanya. Bri memungut daun lebar tersebut. Warnanya kekuningan, tidak segar lagi, dan bentuk daunnya persis seperti yang ia lihat pada mimpinya kemarin di ruang perpustakaan. Antara pemikiran dan analisis ilmiah, sugesti, alam bawah sadar atau sebuah ilham rohani, semuanya menjadi satu, mencuatkan makna mimpinya secara gamblang. Tak diragukan lagi, si pohon besar itu adalah Magna, ulat bulu ganas itu adalah mereka yang merusak pilar-pilarnya, dan si pohon kecil adalah managemen baru di dalam tubuh Magna yang mengakibatkan benturan di antara orang-orangnya. Bri tercenung, menyimpan daun itu dalam buku agendanya.
4. Benny Benjamin Awal Tahun 2008. Bri berjalan menyusuri lorong berbatu bata. Lorong itu sepi, hanya ada dirinya dengan sedikit cahaya. Seseorang menepuknya dari belakang dan memberinya sebuah kartu. Warnaya merah muda, seperti kartu undangan perkawinan. Bri segera membukanya, dan sebuah nama menarik perhatiannya. Nama Benny Benjamin tertulis di situ, bersandingan dengan namanya, Britania Rayani, tegas dan jelas dengan tinta hitam. Bri menoleh kepada seseorang yang memberikan kartu itu, tetapi orang itu segera lenyap tanpa memberikan penjelasan apa pun. Bri mengejarnya, berlari menyusuri lorong ke arah orang itu berjalan. “Hei!” Bri berteriak. “Hei, tunggu!” Sunyi. Tidak ada jejak sama sekali. Namun sinar terang tiba-tiba menyeruak memenuhi lorong. Bri pun berhenti, mendengarkan sendiri nafasnya yang tersengal-sengal. Sinar yang lembut itu menyorotnya, membuat bayangan tubuh Bri makin kentara di dinding. Bri memegang kartu itu dengan perasaan bingung. Bri terjaga dari tidurnya tepat pukul dua dini hari. Ia masih merasakan nafasnya yang terengah-engah. Ternyata mimpi. Lagi-lagi cuma mimpi. Dan lagi-lagi seolah nyata. Perasaan dingin menjalar ke hatinya, menghayutkan Bri ke dalam lamunan, sebelum ia tersadar, bahwa hari masih terlalu gelap untuk bangun dari tidur.
11